1
2
PEMILIHAN UMUM SERENTAK “Analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013” Oleh: Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH, MH.1 Email:
[email protected]
Abstract The Constitution is the embodiment of the ideals of life of the nation and the state andhave implies statehood to be achieved a nation. Pancasila and the 1945 Constitution of Indonesia which is the highest legal document containing political and sociological documents aspiring countries and nationalities and have the principles of a just and democratic state. Democratic electoral system debate can finally end with the release of Constitutional Court Decision No. 14 / PUU-XI / 2013 on Election Unison. The dynamics of the transition to democracy and the strengthening of the presidential system of government in Indonesia after the reform can be strengthened through the Constitutional Court ruling, because the Constitutional Court's decision related to the Election Simultaneously implies strengthening the validity of the constitution to strengthen the validity of the formulation of the constitution. Keywords: Constitutional Court Decision No. 14 / PUU-XI / 2013 and democratic elections.
I.
PENDAHULUAN Sebelum masuk pada substansi penulisan lebih jauh, tulisan ini dimaksudkan untuk melakukan analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pemilihan Umum Serentak yang tidak hanya dilihat dari aspek teknis kesiapan implementasi sistem Pemilu serentak pada tahun 2019 nanti tetapi juga mengkaji secara mendalam bagaimana dinamika politik kelembagaan di DPR di dalam merumuskan sistem Pemilu serentak itu sendiri, 1
Zainal Arifin Hoesein, adalah Lulusan S3 Ilmu Hukum dengan konsentrasi Hukum tata Negara Universitas Indonesia tahun 2006, menjadi Staf Pengajar Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Staf Pengajar Program Magister Ilmun Hukum Universitas Nasional Jakarta dan Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum dan Program Doktor Ilmu Hukum (S3) Universitas Islam As-Syafi‘iyah Jakarta serta staf pengajar Fakultas Hukum pada beberapa Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta, Wakil Ketua Bidang Pendidikan Asosiasi Pengajar HTN/HAN, Penguru Pusat Asosiasi Dosen Indonesia, Anggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia Pusat, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi‘iyah, dan Panitera Mahkamah Konstitusi 2008 – 2010. Aktif menulis, diantara karya buku yang telah dipublikan yakni: Judicial Review di Mahkamah Agung, diterbitkan RajaGrafindo, Jakarta 2002, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diterbitkan oleh Imperium Yogyakarta 2013, Hukum dan Dinamika Sosial, diterbitkan oleh CV Ramzy Putra Pratama, Jakarta dan sedang mempersiapkan bukutentang Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu, dan beberapa artikel ilmiah yang dimuat di jurnal terakreditas.
3
baik dari dimensi historis-empirik maupun dari tataran praktik politik demokrasi kontekstual. Oleh sebab itu, kajian dalam tulisan ini menekankan pentingnya konstitusi dan UUD 1945 sebagai basis rujukan demokrasi substansial didalam memahami dinamika perpolitikan pada masa transisi menuju demokrasi. Penulis melihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tidak saja memiliki relevansi penguatan sistem Pemilu yang tengah diterapkan di Indonesia, tetapi lebih dari itu, Putusan Mahkamah Konstitusi ini mempunyai makna filosofis politik konstitusional yang kuat sehingga diperlukan pengutan pemahamanbaru bagi masyarakat tentang Pemilu dan hak-hak konstitusional warga. Pemilihan Umum atau lebih dikenal dengan pemilu merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Dapat dikatakan bahwa jika tidak ada pemilu maka rakyat tidak berdaulat. Karena dengan pemilu, rakyat dapat menentukan siapa yang menjadi wakil-wakil dan pemimpinnya di kursi pemerintahan sehingga mereka dapat menjadi operator negara dalam menggapai harapan rakyat. Dalam pelaksanaannya, pemilu sangat bergantung pada pengadopsian sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara, karena akan mempengaruhi model pelaksanaan kegiatan pemilu. Sistem pemerintahan yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan kekuasaan legslatif.2 Di sisi lain pemilu juga merupakan ritual yang penting untuk masyarakat terhadap negaranya yang menganut sistem demokrasi. Oleh karena itu dalam pengaturannya juga ditetapkan melalui norma dasar (gorund norm). Secara umum perumusan norma dasar dalam penyelenggaraan kegiatan pemilu telah di atur dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).3 Namun pelaksanaan lebih teknis dijabarkan melalui peraturan perundang-undangan di bawahnya. Dari runtutan sejarahnya, pemilu sejak awal reformasi tahun 1998 hingga tahun 2009 dilakukan pemisahan antara pemilu legislatif dengan pemilu presiden dan wakil presiden.4 Namun apakah memang pelaksanaan pemilu dilakukan secara terpisah ini merupakan kehendak konstitusi ataukah ada hal lain yang membuat pemilu tersebut tidak dilaksanakan serentak. Dari pengamatan sementara dapat 2
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, h. 311. 3 Norma lainnya yang terkait dengan pemilihan umum adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A, Pasal 8 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1). 4 Pemisahan kegiatan pemilu presiden dan pemilu legislative diatur dengan undang-undang yang berbeda. Sehingga dalam pelaksanaanya juga dilakukan dalam waktu yang berbeda. Pemilu presiden dan wakil presiden diatur di dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan Pemilu Legislatif diatur oleh UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
4
dirumuskan bahwa ada beberapa hal yang memang menjadi pertimbangan untuk pemilu dilakukan secara terpisah: pertama, mengenai pelantikan atau pengucapan sumpah Presiden dan Wakil Presiden, yang berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 dikatakan, sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil; Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR atau DPR; kedua, pelaksanaan pemilu yang dilakukan secara terpisah sudah menjadi desuetudo atau kebiasaan (konvensi ketatanegaraan). Kemudian yang ketiga, terkait dengan dukungan legislatif terhadap pemerintahan yang berkuasa, maksudnya adalah agar dalam penyelenggaraan negara,eksekutif didukung oleh legislatif. 3 (tiga) perkra Itulah yang menjadi alasan dilaksanakan pemilu secara terpisah. Jika ditinjau dalam Pasal 22E UUD 19455 maka kita tidak akan menemukan frase atau makna yang terkandung menegaskan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara serentak ataukah dilakukan terpisah antara pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) dilakukan secara terpisah. Di dalam Pasal 22E ayat (1) hanya menyebutkan bahwa pelaksanaan pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali, yang diartikan oleh sebagian orang bahwa lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Salah satu diantaranya yang memiliki pemahaman seperti itu adalah Effendi Gazali. Pakar Komunikasi politik inimenilai maksud dari Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 pemilu tidak dilakukan secara terpisah, melainkan dilakukan secara serentak. Selain itu pemilu yang dilakukan secara terpisah akan menimbulkan politik transaksional, biaya politik yang tinggi, politik uang yang meruyak, dan korupsi politik.6 Selain itu, pelaksanaan pemilu secara terpisah dinilai hak konstituional seperti yang tertulis di dalam Pasal 27 ayat (1)7 dan Pasal 28D ayat (1)8 UUD 1945, karena waktunya yang tidak bersamaan sehingga memerlukan waktu yang berbeda sehingga cenderung tidak efektif. 5
Pasal 22E ayat (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. ***); Pasal 22E ayat (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. ***) Pasal 22E ayat (3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. ***) Pasal 22E ayat (4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. ***) Pasal 22E ayat (5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. ***) Pasal 22E ayat (6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undangundang.***) 6 Lihat Permohonan Effendi Gazali, dalam perkara Nomor 14/PUU-XI/2013. 7 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 ―Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya‖. 8 Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 ―Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum‖.
5
Argumentasi itulah kemudian Effendi Gazali melalui kuasa hukumnya AH. Wakil Kamal, advokat pada Kantor Hukum AWK & Partners mengajukan pengujian undang-undang pada tanggal 10 Januari 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Januari 2013 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 7/PAN.MK/2013 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 22 Januari 2013 dengan Nomor 14/PUU-XI/2013 menjadi pemohon dalam pengujian undang-undang. Mahkamah Konstitusi sebagai The final Interpretation of the Constitution, kemudian melakukan pemeriksaan terhadap pasal-pasal yang dianggap bertentangan oleh pemohon dengan menguji Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD1945. Lebih dari setahun waktu yang telah ditempuh untuk melakukan pemeriksaan perkara tersebut, hingga MK pada tanggal 23 Januari 2014 memutuskan dengan putusan sebagai berikut: bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19459. Dengan diputuskannya perkara tersebut mengubah paradigma pelaksanaan pemilu yang semula dilakukan secara terpisah antara pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum legislatif, maka setelah diputusnya perkara tersebut menjadikan pemilu dilakukan secara serentak antara pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum legislatif. Namun, yang menjadi persoalan 9
MK mengabulkan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 1.1. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.2. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya; 3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
6
adalah apakah UUD 1945 menghendaki pemilu serentak? II. PEMBAHASAN 1. Pemilu Ditinjau dari Original Intent (UUD 1945) Dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan ―Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali‖. Kemudian dilanjutkan ayat (2) ―Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah‖. Norma ini menjadi pijakan dasar dalam penyelenggaraan pemilu. Namun dalam menelisik apakah pemilu menurut UUD 1945 menghendaki pemilu serentak atau tidak maka dapat ditinjau dari risalah perumusan UUD 1945 mengenai Pemilu. Ditinjau dari original intent perumusan norma dalam konstitusi ini bisa dilihat pada awal percakapan dalam perumusan norma Pasal 22E ayat (2) pelaksanaan pemilu serentak. Dalam catatan sejarah, pada awal reformasi, proses politik mewarnai proses perumusan sistem pemilu serentak di legislatif. Pergulatan kepentingan politik antar fraksi terlihat sangat tajam. Perbedaan pendapat seputar pemilu serentak terjadi dalam perumusan UU Pemilu, misalnya, terjadi silang pengertian dalam proses perumusan UU Pemilu. Slamet Effendy Yusuf dari FPG misalnya berpendapat, mengenai draf Ayat (2) yang berbunyi: ―Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara serentak di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia‖, belum ada kata sepakat dalam hal kalimat ―secara serentak di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia‖. Slamet Effendy Yusuf berpendapat, ―Kata “secara serentak” ini akan dimaknai seperti apa? Apakah penyelenggaraan umum pada saat DPR dipilih berarti secara serentak, DPD secara serentak serta DPRD secara serentak atau DPR, DPD, dan DPRD secara serentak? Sebab ada yang berpikiran pemilihan DPRD dan DPR RI itu, DPD dan DPR RI itu pisah supaya nanti tidak ada Lembaga Negara yang bareng-bareng habis periode. Jadi, ada kayak di beberapa Negara adalah ketika House of Representative-nya demisioner, Senatnya masih eksis dan seterusnya” Sementara Hamdan Zoelva dari F-PBB berpandangan, kalimat ―serentak‖ dan seterusnya sebaiknya dihilangkan karena menurutnya persoalan serentak atau tidak agar diatur saja dalam Undang-undang Otonomi Daerah atau dalam undangundang. Dan Kitab Undang Undang Dasar ini cukup sampai kata Dewan Perwakilan Daerah. Pendapat ini langsung mendapat sambutan dari Effendy Yusuf yang ketika itu memimpin rapat. Ide ini dianggap menarik dan mengundang secara aklamasi dari para peserta rapat untuk menyetujuinya.Rapat tersebut juga memastikan peninjauan secara komprehensif terkait wacana komite 7
pemilu sebagaimana dalam draf pembahasan Aayat (5) tentang keberadaan komite pemilu.10 Pada percakapan itu terlihat bahwa dalam perumusan pemilu serentak atau tidak pada saat itu belum dibahas secara tuntas, dan cenderung untuk di delegasikan pengaturannya secara lebih lanjut melalui Undang-undang Otonomi Daerah atau dalam undang-undang. Kemudian pada tanggal 5 November 2001 yang dipimpin Wakil Ketua Komisi A, Slamet Effendy Yusuf mengagendakan pembahasan dan perumusan Rancangan Perubahan Ketiga UUD 1945 mengenai pembahasan Materi pemilu. Pada awal rapat, anggota F-KKI, Tjetje Hidayat menyoal masuknya pemilihan presiden sebagai bagian dari pemilu, ―…karena saya menangkap pemillihan Presiden tidak ada kaitan dengan pemilu. Presidential election tidak ada kaitan dengan general election. Mengapa ada kalimat, bagi saya tiba-tiba nyelonong dalam pemilihan umum. Ternyata di Bab VIIB dalam Pemilihan Umum, Bab VIIB halaman 11, Ayat (2) itu Pasal 22E Ayat (2) di sana pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, betul, Dewan Perwakilan Daerah, betul, tiba- tiba nyelonong Presiden dan Wakil Presiden, ini saya tidak mengerti. Karena setahu saya dan seingat saya, general election beda dengan kalau itu presidential election saja. Tidak ada kaitan dengan pemilu pemilihan Presiden itu. Jadi mohon penjelasan karena saya berpendapat, kalau pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dimasukkan dalam pemilihan umum, bagi saya salah itu. Itu kurang lebih, jadi perlu penjelasan, minta penjelasan. Sekali lagi pertanyaan saya, mengapa itu dikaitkan dalam pemilu?11 Menanggapi hal itu, pimpinan rapat Slamet Effendy Yusuf yang juga wakil ketua PAH I yang merumuskan rancangan tersebut menjawab, ―Saya nggak tahu siapa yang harus menjelaskan tapi saya mencoba menjelaskan, karena saya ikut di dalam proses perumusannya. Jadi memang begini, memang pada konsep ini, secara keseluruhan itu, Presiden nanti dalam pemilihan yang disebut langsung itu diadakan di dalam pemilihan umum yang diselenggarakan barengbareng ketika memilih DPR, DPD, kemudian DPRD, kemudian juga paket Presiden dan Wakil Presiden sehingga digambarkan nanti ada lima kotak. Jadi kotak untuk DPR RI, kotak untuk DPD, kotak untuk DPRD provinsi, kotak untuk DPRD Kota atau Kabupaten, dan kotak untuk Presiden dan Wakil Presiden itu. Jadi gambarannya memang itu dan memang konsep ini menyebut pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum. Itu penjelasannya. Tapi Pak Tjetje bisa setuju atau tidak, tapi penjelasannya adalah seperti itu”12 10
Ibid.h. 546 Naskah Kompherensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, ........h. 601-602. 12 Ibid. h. 602. 11
8
Tjetje kembali mengomentari, Para Pimpinan. Saya tetap berpendapat tidak ada kaitan antara general election dan presidential election, usul saya dipisah13.Pendapat Tjetje dikuatkan oleh rekannya dari F-KKI, L.T. Sutanto. Ia mengungkapkan, ―Seperti kita lihat dari tadi pagi ya, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sudah mulai dikatakan sudah positif maka kami melihat bahwa Pasal 6A ini ya lebih tepat disebut sebagai cara untuk pemilihan Presiden. Sedangkan pemilu sudah diatur dalam Bab VIIB. Jadi kami ingin melihat bahwa pemilihan Presiden dan pemilu adalah dua hal yang lain ya. Kalau demikian, kami melihat Pasal 6A ini alur pikirannya itu membikin kita kacau, kenapa? Pada Ayat (3) sebelum pola pemilihan Presiden ditentukan, Ayat (3) sudah menentukan syarat-syaratnya. Jadi menurut kami, Ayat (1) itu oke nggak masalah. Ayat (2) yang terakhir yang diperkataan terakhir adalah pemilihan Presiden bukan pemilihan umum ya.14Hal yang sama dikemukakan oleh anggota F-KKI yang lain FX. Sumitro, ―…hendaknya pemilihan Presiden dan pemilihan umum itu dipisahkan, baik mengenai waktu maupun polanya, karena memang sasarannya berbeda. Pemilihan Presiden, rakyat memilih siapa yang akan menjadi Presiden. Pemilihan umum, rakyat memilih siapa yang akan menjadi anggota perwakilannya15. Seperti sebelumnya, FX. Sumitro dari F-KKI kembali menyoal masuknya pemilihan presiden dan wapres ke dalam bab pemilihan umum. ―Kemudian, mengenai Pemilihan Umum. Yaitu Pemilihan Umum Pasal 22E mengenai Pemilihan Umum yang ditinggalkan untuk pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden. Seperti tadi saya tegaskan, dari Fraksi kami, hendaknya pemilihan Presiden dipisahkan dengan Pemilihan Umum untuk DPR maupun DPD maupun DPRD. Karena masalahnya berbeda. Baik itu dipisahkan dalam arti waktu, dipisahkan pula dalam arti dengan kata lain bahwa jabatan MPR hendaknya tidak bersamaan dengan jabatan Presiden. Jabatan MPR tidak berbarengan dengan jabatan Presiden. Sehingga pada saat MPR sudah menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, baru akan dilakukan Pemilihan Presiden. Terima kasih16 Sedangkan Rodjil Ghufron dari F-KB menyatakan bahwa rumusan yang ada sudah memadai, ―Mengenai Pemilihan Umum. Saya kira rumusan yang sudah dihasilkan ini cukup memadai, hanya saja saya kira memang perlu ada kejelasan mengenai rumusan Pemilihan Umum dalam artian general election, dan pemilihan Presiden (presidential election). Saya tidak tahu, apakah kedua-duanya ini diterjemahkan sebagai Pemilihan Umum. Tetapi saya kira perlu ada rumusan 13
Ibid. h. 602. Ibid. h. 602-603. 15 Ibid. h. 603. 16 Ibid. h. 604. 14
9
yang tegas, memisahkan keduanya agar supaya tidak kabur antara satu dengan yang lain. Saya kira demikian”17Begitu pula L.T. Soetanto dari F-KKI kembali menginginkan dipisahkannya pemilihan umum dan pemilihan presiden-wakil presiden, ―Kemudian menyangkut ke Pemilihan Umum, Ayat (2). Kami tetap menginginkan supaya pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum itu dipisahkan. Kemudian pemilihan Presiden itu dapat diikuti juga pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota”18. Sementara itu, dari F-KB, Ali Masykur Musa mengajukan usulan alternatif, ―….Tapi dipikirkan bahwa, seyogyanya memang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam pasangan itu waktunya berbeda dengan pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, dan DPRD. Sedangkan Sutjipto dari F-UG mengomentari usulan dari Ali Masykur Musa, sebagai berikut. Lalu mengenai Pemilihan Umum. Fraksi kami juga rasanya tertarik tadi, apa yang disampaikan oleh Saudara Ali Masykur. Jadi, kalau memang DPD belum bisa diharapkan atau diputuskan dalam Sidang Tahunan ini, sedangkan KPU sudah mengharapkan adanya rumusan dalam Pemilihan Umum, sehingga pasal atau Bab Pemilihan Umum dapat dipisahkan. Jadi bukannya wakil rakyat, karena tadi kan dikatakan mewakili daerah. Oleh karena itu mungkin Pemilu memilih Dewan Perwakilan, jadi apakah nanti memang disepakati DPD ya Dewan Perwakilan Daerah juga termasuk di situ. Demikian pula Arif Mudatsir Mandan dari F-PPP tidak ingin memasuki polemik tentang beda antara pemilu dan Pilpres, sehingga dalam menyampaikan pendapatnya dia mengatakan bahwa tidak membedakan antara Pemilihan Umum, genera election, dan juga pemilihan Presiden, president election. Oleh karena itu F-PPP tidak ada persoalan dengan Bab VIIB, tentang Pemilu. Mengenai Bab VIIA, selanjutnya Partai Persatuan Pembangunan menyetujui Pasal 22D Ayat (2) alternatif 2, Ayat (3) alternatif 1, Ayat (5) alternatif 1 dan Ayat (6) alternatif 1. Ayat dan pasal-pasal lainnya pada Bab VIIA, Partai Persatuan Pembangunan tidak ada perdebatan yang signifikan dan substansial. Sedangkan Patrialis Akbar dari Fraksi Reformasi menjelaskan sebagai berikut, ―Berkenaan dengan Pemilihan Umum. Sebetulnya dalam konsep Pemilihan Umum ini kita juga belum membatasi apakah Pemilihan Umum kita ini nanti pada saatnya bersama-sama Pemilihan Umum Wakil-wakil Rakyat dengan Pemilihan Umum Presiden itu tergantung situasi. Tetapi yang paling penting cantolannya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar ini bahwa semuanya dipilih melalui Pemilihan Umum. Jadi ini juga kita belum zakelijk. Dan di sini tidak ada larangan kalau dikerjakan bersama-sama atau terpisah Pemilihan Umum itu yang berkenaan dengan general election atau President election tadi. Saya kira demikian”. Nadjih Ahmad dari F-PBB mengungkapkan perlunya pemilihan kepala daerah sebagai bagian 17
Ibid. h. 605. Ibid. h. 605-606.
18
10
dari pemilu, ―Kemudian yang idealnya untuk DPRD, itu bersama-sama pemilihannya dengan gubernur dan bupati. Di dalam Pasal mengenai Pemilihan Umum Ayat (2), belum tercantum masalah pemilihan gubernur dan pemilihan bupati. Saya kira kalau Presiden saja dipilih langsung, apalagi gubernur dan bupati”. Tjetje Hidayat Padmadinata dari F-KKI tetap berteguh agar dibedakan pemilihan umum dan pemilihan Presiden, ―Dan yang terakhir kami tetap mengusulkan agar supaya pemilihan umum hanya untuk lembaga-lembaga perwakilan rakyat, kalau untuk eksekutif yang jelas saja disebut. Pemilihan Presiden, pemilihan gubenur, pemilihan walikota, pemilihan bupati tapi bukan dengan istilah general election. Jadi harus more specific penambahannya”. Pada akhir rapat, pimpinan rapat Harun Kamil mengambil kesimpulan, ―Kemudian mengenai Pemilu. Pada prinsipnya sudah disetujui semua, kecuali beberapa catatan tentang kemungkinan, apakah pemilihan Presiden bisa bersamaan dipilih dengan perwakilan ataukah dipisah. Juga Presiden, gubernur dan bupati. Dan mengingat waktu sudah jam 22.50 WIB, kami sarankan lobi untuk dilakukan besok pagi jam 09.00 WIB. Bisa disetujui? Soewarno dari F-PDIP mengusulkan agar pemilu untuk legislatif dan kepresidenan dilaksanakan serentak dan sekali. Setelah hasil kerja Komisi A, termasuk materi pemilu, disetujui para anggota Komisi A, hasil kerja tersebut dilaporkan kepada MPR dalam forum Rapat Paripurna ke-6 yang digelar pada 8 November 2001 dan dipimpin Ketua MPR, M. Amien Rais. Jakob Tobing selaku Ketua Komisi A menyampaikan hasil rancangan Bab VIIB tentang Pemilihan Umum sebagai berikut19. Selanjutnya, pada hari yang sama digelar Rapat Paripurna ke-7 ST MPR 2001 yang mengagendakan Penyampaian Pendapat Akhir Fraksi-fraksi MPR terhadap Rancangan Putusan MPR hasil Komisi-komisi MPR. Rapat dipimpin oleh Ketua MPR, M. Amien Rais. Pada kesempatan itu, F-PDIP lewat juru bicaranya I Dewa Gede Palguna menyampaikan pandangan akhir fraksinya sebagai berikut.20 ―Mengenai Bab dan Pasal tentang Pemilihan Umum, bisa dapat segera disetujui apabila masalah-masalah yang menyangkut pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta kedudukan dan fungsi DPD sudah diselesaikan dan disepakati”. Pada Rapat Paripurna ke-7 (Lanjutan 2) yang diselenggarakan pada Jumat, 9 November 2001 dan dipimpin Ketua MPR, M. Amien Rais, penyampaian pendapat akhir fraksi-fraksi MPR dilanjutkan. Dalam Rapat Paripurna ke-7 ini sebagian besar fraksi sudah tidak menyinggung pembahasan mengenai bab ini dalam pendapat akhir mereka. Rumusan Pasal 22E yang disampaikan pada Rapat Paripurna ke-6 ST MPR tidak mengalami perubahan 19
Ibid. h. 610. Ibid. h. 611.
20
11
sama sekali. Rumusan materi pemilu tersebut disahkan secara aklamasi pada Rapat Paripurna ke-7 (Lanjutan 2) ST MPR pada 9 November 2001 yang dipimpin Ketua MPR, M. Amien Rais.21 Dari percakapan yang kita lihat dalam perumusan pelaksanaan pemilu memang masih panjang dan belum ada kesepakatan mengenai pemilu dilakukan secara serentak atau tidak. Yang pasti dalam pembahasan awal pemilu serentak atau tidak sudah disepakati bahwa pelaksanaan pemilu lebih lanjut akan diatur oleh undang-undang. Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 menyataakan bahwa ―Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang‖. Ini yang menjadi landasan konstitusional bahwa pelaksanaan pemilu dilakukan secara terpisah. Karena pada awalnya telah diusulkan untuk diperjelas pemilu dilakukan secara serentak atau tidak namun lebih disepakati hal itu diatur dalam undang-undang. Terlepas dari perdebatan politik konstitusional diatas sebagaimana terjadi pada masa transisi menuju demokrasi, yang menjadi catatan penting dan menarik untuk dijadikan sebagai bahan kajian akademik adalah bagaimana kita melihat perkembangan lebih lanjut terkait praktik sistem pemilihan umum yang demokratis dalam pengertian pemilu serentak setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013tentang Pemilu Serentak di tahun 2019 yang diajukan Effendi Gazali. Dalam konteks pengertian pemilu serentak ini menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa dengan sistem pemilu serentak, maka ke depan Indonesia sudah mulai menerapkan sistem pemilihan umum yang dilakukan dalam tiga tingkatan yang masing-masing dimaksudkan untuk memilih pejabat eksekutif dan legislatif setempat, yaitu (i) pemilihan umum pusat untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, Anggota DPR, dan anggota DPD; (ii) pemilihan umum provinsi untuk memilih Gubernur dan anggota DPRD Provinsi; dan (iii) pemilihan umum kabupaten/kota untuk memilih Bupati dan anggota DPRD Kabupaten serta Walikota dan anggota DPRD Kota, yang dilakukan serentak di tingkat pemerintahan masing-masing sesuai dengan jadwal kenegaraan yang ditetapkan. Dengan mekanisme pemilihan pimpinan eksekutif dan anggota lembaga legislatif secara serentak ini, banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dalam memperkuat sistem pemerintahan. Beberapa di antara manfaat strategisnya adalah (i) sistem pemerintah diperkuat melalui „political separation‟ (decoupled) antara fungsi eksekutif dan legislatif yang memang sudah seharusnya saling imbang mengimbangi. Para pejabat di kedua cabang kekuasaan ini dibentuk secara sendiri-sendiri dalam waktu yang bersamaan, sehingga tidak terjadi konflik kepentingan ataupun potensi sandera menyandera yang menyuburkan politik transaksional; (ii) Salah satu kelemahan sistem ‗decoupling‘ ini potensi terjadinya gejala ‗divided government‟ atau ‗split-government‟ sebagai akibat kepala 21
Ibid. h. 612.
12
pemerintahan tidak menguasai dukungan suara mayoritas di parlemen. Namun hal ini haruslah diterima sebagai kenyataan yang tentunya harus diimbangi dengan penerapan prinsip tidak dapat saling menjatuhkan antara parlemen dan pemerintah; (iii) Sistem „impeachment‟ hanya dapat diterapkan dengan persyaratan ketat, yaitu adanya alasan tindak pidana, bukan alasan politik; (iv) untuk menjaga iklim dan dinamika ―public policy debate‖ di parlemen. Harus dimungkinkan anggotapartai politik berbeda pendapat dengan partainya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, dan kebijakan ―party recall‟ harus ditiadakan dan diganti dengan kebijakan ―constituent recall‖. Dengan cara demikian, maka keputusan untuk diterapkannya sistem pemilu serentak mulai tahun 2019 dapat dijadikan momentum untuk penguatan sistem pemerintahan. Ini harus dijadikan agenda utama pasca terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2014, sehingga periode 2014-2019 benar-benar dimanfaatkan untuk konsolidasi demokrasi yang lebih produktif dan efisien serta penguatan sistem pemerintahan presidentil.22 2. Tinjauan Umum tentang Pemilu Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194523. Dalam kajian ilmu politik, sistem pemilu diiartikan sebagai suatu kumpulan metode atau suatu pendekatan dengan mekanisme prosedural bagi warga masyarakat dalam menggunakan hak pilih mereka.24 Sistem pemilu dari waktu ke waktu sesuai tuntutan zaman terus mengalami perubahan sehingga hamper bisa dikatakan system pemilu di Indonesia tidak tuntas karena setiap kali pergantian rezim selalu dirubah undang-undang dan peraturan berdasarkan kebutuhan zaman.25 Dalam ilmu politik, sistem pemilihan umum diartikan sebagai suatu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka. (Lijphart, 1995). Manakala sebuah lembaga perwakilan rakyat—apakah itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ataupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD)—dipilih, maka sistem pemilihan mentransfer jumlah suara ke dalam jumlah kursi. Sementara itu, pemilihan presiden, gubernur dan bupati, yang merupakan representasi tunggal dalam sistem pemilihan, dasar jumlah suara yang diperoleh menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan melihat kenyataan seperti itu, maka 22
Jimly Asshiddiqie, Pemilihan Umum Serentak dan Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial,www.jimly.com, diunduh pada Hari Rabu tanggal, 11 Februari 2015. 23 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 24 Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Rajawali Pers, Jakarta, 2013. h. 1. 25 Ibid.
13
betapa pentingnya sistem pemilihan umum dalam sebuah negara demokrasi.26 Pemilihan umum menjadi tolok ukur berjalannya proses demokratisasi, karena itu pemilihan umum harus dilaksanakan secara jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia sesuai dengan kaidahkaidah universal penyelenggaraan pemilu yang demokratis.27 Asas langsung diartikan bahwa rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara. Asas umum maksudnya adalah adanya kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga Negara tanpa diskriminasi. Kemudian asas bebas dalam pemilu diartikan sebagai setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa penekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warganegara dijamin kemanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani. Asas rahasia adalah pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Asas Jujur adalah Penyelnggara Pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pementau pemilu, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan asas adil adalah setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.28 Konsep demokrasi secara umum dipahami sebagai apa yang diistilahkan para pemikir demokrasi, bahwa demokrasi memiliki suatu ajaran yang bersifat menuntut (demanding). Semua unsur-unsurnya (e.g. kebebasan untuk berpendapat, kebebasan berserikat, pemilihan umum yang bebas dan terbuka) harus secara keseluruhan dipenuhi sebelum sebuah bentuk pemerintahan dapat dianggap sebagai demokratis. Dalam perspektif perkembangan praktik demokrasi yang ada, sebenarnya tak ada sebuah negara pun yang secara sempurna bisa dikatakan demokratis. Ilmuan sosial seperti Michael Burton, Richard Gunther, dan John Higley sebagaimana dikutip Bakhtiar Effendy dalam bukunya Teologi Baru Politik Islam (1999:107) dikatakan bahwa mereka ilmuan sosial ini cenderung berpendapat bahwa: ―Banyak rezim yang menyelenggarakan pemilihan (umum) secara teratur belum dapat disebut sebagai demokratis. Beberapa rezim mengatur hak pilih (warganya) atas dasar
26
Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h. 255. 27 Naskah kompherensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, Dan Hasil Pembahasan 1999-2002, buku V, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, h. 616. 28 Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia, Pedoman Pengawasan Pemilu 2009, h. 12.
14
kekayaan, sebagaimana yang pernah berkembang di negara-negara Barat pada abad ke-19. Sejumlah rezim mengingkari hak pilih kelompok etnik tertentu, sebagaimana di Afrika Selatan dan Selatan Amerika pada penghujung abad 19. Beberapa rezim melarang partai-partai dengan ideologi atau program-program kerja yang radikal, sebagaimana yang terjadi pada partai-partai komunis di sejumlah negara. Yang lain menggalang dukungan mayoritas untuk partai yang sedang memerintah melalui praktik-praktik yang tidak adil dan menekan, sebagaimana yang dilakukan rezim Mexico untuk beberapa dasawarsa. Sejumlah rezim dengan tegas membatasi efek prosedural demokrasi dengan menyisihkan jabatan-jabatan tertentu bagi perorangan atau kelompok yang---baik secara langsung atau tidak langsung---tidak bertanggungjawab kepada pemilih.‖29
Huntington sebagaimana dalam bukunya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, dikatakan, ―partisipasi politik‖ adalah sebuah konsep induk, sebuah label yang ditempelkan pada satu set variabelvariabel; masing-masing variabel dengan defenisi intinya, tetapi masing-masing juga sebab-musabab dan akibat-akibat yang agak berbeda dan berkaitan secara berbeda dengan trend-trend sosial politik-ekonomi. Pemilihan Umum 2004 dan Pemilihan Umum 2009, misalnya, baik pemilu legislatif, maupun pemilu presiden, diatur oleh UUD 1945 hasil amandemen. Selama empat kali dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 ini, pada tahap pertama dilakukan hingga pada tahap pengesahan pada tanggal 19 Oktober 1999; perubahan UUD 1945 kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000; pengesahan perubahan ketiga pada tanggal 10 November 2001, dan pengesahan hasil perubahan keempat pada tanggal 10 Agustus tahun 2002. Dalam perubahan tersebut, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi menggunakan sistem perwakilan, namun diberlakukan sistem pemilihan langsung, artinya semua peserta partai pemilu, memiliki kesempatan sama untuk mengajukan calon presiden dengan tetap berpijak pada undang-undang pemilihan Presiden yang berlaku, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003.30 Pemilihan Umum yang diselenggarakan di bawah payung UUD 1945 hasil amandemen, tidak an sich memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD), namun secara paket memilih juga pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan ini melibatkan partai politik dan rakyat Indonesia secara keseluruhan, yang diatur penuh pada pasal 6A.31 Sebagaimana pada Bab VIIB UUD 1945 hasil amandemen ketiga, disebutkan dalam pasal 6A ayat, 1, 2, 3, 4, dan 5 disebutkan bahwa ―Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat; Pasangan 29
Bahktiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, Galang Press, Yogyakarta, 2001, h. 107. 30 A.A. Sahid Gatara, Ilmu Politik: Memhami dan Menerapkan, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2009, h.. 245-246. 31 Ibid.
15
calon Presiden dan Wakil Presidendiusulkan oleh partai politik atau gabungan partai peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum; pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen suara di setiap provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden; Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden; dan tata cara pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.32 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim berpendapat, pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebutnya sebagai negara yang demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu.33 Bersamaan dengan pemahaman Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di dalam konstitusi Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 pemilu juga telah ditetapkan dengan waktu tertentu, yaitu pada setiap 5 (lima) tahun sekali. Tujuan pemilu menurut ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kemudian mengenai pelaksanaan pemilu secara lebih teknis dianulir melalui Undang-Undang nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam pengaturannya, pemilu dilakukan secara terpisah. Ketentuan ini terdapat di dalam Pasal 3 ayat 5 UU No. 48/2009 yang menyatakan bahwa ―Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.‖ Norma ini yang kemudian menjadi pijakan diadakan pemilu menjadi 2 (dua) periode, yakni pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah; (2) pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pelaksanaan pemungutan suara untuk legislatif akan didahulukan sebelum pemilu presiden dan wakil presiden. Pelaksanaan pemungutan suara pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.34 Demokrasi tergantung pada perkembangan spontan dua hubungan yang 32
Lihat dalam hasil amandemen ketiga yang ditetapkan pada tanggal 10 November Tahun
2001. 33
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar HTN Indonesia, CV. Sinar Bakti, Pusat Study HTN Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1988), h. 329. 34 Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
16
berbeda: 1) representasi para warga negara oleh para pimpinan terpilih, suatu hubungan yang ditandai oleh dialog dan pertrtanggungjawaban; 2) toleransi, tawar-menawar dan kompromi di kalangan kelompok-kelompok politik yang bersaing. Yang pertama mengaitkan para elit dan non-elit yang memiliki kepentingan politik yang sama yang merupakan dimensi demokrasi ―vertikal.‖ Yang kedua, diperoleh terutama antara para pimpinan kepentingan yang saling bertentangan dan merupakan dimensi demokrasi ―horisintal.‖ Kepentingan relatif masing-masing dimensi ini berbeda selama transisi menuju demokrasi dan pada masa konsolidasi. Karena transisi melibatkan pembentukan tatanan konstitusional baru yang harus dipegang oleh semua faksi, transisi itu ditandai oleh tawar-menawar intensif antar elit yang bersaing. Pada tahap ini tekanan yang relatif kecil disandar pada kualitas representasi. Tidak diterima begitu saja bahwa para elit kunci melakukan tawar-menawar atas nama daerah pemilihan mereka masing-masing. Misalnya, dalam negosiasi-negosiasi atas transisi, seperti kasus yang pernah terjadi di Afrika Selatan menuju demokrasi, hampir tidak ada yang menanyakan sejauhmana Nelson Mandela dan Cyril Ramaphosa, di satu sisi atau F.W. de Klerk dan Roef Meyer, di sisi yang lain berbicara tentang tingkatan dan catatan-catatan African Congress (ANC) dan National Partry (NP).35 Dalam konteks transisi menuju demokrasi inilah sebagaimana dijelaskan diatas bahwa sirkulasi kepemimpinan melibatkan dua komponen politik secara bersamaan, yakni komponen elit politik dan masyarakat atau disebut relasi kepentingan antar elit yang berkompetisi dan partisipasi masyarakat dan menentukan kualitas representasi kepemimpinan dalam proses konsolidasi. Representasi dalam proses demokrasi sangat menentukan kualitas kepemimpinan politik. Kualitas kepemimpinan sangat ditentukan oleh kualitas desain peraturan dan perundang-undangan. Karena dalam masa transisi sangat dimungkinkan bahkan diharuskan terjadi perubahan-perubahan di segala dimensi terutama perubahan dalam konstitusi. Melalui konstitusi itulah melahirkan konsensus politik bersama antar semua kontestasi kepemimpinan dalam sistem demokrasi. Dengan demikian, sistem pemilihan umum yang demokratis membutuhkan suatu aturan atau mekanisme kerja yang jujur dan adil dalam memenuhi kapasitas demokrasi itu sendiri. Setiap calon dan pasangan calon, apakah itu calon anggota legislatif maupun calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Presiden dan Wakil Presiden memiliki aturan dengan berbagai syarat yang dibuat lewat kesepakatan politik formal. Maka setiap calon pemimpin yang bersaing dan bertarung dalam kontestasi demokrasi diikat oleh suatu aturan main yang harus diikuti bersama. 35
Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, PT. Tiara Wacana, Edisi Revisi, Yogyakarta, 1998, h. 88-89.
17
Dalam pemilu presiden dan wakil presiden, pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.36 Kemudian kondisi kepemiluan ini berubah drastis setelah MK memutuskan perkara Nomor 14/PUU-XI/2013. Di dalam putusan ini kemudian yang merubah paradigma kepemiluan di Indonesia dengan membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194537. Dengan putusan MK ini kemudian dijadikan dasar diselenggarakan pemiluserentak. III. PENGUATAN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL Pada dasarnya, dalam penerapan sistem pemerintahan yang membagi kekuatan politik menjadi 3 (tiga) kekuasaan eksektif, legislatif dan yudikatif tidak terlepas dari ajaran pemahaman pembagian kekuasaan teori trias politica Montesquieu. Jika ditinjau dari berbagai litelatur hokum tata Negara dan ilmu politik, terdapat varian perbedaan system pemerintahan. Misalnya C.F. Strong dalam buku “Modern Political Constitution” membagi system pemerintahan dalam kategori: parlimentary excekutive, dan non- parlimentary excekutive, atau the fixed executive. Lebih berfariasi lagi dibandingkan dengan Strong, Giovanni Sartori membagi system pemerintahan menjadi 3 (tiga) kategori: presidentialism, 36
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. MK mengabulkan : 5. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 5.1. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5.2. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 5.3. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya; 6. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; 7. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. 37
18
parliamentary system, dan semi presidentialism. Sejalan dengan pendapat Sartori, berdasarkan pola-pola demokrasi yang dipraktikan di 36 negara, Arend Lijphart membuat klasifikasi system pemerintahan menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu parliamentary, presidentialism, dan hybrid.38 Menurut Moh.Mahfud MD39, sistem pemerintahan negara adalah system hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara, dimana pembagian system pemerintahan di dalam ilmu negara dan ilmu politik menurut Moh. Mahfud MD dikenal beberapa sistem pemerintahan yakni, presidensial, parlementer, dan referendum. Sejalan dengan pandangan Mahfud MD, Jimly Asshiddiqie mengemukakan, Sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad yakni penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannnya dengan fungsi legislatif. Sistem pemerintahan yang dikenal di dunia secara garis besar dapat dibedakan tiga macam, yaitu:40 1. Sistem pemerintahan presidensial (presidential system); 2. Sistem pemerintahan parlementer (parlementary system); 3. Sistem campuran (mixed system atau hybrid system). Cikal bakal lahirnya sistem presidensial tidak terlepas dari sejarah paradigma perkembangan sistem pemerintahan Amerika Serikat. Sehingga dalam menentukan ide criteria dalam sistem pemerintahan presidensial tidak terlepas dari gejolak perkembangan sistem pemerintahan yang terjadi di Amerika Serikat. Menurut sejarahnya sistem presidensial tidak dilahirkan dari proses evolusi yang lambat dan panjang. Kelahiran sistem presidensial tidak dapat dilepaskan dari perjuangan Amerika Serikat menentang dan melepaskan diri dari kolonial Inggris, serta pembentukan konstitusi di Amerika Serikat41. Menurut CF Strong ciri-ciri dari sistem presidensial adalah: a. Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan bertanggungjawab kepadanya. Ia sekaligus sebagai kepala negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh UUD; b. Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu, ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer; c. Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif; 38
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: menguatnya model legislasi parlementer dalam system presidensial Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada:Jakarta, Cet. 3, 2013, h. 24. 39 Moh. Mahfud MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta, UII Press, Edisi Revisi, 2000), h. 74. 40 Op.Cit, Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia……, h. 311. 41 I Made Pasek Diantha, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan Dalam Demokrasi Modern, Abardin:Bandung, 1990, h. 33.
19
d. Sebagai imbangannya, Presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.42 Disamping beberapa pendapat ahli hokum di atas, Bagir Manan menjelaskan sistem presidensial yang memiliki ciri-ciri pokok sistem pemerintahan presidensial murni dengan pencerminan sistem presidensial yang berlaku di Amerika Serikat adalah:43 a. Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tunggal; b. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang bertanggungjawab di samping berbagai wewenang konstitusional yang bersifat prerogatif yang lazim melekat pada jabatan kepala negara; c. Presiden tidak bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat (congres), karena itu tidak dapat dikenai mosi tidak percaya oleh congress; d. Presiden tidak dipilih dan diangkat oleh congress dalam praktik langsung oleh rakyat, walaupun secara formal dipilih oleh badan pemilih (electoral college); e. Presiden memangku jabatan empat tahun (fixed), dan hanya dapat dipilih untuk kedua kali masa jabatan berturut-turut (8 tahun). Dalam hal mengganti jabatan presiden yang berhalangan tetap, jabatan tersebut paling lama 10 tahun berturut-turut; f. Presiden dapat diberhentikan dari jabatan melalui impeachment karena alasan tersangkut treason, bribery, or other hight crime and misdemeanors (melakukan penghianatan, menerima suap, atau melakukan kejahatan yang serius). Selanjutnya menurut Saldi Isra44 menurut pandangannya, sistem pemerintahan presidensial memiliki karakter yang utama dan beberapa karakter lainnya yakni: a. Presiden memegang fungsi ganda, sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Meskipun sulit untuk dibedakan secara jelas, presiden sebagai kepala negara dapat dikatakan sebagai simbol negara, sebagai kepala pemerintahan, presiden merupakan pemegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. b. Presiden tidak hanya sekedar memilih anggota kabinet, tetapi juga berperan penting dalam pengambilan keputusan di dalam kabinet;
42
C.F. Strong, Modern Politicaal Constitutions - an Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Forms, 8th revised and enlarged edition (London : Sidgwick and Jackson Limited, 1972), P. 231 C.F. Strong, Modern Political Konsitusi-Konstitusi Politik Modern, Nuansa Nusa Media: Bandung, 2004, h. 381. 43 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Gama Media, Yogyakarta, 1999., h. 49-50. 44 Op.Cit, Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2013, h. 40-42.
20
c. Hubungan antara eksekutif dan legislatif terpisah, dengan adanya pemilihan umum untuk memilih presiden dan memilih lembaga legislatif; d. Dengan pemisahan secara jelas antara pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif, pembentukan pemerintah tidak tergantung kepada proses politik di lembaga legislatif. e. Sistem pemerintahan presidensial dibangun dalam prinsip clear cut separation of powers antara pemegang kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif dengan konsekuensi bahwa antara legislatif dan eksekutif tidak dibutuhkan mempunyai hubungan kerjasama. Artinya terjadi pemisahan secara tegas antara presiden dengan legislatif. Sistem pemerintahan presidensial, kedudukan presiden sangat dominan, selaku individu sebagai penanggungjawab atas keberhasilan atau tidaknya pemerintahan, maka langsung atau tidak langsung mempersempit ruang gerak partai politik untuk memunculkan isu-isu politik yang terkait lansung dengan masalah pemerintahan45. Dalam sistem presidensial, iklim kepartaian memiliki nuansa yang berbeda dengan sistem parlementer. Peran utama partai politik bukan sebagai pengusung ideologi sebagaimana halnya dalam sistem parlementer. Dalam sistem presidensial, peran partai lebih sebagai fasilitator. Dalam konstitusi Amerika Serikat, sama sekali tidak mencantumkan secara eksplisit tentang fungsi dan tempat partai politik dalam sistem politiknya.46 IV. SISTEM PEMERINTAHAN MENURUT 1945 Dapat dikatakan bahwa pasca amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan Indonesia identik dengan karakteristik sistem pemerintahan presidensial. Hal ini dapat teridentifikasi dengan dibentuk sistem pemilhan Presiden dan Wakil presiden yang dipilih langsung oleh Rakyat melalui suatu pemilihan umum. Namun jika dilihat dari struktur sistem pemerintahan menurut UUD 1945 ini memiliki tidak sepenuhnya mengikuti seperti yang menjadi karakteristik sistem presidensial murni. Secara lebih detail, sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945 sebelum perubahan sebagai berikut 47: a. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka; b. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas); c. Kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat;
45
Op.cit, Hendarmin Media:Bandung:. 2007, h. 148. 46 Ibid. 47 Op, Cit, Saldi Isra, h. 60.
Danadireksa,
21
Arsitektur Konstitusi Demokratik,
Fokus
d. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah MPR. Dalam menjalankan pemerintahan negara kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan prsiden; e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden harus mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam membentuk undang-undang dan untuk menetapkan anggaran dan belanja negara; f. Menteri negara adalah pembantu presiden yang mengangkat dan memberhentikan mentri negara. Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR; g. Kekuasaan kepala negara tidak terbatas. Untuk dapat melihat sistem pemerintahan menurut UUD 1945, dapat diperinci pasal-pasal yang terkait dengan penyelenggaraan Negara. No. 1.
Pasal Pasal 3 ayat (3)
2.
Pasal 4 ayat (1)
3.
Pasal 6A ayat (1)
4.
Pasal 6A ayat (2)
5.
Pasal 7
6.
Pasal 7A
7.
Pasal 7C
8.
Pasal 11 ayat (1)
9.
Pasal 11 ayat (2)
10. 11.
Pasal 13 ayat (1) Pasal 13 ayat (2)
12.
Pasal 13 ayat (3)
Isi Materi Pasal Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden mengangkat duta dan konsul. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan menperhatikan
22
13.
Pasal 14 ayat (1)
14.
Pasal 14 ayat (2)
15. 16.
Pasal 17 ayat (2) Pasal 20 ayat (2)
17.
Pasal 22 ayat (1)
18.
Pasal 22 ayat (2)
19. 20.
Pasal 22 ayat (3) Pasal 22E ayat (1)
21.
Pasal 22E ayat (2)
22.
Pasal 24A ayat (3)
23.
Pasal 24B ayat (3)
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sehubungan dengan sistem pemerintahan ini, dari karakteristik yang telah dijabarkan secara terperinci di atas merupakan penjabaran dari sestem pemerintahan indinesia pasca perubahan UUD 1945 yang dapat dikatakan bahwa ada beberapa norma yang identik dengan karakteristik sistem pemerintahan presidensial, namun di sisi lain, pemerintah tetap bergantung pada persetujuan dari legislatif (DPR), yakni Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 24A ayat (3), dan Pasal 24B ayat (3). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya tidak menganut secara murni sistem presidensial, karena DPR masih memiliki keterkaitan yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan eksekutif. Akan tetapi secara teoritik, meminjam konsep Montesquieu tentang teori pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan yakni membaginya dalam tiga bentuk kekuasaan pemerintahan, yaitu bentuk pemerintahan republik, monarkhi, dan despotis (otoriter). Pembagian kekuasaan tersebut menjadi empat ketika Montesquieu membagi bentuk pertama menjadi dua macam, yaitu demokrasi dan aristokrasi. Montesquieu berpendapat bahwa bentuk republik adalah sumber keutamaan. Keutamaan disini bukan dari sisi sudut pandang etika, atau sudut pandang ajaran Kristen, tetapi dari sudut pandang politik. Keutamaan yang dimaksud olehnya adalah ―mencintai tanah air dan persamaan‖. Monarkhi adalah sumber kemuliaan (honour). Sebab, pemilihan dalam hal kedudukan merupakan 23
ciri menonjol bentuk pemerintahan ini. Dengan arti lain, keutamaan mencintai persamaan tidak menjadi dasar bentuk pemerintahan ini. Adapun despostis (otoriter) adalah sumber rasa takut sebab penguasanya bertindak bengis dan keras. Ia menggunakan kekuatan ancaman untuk setiap orang yang menentangnya.48 Menurut Rod Hague, pada sistem pemerintahan presidensial, terdiri 3 (tiga) unsur, yaitu: (1) Presiden dipilih rakyat, menjalankan pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan terkait. (2) Masa jabatan yang tetap bagi Presiden dan dewan perwakilan, keduanya tidak bisa saling menjatuhkan (menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang). (3) Tidak ada keanggotaan tumpang tindih antara eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan presidensial atau sistem eksekutif presidensial, sering juga disebut sebagai Sistem Amerika. Karena sistem ini berasal dari Amerika. Sistem pemerintahan presidensial pada prinsipnya adalah pemisahan kekuasaan secara berimbang. Eksekutif mempunyai kekuasaan yang tidak dapat membubarkan parlemen. Eksekutif tidak harus berhenti walaupun telah kehilangan dukungan dari mayoritas suara di parlemen. Presiden memiliki kekuasaan yang kuat. Disamping sebagai kepala negara, presiden juga sebagai kepala pemerintahan yang memimpin kabinet.49 Dalam arti luas, sistem pemerintahan dapat dibagi menurut pembagian kekuasaannya ke dalam garis yang bersifat horizontal dan vertikal. Secara horizontal, bagian organisasi negara itu dapat dibagi ke dalam fungsi-fungsi yang didasarkan atas perbedaan sifat pekerjaan atau tugasnya, sehingga menghajatkan bentuk organisasi yang berbeda-beda. Sedangkan pembagian organisasi negara secara vertikal melahirkan garis hubungan antara pusat dan daerah atau pun negara bagian yang menggunakan asas-asas desentralisasi dan dekonsentrasi serta medebewin. Istilah sistem pemerintahan biasanya dibicarakan pula dalam hubungannya dengan bentuk dan struktur organisasi negara dengan penekanan pembahasan mengenai fungsi-fungsi badan eksekutif dalam hubungannya dengan badan legislatif. Karena itu, pada umumnya, dalam konstitusi berbagai negara, dirumuskan mengenai bentuk dan struktur badan eksekutif dan hubungannya dengan legislatif, khususnya yang bersifat nasional. Perumusan mengenai sistem pemerintahan pada tingkat nasional biasanya dilakukan berdasarkan salah satu dari dua model campuran, yakni (i) sistem kabinet (parlementer), (ii) sistem presidentil, dan (iii) sistem campuran yang kadang-kadang juga disebut ‗kuasi presidentil‘. Dalam sistem kabinet, lembaga eksekutif nasional terkait erat dengan 48
Ali Abdul Mu‘ti Muhammad, Filsafat Politik: Antara Barat dan Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1998, h.142. 49 Abdillah Fauzi Achmad, Tata Kelola Bernegara dalam Perspektif Politik, PT. Golden Trayon Press, Jakarta, 2012, h. 133.
24
lembaga legislatif dan bahkan bertanggungjawab kepada lembaga terakhir ini. Dalam sistem presidentil masing-masing kedua badan memperoleh mandat kekuasaan dari rakyat secara sendiri-sendiri, dan kedua-duanya terbuka untuk dinilai oleh rakyat pemberi mandat. Sedangkan sistem campuran mendekati salah satu dari kedua sistem tersebut, di mana ciri-ciri dari kedua sistem ini dianut tetapi tidak sepenuhnya sama dengan yang diterapkan pada salah satu dari kedua sistem ini.50 Dalam konteks Indonesia, pada pasca perubahan UUD 1945 yang memperkuat sistem pemerintahan dengan karakteristik sistem presidensial maka Presiden tidak lagi tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Apapun yang terjadi terkait dengan perbedaan pandangan antara Presiden dan MPR, Presiden akan tetap menduduki jabatan sampai habis masa jabatannya. Namun sifatnya tidak absolute terhadap kedudukan kepala eksekutif, di dalam UUD 1945 diberikan jalan untuk menurunkan presiden sebelum masa jabatannya berakhir, yakni dengan ―impeachment‖ dengan syarat-syarat apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.51Dengan demikian, perubahan UUD 1945 telah cukup baik menentukan jaring-jaring yang menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, termasuk pula dalam hal kemungkinan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya melalui pranata impeachment walaupun sulit dilakukan. Adapun secara perinci perdebatan mengenai bentuk sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia bisa ditinjau dari Naskah kompherensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, Dan Hasil Pembahasan 1999-2002, buku V, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.Banyak perdebatan yang memperkaya diskusi perumusan mengenai sistem pemerintahan yang di anut. V. WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI Mahkamah Konstitusi berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, lembaga ini diberikan wewenang untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi juga memiliki sifat putusan yang final dan mengikat. Dalam pasal 10 ayat (1) disebutkan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Dalam hal hukum acara Mahkamah Konstitusi, pasal 28 Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan, bahwa Mahkamah Konstitusi 50
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI Press, 1996, h. 59-60. 51 Lihat Pasal 7A UUD 1945.
25
memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam konteks tugas dan kewenanganannya lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir itulah perlu dipahami dalam perspektif sistem ketatanegaraan kita pasca perubahan UUD 1945. MK memiliki kewajiban untuk memutus pendapat DPR bahwa presiden/wapres telah melakukan pelanggaran tertentu menurut UUD dan/atau presiden/wapres tidak lagi memenuhi syarat. Dengan adanya MK yang berwenang memeriksa dan memutus i) Pengjuan UU terhadap UUD, ii) Mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, iii) Memutus pembubaran partai politik, iv) Memeriksa dan memtus perselisihan hasil pemilu, dan v) sejak dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 2008, MK diberi kewenangan baru, yaitu memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah52, sehingga dengan demikian, dua lembaga yudikatif yang wewenangnya bersilangan dalam pengujian yudisial, yakni MK dan MA. Ada dua catatan tentang persilangan kewenangan. Dalam kaitan ini menurut Mahfud MD, MK idealnya berfungsi untuk menjamin konsistensi semua peraturan perundang-perundangan sehingga lembaga hanya memeriksa konflik peraturan perundang-undangan mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah derajatnya. Oleh sebab itu, kewenangan uji materi peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundangundangan yang lebih tinggi ditangani oleh MK.53Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: ―Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi‖.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Jimly Asshiddiqie, berpandangan, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenanganannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.54
52
Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Press, Jakarta, 2012, h. 263. 53 Ibid. 54 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2011, h. 338.
26
David Robertson, dalam The Routledge Dictionary of Politics (2002), memberikan pengertian konstitusi sebagai sebuah dokumen tertulis yang memuat doktrin pandangan ideologi politik negara harus dipatuhi warga negara. Dalam kamus politik, konstitusi diartikan sebagai “A constitution consist of a set rights, powers and procedures that regulate the relationships between public authorities in any state, and between the public authorities and individual citizens.” C.F. Strong dalam Modern Political Constitution, konstitusi disusun untuk membatasi kekuasaan pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan untuk menjabarkan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Robert Dahl, dalam On Democracy,juga menyatakan pentingnya merancang konstitusi yang demokratis karena hal itu akan menentukan kelangsungan hidup lembaga-lembaga demokrasi. Hans Kelsen (1961: 115) dalam bukunya, General Theory of Law and State, mengatakan “...a document which contains the rules for the operation of an organization”. VI. TELAAH PUTUSAN MKNOMOR 14/PUU-XI/2013 Perlu disadari bahwa dalam masyarakat demokratis, mengubah sistem politik dan sistem hukum melalui proses penyusunan UU guna mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik sangat mungkin dilakukan, tetapi mengubah atau membuat konstruksi pola pikir masyarakat dalam masa transisi menuju politik demokratis tidaklah mudah. Upaya mengembangkan sistem kehidupan demokratis haruslah ditopang oleh prinsip-prinsip konstitusi karena konstitusi merupakan dasar utama dalam kehidupan bernegara. Karena dalam masa transisi di tengah kebebasan berdemokrasi yang begitu kuat kerap menimbulkan kegaduhan politik yang memunculkan ketidakpastian. Oleh sebab itu, transisi demokrasi adalah masa-masa yang sangat krusial dan kritis sehingga terkadng melahirkan konflik politik. Maka Putusan MK dalam konteks ini haruslah dimaknai sebagai sebuah keputusan politik konstitusional yang telah mengarah pada apa yang disebut sebagai „consolidated democracy‟ dan „the role of law‟ yang efektif. Dengan begitu maka putusan MK sesungguhnya mengokohkan upaya consolidated democracy dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial dalam perspektif Trias Politica, yang bermuara pada pembentukan sistem pemerintahan berbasis strong state and strong society. MK telah memantapkan paradigma politik konstitusional melalui putusan Nomor 14/PUU-XI/2013karena dengan begitu semua pihak perlu menyadari di mana suatu pemerintahan yang baru hendaknya lahir melalui sebuah proses Pemilu yang jujur, dan adil. Dengan Pemilu serentak maka akan menegasikan mekanisme kerja rezim Pemilu secara akuntabel, dan mengingatkan kita arti pentingnya proses rekrutmen politik dan distribusi kekuasaan yang terukur secara konstitusional. Tidak ada pilihan lain dalam masa transisi Pemilu serentak, yakni hanya dengan memperkuat sistem konstitusi dan rezim Pemilu secara bersamaan 27
karena dua hal ini merupakan bagian penting dalam pengertian sebagai struktural institusional yang berperan aktif menghasilkan kepemimpinan nasional. Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan “judicial review” atau lebih tepat disebut sebagai “constitutional review” maka MK dalam kaitan putusanNomor 14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak sesungguhnya telah menempatkan prinsip-prinsip negara hukum atau negara yang berdasarkan konstitusional. Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013merupakan wujud dari implementasi penataan sistem pemerintahan demokrasi modern, yakni negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi (rule of law) yang secara otomatis mempertegas sistem pemerintahan berbasis separation of power yang dari nilainilai konstitusi mengandung makna memberikan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara dalam konteks menggunakan preferensi politik dalam pemilu yang merupakan bagian substansial dari hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Putusan MK terhadap permohonan pemilu serentak tidak hanya menjawab ketidakpastian hukum mengenai sistem pemilu atau “the constitutionalization of democratic politics” semata tetapi sekaligus mentransformasikan teori konvergensi dalam proses penataan sistem hukum ketatanegaraan kita dewasa ini. Putusan MK secara otomatis mentradisikan pemahaman konstitusional kita terhadap transformasi nilai-nilai keadilan dimana lembaga ini telah mentransformasikan dirinya secara kelembagaan dalam pengertian ‗court of law‘ dan sekaligus sebagai ‗court of justice‘, dimana pengertian„court of justice‟mengandung makna menjadi pengadilan keadilan dalam pengertian progresif dan substantif, yaitu tidak sekedar menegakkan konstitusi dalam arti formalistik dan prosedural (legal or constitutional rules) semata tetapi menegakkan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip berkonstitusi yang benar. Putusan MK ini juga setidaknya memberikan pengertian baru kepada semua stakeholders mengenai eksistensi lembaga ini tidak hanya dipahami sebagai „the sole interpreter of the constitution‟, saja dalam pengertian sempit tetapi lebih dari itu yaitu sebagai ‗the final interpreter of the constitution‟ atau penafsir terakhir konstitusi. MK telah mengokohkan nilai moral berkonstitusi(moral goodness) dan memberikan kesadaran baru serta pemahaman filosofis bagi kita semua mengenai pentingnya mengembangkan dan mempraktikkan norma hukum dan norma konstitusi dalam kehidupan bernegara karena konstitusi mengandung makna constitutional law, sekaligus mengandung makna norma etika konstitusi (constitutional ethics). Oleh sebab itu, memahami Putusan MKNomor 14/PUUXI/2013 tentang pemilu serentak dalam arti penguatan praktik kehidupan politik khususnya dalam Pemilu dan hak-hak konstitusional warga dalam pengertian source of law dan juga konstitusi menjadi sumber etika constitutional ethics 28
merupakan suatu hal yang utama. VII. KESIMPULAN Pemilihan umum merupakan salah satu metode konstitusional dalam rangka melakukan sirkulasi kepemimpinan di semua tingkatan bersifat formal prosedural. Pemilihan umum juga merupakan bagian dari prasyarat negara demokrasi, karena mayoritas negara di dunia menganut sistem demokrasi dan menggunakan pemilihan umum sebagai tolok ukur sistem pemerintahan demokratis. Pemilihan umum juga merupakan perwujudan dari pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan demokratis. Penyelenggaraan pemilu bersifat Luber dan Jurdil merupakan asas-asas pemilu yang harus ditegakkan. Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pemilu Serentak merupakan bagian dari putusan hukum dan konstitusi yang secara sosiologis memberikan pengertian dan kesadaran baru bagi kita semua untuk menempatkan nilai-nilai konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi dalam praktik ketatanegaraan kita khususnya dalam penguatan sistem pemerintahan presidensial kita. Putusan MK Nomor 14/PUUXI/2013 tentang Pemilu Serentak sejatinya dipahami dengan arif dan bijaksana dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pengertian pemilu demokratis. Pemilu demokratis secara otomatis menghasilkan pemimpinpemimpin bangsa yang baik. DAFTAR PUSTAKA Amal, Ichlasul, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, Edisi Revisi, 1998. Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta:UI Press, 1996. ---------, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Perspektif Baru tentang „Rule Of Law And Rule Of Ethics‟ & Constitutional Law And Constitutional Ethics‟ Jakarta: 2014. ---------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2007. Dahl, Robert,On Democracy, edisi terjemahan Bahasa Indonesia, Perihal Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Danadireksa, Hendarmin, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokus Media, 2007. Effendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001. Fauzi, Achmad, Abdillah, Tata Kelola Bernegara dalam Perspektif Politik, Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 2012. 29
Gaffar, Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999. Gatara, A.A. Sahid, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009. Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013. Kusnardi, Moh, dan Ibrahim, Harmaily, Pengantar HTN Indonesia, Jakarta: CV. Sinar Bakti, Pusat Study HTN Fakultas Hukum UI, 1988. Mahfud MD, Moh., Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, Yogyakarta: UII Press, 2000. ---------, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Press, 2012. Mainwaring, Scott, Presidentialism and Democracy in Latin America: Cambridge University Press, 1997. Manan, Bagir, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: Gama Media, 1999. Mu‘ti Muhammad, Ali Abdul, Filsafat Politik: Antara Barat dan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998. Pasek, Diantha, I Made, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan Dalam Demokrasi Modern, Bandung: Abardin, 1990. C.F. Strong, Modern Politicaal Constitutions - an Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Forms, 8th revised and enlarged edition (London : Sidgwick and Jackson Limited, 1972), Strong, C.F., Konsitusi-Konstitusi Politik Modern, Nuansa Nusa Media: Bandung, 2004. WEBSITE: http://www.jimly.com http://www.makahmahkonstitusi.go.id http://www.kemendagri.go.id/
30