Berbagi pengetahuan, memperluas kemitraan
perjalanan Masih panjang
P
emerintahan Presiden Joko Widodo telah menetapkan salah satu sasaran politik luar negeri Indonesia yakni “meningkatnya peran Indonesia dalam Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular”. Sasaran ini dapat dicapai dengan beberapa strategi kebijakan yang salah satunya adalah “pengembangan dan penguatan kapasitas dan kapabilitas lembaga yang menangani KSST”. Persoalannya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki satu entitas yang khusus menangani bantuan luar negeri sebagaimana halnya yang telah dimiliki oleh emerging countries lainnya. Selama ini bantuan kerja sama teknik melalui mekanisme Kerja Sama Selatan-Selatan ditangani oleh Tim Koordinasi Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular (Timkornas KSST) yang terdiri dari 4 kementerian yaitu Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara dan Kementerian Perencanaan Pem bangunan Nasional/Bappenas. Selama ini Timkornas KSST selain bertugas untuk mengembangkan kebijakan terkait dengan aspek kelembagaan, pendanaan serta monitoring dan evaluasi, tugas lain yang diembannya adalah mengkoordinasikan berbagai kegiatan peningkatan ka pasitas yang dilaksanakan
oleh kementerian/lembaga. Di tengah cekaknya anggaran, tidak dapat dipungkiri bahwa selama lima tahun terakhir Timkornas KSST dinilai berhasil dalam melaksanakan berbagai tugas yang harus dilaksanakan. Selesainya dokumen Rencana Induk dan Cetak Biru KSST Indonesia, terciptanya standard operating procedure pelaksanaan KSST Indonesia serta dokumen standar untuk melaksanakan evaluasi suatu kegiatan, merupakan beberapa capaian penting yang layak diacungi jempol. Bahkan pada pertengahan tahun 2014 Timkornas KSST melakukan perubahan struktur organisasi semakin menajamkan perannya dalam meraih visi yang diamanatkan kepadanya: Kemitraan yang Lebih Baik Untuk Kesejahteraan (Better Partnership for Prosperity). Persoalan kelembagaan harus diakui merupakan salah satu aspek penting untuk meningkatkan peran Indonesia dalam KSST. Organisasi yang memiliki struktur solid dan didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni serta anggaran yang mencukupi merupakan pilar utama dalam mewujudkan tercapainya sasaran yang diinginkan. Oleh karenanya Direktorat Kerja Sama Teknik sebagai salah satu ujung tombak pemberian bantuan teknik akan terus berupaya untuk membangun sebuah lembaga yang secara khusus menangani KSST. Meskipun anggaran untuk itu telah disiapkan, namun hal ini masih belum cukup. Masih dibutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan untuk mew ujudkan impian ini. Memang jalan masih panjang, tapi seribu langkah dimulai dari satu langkah .... semoga. Wicaksono
Edisi No. 3/September/2015 • Budir's Note.............................. 02 • Membangun Palestina Melalui Industri • Rumah Kedua........................... 03 Pariwisata.................................................. 06 • Menggagas Entitas Tunggal, • Mengenal Mapping Prioritas..................... 08 Mungkinkah?............................ 04 • Saudara Melanesia Indonesia.................... 10
• Menguak Ekonomi Mikroskopik....... 12 • Aceh Belajar Dari Pengalaman......... 14 • Apa Kata Mereka.............................. 16 Edisi No. 1/Juni/2014 Jendela 1
Budir’s Note
M
asih segar dalam ingatan sebuah momen saat saya masih gres ditugaskan sebagai plt Dir. KST. Pada salah satu rapat staf, sembari bercanda, saya katakan bahwa target yang ingin dicapai KST adalah mengadakan suatu kegiatan yang dibuka oleh Menlu. Target yang mungkin kurang terdengar ambisius, tetapi pada kenyataannya sejak didirikan pada tahun 2006, belum ada satupun kegiatan KST yang dibuka oleh Menteri Luar Negeri. Sungguh dapat dimengerti. Bagaimana tidak, kegiatan KST pada umumnya hanya melibatkan tidak lebih dari 15 orang peserta, sehingga tidak cukup alasan untuk meng undang seorang Menlu untuk hadir. Lembaga Menteri Luar Negeri terlalu besar untuk membuka kegiatan yang ruang lingkupnya kecil. Dari bincang-bincang dalam rapat staf muncullah ide untuk menggabungkan sejumlah kegiatan KST dalam sebuah forum yang bisa menjustifikasi kehadiran pimpinan tertinggi Kemlu. Alhamdulillah, target ini tercapai pada pada tahun 2012, pada saat Menlu Marty N. Natalegawa membuka Forum Kerjasama Selatan-Selatan (KSST). Yaitu Forum yang terdiri dari berbagai kegiatan, diantaranya Seminar, pembukaan 3 pelatihan, pameran kapasitas dan peluncuran buku Kapasitas Indonesia dalam KSST. Forum yang sama telah dilaksanakan sebanyak 3 kali (2012, 2013 dan 2015). Raising the bar. Tidak berpuas pada pencapaian satu target, kemudian ada kesepakatan bahwa target selanjutnya adalah Dit KST melaksanakan satu kegiatan yang dibuka oleh Presiden. Dan dilalah, pada awal Maret 2013, Dit KST mejadi penanggungjawab dari penyelenggaraan Konperensi Negara-Negara Asia Timur untuk Pembangunan Palestina (CEAPAD), yang dibuka oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan dihadiri oleh PM Palestina serta sejumlah Menteri Luar Negeri negara-negara Asia Timur. Rangkaian
pertemuan CEAPAD dinilai banyak kalangan berhasil dilak sanakan dengan lancar dan sesuai dengan yang diharapkan. Dan sejak itu pertanyaan “Now what?” kembali menge tuk pintu kaca kantor Dit. KST. Salah satu target yang pernah terlontar, namun kemudian harus dilupakan karena target ini bukan melulu di bawah kendali Dit. KST, adalah terbentuk nya Lembaga Tunggal pengelola KSST: Single Agency of Indonesia SSTC. Semacam InaAid atau IICA (Indonesian International Cooperation Agency) atau IAid (dibaca seperti IPhone). Target yang secara guyon menjadi alasan mengapa Dir. KST yang ini masih juga belum mendapat penugasan di post di luar negeri (?). Banyak faktor dan aktor, dan juga banyak kepentingan, yang terkait dalam rencana pembentukan lembaga tunggal KSST Indonesia. Namun wacana pembentukan lembaga ini semakin mengerucut akhir-akhir ini. Penambahan anggaran Dit. KST untuk tahun 2016 secara signifikan untuk pelaksanaan KSST diharapkan akan membantu percepatan pembentukan lembaga tunggal KSST Indonesia. Dalam persiapan pembentukannya, Dit. KST telah mencanangkan sejumlah kegiatan yang pada gilirannya nanti akan menjadi tugas dari lembaga tunggal ini. Mapping prioritas, misalnya. Melalui kegiatan ini, dihasilkan daftar prioritas negara-negara yang disusun berdasarkan sejumlah kriteria yang terkait dengan hubungan politik, ekonomi dan sosial budaya antara RI dan negara-negara yang telah mengajukan permintaan bantuan. Contoh lain: penyusunan database kegiatan-kegiatan KSST yang pernah dilaksanakan. Database ini dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan bagi pengguna untuk mengambil data yang diperlukan berdasarkan kebutuhan (negara, peserta, bidang, bentuk kegiatan, nara sumber/tenaga ahli, dll). Membukukan permintaan-permintaan yang masuk, juga adalah salah satu tugas yang akan diemban oleh lembaga tunggal Indonesia untuk KSST. Hal ini diperlukan karena dasar pemberian bantuan KSST Indonesia adalah demand driven. Prinsip ini perlu dipegang agar pemberian bantuan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan negara penerima dan impact dari pemberian bantuan dapat terukur. Namun masih banyak hal yang perlu disiapkan bagi terbentuknya InaAid/IICA/IAid. Dit KST dengan pertanyaan now what?-nya akan terus menggali hal-hal yang perlu disiapkan dan dilaksanakan untuk membidani kelahiran lembaga tunggal KSST Indonesia. Semoga sumbangsih Dit. KST dapat mempercepat kelahiran lembaga ini. Amin.
Susunan Redaksi Pembina: Dirjen IDP - Esti Andayani Penanggung Jawab: Direktur KST - Siti Nugraha Mauludiah Pimpinan Redaksi : M. Aji Surya Dewan Redaksi: Wicaksono, Nunung Nurwulan, Nico Adam, Rumondang Sumartiani Penyunting/Editor: Ary Adiati Desain Grafis: Evan Pujonggo Fotografer: Yustina Devanoni, Novi Fitmawati Sekretariat/Umum: Slamet Purdiyanto, Rudiyanto, Neti Rahmi
Dari desa Kiluúfi, Kepulauan Solomon, Bobby menempuh perjalanan hampir seribu kilometer menuju Ambon untuk mengikuti pelatihan di bidang perikanan. Tidak disangka, apa yang ia peroleh di Ambon menjadi salah satu pengalaman yang tak akan terlupakan oleh Bobby.
D
alam riuh keramaian Ambon, dengan rasa percaya diri melampaui tinggi monumen Martha Christina Tiahahu di tengah kota, Bobby melangkah tegap dan yakin di tanah yang baru diinjaknya sejak dua setengah bulan yang lalu. Dengan bahasa Indonesia sekedarnya, bercampur dengan aksen dan sedikit kosakata lokal, jika tak kenal siapa Bobby, semua yang bersua akan menyangka ia adalah putra daerah yang menghabiskan masa kecilnya dalam riak ombak teluk Ambon. Kenyataannya Bobby lahir di Kilu’ufi, desa yang bahkan sulit disebut dengan benar bagi kebanyakan orang tanpa menjerat lidah tepat pada tanda petik tunggalnya. Letaknya di tengah lautan Pasifik, di salah satu dari 992 pulau di Kepulauan Solomon, lebih dari 3.500 km jauhnya dari Ambon jika ditarik benang lurus. Namun benang yang lebih kuat menghubungkan keduanya adalah ras. Bobby memiliki paras tegas dengan kulit sawo matang dan rambut ikal sebagaimana khasnya seorang Melanesia berciri. Sejauh Kilu’ufi dan Ambon ia terbang menyeberang lautan hanya untuk menemukan bahwa kota tersebut adalah sebuah rumah bagi orang-orang seperti dirinya. Tak pelak Bobby tidak menemukan kesulitan menempatkan dirinya dalam lingkungan yang baru tersebut hingga berbuah rasa percaya diri yang tinggi. Di usia 19 tahun, Bobby menjadi salah satu dari tujuh anak Melanesia di Pasifik yang sebagian besar di antaranya mengenal Ambon sebagai pengalaman luar negeri pertama mereka. Beasiswa bersekolah di Sekolah Perikanan Waiheru - Ambon adalah tiket emasnya. Kesempatan itu diberikan kepada para siswa sekolah menengah dari Fiji, Vanuatu, serta Kepulauan Solomon untuk mengembangkan kapasitas mereka di bidang perikanan sejak 30 Oktober
dok. dit. kst
Rumah Kedua
hingga 16 Desember 2014. Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Waiheru Ambon, tempat dimana Bobby memperoleh pelatihan terdiri dari bberapa bangunan rendah yang terdiri dari satu atau dua lantai, beratap biru, dan bercat putih. Di dalam sekolah inilah, Bobby beserta peserta-peserta lainnya memperoleh pelatihan pengelolaan dan budidaya ikan. Para pengajar di sekolah ini sangat antusias berbagi ilmu dengan para peserta. Pertanyaan demi pertanyaan dari peserta pelatihan dengan sabar dijawab olehnya satu per satu. Tidak hanya teori, para peserta pun mendapatkan latihan praktek budidaya perikanan. Hasilnya, ketujuh anak Melanesia tersebut mengantongi sertifikat internasional keahlian perikanan sesuai bidang yang mereka minati. Sesuatu yang sulit didapat di negaranya. Kini ketika mendekati waktu untuk kembali ke tanah kelahiran masing-masing, tak satupun dari mereka merindu pulang. Ambon telah menjadi rumah kedua bagi mereka. Ambon mampu merangkul Pasifik. Walau hanya tinggal di Ambon selama kurang lebih satu setengah bulan, namun pelajaran berharga serta kehangatan masyarakat Ambon telah melekat di hati Bobby. “Di tempat ini saya memperoleh bukan cuma sebuah pelajaran biasa, tapi suatu keahlian. Keahlian yang bias saya manfaatkan di tempat asal saya. Sungguh suatu pengalaman yang berharga” tuturnya. Perikanan memang merupakan salah satu sektor penggerak roda perekonomian yang utama di Kepulauan Solomon. Lebih 75% tenaga buruh di negara ini melibatkan diri dalam bidang pertanian dan perikanan. Industri perikanan di Kepulauan Solomon juga menawarkan prospek untuk eksport dan perkembangan ekonomi dalam negeri. Dengan ilmu yang diperoleh dari pelatihan ini, Pemri sebagai penyelenggara mengahrapkan agar para peserta dapat terus mengembangkan budidaya perikanan di negara asalnya. Hal ini pula yang ada dalam benak Bobby seusai pelatihan. Dengan bertambahnya ilmu, dia berharap dapat mengembangkan suatu hal baru di bidang perikanan dan dapat membuat masa depannya lebih cerah. Akan tetapi, ada satu hal lagi yang ada dalam pikiran Bobby ketika hendak meninggalkan Ambon. Dalam langkah terakhirnya di sana, Bobby telah berketetapan untuk kembali ke kota yang memberinya keahlian perikanan dan pengalaman manis. Ambon Manise. Evan Pujonggo Edisi No. 3/September/2015 Jendela
3
MENGGAGAS ENTITAS TUNGGAL, MUNGKINKAH? Setelah lebih dari dua puluh tahun menjalankan praktek pemberian bantuan teknik, Pemerintah Indonesia saat ini telah sedikit demi sedikit merancang pembentukan sebuah entitas tunggal penyelenggaraan pemberian bantuan kapasitas. Tentunya, langkah ini perlu juga diketahui baik oleh Implementing Agencies maupun negara-negara sahabat yang selama ini menjadi mitra Indonesia dalam penyelenggaraan Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST). Oleh sebab itu, dalam South–South Cooperation Forum (SSC Forum) tahun 2015, Direktorat Kerja Sama Teknik (Dit. KST) mengajak seluruh stakeholder KSST Indonesia untuk dapat mendiskusikan persiapan pembentukan entitas tunggal dimaksud.
K
etika berbicara mengenai pemberian bantuan teknik, kebanyakan negara maju telah memiliki badan tersendiri yang mengelola isu tersebut, contohnya Amerika Serikat dengan USAID, Jepang dengan JICA, dan Jerman yang memiliki GIZ. Beberapa negara berkembang lain yang aktif dalam pemberian bantuan teknik juga telah membentuk badan serupa, misalnya Thailand dengan TICA ataupun Meksiko dengan AMEXCID. Lalu bagaimana dengan Indonesia yang sudah mulai memberikan bantuan pengembangan kapasitas sejak tahun 1980-an? Bukankah sudah saatnya untuk memiliki sebuah badan khusus seperti yang dimiliki negara-negara di atas? Hal inilah yang menjadi topik utama dalam SSC Forum tanggal 17 Maret 2015 lalu. Dengan mengusung tema “Growing Together through South-South Cooperation”, forum yang diselenggarakan Dit. KST tersebut menjadi wadah diseminasi informasi mengenai berbagai kebijakan Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS) Indonesia serta mempromosikan kapasitas sektor-sektor unggulan KSS Indonesia. Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, ketika membuka acara ini mengungkapkan, “Sesuai dengan RPJMN 2015-2019, saat ini fokus Kerjasama SelatanSelatan Indonesia adalah pembentukan one gate policy
foto-foto: dok. dit. kst
yang akan mengarah pada sebuah entitas tunggal dengan visi Better Partnership for Prosperity.” Beliau kemudian menambahkan, “Dalam mekanisme pembentukan entitas tunggal dimaksud, konsultasi rutin dan koordinasi harus dilakukan di antara semua pihak yang terlibat untuk mencapai transparansi.” Diskusi mengenai pembentukan single entity kemudian mengemuka pada sesi seminar acara ini. Para narasumber baik pemerintah maupun akademisi
4
Jendela Edisi No. 3/September/2015
masing-masing mengungkanpkan pandangannya mengenai kemajuan Kerja Sama Selatan-selatan Indonesia dan rencana dibentuknya badan khusus untuk menangani hal ini. Berawal dari pemaparan Deputi Pendanaan Pembangunan Bappenas, Wismana Adi Suryabrata, yang berjudul “Supporting the National
Development Policy through South-South Cooperation”, ditekankan perlunya mutual benefit dan tangible result yang dirasakan tidak hanya oleh negara-engara penerima bantuan, namun juga oleh mitra pembangunan dan Indonesia sendiri. Dengan adanya keuntungan yang diperoleh dari programprogram KSST, diharapkan akan timbul rasa kepemilikan dalam setiap kegiatan KSST yang dilaksanakan. Menyambung hal ini, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Esti Andayani, mengungkapkan, “Indonesia saat ini telah menempatkan dirinya sebagai salah satu pemain yang signifikan dalam membentuk agenda pembangunan global dan mempersempit kesenjangan pembangunan serta mendukung pembangunan berkelanjutan baik dalam forum regional maupun global. Terkait dengan hal ini, kebijakan Pemerintah Indonesia tentang KSST adalah menyiapkan dan memperkuat kerangka kerja Timnas KSST menuju single agency, sebagaimana diamanatkan oleh RPJMN 2015-2019.” Dipandang dari sisi akademis, Dr. Makmur Keliat, dosen dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia menyampaikan bahwa Indonesia memang sudah saatnya untuk memiliki badan tersendiri untuk mengatur kegiatan pemberian bantuan teknik dalam kerangka KSST, terutama untuk mengurangi berbagai kendala yang timbul karena pelaksanaan pemberian bantuan dilakukan oleh berbagai macam institusi yang terpencar-pencar. Dalam paparannya mengenai “The Path Forward for Indonesia’s SSC”, pria berkacamata ini menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pelaksanaan KSST,
diantaranya adalah belum adanya suatu badan khusus yang menjadi pintu pemberian bantuan teknik Indonesia sehingga pelaksanaan maupun pool of data KSST masih terpencarpencar. “Di masa depan, kami berharap dapat terbentuk sebuah Regional Based Single Institution, dimana institusi tersebut dapat mengumpulkan berbagai informasi kapasitas yang dimiliki negara-negara di kawasan tersebut sehingga dapat menghindari redundancy,“ ungkapnya. Pembahasan mengenai single agency ini nampaknya juga menarik perhatian para peserta asing yang hadir dalam SSC Forum. Banyak diantara para tamu asing ini adalah negara penerima ataupun mitra triangular Indonesia dalam pemberian bantuan teknik luar negeri. Palestina, yang merupakan salah satu negara prioritas penerima bantuan teknik Indonesia, dalam forum ini mengungkapkan apresiasinya kepada Kemlu sebagai vocal point pemberian bantuan teknik luar negeri. Hal ini diungkapkan secara langsung oleh Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Mehdawi, yang dalam kesempatan ini juga berpendapat bahwa Indonesia sudah saatnya membangun sebuah single agency. “Adanya sebuah entitas tunggal juga akan memudahkan para negara sahabat yang ingin bekerjasama dengan Indonesia dalam kerangka KSST,” tambahnya. Perwakilan dari European Union (EU) di Indonesia juga mengungkapkan hal serupa. “Kami mendukung dibentuknya entitas tunggal pelaksanaan KSST Indonesia.Akan tetapi, satu pertanyaan kami, bagaimana rencana struktur kelembagaan badan tunggal tersebut?” Menjawab hal ini, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik menyatakan bahwa Timnas KSST saat ini sedang mempersiapkan baik mekanisme, peraturan, maupun kelembagaan entitas tunggal tersebut. Adanya respon positif dari perwakilan berbagai organisasi internasional dan negara sahabat menandakan terbukanya jalan bagi Indonesia untuk terus mengembangkan KSST. Saat ini, pelaksanaan KSST Indonesia sendiri dikoordinir oleh 4 (empat) Kementerian yang tergabung dalam Tim Koordinasi Nasional Kerja Sama SelatanSelatan dan Triangular, yakni Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekeretariat Negara, serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Penyelenggaraan SSC Forum sendiri merupakan salah satu upaya Kemlu untuk terus mempromosikan kebijakan dan program-program KSST Indonesia kepada berbagai pemangku kepentingan. Selain penyelenggaraan seminar dan diskusi panel, penyelenggaraan SSC Forum juga menjadi wadah untuk mempromosikan kapasitas sektorsektor unggulan KSS Indonesia melalui Pameran Kapasitas Indonesia. Tahun 2015 merupakan kali ketiga Direktorat Kerja Sama Teknik menyelenggarakan SSC Forum setelah sebelumnya pernah diselenggarakan pada tahun 2012 dan 2013. Ary Adiati Edisi No. 3/September/2015 Jendela
5
Membangun Palestina Melalui Industri Pariwisata Wilayah Palestina dikenal sebagai wilayah yang kaya akan situs dan peninggalanpeninggalan sejarah keagamaan dari tiga agama terbesar di dunia. Namun, tidak memadainya fasilitas infrastruktur dan kurangnya kapasitas dari sumber daya manusia yang ada membuat pemerintah dan warga Palestina kesulitan untuk menjaga situs dan peninggalan bersejarah tersebut. Untuk itu, kali ini Direktorat Kerja Sama Teknik (Dit. KST), Kemlu, mengadakan program International Training Workshop on Tourism and Antiquties khusus untuk Palestina untuk dapat berbagi pengetahuan mengenai perawatan situs-situs peninggalan sejarah.
“L
dok. dit. kst
engket, lembab dan berdebu,” itulah kesan pertama yang keluar dari mulut Wiam Erikat dan Ohoud Loubadeh tatkala menjejakkan kaki di Jakarta. Keduanya merupakan peserta dari 16 peserta Workshop International Training Workshop on Tourism and Antiquties for Palestine. Nama Indonesia masih asing buat warga Palestina karena pengetahuan dan informasi mengenai Indonesia masih sangat minim. Ohoud Loubadeh sendiri pernah melakukan perjalanan paling jauh ke negara Asia yaitu ke negara Malaysia. “Aku pernah liburan ke
6
Jendela Edisi No. 3/September/2015
Kuala Lumpur, disana hiburan malamnya sangat hidup dan negaranya maju,” tuturnya. “Aku sama sekali tidak tahu mengenai Indonesia,” tambahnya lagi. Kemudian kesan terhadap Indonesia berubah menjadi kagum tatkala peserta berkeliling kota Jakarta dan mengetahui putra-putri Indonesia sendirilah yang membangun gedung-gedung pencakar langit yang memenuhi kota Jakarta. Wiam Erikat menyampaikan: “Sebagai bangsa yang masih belum merdeka, Palestina perlu contoh nyata pengalaman negara lain dalam membangun negaranya secara mandiri setelah kemerdekaan”. Pelatihan workshop di bidang pariwisata dan
kepurbakalaan yang berlangsung dari tanggal 6-11 April 2015 boleh dikatakan tergolong singkat mengingat banyaknya materi yang harus diserap oleh para peserta pelatihan, namun tidak membuat peserta pelatihan kehilangan waktu untuk menikmati kota Jakarta dan Bandung. Seusai mendapatkan materi di kelas, peserta mendapatkan kesempatan mengunjungi Mesjid Istiqlal, menikmati belanja barang merk ternama di Grand Indonesia dan mencicipi kuliner Indonesia bahkan peserta nekat keluar hotel pada dini hari guna memenuhi keingintahuan rasa “daging buah berduri” buah durian. Panitia pelatihan juga mengagendakan peserta untuk mengunjungi tempat wisata Taman Mini Indonesia Indah. Tak berbeda jauh dengan pengalaman pada saat di Jakarta. Pada saat di Bandung peserta pelatihan juga sangat menikmati keindahan dan sejuknya kota Bandung, menyusuri factory outlet sepanjang jalan riau, belanja grosiran di pasar baru dan oleh-oleh di Bandung Trade Center. Peserta juga sangat menikmati pertunjukkan musik dari Saung Angklung Mang Udjo dan yang paling mengesankan pada saat mengunjungi Dusun Bambu. Kilatan kamera dan decak kagum tak hentinya keluar dari mulut para peserta tatkala disuguhi pemandangan perbukitan dan lereng curam hijau, gemiricik air dan indahnya danau di Dusun Bambu. Saleh M. Hasasna, Bussiness Development Officer PADICO Tourism menyampaikan : “Pemilihan kota Bandung dan Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung dengan tenaga pengajar yang berkualitas merupakan salah satu keunggulan workshop yang sudah dirancang dengan cermat oleh panitia. Kami sangat berterimakasih dan menghargai bantuan yang telah diberikan oleh Indonesia,” ujarnya dengan mata berbinar penuh harapan. Direktorat Kerja Sama Teknik Kementerian Luar Negeri kali ini memberikan pelatihan pariwisata dan konservasi untuk Palestina berdasarkan demand driven dari Palestina yang masih memerlukan bantuan capacity building di bidang pariwisata dan konservasi/permuseuman. Palestina memiliki banyak situs sejarah dan keagamaan dari tiga agama besar, sehingga sudah seharusnya situs-situs sejarah tersebut dirawat dan dijaga. Selain itu, situs sejarah dan keagamaan yang mereka miliki merupakan wisata unggulan yang nantinya dapat dipasarkan dan mampu menarik banyak wisatawan mancanegara kedepannya. Sebagaimana disampaikan oleh Qasim Ali Abu Dayah yang berprofesi sebagai Tourist Guide: “Ada kebutuhan besar terhadap workshop seperti ini di Palestina”. Qasim memang sudah beberapa kali mengunjungi Indonesia dan fasih berbahasa Indonesia, ia pernah tinggal di Jogjakarta untuk belajar bahasa Indonesia. “Travel Agent Palestina masih memerlukan banyak pelatihan untuk menarik lebih banyak lagi turis muslim dan kristen untuk mengunjungi Palestina. Selain itu juga, kami butuh pelatihan dibidang pameran”, ujar pria bertubuh jangkung tersebut. Sampai saat ini Palestina belum memiliki museum dan
tenaga ahli dalam merawat budaya peninggalan sejarahnya. Diharapkan setelah mengikuti workshop ini, seluruh peserta Pelatihan dapat memiliki pengetahuan dan keahlian yang bisa diimplementasikan di negara asal mereka. Untuk memperkaya pengetahuan dan memperluas wawasan peserta, Pelatihan tidak hanya terdiri dari materi dikelas tetapi juga kunjungan ke beberapa museum dan praktek langsung. Majid Al Shawra salah satu peserta yang berprofesi sebagai project manager at center for cultural heritage preservation Palestina mengharapkan ada kesempatan lagi untuk mendapatkan pelatihan pada workshop yang lebih terfokus pada materi dan implementasi dari preservation dan restoration. Majid juga menyampaikan ketertarikannya untuk mengambil program master di UGM, Yogyakarta. Dengan bersemangat ia bercerita “Saya senang dapat belajar mengenai implementasi restorasi dalam workshop ini, tetapi semua terkendala oleh terbatasnya waktu Pelatihan”. Pendeknya waktu pelatihan juga disayangkan, Raed S, Bader pemilik Al Raed Travel Agency. Pria bertubuh tambun yang besar di Amerika serikat tersebut menyampaikan: “The workshop was great but with the travel time we need extra time to adapt”. Sambil memainkan tab yang selalu dia bawa, Raed menambahkan:” But we got a lot of information that we hope it will be very useful and will be put to good use when we got back home”. Sebenarnya Raed bermaksud memperpanjang kunjungannya di Indonesia dengan mengunjungi Bali untuk melihat pariwisata dan mengeksplor peluang bisnis di sana. Insting sebagai pengusaha di bidang pariwisata membuatnya berkeinginan untuk mengunjungi beberapa destinasi top pariwisata di Indonesia suatu hari kelak. Pengalaman mengesankan lainnya bagi peserta Pelatihan kali ini tentu saja saat mengunjungi Museum Konferensi Asia dan Afrika di Bandung. Melihat tempat tersebut, para peserta Pelatihan menyadari dukungan perjuangan dari Negara Asia-Afrika terhadap Palestina telah dimulai sejak 60 tahun lalu. Dr. Rajoob, salah satu peserta yang didaulat menjadi ketua oleh peserta lainnya, terlihat berkaca-kaca tatkala melihat foto Sheikh Mufti, yang merupakan perwakilan dari Palestina pada KAA tahun 1955, bersanding dengan kepala negara lain yang turut hadir pada konferensi tingkat tinggi tersebut. “Foto ini menunjukkan bahwa hubungan antara Indonesia dan Palestina sudah terjadi sejak lama,” Ujar Dr. Rajoob. Setelah menikmati keindahan pariwisata, kenikmatan kuliner dan beragam menariknya kesenian Indonesia, peserta pelatihan tak mau kalah dan ingin menampilkan tarian dan lagu khas Palestina “Kafiyeh” pada saat penutupan pelatihan di Restauran Nusantara Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, Pertunjukkan lebih meriah lagi saat peserta melibatkan Direktur Jenderal Amerika dan Eropa dan Direktur Kerja Sama Teknik, Kementerian Luar Negeri untuk ikut menari bersama. Novi Fitmawati Edisi No. 3/September/2015 Jendela
7
MENGENAL MAPPING PRIORITAS Menentukan kebijakan pemberian bantuan teknik bukan suatu hal yang mudah. Diperlukan koordinasi yang erat antar instansi-instansi yang terlibat di dalamnya untuk dapat mem formulasikan kebijakan yang tepat. Untuk itu, setiap tahun Direktorat Kerja Sama Teknik (Dit. KST), Kemlu, menyelenggarakan “Mapping Prioritas” dengan mengundang seluruh Kementerian terkait untuk berdiskusi mengenai arah kebijakan bantuan teknik di tahun berikutnya.
8
Jendela Edisi No. 3/September/2015
foto-foto: dok. dit. kst
T
idak biasanya Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA) ramai dikunjungi orang pada hari Senin. Seperti yang diutarakan Dede, staf yang bekerja di MKAA, hari Senin museum tersebut ditutup untuk umum. “Karena pengunjung biasanya datang waktu akhir pekan, jadi kami tutupnya hari Senin,” ujarnya. Namun, pada tanggal 23 Februari 2015, satu per satu orang terlihat memasuki museum dan duduk di ruang pameran. Tidak hanya itu, ruang pameran pun hari itu terlihat berbeda dari biasanya. Kursi-kursi berbalut kain putih berjejer rapi memenuhi sebagian besar ruang pameran. Meja buffet terlihat ditata dengan cantik di sebuah sudut di ruangan tersebut. Lampu-lampu menyala terang, menghidupkan suasana di dalam museum tua itu. Di depan barisan kursi berbalut kain putih, terpampang spanduk besar bertuliskan “Lokakarya Pemutakhiran Mapping Prioritas Negara Penerima Bantuan Teknik T.A. 2016.” Perlahanlahan, barisan kursi yang tadinya kosong, sedikit demi sedikit dipenuhi oleh orang-orang yang datang dengan mengenakan kemeja polos, batik, bahkan seragam kantor. Hari itu, Dit. KST memang tengah menyelenggarakan lokakarya “Mapping Prioritas”, sebuah istilah yang belum terlalu populer di kalangan Kemlu sendiri. Apa sebenarnya mapping prioritas? mapping atau pemetaan prioritas merupakan upaya yang dilakukan Dit. KST untuk menentukan arah kebijakan pemberian bantuan teknik Indonesia ke depan dengan didasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20152019. Melalui mapping prioritas inilah, Pemri menentukan kriteria-kriteria pemberian bantuan teknik Indonesia. Mapping prioritas diselenggarakan sebagai upaya koordinasi Kemlu baik dengan Kementerian anggota Tim Koordinasi Nasional Kerja Sama Selatan-Selatan lainnya (Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Sekretariat Negara) yang merupakan koordinator bantuan
teknik Indonesia, maupun dengan Kementerian/Lembaga teknik yang mengimplementasikan program-program bantuan peningkatan kapasitas. Koordinasi sangat diperlukan agar pemberian bantuan teknik Indonesia dapat selalu sejalan dengan kebijakan politik luar negeri negara ini. Tiap-tiap instansi pemerintah tidak bisa begitu saja bergerak sendiri dan memberikan bantuan kepada negara X atau negara Y tanpa didasari kriteria-kriteria yang jelas. Pemberian bantuan teknik kepada negara sahabat bukan lagi merupakan hal baru yang dilakukan Pemri. Seperti yang telah diketahui bersama, sejak tahun 1980an, Pemri telah aktif memberikan bantuan kerja sama teknik kepada negara-negara berkembang di wilayah Asia, Pasifik, Afrika, Timur Tengah, serta Amerika dan Eropa melalui kerangka Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST). Hal ini dilakukan sebagai pelaksanaan mandat Konstitusi. Menurut catatan Dit. KST, dari tahun 1999 hingga pertengahan 2015 Indonesia sedikitnya telah melaksanakan 423 program
pemberian kapasitas yang diikuti oleh sekurang-kurangnya 4957 peserta. Saat ini, Indonesia telah menjadi Middle Income Country dan Pemri terus menerima berbagai permintaan bantuan pengembangan kapasitas dari bermacam-macam negara di berbagai belahan dunia. Hal ini menunjukkan kepercayaan dan penerimaan komunitas internasional terhadap KSST Indonesia. Hingga saat ini, Dit. KST mencatat telah terdapat 304 permintaan bantuan pengembangan kapa sitas dari 42 negara. Melihat angka tersebut, dapat disimpul kan bahwa minat masyarakat internasional untuk melaksa nakan kerja sama teknik dengan Indonesia cukup tinggi. Namun demikian, menurut Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Esti Andayani, hal ini tidak boleh membuat Pemri cepat berpuas diri dan lengah. “Masih banyak tantangan yang harus kita hadapi bersama. Sebagai contoh, pada akhir tahun 2014 Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik melaksanakan survey di 132 Perwakilan RI di luar negeri untuk mendapatkan respon dari para pemangku kepentingan terkait persepsi citra positif Indonesia di negara akreditasi. Hasil survey tersebut menunjukkan terdapat 25,84% responden yang memberikan tanggapan negatif terhadap pernyataan bahwa Indonesia mulai dikenal sebagai negara donor dan mitra dalam kerja sama pembangunan internasional. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi kita semua untuk terus meningkatkan kontribusi Indonesia dalam kerja sama pembangunan Internasional dan tentunya didukung oleh anggaran yang memadai,” ungkapnya ketika membuka loka karya Pemutakhiran Mapping Prioritas beberapa waktu lalu. Lebih lanjut, mantan Direktur Kerja Sama Teknik tersebut menyampaikan bahwa saat ini anggaran untuk KSST Indonesia memang masih terbatas. Akan tetapi, dengan anggaran yang terbatas tersebut Pemri tetap dituntut untuk memperoleh manfaat yang maksimal. Oleh sebab itu pemberian bantuan pengembangan kapasitas Indonesia perlu dilaksanakan secara selektif dan terukur sehingga dapat memberi manfaat optimal. “Untuk mencapai hal inilah, maka Pemerintah Indonesia secara periodik menyusun daftar prioritas negara penerima bantuan teknik Indonesia berdasarkan kepentingan nasional yang sesuai dengan arah kebijakan politik luar negeri,” jelasnya. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, dalam lokakarya mapping prioritas ini, Kemlu mengumpulkan berbagai instansi dan lembaga pemerintah terkait dengan pemberian bantuan teknik untuk dilibatkan dalam sebuah proses inklusif untuk menentukan prioritas kebijakan pemberian teknik. Lokakarya ini merupakan sebuah wadah untuk dapat mengumpulkan seluruh instansi pemerintah yang terkait untuk kemudian berdiskusi secara langsung,
menyamakan persepsi, dan menentukan langkah pemberian bantuan teknik Indonesia untuk setahun ke depan. “Penentuan kebijakan kerja sama teknik Indonesia pada dasarnya berangkat dari permintaan atau demand yang datang kepada Pemri,” jelas Direktur Kerja Sama Teknik, Siti Nugraha Mauludiah. Hal ini sejalan dengan prinsip pemberian bantuan teknik Indonesia yakni demand-driven. “Berbeda dengan negara-negara donor yang merupakan negara maju seperti Amerika Serikat atau negara-negara Eropa, Indonesia memberikan bantuan berdasarkan permintaan yang masuk kepada Pemri. Dengan demikian, apa yang kita berikan kepada negara sahabat adalah memang apa yang memang mereka butuhkan,” ungkapnya. Para peserta yang berasal dari Kementerian dan Lembaga teknik berpendapat penyelenggaraan lokakarya ini sangat penting karena selain mereka dapat terlibat secara langsung dalam diskusi penentuan kebiajakan, lokakarya ini juga menjadi forum bagi mereka untuk menyurakan apa yang menjadi kendala di lapangan terkait implementasi bantuan teknik. Kepala Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari yang hadir dalam lokakarya tersebut mengungkapkan keinginannya untuk dapat mempromosikan kapasitas yang dimiliki BBIB SIngosari, “BBIB sudah memiliki kapasitas berdaya saing internasional. Namun media promosi kami masih terbatas dan hal ini sangat disayangkan. Setidaknya, kami perlu dukungan untuk promosi produksi unggulan Indonesia pada pameran internasional.” ujarnya. Perwakilan dari Pusat Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Pertanian juga sempat mengutarakan pendapatnya mengenai perlunya dibentuk sebuah entitas tunggal untuk menangani KSST. “Single agency harus dibentuk untuk mempermudah penganggaran bantuan teknik Pemri. Jika sudah ada single agency, kementerian teknis tinggal mengajukan proposal kegiatan dan pelaksanaan kegiatannya,” jelasnya. Tidak hanya kementerian teknis, Kemlu sendiri juga menerima berbagai manfaat dari penyelenggaraan lokakarya ini. Unit regional khususnya sangat dilibatkan dalam penentuan prioritas bantuan teknik Indonesia sebab unit regional Kemlu merupakan pihak yang memiliki informasi detail mengenai hubungan luar negeri Indonesia dengan berbagai negara berkembang lainnya di kawasanAsia, Pasifik, Afrika, Timur Tengah, serta Amerika Selatan dan Karibia. Informasi mengenai dinamika politik luar negeri Indonesia di berbagai kawasan menjadi salah satu dasar penentuan prioritas pemberian bantuan teknik Indonesia ke depan. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan penyelenggaraan kerja sama teknik Indonesia yakni untuk menciptakan hubungan yang lebih baik dengan negara-negara sahabat. Ary Adiati Edisi No. 3/September/2015 Jendela
9
Saudara Melanesia Indonesia "Berbagai upaya penguatan kerjasama ekonomi melalui pengelolaan perbatasan dan kerjasama peningkatan kapasitas masing-masing merupakan suatu langkah yang sangat tepat dalam rangka meningkatkan dan mempererat hubungan baik antara Indonesia dengan negara-negara pasifik dan negara anggota MSG lainnya. Dengan kerja sama yanga ada diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi masing-masing negara sehingga tujuan kerjasama bilateral tersebut dapat tercapai secara optimal”
K
awasan Pasifik Selatan memiliki arti penting bagi politik luar negeri RI yang tak lain adalah negara tetangga terdekat dan adanya kesamaan etnis dan budaya Melanesia antara masyarakat di kawasan Indonesia Timur dan negara-negara Pasifik Selatan seperti Papua Nugini, Fiji, Solomon Islands dan Vanuatu. Kedua hal tersebut merupakan modalitas dalam mengupayakan peningkatan kerja sama melalui capacity building yang diharapkan nantinya akan semakin meningkatkan people to people contact antara Indonesia dan negara Pasifik Selatan dimaksud. Tetapi tentu saja, kebijakan luar negeri Indonesia terhadap kawasan Pasifik Selatan tidak boleh hanya untuk memperkuat secara
10
Jendela Edisi No. 3/September/2015
politik, tapi juga memberikan keuntungan kepada daerah secara ekonomi untuk memberantas kemiskinan. Dari segi demografis, posisi Indonesia yang terutama dikarunia sedikitnya tiga wilayah waktu, tidak sepenuhnya merupakan bangsa dan negara Asia Tenggara. Indonesia bukan hanya negara bangsa terbesar dari rumpun Melayu di Asia Tenggara. Bahkan Indonesia adalah negara bangsa Melanesia terbesar di dunia bukan Papua Nugini, Fiji, Kaledonia Baru, maupun Nauru. Tercatat bahwa jumlah masyarakat etnis Melanesia di Indonesia mencapai sekitar 9 sampai 11 juta orang yang terkonsentrasi di 5 Propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.
dok. dit. kst
Meskipun begitu, banyak negara di Pasifik Selatan yang masih menganggap bahwa Indonesia bersikap diskriminatif terhadap warga Melanesia terutama di Papua. Isu Papua senantiasa mewarnai hubungan Indonesia dengan negaranegara di kawasan Pasifik Selatan. Untuk itu, Indonesia aktif menggunakan forum-forum regional yang ada di Kawasan Pasifik Selatan, seperti Melanesian Spearhead Group (MSG), Southwest Pacific Dialogue (SwPD), Pacific Islands Forum (PIF), dan Coral Triangle Initiatives (CTI), sebagai salah satu jalur untuk berdiplomasi menyampaikan kondisi sebenarnya kepada negara-negara Pasifik. Dari sisi ekonomi, pasar non-tradisional di Kawasan Pasifik Selatan dipandang belum menjanjikan karena jumlah penduduknya yang sangat kecil, hanya 8 juta jiwa dengan pendapatan per kapita yang juga sangat rendah (tidak termasuk Australia dan New Zealand), ditambah lagi Konektivitas dari Indonesia ke Kawasan Pasifik Selatan masih belum berkembang. Kiranya kurang berkembangnya perekonomian negara-negara di Pasifik dapat dimanfaatkan sebagai peluang bagi produk-produk dan tenaga kerja terampil Indonesia, khususnya untuk bekerja di sektor industri, pariwisata, konstruksi dan jasa lainnya (misalnya tenaga insinyur, tenaga spa, teknisi dan dosen). Di bidang sosial dan budaya, saat ini negara-negara di Pasifik Selatan menjadi prioritas pemberian KST. Indonesia mempunyai skema pemberian beasiswa yang dinamakan “Dharmasiswa” dan skema beasiswa lainnya (Kerjasama Selatan-Selatan). Skema ini setiap tahunnya mempunyai kapasitas intake 5000 beasiswa dan sampai saat ini belum digunakan secara maksimal. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah peminat masih dinilai minim di Kawasan Pasifik, hal ini mengindikasikan bahwa peran dan keberadaan Indonesia masih perlu ditingkatkan di kawasan tersebut. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengalokasikan USD 20 juta untuk bantuan capacity building bagi negara-negara Pasifik, periode 2015 – 2019 seperti yang telah disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan Pacific Islands Development Forum (PIDF) bulan Juni 2014.
Nah, untuk mendorong realisasi nyata peningkatan kerja sama bilateral Indonesia dan negara –negara di kawasan Pasifik Selatan, Menteri Luar Negeri RI telah melakukan kunjungan kerja ke 3 (tiga) negara Pasifik Selatan yaitu Papua Nugini, Solomon Islands dan Fiji pada tanggal 27 Februari -1 Maret 2015. Kunjungan Menlu RI merupakan kunjungan kerja pertama ke Pasifik Selatan dengan agenda agar lebih meningkatkan konektivitas Indonesia di kawasan Pasifik serta mendorong penguatan kerja sama bilateral dan people to people contact. “Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait lainnya bahu membahu untuk mengidentifikasi berbagai capacity building yang yang berdasarkan demand driven bagi negara Pasifik Selatan. Dalam waktu dekat Pemerintah RI akan mengirimkan tim asesmen yang akan bertugas untuk mengidentifikasi pelatihan capacity building,“ kata Menlu RI, Retno L. Marsudi. Tercatat bahwa potensi peningkatan kerja sama capacity building dengan negara-negara Pasifik Selatan yang diperoleh pada saat kunjungan delegasi Menlu RI pada ketiga negara tersebut, yaitu tata pemerintahan, kerja sama kelautan, kerja sama olah raga dan pemuda, kerja sama ecotourism, kerja sama lingkungan dan konservasi, dan kerja sama pendidikan / beasiswa. Dalam kesempatan kunjungan kerja Menlu RI, Pemerintah Indonesia telah menyumbangkan 3 (tiga) set mesin pengolah kerajinan kerang yang terdiri atas 3 unit mesin potong dan 3 unit mesin bor. Pemberian mesinmesin dimaksud merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan Training on Women Empowerment for MSG Countries di bidang pengolahan hasil laut dan kekerangan yang telah dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI bekerjasama dengan P2MKP Permata Sari pada tanggal 28 April – 2 Mei 2014 di Bali. Sebagai informasi, hingga tahun 2014, Pemerintah RI telah memberikan 224 capacity building untuk negaranegara Pasifik Selatan dan mayoritas penerima bantuan KST tersebut berasal dari PNG (148 peserta), Solomon Islands (33 peserta), Fiji (542 peserta), Vanuatu (35 peserta), Palau (23 peserta), Tuvalu (9 peserta) dan Tonga (19 peserta). Indonesia dan kawasan Pasifik Selatan memiliki peran penting untuk membentangkan jembatan kerja sama antara kawasan Asia dan Pasifik Selatan. Jembatan tersebut tentunya harus berdiri di atas fondasi yang kokoh, layaknya hubungan persahabatan antara dua insan, yakni dengan komunikasi dan komitmen. Seperti pepatah mengatakan “Seeing is Believing “ semoga saja ke depan hubungan komitmen dan komunikasi antar Indonesia dan negara kawasan Pasifik Selatan akan semakin intens. Harapan bahwa dengan banyaknya saling kunjung pejabat dan masyarakat baik dari Indonesia maupun masyarakat negara kawasan Pasifik Selatan dapat terus berkembang menjadi hubungan kerja sama yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Neti Rahmi Edisi No. 3/September/2015 Jendela
11
Menguak Ekonomi Mikroskopik Indonesia saat ini telah mampu mengembangkan teknologi inseminasi buatan yang unggul dan diminati pasar internasional, yakni teknologi semen beku sexing. Berbeda dengan teknologi sexing milik Jepang, teknologi sexing yang dikembangkan Indonesia memiliki keunggulan ekonomis tersendiri. Keahlian dalam bidang ini kemudian menjadi salah satu ilmu yang seringkali dibagikan kepada saudara-saudara kita dari sesama negara berkembang.
B
anyak dari masyarakat Indonesia mengenal bahwa ilmu ekonomi dibagi ke dalam dua cabang ilmu, yaitu Ekonomi Makro dan Ekonomi Mikro. Seorang pakar ekonomi makro akan berbicara tentang kebijakan pemerintah, inflasi, pasar keuangan dan tenaga kerja, serta pertumbuhan ekonomi. Sementara ekonomi mikro lebih mengobservasi pada skala yang lebih kecil seperti perilaku konsumen, produksi dan harga, atau mekanisme pasar. Bagaimana jika Direktorat Kerja Sama Teknik (Dit. KST) mengajukan sebuah hipotesa baru bahwa ekonomi dapat dipelajari pada skala yang jauh lebih kecil lagi? Apabila ekonomi makro menganalisa perilaku negara atau masyarakat dan ekonomi mikro mempelajari perilaku individu, maka Dit. KST melakukan observasi terhadap perilaku sperma dalam konteks ekonomi. Dit. KST menyebutnya Ekonomi Mikroskopik.
Memaksimalkan Produksi Pada tanggal 16 - 29 Maret 2015, bersama dengan Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari - Kementerian Pertanian, Dit. KST menyelenggarakan pelatihan peningkatan kapasitas bertajuk “International Training on Sustainable Livestock Farming through the Strengthening of Artificial Insemination” dan mengundang sebanyak 12 peserta dari Kamboja, Laos, Timor Leste, dan Indonesia. Dengan motto “Setetes Mani, Sejuta Harapan”, BBIB Singosari telah menjadi salah satu center of excellence bagi pemberian bantuan kerja sama teknik Indonesia di bidang teknologi inseminasi buatan. Inseminasi buatan menjadi sangat populer di antara negara-negara berkembang karena erat kaitannya dalam mendukung ketahanan pangan nasional suatu negara. Kualitas produksi seekor ternak dapat ditingkatkan melalui
12
Jendela Edisi No. 3/September/2015
kontrol dalam proses pembuahan ternak itu sendiri. Itulah sebabnya sperma yang tepat berperan penting dalam menentukan nilai ekonomi yang dihasilkan. Cara paling mudah meningkatkan produksi ternak tentunya dengan memilih sperma dari jenis pejantan unggulan. Ternak lokal yang memiliki nilai ekonomi rendah dapat dikawinkan dengan sperma pejantan kelas unggulan untuk menghasilkan peranakan ternak campuran yang lebih baik. Sebelum diambil spermanya pejantan kelas unggulan yang dipilihpun harus dirawat secara intensif untuk menghasilkan benih yang berkualitas. Pejantan tersebut diberi pakan pilihan bernutrisi tinggi, perawatan kesehatan dan kebersihan secara berkala, bahkan olah raga secara rutin. Di samping pemilihan pejantan yang berkualitas, inseminasi buatan juga dapat meningkatkan produksi ternak dengan mengurangi kemungkinan kawin acak dengan ternak yang memiliki kekerabatan dekat. Tahukah anda bahwa semakin dekat kekerabatan antara dua sapi yang dikawinkan, maka peranakan yang dihasilkan akan memiliki kualitas dan nilai ekonomi yang lebih rendah? Sapi yang dihasilkan
dari perkawinan dengan kekerabatan dekat akan memiliki produksi daging dan susu yang lebih rendah serta rawan lahir dengan cacat. Teknik-teknik semacam inilah yang dipelajari oleh para peserta untuk memaksimalkan produksi ternak sehingga dapat menghasilkan nilai ekonomi yang lebih tinggi.
yang didapatkan Indonesia ke depan akan sangat tinggi apabila dapat menguasai pasar penjualan semen beku dunia. Itulah sebabnya Indonesia tidak ragu untuk menawarkan pemberian bantuan di bidang inseminasi buatan kepada negara-negara yang membutuhkan.
Ekonomi dalam Perbandingan Kualitas dan Tingkat Produksi yang Tepat
Permintaan dan Penawaran Bisa Sama-sama Menguntungkan
foto-foto: dok. dit. kst
Jelas bahwa melalui inseminasi buatan negara-negara yang menerima pelatihan peningkatan kapasitas dari Indonesia dapat meningkatkan perekonomian di negaranya masing-masing, khususnya di bidang peternakan. Itulah sebabnya banyak permintaan dari negara-negara sahabat untuk dapat dilatih dalam pengembangan teknologi tersebut. Namun apa manfaatnya bagi Indonesia sebagai
pemberi bantuan? Apalagi mengingat nilai ekonomi yang didapat oleh negara-negara tersebut, apakah Indonesia dapat memperoleh manfaat secara ekonomi juga? Jawabannya adalah ya. BBIB Singosari sebagai institusi yang sangat maju dalam teknologi inseminasi buatan di samping telah berhasil memproduksi sperma beku dengan kualitas terdepan di dunia internasional juga berhasil memproduksi sperma beku dalam jumlah yang melebihi kebutuhan lokal. Dengan memanfaatkan pemberian bantuan pelatihan kepada negaranegara sahabat, BBIB Singosari juga melakukan promosi serta membangun jaringan pasar bagi semen beku produksi Indonesia. Para peserta yang melihat langsung proses dan penanganan kualitas produksi di Balai akan mendapatkan impresi bahwa sperma beku yang dihasilkan merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Strategi penjualan dengan memberikan bantuan pelatihan kepada negara yang menjadi target utama pasar semen beku sudah terbukti menjadikan negara tersebut bergantung pada impor dari Indonesia. Keuntungan ekonomi
Apabila melihat kembali ke belakang, teknologi inseminasi buatan yang dimiliki Indonesia saat ini sesungguhnya juga diperoleh melalui pemberian bantuan kerja sama teknik dari negara lain. Jepang memberikan transfer teknologi serta beberapa fasilitas untuk mendukung pengembangan inseminasi buatan di Indonesia. Setelah sekian tahun, saat ini Indonesia mampu menjadi negara pemberi bantuan kerja sama teknik serupa, bahkan jauh lebih maju daripada gurunya. Salah satunya dalam teknologi semen beku sexing, yang juga diperoleh dengan belajar kepada Jepang. Semen beku sexing adalah semen beku yang telah dimodifikasi sedemikian rupa agar menghasilkan ternak dengan jenis kelamin tertentu sesuai yang diinginkan. Hal ini penting untuk mengatur agar kawanan ternak yang dihasilkan lebih mudah dikontrol sehingga tidak terjadi perkawinan antar kerabat. Teknologi sexing Jepang dapat menghasilkan akurasi hingga 99% namun dengan kapasitas produksi sangat rendah yaitu 5 unit produksi per hari. Akibatnya harga per unit semen beku menjadi sangat mahal. Peluang ekonomi inilah yang kemudian dimanfaatkan Indonesia. Setelah melakukan penelitian dengan mempelajari teknologi dari Jepang, BBIB Singosari berhasil memproduksi semen beku sexing dengan tingkat akurasi sebesar 68 - 81% namun dapat diproduksi dalam jumlah masal hingga ribuan unit per hari. Meskipun memiliki kualitas yang lebih rendah, namun diimbangi dengan biaya produksi yang jauh lebih rendah, ternyata semen beku sexing Indonesia diminati oleh pasar karena sangat terjangkau. Dengan mengorbankan kualitas produksi sehingga menekan biaya produksi, suatu produk dapat memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan produk dengan kualitas terbaik. Berbanggalah Indonesia bahwa metode yang dikembangkan oleh BBIB Singosari ini dilirik oleh Perancis dan Jepang. Teknologi tersebut sedang dalam proses pengajuan hak paten sehingga Indonesia dapat memperoleh manfaat ekonomi yang maksimal. Melihat kemajuan yang terus dikembangkan oleh BBIB Singosari, sepertinya ke depan akan lebih banyak lagi pelajaran ekonomi yang ditawarkan dari kelas Ekonomi Mikroskopik ini. Evan Pujonggo Edisi No. 3/September/2015 Jendela
13
ACEH BELAJAR DARI PENGALAMAN “Aceh telah porak poranda karena tsunami, namun Aceh tidak pernah menyerah. Kini Aceh semakin bersinar karena semua yang telah terjadi menjadi pelajaran yang sangat berharga. Aceh telah bangkit dan siap menata masa depan”
M
asih teringat jelas di ingatan kita bagaimana tsunami telah meluluh lantah k an sebagian besar Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pagi itu, 26 Desember 2004, tsunami telah mem porak-prandakan Aceh. Gempa berkekuatan 9.1 skala Richter tersebut mengguncang dasar laut di barat daya Sumatra, sekitar 20 sampai 25 kilometer lepas pantai yang lalu disusul oleh gelombang tsunami dari gempa tersebut yang mencapai daratan Afrika. Terjangan tsunami itu telah membuat sedikitnya 126.761 orang meninggal dunia, 93.285 hilang, 25.572 terluka, dan 125.572 orang kehilangan tempat tinggalnya. Namun, itu sepuluh tahun yang lalu. Aceh kini telah berbeda. Tak dapat dipungkiri bila Aceh yang sekarang turut dibangun oleh bantuan yang telah diberikan baik oleh donor nasional maupun internasional. Lebih dari 140 ribu bangunan baik rumah, klinik kesehatan, sekolah dan bangunan penunjang lainnya telah berdiri di Aceh. Jalan raya, jembatan dan semua sarana fisik lainnya telah juga turut serta dalam perkembangan Aceh.
14
Jendela Edisi No. 3/September/2015
Banda Aceh, kota yang terkena dampak yang paling parah pada 2004 kini telah menjadi salah satu pusat untuk kegiatan politik, ekonomi, sosial dan budaya di pulau Sumatra. Pasar Aceh selalu ramai pembeli, warung kopi selalu dipenuhi oleh para pengunjung dan Aceh juga telah menjadi salah satu destinasi wisata baik bagi turis domestik maupun mancanegara. Tsunami 2004 tak pelak paling memukul dua bidang perekonomian daerah yaitu perikanan dan pariwisata. Gempa dan terjaman gelombang pada saat itu turut menghancurkan sejumlah infrastruktur penunjang usaha perikanan seperti tambak dan juga objek pariwisata seperti jalan dan penginapan di sepanjang garis pantai. Kemajuan di bidang pariwisata bisa dikatakan merupakan salah satu bidang yang mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini tercermin dari jumlah wisatawan mancanegara (wisman) datang ke Aceh yang hanya berkisar 10 ribu wisman pada 2010 menjadi 15 ribu
foto-foto: dok. dit. kst
pada tahun 2014. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, tahun 2015 untuk periode bulan Januari sampai Maret saja jumlah wisman telah mencapai angka 7.390 orang atau meningkat sebanyak 9,7 persen dari 6.732 orang pada tahun 2014 di periode yang sama. Wisman yang berkunjung ke Aceh memang masih didominasi oleh wisman dari negara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura, diikuti oleh Amerika, China, Australia dan Perancis. Beberapa obyek wisata di Aceh telah menjadi destinasi utama para wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Selain tujuan wisata utama seperti Pulau Weh dengan keindahan pantai Sabangnya, pariwisata Aceh juga menarik perhatian para wisatawan dengan obyek wisata bertema Tsunami. Salah satunya adalah Museum Tsunami yang dibangun pada tahun 2009. Museum hasil rancangan Ridwan Kamil ini dibangun untuk memperingati keganasan bencana Desember 2004 itu. Museum ini cukup menyedot perhatian para wisatawan bukan hanya dikarenakan design yang menarik namun juga dikarenakan museum ini menyimpan kenangan akan tsunami Aceh. Selain Museum Tsunami, Aceh juga menarik minat para pelancong dengan kenangan atas bencana tsunami 2004. PLTD Apung dan Kapal Gampong Lapulo juga menjadi saksi kedasyatan bencana tsunami, yang kini telah beralih fungsi sebagai tempat tujuan wisata. Paska Tsunami, masyarakat Aceh telah membuka diri mereka untuk meningkatkan perekonomian lokal khususnya di bidang pariwisata. Salah satunya adalah wisata di Pulau Tuan. Wisata di pulau ini dikelola oleh komunitas masyarakat lokal. Tidak hanya untuk pariwisata, pulau ini juga turut melestarikan dan membudidayakan terumbu karang sebagai salah satu banteng alami untuk mencegah tsunami. Seperti halnya pariwisata di Aceh, masyarakat Aceh sendiri juga berusaha untuk kembali menjalani kehidupan mereka. Mereka mulai menata kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Tidak bisa dipungkiri apabila mereka masih mempunyai kenangan buruk tentang becana Tsunami 2004, namun mereka berusaha untuk maju. Mereka juga telah
melakukan persiapan dibidang kebencanaan. Pembangunan beberapa gedung evakuasi serta adanya gudang logistik diharapkan dapat membantu masyarakat Aceh agar lebih siap dalam menghadapi kiranya ada bencana serupa. Pengalaman masyakat Aceh pada bencana Tsunami dan keberhasilan mereka untuk kembali bangkit berdiri telah menjadi salah satu aset penting di bidang kebencanaan. Pembangunan berbagai infrastruktur penunjang penanggulangan bencana dan juga tingkat kewaspadaan masyarakat akan bencana telah menjadi hal yang paling berharga untuk masyarakat Aceh. Pengalaman inilah yang menjadi modal bagi masyarakat Aceh pada khususnya dan Indonesia pada umumnya untuk menjadi pemain di garis depan pada isu penanggulangan bencana serta pengurangan resiko kebencanaan. Pengalaman inilah yang dicoba dibagi oleh masyarakat Aceh dan juga Universitas Syiah Kuala bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan USAID Indonesia dalam International Training on Disaster Risk Management for IORA Member and Southern American and the Caribbean Countries pada 25 Mei sampai dengan 4 Juli 2015. Dalam pelatihan yang diikuti oleh 12 peserta dari Sri Lanka, Uni Comoros, Tanzania, Mozambique, Madagaskar, Saint Vincent and the Grenadines, dan Indonesia ini, Pusat Penelitian Tsunami dan Mitigasi Kebencanaan Universitas Syiah Kuala membagi pengalaman dan pengetahuan mereka tentang pengurangan resiko kebencanaan khusunya tsunami. Para peserta pelatihan tersebut diajak untuk berdiskusi dengan tema kebencanaan seperti coastal hazards, mitigasi bencana, mekanisme penanganan bencana, community resilience dan pemetaan bencana. Selain itu para peserta juga diajak untuk melakukan tinjauan lapangan seperti mengun jungi Museum Tsunami, Pulau Tuan, PLTD Apung, Pantai Layeun dan Pantai Lapuuk guna melihat secara langsung dampak bencana tsunami 10 tahun yang lalu serta pening katan ekonomi, sosial dan budaya paska bencana tersebut. Pelatihan tersebut diselenggarakan dalam rangka memperingati 10 tahun bencana Tsunami yang melanda beberapa negara di kawasan Laut Hindia dan juga sebagai salah satu bentuk dukungan Keketuaan Indonesia pada forum Indian Ocean Rim Association I (IORA) untuk periode tahun 2015-2017. Selama berlangsungnya pelatihan ini, Kementerian Luar Negeri, USAID Indonesia dan Universitas Syiah Kuala mendorong keterlibatan masyarakat Aceh baik untuk berbagi pengalaman tentang bencana Tsunami 2004 juga untuk berbagi pengalaman tentang bagaimana membangun kembali kehidupan setelah bencana tersebut. Masyarakat Aceh juga telah berhasil menunjukan kesiapan mereka dalam rangka mengurangi tingkat resiko bencana khususnya Tsunami dengan persiapan fisik seperti infrastruktur juga mental seperti sikap waspada. Yustina Devanoni Edisi No. 3/September/2015 Jendela
15
Abeer Ahmad Zeyad,
Archeology Director Palestine Liberation Organization (PLO)
Apa Kata Mereka? Berikut merupakan testimoni dari beberapa peserta International Training Workshop on Tourism and Antiquties for Palestine 2015.
Materi mengenai Museum, Bahasa Indonesia dan Arkeologi sangat penting untuk diberikan dalam Workshop on Tourism berikutnya mengingat materi-materi tersebut sesuai dengan kebijakan dan isu pembangunan negara Palestina.
Saleh M.S. Hasasna,
Business Development Officer
Saya berharap kami memiliki lebih banyak materi bagaimana mengaplikasikan teori yang kami pelajari selama pelatihan dalam workshop tourism ini kedalam dunia nyata usaha.
Wiam Iriqat,
Head of PR and Culture Dept. Jericho Municipality
Memang selama Workshop Pariwisata ini tidak ada action plan yang harus kami kerjakan, namun workshop ini memberikan banyak ide dan rencana yang berkembang di benak saya dan akan saya terapkan sekembalinya saya ke Palestina.
Direktorat Kerjasama Teknik, Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Jl. Taman Pejambon 6, Jakarta, Telp 021-3849350, Fax 021-3813087 Email
[email protected]