“PEMERINTAH DAN PELAKSANAAN HAM DI DAERAH” Sidarto Danusubroto Anggota Dewan Pertimbangan Presiden disampaikan di : Festival HAM 2016 yang diselenggarakan oleh International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) dan Komnas HAM Bojonegoro, Jawa Timur Rabu, 30 November 2016
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh, Om Swastiastu Selamat Pagi, Salam Sejahtera untuk kita semua Pertama‐tama, saya mengajak, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kita, sehingga dapat bertemu pada acara ini dalam keadaan sehat walafiat. Hadirin yang saya hormati, Saya berbahagia dan bangga bisa hadir di sini, dalam rangka kegiatan Festival HAM 2016 yang diselenggarakan oleh INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) dan Komnas HAM. Secara garis besar, saya ingin membicarakan mengenai komitmen Presiden Joko Widodo dalam menjaga dan melindungi Hak Asasi Manusia serta bagaimana keterhubungan antara model human right cities dengan refleksi dari cita‐cita pendiri bangsa. Saya mengapresiasi INFID yang telah berinisiatif melaksanakan kegiatan Festival HAM 2016 ini sehingga saya berharap pada akhirnya partisipan dalam forum ini tidak saja memiliki pengetahuan kognitif, tetapi juga kemampuan untuk mentransfer pengetahuan tersebut menjadi bekal 1| H a l a m a n
praksis untuk mendesain sebuah kabupaten atau kota yang ramah terhadap HAM. Tentu saja sesuai dengan nilai‐nilai kebangsaan yang tertuang dalam Pancasila. Hadirin yang berbahagia, Ide besar mengenai HAM mulai coba diterjemahkan ke ruang lingkup yang lebih kecil, yaitu di skala lokal, pada kurang lebih sekitar satu dasawarsa terakhir. Gagasan mengenai perlindungan dan penghormatan HAM tidak saja bergerak di tingkat negara, tetapi didorong untuk berjalan hingga ke tingkat lokal. Salah satunya melalui konsep kota ramah HAM yang awalnya diinisiasi oleh pemerintah kota metropolitan Gwangju di Korea Selatan sejak tahun 2007. Hal tersebut mendapat gaung yang senada ketika Perserikatan Bangsa‐Bangsa (PBB) pada tahun 2013 mengeluarkan resolusi tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam upaya penghormatan dan perlindungan HAM. Inisiatif ini kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan untuk mengaplikasikan model kabupaten atau kota yang ramah HAM di berbagai tempat di seluruh dunia. Pada dasarnya, gerakan kota ramah HAM ini bertujuan agar pemajuan dan perlindungan HAM ini nilai‐nilainya dapat terlembagakan dalam proses sosial‐politik di tingkat lokal, tidak saja dalam bentuk institusi formal tetapi juga dalam habitus kehidupan masyarakat secara berkelanjutan. Sejauh ini belum terdapat proses transfer nilai HAM yang konkrit dari level negara ke dalam lokalitas yang memiliki konteks yang khas tetapi justru bersinggungan langsung dengan kehidupan warga negara sehari‐hari. Padahal proses perlindungan terhadap HAM justru relevan ketika kita bicara dalam ruang lingkup lokal. Bagaimana misalnya pemerintah dan elemen stakeholders mampu melindungi kelompok rentan dan marjinal dalam ruang publik yang 2| H a l a m a n
dijumpai sehari‐hari. Karena itu, kemudahan dan pemerataan distribusi atas akses seluruh warga negara terhadap hak dan kebutuhan dasar, termasuk bagi kelompok rentan dan marjinal, harus dapat dijamin hingga ke tingkat yang paling bawah/lokal. Hal ini menjadi penting agar orientasi dan arah pembangunan nasional sebuah bangsa tidak semata hadir untuk mengejar pertumbuhan di tingkat makro saja, sementara pada saat yang bersamaan meningkatkan ketimpangan sosial, segregasi sosial dan spasial, serta memperburuk kemiskinan dan keterkucilan sosial (social alienation). Oleh sebab itu, model kabupaten/kota ramah HAM ini menjadi penting untuk diperkenalkan dan menjadi narasi yang perlu diarusutamakan mulai saat ini. Pembangunan kota yang ramah HAM bersandar pada beberapa prinsip dasar. Prinsip‐prinsip tersebut antara lain: 1. Menghormati dan menjujung tinggi kebebasan bagi segenap warga Kota dalam memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Menghormati dan menjujung tinggi nilai‐nilai kemanusiaan dengan menolak segala bentuk diskriminasi, stigmatisasi, penyiksaan dan perlakuan sewenang‐wenang yang merendahkan harkat, martabat dan derajat manusia. 3. Menghormati keberagamaan suku, ras, budaya, adat istiadat, dan pandangan politik dari segenap warga Kota dalam bingkai Bhineka Tuggal Ika. 4. Menghormati hidup dan kehidupan segenap warga Kota, dan menghentikan segala bentuk konflik dan perselisian yang terwujud tindak kekerasan di antara sesama warga Kota 5. Melindungi dan memenuhi hak‐hak dasar dan politik maupun hak‐hak ekonomi, social dan budaya, sebagaimana diatur dalam konstitusi dan perundang‐undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia. 6 Memenuhi hak‐hak masyarakat adat, para penyandang cacat (disable), anak‐ anak, dan perempuan berdasarkan prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi. 3| H a l a m a n
7. Melindungi dan memenuhi hak‐hak para korban pelanggaran HAM yang selama ini terabaikan, terutama hak atas kebenaran, keadilan, dan jaminan kondisi serupa tidak terulang. 8. Menghormati, melindungi, dan mengajak warga
Kota
untuk
turut
berpartisipasi
dan
berkontribusi
dalam
pembangunan Kota, baik di bidang sipil dan politik, maupun di bidang ekonomi, sosial dan budaya demi pemerintahan Kota yang baik, bersih, jujur, berwibawa, aksesibel dan akuntabel. 9. Melindungi dan memajukan kehidupan seni budaya, kearifan lokal, dan segala bentuk kekayaan hayati yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Kota. 10. Menaati segala bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum, sebegai bentuk penegakan, pemajuan, dan pembangunan HAM.
Ibu dan Bapak yang saya hormati, Bagaimana dengan Indonesia? Kita mengenal bahwa secara makro, negara kita telah mengalami transisi dari fase otoriter menuju era demokrasi yang mana salah satu pilarnya adalah penghargaan dan perlindungan terhadap HAM. Menurut saya, Indonesia saat ini telah mengambil arah yang tepat dalam hal pemajuan HAM di negara kita. Sedikit
berkaca
pada
sejarah,
sejak
sebelum
kemerdekaan
diproklamirkan perjuangan membela hak asasi telah menjadi sebuah kesadaran melalui salah satu tokoh yang terkenal pada saat itu, yaitu R. A. Kartini. Beliau dengan semangatnya memperjuangkan hak‐hak kaum perempuan agar bisa memilki hak dan akses terhadap kebutuhan dasar yang lebih baik. Sementara itu, pada pemerintahaan Presiden Soekarno proses pengakuan HAM untuk warga negaranya juga telah diakomodasi dalam 4| H a l a m a n
Konstitusi dan dasar negara Pancasila. Dalam ruang yang lebih konkrit, pada masa itu telah ada kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan dan juga kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Hal ini sejalan dengan janji kemerdekaan Bangsa Indonesia dimana negara harus mewujudkan tujuan sesuai amanat Konstitusi UUD 1945, yaitu: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (janji perlindungan), dan untuk memajukan kesejahteraan umum (janji kesejahteraan), mencerdaskan kehidupan bangsa (janji pendidikan), dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (janji ketertiban). Sejumlah realitas sejarah tersebut menjadi bukti bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang sejak semula dan memang seharusnya menghargai dan melindungi hak asasi manusia. Selaras dengan hal tersebut, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memiliki komitmen yang kuat dalam penghormatan dan perlindungan HAM kepada seluruh warga negara. Garis besar strategi Presiden Jokowi yang tertuang dalam Nawacita telah jelas menyebutkan hal itu pada butir pertama yang berbunyi, “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara,” serta poin nomor lima yang menjelaskan tentang peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. Hal tersebut ditegaskan kembali oleh Presiden Jokowi pada saat menyampaikan pidato peringatan hari HAM sedunia di Istana Negara pada tanggal 11 Desember 2015. Beliau juga menjelaskan bahwa pemerintah daerah memiliki peran yang sangat penting untuk mewujudkan perlindungan dan pemajuan HAM. Termasuk ketika Presiden Jokowi telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2015‐2019 5| H a l a m a n
yang memberi payung terhadap agenda perlindungan HAM hingga di tingkat pemerintah daerah. Ini menjadi dorongan bagi siapapun bahwa negara Indonesia memiliki landasan yang lebih dari cukup, baik dari realitas sejarah maupun dari instrumen hukum, untuk terus menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Yang diperlukan adalah bagaimana modal yang telah dimiliki tersebut dapat diimplementasikan dalam kebijakan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Sungguh pun demikian, kita perlu mengakui bahwa proses melindungi HAM warga negara ini dalam praktiknya tidak selalu berjalan mulus. Akan tetap ada sejumlah kelompok atau kekuatan, baik di tingkat negara atau di level masyarakat, yang tidak mau berkomitmen terhadap perlindungan dan penghormatan HAM, bisa melalui tindak kekerasan, diskriminasi, atau intoleransi. Oleh karena itu, menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama untuk terus mengawal dan mengarusutamakan HAM dalam setiap aspek kehidupan.
Para hadirin sekalian, Pertanyaan besarnya adalah mengapa perlu gerakan di tingkat lokal dalam mewujudkan kabupaten/kota ramah HAM? Di lingkup global, telah terdapat proses pembelajaran betapa pentingnya pelibatan pemerintah dan masyarakat lokal dalam mewujudkan sebuah cita‐ cita besar. Dalam refleksi bersama PBB, banyak kalangan yang mengakui bahwa sejumlah target Millenniumn Development Goals (MDGs) gagal dicapai akibat lemahnya partisipasi pemerintah dan masyarakat di tingkat lokal. Berdasarkan pengalaman ini, daya dukung dan keterlibatan aktor‐ aktor di level lokal justru menjadi faktor penting dalam menentukan 6| H a l a m a n
keberhasilan sebuah program yang dicanangkan secara global atau pun nasional. Pada tingkat lokal, konsep dan gagasan mengenai HAM menjadi sebuah aktualisasi yang paling riil atas pengakuan sebuah negara terhadap nilai‐nilai tersebut. Tidak mungkin suatu negara dianggap berhasil dalam penghargaan HAM jika dalam kehidupan sehari‐hari warganya masih dijumpai infrastruktur yang tak ramah terhadap kaum difabel, kesulitan akses terhadap hak dan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, atau pun adanya perilaku diskriminatif terhadap kaum minoritas. Ide besar mengenai HAM itu perlu ditarik garis turunan, menyambung hingga ke tingkat yang paling bawah. Sebagaimana visi besar dalam konstitusi harus berhasil diterjemahkan ke dalam aksi nyata di kehidupan publik. Di sinilah pemerintah daerah memiliki peran yang sangat penting karena mampu bertindak
sebagai
pelaksana
langsung
di
lapangan
yang
mampu
meminimalkan jarak antara cita‐cita dengan tindakan. Realisasi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia harus didukung oleh komitmen, sumber daya, dan sumber dana pemerintah daerah. Dan mewujudkan hal tersebut akan menjadi sulit jika kapasitas individual dan kelembagaan pemerintah di daerah tidak siap. Tentu saja dalam hal ini pemerintah pusat dan kelompok masyarakat sipil tetap bertanggung jawab untuk melakukan peningkatan dan pengembangan kapasitas pemerintah daerah dalam mewujudkan human right cities. Salah satunya melalui Festival HAM 2016 yang diselenggarakan oleh INFID sebagai wujud nyata untuk mentransfer skill dan pengetahuan pelaksanaan HAM di daerah. Diharapkan terdapat sebuah model pengorganisasian kehidupan wilayah kota/kabupaten dan masyarakat yang berkelanjutan berdasar prinsip‐prinsip keadilan sosial, martabat, solidaritas, dan keberadaban. Ini 7| H a l a m a n
dapat langsung diterapkan oleh pemerintahan daerah melalui perbaikan pelayanan publik dan menjaga kebhinnekaan dalam kehidupan sosial masyarakat. Banyak hal yang bisa dilakukan, perbaikan tata kota yang ramah bagi seluruh kalangan adalah salah satunya, misalnya ketersediaan infrastruktur untuk kaum difabel dan pedestrian (pejalan kaki), serta fasilitas publik lainnya. Perlu juga merancang sebuah kota/kabupaten yang aman bagi seluruh warga, terutama perempuan dan anak‐anak. Banyak sekali hal yang bisa dilakukan dan kita tidak perlu melakukan seluruhnya dari awal atau reinvent the wheel. Yang bisa dilakukan antara lain dengan belajar dan melihat dari sejumlah negara maju di dunia yang memiliki tata kota yang sangat humanis dan berkelanjutan (livable and sustainable cities). Saya mengucapkan selamat kepada seluruh kabupaten/kota yang telah berkomitmen untuk mewujudkan model ramah HAM di masing‐masing daerahnya. Saya berharap, kehadiran model kabupaten/kota ramah HAM ini tidak hanya berhenti pada bentuk seremonial dan adanya pembentukan lembaga formal seperti Dinas HAM atau hal semacamnya saja, namun yang lebih penting adalah kemampuan untuk menginternalisasikan nilai‐nilai perlindungan dan pemajuan HAM oleh aparatur negara dan seluruh komponen masyarakat dalam kehidupan sehari‐hari. Pekerjaan rumah kita masih banyak yang harus diselesaikan. Tujuannya utama model kota ramah HAM ini adalah agar setiap aparatur pemerintahan, kelompok masyarakat, dan individu mampu memiliki kesadaran dan akhirnya mempunyai kebiasaan positif (habitus) sehari‐hari yang senantiasa menghormati dan melindungi HAM seluruh warga negara Indonesia yang terwujud pada konsep dan desain wilayah, perbaikan pelayanan publik, non‐diskriminatif, non‐kekerasan, dan akses terhadap pemenuhan hak dasar yang adil dan 8| H a l a m a n
beradab. Jika ini berhasil diwujudkan maka pemerintah mengambil peran utamanya dalam memenuhi janji kemerdekaan yang tercantum dalam UUD 1945. Sebaiknya dalam model kota ramah HAM ini ada semacam tolok ukur (benchmark) yang menjadi acuan bagi upaya monitor pelaksanaan kabupaten/kota ramah HAM, baik pusat dan daerah, dan di kelompok masyarakat. Upaya mendefinisikan tolok ukur ini harus dilaksanakan melalui dialog intensif yang melibatkan berbagai pihak (stakeholders). Tolok ukur atau indikator keberhasilan human right cities harus mampu mencerminkan upaya mewujudkan target yang tidak boleh kaku dan statis, melainkan dinamis dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan akuntabilitas publik terhadap pemerintahan di daerah yang berkomitmen terhadap hal ini. Kedua, kita tidak bisa mewujudkan suatu kabupaten/kota ramah HAM dengan berpikir menggunakan pendekatan sektoral. Tanggung jawab untuk mewujudkan hal ini sangat kompleks dan tidak mungkin dapat diselesaikan oleh satu sektor saja, misalnya Kementerian Hukum dan HAM, dan atau di tingkat lokal melalui pembentukan sebuah dinas HAM. Kita semua harus mengadopsi pendekatan yang lebih komprehensif dalam hal ini karena banyak komponen yang perlu dilibatkan untuk mewujudkan kabupaten/kota ramah HAM. Dalam pemikiran saya, perlu ada semacam model pendekatan kolaboratif yang memungkinkan lintas kementerian dan aktor privat serta masyarakat sipil bergabung dan bekerja bersama di dalamnya. Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, sektor privat, dan kelompok masyarakat sipil, dan sebagainya bisa berkontribusi dan bertanggung jawab bersama dalam hal ini. 9| H a l a m a n
Tak lupa dalam kesempatan ini saya ingin mengapresiasi beberapa inisiatif pemerintah daerah dalam mewujudkan kota ramah HAM. Salah satunya adalah Kabupaten Bojonegoro, dengan sejarah konflik yang dimulai sejak zaman Majapahit, dengan pemicu politisasi agama dan etnis yang rentan terjadinya pelanggaran HAM. Namun sejak Pak Suyoto menjadi Bupati Bojonegoro, mulai terdapat titik awal penyadaran akan pentingnya penegakan HAM dengan metode mendekati berbagai komponen di masyarakat, mengumpulkan lembaga agama dari pelbagi pihak serta membuka ruang dialog antar‐tokoh agama dan masyarakat. Hal tersebut ditunjukan dengan peresmian pendirian Gereja Bethany di Jalan Sawunggaling Kota Bojonegoro pada Bulan Maret 2015 yang perijzinannya terkatung‐katung sekitar 25 tahun silam. Sikap Kang Yoto, sapaan akrab Bupati Bojonegoro yang gemar berbagi pada umat juga ditunjukkan kepada anak‐anak pengungsi Etnis Rohingya, Myanmar. Ketika itu, Bupati menyatakan siap mengasuh lima hingga 10 anak‐anak pengungsi etnis Rohingya, yang berada di Aceh Timur, Aceh Utara, dan Kota Langsa, pada pertengahan Mei 2015 lalu, lebih karena persoalan kemanusiaan. Selain itu, perlindungan hak kelompok minoritas yang dijalankan pemerintah kabupaten Wonosobo. Kabupaten Wonosobo adalah kabupaten yang memiliki komunitas Ahmadiyah terbesar yakni sejumlah kurang lebih 6000 pengikut. Hak mereka dalam berkeyakinan dilindungi oleh pemerintah kabupaten. Tak ada insiden kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah terjadi di Kabupaten Wonosobo. Selanjutnya apa yang dilakukan oleh mantan walikota Rusdi Mastura. Pak Rusdi pada tahun 2012 lalu telah mengajukan permintaan maaf kepada korban peristiwa 1965. Hal itu dilakukannya murni berdasarkan alasan kemanusiaan. Bagi beliau, para korban peristiwa 1965/1966 harus dipulihkan hak‐haknya agar mereka 10| H a l a m a n
dapat berkontribusi maksimal bagi pembangunan awal Kota Palu. Saya berharap apa yang dilakukan pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Wonosobo, Kota Palu dan Kota‐kota Ramah HAM dapat ditiru oleh pemerintah kota/kabupaten lainnya.
Hadirin yang saya muliakan, Selanjutnya pada bagian ini saya ingin mengajak kita semua untuk merenungkan kembali mengenai nilai‐nilai yang terdapat dalam Pancasila. Bagi saya, Pancasila adalah refleksi nilai‐nilai kemanusiaan yang memiliki esensi amat luhur. Bahkan, bangsa kita sudah jauh lebih mengakui pentingnya penghormatan dan perlindungan terhadap kemanusiaan sebelum deklarasi HAM dilahirkan pada tahun 1948. Dalam bayangan saya, HAM dalam nilai dasar Pancasila tidak saja berisi kebebasan dasar tetapi juga berisi kewajiban dasar yang melekat secara kodrati. Hak dan kewajiban asasi ini tidak dapat diingkari dan menjadi dasar berbangsa dan bernegara. Maka nampak sekali bahwa konsep hak asasi yang berlaku di Indonesia adalah penjabaran dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab dan disemangati oleh sila‐sila lainnya dari Pancasila. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia di setiap silanya terkandung makna yang melindungi HAM warga Indonesia. Pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai makna seseorang bebas untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing‐masing, kemudian sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” bermakna bahwa setiap orang berhak untuk diperlakukan sama dan dipandang sama didepan hukum, dan persamaan derajat antar manusia haruslah ditegakkan, sila ketiga “Persatuan Indonesia” yang memiliki makna adanya unsur pemersatu yang dilandaskan dengan semangat gotong royong dan rela berkorban, serta 11| H a l a m a n
menempatkan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi ataupun golongan, sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” berarti bahwa adanya unsur untuk menyelesaikan masalah secara musyawarah dan mufakat, sehingga melindungi kepentingan dan hak berpendapat tiap‐tiap pihak, serta terakhir pada sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang berarti menjunjung tinggi keadilan demi kepentingan umum dan menghapuskan diskriminasi dan pembedaan antar individu. Sebagai suatu sistem nilai Pancasila bagi bangsa Indonesia memiliki keunikan/kekhasan,
karena
nilai‐nilai
Pancasila
mempunyai
kedudukan/status yang tetap dan berangkai. Keunikan ini disebabkan, karena masing‐masing sila tidak dapat dipisahkan dengan sila lainnya. Kekhususan ini merupakan identitas bagi bangsa (negara) Indonesia. Pancasila membangkitkan kesadaran akan dirinya atas pengembangan tanggung jawab pribadi terhadap kehidupan masyarakat dan sebaliknya, disamping juga menimbulkan kesadaran dan kemauan untuk lebih proporsional dalam mengenalkan kepentingan individu dengan kepentingan yang lebih besar lagi, agar tercipta keseimbangan, keselarasan dan keserasian kehidupan masyarakat atas dasar kesadaran moral dan hukum yang berlaku. Karena itulah, saya ingin mengajak kepada semua pihak agar dalam mengaplikasikan pelaksanaan HAM di daerah, kita mengambil hikmah serta meneladani sejarah para pemimpin bangsa sembari tidak melupakan karakter dan jati diri bangsa Indonesia. Bung Karno selalu mengajarkan kepada kita tentang “Jasmerah”, jangan sekali‐kali melupakan sejarah, never leave history, bahwa republik ini didirikan oleh para pejuang dan pendiri bangsa yang telah mengorbankan masa mudanya untuk Indonesia merdeka. 12| H a l a m a n
Indonesia yang berdasar Pancasila dan kita menjunjung tinggi nilai‐nilai kemanusiaan dan menghargai satu sama lain sebagai insan yang bebas dan merdeka, tetapi tetap dalam bingkai sebuah bangsa yang berkeadilan dan beradab dengan kesadaran bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat sebagai makhuk Tuhan Yang Maha Esa. Terima kasih atas perhatian para hadirin sekalian. Semoga kita semua selalu dalam limpahan rahmat Allah SWT.
Wassalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua Om Santi, santi, santi Namaste
13| H a l a m a n