PEMBUATAN KEPUTUSAN DAN PERENCANAAN PENDIDIKAN A. Pembuatan Keputusan Sepanjang hidupnya manusia senantiasa dibenturkan pada pilihan-pilihan atau alternatif dan pembuatan keputusan. Hal ini sejalan dengan teori real life choice, yang menyatakan dalam kehidupan sehari-hari manusia melakukan atau membuat pilihanpilihan di antara sejumlah alternatif yang ada. Pilihan-pilihan tersebut biasanya berkaitan dengan alternatif dalam penyelesaian masalah yakni upaya untuk menutup terjadinya kesenjangan antara keadaan saat ini dan keadaan yang diinginkan. Pembuatan keputusan merupakan salah satu fungsi administrasi yang penting dalam suatu organisasi. Proses pembuatan keputusan bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Hal ini telah mengundang banyak para ahli untuk memikirkan cara atau tehnik pembuatan keputusan yang paling baik. Pengambilan keputusan memainkan peranan penting setelah pembuatan keputusan terutama bila manajer menjalankan fungsi perencanaan. Pembuatan keputusan dan pengambilan keputusan merupakan bagian integral yang saling berkaitan dalam
peroses
administrasi.
Perancanaan
menyangkut
keputusan-keputusan
sangat
penting dan jangka panjang yang dapat dibuat manajer. Dalam organisasi manajer memutuskan tujuan-tujuan organisasi yang akan dicapai, sumber daya- sumber daya yang akan digunakan, dan siapa yang kan melaksanakan setiap tugas yang dibutuhkan. Berikut akan disampaikan mengenai pembutan konsep, proses dan pendekatan dalam pembuatan keputusan. 1. Konsep Pembuatan Keputusan Pembuatan keputusan adalah aspek yang penting dari kegiatan manajemen. Pembuatan keputusan dalam Salusu (2002: 45) merupakan kegiatan sentral dari manajemen (Perrone, 1968), merupakan kunci kepemimpinan (Gore, 1959) atau inti dari kepemimpinan (Siagian, 1988), sebagai suatu karakteristik yang fundamental (Moore, 1966), sebagai jantung administrasi (Mitchell, 1978), suatu saat kritis bagi tindakan administrasi (Robbins, 1978). Bahkan Higgins (1979) dalam Salusu (1996: 45)
melanjutkan
bahwa
pengambilan
keputusan
adalah kegiatan yang paling
pentingdari semua kegiatan karena didalamnya manajer terlibat, dan menurut Hoy dan Miskel (1987) dalam Salusu (2002: 45), itu merupakan pertangungjawaban utama dari semua administrator melalui suatu proses tempat keputusan-keputusan dibuat dan dilaksanakan.
Robin Hughes (Salusu, 2002: 45) dalam Discision Making berkesimpulan bahwa karena pembatan keputusan terjadi dalam semua bidang dan tingkat kegiatan serta pemikiran manusia, maka tidaklah mengherankan bila begitu banyak disiplin yang berusaha menganalisis dan membuat sistematika dari seluruh proses keputusan. Keputusan (decision) oleh berbagai ahli dalam memberikan pengertian berarti pilihan (choice). Pilihan tentu terdiri atas dua hal atau lebih kemungkinan yang nantinya akan dipilih. Namun, yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah bahwa pilihan-pilihan tersebut bukanlah pilihan antara yang benar dan salah, melainkan pilihan yang “hampir benar” dan yang “mungkin salah” hal ini disampaikan oleh Drucker (1990) dalam buku (Salusu, 2002: 51). Dalam makna keputusan, pilihan secara lebih dipertajam dinyatakan sebagai “pilihan nyata” yang berarti bahwa keputusan dibuat untuk mencapai suatu tujuan dan ia merupakan keadaan akhir dari suatu proses pengambilan keputusan. Hal ini juga dipertegas oleh pendapat Morgan dan Cerullo (1984) dalam buku (Salusu, 2002: 51) yang mendefenisikan keputusan sebagai “sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah dilakukan pertimbangan, yang terjadi setelah satu kemungkinan dipilih, sementara yang lain dikesampingkan. Jika keputusan adalah hasil akhir atau dinyatakan sebagai kesimpulan yang siap untuk dilaksanakan, maka pengambilan keputusan bisa dikatakan sebagai proses berupa serangkaian kegiatan/tindakan yang dilakukan dalam memilih dari alternatif yang ada dalam menghasilkan keputusan. Serangkaian kegiatan atau tindakan tersebut juga harus memiliki pendekatan yang ilmiah dan teruji yang dalam hal ini kembali terjadi proses pemilihan dalam penggunaan pendekatan sebagai upaya pengambilan keputusan. Hal ini senada dengan pendapat Sondang P. Siagian (1988) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat. Satu hal yang perlu ditekankan menurut Drucker, 1967; Hoy, 1978 (Salusu, 2002: 48) adalah bahwa pengambilan keputusan bukan hanya terpaku dan selesai dengan adanya keputusan saja, tetapi keputusan itu satu paket dengan tindakan sehingga dengan dilakukan suatu pemilihan terhadap alternatif yang ada tetapi tidak dilaksanakan tidaklah dinamakan sebagai keputusan melainkan hanyalah sebagai hasrat atau niat baik. Tujuan
dari pembuatan keputusan adalah manajer dapat mengarahkan
pencapaian tujuan organisasi secara lancar, mudah, efektif dan efisien. Selain itu dalam implementasi program yang sedang dijalankan pembuatan keputusan berperan
untuk mencari dan menyelesaikan pemecahan masalah atas kendala yang dihadapi organisasi (yang efektif sering dilihat kontradiktif). Hirarki pembuatan keputusan Management Decision making Leadaership
Choosing
Hirarki diatas menjelaskan bahwa seorang pembuat keputusan dihadapkan pada masalah-maslaah yang sedang dihadapi organisasinya. Dari masalah-masalah tersebut selaku manajer perlu mencari alternatif-alternatif pemecahan masalahnya. Setelah memiliki alternatif pemecahannya manajer mengambil keputusan berdasarkan kepemimpinan yang dibawanya demi kepentingan proses manajemen yang ada di organisasinya 2. Proses Pembuatan Keputusan Proses pembuatan keputusan yang akhirnya berujung kepada pengambilan keputusan
di
kutip
dari
bahan
ajar
Suryadi,
meliputi
beberapa
langkah
masalah-masalah.
Langkah
pokok.diantaranya a. Identifikasi masalah Keputusan
diperlukan
untuk
memecahkan
pertama yang harus dilakukan oleh pembuat keputusan adalah masalah-masalah apa saja yang harus diputuskan. Menurut Peter Drucker, seorang eksekutif yang efektif tidak membuat keputusan untuk setiap masalah. Masalah yang harus mendapat perhatian adalah masalah-masalah mendasar yang mempunyai dampak luas dan menyeluruh bagi anggota dan bagi organisasi. Masalah-masalah ini disebut dengan “generic problems”. Masalah biasa tidak perlu diputuskan oleh eksekutif, tapi cukup oleh pimpinan tingkat yang lebih rendah berdasarkan aturan organisasi yang berlaku. Identifikasi masalah generik ini tidak perlu ditunjang
oleh data yang lengkap, sebab bila data yang lengkap harus terkumpul dahulu, maka tidak akan ada suatu keputusan. Keputusan dapat dimulai dari judgment rasional dari seorang pemimpin. b. Perumusan tujuan Tujuan apakah yang harus dicapai melalui pemecahan suatu masalah? Asumsi dasar untuk setiap keputusan adalah bahwa suatu keputusan dibuat oleh seorang pemimpin untuk mencapai tujuan tertentu. Ini berarti tidak hanya masalah yang dipecahkan saja yang perlu jelas, tapi juga tujuan yang akan dicapainya harus labih jelas lagi. Kejelasan tujuan ini diperlukan sebagai pedoman untuk menentukan pilihan-pilihan keputusan yang paling tepat untuk suatu masalah. Keberhasilan suatu keputusan ditentukan oleh “apakah tujuan yang sudah ditetapkan itu akhirnya dapat dicapai atau tidak”. Tujuan untuk masalah-masalah yang generik harus dirumuskan secara umum dan mendasar, yang kemudian diterjemahkan kedalam tujuan-tijuan yang lebih operasional yang disebut dengan objektif. Setiap objektif perlu pula dijabarkan kedalam target-target baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Suatu “decision tree” perlu dikembangkan sehingga jangkauan dampak dan lingkup suatu keputusan dapat diketahui dengan jelas. c. Identifikasi Alternatif Solusi Alternatifsolusi atau pemecahan untuk suatu masalah sangat penting karena setiap
masalah tidak
mungkin dipecahkan hanya oleh suatu cara
pemecahan saja. Alternatif-alternatif ini diperlukan untuk sampai kepada pilihan keputusan yang tepat dengan resiko yang sangat minimal. Identifikasi alternatif solusi ini ditentukan oleh: latar belakang pendidikan, pengalaman hidup, tingkat kecerdasan, kemampuan antisipatif, kemampuan berfikir kedepan, imaginasi, citacita, kreativitas, dan kemampuan untuk melihat secara jeli setiap resiko dan dampak serta peluang yang mungkin diciptakan oleh suatu alternatif keputusan tertentu. d. Penentuan Kriteria Pemilihan Alternatif Solusi Kriteria suatu alternatif pemecahan sangat sulit dikembangkan secara pasti, karena sangat bergantung kepada kondisi dan visi pembuat dan pelaksana keputusan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Namun demikian kriteria umum dapat diungkap seperti dibawah ini: 1) Alternatif solusi itu harus tepat untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
2) Altertnatif solusi itu harus jelas dampak, resiko dan peluang yang mungkin diciptakan 3) Alternatif solusi itu harus feasible untuk dilaksanakan 4) Alternatif solusi itu harus tidak bertentangan dengan nilai, etika, moral yang dipegang oleh anggota organisasi dan oleh organisasi. 5) Alternatif solusi itu harus membawa perubahan bagi organisasi menuju yang lebih baik dari keadaan sekarang. Secara operasional akhirnya kriteria ini sangat ditentukan oleh pembuat keputusan. Alternatif solusi yang dipilih mungkin mempunyai resiko tinggi dan sulit dilaksanakan, tapi dapat membawa perubahan yang diinginkan. Dalam manajemen acapkali ditemukan suatu alternatif solusi yang sangat mahal yang harus diambil untuk suatu hasil yang mempunyai nilai sangat tinggi. e. Penentuan Pilihan Alternatif Solusi (Keputusan) Penentuan pilihan solusi atau keputusan ini dalam tahapan pembuatan keputusan merupakan tahapan yang sangat kritis dan sangat menentukan. Pembuat keputusan atas dasar semua pilihan yang tersedia, dengan berbagai resiko, dampak dan peluang akhirnya harus sampai pada suatu titik pilihan keputusan. Pilihan ini harus diambil dengan kecermatan, kejelian, keberanian, tanggung jawab, dan komitmen yang besar. Tanpa sikap-sikap seperti itu suatu keputusan tidak akan mempunyai makna apa-apa. Sikap seperti inilah yang menciptakan berbagai dinamika dan perubahan dalam suatu organisasi. f.
Implementasi Keputusan Langkah
keenam
adalah
mengimplementasi
keputusan.
mencakup
penyampaian keputusan itu kepada orang yang terkait dan mendapatkan komitmen mereka pada keputusan tersebut. Contoh: Keputusan yang telah diambil perlu dikomunikasikan kepada para stakeholder atau pimpinn agar dapat direalisasikan dengan baik. 3. Pendekatan Pembuatan Keputusan Ada beberapa model tentang pendekatan terhadap pengambilan keputusan yang telah diperkenalkan oleh para ahli teori pengambilan keputusan. Salusu (2002: 64) mengemukakan dua model, yaitu: a. Model Brinckloe Menurut Brinckloe (1977) (Salusu, 2002: 64), seorang eksekutif dapat membuat keputusan dengan menggunakan satu atau beberapa pendekatan, yaitu:
1) Fakta. Fakta akan memberikan petunjuk keputusan apa yang akan diambil 2) Pengalaman, seseorang yang sudah menimba banyak pengalaman tentu akan lebih matang dalam membuat keputusan dibandingkan dengan yang sama sekali belum memiliki pengalaman apa-apa. 3) Intuisi,
tidak
jarang
orang
menggunakan
intuisinya
dalam
mengambil
keputusan dan tidak jarang keputusan-keputusan itu dikritik sebagai immoral. 4) Logika. Pengambilan keputusan berdasarkan logika ialah suatu studi yang rasional terhadap semua unsur pada setiap siis dalam proses pengambilan keputusan. 5) Analisis sistem. Kecanggihan dari komputer telah merangsang banyak orang untuk
berkesimpulan
bahwa
pengambilan
kuantitatif
memiliki
tingkat
kemampuan yang lebih tinggi sehingga ia dipandang lebih superior terhadap penilaian dan pemikiran manusia. b. Model McGrew McGrew (1985) (Salusu, 2002: 66) melihat ada tiga pendekatan, yaitu: 1) Pendekatan proses pengambilan keputusan rasional memberikan perhatian utama pada hubungan antara keputusan dengan tujuan dan sasaran dari pengambil kepuusan. 2) Model
proses
organisasional,
menangani masalah yang jelas tampak
perbedaannya antara pengambil keputusan individu dan organisasi 3) Model tawar-menawar politik melihat kedua pendekatan ini mengatakan bahwa pengambil keputusan kolektif sesungguhnya dilakukan dengan tawarmenawar. 4. Contoh Kasus Pembuatan Keputusan dalam Pendidikan Suatu sekolah dasar di kecamatan X memiliki murid 200 orang dengan jumlah guru 5 orang secara teoritik seharusnya jumlah guru itu minimal satu orang setiap kelas ditambah dengan guru agama dan guru olah raga. Walaupun kepala sekolah sudah berupaya sejak beberapa tahun untuk memperoleh tambahan guru, namun hingga saat ini belum juga berhasil. Karena itu seluruh kelas yang ada harus diatur sedemikian rupa sehingga setiap kelas mempunyai peluang untuk belajar. Akibatnya jumlah jam belajar murid jadi berkurang, dan sebaliknya jumlah mengajar guru bertambah. Bahan bacaan berupa buku paket amat terbatas,karena itu materi pengajaran yang disajikan amat bergantung kepada perbendaharaan guru. Dukungan masyarakat terhadap sekolah amat minimal walaupun sekolah sudah berupaya dengan
berbagai cara dan daya untuk menarik dukungan masyarakat terhadap sekolah itu. Dengan segala keterbatasan yang ada, upaya meningkatkan mutu perlu dicoba terus, walaupun belum ditemukan cara yang terbaik untuk mewujudkan tujuan tersebut. B. Perencanaan Pendidikan Pendidikan
merupakan
pembangunan bangsa.
upaya
yang
paling
efektif
dalam
meningkatkan
Namun dalam perkembangannya, pendidikan tak luput dari
berbagai tantangan baik structural maupun non-struktural. Tantangan dari pendidikan itu terjadi pada beberapa aspek, diantaranya : -
Aspek peningkatan mutu, berkenaan dengan urgensi pemberian otonomi daerah, yang salah satunya adalah untuk menghadapi persaingan global. Setidaknya ada tiga kemampuan dasar yang diperlukan agar masyarakat Indonesia dapat ikut dalam persingan global, yaitu: kemampuan manajemen, kemampuan teknologi, dan kualitas manusianya sendiri.
-
Aspek pemerataan, berkenaan dengan peningkatan aspirasi masyarakat diperkirakan juga akan meningkatnya pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan.
-
Aspek efisiensi manajemen, berkenaan dengan keterbatasan sumber pendanaan dalam pelaksanaan pendidikan.
-
Aspek
peranserta masyarakat, berkenaan dengan filosofi diberikannya otonomi
kepada daerah. Peranserta masyarakat dalam pendidikan dapat berupa perorangan, kelompok, lembaga industri atau lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. -
Akuntabilitas. Melalui otonomi, pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan jasa pendidikan semakin dekat dengan masyarakat yang dilayaninya, sehingga akuntabilitas
layanan
tersebut
bergeser
dari
yang
lebih
berorientasi kepada
kepentingan pemerintah pusat kepada akuntabilitas yang lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Merujuk kelima tantangan berat pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kewajiban berat yang dibebankan kepada pendidikan ialah di satu sisi upaya pendidikan harus berfungsi sebagai pengawet kebudayaan negara yang sekaligus berorientasi pada perkembangan dan keterwujudan kemampuan manusia yang memiliki daya saing dan bermoral. Oleh sebab itu di perlukan perencanaan yang tepat guna dan terarah demi mewujudkan pendidikan yang lebih baik lagi. 1. Konsep Perencanaan Pendidikan Fakry Gaffar (1987:14) mengemukakan bahwa : ”....Perencanaan dapat diartikan
sebagai sebagai proses
penyusunan berbagai keputusan yang akan
dilaksanakan pada masa yang akan datang
untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. ” Keputusan-keputusan
itu
disusun secara sistematis,
rasional dan dapat
dibenarkan secara ilmiah karena menarapkan berbagai pengatahuan yang diperlukan. Perencanaan dapat pula diartikan sebagai suatu prosess pembuatan serangkaian kebijakan untuk mengendalikan masa depan sesuai dengan apa yang telah ditentukan. Kebijakan-kebijakan itu disusun
dengan memperhitungkan kepentingan masyarakat
dan kemampuan masyarakat. Perencanaan dapat pula diartikan sebagai upaya untuk memadukan antara cita-cita nasional
dan sumber-sumber yang tersedia yang
diperlukan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dalam proses memadukan tersebut dipergunakan
berbagai
cara
yang
rasional
dan
ilimiah
sehingga
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Perencanaan tidak hanya berakhir pada draft blue print, tetapi harus disertai dengan tahapan pelaksanaan, karena perencanaan yang baik adalah perencanaan yang dapat dilaksanakan. Dengan memahami arti perencanaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perencanaan itu adalah alat perubah dan alat pengendali perubahan (Fakry Gaffar,1987:15).
Pembangunan itu mengandung arti merubah untuk maju dan
berkembang menuju arah tertentu dan perencanaan adalah rumusan yang mengandung semua perubahan itu serta petunjuk untuk mewujudkannya. Perencanaan pegangan
baik
pendidikan
dalam
mengenal prinsip-prinsip
proses
penyusunan
rancangan
yang perlu menjadi maupun
dalam proses
implementasinya. Prinsip-prinsip itu antara lain: a. Perencanaan
itu
interdisipliner
karena
pendidikan
itu
sendiri sesungguhnya
interdisipliner terutama dalam kaitannya dengan pembangunan manusia. b. Perencanaan itu flexibel dalam arti tidak kaku tapi dinamis serta responsif terhadap tuntutan msayarakat, karena itu palnner perlu memberikan ruang gerak yang tepat terutama dalam penyusunan rancangan. c. Perencanaan itu objektif rasional dalam arti untuk kepentingan umum bukan untuk kepentingan subyektif sekelompok masyarakat saja. d. Perencanaan itu tidak dimulai dari nol tapi dari apa yang dimiliki. Ini berarti segala potensi yang tersedia merupakan asetyang perlu digunakan secara efektif efisien dan optimal. e. Perencanaan
itu
wahana
untuk
menghimpun
terkoordinir dalam arti segala kekuatan
kekuatan-kekuatan
secara
dan modal dasar perlu untuk dihimpun
secara terkoordinasikan untuk digunakan secermat mungkin untuk kepentingan pembangunan pendidikan. f.
Perencanan itu disusun dengan data, perencanaan tanpa data tidak memiliki kekuatan yang dapat diandalkan.
g. Perencanaan itu mengendalikan ekuatan sendiri, tidak bersandarkan pada orang lain. h. Perencanaan itu komprehensif dan ilmiah dalam arti mencakup keseluruhan aspek pendidikan dan disusun secara sistematis, ilmiah dan menggunakan prinsip dan proses keilmuan. 2. Proses Perencanaan Pendidkan Dalam proses perencanaan biasanya terdapat empat kegiatan utama yang dilakukan/
yaitu
kebijaksanaan,
(1)
memformulasikan
tujuan;
(2)
merumuskan
strategi/
dan perincian rencana untuk mencapai tujuan; (3) membentuk
organisasi untuk melaksanakan keputusan; dan (4) membahas hasil dan umpan balik untuk dijadikan bahan penyusunan rencana selanjutnya. Proses perencanaan pendidikan dalam buku Udin Syaefudin Saud dan Abin Syamsudin (2007) terdiri dari mendefnisikan permasalahan perencanaan, analisis bidang
telaahan
mengevaluasi
permasalahan,
rencana-rencana,
mengkonsepsikan menspesifikasikan
dan rencana,
merancang
rencana,
mengimplementasikan
rencana, memantau pelaksanaan rencana dan umpan balik. Proses perencanaan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terdiri atas kegiatan analisis keadaan sekarang, perkiraan keadaan yang akan datang, perumusan tujuan yang akan dicapai, analisis dan diagnosispengembangan alternatif, proses pengambilan keputusan, penentuan kebijaksanaan, penentuan program dan prioritas, perhitungan anggaran, perumusan rencana, penyusunan rincian rencana, melaksanakan rencana, evaluasi rencana dan revisi rencana. Tahapan – tahapan dalam perencaaan pendidikan pada prinsipnya pada semua tataran sistemnya (operasional, institusional, dan structural) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Mendefinisikan permasalahan perencanaan pendidikan. 2) Analisis bidang telaah permasalahan perencanaan. 3) Mengkonsepsikan dan merancang rencana. 4) Evaluasi rencana. 5) Menentukan rencana.
6) Implementasi rencana. 7) Evaluasi implementasi rencana dan umpan baliknya.
Gambar: Model Penjadwalan Penyusunan Rencana Diadopsi dasi Yoyon Bahtiar Disamping itu perencana pendidikan dituntut untuk memiliki kemampuan dan wawasan yang luas agar dapat menyusun rancangan yang dapat dijadikan pegangan dalam pelaksanaan proses pendidikan selanjutnya. Rancangan tersebut harus mampu mengidentifikasikan berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT). 3. Pendekatan Perencanaan Pendidikan Terdapat beberapa alternatif pendekatan dalam perencanaan, paling tidak ada tiga pendekatan perencanaan pendidikan yang dikemukakan oleh Udin Syaefudin Saud dan Abin Syamsudin (2007) antara lain: a. Pendekatan kebutuhan social Pendekatan
sosial ini menurut
Gruruge
(1972) adalah pendekatan
tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan-tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada pemenuhan keinginan-keinginan murid dan orang tuanya secara bebas. Alternative pendekatan kebutuhan sosial ini lbih meneknkan pada pemerataan kesempatan dan kuantitatif dibandingkan dengan aspek kualitatif.
b. Pendekatan Kebutuhan Ketenaga kerjaan Pada pendekatan ini lebih meneknkan pada relevansi program pendidikan dalam berbagai sector pembangunan dilihat dari pemenuhan ketenagaan. Bagian berikut akan menjalankan langkah sederhana yang diperlukan untuk proyek kebutuhan tenaga kerja dengan bertumpu pada proyeksi kebutuhan. Proyeksi Kebutuhan tenaga kerja dapat diekspresikan dalam bentuk kebutuhan pendidikan dan pelatihan, dimana bentuk ini dapat dibandingkan dengan proyeksi dari persediaan sistem pendidikan/pelatihan. c. Pendekatan efisiensi Biaya Pendekatan ini lebih menitik beratkan pada alternatif-alternatif yang menghasilkan lebih lebih banyak keuntungan daripada biaya yang dikeluarkan. Pendekatan ini dilator belakangi oleh asumsi bahwa: sumbangan seseorang terhadap pendapatan nasional adalah sebanding dengan tingkat pendidikannya dan perbedaan pendapatan di masyarakat di sebabkan oleh pebedaan pendapatan diihat dari segi kemampuan membiayai pendidikan bukan perbedaan kemampuan atau latar belakang nasional. Pendekatan efisiensi biaya ini mempunyai implikasi sesuai dengan prinsip ekonomi
yaitu
program
menempati urutan
atau
pendidikan prioritas
yang
penting,
mempunyai nilai ekonmi tinggi karena
pendekatan
untung rugi
mempunyai keterkaitan dengan pendekatan ketenagaan. 4. Isu Perencanaan Sekolah Di Perancis, sejak hampir satu setengah abad yang lalu, Negara menjamin pendidikan publik yang wajib, gratis, dan sekular secara adil dan merata bagi semua anak usia sekolah yang tinggal di wilayahnya. Pada tingkat pendidikan dasar, pemerintah pusat membagi tanggung jawab dan wewenangnya kepada commune (wilayah administratif terkecil di Perancis) sebagai perencana, pemilik, dan pengelola sekolah. Kini, commune menjadi aktor kunci pendidikan dasar yang terlibat tidak hanya dalam pendidikan formal di sekolah. Sistem sektor sekolah merupakan metode yang transparan dan tegas untuk membagi populasi murid secara geografis, namun lebih dari itu, ia sekaligus dapat berfungsi sebagai “penjaga” keberlangsungan sekolah dan mixité sociale (pembauran sosial) di lingkungan pendidikan. Perencanaan sekolah tidaklah sebatas masalah matematis. Ia adalah isu politik, sosial, sekaligus teknis, yang melibatkan sejumlah aktor dengan interest berbeda. Tantangannya beragam: dari evolusi demografi, kondisi penduduk, karakteristik wilayah, hingga perkembangan
sistem pendidikan dan teknologi. Kebijakan yang spesifik dan adaptif diperlukan untuk merespon itu semua.
REFERENSI: Gaffar,
M.Fakry, (1987). Perencanaan Pendidikan : Teori dan Metodology. Jakarta : Depdikbud.
Irianto, Yoyon Bahtiar. (2009). Perencanaan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota: Studi Evaluatif tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pendidikan di Kabupaten Bandung Menuju 2025. Disertasi. Bandung: SPS-UPI. Salusu. (2002). Pengambilan Keputusan Strategik. Jakarta: Grasindo. Sondang P Siagian. (1988). Administrasi pembangunan : konsep, dimensi dan strateginya. Jakarta: Haji Masagung. Suryadi. Bahan Ajar Pembuatan Keputusan. [Online]. Tersedia di: http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/1968072919 98021-SURYADI/BAHAN_AJAR_P_K.pdf\ (14 September 2013) Udin Syaefudin Sa’ud dan Abin Syamsudin. (2007). Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif. Bandung: Rosda Karya.