PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Muh. Idris A. Pendahuluan Pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Hal ini bukan saja karena pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas, tetapi juga akan berpengaruh terhadap dinamika masyarakat. Pendidikan menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan di lingkungan kerja. Oleh karena itu dapatlah dicapai apabila negara yang memiliki penduduk dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat.1 Dalam peningkatan kualitas manusia Indonesia, pemerintah tidak merupakan satu sistim yang lepas dengan pihak swasta dan masyarakat. Hubungan pemerintah, masyarakat dan swasta merupakan hubungan yang tidak terpisahkan dalam peranannya dalam meningkatkan pemerataan dan mutu pendidikan. Pada umumnya pendidikan diakui sebagai suatu investasi sumber daya manusia. Pendidikan memberikan sumbangan terhadap pembangunan social ekonomi melalui cara-cara meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kecakapan, sikap dan produktifitas. Bagi masyarakat secara umum pendidikan bermanfaat untuk tekhnologi demi kemajuan di bidang social dan ekonomi. Karena manfaatnya yang luas dan dapat meresap ke berbagai bidang, maka pembangunan pendidikan seyogianya harus menjadi perhatian utama bagi semua kehidupan bangsa. Jika kita menempatkan posisi pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konteks masyarakat madani, diperlukan keberanian investasi yang besar untuk memperkuat sistim pendidikan nasional. Di samping itu diperlukan juga adanya upaya yang sangat serius dalam memperkuat pendidikan sebagai jalan utama kekuatan dengan yang bukan saja sebagai peran konstitusional, akan tetapi menjadi jawaban terhadap tantangan nyata perkembangan masyarakat dalam kondisi internal menjadi percaturan global.
1
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiyaan Pendidikan, Rosdakarya, 2004), h. 77
(Bandung: PT Remaja
1
Pendidikan pada bentuknya yang paling generic merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Melalui pendidikan masyarakat dapat mewariskan pandangan hidupnya kepada generasi muda, agar mereka dapat hidup selaras dengan pandangan hidup tersebut. Pendidikan juga dapat menjadi tempat menyiapkan generasi muda agar mampu melakukan peran-peran tertentu di masa depannya seperti yang diharapkan oleh orang tua dan masyarakatnya. Dengan demikian pendidikan mempunyai fungsi sebagai tempat untuk social engineering (rekayasa social). Oleh karena itu pada gilirannya jenis dan kualitas pendidikan yang dikembangkan oleh suatu masyarakat akan menentukan warna masyarakat tersebut di masa depannya.2 Salah satu factor yang mendukung agar terwujudnya hal di atas adalah pembiayaan. Biaya merupakan persoalan penting bagi kelangsungan suatu lembaga pendidikan agar berbagai aktifitas dapat dilakukan dengan semangat yang tinggi dan lebih beragam sehingga diharapkan dapat menghasilkan output yang berbobot. B. Sumber Dana Pendidikan Islam 1. Subsidi Pemerintah Di negara-negara maju yang kualitas sumber daya manusianya tinggi anggaran pendidikan telah mencapai lebih dari 20% dari GNP. Bandingkan dengan dengan berbagai negara berkembang yang sumber daya manusianya rendah yang mengeluarkan dana kurang dari 10%, bahkan kurang dari 5% dari anggaran belanja nasionalnya.3 Jika melirik masa lalu pembiayaan lembaga pendidikan ternyata telah mendapat perhatian dari para penyelenggara pendidikan maupun pihak-pihak yang tidak terlibat langsung di dalamnya. Umat Islam pada masa itu sudah memahami benar perlunya biaya yang besar untuk membangun dan mengelola sekolah yang bermutu. 2
Armai Arief, (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, (Bandung: Angkasa, 2004), h. 45 3 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1992), h. 138-139
2
Pendidikan
pada
awal
Islam
bukanlah
suatu
enterprise
yang
diselenggarakan secara moderen, dengan pengaturan yang serba baku dan ketat. Proses pendidikan merupakan suatu yang alamiah terjadi, ketika ada orang yang bisa membaca dan kemudian bertemu dengan orang yang tidak tahu dan menghendaki belajar maka terjadilah proses belajar. Maka sekolah bisa berlangsung di bawah pohon korma, di tenda, atau di rumah. Menurut Shalaby, pada mulanya pendidikan kuttab berlangsung di rumah-rumah para guru atau di pekarangan sekitar mesjid.4 Kuttab-Kuttab tersebut juga sering merupakan wakaf dari orang kaya dan anak-anak yang belajar di sana tidak dipungut biaya atau kalaupun harus membayar dengan biaya yang sangat terjangkau oleh orang tua. Lebih dari itu pendidikan kuttab tersebut juga terbuka untuk budak.5 Dalam catatan A.L. Thibawi sebagaimana yang dikutip oleh Ruswan Thoyib menyatakan bahwa keterlibatan pemerintah dalam pendidikan sangat kecil. In Neither the maktab nor the majlis did the state take eny direct interest in the form of spending money from public funds, except perhaps when a qadi, holding public office, assumed responsibility for a majlis.6 Para penguasa dan pemimpin Muslim memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa Khalifah al-Rasyidin. Mereka mendirikan dan menghidupkan berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan, terutama lembaga-lembaganya. Al-Suffah yang menjadi model pendidikan Islam ketika Nabi di Medinah tersebar luas ke luar Medinah sejalan dengan penyebaran mesjid. Keberlangsungan al-Suffah
ini sangat diperhatikan oleh Khalifah al-
Rasyidin. Umar bin Khattab misalnya, senantiasa mengangkat sahabat rasul yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas sebagai panglima dan gubernur. Mereka banyak mendirikan al-suffah di dalamnya. kegiatan ini kemudian dibantu pembiayaannya dengan dana pemerintah yang tersedia. 4
Ahmad Shalabi, History of Muslim Education, (Bairut: Dar al-Kasysyaf, 1954), h. 17 Mansoor A. Quraishi, Some Aspects Of Muslim Education, (Lahore: Universal Books, 1983), h. 13 6 Ruswan Thoyib, Kuttab sebagai Institusi Pendidikan, dalam Armai Arief, op.cit., h. 49 5
3
Thomas W. Arnold yang dikutip oleh Soekarno dan Ahmad Supardi menyatakan…. Demikianlah dalam hubungan ini, Khalifah Umar mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk setiap negeri. Betapa besarnya perhatian khalifah dalam bidang pendidikan agama ini dapat diketahui dari fakta bahwa di kota Kufah, misalnya, orang yang dipercaya menjalankan tugas ini adalah bendaharawan kota itu sendiri.7 Di daerah-daerah baru pada masa Umayah di mana bahasa Arab bukan bahasa pertama dan al-Qur'an belum dikenal, pembangunan lembaga-lembaga pendidikan seperti kuttab dan mesjid menjadi tujuan utama para khalifah dan gubernur setempat. Pendanaan lembaga-lembaga pendidikan ini sangat tergantung pada pemerintah sebaga pemrakarsa dan propagandis.
Mesjid Jami' yang
bermunculan di masa Dinasti Abbasiyah dibiayai keberadaan dan operasionalnya oleh pemerintah sepenuhnya. Halaqah-halaqah mesjid ini dipimpin oleh seorang syekh yang diangkat oleh khalifah untuk mengajarkan bidang kajian tertentu.8 Madrasah-madrasah yang didirikan di masa Turki Saljuk dilembagakan di bawah pengawasan dan bantuan negara. Banyak sekali dana yang dialokasikan untuk mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah ini dengan cara memberikan beasiswa yang besar, pension dan ransom yang diberikan kepada para mahasiswa yang patut menerimanya. Bait al-Hikmah dibangun salah satunya melalui dana negara yang sumbernya berasal dari jizyah, zakat, dan sebagainya.9 Nizham al-Mulk dengan madrasah Nizhamiyahnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Mahmud Yunus mengeluarkan anggaran belanja yang luar biasa besarnya untuk membiyai pendidikan. Ia mengeluarkan biaya sebanyak 600.000 dinar atau lebih dari 100 triliyun rupiah setiap tahun untuk setiap madrasah yang diasuh negara.10 Dana yang sangat besar itu digunakan oleh Nizham al-Mulk untuk menggaji para pengajar, dan untuk menyediakan makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi para mahasiswanya. 7
Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 51 8 Charles Michel Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerjemah Hasan Asari dan H. Afandi, (Jakarta: Logos, 1994), h. 35 9 A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), h. 374 10 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Mutiara, 1996), h. 63
4
Madrasah Nizhamiyah memiliki sebuah perpustakaan yang bagus, mesjid yang besar, pegawai yang banyak, pustakawan, imam shalat dan petugas pendaftaran.11 Pembiyaan lembaga-lembaga-lembaga pendidikan ini dapat dihubungkan dengan negara karena lembaga-lembaga pendidikan formal disubsidi oleh penguasa dan dibantu oleh orang-orang kaya berupa harta wakaf.12
2. Wakaf Dalam sistim pendidikan Islam klasik, antara pendidikan Islam dengan wakaf mempunyai hubungan yang erat. Lembaga wakaf menjadi sumber keuangan bagi kegiatan pendidikan sehingga pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan lancar. Adanya sistim wakaf dalam Islam disebabkan oleh sistim ekonomi Islam yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan aqidah dan syari'at Islam dan adanya keseimbangan antara ekonomi dengan kemaslahatan masyarakat, sehingga aktifitas ekonomi mempunyai tujuan ibadah dan demi kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, di saat ekonomi Islam mencapai kemajuan, umat Islam tidak segan-segan membelanjakan uangnya demi kepentingan agama dan kesejahteraan umat Islam. Karena didorong oleh ajaran Islam yang menghargai fungsi pendidikan untuk kemajuan agama dan negara, mereka berlomba-lomba menafkahkan harta untuk pelaksanaan pendidikan. Pada era madrasah, khalifah membentuk satu deperteman sebagai pusat pengajaran. Lembaga pendidikan umum ini tidak secara langsung mendapat dukungan dari lembaga keuangan negara, tetapi lebih besar pendapatan orangorng yang mewakafkan hartanya. Administrasi wakaf pendidikan ini sangat baik bagi pengajaran yang bersifat actual yang pengaturannya diserahkan pada seorang ulama yang bertanggung jawab menangani masalah tersebut.13 Rasa cinta umat Islam akan pengetahuan, menimbulkan kebutuhan untuk mengembangkan
pendidikan
dengan
mendirikan
institusi-institusi
untuk
11
Raihani, Madrasah Nizhamiyah, dalam Armai Arief, op.cit., h. 66 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Logos, 1999), h. 46 13 Armai Arief, Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, h. 12
84
5
mengajarkan dan mengembangkan ilmu. Dengan dipelopori oleh penguasapenguasa Islam yang cinta ilmu seperti Harun al-Rasyid dan al-Makmun, berdirilah lembaga-lembaga pendidikan untuk kegiatan keilmuan seperti kegiatan penerjemahan yang didirikan oleh Harun al-Rasyid yang di zaman al-Makmun kegiatannya lebih sempurna sehingga menyebabkan didirikannya Bait al-Hikmah. Pada perkembangan selanjutnya kebutuhan untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan melahirkan ide tentang perlunya lembaga wakaf yang akan menjadi sumber keuangan lembaga-lembaga pendidikan.14 Menurut A. Syalabi, khalifah al-Makmun adalah orang yang pertama kali mengemukakan pendapat tentang pembentukan badan wakaf. Ia berpendapat bahwa kelangsungan kegiatan keilmuwan tidak tergantung pada subsidi negara dan kedermawanan penguasa-penguasa, tapi juga membutuhkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama negara menanggung biaya pelaksanaan pendidikan.15 Prakarsa khalifah al-Makmun ini kemudian meluas kepada penggantinya dan pembesar-pembesar negara sehingga dipandang sebagai suatu keharusan dalam mendirikan suatu lembaga ilmiah dan kebudayaan yang didanai oleh badan wakaf yang permanen. Peranan wakaf sangat besar dalam menunjang pelaksanaan pendidikan. Dengan wakaf umat Islam mendapatkan kemudahan dalam menuntut ilmu, karena wakaf, pendidikan Islam tidak terlalu menuntut banyak biaya. Para pelajar dan orang tua mereka tidak terbebani dengan berbagai macam biaya yang diambil untuk kegiatan pendidikan. Contoh lembaga-lembaga pendidikan yang dihidupi oleh sistim wakaf banyak sekali ketika masa Islam klasik. Badr ibn Hasanawaih al-Kurdi, seorang bangsawan kaya yang menjadi gubernur, mendirikan 3000 mesjid dengan akademi di dalamnya. Masing-masing mesjid memiliki asrama. Pembiyaannya berasal dari wakaf.16 Wakaf Abdul Latif al-Mansur berupa pondok untuk 5 orang
14
Armai Arief, Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, h.
90 15
A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, h. 374 Charles M. Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerjemah Hasan Asari dan H. Afandi, h. 44-45 16
6
anak yatim serta pengajarnya. Mereka belajar membaca dan menghafal alQur'an.17 Nizham al-Muluk menyediakan wakaf untuk membiayai seorang mudarris, seorang imam dan juga mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas asrama.18 3. Orang Tua Biaya pendidikan yang bersumber dari orang tua ini bervariasi dan sangat fleksibel tergantung pada kondisi financial orang tua murid. Biaya ini juga merefleksikan kemajuan siswa, sebab di samping biaya pendaftaran, biaya tambahan akan diambil ketika siswa telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran, ditambah sumbangan-sumbangan non-finansial, seperti bahan pangan dan sandang sesuai dengan keadaan siswa tersebut. Biaya pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali sedikit jika materi pelajaran di tambah dengan pendidikan nonkeagamaan, seperti tata bahasa dan menulis. Hal ini diadakan pada anggapan penyebaran misi Ilahi harus dilakukan dengan ikhlas. Biaya pendidikan non-agama berbeda-beda berkisar antara 500 sampai 1000 dirham pertahun (masa Abbasiyah).19 Kadang-kadang pembayaran dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang yang dibayar setiap minggu atau setiap bulan. Orang tua yang berasal dari kalangan elit bangsawan atau hartawan, tentu akan mengeluarkan uang lebih banyak, ditambah dengan berbagai fasilitas lain, seperti tambahan buku-buku dan perlengkapan lainnya. Khalifah al-Mutawakkil memberi Ibn Sikkit, yang menjadi muaddib bagi putranya uang sebanyak 50 dinar
17
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, h. 163 Charles M. Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerjemah Hasan Asari dan H. Afandi, h. 47. Dengan adanya beasiswa untuk mahasiswa ini menjadi daya tarik bagi mahasiswa dari keluarga yang tidak kaya. Penggunaan dana wakaf inilah yang membedakan antara mesjid dan madrasah. Berdasarkan hukum wakaf seseorang dapat membentuk satu wakaf yang assetnya akan mendukung satu lembaga yang dia pilih. Seseorang yang ingin mewakafkan satu lembaga menyusun satu dokumen hukum yang secara formal dicatat oleh seorang notaries. Pemberi wakaf menentukan satu atau beberapa orang yang bertanggung jawab untuk mengelola wakaf tersebut yang seringkali dia sendiri atau ahli warisnya. Charles M. Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerjemah Hasan Asari dan H. Afandi, h. 41-43 19 Charles M. Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerjemah Hasan Asari dan H. Afandi, h. 21 18
7
di samping gajinya yang tetap. Ali Ibn al-Hasan yang datang ke istana khalifah Harun al-Rasyid untuk memberi pelajaran kepada al-Amin dibelikan sebuah rumah, pelayan perempuan, kendaraan, pesuruh, dan kemudahan memanfaatkan perpustakaan di samping gaji rutin.20 4. Siswa Seorang ilmuwan yang mengajar di Mesjid, madrasah, atau lembaga pendidikan lain diperbolehkan memungut uang dari siswanya. Biasanya. jumlahnya disepakati antara guru dan siswanya tersebut serta dibayar pada awal masa belajar. Ibrahim al-Zadjdjadj misalnya, memperoleh uang dari pekerjaannya sebanyak 1,5 diirham tiap hari. Kemudian ia pergi belajar kepada al-Mubarrid dan membayar honornya sejumlah dua pertiga dari penghasilannya tersebut ditambah syarat lain yaitu 1 dirhan setiap hari sampai maut memisahkan mereka.21
5. Sumber lain/Perorangan Pandangan bahwa ilmu agama, terutama al-Qur'an harus diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk ibadah mendorong para pengajarnya tidak meminta dan menerima bantuan financial dari siapapun. Mereka berusaha untuk membiayai kegiatan pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat sendiri di luar pekerjaan mengajar. Abu al-Abbas al-Asham, salah seorang ulama besar dan ahli hadis di Khurasan tidak mau mengambil upah ketika mengajarkan hadis. Beliau memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil usaha sendiri.22 Di samping para pengajar yang mempunyai keinginan dan kesadaran di atas, banyak para hartawan dan dermawan yang mengeluarkan sejumlah dana untuk membiayai berbagai lembaga pendidikan dan kegiatannya. Al-hakam II (961-976 M) misalnya, membuka sejumlah sekolah dasar (kuttab) di Kardova. Guru-gunya digaji dari kantongnya sendiri, dan pelajaran yang diberikan pada murid-muridnya selain al-Qur'an adalah menulis puisi, prosa, grammar, dan kaligrafi.23 20
A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, h. 232-233 A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, h. 317 22 A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam,, h. 223 23 Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, h. 79 21
8
C. Sumber Dana Pendidikan Islam di Indonesia Jika usia perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dihitung sejak berdirinya kerajaan Islam pertama yaitu Samudera Pasai di Aceh pada abad ke 10 M, saat itu belum disebut Indonesia hingga sekarang abad 21 M, maka pendidikan Islam Indonesia telah melewati kurun waktu yang cukup panjang, yakni 1000 tahun. Proses yang panjang ini tentu tidak bisa terlepas dari perjalanan historis bangsa Indonesia secara umum yang telah mengalami berbagai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi pendidikan Islam yang ada pada masa kerajaan-kerajaan Islam berkuasa tentu berbeda dengan masa bercokolnya penjajahan belanda dan jepang, begitu pula berbeda antara masa pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan serta antara Orde Lama, dan Orde Baru, dan terus hingga sekarang. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, bagaimanapun terkait dengan kondisi pembangunan negeri ini. Pada masa Orde Lama dan sebelumnya, pendidikan Islam belum difasilitasi
secara memadai, apalagi modern, karena
bangsa Indonesia masih dalam keadaan terbelakang. Kondisi tersebut mengalami perobahan yang sangat pesat ketika bangsa Indonesia memasuki era baru yang disebut Orde Baru yang dimulai pada tahun 1966. Seiring dengan pesatnya pembangunan yang dilaksanakan di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Pada era ini pendidikan Islampun mengalami berbagai perkembangan yang jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya.. Tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional termasuk di dalamnya pendidikan agama era orde baru berada di atas pundak pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab membiayai, menfasilitasi, serta menetapkan konsep-konsep pendidikan. Tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan sudah berada di bawah depertemen pendidikan dan kebudayaan (Depdikbud, sekarang Depertemen Pendidikan Nasional, Diknas) untuk pendidikan umum dan
9
Departemen Agama untuk pendidikan agama. Depertemen inilah yang harus mengelola pendidikan secara professional.24 Apabila kita menengok ke belakang pada masa kerajaan Samudera Pasai, meskipun tidak secara jelas dan eksplisit diuraikan dalam teks sejarah tetapi dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada saat itu adalah belajar untuk menuntut ilmu sehingga dapat memahami, menguasai, dan mengamalkan ajaran Islam yang telah diperoleh dari guru. Lebih dari itu mengembangkan ajaran Islam tanpa pamrih. Oleh karena itu, secara sukarela masyarakat memberikan berbagai macam hadiah atau pemberian kepada para guru teresebut, terutama dalam bentuk hasil pertanian, jamu-jamuan dan sebagainya. Yang lebih penting lagi adalah bahwa pendidikan pada saat itu dibiayai oleh negara/kerajaan, sehingga masyarakat secara resmi tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membayar guru. Secara khusus tidak ada biaya yang dipungut dari peserta didik karena beberapa hal. 1) Sebagaimana yang diketahui bahwa transformasi Islam adalah suatu keharusan. Oleh karena menjadi wajib bagi para da’i untuk menjalankannya. 2) Kerajaan Samudera Pasai merupakan kerajaan maritime yang kaya raya pada zamannya. Mata uang dirham emas adalah salah satu indikasi bahwa kerajaan tersebut merupakan kerajaan yang makmur sehingga segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan para ulama dipenuhi oleh kerajaan.25 Pendidikan dan pengajaran Islam pada zaman Mataram sebagaimana yang diungkapkan oleh Mahmud Yunus dananya berasal dari masyarakat Islam sendiri seperti pemungutan zakat, srakah (iuran waktu nikah), wakaf dan palagara (pembayaran sesuatu hajat dari penduduk desa).26 Berbeda halnya pada waktu penjajahan Belanda. Pada awalnya politik Belanda membiarkan saja usaha pendidikan dan pengajaran Islam menurut sistim kerajaan Mataram. Tetapi lambat laun politik membiarkan itu, diubah dengan berangsur-angsur. Sejak tahun 1755, 24
Nurma, Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru (1966-1998M), dalam Suwito dan Fauzan (ed), Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingg Abad 20 M, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2004), h. 192-193 25 Rasi'in, Pendidikan Islam pada Masa Kerajaan Samudra Pasai dalam Suwito dan Fauzan, (ed), Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingg Abad 20 M, h. 14 26 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), h. 225
10
adanya perjanjian Gianti, mulai tampak usaha Belanda hendak melumpuhkan pengaruh Islam di Jawa, di mulai di daerah-daerah yang sudah dikuasai, yaitu di luar Yogjakarta dan Surakarta. Tanah Lungguh atau tanah yang diberikan kepada pegawai negeri sebagai gaji untuk penghulu, Naib, Kyai Anom, Kiyai sepuh semuanya dihapuskan dan dijadikan tanah Gubernemen. Begitu juga diusahakan oleh penjajahan Belanda untuk menghapuskan tanah lungguh. Hal inilah yang dapat menggerakkan Pangeran Diponegoro serta para alim ulama tampil ke garis depan memimpin rakyat untuk memerangi penjajahan belanda. Setelah Diponegoro ditaklukan, maka penjajah Belanda melanjutkan poloitiknya untuk membinasakan organisasi resmi dari pendidikan dan pengajaran Islam yang berlaku pasda masa kerajaan Mataram. Hasil-hasil dari pungutan zakat, shadaqah, waqaf, dan sebagainya untuk membiayai pendidikan dan pengajaran Islam, semuanya dihapuskan dan dimasukkan ke dalam kas untuk memperbaiki penghidupan para penghulu dan kawan-kawannya yang telah rugi karena dihapuskan tanah lungguhnya. Wakafwakaf tanah sawah, kadang-kadang sampai ratusan hektar luasnya untuk membiayai pendidikan dan pengajaran Islam, lalu diputuskan menjadi wakaf mesjid saja.27 Karel A. Steenbrink ketika menjelaskan situasi pendidikan Islam pada akhir abad ke 19 menyatakan bahwa wakaf adalah salah satu di antara sumber dana pendidikan. Para santri tidak pernah membayar uang sekolah dan semacamnya untuk pendidikan yang mereka terima, karena ilmu pengetahuan agama tidak boleh diperjualbelikan dengan uang. Begitu pula mereka tidak membayar sewa gedung yang sederhana yang tersedia di pesantren. Beberapa pesantern mendapat penghasilan tetap dari statusnya sebagai daerah pendidikan atau dari wakaf. Pada waktu santri masuk dan keluar pesantren, waktu panen atau
27
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, h. 227-228
11
akhir puasa, mereka atau orang tua mereka sering memberikan hadiah pada kyai, demikian pula halnya dengan zakat.28 Setelah kemerdekaan, ketika departemen agama didirikan, bentuk pertama dari pembinaan terhadap madrasah dan pesantren adalah seperti yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1946, tanggal 19 Desember 1946 tentang pemberian bantuan madrasah. Bantuan tersebut diberikan setiap tahun dan baru terbatas pada beberapa keresidenan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta dan Surakarta.29 Seiring dengan semakin berkembangnya madrasah, di mana peran serta masyarakat dalam pengembangan madrasah dan pesantren sangat besar, anggota masyarakat karena motivasi agama, banyak yang menyediakan tanah wakaf atau dana pembangunan madrasah dan pesantren sehingga jumlah madrasah swasta semakin banyak. Prakarsa dan peran serta masyarakat yang demikian besar dalam bidang pendidikan tersebut, khususnya madrasah dan pesantren memang patut dihargai dan perlu terus dibantu pengembangannya.30 Pengembangan madrasah pada saat ini telah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak, karena realitas di lapangan menunjukkan kondisi madrasah belum sama kualitasnya dengan sekolah-sekolah secara keseluruhan. Berdasarkan UU No. 2 tahun 1989, sekolah-sekolah di bawah Departemen Agama (madrasah),
28
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 19. Sama halnya dengan pendidikan di Meunasah (salah satu institusi pendidikan di kesultanan Aceh. Belajar di Meunasah tidak dipungut bayaran, demikian pula tengku tidak diberi gaji karena mengajar dianggap ibadah. Namun biasanya tengku mendapat hadiah dari murid-muridnya apabila mereka telah belajar al-Qur'an sampai juz ke-15 atau pada saat khatam al-Qur'an. hadiah-hadiah lain juga diperoleh pada waktu upacara akad nikah, sunat rasul, pembagian harta warisan, perkara perdata, mengakhiri sidang-sidang pengadilan, pemberian nasehat-nasehat dan juga dari zakat dan zakat fitrah. Lihat M. Sadli. Z.A. Pendidikan Islam di Kesultana Aceh, Ulama, Meunasah dan Rangkang, dalam Abudin Nata (ed) Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 44-45 29 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Logos, 2001), h. 5354 30 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, h. 109. Dana yang dapat dikumpulkan oleh masyarakat muslim dalam pembangunan pendidikan moderen dewasa ini sangat terbatas, sementara biaya pendidikan semakin mahal, sehingga tuntutan untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan tekhnologi menyebabkan madrasah terus menerus ketinggalan dengan dunia pendidikan yang lain. Ibid
12
baik yuridis maupun struktur sama dengan persekolahan yang diselenggarakan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Akan tetapi berhubung komponen input Madrasah jauh lebih rendah dari sekolah pada umumnya, baik jumlah maupun mutunya, maka proses dan outputnya juga tidak sama. Oleh karena itu perbaikan terhadap kondisi madrasah kian hari kian dirasakan pentingnya, bahkan jika dihubungkan dengan tuntutan pengembangan sumber daya manusia untuk pembangunan, maka pengembangan madrasah sudah dipandang sangat mendesak.31 Kesepakatan antara pemerintahan RI dengan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Asian Development Bank (ADB) dan Islamic Development Bank (IDB) dalam pengembangan madrasah, tidak lain sebagai upaya untuk menjawab tuntutan pengembangan dan peningkatan madrasah. Faktor dana yang selama ini dikeluhkan oleh para Pembina dan penyelenggara madrasah, diharapkan sedikit dapat menjadi pengantar ke-arah perbaikan dan pengembangan madrasah
secara
lebih
sistimatis,
sehingga
kegiatan-kegiatan
yang
diselenggarakan untuk kepentingan madrasah bisa lebih berdaya guna dan berhasil guna. Atau dengan kata lain program pembinaan pada masa yang akan datang dapat menciptakan kondisi madrasah yang lebih baik, setidaknya sama dengan sekolah pada umumnya.32 Anggaran biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang berkaitan satu sama lain, yaitu sisi anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran. Anggaran penerimaan adalah pendapatan yang diperoleh setiap tahun oleh sekolah dari berbagai sumber resmi dan diterima secara teratur diantaranya adalah pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, masyarakat sekitar, orang tua murid dan sumber lain. Anggaran pengeluaran adalah jumlah uang yang dibelanjakan setiap tahun untuk kepentingan pelaksanaan pendidikan di sekolah.33 Bentuk biaya pendidikan yang bersumber dari pemerintah ditentukan berdasarkan kebijakan keuangan pemerintah ditingkat pusat dan daerah setelah 31
Husni Rahim, Madrasah Dalam Politik Pendidikan di Indonesia, (Jakarta:Logos, 2005), h. 113 32 Husni Rahim, Madrasah Dalam Politik Pendidikan di Indonesia, h, 113-114 33 Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiyaan Pendidikan, h. 23-24
13
mempertimbangkan skala prioritas. Besarnya penerimaan dari masyarakat baik dari perorangan maupun lembaga, yayasan, berupa uang tunai, barang, hadiah, atau pinjaman bergantung pada kemampuan masyarakat setempat dalam memajukan pendidikan. Besarnya dana yang diterima dari orang tua siswa berupa iuran BP3 dan SPP yang langsung diterima sekolah didasarkan atas kemampuan orang tua murid dan ditentukan oleh pemerintah atau yayasan. Sedangkan besarnya penerimaan dari sumber-sumber lain termasuk dalam golongan ini bantuan atau pinjaman dari luar negeri yang diperuntukkan bagi pendidikan.34 Berdasarkan UU RI No. 20 th 2003 tentang sistim pendidikan Nasional pada bab XIII bagian kesatu pasal 46 ayat 1 menjelaskan bahwa Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pada bagian keempat pendidikan pasal
tentang pengalokasian dana
49 ayat 1 dinyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sector pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).35 Dalam Penjelasan terhadap pasal 46 UU No. 20 Th 2003 tentang System Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa sumber dana pendidikan dari pemerintah meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran
nadzar,
pinjaman,
sumbangan
perusahaan,
keringanan
dan
penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sah.36 Terkait dengan dana pendidikan yang bersumber dari wakaf, maka secara umum pelembagaan tradisi wakaf di Indonesia tidak terlepas dari kepedulian yang sangat dalam akan lemahnya kapasitas lembaga pendidikan Islam dalam merespon 34
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiyaan Pendidikan, h. 48 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penilaian Hasil Belajar Tahap Akhir Nasional Jakarta Tahun 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 20-21 36 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penilaian Hasil Belajar Tahap Akhir Nasional Jakarta Tahun 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 17 35
14
tantangan modernitas. Di Tingkat perguruan tinggi, UII Yogyakarta tampil dengan semangat tinggi untuk menjawab tantangan ini dengan mendirikan Badan Wakaf pada tahun 1948. Dalam perjalanannya hingga dewasa ini, Badan Wakaf UII telah relative berhasil menjadikan UII sebagai sebuah uiversitas Islam ternama yang punya kapasitas kemandirian. Di kalangan pesantren, Pondok Moderen Gontor yang didirikan pada tahun 1926 mungkin satu di antara sedikit lembaga pesantren yang kala itu melakukan terobosan dengan melakukan ikrar wakaf dan membentuk Badan Wakaf Moderen pada tahun 1958. Komitmen yang kuat untuk menjadi lahan pengabdian social bagi pendidikan umat tidaklah cukup untuk dapat bertahan dan apalagi berkembang. Dibutuhkan semangat kemandirian yang didukung oleh keyakinan pada tertib organisasi dan manajemen yang padu. Badan Wakaf Pondok Moderen didirikan
untuk mengawal sepirit
kemandirian ini tetap hidup sesuai amanah para founding father. Dalam perjalanannya lembaga ini terbukti efektif dalam menentukan arah perkembangan Pondok Gontor hingga saat ini.37 Di sisi lain, Pelembagaan tradisi wakaf di pesantren tradisional seperti Tebuireng berlangsung lambat sebagai konsekwensi pilihan merespon tantangan modernitas secara bertahap dan evolusioner. Penyerahan wakaf di pesantren ini berlangsung sejak tahun 1947. Namun pelembagaannya dalam konteks organisasi modern baru berlangsung pada tahun 1983. Keadaan ini ikut mempengaruhi performa lembaga wakaf di pesantren ini. Penguatan kelembagaan wakaf yang ada masih terhadang oleh kurangnya sumber daya yang propfesional dan sekaligus dapat menghayati nilai-nilai
37
Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, (ed), Revitalisasi Filantropi Islam, Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: PBB UIN, 2005), h. x Pada tahun 2000an Badan Wakaf UII mulai mencari sumber-sumber pembiayaan alternative untuk peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan masyarakat. Skema Skema "wakaf tunai" dipilih karena sifatnya yang liquid. Namun karena prosesnya sedang berjalan maka diperlukan cukup waktu untuk melacak seberapa jauh usaha ini membuahkan hasil yang memuaskan Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, (ed), Revitalisasi Filantropi Islam, Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, h. 276. Di Indonesia
15
pondok. Alhasil proses pelembagaan wakaf di Tebuireng hingga sekarang masih berfungsi sebagai instrument untuk bertahan dalam arus perubahan. Ia belum mampu mendorong upaya pemberdayaan masyarakat sipil ke arah transformasi sosial menuju masyarakat madani yang berkeadilan.38 Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dana pendidikan yang bersumber dari lembaga wakaf ini, maka penulis akan mencoba melihat bagaimana pengelolaan dana wakaf oleh Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, sehingga nantinya akan terlihat seberapa jauh Badan Wakaf UII telah berperan secara instrumental dalam mewujudkan transformasi social atau setidaknya mendukung perubahan social dalam masyarakat Islam Indonesia. D. Badan Wakaf UII Yogyakarta 1. Latar belakang pendirian Badan Wakaf UII Badan Wakaf UII –yang pada awal berdirinya bernama Sekolah Tinggi Islam (STI)- didirikan pada hari Ahad Legi 27 Rajab 1364 H. bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1945 di Jakarta. Karena alasan politik, pada tahun 1948 STI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta dan kemudian berubah nama menjadi UII. Peresmian institusi ini dilakukan di gedung Agung Yogyakarta dan dihadiri oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta, Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia waktu itu.39 Para pendiri Badan Wakaf UII dikenal dan tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai perintis pergerakan nasional, seperti Moh. Hatta. Moh. Natsir. Prof . KHA Muzakkir, Moh. Roem, KH. Wachid Hasyim, KH. Mas Mansyur, Dr. Sukiman, Abikusno Tjokrosujoso, H. Anwar Tjikroaminoto, Ki Bagus hadikusuma, KH. Farid Ma'ruf, KH Yunus Anis, KH Abdul Wahab, KH Halim, KH Imam Gjozali dan KH Adnan.40
38
Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, (ed), Revitalisasi Filantropi Islam, Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, h. x-xi 39 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 140 40 Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, (Jakarta: PT Dana Bakti Prima Yasa, 2002), h. 60-61. Lihat juga Ensiklopedi Islam, h. 140
16
Secara umum terdapat dua hal yang menonjol yang menjadi alasan lahirnya Badan Wakaf UII. Pertama, realitas social politik yang melingkupi Indonesia menjelang dan pasca-kemerdekaan sangat menentukan dinamika internal kaum santri terutama di kalangan kaum modernis. Agenda restrukturisasi politik pasca colonial ikut memperkuat motif para pendiri untuk melakukan konsolidasi dan meningkatkan kapasitas umat melalui pendidikan agar dikemudian hari mereka dapat memainkan peran penting dalam pembangunan nasional. Bagi pendiri Badan Wakaf UII, kemerdekaan Indonesia yang dicapai pada tahun 1945 secara jelas menciptakan harapan dan tantangan baru bagi perwujudan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Tokoh-tokoh pendiri Badan Wakaf UII tampaknya mampu mencermati momentum tersebut dan secara tepat berhasil meredefenisi peran dan fungsi pendidikan Islam dengan cara mengkritisi parradigma pendidikan Islam yang diadopsi umat Islam ketika itu. Bagi mereka dunia pendidikan Islam dengan struktur dan paradigma lamanya tidak lagi mampu menjawab tuntutan-tuntutan modernitas.41 Kedua, factor lain yang menjadi alasan kuat didirikannya Badan Wakaf UII adalah kegelisahan tokoh Islam akan ketidakberdayaan lembaga pendidikan Islam dalam mendorong transformasi masyarakat Islam. Kegelisahan ini sesungguhnya bukan fenomena pesca kemerdekaan saja, melainkan sesuatu yang telah dirasakan dan diwacanakan sejak awal abad ke dua puluh. Berawal dari kesadaran internal kaum muslim, factor eksternal juga memotivasi dan menggairahkan semangat umat Islam untuk mengoreksi dan merekonstruksi institusi pendidikan mereka. Konteks perkembangan Islam di Indonesia di awal abad ke dua puluh –yang dipenuhi gerakan pembaharuan dari Mesir- juga ikut mewarnai dinamika internal kaum santri di Indonesia. Dinamika ini ditandai dengan berdirinya Syarikat Dagang Islam 1911 di Surakarta, Muhammadiyah (1912) di Yogyakarta, Al-Irsyad (1914) di Jakarta, Persatuan Islam (1923) di Majalengka dan Nahdlatul Ulama (1926) di Surabaya.42
41
Djauhari Muhsin,(ed), Sejarah dan Dinamika Universitas Islam Indonesia, (Yogyakarta: Badan Wakaf UII Yogyakarta, 2002), h. 1-2 42 Djauhari Muhsin,(ed), Sejarah dan Dinamika Universitas Islam Indonesia, h. 21
17
Sejak berdirinya Syarikat Islam (1912) gagasan tentang pendirian Perguruan Tinggi Islam telah disuarakan. Muhammadiyah mempelopori berdirinya sekolah Islam Tinggi Fakultas Dagang dan Industri sebagai hasil keputusan muktamar seperempat abad Muhammadiyah tahun 1936 di Jakarta. Atas prakarsa Dr. Soekiman Wirjosandjoyo kaum cendikiawan dan ulama bahumembahu mendidkusikan pendirian perguruan tinggi Islam yang diberi nama "Pesantren Luhur" pada tahun 1938 yang tidak berumur panjang itu.43 Pada tahun 1939 berdiri perguruan tinggi Islam di Solo sebagai tindak lanjut dari muktamar Majlis Islam A'la Indonesi (MIAI). Kendati demikian perguruan tinggi ini pun tidak berumur panjang setelah ditutup tahun 1941 akibat pecahnya perang dunia II.44 Itikad untuk mendirikan sekolah tinggi Islam terealisasi pada tahun 1945 setelah Masjoemi (Majlis Syuro Muslim Indonesia – dulunya MIAI) dalam rapatnya memutuskan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Hadir dalam rapat tersebut sejumlah perwakilan dari PBNU, DPP Muhammadiyah, PB PUI, PB PUII, kalangan ulama dan intelektual serta pihak Departemen Agama. Keterlibatan sekian banyak pihak itu memperlihatkan komitmen kolektif para elit Islam untuk memenuhi tuntutan-tuntutan perubahan social kala itu. Secara umum motif umat Islam dalam pendirian Perguruan Tinggi Islam menurut Azyumardi Azra didorong oleh tiga hal. Pertama, sistimatisasi pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu Islam pada tingkat yang lebih tinggi. Kedua, dengan sistimatisasi tersebut diharapkan agar Islam dapat dipahami secara lebih baik terutama bagi kalangan terdidik Muslim maupun oleh umat Islam pada umumnya. Dengan demikian kualitas dakwah Islam dapat ditingkatkan dan dikembangkan dengan baik. Ketiga, pembentukan pendirian perguruan tinggi Islam juga bertujuan untuk mereproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris
43 44
Djauhari Muhsin,(ed), Sejarah dan Dinamika Universitas Islam Indonesia, h. 22-23 Djauhari Muhsin,(ed), Sejarah dan Dinamika Universitas Islam Indonesia, h. 23
18
keagamaan lainnya dilingkungan Departemen Agama, lembaga-lembaga social dan dakwa serta dilingkungan institusi pendidikan Islam swasta.45 Pendirian UII menjelang masa kemerdekaan itu selain digerakkann oleh keprihatinan umat atas realitas dunia pendidikannya yang buram itu,
juga
ditentukan oleh kecerdasan tokoh Islam dalam memahami dan mencermati peluang penting pasca kolonialisasi. Bagi umat Islam kemerdekaan memberi mereka kesempatan berharga bagi peningkatan mutu pendidikan umat. tersebut
untuk
mengaktualkan
Badan wakaf UII hadir dalam konteks
gagasan
"pembelajaran
bangsa"
melalui
pendidikan. Selain ingin ikut merevitalisasi dunia pendidikan nasional, Badan Wakaf UII juga berkeinginan mentrasformasikan nilai-nilai Islam tradisional ke dalam tatanan dan konteks baru yang secara dominan dipengaruhi nilai-nilai moderen.46 Kesadaran ini tampaknya dibentuk oleh kenyataan bahwa meskipun eksistensinya di Nusantara telah berabad-abad lamanya, namun pendidikan Islan belum berhasil menjadi instrument penting dalam merespon perubahan social yang terjadi secara cepat. Terhitung setelah 40 hari STI beroperasi di Jakarta, Indonesia mendeklarasikan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Beberapa bulan pasca kemerdekaan, tentara sekutu pada 29 September 1945 mendarat di beberapa kota di pulau Jawa untuk menerima kapitulasi Jepang. Pemerintah Belanda yang bermaksud menegakkan kembali Pemerintahan Hindia Belanda secara sengaja menyusupkan bala tentaranya ke dalam pasukan sekutu dan memancing kerusuhan dengan berbagai provokasi. Oleh karena situasi Jakarta, sebagai ibu kota Indonesia menjadi buruk. Karenanya pemerintahan Indonesia memutuskan pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 dan menjadi ibukota sementara Republik Indonesia. STI yang juga masih beliau, akhirnya juga diboyong ke Yogyakarta. Kepindahan STI dilatarbelakangi paling tidak oleh dua hal. Pertama, Jakarta berada dalam suasana 45
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 169-170 46 Djauhari Muhsin,(ed), Sejarah dan Dinamika Universitas Islam Indonesia, h. 2
19
perang yang tentu saja tidak menjamin kelancaran perkuliahan. Kedua,
para
dosen dan pengurus STI banyak yang mengikuti kepindahan ibukota RI ke Yogyakarta sebagai pejabat pemerintahan pusat. Perubahan STI menjadi UII dilatari oleh keinginan untuk mengembangkan perguruan tinggi ini sehingga menyelenggarakan program studi umum yang lebih luas. Hal ini dianggap mendesak mengingat kehadiran perguruan tinggi Islam yang mampu menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai lapangan sangat diperlukan. Alasan penting lainnya adalah untuk memberi kesempatan kepada para alumni madrasah dan pesantren agar mereka dapat mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu terapan yang sangat bermanfaat bagi masa depan mereka. Alasan mendasar dibalik perubahan itu dicatat dalam laporan panitia perbaikan STI. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa alasan perubahan STI menjadi UII adalah guna menjalankan agenda mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Secara resmi UII dibuka pada tanggal 5 Juni 1948.47 Hingga kini UII sebagai universitas berkembang cukup pesat. Saat ini UII memiliki 4 program jenjang D3, 21 program jenjang S1, 4 program jenjang S2 dan 2 progran jenjang S3. Luasnya program studi yang ditawarkan pada masyarakat memperlihatkan dinamika yang positif. Hal ini juga menunjukkan bahwa Badan Wakaf UII telah bekerja dengan baik. Potret UII juga dapat dilihat dari perkembangan struktur kelembagaan dilingkungannya. Hingga kini UII memiliki 4 biro yang menangani masalah Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan, Administrasi Keuangan, Pengembangan SDM dan Administrasi Umum. Untuk mendukung aktifitas akademik dan social kemasyarakatan, UII juga membuka lembaga penelitian, Lembaga konsultasi dan bantuan hukum, pengabdian pada masyarakat dan lembaga pembinaan dan pengembangan agama Islam. Selain 4 biro dan 4 lembaga tersebut, terdapat juga badan pengendalian mutu dan pengelolaan mesjid serta 7 pusat kegiatan. Ketujuh pusat tersebut adalah 47
Chaider S.Bamualim, Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta: Wakaf Untuk Modernisasi Perguruan Tinggi Islam dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, (ed), Revitalisasi Filantropi Islam, Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, h. 260-261
20
pusat bahasa, pusat system informasi, pusat outbond, pusat perpustakaan, pengelolaan bantuan social dan kesehatan, pusat HAM dan pusat studi Islam.48
2. Visi dan Misi Badan Wakaf UII Dalam Sejarah dan Dinamika Universitas Islam Indonesia disebutkan bahwa Badan Wakaf UII adalah sebuah badan hukum yang bertujuan untuk menyelenggarakan
dakwah
Islamiyah
melalui
pendidikan,
dengan
mengembangkan ilmu-ilmu amaliyah dan amal ilmiah, dalam rangka melahirkan pemimpin-pemimpin umat dan bangsa yang mampu membawa rahmat bagi umat manusia.49 Pilihan pada dunia pendidikan tinggi ini bertujuan agar umat Islam dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang berlangsung secara dinamis. Sasaran utama yang ingin dicapainya adalah membebaskan umat dari kebodohan serta mengisi kepemimpinan nasional yang diharapkan dapat bermanfaat bagi bangsa dan agamanya kelak. Secara lebih operatif dapat dikemukakan bahwa model pendidikan yang ingin dikembangkan adalah suatu system pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan para intelektual muslim yang menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tetapi tetap setia pada nilai-nilai keislaman dan keimanannya. Kombinasi yang khas dan ideal ini selain bertujuan membangun keseimbangan dunia akhirat sebagaimana selalu menjadi retorika kalangan Islam, juga bertujuan untuk menfasilitasi keinginan dan tuntutan bagi penerapan nilai-nilai Islam di Indonesia secara efektif dan dinamis.50 Dari tahun ke tahun para pengelola Badan Wakaf UII terus merevitalisasi tujuan umum tersebut agar sesuai dengan situasi-situasi social yang berkembang. Perubahan signifikan terjadi pada tahun 2001 di mana terma-terma normative diberi bobot dengan menggunakan idiom-idiom baru yang actual dalam perwujudan tujuan-ttujuan ideal lembaga ini.
48
http//www.uii.ac.id Djauhari Muhsin,(ed), Sejarah dan Dinamika Universitas Islam Indonesia, h. 305 50 Djauhari Muhsin,(ed), Sejarah dan Dinamika Universitas Islam Indonesia, h. 2 49
21
Pada fase ini gagasan tentang perubahan social dan pembentukan masyarakat madani mulai diadopsi secara formal oleh para tokoh-tokoh badan wakaf UII melalui mekanisme dan prosedur organisasi yang legitimate. Dalam Perubahan Kaidah Dasar Yayasan Badan Wakaf UII No. 5 tanggal 10 Oktober 2001 ditegaskan bahwa misi berdirinya Badan Wakaf UII adalah untuk mengarahkan dan mengantarkan umat memenuhi fitrahnya sebagai khaira ummah (umat yang utama) yang dapat memerankan kepeloporan, kemajuan dan perubahan social ke-arah masyarakat madani (civil society), sehingga tercipta negeri yang indah dan penuh ampunan Tuhan (baldatun Thayyibatun wa rabbun ghafur). Visinya adalah demi terselenggaranya badan yang mampu mengentaskan umat
dari
kebodohan
dan
keterbelakangan
melalui
pendidikan
dan
pengembangan ilmu yang yang memiliki komitmen pada kesempurnaan risalah islamiyah menuju khaira ummah tadi.51 Gagasan tentang perubahan social tentunya bukanlah hal yang baru bagi umat Islanm, namun harus diakui bahwa diskursus masyarakat sipil terbilang muda dalam khazanah social dan intelektual masyarakat Islam Indonesia. Pilihan Badan Wakaf sebagai bentuk kelembagaan bukan tanpa alasan. Syafaruddin Alwi, Ketua Pengurus harian Badan Wakaf UII, menjelaskan bahwa tokoh pendiri UII berkeinginan memaksimalkan sumber-sumber pendanaan Islam yang cukup potensial ini. Wakaf pendikan dipilih karena instrument ini potensial untuk dikembangkan menjadi sumber daya umat yang strategis. Pengelolaan pendidikan public dengan menggunakan lembaga wakaf juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya klaim kepemilikan dari pihak-pihak tertentu. Selain untuk memproteksi asset umat tersebut ide tentang penggunaan wakaf sebagai bentuk kelembagaan terinspirasi dari pengalaman Universitas alAzhar Mesir yang berhasil mengembangkan pendidikannya secara mengagumkan dan berdiri megah di atas tanah wakaf.52 Universitas al-Azhar menurut Azyumardi
51
Akte Pendirian Badan Wakaf UII, h. 60 Chaider S.Bamualim., Chaider S.Bamualim, Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta: Wakaf Untuk Modernisasi Perguruan Tinggi Islam dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, (ed), Revitalisasi Filantropi Islam, Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, h. 264-265 52
22
Azra adalah contoh dari pengelolaan harta wakaf yang sukses. Al-Azhar memiliki jumlah harta dan asset wakaf yang luar biasa besarnya sehingga mengungguli anggaran belanja Negara Mesir sendiri.53 Badan UII secara resmi menjadi sebuah badan Hukum dengan ditandatanganinya surat keterangan dari notaries tentang Peraturan Dasar Badan Wakaf UII, atas nama Raden Mas Wiranto, di hadapan para pengurus Badan Wakaf UII dan Perwakilan Departemen Agama RI pada hari Sabtu tanggal 22 Desember 1951.54 Dasar legilitas ini mengukuhkan Badan Wakaf UII sebagai induk organisasi UII dan lembaga-lembaga yang ada di dalamnya.55 Badan Wakaf UII memberi pijakan hukum yang kuat bagi perguruan tinggi UII
untuk
mencurahkan perhatian bagi kelangsungan dakwa Islamiyah melalui pendidikan. Badan Wakaf UII sekarang ini sedang menggiatkan mobilisasi dana melalui penerbitan sertifikat wakaf yang akan ditawarkan kepada public. Dana yang berhasil terkumpul akan dimanfaatkan untuk pengembangan fisik dan pengembangan pendidikan. Mulanya Badan Wakaf UII banyak menerima dan mengelola tanah wakaf sebagai bagian dari harta yang tidak bergerak. Karena tanah wakaf sangat terbatas dan sulit untuk diperoleh saat ini, maka pihak Dewan Pengurus memikirkan sumber-sumber harta wakaf alternative berupa benda bergerak terutama uang tunai, saham, obligasi, kendaraan dan seterusnya. Namun perhatian utama tetap diberikan kepada upaya penggalangan uang tunai.56 3. Pemanfaatan Hasil Wakaf Hasil wakaf di sini adalah keuntungan financial yang diperoleh dari pengelolaan harta wakaf milik UII baik yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan maupun yang bergerak seperti kendaraan, buku-buku dan sebagainya. 53
Azyumardi Azra, dalam buku Berderma Untuk Semua: Wacana dan Praktek Filantropi Islam di Indonesia ,(Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya, the ford Foundation dan Teraju), h. xxvi 54 Djauhari Muhsin,(ed), Sejarah dan Dinamika Universitas Islam Indonesia, h. 60 55 Djauhari Muhsin,(ed), Sejarah dan Dinamika Universitas Islam Indonesia, h. 305 56 Chaider S.Bamualim, Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta: Wakaf Untuk Modernisasi Perguruan Tinggi Islam dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, (ed), Revitalisasi Filantropi Islam, Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, h. 269-270
23
Hasil wakaf terbesar bersumber dari wakaf sarana dan prasarana pendidikan yang difungsikan oleh Universitas sendiri. Dari wakaf ini diperoleh uang sumbangan bangunan dari setiap mahasiswa baru. Uang sumbangan ini sebagiannya dipergunakan untuk tujuan produktif, yaitu untuk pengembangan wakaf. Cara pemanfaatan bisa dengan membelikan tanah atau dengan membiayai pembangunan gedung atau mengadakan fasilitas baru yang kemudian kelak akan menambah jumlah harta wakaf UII. Adapun uang SPP dimanfaatkan oleh mahasiswa sendiri untuk memenuhi kebutuhan akademik mereka.57 Hasil wakaf yang lain adalah keuntungtan financial dari unit-unit bisnis yang didirikan ole Badan wakaf. Sebagian dari hasil wakaf itu dan hasil wakaf lainnya dipakai untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan perkantoran yang terkait langsung dengan kegiatan wakaf seperti gaji karyawan dan biaya rutin lainnya. Program-program pengembangan akademik dan peningkatan system pendidikan juga memanfaatkan dana-dana dari hasil wakaf. Pemanfaatan lain adalah untuk peningkatan SDM dosen-dosen melalui pengiriman mereka untuk studi lanjut di program S2 dan S3 di berbagai perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Di samping itu hasil wakaf juga tampaknya digunakan untuk mensubsidi sebagian biaya operasional fakultas-fakultas agama. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah membiayai operasional kegiatankegiatan social, keagamaan dan HAM. Peamanfaatan hasil wakaf untuk mahasiswa ditempuh dengan cara pemberian beasiswa kepada mahasiswamahasiswa UII yang berprestasi dan mahasiswa yang tidak mampu. 58 E. Kesimpulan
Pembiayaan pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan mempengaruhi secara penuh ekonomi suatu bangsa. Negara yang memiliki
penduduk dengan
57
Chaider S.Bamualim, Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta: Wakaf Untuk Modernisasi Perguruan Tinggi Islam dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, (ed), Revitalisasi Filantropi Islam, Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, h. 270 58 Chaider S.Bamualim, Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta: Wakaf Untuk Modernisasi Perguruan Tinggi Islam dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, (ed), Revitalisasi Filantropi Islam, Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, h. 271
24
pendidikaan yang tinggi akan mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat. Oleh karenanya pembiayaan pendidikan menjadi suatu hal yang sangat penting sekali. Dalam sejarah perkembangan pendidikan Islam, terdapat sumber dana pendidikan selain yang berasal dari pemerintah, orang tua, siswa, yaitu lembaga wakaf.
Lembaga wakaf akan mampu mengentaskan umat dari
kebodohan dan keterbelakangan melalui pendidikan dan pengembangan ilmu yang memiliki komitmen pada kesempurnaan risalah islamiyah menuju khaira ummah (umat yang utama) Konteks lahirnya Badan Wakaf UII, mencerminkan gejala umum perkembangan kelembagaan di dunia Islam, bahwa dinamika social dan realitas internal selalu mempengaruhi perubahan dalam masyarakat Islam. Secara umum, agenda pembelajaran dan pencerdasan umat melalui pendidikan yang dibangun di atas wakaf mulai membuahkan hasil Sejauh ini dari rahim UII telah lahir para alumni yang aktif mengabdikan diri diberbagai lapangan propesi di tanah air.59 Meski problematika umat sangat komplek dan rumit, harus diakui bahwa UII berada di arah yang tepat dalam upayanya mendorong perubahan dan dinamika social dalam menciptakan masyarakat madani.
25