DESENTRALISASI PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBIAYAAN PENDIDIKAN PADA LEMBAGA PENDIDIKAN DASAR ISLAM Suyono Dude Dosen Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK Pembiayaan pendidikan dalam kurun waktu 20052009, disusun dalam rangka melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut (1) memperjelas pemihakan terhadap masyarakat miskin dan/atau masyarakat kurang beruntung lainnya; (2) memperkuat otonomi dan desentralisasi pendidikan; dan (3) memberikan insentif dan disinsentif bagi (a) perluasan dan pemerataan akses pendidikan, (b) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan secara berkelanjutan, dan (c) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelola pendidikan. Fungsi insentif dan disinsentifbagi peningkatan akses, mutu, dan tata kelola akan dilakukan oleh pemerintah pusatuntuk mendorong tumbuhnya prakarsa, kreativitas, dan aktivitas pemerintah daerahdan satuan pendidikan dalam meningkatkan kapasitasnya untuk meningkatkan akses,mutu, dan tata kelola. Insentif dan disinsentif diberikan dalam bentuk hibah berdasarkan kriteria seperti tujuan yang akan dicapai dalam pemenuhan standar nasional pendidikan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan, akuntabilitas dalam pengelolaan serta manfaat yang diperoleh. Evaluasi peningkatan akses, mutu, dan tata kelola pendidikan akan dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang mengacu pada standar nasional pendidikan.
KATA KUNCI Desentralisasi, Pendidikan, Pembiayaan
A. LATAR BELAKANG Menyusul diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, UU No.22,1999 yang telah direvisi ulang. Departemen agama perlu merumuskan kembali posisinya berkaitan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini di bawah naungannya, khususnya madrasah dan pesantren, sebagaimana diketahui UU otonomi daerah telah menegaskan kewenangan pusat dan daerah beberapa bidang yakni: politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal dan agama menjadi kewenangan pemerintah pusat, sementara bidng-bidang lainnya diserahkan kepada pemerintah daerah (kabupaten /kota). Hal ini tentu mengundang persoalan khususnya berkenaan dengan posisi madrasah, apakah madrasah yang telah lama berada dibawah pembinaan Depag akan sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah Tk II sebagaimana sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Depdikbud, ataukah madrasah tetap dalam skema sebagaimana yang telah berjalan? Pilihan apapun yang diambil Depag akan menimbulkan tarikmenarik dan implikasinya yang jauh terhadap keberadaan madrasah sebagai institusi pendidikan. Pertama, kita perlu melihat setting sejarah kehadiran madrasah ditengahtengah masyarakat, hal ini penting agar peran serta masyarakat atau keswadayaan
yang menjadi basis pendukung kelangsungan lembaga ini tidak terabaikan, lebih daripada itu ia dijadikan modal dasar bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Madrasah, sebagaimana yang kita ketahui telah tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat jauh sebelum Indonesia merdeka, keberadaan madrasah merupakan jawaban terhadap tuntutan masyarakat akan layanan pendidikan yang memenuhi dua dimensi kebutuhan, penguasaan ilmu pengetahuan /teknologi dan pendidikan agama. Kedua hal ini secara historis tidak dapat dipenuhi baik oleh sekolah umum yang didirikan pemerintah kolonial Belanda maupun pondok pesantren yang saat itu hanya menyelenggarakan pendidikan agama, peran demikian sebagai penyeimbang antara tuntutan dua dimensi tampaknya masih relevan dengan tuntutan masyarakat kini dan mendatang. Kedua, madrasah telah memperoleh pengakuan masyarakat, setidaknya bahwa madrasah tidak diragukan lagi eksistensinya. Beberapa dekade lalu dan bahkan dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda, institusi pendidikan ini terkesan dibiarkan tumbuh sendiri, sentuhansentuhan pemerintah yang dapat mendorongterjadinya eskalasi peningkatan mutu madrasah dirasa masih belum seimbang dibanding dengan perlakuan yang diberikan ke sekolah-sekolah yang berada dinaungan Depdikbud. Dari segi anggaran misalnya kita melihat ketimpangan dalam alokasi anggaran untuk lembaga pendidikan ini, hal ini selanjutnya berhubungan dengan status dan garapan Depag. Depag harus mengalokasikan dana untuk pengembangan madrasah dalam jumlah yang sangat minimal, sementara pada saat yang sama Depag juga dituntut agar madrasah dapat memberikan layanan pendidikan yang bermutu sesuai tuntutan masyarakat, ketimpangan yang mencolok ini selanjutnya mengakibatkan kualitas madrasah jauh tertinggal dari sekolah-sekolah dibawah naungan Depdikbud. Ketiga, proporsionalitas dan politik penyelenggaraan pendidikan tampaknya juga perlu dipertimbangkan dalam melihat persoalan madrasah, Depdikbud dipandang lebih otoritatif untuk menangani pendidikan, pandangan ini tidak dengan serta merta dapat diterima karena beberapa alasan, salah satu pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah integrasi madrasah atau pendidikan agama dalam satu wadah tidak akan menimbulkan reduksi terhadap penyelenggaraan pendidikan agama atau lebih dapat menunjang proses sekulerisasi. Upaya-upaya untuk memberikan semua pengajaran agama kepada setiap murid merupakan salah stu diantara sejumlah tawaran yang tak pernah ditolak, ini tentunya merupakan salah satu kasus yang mungkin sukar dilupakan oleh umat Islam. Upaya untuk menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti bisa saja dapat memicu ketegangan dikalangan umat manakala itu dipahami sebagai pengganti dari pendidikan agama disekolah-sekolah. B. DESENTRALISASI PENDIDIKAN DALAM BINGKAI NKRI 1.
Isu Pokok Manajemen Pendidikan Dasar: Sentralisasi Vs Desentralisasi
Jika menyimak jiwa PP No.65 Tahun 1951 sebenarnya telah ada tercermin akan pemberian sebagaian kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar dan hal ini mendapat wadahnya kala itu dalam UU No.5 Tahun 1974 mengenai pemerintahan daerah yang menjurus kepada pemberian otonomi kepada daerah. Keputuan politik untuk untuk memberi otonomi kepada daerah didorong pula oleh tuntutan pembangunan yang semakin meningkat dan semakin kompleks sehingga meminta penanganan yang lebih efisien serta mengikutsertakan masyarakat sedapatdapatnya dalam pengambilan keputusan, merencanakan, melaksanakan dan bertanggungjawab atas pembangunan daerahnya.
Sebaliknya pada jiwa PP No 28 tahun 1990 lebih cenderung kearah pendekatan manajemen yang bersifat sentralistik, hal ini mudah dimengerti karena PP tersebut keluar dari UU No 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Sebagai sustu sistem tentunya ia harus efektif, secara teknis sistem itu haruslah efisien agar output dari sistem itu bermutu tinggi, dengan sendirinya PP yang mengatur pelaksanaan sistem itu haruslah bersifat teknis. Dalam dikotomi pemikiran sentralisasi-desentralisasi manajemen pendidikan dasar terdapat 7 unsur yang merupakan poros-poros penentu perumusan strategi pengelolaan, ketujuh unsur tersebut adalah: a. Wasasan nusantara b. Demokrasi c. Kurikulum d. Proses belajar mengajar e. Efisiensi f. Pembiayaan pendidikan g. Ketenagaan a.
Wawasan Nusantara Desentralisasi manajemen pendidikan dasar memang tidak dengan sendirinya akan melemah kan berkembangnya perasaan nasional yang sehat, namun desentralisasi cenderung memberi prioritas kepada penghayatan-penghayatan nasionalisme yang konkrit. Desentralisasi manajemen pendidikan dasar dapat diartikan pengurangan legitimasi pemerintah pusat meskipun tidak seharusnya demikian, berbagai mekanisme lainnya yang dapat digunakan oleh pemerintah pusat dalam upaya tetap memegang kontrol penyelenggaraan pendidikan dasar, dilain pihak penyerahan penyelenggaraan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebenarnyaa meruapak suayu bentuk “konflik manajemen” , dengan memberi wewenang kepada daerah untuk menyelenggarakan salah satu tugasnya untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya pada hakikatnya akan memperkuat legitimasi pemerintah pusat dengan menghindarkan terjadinya konflik antar daerah. b.
Demokrasi Demokrasi adalah salah satu paham dalam penyelenggaraan negara kita dan juga sebagai salah satu asa dasar negara pancasila ialah kerakyatan. Asas kerakyatan berarti percaya kepada kekuatan rakyat sendiri dalam menegakkan dan mewujudkan negara kesatuan adil dan makmur, oleh sebab itu suatu pendekatan pembangunan yang sangat sentralistik dan kaku dengan sendirinya akan mematikan asas demokrasi, pandangan hidup demokratis tidak mungkin hidup dalam masyarakat otoriter dengan sistemnya yang sentralistik. Penyelenggaraan pendidikan berdasarkan asas-asas demokrasi ialah mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat dan orang tua saling membahau menyelenggarakan pendidikan yang dikehendaki bagi anak-anaknya dengan berpedoman terhadap ketentuan yang berlaku. c.
Efisiensi Sebab-sebab masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan dasar kita ditunjukkan oleh angka repetisi dan angka drop out karena ketidak mampuan orang tua dalam pembiayaan pendidikan dasar, selain itu juga disebabkan oleh manajemen pendidikan yang terlalu sentralistik, yang kurang memperhatikan keterbatasan kemampuan ekonomi orang tua murid atau faktor kemiskinan, karena faktor kemiskinan hanya dapat dipantau melalui pendekatan lapangan.
d.
Pembiayaan Pendidikan Sungguhpun sektor pendidikan pada tahun-tahun terakhir ini menempati prioritas tertinggi dalam alokasi dari APBN tetapi masih jauh dari kebutuhan hal terlihat dari persentase alokasi anggaran pendidikan yang masih berkisar 11-13%. Jika dibandingkan dengan negara Asen saja maka kita masih tergolong dibawah. Kecenderungan lembaga-lembaga pendidikan dasar itu berdiri sendiri khususnya swasta dan madrasah sehingga sumber dana pendidikan yang ada tidak jarang “under utilized” belum lagi sumber pendidikan baik dana dan sarana maupun partisipasi masyarakat tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, mungkin masyarakat itu sendiri menjadi bingungdengan adanya berbagai lembaga yang tampaknya otonom sedangkan sebenarnya seluruhnya mempunyai tujuan sama. 2.
Pembiayaan Pendidikan Sebagai Suatu Sistem
Apabila langkah-langkah yang ditempuh untuk memperbaiki dan mengembangkan suatu sistem kearah tujuan yang dicapai mengalami hambatan, kelemahan ataupun penyimpangan maka akan diperkirakan akan terjadi pemborosan (westages)yang lebih dikenal dengan ekonomi biaya tinggi yang merugikan sistem itu sendiri dan mengakibatkan rendahnya produktivitas yang diharapkan. Dari segi ekonomi pendidikan hususnya pendekatan human capital aspek pembiayaan dipandang sebagai bagian dari investasi pendidikan yang menentukan taraf produktivitas individu maupun kelompok. Pada gilirannya taraf produktivitas ini mempengaruhi taraf perolehan (earning) seseorang atau kelompok yang pada akhirnya berkonstribusi terhadap kecepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Pemikiran ini dikonseptualisasikan oleh Elchanan Cohn (1979) dalam suatu model sebagai berikut: Investment in education
Higher Productivity
Higher Earnings
Bagan: Pendekatan Human Capital Dalam Pendidikan (cohn, 1970,h.29) Model pendekatan di atas mengisyaratkan bahwa ketidak efisienan pengelolaan sumber-sumber biaya dan pemanfaatannya selaku investasi dalam sistem pendidikan dapat memberikan dampak negatif terhadap jumlah dan mutu produk pendidikan dan keadaan ini memberikan peluang yang cukup besar terhadap munculnya nilai baik (value of return) karena ketidak tepatan dalam penggunaan dana yang dapat mencakup dalam pengelolaan biaya dari beberapa komponen utama sistem pendidikan antara lain guru, murid, kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan. 3.
Dasar Falsafah Pembiayaan Pendidikan
Dalam mengkaji mengapa pembiayaan pendidikan itu diperlukan, hal tersebut tidak terlepas dari pembahasan mengenai hal-hal mendasar tentang kedudukan pendidikan dihubungkan dengan sektor-sektor kehidupan manusia secara keseluruhan. Salah satu sektor kehidupan manusia yang perlu disoroti dalam kaitannya dengan fungsi pendidikan ialah ekonomi, bahkan dewasa ini banyak ahli ekonomi yang berupaya menemukan tingkat konstribusi pendidikan terhadap
perkembangan ekonomi. Ahli ekonomi seperti Adam Smith dan Alfred Marshall (dalam knezvich,1975,p.539) mengemukakan keyakinannya bahwa: the most valuable of all capital is that invested in human beings” pandangan ini jelas telah memberikan suatu pengakuan terhadap peranan human investmen. Berbicara mengenai investasi manusia jelas tidak boleh lepas dari fungsi pendidikan. Dengan pengakuan terhadap konstribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi jelas memberi dasar-dasar pemikiran yang jelas tentang fungsi dan kedudukan pendidikan itu. Hal itu perlu dipertegas untuk menjadi landasan yang kuat mengapa kegiatan pendidikan itu perlu dilaksanakan, penegasan ini perlu sebagai landasan pemikiran mengenai tipe pendidikan yang bagaimana yang nantinya akan dilaksanakan, baik dalam upaya mengkonstribusi pengembangan ekonomi maupun dalam pemberian kemampuan-kemampuan pada seseorang dalam menghadapi kompleksitas kehidupan. Pandangan lain yang melihat pendidikan sebagai objek pembangunan memberi arti bahwa pendidikan itu sendiri menjadi sasaran untuk dibangun, agar kelak dapat berperan dan berfungsi sesuai dengan harapan yang ada. Perlunya pendidikan itu menjadi objek pembangunan karena pada satu pihak pendidikan itu sendiri dipengaruhi oleh perkembangan kebutuhan pada sektor-sektor kehidupan lainnya. Meningkatnya pendidikan tersebut dapat disebabkan oleh adanya kemajuan (progress) atau yang disebabkan oleh hal-hal bersifat natural, misalnya pertambahan anak usia sekolah. Berperannya pendidikan baik sebagai objek pendidikan tidak lepas dari adanya sejumlah kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Dalam proses pelaksanaan-pelaksanaan kegiatan inilah muncul permasalahan mengenai pembiayaan pendidikan. 4.
Dasar Hukum Pembiayaan Pendidikan
a.
Landasan ideal pembiayaan pendidikan di Indonesia Landasan ideal ini terutama sebagai perwujudan dan basic value ataupun beliefs yang tumbuh dan berkembang dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai luhur tersebut adalah yang menjadi falsafah bangsa Indonesia yaitu pancasila, dengan demikian pembiayaan pendidikan untuk kegiatan-kegiatan pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila tersebut. b.
Landasan konstitusional Secara konstitusional maka kehidupan bernegara telah diatur dalam suatu UUD, dalam negara RI landasan konstitusionalnya tentulah UUD 1945. Dalam UUD 1945 tersebut dapat dikemukakan beberapa bagian yang dapat menjadi rujukan khususnya dalam hubungannya dengan pembiayaan pendidikan di Indonesia. 1) Dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4 dikemukakan mengenai tujuan nasional bangsa Indonesia. Dalam tujuan ini dapat dilihat baik secara implisit maupun eksplisit pendidikan itu jelas fungsinya dalam menunjang terbentuknya pemerintah negara, usaha memajukan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan kesejahteraan sosial, bahwa tidak mungkin akan diperoleh orang-orang yang dapat memerintah negara dengan baik tanpa adanya konstribusi kegiatan pendidikan. 2) Dalam batang tubuh UUD 1945 tertera yang secara eksplisit akan berkaitan dengan pembiayaan pendidikan. Khususnya bagi penyelenggaran pendidikan di Indonesia UUD 1945 telah mengaturnya dengan jelas, seperti jaminan setiaap
warga negara untuk mendapatkan atau memperoleh pendidikan yang menjadi hak, selain itu pemerintah juga ikut memajukan kebudayaan nasional yang tentunya berakar pada pendidikan dasar setiap warga negara. 5.
Konsep Dasar Dalam Pembiayaan Pendidikan
Pembiayaan pendidikan sebagai “sesuatu” yang seharusnya ada tidak dapat dipahami tanpa mengkaji konsep-konsep yang mendasarinya, ada anggapan bahwa membicarakan pembiayaan pendidikan tidak lepas dari persoalan “ekonomi pendidikan” . menurut Mark Blaugh (1970) mengemukakan bahwa: “the economic of education is branch of economics” jadi dapat dikatakan menurut pandangan ini bahwa pada dasarnya pembiayaan pendidikan itu merupakan bagian atau cabang dari ilmu ekonomi. Pandangan tersebut didasarkan pada suatu keyakinan bahwa mempelajari ekonomi pendidikan lebih mendalam tidak dapat dicapai tanpa mempelajari disiplindisiplin yang berdekatan dengan consern. Dalam konteks ekonomi, fungsi permintaan (demand) meruapakan suatu persamaan yang menunjukkan hubungan antara jumlah permintaan akan suatu barang dan jasa dengan semua faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti harga, pendapatan, selera dll. Karena itu permintaan merupakan satu konsep subjektif yaitu nilai yang diberikan seseorang terhadap suatu barang atau jasa dimana besar kecilnya nilai tergantung faktor yang mempengaruhinya tadi. Permintaan itu sendiri dapat bersifat elastis ataupun inelastis, bila perubahan harga sangat mempengaruhi permintaan maka permintaan elastis sedangkan bila perubahan harga tidak mempengaruhi permintaan akan barang/jasa tadi berarti permintaan in-elastis. C. STRATEGI PEMBIAYAAN PENDIDIKAN Memperhitungkan sumber-sumber pendanaan lain yang mungkin dapat diupayakan, seperti bantuan luar negeri (donor) dan kontribusi masyarakat yang harus ditelaah per program. Semua kemungkinan skenario pembiayaan tersebut harus tertuang dalam Renstrada 2005-2009, sebagai pedoman pelaksanaan program pembangunan pendidikan di daerahnya, dalam rangka mendukung pencapaian targettarget nasional program pembangunan jangka menengah 2005-2009. Pembiayaan pembangunan pendidikan disusun dalam rangka melaksanakan ketentuan perundangan serta kebijakan Pemerintah dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Pembiayaan pendidikan dalam kurun waktu 20052009, disusun dalam rangka melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut (1) memperjelas pemihakan terhadap masyarakat miskin dan/atau masyarakat kurang beruntung lainnya; (2) memperkuat otonomi dan desentralisasi pendidikan; dan (3) memberikan insentif dan disinsentif bagi (a) perluasan dan pemerataan akses pendidikan, (b) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan secara berkelanjutan, dan (c) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelola pendidikan. Pemihakan terhadap masyarakat miskin dilakukan dengan menghilangkan berbagai hambatan biaya bagi orangtua peserta didik, dalam rangka meningkatkan jumlah peserta didik SD dan SMP yang berasal dari keluarga miskin sehingga wajib belajar 9 tahun dapat diselesaikan. Hambatan tersebut terdiri atas tiga jenis pembiayaan pendidikan yang selama ini dibebankan kepada orangtua peserta didik, yaitu biaya operasi satuan pendidikan, biaya pribadi, dan biaya investasi. Dengan semakin kecilnya hambatan biaya khususnya bagi keluarga miskin, diharapkan
seluruh anak usia sekolah dapat mengikuti pendidikan paling tidak sampai dengan pendidikan dasar sembilan tahun. Pemerintah akan mulai menghilangkan hambatan biaya seluruh item biaya operasi satuan pendidikan di luar gaji pendidik dan tenaga kependidikan. Untuk melaksanakan amanat Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Pemerintah secara bertahap membebaskan seluruh beban biaya operasi satuan pendidikan negeri dan swasta menuju pendidikan dasar bebas biaya. Walaupun orangtua siswa dibebaskan dari biaya operasi satuan pendidikan, masih banyak keluarga miskin yang tidak mampu memenuhi biaya pribadi untuk anaknya sehingga tidak dapat pergi ke sekolah. Untuk mengantisipasi menurunnya APK SMP karena hambatan biaya pribadi, Pemerintah menyediakan bantuan beasiswa yang disalurkan melalui biaya satuan pendidikan ke sekolah untuk menutup biaya pribadi bagi siswa miskin agar tidak terhambat masuk sekolah. Bantuan beasiswa juga dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi sekolah. Hambatan biaya lainnya adalah biaya investasi seperti lahan, prasarana pendidikan, sarana pendidikan, dan modal kerja yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang dapat mendorong terwujudnya mutu proses pembelajaran di sekolah. Pada tahun 2005, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung sebagian besar dari biaya investasi satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Biaya investasi tersebut difokuskan pada perbaikan prasarana dan sarana pendidikan (gedung, ruang kelas, dan sarana belajar) yang mendesak untuk direhabilitasi agar dapat melindungi guru dan siswa melaksanakan proses belajar dengan baik. UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, antara lain mengatur sistem pembiayaan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut UU tersebut sumber keuangan APBD adalah PAD, DAU, dan dana bagi hasil (DBH). D. FUNGSI INSENTIF DAN DISINTENSIF BAGI PENINGKATAN AKSES, MUTU DAN TATA KELOLA Pembiayaan Pembangunan Pendidikan Pembiayaan pendidikan harus mampu menjadi insentif dan disinsentif bagi upaya peningkatan akses, mutu, dan tata kelola. Kapasitas pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam mengelola sumber-sumber daya pendidikan sangat menentukan keberhasilan peningkatan akses, mutu, dan tata kelola. Fungsi insentif dan disinsentif bagi peningkatan akses, mutu, dan tata kelola akan dilakukan oleh pemerintah pusat untuk mendorong tumbuhnya prakarsa, kreativitas, dan aktivitas pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam meningkatkan kapasitasnya untuk meningkatkan akses, mutu, dan tata kelola. Insentif dan disinsentif diberikan dalam bentuk hibah berdasarkan kriteria seperti tujuan yang akan dicapai dalam pemenuhan standar nasional pendidikan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan, akuntabilitas dalam pengelolaan serta manfaat yang diperoleh. Evaluasi peningkatan akses, mutu, dan tata kelola pendidikan akan dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Depdiknas dapat bekerja sama dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) atau lembaga akreditasi/sertifikasi dalam menyusun sistem evaluasinya. Mengingat koordinasi tugas-tugas pengendalian dan penjaminan mutu merupakan kewenangan pemerintah pusat, maka mekanisme pemberian untuk pelaksanaan fungsi insentif dan disinsentif dilaksanakan melalui pola pendanaan dekonsentrasi dan/atau dana alokasi khusus. Rencana pembiayaan
yang akan dijelaskan dalam bagian ini mencakup pendanaan pendidikan nasional untuk pembiayaan pembangunan pendidikan, baik secara keseluruhan maupun hanya pada Depdiknas serta pembiayaan program prioritas Depdiknas sesuai dengan RPJM. Skenario pendanaan pendidikan nasional untuk pembiayaan pembangunan pendidikan serta untuk memenuhi amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4) menggunakan APBN dan sesuai dengan RPJMN 2004-2009. Sementara itu, pembiayaan dengan pendekatan ideal digunakan untuk memberikan gambaran besarnya anggaran yang sebenarnya diperlukan dalam membangun pendidikan yang bermutu sesuai dengan tujuan reformasi pendidikan dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Hal ini menyangkut konsekuensi upaya mencapai standar nasional pendidikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, seperti standar pengelolaan, standar kompetensi guru, dan standar sarana/prasarana. Rencana pembiayaan pembangunan pendidikan dan program prioritas sampai dengan tahun 2009 adalah sebagai berikut. 1. Pembiayaan pembangunan pendidikan dalam rangka pemerataan dan perluasan akses; peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; dan penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik, bersumber padaAPBN,APBD dan dana masyarakat. Dengan menggunakan pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi yang dicanangkan pada RPJMN 2004-2009, total anggaran pendidikan pada tahun 2009 akan mencapai 212,64 triliun atau setara dengan 5,5% dari PDB pada tahun yang sama. 2. Anggaran sektor pendidikan pada pemerintah pusat pada tahun 2009 akan mencapai 127,34 triliun, sedangkan anggaran sektor pendidikan pada pemerintah daerah akan mencapai 85,30 triliun. Persentase anggaran sektor pendidikan pemerintah pusat terhadap belanja pemerintah pusat, tumbuh sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dan DPR yaitu dari 9,3% pada tahun 2005 menjadi 20,1% pada tahun 2009 dan ini untuk memenuhi UUD 1945 pasal 31 ayat (4).
DAFTAR PUSTAKA Armida S. Alisjahbana, 1999, “Manajemen Otonomi Daerah: Implementasi
Desentralisasi dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Solusi dan Evaluasi Kritis Masa Depan Ekonomi Indonesia” diselenggarakan Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Pasundan, Bandung 20 Juli 1999. ___________________, 1999, “Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Platform untuk Masa Depan Ekonomi Indonesia” diselenggarakan oleh ISEI Cabang Bandung dan LPEM FE-UI, Bandung 25 Maret. _________________ , 1998, “Desentralisasi Kebijakan Fiskal dan Tuntutan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah”. Orasi Ilmiah pada Dies ke 41 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung 24 Oktober.
Patrinos, Harry A. and David L. Ariasingam, 1997, Decentralization of Education: Republik Indonesia, 1999, UU nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah, Mei.
_______________, 1999, UU nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Mei.
Evaluation and Development: The Institutional Dimension, New Brunswick, USA and London, UK: Transaction Publishers.