Jurnal At-Tajdid
DESENTRALISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM H. Hasan Baharun* Abstract: Along with the birth of the reform era and the enactment of the Regional Autonomy Law Number 22 of 1999, it has changed all of the rules that is from centralization (top down) to be decentralization. Center government has been providing the widest possible authority to the regions government to manage their own households in building their respective areas by accommodating and optimizing all available resources in the area. In fact, the efforts of decentralization or schools autonomy have championed by the education community for a long time. The reason is that the centralization system has not relevant to the present context of Indonesia’s population that is more complex. Therefore, autonomy of education must be rightly applied if the education in Indonesia want to be more progressive and equal -even more than– with the developed countries and be accepted by them. By decentralization, schools are encouraged to develop itself with more flexibility towards to be better. In addition, decentralization is a new challenge for schools that have been particularly affected by opium of lulled by the government, such as new public schools. The schools are now required to create a curriculum that fits their own circumstances and implemented by itself, no longer supplied by the center. Keywords: decentralization, islamic education system
* Dosen STIT Muhammadiyah Pacitan
241
Desentralisasi dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Sistem Pendidikan Islam
PENDAHULUAN Dalam tataran ideal teoritis, otonomi pendidikan merupakan tuntutan demokratisasi dan perkembangan peradaban serta ilmu penge tahuan dan tekhnologi. Masyarakat ditempatkan pada posisi otonom untuk merancang dan mengelola pendidikan, sehingga diharapkan akan tumbuh suatu format kehidupan masyarakat yang semakin mandiri, kritis dan kreatif. Hal ini menjadi semakin strategis dalam hubungan warna dengan negara dalam segala benuk ekspresi dan praktek kenegaraan.1 Otonomi daerah di bidang pendidikan di satu sisi tidak bisa dilepaskan dari gerakan global, yaitu demokratisasi, atau menurut istilah kontemporer adalah “proses menuju masyarakat madani”. Di seluruh dunia muncul gerakan-gerakan dari bawah (grass root) yang menginginkan kehidupan yang lebih demokratis dan mengakui hak-hak asasi dalam se�luruh aspek kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Di sisi lain, ia juga merupakan kritik terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang lebih sentralistik. Selama masa Orde Baru proses pemberdayaan masyarakat daerah/local, termasuk individu, boleh dikatakan dikesam pingkan. Segala sesuatu ditentukan dari atas, dan daerah dianggap tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Akibatnya, terjadi sikap ketergantungan yang tinggi terhadap pusat dan masyarakat lokal menjadi tidak mandiri, kurang inisiatif dan kurang kreatif. Pemerintah daerah, apalagi pemerintah kabupaten, boleh dikatakan tidak mempunyai wewenang apa-apa dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekolah-sekolah telah menjadi milik pemerintah pusat, karena dikendalikan melalui berbagai peraturan yang ditentukan oleh pemerintah pusat, seperti: kurikulum, tenaga kependidikan, sarana, buku-buku pelajaran, pembiayaan dan lain-lain.2 Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah memiliki nilai strategis bagi daerah untuk berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan daerah-daerah di seluruh nusantara, terutama yang berkaitan langsung dengan sumber daya manusia dan alamnya dalam mendobrak kebekuan dan stagnasi yang dialami dan melingkupi masyarakat selama ini. Begitu juga dengan adanya desentralisasi pendi242
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
H. Hasan Baharun
dikan, pemerintah daerah baik tingkat kabupaten atau pun kotamadya dapat memulai peranannya sebagai basis pengelolaan pendidikan dasar. Di tingkat propinsi dan kabupaten akan diadakan lembaga non-struk tural yang melibatkan masyarakat luas untuk memberikan pertimbang an pendidikan dan kebudayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerahnya. Otonomi daerah di bidang pendidikan, dengan demikian beru�saha memberikan kembali pendidikan kepada masyarakat pemiliknya (daerah) agar hidup dari, oleh dan untuk masyarakat di daerah tersebut, atau berusaha memandirikan suatu lembaga atau suatu daerah untuk mengurus dirinya sendiri. Makna dari otonomi pendidikan dalam hal ini adalah pendidikan dikembalikan lagi kepada the stake holder, ya itu masyarakat.3 Sebagai konsekwensinya, maka sebagian besar sumber pembiayaan nasional akan dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbedabeda. Melalui otonomi daerah, diharapkan layanan di bidang pendi dikan dan kebudayaan dapat lebih memenuhi kebutuhan, lebih cepat, lebih efisien dan efektif dan lebih menegakkan aparat yang bersih dan berwibawa.
PRINSIP-PRINSIP OTONOMI DAERAH (DESENTRALISASI) Setelah pelaksanaan Undang-undang Pemerintahan di daerah lebih dari 25 tahun dan untuk tindak lanjut tuntutan revisi Undang-Undang bidang politik, Undang-undang Pemerintahan di daerah No. 05 Tahun 1974 oleh daerah lebih dirasakan menutup kesempatan bagi otonomi daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setem�pat menurut prakarsa sendiri, dan berdasar aspirasi dan potensi masyarakat. Di samping itu membuat tidak berfungsinya secara optimal peran dan tugas DPRD, baik sebagai badan legislatif maupun sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penyelenggaraan yang tertuang dalam Undang-undang No. 05 Ta hun 1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan di daerah adalah sebagai berikut: azaz dekonstruksi, yaitu pelimpahan kewenangan dari peme
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
243
Desentralisasi dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Sistem Pendidikan Islam
rintah pusat kepada aparat pemerintah pusat di daerah, azaz desen tralisasi, yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom atau penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya,4 dan azaz pembantuan (medebewind), yaitu penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan, secara bersama-sama dan seimbang. Tetapi pada kenyataannya, di daerah lebih dirasakan bahwa oto�nomi tersebut lebih mengutamakan azaz dekonstruksi sehingga lebih menekankan kepada prinsip penyeragaman sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, sedang di daerah lebih mengutamakan kewenangan eksekutif, sehingga dirasakan kurang berfungsinya DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat.5 Hal tersebut membuat daerah-daerah menuntut dilaksanakan pe ninjauan kembali serta pembaharuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang lebih menekankan pelaksanaan azaz desentralisasi. Dengan demikian akan lebih menjamin perkembangan demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah dan mampu mengembangkan inisiatif serta check and balance dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam pembahasan RUU Pemerintahan daerah yang diajukan oleh pemerintah (Departemen Dalam Negeri) yang sangat mendasar dalam undang-undang baru adalah : 1. Memberdayakan masyarakat 2. Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas 3. Meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dan mening katkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah.6 Sedangkan prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dija dikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah:7
244
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
H. Hasan Baharun
1.
2. 3.
4.
5.
6.
7.
8.
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memper hatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keaneka ragaman daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan da erah serta antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan keman dirian daerah otonom, dan karenanya dalam kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasankawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi peng awasan maupun fungsi anggaran atas penyelnggaraan pemerintah an daerah. Pelaksanaan asas dekonstrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melak sanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah Kepala Daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepala desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
245
Desentralisasi dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Sistem Pendidikan Islam
Selain itu, otonomi daerah bersifat luas, nyata dan bertanggungja wab. Disebut luas karena kewenangan sisa justeru berada pada pemerin tah pusat (seperti pada Negara federal), disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut hal yang diperlukan, tumbuh dan hidup dan berkembang di daerah, dan disebut bertanggung jawab karena kewenangan yang diserahkan kepada daerah itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah.8
IMPLIKASI OTONOMI DAERAH TERHADAP PENGEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM Menghadapi masa yang serba terbuka di alam demokrasi ini orang akan melakukan pilihan-pilihan rasional, utamanya dalam dunia pendidikan. Orang tidak akan hanya melakukan pilihan atas dasar hubung an paternalistik maupun juga atas dasar loyalitas kelompok atau paham/ ideologi tertentu. Jika sebelumnya, masyarakat dalam memberikan pengakuan terhadap lembaga pendidikan didasarkan atas penghargaan pemerintah, maka ke depan justeru masyarakat yang akan memberikan ukuran-ukuran tentang kekuatan masing-masing lembaga pendidikan. Itulah sebabnya lembaga pendidikan harus lebih terbuka dan mampu melihat tuntutan riil masyarakatnya.9 Pada era otonomi tersebut kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerah bersangkut an akan maju. Sebaliknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated, tidak akan pernah mendapat momentum yang baik untuk ber kembang.
246
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
H. Hasan Baharun
Kebijakan pemerintah berupa pemberian otonomi daerah, mau tidak mau menuntut lembaga otonomi daerah memiliki kemandirian, terbuka dan peduli dengan tuntutan zaman dan mampu berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Kemandirian harus ditempuh dan tidak selayaknya lagi menunggu dari atas. Mereka bukan sekedar melakukan peran-peran sebagai pelaksana sebagaimana yang terjadi pada masa sebelumnya. Mengenai dampak implementasi UU otonomi daerah tersebut, Mentri Pendidikan Nasional pada rapat koordinasi pejabat departemen agama Pusat dan Daerah, tanggal 29 November 1999, telah mengemukakan enam permasalahan dalam pelaksanaan UU tersebut, yaitu: masalah kepentingan nasional, mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, peme rataan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas. Dalam konteks kepentingan nasional, permasalah yang perlu di antisasipasi adalah : pertama, bagaimana kita dapat menjamin bahwa wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dapat dituntaskan di semua dae rah kabupaten dan daerah kota dalam waktu yang relative sama, semen�tara potensi dan kemampuan daerah berbeda-beda. Kedua, bagaimana kita dapat mengamankan program pendidikan dan kebudayaan yang dapat memberikan peluang kreativitas dan keragaman daerah, tetapi semuanya mengarah secara sentripetal ke kepentingan nasional melalui muatan yang sama dalam upaya pembentukan “national character building”. Ketiga pendidikan merupakan investasi jangka panjang, yang kadang-kadang kurang menarik bagi sebagian pejabat daerah, karena hasilnya tidak dapat dilihat dan dinikmati, sebaliknya pembangun an fisik merupakan investasi jangka pendek yang segera dapat dilihat. Karena itu, bagaimana menjaga agar sumber dana untuk pendidikan dapat terjamin dan memperoleh prioritas dalam alokasi anggaran dae rah?, keempat, menyangkut pendidikan agama yang termasuk persoalan mendasar yang rawan, sehingga kepentingan nasional untuk membentuk masyarakat religius dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik dapat menjadi persoalan dalam pelaksanaan di lapangan jika tidak diatur dan tidak ada rambu-rambu yang memadai.10 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
247
Desentralisasi dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Sistem Pendidikan Islam
Dalam konteks mutu pendidikan, permasalahannya adalah diberlakukan UU otonomi daerah tersebut apakah dapat dijamin mutu pendidikan masing-masing daerah, khususnya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang nota benenya “kurang siap” terutama dalam rangka memenuhi standar nasional dan internasional untuk menghadapi persaing an global, sedangkan kualitas sumber daya, prasarana dan kemampuan pembiayaannya bisa sangat berbeda. Dalam konteks pemerataan, otonomi di bidang pendidikan dapat meningkatkan aspirasi masyarakat akan pendidikan yang diperkirakan juga akan meningkatnya pemerataan memperoleh kesempatan pendi dikan. Tetapi akan semakin dibayar mahal dengan semakin tingginya jarak antar daerah dalam pemerataan akan fasilitas pendidikan yang akhirnya akan mendororng meningkatnya kepincangan dalam mutu hasil pendidikan. Tanpa intervensi pengelolaan, anggota masyarakat dari daerah kabupaten/kota yang kaya dengan jumlah penduduk sedikit akan menikmati fasilitas lebih baik dari anggota masyarakat dari kebupaten/ kota yang miskin. Pendekatan sentralistis tentunya sulit mengadaptasikan kurikulum dengan kebutuhan lingkungan. Oleh karena itu, program pendidikan haruslah merefleksikan kebutuhan dasar manusia agar ia layak dan cukup intelegen hidup dalam lingkungannya. Sebaliknya, kurikulum yang terlalu berorientasi kepada lingkungan akan mengurangi wawasan pembentukan kepribadian peserta didik serta membatasi horizon penalar annya. Dengan menyadari kekurangan-kekurangan ini, pendekatan desentralisasi akan banyak manfaatnya untuk memenuhi fungsi pedagogis dari sistem pendidikan nasional.11 Apa yang kita angan-angankan mengenai “muatan lokal” dari kurikulum, pada hakikatnya merupakan penyesuaian kurikulum nasional yang baku terhadap unsur-unsur lingkungan atau dengan apa yang kita sebut sebagai hidden curriculum.12 Adanya Otonomi daerah tersebut yang berimplikasi pada otonomi pendidikan, merupakan tantangan tersendiri bagi lembaga pendidik an Islam seperti tersebut di atas untuk dapat eksis dan bertahan dalam era persaingan “global” dengan memberikan suatu tawaran dan tero-
248
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
H. Hasan Baharun
bosan baru, karena kalau tidak, lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah akan dikalahkan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum yang lebih menawarkan hal-hal menarik dalam dunia pendidikan. Di antara tantangan-tantangan lain yang akan dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam di beberapa daerah yaitu : 1. Tantangan yang berkaitan dengan ketidak siapan lembaga pendidikan Islam di beberapa daerah dalam mengadakan berbagai reno vasi-renovasi pada aspek kurikulum yang dipergunakan dalam peningkatan mutu dan kualitas lembaga pendidikan itu. Lemahnya upaya renovasi tersebut sebagai dampak dari sentralisasi pendidikan yang berlangsung pada masa dahulu, sehingga menyebabkan ketergantungan yang tinggi kepada pusat, yang pada akhirnya menumbuhkan ketakutan dan kekhawatiran dalam penyusunan kurikulum yang dapat mengapresiasikan terhadap berbagai kepentingan social, budaya daerah. Akibatnya kurikulum yang ada pada lembaga pendidikan Islam di beberapa daerah tetap seperti dulu tanpa ada pengayaan kurikulum baru, sehingga tidak mengapresiasikan tuntutan kebutahan masyarakat di sekitar lembaga pendidikan tersebut. Akibatnya, arah pendidikan yang dilaksanakan tidak sesuai apa yang menjadi harapan masyarakat dan lingkungan sekitar. 2. Lemahnya pengadaan renovasi dalam aspek kurikulum ini, selain factor di atas, juga disebabkan oleh lemahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di beberapa daerah, sehingga menghambat terhadap pengembangan dan pengayaan kurikulum yang ada. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha keras dari berbagai lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah untuk mengatasi hal tersebut, di antaranya adalah dengan melakukan terobosan-terobosan baru dalam aspek peningkatan kualitas sumber daya manusianya dengan berbagai cara, disamping mengurangi sifat ketergantungan yang tinggi kepada pemerintahan pusat. Dengan cara demikian, maka renovasi dan pengayaan kurikulum lembaga pendidikan Islam di beberapa daerah yang mengapresiasikan terhadap kebutuhan da erahnya akan dapat terwujud. Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
249
Desentralisasi dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Sistem Pendidikan Islam
Disamping itu, problematika yang dihadapi oleh lembaga pendi dikan Islam di beberapa daerah berkaitan dengan kebijakan dan kemau an pemerintah (political will) dalam upaya menopang dan memajukan pendidikan di daerahnya. Pada kenyataannya, masih ada beberapa dae rah yang pemerintahnya kurang memperhatikan aspek pendidikan, sehingga dana yang dikucurkan dalam APBD di bidang pendidikan sa ngat minim. Hal ini berimplikasi pada lambatnya perkembangan dari aspek pendidikan di daerah, yang menyebabkan masyarakatnya kurang berkualitas di dalam sumber daya manusianya. Menghadapi problematika yang sedemikian rumit, maka hal ini menjadi tanggung jawab masyarakat di daerah dengan cara memberikan masukan dan konstribusi kepada pemerintah daerah agar supaya memperhatikan dan meningkatkan APBD di bidang pendidikan. Dengan cara inilah diharapkan mampu menyadarkan pemerintah dalam meng upayakan kemajuan di bidang pendidikan. Akan tetapi, kenyataan ini akan menjadi lain ketika hambatan daerah dalam pengembangan pendidikan berkaitan dengan kecil dan minimnya penghasilan dan pendapatan daerah setempat. Ketika hal tersebut terjadi, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengkonsultasikan dengan pemerintah pusat tentang berbagai kebijakan otonomi daerah yang diberlakukan di daerahnya. Selanjutnya adalah berkaitan dengan kesiapan unsur pendidikan di beberapa daerah dalam menghadapi persaingan global. Ketika daerah tidak mampu dalam menyiapkan beberapa tenaga yang professional dalam berbagai bidang pendidikannya, maka mau tidak mau, daerah tersebut akan jauh tertinggal bila dibandingkan dengan daerah yang lain. Kenyataan yang akan dihadapi adalah pendidikan di daerah tidak akan menghasilkan produk dan out put yang mumpuni dan professional pada bidangnnya.13 Oleh karena itu, hal tersebut haruslah menjadi catatan penting bagi lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah agar supaya memiliki strategi ampuh dalam menghadapi era otonomi pendidikan dalam penyiapan tenaga yang professional di berbagai bidang. Cara yang dapat di-
250
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
H. Hasan Baharun
lakukan oleh daerah adalah dengan mengadakan studi banding dengan daerah lain sebagai suatu analisa terhadap berbagai kekurangan daerah untuk kemudian ditindak lanjuti dengan pengayaan keilmuan dan kete rampilan kerja secara professional.14 Kemampuan dari konsep desentralisasi untuk mencapai atau paling tidak mendekati esensinya, akan sangat ditentukan oleh bagaimana pro ses pengambilan keputusan atau konsep itu sendiri dilakukan. Idealnya, proses pengambilan keputusan atas kebijakan desentralisasi pendidikan harus dilakukan melalui “bargaining” yang dinamis antara state dan soci ety. Dengan mekanisme ini, kalaupun pada akhirnya konsep desentralisasi harus dilaksanakan, maka kehadirannya benar-benar merupakan refleksi keinginan dari pihak state dan society.15 Dari beberapa tantangan yang dihadapi oleh berbagai lembaga pendidikan Islam tersebut di atas, maka akan dapat diketahui bahwa permasalahan dalam pengimplementasian Undang-undang Pemerintah tentang Otonomi Daerah 1999 di bidang pendidikan dapat dipetakan dalam permasalahan kepentingan nasional, permasalahan mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, pemerataan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas.
PENUTUP Penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan azaz dekonstruksi, yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada aparat pemerintah pusat di daerah, azaz desentralisasi, yaitu pelimpah an kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom dan azaz pembantuan (medebewind) 2. Otonomi pendidikan merupakan tuntutan demokratisasi dan perkembangan peradaban serta ilmu pengetahuan dan tekhnologi. 3. Otonomi daerah bersifat luas, nyata dan bertanggung jawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justeru berada pada pemerintah pusat (seperti pada Negara federal), disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut hal yang diperlukan, tumbuh dan hidup dan berkembang di daerah, dan disebut bertanggung jawab karena kewenangan yang diserahkan kepada daerah itu harus 1.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
251
Desentralisasi dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Sistem Pendidikan Islam
diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah. 4. Kebijakan pemerintah berupa pemberian otonomi daerah, mau tidak mau menuntut lembaga otonomi daerah memiliki kemandirian, terbuka dan peduli dengan tuntutan zaman dan mampu berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. 5. Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah memiliki nilai strategis bagi daerah untuk berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan daerah-daerah di seluruh nusantara, terutama yang berkaitan langsung dengan sumber daya manusia dan alamnya dalam mendobrak kebekuan dan stagnasi yang di alami dan melingkupi masyarakat selama ini. [ ]
ENDNOTES 1
2
3
4 5
6
7
8
9
10
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan : Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002) hal 251. Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) hal : 280. H.A.R Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) hal: 76. Sujamto, Perspektif Otonomi Daerah, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993, hal: 13. Lihat; Sujamto, “Desentralisasi Versus Sentralisasi” dalam Cakrawala Otonomi Daerah, 1988 hal : 27. Winarna Surya Adisubrata, Otonomi Daerah di Era Reformasi, (Yogyakarta UPP AMP YKPN, 1999) hal : 10. Nur Rif ’ah Masykur, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT Permata Artistika Kreasi, 2001) hal : 21. Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003 hal 169 Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam, (Malang: UINPRESS, 2004) hal: 133. Muhaimin, 2003, Op-Cit, hal : 282.
252
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
H. Hasan Baharun 11
12
13
14
15
H.A.R Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1994) hal : 40. Jeanne H. Ballantine. The Sociology of Education : A Systematic Analysis, (Uni ted State of America: Prentice Hall, Engliwood Cliffs, 1993) hal : 220. Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2002). hal : 119120. Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004). hal : 15. Syarif Hidayat, Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan ke Depan, (Jakarta: Pustaka Quantum, 2000) hal : 23.
DAFTAR PUSTAKA Adisubrata, Winarna Surya, Otonomi Daerah di Era Reformasi, Yog yakarta: UPP AMP YKPN. 1999 Ballantine,Jeanne H, The Sociology of Education: A Systematic Analysis, Engliwood Cliffs, United State of America: Prentice Hall, 1993 Fattah, Nanang, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004 Hidayat, Syarif, Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan ke Depan, Jakarta: Pustaka Quantum, 2000 Masykur, Nur Rif ’ah, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, Jakarta PT Permata Artistika Kreasi, 2001 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidik an Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002 ________, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pus taka Pelajar, 2003 Mulkhan, Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filo sofis Pendidikan Islam, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002 PERTA Jurnal Komunikasi Peruruan Tinggi Islam, Vol. III, No. 01, 2000 Sujamto, Perspektif Otonomi Daerah, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993 Sujamto, Desentralisasi Versus Sentralisasi dalam Cakrawala Otonomi Daerah. t.tp.: t.p. 1988 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012
253
Desentralisasi dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Sistem Pendidikan Islam
Suprayogo, Imam, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Mem bangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam, Malang: UINPRESS, 2004 Tilaar, H.A.R, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994 ___________, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2002 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003
254
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012