PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM (Studi Pemikiran Moeslim Abdurrahman)
TESIS Oleh : SAMSUL ARIFIN 12770051
PRODI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2014
1
PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM (Studi Pemikiran Moeslim Abdurrahman)
TESIS Oleh : SAMSUL ARIFIN 12770051
PRODI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2014 i
ii
LEMBAR PERSETUJUAN Tesis dengan judul Paradigma Islam Transformatif dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam (Studi Pemikiran Moeslim Abdurrahman) ini telah diperiksa dan di setujui untuk di uji pada tanggal 8 Agustus 2014
(Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag), Pembimbing 1 NIP. 19720420 200212 003
(Dr. Esa Nur Wahyuni, M. Pd), Pembimbing 2 NIP. 19720306 200801 2 010
(Dr. H. Fattah Yasin, M. Ag), Kaprodi PAI S2 NIP. 19671220 199803 1 002
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN TESIS
Tesis dengan
judul Paradigma Islam Transformatif dan Implikasinya
Terhadap
Pengembangan Pendidikan Islam (Studi Pemikiran Moeslim Abdurrahman) ini telah di uji dan dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 8 Agustus 2014,
Dewan penguji,
(Dr. H.Su’aib H. Muhammad, M. Ag.), Penguji 1 NIP. 19571231 198603 1 028
(Dr. H. Fattah Yasin, M. Ag), Penguji 2 NIP. 19671220 199803 1 002
(Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag), Anggota NIP. 19720420 200212 003
(Dr. Esa Nur Wahyuni, M. Pd), Anggota NIP. 19720306 200801 2 010
Mengetahui Direktur Sps,
Prof. Dr. H. Muhaimin, MA NIP. 195612111983031005
PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM (STUDI PEMIKIRAN MOESLIM ABDURRAHMAN)
TESIS Diajukan kepada sekolah pasca sarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Untuk memenuhi beban studi pada Program Magister Pendidikan Agama Islam
OLEH SAMSUL ARIFIN 12770051 Pembimbing :
Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag NIP. 19720420 200212 003
Dr. Esa Nur Wahyuni, M. Pd NIP. NIP. 19720306 200801 2 010
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG, Okober, 2014
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : NAMA
: Samsul Arifin
NIM
: 12770051
Program Studi
: Magister Pendidikan Agama Islam (PAI)
Alamat
: Jl. Masjid No. 52 Batu Malang
Judul Penelitian
: Paradigma Islam Transformatif Dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Pendidikan Agama Islam (Studi Pemikiran Moeslim Abdurrahman)
Menyatakan dengan ini sebenarnya bahwa hasil penelitian saya tidak terdapat unsur penjiplakan karya tulis penelitian atau karya yang pernah dilakukan atau dibuat orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila di kemudian hari ternyata hasil penelitian ini terbukti terdapat unsur penjiplakan dan ada kalim dari pihak orang lain, maka saya bersedia untuk diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa pemaksaan dari siapapun.
Malang, 20 April 2014 Hormat saya,
Samsul Arifin NIM: 12770051
PERSEMBAHAN
Teriring doa dan rasa syukur yang teramat dalam kami persembahkan karya ini kepada: Orang tuaku tercinta, H Damanhuri, Abd Djalil dan Ibu tersayang Satumah. Terima kasih ananda haturkan atas do’a, dukungan, motivasi dan semangat kepada ananda sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Guru-guru dan para dosen yang banyak memberikan pelajaran berharga dan koreksi dalam perjalanan menggapai cita-cita. Sahabatku mahasiswa Pascasarjana yang bersama-sama meraih mimpi dan menggapai cita-cita
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil Alamin, segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang atas rahmat dan bimbingan-Nya tesis yang berjudul “Paradigma Islam transformatif dan implikasinya terhadap pendidikan agama Islam (Studi Pemikiran Moeslim Abdurrahman)” dapat terselesaikan dengan baik semoga ada guna dan manfaat. Shalawat serta salam semoga tetap terrlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhamad SAW yang telah membimbing manusia ke arah jalan kebenaran dan kebaikan. Penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, saran serta motivasi dari banyak pihak, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tesis ini. Untuk itu penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya dengan ucapan jazakumullah ahsanul jaza’ khususnya kepada: 1. Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. H. Muhaimin. M.A 2. Ketua Program Studi magister Pendidikan Agama Islam Bapak Dr. H. Fattah Yasin, M. Ag atas motivasi, serta kemudahan pelayanan selama studi. 3. Dosen pembimbing I, Bapak Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag atas bimbingan,saran kritik dan koreksinya dalam penulisan tesis ini. 4. Dosen pembimbing , Ibu Dr. Esa Nur Wahyuni, M. Pd atas bimbingan,saran kritik dan koreksinya dalam penulisan tesis ini. 5. Orang tua kami Ibu Satumah serta Bapak Alm H. Damanhuri dan Abdul Djalil yang memberikan pendidikan mulai dari kecil hingga sekarang. 6. Segenap karyawan dan petugas Pascasarjana dan perpustakaan UIN MALIKI Malang yang telah membantu kami dalam pengumpulan data tesis ini
vi
7. Teman-teman Kelas C program studi pendidikan agam Islam angkatan 2012 dan semua pihak yang tidak bisa satu persatu yang turut membantu penulis menyelesaikan tesis ini. Penulis berharap semoga apa yang telah penulis tawarkan dalam laporan ini bermanfaat bagi semua pihak. Penulis sadar bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang konstruktif sangat membantu untuk memenuhi kekurangan dalam laporan-laporan selanjutnya. Selanjutnya penuils mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, semoga laporan ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan semua pihak yang terkait pada umumnya
Malang, 20 April 2014
Samsul Arifin
vii
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN TESIS ............................... iii HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii DAFTAR TABLE ................................................................................................. xi MOTTO ................................................................................................................ xii ABSTRAK ........................................................................................................... xiii BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Fokus Penelitian ................................................................................ 7 C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 7 D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 7 E. Ruang Lingkup .................................................................................. 8 F. Orisinalitas Penelitian ........................................................................ 9 G. Definisi Istilah ................................................................................... 11
BAB II: PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF ........................................... 15 A. Paradigma Islam Transformatif .......................................................... 15 1. Pengertian Islam Transformatif .................................................... 15 2. Latar Belakang lahirnya Islam Transformatif ............................... 17 3. Tipoilogi Islam Transformatif ...................................................... 18 4. Karakteristik Islam Transformatif ................................................ 19 5. Metode Islam Transformatif ......................................................... 20 6. Dimensi Islam Transformatif ....................................................... 20 B. Pengembangan Pendidikan Islam ....................................................... 23 1. Makna Pengembangan Pendidikan Islam ..................................... 23 2. Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam ................................ 24 3. Dimensi Pengembangan Pendidikan islam ................................... 28 BAB III : METODE PENELITIAN ...................................................................... 38 A. Metode Penelitian .............................................................................. 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ................................................... 2. Data dan Sumber Data 3. Metode Pengumpulan Data 4. Teknik Analisa Data 5. Pengecekan Keabsahan Data B. Sistematika Pembahasan BAB III : BIOGRAFI MOESLIM ABDURRAHMAN ......................................... 43 A. Masa Perkembangan .......................................................................... 43 B. Pemikiran Moeslim Abdurrahman ..................................................... 46 1. Agama ......................................................................................... 51 2. Politik .......................................................................................... 59 3. Kritik Terhadap Moderenisasi ...................................................... 65
BAB IV : PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF PERSPEKTIF MOESLIM ABDURRAHMAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM .................................................................................. 70 A. Paradigma Islam Transformatif Perspektif Moeslim Abdurrahman ..................................................................................... 70 1. Hakikat Islam Transformatif ........................................................ 70 2. Epistemologi Islam Transformatif ................................................ 75 3. Tujuan Islam Transformatif ......................................................... 78 B. Implikasi Pemikiran Moeslim Abdurrahman ...................................... 79 1. Hakikat Pendidikan Islam ............................................................ 79 2. Metode Pendidikan Islam ............................................................. 81 3. Tujuan Pendidikan Islam .............................................................. 83 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................... 89 B. Saran .................................................................................................. 90 DAFTAR PUSTAKA
`DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.1 Persamaan dan perbedaan orisinal ................................................... 12 1.2 Sumber Data Primer ........................................................................ 38 4.1 Tujuan Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman ........................ 75 4.2 Epistemologi Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman .............. 78 4.3 Implikasi Pemikiran Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman Terhadap Pengembangan pendidikan Islam .................................... 86
xi
MOTTO AMICUS PLATO MAGIS AMICA VERITAS.1 Saya cinta kepada guru saya tapi saya lebih cinta kepada kebenaran
1
Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), 89 xii
ABSTRAK Arifin, Samsul. 2014 paradigma Islam transformatif dan implikasinya terhadap pengembangan pendidikan agama Islam (studi pemikiran Moeslim Abdurrahman). Tesis, Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, pembimbing: (1) Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag (2) Dr. Esa Nur Wahyuni, M. Pd Kata Kunci : Paradigma, Islam Transformatif, pendidikan Islam, Moeslim Abdurrahman Pendidikan Islam saat ini dibutuhkan eksistensinya di kehidupan masyarakat karena pengaruh globalisasi dan moderenisasi. Pendidikan Islam mampu menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam kehidupan masyarakat sehingga pendidikan Islam hanya dipersepsikan mayoritas masyarakat Muslim sebagai pendidikan transenden atau pendidikan yang hanya sibuk memperkuat spiritual tanpa menyinggung permasalahan sosial. Oleh karena itu, banyak cendekiawan Muslim yang melihat problematika ini sebagai ancaman akan eksistensi nilai-nilai Islam yang luhur menjadi luntur dan tak berbekas ke dalam kehidupan. Sebagai cendekiawan Muslim untuk memberikan rumusan baru dalam menghadapi zaman baru. Diantara banyak cendekiawan Muslim, Moeslim Abdurrahman melahirkan ide serta gagasan cemerlang yang terangkum dalam sebuah paradigma Islam transformatif. Ide serta gagasan tokoh tersebut dapat memberikan implikasi terhadap pengembangan Islam di masa yang penuh tantangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan paradigma transformatif perspekrif Moeslim Abdurrahman yang meliputi hakikat , epistemologi dan tujuan Islam transformatif, serta mengungkap implikasi pemikiran moeslim Abdurrahman terhadap pengembangan pendidikan agama Islam. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif diarahkan pada eksplorasi kajian pustaka (Library research). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Sedangkan analisis data dalam penelitian ini adalah analisis isi (content Analisis). Hasil penelitian menunjukan bahwa haikat Islam transformatif menurut Moeslim Abdurrahman adalah adanya dialog antara kebutuhan konteks dengan teks suci agama. Epistemologi Islam transformatif ada dua, pertama membangun komunitas masyarakat bawah yang berorientasi pada ekonomi serta kekuatan kekuasaan yang terorganisir dari masyarakat sendiri. Metode kedua yaitu: melakukan reinterpretasi nilai-nilai normatif dalam memahami gagasan Tuhan,
metode ini meliputi tiga tahapan: melihat dan memahami konstruk sosial; lalu realitas sosial ditemukan dengan tafsiran ayat-ayat al-Quran; selanjutnya hasil pertemuan realitas sosial dengan model ideal teks akan melahirkan aksi sejarah yang baru, yaitu transformasi sosial.Tujuan Islam transformatif Abdurrahman adalah membentuk gerakan kultural atau geraan kemanusiaan yang didasarkan pada nilai-nilai profetik yaitu humanisasi, liberasi dan trensendensi. Implikasi pemikiran Moeslim Abdurrahman terhadap pengembangan pendidikan Islam terlihat dalam 4 aspek yaitu (1) hakikat pendidikan Islam ialah pendidikan yang mengarahkan kepada dialog antara tuntutan konteks terhadap teks suci; (2) metode pendidikan Islam meliputi dialog dan metode aksi; (3)tujuan pendidikan Islam meliputi tujuan humanisasi, liberasi dan tresendensi; (4) Lembaga pendidikan Islam adalah lembaga semua lapisan serta memiliki visi profetik
ABSTRACT Arifin, Samson. 2014 Islam transformative paradigm and its implications for the development of Islamic religious education (study Moeslim thought Abdurrahman). Thesis, Master of the Graduate School of Islamic Education Islamic University Maulana Malik Ibrahim Malang, tutors: (1) Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag (2) Dr. Esa Nur Wahyu, M. Pd Keywords: Paradigm, Transformative Islam, Islamic education, Moeslim Abdurrahman Islamic education is now needed presence in people's lives because of the influence of globalization and modernization. Islamic education is able to translate the normative values into people's lives so that Islamic education is only perceived by the majority of the Muslim community as a transcendent education or education which only strengthens the spiritual without offending busy social problems. Therefore, many Muslim scholars who see these problems as a threat to the existence of Islamic values are sublime becomes faded and without trace into life. As a Muslim scholar to provide a new formulation in the face of a new era. Among many Muslim scholars, Moeslim Abdurrahman create ideas and brilliant ideas are summarized in an Islamic paradigm transformative. The idea and the idea of the figures may have implications for the development of Islam in these challenging times. This study aims to reveal the transformative paradigm perspekrif Moeslim Abdurrahman covering the nature, epistemology and Islam transformative objectives, as well as the implications of the development of thought Moeslim Abdurrahman Islamic religious education. This study is a qualitative approach aimed at exploration literature review (Library Research). Methods of data collection in this study is the method of documentation. While the data analysis in this study is a content analysis (content analysis). The results showed that the Islamic haikat transformative according Moeslim Abdurrahman is a dialogue between the needs of the context of the sacred text. Islamic epistemology transformative there are two, the first building of grassroots community-oriented economy and the strength of the organized power of the people themselves. The second method is: do reinterpretation of normative values in understanding the idea of God, this method includes three steps: see and understand the social construct; the interpretation of social reality was found with verses of the Koran; The next results of the meeting with the social reality of the ideal model of the text will give birth to a new historical action, namely the transformation of Islamic sosial.Tujuan transformative
Abdurrahman is shaping cultural movement or geraan humanity based on the values of humanization prophetic ie, liberation and trensendensi. Implications of thought Moeslim Abdurrahman against Islamic education development seen in four aspects, namely (1) the nature of Islamic education is education that leads to a dialogue between the demands of the context of the sacred text; (2) the method of Islamic education include dialogue and methods of action; (3) Islamic education goals include humanization goals, liberation and tresendensi; (4) Organization of Islamic education is an institution of all layers and has a prophetic vision
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa modernasi dan globalisasi sekarang ini memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap eksistensi pendidikan Islam yang memiliki nilai luhur dan penuh makna. Nilai-nilai tersebut tidak tercermin di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini tercermin dari pola tingkah laku masyarakat muslim yang belum mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan. Selain perkembangan zaman yang begitu pesat, faktor penjajahan yang dilakukan oleh kolonial Belanda memberikan dampak kepada karakter generasi bangsa yang selalu mengagungkan budaya materialisme, individualisme.1 Abudin Nata menambahkan dampak globalisasi sangat besar terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, dampak tersebut tercermin di dalam persepsi serta motivasi masyarakat terhadap pendidikan Islam yang cenderung berubah ke arah pragmatis karena diselimuti integrasi ekonomi atau dijadikan komoditas komersial. Selain itu masuknya kolonial budaya baru akibat globalisasi sangat berdampak terhadap visi, misi pendidikan Islam yang menjadi hampa tanpa arah.2 Era materialisme, konsumerisme dan hedonisme lebih banyak terkait dengan nilai-nilai akan tetapi kurang terkait dengan persoalan aqidah-ketuhanan yang
1
M. Zainuddin, Reformulasi Paradigma Transformatif dalam Kajian Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), 2-3 2 Krisman Purwoko, Globalisasi Tantangan Utama Pendidikan Islam di Indonesia, (online), (http;//www.republika.co.id diakses 31 Mei 2012)
1
abstrak-transendental maupun syari’ah atau ibadah sehari-hari. Oleh karena itu salah satu problem yang perlu dicari solusi bersama adalah bagaimana pendidikan agama bisa memberikan muatan nilai yang penuh makna kepada kehidupan sehari-hari manusia. Karena dengan perkembangan zaman yang begitu cepat maka perubahan nilai pun mengikuti, dan tak bisa dipungkiri seorang agamawan akan terbawa arus perkembangan sehingga kesadaran dalam diri seorang agamawan terhadap penderitaan sosial masyarakat menjadi hilang. 3 Tantangan yang begitu besar dihadapi oleh pendidikan Islam di era modern sekarang ini, benar apa yang dinyatakan oleh Filsuf Kuhn bahwa perlu mendesain konsep baru dalam menghadapi era baru, karena jika tantangan-tantangan baru yang ada pada era baru dihadapi dengan konsep lama, maka segalanya akan siasia dan berakhir dengan sebuah kegagalan. 4
Problematika yang dihadirkan oleh
zaman modern ini memberikan angin segar bagi dunia pendidikan Islam karena masyarakat modern sekarang membutuhkan nilai-nilai ruhaniyah karena problem yang dihadapi mereka tak bisa dijawab dengan logika.5 Pendidikan Islam yang memiliki peran dalam memberikan kesadaran dalam diri manusia menjadi hampa atau tanpa pengaruh sama sekali jika tidak dibarengi dengan konsep-konsep baru, karena pengetahuan agama yang masih bersifat kognitif tidak berubah menjadi makna dan nilai dalam kehidupan sehari-hari
3
M. Amin Abdullah. Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam. dalam M. Anies (Eds.) Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 57 4 H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, Cet. I, 1998), 245 5 A. Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, (Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN, Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995), 4
2
Sehingga tidak dapat menjadi sebuah sumber motivasi bagi peserta didik dalam melakukan aktivitas secara konkret-agamis dalam kehidupan sehari-hari. 6 Pola pendidikan Islam yang masih berkutat dalam ranah kognitif dan berparadigma klasik-skolastik yang selalu menitikberatkan keyakinan bahwa keselamatan sosial ditentukan oleh keselamatan individual. Dengan keyakinan tersebut dapat diartikan bahwa jika seorang individu bersikap baik maka dapat dikatakan semua masyarakat bersifat baik. Padahal keyakinan tersebut tidaklah relevan dengan multikultural yang ada di negeri ini, karena setiap kelompok memiliki kebudayaan, kepentingan, fanatisme, logika yang berbeda-beda.7 Problematika pendidikan praktis yang berada di sekitar cukup komplek Pertama, dalam hakikat pendidikan Islam terdapat kurangnya dialog diantara kebutuhan konteks dan konsep ideal. Metode pendidikan Islam saat ini lebih di utamakan pada teacher and state oriented (pendidikan diorientasi guru dan lembaga). Kedua, dalam tujuan pendidikan agama Islam masih banyak tindak kekerasan dalam bentuk apapun dalam proses pendidikan. Ketiga lembaga pendidikan masih banyak yang tidak memberikan hak dalam pendidikan yang sama. Selain pola pendidikan Islam masih berdomain kognitif, sehingga tujuan pendidikan Islam juga mengikuti, padahal tujuan utama pendidikan agama adalah mentransformasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Namun sekali lagi ini adalah sebuah tantangan di zaman modern seperti sekarang ini untuk melakukan transformasi ajaran agama Islam menjadi lebih fungsional6
Abdullah. Problem Epistemologis, 59 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 178 7
3
praktis dalam segala aspek kehidupan, sehingga menjadi way of life yang dapat menjadi pembimbing bagi peserta didik dalam berhubungan sosial di masyarakat.8 Fakta di atas menunjukkan bahwa persoalan pendidikan Islam tidak hanya berkutat pada dirinya sendiri melainkan kepada apa yang terjadi di luar. Terlihat pada kehidupan masyarakat Indonesia, selain memasuki dunia modern, negeri ini juga terkenal di dunia sebagai negara multikultural, Sehingga menjadi tantangan tersendiri
bagi
dunia
pendidikan
Islam
untuk
menyampaikan
serta
mentransformasikan nilai-nilai pada setiap kultur yang berbeda. Amin Abdullah memberikan adagium atau pepatah yang relevan untuk dijadikan rujukan dunia pendidikan Islam di era modern dan multikultural, adagium tersebut: “Jika nilai-nilai fundamental ajaran al-Qur’an yang bersifat universaltransendental tidak dipraktikkan dalam semangat humanis-kekhalifaan, maka niscaya hanya menjadi slogan yang kosong belaka. Sedangkan tindakan, amalan-amalan keagamaan, dan kelembagaan agama Islam yang bersifat historis partikular-subjektif yang tidak disertai pertimbangan dan semangat nilai-nilai fundamental-transendental-transkultural, maka alQur’an akan berjalan tanpa kompas.”9 Adagium di atas telah terjadi di dalam pendidikan Islam Indonesia yang belum mampu mentransformasikan nilai-nilai pendidikan Islam di dalam kehidupan nyata atau sosial, sehingga aktualisasi dan kontekstualisasi, interpretasi,
8
Abdullah. Problem Epistemologis, 61 M. Amin Abdullah. Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius. (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), 64 9
4
transformasi ajaran atau nilai pendidikan Islam bisa dijadikan langkah yang konkret untuk menjembatani serta memberikan solusi atas problematika kehidupan sosial di dunia modern ini. 10 Menurut Fazlur Rahman sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid bahwa kreativitas intelektual adalah tuntutan zaman, oleh karena itu semakin berkembangnya suatu zaman maka semakin tinggi kebutuhan terhadap intelektual Islam yang mencakup dua aspek yaitu intelektual Islam yang mengambil inspirasi dari sumber Islam klasik serta usaha pengembangan terhadap tantangan zaman. 11 Tetapi tantangan utama umat sekarang adalah bagaimana menumbukan tradisi intelektual yang positif sembari membuka kepada semua hal baru yang memiliki nilai positif dan maju. 12 Kreativitas intelektual yang diharapkan oleh Fazlur Rahman dan Nurcholis Madjid tersebut tentunya hal yang tidak boleh ditawar-tawar lagi pada masa modern saat ini. Oleh karena itu, gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang secara pesat, hal ini tiada lain disebabkan adanya kekuatan kreativitas intelektual tadi. Selain itu, adanya problematika yang terus melanda kehidupan sosial masyarakat Indonesia baik itu di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan di bidang lainnya. Berdasarkan hal tersebut, Moeslim Abdurrahman sebagai pemikir yang lahir di negeri ini memberikan banyak pembaharuan atau pemurnian dalam memahami relasi agama dengan kehidupan sosial. Kreativitas intelektual mereka berdua tak
10
Abdullah. Pendidikan Agama, 65 Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), 38 12 Ibid 38 11
5
lepas dari gejolak atas pemikiran-pemikiran sebelumnya yang diprakarsai oleh para pemikir yang lahir di dunia Islam khususnya di negeri Indonesia. Perspektif ilmu sejarah bahwa pembaharuan pemikiran telah terjadi di dunia Islam sejak abad ke 18 atau awal abad ke 19. Di Arab Saudi lahir gerakan Wahabiah, Mesir dikenal sebagai negeri pemikir melahirkan beberapa tokoh pembaharu seperti Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho. Sedangkan Indonesia, gerakan pembaharuan di mulai pada pertengahan kedua abad ke 20. Para pemikir yang lahir pun bermunculan seperti Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Sazali dan Abdurrahman Wahid.13 Pada tahun 1980-an lahir para pemikir seperti Moeslim Abdurrahman yang menyampaikan beberapa gagasan serta ide pembaharunya yang banyak mengkritisi ide ataupun gagasan yang dicetuskan oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Setiap tokoh memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga pemikiran atau ide ide pembaharuan
yang mereka cetuskan secara kontinu dilakukan sehingga
menjadi ide yang kreatif dan produktf serta mampu memberikan inspirasi kepada generasi berikutnya untuk lebih mengembangkan pemikiran tersebut. Karakteristik pemikiran Moeslim Abdurrahman dipandang banyak peneliti sebagai pemikiran transformatif yang mengarah kepada gerakan pembebasan atas belenggu ketidakadilan di dalam kehidupan sosial. ide-ide yang disampaikan selalu menitikberatkan kepada keadilan sosial yang relevan dengan sila kelima Pancasila sebagai satu diantara lima ideologi negeri Indonesia. Dengan demikian.
13
Suaidi Asyari, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Tantowi Anwari (Eds), Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia, (Jakarta: KEMi dan LSAF, 2011), 135
6
Karakteristik pemikiran Moeslim Abdurrahman tersebut, sangat menarik untuk dianalisis kritis dan obyektif, sehingga mampu menghasilkan sebuah tesis yang memberikan kontribusi tidak hanya kepada aspek negara dan agama saja, juga kepada dunia pendidikan Islam di masa depan, artinya ide gagasan tersebut dapat dijadikan sebagai rumusan dasar pengembangan pendidikan Islam dalam menghadapi era globalisasi. Pengembangan tersebut meliputi hakikat, metode, materi, tujuan, serta lembaga pendidikan Islam. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti akan meneliti lebih dalam lagi tentang pemikiran Moeslim Abdurrahman terkait Paradigma Islam Transformatif serta Implikasinya terhadap Pengembangan Pendidikan Islam. B. Fokus Penelitian 1. Bagaimana
Paradigma
Islam
Transformatif
Perspektif
Moeslim
Pemikiran
Moeslim
Abdurrahman
Terhadap
Abdurrahman? 2. Bagaimana
Implikasi
Pengembangan Pendidikan Islam? C. Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan Paradigma Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman. 2. Menjelaskan Implikasi Pemikiran tokoh tersebut Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang pendidikan Islam, yang mencakup:
7
a. Memberikan
rumusan
Paradigma
Islam
Transformatif,
sehingga
memberikan implikasi terhadap pengembangan pendidikan Islam ke depan. b. Memberikan tolak ukur bagi penelitian pemikiran pendidikan Islam selanjutnya sehingga penelitian dapat dilakukan secara kontinu. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi praktisi pendidikan Islam di lembaga pendidikan terutama Perguruan Tinggi dalam mengembangkan Paradigma pendidikan Islam. E. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dengan kata lain merupakan pembatasan masalah. Menurut Sukmadinata batasan masalah penelitian ini harus selalu berhubungan dengan tujuan penelitian serta metode penelitian.14 Oleh karena itu, membatasi masalah tidak akan lepas dari dua aspek tersebut sehingga penelitian dapat dipertanggungjawabkan asal tidak membatasi semaunya peneliti. Tujuan ruang lingkup penelitian ini adalah untuk membatasi pembahasan di dalam penelitian sesuai dengan fokus penelitian yang telah ditulis, dan kajian penelitian ini adalah kajian tokoh, maka penelitian akan dibatasi pada pemikiran Moeslim Abdurrahman tentang Paradigma Islam transformatif serta implikasinya terhadap pengembangan pendidikan Islam yang meliputi hakikat, metode, materi, tujuan serta lembaga pendidikan.
14
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 277
8
F. Orisinalitas Penelitian 1. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang pemikiran Moeslim Abdurrahman sudah pernah dilakukan, yaitu: a. Penelitian yang dilakukan oleh Neneng Afwah dengan judul Teologi Transformatif Upaya Membebaskan Kaum Tertindas (Studi atas Pemikiran Moeslim Abdurrahman).15 Tujuan
Penelitian
ini
untuk
menjelaskan
gagasan
teologi
transformatifnya dan untuk mengetahui arah gerakannya yang sering disebut-sebut sebagai gerakan pembebasan; Moeslim menegaskan bahwa teologi paling tidak dapat diartikan sebagai interpretasi realitas berdasarkan ketuhanan, dan bahwa perubahan bukan hanya harus dilakukan oleh satu komunitas tertentu saja, melainkan juga oleh lapisan sosial lainnya, sehingga perubahan itu terjadi secara kolektif; b. Penelitian yang dilakukan oleh Setyawati Molyna dengan judul Perbandingan konsep tauhid sosial M. Amien Rais dan konsep Islam transformatif Moeslim Abdurrahman.16 Masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana perbandingan pemikiran tentang konsep tauhid sosial menurut .Amien Rais dan Islam transformatif menurut Moeslim Abdurrahman terkait perilaku Muslim
15
Neneng Afwah, Teologi Transformatif Upaya Membebaskan Kaum Tertindas: Studi atas Pemikiran Moeslim Abdurrahman, (Antologi: Vol 15, No 2, 2010) 16 Setyawati Molyna, Perbandingan konsep tauhid sosial M. Amien rais dan konsep Islam transformatif Moeslim Abdurrahman, (Jakarta: Prodi Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina, 2013)
9
yang berpengaruh dalam masalah kebangsaan dan kenegaraan khususnya dalam
bidang politik dan ekonomi di Indonesia.
Metode yang dipakai adalah metode perbandingan penelitian kualitatif dengan studi pustaka atau riset kepustakaan (Library Research), dengan pendekatan deskriptif-analitis. Sumber utama penelitian ini adalah buku karangan M.Amien Rais yang berjudul “Tauhid Sosial” dan buku karangan Moeslim Abdurrahman yang berjudul “Islam Transformatif”. Setiap agama menjadi sebuah pedoman bagi seseorang dalam berperilaku di kehidupanya. Begitu juga di Indonesia, Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, seharusnya, nilai- nilai Islam menjadi pedoman mayoritas penduduk Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tauhid adalah dasar keyakinan dalam Islam. Karenanya, tauhid berarti adalah dasar perilaku mayoritas masyarakat Indonesia. Persamaan antara tauhid sosial M.Amien Rais dengan Islam transformatif Moeslim Abdurrahman adalah kedua cendekiawan Muslim tersebut sepakat bahwa Islam harus mempunyai orientasi kritik sosial terkait kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, Islam tidak sebatas agama formal, melainkan pencerahan dan juga wacana modernitas. Dalam bidang ekonomi, Islam dengan tauhid sosialnya mampu mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia. Sedangkan perbedaan antara kedua cendekiawan Muslim tersebut terlihat dalam pembahasan mengenai tauhid sosial dalam bidang politik. Menurut Amien Rais, politik yang berlandaskan tauhid (ajaran
10
agama) adalah politik yang luhur. Hal berbeda diungkapkan Moeslim Abdurrahman. Menurutnya, politik dan agama jangan tercampur-aduk. harus dilakukan sekularisasi politik.
2. Persamaan dan Perbedaan Orisinal Penelitian terdahulu memiliki nilai yang cukup urgen dalam melihat tingkat orisinalitas sebuah penelitian, oleh karena itu di bawah ini akan dipaparkan persamaan dan perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan dengan penelitian terdahulu. berdasarkan penelitian terdahulu di atas, maka posisi penelitian yang dialakukan peneliti adalah terletak pada aspek fokus serta tujuan penelitian, karena di dalam penelitian terdahulu belum terlihat secara jelas terkait paradigma Islam transformatif Moeslim Abdurrahman walaupun pada penelitian Neneng Afwah di singgung secara singkat dimensi teologi transformatif. Selain itu, aspek implikaasi paradigma terhadap pengembangan pendidikan Islam belum ada pada penelitian terdahulu sehingga kiranya untuk mengangkat penelitian ini.
11
Tabel 1.1 Persamaan dan perbedaan orisinal Nama
Judul
Fokus
peneliti
Penelitian
Penelitian
Persamaan
Perbedaan
Neneng
Teologi
Menjelaskan
Tokoh kajian Fokus
Afwah
Transformatif
Gagasan
Moeslim
Upaya
Teologi
Abdurrahman Peneliti
Membebaskan
Transformatif
Setyawati Molyna
penelitian
adalah
Kaum Tertindas
Paradigma
(Studi atas
Islam
Pemikiran
Transformatif
Moeslim
Moeslim
Abdurrahman)
Abdurrahman
Perbandingan
Perbandingan Tokoh kajian pemikiran konsep tauhid Moeslim tentang konsep tauhid sosial M. Amien sosial menurut Abdurrahman .Amien Rais Rais dan dan Islam transformatif menurut konsep Islam Moeslim transformatif Abdurrahman
Fokus
Moeslim
Transformatif
Abdurrahman
Moeslim
penelitian Peneliti adalah Paradigma Islam
Abdurrahman
12
G. Definisi Istilah
1. Paradigma Paradigma yang di maksud dalam penelitian ini adalah pola ataupun cara berfikir yang di landaskan pada tiga aspek yaitu Hakikat,Tujuan serta epistemologi dalam berfikir
2. Islam transformatif Yang di maksud Islam transformatif dalam penelitian ini adalah perubahan pola pikir menuju kepada alkulturasi ajaran islam
3. Implikasi Implikasi dalam dalam penelitian ini adalah menjadiakan teori islam transformatif sebagai rumusan pengembangan pendidikan islam pada aspek hakikat, metode, materi, tujuan serta lembaga pendidikan
13
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Berangkat dari pemikiran bahwa suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentuh arah maka hasilnya adalah tak lebih dari pengalaman selama perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakan. Namun sebelum masuk pada pembahasan mengenai fungsi dan tujuan Pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian Pendidikan Islam. “Pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan
Sunnah,
maka
tujuan
dalam
konteks
ini
terciptanya insan
kamil setelah prosespendidikan berakhir”.17 Prof. H. Muhamad Daud Ali, S.H. berpendapat bahwa pendidkan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan potensi manusia lain atau memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya
17
DR. Armai Arif, MA. “Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam”. Jakarta : Ciputat Pers, 2002.Hal 16
14
kepada orang lain dalam masyarakat”.18 Proses pemindahan nilai itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah: Pertama melalui pengajaran yaitu proses pemindahan nilai berupa (Ilmu) pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. Kedua melalui
pelatihan
yang
dilaksanakan
dengan
jalan
membiasakan seseorang melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut. Ketiga melalui indoktrinnasi yang diselenggarakan agar orang meniru atau mengikuti apa saja yang diajarkan orang lain tanpa mengijinkan si penerima tersebut mempertanyakan nilai-nilai yang diajarkan. Terkadang apabila
ingin
membahas
seputar
Islam
dalam
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat menarik terutama dalam kaitannya dengan upaya pembangunan Sumber Daya Manusia muslim, sebagaimana Islam di pahami sebagai pegangan hidup yang diyakini mutlak kebenarannya akan merai arah dan landasan etis serta moral pendidikan, atau dengan kata lain hubungan antara Islam dan pendidikan bagaikan dua sisi keping mata uang. Artinya, Islam dan pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar baik secara ontologis, epistimologis maupun aksiologis.
18
Prof. H. Muhamad Daud Ali S.H. dan Hj. Habiba Daud S.H.” Lembaga-lembaga Islam di Indonesia”. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995 Hal 137.
15
Pemikiran di atas sejalan dengan falsafah bahwa sebuah usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya adalah tidak lebih dari pengalaman selam perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakn. Namun sebelum masuk dalam pembahasan mengenai fungsi dan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian Pendidikan Islam itu sendiri. Zarkowi Soejati dalam makalahnya yang berjudul “Model-model Perguruan Tinggi Islam” mengemukakan pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian antara lain: Pertama
lembaga
pendidikan
Islam
itu
pendirian
dan
penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lemabaga pendidikan itu dan kegiatankegiatan yang diselenggarakan. Kedua lembaga
pendidikan
memberikan
perhatian
dan
menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program sebagai ilmu yang diperlukanseperti ilmu-ilmu lain yang menjkadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga mengandung kedua pengertian di atas dalam arti “lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah
16
laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam program kajiannya”. 19 Konsep pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan Zarkowi Soejati tersebut, terkesan sederhana dan belum terlalu luas cakupannya, namun paling tidak konsep ini bisa diterapkan dalam upaya peningkatan sumberdaya manusia melalui pencerminan penyelenggaraan pendidikan dan program kajian yang bernuansa Islami dalam proses pemindahan nilainilai yang dimiliki dan dapat dibawah ke-masyarakat. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusiamanusia yang seutuhnya : beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan As-sunnah, maka tujuan dan konteks ini terciptanya manusia seutuhnya “Insan Kamil”, setelah proses pendidikan berakhir. Sebagaimana di tegaskan dalam Al-qur’an : Artinya : “Sesunggunya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.” Dalam artian bahwa pendidikan Islam adalah proses penciptaan manusia yang memilki kepribadian serta berakhlakul karimah “Akhlak Mulia” sebagai makhluk pengemban amanah di bumi.
19
A. Malik Fajar, “Reorientasi Pendidikan Islam”, Jakarta : Fajar Dunia 1999, Hal 31.
17
Maka
Pendidikan Islam
menyiapkan
kader-kader
adalah pendidikan
khalifah, sehingga
yang
secara
mampu
fungsional
keberadaannya menjadi pemeran utama terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan lil–‘alamin. Ditambahkan lagi bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang berwawasan semesta, berwawasan kehidupan yang utuh dan multi dimensional, yang meliputi wawasan tentang Tuhan, manusia dan alam secara integratif. 2.
Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam Sebelum lebih jauh menjelaskan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu apa sebenarnya makna dari “tujuan” tersebut. Secara etimologi tujuan adalah “arah, maksud atau haluan. Termminologinya tujuan berarti sesuatu diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai. Oleh H.M. Arifin menyebutkan, bahwa tujuan proses pendidikan Islam adalah “idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islam yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam secara bertahap. Maka secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi antara lain: Pertama, tujuan umum adalah tujuan yag akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik pengajaran atau dengan cara lain. Kedua, tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalamn tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum.
18
Ketiga, tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia menghabisi sisa hidupnya. Keempat, tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertenru. Sementara itu dalam Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977 merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut : “Pendidikan
bertujuan
mencapai
pertumbuhan
kepribadian
manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelektual diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Oleh karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya seperti: spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individu maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan untuk mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia”.20 Konsep di atas sejalan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam, yaitu meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman anak tentang Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingganya dalam 20
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Jakarta: Balai Pustaka 1995, edisi ke-2, Cet ke-4, Hal 1077.
19
konteks ini pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan. Dapat pula katakan, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah kepribadian muslim, yaitu sesuatu kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang dalam kepribadian muslim dalam Al-qur’an disebut “Muttaqin” karena itu Pendidikan Islam berarti pula pembentukan manusia yang bertakwa, sebagaimana konsep pendidikan nasional yang dituangkan dalam tujuan pendidikan nasional yang akan membentuk manusia pancasilais yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian jika dilakukan rekonstruksi, maka menurut Islam ilmu yang selayaknya dikuasai manusia merupakan perpaduan dari ilmu – ilmu yang diperoleh manusia melalui kawasan alam semesta dengan ilmu yang dikirim melalui wahyu yang dapat ditangkap oleh para nabi dan rasul. Dalam perspektif pendidikan Islam yang menyiapkan manusia agar dapat melakukan perannya, baik sebagai khalifah maupun sebagai ‘abd, maka ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang sifatnya terpadu, dan inilah ciri khas pendidikan Islam. Dilihat dari tujuan pendidikan di atas maka dengan sendirinya terimplisit fungsi pendidikan Islam. Dapat diartikan fungsi Pendidikan Islam adalah untuk menjaga keutuhan unsur–unsur individu anak didik dengan mengoptimalkan potensinya dalam garis keridhaan Allah, serta
20
mengoptimalkan perkembangannya untuk bertahan hidup terhadap aspek keterampilan setiap anak. Pendidikan Islam adalah pendidikan terbuka. “Artinya Islam mengakui adanya perbedaan, akan tetapi perbedaannya yang hakiki ditentukan oleh amalnya. Oleh karena itu pendidikan Islam pada dasarnya terbuka, demokratis, dan universal. Keterbukaan tersebut ditandai dengan kelenturan untuk mengadopsi (menyerap) unsur–unsur positif dari luar, sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya, dan tetap menjaga dasar–dasarnya yang original yang bersumber pada AlQur’an dan Al-hadits”. 21 B. Paradigma Islam Transformatif 1. Pengertian Islam Transformatif Islam transformatif adalah tanggung jawab terhadap mereka yang termarjinalkan, melakukan perubahan demi mencapai kebebasan dan keadilan sosial. Agama harus ditafsirkan secara kontekstual sehingga dapat berfungsi dalam kehidupan sosial selain kehidupan ritual. 22 Pemaknaan seperti ini bernilai bahwa Islam transformatif memiliki tugas ganda selain menciptakan keadilan sosial juga meningkatkan keimanan dengan melakukan kegiatan sosial. Menurut pandangan Abuddin Nata, Islam transformatif adalah Islam yang mengubah, membentuk serta menjadikan. 23 Ketiga istilah tersebut dipahami Nata sebagai hakikat transformatif. Mengubah dalam arti 21
Abd al- Ghani ‘Abud, “Dirasat Muqaranat li Tarikh al – Tarbiyah”, Kairo : Dar al- Fikr Al – Arabi, 1987 Hal 203 22 Budhi Munawar Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta: Paramadina,2001), 448 23 Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grafindo Persada, Cet. 2,2001), 78
21
memberikan perubahan kondisi masyarakat yang termarginalkan oleh modernisasi dan pembangunan. Membentuk karakter manusia agar lebih humanis, serta menjadikan masyarakat berdasarkan cita-cita Islam. Pemaknaan ini mewakili corak pemikiran Islam transformatif yang tak lepas dari peningkatan kompetensi sosial umat beragama, karena kehidupan beragama tidak hanya ibadah tetapi juga muamalah. Islam
itu memang bernilai transformatif yaitu agama perbaikan,
agama yang memperjuangkan masyarakat menuju kebaikan yang lebih egaliter, demokratis, mandiri tanpa campur tangan negara. Nilai-nilai transformatif tersebut dalam sejarah agama Islam telah dimulai dari dakwah rasul yang memperjuangkan masyarakat dari keterpurukan akibat zaman jahiliah, hal inilah yang menginspirasi para pemikir transformatif untuk melanjutkan misi Rasulullah. Rahardjo sebagai dikutip Anwar mendefiniskan teologi transfomatif atau Islam transformatif ialah teologi yang bersifat pembebasan dan emansipatoris. Islam sebagai sebuah teologi mampu memberikan kebebasan dan emansipatori kepada umat manusia untuk melakukan perubahan yang signifikan. Usaha-usaha menuju perubahan tersebut dilakukan merupakan wujud dari agama Islam yang hakiki. Akibatnya kemaslahatan di dalam kehidupan sosial akan tercapai, ketidakadialan, penindasan, kebodohan bisa dibebaskan dari dunia ini. 24
24
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kaajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina 1995), 166
22
Jika Rahardjo memakai teologi transformatif sebagai sebuah teologi pembebasan dan emansipatori, maka pada hakikatnya paradigma transformasi tidak hanya berkecimpung dalam aspek teologi semata melainkan juga pada aspek lainya seperti ekonomi, politik sosial dan pendidikan. Dikarenakan pada semua aspek tersebut terus terjadi ketimpangan dan ketidakadilan sehingga menimbulkan dampak negatif kepada masyarakat. Oleh karenanya menurut Sasono sebagaimana dikutip Qodir bahwa pemikiran transformatif ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari keuniversalan Islam. 25 Teologi transformatif mengkaitkan antara teologi dan analisis sosial, dalam bahasa Moeslim Abdurrahman adanya dialog antara keduanya, dari kritik dialogis, ke kritik tafsir. Kaitan serta dialog seperti ini akan menghasilkan gerakan menuju perubahan atau pembebasan. 2. Latar belakang lahirnya Islam Transformatif Paradigma
Islam
transformatif
merupakan
jawaban
atas
ketidakpuasan golongan transformatif terhadap apa yang telah dilakukan pembaharu-pembaharu sebelumnya, yaitu Islam peradaban dan Islam rasional. Islam transformatif berupaya memberikan jawaban praksis atas permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. menyatukan analisis sosial dengan tafsir al-Qur’an seperti yang dilakukan oleh Dawam Rahardjo.26
25
Zuly Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana Intelektuak Indonesia,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 102 26 Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban: Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban dan Dialog Agama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 165
23
Alasan lain lahirnya golongan transformatif ini adalah adanya probelamatika yang dibawa oleh golongan pemikir Islam sebelumnya yang memisahkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan alam, antara manusia dengan manusia itu sendiri. Ketika keretakan
hubungan
terjadi
akibatnya
ketidakadilan
di
dalam
membangun masyarakat akan terjadi. Hal ini diamini oleh Faisal Ismail sebagaimana dikutip Zubaed bahwa Islam transformatif merupakan respon terhadap dampak negatif dari pembangunan dan kapitalisme dunia yang sudah merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat khususnya di Indonesia.27 Menurut Toffler sebagaimana dikutip Dawam bahwa ada beberapa sebab yang memberikan kekuatan bagi para pemikir transformatif untuk melakukan
perubahan,
sebab-sebab
tersebut
ialah:
1)
adanya
ketidakadilan antara satu kelompok dengan kelompok lain; 2) banyak terjadi kerusakan lingkungan serta sumber daya alam; 3) struktur organisasi tidak berpihak kepada peranan individual; dan 4) adanya dampak negatif dari teknologi baru.28 3. Tipologi Islam Transformasi Secara umum paradigma Islam transformatif ini terbagi ke dalam dua bagian yaitu bersifat praksis dan teoritis. Islam Transformatif praksis fokus kepada pemecahan problematika yang berkaitan kepada seluruh aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik, pengembangan 27
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, 163 M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim,` (Bandung; Mizan, Cet. III, 1996), 112 28
24
masyarakat, dengan kata lain para pemikir dari golongan ini lebih menginginkan ajaran-ajaran Islam dapat dibumikan atau diaktualisasikan ke dalam kehidupan sehingga memberikan energi atau kekuatan positif demi mencapai keadilan sosial. Mereka menghendaki makna teologi bukan sebatas sebuah ajaran doktrinal namun sebagai ajaran yang membebeskan dari belenggu kemunduran. Pemikiran praksis ini terlihat dalam pandangan M. Dawwam Rahardjo. Adi Sasono, M. Amin Aziz. 29 Selanjutnya golongan kedua yaitu Islam transformatif yang bersifat teoritis, mereka fokus kepada perumusan teori-teori sosial yang mampu memberikan solusi kepada permasalahan kehidupan sosial, sehingga apa yang
mereka
hasilkan
mampu
menjelaskan
serta
membimbing
masyarakat dalam mencapai nilai-nilai kehidupan. 30 Mereka yang digolongkan dalam pemikir Islam Transformatif teoritis adalah moeslim Abdurrahman.31 4. Karakteristik Islam Transformatif Abuddin
Nata
memberikan
beberapa
karakteristik
Islam
Transformatif berdasarkan pengertian dari Islam Transformatif itu sendiri, karakteristik tersebut adalah sebagai berikut: 1) Bertujuan kepada upaya dan usaha dalam rangka merealisasikan citacita Islam yaitu membawa kerahmatan kepada seluruh alam;
29
Anwar, Pemikiran dan Aksi, 162 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), 162-163 31 Anwar, Pemikiran dan Aksi, 163 30
25
2) Adanya kesimbangan antara ajaran Islam yang bersifat ritual dengan misi Islam; 3) Menegakkan nilai-nilai kemanusian dan nilai-nilai demokratis; 4) Fokus pada probelamatika kehidupan sosial masyarakat yang aktual. 32 5. Metode Islam Transformatif Pada epistemologi Islam transformatif diperlukan dua metode sebagai agenda besar Islam menghadapi tantangnan zaman, pandangan ini digagas oleh Rahardjo yaitu rasionalisasi dan objektivikasi. Rasionalisasi merupakan jalan untuk mengembangkan filsafat agama sedangkan obyektivitas adalah proses penafsian publik disertai hasil peneltian empiris.33 Rasionalisasi dan obyektivikasi menjadi hal yang dapat diterima oleh masyarakat modern karena nilai-nilai ajaranya tidak bertentangan dengan perkembangan zaman modern ini. Norma-norma agama menjadi lebih lebih fungsionalis tidak statis belaka, lebih seimbang antara kesalehan individu dengan kesalehan sosial. Selain rasionalis, obyektivitasi, satu lagi aspek metodologi yang pakai dalam analisis sosial pada teologi ini, adalah analisis ekonomipolitik, kekuasaan sebagai variabel analisnya.34 Metode analis semacam ini memberikan jalan bagi kalangan transformatif untuk memberikan kekuatan
melawan
ketimpangan
sosial
yang
ditimbulkan
oleh
32
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, Cet. 2, 2001), 78-86 33 M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, (jakarta:Kencana,2010),98 34 Rahman, Islam Pluralis, 449
26
kapitalisme. Kekuatan tersebut dapat berupa gerakan kebudayaan maupun rumusan teori ilmu Islam yang terkait dengan ekonomi. 6. Dimensi Islam Transformatif Adalah melakukan transformasi dari tingkat bawah dari berbagai aspek tidak hanya aspek teologis. Transformasi lahir dikarenakan konsep pembangunan serta modernisasi yang terjadi pada masa orde baru memberikan ketimpangan kesejahteraan masyarakat dari berbagai bidang. Dimensi-dimensi tersebut dapat diuraikan dibawah ini secara singkat: a. Kritik Terhadap Pembangunan Kritikan disampaikan oleh Dawam Rahardjo atas konsep pembangunan di zaman orde baru, sebagaimana dikutip Qodir bahwa pembangunan
menimbulkan
dampak
yang
luar
biasa
bagi
masyarakat kelas bawah dalam bahasa Dawam disebut korporasi negara atas masyarakat. sedangkan Sasono juga memberikan kritikan tajam terhadap konsep ini, sebagaiman dikutip Qodir bahwa pembangunan yang dilakukan pada masa orde baru telah menggiring masyarakat
kepada
ketidakadilan
sosial
ekonomi
maupun
pendidikan. 35 Kritikan-kritikan tersebut tentu tidak hanya sebatas kritikan, tapi Dawam dan Sasono memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi ketimpangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Dawam
35
Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, 109-111
27
mengajukan solusi untuk merekonstruksi pemahaman teologi masyarakat, sedangkan Sasono memberikan pemikiran bahwa perlunya merumuskan pemikiran baru yang berparadigma Islam. b. Kritik Modernisasi Proses modernisasi telah berlangsung di berbagai negara, tapi tidak
sepenuhnya
berhasil.
Dikarenakan
nilai-nilai
yang
dikembangkan dan dibawa oleh teori modernisasi ini tidak relevan serta tidak berkembang secara baik. Dawam menambahkan bahwa berdasarkan kepustakaan teori modernisasi ini telah banyak mengalami otokritik, hal ini dikarenakan orang-orang yang menggunakan kepentingannya
teori
ini
telah
masing-masing,
melakukan sehingga
reduksi
menurut
berdampak
kepada
kekuatan teori modernisasi tersebut.36 Sebagai dampak dari proses modernisasi yang terjadi di Indonesia adalah lahirnya pemerintahan yang otoriter, kelompok elit di bidang ekonomi, ketimpangan sosial terjadi dimana-mana, kemiskinan terus bertambah,
organisasi
masyarakat
tidak
berkembang
karena
pemerintah menciptakan organisasi yang bersifat kapitalis. Dampakdampak tersebut merupakan kesalahan yang dilakukan oleh negara Indonesia dalam menerapkan teori modernisasi. 37
36 37
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, 376 Ibid, 380
28
c. Transformasi Sosial Sebagaimana telah dicatat pada dimensi sebelumnya, bahwa Dawam menghendaki adanya rekonstruksi pemahaman keagamaan masyarakat Indonesia yang masih tergolong terkurung dengan ilmuilmu Islam tradisional. Agama Islam hanya dikategorikan sebatas ilmu aqidah, syariah, akhlak dan mungkin tasawuf. Lebih jelas apa yang
dikehendaki
Dawan
terangkum
dalam
pernyataannya
sebagaimana dikutip Anwar yaitu: Landasan berpikir umat Islam yang melihat Islam sebagai Fiqih, Aqidah, Akhlaq dan Tasawuf sudah tidak memadai lagi dan perlu dirombak. Umat Islam harusnya melihat permasalahan dunianya, lingkup dan kerangka budaya universal sebagai pedoman dalam merumuskan konsep-konsep hidupnya. Ternyata Fiqih yang pola dasarnya diambil sebagai pedoman oleh umat Islam sudah tidak memenuhi tuntutan budaya universal dengan segenap perubahan yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan. Umat Islam tradisional telah terlanjur membakukan masalahmasalah keagamaan sehingga bila berhadapan dengan realitas kehidupan, mereka tidak menemukan jawaban yang jelas dan praktis.38
38
Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia., 165
29
C. Pengembangan Pendidikan Islam 1. Makna Pengembangan Pendidikan Islam Pengembangan pendidikan Islam dapat diartikan baik secara kuantitatif
maupun
kualitatif.
Secara
kuantitatif,
pengembangan
bermakna perluasan, pemerataan dan menjadi lebih besar. Hal ini dapat dimaknai bahwa pengembangan pendidikan Islam dilihat dari segi kuantitatif ialah mengembangkan atau menjadikan pendidikan Islam lebih besar pengaruhnya terhadap kehidupan. Sedangkan secara kualitatif, makna pengembangan adalah lebih baik, lebih bermutu dan lebih maju. Oleh karenanya pengembangan pendidikan dinilai secara kualitatif
bermakna
bagaimana
memajukan,
memutukan
dan
memperbaiki pendidikan Islam lebih maju, lebih bermutu dan lebih baik ke depannya.39 Sedangkan pengertian pendidikan Islam itu sendiri lebih diperluas cakupannya yaitu sebagai aktivitas dan fenomena. Oleh karena itu, pendidikan Islam,
berarti pandangan hidup,
sikap
hidup,
dan
keterampilan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilainilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadits.40 Berdasarkan makna pengembangan serta pendidikan Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan pendidikan Islam adalah
39
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 1 40 Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 47
30
menjadikan pandangan, sikap serta keterampilan hidup yang Islami lebih baik dan bermutu bagi kehidupan individu maupun sosial. 2. Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam Berdasarkan perspektif kepedulian sosial serta sebagai antisipasi perubahan zaman yang begitu cepat, maka Muhaimin membagi tiga paradigma pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut: 1) Paradigma Ortodoksi, adalah cara pandang yang menganggap semua ajaran Islam merupakan hasil buah pikiran ulama terdahulu dan harus dijadikan sebagai pedoman dalam sistem pendidikan Islam tanpa ada sifat membangkang dan mengkritisi hasil pikiran tersebut; 2) Paradigma Islamisasi, adalah cara pandang yang terus melakukan penggalian teks-teks untuk menemukan jati diri Islam dalam segi pendidikan, dan memandang temuan ilmu pengetahuan ilmuwan barat sebagai ancaman pemusnahan identitas keilmuan Islam; 3) Paradigma Modernisasi, ialah cara pandang yang bertujuan untuk mengembangkan pendidikan dengan cara memodernisasi seluruh aspek pendidikan yang terangkum dalam sistem pendidikan Islam, agar pendidikan Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab tuntutan perubahan.41 Perkembangan Paradigma Modernisasi pendidikan Islam diutarakan Amin Abdullah dengan mengajukan beberapa alternatif formulasi
41
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi, 11-12
31
pendidikan Islam yang dapat diterapkan pada masyarakat modern, di antaranya : 1) Memperkenalkan kepada para peserta didik persoalan-persoalan modernitas yang dihadapi umat Islam saat ini dan mengajarkan pendekatan keilmuan sosial keagamaan yang saat ini berkembang; 2) Pembelajaran ilmu-ilmu keIslaman tidak selalu bersifat doktrinal, melainkan disampaikan melalui pendekatan sejarah dari doktrindoktrin tersebut sehingga memunculkan telaah kritis yang apresiatif konstruktif terhadap khazanah intelektual klasik; 3) Pembelajaran yang bertumpu pada teks (nash) perlu diimbangi dengan analisa yang mendalam dan cerdas terhadap konteks dan realitasnya; 4) Pengajaran tasawuf atau pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual sangat diperlukan dan pelaksanaan pendidikan Islam tidak terlalu menekankan pada aspek kognitif siswa (intelektual); 5) Pendidikan agama Islam tidak hanya diarahkan kepada pembentukan kesalehan individual tetapi juga mengembangkan pembentukan kesalehan sosial. 42 Selain Amin Abdullah, Shipman seperti dikuti Azumardi Azra juga mengutarakan Modernisasi
beberapa yaitu:
(1)
fungsi
Pendidikan
sosialisasi,
sebagai
Islam
dalam
lembaga
ruang
sosialisasi,
pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. (2) pembelajaran (schooling),
42
Abdullah. Pendidikan Agama, 78-80
32
berfungsi mempersiapkan masyarakat/peserta didik untuk menempati posisi sosial- ekonomi tertentu, (3), pendidikan merupakan education, berfungsi menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program pembangunan.43 Ketiga paradigma di atas ditambahkan oleh Muhaimin dengan beberapa model pengembangan pendidikan Islam yang diterapkan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam di setiap jenjang atau jalur pendidikannya. Model-model tersebut adalah sebagai berikut: 1) Model Dikotomis, yaitu model pengembangan yang didasari oleh pandangan yang melihat segala sesuatu dari dua sisi yang berlawanan, sehingga berimplikasi kepada pengembangan pendidikan Islam yang hanya berkutit kepada satu hal tidak bersifat holistik. Intinya pendidikan Islam hanya dikembangkan aspek kerohanian belaka tanpa mengembangkan aspek lainnya; 2) Model Mekanisme, ialah model pengembangan yang didasari oleh cara pandang kehidupan tersusun dari beranekaragam dimensi. Model semacam ini berimplikasi kepada pengembangan pendidikan Islam secara komprehensif karena berkenaan dengan seluruh dimensi kehidupan baik itu bersifat horizontal-lateral, atau lateral-sekuensial, atau vertikal linier; 3) Model Organism/Sistemik, yaitu model ini didasari pandangan bahwa aktivitas pendidikan merupakan aktivitas beranekaragam komponen
43
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), 3
33
dalam satu sistem yang saling mengisi, menguatkan dan melengkapi. Berdasarkan model ini maka pengembangan pendidikan Islam akan mampu mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan dengan nilainilai agama dan etik sehingga melahirkan manusia yang mahir dalam segala bidang serta memiliki kedalaman spiritual. 44 Abdul Munir Mulkhan memberikan dua solusi dalam pengembangan pendidikan Islam di tengah-tengah problematika kehidupan sosial, solusi pertama ialah mengembangkan suasana demokratis, dialogis serta kepercayaan akan kemampuan manusia menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini. Sedangkan solusi yang kedua adalah mengembangkan dua pendekatan yaitu pendekatan paradigmatik serta pendekatan moral-etik. Pendekatan paradigmatik berfungsi merangkul semua problematika pendidikan Islam, lalu pendekatan moral etik berfungsi memberikan pemecahan problematika tersebut.45 3. Dimensi Pengembangan Pendidikan Islam Berbicara mengenai pengembangan pendidikan Islam tidak akan lepas dari tiga dimensi sebagai berikut: dimensi hakikat, epistemologi dan tujuan pendidikan Islam. dari tiga dimensi tersebut banyak memberikan dampak kepada perkembangan pendidikan Islam secara teoritis, dan berharap memberikan dampak kepada ranah aplikatif.
44
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), 59-68 45 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: SIPRESS, Cet. II, 1994), 236
34
1) Hakikat Pendidikan Islam (Ontologi) Menurut Muhaimin pendidikan Islam pada hakikatnya dapat disimpulkan menjadi dua pengertian yaitu, pertama: pendidikan Islam merupakan kegiatan pendidikan yang berlandaskan niat untuk mengaplikasikan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan As-Sunnah. Pengertian kedua ialah sistem yang dikembangkan dengan asas nilai-nilai Islam. 46 Imam Bawani lebih mendefinisikan Pendidikan Islam ke arah kegiatan dakwah, hal ini tiada lain merujuk kepada sejarah Nabi Muhammad SAW yang pertama kali menyampaikan Pendidikan Islam kepada masyarakat muslim pada awal mula penyebaran ajaran Islam. 47 Sedangkan Nauqib Al-Attas memberikan kesimpulan terkait hakikat Pendidikan Islam yang lebih menggunakan istilah ta’dib seperti dikutip Bawani yaitu: Pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan
46 47
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, 14 Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), 73
35
dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud keperiadaan48
Ketiga definisi yang dipaparkan oleh tokoh di atas, dapat dijadikan landasan dalam memaknai hakikat pendidikan baik secara filosofis sebagaimana pemaknaan Al-Attas atau secara praktis seperti definisi yang disampaikan oleh Muhaimin dan Bawani. Hasan Langgulung memberikan makna pendidikan Islam sejalan dengan Imam Bawani yang lebih condong ke arah kegiatan dakwah, karena Rasulullah mengajarkan ajaran Islam berawal dari keimanan yang kuat serta menyakini bahwa yang diajarkan dapat memberikan pahala di akhirat kelak, sehingga hakikatnya Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung seperti dikutip Roqib ialah pendidikan yang diajarkan atas dasar iman yang kuat serta komitmen terhadap seluruh ajaran agama.49 Hakikat pendidikan Islam yang dinyatakan oleh Langgulung bersifat kegiatan dakwah, namun Syed Ali Ashraf dan Syed Sajjad Husein memandang dari sisi akhlak dan kepribadian. Oleh karenanya hakikat Pendidikan Islam mereka definisikan sebagaimana dikutip Roqib adalah: Suatu pendidikan yang melatih jiwa murid-murid dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, 48
Bawani, Segi-segi, 217. Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS), 19 49
36
keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis ilmu pengetahuan, mereka dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Mereka dilatih, dan mentalnya menjadi begitu berdisiplin sehingga mereka ingin mendapatkan ilmu pengetahuan bukan semata-mata untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektual mereka atau halnya untuk memperoleh keuntungan materiil saja, melainkan untuk berkembang sebagai makhluk rasional yang berbudi luhur dan melahirkan kesejahteraan spiritual, moral, dan fisik bagi keluarga, bangsa dan seluruh umat manusia.50 2) Tujuan Pendidikan Islam (Aksiologi) Muhammad Omar al-Toumy al-Syaibany sebagaimana dikutip Jalaluddin merumuskan tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak alkarimah.51 Sedangkan Hossein Nashr memberikan pandangan terkait tujuan
pendidikan
Islam
seperti
dikutip
Ghony
yaitu
mengaktualisasikan semua potensi yang ada pada anak didik sebagai bekal mengenal Sang Pencipta alam semesta dan hal ini sejalan dengan tujuan hidupa manusia secara umum. 52
50
Ibid., 21 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), 92 52 M. Djunaidi Ghony, Rekonstruksi Pendidikan Islam Klasik Menurut Sayyed Hossein Nashr, dalam Zainuddin (Eds), Pendidikan Islam; Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press, 2009), 384-385 51
37
Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi membagi dua tujuan terkait tujuan pendidikan Islam, kedua tujuan tersebut adalah tujuan keagamaan dan tujuan keduniaan. Tujuan keagamaan ini hakikatnya adalah membentuk serta membina pribadi yang baik sehingga mampu mengamalkan semua ilmu pengetahuan yang diperoleh dari ajaran Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan tujuan keduniaan ini dimaksudkan bahwa pendidikan Islam sebagai alat menuju masa depan yang cerah dan untuk mempermudah mendapatkan pekerjaan.53 Tujuan Pendidikan Islam diformulasi berdasarkan tujuan Islam secara umum. Oleh karena itu tujuan pendidikan Islam dapat dilihat dari tujuh dimensi utama sebagai berikut: a) Dimensi hakikat penciptaan manusia, berdasarkan dimensi ini maka tujuan pendidikan Islam adalah mengembangkan potensi peserta didik secara optimal agar selalu mengabdi kepada Allah SWT; b) Dimensi tauhid, berdasarkan dimensi ini maka tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk karakter peserta didik menjadi karakter yang bertaqwa; c) Dimensi moral, berkenaan dengan dimensi ini maka pendidikan Islam ditujukan kepada pembentukan pribadi yang bermoral;
53
Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyyatil Islamiyah, Terj. M. Arifin, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet 2, 2002), 37-38
38
d) Dimensi perbedaan individu, berkaitan dengan dimensi ini maka pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan insan kamil; e) Dimensi sosial, berhubungan dengan dimensi ini maka pendidikan Islam ditujukan kepada pembentukan manusia sosial yang bertaqwa dan berakhlak mulia; f) Dimensi profesional, berkenaan dengan dimensi ini maka tujuan pendidikan Islam adalah upaya pengembangan potensi peserta didik sesuai dengan bakat yang dimiliki; g) Dimensi ruang dan waktu, tujuan pendidikan Islam tidak hanya sebatas kebahagian di dunia tapi juga di akhirat.54 Pendidikan Islam mempunyai banyak peran serta fungsi sehingga memberikan posisi yang begitu urgen dalam menghadapi dunia modern ini. Peran tersebut diantaranya adalah: a) Pendidikan Islam berfungsi sebagai way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. Dalam arti pendidikan agama Islam dapat berwujud menanamkan dan menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya.55 b) Pendidikan Islam berfungsi untuk membina kepribadian yang kuat dan akhlak yang luhur peserta didik, pendidikan agama harus
54 55
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, 93-100 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidkan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 141
39
mampu menghubungkan nilai-nilai normatif dengan kenyataan sosial yang ada.56 c) Pendidikan Islam berfungsi untuk menciptakan Ukhuwah Islamiyah dalam arti luas, yakni persaudaraan yang bersifat Islami. 57 d) Pendidikan Islam berfungsi untuk menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat, meningkatkan kesasaran akan tata nilai, memupuk persahabatan antar siswa yang beraneka watakperangai, mengembangkan sikap saling memahami, selain itu menciptakan sekolah sebagai lingkungan hidup bersama, sehingga sekolah mengajarkan keterbukaan dan dialog antar siswa. e) Pendidikan Islam berperan dalam menghilangkan sikap fanatisme buta pada peserta didik. 58 f) Pendidikan Islam berfungsi menghilangkan sikap intoleran di kalangan peserta didik dan masyarakat di Indonesia.59 Pendidikan Islam berfungsi memperkuat kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional. 3) Epistemologi Pendidikan Islam Berdasarkan kajian filsafat, epistemologi merupakan suatu teori pengetahuan tentang bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar. Epistemologi juga sebagai cabang filsafat yang menyelidiki
56
Elaga Sarapung (ed), Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 228 57 Muhaimin, Nuansa Baru, 142 58 Ibid 59 Ibid,
40
tentang keaslian pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Harun Nasution memandang bahwa epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.60 Muththahari mengartikan epistemologi sebagai sesuatu yang dapat memberikan pada kita suatu kekuatan dan tenaga praktis, ataupun sesuatu yang dapat menunjukkan suatu hakikat. Karenanya ia menganggap bahwa alam merupakan salah satu sumber pengetahuan. Masalahnya, ada pemahaman dari sudut lain bahwa walaupun alam merupakan sesuatu yang dapat memberikan suatu kekuatan dan suatu tenaga praktis, ia tetap membutuhkan kemampuan fakultas manusia untuk menangkap sesuatu (realitas) itu.61 Berdasarkan pengertian di atas, banyak program yang berkenaan dengan epistemologi seperti Islamisasi ilmu sebagai jawaban atas problem dualisme pengetahuan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan yang fundamen antara keilmuan dalam Islam dengan peradaban barat pada tataran ontologi dan epistemologi. Islamisasi pengetahuan berusaha mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Maksudnya supaya ada koherensi, jadi pengetahuan tidak terlepas dari iman. Dari tauhid akan ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan artinya bahwa pengatahuan harus menuju kepada kebenaran yang satu, kesatuan kehidupan berarti hapusnya perbedaan 60
Harun Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, 1978), 7 Murtadha Muththahari, Mengenal Epistemologi, terj. Muhammad Jawad Bafaqih (Jakarta : Lentera, 2003), 61
41
antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai, dan kesatuan sejarah artinya pengetahuan harus mengabdi pada umat dan pada manusia.62 Oleh karena itu, pembelajaran dalam pendidikan Islam diarahkan pada konsep tauhid sebagai tujuan pada setiap prosesnya. Jika tauhid sudah menjadi landasan epistemologi, maka pendidikan akan bermula dan berakhir dengan tujuan yang sama yaitu meng-Esakan Tuhan yang memberikan ilmu pengetahuan. Herman Soewardi sebagaimana dikutip Sumarna memberikan alternatif dengan menawarkan konsep epistemologi tauhidullah. Konsep ini sebagai upaya kongkrisitas dalam melakukan hal yang benar, yang dituntun oleh Allah. Dengan demikian akan ditemukan premis-premis yang membawa kita ke koridor-koridor yang baik, yang secara sekuensial tidak menimbulkan kerusakan di bumi. 63 Menurut
Ahmad
M.
Saefuddin
bahwa
paradigma
serta
epistemologi kehidupan harus bermuara pada al-Qur’an sebagai sumber kebenaran yang sah. Epistemologi ini disebut dengan Epistemologi Qurani. Paradigma dan epistemologi dimaksud adalah sebagai berikut: Keesaan Allah (Al-Ankabut; 2), Kesatuan Alam Semesta (Al-Anbiya; 22, Al-Furqan; 2), Kesatuan Kebenaran dan Kesatuan Pengetahuan artinya kebenaran itu satu dan pengetahuan itu
62
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. (Yogyakarta: Tiara Wacana, Edisi 2, 2006), 7-8 63 Cecep Sumarna. Rekonstruksi Ilmu; Dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik-Rasional Teistik. (Bandung: Benang Merah Press, 2005), 158
42
satu karena ilmu juga satu namun karena akal bisa dipengaruhi atau dicampuradukkan dengan keinginan-keinginan dan imanjinasi maka kebenaran menjadi tidak sama, Kesatuan Hidup artinya manusia memiliki kesatuan hidup yaitu amanah dari Allah sebagai khalifah, dan Kesatuan Umat Manusia artinya suatu semangat kemanusian untuk saling menjadi rahmat untuk manusia di belahan bumi manapun. 64 Sementara itu, Naquib al-Attas mempraktikkan metode tauhid dalam ilmu pengetahuan dalam epistemologi Islam, dan ia telah menemukan
bahwa
seluruh
representasi
tradisi
Islam
telah
mengaplikasikan berbagai metode di dalam penyelidikan seperti: relegius dan ilmiah, empiris dan rasional, deduktif dan induktif, subjektif dan objektif tanpa menjadikan salah satu metode lebih dominan dari
yang
lain.
Metode tauhid
ini
menyelesaikan
problematika dikotomi yang salah, seperti antara aspek objektif dan subjektif ilmu pengetahuan, metode ilmu pengetahuan alam yang diklaim lebih objektif dianggap memiliki validitas yang lebih tinggi dibandingkan ilmu agama yang dianggap subjektif.65 Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) upaya untuk memajukan ilmu pengetahuan mengunakan beberapa konsep yaitu konsep westernisasi, konsep modernisasi dan konsep reformasi yang
64
Ahmad M. Saefuddin. dkk. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. (Bandung: Mizan, 1987), 83-89 65 Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. terj. Hamid Fahmy. dkk. (Bandung: Mizan, 2003), 293-295
43
mampu merubah sistem pendidikan Islam agar bisa bersaing dengan perubahan zaman dan meNata ulang pendidikan Islam agar bisa menjawab perubahan ke masa depan. (2) strategi pendidikan Islam yang digunakan dalam masyarakat modern di mulai dari perubahan materi dan kurikulum pendidikan yang harus di desain ulang agar mampu beradaptasi dengan perubahan zaman yang semakin maju, evaluasi pendidikan Islam dan beberapa solusi permasalahannya.66 Mujammil Qomar memberikan beberapa fungsi epistemologi pendidikan Islam dalam rangka membangun kembali pendidikan Islam di zaman modern ini. Fungsi tersebut ialah sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu dan pengembang. Jika satu diantara fungsi ini berjalan dan berkembang, maka pendidikan Islam dapat semakin bermutu. Oleh karena itu, para pemikir pendidikan Islam dapat menjadikan epistemologi sebagai satu cara memberikan solusi terbaik bagi perkembangan pendidikan Islam ke depan.67
66
Dahlia Novelia, Strategi Pendidikan Islam Dalam Masyarakat Modern (Perspektif Pemikiran Fazlur Rahman). Skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011) 67 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), 251
44
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Sebagai suatu analisis filosofis terhadap pemikiran seorang tokoh dalam waktu tertentu di masa lampau, maka secara metodologis penelitian ini adalah kualitatif diarahkan kepada eksplorasi kajian pustaka (library research), yakni bersifat statement atau pernyataan serta proposisi-proposisi yang dikemukakan oleh para cendikiawan sebelumnya.68 Penelitian ini dikelompokkan ke dalam jenis penelitian literatur/ studi kepustakaan (library research), karena objek yang dipilih adalah hasil kajian tertulis yang dilakukan oleh Moeslim Abdurrahman. Oleh karena itu, dalam library research ini, penulis akan menekankan pada kekuatan analisis sumbersumber dan data-data yang ada, dengan mengandalkan konsep-konsep yang ada untuk diinterpretasikan. Setelah diinterpretasi secara jelas dan mendalam maka akan menghasilkan tesis dan anti tesis.69 2. Data dan Sumber Data Data dan sumber data adalah sumber dari mana data itu diperoleh. Data yang diperlukan dalam kajian pustaka (Library Research) ini bersifat kualitatif tekstual dengan menggunakan pijakan terhadap statemen dan proporsi-proporsi 68
Lexi J.Moleong, Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2002), 164 Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian suatu Pemikiran dan Penerapannya (Jakarta: Reneka Cipta, 1999), 25. Penelitian Deskriptif secara khusus bertujuan untuk (1) Memecahkan masalah- masalah aktual yang dihadapi sekarang ini, dan (2) mengumpulkan data dan informas i unuk disusun, dijelaskan dan dianalisis. Lihat S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2000), Cet, ke-2, 8 69
45
ilmiah yang dikemukakan oleh Moeslim Abdurrahman dalam beberapa karyanya dan tokoh pendidikan Islam yang masih berkaitan dengan pembahasannya. Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu sumber primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang diambil dari sumber aslinya, data yang bersumber dari informasi yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Data primer dalam penelitian ini meliputi seluruh karya Moeslim Abdurrahman. Berikut ini beberapa sumber data primer yang dijadikan rujukan: Tabel 1.2 Sumber Data Primer No
Nama Tokoh
Buku Rujukan Primer 1. Islam Transformatif
1
Moeslim Abdurrahman 2. Islam Sebagai Kritik Sosial
Sedangkan sumber sekunder mencakup kepustakaan yang berwujud bukubuku penunjang, jurnal dan karya-karya ilmiah lainnya yang ditulis atau diterbitkan oleh studi selain bidang yang dikaji yang membantu penulis dan berkaitan dengan pemikiran yang dikaji. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Menurut Suharsimi Arikunto, metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip buku, surat
46
kabar, majalah, prasasti, metode cepat, legenda dan lain sebaginya.70 Penelitian ini akan menggunakan metode dokumentasi sebagai suatu tehnik pengumpulan data dengan menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalahmajalah yang di dasarkan atas penelitian data, Yaitu dengan cara mengutip berbagai data melalui catatan-catatan, laporan-laporan, kejadian masa lampau yang berhubungan dengan pemikiran Moeslim Abdurrahman. Peneliti akan melakukan identifikasi wacana dari buku-buku, makalah atau artikel, majalah, jurnal, web (internet), ataupun informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu Paradigma Islam Transformatif Perspektif Moeslim Abdurrahman dan Implikasinya terhadap Pengembangan Pendidikan Islam. Berkenaan dengan hal itu, pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut: a. Mengumpulkan bahan pustaka yang dipilih sebagai sumber data yang memuat paradigma Islam transformatif menurut Moeslim Abdurrahman. b. Memilih bahan pustaka untuk dijadikan sumber data primer, yakni karya Moeslim Abdurrahman. Di samping itu, dilengkapi oleh sumber data sekunder. c. Membaca bahan pustaka yang telah dipilih, baik tentang substansi pemikiran maupun unsur lain. Penelaahan isi salah satu bahan pustaka dicek oleh bahan pustaka lainnya.
70
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 12, 234
47
d. Mencatat isi bahan pustaka yang berhubungan dengan pertanyaan penelitian. Pencatatan dilakukan sebagaimana yang tertulis dalam bahan pustaka bukan berdasarkan kesimpulan. e. Mengklasifikasikan data dari tulisan dengan merujuk kepada fokus penelitian. 4. Teknik Analisa Data Analisis data yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis) yang bersumber dari hasil eksplorasi data kepustakaan. Menurut Klaus Krippendorff, analisis isi adalah teknik analisis untuk membuat kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditiru dengan melibatkan kebenaran datanya. Menurut Klaus Krippendorff, ada 6 tahapan analisis isi, yaitu: a. Unitizing
yaitu
mengambil
data
berupa
karya-karya
Moeslim
Abdurrahman yang tepat untuk kepentingan penelitian ini serta dapat diukur dengan jelas. b. Sampling yaitu penyederhanaan penelitian dengan membatasi analisis data sehingga terkumpul data-data yang memiliki tema yang sama yaitu tentang Islam transformatif. c. Recording, berarti pencatatan semua data yang ditemukan dan diutuhkan di dalam penelitian ini yaitu yang berkenaan dengan Islam transformatif Moeslim Abdurrahman. d. Reducing, adalah penyederhanaan data sehingga dapat memberikan kejelasan dan keefisienan data yang diperoleh.
48
e. Abductively inferring, adalah menarik kesimpulan dengan menganalisa data lebih dalam untuk mencari makna data yang dapat menghubungkan antara makna teks dengan kesimpulan penelitian. f. Naratting. Ialah penarasian data penelitian untuk menjawab fokus penelitia yang telah dibuat.71 Teknik-teknik tersebut akan dilakukan di dalam menganalisa data yang diawali
dengan
peng-unitan
data
berupa
semua
karya
Moeslim
Abdurrahman, lalu melakukan sampling atau mengambil beberapa karya yang berkenaan dengan paradigma Islam transformatif, berikutnya mencatat/merekam semua data yang ditemukan dan dibutuhkan, lalu menyederhanakan data sehingga dapat memberikan kesimpulan. Langkah terakhir ialah menarasikan data yang sudah dicatat, disederhanakan dan disimpulkan tadi. 5. Pengecekan Keabsahan Data Penelitian ini akan menggunakan kredibilitas sebagai upaya pengecekan keabsahan data penelitian. Kredibilitas data menurut Nasution sebagaimana dikutip Furchan dan Maimun adalah mengkonfirmasi serta memverifikasi data penelitian yang telah didapat kepada subyek penelitian sehingga keaslian dan keobjektifan data dapat terjamin tanpa ada rekayasa.72 Oleh karena itu, upaya yang akan dilakukan peneliti dalam mengecek keabsahan data penelitian ini adalah dengan tehnik triangulasi data. Peneliti akan membandingkan data-data
71
Klaus Krippendorff, Content Analysis: An Introductions to its Methodology (Second Edition), (California: Sage Publication, 2004), 27 72 Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 76
49
dalam bentuk karya-karya yang ditulis oleh Moeslim Abdurrahman yang berkenaan dengan Paradigma Islam Transformatif dengan beberapa tulisan orang lain mengenai pemikiran Moeslim Abdurrahman tentang paradigma tersebut. B. Sistematika Pembahasan Secara umum tesis ini akan tergambar sebagaimana penulis paparkan dalam bentuk sistematika pembahasan yang terdiri dari lima bab, yaitu: BAB I : Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, definisi istilah, penelitian terdahulu. BAB II
: Pada bab ini akan dibahas tentang paradigma Islam transformatif yang meliputi pengertian, latar belakang, tipologi, karakteristik, metode dan dimensi Islam transformatif.
BAB III : Pada bab ini akan dibahas tentang metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB IV : Pada bab ini akan dibahas latar belakang pemikiran Moeslim Abdurrahman yang meliputi biografi dan latar belakang pemikiran beliau. BAB V: Bab ini akan membahas Paradigma Islam Transformatif menurut Moeslim Abdurrahman, dan Implikasinya terhadap Pengembangan Pendidikan Islam. BAB VI: Bab ini memaparkan kesimpulan penelitian dan saran. 50
BAB IV BIOGRAFI MOESLIM ABDRRURAHMAN A. Latar Belakang Kehidupan Moeslim Abdrrurahman (1947-2012). Moeslim Abdurrahman lahir tanggal 8 Agustus 1947 di kota Lamongan Jawa Timur. Pendidikan yang beliau tempuh dimulai sejak di Sekolah Rakyat lalu melanjutkan ke Pesantren Raudhatul Ilmiyyah Kertosono Jawa Timur pada tahun 60-an, pada masa perkuliahan beliau belajar di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Muhammadiyah Surakarta, gelar Doktor beliau raih pada tahun 2000 dengan disertasi berjudul On Hajj Tourism: In Search of Pity and Identity in The New Order Indonesia di University of Illiomis at Urbana-Champaign.73 Perjalanan akademik ini cukup beragam, karena disau sisi ia pernah merasakan pendidikan dalam ruang lingkup pesantren atau ;embaga pendidikan keeagamaan, namun di pihak lain ia juga pernah merasakan pendidikan di luar negeri dengan lingkungan yang pastinya berbeda secara budaya. Keragaman ini memiliki pengaruh yang cukup besar kepada perkembangan pengetahuan Abdurrahman terhadap pendidikan. Sejak pulang dari Amerika Serikat setelah lulus Ph. D di bidang antropologi dari The University of Ilinois pada tahun 1990-an, Abdurrahman dapat disebut sebagai petualangan intelektual karena aktivitasnya yang suka berpindah-pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lain, dan tidak hanya pada tataran intelektual, ia juga pernah berpetualang dalam 73
Penerbit Erlangga, Tentang Penulis, dalam Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial, (Jakarta: Erlangga, )
51
bidang politik dengan masuk ke partai politik yaitu Partai Amanah Nasional.74
Petualangan
ini
mulai
Abdurrahman
lihatkan
setelah
menyelesaikan doktoralnya di amerika inilah sebuah respon Moeslim yang sejak kecil memang telah merasakan beranekaragam corak pendidikan. Karir Moeslim Abdurrahman berbagai jabatan yang pernah ia emban, terlihat beliau pernah menjadi Redaktur Ahli harian Pelita (1989-1991), Kepala Litbang Harian The Jakarta Post (1999-2001), Memimpin Jurnal LSM Transformasi, sebagai staf peneliti pada bidang penelitian dan pengembangan (Litbang)
Departemen
Agama
(1977-1989),
pernah
memimpin Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), memimpin Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani dan Nelayan (LPBTN) Muhammadiyah (2000-2005), memimpin Ma’arif Institute for Culture and Humanity.75 Namun Moeslim
mundur dari Maarif Institute danberalih
kepada Al-Maun Fundation sebagai organisasi yang membentuk serta mengumpulkan intelektual-intelektual muda Muhammadiah dalam sebuah komunitas jaringan intelektual Muda Muhammadiah (JIMM) yang sudah ada pada tahun 2003.76 Begitu banyak lembaga yang ia pimpin sebagai wadah untuk mengaktualisasikan ide serta gagasan transformatif yang Abdurrahman miliki. Sikap humoris dan asketisnya Abdurrahman menjadi modal berharga sebagai seorang intelektual dalam merangkul organisasi yang memiliki
74
Hadjriyanto Y. Tohari, Obituari: Mas Moeslim dan Teologi Al Ma’un, (online), (muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses 20 januari 2014) 75 Penerbit Erlangga, Tentang Penulis, dalam Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai... 76 Qodir, pembaharuan pemikiran..., 107
52
perbedaan secara paradigma, selain itu
Abdurrahman juga dapat dekat
dengan semua organisasi karena dua modal tadi. Abdurrahan merupakan “anak” Muhammadiyah tapi dekat dengan kalangan NU, dia juga santri yang berhubungan erat dengan lembaga-lembaga “non-santri” di Indonesia, seperti CSIS (Center for Strategic and International Studies) atau The Jakarta Post.77 Karakteristik ini yang menjadi poin penting bagi Moeslim Abdurrahman untuk melakukan komunikasi kepada yang lain dan hal ini tidak banyak dimiliki oleh cendekiawan Muslim Indonesia lainnya. Karakteristik Abdurrahman bagaikan seorang figur cendekiawan hybrid, sama seperti Gus Dur. Dia tidak merasa terlalu bangga dengan gelar akademik semacam doktor lulusan Universitas terkemuka di dunia, karakteristik semacam ini mirip dengan apa yang ditunjukan oleh pemikir teologi pembebasan dari India Asgar Ali Enggineer, yang sangat sederhana, kocak, dan brilian. 78 Menjadi penilaian tersendiri tatkala Abdurrahman disandingkan dengan dua tokoh terkenal seperti Gus Dur dan Engineer karena kesamaan sikap dan prilaku. Abdurrahman meninggal pada hari Jumat 6 Juli 2012 di rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta Pusat, 65 tahun.79 Kepergian Abdurrahman meninggalkan banyak kenangan dan tanggung jawab yang besar guna melanjutkan pandangan serta gagasan yang ia canangkan yaitu transformasi sosial atau teologi transformatif. 77
Ihsan Ali-Fauzi, Mengenang Kang Moeslim , (online), (muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses 20 januari 2014) 78 Muhammad AS Hikam, Gus Dur Selalu ngakak bila ada kang Moeslim , (online), (muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses 20 januati 2014) 79 Anonim, Kang Moeslim Telah Berpulang, (Kompas, 21 januari 2014), 5
53
Ide Abdurrahman terkait paradigma Islam Transformatif terlihat di dalam karyanya sebagai berikut: Islam Transformatif (1996); Islam Sebagai Kritik Sosial. Selain itu Abdurrahman juga tampak pada tulisan-tulisannya yang termuat di dalam editor-editor, atau sebagai pengantar dalam sebuah buku. Seperti: Setangkai Pemikiran Islam, “kata pengantar” dalam Sayed Mahdi (Eds), Islam Pribumi: Mendialogkan Agama, Membaca Realitas, (2003); Ritual yang Terbelah: Perjalanan Haji dalm Era Kapitalisme Indonesia, Dalam Mark R. Woodward, Toward a New Paradigm: Recent Developments in Indonesian Islamic Thought, terj. Ihsan Ali-Fauzi, Jalan Baru Islam: memetakanParadigma Mutakhir Islam Indonesia, (1998); Kritis Sosial, Krisis Cara Pandang (Agama): Sebuah Pengantar, dalam Moh, Asror Yusuf (Ed), Agama Sebagai Kritik Sosial: di tengah Arus Kapitalisme Global, (2006). Negara Islam: Sebuah Gagasan Keagamaan dalam Sejarah Politik, “Kata Pengantar” dalam Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi Perdebatan Konstituante, (2006). B. Pemikiran Moeslim Abdurrahman Moeslim Abdurrahman adalah orang yang pertama kali mengenalkan istilah teologi Transformatif sebagai sebuah perlawanan terhadap ide-ide yang disampaikan oleh Paradigma Modernisasi dan Islamisasi. Karena kedua paradigma tersebut tidak memberikan keadilan sosial dan terjebak kepada hal yang normatif tidak melihat problematika yang terjadi di kehidupan sosial. Ide transformasi beliau banyak menyentuh keadaan sosial masyarakat walaupun masih menggunakan istilah teologi transformasi,
54
namun makna teologi disini lebih luas tidak hanya terkait masalah ketuhanan. Karena itu, konsep teologi tersebut juga bersifat histori dan kontekstual sehingga mampu memberikan solusi terhadap kehidupan sosial masyarakat.80 Pemikiran teologi transformatif yang digagas oleh Abdurrahman ini terinspirasi dari paradigma KH. Ahamd Dahlan tentang teologi al-Mamu, teologi ini lebih cenderung kepada nilai-nilai praktis dalam pemahaman keagamaan. Karena agama tidak menjadi sempurna tatkala lingkungan di sekitar masih terjadi kesenjangan sosial, ide berkenaan teologi al-Mamun terlihat misalanya pada saat kuliah subuh, Kiai Dahlan belum mau menambahkan pelajaran baru dan memberikan pelajaran yang sama yaitu terkait tafsiran surat al-Mamun kepada santri-santrinya. Karena materi yang diajarkan berulang-ulang salah satu santri bernama H. Syuja’ mengajukan pertanyaan kepada Kiai Dahlan mengapa pak Kiai tidak menambah meteri pelajaran baru? Kiai langsung menjawab, apakah kalian sudah mengerti semua? Syuja’ pun menjawab, saya dan teman-teman sudah faham dan hafal surah al-Maun. Lalu Kiai bertanya, apakah sudah kalian amalkan? Syuja’ menjawab, apa yang harus diamalkan, toh setiap shalat sudah kami baca. Kiai pun menjawab, diamalkan berarti dikerjakan, jadi kalian belum mengerjakan perintah Tuhan yang terkandung di dalam surah al-maun, maka sekarang kalian pergi mencari orang miskin, bawa mereka ke rumah
80
Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia., 173-175
55
kalian, lalu beri mereka pakaian bersih, makanan dan minuman serta tempat tinggal. 81 Berdasarkan pembacaaan Abdurrahman terhadap teologi al-maun inilah lahir ide serta gagasan memunclkan kembali teologi transformatif yang coraknya sama dengan teologi al-ma’un walaupun atributnya berbeda. Gagasan ini oleh Abdurrahman dimanifestasikan dalam pembentukan Majlis Buruh, Tani dan Nelayan PP Muhammadiyah periode 2000-2005.82 Manifestasi lain dari buah pemikirannya terlihat dari peran sentralnya dalam pendirian Maarif Institute yang menyuarakan toleransi, dia juga mendirikan ICIP (Indonesian Center for Islam and Pluralism) yang fokus terhadap pluralisme.83 Selain
teologi
al-Ma’un,
latar
belakang
pemikiran
transformatif
Abdurrahman juga tak lepas dari pengaruh teologi pembebasan yang muncul berkembang di Amerika latin. Kerena idenya terkait transformasi nilai-nilai Islam menjadi kesalehan sosial sebagai jalan pembebasan dari belenggu kemiskinan, ketertindasan, kebodohan, maupun keterbelakangan. Ide Abdurrahman ini pun menimbulkan tanggapan yang cukup keras dari sebagian aktivis Islam. 84 Dua teologi yang
mempengaruhi
ide
Abdurrahman untuk mengembangkan teologi transformatif menjadi semakin kuat, dan realitas yang dihadapi oleh masyarakat juga ikut berperan 81
Khoiruddin Bashori, Keserakahan Ummat di mata KH. A. Dahlan, dalam Tim Pembina Alisalm dan kemuhammadiyahan, Muhammadiyah: Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, (Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universitas Muhammadiyah Malang,1990), 32 82 Thohari, Obituari: Kang Moeslim ... 83 Ali-Fauzi, Mengenang Kang Moeslim ... 84 Nasihin Masha, Kang Moeslim , , (online), (muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses 20 januari 2014)
56
untuk menghasilkan pemikiran yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan sosial. Model pemikiran Abdurrahman mirip dengan para cendekiawan seperti Romo Mangun, dan Bu Gendong dari Bali karena kesamaan obsesi mereka dengan pendidikan dan menyantuni kaum miskin. Kemiripan itu terlihat dari buah pikir yang lebih berpihak kepada kaum tertindas. Pemikiran Abdurrrahman juga sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran Paulo Fereire yang model pendidikannya berupa membebaskan kaum miskin dari ketimpangan struktural dan model pendidikan elietis ynagn memantapkan struktur penindasan atas nama ilmu pengetahuan.85 Kesamaan itu tidak lepas dari orientasi serta tujuan dari paradigma yang dibangun serta dirumuskan oleh tokoh-tokoh tersebut dalam memecahkan problematika kehidupan sosial. Kesibukan Abdurrahman selama berkecimpung dalam organisasi Muhammadiyah juga sedikit banyak mempengaruhi corak pandangannya, ia mulai masuk dan menjadi pengurus Muhammadiyah pada awal decade 2000-an yaitu pada masa kepemimpinan buya Syafi’I Ma’arif. Selain berkiprah di dalam organisasi Islam, Abdurrahman juga pada masa reformasi, ikut serta dalam Partai Amanat Nasional. Bahkan, kemudian bergabung dengan Parta kebangkitan Bangsa dan juga Partai Republikan. langkah politik semacam ini ikut berperan serta terhadap pemikirannya
85
Hikam, Gus Dur Selalu...
57
terhadap politik Islam di Indonesia.86 Beberapa pengalaman sebagian aktivitas LSM, sebagai pengurus sebuah organisasi Islam, sebagian cendekiawan yang kocak dan akrab dengan berbagi cendekiawan yang berbeda aliran membuat corak pandangan Abdurrahman terbentuk secara plural, dan ini terlihat dari berbagai pandangan terkait transformasi sosial. Berdasarkan data di atas, dapat diartikan bahwa pemikiran teologi transformasi Abdurrahman dilatarbelakangi oleh dua aspek; pertama, aspek internal yaitu ide-ide pada tokoh sebelumnya atau tokoh satu dekade dengannya yang membicarakkan serta merumuskan sebuah pandangan bahwa teologi harus berlandaskan keseimbangan dan keadialan melalui pola pikir kritis membaskan. Kedua, aspek eksternal ialah keikutsertaan Abdurrahman dalam organisasi, lembaga-lembaga masyarakat yang mampu memberikan warna serta corak pemikiran. Pemikiran Abdurrahman ini dapat
terbagi menjadi beberapa aspek
kajian, namun secara lengkap pemikirannya tertuang lebih kepada aspek agama, karena melalui agama atau pendekatan agama, kehidupan masyarakat dapat bebas dari keadialan dan keterpurukan, dan pendekatan agama tersebut perlu ditransformasi terlebih dahulu karena jika tidak akibat agama hanya dipandang sebagai norma yang mengatur kehidupan spiritual tanpa memberikan pedoman kepada kehidupan sosial masyarakat. Selain aspek agama gagasan Abdurrahman juga berkenaan dengan dunia politik serta kritikan terhadap modernisasi
86
Masha, Kang Moeslim ...
58
1. Agama Islam sebagai agama rasional perlu dipahami kembali dengan melakukan interpretasi serta aktualisasi kembali pada aspek pemikiran manusia sehingga dapat menyentuh permasalahan di kehidupan sosial. Dalam hal ini Abdurrrahman membagi dua tugas agama sebagai kontributor kepada kehidupan sosial. Agama harus berani melakukan otokritik terhadap pesanpesan dan juga mendefinisi konsep-konsepnya selama ini ... Agama harus berani mengajukan satu narasi besar yang baru. Agama tidak hanya perlu berbicara pada level the caring society. Dengan kepedulian pada masyarakat (seperti mengeluarkan sedekah dan sebagainya dalam konsep lama) ini, Agama diharapkan lebih mempunyai komitmen menyuarakan ideologi yang memperjuangkan keadilan sosial melaluii mekanisme redistribusi sosial. 87
Kedua tugas penting di atas harus benar-benar menjadi tugas pokok dalam agama, karena kemunduran peradaban umat Islam bermula dan berawal dari ketidakadilan sosial di masyarakat, dan agama harus memberikan solusi sebagai pedoman manusia menjalani kehidupan ini. Jika tidak, maka agama akan ditinggalkan oleh masyarakat. Selain kedua tugas
87
Abdurrahman, Islam Sebagai..., 177-178
59
pokok itu agama juga memiliki fungsi kritik terhadap perubahan zaman sehingga mampu memberikan penjelasan mana yang ma’ruf dan mana yang mundur. Setiap perubahan tentu memiliki dampak positif dan negatif, oleh karena itu peran agama sebagai kritikus perlu ditingkatkan. Agama seharusnya selalu berani tampil dalam setiap keadaan, bukan saja untuk menunjukan hal-hal yang ma’ruf (positif),tetapi juga hal-hal yang mungkar (teologi negatif). Mekanisme kritis agama terhadap perubahan zaman, dalam agama Islam sangat ditekankan. Itu tercemin
dalam
ajaran
tentangn
perlunya
saling
mengingatkan, dalam bentuk kritik yang membangun (berwasiat dalam kebenaran), yang sekaligus juga sesuai dengan fungsi kehalifahan yang diamanatkan Tuhan kepada umat manusia di bumi.88
Tugas serta fungsi agama mempu meningkatkan peran sentral agama di dalam kehidupan, dan disinilah posisi pemikir Islam untuk melakukan transformasi serta tresendensi dalam rangka menyelamatkan kehidupan masyarakat Muslim dari kekangan formalisme dan strukturalisme keberagaman yang tak kunjung sirna.
88
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet.III,1997), 10
60
...dengan
kegelisahan
intelektualnya,
selalu
memeprtanyakan Islam yang normatif dan skriptual tidak lagi mengalirkan pesanya yang mendasar dalam zaman yang baru. Orang-orang seperti ini, sesunggguhnya memiliki kreativitas sejarah, yang dapat melakukan transformasi dan selalu berjuang
melawan formalisme
dan strukturalisme keberagaman...89
Posisi pemikir Islam yang berwajah transformatif tersebut sangat sentral dalam rangka menemukan kembali makna dari agama pada zamannya. Dikarenakan realitas yang ditemukan bahwa umat manusia belum menemukan hakikat agama secara benar, selama ini umat Islam masih terjebak dengan doktrin bahwa agama hanya berkutat pada permasalahan individu dan tidak ada dampaknya pada kehidupan sosial. Saya menemukan adanya sesua gejala bahwa Islam dalam masyarakat kita kini sedang kehilangan idealisme, hal yang sungguh mampu memberi referensi kepada arah transformasi sosial itu hendak kita tuju, sehingga kadangkadang
menimbulkan
kesan
seolah-olah
kehidupan
sebagian umat Islam mencerminkan sikap mendua. Intensitas ritual menjadi sangat romantik, namun tidak 89
Moeslim Abdurrahman, Setangkai Pemikiran Islam, “Kata Pengantar” dalam Sayed Mahdi (Eds), Islam Pribumi: Mendialigkan Agama Membaca Relaitas, (Jakarta: Erlangga,2003), vii
61
berarti
telah
membuahkan
kesalehan
diri,
apalagi
kesalehan sosial. Kehidupan keIslaman menjadi sangat rutin dan ukuran-ukuran keberagaman menjadi sangat trivialistis (dipermukaan).90
Islam tidak hanya butuh kepada kesalehan individual melainkan juga memerlukan kesalehan sosial, karena itu konsep
tentang
kesalehan
sosial
berdampak
kepada
transformasi realitas sosial secara lebih humanis. Kesalehan sosial ini dapat dicapai melalui pendekatan transformatif karena
menekankan
aspek
keadilan
dalam
melakukan
perubahan sosial. Oleh karenanya inilah agama Islam yang berparadigma transformasi. Agama memberikan pedoman kepada umatnya berupa kitab suci, sehingga jika pedoman tidak terwujudkan dalam realitas kehidupan maka agama hanya sebatas lembaran tanpa ada tulisan yang berbekas. Pendekatan
transformatif
ditekankan
pada
dimensi
keadilan dalam setiap proses perubahan sosial, yakni dengan mempertanyakan: perubahan sebenarnya untuk siapa? Dalam hubungan ini, pembangunan harus selalu ditafsirkan sebagai usaha memperkokoh kemampuan sendiri. Yaitu bagaimana mengaktualisasikan referensi-
90
Abdurrahman, Islam Transformatif, 3-4
62
referensi kebudayaan, misalnya tata nilai, agar masyarakat itu sendiri maupun melakukan transformasi kepada kehidupan yang lebih berharkat.91
Abdurrahman menambahkan hakikat teologi transformatif yang digagasnya adalah teologi atau agama Islam yang menjadiakan perbedaan dengan modernisasi karena proses modernisasi menumbuhkan kecacatan sosial serta menjadikan masyarakat bahwa tidak ikut serta dalam proses pembangunan. Disinilah hakikat Islam sebagai agama seluruh alam tidak mengenal kecurangan dan harus berlaku adil kepada seluruh elemen alam termasuk manusia. Islam transformatif adalah Islam yang membuat distingsi dengan proses modernisasi atau modernitas, karena di dalam proses modernisasi itu banyak orang yang semakin tidak perduli terhadap persoalan perubahan atau proses sosial yang semakin memarginalkan orang-orang yang tidak punya akses dengan pembangunan. 92
Ide teologi
transformatif merupakan jawaban terhadap
kekuranganya nilai-nilai teologis yang tercantum
di dalam
pengembangan masyarakat selama ini serta membedakan 91 92
Abdurrahman, Islam Transformatif, 8 Abdurrahman, Islam Sebagai..., 186
63
dengan ide-ide sebelumnya terkait pengembangan keilmuan Islam
seperti Islamisasi
pengetahuan.
Oleh
karenanya
Abdurrahman mengembangkan pendekatan baru terkait kedua hal tersebut. Yaitu
melalui
penafsiran
teks
dengan
kesadaran
konteksnya dan kemudian mempelajari konteks secara dialogis... perbedaanya dengan kecenderungan Islamisasi ialah bahwa teologi transformatif ini lebih menekankan pada hubungan secara teks dan konteks, dan tidak cenderung melakukan pemaksaan realitas menurut model ideal. Disamping itu, saya kira, pengembangan teologi transformatif jjuga sebagai upaya untuk mengatasi perdebatan tentang pilihan antara pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat.93
Teologi transformatif adalah memasukan paradigma dalam proses pengembangan masyarakat serta melakukan penafsiran teks atas dasar konteksnya kemudian konteks tersebut dipelajari secara dialogis. Gagasan ini lebih menekankan pada aspek hubungan antara teks dan konteks serta tidak memaksakan kehendak teks kepada realias yang nyata untuk mengikuti kondisi ideal teks. Jika hubungan ini berjalan
93
Abdurrahman, Islam Transformatif, 27
64
dengan baik maka teks-teks wahyu Tuhan dapat bermanfaat dan mengubah kehidupan masyarakat lebih baik. Istilah teologi transformatif yang digunakan Abdurrahman mendapat kritikan dari Kuntowijoyo karena agama tidak mengalami masalah terkait dengan pengentasan kemiskinan sehingga tidak perlu dilakukan perubahan atau transformasi. Untuk menjawab kritikan tersebut Abdurrahman memberi pernyataan berikut Kenapa memakai istilah teologi dalam teologi Islam transformatif? Memang ada kritik seperti yang datang dari Kuntowijoyo mengenai istilah teologi yang saya gunakan. Karena, menurut Kuntowijoyo tidak ada persoalan teologis di dalam persoalan memihak terhadap orang miskin. Tapi bagi saya, ketika melihat relasi kekuasaan dengan hegemoni pembangunan, maka tampak sangat di perlukan bahasa simbolik yang dapat menjadi refleksi teologis dibanding sekedar menggulirkan ilmi-ilmu sosial yang kritis.94
Kritikan tersebut sebenarnya belum memahami secara komperhensif makna di balik istilah transformasi juga, sehingga penggunaan istilah teologi yang disandarkan dengan
94
Abdurrahman, Islam sebagai..., 185
65
istilah transformasi menjadi rancu
jika di pandang secara
sempit. Disinilah abbdurrahman memberikan makna secara luas terkait istilah transformasi itu sendiri. Transformasi itu sendiri sebenarnya adalah konsep yang luas dan menyeluruh. Sebab, menyangkut pembaharuan berbagai aspek secara serentak, secara reflektif, baik yang berkaitan dengan ajaran, maupun kelembagaan dan formasi sosial. Sedangkan visi, juga mempergumulkan ketentuan normatif dengan hasil pembacaan realitas. Jika pergumulan itu tidak terjadi, visi itu tidak mungkin akan lahir. Mengapa, karena ayat akan dipelajari sebagai ayat dan bukan ruhnya yang diambil untuk menerangi perubahan sosial....95
Dua hal yang
menjadi perhatian di dalam teologi
transformatif yang digunakan Abdurrahman adalah masalah keadilan dan ketimpangan sosial. Kedua fokus ini merupakan awal mula terjadinya kemunduran peradaban manusia di dunia ini. Apa yang menjadi agenda di dalam teologi transformatif merupakan solusi untuk mengembalikan peradaban umat manusia
yang
telah direnggut
oleh kejamnya
proses
modernisasi yang terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
95
Abdurrahman, Islam Transformatif, 60
66
Teologi transformatif lebih menaruh perhatian terhadap persoalan keadilan dan ketimpangan sosial saat ini. Itulah yang dianggap sebagai agenda besar yang menjadikan banyak umat manusia tidak mampu mengekspresikan harkat dan martabat kemanusiannya. Bagi kalangan teologi transformatif, seua persoalan peradaban manusia sekarang
ini
dianggap
pangkal
pada
persoalan
ketimpangan sosial-ekonomi, karena adanya struktur yang tidak adil…96
Permasalahan yang menjadi fokus teologi transformatif ini terlihat jelas pada praktik ibadah haji sekarang ini. Identitas kelas muncul dan berdampak kepada perbedaan perlakuan pelayanan yang didapatkan, padahal ibadah yang dilakukan sama. Artinya ibadah tidak lagi bermakna antistruktur tapi prostruktur. …ibadah merupakan
bentuk komunitas atau aktifitas
antistruktur. Melalui kacamata ini, ibadah haji seharusnya mempresentasikan pelepasan jamaah dari kehidupan sehari-hari dan pembatasan struktur sosial yang mengikat. Tetapi kita menemukan bahwa praktik haji yang berkembang belakangan ini bukanlah ibadah yang
96
Ibid, 106
67
egalitarian, seperti yang diindikasikan dalam konsep komunitas, melainkan ibadah yang memecah belah.97
Fokus teologi transformasi di atas mengibaratkan bahwa agama harus bersanding dengan tanggung jawab sosial karena dengan tanggung jawab sosial inilah agama dapat terintregrasi dengan problematika kehidupan masyarakat sehinggga basis ketaqwaan dapat termanifestasikan dalam bentuk solidaritas dan kepedulian sosial. Inilah cita-cita agama Islam yang perlu diaktualisasikan karena selama ini agama hanya sebatas membangun jati diri secara personal tanpa memberikan dampak kepada kehidupan sosial. Agama tanpa tanggung jawab sosial, menurut pemahaman saya, samalah artinya dengan pemujaan (cult) belaka. Demikian juga hidup ini tanpa kearifan Tuhan, mungkin tidak perlu orang beragama. Sebab hanya dengan tanggung jawab sosial, agama akan terintregrasikan dengan problematika sosial yang nyata, san kesalehan individu tidak steril lagi. Karena dengannya seseorang
97
Moeslim Abdurrahman, Ritual yang terbelah: perjalanan Haji dalam Era Kapitalisme Indonesia, dalam Mark R. Woodward, Toward a New Paradigm: Recent Developments in Indonesia Islamic Thought, terj. Ihsan Ali-fauzi, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), 129
68
akan
menemukan
basis
ketaqwaan
dalam
bentuk
solidaritas kamanusiaan yang jelas.98 Rekonstruksi konsep tauhid juga merupakan bagian dari fokus teologi transformatif, karena selama ini para sarjana Muslim belum melakukan itu sehingga problem yang terjadi pada masyarakat belum terjawab oleh agama, dan mereka hanya merumuskan apa itu tauhid, tapi belum pada tahapan bagaimana tauhid itu dilakukan atau diaplikasikan di dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Politik Pemikiran Abdurrahman berkenaan dengan politik di Indonesia sedikit banyak memberikan pandangan konstruktif, diantaranya perhatian Abdurrahman terkait agama dijadikan sebagai kartu politik oleh umat Islam di negeri ini sehingga menjadikan politik tidak dimiliki semua masyarakat dan hanya berpihak untuk golongan kecil umat muslim. Biarpun pembaharuan politik sejak orde baru telah berhasil mengubah kelembagaaan politik sejak orde baru telah berhasil mengubah kelembagaaan politik ke arah yang lebih efisien dan pragmatis, percaturan politik dan
98
Abdurrahman, Islam Transformatif, 198-199
69
budaya politik yang berkembang masih saja diwarnai kesadaran primodial yang tidak mendukung terwujudnya kehidupan
politik
modern
yang
lebih
demokratis.
Sehubungan dengan agama, khususnya Islam yang mayoritas, misalnya. Dalam kaitan pembentukan budaya politik mofern itu, karena masih kuatnya politik primodial tersebut tidak heran kalau Islam juga sering terjebak menjadi “kartu politik” ketimbang sebagai referensi moral politik yang obyektif. 99
Selain kesadaran primodial yaitu kesadaran yang lebih condong kepada golongan atas, ada penyebab lain yang membuat politik umat Islam hilang esensinya karena hanya mengedepankan kelompok pendukung politik bukan nilai dari politik Islam itu sendiri yang dijadikan pegangan. Kompleksitas sebagai mayoritas yyang
berperasaan
minoritas, mungkin, merupakan salah satu hal yang bisa ikut
menjelaskan mengapa kaum politisi Islam masih
merasa penting memainkan “sentimen agama” itu dalam percaturan politik... selama kesadaran kelompok ini yang menonjol , Islam selamanya akan di perjuangkan sebagai
99
Abdurrrahman, Islam Sebagai..., 50
70
entitas politik yang ekslusif dan sekali lagi bukan sebagai moral politik yang obyektif. 100
Tatkala penyebab keberprpihakan terhadap kaum elit, maka politik umat Islam dapat disimpulkan tak dapat memberikan solusi terhadap gejala sosial yang erjadi pada masyarakat yaitu kemiskinan, dan hanya satu cara yang terbaik untuk mengentasakan problem ini yaitu re-destribusi sosial sebagai cita-cita politik Islam ke depan.
Kemiskinan, yang oleh umat Islam sering dipandang sebagai gejala manusia secara individual, saya kira akarnya lebih merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam struktur ekonomi dan dan politik. Hal ini menyangkut timpangnya penguasaaan dan distribusi sumber-sumber kehidupan dalam masyarakt. Oleh karena itu, apa yang paling dibutuhkan dalam hal memberantas kemiskinan, sudah tentu tidak lain adalah munculnya citacita politik yang kuat untuk melakukan pemihakan terhadap re-distribusi sosial...101
100
Ibid Moeslim Abdurrahman, Krisis Sosial, Krisis Cara pandang (Agama): Sebuah pengantar, dalam Moh. Asror Yusuf (Ed), Agama Sebagai Kritik Sosial: di tengah Arus Kapitalisme Global, (Yogyakarta; IRCisoD,2006), 9 101
71
Satu lagi yang menjadi perhatian Abdurrahman terhadap politik
Islam
agar
tidak
berorientasi
berpengaruh kepada penciptaan
elitisme
karena
faham serba Negara pada
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Orientasi politik yang berorientasi elitisme, dalam arti keecenderungan mengauasai sekitar negara, jelas selain menutup representasi basis partisipasi politik massa juga sangat berbahaya, karena akan menciptakan etatisme yang membuat
pengaruh
kekuasaan
menggurita ke semua sektor
negara
tetap
akan
kehidupan masyarakat.
Dengan etatisme, Negara cenderung bukan sara mengatur kepentingan umum, tapi juga ikut campur dalam hal-hal yang pribadi. 102
Sebagai solusi untuk mengembalikan politik Islam yang melahirkan demokrasi maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan dan hal ini menurut Abdurrahman sangat mendasar. Islam sebagai jaminan demokrati tidak bisa disandarkan pada kekuatan dan kesadaraan tokoh, tanpa masuk dalam program pendidikan politik massa yang memiliki tujuan mendasar. Yakni menjadi the epitoome of cultural reform for democracy. Artinya, sebagai kekuatan simbolis massa,
102
Abdurrahman, Islam Sebagai..., 54
72
Islam harus berani memberikan dasar-dasar berpijak secara moral terhadap supremasi hukum dan keadilan sosial dalam sistem politik yang terbuka, sekaligus sebagai kekuatan
komunitas
mampu
membuka
kesadaran
subkultural yang tertutup.103
Kedua tugas Islam sebagai langkah memajukan politik umat Islam di negeri ini, sehingga demokrasi dapt berjalan dengan baik adalah memberikan landasan moral serta membuka kesadaran inklusif. Sedangkan tugas lainnya ditambahkan Abdurrahman adalah politik Islam haruus bersikap responsif dan reaktif terhadap perubahan zaman dan tidak pasif. Aliansi politik Islam untuk massa depan demokrasi harus berani melakukan pembaharuan budaya politik yang responsif terhadap
perkembangan mutakhir. Misalnya
pluralisme, demokrasi, dan ketimpangan sosial. 104
Ide pembaharuan politik terus diwacanakan oleh abrurahman karena percaturan politik secara nasional telah rusak dan tidak memihak kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan hanya berpihak kepada golongan mereka yang berpolitik saja, sehingga nilai-nilai demokrasi 103 104
(keadialan, kebebasan dan
Ibid 126 Ibid 127
73
kesetaraan) tidak teraktualisasikan di dalam kehidupan pembaharuan
politik
tersebut
lebih
mengedepankan
pendekatan emansipatoris rakyat. Untuk menemukan kembali basis politik yang berorientasi pada proyek emansipatoris rakyat, sudah tentu tidak ada jalan lain kecuali perlu dilakukan re-grouping politik baru oleh rakyat sendiri (di luar demokrasi kepartaian) yang lebih bercorak partisipatoris. Suatu langkah politik demokratis yang memiliki basis yang bertumpu pada komunitas dari aliansi berbagai politik identitas yang disatukan oleh cita-cita untuk menjaga kedaulaatan rakyat (popular
sovereignth)
agar
rakyat
sendiri
mampu
melaksanakkan legilasi politik dalam merencanakan aksi bersama memecahkan masalah-masalah kehidupan seharihari. 105
Pendekatan
emansipatoris
rakyat
yang
diajukan
Abdurrahman ini mengandung pengertian bahwa konsep cityzenship dan community harus sama-sama dilaksanakan secara bersamaan, sehingga kekuasaan negara untuk mengatur manusia dapat diawasi secara maksimal oleh rakyat. Karena
105
Ibid 135-136
74
nilai dari gagasan ini tidak hanya bersifat politik tapi juga bersifat sosial. Kata cityzenship biasanya menjadi ugkapan yang paling kuat untuk menggambarkan ide tentang the sovereignty of the people... paham demokrasi emansipatoris selalu berada pada kesetiaan memegang teguh prinsip politik bahwa pengertian
cityzenship
dan
community
tidak
bisa
dipisahkan dari bagian partisipasi aktif untuk menghapus hegemoni dan perjuangan melawan absolutisme. Oleh sebab itu, akhirnya yang harus kita perjuangkan ialah bagaimana
menghidupkan
terus
menerus
gagasan
cityzenship itu sebagai a system of right yang dijamin secara konstitusional baga setiap anggota
a political
community, tapi these right tidak saja memiliki dimensi the political namun juga the sosial. 106
Sebagai
konskuensi
emansipatoris
di
atas
melakukan
faham
dengan perpaduan
demokrasi dua
konsep
cityzenship dan community, maka ada dua aktivitas yang harus dilakukan. Sebagai
konskuensinya
dalam
memperjuangkan
demokrasi emansipatoris ini, ada dua aksi yang harus
106
Ibid 47
75
dilakukan, yaitu: mengurangi perbedaan kelas sosial dalam rangka mencapai kesetaraan ekonomi: dan tentu saja menjaga kebebasan dalam tataran kebudayaan.107
Dua aksi yang sangat penting tersebut, terlihat sekali sebagai manifestasi pendekatan yang diusulkan
oleh Abdurrahman
dalam rangka mengkonstruksi politik bangsa ini, dan agaman Islam memiliki nilai-nilai normatis itu semua seperti keadilan dan kebebasan. Pembaharuan politik selanjutnya juga sebagai langkah menuju rekonstruksi politik secara nasional. Pembaharuan ini lebih obyektif walaupun dari gagasan yang bersifat subyektif. Adanya keseimbangan berikutnya penyatuan antara politik praktis yang diarahkan kepada kebijakan dengan wacana politik yang lebih mengedepankan persoalan-persoalan politik yang sedang berkembang. Adalah saatnya kita butuh politik yang mempunyai kepemimpinan dan agenda kebijaksanaan yang obyektif, dan bukan lagi meneruskan pertikaian dalam sintiment politik aliran yang dibungkus dengan wacana demokrasi modern, sehingga perubahan sosial tidak lagi menjadi elite, karena rakyat dalam prosess politik masih di beri hak
107
Ibid 47-48
76
hidup, sekurang-kurangnya dalam harapan kembalinya solidaritas sosial yang sesungguhnya nili ini merupakan inti kehidupan bagi setiap manusia dimana pun wilayah politiknya.108
Langkah lainnya yang perlu di kembangkan di dalam politik sehingga Islam secara universal dapat di pahami sebagai agama yang relevan dengan politik karena nilai yang diajarkan sesuai dengan kontekstual atau realitas. Untuk mencapai langkah tersebut di butuhkan tafsir ulang terhadap nilai-nilai normatif berdasarkan relaitas yang terjadi. ...Islam sebagai bahasa politik, oleh karena itu harus dibaca tidak hanya dalam argumentasinya yang normatif, sebab tafsiran dan kesadaran politik Islam itu muncul bersamaan dengan kapan dan dimana panggilan sejarah itu mendesaknya, dan imajenasi kaum Muslimin akan terus hidup bersama dengan tuntutan sejarahnya masing-masing, sehingga teks-teks Islam tentang semuannya adalah otentik baik di depan sejarah, apalagi di depan Allah SWT. Yang pasti, dalam hal ini tidak otentik, jika politik Islam jutru bertujuan melawan keadilan,
108
Ibid 132
77
menegakkan diskriminasi dan menumbuhkan tindak kekerasan yang mengancam sendi-sendi keselamatan umat manusia.109
3. Kritik Terhadap Modernisasi Proses modernisasi merupakan bagian dari proses globalsasi yang dibawa penjajahan kolonial dan muncul setelah revolusi industri bukan dari agama Islam. Modernisasi inilah yang dikritisi oleh kaum cendekiawan muslim transformatif karena dampak yang ditimbulkan. Berbicara tentang modernesasi, ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama, proses modernisasi dan negaranegara berkembang adalah bagian dari proses globalisasi, yang di Indonesia datang bersama penjajahan barat, kedua, modernisasi, yang muncul setelah revolusi revolusi industri. Bukanlah pengalaman orisinal Islam. Kita ketahui, modernisasi muncul dalam pengalaman kristiani di Eropa, sehingga proses pemisahan isu modernisasi dengan agama sangat tajam. 110
Dampak dari modernisasi yang terjadi di dalam dunia isalm adalah terjadinya perbutan tingkat ortodoksi yang berkaitan
109
Moeslim Abdurrahman, Negara Islam: sebuah Gagasan Keagamaan Sejarah politik, “Kata Pengantar” dalam Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang perdebatan Konstituante, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006) xv 110 Abdurrrahman, Islam transformatif... 22
78
dengan ritus, kesusilaan, teologis dan hukum kekeluargaan. Dampak ini jelas terlihat dalam organisasi sosial keagamaan di Indonesia yang akhirnya memunculkan dua corak organisasi yaitu tradisionalisme Islam dan modernisasi Islam. Secara agak gegebah mungkin dapat disimpulkan bahwa modernisme Islam pada tingkat praktis telah mampu menyerap atau menyalin format barat. Lalu, pada tingkat intelektual juga telah mampu menandingi barat dalam suatu perumpamaan sekurang-kurangnya pada tahap semantik. Sedangkan ke dalam kalangat umat Islam sendiri telah melahirkan pertikaian merebutkan derajat ortodoksi, yang menyentuh persoalan-persoalan ritus, kesusilaan, ketuhanan dan hukum kekeluargaan.111
Selain berdampak pada tingkat ortodoksi, modernisasi Islam menimbulkan ketidakadilan sosial karena kurang aspiratif kepada
kaum
bawah
sehingga
komunikasi
terhadap
prolematika yang terjadi di kalangan bawah tidak diperhatikan. Lebih mengedepankan kalangan menengah keatas. Kritikan semacam ini memberikan dampak bahwa modernisasi yang sekarang terjadi tak dapat dipertahankan karena cita-cita yang diinginkan Islam yaitu keadilan tidak tercapai. Tercapai, oleh
111
Ibid 30
79
karena itu paradigma transformatif perlu dijadikan solusi alternatif sebagai pengganti paradigma modernisme ini. Corak
modernisme Islam
kepekaan sosialnya
yang
lebih terkait
intelektualis,
yang
dengan golongan
menengah dan atas itu, menurut hemat saya, seringkali memang
kurang
menangkap
aspirasi
dan
proses
transformasi kaum bawah. Namun hal itu sangat menguntungkan upaya pengangkatan harga diri dan pamor Islam di tengah-tengah arus modernisasi dewasa ini. 112
Dampak yang ditimbulka modernisasi juga dapat terlihat di dalam kehidupan masyarakat desa dan kota, memang secara perkembangan menimbulkan kemajuan namun tidak secara kebudayaan. Karena hilangnya keadilan pada semua lapisan masyarakat. Jika di masyarakat kota harus ada kekuatan karakter untuk dapat hidup di zaman modernisasi. Modernisasi, lagi-lagi di kota, tidak mungkin menyerap para pendatang desa yang tidak berbekal ketrampilan dan modal. Begitu pula di desa, modernisasi tak mungkin berbicara banyak tentang mereka yang tidak memiliki terobosan dan capital. Tampaknya kaum duhafa memang agak sulit masuk dalam proposal modernisasi, sebab
112
Ibid 35
80
modernisasi pada dasarnya hanya dapat diikuti oleh mereka yang faham dengan gagasan-gagasan baru, dan mempunyai akses ekonomi dan politik tertentu. Subyek modernisasi adalah elit, dan obyek modernisasi adalah mereka yang awam, yang lemah,yang dianggap bodoh dan malas.113
Proses
modernisasi
juga
menurut
pemikiran
teologi
transformatif menimbulkan tiga corak agam yaitu: menjadikan agama sebagai alat rasionalisasi, agama berfungsi sebagai alat legitimasi dan memarginalkan kaum duhafa karana hanyut dari gelombang besar modernisasi. Jika ketiga corak tersebut melekat
di
dalam
agama,
maka
modernisasi
sudah
menghilakan eksistensi agama sebagai pedoman hidup masyarakat, dan menimbulkan ketimpangan sosial karena keadilan terhadap masyarakat bawah tidak dipenuhi. Kalangan teologi transformatif menyimpulkan bahwa agama dalam proses modernisasi sekarang ini melahirkan tiga
corak,
yaitu:
pertama,
tampil
sebagai
alat
rasionalisasi atas modernisasi atau modernisme, dengan melahirkan perkembangan teologi rasional yang mengacu pada tumbuhnya kepentingan intelektualisme sekelompok
113
Ibid 38-39
81
akademikus. Kedua, sebagai alat legitimasi atas nama melancarkan dan mendukung
berhasilnya program-
program modernisasi... ketiga, kelompok masyarakat tertentu, terutama “kaum duhafa” yang tidak terserap ke dalam dialog besar proses modernisasi dewasa ini, terpaksa menghanyutkan eskapistis...114
Sebagai langkah perlawanan terhadap paradigma modernisasi dengan beberapa kekurangn serta dampak yang ditumbulkan olehnya, maka Abdurrahman mengeluarkan ide serta gagasan untuk membangun sebuah model komunikasi kerakyatan yang mampu menyerap seluruh aspirasi rakyat tidak hanya pada golongan atas tepi juga golongan bawah. DSC adalah kepanjangan dari Development Support Communication. Suatu model komunikasi pengembangan masyarakat yang bersifat dua arah yang setara, yang demokratis, yang saling memberikan penghargaan dan saling memberikan manfaat...dalam model komnikasi seperti ini, setiap manusia harus dipulihkan kembali harga diri kemanusiaan dan harus ditempatkan dalam relasirelasi sosial yang setara...115
114 115
Ibid 107-108 Ibid 217-218
82
Prinsip-prinsip yang tertanam di dalam model komunikasi kerakyatan ini mencirikan bahwa model ini menginginkan perubahan sosial dari bawah, sehingga memberikan kekuatan tersendiri bagi terlaksanannya keadilan sosial di zaman perubahan ini. ...Model DSC mempunyai prinsip-prinsip yang berbeda dengan model komunikasi yangn konvensional maka sebenarnya
prinsip-prinsip DSC itu secara parallel
mencerminkan corak bangunan sosial yang baru yang lebih adil, setara dan demokratis. Berdasarkan prinsipprinsip seperti itu, DSC sudah jelas adalah model komunikasi yang memihak. DSC, dalam hal ini, memihak kepada kelompok-kelompok sosial yang bergulat mencari otonomi diri dari kekuatan-kekuatan
dominan di
sekitarnya, baik karena pengaruh global modernisasi atau pun karena ada struktur lokal yang menghimpitnya.116
116
Ibid 221-222
83
BAB V PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF PERSPEKTIF MOESLIM ABDURRAHMAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM A. Paradigma Islam Transformatif Perspektif Moeslim Abdurrahman 1. Hakikat Islam Transformasi (Ontologi) Menurut
Abdurrahman
hakikat
Islam
transformatif
adalah
menghendaki adanya dialog antara konteks dan teks. Artinya esensi perubahan yang digagas oleh Abdurrahman bermula dengan adanya dialog ketika menafsiri teks dengan konteks sehingga melahirkan kekuatan untuk melakukan transformasi, sehingga transformasi benar-benar dilakukan atas dasar kebutuhan konteks bukan pemaksaan. Yaitu melalui penafsiran teks dengan kesadaran akan konteksnya dan kemudian mempelajari konteks secaar dialogis... perbedaannya dengan kecenderungan Islamisasi ialah bahwa teologi transformatif ini lebih menekankan pada hubungan antara teks dan konteks, dan tidak cenderung melakukan pemaksaan realitas menurut model ideal. Disamping upaya untuk mengatasi perdebatan tentang pilihan antara pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat.117 Gagasan Islam transformatif Abdurrahman ini dilatar belakangi oleh adanya dualisme atau dikotomi antara tingkat ritual dan sosial yang terjadi di dalam masyarakat muslim. Keresahan pemikiran dan hati menjadikan Islam hanya dianggap sebatas ritual belaka tanpa memberikan kontribusi dan implikasi kepada kehidupan sosial. 117
Abdurrahman, Islam Transformatif, 27
84
Saya menemukan adanya suatu gejala bahwa Islam dalam masyarakat kita kini sedang kehilangan idealisme, hal ini yang sungguh mampu memberikan referensi kepada arah transformasi sosial itu hendak kita tuju, sehingga kadang-kadang menimbulkan kesan seolah-olah kehidupan umat Islam mencerminkan sikap mendua. Intensitas ritual menjadi sangat romantik, namun tidak berarti telah membuahkan kesalehan diri, apalagi kesalehan sosial. Kehidupan keIslaman menjadi sangat rutin dan ukuran-ukuran keberagaman menjadi trivialistis (dipermukaan).118 Hakikat Islam transformatif yang dinyatakan oleh Abdurrahman merupakan pemikiran global karena mencakup makna Islam, namun bersifat lokal karena lahir akibat gelombang permasalahan yang terjadi di lingkungan tempat belialu di lahirkan. Alasan kuat yang menjadikan Abdurrahman berani mengeluarkan gagasan terkait transformasi di dalam agama Islam, karena Islam memiliki satu kekuatan yaitu terbuka atas segala reinterpretasi ayat-ayat suci sebagai pedoman kehidupan atau penafsiran ulang berdasarkan kondisi sosial. Kekuatan inilah yang menjadikan Islam mampu bersifat universal dan temporal. Artinya Islam mampu menjadi rahmatan lil alamin sekaligus mampu memberikan pencerahan secara kontekstual. 119 Dua dampak tersebut merupakan tugas bagi umat Islam seluruhnya tanpa terkecuali sebagai aksi nyata dari keimanan atau rasa tauhid yang mendalam. Sebagai
bentuk
pertisipasi
seseorang
cendekiawan
seperti
Abdurrahman terhadap pembanguanan umat Islam, maka ide tentang Islam transformasi ini sebagai jawabanya, karena tugas utama seluruh umat 118
Abdurrahman, Islam Transformatif, 3-4 Jalaludin Rahmad, perjuangan Mustadh’afin: Catatan Bagi perlawanan Kaum Tertindas dalam Eko Prasetyo, Islam Kiri, Melawan Kapitalisme Modal : dari wacana menuju Gerakan, (Yogyakarta: insist Press, 2002), 325 119
85
Islam adalah mengembangkan keseimbangan antara “berilmu amaliah dan beramal ilmiah”, walaupun tugas ini secara umum juga bagian dari tugas negarawan. 120 Mansour Faqih berpandangan bahwa golongan Islam transformatif perlu membentuk paradigma baru terkait teologi sebagai jalan menuju perubahan struktural sehingga melahirkan keadialan bagi kaum miskin atau yang termarginalkan oleh dampak globalisasi. Konsep teologi baru yang mampu memberikan angin segar bagi kaum miskin inilah yang dinamakan teologi transformatif. 121 Ide terkait rekontruksi teologi ini telah dilakukan oleh Abdurrahman dengan teologi transformatifnya. Berdasarkan paradigma Islam transformatif bahwa ide Abdurrahman bagian dari paradigma Islam transformatif yang bersifat teoritis. Abdurrahman melahirkan teologi transformatif walaupun lebih banyak bersifat teoritis tetapi ada beberapa aspek pemikirannya yang bersifat praktis. Hal ini terlihat dari peran serta Abdurrahman dalam lembaga swadaya masyarakat. Sedangakan Islam transformatif menurut pandangan Raharjo adalah menghendaki adanya perubahan dalam tataran teologi di satu sisi dan ilmu di disisi yang lain. Pemikiran itu termasuk pada golongan Islam transformatif bersifat praktis. Raharjo sebagaimana dikutip Anwar 120
Mohamad Sobary, Diskursus Islam Sosial: Memahami Zaman Mencari Solusi, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), 33 121 Mansour Fakih, Islam Sebagai Alternatif, “Kata Pengantar”, dalam Prasetyo, Islam Kiri…, xviii
86
menghendaki adanya rekonstruksi pemahaman keagamaan masyarakat Indonesia yang masih tergolong terkurung dengan ilmu-ilmu Islam tradisional. Agama Islam hanya dikategorikan sebatas ilmu aqidah, syariah, akhalaq dan tasawuf.
122
Rekonstruksi yang dilakukan oleh
Dawam relevan dengan apa yang dilakukan Abdurrahman, relevansinya terlihat dalam kesamaan terkait latar belakang kemunduran umat Islam di zaman maju sehingga di perlukan rekonstruksi teologi. Kesamaan terlihat juga dalam tataran pemaknaan teologi secara transformatif antara Raharjo dengan Abdurrahman, dimana berorientasi kepada pembebasan terhadap kungkungan dan kekejaman pembaharuan dalam arti modernisasi. Rahardjo menyatakan sebagaimana dikutip Anwar bahwa selama ini teologi ini teologi dianggap umat Islam sebagai sesuatu yang sakral sehingga tidak bileh lagi dilakukan pembaharuan atau diotakatik lagi. Jadinya, teologi hanya berbicara pada tataran kehidupan spiritual belaka tanpa menyentuh relaitas sosial yan ada. Oleh karenanya Raharjo mengajukan pembaharuan teologi dengan istilah teologi transformatif. Sama seperti teologi yang digagas oleh Abdurrahman. 123 Persamaan istilah yang digunakan oleh Rahardjo dan Abdurrahman merupakan titik balik dari paradigma yang mereka usung yaitu Islam transformatif. Walaupun dalam aplikatifnya Rahardjo lebih berperan daripada Abdurrahman.
122 123
Anwar, Pemikir dan Aksi…, 165 Ibid 166
87
Pernyataan Rahardjo di atas menjelaskan bahwa teologi transformatif ialah teologi yang bersifat pembebasan dan emansipatoris. Oleh karena Islam sebagai sebuah teologi mampu memberikan kebebasan dan emansipatoris kepada umat manusia untuk melakukan perubahan yang signifikan. Usaha-usaha menuju perubahan-perubahan tersebut dilakukan sebagai manifestasi dalam agama Islam yang hakiki. Akibatnya kemaslahatan di dalam kehidupan sosial akan tercapai. Sedangkan ketidakadilan, penindasan, kebodohan bisa dibebaskan dari dunia ini. Perumusan pembaharuan teologi yang dinyatakan oleh Rahardjo terebut mengindikasiakan bahwa teologi transformasi harus dilakukan dan hal itu dilakukan oleh Raharjo dengan beberapa aksi nyata di dalam kehidupan dengan keikutsertaanya dalam mendirikan beberapa lembaga berbasis transformatif seperti lembaga studi pembangunan (LSP), pusat pengembangan Agrobisnis (PPA), perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW).124 Aksi nyata ini merupakan bukti Raharjo benar-benar mewujudkan pemikiran berkenaan dengan pembaharuan teologi dalam rangka mencapai keadilan sosial. Artinya lembaga-lembaga tersebut sebagai media kreativitas intelektual menuju transformasi sosial.
124
Syarif Hidayatullah, Islam “Isme-isme”: Aliran dan Paham Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Pustaka Pelaajar, 2010), 95
88
Aksi nyata sebagai langkah transformasi sosial harusnya mampu memberikan kekuatan bagi masyarakat bawah agar mampu mengatasi ketimpangan serta kesenjangan sosial yang terjadi pada lingkungannya. Langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat bahwa tersebut ialah dengan menggunakan pendekatan materialisme-komunis, yaitu pendekatan yang memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa kemiskinan bisa diatasi, bukan oleh tuhan namun oleh mereka sendiri. 125 Pendekatan ini yang digagas oleh Asdar merupakan jawaban terhadap problematika sosial yang terjadi pada masyarakat bawah, bisa dijadikan panutan bahkan acuan mendasar bagi pengentasan kemiskinan, dan aksi inilah yang diharapkan oleh paradigma Islam transformatif. 2. Tujuan Islam Transformatif (Aksiologi) Tujuan paradigma Islam transformatif menurut Abdurrahman adalah keadilan sosial. Disini Abdurrahman berharap dengan kekuatan agama Islam yang mengakar di dalam kehidupan masyarakat Indonesia mampu menggerakan reformasi sosial. Hasil akhir akan tercapai jika Islam transformatif mencapai hasil adalah social justice. Karena dari segi praktik, politik kita memberikan harapan. Oleh karena iru harus di inspirasikan dengan spirit dari Islam transformatif itu. Nah, kenapa saya selalu berbicara Islam, karena Islam sebagai suatu kekuatan dan secara kultural sudah lama berakar di Indoneisia, orang-orang yang menekankan Islamic reform dalam pandangan saya kurang menekankan perlunya social reform. Islam harus mempunyai orientasi kritik sosial, tidak hanya sebagai pencerahan atau sebagai wacana modernisasi atau 125
Masdar F. Mas’udi, Hak Milik dan ketimpangan Sosial (Telaah Sejarah dan kerasulan), dalam isep Abdul Malik (Eds), Islam Universal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), 71
89
wacana modernitas, Islam yang ingin mengubah keadaan supaya lebih adil. 126 Menurut Moeslim Abdurrahman bahwa terciptannya keadilan sosial melalui paradigma Islam transformatif ini akan lebih terlihat jika gerakan kemanusiaan yang berpihak kepada keadilan sosial tadi, jadi tidak hanya tataran wacana tapi aksi nyata tentang keadilan sosial dapat terwujud. Transformasi ... gerakan kemanusian yang mampu mengantarkan kehidupan sosial yang sederajat di depan Allah SWT. Suatu gerakan transformatif yang menumbuhkan kepedulian terhadap nasib sesama, dan hanya memlahirkan aksi solidaritas... dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan dan bukan hanya pengarahan, apalagi pemaksaan. Transformasi, pada liberasi, humanisasi dan sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat sendiri ke arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansipatoris.127 a) Liberasi (bahasa
Latin liberare
berarti
memerdekakan)
artinya
pembebasan, semuanya dengan konotasi yang mempunyai signifikansi sosial. Tujuan dari liberasi adalah pembebasan dari kekejaman, kemiskinan
struktural,
keangkuhan teknologi,
dan pemerasan
kelimpahan. Liberasi adalah membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan
struktural,
keangkuhan
teknologi
dan
pemerasan
kelimpahan. Ummat manusia menyatu rasa dengan mereka yang miskin, terperangkap dalam kesadaran demokratis, dan yang tergusur
126 127
Abdurrahman, Islam Sebagai ..., 190 Abdurrahman, Islam Transformatif.
90
oleh ekonomi raksasa. Manusia ingin bersama-sama membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang dibangun oleh mereka sendiri. b) Humanistik. Yang dimaksud adalah memanusiakan manusia,menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia. Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa kita sekarang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial kita menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah. Pendekatan humanistik religious dalam beragama menurut Brubacher, sebagaimana dikutip Achmadi, dalam Ideologi Pendidikan Islam, adalah pendekatan kepada Tuhan melalui pengalaman manusia. Seseorang yang benar-benar beriman kepada Tuhan misalnya, akan menguji pengetahuan dan pemahamannya tentang Tuhan melalui pengalamannya sendiri. Seluruh potensi intelektual dan spiritualnya didayagunakan untuk memahami dan menghayati kehadiran Tuhan. Esensi
pendekatan
humanistik
religious,
mengajarkan
bahwa
keimanan tidak semata-mata merujuk kepada teks kitab suci, tetapi melalui pengalaman hidup dengan menghadirkan Tuhan dalam mengatasi persoalan kehidupan dan sosial. Dengan pendekatan ini, maka ketika mengajarkan nam-nama Tuhan (Asma’ al-Husna) kepada peserta didik, dilakukan dengan cara mengajak mereka berkunjung ke pemukiman kumuh, lokasi bencana alam, rumah jompo, pusat-pusat
91
pengembangan teknologi komputer dan lain sebagainya. Dengan menyaksikan semua itu, para siswa diketuk hatinya agar timbul rasa simpati dan empati terhadap orang-orang yang kurang beruntung, serta menyaksikan betapa agungnya kekusaan Tuhan, dan tidak berdayanya manusia di hadapan-Nya. Telah dikemukakan secara singkat pada pembahasan latar belakang tentang humanisasi Abdurrahman bahwa untuk dapat merasakan kebebasan tidak bisa hanya dengan menanti nasib untuk menjadi
bebas,
kebebasan
sejati
adalah
kemerdekaan
yang
diupayakan, kebebasan bukanlah sebuah pertolongan, bahkan untuk dapat menciptakan pembebasan harus dengan melepaskan diri dari pertolongan, karena pertolongan hanya akan membelenggu seseorang dalam ketergantungan, dan ketrgantungan itu sendiri menurut Freire adalah titik lemah. Dalam Al-Qur’an sendiri dijelaskan tentang kewajiban manusia untuk mengupayakan nilai kebebasan dalam membentuk sebuah takdir. Sebab manusia yang dapat membentuk takdirnya sendiri berarti dia telah melakukan upaya pembebasan, dan pembebasan tiu sendiri adalah sebuah tindakan ”humanisasi”. Seperti disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ar-ra’d, ayat 13:
92
“…Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” Ayat di atas memperlihatkan adanya tuntutan bagi individu untuk merubah dan menciptakan kebebasannya sendiri yang dicapai melalui kesadaran. Sebab kesadaran individu itulah yang menjadi determinasi dan prasyarat terbentuknya perubahan social. 128 Hal ini pula yang perlu ditekankan dalam menciptakan nuansa kebebasan dalam pendidikan.Sebab tanpa kesadaran pribadi sebuah mimpi akan terjadinya kebebasan tidak akan pernah tercapai. Dalam pandangan Freire masalah di dunia ini terbentuk sebab ada manusia dan realitas, filsafat permasalahan Freire bertolak pada kehidupan nyata, bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara yang tidak adil, dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan tersebut memperlihatkan adanya kondisi yang tidak seimbang, tidak adil. Persoalan ini oleh Freire disebut sebagai “situasi Penindasan”.129
128
Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan. Hlm. 133-136. Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007)hlm. Vii. 129
93
Dalam perspektif kemanusiaan apapun bentuk penindasan itu tidak dapat dibenarkan, sebab penindasan telah menafikan bentuk kemanusiaan (Dehumanisasi), dan dehumanisasi itu secara tidak langsung telah menyalahi kodrat manusia. Bagi Freire manusia bebas adalah manusia sejati, yaitu manusia merdeka yang mampu menjadi subjek bukan hanya menjadi objek yanghanya menerima sebuah perlakuan dari pihak lain. Panggilan manusia sejati adalah menjadi manusia yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia dan realita yang menindas dan mungkin menindasnya. pada hakikatnya manusia mampu memahami keasaan dirinya dan lingkungannya dengan berbekal pikiran dan dengan tindakan praksisnya ia akan mampu merubah situasi yang tidak selaras dengan jalan pikirnya. Oleh karenannya manusia sejati harus mampu mengatasi keadaan yang menjeratnya.
Jika
seseorang
hanya
berpasrah
bahkan
tanpa
perlawanan menghadapi situasi itu maka berarti ia sedang tidak manusiawi. ketika kaum tertindas dengan kesadaran dirinya mampu membebaskan dirinya sendiri dari segala bentuk penindasan maka sa’at itu terjadilah yang namanya “pembebasan” dan pembebasan ini adalah sebuah realisasi atas terciptanya humanisasi. Humanisasi ini juga harus terealisasi dalam pendidikan, jika dianalogikan dalam ranah pembentuk masalah didunia, maka dalam ranah pendidikan yang termasuk kedalam unsure manusia adalah pengajar dan pelajar, maka dalam hal ini pengajar dan pelajar harus belajar bersama dan
94
sejalan dalam sebuah proses yang dialogis serta tidak memaksakan satu pihak untuk menerima deposito pengetahuan sebagai celengan yang harus diisi. 130 Jadi keduanya (guru dan murid) sama-sama belajar untuk saling memanusiakan antara satu sama lain. c) Tresendensi Transendensi (bahasa Latin transcendere berarti naik ke atas; bahasa Inggris to transcend ialah menembus, melewati, melampaui) artinya perjalanan di atas atau di luar. Tujuan transendensi adalah menambah dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dan fitrah kemanusiaan Sedangkan peran transendensi agama bertujuan menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Ummat manusia sudah banyak yang menyerah pada arus hedonisme, materialisme dan budaya dekaden. Ummat manusia percaya, bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian dari fitrah manusia. Ummat manusia ingin merasakan kembali bahwa dunia ini sebagai rahmat Tuhan. Manusia ingin hidup dalam suasana yang lepas dari 130
Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007)hlm. vii-xv.
95
ruang dan waktu, khususnya ketika bersentuhan dengan kebesaran Tuhan. Pernyataan-pernyataan di atas yang berkenaan dengan tujuan Islam transformatif terangkum dalam tabel berikut:
Gambar 4.2 Tujuan Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman
3. Epistemologi Islam Transformatif Dalam pemikiran Abdurrahman epistemologi Islam transformatif terbagi menjadi dua yaitu eksternal dan internal. Epistemologi eksternal lebih berisi sifat praktis, walaupun masih dominan teoristis. Artinya epistemologi Abdurrahman mengarah kepada pembentukan. Gerakan
96
kebudayaan yang mampu menegakkan keadilan sosial di masyarakat. Gerakan itu pun dari rakyat, untuk rakyat sendiri dan dilakukan oleh rakyat juga. Sama seperti makna di balik demonstrasi. Pembentukan gerakan tesebut harus melalui beberapa langkah sebagaimana pernyataan Abdurrahman berikut: Mekanisme pertama yang dipakai untuk mewujudkan teologi Islam transformatif adalah melakukan proses regrouping masyarakat marginal melalui circle mekanisme kedua, harus ada regrouping dalam arti membangun komunitas baru yang memiliki orientasi ekonomi tetapi sekaligus juga merupakan suatu kekuasaan organisasi kerakyatan... mekanisme ketiga, memunculkan komunitas-komunitas baru di antara buruh dan petani. 131 Terlepas dari ciri khas dan perbedaan gerakan pemikiran masingmasing—Islam Modernis, Neo-Modernis, Islam Liberal, Post-Tradisionalis, dan Islam Transformatif—semuanya mempromosikan moderatisme Islam, yakni mediasi dari ektrimisme Islam revivalis atau fundamentalis dengan sekularisme. Moderatisme menjadi karakter umum yang memayungi gerakan Islam progresif. Tradisi dan modernitas tidak diletakkan dalam dua kutub yang saling berlawanan dan bermusuhan. Keduanya ditempatkan pada porsinya masing-masing, lalu didialogkan secara elegan. Kadar tradisi dan modernitas pada masing-masing gerakan pemikiran itu memiliki perbedaan, yang pasti pertemuan tradisi dan modernitas mengandung makna mendialogkan dua peradaban.
Realitas kekinian berupa keterbelakangan dan ketertindasan bukan sesuatu yang given, bukan takdir yang tidak bisa diubah, namun hal itu 131
Abdurrahman, Islam sebagai... 188-189
97
akibat dari struktur yang secara sistematik menciptakan kondisi-kondisi tersebut. Dalam koneks ini, peran Islam Kritis sebagai kekuatan penyadaran untuk melawan realitas penindasan dalam masyarakat menjadi sebuah keniscayaan.
Pernyataan di atas sangat terlihat aplikatif sekali karena sudah memasuki
tahapan-tahapan
yang
harus
dilakukan
dalam
rangka
membentuk gerakan kebudayaan berbasis keadilan. Epistemologi adalah merekonstruksi metode tafsir yang selama ini masih terkungkung oleh penafsiran kontroversial dan tidak liberatif atau tidak memberikan kebebasan kepada penafsiran dalam memberikan realitas. Oleh karenanya, hasil tafsiran tidak berpihak kepada realitas yang ada dan seolah-olah hanya berkomunikasi dalam wacana. Biarpun Al-Quran sebagai teks memang telah dipenjara oleh sejarah, tapi gagasan-gagasan Tuhan diisyaratkan melalui firman-Nya itu tetap akan hidup, selama Al-Quran bukan hanya dibaca dalam mewujudkan yang skriptual saja tetapi seharusnya “dibaca” dalam double hermeneutics yakni sekaligus dikonfrontasikan terhadap kenyataan sosial yang aktual. Untuk kepentingan ini, saya kira perlu di kembangkan “tafsir transformatif” yang di dalam memahami gagasan Tuhan itu, dan dibutuhkan sekurang-kurangnya tiga wilayah interpretasi; pertama-tama, memahami konstruk sosial. Kemudian membawa konstruk itu berhadapan
98
dengan interpretasi teks (al-Quran) dan yang ketiga, hasil penghadapan konstruk sosial dan model ideal teks itu kemudian diwujudkan dalam aksi yang baru, yaitu transformasi sosial. 132 Domain metode tafsir transformatif ini mengarah kepada tiga wilayah tafsiran yaitu mengenal terlebih dahulu reallitas di lapangan, lalu membawanya kepada konsep idealis al-Quran dan setelah dilakukan pertemuan antara konteks dengan teks barulah lahir aksi tranformasi sosial yang komperhensif dan sesuai dengan kebutuhan konteks. Lebih jelas lagi pernyataan Abdurrahman dengan epistemologi Islam transformatif terangkum dalam tabel di bawah ini.
Gambar: 4.1 Epistemologi Islam transformatif Moeslim Abdurrahman
132
Ibid, 116
99
B. Implikasi Pemikiran Moeslim Abdurrahman 1. Hakikat pendidikan Islam Moeslim Abdurrahman berparadigma teologi transformatif di karenakan makna teologi yang begitu luas untuk dipahami dan tidak hanya sebatas persoalan tauhid semata namun persoalan lainnya juga bagian dari teologi termasuk pendidikan. Pemaknaan Abdurrahman terhadap teologi transformatif yang ia gagas secara esensial berupa adanya dialog antara di lapangan dengan konsep teks suci agama. Pemaknaan seperti itu tentu memiliki implikasi terhadap hakikat pendidikan Islam, karena hubungan antara pendidikan secara umum dengan teologi sangatlah kuat, pendidikan pastinya berbicara internalisasi atau transformasi nilai, karena itu menyangkut hal-hal yang mampu mempengaruhi sikap atau tingkah laku peserta didik di dalam sebuah komunitas, dan teologi merupakan sesuatu yang menyangkut aktivitas kesadaran manusia sehingga dapat berdampak kepada sikap dan tingkah laku. Artinya teologi mampu menginspirasi dan membentuk pola pandang manusia, yang berubah kepada tindakan nyata sehingga mampu dijadikan pandangan hidup selamanya.133 Relasi antara teologi dan pendidikan sangat kuat sehingga mampu melahirkan sebuah paradigma yang komperhensif dalam rangka merekonstruksi pendidikan agama Islam menghadapi dunia global.
133
Esha, Teologi Islam..., 64
100
Berdasarkan pemaknaan hakiki tersebut, maka implikasinya terhadap pemaknaan pendidikan agama Islam ke depan, adalah pendidikan yang mengedepankan sisi dialog antara kebutuhan konteks dan konsep ideal. Artinya pendidikan Islam mampu mengontrol proses pendidikan ke depan dengan mengendalikan dua aspek sekaligus secara bersamaan dan seimbang. Implikasi tersebut menjadi penting karena selama ini para pakar pendidikan belum menyentuh ranah dialog antara pembacaan teks dan konteks sebagaimana pemaknaan Imam Bawani terkait pendidikan Islam kearah kegiatan dakwah, hal ini tiada lain merujuk kepada sejarah Nabi Muhammad SAW yang pertama kali menyampaikan pendidikan Islam kepada masyarakat Muslim pada awal mula penyebaran Islam. 134 Juga pemaknaan Nauqib Al-Attas terkait hakikat pendidikan Islam seperti dikutib Bawani yaitu pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsurangsur ditanamkan kepada manusia, tentang tempat-tepat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud kepribadian. Secara konseptual pendidikan Islam sebenarnya sudah cukup kaya dan sempurna sebab ingin membentuk pribadi muslim sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, meskipun lebih cenderung normatif. Sebab, dalam realitasnya, praktik pendidikan Islam 134
Imam Bawani, segi segi pendidikan Islam, (Surabaya:Al-Ikhlas,1989), 73
101
cenderung ‘idealis’ dan kurang bersentuhan dengan problem realitasempirik. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya anggapan bahwa segala aktifitas hidup umat Islam, termasuk pendidikan, harus didasarkan pada wahyu yang given dari Tuhan dalam pengertian harfiah sehingga cenderung kurang melihat aspek realitas yang empirik. Karena itu, wajar jika formulasi tentang konsep pendidikan Islam relatif idealis dan kurang ‘membumi’, kurang bersentuhan dengan problem realitas. Padahal, sosok Nabi sendiri yang dijadikan sebagai model bagi pendidikan Islam jelas-jelas terlibat langsung dalam penyelesaian problem di masyarakat. Jika paradigma pendidikan kritis diterima dengan beberapa penyesuaian, maka yang perlu dipikirkan adalah tindak lanjut secara praktis, mulai dari perumusan orientasi pendidikan Islam, pembaharuan kurikulum, penyiapan sumber daya manusia, diversifikasi strategi pembelajaran, perubahan model evaluasi, evaluasi kebijakan, dan perubahan manajemen di lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Berbagai komponen ini perlu dikaji secara terpadu, simultan, dan komprehensif. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab praktisi pendidikan Islam saja, namun semua stakeholder pendidikan harus dilibatkan, mulai dari tenaga kependidikan di lembaga pendidikan formal, peserta didik, alumni, pengguna alumni, orang tua, tokoh masyarakat, akademisi, dan pejabat pemerintah terkait. Sebab,
102
proses pendidikan tidak dapat berjalan secara linear dan monolitik, namun secara sirkular dan melibatkan banyak komponen.135 Dalam pendidikan Islam Transformatif, sumber daya manusia pertama yang harus dibenahi adalah pendidik. Ini tidak berarti yang lain tidak perlu dibenahi. Namun, para pendidiklah yang menjadi ujung tombak terjadinya perubahan. Sebab, mereka yang selalu terlibat langsung dengan peserta didik dan yang mengimplementasikan kurikulum. Ini berarti, berhasil tidaknya sebuah rumusan dan konsep kurikulum dalam konteks praktis sangat ditentukan oleh faktor pendidik. Semakin berkualitas pendidik, semakin berhasil dalam membawa perubahan. Dikaitkan dengan implementasi Kurikulum 2013, sosok pendidik sangat diharapkan untuk keberhasilan kurikulum baru tersebut. Sebab, dalam pengelolaan kurikulum yang berujung pada penjabaran silabus dan materi pembelajaran dari rumusan kompetensi minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat lebih diserahkan kepada pihak sekolah/madrasah, khususnya pendidik. Dalam hal ini mereka dapat bekerjasama dengan berbagai pihak terkait seperti kepala sekolah, akademisi di perguruan tinggi dan tokoh masyarakat, namun yang menjadi inisator adalah pendidik. Posisi pendidik semakin penting mengingat penjabaran materi sangat diserahkan ke tiap wilayah, bahkan lembaga pendidikan, untuk
135
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. (Mizan, Bandung: 2003), hlm. 266.
103
mengembangkannya tergantung kebutuhan. Hal ini didasari oleh prinsip pengelolaan KBK ‘kesatuan dalam kebijakan dan keragaman dalam pelaksanaan.’ Karena itu, sangat dimungkingkan adanya perbedaan implementasi dan pengembangan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Bahkan, dalam satu wilayah pun sangat dimungkinkan adanya keragaman implementasi antara satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lain. Untuk itu, diperlukan pendidik yang mampu menerjemahkan dan menjabarkan kompetensi dasar sesuai dengan kondisi wilayah dan sekolah. Pendidik bukan lagi menjadi satu-satunya sumber belajar, sebab apa pun dapat dijadikan sebagai sumber belajar selama mendukung pencapaian hasil belajar. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam konteks pendidikan kritis diperlukan tenaga kependidikan yang mempunyai pengetahuan dinamis tentang strategi pembelajaran. Proses pembelajaran harus mampu mengoptimalkan segenap potensi peserta didik dengan cara melibatkan mereka secara fisik dan mental dalam setiap pembelajaran. Untuk itu, strategi pembelajaran yang diterapkan pendidik harus mempertimbangkan setiap kecenderungan tipe belajar setiap peserta didik, apakah tipe somatik, auditif, visual atau intelektual. Disisi lain, seorang pendidikan harus kritis mencermati persoalan kependidikan, mulai dari penyimpangan praktik pendidikan di lapangan, kebijakan yang tidak tepat sampai persoalan yang menimpa dirinya sebagai seorang pendidik. Hal ini dilakukan agar pendidik tidak hanya 104
menjadi sosok manusia yang pasrah dan pasif karena dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau sosok Umar Bakri yang lugu dan sederhana. Dalam perspektif kritis, kesederhanaan pendidik tentu masih sangat relevan tetapi tanpa mengabaikan peran dia yang harus kreatif dan kritis dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Masalah pendidikan tidak hanya diserahkan kepada para akademisi di perguruan tinggi atau pengambil keibjakan saja, namun dia juga harus berperan aktif dalam menyelesaikannya dengan kemampuan yang dimiliki. 2. Metode Pendidikan Islam Pendapat Abdurrahman terkait hakikat Islam transformatif juga berdampak kepada metode pendidikann Islam, selain epistemologi Islam transformatif yang memiliki metode yang sangat urgen. Di bawah ini akan dijelaskan implikasi pemikiran tersebut. Semangat pendidikan islam
transformatif untuk senantiasa
mengontekskan pengajaran agama dengan realitas sosial tidak bisa terwujud jika metode pembelajaran agama masih bersifat indoktrinatif. model pengajaran demikian menutup peluang bagi adanya pendalaman dan komprehensi akan suatu persoalan. model indoktrinatif cenderung menekan peserta didik untuk berpikir eksklusif, simplistik, dan tidak menghargai pluralitas pemikiran. jika agama diajarkan dengan pola ini, alih-alih untuk mengembangkan religious literacy, untuk melihat agama sendiri secara kritis pun akan sulit.
105
Model indoktrinatif hampir sama dengan konsep pengetahuan sebagai makanan (knowledge as food), seperti dikritik sartre. gagasan to know is to eat adalah paralel dengan semangat indoktrinasi. pengetahuan dalam model ini harus diberikan kepada peserta didik. ia tidak dilahirkan dari upaya kreatif peserta didik sendiri. secara implisit, model ini mengandaikan peserta didik sebagai passive beings, atau obyek, bukan subyek. kebalikan dari model itu, metode yang dipakai pendidikan islam transformatif dalam pembelajaran agama adalah metode dialogis. dialog diperlukan agar ilmu agama yang diajarkan mengalami proses refleksi bersama antara guru dan murid, dosen dan mahasiswa. proses inilah yang akan menjadikan peserta didik menjadi kreatif dan kritis, sekaligus ada pendalaman dan komprehensi terhadap materi agama yang diajarkan. proses pembelajaran dalam konteks pendidikan islam
transformatif
mengandaikan dua gerakan ganda: dari realitas nyata ke arena pembelajaran, lalu kembali ke realitas nyata dengan praksis baru. tahap pertama, memakai istilah paulo freire dalam cultural action for freedom (1972), adalah tahap kodifikasi (codification), yakni penelaahan beberapa aspek penting yang terjadi di realitas nyata peserta didik. fakta-fakta obyektif itu lalu dibawa ke arena pembelajaran untuk dianalisis, dihadapkan pada teks normatif agama. ini merupakan tahap dekodifikasi (decodification), yaitu proses deskripsi dan interpretasi. tahap selanjutnya adalah praksis, tahap pengejawantahan ke realitas kongkret. tahap praksis ini dihasilkan dari proses kodifikasi dan dekodifikasi. diharapkan peserta
106
didik sekeluarnya dari arena pembelajaran mempunyai praksis baru di masyarakat. Mengajarkan puasa pun tidak melulu bersifat normatif, tetapi juga bersifat
sosiologis.
Puasa,
dalam
perspektif
pendidikan
Islam
transformatif, tidak hanya berarti menahan makan dan minum mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa juga merupakan latihan untuk bisa merasakan penderitaan orang lain, dan inilah esensinya. Dengan bisa merasakan penderitaan orang lain, akan timbul rasa empati dan keberpihakan terhadap mereka yang miskin dan tertindas. Demikian juga dengan mengajarkan zakat. Zakat tidak diajarkan secara mekanis sebagai karitas dari mereka yang punya kepada yang tidak punya. Pengajaran secara mekanis ini tidak mempunyai kekuatan transformatif, karena yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin. Dalam perspektif pendidikan Islam transformatif, zakat harus diajarkan secara strukturalis. Zakat harus mempunyai kekuatan transformative dalam mengubah struktur sosial masyarakat ke arah yang lebih adil. Proses pembelajaran agama seperti itu bisa dilaksanakan bila peserta didik tahu peran mereka sebagai subyek kreatif dalam pembelajaran. untuk itulah pendidikan islam transformatif selalu menempatkan peserta didik sebagai subyek dan active being. mereka selalu dilibatkan dalam proses dekodifikasi materi agama.
107
Secara esensial Islam transformatif menghendaki adanya dialog, ini yang menurut Abdurrahman perlu digagas dalam rangka mencapai keadilan. Dialog dalam metode pendidikan secara umum merupakan satu diantara banyak metode yang urgen dilaksanakan dalam rangka mencapai satu pemahaman yang komperhensif, sehingga antara komponen atau elemen pendidikan memiliki peran yang sama dalam menyampaikan argumenya. Oleh karena itu, implikasi pemikiran ini sangat tampak pada metode pendidikan Islam, karena kedepan metode pendidikan Islam harus terus melakukan dialog antara guru dengan murid, antara murid dengan relitas sosial, antara guru dengan konteks lapangan, sehingga melahirkan pemahaman yang sempurna. Apa yang dipelajari di dalam teks buku pelajaran harus terus dihadapkan atau didialogkan dengan relitas sosial yang terjadi di masyarakat. Jadi pembicaraan materi pelajaran menjadi lebih kontekstual. Metode
dialog
sangat
dibutuhkan
dalam
tatanan
metode
pendidikan Islam ke depan sebagaimana metode yang di tawarkan nauqib Al-Attas yaitu metode tauhid. Metode ini dapat menyelesaikan problematika dikotomi yang salah, seperti antara aspek obyektif dan subyektif ilmu pengetahuan, metode ilmu pengetahuan alam yang diklaim lebih obyektif dianggap memiliki validitas yang lebih tinggi dibandingkan ilmu agama yang dianggap subjektif. 136 Pandangan Al-Attas ini mengarah kepada metode Islam transformatif perspektif Abdurrahman, karena Islam 136
Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat Praktis Pendidikan Islam Syed M. Nauqib al-Alatas Trj. Hamid Fahmy. Dkk (Bandung: Mizan), 293-295
108
membutuhkan metode tauhid yang mengintegrasikan atau mendialogkan teks dan konteks sehingga ilmu agama lebih objektif, tidak subjektif. Implikasi
kedua
adalah
berdasarkan
epistemologi
Islam
transformatif, ada dua metode menurut Abdurrahman sebagai langkah menuju keadilan sosial. Metode pertama berkenaan dengan pembentukan kembali komunitas marginal, metode kedua merumuskan metode tafsir transformatif. Diantara kedua metode tersebut tentu yang memiliki dampak cukup signifikan adalah metode kedua yang berkenaan dengan rumusan metode tafsir transformatif. Metode ini meliputi tiga domain tafsiran yaitu pembacaan bangunan sosial. Tafsiran seperti ini berdampak kepada metode-metode pendidikan Islam yang mampu melahirkan aksi nyata atas doktrin-doktrin materi di sekolah. Jika selama ini aksi nyata itu hanya diperuntukan menjawab soal-soal ujian, maka ke depan metode pendidikan Islam harus menciptakan gerakan sosial atas bacaan realitas sosial yang sudah di pertemukan dengan teks ideal. Dua implikasi di atas menjadikan posisi metode dalam pedidikan Islam sangat penting, karena banyak memiliki fungsi seperti pengeritik, pemberi solusi, penemu dan pengembang. Jika satu diantara fungsi ini berjalan dan berkembang, maka pendidikan Islam dapat semakin bermutu. Oleh karena itu, para pemikir pendidikan Islam dapat menjadikan
109
epistemologi atau metode sebagai satu cara memberikan solusi terbai-bagi perkembangan pendidikan Islam kedepan.137 3. Tujuan pendidikan Islam Tujuan Islam transformatif dalam pandangan Abdurrahman adalah melahirkan gerakan kebudayaan yang berasaskan nilai-nilai serta cita-cita profetik. Nilai-nilai profetik yang dimaksud adalah nilai yang dapat dijadikan tolak ukur perubahan sosial, hal ini tercakup pada ketiga kandungan nilai ayat 110 surah Ali-Imran: “Engkau adalah umat yang terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan (amar ma’ruf), mencegah kemungkaran (nahi munkar) dan berimankepada Allah SWT.” Berdasarkan tujuan tersebut ada dampak yang jelas terlihat bagi pengembangan tujuan pendidikan Islam ke depan. Yaitu nilai-nilai profetik yang digagas Abdurrahman menjadi poin utama dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam. Nilai tersebut ialah humanis, liberalis dan trensendensi. Tujuan
pendidikan
Islam
transformatif
(pendidikan
Islam
transformatif) tidak hanya berorientasi vertikal, yakni menjadikan anak didik beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, tetapi juga 137
Mujamil Qomar. Epistemologi Pendidikkan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta, Erlangga,2005), 251
110
berorientasi horizontal, yakni bagaimana keberimanan dan ketakwaan peserta didik mempunyai imbas kepada perilaku sosial mereka di masyarakat. Hubungan manusia-tuhan yang akan melahirkan kesalehan pribadi, dalam perspektif pendidikan Islam transformatif, harus melahirkan hubungan social antarmanusia yang berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan. Dengan kata lain, kesalehan individu harus mempunyai imbas kepada kesalehan sosial. Titik tolak pendidikan Islam transformatif berangkat dari semangat tauhid. Namun, makna tauhid di sini tidak dipahami hanya dari sisi teologis an sich, yakni allah maha esa, kepada siapa semua bergantung. Tauhid dalam pengertian pendidikan Islam transformatif, selain mempunyai makna teologis seperti itu, juga mempunyai makna sosiologis, yaitu kesatuan manusia (oneness of human beings). Dalam bahasa farid esack (1997) tauhid adalah refleksi dari undivided god for undivided humanity. Kesatuan manusia ini tidak dapat dicapai kecuali dengan menciptakan masyarakat tanpa kelas (classless society). Yang dimaksud dengan masyarakat tanpa kelas ini bukan mengacu kepada semangat sama rasa, sama karsa, tetapi lebih pada konsep kesetaraan
dan
keadilan
dalam
hubungan
antarmanusia.
Semangat utama pemahaman tauhid seperti itu adalah agar ada dialektika antara aspek normatif dan sosiologis, antara teks dan konteks, teks dan realitas. Inilah postulat dasar dan bangunan filosofi pendidikan Islam transformatif.
Pendidikan
Islam
transformatif
berupaya
111
melakukan kontekstualisasi pendidikan agama dengan realitas historis kehidupan peserta didik. Kontekstualisasi ini diperlukan agar pendidikan tidak tercerabut dari akar sosialnya. Selain itu, agar pendidikan tidak menghasilkan manusia-manusia yang pintar dan cerdas, tetapi cenderung selfish dan egois, serta tidak peduli terhadap realitas sekitar. Bagi pendidikan
Islam
transformatif,pendidikan
Islam
transformative
kecerdasan otak harus diimbangi kepekaan hati nurani. Implikasi nilai pertama terhadap tujuan pendidikan Islam adalah niali humanisasi yang dipahami sebagai nilai memanusiakan manusia, artinya tujuan pendidikan Islam ialah meletakan kodrat peserta didik sebagaimana mestiya, dengan kata lain pendidikan Islam berorientasi menghilangkan segala macam tindak kekerasan dengan memberikan rasa aman kepada para peserta didik dalam menjalani proses pendidikan. Implikasi kedua adalah nilai liberasi. Tujuan pendidikan Islam adalah membebaskan peserta didik dari dikotomi ilmu pengetahuan yang selama ini mendoktrin peserta didik. Implikasi ini terlihat dalam pandangan Mangunwijaya yang memberikan tri tugas pendidikan dalam rangka mencapai tujuan pembebasan yaitu (1) mengantarkan siswa kepada pengembangan segala potensi yang dimiliki ke arah lebih komperhensif; (2) pembebasan dari seluruh kekuaatan yang membelenggu pengembangan potensi; (3) peduli antar sesama sehingga tercipta kehidupan sosial yang
112
damai sejahtera.138 Tiga tugas yang dipaparkan Mangunwijaya merupakan sinyal penting dari peran pendidikan di masa sekarang. Artinya menjadikan pendidikan sebagai alat pertama dalam mencapai kebebasan dalam arti positif yaitu untuk membangu kepribadian baik secara individu maupun sosial. Sebelum Mangunwijaya, tokoh barat maupun timur telah melopori pendidikan yang membebaskan yaitu Paulo Fereire dan Murtadha Muthahri dalam konteks paradigma pendidikan kritis. Berdasarkan hasil penelitian Zaina bahwa tujuan pendidikan Fereire dan Muthahri adalah mengembangkan
kekuatan kritis sebagai manifetasi humanis yang
menjadi milik manusia.139 Tujuan ini dapat difahami bahwa pendidikan harus mampu bernilai humanisasi jika tumbuh sikap kritis dari jiwa peserta didik. Artinya karakteristik pemikiran beliau yakni pembebesan serta humanisasi Implikasi ketiga dari nilai profetik adalah trensendensi tujuan pendidikan Islam yang mempertengah keyakinan serta keimanan peserta didik kepada Allah, sehingga dengan mempelajari pelajaran agama Islam peserta ddik mampu meningkatkan ketaqwaan baik secara individual maupun dalam tahap muamalah dalam kehidupan sosial.
138
Singgih Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan dan Islam YB. Mangunwijaya, (Nantul: Pondok Edukasi,2003), 54 139 Nurul Zainal, Paradigma Pendidikan Kritis: Studi Komparasi Pemikiran Paulo Fereire dan Murtadha Muttahir, Tesis tidak diterbitkan, (Malang UIN MALIKI Malang,2012), 132
113
4. Lembaga Pendidikan Islam Kajian epistemologi Islam transformatif dalam pandangan Abdurrahman memiliki dua metode, dan satu di antara metode tersebut berimplikasi terhadap pengembangan lembaga pendidikan Islam. Metode tersebut adalah bentuk komunitas bawah menuju keadilan sosial. Oleh karena itu, implikasinya masalah lembaga pendidikan Islam harus bertransformasi menuju lembaga yang memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta didik yang ingin menempuh pendidikan di lembaga tersebut. Lembaga pendidikan Islam tidak boleh memihak atau lebih memprioritaskan tingkat ekonomi peserta didik yang tinggi untuk diterima di lembaga tersebut. Implikasi berikutnya berdasarkan tujuan, Islam transformasi perspektif Abdurrahman adalah membentuk gerakan kemanusiaan yang berlandaskan cita-cita profetik. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam harus memiliki cita-cita dan visi-misi berasaskan nilai-nilai profetik. Yaitu lembaga yang menegakkan nilai humanisasi, memberikan nilai liberal dalam arti kebebasan berfikir dan berkreasi, serta lembaga yang memiliki visi meningkatkan keimanan dan amal shaleh seluruh elemen lembaga secara seimbang dan saling melengkapi.
Persepsi belakangan ini,
masyarakat semakin
terhadap
madrasah
di
era
menjadikan
madrasah
sebagai
modern lembaga
114
pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang. Untuk mewujudkan harapan semua pihak, madrasah harus melakukan perubahan disemua lini, baik mengenai peningkatan mutu pendidikan yang mencakup kurikulum, materi, metode, sarana pendidikan, dan evaluasi. 140 Peningkatan kualitas SDM yang mencakup kepala, komite, guru, dan pihak-pihak yang terkait dengan madrasah. Kurikulum tidaklah merupakan hal yang pasti (statis), artinya keberadaan kurikulum harus berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan lingkungan. agar nantinya menghasilkan lulusan yang cerdas dan bermoral. Kurikulum madrasah harus disesuaikan dengan lingkungan, perkembangan zaman, dan kemajuan teknologi karena masyarakat pada umumnya selalu berubah sesuai dengan perubahan zaman. 141 Untuk itu, diperlukan sebuah kurikulum yang mampu menciptakan aspek lingkungan hidup, pegangan hidup, kebutuhan hidup, dan dinamika kehidupan. Kurikulum yang dimaksud, menurut Ainurrafiq Dawam dengan kurikulum terintegrasi.
142
Untuk tujuan itu, diperlukan
pergeseran paradigma dan karakteristik keilmuan dalam penerapan kurikulum pendidikan madrasah. 140
Sutrisno, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan, Studi Kritis Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman (Yogyakarta: Kota Kembang, 2006), hlm. 31. 141 Burhan Nurgiyantoro, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, Sebuah Pengantar Teoritis Dan Pelaksanaan(Yogyakarta: BPFE, 1988), hlm. 171. 142 Ainurrafiq Dawam & Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren (tt, Lista Fariska Putra, 2005), hlm. 59.
115
Materi pelajaran di setiap jenjang pendidikan madrasah -MI, Mts, MA- hendaknya berkelanjutan. Ini diharapkan agar nantinya materi pelajaran tidak hanya mengulang-ulang. Menurut A. Malik Fajar, MI sebagai pendidikan tingkat dasar mempunyai peran penting dalam proses pembentukan kepribadian peserta didik, baik bersifat internal, eksternal, dan suprainternal. 143 Oleh karena itu, lembaga pendidikan dasar (MI) sangat membutuhkan perhatian lebih, baik sistem, materi, manajemen, maupun mutu,
agar nantinya kesalahan yang dilimpahkan kepada
madrasaah ibtidaiyah tidak terulang lagi. Menurut Dr. Husni Rahim, ia menyatakan bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan yang bercirikan Islam tidak hanya ciri formal dalam kurikulum saja. Namun, setidaknya ada tiga program utama yang perlu ditetapkan. Pertama, program Mafikibb dengan nuansa Islam. Kedua, program pelajaran agama dengan nuansa iptek, dan ketiga, penciptaan suasana keagamaan di madrasah. 144 Program mafikibb dengan nuansa Islam dimaksudkan untuk menopang reintegrasi antara ilmu-ilmu umum dengan ilmu agama, agar tidak ada lagi dikotomi ilmu. Sedangkan program pelajaran agama dengan iptek merupakan kelanjutan dari mafikibb dengan nuansa Islam.
143
A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 34. Mafikibb adalah bidang studi umum. Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 140. 144
116
Sebenarnya, pendidikan di madrasah sendiri sudah mengalami perubahan besar-besaran. Tetapi, karena perubahan masyarakat lebih cepat, maka dunia pendidikan bagaikan jalan ditempat. Perbaikan kurikulum, peningkatan mutu guru dan pembinaannya, sebenarnya bisa dibilang dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Akan tetapi, usaha yang baik itu kurang dibarengi dengan kesungguhan untuk memperbaiki perangkat pendukungnya seperti guru, sarana prasarana, serta kebijakan administratif. Komponen-komponen yang diperlukan tidak dapat berjalan bersamaan, sehingga terjadi kepincangan dan kegagalan dalam perbaikan. Oleh karena itu, madrasah harus mendesain ulang model pendidikan Islam yang berkualitas dan bermutu. Menurut Hujair AH. Sanaky, setidaknya ada lima hal yang harus didesain, yaitu: pertama, dengan merumuskan visi dan misi serta tujuan yang jelas. Kedua, kurikulum dan materi pembelajaran diorientasikan pada kebutuhan peserta didik dan kebutuhan masyarakat untuk dapat menjawab tantangan perubahan. Ketiga, metode pembelajaran diorientasikan pada upaya pemecahan kasus (promlem solving) dan bukan dominasi ceramah. Keempat, manajemen pendidikan diorientasi pada manajemen berbasis sekolah. Kelima, organisasi dan sumber daya guru yang memiliki kompetensi dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Maka pendidikan Islam akan mampu bersaing dengan mampu mempersiapkan dan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tangguh, berkualitas dan
117
berkaliber dunia dalam bidangnya sehingga mampu menjawab persoalanpersoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan kebutuhan perubahan zaman. Implikasi pemikiran Islam transformatif Moeslim Abdurrahman terhadap pengembangan pendidikan Islam adalah aspek hakikat, metode, tujuan, serta lembaga pendidikan Islam.
118
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan paparan data serta pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Paradigma Islam transformatif perspektif Moeslim Abdurrahman Meliputi tiga aspek yaitu (a) Hakikat Islam Transformatif menurut Abdurrahman adalah dialog diantara konteks dengan teks suci agama Islam, sehingga perubahan dapat berjalan secara seimbang; (b) Epistemologi Islam transformatif ada dua metode, pertama membangun komunitas masyarakat bawah yang berorieentasi pada ekonomi serta kekuasaan yang terorganisir dari masyarakat sendiri; kedua melakukan reinterpretasi nilai-nilai normatif dalam memahami gagasan Tuhan, metode ini meliputi tiga tahapan: melihat dan memahami konstruk sosial; lalu realitas sosial ditemukan dengan tafsiran ayat-ayat al-Quran; selanjutnya hasil pertemuan realitas sosial dengan model ideal teks akan melahirkan aksi sejarah yang baru, yaitu transformasi sosial; (c) Tujuan islam transformatif adalah membentuk gerakan atau gerakan kemanusiaan yang didasarkan
pada nilai-nilai profetik yaitu liberasi, humanisasi, dan
trensendensi. Gerakan ini bergerak pada pengubahan sejarah kehidupan sosial masyarakat oleh masyarakat
itu sendiri ke arah yang lebih partisipatif,
terbuka dan emansipatoris Sedangkan Implikasi
pemikiran
Moeslim Abdurrahman
terhadap
pengembangan pendidikan Islam terlihat dalam 4 aspek yaitu (a) hakikat 119
pendidikan Islam ialah pendidikan yang mengarahkan kepada dialog antara tuntutan konteks terhadap teks suci; (b) metode pendidikan Islam meliputi dialog dan metode aksi; (c) tujuan pendidikan Islam meliputi tujuan humanisasi, liberasi dan tresendensi; (d) Lembaga pendidikan Islam adalah lembaga yang dimiliki semua lapisan masyarakat serta memiliki visi profetik B. Saran Untuk penulisan selanjutnya penulis mengharapkan studi pemikiran Moeslim Abdurrahman dapat di komparasikan dengan pemikiran tokoh barat semisal dengan Paulo Fereire. Karena menurut penulis banyak karakteristik pemikiran di antara tokoh tersebut. Masih banyak pemikiran Moeslim Abdurrahman yang menarik untuk diteliti. Paradigma Islam transformatif sebagai satu paradigma baru yang lahir akibat melihat kegagalan yang diberikan oleh modernisasi dan islamisasi. Pola pandang transformasi berkeinginan merubah tatanan masyarakat yang notabenya terkungkung oleh kemajuan peradaban yang tidak mendukung keadilan sosial di dalam masyrakat, sehingga yang kaya semakin semenamena sedangkan yang miskin semakin tak berdaya. Untuk melakukan transformasi tersebu diperlukan rumusan-rumusan baru baik itu berupa teori maupun aksi. Salah satu aspek yang mampu memberikan perubahan dalam diri manusia adalah pendidikan. Secara umum pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, penulis menyarankan dengan hasil penelitian ini kepada lembaga pendidikan khususnya Islam untuk terus
120
melakukan transformasi dari segala aspek sehingga pendidikan Islam selalu relevan dengan kebutuhan zaman. Sebagai contoh makna pendidikan Islam tidak lagi diartikan pengajaran nilai-nilai ajaran Islam kepada pesera didik, tapi harus menitikberatkan kepada pengejawantahan atau aplikasi nilai tersebut dalam tataran kehidupan baik sikap atau perilaku. Artinya pendidikan Islam tidak hanya berbicara ibadah tapi juga muamalah, tidak hanya teks juga konteks, tidak hanya nilai tapi realitas, tidak hanya kesalehan individual tapi juga sosial.
121
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin. Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius. Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005 Abdurrahman, Moeslim. Islam Sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Erlangga, 2001 Afwah, Neneng. Teologi Transformatif Upaya Membebaskan Kaum Tertindas: Studi atas Pemikiran Moeslim Abdurrahman, Antologi: Vol 15, No 2, 2010 Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Dirasatun Muqaaranatun fitTarbiyyatil Islamiyah, Terj. M. Arifin, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet 2, 2002 Anies, M. (Eds.) Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 Anonim, Moeslim Abdurrahman Berpulang, (online), http://indonesiabuku.com diakses 20 Desember 2012 Anonim, Kuntowijoyo, (online), http://id.wikipedia.org diakses 20 Desember 2012 Anwari, Tantowi (Eds), Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia, Jakarta: KEMi dan LSAF, 2011 Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995 Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. 12, 2002 Bawani, Imam. Segi-segi Pendidikan Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1987 Daud, Wan Mohd Nor Wan. Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. terj. Hamid Fahmy. dkk. Bandung: Mizan, 2003 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990 Endarmoko, Eko. Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007 Fadjar, A. Malik. Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, (Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN, Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995 Furchan, Arief dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003
0
Krippendorff, Klaus. Content Analysis: An Introductions to its Methodology (Second Edition), California: Sage Publication, 2004 Kuhn, Thomas, S, The Structure of Scientific Revolutions, Terj. Tjun Surjaman, Bandung: Remaja Karya, 1989 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, Cet. VIII, 1998 , Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, Edisi 2, 2006 Kusumo, Santoso Wiryo. Relevansi Sistem Ekonomi Islam Terhadap Proses Transformasi Masyarakat Islam Indonesia dalam Pemikiran Kuntowijoyo, Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: Fakultas Adab UIN SUKA Yogyakarta, 2009Madjid, Nurcholis. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999 Mahdi, Sayed. (Eds), Islam Pribumi: Mendialogkan Agama, Membaca Realitas, Jakarta: Erlangga, 2003 Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT Asdi Mahasatya, Cet, ke-2, 2000 Moleong, Lexi J. Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya, 2002 Mudhofir, Ali. Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001 Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2011 , Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003 , Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009 , Nuansa Baru Pendidkan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: SIPRESS, Cet. II, 1994Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008 Muththahari, Murtadha. Mengenal Epistemologi, terj. Muhammad Jawad Bafaqih Jakarta : Lentera, 2003 Nasution, Harun. Filsafat Islam, Jakarta, tp, 1978
1
Nata, Abuddin. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, Cet. 2, 2001 Novelia, Dahlia. Strategi Pendidikan Islam Dalam Masyarakat Modern (Perspektif Pemikiran Fazlur Rahman). Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011 Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994 Purwoko, Krisman. Globalisasi Tantangan Utama Pendidikan Islam di Indonesia, (online), http;//www.republika.co.id diakses 31 Mei 2012 Qodir, Zuly. Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana Intelektual Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005 Rahardjo, M. Dawam. Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung; Mizan, Cet. III, 1996 Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta: LKiS Saefuddin, Ahmad M. dkk. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1987 Sarapung, Elaga. (ed), Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Saridjo, Marwan. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Amissco, 1996 Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005 Sumarna, Cecep. Rekonstruksi Ilmu; Dari Empirik-Rasional Ateistik ke EmpirikRasional Teistik. Bandung: Benang Merah Press, 2005 Soejono
dan Abdurrahman, Metode Penelitian Penerapannya Jakarta: Reneka Cipta, 1999
suatu
Pemikiran
dan
Tilar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia, Cet. I, 1998 Wahyu, Sukamawati. Pemikiran Kuntowijoyo Tentang Historiografi di Indonesia, Skripsi tidak diterbitkan, Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012 Zainuddin, M. Reformulasi Paradigma Transformatif dalam Kajian Pendidikan Islam, Malang: UIN-Maliki Press, 2011 Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban: Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban dan Dialog Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007 2