Politik Etis dan Implikasinya Terhadap Dualisme Sistem Pendidikan di Indonesia Oleh: Akhmad Zaini *)
ABSTRAK Despite the dualism of the educational system prevalent in Islamic countries or countries with Muslim majority, but in the context of Indonesia dualism education system in this country can not be separated from policies that have taken the Dutch colonial government when implementing ethical politics. Policy, not taken for granted saja.Namun, there is a background of political tendencies, namely, to weaken the power (divide) the nation of Indonesia. If the Netherlands does not impose Western systems in Indonesia, scholars muslimalmarhum Nurcholis Madjid believed that the education system to be developed in Indonesia is the boarding school system. Because the system's educational system that has been passed down through generations (since Islam has not come to Indonesia) took place in this country. Pesantren education system is a system of genuine (original) Indonesia. Keywords: Duality of Education
PENDAHULUAN Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia--mungkin juga beberapa negara muslim lainnya—dualisme sistem pendidikan menjadi persoalan akut yang tidak mudah dipecahkan.Satu sisi ada sekolah umum yang dikelola negara dan masyarakat. Di sini lain ada sekolah agama yang dikelola negara dan masyarakat muslim. Dua sistem pendidikan tersebut, dalam konteks Indonesia, selain perbedaan kirikulum yang diajarkan (yang ditandai dengan perbedakan komposisi ilmu agama dan umum) juga dibedakan oleh departemen yang menaungi.Sekolah agama di bawah ‘’asuhan’’ kementrian agama, sekolah umum di bawah kementerian pendidikan dan kebudayaan nasional. Bersamaan dengan masalah dualisme sistem pendidikan tersebut, kebanyakan umat Islam juga masih kesulitan untuk menghilangkan pandangan yang dikotomik terhadap ilmu pengetahuan. Satu sisi, masih ada sejumlah ilmu yang dikatagorikan ilmu agama, sementara di sisi lain ada sederetan ilmu pengetahuan yang dikatagorikan ilmu umum.
Dua persoalan di atas, adalah dua hal yang saling berkaitan.Jika satu persoalan bisa dipecahkan, terbuka peluang masalah yang satunya bisa dipecahkan.Namun, harus dicatat, itu masih sebatas peluang. Akan tetapi, bila keduanya belum bisa terpecahkan salah satunya, hampir bisa dipastian kalau kedua problem tersebut akan menjadi ‘’penyakit’’ yang kian akut dan akan terus menggerogoti pendidikan umat Islam. Seperti disinggung di atas, dualisme sistem pendidikan dan pandangan yang dikotomik atas ilmu, adalah persoalan umum umat Islam di sejumlah negara.Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ada gejala umum yang menjadi penyebab.Yakni, runtuhnya kejayaan Islam, termasuk dalam dunia pendidikan setelah Andalusia (Spanyol) lepas dari kekuasaan Islam dan kejayaan Bani Abbasiyah di Bagdad runtuh. Namun, kajian ini tidak akan membahas persoalan tersebut. Kajian ini akan lebih fokus kepada ulasan, mengapa dualisme pendidikan muncul di Indonesia. Adakah hal itu terkait dengan kebijakan pendidikan yang pernah diberlakukan pemerintah kolonial, khususnya Belanda yang pernah menjajah negari ini selama 3,5 abad? Hipotesa sementara penulis, hal itu sangat terkait dengan kebijakan pemerintah kolonial, khususnya Belanda.Mengingat, selain bertujuan mengeruk kekayaan bumi pertiwi, kolonialisme juga dimaksudkan untuk menanamkan budaya dan juga menyiarkan agama yang dianut negara kolonial kepada negara jajahan.Dr. Muhammad Abdul Alim Mursi mengatakan, misi dagang yang dilakukan Belanda melalui VOC (Verenigde Oost Indische Compani) bukanlah satusatunya tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa Belanda. Akan tetapi, ada misi lain yang dikembangkan, yaitu westernisasi.iSenada dengan Dr. Abdul Alim, Soediyono mengatakan, selama menjajah di Indonesia, Belanda juga membawa misi Kristenisasi.ii Untuk mengkaji hal tersebut, penulis akan mengkaji secara historis pendidikan di Indonesia sebelum Belanda menjajah Indonesia, setelah Indonesia di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, serta setelah Indonesia merdeka. Untuk keperluan tersebut, penulis akan melakukan kajian pustaka tentang dinamika perjalanan pendidikan—khususnya pendidikan Islam—di Indonesia. Setelah kajian pustaka dilakukan, penganalisaan data dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif dan induktif. Pendekatan deduktif adalah menganalisa dari generalisasi yang bersifat umum kemudian ditarik kepada fakta yang bersifat khusus atau peristiwa yang konkret terjadi. iiiSedang
pendekatan induktif, dalam menganalisa berangkat dari pengetahuan yang sifatnya khusus menuju ke pengetahuan yang sifatnya umum.Atau, berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa konkret kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum.iv Selain itu, dalam melakukan analisa, penulis juga menggunakan pendekatan rasionalistik, di mana proses analisis-sintesis dan proses induksi dan deduksi berlangsung secara terus menerus.vJadi, dalam pendekatan ini tidak ada pemilahan secara tegas antara analisis-sintesis, serta antara tahap observasi dan teori.
PENDIDIKAN SEBELUM PENJAJAHAN BELANDA Sebelum agama Islam datang ke Indonesia, di bumi Nusantara ini telah berkembang agama Hindu Budha. Meskipun keduanya adalah agama yang berbeda, akan tetapi pada kenyataannya bisa tumbuh dan berkembang secara bersamaan. Bahkan, ada kecenderungan, syncretise, yaitu keyakinan untuk mempersatukan figur Syiwa dengan Budha sebagai satu sumber yang Maha Tinggi.viSemboyan pada lambang negara Indonesia, ‘’Bhineka Tunggal Ika’’, semestinya perwujudan dari syncretisme tersebut, yang terdapat dalam salah satu bait dari syair Sotasoma karangan Mpu Tantular dari zaman Majapahit.vii Pada zaman Hindu-Budha ini, bangsa Indonesia telah mengenal pendidikan, meskipun dalam bentuk yang masih terbatas dan sederhana.Pendidikan pada masa itu, diselenggarakan oleh kaum Brahmana dalam sebuah padepokan.Adapun mata pelajaran yang diajarkan meliputi ilmu pengetahuan yang bersifat umum, seperti ilmu kepemerintahan, strategi perang, ilmu kekebalan tubuh, kemahiran menunggang kuda, kelincahan memainkan senjata tajam serta masalah-masalah agama (religious).Namun demikian, saat itu belum dikenal penyelenggaraan pendidikan formal.Dengan demikian, seorang siswa dalam meningkatkan dan memperdalam ilmunya, bisa setiap saat pindah dari guru yang satu kepada guru lainnya.Adapun bagi kaum bangsawan, biasanya dengan mendatangkan seorang guru untuk mengajar di istana.Akan tetapi, ada juga bangsawan yang datang sendiri kepada seorang guru. viii
Pada abad ke 7 Masehi, agama Islam mulai masuk ke wilayah kepulauan nusantara.ixMasuknya Islam ke wilayah nusantara ini, dibawa oleh para saudagar dari Arab yang terlebih dahulu singgah di Gujarat.x Para saudagar ini, meski tidak sama dengan kaum misionaris dalam agama Katholik, tapi dalam setiap kesempatan selalu mengajarkan (menyiarkan) agama Islam kepada penduduk Indonesia yang dijumpai. Demi kepentingan syiar atau pengajaran Islam, para saudagar ini giat melaksanakan pendidikan. Proses pengajaran yang dilaksanakan oleh para saudagar Arab ini, bentuknya sangat sederhana, seperti dalam konteks jual beli, perkawinan, dan dakwah langsung, baik secara individual maupun kolektif. Adapun materi pelajaran pertama yang diajarkan adalah tentang pengucapan dua kalimat syahadat. Setelah itu, baru diperkenalkan cara-cara melaksanakan shalat lima waktu, diajarkan cara membaca al-Qur’an dan seterusnya.xi Bersamaan dengan jumlah penganut agama Islam yang semakin banyak, maka tuntutan pendidikan pun semakin meningkat, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.Oleh karena itu, dalam perkembangan berikutnya pendidikan Islam telah berkembang menjadi semakin sistematis. Dalam arti, ada tempat khusus yang digunakan untuk proses pengajaran, ada seorang guru yang secara khusus menyediakan diri sebagai pendidik, serta ada materi yang secara jelas menjadi kurikulum. Adapun yang dimaksud dengan penyelenggaraan pendidikan yang semakin sistematis tersebut adalah proses pendidikan yang diselenggaran di langgar dan pesantren. Pendidikan di langgar dilaksanakan di kampung-kampung. Hal ini terjadi karena setelah Islam berkembang pesat di Indonesia, maka di setiap desa dibangun masjid untuk melaksanakan salat Jumat yang merupakan ibadah mingguan dan juga salat lima waktu. Sedangkan untuk tingkat kampung, dibangun surau, musholla atau langgar.Selain dimaksudkan sebagai tempat melaksanakan salat secara berjamaah, masjid dan langgar juga dimaksudkan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kaum muslimin, terutama bagi anak-anak. Sistem pendidikan langgar ini, merupakan pendidikan dasar dan diselenggarakan dengan sederhana.Pada saat awal, kepada anak-anak diajarkan tentang huruh hija’iyah.Setelah itu, anak diperkenalkan dengan surat-surat pendek yang ada dalam juz Amma. Baru setelah itu diajarkan al-Qur’an secara keseluruhan dengan cara bertahap. Jadi, pada pendidikan tingkat ini, difokuskan
pada penguasaan membaca al-Qur’an.Oleh karena itu, pendidikan tahap ini disebut pendidikan al-Qur’an (pengajian al-Qur’an).xii Selain pelajaran yang berkenaan dengan bacaan al-Qur’an, dalam pendidikan di langgar – khususnya kepada para siswa yang sudah senior atau sudah mahir membaca al-Qur’an-- juga diajarkan mata pelajaran lain. Secara global, pelajaran tersebut meliputi: membaca al-Qur’an, ibadah (berwudlu, shalat, dan sebagainya), keimanan (sifat dua puluh Allah SWT), akhlak. xiii Setelah anak dianggap lulus atau menamatkan pendidikan di langgar atau masjid, bagi mereka yang ingin memperdalam serta memperluas pengetahuan, khususnya ilmu agama, maka mereka pergi ke pesantren. Sistem pendidikan yang diselenggarakan di pesantren, berbeda dengan yang ada di langgar. Secara garis besar, setidaknya ada tiga perbedaan yang menonjol; 1. Para murid yang belajar di pesantren, pada umumnya tinggal di asrama dalam lingkungan pesantren tersebut. 2. Mata pelajaran yang diberikan, meliputi mata pelajaran yang lebih banyak daripada pendidikan di langgar. 3. Di pesantren, pendidikan diberikan tidak hanya secera individual, tapi juga secara berkelompok.xiv Lembaga pendidikan pesantren, merupakan perkembangan dari system pendidikan yang ada di langgar.Hal ini merupakan tuntutan alamiah setelah umat Islam di Indonesia mengalami perkembangan pesat, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Oleh karenanya, almarhum Nur Cholis Madjid mengatakan; ….pesantren merupakan lembaga yang mewujudkan proses wajar dari perkembangan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Maka dari itu, dari segi historis, pesantren tidak hanya mengandung makna ke-Islaman, akan tetapi juga keaslian (indigenous) Indonesia; sebab lembaga yang serupa, telah ada pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedang Islam meneruskan dan mengislamkannya.xv Pesantren mulai dikenal di bumi nusantara pada abad ke 13-17 M,
xvi
yaitu ditandai dengan
prakarsa Sultan Alaudin Muhammad Amin (1243-1267 M), salah seorang raja Perlak, yang mendirikan perguruan tinggi Islam di wilayah kekuasannya. xviiSedang di Jawa pada 1474, Raden Fatah telah mendirikan pesantren di hutan Glagah Arum, sebelah Selatan Jepara. xviii
Pada masa sekitar abad ke 18-an M, pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat, terasa sangat berkualitas, terutama dalam bidang penyiaran agama Islam.Kehadiran pesantren baru, selalu diawali dengan ceritera ‘’perang nilai’’ antara pesantren yang berdiri dengan masyarakat sekitarnya, dan diakhiri dengan kemenangan pesantren.Dalam perkembangan berikutnya, pesantren menjadi panutan dan rujukan moral bagi masyarakat sekitarnya. xix Selain berperan sebagai panutan dan rujukan moral masyarakat, pada masa penjajahan masih berlangsung, pesantren juga menjadi basis pembinaan bagi kaum muslimin dalam menghadapi perilaku kaum imprialis tersebut.xxSepertinya, hal itu pulalah yang menjadikan pesantren di era penjajahan banyak yang mengambil lokasi pendirian di daerah-daerah pinggiran (bukan di kawasan ramai, di pinggir jalan raya). Nampaknya, dari peran-peran sosial pesantren yang begitu menonjol itulah akhirnya pada masa-masa berikutnya kaum imprialis senantiasa mengambil arah berlawanan dengan pesantren, terutama tatkala mereka –khususnya Belanda-- hendak mendirikan lembaga pendidikan bagi kaum pribumi setelah mendapatkan kritik tajam dari kaum etis. Untuk masalah ini, pembahas soal awal pelaksanaan politik etis di Indonesia akan memberikan gambaran yang lebih terang benderang.
PENDIDIKAN PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA Setelah bangsa Belanda mengenal Indonesia sekitar 1595 Mxxi, dan pada tahun-tahun kemudian mampu menghalau bangsa Portugis dari tanah Maluku, maka Belanda dengan VOCnya melanjutkan dan menyelenggarakan pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Portugis. Kalau bangsa Portugis menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menyebarkan agama Kristen Katholik, maka bagi bangsa Belanda adalah untuk melenyapkan agama Katholik dan menggantikan dengan agama Kristen Protestan. Dengan latar belakang seperti itu, akhirnya penyelenggaraan pendidikan oleh VOC hanya difokuskan di daerah Maluku yang memang telah banyak terpengaruh agama Katholik. Adapun di daerah lain, hanya di Batavia (sekarang Jakarta) pada 1617 M,
xxii
karena daerah ini sebagai
pusat administrasi kolonial. Sedang daerah-daerah lain yang masih mayoritas muslim, dibiarkan
meneruskan dan menyelenggarakan pendidikan sendiri. Dengan demikian, pada masa itu belum ada pendidikan model Barat yang diorientasikan untuk mencerdaskan penduduk pribumi. xxiiiDan perlu ditambahkan di sini, pendidikan Barat seperti yang ada di Batavia
pada waktu itu
jumlahnya masih sedikit, serta diperuntukkan bagi golongan tertentu (anak orang Belanda dan anak bangsawan pribumi). Jadi, masyarakat umum pada waktu itu belum bisa mengeyam pendidikan model Barat tersebut.Pemikiran-pemikiran yang mengarah kepada penyelenggaraan pendidikan yang diperuntukkan pada masyarakat umum, baru muncul pada abad ke-18 M, setalah aliran Aufklarungxxiv bergaung di daratan Eropa.Sedang realisasi dari pemikiran tersebut di Indonesia baru muncul pada 1848, yaitu setelah diterbitkannya Keputusan Raja Belanda tertanggal 30 September 1848 nomor 95. Dalam keputusan itu, raja memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal (pada waktu itu Van den Bosch) untuk menyediakan biaya f. 25.000 setahun bagi pendirian sekolah-sekolah bumiputra di pulau Jawa.xxv Setelah terbitnya keputusan raja tersebut, akhirnya sekolah-sekolah untuk anak-anak pribumi mulai dibuka.Namun, sebelum program itu benar-benar terwujud, terjadi perdebatan yang mempersoalkan tentang bentuk dari lembaga pendidikan yang hendak diselenggarakan. Ada beberapa usulan yang berbentuk proposal yang mengharapkan adanya penggabungan antara pendidikan yang akan dilaksanakan pemerintah kolonial Belanda dengan pendidikan Islam yang telah ada (pesantren).xxviAda pula yang mengusulkan agar lembaga pendidikan Islam yang telah ada (pesantren), dimanfaatkan untuk mengembangkan sistem pendidikan umum. xxvii Namun, semua usulan di atas ditolak.Tokoh pertama di kalangan pegawai pemerintah kolonial Belanda yang secara penuh bekerja untuk pendidikan orang bukan Eropa, J.A. van der Chijs, pada 1865, secara tegas menolak ide-ide di atas. Alasan yang dia kemukakan adalah alas an teknis. Dia mengatakan bahwa kebiasaan belajar mengajar yang ada di pesantren, terlalu jelek, sehingga tidak bisa dipakai dalam sekolah pribumi.xxviii Yang dimaksud dengan kebiasaan jelek oleh van der Chijs adalah metode membaca teks Arab yang hanya dihafal tanpa pengertian. Namun yang perlu dikritisi, pada waktu itu sekolah zending yang ada di Minahasa dan Maluku juga menggunakan metode yang sama dalam mengajarkan kitab Bybel. Meski demikian, sekolah zending tetap memperoleh subsidi dan pada
perkembangan berikutnya, sekolah ini dimasukkan dalam sistem pendidikan umum gubernemen.Dengan adanya data sejarah semacam itu, maka dapatlah dikatakan bahwa alasan Chijs tersebut semestinya alasan yang dibuat-buat.Imam Bawani menyimpulkan kalau alasan penolakan atas pesantren lebih bertendi politik.xxixDan dapat juga dikatakan kalau alasan agama juga melatarbelakangi penolakan tersebut.Belanda tetap melihat bahwa pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam tidaklah layak dibantu.Mereka melihat pesantren sebagai ‘’lawan’’ yang harus dilemahkan. Dengan penolakan Chijs di atas, akhirnya pemerintah kolonial Belanda benar-benar menempuh jalan lain dalam menyelenggarakan kebijaksanaan pendidikan di Indonesia. Sekolah yang dibangun dan disubsidi pemerintah adalah sekolah-sekolah yang bermodel Barat.Pada 1882, pemerintah kolonial telah membangun sebanyak 512 sekolah di seluruh wilayah Hindia Belanda.Sekolah tersebut menekankan pada perbedaan strata sosial.Ada Sekolah Dasar Kelas Satu (De Eerste Klasse Scholl) yang diperuntukkan untuk anak para pemuka, tokoh terkemuka dan anak bangsawan.Berikutnya Sekolah Dasar Kelas Dua (De Tweede Klasse School) yang diperuntukkan bagi anak bumi putra pada umumnya atau rakyat kebanyakan.Sekolah ini hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan rakyat biasa.xxx Namun, dalam realitasnya Sekolah Kelas Dua ini tidak berjalan sebagaimana yang digariskan.Hal ini dikarenakan Sekolah Kelas Dua merupakan lembaga pendidikan yang mahal xxxi
atau membutuhkan biaya yang besar untuk dilaksanakan.Hal ini dikarenakan jumlah
penduduk bumi putra (rakyat kebanyakan) yang relatif banyak bila dibanding dengan kalangan bangsawan, sehingga membutuhkan sekolah dalam jumlah besar.Oleh karena itu, pemerintah kolonial menganggap sebagai pemborosan anggaran negara bila itu dilaksanakan.Sehingga pada kenyataannya, anak-anak bumi putra pada umumnya tidak mendapatkan pendidikan yang memadai seperti halnya yang menjadi tuntutan politik etis. Mereka tetap menggantungkan pemenuhan akan kebutuhan pendidikan terhadap lembaga pendidikan yang dilaksanakan oleh rakyat sendiri, yang mayoritas dilaksanakan oleh umat Islam dalam bentuk pesantren. Berawal dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda ini, akhirnya penulis berkesimpulan bahwa dualisme pendidikan telah terjadi mulai terjadi di Indonesia. Satu sisi sekolah model Barat yang diselenggarakan dan disubsidi oleh pemerintah kolonial Belanda, di sisi lain pesantren yang pada perkembangan berikutnya memodifikasi diri dalam bentuk madrasah yang dikelola umat
Islam. Dengan demikian, selain alasan global seperti disinggung di awal tulisan, dalam konteks Indonesia, dualisme pendidikan di Indonesia memiliki penyebab yang lebih spesifik, yakni pelaksanaan politik etis pemerintah Hindia Belanda yang tidak mau memanfaatkan pendidikan yang telah berkembang di masyarakat (pesantren) sebagai sekolah resmi yang diakui negara.Dan alasan yang mendasari, dengan mudah disimpulkan, yakni alasan politis agar umat Islam tidak menjadi umat yang terdidik dan berpengetahuan. Karena bila itu terjadi, mereka akan semakin sadar akan kondisi bangsanya yang terjajah dan kuat dalam melakukan perlawanan. Hal lainnya adalah dengan adanya dua sistem pendidikan itu, Barat dan pesantren, bangsa Indonesia, khususnya umat Islam akan terpecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok kaum bangsawan dan priyayi yang berpendidikan Barat dan kelompok lainnya adalah mereka yang berpendidikan pesantren. Hal ini tentunya akan semakin menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia. Kebijakan ini tidak lepas dari masukan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Belanda yang secara mendalam mempelajari Islam.Hurgronje mengatakan, untuk melepaskan atau menjauhkan umat Islam dari agamanya, pendidikan adalah jalur yang sangat efektif. Dia mengatakan; ‘’Pengasuhan dan pendidikan adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut. Bahkan di negeri-negeri berbudaya Islam yang jauh lebih tua disbanding kepulauan nusantara, kita menyaksikan mereka bekerja dengan efektif untuk membebaskan umat Muhammad dari kebiasaan lama yang telah lama membelenggunya.’’ Strategi ini Hurgronje ini terkenal dengan istilah asosiasi. Yakni, membuat orang bumi putra, khususnya para bangsawan dan tokoh masyarakat menjadi ‘’Belanda’’. Mereka bisa berprilaku, bertindak, berbudaya, serta beragama layaknya orang Belanda.Sehingga bisa dikatakan asosiasi ini adalah pem-Belanda-an atau dalam arti luas westernisasi. Asosiasi diyakini akan mampu menghilangkan cita-cita pan Islam
xxxii
dari segala kekuatannya. Secara tidak langsung, asosiasi
juga akan bermanfaat bagi penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan misi.xxxiii Proses westernisasi ini, menurut Hurgronje, paling efektif bila ditempuh melalui jalur pendidikan. Bila hal itu berhasil, Hurgronje yakin orang bumi putra, terutama para elitnya memiliki ikatan emosional yang sangat kuat dengan Belanda, sehingga mereka tidak akan
memiliki keinginan melepaskan diri (merdeka) dari Belanda. Para pemuka bumi putra diyakini akan memiliki loyalitas kepada pemerintah pusat di Den Haq.xxxivHal ini sangat penting untuk menjaga kekuasaan Belanda di Indonesia. Dari paparan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa politik etis dengan kebijakan asosiasinya merupakan gaya eksploitasi modern yang lebih canggih. Dengan kedok demi kesejahteraan pribumi, Belanda telah berupaya mematikan kekuatan (potensi) masyarakat Indonesia terutama umat Islam.Kalau periode-periode sebelumnya bentuk penjajahan masih dominan berupa penjajahan fisik, namun pada periode politik etis ini sudah dilengkapi dengan penjajahan budaya.Bila dianalisa, justru penjajahan pola yang kedua ini yang sampai saat masih membekas dan mewarnai
segala
aspek
kehidupan
bangsa
Indonesia, salah satunya dualisme
pendidikan.Dengan demikian, politik etis pada kenyataannya bukan politik ‘’Balas Budi’’ dalam arti yang sesungguhnya.Akan tetapi hanya sebuah slogan kosong yang hanya ada dalam teori.Kenyataannya, tidak ada itikat baik dan keikhlasan hati dalam pelaksanaanya. Belanda menjalankan politik etis karena takut kritik dunia internasional dan takut kalau politik kolonial membiarkan penderitaan pribumi terus menerus, maka akan mendorong timbulnya perlawanan rakyat. Jadi, dengan politik ini, rakyat Indonesia hendak dininabobokkan. xxxv
PENDIDIKAN SETELAH INDONESIA MERDEKA Setelah Indonesia merdeka, sistem pendidikan yang dualistik masih terus berjalan.Satu sisi sistem madrasah yang merupakan perkembangan dari sistem langgar dan pesantren, serta sistem pendidikan umum yang merupakan lembaga pendidikan model barat warisan pemerintah Belanda.Hal ini terjadi karena pemerintah Indonesia yang baru merdeka masih tetap meneruskan aktivitas lembaga pendidikan umum. Sedang di sisi lain, umat Islam juga tetap menginginkan dilestarikannya sistem pendidikan pesantrena dan madrasah.xxxviDan karena keinginan umat Islam itu, dalam perkembangan berikutnya, pemerintah Indonesia juga akhirnya mengakui pesantren dan madrasah. Pada 3 Januari 1946, Kementrian Agama didirikan. Dengan berdirinya lembaga ini, pemerintah Indonesia menyerahkan pesantren dan madrasah untuk dibina dan ditangani oleh departemen baru ini.Sedang yang sekolah umum, tetap ditangani oleh Kementrian Pendidikan,
Pengajaran dan kebudayaan.xxxviiDan kondisi seperti itu, berlangsung hingga saat ini. Sejumlah pemikiran yang menginginkan akan penanganan pendidikan hanya berada di bawah satu payung, hingga kini tidak juga terwujud. Sehingga, dualisme tersebut, meski tidak dalam bentuk ekstrim seperti zaman penjajahan tetap terlestarikan sampai saat ini. Madrasah Aliyah Negeri dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang diproyeksikan untuk mewujudkan sistem pendidikan yang menghilangkan dualisme dikhotomi dalam kurikulum, sampai sekarang belum mampu berbuat banyak.Karena pada kenyataannya, hanya menjajarkan mata pelajaran- mata pelajaran agama dan umum, tanpa mempersoalkan apakah dua pola ilmu itu terjadi pertentangan secara epistimologi atau tidak.xxxviiiDengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usaha integralisasi
sistem
pendidikan di
Indonesia masih jauh dari
yang
seharusnya.Rasanya, masih diperlukan sejumlah ikhtiar luar biasa untuk menggapai kondisi ideal tersebut.
KESIMPULAN Dari data di atas, secara garis besar dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; 1. Sebelum bangsa Barat (terutama Belanda) memperkenalkan sistem pendidikan Barat, bangsa Indonesia telah memiliki sistem pendidikan pesantren. Sistem pesantren yang menggunakan sistem asrama, telah dikenal oleh bangsa Indonesia sebelum Islam datang. Karena itu, cendikiawan muslim almarhum Prof Dr. Nurcholis Madjid menyebut kalau sistem pesantren adalah model pendidikian asli (genuine) Indonesia. 2. Setelah bangsa Belanda menjajah Indonesia sangat lama dan muncul gerakan politik etis yang salah satunya mengharuskan Belanda menyelenggarakan pendidikan untuk bangsa Indonesia,
Belanda
memutuskan
untuk
menyelenggarakan
pendidikian
dengan
menggunakan sistem barat. Karena alasan politik, mereka menolak memanfaatkan pesantren sebagai lembaga pendidikan resmi yang pendanaannya disediakan negara. Berawal dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda itulah akhirnya di Indonesia terjadi dualisme sistem pendidikan. Sistem pesantren dan madrasah di satu sisi, dan sistem Barat atau populer dengan sistem umum di sisi lain.
3. Setelah Indonesia merdeka, dua sistem tersebut sama-sama mendapat pengakuan dari negara. Pesantren dan madrasah di bawah payung Kementerian Agama serta sekolah umum di bawah payung Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Berbagai upaya untuk menghilangkan dualisme pendidikan diikhtiarkan oleh sejumlah tokoh, khususnya tokohtokoh pendidikan Islam. Namun, sampai saat ini ikhtiar tersebut belum membuahkan hasil. Yang saat ini dicapai hanya sebatas mensejajarkan mata pelajaran agama dan umum. Namun, secara epistimologi, mata pelajaran-mata pelajaran tersebut masih terpisah. (*)
i
Dr. Muhammad Abdul Alim Mursi, Westernisasi dalam Pendidikan Islam, PT. Fikahati Aneska, Jakarta 1992, hal. 37. ii Soediyono, Sejarah Pendidikan Indonesia, Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang, 1986, hal. 40. iii Prof. Dr. Sutrisno Hadi, M.A., Metodologi Reserch, Andi Offset, Yogyakarta, 1989, hal. 36. iv Ibid., hal. 42. v Prof. Dr. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Reka Serasih, Yogyakarta, 1992, hal. 84. vi Syiwa dan Budha adalah dewa-dewa yang diperbedakan (Bhinna), tetapi dewa-dewa itu Ika, hanya satu (tunggal). vii Drs. Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 4-5. viii Ibid. ix Tentang datangnya Islam ke kepulauan nusantara, ada perbedaan di antara tokoh sejarah. Menurut A. Mansur Suryanegara, ada teori yang membahasnya. Pertama, teori Gujarat.Teori ini dipelopori oleh Snounck Hurgronye.Menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia abad ke 13 M. Kedua, teori Mekkah yang dipelopori Hamka.Menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M. Sedang yang ketiga adalah teori Persia yang dikemukakan oleh P. A. Hoesein Djajadiningrat.Berbeda dengan kedua teori sebelumnya, teori ini lebih menekankan pada aspek kebudayaan. Lihat Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Mizan, Bandung, 1995, hal. 73-94. x Gunawan, Op.Cit., hal. 82. xi Drs. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 2021. xii Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, LP3ES, Jakarta, 1986, hal. 10. xiii Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Mutiara, Jakarta, 1979, hal. 35. xiv Steenbrink, Op.Cit. hal. 12. xv M. Dawam Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren, P3M, Jakarta, 1985, hal. 3. xvi Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994, hal. 20. xvii Hasbullah, Op. Cit., hal. 30. xviii Yunus, Op. Cit., hal. 217. xix Mastuhu, Op. Cit., xx Baca Suryanegara, Op. Cit., hal. 129-142. xxi Lihat kembali awal kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia, Karel Strrnbrink, Kawan dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995, hal. 1-17.
xxii
Gunawan, Op. Cit., hal. 5. Prof. Dr. S. Nasution, M.A., Sejarah Pendidikan Indonesia, Bumi Aksara, 1995, hal. 5. xxiv Untuk mendapatkan data lebih lengkap tentang aliran Aufklarung, baca I. Djumhur, Sejarah Pendidikan, CV. Ilmu, Bandung, 1982, hal. 118-121, baca pula Soediyono, Sejarah Pendidikan Indonesia, Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1986, hal. 45-51 sebagai perbandingan. Baca pula Gunawan, Op. Cit., hal. 12- 13. xxv Gunawan, Op. Cit., hal. 13. xxvi Steenbrink, Kawan…, Op. Cit., hal 117. xxvii Steenbrink, Pesantren…, Op. Cit., hal. 3. xxviii Steenbrink, Pesantren…, Op. Cit., hal. 7. xxix Imam Bawani M.A., Segi-Segi Pendidikan Islam, Al Ikhlas, Surabaya, hal. 1887. xxx Gunawan, Op. Cit., hal. 14. xxxi I. Djumhur, Op. Cit., hal. 136. xxxii Pan Islam adalah ide persatuan seluruh umat Islam di dunia yang dilontarkan oleh Jalaluddin al-Afghani.Dia adalah salah seorang pembaharu Islam asal Afganistan yang hidup pada 1839-1897. Untuk lebih jelas, buka Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal. 51-57. xxxiii H. Aqib Suminta, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1985, hal. 40. xxxiv Ibid. hal. 39. xxxv Drs. G. Moerjanto, M.A., Indonesia Abad Ke-20, Jilid I, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal. 22. xxxvi Bawani Op.Cit., hal. 40-41. xxxvii Prof. Soegarda Poerbajawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Gunung Agung, Jakarta, 1970, hal. 38. xxxviii Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1991, hal. 109-110. xxiii