JURNAL ASPIRASI Vol. 6 No. 1Agustus 2015 DINAMIKA PEMERINTAHAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP JAMINAN KEADILAN SOSIAL DI INDONESIA (Studi pada Kepemimpinan Eksekutif dalam Menyikapi Pemerataan Sosial Pasca-Reformasi) Iman Soleh Abstrak Tulisan ini dirumuskan dengan tujuan mengeksplorasi dan menggali sinergitas antara dinamika pemerintahan di Indonesia secara empirik pasca reformasi, dengan jaminan keadilan sosial yang sebelumnya para founding fathers rumuskan dalam berbagai landasan bernegara di awal kemerdekaan.Terdapat dua teori dan sudut pandang yang dijadikan pisau analisis, yakni teori keadilan egalitarian serta teori elit, dimana keduanya digerakkan melalui metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus.Kasus disini ialah adanya pergeseran makna keadilan sosial serta komponen-komponen pengganggunya yakni masyarakat, yang sedikit banyak mempengaruhi posisi keadilan sosial dan implementasinya di bumi Nusantara ini. Untuk menjawab permasalahan di atas, dalam tulisan ini disebutkan bahwa pemerintah perlu membangun komunikasi politik yang baik dengan warganya terkait political will yang akan diemban dalam menanggulangi kesenjangan sosial akibat warisan rezim-rezim terdahulu. Selain itu, masyarakat juga jangan sampai hanya fokus menyalahkan pemerintahan, namun juga perlu membangun mental kolektif dan membuang jauh-jauh sikap individualistis demi terbangunnya masyarakat bersama yang terjauhkan dari jurang kesenjangan yang lebar. Kata Kunci: Keadilan Sosial, Elit, Pemerintah, Masyarakat. Pendahuluan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang termaktub dalam pasal lima pancasila dan pembukaan Undang-undang Dasar 1945, pada dasarnya merupakan amanat para pendiri bangsa yang wajib negara wujudkan karena berkenaan dengan cita-cita mulia dimana rakyat terbebas dari ketertindasan buah sistem kelas dan dampak turunannya yakni kemiskinan yang menjerat. Keseriusan dalam upaya pencapaian keadilan sosial pun terlihat dari bagaimana konsepsi keadilan sosial dijadikan butir utama dasar negara.Tak hanya itu, terwujudnya keadilan bagi seluruh warga negara pun tercantum dalam konstitusi negara yang ditafsirkan ke dalam beberapa pasal yang lebih terperinci, dan kondisi tersebut pada hakikatnya semakin menunjukkan bahwa isu keadilan merupakan isu prioritas di mana klasifikasi urgensitasnya paling utama. Setidaknya ada dua tujuan yang diinginkan oleh negara dalm konteks menyelenggarakan keadilan sosial, yaitu cita-cita universal akan dunia yang tertib berdasarkn keadilan sosial, dan juga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita tersebut juga dituliskan dalam konstitusi negara salah satunya dalam pasal 27 yang mengatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh penghidupan serta kehidupan yang layak, penghidupan yang layak sering dirujuk pada tingkat kesejahteraan rakyat, bagaimana pemerataan dilaksanakan, bagaimana akses untuk memperoleh kebutuhan dasar dan pelayanan dasar, dan lain sebagainya 4. Idealnya, dapat pula disebutkan bahwa negara merupakan pemegang kendali penuh perihal pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan warga negara. 4
26
Makmur Keliat, Tanggung Jawab Negara. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung. 2014. hlm 63. Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 Salah satu contoh wujud jaminan keadilan sosial bagi warga negara oleh negara bisa diasosiasikan dalam hal pemberian upah yang lumrah diterjemahkan dalam Upah Minimum Regional. Jika dilihat dari dinamikanya di Indonesia, terdapat hal menarik khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru dimana pada masa itu (meminjam istilah Makmur Keliat) tersedia jalan pintas untuk mendefinisikan upah yang “adil” tersebut, mengingat pada masa itu, keadilan dalam pengupahan harus sesuai dengan apa yang dipatok penguasa. Bukan hanya buruh yang harus taat, melainkan juga seluruh kelompok sosial lain. Sistem otoriter kala itu memaksa konsep keadilan adalah mutlak dari presiden dan tidak dapat diganggu gugat. Pasca tumbangnya Orde Baru dan lahirnya reformasi yang sarat akan nilai demokratis, warna penyajian keadilan sosial mulai berganti. Konsep keadilan, termasuk penentuan upah di dalamnya, sampai saat ini masih dinamis dan terus diperbaiki sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat berperan aktif dalam mengingatkan negara tentang haramnya alpa negara perihal menjamin kehidupan yang layak bagi seluruh warga negara. Namun perlu diperhatikan juga bahwa euforia dan kebebasan sistem ini mendorong negara untuk mengaitkan kebijakan upah dengan semangat pasar. Sistem jaminan sosial yang ‘dihibahkan’ berdasarkan mekanisme pasar pada dasarnya merupakan kebijakan yang keliru.Pasalnya, asas pemerataan dan menyeluruh dari jaminan keadilan sosial bernegasi dengan mekanisme pasar yang berprinsip kompetisi. Pelaku pasar yang tidak kompetitif dan tidak produktif seperti orang sakit dan orang tua yang notabennya merupakan objek material dari jaminan keadilan sosial jelas tidak akan terakomodir, sebaliknya, orang sakit dan orang tua malah akan dihukum oleh mekanisme pasar karena tidak memberikan surplus bagi akumulasi laba dan efisiensi. Untuk mematahkan kemungkinan ini, diperlukan pemerintahan yang mapan, berani, dan fasih mendefinisikan cita-cita keadilan sosial semula. Sayangnya dewasa ini, tafsiran tentang keadilan sosial bagi seluruh warga negara mulai mengalami pergeseran.Praktiknya di lapangan pun bahkan membiarkan konsepsi keadilan sosial terjun bebas dalam bayang-bayang abstrak yang tak terjewantahkan.Identifikasi perilaku dari elit masing-masing periodisasi kepemimpinan pemerintahan jelas merupakan faktor pendukung dari dinamika situasi perihal pengamalan sila kelima Pancasila tentang keadilan sosial ini. Hal ini kemudian menjadi objek dari pertanyaan utama yang akan dibahas dalam penelitian ini. Tinjauan Pustaka Fitzparick menjelaskan bahwa keadilan merupakan ‘the fair distribution of benefits and burdens’5.Analisanya menyebutkan bahwa antara keadilan sosial dan citizenship dengan indikator adanya prinsip timbal balik (reciprocity) dan konsep hak (rights) serta tanggung jawab (responsilibilities). Fitzpatrick mengasumsikan ketiganya dalam satu segitiga yang berkesinambungan.Jika kita sebenar-benarnya peduli terhadap resiprositas dan tanggung jawab, maka kita harus meletakkan kedua hal tersebut ke dalam satu teori keadilan egalitarian yang disebut sebagai ‘persamaan kekuatan.’ Teori keadilan egalitarian sendiri mengemukakan bahwa keadilan memerlukan satu persamaan baik itu sumber daya maupun kesejahteraan.Egalitarianisme sumber daya menyatakan bahwa jika ketimpangan dalam kepemilikan terjadi, maka upaya memeratakan sumber daya eksternal (pendapatan, kekayaan, kesempatan) perlu untuk dilakukan 6.Untuk
5
Tony Fitzpatrick, After The New Social Democracy: Social Welfare For the Twenty-first Century, Manchester: Manchester University Press, 2003, hlm. 34 6 Ibid, hlm. 35 FISIP UNWIR Indramayu
27
JURNAL ASPIRASI Vol. 6 No. 1Agustus 2015 memenuhi prasyarat tersebut, tak diragukan lagi bahwa elit lah yang berperan paling vital dalam mewujudkan kondisi tersebut. Lipset dan Solari mendefinisikan elit sebagai posisi di dalam masyarakat di puncak struktur-struktur sosial yang terpenting, yaitu posisi-posisi tinggi di dalam ekonomi, pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan bebas.7Elit dalam konteks penelitian ini sendiri lebih mengacu pada kepemimpinan pemerintahan, khususnya pemerintahan di Indonesia.Sebagai pengantar, Selo Soemardjan mengatakan bahwa apabila struktur masyarakat menjadi beraneka ragam (heterogeneous) maka dengan sendirinya pola kepemimpinannya menjadi beraneka ragam pula. Di tiap-tiap bidang kehidupan masyarakat yang penting akan timbul suatu hierarkhi tersendiri dimana ada suatu elit atau golongan kecil memegang peranan yang paling berpengaruh di bidangnya.8Jelas relevansi hal tersebut sangat akurat dan berbanding lurus dengan kondisinya di Indonesia. Mengingat saat ini, terlebih di daerah-daerah di luar ibukota, terdapat sindrom-sindrom oligarkis yang mewarnai dinamika pemerintahan seperti halnya Indramayu, Cimahi, Kediri, Banten, dan beberapa daerah lainnya yang masih ‘setia’ memaklumi sistem ini. Metode Penelitian Jenis atau tipe dari penelitian ini ialah jenis kualitatif dengan pendekatan studi kasus.Studi kasus sendiri merupakan studi tentang suatu kasus dalam kehidupan nyata, dalam konteks atau setting kontemporer. Penelitian studi kasus adalah pendekatan kualitatif yang penelitinya mengeksplorasi kehidupan nyata, sistem terbatas kontemporer (kasus) atau beragam sistem terbatas (berbagai kasus), melalui pengumpulan data yang detail dan mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi atau sumber informasi majemuk (misalnya pengamatan, bahan audiovisual, dan dokumen serta berbagai laporan), dan melaporkan deskripsi kasus dan tema kasus.9Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan kajian pada studi literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan dinamika politik dan pemerintahan serta konsep-konsep pengantar dan teori keadilan sosial. Hasil dan Pembahasan 1. Pemerintah Pusat dan Konsepsi Keadilan Pasca Reformasi Kemenangan demokrasi pasca runtuhnya rezim totaliter Soeharto pada prosesnya kemudian memberikan angin segar bagi pemerataan. Sentralisasi eksekutif mulai dibongkar dan desentralisasi kemudian menjadi konklusi.Kekuasaan-kekuasaan dialihkan dari Jakarta ke tingkat lokal, identitas etnis dan religius yang sebelumnya dikebiri ideologi modern dan sekuler kemudian mulai bermunculan menjadi aktor baru.Kondisi ini diikuti oleh situasi dimana banyak bermunculan diskursus yang menekankan budaya nasional mengakibatkan lunturnya budaya daerah.Orang Dayak yang tergabung dalam NGO Pancur Kasih, misalnya, menyalahkan Orde Baru atas lenyapnya rumah panjang mereka.10 Atas nama pemerataan dan keadilan, pemekaran-pemekaran kemudian mulai bermunculan sebagai dampak langsung dari diadopsinya demokrasi prosedural ala Schumpeterian. Di awal masa pemerintahannya, Habibie memfokuskan manuvernya pada hal-hal general seperti kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai politik, pemilu yang bebas, referendum Timor Timur, serta penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar.Periode transisi ini juga 7
J.W Schoorl, Modernisasi, Jakarta: PT. Gramedia, 1980. Hlm. 128. Selo Soemardjan pada kata pengantar buku Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elit. Jakarta: CV Rajawali. Hlm v-vi. 9 John Creswell, Penelitian Kualitatif dan Design Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013. Hlm 135-136) 10 H.S Nordholt, Dkk. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Hlm. 469. 8
28
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 berhasil merumuskan regulasi desentralisasi yang bertujuan meminimalisir sentimensentimen anti Jakarta di banyak daerah luar Jawa. Puncaknya pada akhir masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dibentuk UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 yang masing-masing membahas tentang pemerintah daerah secara khusus serta keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah itu sendiri. Sayangnya, perkembangan tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran daerah untuk secara kolektif memerangi kemiskinan.Memang kemudian banyak daerah yang berhasil menjawab tantangan desentralisasi melalui data statistik yang cukup mengagumkan terkait kesejahteraan ekonomi warganya. Namun perlu diperhatikan juga bahwa di sisi lain, banyak dinasti-dinasti baru dengan kekuatan sektoril yang mapan, mampu tidak hanya memperkaya sanak saudara melalui kekuasaan, tetapi juga ‘berhasil’ memperlebar jurang sosial antara si kaya dan si miskin. Hal tersebut semakin diperburuk dengan kepemimpinan pusat yang berorientasi pada sistem neo-liberal di masa pemerintahan SBY.Percepatan pertumbuhan ekonomi kisaran 4-6% yang selalu dibanggakan rezim tersebut nyatanya hanya bisa dinikmati oleh kalangan minoritas. Kenyataannya, laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia pada Februari 2013 menunjukkan bahwa ketidaksetaraan meningkat selama 2009-2012, meskipun stabil pada 2008. Proporsi pendapatan 20% masyarakat terkaya meningkat dari 41,2% pada 2009 ke 19,9 % pada 2012. Hasil survey yang dilakukan Lembaga Survey Indonesi (LSI) dan majalah Tempo dengan sampel 3.080 orang menunjukkan bahwa 40,1 % merasa bahwa kondisi ekonomi sangat tidak merata, 51,6 % kurang merata, 0,5% sangat merata, dan 6,6 % cukup merata11. Adanya program lain yang mengada-ngada seperti kompensasi 100.000/orang setiap bulan akibat dari kenaikan harga BBM, secara tidak langsung juga mendorong masyarakat menuju kolam beracun yang menjangkiti masyarakat dengan penyakit sosial dan kerusakan mental. Jelas kemudian data tersebut menunjukkan bahwa rezim SBY gagal besar dalam mengamalkan konsepsi keadilan sosial. 2. Kegagalan Pembangunan Mental Masyarakat Dewasa ini, tepatnya saat masa kepemerintahan Jokowi-JK yang masih seumuran jagung, upaya pemerataan sosial mulai digencarkan dengan gaya yang berbeda. Pembangunan infrastruktur sebagai prasyarat pertumbuhan ekonomi di wilayah timur serta wilayah perbatasan mulai digencarkan.Penanaman konsepsi masyarakat yang independent dalam bingkai berdikari juga menjadi unggulan pemerintahan rezim ini.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan maksimalisasi sumber daya alam bagi kemaslahatan rakyat banyak seperti yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945 secara eksplisit dikampanyekan rezim ini mulai dari pencalonan hingga terpilihnya pasangan ini. Satu contoh yang saat ini paling ramai diperbincangkan ialah BPJS, dimana tujuan dari maksimalisasi program ini ialah adanya pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat serta kemudahan-kemudahan lainnya yang diberikan bagi masyarakat golongan menengah kebawah. Sayangnya, baru BPJS berjalan tidak sampai 5 tahun, MUI diikuti ormas Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan tangkasnya mempermasalahkan kesesuaian BPJS itu sendiri dengan syariat Islam. BPJS dinilai tak sesuai dan perlu dikaji ulang mengenai tata caranya. Oknum MUI dan beberapa ormas Islam nampaknya tak terlalu mempedulikan bahwa gotong royong jaminan sosial seperti ini membutuhkan proses, seperti halnya jaminan sosial di Jerman yang diselenggarakan sejak kepemimpinan Otto van Bismarck pada tahun 1871, ataupun di Malaysia yang sudah menyelenggarakannya sejak tahun 1950.12 11 12
Coen Husain Pontoh, dkk. Membedah Tantangan Jokowi. Yogyakarta: Marjin Kiri. 2014. Hlm. 10. Opini yang dikemukakan Rieke Dyah Pitaloka dalam program “Debat”, Juli 2015
FISIP UNWIR Indramayu
29
JURNAL ASPIRASI Vol. 6 No. 1Agustus 2015 Artinya di sini, sebagian masyarakat masih belum mampu membangun konstruksi pemikiran yang memprioritaskan kebersamaan dan gotong royong sebagai way of life.Hal-hal yang berkaitan dengan tafsir-tafsir dualis atau bahkan abstrak bahkan masih mampu mengganggu program jaminan sosial yang salah satunya direpresentasikan oieh program asuransi kesehatan BPJS saja.aktor baru dalam percaturan dinamika politik lokal nyatanya memang telah bergerak secara berlebihan. Kepentingan-kepentingan golongan masih menjadi prioritas ketimbang kebersamaan masyarakat dalam membangun sebuah peradaban kolektif. Banyaknya golongan kepentingan dengan kepentingan yang berbeda pula, pada akhirnya memberikan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah saat ini.kondisi tersebut bisa dibilang merupakan efek domino dari ketidakmampuan rezim-rezim sebelumnya meminimalisir kemiskinan dan memaksimalisasikan pendidikan. Pesatnya pertumbuhan penduduk tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi serta infrastruktur. Pemerintah seakan tak memiliki waktu mengkhawatirkan mental masyarakat yang semakin kehilangan karakter dan merosot pada level terendah seperti halnya mata uang yang kita pakai saat ini. Pemerintah tidak hanya aktor tunggal yang wajib dipersalahkan dalam kasus ini.Masyarakat sebagai objek formal dari konsepsi keadilan sosial juga perlu dipertanyakan perilakunya.Meminjam istilah dari Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), masyarakat tipe miskin dan ‘kurang ajar’ setidaknya patut menjadi sorotan.Mental yang terbangun malas dan mendorong pola pikir menjauhi pendidikan agama, pada akhirnya memuarakan masyarakat jenis ini pada cara-cara praktis namun merugikan dalam kehidupan masyarakat. Tidak lah aneh ketika kemudian masyarakat lain terkena dampak merugikan. Seperti contoh kriminalitas, pungutan liar, penyalahgunaan fasilitas umum, dan lain sebagainya. Pemerintah pun akan mengalami stagnansi dalam mengatur penduduk dengan moral liar seperti itu. Simpulan dan Saran Revolusi mental yang dicanangkan rezim Jokowi nyatanya memang belum menunjukkan perkembangan terstruktur dan masif.Agenda reformasi yang menyublim dan kesenjangan yang semakin lebar menjadi cacat bawaan yang secepatnya perlu diamputasi demi menanggulangi kemunduran mental manusia baik di elit pemerintahan maupun civil society.Di luar kondisi eksternal seperti merosotnya perekonomian Tiongkok dan naiknya kurs dolar, pemerintah harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa kunci utama dari terwujudnya keadilan sosial ialah kolektifitas, kesadaran akan persamaan serta semangat gotong royong yang kuat. Komunikasi politik dari pemerintah saat ini lah yang kemudian menjadi kunci utama tersalurkannya semangat ini. Untuk mengisi komposisi komunikasi politik tersebut agar mampu dicerna dan diterima oleh segenap lapisan masyarakat, pemerintah juga harus mampu memperlihatkan political will yang jelas dan tidak setengahsetengah terkait semangat perubahan dalam pencapaian keadilan. Karena hanya dengan mengandalkan kesadaran dari pribadi sendiri yang lahir dari kepekaan sebagian kecil masyarakat tanpa disertai kemampuan pemerintah mendukung semangat tersebut, yang ada kemudian hanya akan melahirkan kasih yang bertepuk sebelah tangan yang bahkan mampu melahirkan kekecewaan-kekecewaan baru dan berkepanjangan. Daftar Pustaka Creswell, John. 2013. Penelitian Kualitatif dan Design Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fitzpatrick, 2003.After The New Social Democracy: Social Welfare For the Twenty-first Century, Manchester: Manchester University Press. Keller, Suzanne. Tanpa tahun penerbitan.Penguasa dan Kelompok Elit. Jakarta: CV Rajawali. Makmur Keliat, 2014. Tanggung Jawab Negara. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung. Nordholt, H.S, Dkk. 2007.Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 30
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 Pontoh, Coen Husain, Dkk. 2014.Membedah Tantangan Jokowi. Yogyakarta: Marjin Kiri. Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi, Jakarta: PT. Gramedia.
FISIP UNWIR Indramayu
31