www.raconquista.wordpress.com
[email protected] Rejim Internasional dan Pengaruh Lingkungan Internasional Terhadap Sistem Politik Indonesia Berbagai teori mengenai rejim internasional berasal dari teori tentang rejim dalam hubungan internasional. Kepentingan mempelajari rejim internasional dalam sistem politik Indonesia adalah sebagai pengayaan pandangan kita akan hadirnya suatu sistem politik yang melampau batas wilayah negara-negara di dunia yang besar pengaruhnya terhadap sistem politik kita. Sistem politik Indonesia tidak akan terlepas dari sistem politik dunia karena Indonesia merupakan bagian dari negara-negara dunia yang berdaulat. Keanggotaan Indonesia di dalam berbagai organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, ASEAN, APEC, maupun G-22 merupakan satu bentuk keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional guna melanggengkan tata dunia melalui rejim. Dewasa ini, negara dunia ketiga, selepas penjajahan kolonial, terintegrasi ke dalam masyarakat global dunia melalui rejim internasional tersebut. Tak ayal, ketika kita terperosok ke dalam krisis ekonomi dunia di tahun 1997, rejim internasional, buatan negara-negara industri maju tergabung dalam sistem Bretton Wood di masa perang dunia ke-2, seperti IMF dan World Bank, berperan penting dalam membantu Indonesia keluar dari krisis. Terlepas dari kebijakan rejim internasional IMF dan World Bank yang justru membuat Indonesia terpuruk lebih dalam sampai detik ini, rejim internasional sudah membuat sistem politik Indonesia lebih rentan terhadap situasi ekonomi dan politik dunia. Rejim internasional selalu berada di belakang layar setiap kebijakan nasional Indonesia, mulai dari kebijakan desentralisasi, restrukturisasi, sampai masuknya jaringan kapitalisme dunia ke Indonesia dengan berbagai perusahaan multinasional meminggirkan perusahaan nasional,. Oleh karena itu, walaupun sistem politik Indonesia tidak sampai mempelajari rejim internasional sejauh ilmu hubungan internasional, penulis berpendirian bahwa pengenalan terhadap rejim internasional dan kebijakannya dapat membuat studi mengenai sistem politik Indonesia lebih komprehensif. Pendekatan rejim internasional dengan dominasi negara-negara kuat seperti AS dan negara-negara Eropa Barat akan membuat pemahaman terhadap kelemahan sistem politik Indonesia lebih dynamic bila dibandingkan dengan pemahaman secara inward looking belaka. Diharapkan, dengan studi mengenai rejim internasional terhadap sistem politik Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap perbaikan sistem selanjutnya di masa sekarang dan masa depan.
Rejim Internasional Rejim internasional terkadang muncul sebagai reaksi terhadap adanya kebutuhan untuk melakukan koordinasi perilaku berbagai negara tentang suatu isu tertentu. Di tengah-tengah absennya suatu rejim yang dominan, perjanjian-perjanjian bilateral yang ada dapat menggantikan pola pengaturan di seluruh dunia. Kehadiran suatu rejim berisikan perjanjian multilateral dapat menggantikan perjanjian bilateral, berisikan standar yang dapat diterapkan secara efisien dalam berbagai bentuk seperti International Monetary Fund (IMF), Biological Weapons Conventions, dan Kyoto Protocol (Protokol Kyoto). Rejim internasional berkembang pesat sejak perang dunia ke-2. Sampai saat tulisan ini diturunkan, rejim sudah meliputi hampir seluruh aspek hubungan internasional yang membutuhkan koordinasi antar negara, mulai dari isu pertahanan (seperti pembatasan pengembangan senjata atau pertahanan kolektif), perdagangan, keuangan, dan investasi, informasi dan komunikasi, hak asasi manusia, lingkungan, dan manajemen luar angkasa, merupakan contoh dari sekian banyak urusan.
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] Ada pernyataan beberapa ahli yang menekankan pentingnya kehadiran sebuah hegemon (penguasa tak terkalahkan atau super power) untuk menciptakan sebuah rejim dan memberikan arti kepadanya. Seperti contohnya Amerika Serikat diyakini telah memberikan kontribusi besar terhadap lahirnya sistem Bretton Wood (Bretton Wood System), dengan organisasi turunannya seperti IMF dan World Bank. Kehadiran sebuah hegemon diperlukan karena aktor dominan dalam ekonomi dan politik internasional adalah penting untuk menciptakan standar global. Ketika negara-negara lain mungkin mendapatkan manfaat dari rejim, perusahaan AS seperti Microsoft, Universal Studios, dan Pfizer akan mendapatkan keuntungan paling besar dari rejim hak cipta intellectual (intellectual property) yang memiliki standar baku. Hegemon akan menggunakan kekuatan mereka semaksimal mungkin untuk menciptakan rejim. Penarikan diri hegemon dari rejim akan membuat keefektifan rejim akan berkurang. Rejim menjalankan fungsi penting yang dibutuhkan dalam hubungan antar negara. Rejim merupakan aktor independen dalam politik internasional. Rejim ketika dilembagakan akan dijaga keutuhannya sehingga kehadirannya dapat memberikan pengaruh politik melebihi independensi negara-negara yang menciptakannya. Sebagai contoh the International Atomic Energy Agency (IAEA), memiliki hak-hak yang diberikan oleh negara-negara pembentuknya untuk memonitor aktivitas penggunaan energi nuklir di negara-negara dunia. Sebuah rejim diorganisasikan dengan perjanjian antar negara, sehingga dapat menjadi sumber utama hukum internasional formal. Rejim sendiri dapat juga bertindak sebagai subyek dari hukum internasional. Lebih jauh lagi rejim dapat membentuk perilaku dari negara-negara penyusunnya. Rejim paling berpengaruh dapat menjadi kaidah dalam hukum internasional. Pandangan para ahli aliran liberal melihat rejim sebagai awal terciptanya tata dunia damai. Hal tersebut sejalan dengan nafas sang filsuf Immanuel Kant tentang ide kedamaian berkelanjutan (perpetual peace) melalui federasi negara-negara dunia. Aliran liberal mendapatkan perlawanan berupa kritik yang mengatakan bahwa rejim justru merupakan sumber penambah konflik atau inefisiensi dalam politik dunia. Kritik terhadap rejim mengekpresikan ketidaksepahaman mereka terhadap rejim yang berpengaruh sebagai sumber penambah konflik atau inefisiensi dalam politik dunia. Seperti halnya rejim keamanan yang diorganisasikan oleh United Nations Security Council (Dewan Keamanan PBB) seringkali disebutkan sebagai sumber konflik negara-negara di dunia. Beberapa ahli lain mengatakan bahwa rejim hanya membuat kontrol demokratis lemah. Walaupun rejim sangat berpengaruh terhadap aspek kehidupan penting anggota penyusunnya, namun pada prakteknya mereka tidak mengindahkan prinsip-prinsip demokratis yang diterapkan dalam lingkup domestik anggotanya. Kritik lain menyatakan bahwa kebanyakan rejim hadir untuk mewakili pandangan teknokratif dari birokrat yang bekerja di rejim internasional tersebut, dengan mengatasnamakan perjanjian internasional, mereka memberikan pengaruh mereka terhadap perumusan perjanjian tersebut di belakang layar secara tertutup. WTO misalnya telah menciptakan situasi “democratic deficit” atau defisit demokrasi dengan membangun suatu departemen mengurusi masalah kerakyatan (civilian affairs department) yang semestinya mereka bertindak sebagai liaison dari kehendak orang banyak bukan sebaliknya mencampuri urusan orang. Sebagian besar rejim masih menutup diri dari politik demokrasi langsung yang banyak dipraktekkan di berbagai negara. Akan tetapi, ada anggapan bahwa penutupan diri tersebut penting, karena banyaknya koordinasi internasional membutuhkan spesialisasi tenaga ahli yang harus dikumpulkan oleh para teknokrat. Beberapa Pendekatan Teoritis dan Definisi Tentang Rejim Sebagian besar studi rejim berasal dari aliran pemikiran berikut ini: 1. Pendekatan realis. Pendekatan ini mengatakan bahwa kondisi alamiah negara-negara di
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] dalam sistem internasional adalah anarkis. Hal tersebut disebabkan oleh karena negaranegara berpikiran untuk mendapatkan perolehan keuntungan relatif saja, seperti posisi mereka terhadap negara lain di dalam sistem. Akibatnya, negara-negara akan merasa enggan untuk memasuki perjanjian yang akan membuat posisi mereka relatif lebih buruk dibandingkan dengan yang lain, merasakan akibat yang harus ditanggung bersama untuk memelihara sebuah rejim. Walaupun terdapat resiko potensial dalam memasuki perjanjian kerjasama, realis percaya bahwa keberadaan rejim adalah wajar adanya. 2. Pendekatan neoliberal. Pendekatan ini beranjak dari pemikiran realis di dalam kondisi alamiah sistem internasional adalah anarkis. Akan tetapi, berlawanan dengan realis, mereka berpendapat bahwa negara-negara sangatlah mempertimbangkan untuk memperoleh keuntungan absolut. Pada akhirnya, ketika mereka memutuskan untuk bekerjasama atau tidak, negara-negara tersebut akan mengevaluasi apa manfaat yang dapat diberikan kepada mereka, daripada memikirkan apa keuntungan yang dapat mereka berikan secara relatif terhadap yang lain. Oleh karena itu, pertimbangan utama bagi negara-negara seperti itu adalah bagaimana mereka mendapatkan keuntungan paling maksimal sedapat mungkin. Rejim dapat bermanfaat besar untuk menjamin keberlangsungan keuntungan seperti itu. 3. Pendekatan kognitifisme (cognitivism). Pendekatan ini memberikan kontribusi pada pemahaman kita tentang rejim dengan memahami bagaimana perilaku aktor yang tidak dibentuk oleh kepentingan material terlalu banyak, akan tetapi oleh peran mereka di masyarakat. Demikian halnya mereka berkeyakinan bahwa mempelajari rejim tanpa memerhatikan saling keterkaitan antar pandangan kurang lengkap adanya. Ketika realisme memperkirakan bahwa konflik harus dimasukkan ke dalam norma kerjasama internasional, para ahli tentang rejim berkata bahwa kerjasama harus ada disamping anarki. Sebagai rujukan, mereka mencontohkan kerjasama perdagangan, hak asasi manusia dan pertahanan kolektif. Situasi kerjasama itulah yang seringkali dimaksudkan sebagai rejim-rejim. Definisi rejim paling banyak dikutip dari Stephen Krasner. Krasner (1983) menjelaskan rejim sebagai “Institusi-institusi memiliki norma-norma, kewenangan memutuskan, dan prosedurprosedurs untuk memfasilitasi berbagai aspirasi" (institutions possessing norms, decision rules, and procedures which facilitate a convergence of expectation). Tidak semua pendekatan pada teori rejim bersifat liberal atau neoliberal. Beberapa ilmuwan berdisiplin realis seperti Joseph Grieco membangun teori hybrid berdasarkan pada pendekatan realis terhadap teori liberal fundamental. (Realis tidak pernah berkata kerjasama tidak akan pernah terjadi, hanya hal itu bukanlah norma karena kerjasama ada pada tingkatan derajat yang lain). Seperti telah disebutkan di atas, sebuah rejim didefinisikan oleh Stephen D. Krasner sebagai satu rangkai ekplisit atau implisit dari “prinsip, norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan dimana terdapat perbedaan harapan aktor berbeda-bedadalam satu wilayah isu” (principles, norms, rules, and decision making procedures around which actor expectations converge in a given issue-area). Definisi ini ditujukan luas, dan melingkupi interaksi manusia mulai dari organisasi formal (misal: OPEC) sampai kelompok informal (misal: bank-bank besar di masa krisis ekonomi). Harap dicatat bahwa rejime tidak selalu berupa kumpulan beberapa negara. Rejim Internasional Stephen Haggard dan Beth A. Simmons (1987) mengatakan bahwa rejim internasional muncul sebagai fokus penting dari riset empiris dan debat teoritis di dalam hubungan internasional. Kepentingan rejim timbul karena adanya ketidakpuasan dengan konsep dominan dari tata aturan internasional, kewenangan, dan organisasi. Perbedaaan tajam antara kompetitif, zero-sum ‘anarchy’ dari hubungan antara negara dan ‘kewenangan’ dari politik domestik terlihat terlalu banyak mengambil penjelasan dari perilaku di anatara negara industri maju. Padahal dilemma
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] kebijakan diciptakan dari tumbuhnya rasa salingtergantungan sejak perang dunia yang menghasilkan bentuk koordinasi dan organisasi baru, sama sekali tidak sesuai dengan kerangka berpikir realis. Definisi dari rejim dapat dkutip dari Donald Puchala dan Raymond Hopkins yang berargumen bahwa sebuah rejim ada di dalam setiap wilayah isu penting dari hubungan internasional…Di mana ada keteraturan perilaku, seperti prinsip-prinsip, norma-norma atau aturan-aturan harus ada untun dipertanggungjawabkan (a regime exists in every substantive isuue-area in international relations…Wherever there is regularity in behavior, some kinds of principles, norms or rules must exist to account for it). Akan tetapi pola perilaku sendiri tidak seharusnya menuju pada satu anggapan bahwa suatu rejim beroperasi di bawah tanah. Definisi luas akan beresiko mencampuradukan pola perlialku teratur dengan aturan, dan hampir pasti terlalu jauh memprediksikan level kesepakatan normative dalam politik internasional. Mengurangi rejim dari pola perilaku membuatnya sulit untuk memutuskan bagaimana mereka bermediasik, berlawanan, atau mempengaruhi perilaku. Kata ‘rejim’ seringkali digunakan sebagai cara paling murni menggambarkan kelompok dari rangkaian perilaku-perilaku negara di dalam isu-isu tertentu, tatapi sejak adanya potensi menggunakan satu ungkapan dalam kata berbeda dalam satu kalimat (tautology) sangat tinggi, pendekatan ini sudah banyak ditinggalkan . Pengaruh Rejim Internasional Terhadap Sistem Politik Indonesia Di dalam presentasinya, Mochtar Masoed (2007), guru besar bidang politik dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa “Globalisasi sebagai perluasan jaringan interdependensi sehingga meliputi antar-benua. Proses ini menimbulkan perubahan mendasar dalam politik dunia, yaitu: 1. Peningkatan kaitan politik pada aras global 2. Pemerosotan makna ruang dan waktu lokal sebagai struktur pendukung kehidupan ekonomi 3. Homogenisasi kehidupan sosial melalui standard, produk dan kultur global.” Tantangan Indonesia terhadap arus globalisasi digambarkan dalam tabel berikut: ARAS
DARI DALAM
DARI LUAR
Idea/ Gagasan
Nativisme. Primordialisme.
Globalisasi. Kosmopolitanisme.
Struktur/ Institusi
Multi-polarisasi. Politik-Etnik. “Patron-client.”
Uni-polarisasi. Persaingan-timpang. Trans-nasionalisme.
Kebijakan/ Tindakan
Sistem politik tidak solid. Inertia?
Agresi adidaya Ekonomi neo-liberal.
Dunia internasional sangat mempengaruhi sistem politik Indonesia, terutama dengan kehadiran rejim-rejim internasional yang mengusung aliran neo-liberalisme menekan kebijakan-kebijakan politik Indonesia. Masoed menjelaskan bahwa ciri dari tekanan aliran neo-liberalisme adalah sebagai berikut: 1. Pasar harus diberi kebebasan untuk membuat keputusan sosial dan politik yang penting.
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] 2. Negara harus secara sukarela mengurangi peranannya dalam ekonomi. Misal, hapus subsidi. 3. Perusahaan harus diberi kebebasan seluas mungkin. 4. Serikat buruh harus dikebiri. 5. Jaminan perlindungan sosial bagi warganegara harus dikurangi. Pada akhirnya, kebijakan politik pemerintah Indonesia harus menyesuaikan dengan tekanan rejim internasional dengan cara: 1. Liberalisasi perdagangan barang dan jasa. 2. Liberalisasi sirkulasi dan lalu-lintas perpindahan kapital. 3. Liberalisasi investasi. Kepentingan Indonesia terhadap rejim internasional sangatlah besar, terutama setelah kejatuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1997, memaksa Indonesia untuk memilih jalan terakhir meminjam hutang dari IMF dan meminta bantuan World Bank untuk menatakembali struktur politik dan pemerintahan Indonesia. Sebagai gantinya, Indonesia harus menuruti kemauan rejim internasional dengan menerapkan program Structural Adjustment Programs (SAPs) atau lebih dikenal dengan program restrukturisasi dan kemudian desentralisasi. Hasilnya, Indonesia sampai sekarang masih kesulitan untuk keluar dari mulut jebakan rejim internasional karena memang skema bantuan tersebut mensyaratkan keajekan tatanan kelembagaan sistem politik Indonesia yang sampai saat tulisan ini diturunkan masih dalam proses perubahan. Oleh karena itu kebijakan nasional sangatlah rawan dipengaruhi oleh kepentingan asing. Demikian pula halnya dengan krisis BBM saat ini, peran rejim internasional terhadap Indonesia sangat besar. Keanggotaan Indonesia di dalam OPEC ternyata tidak dapat berbuat banyak untuk menolong krisis energi di Indonesia. Malahan Indonesia yang sudah menjadi negara net importer tidak seperti dulu net exporter ternyata tidak mendapatkan keuntungan apapun selain dibebani dengan aneka macam iuran yang demikian tingginya. Kekalutan pemerintah terjadi ketika BBM sudah semakin menipis, sehingga mau tidak mau pemerintah meminta bantuan dari IMF kembali untuk mengucurkan bantuannya agar dapat bernafas sejenak dari himpitan krisis BBM yang melanda negeri ini sejak tahun 2007. Kelangkaan energi membuat sejumlah bahan kebutuhan pokok langka, harga naik, rakyatpun kehilangan daya membeli karena banyak pula yang kehilangan pekerjaan akibat industri mogok produksi. Dapat dijelaskan disini, bahwa peran rejim internasional dapat menguntungkan akan tetapi sebaliknya dapat juga menjerumuskan pemerintah dan rakyat Indonesia. Apabila terlena dengan kucuran bantuan demikian deras, selanjutnya tinggal sumber daya alam kitalah yang dipertaruhkan untuk membayar hutang dari generasi ke generasi. Selanjutnya, negara kita akan berisi ‘pepesan kosong’ yang tidak ada artinya karena sudah masuk dalam jerat negara-negara kuat di belakang rejim yang memang haus sumber daya alam mentah seperti yang ada di Indonesia. Pembelajaran perlu dilakukan segera untuk mencari solusi bagaimana memberdayakan masyarakat Indonesia untuk berinovasi dan meminimalisir ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah manapun. Tugas pemerintah jelas sangat berat, karena tidak mungkin mengajari rakyat lapar yang miskin. Sudah selayaknyalah kita bangkit melawan rejim internasional yang merugikan dengan menunjukan kemandirian kita. Biarlah kita menjadi bangsa bersahaja, hidup hemat, namun dapat mensubsidi dirinya sendiri. Rejim internasional yang bermanfaat tetap kita pelihara karena Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia. Kita tetap membutuhkan rejim yang dapat melindungi kepentingan Indonesia bukan menghabisi sumber daya kita.
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] Sumber Pustaka Haggard, Stephan and Simmons, B.A. “Theories of International Regimes.” International Organization 41, 3, pdf copy (World Peace Foundation and The Massachusetts Institute of Technology, Summer 1987). Keohane, Robert O. and Lisa L. Martin. 1995. "The Promise of Institutionalist Theory." International Security 20/1(Summer). Krasner, Stephen D. 1982. “Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables." International Organization 36/2 (Spring). Reprinted in Stephen D. Krasner, ed., International Regimes, Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983. Masoed, Mochtar. “Tantangan Terhadap Indonesia.” Bahan presentasi disampaikan pada forum kajian Lembaga Administrasi Negara (2007). Regime Theory. http://en.wikipedia.org/wiki/Regime_theory (accessed 5 June 2008)