POSTMODERNISME; PERSPEKTIF AJARAN ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM Achmad Reyadi AR Pascasarjana IAIN Sunan Ampel (Jl. A. Yani 117 Surabaya, e-mail :
[email protected])
Abstrak: Artikel ini secara ekstensif berusaha menelisik eksistensi postmodernisme sebagai sebuah aliran pemikiran yang mengkritisi terhadap modernisme. Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, postmodernisme mendatangkan berbagai alternatif dan perspektif dalam memahami realitas. Karenanya, postmodernisme tidak harus dicampakkan dalam pemikiran keislaman. Pun juga tidak harus ditelan bulat-bulat. Sangat dibutuhkan pertemanan kritis terhadap postmodernisme, yang dengan sikap demikian, sangatlah bermanfaat dalam memperkaya horizon pendidikan Islam Kata kunci: Postmodernisme, pendidikan Islam
Abstract: This article extensively tries to trace the existence of postmodernism as a school of thought criticizing against modernism. In relation to Islamic education, postmodernism offers variety of alternative perspectives to understand reality. Therefore, postmodernism does not have to be either dumped nor swallowed barely to Islamic thought or round. It needs critical reading of postmodernism, to which attitude, it is useful within expanding the horizon of Islamic education. Keywords: Postmodernism, Islamic education
Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam
Pendahuluan Istilah post-modernisme1 secara etimologi bermakna sesudah modernisme atau disebut pula dengan pasca-modernisme. Istilah ini sudah demikian populer dalam dunia perguruan tinggi di Indonesia selama lima tahun terakhir. Istilah “postmodern” yang banyak dikenal dalam kajian filsafat telah diperkenalkan oleh Jean-Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge sejak tahun 1984, dan sejak itu ia menjadi locus classicus untuk diskusi-diskusi tentang postmodernisme di bidang filsafat.2 Postmodernisme kini tampak bukan saja merupakan trend tetapi sudah cenderung akan menjadi suatu weltanschauung. Postmodernisme tampil sebagai reaksi balik terhadap modernisme yang sudah berjaya selama kurang lebih 3 abad. Ia muncul memberikan kritik yang cukup dalam terhadap akar-akar modernisme. Gejala tampilan postmodernisme tidak hanya dalam realitas sosial-budaya tetapi juga dalam epistemologi filosofis sampai kepada epistemologi pemikiran keagamaan.
1Secara
historis, kelahiran postmodernisme dapat dilacak jauh ke alur sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan terhadap modernisme pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra, ketika Charles Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut gerakan anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi kontemporer Amerika. Gerakan antimodernisme, yang dipelopori oleh John Cage, Robert Rauschenberg, Merce Cunningham, ini adalah gerakan yang mencoba membangun kesadaran untuk keluar dari kungkungan dan kuasa rasionalitas seni modern. Lebih tegas bahwa postmodernisme muncul sebagai diskursus kebudayaan yang banyak menarik perhatian. Meskipun tidak mudah atau malah hampir tidak ada cara baku untuk mendefinisikan postmodernisme, namun tema ini bukanlah lahir tanpa sejarah. Postmodernisme hadir setelah melalui perjalanan sejarah yang membentuknya hingga sampai pada keadaannya saat ini. Kehadiran postmodernisme dalam rangka menggugat watak modernisme lanjut yang monoton, positivistik, rasionalistik dan teknosentris, modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat tata pengetahuan dan sistem produksi, modernisme yang kehilangan semangat emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup dan modernisme yang tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan. Lihat, Ariel Heryanto, Postmodernisme, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 80. 2Jacques Derrida, Positions, terj. A. Bass ( Chicago: University of Chicago Press, 1981), hlm. 21.
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
67
Achmad Reyadi AR
Pemikiran Lyotard umumnya berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ini, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui, yang disebutnya sebagai “narasi besar” (grand narative), seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar dan sebagainya3. Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan, kepercayaan tentang keunggulan Barat dan sebagainya, yaitu mereka pun kini menjadi sulit untuk dipercaya. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan kesahihan ilmu itu sendiri. Dalam kerangka ini pula, aspek mendasar yang dikemukakan oleh Lyotard pada dasarnya merupakan upaya tentang kemustahilannya membangun sebuah wacana universal nalar sebagaimana diyakini oleh kaum modernis. Dari perspektif Lyotard ini, dapat dipahami bahwa postmodernisme adalah usaha penolakan dan bentuk ketidakpercayaan terhadap segala “Narasi Besar” filsafat modern; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi– seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, atau apapun. Dengan demikian, postmodernisme, sambil menolak pemikiran yang totaliter, juga mengimplikasikan dan menganjurkan kepekaan kita terhadap perbedaan dan memperkuat toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur.4 Postmodernisme dengan demikian lahir untuk menolak anggapan-anggapan modernisme yang membawa keyakinan bahwa filsafat melalui rasio sebagai sarananya mampu merumuskan hal-hal yang dapat berlaku secara universal. Sebagai sebuah penolakan, postmodernisme pada kenyataannya merupakan bentuk pemikiran beragam yang--paling tidak--dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu; pertama, pemikiran-pemikiran yang dalam rangka merevisi kemo-dernan itu cenderung kembali ke pola berfikir pra-modern. Sebutlah misalnya ajaran yang memproklamirkan dirinya sebagai
3Sindhunata,
Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka sekolah Frankfurt (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 56. 4Frans Magnis Suseno, Pemikiran Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 60.
68
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam
metafisika New Age. Dapat pula dimasukkan ke dalam kelompok ini pemikiran-pemikiran yang mengaitkan dirinya dengan wilayah mistiko-mitis. Mereka ini umumnya muncul dari wilayah fisika baru yang memiliki semboyan “holisme”. Beberapa tokoh yang terkenal adalah Fritijof Capra, J. Lovelock, dan Garry Zukav. Kedua, pemikiran-pemikiran yang terkait erat pada dunia sastra dan banyak berurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang paling populer dan digemari oleh kelompok ini adalah “dekonstruksi”. Gagasan pokok yang menonjol dalam kelompok ini adalah berkecenderungan untuk mengatasi gambaran dunia (worldview) modern melalui gagasan yang anti-gambaran sama sekali. Awalnya, strategi dekonstruksi yang dilakukan oleh kelompok ini dimaksudkan untuk mencegah kecenderungan totaliterisme dan nihilisme. Dapatlah dikatakan, bahwa mereka ini menarik segala premis modern dan membenturkannya pada konsekuensi logis paling ekstrimnya. Beberapa tokoh yang terkenal dalam kelompok ini adalah Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Francois Lyotard. Ketiga, segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan memperbaharui premis-premis modern di sana-sini saja. Ini dimaksudkan lebih merupakan “kritik imanen” terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya. Misalnya, mereka tidak menolak sains pada dirinya sendiri, melainkan hanya sains sebagai ideologi dan scientisme saja dimana kebenaran ilmiahlah yang dianggap kebenaran yang paling sahih dan meyakinkan. Pada sisi lain, tetap diakui sumbangan besar modernisme bagi kehidupan manusia pada umumnya, seperti terangkatnya rasionalitas, kebebasan, pentingnya pengalaman dan lain sebagainya. Salah satu kelompok terkuat dalam kategori ketiga ini adalah gerakan yang menjabarkan pemikiran-pemikiran Alfred North Whitehead ke dalam gambarangambaran dunia baru, yang ditokohi antara lain oleh David Ray Griffin, J. Cobb Jr., dan David Bohm. Terlepas dari pola pengelompokan postmodernisme ke dalam tiga kategori di atas, dalam wacana filsafat, postmodernisme sering dipandang sebagai sebuah bentuk pemikiran yang mengakhiri filsafat itu sendiri. Berakhirnya filsafat, erat kaitannya dengan istilah yang dipakai oleh postmodernisme, yaitu dekonstruksi. Istilah dekonstruksi Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
69
Achmad Reyadi AR
awalnya digunakan oleh Heidegger. Namun seperti diketahui, di tangan Derrida-lah istilah ini lebih populer karena dengan digunakannya istilah ini sebagai metode, maka muncullah klaim dan pandangan bahwa filsafat harus diakhiri. Dekonstruksi biasanya dirumuskan sebagai cara atau metode membaca teks (itu sebabnya metode ini telah dikembangkan pula di bidang susastra). Suatu hal yang khas dalam pembacaan dekonstruksif atas teks-teks filosofis adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya bukanlah pertama-tama inkonsistensi logisnya, argumen-argumen lemahnya ataupun premis-premisnya yang tidak meyakinkan, melainkan unsur yang secara filosofis sangatlah menentukan, atau unsur yang menjadikan sebuah teks itu filosofis. Jadi, kemungkinan berfilsafat itu sendirilah yang dipersoalkan di sana. Modernitas dalam Kerangka Dilema Untuk melengkapi pemahaman terhadap postmodernisme, maka terlebih dahulu penulis paparkan ciri modernisme. Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa postmodernisme merupakan reaksi atau sebagai kritik terhadap modernisme. Kritik terhadap modernisme sebelumnya sudah pernah dilontarkan oleh Aliran Kritik Sosial Frankfurt yang dimotori oleh Max Horkheimer, Adorno sampai pada generasi Jurgen Hubermans. Mazhab Frankfurt mengkritik modernisme terutama pada segi epistemologis.5 Postmodernisme mengkritik modernisme lebih komprehensif, dari segi ontologis, epistemologis dan aksiologis. Karena itu, untuk mengidentifikasi karakteristik postmodernisme, terlebih dahulu dikemukakan karakteristik modernisme. Ada beberapa hal dari ciri modernisme yang menyolok, yaitu : Pertama, pendewaan terhadap rasio. Di awal munculnya modernisme (abad ke-18), rasio (akal) dipandang sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu membimbing manusia menuju kebahagiaan hidup. Di awal munculnya modernisme itu bahwa agama meskipun penting tetapi agama dipandang tidak lagi terdapat dalam dogma melalui wahyu. Agama sudah harus ditegakkan di atas prinsip rasio. Pengganti agama wahyu (openarungreligie) adalah agama alam (natuurreligie) yang ditegakkan di atas prinsip rasio. Bukan lagi rahmat dari Tuhan 5Sindhunata,
70
Dilema Usaha Manusia Rasional, hlm. 43.
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam
yang penting tetapi kemampuan akal sebagai “pembebas” jiwa yang penting. Bukan dosa asal (erfzonde, menurut keyakinan Kristen) yang memenjarakan manusia tetapi kebodohanlah sebagai pangkal kesengsaraan.6 Kehidupan yang ditegakkan atas prinsip serba rasional itu memunculkan harapan baru ketika itu, bahwa modernisme kelak akan menjadi “surga” bagi manusia. Rasio pertama kali memberantas pandangan-pandangan mitologis dan paham-paham irrasional sampai pada mengecilkan peranan agama dan aplikasi nilai-nilai agama dalam kehidupan manusia.7 Di Barat misalnya, muncul paham agnotisme (yakni, dikatakan beragama, tidak; tidak dikatakan tidak beragama pun tidak), bahkan sampai pada paham ateisme. Kepercayaan yang tinggi akan kemampuan rasio kemudian ditunjang oleh pengamatan empiris (dengan metode observasi dan eksperimen) lebih memperkokoh kedaulatan rasio-empiri dalam memahami realitas. Kedua instrumen pengetahuan tersebut menghidupsuburkan sains dan teknologi. Kedua, kebenaran tunggal. Sikap mendewakan rasio dan menempatkannya sebagai sumber pengetahuan tertinggi,8 sehingga rasio dipandang mampu menciptakan kebenaran universal. Di era modernisme kebenaran produk rasio dan empiri sebagai kebenaran tunggal. Kebenaran tunggal lalu diklaim oleh Barat sebagai pemilik kebenaran tunggal itu. Di luar ilmu Barat tidak ada yang absah dan di luar peradaban Barat tergolong peradaban inferior (rendah). Akibatnya ilmu dan peradaban Barat diupayakan untuk diberlakukan secara universal, akibatnya terjadi imperialisme epistemologis, imperialisme politik, ekonomi, pemanfaatan sumber daya alam dan kriteria hak asasi manusia menurut pandangan Barat. Ketiga, ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai prestasi gemilang modernisme berhasil membawa kemajuan bangsa-bangsa di dunia. Ilmu pengetahuan berupaya memperkokoh dirinya dengan kemampuan internalnya memisahkan diri 6C.
Brinton, The Shaping of The Modern Mind (New York, 1953), hlm. 113. F Awwuy, Problem Filsafat Modern dan Dekontruksi, khusus Bab IV “Dekontruksi Terhadap Sejarah Modern“ (Jakarta : LSF, 1993), hlm. 71. 8Dalam pandangan Barat, rasio sebagai sumber kebenaran ilmiah. Dan, kebenaran ilmiah dipandang sebagai kebenaran tertinggi. Adapun agama karena tidak tegak atas prinsip rasional, dipandang sebagai kebenaran pra-ilmiah. 77Tommy
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
71
Achmad Reyadi AR
dari doktrin-doktrin agama. Dengan metode induktif mengamati alam yang bersifat mekanis dan matematis, pencarian hukum sebab akibat yang mengatur alam semesta melahirkan paham naturalisme. Naturalisme melihat alam ini sebagai sebuah mesin raksasa dengan mekanisme kerja secara kausalitas, menyebabkan sebagian ilmuan tidak lagi melihat alam ini sebagai ciptaan Tuhan melainkan adalah produk alam itu sendiri.9 Memandang keindahan alam bukan lagi merasakan kebesaran Tuhan melainkan kekaguman pada alam itu sendiri. Alam menyimpan berbagai rahasia yang berguna bagi manusia, maka alam pun dieksploitasi yang pada akhirnya merusak ekosistem yang membawa malapetaka bagi manusia sendiri. Keempat, antroposentrisme. Kemampuan manusia yang demikian tinggi di era modern dibanding era sebelumnya, maka manusia lalu “membesarkan” diri menjadikan dirinya sebagai sentrum alam semesta dan ukuran bagi segala sesuatu. Manusia tidak lagi menghiraukan nilai-nilai dari “luar” dirinya, yakni nilai transenden dari Tuhan, karena memandang dirinya menjadi ukuran (norma) bagi segalanya.10 Ketiga karakteristik tersebut di atas tentu saja terjadi dalam masyarakat Barat. Namun dalam perkembangan globalisasi di segala bidang, dikhawatirkan pandangan semacam itu merasuk ke dalam masyarakat Indonesia. Modernisme; Pembebasan dari Mitologi ke Penjara Struktur Ketika modernisme muncul di abad ke-16, manusia menggantungkan harapan bahwa modernisme ini kelak akan menjadi "surga" bagi manusia. Betapa tidak, karena di era modern di mana rasio dan empiri memegang kedaulatan dalam dinamika hidup manusia telah berhasil menumpas mitologi-mitologi. Tidak hanya itu, modernisme telah meruntuhkan otoritas gereja dan segala kedaulatan yang bersumber dari luar diri manusia. Modernisme memunculkan apa yang disebut humanisme yang mengakui manusia dengan segala kemampuannya merupakan sum-
9Lihat
selengkapnya dalam Ronald McKinney, “Toward a Resolution of The Modernist/Postmodernist Debate”, dalam Philosophy Today, (Vol. XXX, No. 3 April, 1986), hlm. 238. 10Denny J.A. “Merem Postmodernisme”, Jawa Pos, (29 Oktober 1992), hlm. 8.
72
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam
ber kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga menyisihkan peranan dan kedaulatan Tuhan. Agama, kemudian disub-ordinasikan karena dipandang melemah-kan kreativitas dan otoritas manusia sebagai pusat alam semesta. Meskipun tidak semua corak humanisme mengarah ke ateisme, tetapi secara prinsipil, humanisme sebagai anak kandung modernisme menempatkan kedaulatan manusia dalam taraf yang tinggi. Rasio merupakan kekuatan tertinggi manusia. Rasio didewakan karena telah berhasil dengan gemilang menumpas mitologi-mitologi yang dianggap telah lama merampas kebebasan dan kreativitas manusia sebelumnya. Di atas reruntuhan mitologi dan segala yang dipandang dogma, dibangun ilmu pengetahuan positivistik. Ilmu yang bercorak positivistik itu lebih mempertegas kekerasannya (menjadi apa yang disebut rigorous sciences) dengan membuang segala pertimbangan nilai. Nilai-nilai diekslusifkan karena dipandang tidak relevan dengan ilmu. Ilmu dalam pandangan ini bersifat netral (value-free). Rasio diangkat lagi pada taraf yang lebih tinggi karena dipandang mampu memproduksi ilmu-ilmu objektif. Telaah rasional atas kerja sama dengan empiri dilakukan studi induktif kemudian membentuk generalisasi. Generalisasi menghasilkan ilmu-ilmu nomothetik yang mengandung kebenaran tunggal, kebenaran universal.11 Prestasi selanjutnya apa yang dicapai di era modernisme adalah munculnya strukturalisme yang dimotori oleh beberapa tokoh, misalnya oleh Ferdinand de Saussare (1857-1913), Jean Piaget (18961980), Claude Levi-Strauss (lahir 1908), Noam Chomsky (lahir 1928). Di bidang sosiologi muncul Robert K. Merton, Talcott Parsons dan sebagainya. Strukturalisme sebagai anak kandung berikutnya dari modernisme memandang bahwa alam dan kehidupan sosial adalah merupakan sebuah struktur. Struktur adalah sebuah sistem transformasitransformasi yang bercirikan keseluruhan atau totalitas. Keseluruhan itu dikuasai oleh hukum atau rule of composition yang tertentu dan mempertahankan atau malahan memperkaya dirinya sendiri karena cara yang dijalankan oleh transformasi itu tidak mendobrak batas-
11Ibid.,
hlm. 238.
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
73
Achmad Reyadi AR
batas sistem itu, pun juga tidak memasukkan ke dalamnya unsurunsur dari luar.12 Dengan demikian, strukturalisme juga memandang kebenaran itu tunggal yang diproduksi dari suatu mekanisme struktur. Sebuah struktur adalah sebuah bagan logis, rasional13 sehingga tidak dapat melihatkan intuisi ke dalamnya. Sifat kemenyeluruhan (wholeness), transformasi dan pengaturan diri (self-regulation), di mana manusia sebagai salah satu elemennya, maka manusia tidak lagi mempunyai pilihan lain selain tunduk kepada hukum keseluruhan struktur itu.14 Struktur dalam hal ini menjerat kebebasan manusia. Menurut Michel Foucault, manusia kini telah mati. Manusia mengira dia merupakan "aku", suatu pribadi. Tetapi sebenarnya dia merupakan sekedar titik bahul hubungan-hubungan; yaitu salah satu titik dalam satu kerangka struktur. Strukturalisme memandang bahwa struktur seluruh hubungan-hubungan itulah yang penting, bukan manusianya.15 Kalau Nietzsche meneriakkan bahwa "Tuhan telah mati"16 dalam paham humanisme-eksistensialnya, maka Foucault menyuarakan bahwa "kini manusia telah mati" terjerat oleh struktur yang ia ciptakan sendiri. Dalam strukturalisme, manusia tidak lagi dipandang sebagai pusat masalah, ia tidak lagi bebas memberikan pemaknaan-pemaknaan terhadap dunianya. Ia hanya menerima apa yang disajikan oleh struktur. Dengan demikian, modernisme dengan strukturalisme itu kembali lagi menjerat kebebasan manusia. Itulah antara lain prestasi yang dicapai oleh manusia di era modern. Kini muncul lagi era baru yang memberikan evaluasi kritisnya terhadap modernisme. Era tersebut dinamakan postmodernisme atau disebut juga era poststrukturalisme sebagai anak kandungnya. 12Jacques
Veuger, Psikologi Perkembangan, Epistemologi Genetik dan Strukturalisme Jean Piaget (Yogyakarta: YSIT, 1983), hlm. 127. 13Alexander Irwan dan Ingris Semaan, "Mempersatukan Struktur", dalam Prisma, (No. 1 Januari 1993), hlm. 61. 14Chirtopher Leoyd, Explanation in Social History (Oxford: Basil Blackwell, 1988), hlm. 238. 15Bernard Defgaauw, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), hlm. 155. 16Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra A Book for All and None (New York: Cambridge University Press, 2006), hlm. 31.
74
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam
Postmodernisme; Pembebasan Kedua Agak sulit diidentifikasi dari mana dan dari pemikiran siapa yang mendasari kemunculan postmodernisme. Dan juga apakah postmodernisme merupakan perpanjangan dari modernisme atau sebagai reaksi terhadap modernisme. Kami berasumsi bahwa postmodernisme tidak hanya muncul dari satu aliran atau seorang tokoh tertentu. Postmodernisme dikatakan sebagai perpanjangan dari modernisme karena bibitnya telah ada dalam fase modernisme dan elemennya telah ada pada pemikiran tokoh yang mengklaim diri sebagai tokoh modernisme. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernisme yang diambil dari segi-segi tertentu beberapa pemikiran modernisme yang diintegrasikan ke dalam satu pola pemikiran yang memiliki karakteristik yang khas berbeda dengan modernisme. Meskipun memang diakui ada pemikiran yang khas bercorak postmodernisme yang tidak terdapat elemennya di era modernisme. Karl R. Popper seorang tokoh modernisme yang mengakui realitas metafisis sebagai kebenaran objektif, tunggal dan universal. Tetapi di sisi lain menolak epistemologi positivistik,17 sebagai anak kandung modernisme. Husserl, seorang tokoh fenomenologi, mengklaim diri sebagai modernis dengan metode apoche-nya (keadaan tidak memihak, netral dalam epistemologinya) tetapi dalam fenomenologi transendentalnya ia meletakkan kerangka ilmu-ilmu subjektif sebagai lawan ilmu objektif dalam modernisme. Ilmu subjektif Husserl memberikan pemaknaan atas dunia sesuai dengan weltanschauung yang dianut, menghargai "dunia nilai" sebagai elemen integral dalam ilmu. Sikap yang sama dianut oleh Jurgen Habermans yang berusaha mengintegrasikan nilai ke dalam kerangka ilmiah.18 Berikut ini dikemukakan beberapa ciri postmodernisme: Pertama, kebenaran pluralistik. Kalau di era modernisme yang dimotori oleh epistemologi positivistik dan strukturalisme memandang kebenaran itu tunggal. Dunia dipersatukan dalam pengambilan
17Lihat
Victor Kraft, "Popper and The Vienna Circle", dalam Paul Arthur Schilpp (ed.), hlm. The Philosophy of Karl Popper, Book I (La Salle, Illinois: Open Court, 1974), hlm. 192. 18Maurice Natanson, "The Lebenwelt", dalam Erwin W. Straus (ed.), Phenomenology Pure and Applied (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1964), hlm. 77.
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
75
Achmad Reyadi AR
keputusan secara generalis yang membentuk generative idea menurut positivisme. Kemudian strukturalisme tampil menyatakan bahwa hukum yang menguasai struktur sebagai keseluruhan atau hukum kesatuan yang konstan dan stabil. Postmodernisme tampil menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang konstan dan stabil, karena stabilitas hanya bermakna statis dan mandeg. Kebenaran terpecah menjadi majemuk karena selalu berada dalam ruang, waktu dan konteks yang berpengaruh terhadap kebenaran itu. Pemikiran yang relevan dalam hal ini adalah fenomenologi transendental dari Husserl yang menyatakan bahwa: To exist does not mean the same thing in every region".19 (Untuk berada tidak berarti sesuatu itu sama dalam setiap wilayah). "Each region is the object of regional ontology” (Setiap wilayah merupakan obyek ontology regional).20 Dengan demikian, kebenaran selalu berada dalam wilayah tertentu. Atau, menurut Lyotard, pengetahuan manusia terlokasikan sehingga tidak tunggal dan tidak universal lagi.21 Terpecahnya kebenaran dalam kemajemukan bukan saja disebabkan oleh wilayah atau kawasan tetapi juga oleh pecahnya akal dan subjek manusia. Muldoon menjelaskan bahwa: "The postmodern moment has been characterized as a kind of explosion of the modern episteme in which reason and its subject as the source of "unity" and of "whole" are blown to pieces".22 (Gerakan postmodern dicirikan oleh semacam ledakan epistemologi modern dimana akal dan subyeknya sebagai sumber "kesatuan" dan "keseluruhan" terpecah dalam potongan-potongan). Subjek-cogito dalam rasionalisme Descartes yang dipandang sebagai realitas otonom, konstan dan mutlak; dalam pandangan postmodernisme tidak lagi dipandang otonom dan mutlak. Subjek-cogito sudah harus "mencair" dengan realitas dunia di luar dirinya, sehingga ia tiada tanpa dunia dan dunia tiada tanpa ia.
19Emmanuel
Levinas, The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology (Northwestern: University Press, 1973), hlm. 4. 20Ibid., hlm.4. 21John W. Murphy, "Cultural Manifestation of Postmodernism", dalam Philosophy Today, (Vol. xxx, No. 4/4 April 1986), hlm. 348. 22Mark S. Muldoon, "Henri Bergson and Postmodernism", dalam Philosopy Today, (Vol. 34, No. 2/4 Februari 1986), hlm. 179.
76
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam
Di era postmodernisme tidak ada lagi konstruksi tetapi dekonstruksi, tidak ada sentral tetapi desentral, terjadi penyebaran-penyebaran. Atau, menurut Lyotard tidak ada homologi (sistem tunggal) tetapi paralogi (sistem plural). "Cerita besar" sebagai grand-narasi yang menjadi meta-narasi mulai pudar digantikan oleh narasi-narasi lokal. Dengan demikian, kebenaran menjadi kontekstual, lokal dan historik. Kedua, peniadaan yang mutlak. Sebagai kelanjutan dari kebenaran pluralistik adalah peniadaan kebenaran mutlak, karena kebenaran selalu dalam konteks dan konteks selalu berubah. Maka postmodernisme meniadakan kebenaran mutlak. Filsafat GWF Hegel (1770-1831) yang mengakui ada Roh Mutlak yang menjadi sasaran tertinggi dialektika pemikiran manusia ditolak oleh postmodernisme. Bagi postmodernisme tidak ada lagi "payung" mutlak yang menaungi segala realitas. Karena, sesuatu yang mutlak adalah sesuatu yang konstan, tidak berubah dengan perubahan konteks, atau dapat dikatakan bahwa sesuatu yang mutlak adalah sesuatu yang "asli", tidak tercemar oleh konteks. Murphy menjelaskan, bahwa: "... postmodern science cannot generate pristine facts, but only ones that are context-bound"..23 (... ilmu pengetahuan postmodernisme tidak dapat menghasilkan fakta-fakta asli melainkan fakta yang terikat-konteks). Dengan demikian kemutlakan menjadi tiada. Dalam dunia Islam, kaum muslimin meyakini al-Qur'an bersumber dari Allah. Dari sisi ini al-Qur'an bersifat mutlak (qath'îy al-wurûd). Tetapi ketika al-Qur'an dicoba dipahami manusia menjadi relatif (zhannîy al-dilâlah). Terdapat sejumlah ayat yang disepakati kemutlakan kandungannya atau disebut qath'iy al-dilalah, seperti perintah yang tegas hukum wajibnya dan larangan yang tegas keharamannya. Tetapi menurut Harun Nasution jumlah ayat yang mengandung kemutlakan makna ganda (zhannîy al-dilâlah) jauh lebih banyak dalam al-Qur'an.24 Mohammed Arkoum yang dikenal sebagai postmodernis Islam mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan sebuah mitos karena memuat makna-makna simbolik, bukan mitos seperti yang lazim dipahami se23Murphy,
Cultural Manifestation, hlm.349. Harun Nasution, "Metode Berpikir Keislaman", dalam Kajian Islam Tentang Berbagai Masalah Kontemporer (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988), hlm. 21-22. 24Lihat
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
77
Achmad Reyadi AR
bagai dongengan. Sebagai sebuah mitos, al-Qur'an tidak hanya memuat satu makna, tetapi beragam makna yang dapat ditarik dari padanya,25 tentunya juga bersifat kontekstual. Dalam perspektif postmodernisme, ajaran Islam tidak dipandang mutlak keseluruhan, atau dapat dirumuskan dalam kalimat singkat bahwa: "Islam abstrak itu tunggal, Islam konkret banyak". Islam konkret membumi dalam berbagai kawasan, wilayah atau region yang memperlihatkan corak dan versi yang berbeda. Ketiga, ilmu tidak netral. Postmodernisme cenderung pada pandangan bahwa ilmu pengetahuan tidak netral melainkan selalu memihak pada nilai, sarat nilai (value-bound). Pendapat yang relevan dengan hal tersebut adalah pendapat Jurgen Habermasn, seorang tokoh kontemporer mazhab Frankfurt Jerman yang dikenal sebagai aliran kritik sosial. Menurut Hubermans, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai karena setiap produk ilmu terlebih dahulu ditetapkan secara normatif. Karena itu, ilmu pengetahuan selalu dibungkus oleh kepentingankepentingan yang dengan sendirinya tidak netral. Tidak ada fakta yang ditangkap yang benar-benar murni, tetapi selalu dibungkus oleh kepentingan-kepentingan oleh pengamat fakta itu.26 Tetapi, masih timbul berbagai keberatan atas pandangan Habermans tersebut bila dilihat pada kenyataan, bahwa hasil temuan ilmiah dapat dimanfaatkan untuk kebaikan atau keburukan (bebas nilai). Kami cenderung, bahwa ilmu-ilmu alam bebas nilai karena alam adalah benda mati dapat digunakan untuk apa saja, baik atau buruk. Ilmu-ilmu sosial bisa bebas nilai bisa juga terikat nilai tergantung pada metode pendekatannya. Bila kita menggunakan pendekatan positivistik akan menghasilkan ilmu bebas nilai, karena dalam pendekatan ini lebih melihat hubungan kausal suatu fakta kemudian melakukan kuantifikasi-kuantifikasi atas fakta itu. Bila menggunakan pendekatan fenomenologi transendental akan menghasilkan ilmu padat nilai, karena fenomenologi melakukan pemaknaan-pemaknaan atas fakta. Pemaknaan dapat lahir dari weltanschauung, pandangan filosofis atau 25Johan
Hendrik Meuleman, "Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammad Arkoum", dalam Ulumul Qur'an, (No. 4, Vol. IV, April 1993), hlm. 99. 26Frans Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 200-201.
78
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam
keagamaan. Adapun ilmu-ilmu humaniora misalnya: sastra, seni, etika, teologi, filsafat agama dan politik secara substansial memang mengandung nilai-nilai tertentu, sehingga tidak netral. Jadi, klaim postmodernisme bahwa ilmu bebas nilai masih menghadapi berbagai keberatan dari berbagai kalangan. Keempat, pencarian makna-makna; implikasi Spritualisme. Salah satu lagi ciri postmodernisme adalah tidak menjadikan rasio sebagai hakim segalanya. Rasio hanya salah satu tangga kebenaran sesudah empiri. Kebenaran tertinggi ditangkap secara intuitif. Demikian pendapat seorang tokoh postmodernis, Henri Bergson. Intuisi menangkap makna-makna dunia yang tidak ditangkap oleh rasio kuantitatif dan eksak. Intuisi menangkap kaulitas-kualitas hidup. Intuisi memberontak terhadap struktur yang memenjara dan mematikan kehidupan. Dalam strukturalisme, manusia berpikir, bersikap dan berkelakuan sesuai apa yang didiktekan oleh struktur terhadapnya. Manusia akhirnya hidup dalam kejenuhan. Rutinitas yang disajikan oleh struktur menyebabkan manusia menjadi robot hampa, tidak bermakna. Tesis tersebut di atas mengimplikasikan lahirnya kecenderungan spritualisme. Spritualisme di Barat telah muncul selama berabad-abad, antara lain dari pemikiran Pascal dan Montaigne di abad ke-16/17. Di awal abad ke-20 dikembangkan kembali oleh sejumlah pemikir seperti: Octave Hamelin, Lavelle dan Le Senne dan berbagai tokoh lainnya. Spritualisme mereka ini mengakui realitas benda material tetapi dalam taraf rendah. Roh merupakan tujuan tertinggi. Spritualisme dengan konsep ontologik semacam itu tertekan oleh kemajuan modernisme. Akan tetapi kini muncul lagi kecenderungan spritualisme itu. Dalam tampilannya dalam masyarakat Barat, muncul spritualisme tanpa ikatan agama (spriritualism without organized religion) yang hanya diakarkan pada pandangan filosofis. John Naisbitt dan Patricia Aburdene melihat peranan agama formal akan menurun dan digantikan oleh spritualisme. Dengan demikian akan muncul manusia "tak beragama" tetapi "berkerohanian". Seyyed Hossein Nasr sebaliknya melihat bahwa spritualitas tanpa agama adalah utopis. Ia melihat bahwa spritualitas yang didominasi oleh agama di masa lalu akan
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
79
Achmad Reyadi AR
tampil di masa akan datang. Jadi, agama masa akan datang adalah agama masa lalu dan masa kini.27 Kecenderungan seperti di atas perlu diantisipasi oleh generasi muslim masa kini. Hal yang perlu adalah menampilkan Islam tidak dalam bentuk apologik atau hanya dalam bentuk formal yang normatif semata, tetapi bagaimana menampilkan Islam sehingga manusia merasakannya sebagai "air sejuk" untuk penyegar di tengahtengah kekeringan spritual. Pandangan Islam Berikut ini dikemukakan beberapa pandangan Islam terhadap postmodernisme. Pertama, Islam setuju dengan postmodernisme yang mengeritik modernisme, karena modernisme terlalu mendewakan rasio. Dalam pandangan Islam, akal merupakan instrumen yang diberikan Allah kepada manusia untuk digunakan dalam kehidupan manusia. Akal adalah salah satu hidayah Allah yang menjadi obor penerang dalam kehidupan manusia (selain hidayah agama).28 Akal bekerja sama dengan empiri menghasilkan ilmu pengetahuan. Akan tetapi Islam tidak menempatkan akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan pengetahuan. Islam mengakui intuisi batin (al-qalb) sabagai salah satu fakultas batin manusia yang mampu memahami realitas. Dalam alQur’an dijelaskan yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan (untuk isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (al-qalb) tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Alla) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakannya untuk melihat (tandatanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakannya untuk mendengat (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti hewan ternak bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Q.S. al-A’raf : 179).”29 Ayat tersebut menunjukkan bahwa dengan pengetahuan akal semata, manusia belum dapat memahami realitas sepenuhnya, melain27"Tradisionalisme
Nasr: Exposisi dan Refleksi" (Wawancara) dalam Ulumul Qur'an, (No. 4, Vol. IV, April 1993), hlm. 109. 28M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 103. 29Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005), hlm. 175.
80
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam
kan hanya pada “sisi luar” atau “fakta eksternal” pada realitas itu. Yang mampu memahami “sisi dalam” yakni “sisi spiritual” akan fakta itu adalah intuisi batin (al-qalb). Al-Qalb berperan memaknai produk ilmu yang dihasilkan oleh akal dengan makna-makna keagamaan dan nilai-nilai yang mampu membangun pribadi manusia yang luhur. Dengan prinsip ilmu “bebas nilai” (value free),30 sehingga ilmu dapat digunakan untuk kebaikan ataupun keburukan, ditolak oleh ajaran Islam dan posmodern. Dalam pandangan Islam ilmu itu adalah cahaya yang bisa memberikan obor penerang kepada manusia untuk kebaikan, bukan sebaliknya pada keburukan. Akan tetapi kelemahan posmodern adalah mengecilkan peranan rasio itu. Islam menghendaki keselarasan dalam pemakaian empiri, rasio dan intuisi batin. Ketiganya diintegrasikan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang padat nilai. Kedua. Postmodernisme tampil membela agama atas keprihatinannya melihat wacana keagamaan hanya sebagai wacana meta-narasi (cerita abstrak) dan terjebak dalam ortodoksi (mempertahankan tradisi metafisis) dengan menomorduakan ortopraksis. Posmodern ingin melihat agama benar-benar membumi sehingga diperlukan kerangka berpikir konkrit dalam merefleksikan pemikiran keagamaan. Pandangan ini pun disetujui oleh Islam. Ketiga. Di era posmodern kecenderungan pada mazhab dan aliran keagamaan mulai merosot. Pemikiran dan penghayatan keagamaan tidak lagi berada di bawah otoritas mazahab dan aliran keagamaan, tetapi mulai menjurus ke pemikiran kreatif individu-individu.31 Pandangan ini didukung oleh Islam apabila mazhab keagamaan itu menjurus kepada perpecahan umat Islam. Islam menghendaki keutuhan umatnya sebagai kondisi yang wajib dipertahankan demi stabilitas bangsa. Keempat. Posmodern memutlakkan kebenaran plural yang membawa pada relativisme kebenaran. Islam tidak menerima pandangan tersebut sepenuhnya. Islam mengakui kebenaran tunggal pada nash-
30Akbar
S Ahmed, Postmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, terj. M. Sirozi (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 27. 31Ahmad Baharuddin, “Agama Dalam Era Posmodern”, dalam Surya (5 Maret 1993), hlm. 6.
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
81
Achmad Reyadi AR
nash al-Qur’an yang qath’îy al-dilâlah, dan kebenaran plural pada nashnash yang zhannîy al-dilâlah. Implikasi Postmodernisme terhadap Pendidikan Islam Munculnya postmodernisme membawa harapan baru sekaligus menjadi tantangan bagi pendidikan Islam. Harapan bagi pendidikan Islam adalah bahwa di era posmodern akan terjadi kesemarakan kehidupan keagamaan.32 Seorang futurolog posmodern, Pattricia Aburdene menyatakan bahwa abad ke-21 adalah abad agama (the age of religion). Hal tersebut disebabkan karena slogan “surga dunia” yang dijanjikan oleh modernisme dua abad yang lalu ternyata tidak terwujud. Akibat pengaruh kehidupan masa kini yang penuh dengan suasana kesibukan dengan memunculkan situasi kompetitif, pengejaran prestasi secara progresif menyebabkan manusia menjadi letih. Di tengah keletihan manusia itu, ia memerlukan “air sejuk” dari nilai-nilai keagamaan untuk menyiram pikiran dan rohani manusia. Masyarakat sekarang ini memerlukan siraman rohani ditandai dengan partisipasi aktif mereka membangun mesjid-mesjid dalam jumlah yang banyak dengan bangunan yang megah. Mereka mendambakan kedatangan para rohaniwan untuk menyejukkan hati mereka dengan nilai-nilai ajaran agama. Akan tetapi, meskipun dikatakan bahwa di era posmodern memberi harapan bagi kehidupan keagamaan, akan tetapi era posmodern yang berjalan bersama dengan globalisasi dengan teknologi informasi yang canggih memunculkan perbenturan nilai dalam kehidupan masyarakat. Dalam perbenturan nilai itu, tentu ada nilai yang unggul dan ada nilai yang tersisih. Keunggulan suatu nilai (nilai agama, budaya dan sebagainya), bukan ditentukan oleh benar salahnya nilai itu, tetapi ditentukan oleh bagaimana menampilkan nilai itu dalam bentuk sajian atraktif yang bisa memukau dan mempengaruhi opini masyarakat. Nilai-nilai yang bermuatan kebenaran (al-haq) tetapi tidak dikemas dengan baik untuk disajikan kepada masyarakat, maka nilai itu akan diketepikan oleh masyarakat. Ini merupakan tantangan bagi pendidi32Arifin
Syamsul, dan Ahmad Barizi, Paradigama Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi : Rekonstruksi dan Aktualisasi Tradisi Ikhtilaf dalam Islam (Malang: UMM Press, 2001), hlm. 2.
82
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam
kan Islam; bagaimana pendidikan Islam melakukan inovasi dalam pemakaian metode dan media yang efektif dan kompetitif. Oleh karena itu, di era posmodern ini, ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam pendidikan Islam, yakni: 1. Metode penanaman nilai-nilai Islam yang kompetitif dalam berhadapan dengan aktivitas informasi lainnya. 2. Materi pendidikan Islam yang integral yakni pada jasmani-rohani, pada ibadah mu’amalah, pada individu-sosial dan pada teoripraktik (keterampilan). Ilmu Pendidikan Islam perlu lebih banyak melakukan studi interdisipliner dengan ilmu-ilmu lain untuk menambah wawasan keilmuan pendidikan Islam. Bila Ilmu Pendidikan Islam hanya dibenahi dalam soal teknik operasional, dengan mengabaikan pembenahan teoritik ilmiahnya, maka kegiatan operasional pendidikan Islam akhirnya akan kewalahan karena kehabisan “energi” di tengah jalan akibat kurangnya stok teoritik ilmiah. Pembenahan teoritik ilmiah dengan konstruksi Ilmu Pendidikan Islam yang solid (kokoh) akan berperan sebagai “sumber mata air” yang selalu memberikan energi kreatif dan arahan-arahan teoritis bagi pelaksanaan operasional pendidikan Islam yang sesuai dengan kebutuhan zaman.33 Penutup Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa postmodern muncul memberikan koreksi-koreksi sistematis terhadap era modern. Pandangan dunia (weltanschauung) modernisme yang mendewakan rasio, pengabsahan kebenaran tunggal yang diklaim oleh Barat, kemajuan sains dan teknologi yang kadang-kadang justru menyengsarakan manusia serta pandangan antroposentrisme, kesemuanya mulai dipertanyakan. Kini posmodern menawarkan alternatif lain yang selama ini sering diabaikan oleh manusia, yakni nilai-nilai kehidupan yang tidak sepenuhnya tegak di atas landasan rasio, yakni tradisi sosial, adat istiadat dan nilai-nilai keagamaan. Penghargaan terhadap tradisi sosial, adat istiadat dan keagamaan memberikan harapan bagi pe33Ismail
SM dkk, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 65.
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
83
Achmad Reyadi AR
ngembangan nilai-nilai yang bisa membangun kemanusiaan manusia yang suci. Akan tetapi, keberadaan postmodernisme masih perlu diwaspadai karena berjalan bersama dengan era globalisasi yang memunculnya perbenturan nilai. Antisipasi pendidikan Islam di tengah perbenturan nilai itu, dilakukan dengan pembenahan-pembenahan dalam berbagai segi, baik pada segi pelaksanaan pendidikan Islam, maupun segi teoritik Ilmu Pendidikan Islam. Sebagai akhir kata uraian ini adalah bahwa postmodernisme tampil dengan alternatif-alternatif baru. Masalahnya adalah apakah alternatif yang ditawarkan itu dipandang sebagai ratu adil penyelamat dan pembebasan kedua? Kami melihat suatu gejala, bahwa di tengah-tengah munculnya kecenderungan postmodernisme, tampil lagi "penjara" baru, yaitu penjara “informasi”. Kini informasi dipandang sebagai kunci sukses. Tetapi dapat diantisipasi bahwa informasi di masa depan dapat lagi menjerat kebebasan manusia. Manusia hanya akan berpikir, bersikap dan berkelakuan berdasarkan tata informasi yang mendiktenya. Karena itu, kaum postmodernis kini perlu mengantisipasi cara menghadapi era informasi di masa depan agar kemanusiaan manusia tidak dirampas oleh arus informasi yang akan semakin deras. Wa Allâh a’lam bi al-Shawâb.*
Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Ahmed, Akbar S. Postmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, terj. M. Sirozi. Bandung: Mizan, 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005. Arifin, Syamsul dan Ahmad Barizi. Paradigama Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi : Rekonstruksi dan Aktualisasi Tradisi Ikhtilaf dalam Islam. Malang: UMM Press, 2001. Awwuy, Tommy F. Problem Filsafat Modern dan Dekontruksi, khusus Bab IV “Dekontruksi terhadap Sejarah Modern”. Jakarta : LSF, 1993.
84
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam
Baharuddin, Ahmad. “Agama dalam Era Posmodern”, Surya. 5 Maret 1993. Defgaauw, Bernard. Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988. Denny J.A. “Merem Postmodernisme”, Jawa Pos, (29 Oktober 1992). Derrida, Jacques. Positions, terj. A. Bass. Chicago: University of Chicago Press, 1981. Heryanto, Ariel. Postmodernisme. Jakarta: Gramedia, 1994. Irwan, Alexander dan Ingris Semaan. "Mempersatukan Struktur", dalam Prisma, (No. 1 Januari 1993). Ismail SM, et.al. Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Kraft,Victor. "Popper and The Vienna Circle", dalam Paul Arthur Schilpp (ed.), The Philosophy of Karl Popper, Book I. La Salle, Illinois: Open Court, 1974. Leoyd, Chirtopher. Explanation in Social History. Oxford: Basil Blackwell, 1988. Levinas, Emmanuel. The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology. Northwestern: University Press, 1973. McKinney, Ronald. “Toward a Resolution of The Modernist/Postmodernist Debate”, dalam Philosophy Today, (Vol. XXX, No. 3, April, 1986). Meuleman, Johan Hendrik. "Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammad Arkoum", dalam Ulumul Qur'an, (No. 4, Vol. IV, April 1993). Muldoon, Mark S. "Henri Bergson and Postmodernism", dalam Philosopy Today, (Vol. 34, No. 2/4 Februari 1986). Murphy, John W. "Cultural Manifestation of Postmodernism", dalam Philosophy Today, (Vol. xxx, No. 4/4 April 1986).
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011
85
Achmad Reyadi AR
Nasution, Harun. "Metode Berpikir Keislaman", dalam Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer. Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988. Natanson, Maurice. "The Lebenwelt", dalam Erwin W. Straus (ed.), Phenomenology Pure and Applied. Pittsburgh: Duquesne University Press, 1964. Nietzsche, Friedrich. Thus Spoke Zarathustra A Book for All and None. New York: Cambridge University Press, 2006. Sindhunata. Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Yogyakarta: Kanisius, 1983. Suseno, Frans Magnis. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992. Suseno, Frans Magnis. Pemikiran Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia, 1999. Tradisionalisme Nasr: Exposisi dan Refleksi" (Wawancara) dalam Ulumul Qur'an, (No. 4, Vol. IV, April 1993).
86
Tadrîs. Volume 6, Nomor 1, Juni 2011