1
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT MELALUI ZAKAT SYAMSUL ARIF
Abstrak Al-Qur’an lewat sebaran ayatnya baik yang bersifat global maupun spesifik mengemukakan bahwa ada tiga pilar yang merupakan sumber ekonomi umat, yaitu SDA, kewajiban bekerja, dan pendistribusian sumber ekonomi secara merata (zakat). Islam sebenarnya telah memberikan kebijaksanaan yang arif dalam pendistribusian dana zakat. Hal ini terlihat dari adanya ayat al-Qur’an yang menerangkan siapa saja yang berhak menerima bagian zakat (QS. At-Taubah: 60). Di samping itu, untuk lebih mengoptimalkan peran zakat, maka perlu ditunjang oleh manajemen pengelolaan yang transparan dan professional serta berlandaskan pada peraturan pemerintah dan prinsip moral Islami. Kata Kunci: Ekonomi, Zakat dan Al-Qur’an A. Pendahuluan Sejarah mencatat bahwa Islam pernah meraih masa-masa kejayaan dan begitu jauh meninggalkan umat-umat lainnya (Barat) yang masih terbelakang. Pencapaian itu dapat dilihat pada bidang pendidikan, sosial maupun ekonomi. Misalnya, pada peristiwa staf Rasulullah SAW yang memungut zakat di Yaman, yaitu Muadz bin Jabal tidak menemukan seorang pun yang berhak menerima zakat (mustahik) yang dipungutnya. Selain itu, khalifah Umar bin Khattab dan khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sukses menghantarkan rakyatnya menikmati kehidupan yang penuh dengan kemakmuran dan kesejahteraan. Hal ini tidak terlepas dari kebijaksanaannya dalam mengatur pendistribusian dana zakat. Ironisnya, kisah indah tersebut tidak dapat lagi disaksikan saat ini apalagi di Indonesia. Sebab selama bertahun-tahun negeri ini terpuruk karena dilanda berbagai permasalahan, termasuk kemiskinan. Fakta telah berbicara bahwa kelompok yang berada di bawah poverty line dari tahun ke tahun terus bertambah. Pada tahun 1995 terdapat 27 juta jiwa yang termasuk dalam katagori miskin (lihat Yusuf Qardhawi, 1995:5). Tahun 1998 jumlahnya membengkak menjadi 80 juta jiwa (lihat Agus Ahmad Safei, 2001: 35). Berbagai cara telah diupayakan untuk
2
menanggulangi masalah tersebut, namun hasilnya tetap nihil. Angka kemiskinan jumlahnya semakin tidak terbendung. Agus Ahmad Safei dan Nanih Machendrawaty (2001: 41) menyatakan bahwa Islam adalah agama pemberdayaan. Islam menawarkan sebuah solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan yang demikian melekat pada masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Dengan terlebih dahulu menggali kembali sumber-sumber daya ekonomi umat, di antaranya zakat. Sangat jelas, konsep ekonomi yang dikemukakan al-Qur’an adalah bahwa kesejahteraan ekonomi merupakan alat penting bagi manusia untuk memperoleh kesejahteraan secara total. Artinya kesejahteraan tidak hanya bersifat fisik dan material semata, namun juga bersifat psikis dan eskatologis (akhirat). Sengaja dalam tulisan ini, penulis membatasi diri pada segmen zakat sebagai alternatif dalam pemberdayaan ekonomi umat. Menurut hemat penulis, zakat memiliki potensi yang sangat besar untuk membangun perekonomian umat Islam. Karenanya zakat tidak hanya dipahami untuk menggugurkan kewajiban saja, tetapi zakat juga berperan aktif dalam mengentaskan kemiskinan. Namun sungguh sayang, di tingkat kultural dan institusional, badan amil zakat, infaq, dan shadaqah (BAZIS) yang dibentuk pemerintah tidak berhasil mendapat kepercayaan masyarakat. Padahal, soal pengelolaan zakat selalu berpangkal pada kepercayaan publik. Mereka masih khawatir jika dana zakat yang mereka berikan dikorupsi atau dikelola bukan untuk kaum miskin. Publik lebih suka menyalurkan zakat langsung kepada individu atau lembaga zakat swasta. Tidak mengherankan jika BAZIS yang dibentuk pemerintah kalah bersaing dengan lembaga zakat swasta yang relatif dan modern, akuntabel dan dipercaya. Untuk mencapai cita-cita keadilan sosial, zakat harus dikelola dengan baik dan menggunakan sistem yang akuntabel. Sayang, pengelolaan zakat masih berkutat dalam bentuk-bentuk konsumtif-karikatif yang tidak menimbulkan dampak sosial berarti. Zakat hanya diberikan langsung oleh muzakki kepada mustahik sehingga zakat tidak menjadi sistem sosial yang mampu melakukan transformasi sosial. Bahkan pembagian zakat justru sering menimbulkan malapetaka kemanusiaan. Karena itu, pada praktiknya dana zakat yang begitu
3
fantastis masih tidak mampu berperan secara optimal untuk memberantas kemiskinan. Maka pertanyaannya, bagaimana mengoptimalkan zakat sebagai pemberdaya ekonomi umat?
B. PEMBAHASAN 1. Islam dan Kemiskinan: Antara Cita dan Realita Realitas kemiskinan merupakan fenomena ketidakberdayaan masyarakat yang berkaitan erat dengan faktor-faktor struktural dan kultural. Kemiskinan struktural biasanya diakibatkan oleh beberapa struktur yang berada dalam masyarakat tidak seimbang. Misalnya transisi, feodalisme, kapitalisme, dan perubahan teknologi yang begitu cepat. Kemiskinan ini juga disebut kemiskinan buatan karena adanya sikap pasrah disertai pandangan bahwa kemiskinan sudah menjadi takdir Tuhan. Akhirnya kemiskinan saat ini sudah menjadi sebuah budaya (cultural of poperty). Bahkan telah menjadi way of life yang diturunkan secara turun- temurun oleh keluarga miskin. Selain itu, kemiskinan juga bisa disebabkan karena malas bekerja,
terbatasnya
SDA
dan
SDM,
rendahnya
pendidikan
dan
ketidakseimbangan dalam memeperoleh atau pemakaian SDA. Kemiskinan bukan sesuatu yang berhenti pada angka statistik yang naik dan turun sesuai survei. Kemiskinan adalah sebuah realitas sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang serius diderita dan dirasakan sebagian masyarakat. Tidak mengherankan jika ada orang kaya membagikan zakat, ratusan hingga ribuan orang rela mengantre guna mendapatkannya, bahkan sampai ada yang meninggal. Anehnya, kemiskinan yang merajalela dan membelenggu itu banyak dipelihara elite ekonomi dan politik. Orang kaya yang memberi zakat uang tunai hampir setiap tahun adalah contoh pemeliharaan kemiskinan. Ia tidak beda dengan sinterklas yang membagi-bagi hadiah seakan setelah itu problem kemiskinan selesai. Padahal lebih baik memberi mereka modal untuk bekerja atau diberi pinjaman lunak untuk membuka usaha. Untuk memuseumkan kemiskinan, perlu direnungkan kembali fungsi utama agama (Islam). Kehadiran agama sejatinya bukan hanya sebagai obat
4
penenang manusia saat dilanda kesedihan atau kegagalan. Agama berfungsi membebaskan manusia dari ketertindasan sosial yang dilakukan sesamanya. Hampir semua tokoh agama sejak awal mengabarkan perdamaian, kesejahteraan, keadilan sosial, dan bertekad menolong orang miskin dan tertindas. Dalam tataran praktis dan teoritits, ini amat terkait dengan teologi pembebasan yang diperkenalkan Gustavo Guiterrez. Menurutnya, teologi pembebasan mempunyai dua institusi penting. Pertama, teologi pembebasan sejak awal diciptakan sebagai komitmen aktif yang hadir untuk pembebasan. Teologi adalah refleksi kritis atas dan dari dalam praksis historis, serta praksis historis teologi pembebasan adalah menerima dan menghidupkan firman Tuhan melalui iman. Kedua, dalam teologi pembebasan, sebenarnya Tuhan adalah Tuhan yang membebaskan. Dan ini hanya bisa diungkapkan dalam konteks sejarah yang nyata tentang pembebasan terhadap orang miskin dan orang tertindas. Maka jika teologi harus berhubungan dengan praksis historis yang nyata, aksi konkretnya adalah membela orang miskin. Ini tidak hanya dijadikan bentuk refleksi, tetapi adalah subjek historis atas praksis teologi. Jelas bahwa sejatinya agama bisa menjadi kekuatan penting dalam melakukan langkah nyata mengakhiri kemiskinan jika teologi yang dianut adalah teologi pembebasan. Orang miskin yang selama ini menjadi objek dalam politik, dan sering dikeluarkan dari lembar sejarah serta objek pembagian uang zakat, harus diberi harapan kemajuan dan ruang untuk berbicara. Selain itu, perlu dicontoh pengalaman Muhammad Yunus di Bangladesh dengan program Grameen Bank. Keberhasilannya untuk memeuseumkan kemiskinan membutuhkan kesabaran, keseriusan dan tanpa pamrih politik. Dengan membangkitkan kepercayaan diri dan menjadikan orang miskin mampu mengerahkan segenap sumber daya dan modal yang dimilikinya. Tentu saja struktur ketimpangan sosial dan politik serta kebijakan pemerintah yang tidak memihak orang miskin harus diakhiri. Elite politik jangan hanya gemar perang wacana angka kemiskinan, tetapi sama sekali tidak melakukan aksi nyata (http://www.keadiansosial.wordpress.com).
5
2. Perspektif Al-Qur’an tentang Sumber Daya Ekonomi Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang primer sebenarnya sudah sejak dini memberikan penjelasan mengenai sumber-sumber daya ekonomi umat. Al-Qur’an lewat sebaran ayatnya baik yang bersifat global maupun spesifik mengemukakan bahwa ada tiga pilar yang merupakan sumber ekonomi umat, yaitu: a. Sumber Daya Alam Alam merupakan karunia Allah bagi umat manusia. Jika direnungkan, sesungguhnya banyak ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk mendayagunakan potensi yang dimiliki alam dan berusaha meransang akal untuk mengeksplorasi kekayaan alam yang diantaranya berupa:
Tumbuh-tumbuhan Setidaknya ada sekitar 200 ayat al-Qur’an (salah satunya dalam QS. AlAn’am: 142) yang menyinggung masalah botani (ilmu tumbuh-tumbuhan) yang menunjukkan betapa urgen sektor tersebut. Ilmu botani sangat bermanfaat dalam kehidupan manusia, karena di samping berguna dari segi ekonomi, juga memiliki latar belakang teologi. Sebab kehadiran tumbuhan itu sendiri merupakan bukti adanya Allah, zat yang maha kuasa (Kaelany HD, 2000: 198-199).
Air Air merupakan kebutuhan yang paling esensial dalam kehidupan manusia, karena manfaatnya yang begitu kompleks. Dari penggunaan yang paling kecil (minum, mencuci, mandi, dan memasak) hingga penggunaan untuk pertanian dan pembangkit listrik. Air laut pun dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk jalur transportasi antar pulau atau benua. Selain itu, air laut juga dapat dibuat garam dan tempat mencari ikan serta menyimpan kekayaan yang luar biasa (QS. AnNahl:14).
6
Bahan tambang Ayat al-Qur’an yang secaara jelas mengemukakan tentang pertambangan dapat ditemui dalam QS. Al-Hadid: 25. Dengan isyarat inilah para sarjana muslim pada abad pertengahan terdorong untuk menyusun karangan dalam bidang mineralogi, di antaranya Jabir Al-Kindi. Bahkan Ibnu Sina yang populer disebut sebagai Bapak Kedokteran sempat menulis tentang pegunungan, bebatuan dan barang tambang. Akhirnya buku tersebut dipercaya sebagai pembuka jalan dalam sejarah geologi (Kaelany HD, 2000: 203).
Kewajiban Bekerja Tidak ada suatu agama pun yang mewajibkan bekerja sebagaimana Islam mewajibkan kepada para pemeluknya (QS. At-Taubah: 105). Islam membenci orang yang bersifat nonproduktif dan hidup sebagai parasit yang menyandarkan hidupnya kepada orang lain. Teori peuparisme seharusnya tidak lagi tumbuh dalam Islam. Meskipun ajaran tentang zuhud itu memang ada, tetapi banyak disalah-artikan oleh sebagian kaum muslim. Mereka berasumsi bahwa dunia adalah bangkai dan barangsiapa yang menyukainya, laksana anjing yang memakan bangkai. Interpretasi yang salah ini telah membuat umat Islam mengalami berbagai kemunduran, terutama di bidang ekonomi. Padahal ajaran zuhud dalam Islam berarti menyucikan diri dari nafsu harta dan kebendaan, tanpa mereduksi aktivitas dalam perjuangan mencari penghidupan (Abdullah Zaky Al-Kaaf, 2002: 83). Yusuf Qardhawi (1995: 51) berpendapat bahwa bekerja merupakan faktor utama untuk memperoleh penghasilan dan senjata pertama untuk memerangi kemiskinan serta unsur penting untuk memakmurkan bumi. Bukankah manusia sebagai khalifah di bumi diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi, sebagaimana nasehat Nabi Saleh AS kepada kaumnya yang diabadikan dalam QS. Hud: 61 berikut: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah mnciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.”
7
b. Pendistribusian Sumber-Sumber Ekonomi Secara Merata Tatanan dunia saat ini memang jauh dari ideal. 18% penduduk dunia menguasai 80% SDA (Tariq Ramadhan, 2003: 419). Hal ini menunjukkan tidak meratanya sumber daya ekonomi karena hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Mengantisipasi hal tersebut, maka al-Qur’an mengeluarkan konsep keadilan dalam bidang ekonomi (QS. Al-Hasyar: 7). Pada prinsipnya, harta itu tidak boleh terpusat pada golongan aghniya saja. Sebab jika terjadi pemusatan kekayaan, maka akan menimbulkan disparitas dalam bidang ekonomi dan sosial (Didin Hafidhuddin, 1998: 216). Al-Qur’an seringkali mengecam orang yang menikmati hartanya hanya untuk diri sendiri, sehingga mengabaikan nasib dhu‟afa (QS.Al-Ma’un: 1-3). Dan juga memberikan ultimatum yang sangat tegas bagi para penimbun harta yang tidak menafkahkannya di jalan Allah, sebagaimana dalam QS. At-Taubah: 34-35 berikut: “…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih. (Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka: inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” Konsep pendistribusian sumber daya ekonomi dalam al-Qur’an sangat bertolak belakang dengan prinsip distribusi kapitalisme dan sosialisme. Dalam negara kapitalis, distribusi sumber ekonomi hanya bertumpu pada kepentingan kaum elite saja. Sedangkan dalam negara sosialis, distribusi sumber daya ekonomi dikendalikan oleh negara, dan hak kepemilikan individu sama sekali tidak diakui. Tatanan dan filsafat pendistribusian dalam Islam berbeda dengan kedua sistem tersebut, karena Islam mengakui hak kepemilikan individu tanpa melupakan hak mustadh‟afin. Bukti konkretnya, Islam mensyariatkan kewajiban berzakat kepada pemeluknya yang memiliki harta berlebih.
8
Sementara itu, menurut Zainal Arifin (dalam An-Nahdhah: Jurnal Pendidikan dan Hukum, 2010: 130) di antara cara pendistribusian sumber daya ekonomi atau pembelanjaan harta kepada masyarakat umum antara lain dengan jalan infaq, shadaqah, zakat, wakaf, hibah, qurban dan pajak.
3. Zakat: Sebuah Alternatif dalam Memberdayakan Ekonomi Umat a. Filosofi Zakat Zakat merupakan salah satu sendi pokok ajaran Islam yang berkaitan dengan harta benda. Bahkan al-Qur’an menjadikan shalat dan zakat sebagai lambang dari keseluruhan ajaran Islam sebagaimana dalam QS. At-Taubah: 11: “apabila mereka kaum musyrik bertobat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudara seagama…” Seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat zakat dituntut untuk menunaikannya (QS. At-Taubah: 103). Agama menetapkan „amilin di samping menetapkan sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap mereka yang enggan. Zakat diwajibkan terhadap manusia karena tiga landasan filosofis (Quraish Shihab, 1994: 323), yaitu: istikhlaf (penugasan sebagai khalifah di bumi), solidaritas sosial, dan persaudaraan.
b. Optimalisasi Pengelolaan Zakat: Sebuah Solusi Sebenarnya bagi penganut teori fungsionalis dari stratifikasi (dipelopori oleh Davis), ditemukan bahwa kemiskinan memiliki empat fungsi, antara lain: fungsi ekonomi. Kemiskinan dapat mendorong timbulnya penyediaan lapangan pekerjaan, adanya kaum pekerja kasar dan pemanfaatan barang bekas oleh para pemulung. fungsi sosial. Kemiskinan juga dapat menimbulkan altruisme (kebaikan spontan) orang kaya terhadap orang miskin dan menyebabkan berdirinya badan amal. fungsi kultural. Menjadi inspirasi bagi para sastrawan untuk melahirkan suatu karya yang memberikan gambaran kehidupan kaum dhu‟afa. Kemiskinan juga dapat membentuk budaya saling mengayomi di antara masyarakat. fungsi politik. Menstimulus para teknokrat dalam membuat kebijakan yang berpihak pada kelompok marginal ini.
9
Ternyata jika diperhatikan secara seksama, ajaran Islam sangat relevan dengan sejumlah fungsi di atas. Islam memandang bahwa kemiskinan dan keterbelakangan umat adalah tanggung jawab umat Islam seluruhnya (fungsi sosial dan kultural). Al-Qur’an menjelaskan bahwa kemiskinan bukanlah sematamata diakibatkan oleh kemalasan individual, melainkan disebabkan adanya kelompok yang memakan kekayaan alam dengan rakus dan mencintainya secara berlebihan. Akibatnya, tidak ada usaha untuk membantu kaum lemah (Didin Hafidhuddin, 1998: 216). Sementara orang seringkali melupakan tanggung jawab sosialnya, meskipun telah memiliki kelebihan harta. Maka al-Qur’an mengeluarkan suatu ketetapan agar tanggung jawab tersebut dapat direalisasikan dengan baik. Dalam hal ini, al-Qur’an selain menganjurkan sumbangan sukarela dan menekankan keinsafan pribadi, juga menetapkan kewajiban berzakat. Islam menjadi agama pertama yang mengeluarkan undang-undang jaminan sosial bagi kaum miskin. Dengan perintah zakat, Islam mencoba menimbun jurang pemisah antara si kaya (the have) dengan si miskin (the have not). Menurut Didin Hafidhuddin (2003: 90), zakat merupakan salah satu instrument terpenting dalam pemerataan pendapatan (economic with equity) sebagai langkah awal untuk membangun kesejahteraan umat. Namun, zakat sebagai sumber dana bagi pemberdayaan ekonomi umat, saat ini masih belum mampu mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan SDM. Menurut hemat penulis, akar masalah yang mengganjal zakat untuk berperan secara optimal terletak pada pendistribusian dana zakat dan pendayagunaannya. Islam
sebenarnya
telah
memberikan
kebijaksanaan
yang
arif
dalam
pendistribusian dana zakat. Hal ini terlihat dari adanya ayat al-Qur’an yang menerangkan siapa saja yang berhak menerima bagian zakat (QS. At-Taubah: 60). Diharapkan dengan adanya petunjuk mengenai pendistribusuan dana zakat, maka penyaluran dana zakat hendaknya tepat sasaran. Pendayagunaan zakat juga hendaknya diarahkan kepada hal yang bersifat produktif. Misalnya, untuk memberdayakan ekonomi umat (pemberian modal bagi kaum miskin),
10
peningkatan kualitas SDM (mengadakan kegiatan pelatihan) dan mengadakan program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Zakat termasuk potensi besar yang dimiliki Islam untuk menciptakan keadilan sosial, terutama untuk membantu fakir miskin. Islam sebagai agama universal memiliki mekanisme yang jelas tentang distribusi kekayaan untuk keadilan sosial. Karena dengan membayar zakat, terjadi sirkulasi kekayaan dalam masyarakat. Secara global, potensi zakat cukup besar. Asumsinya, besar zakat yang dapat dikumpulkan adalah 2,5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan asumsi itu, Arab Saudi memiliki potensi zakat hingga 5,4 M dolar A$ (Rp 48,6 trilyun), Turki sekitar 5,7 M dolar A$ (Rp 51,3 trilyun), sedangkan Indonesia sekitar 4,9 M dolar A$ (44,1 trilyun) (http://www.keadilansosial.wordpresscom). Meskipun demikian, fakta menunjukkan kondisi yang amat ironis. Hingga kini belum ada satu negara Islam pun yang mampu mengumpulkan zakat hingga 2,5% dari PDBnya. Padahal jika dikelola dengan baik, efektif dan efisien, zakat dapat diarahkan pada usaha pemerataan ekonomi masyarakat. Masyarakat miskin akan mendapatkan haknya secara baik guna memenuhi kebutuhan dasar. Dengan begitu, zakat akan berfungsi sebagai salah saru instrumen pengentasan masyarakat dari kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Zakat dapat membentuk integrasi sosial serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Pengelolaan zakat yang baik juga dapat berdampak tiga hal bagi muzakki (Quraish Shihab, 2004: 325). Pertama, mengikis habis sifat kikir di dalam jiwa seseorang serta melatihnya memiliki sifat dermawan, dan mengantarnya mensyukuri nikmat Allah. Hingga pada akhirnya ia dapat mensucikan diri dan mengembangkan
kepribadiannya.
Kedua,
menciptakan
ketenangan
dan
ketentraman, bukan hanya kepada muzakki, tapi juga mustahik. Ketiga, mengembangkan harta benda. Pengembangan ini dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi ekonomis-psikologis dan sisi spiritual (QS. Al-Baqarah: 276). Dalam rangka mengelola dan memberdayakan potensi zakat sebagai kekuatan ekonomi masyarakat, keberadaan institusi zakat sebagai lembaga publik di masyarakat menjadi amat penting. Institusi zakat, selain sebagai lembaga di
11
masyarakat, juga sebagai sistem atau mekanisme yang berfungsi mengelola dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat yang bersifat produktif, seperti membuka lapangan kerja atau memberi bantuan modal guna membuka usaha mandiri. Di samping itu, transformasi pengelolaan zakat ke arah yang lebih mensejahterahkan kaum miskin adalah cita-cita bersama untuk menciptakan keadilan sosial. Untuk lebih mengoptimalkan peran zakat, maka perlu ditunjang oleh manajemen pengelolaan yang transparan dan profesional serta berlandaskan pada peraturan pemerintah dan prinsip moral islami. Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah: a. Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat. b. Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal di Tingkat Pusat, Propinsi, dan Kabupatan/Kotamadya. c. Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaqq dan Shadaqah. d. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. e. UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
C. KESIMPULAN Dari uraian di atas, dapat di tarik beberapa kesimpulan, di antaranya: 1. Kemiskinan saat ini sudah menjadi sebuah budaya (cultural of poperty). Bahkan telah menjadi way of life yang diturunkan secara turun-temurun oleh keluarga miskin. Selai itu, kemiskinan juga bisa disebabkan karena malas bekerja, terbatasnya SDA dan SDM, rendahnya pendidikan dan ketidakseimbangan dalam memeperoleh atau pemakaian SDA. 2. Al-Qur’an lewat sebaran ayatnya baik yang bersifat global maupun spesifik mengemukakan bahwa ada tiga pilar yang merupakan sumber
12
ekonomi umat, yaitu SDA, kewajiban bekerja, dan pendistribusian sumber ekonomi secara merata (zakat). 3. Islam sebenarnya telah memberikan kebijaksanaan yang arif dalam pendistribusian dana zakat. Hal ini terlihat dari adanya ayat al-Qur’an yang menerangkan siapa saja yang berhak menerima bagian zakat (QS. AtTaubah: 60). 4. Di samping itu, untuk lebih mengoptimalkan peran zakat, maka perlu ditunjang oleh manajemen pengelolaan yang transparan dan professional serta berlandaskan pada peraturan pemerintah dan prinsip moral islami.
13
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2006, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: Pustaka Agung Harapan. Abdullah Zaky Al-Kaaf, 2002, Ekonomi dalam Perspektif Islam, Bandung: Pustaka Setia. Agus Ahmad Safei, 2001, Manajemen Pengembangan Masyarakat Islam, Bandung: Gerbang Masyarakat Baru Islam Press. Agus Ahmad Safei dan Nanih Machendrawaty, 2001, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi Sampai Tradisi, Bandung: Remaja Rosdakarya. Didin Hafidhuddin, 1998, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Press. _______, 2003, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani Press. Kaelany HD, 2000, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Jakarta: Bumi Aksara. Quraish Shihab, 1994, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan. Tariq Ramadhan, 2003, Menjadi Modern Bersama Islam, (terj. Zubair dan Ilham B. Saenong), Bandung: Mizan. Yusuf Qardhawi, 1995, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Jakarta: Gema Insani Press. An-Nahdhah: Jurnal Pendidikan dan Hukum, 2010, Vol. 4, No. 1. http://www.com.