PEMBERDAYAAN DAN PEMERTAHANAN BAHASA IBU: STUDI KASUS BAHASA TEGAL DALAM KOMUNIKASI GLOBAL
Oleh
SUTJI MULJANI, S.S., M.Hum. NIPY 10452571970
(PBSID-FKIP Universitas Pancasakti Tegal)
SEMINAR NASIONAL SOSIOLINGUISTIK III JURUSAN BSI-FBS UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2006
PEMBERDAYAAN DAN PEMERTAHANAN BAHASA IBU: STUDI KASUS BAHASA TEGAL DALAM KOMUNIKASI GLOBAL Sutji Muljani
ABSTRAK Berkaitan dengan pemberdayaan dan pemertahanan bahasa ibu, UNESCO telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa ibu, termasuk BT, sangatlah penting untuk terus diperingati dalam pengertian dipertahankan pemakaiannya, dan diberdayakan fungsinya. Dalam literatur sosiolinguistik makro, kajian pemertahanan bahasa lazimnya tertuju pada bahasa ibu dalam konteks bilingual antara bahasa ibu dan bahasa etnis sebagai minor language dengan bahasa nasional sebagai mojor language (Alwasilah, 2004).Bahasa Tegal sebagai bahasa daerah merupakan bahasa ibu yang memang perlu untuk dilestarikan, diberdayakan, dan dipertahankan dalam konteks komunikasi global. Selama ini, masyarakat Tegal merasa dan mengaku bahwa bahasa yang mereka gunakan dalam kesehariannya adalah bahasa Jawa (BJ). Padahal, secara sekilas saja, tuturan dalam BT itu sangatlah berbeda dengan BJ ‘universal’ atau BJ pada umumnya. Bila dibandingkan dengan BJ ‘universal’, variasi linguistis yang muncul dapat mengacu pada variasi fonetis, morfologis, sampai pada variasi sintaksis. Variasi fonetis misalnya, terdapat pada pengujaran fonem /e/ pada Bahasa Tegal yang diujarkan dengan [E] dalam geger “gempar” yang diucapkan atau dilafalkan [gEgEr]; pada bahasa Jawa ‘universal’ atau ‘umum’ pengujaran fonem tersebut adalah [e] → e dalam beda ‘tidak sama’. Variasi fonetis pada fonem /e/ ini berdampak misalnya pada pengujaran fonem /g/, dsb. Variasi fonetis juga tampak pada fonem /i/ dan /u/ pada pola tertutup, misalnya pada bentuk getih ‘darah’, pacul ‘cangkul’, dsb. Demikian pula pada fonem /k/ yang menempati posisi akhir sebuah bentuk morfem (baca:kata), misalnya pada bentuk ngetok, ‘memotong’, kothak ‘kotak’, dsb. Jadi, bahasa Tegal memiliki keunikan pada tataran fonetis-fonologis, tataran morfologis, dan tataran sintaktis. Kata Kunci: Bahasa Tegal, komunikasi global
A. Pengantar Tulisan ini bukanlah makalah, tetapi hanyalah sebagai sebuah cetusan hati berdasarkan pemikiran, pengalaman, dan pengamatan sekilas tentang pemakaian bahasa Tegal (BT). Pemikiran ini tentu saja diikuti dengan harapan pemberdayaan dan pemertahanan pemakaian BT dalam konteks komunikasi global sesuai dengan apa yang menjadi inti dari topik seminar nasional ini. Tulisan ini terlilhami ketika penulis mengikuti Kongres Bahasa Tegal 1 dengan tema “Mengangkat Bahasa Tegal di Tengah Pergaulan Bangsa” (3-4 April 2006) di Samudera Room, Bahari Inn, Tegal. Dalam kongres tersebut tercetus ide bahwa pemerintah daerah akan mem-Perdakan bahasa Tegal (BT sebagai BD yang akan diajarkan, sekaligus sebagai bahasa pengantar dalam pelajaran BD di wilayah Tegal. Artinya, Pemerintah Daerah berniat dan akan berusaha untuk memberdayakan dan mempertahankan bahasa Ibu masyarakat Tegal dalam konteks komunikasi. Sebagai orang Tegal asli (Ortegal), yang setiap saat bergaul dan akrab dengan BT, tentu saja sangat bangga dan tersanjung dengan hasil atau putusan kongres tersebut. Meskipun sampai saat ini Perda itu belum ada, saat ini tidak lanjut dari Kongres tersebut sudah mulai tampak dengan sering munculnya pementasan pembacaan puisi-puisi berbahasa Tegal (bahasa tegalan) oleh para sastrawan Tegal maupun para pejabat di wilayah Tegal itu sendiri maupun di wilayah lain, seperti Semarang, Jakarta, dan kota-kota lain. Di samping itu, pentransliteran puisi dari BI ke BT juga sudah banyak dilakukan oleh para sastrawan Tegal, seperti puisinya Rendra yang berjudul “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta” menjadi “Dadiya Siji Tlembuk-Tlembuk Kota Jakarta”. Apa yang menjadi putusan dari kongres tersebut mudah-mudahan tidaklah didasarkan atas rasa keegoisan etnis semata, tetapi benar-benar didasarkan atas rasa tanggung jawab para pemakai BT untuk
memberdayakan dan mempertahankan bahasa daerahnya dalam konteks perkembangan dan pembinaan BI. Jika upaya pemerintah daerah menjadikan BT sebagai bahasa pengantar sekaligus sebagai BD yang diajarkan diwilayah Tegal, maka bagaimanakah pemberdayaan dan pemertahanannya
sehingga
BT
diharapkan
dapat
mendukung
perkembangan BI dalam konteks komunikasi global? Pertanyaan inilah yang terus menjadi pertanyaan dalam benak penulis.
B. Eksistensi Bahasa Tegal Berkaitan dengan pemberdayaan dan pemertahanan bahasa ibu, UNESCO telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa ibu, termasuk BT, sangatlah penting untuk terus diperingati dalam pengertian dipertahankan pemakaiannya,
dan
diberdayakan
fungsinya.
Dalam
literatur
sosiolinguistik makro, kajian pemertahanan bahasa lazimnya tertuju pada bahasa ibu dalam konteks bilingual antara bahasa ibu dan bahasa etnis sebagai minor language dengan bahasa nasional sebagai mojor language (Alwasilah, 2004). Bahasa Tegal sebagai bahasa daerah merupakan bahasa ibu yang memang perlu untuk dilestarikan, diberdayakan, dan dipertahankan dalam konteks komunikasi global. Selama ini, masyarakat Tegal merasa dan mengaku bahwa bahasa yang mereka gunakan dalam kesehariannya adalah bahasa Jawa (BJ). Padahal, secara sekilas saja, tuturan dalam BT itu sangatlah berbeda dengan BJ ‘universal’ atau BJ pada umumnya. Bila dibandingkan dengan BJ ‘universal’, variasi linguistis yang muncul dapat mengacu pada variasi fonetis, morfologis, sampai pada variasi sintaksis. Variasi fonetis misalnya, terdapat pada pengujaran fonem /e/ pada Bahasa Tegal yang diujarkan dengan [E] dalam geger “gempar” yang diucapkan atau dilafalkan
[gEgEr]; pada bahasa Jawa ‘universal’ atau ‘umum’
pengujaran fonem tersebut adalah [e] → e dalam beda ‘tidak sama’. Variasi fonetis pada fonem /e/ ini berdampak misalnya pada pengujaran
fonem /g/, dsb. Variasi fonetis juga tampak pada fonem /i/ dan /u/ pada pola tertutup, misalnya pada bentuk getih ‘darah’, pacul ‘cangkul’, dsb. Demikian pula pada fonem /k/ yang menempati posisi akhir sebuah bentuk morfem (baca:kata), misalnya pada bentuk ngetok, ‘memotong’, kothak ‘kotak’, dsb. Variasi fonetis misalnya terdapat pada bentuk golek ‘mencari’ dengan golet ‘mencari’, dsb. Adapun variasi morfologis, antara lain mengacu pada unsur morfemnya, misal pada bahasa Jawa ‘universal’ / umum {-ake} pada dialek Tegal {-aken}. Contoh digawakake ‘dibawakan’ = digawakaken ‘dibawakan’, dsb. Pada tataran sintaksis, misalnya pada bentuk: Bukumu takgawa. ‘Bukumu kubawa’. = Bukune kowen takgawa enyong. ‘Bukumu kubawa’, dsb. Bertolak pada kenyataan sebagaimana terurai di depan, pertanyaan yang muncul adalah: “Bahasa Jawa yang manakah bahasa keseharian masyarakat Tegal?” Istilah ‘universal’senagaja saya pergunakan di sini dengan pertimbangan kebakuan bahasa Jawa hingga saat ini masih dipertanyakan. Memang pernah pada waktu itu masyarakat menganggap bahwa bahasa Jawa Solo – Jogja representatif mewakili bahasa Jawa baku. Namun giliran para ahli meneliti tentang keberadaan bahasa-bahasa tersebut (baca: bahasa Jawa Solo – Jogja), ternyata bahasa-bahasa itu termasuk bagian dari bahasa Jawa (baca: dialek). “Bahasa Jawa mempunyai 4 dialek dan 13 subdialek. Dialek-dialek itu adalah: Banyumas, Pesisir Utara, Surakarta, dan Jawa Timur. Adapun subdialek-subdialek itu meliputi: Purwokerto, Kebumen, Pemalang, Banten Utara, Tegal, Semarang, Rembang, Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Surabaya dan Banyuwangi.” (Uhlenbeck, 1972:75). Pernyataan Uhlenbeck tentang hasil penelitiannya di samping dengan tegas menyatakan bahwa bahasa Jawa Surakarta merupakan varian bahasa Jawa (baca : dialek) juga sama dengan bahasa Jawa Jogjakarta, ialah subdialek bahasa Jawa. Oleh karena itu, semestinya anggapan bahwa
bahasa Jawa Solo-Jogja merupakan bahasa baku bahasa Jawa gugur atau terpatahkan. Keberadaan dialek bahasa Jawa sebagaimana tersebut di depan pernah dipertegas melalui penelitian antara lain oleh Irawan Haryo Gunadi (1985, Geografi Dialek Bahasa Jawa Tegal). Mukidi Adisumarto, dkk. (1987, Geografi Dialek Bahasa Jawa Solo), Raminah Baribin (1987, Geografi Dialek Bahasa Jawa Pekalongan). Penelitian yang bertolak pada teori Ayatrohaaedi (1983) sampai pada simpulan bahwa bahasa-bahasa tersebut memenuhi kriteria sebagai Dialek Jawa. Pembahasan makalah ini bertolak pada fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi dengan pendekatan teori dialektologi, yang memandang perbedaan yang ada dipandang sebagai variasi linguistis (unsur kebahasaan). Selanjutnya dalam fungsinya sebagai sarana komunikasi, bahasa, atau bukan pula baik buruknya sebuah dialek di antara dialek lainnya. “Dalam studi dialek, memandang bahasa dalam kesamaan fungsinya, yaitu sebagai alat komunikasi, sedangkan perbedaan yang ada dilihat dari variasi dialektalnya, bukan baku atau tidak bakunya sebuah bahasa.” (Nothoper,1995). Lebih lanjut tentang variasi dialektal, proses munculnya variasi tersebut sangat ditentukan atau dipengaruhi oleh faktor waktu, tempat, sosiobudaya, dan sarana pengungkapan (Ayatrohaedi, 1985:41). Dalam hal ini yang dimaksud adalah munculnya variasi dialek dilatarbelakangi oleh masalah waktu, tempat, sosial budaya, dan sarana pengungkapannya. Meskipun demikian, dalam kenyataannya kemunculan kemunculan faktorfaktor itu tidak pasti berdiri sendiri-sendiri. Masalah waktu, misalnya, bahasa yang sama dalam kurun waktu tertentu menjadi berlainan. Dalam kaitannya antara faktor waktu dan tempat, variasi itu berkembang sendirisendiri sesuai dengan kondisi/daerah masing-masing. Hal inilah yang pada gilirannya menghadirkan variasi dialek semakin menajam/variatif. Meskipun demikian, dalam eksistensinya, ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. (Chambers
1990:7). Hal ini yang dimaksud adalah perbedaan yang ada bersifat local (ada di dalam bahasa/dialek itu sendiri), sehingga penuturnya merasa memiliki bahasa yang sama (walaupun bervariasi). Dengan kata lain memiliki satu bahasa, tetapi mempunyai variasi, dan variasi tersebut bersifat lokal. Pernyataan di atas membawa kita pada pengertian bahwa dialek merupakan bagian kecil dari sebuah bahasa, dan sebaliknya bahasa adalah sekumpulan dialek yang dapat bersifat saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Di samping itu dialek merupakan variasi bahasa yang memiliki pola umum relatif sama, dipakai oleh sekelompok penutur yang memiliki ikatan timbal balik dalam suati bahasa yang lebih besar. Dalam kondisi yang demikian, antardialek (bahasa Jawa) dalam fungsinya sebagai bahasa pengantar masing-masing memiliki tingkat kesederajatan yang sama. Tidak ada satu dialek pun yang lebih baik atau lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan dialek yang lainnya. Dengan demikian, dialek Tegal, dalam hubungannya dengan bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi mempunyai kedudukan atau status yang sama dengan dialek-dialek bahasa Jawa yang lainnya (Solo, Yogya, Banten Utara, Surabaya, dan yang lainnya).
C. Keunikan Dialek Tegal Telah diuraikan di depan bahwa dialek merupakan bagian dari sebuah bahasa yang hadir dengan variasi linguistik yang membedakan antara dialek satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang ada berupa variasi yang bersifat lokal dan dalam hubungannya dengan sebuah bahasa, di antara dialek-dialek tersebut mempunyai ikatan timbal balik yang saling melengkapi. Ciri utama dialek adalah kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan yang menjadikan penuturnya merasa memiliki bahasa yang sama walaupun kenyataannya berbeda. Perbedaan yang mengarah pada variasi linguistik tersebut menghadirkan dialek dengan kekhasan atau keunikan masing-masing.
Dalam hubungannya dengan bahasa Jawa (baca: bahasa Jawa ‘universal’/umum, sebelum ada kejelasan dan kepastian kebakuan bahasa Jawa), dialek Tegal hadir dengan kekhasan/keunikan yang membedakan dengan dialek bahasa Jawa lainnya. Keunikan tersebut tampak pada tataran fonetis- fonologis, morfologi, sintaksis, dan semantik, sebagai berikut. 1. Keunikan pada Tataran Fonetis –Fonologis Pada tataran fonetis-fonologis keunikan dialek Tegal tampak pada pelafalan fonem /a/, /i/, /u/ dan /k/,/l/, dan /w/. Fonem-fonem tersebut pelafalannya
berbeda
dengan
pelafalan
pada
bahasa
Jawa
‘universal’/’umum’. Untuk lebih jelasnya perhatikan dan bandingkan contoh-contoh pada bentuk-bentuk berikut. Bentuk Bahasa Jawa ‘umum’
Dialek Tegal Fonemis
Fonetik
Fonemis
Bahasa Indonesia
Fonetis
Lara
[lara]
lara
[lOrO]
Sakit
Pira
[pira]
pira
[pirO]
Berapa
Mertamba
[mertamba]
mertamba
[mertombO]
Berobat
Variasi dialektal pelafalan fonem /a/ ini memiliki keunikan ganda dan sekaligus bersifat mendua (tidak konsisten). Dalam hal ini tampak pada pelafalan fonem antara ragam ngoko dan krama /krama inggil pada semua kosa kata yang mengandung fonem tersebut pelafalannya adalah [a] dan [O]. Pada ragam ngoko, pelafalannya [a], sedangkan pada ragam krama/krama inggil pelafalannya [O]. Misalnya pada kata-kata apa [apa] ‘apa’, basa [basa] ‘bahasa’, cara [cara] ‘cara’, dawa [dawa] ‘panjang’, gula [gula] ‘gula’, kaya [kaya] ‘seperti’, lara [lara] ‘pergi’, mata [mata] ‘mata’, dan sebagainya. Pada ragam krama misalnya pada kata-kata: kula [kulO] ‘saya’, tiga [tigO] ‘tiga’, sekawan dasa [sekawandOsO] ‘empat puluh’, nedha [nedO] ‘makan’, pirsa [pErsO] ‘tahu, mengetahui’, kersa [kersO] ‘mau’, waja [wOjO]’gigi’, dsb.
Variasi pelafalan fonem /i/ tampak pada bentuk-bentuk yang membentuk fonem /i/ dengan pola akhir tertutup, sebagai berikut. Bentuk Bahasa Jawa ‘umum’
Dialek Tegal
Bahasa Indonesia
Fonemis
Fonetik
Fonemis
Fonetik
Adil
[adil]
Adil
[adIl]
Adil
Mampir
[mampir]
Mampir
[mampIr]
Singgah
Wiwit
[wiwit]
Wiwit
[wiwIt]
Mulai
Untuk fonem /u/, terdapat variasi pada bentuk dengan pola fonem tersebut menempati posisi akhir tertutup, misalnya: Bentuk Bahasa Jawa ‘umum’
Dialek Tegal Fonemis
Fonetik
Fonemis
Fonetik
Ajur
[ajur]
Ajur
[ajUr]
Bahasa Indonesia Remuk, hancur
Tulung
[tulung]
Tulung
[tulUn]
Tolong
Bakul
[bakul]
Bakul
[bakUl]
Penjual
Variasi fonem /k/, misalkan terdapat pada bentuk-bentuk: Bentuk Dialek Tegal
Bahasa Jawa ‘umum’
Bahasa Indonesia
Fonemis
Fonetik
Fonemis
Fonetik
Watuk
[watuk]
Watuk
[watU?]
Batuk
Rakyat
[rakyat]
Rakyat
[ra?yat]
Rakyat
Tabrakkan
[tabrakkan]
tabrakkan
[tabra?an]
Bertabrakan
Variasi fonetis – fonologis pada fonem /i/ dan /w/ tampak pada pelafalannya. Dalam hal ini pada dialek Tegal pelafalan fonem /i/ dan /w/ adakalanya terdengar lebih berat dibandingkan dengan pelafalan fonem tersebut pada bahasa Jawa ‘umum’. Misalnya pada bentuk wolu ‘delapan’, ula ‘ular’, dsb.
2. Keunikan pada Tataran Morfologi Pada tataran morfologi, keunikan dialek Tegal dibandingkan dengan bahasa Jawa ‘umum’ tampak pada penggunaan morfem {-aken/kaken}. Morfem tersebut dalam bahasa Jawa ‘umum’ morfem tersebut dipergunakan dalam proses morfologi pada ragam krama inggil, sedangkan dalam dialek Tegal penerapannya pada semua ragam baik ngoko maupun krama/krama inggil. Lebih lanjut tentang morfem {-aken/kaken}, dalam dialek Tegal bervariasi dengan morfem {-na}. Perhatikan dan bandingkan tabel berikut. Bentuk
Bahasa
Dialek Tegal
Bahasa Jawa ‘umum’
Indonesia
Nggawakaken/gawakna
Nggawakake
Membawakan
Nakokaken/nakokna
Nakokake
Menanyakan
Nabraken/nabrakna
nabrakake
Menabrakkan
Dalam morfologi kata gabung / frasa, muncul morfem terikat {-e/ne} sebagai enklitik, sebagai berikut. Bentuk Dialek Tegal Dhuwit + aku →bukune aku Cathetan + aku → cathetane aku Guru + kowen → gurune
Bahasa Bahasa Jawa ‘umum’
Indonesia
Dhuwit + aku
Uangku/
→dhuwitku
uang saya
Cathetan + aku →
Catatanku/
cathetanku Guru + kowen →
saya Gurumu /
kowen
gurumu
Jaket + kowen → jakete kowen
guru kamu
Jaket + kowen → jaketmu
Jaketmu/ jaket kamu
3. Keunikan pada Tataran Sintaksis Pada tataran sintaksis, kekhasan dialek Tegal mengarah pada pengaruh struktur bahasa Sunda. Hal itu tampak misalnya pada kalimat: Rotine dipangan (daning) enyong ‘Rotinya saya makan’. Karena kuatnya pengaruh bahasa Sunda ke dalam dialek Tegal, menjadikan kalimat aktif untuk orang pertama (diri sendiri) diwujudkan dalam bentuk pasif. Di samping itu ada juga beberapa leksikon bahasa Jawa yang aplikasinya terpengaruh
bahasa
Sunda
sehingga
menimbulkan
kesan
bahwa
masyarakat Tegal tidak tahu santun berbahasa Jawa. Misalnya pada kata sare ‘tidur’, dhahar ‘makan’.
D. Penutup Dari paparan sebagaimana terurai di depan, dapat disimpulkan halhal sebagai berikut. 1. Dalam eksistensinya, dialek Tegal memiliki kesetaraan yang sederajat dengan dialek-dialek bahasa Jawa yang lain, misalnya dialek Solo – Jogja, Surabaya, dsb. 2. Dialek Tegal memiliki beberapa keunikan yang jarang dimiliki oleh dialek-dialek bahasa Jawa yang lain. 3. Keunikan dialek Tegal mengacu pada variasi dialektal yang meliputi tataran fonetik –fonologis, morfologis dan sintaksis. 4. Keunikan pada tataran fonetis – fonologis dan morfologis dialek Tegal (pada unsur-unsur kebahasaan tertentu) secara diakronis menunjukkan dialek Tegal lebih dekat dengan bahasa Jawa yang lebih tua (Jawa Tengahan, bahkan Jawa Kuna). 5. Sehubungan dengan butir 1 s.d. 4, dalam kaitannya dengan implementasi SK Gubernur Jawa Tengah Nomor: 895.5/01/2004
tanggal 23 Februari 2005 tentang Kurikulum Tahun 2004 Mata Pelajaran Bahasa Jawa untuk SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTs., dan SMA/SMALB/SMK/MA Negeri dan Swasta di Jawa Tengah, perlu ditindaklanjuti dengan pengadaan perangkat pembelajaran yang mendukung, antara lain pengadaan buku/bahan ajar dan alat peraga/bantu pengajaran yang sesuai, memadai dan proporsional agar didapat output pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat. Terima kasih.