Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
SETTING-SETTING DIGLOSIA DAN STRATEGI MENGHADAPINYA (Studi Terhadap Pemertahanan Bahasa Ibu Oleh Mahasiswa Madura)
Iqbal Nurul Azhar1
A. PENDAHULUAN Madura dengan empat kabupatennya yaitu Bangkalan, Sampang Pamekasan dan Sumenep tidak hanya didiami orang Madura saja, tapi daerah ini didiami juga oleh orang Jawa, Sunda, Sumatera, Cina, dan Arab. Namun, meskipun struktur masyarakatnya terdiri dari berbagai etnis, mayoritas dari populasi pulau ini adalah penutur asli bahasa Madura yaitu orang Madura dan bahasa komunikasi merekapun bahasa Madura. Pemerintah menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional yang wajib digunakan oleh segenap suku bangsa di Indonesia, sehingga Madura, sebagai bagian dari suku bangsa di Indonesia juga menggunakan bahasa tersebut. Akibatnya orang Madura menjadi bilingual, yaitu mereka mampu menguasai dua bahasa dengan baik. Bahkan ada sebagian daerah yang penduduknya multilingual karena mereka tidak hanya mahir bahasa Madura dan bahasa Indonesia, mereka juga mahir bahasa Jawa atau bahkan bahasa Kalimantan. Selain memiliki kemampuan bilingual atau multilingual, orang-orang Madura sangat familiar dengan setting diglosia (Fishman, 1967/2000: 89-106, menyebutnya sebagai domain). Hal ini tidaklah aneh mengingat bahasa Madura yang mereka gunakan dalam kehidupan seharihari memiliki variasi tingkat tutur (speech level) atau tingkatan bahasa yang dalam bahasa Madura disebut Ondhagan Bhasa. Sukardi (2001) mendefinisikan Ondhagan Bhasa sebagai perihal yang berhubungan dengan tinggi rendahnya bahasa yang digunakan masyarakat dalam berbicara. Sukardi juga menambahkan bahwa dalam berbicara, orang Madura perlu melihat lawan bicara, apakah berbicara dengan orang yang derajatnya sama, lebih rendah ataukah lebih tinggi. 1
Mahasiswa Pascasarjana UNS Program Studi Lingistik Deskriptif Angkatan 2009
1
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
Pemilihan tingkat tutur ini ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: (1) situasi pembicaraan, yaitu tingkat keformalan pembicaraan yang sedang berlangsung, (2) status sosial pembicara, yaitu apakah pembicara adalah orang penting dan dipentingkan dalam pembicaraan, (3) hubungan personal antar pembicara, yaitu tingkat keakraban hubungan antar penutur dengan lawan tutur, (4) faktor usia, yaitu tingkat perbedaan usia antara penutur dengan lawan tutur. (Sukardi, 2001) Secara umum, tingkat tutur yang terdapat dalam bahasa Madura dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu: (1) tingkat Enja’-Iyah, (2) tingkat Enggi-Enten, dan (3) tingkat Enggi Bunten. Tingkat bahasa Madura Enja’- Iyah adalah tingkat tutur yang biasa dipakai oleh dua orang atau lebih yang memiliki derajat sama baik itu usia, status sosial dan berada dalam status hubungan yang sangatlah akrab. Tingkat bahasa Madura Enggi-Enten adalah tingkat tutur yang digunakan kepada kawan dalam pergaulan yang kurang akrab, kepada orang yang asing yang baru saja dikenal, atau kepada orang tua yang jarak sosialnya yang tidak terlalu jauh. Tingkat bahasa Madura Enggi-Bunten adalah kelas tutur yang digunakan oleh orang dalam situasi pergaulan yang resmi, ditujukan kepada orang yang sangat dihormati atau terpandang dan dimaksudkan untuk menghormati lawan bicara Berdasarkan kemampuan mereka yang bilingual, multilingual, dan multilevel ini, kita mungkin dapat bertanya, kira-kira apa yang terjadi andaikata masyarakat ini berada dalam sebuah setting diglosia, sebuah situasi yang memaksa mereka memilih salah satu ragam bahasa untuk memenuhi tuntutan kesopanan dalam hubungan sosial? Bahasa atau tingkat bahasa apakah yang akan mereka pakai dalam konteks ini padahal mereka memiliki kemampuan untuk memilih tingkatan bahasa maupun mengalihkan bahasa mereka ke bahasa lain? Apakah mereka akan memilih salah satu dari tiga tingkat bahasa Madura tersebut ataukah mereka akan menggunakan bahasa yang lain selain bahasa Madura? Situasi kebahasaan masyarakat Madura yang unik ini sangat menarik untuk diamati. Melalui pendekatan sosiolinguistik dengan parameter seperti bilingualisme, multilingualisme, multilevel dalam monobahasa dan diglosia, setidak-tidaknya ada dua pertanyaan yang menjadi ruh dari penelitian ini. Dua pertanyaan tersebut adalah
(1) Setting-setting diglosia apa
sajakah yang dapat ditemukan dalam interaksi orang Madura sehari-hari. (2) Strategi apa sajakah yang dilakukan orang Madura dalam menghadapi setting-setting diglosia tersebut?
2
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Dua pertanyaan di atas adalah rumusan masalah dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini pada hakikatnya untuk mencari jawaban dari permasalahan yang dikemukakan di atas dan mendapatkan gambaran secara jelas dari dua pertanyaan tersebut. Berdasarkan rumusan masalah ini, maka tujuan penelitian ini adalah : (1) untuk mengetahui setting-setting diglosia apa sajakah yang dapat ditemukan dalam interaksi orang Madura sehari-hari, (2) untuk mendapatkan informasi tentang strategi apa sajakah yang dilakukan orang Madura dalam menghadapi settingsetting diglosia tersebut. Penelitian ini memiliki manfaat besar terhadap perkembangan sosiolinguistik dan etnolinguistik. Adapun manfaat yang didapatkan dari penelitian ini adalah:
(1)
memberikan tambahan informasi kepada sosiolinguis tentang fenomena-fenomena diglosia yang terjadi pada masyarakat lokal, dan (2) menjawab pertanyaan etnolinguis utamanya etnolinguis Madura apakah bahasa Madura masih tetap dipertahankan ataukah telah ditinggalkan pemakaiannya dalam kehidupan sehari-hari
C. METODE DAN LIMITASI PENELITIAN Dengan menggunakan metode diskriptif kuantitatif, peneliti mengadakan penelitian di Kabupaten Bangkalan tepatnya di Universitas Negeri Trunojoyo. Universitas Negeri Trunojoyo dipilih sebagai lokasi penelitian didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu (1) Universitas Negeri Trunojoyo adalah satu-satunya Universitas Negeri di Madura yang menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari empat kabupaten di Madura, (2) akses yang dimiliki peneliti sangat luas di universitas ini karena peneliti bekerja sebagai staf pengajar di universitas ini. Data didapat dari angket yang disebarkan kepada 100 mahasiswa yang berasal dari jurusan yang berbeda.
Seluruh responden adalah mahasiswa kelahiran Madura dan dapat
berbahasa Madura.
3
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
D. BEBERAPA TEORI TENTANG BILINGUALISME, MULTILINGUALISME DAN DIGLOSIA D.1. Bilingualisme dan Multilingualisme Istilah bilingualisme adalah istilah yang pengertiannya bersifat relatif. Kerelatifitasan ini muncul disebabkan batasan seseorang disebut multilingual bersifat arbitrer dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. Mula-mula bilingualisme diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa sama baiknya oleh seorang penutur, namun pendapat ini makin lama makin tidak populer karena kriteria untuk menentukan sejauh mana seorang penutur dapat menggunakan bahasa sama baiknya tidak ada dasarnya sehingga sukar diukur dan hampirhampir tidak dapat dilakukan (Suwito, 1983:40) Perluasan pengertian kedwibahasaan diberikan oleh Mackey (dalam Suwito, 1983) yang menggambarkan adanya tingkat-tingkat kedwibahasaan yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat kemampuan seseorang dalam menguasai bahasa kedua. Tingkat-tingkat kemampuan ini dapat dilihat dari penguasaannya dalam hal grammatikal, leksikal, semantik, dan style yang tercermin dalam empat ketrampilan dasar yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Makin banyak unsur-unsur tersebut dikuasai seseorang, makin tinggi tingkat kedwibahasaan orang tersebut. Makin sedikit penguasaan terhadap unsur-unsur tersebut, makin rendah kemampuan kedwibahasaannya. Haugen (1968:10) sejalan dengan pengertian di atas menjelaskan kedwibahasan sebagai ”knowledge of two languages” (tahu dua bahasa). Pengertian ini secara singkatnya digambarkan bahwa seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa. Cukuplah apabila ia mengetahui secara pasif dua bahasa. Oksaar (1972:478) berbeda pendapat dengan Haugen. Ia berpendapat tidak cukup membatasi kedwibahasaan hanya sebagai milik indiovidu. Kedwibahasaan harus diperlakukan sebagai milik kelompok, sebab bahasa itu sendiri tidak terbatas sebagai alat penghubung antar individu, tetapi juga alat komunikasi antar kelompok Istilah
“bilingualisme” (kedwibahasaan) sering dianggap sama dengan istilah
“multilingualisme” (kemultibahasaan), yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan penggunaan lebih dari satu bahasa oleh individu, kelompok, atau masyarakat (regional,
4
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
nasional, bangsa, dan negara). Teori tentang bilingualisme dan multilingualisme ini disampaikan oleh Beardsmore (1982), dan Baker (1996) D.2. Diglosia Istilah “diglosia” mula-mula dikemukakan oleh Charles A. Ferguson dalam tulisannya yang berjudul “Diglosia” (1959: 325-340; Diterbitkan kembali pada Wei, Ed., 2000: 65-80) untuk mengacu pada situasi kebahasaan yang mencerminkan penggunaan dua variasi bahasa secara berdampingan yang masing-masing mempunyai peranan dan fungsi sendiri-sendiri dalam masyarakat tempat bahasa tersebut dituturkan. Variasi bahasa yang satu biasanya lebih standar dan diberi label Variasi Tinggi (Variasi H/High), sedangkan variasi yang lain biasanya kurang begitu bergengsi dan diberi label Variasi Rendah (Variasi L/Low) Menurut Ferguson, diglosia mempunyai ciri-ciri menonjol yang dapat ditunjukkan melalui sembilan sudut pandang yaitu (a) fungsi, (b) prestise, (c) tradisi sastra, (d) pemerolehan bahasa, (e) standarisasi, (f) stabilitas, (g) tata bahasa, (h) leksikon, dan (i) fonologi (Ferguson, 1959/2000) (a) Fungsi Dari sudut pandang fungsi, penggunaan Variasi-H dan Variasi-L pada masyarakat tutur tertentu dapat dilihat pada tabel berikut ini. SETTING/DOMAIN
H
Kotbah di gereja atau masjid Perintah kepada pembantu, pelayan, pekerja, karyawan Surat pribadi Pidato politik, pidato di parlemen Kuliah Percakapan dengan keluarga, teman, kolega Siaran berita Opera sabun di radio Editorial surat kabar, berita, keterangan gambar Keterangan pada kartun politik Puisi Sastra Foklor
L
X X X X X X X X X X X X
(Ferguson, 1959/2000: 68) (b) Prestise Dalam beberapa setting diglosia, penggunaan variasi H dinilai lebih bergengsi dari penggunaan variasi L. Kemampuan menggunakan variasi H dinilai sebagai kemampuan berkelas yang hanya dimiliki oleh orang-orang berpendidikan dan tahu sopan santun. Variasi L
5
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
berbanding terbalik dengan variasi H. Seseorang yang menggunakan variasi ini pada settingsetting tertentu dianggap menunjukkan kekurang pendidikannya sebagai anggota mayarakat
(c) Tradisi Sastra Variasi H mengandung tradisi sastra (utamanya tradisi sastra tulis) yang eksistensinya selalu beriringan dengan perjalanan sejarah masyarakat tempat variasi bahasa ini digunakan. Penulisan sastra yang dimaksud tidak hanya meliputi penulisan puisi, syair atau tembang (yang menunjukkan unsur-unsur klasik dan arkais), tetapi juga penulisan editorial (yang menunjukkan unsur-unsur modern) di media, seperti surat kabar dan majalah. (d) Pemerolehan Bahasa Pada kasus keempat bahasa yang dipilih Ferguson terdapat dalam proses pemerolehan bahasa oleh seorang anak. Seorang anak memahami variasi L dari hasil pembelajarannya pada bahasa yang digunakan oleh orang tuanya kepadanya (orang tuanya biasanya menggunakan variasi L ketika berbicara kepadanya). Selain belajar variasi L dari orang tuanya, ia juga mempraktekkan variasi tersebut pada teman-temannya, sekaligus belajar dari mereka. Variasi H dilain pihak ia dapatkan dari hasil belajarnya di sekolah. Melalui guru bahasa dan kurikulum pelajaran bahasa, ia mengetahui tentang variasi H, bagaimana variasi H berbeda dari variasi L yang ditunjukkan melalui pelajaran tata bahasa, pemilihan kosakata dan gaya bicara yang elegan ala variasi H. (e) Standarisasi Sudah disebutkan bahwa Variasi-H lebih standar ketimbang Variasi-L. Standarisasi biasanya mengacu kepada variasi H, sehingga pola-pola penstandarisasian bahasa seperti penerbitan kamus, pembuatan buku tata bahasa, cara-cara penulisan leksikon sebuah bahasa berpatokan pada variasi H. Kajian-kajian terhadap bahasapun biasanya dilakukan dengan standard dan patokan variasi H. (f) Stabilitas Situasi diglosia dalam praktenya bergerak dari dua arah yaitu dari arah kurang stabil ke stabil, atau kebalikannya. Pergerakan kurang stabil menjadi stabil biasanya cenderung terjadi pada orang-orang yang terpelajar atau orang-orang yang perduli pada bahasa dan budaya. Pada komunitas ini, kecendrungan dalam masyarakat untuk menstabilkan situasi diglosia dengan cara menstandarkan bahasa dari yang semula masih belum jelas bentuknya (tidak stabil menjadi stabil
6
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
dengan cara menjadikan variasi H sebagai standarnya. Ada banyak motif yang dilakukan dari pergerakan ini seperti; mengkonservasi bahasa, pemertahanan bahasa, dan pendidikan, Pada pergerakan dari stabil menjadi tidak stabil, biasanya terjadi pada generasi Muda. Generasi muda yang gaya hidupnya dinamis sering kali sangat terbuka pada perubahan dan pengaruh luar menyebabkab variasi bahasa H seringkali ditinggalkan dengan berbagai tujuan seperti variasi H monoton dan kuno, tidak modern dan banyak alasan lainnya. (g) Tata Bahasa Dalam konteks tata bahasa, terdapat banyak pola-pola dalam variasi-H yang tidak dijumpai pada Variasi-L. Ferguson memberikan contoh Bahasa Arab Klasik yang pada VariasiH-nya terdapat tiga kasus, sedangkan pada dialek Variasi-L-nya tidak ada. Dalam hal kekompleksitasannyapun, terdapat kecenderungan bahwa Variasi-H lebih kompleks daripada Variasi-L. Namun dalam kasus tertentu, paradigma ini tidaklah selalu benar. (h) Leksikon Dalam hal leksikon, leksikon Variasi H dan Variasi L sering bersinggungan, dalam artian bahwa banyak leksikon H digunakan oleh variasi L demikiansebaliknya. Biasanya pada istilah teknis atau akademik yang banyak dijumpai pada Variasi-H, tenyata tidak dijumpai pada VariasiL. Sebaliknya, leksikon variasi L yang berkaitan dengan ungkapan dan penamaan benda-benda lokal, tidak dijumpai keberadaannya pada Variasi-H. Akibatnya, terdapat istilah yang berbeda untuk mengacu objek yang sama pada kedua variasi tersebut. Misalnya, pada bahasa Inggris, untuk menyebut “bersahabat” pada Variasi H digunakan “affable”, sedangkan pada Variasi L digunakan “friendly”. (i) Fonologi Tidak terdapat perbedaan yang mendasar pada variasi H dan variasi L dalam tataran fonologi. Andaikata terdapat perbedaan pengucapan, perbedaan itu tidak menimbulkan masalah yang berarti dalam komunikasi. Sebagai contoh di Inggris, terdapat beberapa ragam pengucapan bahasa Inggris seperti ragam BBC yang dianggap standar, atau ragam Yorkshire dan Lancashire yang muncul
sebagai ragam variasi dialek atau logat. Namun meskipun terdapat ragam
pengucapan, ragam-ragam tersebut tidak menimbulkan kesalahpahaman yang berarti dalam komunikasi. D.3. Domain dan Setting Diglosia
7
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
Pada latar multilingualisme, masing-masing bahasa yang dikuasai memenuhi fungsi dan peranan sendiri-sendiri apabila dilihat dari konsep Fishman tentang “siapa berbicara bahasa apa kepada siapa kapan” (Fishman, 1967/2000: 89-106). Konsep ini menyatakan bahwa pada saat atau latar tertentu, seorang multibahasawan akan memilih bahasa apa yang seharusnya digunakan. Saat atau latar tertentu itulah yang oleh Fishman disebut domain. Domain dijelaskan oleh Fishman sebagai wilayah aktivitas manusia yang ditandai oleh penggunaan satu atau lebih variasi bahasa secara reguler. Melalui domain ini, pemilihan variasi bahasa dan topik dilakukan untuk memenuhi harapan dan tuntutan norma sosial pada masyarakat tutur tertentu. Dengan kata lain, domain mencerminkan pemilihan penggunaan variasi bahasa sesuai dengan konteks dan tata organisasi sosio-kultural pada latar multilingual. Fishman (1965/2000: 97, 104). membagi domain penggunaan bahasa menjadi beberapa macam seperti; domain keluarga, domain teman, domain pergaulan sosial, domain media masa, domain organisasi/pemerintahan, dan domain pekerjaan. Domain-domain tersebut kemudian lebih jauh lagi dikaitkan dengan (1) media yang dipakai, yang meliputi menulis, membaca, dan berbicara; (2) peran yang dilakukan seperti variasi bahasa untuk diri sendiri, untuk memahami sesuatu, dan untuk memproduksi sesuatu; serta (3) situasi, yang meliputi formal, kurang formal, akrab, dan kurang akrab. Definisi setting agak sedikit berbeda dengan domain. Jika domain menurut Fishman didefinisikan sebagai wilayah aktivitas manusia yang ditandai oleh penggunaan satu atau lebih variasi bahasa secara reguler, maka setting adalah situasi nyata dari dari wilayah tersebut, sebagai contoh; apabila domainnya adalah keluarga, maka setting-setting yang mungkin tercakup dalam wilayah ini adalah; pertemuan keluarga di ruang keluarga, bercakap-cakap dengan adik, bercengkrama dengan istri di ruang makan dan setting-setting keluarga lainnya. Apabila domainnya pendidikan, maka setting-setting yang tercakup seperti, diskusi di kelas, rapat dengan anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan, makan siang di kantin kampus dan setting-setting lainnya.
E. TEMUAN-TEMUAN E.1. Setting-Setting Diglosia Domain-domain yang dikemukakan Fishman di atas masih bersifat umum dan belum menyentuh pada konteks yang lebih spesifik. Selain itu, nuansa lokalitas utamanya lokalitas yang bernuansa
8
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
Nusantara masih belum nampak. Sehingga hasil dari penelitian ini adalah penjelas dari teori Fishman tentang Domain, atau lebih tepatnya setting, yang berlatarkan pada budaya Nusantara khususnya Madura. Tiga pertanyaan pembuka dalam angket yaitu ”Sebutkan sebuah situasi yang membuat anda menggunakan bahasa Madura Enja’- Iyah” (pertanyaan 1), ”Sebutkan sebuah situasi yang membuat anda menggunakan bahasa Madura Enggi-Enten” (pertanyaan 2), dan (pertanyaan 3)”Sebutkan sebuah situasi yang membuat anda menggunakan bahasa Madura Enggi Bunten” ditujukan untuk mengetahui pemahaman dasar mahasiswa dalam mengenali setting-setting digunakannya ketiga tingkatan bahasa Madura yaitu Enja’-Iyah (E-I), Enggi Enten (E-E), dan Engi Bunten (E-B), Jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: (a) Penggunaan tingkat bahasa Enja’ Iyah SETTING
PENGGUNA
dengan anak seumuran ngumpul dengan teman karib di rumah dengan yang lawan tutur yang lebih muda 5) situasi santai dan informal 6) dimana saja 7) ketika marah 8) saat akan menggunakan kata-kata kasar 9) kondisi tertentu 10) tidak berkomentar
29 40 6 6
1) 2) 3) 4)
3 6 1 1 1 3
(b) Penggunaan tingkat bahasa Enggi Enten SETTING
PENGGUNA
berbicara dengan yang lebih tua berbicara dengan orang yang dihormati 3) nongkrong 4) berbecara dengan yang sederajat 5) berbicara dengan orang yang belum dikenal 6) dalam pertemuan dan suasana formal 7) ketika ngobrol nyantai dengan teman 8) saat disuruh orang tua 9) ketika terdesak 10) tidak pernah memakai 11) tidak berkomentar
58 6
1) 2)
1 1 7 2 6 1 1 2 5
9
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
(c) Penggunaan tingkat bahasa Enggi-Bunten SETTING 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
PENGGUNA
berbicara dengan sesepuh atau petinggi masyarakat berbicara dengan ustadz/ kyai atau orang yang dianggap alim dalam situasi formal nyangkruk dengan orang yang lebih tua dengan orang lain di seluruh lingkungan tidak pernah menggunakan tidak berkomentar
15 22 3 1 43 1 3 3 6
Berdasarkan jawaban 100 responden terhadap setting-setting penggunaan tingkat bahasa EI, E-E, dan E-B, ditemukan bahwa pemahaman sebagian besar dari mereka mereka terhadap kapan digunakan salah satu dari ketiga tingkat bahasa tersebut sangat baik, sehingga dari hasil ini peneliti berasumsi bahwa sebagian besar responden memiliki kepekaan terhadap settingsetting diglosia, masih memiliki kemampuan multilevel bahasa yang baik, serta masih memiliki kepedulian terhadap aturan-aturan sosial. Dari hasil angket pula ditemukan beberapa responden salah dalam menempakan penggunaan tingkat bahasa seperti menggunakan E-E ketika nongkrong, atau berbicara dengan orang yang sederajat, atau dengan teman akrab, menggunakan E-B ketika nyangkruk. Selain itu dijumpai pula terdapat 2 orang yang tidak pernah menggunakan tingkat bahasa E-E dan 3 orang tidak pernah menggunakan tingkat bahasa E-B. Dari hasil angket terhadap pertanyaan no. 4 yaitu ”Sebutkan sebuah situasi yang menuntut anda menggunakan bahasa Madura dan anda merasa was-was karena merasa tidak cukup PD dengan kemampuan bahasa Madura anda” yang disebarkan kepada 100 mahasiswa asal Madura, ditemukan 16 setting digglosia berdasarkan perspektif ke 100 mahasiswa tersebut yang memaksa mereka untuk memilih bahasa atau tingkat bahasa apa yang akan mereka gunakan. Adapun ke 16 setting tersebut sebagai berikut: (1) diberi amanah menjadi MC (2) bertamu ke tetangga (3) bertemu dengan orang yang baru dikenal (4) berada dalam forum seminar resmi (5) berpidato di hadapan audience (6) berbicara dengan ustadz atau kyai
(10) berbicara dengan orang yang lebih tua (11) bertemu dengan orang Madura yang fasih bahasa halus (12) sedang melaksanakan rapat formal (13) mengikuti lomba pidato (14) berbicara dengan pejabat
10
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print (7) berbicara sesama orang Madura (8) berada di luar Madura (9) melaksanakan presentasi di depan kelas
(15) berbicara dengan budayawan Madura (16) berbicara dengan anak kecil.
Dari jawaban seluruh responden terhadap soal yang sama (pertanyaan no. 4) ditemukan juga informasi menarik dan
mengejutkan yaitu: dari 100 responden yang diberi angket,
sebanyak 86 orang merasa kurang Percaya Diri (PD) dengan kemampuan bahasa Madura (BM) mereka ketika berada dalam salah satu dari 16 setting yang terdaftar di atas. Sisanya 10 orang memilih untuk tidak memberi respon terhadap pertanyaan no. 4. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut: NO
1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 12 13 14 15 16 17
SETTING diberi amanah menjadi MC bertamu ke tetangga bertemu dengan orang yang baru dikenal berada dalam forum seminar resmi berpidato di hadapan audience berbicara dengan ustad atau kyai berbicara sesama orang Madura berada di luar Madura melaksanakan presentasi di depan kelas berbicara dengan orang yang jauh lebih tua berbicara dengan orang Madura yang fasih bahasa Madura halus sedang melaksanakan rapat formal mengikuti lomba pidato berbicara dengan pejabat berbicara dengan budayawan Madura berbicara dengan anak kecil
JUMLAH INFORMAN YANG MERASA KURANG PD DENGAN BM MEREKA 2 1 6 2 3 17 9 6 8 19 8 3 1 3 1 1
Dari data di atas terlihat bahwa berbicara dengan ustadz atau kyai, dan berbicara dengan orang yang jauh lebih tua adalah dua buah setting terbanyak yang dipilih mahasiswa dan dianggap sebagai settingsetting yang sulit dihadapi dan mampu menurunkan kepercaya diri akan kemampuan bahasa Madura mereka. Yang dimaksud kemampuan bahasa Madura disini adalah kemampuan bahasa Madura EnggiBunten/halus. Berbicara dengan sesama Madura atau dengan orang Madura yang fasih bahasa Madura halus, berada di luar pulau Madura dan berbicara dengan orang yang baru dikenal adalah juga termasuk setting-setting yang membuat mahasiswa Madura merasa kurang PD dengan bahasa Madura mereka.
E.2. Strategi Menghadapi Setting-Setting Digglosia
11
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
Ketika menghadapi berbagai macam setting-setting diglosia, mahasiswa Madura memiliki strategi tersendiri yang mereka tunjukkan dalam menghadapi setting tersebut. Ada 13 setting dan beserta strategi-strateginya yang dianalisa pada bagian ini antara lain:
NO
1
2
SETTING DAN STRATEGI PEMILIHAN BAHASA/TINGKAT BAHASA Ngobrol dengan teman lama tingkat bahasa Enja’-Iyah
tingkat bahasa Enggi-Enten tingkat bahasa Enggi-Bunten bahasa Indonesia
JUMLAH INFORMAN
ALASAN
70
sebaya, sesuku, lebih akrab, nyaman, bahasa E-B tidak lancar, kebiasaan, agar suasana hangat tepat untuk teman, sungkan
3 1 26
bahasa lain Presentasi di depan kelas tingkat bahasa Enja’-Iyah
9
tingkat bahasa Enggi-Enten
42
tingkat bahasa Enggi-Bunten bahasa Indonesia bahasa lain Menulis karya sastra tingkat bahasa Enja’-Iyah tingkat bahasa Enggi-Enten tingkat bahasa Enggi-Bunten
36 12 1
bahasa Indonesia
42
-
11 13 34
3
4
5
bahasa lain Bertemu orang penting tingkat bahasa Enja’-Iyah tingkat bahasa Enggi-Enten tingkat bahasa Enggi-Bunten bahasa Indonesia
kurang bisa BM, bahasa pemersatu, teman-teman tidak bisa BM, lebih akrab, sejak kecil tidak menggunakan BM, lebih familiar.
lebih mudah dimengerti, tidak menguasai bahasa halus ada teman-teman, belum fasih bahasa halus, formal, melestarikan BM lebih sopan, resmi, halus, tuntutan resmi, umum digunakan, familiar
lebih asyik lebih sopan, lbh mudah dicerna memiliki makna dalam, identik dengan keindahan, dibaca orang banyak, lebih menjiwai gampang, sastra tidak mengenal tingkat bahasa, familiar
1 13 53 33
bahasa lain Menjadi MC kondangan tingkat bahasa Enja’-Iyah
2
tingkat bahasa Enggi-Enten
18
lebih formal lebih sopan, terhormat, tidak bisa E-B disegani, sopan, untuk menghormati formal, lebih nyaman, acara dinas, kebiasaan, lebih mudah, takut salah, tidak bisa BM
-
12
lebih akrab, sama rata, mudah dimengerti, lebih mengena, orang desa lebih akrab
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print tingkat bahasa Enggi-Bunten
60
bahasa Indonesia
20
bahasa lain Mengirimkan SMS tingkat bahasa Enja’-Iyah tingkat bahasa Enggi-Enten
6 24
tingkat bahasa Enggi-Bunten
20
bahasa Indonesia
50
-
6
7
8
9
petinggi hadir, lebih sopan, di depan khalayak, formal lebih mudah,warga pendatang, tidak bisa BM, bahasa persatuan, lebih simpel, acara resmi
bahasa lain Menulis surat tingkat bahasa Enja’-Iyah tingkat bahasa Enggi-Enten
1 20
tingkat bahasa Enggi-Bunten
32
bahasa Indonesia
47
santai, akrab, gampang lebih sopan, hasil didikan orang tua, lebih mudah lebih sopan, enak dilakukan, lebih mudah lebih mudah diaplikasikan, tulisan Madura boros, tidak ribet, takut salah tulis, lebih akrab, mudah disingkat, lebih umum digunakan, tidak biasa BM
-
bahasa lain Mengajar di LBB tingkat bahasa Enja’-Iyah tingkat bahasa Enggi-Enten
7 33
tingkat bahasa Enggi-Bunten
35
bahasa Indonesia
25
dekat lebih sopan, lebih nyaman, menghargai, hormat, lebih mudah penghormatan, lebih sopan, bertatakrama lebih lancar, lebih gampang nulisnya, lebih mudah dipahami, lebih formal, kurang fasih BM, sudah terbiasa
-
bahasa lain Menyuruh pembantu rumah tangga tingkat bahasa Enja’-Iyah
37
tingkat bahasa Enggi-Enten
41
tingkat bahasa Enggi-Bunten bahasa Indonesia
10 12
enak digunakan, mudah diserap mudah dimengerti, lebih sopan, lebih akrab, murid lebih muda, lebih kelihatan menghormati, baru kenal murid lebih halus, peserta lebih tua, sudah biasa, tuntutan, lebih dewasa, lebih formal, terkesan baik, lebih sopan lebih mudah dimengerti, tidak semua murid paham BM, tidak bisa BM
-
13
lebih rendah posisinya, cepat akrab, tradisi bukan orang penting, lebih tua, pembantu juga perlu dihormati, lebih sopan, tidak kasar, lebih etis lebih tua, lebih sopan lebih paham, bahasa persatuan, pembantu orang nonMadura
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
10
bahasa lain Memilih acara di radio tingkat bahasa Enja’-Iyah
20
tingkat bahasa Enggi-Enten
29
tingkat bahasa Enggi-Bunten
31
bahasa Indonesia bahasa lain Bertanya pada dosen tingkat bahasa Enja’-Iyah tingkat bahasa Enggi-Enten tingkat bahasa Enggi-Bunten
19 1
bahasa Indonesia
45
bahasa lain Memberikan pengumuman lewat corong masjid tingkat bahasa Enja’-Iyah tingkat bahasa Enggi-Enten tingkat bahasa Enggi-Bunten
1
18 61
bahasa Indonesia
21
2 13 39
11
12
13
bahasa lain Bahasa yang digunakan dalam menawar barang pada penjual yang berusia lanjut tingkat bahasa Enja’-Iyah tingkat bahasa Enggi-Enten tingkat bahasa Enggi-Bunten bahasa lain tidak bisa bahasa Madura
komunikatif, enak didengar, lebih diterima, menghibur, menarik, informal, gaul akrab, sopan, enak didengar, universal, netral, nyantai lebih sopan, teratur, didengar orang banyak, memperlancar bahasa Madura jurusannya sastra Inggris tidak begitu fasih bahasa E-B lebih sopan, dosen juga ingin dihormati lebih sopan, lebih etis, bertatakrama, lebih dekat, lebih gampang, dosen adalah wakil orang tua di kampus formal, lebih sopan, lingkungan kampus, lebih mudah penyampaiannya, kakut dapat nilai E jika salah bcara, bahasa nasional, bahasa persatuan suka bahasa inggris
lebih tua, buat semua kalangan lebih sopan, masjidnya ada di Madura, gampang dimengerti, lewajiban, didengar babyak orang, resmi kebiasaaan, lebih fleksibel, lebih fasih, takut salah, lebih mudah, tidak semua paham bm, bm tidak lancar, lebih dimenerti
-
15 56 5 2 24
Pada setting no 1 yaitu “Ngobrol dengan teman lama,” terlihat bahwa mayoritas responden memilih menggunakan tingkat bahasa E-I, penggunaan bahasa Indonesia berada di nomor dua. Pada setting no. 2 “Presentasi di depan kelas,” dapat dilihat mayoritas responden memilih menggunakan strategi penggunaan tingkat bahasa E-E dan E-B pada urutan kedua. Pada setting
14
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
no. 3 “Menulis karya sastra,” terlihat bahwa penggunaan bahasa Indonesia mendominasi disusul penggunaan E-B. Pada setting no. 4 “Bertemu orang penting,” strategi mengunakan E-B berada diurutan pertama disusul menggunakan BI di urutan kedua. Pada setting no. 5 “Menjadi MC kondangan,” tingkat bahasa E-B dipilih mayoritas responden dan BI pada nomor dua. Setting no.6 “Mengirimkan SMS,” penggunaan bahasa Indonesia berada di urutan pertama dan tingkat bahasa E-E pada urutan kedua. Setting ke-7 ”Menulis surat,” penggunaan bahasa Indonesia juga masih mendominan disusul tingkat bahasa E-B. Setting ke-8 yaitu “Mengajar di LBB,” penggunaan tingkat bahasa E-B meraih posisi tertinggi disusul E-E. Pada setting ke-9 “Menyuruh pembantu rumah tangga,” penggunaan tingkat bahasa E-E berada pada posisi teratas dan E-I pada posisi kedua. Pada setting ke-10 “Memilih acara di radio,” mayoritas responden memilih siaran radio dengan menggunakan tingkat bahasa E-B, dan tingkat bahasa E-E di posisi kedua. Setting ke-11 “Bertanya pada dosen,” mahasiswa lebih senang menggunakan bahasa Indonesia diikuti penggunaan tingkat bahasa E-B. Setting terakhir yaitu “Memberikan pengumuman lewat corong masjid” mayoritas responden lebih memilih menggunakan tingkat bahasa E-B disusul kemudian BI. Strategi ke 100 responden dalam menghadapi keduabelas seting di atas dikukuhkan oleh pertanyaan terakhir yaitu pada setting ke-13 “Bahasa yang digunakan dalam menawar barang pada penjual yang berusia lanjut.” Dari jawaban 100 responden dijumpai bahwa sebanyak 56 responden lebih memilih menggunakan tingkat bahasa E-E dari pada E-B, disusul kemudian oleh jawaban kedua yang menyatakan bahwa 24 responden tidak bisa membuat kalimat menawar dalam bahasa Madura. Peneliti sebenarnya berharap banyak bahwa mayoritas responden akan membuat kalimat dengan menggunakan bahasa E-B, Namun ternyata tingkat bahasa ini hanya digunakan oleh 5 responden. Sedikitnya responden dalam menggunakan tingkat bahasa E-B mungkin disebabkan beberapa hal antara lain: (1) pengetahuan tingkat bahasa E-B responden rendah. Mereka merasa sudah menguasai tingkat bahasa E-B tapi sebenarnya yang mereka kuasa masih dalam tataran tingkat bahasa E-E, (2) E-B oleh responden masih dikuasai teorinya saja belum sampai mempraktekkannya secara nyata dalam kehidupan sosial yang nyata. (3) kurang pahamnya responden dalam memahami setting kapan mereka harus berbahasa tingkat E-E dan E-B .
15
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
E.3. Eksistensi Bahasa Madura dalam Tinjauan Penelitian Dari pemaparan hasil angket di atas, terlihat jelas bahwa dalam komunikasi lisan, seperti yang terlihat pada setting 1, 2, 4, 5, 8, 9 10, 11, 12, bahasa Madura masih tetap dominan digunakan. Namun ketika komunikasi tersebut beranjak pada bentuk tulisan seperti pada setting 3, 6, 7, bahasa Madura mulai ditinggalkan. Pada setting 3, 6, 7 mahasiswa Madura lebih suka melakukan alih bahasa yaitu menggunakan bahasa lain selain bahasa ibu mereka (dalam hal ini BI) dengan berbagai alasan seperti; ide-ide lebih mudah diwujudkan dalam bentuk tulisan BI, kosa kata BM lebih sulit dituliskan, adanya perasaan takut salah dalam menulis kata-kata BM, lebih akrab dengan menggunakan BI, BI lebih mudah disingkat dalam SMS, BI lebih umum digunakan dan banyak alasan lainnya. Hal ini menjadi sebuah tanda tanya besar dalam benak peneliti. Dan pertanyaan yang pertama kali muncul adalah apakah absennya bahasa Madura dalam tulisan ini hanya terjadi pada tiga setting di atas, ataukah fenomena ini telah menjadi sebuah budaya dan dilakukan oleh hampir oleh seluruh orang Madura? Jika memang benar fenomena ini adalah budaya, maka kekhawatiran para tokoh Madura bahwa suatu saat bahasa Madura akan punah telah mulai terbukti adanya. Bahasa Madura telah mulai punah dalam tataran komunikasi tulisan. Alih bahasa yang terjadi dalam bahasa tulis mahasiswa Madura sebenarnya merupakan sebuah fenomena linguistik yang biasa terjadi. Di masyarakat manapun di seluruh dunia terutama masyarakat majemuk yang terbentuk dari berbagai macam suku bangsa pasti akan mengalami fenomena ini. Alih bahasa ini muncul dan dilakukan oleh satu masyarakat karena adanya sebuah kebutuhan terhadap cara jitu untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang lain yang berbahasa beda utamanya bahasa tulis. Selama alih bahasa dalam komunikasi tulis ini terjadi secara temporer dan tidak permanen, maka keberadaan bahasa domain (bahasa yang dialih bahasakan) akan tetap terjaga. Namun, andaikata alih bahasa ini dilakukan secara terus menerus atau bahkan permanen, ini akan dapat berimbas negatif dan mengancam bahasa domain. Ketika alih bahasa Madura tulis ke bahasa Indonesia tulis dilakukan secara terus menerus, kondisi ini jelas akan membawa dampak negatif pada bahasa Madura. Orang Madura yang terbiasa menulis dengan bahasa Indonesia pastinya akan merasa tidak nyaman ketika dipaksa untuk kembali menulis dengan bahasa Madura. Kebiasaan tidak menggunakan bahasa Madura ini apabila kemudian diwariskan pada anak cucu, akan menyebabkan anak cucu tersebut tidak memiliki kemampuan menulis dalam bahasa Madura, padahal darah mereka adalah darah Madura. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut, eksistensi bahasa Madura ke depannya akan terancam
16
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
E.4. Solusi Terhadap Permasalahan Absennya BM dalam Komunikasi Tulis. Artikel ini terkesan kurang sempurna jika hanya memaparkan fakta yang berkaitan dengan absennya BM dalam komunikasi tulis tanpa menyumbangkan ide-ide sebagai
solusi untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Pada bagian ini dipaparkan beberapa fase yang mungkin dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan hilangnya BM dalam tulisan Kebugaran (fitness) dan sintasan (survival) bahasa Madura tulis sangat bergantung pada frekuensi kemunculannya tulisan berbahasa Madura di masyarakat. Semakin sering tulisan berbahasa Madura muncul di masyarakat, maka semakin besar pula kesempatan tulisan Madura untuk bertahan hidup. Untuk mempertahankan dan mengembangkan tulisan berbahasa Madura agar terus hidup dan berkembang, ada beberapa fase (lihat Azhar, 2009) yang dapat ditempuh antara lain. 1. Revitalisasi bahasa Madura. Bahasa Madura harus dioptimalkan penggunannya dalam segenap aspek kehidupan, utamanya penggunaan bahasa Madura tingkat Enggi-Bunten (halus). Segenap penutur asli bahasa Madura dianjurkan untuk membiasakan diri mendengar dan menggunakan sastra Madura baik lisan maupun tulisan. Tahapan ini harus melibatkan Pemerintah Kabupaten, karena Pemerintah Kabupaten adalah satu-satunya institusi yang mampu mengeluarkan kebijaksanaan formal tentang konservasi sastra Madura dalam bentuk Peraturan Daerah. Dalam dunia pendidikan di pulau Madura atau daerah lain yang mayoritas penduduknya adalah penutur bahasa Madura, pengajaran bahasa Madura harus mampu disisipkan sastra-sastra Madura yang pengajarannya tidak hanya sebatas pengajaran pengetahuan saja, namun lebih menjurus pada praktek dan pembiasan seperti menulis pantun-pantun Madura, paparegan, tembhang dan syi’ir. Kegiatan-kegiatan
berbahasa
Madura tulis wajib dimunculkan pada acara yang mengandung dimensi budaya seperti lomba-lomba, festival, dan seminar budaya 2. Standarisasi Bahasa Madura. Tahapan ini dilakukan dengan cara merumuskan kodifikasi atau pembakuan bahasa Madura dibidang ejaan, istilah, tatabahasa dan leksikon (Kusnadi dalam Azhar, 2009), sehingga kerancuan yang terjadi dalam masyarakat tentang bagaimana seharusnya menuliskan kata dalam bahasa Madura tidak terjadi lagi. Kamus bahasa Madura yang diterima dan digunakan seluruh masyarakat Madura haruslah ada. Dengan adanya
17
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
Standarisasi ini akan memudahkan melakukan pendokumentasian karya-karya tulis berbahasa Madura 3. Renaisansi buku berbahasa Madura. Ketika tahap revitalisasi sukses, dan semua penduduk Madura dan penutur bahasa Madura telah mulai terbiasa dengan hadirnya sastra dan tulisan Madura, maka tahap yang kedua ini dapat dilaksanakan. Tahap ini dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada kaum intelektual, sastrawan, pendidik, budayawan Madura untuk menulis buku sastra berbahasa Madura massive seperti kumpulan tembhang, dungngeng dan pantun. Buku-buku ini haruslah beredar tidak hanya di pulau Madura saja tapi harus didistribusikan ke seluruh kawasan Nusantara. Tujuan tahapan ini adalah pengenalan sastra Madura secara intensif kepada masyarakat Nusantara. 4. Promosi sastra dan budaya Madura. Tahapan ini dilakukan melalui berbagai media seperti surat kabar dan televisi. Forum-forum resmi seperti seminar, lokakarya dan konfrensi tentang sastra Madura harus diagendakan secara rutin tiap tahun di setiap daerah yang mayoritas penuturnya adalah penutur bahasa Madura. Ruang pemberitaan dalam surat kabar, siaran-siaran berbahasa Madura harus diusahakan ada pada tiap daerah di Madura atau daerah yang mayoritas penduduknya penutur asli bahasa Madura. Kegiatan promosi lainnya seperti lomba-lomba menulis dhungngeng, tembhang, sendilan, membuat puisi dan prosa berbahasa Madura haruslah diselenggarakan setiap tahun. 5. Konservasi Sastra Madura. Ketika empat tahapan di atas telah dilewati dengan sukses, hal ini menunjukkan kepada kita bahwa sastra dan tulisan-tulisan Madura telah berkembang dengan baik. Perkembangan ini harus dicermati dengan seksama agar eksistensi dan kemurnian sastra dan tulisan-tulisan Madura tetap terjaga. Konservasi ini dilakukan dengan cara melakukan kegiatan inventarisasi, penelitian di bidang sastra dan bahasa, dan diskusidiskusi tentang Madura.
Simpulan Dari pemaparan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain: (1) penguasaan mayoritas responden terhadap setting-setting diglosia cukup baik (2) ada beberapa responden yang salah mengenali setting-setting diglosia dan karenanya salah menggunakan tingkat bahasa Madura pada beberapa setting
18
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
(3) seluruh responden pernah merasa kurang percaya diri dalam menghadapi salah satu dari 16 setting diglosia yang disebutkan oleh mereka. (4) terdapat 13 setting diglosia dan variasi strategi dalam menghadapinya (5) bahasa Madura jarang digunakan dalam setting diglosia yang berhubungan dengan tulisan, ini adalah pertanda kurang bagus terhadap eksistensi BM di masa depan (6) meskipun sebagian besar responden mengaku sering menggunakan bahasa E-B , ternyata pengetahuan tingkat bahasa E-B responden rendah. Mereka merasa sudah menguasai tingkat bahasa E-B tapi sebenarnya yang mereka kuasa masih dalam tataran tingkat bahasa E-E. Ada beberapa fase yang ditawarkan peneliti dalam mengatasi absennya BM dalam Madura antara lain: (1) revitalisasi bahasa Madura, (2) standarisasi bahasa Madura, (3) renaisansi buku berbahasa Madura, (4) promosi sastra dan budaya Madura (5) konservasi sastra Madura
REFERENSI Azhar, N, Iqbal. 2009. dalam Bahasa dan Sastra Dalam Konteks Kearifan Lokal: Penyerapan Kosakata Bahasa Madura Sebagai Strategi Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Surabaya: Kanzun Beardsmore, H.B. 1982. Bilingualism: Basic Principles. Clevedon: Multilingual Matters. Baker, C. (1996). Foundations of Bilingual Education and Bilingualism, 2nd Ed. Clevedon: Multilingual Matters. Ferguson, C.A. (1959/2000). “Diglosia”. In L. Wei, The Bilingual Reader. London & New York: Routledge. Haugen, E. ”Dialect, Language, Nation” dalam Dil, A.S. (ed). 1972. The ecology of language, Essay by Einar Haugen, California: Stanford University Press Oksaar, E. ”Bilingualism” dalam Sebeok, Th, (ed). (1972). Current Trends in Linguistics, Vol.9, Linguistics in Western Europe. Paris: Mouton Sukardi, Azis. 2001. Kesusastraan Madura Kembang Sataman. Jember: Dinas Pendidikan Kabupaten Jember. Suwito, 1983. Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Universitas Sebelas Maret
19
Prosiding Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu. MENYELAMATKAN BAHASA IBU SEBAGAI KEKAYAAN BUDAYA NASIONAL. 2010. Balai Bahasa Bandung dan Alqa Print
20