PENTINGNYA PEMBELAJARAN KEBERAKSARAAN FUNGSIONAL SEBAGAI STRATEGI PEMERTAHANAN BAHASA BIMA Indah Afrianti dan Aron Meko Mbete PS Magister Linguistik Universitas Udayana
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini mengemukakan masalah strategi pemberantasan keniraksaraan guyub tutur demi kebertahanan bahasa Bima. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan metode pengamatan, wawancara, dan studi dokumentasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan strategi pembelajaran keberaksaraan fungsional sebagai strategi pemertahanan bahasa Bima. Keaksaraan fungsional adalah pendekatan untuk mengembangkan kemampuan menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berpikir, mengamati, mendengar yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari dengan lingkungan sekitar warga belajar. Pemertahanan bahasa dan keaksaraan perlu digalakkan agar bahasa yang terancam punah ini tetap hidup dan digunakan kembali oleh guyub tuturnya. Upaya untuk menghindari kepunahan bahasa memerlukan sikap positif dan strategi pemertahanan bahasa Bima oleh guyub tuturnya. Makalah ini membahas tentang pembelajaran keaksaraan fungsional sebagai strategi pemertahanan bahasa Bima. Pentingnya guyub tutur bahasa Bima untuk pemberantasan buta huruf (niraksara) adalah upaya agar guyub tuturnya mampu membaca dan menulis bahasa Bima baik huruf latin maupun aksara Bima sendiri. Abjad/ huruf, kata-kata, kalimat, dan wacana bahasa Bima juga menjadi bahan pembelajaran keberaksaraan fungsional dengan mengutamakan menulis dan membaca, mengingat masyarakat Bima sekarang jarang yang memahami bahasa tulis bahasa Bima. Mereka hanya bisa mengungkapkan secara lisan dan tidak terampil menulis aksara Bima dan latin. Kata kunci: Strategi pembelajaran, keaksaraan fungsional, pemertahanan bahasa Bima Abstract This study was about the strategy to eradicate the illiteracy among the Bima’s speech community in order to maintain the existence of the language. This research applied the descriptive qualitative methods, included observation, interviews, and documentation study. This study aimed to determine the condition of functional and learning strategies as one way to preserve the existence of Bima language. The functional literacy approach was to develop the ability to master and use the skills of writing, reading, math, thinking, watching, and listening, which all were based on our everyday life. The preservation of language needed to be encouraged so that the endangered language would be kept alive and reused by its speech community. The attempts to avoid the extinction of the language required some positive attitudes and strategies. The importance of eradicating the iliteracy had become the efforts to make them able to read and write, both in Latin’s and Bima’s script. It was because most Bima’s people could express the language more on oral rather than written. Keywords: learning strategies, functional literacy, preservation of Bima language
Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan memiliki keberagaman warisan budaya yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Di antara banyaknya warisan budaya tersebut adalah tulisan asli dengan berbagai karakter daerah yang termasuk kategori Nusantara. Menurut Kertasari et. al (2009), Kozok (2009) aksara Nusantara dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok besar di antaranya aksara Hanacaraka (ada 37
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
di Jawa, Sunda dan Bali), aksara Batak (ada di Angkola-Mandailing, Toba, Simalungun, Pakpak Dairi Aksara, Karo), aksara Ulu (ada di Kerinci, Rejang, Lampung, Lembak, Pasemah dan Serawi), aksara Sulawesi (aksara Lontar-Bugis, Makasar dan Bima) dan aksara Filipina (Bisaya, Tagalog, Tagbanwa, Mangyan). Namun, saling pengaruh antaraksara juga merupakan keniscayaan dari sejumlah antarbahasa, khususnya bahasa tulis (lihat Young, 2012:145). Pengaksaraan bahasa pertama-tama mencakup usaha menciptakan tata aksara atau tata tulis yang tidak terbatas pada pemilihan sistem ideogram, tetapi juga menyangkut aturan lain yang di dalam sistem yang berdasarkan abjad, misalnya, menyangkut pemakaian tanda baca dan huruf kapital, penulisan kata majemuk dan bilangan. Proses pembangunan yang betul-betul bergaris haluan terciptanya partisipasi politik sebanyak-banyaknya lapisan masyarakat, kadar lajunya sering bergantung pula pada taraf keberaksaraan di antara penduduk. Pengerahan dan mobilisasi itikad untuk membangun tidak akan berhasil jika rencana pembangunan tidak dapat dibaca dan dipelajari oleh kalangan luas dengan baik. Penyampaian informasi secara lisan semata-mata, akhirnya hanya berkesan dalam bentuk slogan dan semboyan yang berkali-kali dilafalkan sebagai pengganti karya pembangunan itu sendiri. Selain itu wujud lisan sulit diwariskan. Keberaksaraan dalam guyub tutur bahasa Bima mencakupi di sisi lain aksara latin, aksara Bima “asli,” aksara Arab yang berbeda namun saling melengkapi. Aksara Bima asli jelas menjadi jati diri dan ajang kehidupan keislamaman bernuansa Bugis, sejalan dengan aksara asli yang merekam kakayaan budaya Bima. Di sisi lain aksara asli menjadi sarana pengembangan pengetahuan baru, baik melalui bahasa Bima maupun bahasa Indonesia. Akan tetapi gejala keniraksaraan ketiganya khusus aksara Bima kian mengkhawatirkan. Dengan demikian “bagaimanakah strategi pembelajaran keberaksaraan fungsional merupakan tumpuan dan pijakan masalah yang tampak penting untuk dijawab.” Teori
Bahasa yang sudah memiliki tata tulis atau tata aksara dan secara teratur dipakai dalam tulisan dapat disebut bahasa yang beragam tulisan, di samping beragam lisannya. Setelah ragam tulisan menyebar, semua ragam lisan bahasa tidak dapat lagi diberikan di dalam kehampaan karena terjadinya proses pemengaruhan timbal-balik yang dapat berakibat bahwa ragam lisan dapat berubah ke arah ragam tulisan akibat sifatnya yang lebih konservatif. Sibayan (1974) menambahkan bahwa pendidikan terutama terlaksana lewat ragam tulisan (buku, makalah, ujian) walaupun ragam lisan jadi dasarnya. Haugen (1969) dan Kloss (1967) memberikan alasan yang kuat mengapa pengembangan bahasa selayaknya dipusatkan pada ragam tulisan. Di dalam masyarakat yang berdasarkan komunikasi bersemuka tidak diperlukan pengembangan bahasa yang berencana. Kesalahan berbahasa yang diperbuat oleh pembelajar bahasa seketika itu juga dapat dikoreksi oleh orangtuanya, gurunya, atau orang sebayanya. Di dalam masyarakat bahasa yang lebih besar, sarana komunikasi yang paling sepadan ialah sandi bahasa yang dapat merentangi perbedaan waktu dan tempat. Bentuk bahasa itu ialah terutama ragam tulisan. Berlainan dengan ragam lisan, ragam tulisan tidak dapat dikoreksi dengan seketika. Itulah sebabnya mengapa ragam tulisan memerlukan usaha perbaikan bentuknya secara terarah dan terencana. Itulah sebabnya mengapa ragam tulisan pula yang dijadikan sasaran pertama pengembangan bahasa, baik oleh badan yang resmi maupun oleh orang per orang atau lembaga sosial. Hubungan antara masalah keniraksaraan dan pembinaan bahasa Bima sebagai 38
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
strategi penting dalam pemberdayaan bahasa, harus dicari di dalam aspek pemilihan bahasa yang akan mendasari pengajaran membaca dan menulis dan pemilihan tata tulis. Bowers (1968) mengemukakan bahwa pemerintah di dalam masyarakat aneka-bahasa dapat memilih di antara tiga macam garis haluan: (1) mengajarkan aksara yang digunakan di dalam bahasa nasional atau bahasa resmi negara itu; (2) mengajarkan aksara yang digunakan di dalam semua bahasa daerah kepada penuturnya masing-masing; atau (3) mengajarkan aksara yang digunakan sejumlah bahasa daerah yang terkemuka saja. Dalam konteks ini, pembelajaran anekabahasa (multilingual) secara berimbang, disarankan menjadi kebijakan dan strategi yang sangat penting (Mbete, 2015) Kegiatan pembinaan bahasa tidak mungkin menunggu hingga taraf pengembangan bahasa selesai dulu, tetapi harus berlangsung serempak. Kita tidak dapat menantikan rampungnya pembakuan tata bahasa atau tata istilah, misalnya, dan baru mulai dengan perbaikan mutu ajaran dan tulisan karena tuntutan zaman tidak mengizinkannya. Dalam pada itu, ada sejumlah rintangan yang mungkin menghambat kelancaran usaha pembinaan itu. Di antaranya dapat disebut variabel yang berikut: keanekabahasaan yang disertai taraf keniraksaraan yang tinggi; kelangkaan penutur tolak dan tulisan yang dapat diteladani. Naskah merupakan sebuah bentuk peninggalan budaya yang sampai sekarang masih dapat dirasakan keberadaannya. Naskah kuno atau manuskrip merupakan dokumen dari berbagai macam jenis yang ditulis dengan tangan, tetapi lebih mengkhususkan kepada bentuk yang asli sebelum dicetak (Purnomo, 2010:1). Pendapat lain menyebutkan bahwa naskah kuno atau manuskrip adalah dokumen dalam bentuk apapun yang ditulis dengan tangan atau yang diketik dan yang belum dicetak atau dijadikan buku tercetak yang berumur 50 tahun lebih (UU Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992, Bab I Pasal 2). Pembahasan Dou mbojo (baca: Orang Bima) dengan bahasa, adat, dan budaya lokal mereka sebagai bagian dari peradaban dunia telah mengenal tradisi tulis menulis sejak lama. Ini terbukti banyaknya naskah yang masih tersimpan, bahkan mereka telah mampu menciptakan sebuah model aksara sendiri yang dikenal dengan Aksara Bima. Aksara Bima ini sempat hilang seiring dengan keharusan untuk menggunakan aksara Arab-Melayu atas instruksi Sultan Bima II, Sultan Abdul Khair Sirajudin yang memimpin Bima + tahun 1640–1682 M. Tidak heran kemudian Aksara Bima tertimbun dan lenyap ratusan tahun, bahkan nyaris tak terbicarakan dalam sejarah Bima. Membuka kembali tabu Aksara Bima kuno inilah yang menjadi subject matter kajian berikut ini. Secara teoretis pemberantasan buta aksara memiliki tahapan, yaitu tahap keaksaraan dasar dan tahap keaksaraan mandiri. Tahap keaksaraan dasar adalah warga yang belajar belum memiliki pengetahuan dasar tentang baca, tulis, dan hitung (calistung), tetapi telah memiliki pengalaman yang dapat dijadikan kegiatan pembelajaran. Terakhir, tahap keaksaraan mandiri adalah warga yang belajar telah memiliki pengetahuan dan pengalaman. Pada hasil belajarnya, warga belajar diharapkan dapat menganalisis dan memecahkan masalah dalam rangka meningkatkan mutu taraf hidupnya. a. Tujuan dan Fungsi Keberaksaraan Fungsional Keberaksaraan fungsional memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dasar manusia yang meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Kemampuan ini bersifat fungsional dalam meningkatkan mutu dan taraf pengetahuan dasar yang dibutuhkan dalam kehidupan dan masyarakatnya. Tujuan utama program keberaksaraan 39
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
fungsional adalah membelajarkan warga belajar agar dapat memanfaatkan kemampuan dasar baca, tulis, dan hitung (calistung) dan kemampuan fungsionalnya dalam kehidupan sehari-hari. b. Strategi Pembelajaran Keberaksaraan Fungsional Hakikatnya warga belajar keberaksaraan fungsional tergolong orang dewasa. “Strategi dan pendekatan pembelajaran yang digunakan hendaknya mengikuti kaidahkaidah pendidikan orang dewasa (Andragogi).” Kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa yang menjadi acuannya dapat dipilah sebagai berikut: (1) Pembelajaran harus berorientasi pada masalah (problem oriented). (2) Pembelajaran harus berorientasi pada pengalaman pribadi warga belajar (experiences oriented). (3) Pembelajaran harus memberi pengalaman yang bermakna (meaningfull) bagi warga belajar. (4) Pembelajaran harus memberi kebebasan bagi warga belajar sesuai dengan minat, kebutuhan dan pengalamannya. (5) Tujuan pembelajaran harus ditetapkan dan disetujui oleh warga belajar melalui kontrak belajar (learning contract). (6) Warga belajar harus memperoleh umpan balik (feedback) tentang pencapaian hasil belajarnya. Pembelajaran pada orang dewasa juga harus berorientasi pada pengalaman warga belajar itu sendiri. Hasil dari pengalaman itu menentukan ide, pendirian, dan nilai dari orang yang bersangkutan. Pikiran, ide, pengalaman dan informasi yang terdapat diri dalam warga belajar harus dikembangkan sehingga akan membantu perkembangan atau kemajuan belajarnya. Pengalaman termasuk pengalaman generasi terdahulu dalam naskah kuno, merupakan sumber yang kaya untuk dipelajari. Oleh karena itu, orientasi belajar orang dewasa berkaitan erat dengan keinginan dan ketetapannya untuk mengarahkan diri sendiri menuju kedewasaan, dan demi kemandirian agar pembelajarannya bermakna. 1. Pengaksaraan Pengaksaraan bahasa pertama-tama mencakup usaha menciptakan tata aksara atau tata tulis yang tidak terbatas pada pemilihan sistem ideogram, tetapi juga menyangkut aturan lain yang di dalam sistem berdasarkan abjad, misalnya menyangkut pemakaian tanda baca dan huruf capital, penulisan kata majemuk dan bilangan. Di samping tata aksara latin bagi pembelajaran dewasa ini banyak dipakai di Indonesia, masyarakat Indonesia pernah mengenal tata aksara yang berasal dari India selatan dan yang, lewat modifikasi yang berulang-ulang, digunakan secara luas ketika hinduisme dan buddhisme berkembang di Asia Tenggara. Tata aksara lain yang menyebar luas ialah tata aksara Arab yang pernah dipakai untuk bahasa Spanyol (Smalley 1963), bahasa Melayu, bahasa-bahasa di Afrika Utara, Timur-Tengah dan bahkan untuk bahasa Jawa dan beberapa bahasa Nusantara lain, sampai taraf tertentu, ketika Islam mengembangkan sayapnya. a. Penyusunan Sistem Tulisan Penyusunan sistem tulisan untuk bahasa yang belum beraksara yang diusahakan di dalam rangka pengembangan bahasa tidak terlepas dari aspek politik dan sosial-budaya masyarakat bahasa yang bersangkutan. Di antara faktor-faktor yang berpengaruh itu dapat disebut: (1) ada tidaknya tradisi kepustakaan yang sudah lama. Hal itu bersangkutan lagi dengan (2) tinggi rendahnya taraf keberaksaraan di dalam masyarakat dan dengan (3) hidup tidaknya kebudayaan membaca dan (4) industri perbukuan. Faktor lain ialah (5) ada tidaknya perubahan kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh peristiwa politik atau pergolakan budaya dan yang 40
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
diungkapkan lewat perilaku kebahasaan. Tampaknya, (6) watak bangsa – jika istilah watak di dalam hubungan ini dapat dipakai – juga berperan terhadap kesudahan usaha pembaharuan itu. Satu dua contoh di bawah ini dapat dikemukakan sebagai ilustrasi. b. Bahasa Tulisan Bahasa yang sudah memiliki tata tulis atau tata aksara dan yang secara teratur dipakai dalam tulisan dapat disebut bahasa yang beragam tulisan di samping ragam lisannya. Kenyataan sejarah itu menimbulkan prinsip utama di kalangan linguistik struktural, lebih-lebih di Amerika Serikat yang menganut pendirian yang antara lain diungkapkan oleh Bloomfield (1933) bahwa tulisan hanyalah perekaman bahasa dengan lambang yang kasatmata. Ujaran (speech)-lah yang primer, tulisan yang sekunder. Pendirian itu mungkin timbul sebagai reaksi terhadap anggapan yang merata di antara orang awam bahwa bahasa yang jati ialah ragam tulisan, sedangkan ragam lisan hanyalah seduhan yang tidak murni lagi. Setelah ragam tulisan menyebar, semua ragam lisan bahasa tidak dapat lagi diberikan di dalam kehampaan karena terjadinya proses pemengaruhan timbal-balik yang dapat berakibat bahwa ragam lisan dapat berubah ke arah ragam tulisan akibat sifatnya yang lebih konservatif. Sibayan (1974) menambahkan bahwa pendidikan terutama terlaksana lewat ragam tulisan (buku, makalah, ujian) walaupun ragam lisan jadi dasarnya. Haugen (1969 dalam Moeliono, 1985) dan Kloss (1967 dalam Moeliono 1985) seperti yang disinggung di depan akhirnya memberikan alasan yang kuat mengapa pengembangan bahasa selayaknya dipusatkan pada ragam tulisan demi keberaksaraan guyub tutur setiap bahasa. Di dalam masyarakat yang berdasarkan komunikasi bersemuka tidak diperlukan pengembangan bahasa yang berencana. Kesalahan berbahasa yang diperbuat oleh pembelajaran bahasa seketika itu juga dapat dikoreksi oleh orang tuanya, gurunya, atau orang sebayanya. Di dalam masyarakat bahasa yang lebih besar, sarana komunikasi yang paling sepadan ialah sandi bahasa yang dapat merentangi perbedaan waktu dan tempat. Itulah sebabnya mengapa ragam tulisan memerlukan usaha perbaikan bentuknya secara terarah dan terencana, dan itulah sebabnya pula mengapa ragam tulisan yang dijadikan sasaran pertama pengembangan bahasa orang seorang. Jika taraf perkembangan bahasa diukur dari jurusan jenis tujuan pemakaian ragam tulisan, maka dapat dipakai penggolongan yang diajukan oleh Ferguson (1962) dan yang juga diikuti oleh Haugen (1969). Golongan pertama meliputi bahasa yang tidak atau belum dipakai untuk tujuan penulisan. Yang biasa seperti (1) penulisan surat pribadi, (2) pemakaian di dalam surat kabar atau majalah popular, atau (3) pemakaiannya di dalam buku yang tidak merupakan terjemahan dari bahasa lain. Golongan kedua meliputi bahasa yang memang dipakai untuk tujuan penulisan biasa yang disebut di atas. Golongan ketiga mencakupi bahasa yang dipakai untuk merekam penelitian dan penulisan karya ilmiah yang diterbitkan. Golongan keempat merangkum bahasa yang di samping semuanya itu digunakan untuk penerjemahan karya ilmiah yang ditulis dalam bahasa lain; golongan itu menunjukkan pelaksanaan kemungkinan antarterjemah di antara bahasa yang sudah terkembang. Klasifikasi di atas merupakan penggolongan berdasarkan ciri-ciri yang kumulatif. c. Masalah Bahasa Daerah Bagi pemerintah negeri yang aneka bahasa sifatnya seperti di Indonesia, 41
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
garis haluan kebahasaan di dalam sistem pendidikan harus merupakan paduan bermacam-macam pertimbangan yang sering bertentangan. Bahwa bahasa nasional yang resmi diajarkan sebagai objek studi, umumnya, bukan masalah. Yang lebih sulit pemecahannya ialah pemilihan bahasa nasional atau salah satu bahasa daerah, yang merupakan bahasa ibu pelajar, sebagai bahasa pengantar. Dalam pemilihan itu dapat diperhatikan gagasan Bowers (1968) yang mengemukakan faktor-faktor yang berikut: (1) keuntungan psikologis yang diperoleh jika pengajaran berlangsung dengan perantaraan bahasa ibu; (2) tuturan yang disuarakan oleh berbagai kelompok etnis supaya martabat bahasanya diakui, dan pengaruh politis yang dimilikinya di dalam masyarakat; (3) biaya yang diperlukan jika jumlah bahasa pengantar harus dilipatgandakan; (4) ketersediaan kaum guru yang mahir dalam bahasa daerah dan bahasa nasional sekaligus; (5) ketiadaan buku pelajaran dalam bahasa daerah dan konsenkuensinya untuk menulis, menerjemahkan, dan menerbitkan karangan; (6) masalah mengusahakan sistem pengujian yang setara jika berbagai bahasa pengantar digunakan; (7) kesulitan yang dihadapi pada tingkat sekolah menengah dan perguruan tinggi jika bahasa pengantar atau bahasa sebagai objek studi tidak memiliki susastra yang memadai atau kurang terkembang bagi pelambangan konsep ilmu yang modern. Terhadap pertimbangan itu dapat diberikan ulasan berikut. Konferensi UNESCO 1953 tentang pendidikan berkesimpulan bahwa pendidikan sedapatdapatnya diberikan lewat bahasa ibu berdasarkan asumsi bahasa pemajanan (exposure) terhadap bahasa ibu selama mungkin menguntungkan bagi perkembangan kecendekiaan, keemosian, dan kemasyarakatan individu. Bahasa daerah yang digunakan sebagai salah satu mata pelajaran, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, hendaknya merupakan bahasa yang tidak saja mencerminkan kekayaan budaya daerah yang bersangkutan, tetapi juga merupakan bahasa yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya khazanah bahasa dan budaya Indonesia pada umumnya. 2. Sejarah Aksara Bima dan Bentuk Aksara Bima a. Sekilas Penemuan Aksara Bima Aksara sepanjang sejarah perkembangannya merupakan lambang kemajuan peradaban dan media untuk memacu perkembangan peradaban. Di mana-mana, di dunia ini, ketika belum mengenal aksara, tingkat peradaban manusia tergolong masih rendah dan sangat sederhana. Aksara dipandang sebagai batasan masa kehidupan manusia antara zaman prasejarah (masa sebelum mengenal aksara) dengan zaman sejarah (masa sesudah manusia menganal dan mempergunakan aksara). Di sinilah kehebatan masyarakat Bima pada masa silam dapat menciptakan aksara sendiri dan menyumbangkan karya cipta yang luar biasa bagi kemajuan dan perkembangan peradaban Bima. Sebagaimana sering didengar anggapan sebagian masyarakat Bima yang mengatakan bahwa aksara yang digunakan oleh masyarakat Bima pada masa awal kerajaan adalah aksara Arab-Melayu. Padahal, jauh sebelum masyarakat Bima mengenal Aksara Arab Melayu, sudah terlebih dahulu mengenal Aksara Bima. Karena berdasarkan catatan sejarah juga bahwa tradisi tulis menulis di Kerajaan Bima sudah dikenal sejak abad XIV M dan dilakukan oleh generasi ke generasi berikutnya sampai abad XX M. Hanya sayangnya catatan atau tulisan dalam Aksara 42
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Bima tersebut hampir sudah tidak ada lagi, tinggal beberapa naskah saja yang masih tersimpan rapi di museum Samparaja Bima dan Perpustakaan Museum Nasional RI Jakarta. Setelah agama Islam masuk di Bima pada awal abad XVII (1609) dan Kesultanan Bima berlandaskan Islam semua catatan, korespondensi, surat keputusan, dan sebagainya, diperintahkan oleh Sultan Bima II untuk ditulis dengan menggunakan Aksara Arab-Melayu. Perintah itu jelas berdampak politik keberaksaraan pula. Anggapan sebagian masyarakat Bima mengenai ketiadaan aksara Bima didiami oleh Henry Chambert Loir yang mendasarkan pendapat pengamat asing bahwa bahasa Bima (nggahi Mbojo) tidak pernah menjadi bahasa tulis resmi yang umum di Kerajaan Bima pada saat itu. Oleh karena itu, untuk membuktikan ketidakbenaran klaim Henry tersebut, penulis (Hj.Siti Maryam R. Salahuddin) menemukan salah satu naskah di Perpustakaan Museum Nasional Republik Indonesia di Jakarta dalam bentuk selembar dokumen yang merupakan lampiran dari hasil laporan perjalanan seorang peneliti Belanda, H. Zollinger yang pernah melakukan perjalanan ke Bima dan Sumbawa pada bulan Mei–Desember 1847. Dokumen tersebut berjudul Alfabet Bima yang telah hilang. Aksara Bima juga tertulis didalam buku Raffles yang berjudul The History of Java. Setelah sekian lama tersimpan, barulah Aksara Bima ini dapat dideklarasikan pada tanggal 28 juli 2007 pada acara penutupan Simposium International Penaskahan Nusantara XI yang dilaksanakan di Bima. Walaupun demikian, perlu diingat bahwa pendeklarasian tersebut belumlah memberikan informasi yang utuh mengenai Aksara Bima sehingga perlu diadakan penelitian dan penelaahan yang serius dalam rangka mengungkap misteri terkait Aksara Bima tersebut. b. Bentuk Aksara Bima Setelah membaca beberapa naskah Aksara Bima yang terdapat di samparaja Bima, penulis menemukan bahwa naskah Aksara Bima tersebut yang terdiri atas bentuk huruf (diagraf). Pertama, bentuk satu huruf yakni A sampai Y kecuali Q,V, X, dan Z yang tidak ditemukan bentuk hurufnya. Namun dalam beberapa kalimat ditemukan, jika terdapat huruf Q, maka dipergunakan huruf K sebagai penggantinya seperti kata mutlaq jadi mutlak, Qosdun jadi Kosdun. Begitu juga huruf Z diganti dengan J seperti kata zaman menjadi, kata zat menjadi jat. Adapun huruf V dan X kemungkinan tidak menjadi sistem fonem dalam bahasa Bima. Hal ini tidak perlu diteliti lebih lanjut. Kedua, bentuk huruf yang menjadi lambang pranasal atau sengau seperti: mba, nca, nga, ngga, nda, nta, dan mpa. Selain itu, terdapat huruf sengau yang dalam penggunaannya melihat konteks dalam kalimat, karena aksara-aksara tersebut dapat dibaca dalam dua bentuk, aksara ba bisa dibaca ba, bisa juga dibaca mba, aksara da bisa dibaca da bisa juga dibaca nda dan aksara ga bisa dibaca ga bisa juga dibaca ngga. c. Tata Tulis Aksara Bima Jika membaca naskah aksara Bima, maka membacanya mulai dari kiri ke kanan sama dengan ketika membaca huruf latin. Untuk bisa membaca dan memahaminya, berdasarkan pengalaman penulis, harus terlebih dahulu menghafal huruf-hurufnya, baru membaca naskah aksara Bima dengan pelan-pelan. Tahap awal 43
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
terasa sulit karena harus mengeja huruf per huruf agar mendapatkan satu makna yang utuh, ditambah lagi sistem penulisannya tidak mengenal spasi dan garis baru. Penulis menemukan tanda baca yang sampai saat ini belum dapat ditentukan makna yang sesungguhnya. Tanda baca yang banyak ditemukan dalam naskah Aksara Bima adalah titik dan koma. Apakah titik dua ini menunjukkan titik dua, titik koma, titik, koma atau tanda-tanda yang lain. Juga terdapat tanda berupa garis datar. Ini juga belum bisa penulis tentukan makna yang sebenarnya. Maka perlu membaca lebih banyak lagi aksara Bima lainnya. Jika ditemukan kemudian hari, maka kita dapat untuk mengungkapkan fungsi masing-masing tanda baca tersebut. Tanda tersebut bisa juga di baca a, i, u, e dan o tergantung kata akhirnya apakah dibaca a, i, u, e dan o. Aksara Bima juga memiliki huruf vokal dan konsonan. Huruf vokal hanya satu yang berdiri sendiri yaitu huruf a , sedangkan huruf vokal yang lain yakni i, u, e dan o bentuk hurufnya sama dengan a namun harus diberi tanda agar berbeda dengan a. Misalnya huruf a jika diberi tanda titik diatas huruf dibaca i diberi tanda titik di bawah huruf dibaca u , diletakkan tanda miring kecil samping kiri bawah dibaca e , diberi tanda miring kecil samping kanan bawah dibaca o . Untuk memperjelas uraian di atas, dapat diperhatikan keterangan sebagai berikut:
Sedangkan huruf konsonan, penggunaannya dalam kalimat semuanya dibaca fathah seperti ba ta sa ja ha da ra dan seterusnya. Jika dibaca yang lain, maka diberi tanda. Misalnya, tanda titik di atas huruf dibaca i ri, tanda titik di bawah huruf dibaca u ru, garis miring kecil pojok kiri bawah dibaca e re, garis miring kecil pojok kanan bawah huruf dibaca o ro.
44
3. Keseimbangan atau keharmonisan literasi antara Latin, Arab, Bima (LAB) Leksikal Bahasa Bima
Anggota keluarga
Anggota badan
4. Strategi Pemertahanan Bahasa Perubahan, pergeseran, dan pemertahanan bahasa masih berkaitan dengan masalah kontak bahasa yang terjadi dalam masyarakat bilingual atau multilingual. 45
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Perubahan bahasa menyangkut soal bahasa sebagai kode, dan sesuai pula dengan sifatnya yang dinamis, dan sebagai akibat persentuhan dengan kode-kode lain, bahasa itu bisa berubah. Pemertahanan bahasa lebih menyangkut masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa, untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa-bahasa lainya. a. Konsep Pemertahanan Bahasa Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala pemertahanan bahasa sangat menarik untuk dikaji. Ketidakberdayaan suatu bahasa minoritas untuk bertahan hidup itu mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah sebuah kontak guyub minoritas dengan bahasa kedua, sehingga mengenal dua bahasa dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya bahasa asli bergeser atau punah. Hal ini di karenakan oleh dominasi dan hegemoni bahasa kedua. Statusnya secara sosial dan politik sampai menentukan kuat lemahnya daya hidup bahasa-bahasa dalam masyarakat yang bilingual dan multilingual. b. Contoh Pemertahanan Bahasa di Indonesia Contoh kasus pemertahanan bahasa terjadi pada masyarakat Loloan yang berada di Bali. Kasus pemertahanan bahasa Melayu Loloan ini disampaikan oleh Sumarsono (Chaer 2004:147). Menurut Sumarsono, penduduk Desa Loloan yang berjumlah sekitar tiga ribu orang itu tidak menggunakan sejenis bahasa melayu yang di sebut bahasa melayu loloan, sejak abad ke-18 ketika leluhur mereka yang berasal dari Bugis dan Pontianak tiba ditempat itu. c. Faktor-faktor Strategis Pemertahanan Bahasa Bertahan atau bergesernya sebuah bahasa, baik pada kelompok minoritas maupun pada kelompok imigran transmigran dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa faktor industrialisasi dan urbanisasi/transmigrasi merupakan faktor-faktor utama. Fishman (1972) menyebutkan bahwa salah satu faktor penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat pendukungnya. Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan tetap mewariskan bahasanya dari generasi ke generasi. Selain itu, faktor konsentrasi wilayah pemukiman oleh Sumarsono (1972:27) disebutkan pula sebagai salah satu faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah bahasa. Holmes dalam language maintenance dan shift in three New Zealand speech community (Applied Linguistics, vol. 14 no.1, 1993:14) menunjuk tiga faktor utama yang berhubungan dengan keberhasilan pemertahanan bahasa. Pertama, jumlah orang yang mengakui bahasa tersebut sebagai bahasa ibu mereka. Kedua, jumlah media yang mendukung bahasa tersebut dalam masyarakat (sekolah, publikasi, radio, dan lain-lain). Ketiga, indeks yang berhubungan dengan jumlah orang yang mengakui dengan perbandingan total dari media-media pendukung. Hal senada juga dinyatakan oleh Miller (1972) yang mengklasifikasikan situasi kebahasaan yang hidup lestari, sakit-sakitan, atau bahkan mati dan punah bergantung kepada apakah anak-anak mempelajari bahasa ibunya, apakah penutur orang dewasanya berbicara dengan sesamanya dalam setting yang beragam menggunakan bahasa ibu tersebut, dan berapa jumlah penutur asli bahasa ibu yang masih ada. Dapat disimpulkan bahwa faktor pemertahanan bahasa, antara lain: (1) 46
Faktor Prestise dan Loyalitas, (2) Faktor Migrasi dan Konsentrasi Wilayah, dan (3) Faktor Publikasi Media Massa. Simpulan dan Saran 1. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas bahwa dalam penulisan aksara Bima baik huruf vokal maupun konsonan ada variasi tersendiri. Pertama, bentuk satu huruf yakni A sampai Y kecuali Q, V, X, dan Z yang tidak ditemukan bentuk hurufnya. Namun dalam beberapa kalimat ditemukan, jika terdapat huruf Q, maka dipergunakan huruf K sebagai penggantinya seperti kata mutlaq jadi mutlak, Qosdun jadi Kosdun. Begitu juga huruf Z diganti dengan J seperti kata zaman menjadi, kata zat menjadi jat. Kedua, bentuk huruf sengau seperti sengau seperti: mba, nca, nga, ngga, nda, nta, dan mpa. Selain itu, terdapat huruf sengau yang dalam penggunaannya melihat konteks dalam kalimat, karena aksara-aksara tersebut dapat dibaca dalam dua bentuk, aksara ba bisa dibaca ba, bisa juga dibaca mba, aksara da bisa dibaca da bisa juga dibaca nda dan aksara ga bisa juga dibaca ngga. Untuk huruf vokal hanya satu yang berdiri sendiri yaitu huruf a , sedangkan huruf vokal yang lain yakni i, u, e dan o bentuk hurufnya sama dengan a namun harus diberi tanda agar berbeda dengan a. Sedangkan huruf konsonan, penggunaannya dalam kalimat semuanya dibaca fathah seperti ba ta sa ja ha da ra dan seterusnya. Sebagaimana dibahas secara teoretis dan hasil pengalaman empirik di masyarakat penutur bahasa Bima di lapangan ternyata banyak penuturnya yang sudah tidak terampil, bahkan tidak bisa dan tidak mengenal lagi aksara Bima “asli.” Sebagai warisan peradaban masa lalu yang menyimpan kekayaan budaya lokal Bima penggalian dan pelestarian aksara Bima, selain aksara Latin dan Arab, sangat penting. Oleh karena itu, pembelajaran keberaksaraan untuk mengalahkan keniraksaraan sangat penting, sekaligus juga melestarikan bahasa Bima. Saran
Melalui tulisan awal ini, kepada Pemerintah Daerah Bima dan masyarakat penutur bahasa Bima disarankan agar pembelajaran bahasa Bima secara tertulis memanfaatkan kembali aksara “asli” Bima agar tidak punah. Generasi muda perlu disadarkan kembali ihwal arti dan nilai di balik aksara yang tersurat dalam teks atau naskah-naskah lama sebagai usaha menggali dan menguatkan jati diri dan mewarisi kembali bahasa Bima, selain mengembangkan bahasa nasional bahasa Indonesia dan menguasai bahasa-bahasa asing. DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. 1998. Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Bloomfield, L. 1933. Languge. New York: Holt, Rinehart and Wilson. Bowers, John. 1968. ‘Language probelm and Literacy,’ dalam Fishman, Ferguson, dan Das Gupta Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik Pengenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Standar Kompetensi Keberaksaraan, Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat, Departemen Pendidikan Nasional.
47
Haugen. 1969. ‘Planning for a Standard Language in Modern Norwe, ’ dalam Anthropological Linguistics. 1/3: 8–21. Kloss, Heinz. 1967. ‘”Abstand” Languges and ”Ausbaus” Languges,’ dalam Anthropological Linguistics 9/7: 29–41. Mahsun, M.S. 2005. Metode Penelitian Bahasa tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Mbete, Aron Meko. 2015. “Pembelajaran Multilingual dan Multikultural sebagai Penguatan Jati Diri Keindonesiaan yang Majemuk,” Makalah disajikan dalam Seminar Sehari di Kabupaten Lombok Utara. Moeliono, Anton M. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Belanda: Djambatan Siti Maryam R. Salahuddin, Munawar Sulaiman, Syukri Abubakar. 2013. Aksara Bima Peradaban Lokal yang Sempat Hilang. Mataram: Alam Tara Institute. Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
48