PENERUSAN BAHASA SUNDA ANTARGENERASI MELALUI PENGAJARAN DI SEKOLAH DASAR SEBAGAI UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH Wahya dan Muhamad Adji Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Abstrak Bahasa daerah di Indonesia mengalami pasang surut perkembangan sejalan dengan perkembangan zaman serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahasa daerah yang diajarkan sebagai muatan lokal wajib di sekolah-sekolah dasar perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah daerah. Hal ini, perlu dilakukan mengingat adanya indikasi rendahnya kemampuan berbahasa daerah para siswa sekolah dasar. Mereka sering tidak menggunakan bahasa daerah secara penuh dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah. Ada kekhawatiran, suatu saat para siswa tidak mampu lagi menggunakan bahasa daerah sebagai jati diri orang tuanya dan bernas dengan nilai-nilai kearifan. Jika ini terjadi, bahasa daerah di ambang kepunahan karena tidak ada generasi pelanjut yang dapat berbahasa daerah. Untuk itu, lembaga pendidikan sebagai fasilitas penerusan antargenerasi bahasa daerah di luar keluarga perlu dievaluasi perannya. Demikian pula, sistem pembelajaran bahasa daerah, termasuk kurikulum, bahan ajar, metode pengajaran, dan pengajarnya perlu dievaluasi. Ini perlu dilakukan segera sebelum terjadi bencana yang lebih besar terhadap bahasa daerah di Indonesia. Kata kunci: bahasa daerah, penerusan antargenerasi, kepunahan, sistem pembelajaran Abstract Local languages in Indonesia have ups and downs developments in line with the times and the advancement of science and technology. Local languages which are taught as compulsory of local content in elementary schools need to get more earnest attention from the local government. It is because the indication of the usage and proficiency is quite low, particularly among the elementary school students. They often do not use the local language fully in everyday life, both at school and at home. There are fears; one day students are no longer able to use the vernacular as the identity of their parents that are full of wisdom values. If this happens, the local language on the verge of extinction as there will be no successor generation who can speak the language. The educational institutions as intergenerational continuation facility in the local language outside the family need to evaluate its role. Similarly, local language learning system, including curriculum, teaching materials, teaching methods, and teachers need to be evaluated. This should be done immediately to maintain the existence of local languages in Indonesia. Keywords: vernacular, intergeneration continuation, extinction, learning system
Pendahuluan Besarnya jumlah penutur suatu bahasa sering dikaitkan dengan tingkat pemertahanan bahasa tersebut. Wajarlah jika ada asumsi pakar linguistik yang didasari pandangan kuantitatif tersebut, yang menyatakan bahwa makin besar jumlah penutur suatu bahasa, makin kuat pula pemertahanan bahasa tersebut. Memang benar, mengecilnya jumlah penutur suatu bahasa menunjukkan makin terbatasnya penggunaan bahasa tersebut. Makin tidak ada penutur suatu bahasa, makin jelaslah status kepunahan bahasa tersebut. Tidak terjadinya penerusan bahasa antargenerasi menjadi penyebab terancam punahnya 81
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
bahasa. Unesco melaporkan hanya 30% bahasa di dunia yang mengalami penerusan antargenerasi (Lauder, 2015). Artinya, lebih banyak bahasa yang tidak mengalami penerusan antargenerasi tadi. Kasus bahasa ibu di Halmahera, yang penuturnya tersisa beberapa orang lagi dan umumnya sudah berusia lanjut, menunjukkan kekritisan kondisi bahasa tersebut. Kidakberdayaan generasi sebelumnya meneruskan bahasa ini ke generasi berikutnya menyebabkan bahasa ibu ditinggalkan generasi berikutnya dan mereka beralih menggunakan bahasa Tarnate (baca Laksono, 2009: 273). Dari peristiwa ini, kita dapat mengambil pelajaran. Ada beberapa indikator yang menunjukkan kondisi bahasa seperti itu. Kegagalan generasi sebelumnya meneruskan bahasa kepada generasi selanjutnya, perlu diteliti. Mengapa penerusan ini tidak terjadi? Apakah bahasa ibu tidak diajarkan orang tuanya di rumah kepada anak-anaknya? Apakah anak-anak enggan mempelajari bahasa orang tuanya? Keengganan ini dapat dipicu karena faktor internal dan eksternal bahasa tersebut. Mungkin juga bahasa lain hadir dengan kondisi yang lebih menjanjikan secara sosial dan budaya? Yang jelas, adanya kemacetan dalam penerusan bahasa dari satu generas ke generasi berikutnya. Mungkinkah bencana ini akan menimpa pula bahasa-bahasa daerah di negeri ini? Masih beruntung jika generasi barikutnya beralih ke bahasa daerah lain atau bahasa Indonesia, bagaimana jika mereka beralih ke bahasa asing? Ini perlu pemikiran dan tindakan nyata para pemangku kepentingan dalam mengelola bahasa daerah sebagai kekayaan budaya yang dianugerahkan Tuhan Yang Mahakuasa kepada bangsa Indonesia. Perencanaan bahasa daerah perlu dievaluasi, termasuk di dalamnya dalam menangani kontak bahasa akibat terjadinya persentuhan bahasa sebagaimana yang diasumsikan Weinreich (1970: 1). Berapa persen orang tua yang masih mengajak anak-anaknya berbicara bahasa daerah di dalam rumah? Berapa persen orang tua yang masih mampu menggunakan bahasa daerah di rumahnya? Topik-topik atau ranah-ranah apa yang masih menggunakan bahasa daerah di dalam rumah? Data ini perlu segera diketahui melalui penelitian. Pengamatan penulis terhadap penggunaan bahasa Sunda oleh anak-anak sekolah dasar di beberapa sekolah di beberapa kota di Jawa Barat menimbulkan keprihatinan. Saat anak-anak ditanya menggunakan bahasa Sunda, mereka menjawab dengan bahasa Indonesia atau campuran Sunda dan Indonesia. Saat meminta informasi penggunaan bahasa Sunda di dalam rumah, pihak sekolah menyatakan bahwa ada orang tua yang tidak dapat membantu mengerjakan pekerjaan rumah siswa karena orang tuanya kurang paham dengan bahasa Sunda dan di rumah pun jarang digunakan bahasa Sunda saat berkomunikasi, terutaam oleh keluarga-keluarga muda di kompleks perumahan. Ini perlu penelitian lebih lanjut. Lagi-lagi hal ini menunjukkan terjadinya kemacetan penerusan bahasa daerah oleh orang tua kepada anaknya. Padahal, di rumahlah anak akan lebih banyak berkomunikasi. Hasil penelitian Khak terhadap penggunaan bahasa Sunda dalam keluarga di Jawa Barat menunjukkan bahwa di beberapa kota yang diteliti nyata-nyata terdapat keluarga yang tidak mengajarkan bahasa Sunda kepada anaknya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa karena nilai bahasa Sunda tidak berbanding lurus dengan kebiasaan berbahasa Sunda di rumah, pelajaran bahasa Sunda sebenarnya tidak terlalu signifikan mendukung pelestarian bahasa Sunda (Hak, 2010: 10). Apa yang diteliti Hak, menunjukan telah terjadinya pergeseran bahasa. Akankah musibah bahasa Ibu menimpa pula bahasa Sunda. Perlu penanganan segera! 82
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Pengajaran Bahasa Daerah Menjadi Bom Waktu Status pengajaran bahasa Sunda di Jawa Barat berbeda dengan pengajaran bahasa Indonesia. Pengajaran bahasa Sunda merupakan muatan lokal wajib, sedangkan bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran wajib. Nilai bahasa daerah sering tidak dijadikan tingkat kelulusan siswa. Hal ini, berbeda dengan bahasa Indonesia. Dari beberapa kota yang diamati, ada sekolah dasar yang jelas menggunakan kurikulum tertentu, namun tidak sedikit sekolah yang menggunakan beberapa kurikulum. Ada sekolah yang memiliki bahan bacaan yang memadai. Ada pula sekolah yang tidak memiliki bahan bacaan yang memadai. Hampir semua guru kelas yang diwawancarai menyatakan sulitnya mengajarkan bahasa Sunda. Beberapa guru kelas yang mengajarkan bahasa Sunda tidak berlatar belakang etnik Sunda, yang tahu bahasa Sunda. Nilai yang diperoleh para siswa umumnya kurang memuaskan. Moeliono (2011: 134) menyarankan adanya pengkajian terhadap pengadaan guru bahasa daerah yang mahir berbahasa daerah dan sekaligus dapat mengajarkannya. Para siswa dari keluarga Sunda di lingkungan sekolah lebih sering menggunakan bahasa campuran Indonesia-Sunda daripada bahasa Sunda. Namun, ini perlu penelitian lebih lanjut. Pengajaran bahasa Sunda yang tidak mandiri karena dikaitkan dengan mata pelajaran lain menyebabkan sedikitnya alokasi waktu ideal untuk pengajaran bahasa Sunda. Demikian pula, terbatasnya siswa berpraktik bahasa Sunda di dalam kelas menyebabkan kurang mahirnya mereka berbahasa Sunda. Hal-hal di atas perlu dicermati oleh para pemegang kebijakan. Perlu dilakukan penelitian yang mendalam mengenai kondisi pengajaran bahasa Sunda kini di Jawa Barat. Jika pengajaran bahasa Sunda dibiarkan begitu saja, tanpa pengontrolan dan pengawalan, dikhawatirkan hasil yang diperoleh tidak akan sesuai dengan tujuan pengajaran. Padahal, pemikiran, tenaga, dan dana yang dicurahkan tidak sedikit. Sayang jika hasilnya nihil! Upaya pengajaran bahasa daerah juga bertujuan melestarikan bahasa tersebut. Penitipan upaya ini secara formal ke lembaga pendidikan selayaknyalah ditangani secara baik. Penciptaan suasana belajar yang nyaman dapat menggairahkan proses pengajaran. Upaya menumbuhkan kesetiaan, kebanggaan, dan rasa hormat terhadap bahasa seharusnya ditumbuhkan sejak dini. Bahkan, bukan sejak di sekolah dasar, melainkan sejak di pendidikan usia dini (PAUD) di daerah tertentu. Namun, sayang pemakaian bahasa daerah sebagai pengantar dalam PAUD belum mendapat perhatian. Jika bahasa daerah tidak diperkenalkan di PAUD, terjadi pemutusan pemerolehan awal bahasa daerah oleh anak-anak. Tragis! Padahal, UNESCO sendiri sejak tahun 1951 merekomendasikan penggunaan bahasa ibu, dalam hal ini bahasa daerah, sebagai bahasa pengantar pendidikan (Alwasilah. 2012: 83). Jika tidak menumbuhkan rasa kesetiaan, kebanggaan, dan hormat terhadap bahasa daerah, upaya pengajaran bahasa daerah di sekolah dasar dianggap telah gagal. Jika usaha penerusan bahasa daerah melalui lembaga pendidikan formal gagal, akan dititipkan kepada siapa penerusan bahasa daerah ini? Para orang tua muda di perumahan, tidak dapat diharapkan menjadi pelaku yang meneruskan bahasa daerah ini kepada anakanaknya. Pandangan penulis, keluarga haruslah menjadi lembaga pertama, utama, dan terdepan dalam penggunaan bahasa Sunda oleh anak-anaknya (lihat pula Wahya, 2011). Oleh karena itu, pengelolaan pengajaran bahasa daerah perlu penanganan komprehensif. Pelestarian dan pemertahanan bahasa daerah tidak akan terwujud jika terjadi kemacetan dalam penerusannya kepada generasi berikutnya. 83
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Sikap Negatif terhadap Bahasa Daerah (Melemahnya Kesetiaan, Kebanggaan, dan Hormat terhadap Bahasa Daerah) Sosok bahasa daerah di kalangan anak-anak sebagai sosok yang kurang akrab. Kekurangakraban itu muncul terutama pada bahasa daerah yang memiliki sistem tindak tutur yang rumit, seperti bahasa Sunda, yang dikenal dengan undak usuk. Dibandingkan dengan bahasa Indonesia, bahasa Sunda memiliki sistem sosiolinguistik yang rumit terkait dengan penggunaan tingkat tutur ini. Para guru di sekolah merasakan kesulitan, di antaranya karena adanya tingkat tutur ini. Sebagian dari mereka mengakui tidak mahir menggunakan tingkat tutur ini. Hal ini, tidak mungkin, menjadi contoh bagi anak didiknya. Bukan hanya faktor internal di atas yang menyebabkan siswa kurang akrab dengan bahasa Sunda, faktor eksternal yang terkait dengan proses pembelajaran bisa jadi menjadi faktor penyebab berikutnya. Ini terjadi karena antara lain kemampuan pengajar yang kurang memadai. Kesempatan untuk berpraktik menggunakan bahasa Sunda sering tidak dimanfaatkan oleh para siswa karena khawatir berbicara tidak sopan dan menyalahi penggunaan undak usuk. Setiap kendala sebenarnya dapat dicari solusinya. Jika siswa merasa senang belajar bahasa Sunda, diharapkan akan muncul rasa kesetiaan, kebanggaan, dan hormat terhadap bahasa Sunda. Kesetiaan, kebanggaan, dan rasa hormat ini sebagai sikap mental, yang merupakan unsur kejiwaan (lihat Muslich dan Oka, 2010: 62) selayaknyalah ditumbuhkan sejak dini, yakni sejak sekolah dasar. Namun, usaha ini bukanlah hal yang mudah. Pengajaran Bahasa Sunda harus dibenahi, termasuk peran orang tua dalam keluarga. Pemerintah daerah sangat berperan penting dan bertanggung jawab untuk menciptakan pengajaran bahasa Sunda yang diharapkan (lihat pula Alwasilah, 2012: 53). Kampanye Rebo Nyunda yang diberlakukan di sekolah-sekolah di Jawa Barat perlu mendapatkan acungan jempol. Upaya ini perlu ditindaklanjuti dengan praktik penggunaan bahasa Sunda pada hari itu secara nyata dan massal. Penggunaan busana bernilai kesundaan diharapkan menjadi jembatan mencintai budaya daerah yang merasuk ke dalam jiwa. Mudah-mudahan muncul kecintaan menggunakan bahasa Sunda. Dikatakan demikian karena kesenangan orang pada suatu busana tidak ada hubungan signifikan dengan kecintaan seseorang pada bahasa pemilik busana tersebut. Artinya, belum tentu orang yang berbusana Sunda memiliki sikap positif terhadap bahasa Sunda. Sebuah tragedi terjadi jika orang Sunda sudah tidak dapat lagi berbicara bahasa Sunda karena bahasa Sunda merupakan jiwa orang Sunda. Bahasa dan bangsa menjadi satu kesatuan; bahasa menjadi jiwa bangsa, menjadi kesepahaman para pakar sosiolinguistik. Jika orang Sunda meninggalkan bahasa Sunda, secara psikologis ada masalah, yakni hilangnya sikap positif terhadap bahasa Sunda. Sikap inilah yang perlu ditanamkan sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah. Contoh praktis berbahasa daerah sehari-hari perlu dilakukan para pengajar. Berikut beberapa contoh ucapan yang dapat disimulasikan atau dipraktikkan. 1. “Ibu/Bapa, abdi bade mios ka sakola” ‘Ibu/Bapa saya mau berangkat ke sekolah’ diucapkan saat akan berangkat ke sekolah, kemudian, ucapkan “Assalamu alaikum”. 2. “Punten” ‘Permisi’ diucapkan saat melewati orang, terutama yang lebih tua, yang sedang duduk atau berdiri di jalan yang dilewati atau saat bertamu. 84
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
3. “Hapunteun” ‘Maaf’ diucapkan saat meminta maaf atau memerlukan bantuan pada orang lain. 4. “Hatur nuhun” ‘Terima kasih’ diucapkan saat menyampaikan terima kasih kepada seseorang yang telah memberikan bantuan atau memberikan sesuatu. 5. “Wilujeng sumping” ‘Selamat datang’ diucapkan saat menyambut tamu. 6. “Wilujeng enjing” ‘Selamat pagi’, “Wilujeng siang” ‘Selamat siang’, “Wilujeng sonten” ‘Selamat sore’ diucapkan masing-masing saat menyambut tamu pada pagi, siang, dan sore hari. 7. “Mangga” ‘Permisi’ diucapkan saat mohon diri meninggalkan tempat atau pulang atau menjawab orang yang mengucapklan “Punten” ‘Permisi’ di jalan yang dilewati atau yang bertamu. 8. “Muhun” ‘Ya’ diucapkan saat mengiyakan atau membenarkan pernyataan. 9. “Kah” atau “Kulan” ‘Ya’ diucapkan masing-masing oleh anak laki-laki dan perempuan saat menjawab panggilan orang tua. Ucapan-ucapan di atas perlu dipraktikkan berulang-ulang supaya menjadi kebiasaan. Ucapan tersebut mengandung nilai kesopanan dan keramahan, yakni nilai pendidikan karakter. Robohnya Benteng Pertahanan Bahasa Daerah Tinggal Menunggu Waktu Upaya pelestarian dan pemertahanan bahasa Sunda melalui dunia pendidikan perlu dievaluasi untuk mengetahui berbagai faktor yang menyebabkan kegagalan pengajaran bahasa Sunda di sekolah. Pengajaran bahasa Sunda secara formal merupakan cara meneruskan bahasa daerah tersebut ke generasi berikutnya. Idealnya, upaya ini mendapatkan pengawalan yang sungguh-sungguh dari para pemangku kepentingan termasuk pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat menggandeng perguruan tinggi untuk melakukan penelitian dan pemecahan masalah ini. Penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi riil di lapangan. Hasil penelitian dapat menjadi masukan untuk menentukan kebijakan berikutnya. Sekolah-sekolah yang berada dalam lingkungan bahasa daerah bukan bahasa Sunda, perlu mempertimbangkan pemberian mata pelajaran bahasa Sunda terkait dengan kepentingan komunikasi praktis. Sekolah-sekolah yang terdapat di lokasi-lokasi wisata perlu mendapatkan kurikulum khusus dalam upaya pelestarian dan kebersihan lingkungan serta keramahan penerima tamu. Jika upaya pengajaran bahasa Sunda di sekolah tidak ditangani dengan sungguhsungguh dan berdampak pada gagalnya tujuan pengajaran bahasa Sunda tersebut, upaya pelestarian dan pemertahanan bahasa Sunda akan menghadapi kegagalan. Jika anak-anak tidak mampu lagi menggunakan bahasa Sunda, berarti tidak ada generasi berikutnya yang akan menggunakan bahasa Sunda. Jika hanya orang-orang tua yang menggunakan bahasa Sunda, berarti tinggal menunggu waktu kapan para orang tua itu meninggal. Bahasa Sunda akan kehilangan penuturnya. Ini berarti dianggap punah. Lihat Wurm dan Krauss, (dalam Laksono, 2009: 272). Sebelum musibah ini terjadi, upaya-upaya pencegahan perlu segera dilakukan, yakni perencanaan bahasa yang terkait dengan pendidikan. Sangat disayangkan, jika anak-anak kita tidak lagi mengenal budaya yang menjadi jati diri orang tuanya. Masih beruntung jika mereka menggunakan bahasa daerah lain atau bahasa Indonesia. Bagaimana jika mereka berpaling kepada bahasa asing? 85
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Penutup Lembaga pendidikan merupakan salah satu fasilitas untuk melaksanakan penerusan antargenerasi bahasa daerah melalui jalur formal. Selayaknyalah strategi ini dipertahankan dalam upaya melestarikan dan mempertahankan bahasa daerah. Untuk mempertahankan keberlangsungan upaya ini, perlu dilakukan evaluasi, untuk mengetahui keberhasilan yang telah diperoleh dan kendala yang dihadapi di lapangan. Upaya yang dapat dilakukan adalah memperbaiki sistem pembelajaran melalui pembenahan kurikulum, perekrutan guru, pengayaan bahan ajar, pemutakhiran metode pengajaran, dan hal-hal lain yang mendukung keberlangsungan pengajaran bahasa daerah yang berkualitas. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dan peran yang besar dalam mewujudkannya. Jika ini tidak dilakukan segera, lembaga pendidikan tidak bisa dijadikan sarana penerusan antargenerasi bahasa derah. Perencanaan bahasa atau managemen bahasa dalam dunia pendidikan perlu segera dievaluasi dan mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Daftar Pustaka Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: Kiblat Buku Utama. Hak, Muh. Abdul. 2010. “Pergeseran Bahasa dalam Keluarga Sunda-Sunda di Jawa Barat” Dalam Menyelematkan Bahasa Ibu sebagai Kekayaan Budaya Nasional. Bandung, Jatinangor: Alqaprint. Laksono, Kisyani. 2009. “Pelestarian dan Pengembangan Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia” Dalam Panorama Pengkajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannnya. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Lauder, Multamia R.M.T. dan Allan F. Lauder. 2015. “Dialektologi dan Pelestarian Bahasa”. Makalah pada Seminar Nasional Sosiolinguistik-Dialektologi dalam Konteks Kemasyarakatan dan Budaya di Indonesia di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok pada 9—10 November 2015. Moeliono, Anton M. 2011. “Kebijakan Bahasa di Indonesia: Kendala dan Tantangan” Dalam Perencanaan Bahasa pada Abad Ke-21: Kendala dan Tantangan (Risalah Simposium Internasional Perencanaan Bahasa). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Muslich, Mansur dan I Gusti Ngurah Oka. 2010. Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Wahya. 2011. “Perencanaan Bahasa Sunda ke Depan untuk Medukung Bahasa Sunda sebagai Media Transformasi Budaya Sunda”. Makalah pada Seminar Internasional Reformasi dan Transformasi Kebudayaan Sunda di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang pada 9—10 Februari 2011. Weinreich, Uriel. 1970. Language in Contact. Paris: The Hague.
86