PANYANDRA TEMANTEN DALAM PERNIKAHAN ADAT JAWA SEBAGAI AKTUALISASI PEMERTAHANAN BAHASA IBU Aminatun Kharimah Rizka Widayani Universitas Airlangga Surabaya Abstract Recent days, regional language actuality is running into its decrement. It is shown by the decrease number of speakers who use it as common language. Middle-class people tend to speak Bahasa Indonesia for daily usage; meanwhile upper-class people insist to speak foreign languages, one of them is English, as their special characteristic and symbol of prestige. Basically, many ways could be proposed to return the existence of regional language. One of the ways is organizing panyandra temanten in the traditional Javanese wedding. It is a specific instruction of Javanese wedding tradition which uses Kromo Inggil, the softest and the most polite standard of Javanese language. Panyandra temanten is the concrete actualization of Javanese language retention within the Javanese traditional wedding. It has a specific position for different groups of people because it gives the ceremony sacred situation. Panyandra temanten has a great impact to re-develop Javanese native language. It also teaches the people about Javanese norms of life to interact with each other honorably. In conclusion, Panyandra temanten is a reflection of Indonesian wisdom and culture. Keywords: actualization, language retention, Panyandra temanten, wedding tradition
Abstrak
Eksistensi bahasa daerah saat ini mengalami kemunduran. Hal ini dapat dilihat dari semakin minimnya para penutur yang menggunakan bahasa daerah. Kalangan menengah pun lebih memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Sedangkan kalangan menengah ke atas semakin menunjukkan kemampuannya dalam penggunaan bahasa asing, misal bahasa Inggris yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai salah satu bentuk prestise tersendiri. Pada dasarnya masih banyak hal yang dapat dilakukan dalam mengeksistensikan kembali bahasa daerah, salah satunya dengan tradisi Panyandra temanten cara dalam adat pernikahan Jawa yang menggunakan bahasa Jawa kromo inggil atau lebih dikenal dengan bahasa Jawa halus. Tradisi Panyandra temanten merupakan salah satu bentuk aktualisasi pemertahanan bahasa Jawa dalam acara pernikahan. Tradisi Panyandra temanten saat ini memiliki posisi tersendiri bagi berbagai kalangan. Penggunaan Panyandra temanten dalam pernikahan dapat memberikan sentuhan sakral dalam acara pernikahan. Aktualisasi pemertahanan bahasa Jawa dalam tradisi Panyandra temanten pernikahan ini merupakan bentuk konkret dan memiliki pengaruh besar dalam proses perkembangan bahasa ibu. Selain sebagai bentuk pemertahanan bahasa ibu, tradisi Panyandra temanten ini juga mengajarkan norma-norma kehidupan dalam berinteraksi dengan sesama yang menjunjung budaya luhur bangsa. Kata kunci: aktualisasi, pemertahanan bahasa, Panyandra temanten, tradisi pernikahan
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi dan ekonomi sebuah bangsa turut serta memengaruhi perkembangan bahasa masyarakat penuturnya. Komunikasi tidak hanya dilakukan oleh sesama pemilik kebudayaan dan bahasa namun jauh di dasar itu penutur dan lawan tutur mulai mengeksplor diri untuk sama-sama menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh keduanya. Hal ini dilakukan untuk terlaksananya tujuan komunikasi yang efektif dan dimengerti. Dari hal tersebut banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa terjadi sebuah pergeseran dan pemertahanan bahasa. Intensitas dalam berkomunikasi dengan pihak luar (dalam rangka bisnis atau hal lain) turut serta memengaruhi eksistensi bahasa daerah seorang penutur. Kenyataannya eksistensi bahasa daerah saat ini mengalami kemunduran. Hal ini dapat dilihat dari semakin minimnya para penutur 55
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
yang menggunakan bahasa daerah. Kalangan menengah pun lebih memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam melakukan percakapan sehari-hari. Sedangkan kalangan menengah ke atas semakin menunjukkan kemampuannya dalam penggunaan bahasa asing, misal bahasa Inggris yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai salah satu bentuk prestise tersendiri. Pada dasarnya masih banyak hal yang dapat dilakukan dalam mengeksistensikan kembali bahasa daerah, salah satunya dengan tradisi yang masih dilakukan dalam ritual pernikahan. Ritual maupun perayaan pernikahan sebenarnya dapat dikatakan sebagai pertunjukan sebuah adat. Ada beberapa ritual pernikahan sebelum hari-H yang harus dilaksanakan seperti pengajian, siraman, dan midodareni. Ritual ini biasanya dilakukan oleh penganut tradisi Jawa. Setiap proses dalam ritual tersebut seringkali ada penggunaan bahasa daerah dalam mengiringi dalam setiap proses pelaksanaan pernikahan yang dikenal dengan panyandra temanten. Panyandra temanten dalam ritual pernikahan ini bisa disebut dengan panduan tata cara dalam adat pernikahan Jawa yang menggunakan bahasa Jawa kromo inggil atau lebih dikenal dengan bahasa Jawa halus. Setiap proses dari lamaran hingga pernikahan menggunakan panyandra temanten yang dipandu oleh Pranatacara. Pranatacara merupakan pemandu acara dalam proses pernikahan tersebut. Tradisi panyandra temanten merupakan salah satu bentuk aktualisasi pemertahanan bahasa Jawa dalam acara pernikahan. Tradisi panyandra temanten saat ini memiliki posisi tersendiri bagi berbagai kalangan. Banyak kalangan menengah ke atas yang menggunakan pranatacara dan panyandra temanten dalam pernikahan. Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menonjolkan budaya yang mereka anut. Apalagi biasanya yang menggunakan panyandra temanten dalam pernikahan adalah keluarga ningrat, kerajaan. Namun pada perkembangannya hal ini dapat dilakukan oleh masyarakat umum. Penggunaan panyandra temanten dalam pernikahan dapat memberikan sentuhan sakral dan khidmat. Aktualisasi pemertahanan bahasa Jawa dalam tradisi panyandra temanten pernikahan ini merupakan bentuk konkret dan memiliki pengaruh besar dalam proses perkembangan bahasa ibu. Selain sebagai bentuk pemertahanan bahasa ibu, tradisi panyandra temanten ini juga mengajarkan norma-norma kehidupan dalam berinteraksi dengan sesama yang menjunjung budaya luhur bangsa. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah aktualisasi pemertahanan bahasa ibu melalui tradisi Panyandra temanten dalam pernikahan adat jawa? 1.3 Tujuan Penelitian Mendeskripsikan aktualisasi pemertahanan bahasa ibu melalui tradisi Panyandra temanten dalam pernikahan adat jawa PEMBAHASAN 2.1 Sosiolinguistik Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisipliner antara sosiologi dan linguistik. Sebelum membahas mengenai apa yang dimaksud dengan sosiolinguistik maka harus dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan sosiologi dan linguistik. Sosiologi merupakan kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah ilmu yang mempelajari mengenai bahasa (Chaer, 2004: 02). Melalui pemahaman tersebut, Fishman sosiolinguistik sebagai kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dengan satu masyarakat tutur. 56
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Objek dari kajian sosiolinguistik bukanlah masyarakat atau keadaan sosialnya akan tetap dari segi bahasa. Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat (Chaer, 2004: 03). Ketika sudah berada di lingkungan masyarakat, maka manusia tidak lagi sebagai individu melainkan sebagai masyarakat sosial . Hal inilah yang memengaruhi bagaimana manusia dalam berkomunikasi. Setiap komunikasi atau tuturan yang dihasilkan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya (Wijana, 2012: 07). Berbicara mengenai masyarakat, maka tidak akan lepas dari tiga hal yang akan terus hidup di lingkungan kemasyarakat. Tiga hal tersebut adalah bahasa, kebudayaan, dan masyarakat itu sendiri (Wijana, 2012: 08). Hal ini sesuai dengan pernyataan Sapir bahwa seseorang tidak dapat memahami bahasa tanpa mengetahui budayanya dan sebaliknya, orang tidak akan mengetahui budaya suatu masyarakat tanpa memahami bahasanya. Di dalam sosiolinguistik terdapat berbagai masalah komunikasi yang dapat dikaji. Di antaranya adalah mengenai pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa. Kedua hal ini erat kaitannya dengan bahasa yang digunakan secara langsung sebagai alat komunikasi verbal dalam masyarakat sehingga bahasa yang digunakan oleh masyarakat tidak bersifat statis melainkan dinamis. Kedinamisan sebuah bahasa inilah yang memberi peluang terhadap terjadinya pereseran serta pemertahanan bahasa. 2.2 Pemertahanan Bahasa Pemertahanan bahasa merupakan lawan dari pergeseran bahasa. Sebelum lebih jauh memahami mengenai apa yang dimaksud dengan pemertahanan bahasa, maka perlu sedikit diketahui mengenai apa itu pergeseran bahasa. Pergeseran bahasa menyangkut seseorang atau sekelompok orang penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka, maka inilah yang disebut sebagai pergeseran bahasa (Chaer, 2010: 142). Lebih mudahnya adalah menggunakan bahasa lain selain bahasa yang digunakannya dalam komunikasi sehari-hari. Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi terjadinya kepunahan suatu bahasa, satu di antaranya adalah adanya dominasi bahasa atau dialek yang lebih besar baik secara demografis, ekonomis, sosial, atau politis (Wijana, 2012: 89). Kepunahan bahasa memang terjadi secara perlahan dan dalam kurun waktu yang lama, namun apabila dibiarkan secara terus menerus makan bahasa ibu akan benar-benar punah. Agar kepunahan bahasa ini tidak terjadi maka perlu dilakukan pemertahanan bahasa. Pemertahanan bahasa merupakan mempertahankan eksistensi bahasa ibu agar tidak tergerus oleh bahasa lain. Pemertahanan bahasa ini memang sangat sulit dilakukan, apalagi di era modern seperti ini yang lebih memberi ruang pada bahasa nasional dan bahasa internasional karena bahasa-bahasa ini sebagian besar beranggapan memiliki prestise tersendiri. Perlu adanya tindakan nyata untuk melakukannya. Pemeliharaan sebuah bahasa tidak cukup hanya dengan usaha mendeskripsikan sistem kebahasaan dan wilayah pemakainya, seperti yang dilakukan oleh para ahli bahasa. Namun yang tidak kalah penting adalah menumbuhkan rasa bangga dalam diri penutur-penutur dialek itu sendiri. Kebanggaan linguistik ini dapat dibangkitkan dari kekhasan-kekhasan yang dimiliki oleh bahasa itu (Wijana, 2012: 89). Akan tetapi memiliki rasa bangga terhadap bahasanya sendiri yang terlalu berlebihan juga bukan merupakan hal yang baik karena justru dapat menimbulkan perpecahan atau konflik. Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan mengajarkan bahasa ibu yang dimiliki kepada anak cucunya. Dengan demikian bahasa ibu tidak akan berhenti pada generasi tua saja, dan generasi muda akan tetap mahir dalam menggunakan bahasa ibu.
57
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
2.3 Aktualisasi Pemertahanan Bahasa Ibu Melalui Tradisi Panyandra Temanten dalam Pernikahan Adat Jawa Ditinjau dari segi kebudayaannya, Jawa memiliki keragaman dalam hal tersebut. Di Jawa Timur sendiri terbagi menjadi tujuh wilayah kebudayaan. Masing-masing wilayah peta kebudayaan memiliki kekhasan yang unik. Salah satu hal yang unik dari kebudayaan adalah upacara adat pernikahan. Setiap wilayah kebudayaan memiliki (sedikit banyak) perbedaan (dalam hal pernikahan), entah itu dari segi bahasa sebagai pengantar serangkaian proses pernikahan, prosesi pernikahan, atau pun pakaian adat yang digunakan. Akan tetapi, adanya perbedaan itu tidak mengurangi kesakralan dari sebuah pernikahan. Pernikahan adat Jawa yang akan dikaji dalam makalah ini terbatas pada pernikahan adat Jawa di wilayah peta kebudayaan mataraman. Cakupan wilayah yang termasuk dalam jawa mataraman adalah Madiun, Kediri, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, dan Ngawi. Melaui pernikahan adat pernikahan, terdapat banyak hal yang dapat dikaji. Hal ini dikarenakan setiap yang dilakukan dalam prosesi pernikahan berbasis adat ini memiliki makna. Makna ini diwujudkan melalui komunikasi baik secara verbal atau pun non verbal. Komunikasi non verbal ditunjukkan melalui prosesi pernikahan yang syarat akan simbol-simbol, sedangkan komunikasi verbal ditunjukkan melalui Panyandra Temanten. Di dalam pernikahan adat jawa mataraman terdapat rangkaian prosesi pernikahan, di antaranya adalah proses melamar mempelai perempuan yang disebut sebagai nontoni atau melamar pasang tarub. Setelah itu dilanjutkan dengan midodareni (memoles pengantin agar lebih menawan, yang istilah jawanya adalah manglingi). Setelah kedua proses di atas sudah selesai maka selanjutnya memasuki acara inti yaitu akad nikah. Jika akad nikah sudah berjalan dengan lancar, maka dilanjutkan dengan serangkaian acara kecil. Rangkaian acara kecil tersebut adalah penganten panggih, bobot timbang, wisudha penganten, kacar-kucur, dhahar walimahan, ngunjuk toya wening, dan sungkeman. Selama acara tersebut berlangsung dibutuhkan pemandu acara yang disebut sebagai pranata cara. Tugas dari pranata cara ini adalah memberikan pengarahan kepada pengantin selama prosesi berlangsung serta menjelaskan mengenai apa yang sedang dilakukan oleh pengantin kepada hadirin. Bahasa yang digunakan oleh pranatacara selama memandu acara prosesi pernikahan (adat jawa) ini menggunakan bahasa Jawa krama inggil. Eksistensi Bahasa Jawa Krama Inggil Eksistensi sangat diperlukan apalagi terhadap hal-hal yang sangat penting yang dalam hal ini adalah mengenai eksistensi bahasa. Bahasa yang merupakan bagian dari kebudayaan dan masyarakat ini harusnya tetap eksis apalagi bahasa daerah atau bahkan bahasa ibu, karena bahasa merupakan salah satu yang menjadi identitas suatu bangsa. Bahasa ibu dapat dikatakan sebagai induk bahasa yang tentu keberadaannya sangatlah penting. Bagaimana mungkin anak dari bahasa induk bisa lebih eksis dari bahasa induk itu sendiri. Apabila hal itu terjadi maka kepunahan bahasa tidak terelakkan lagi dan akan berimbas pada punahnya kebudayaan juga. Bahasa Jawa krama inggil merupakan bahasa ibu dari bahasa Jawa yang dewasa ini menjadi alat komunikasi orang jawa. Eksistensi krama inggil mulai berkurang karena generasi muda lebih banyak menggunakan bahasa jawa ngoko bahkan tidak sedikit yang menggunakan bahasa Indonesia meskipun notabenenya adalah orang jawa. Tentunya fenomena semacam ini sangat miris terjadi pada kalangan generasi muda yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa akan tetapi melupakan bahasa ibunya sendiri. Meskipun bahasa jawa ngoko masih bagian dari bahasa Jawa pada umumnya akan tetapi bahasa jawa kromo inggil sebagai bahasa ibu dari bahasa Jawa harus tetap dipahami dan digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa Jawa krama inggil biasanya digunakan ketika 58
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati, dan bahasa jawa ngoko biasanya digunakan ketika berkomunikasi dengan teman sebaya atau orang yang lebih muda. Panyandra Temanten dalam Pernikahan Adat Jawa Ketika pranatacara membawakan acara (dalam pernikahan adat jawa), teks yang dibacakan sebagai panduan acara dikenal dengan istilah panyandra temanten. Panyandra temanten merupakan hal yang sangat penting dalam acara pernikahan karena dengan adanya panyandra temanten sebuah acara dapat berjalan dengan lancar, dan tentu saja panyandra temanten harus ada dalam sebuah tradisi upacara adat pernikahan jawa. Panyandra temanten yang ada di dalam pernikahan tidak memiliki pakem. Artinya, teks yang digunakan sebagai pengantar acara tidak harus dengan teks yang sama. Jadi setiap orang yang menjadi pranatacara memiliki cara tersendiri bagaimana menyampaikan sebuah pengantar prosesi pernikahan. Akan tetapi yang tetap diperhatikan adalah, apa yang disampaikan sesuai dengan prosesi yang sedang berlangsung dan tetap mengedepankan bahasa jawa krama inggil. Terkait dengan bahasa yang digunakan dalam panyandra temanten, secara umum bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kromo inggil. Akan tetapi sebenarnya yang digunakan dalam panyandra temanten juga menggunakan campuran bahasa kawi, entah itu dalam tataran kata, frasa, atau pun kalimat. Bahasa kawi juga merupakan salah satu bahasa yang hampir mengalami kepunahan, sehingga sangat jarang orang yang bisa berbahasa menggunakan bahasa jawa kawi. Perlu disadari bahwa dalam pelaksanaan tradisi panyandra temanten komunikasi yang berlangsung adalah komunikasi secara searah dan sekaligus dua arah. Dikatakan dua arah karena ketika pranatacara membawakan acara yang masih dalam tahap sambutan atau memberikan petuah, maka bahasa yang digunakan harus komunikatif sehingga hadirin harus mengerti dan memahami apa yang disampaikan oleh pranatacara. Sedangkan dikatakan sebagai komunikasi searah karena ketika sudah memasuki prosesi adat pernikahan, maka seorang pranatacara melakukan monolog karena memang tugasnya adalah memandu apa yang dilakukan oleh pengantin sehingga tidak berbicara dengan orang lain dan fokus pada prosesi. Saat inilah bahasa jawa kromo inggil mengambil peranan penting karena melalui prosesi ini bahasa jawa kromo inggil mulai dituturkan. Di sini tidak dipentingkan apakah orang yang hadir dalam acara tersebut mengerti apa yang dibicara atau tidak, karena memang bahasa yang digunakan dalam adat pernikahan jawa memang bahasa jawa krama inggil. Panyandra temanten yang akan dikaji dalam makalah ini adalah panyandra temanten yang berkaitan dengan acara sesudah akad nikah, yaitu panyandra temanten ketika prosesi penganten panggih, bobot timbang, wisudha penganten, kacar-kucur, dhahar walimahan, ngunjuk toya wening, dan sungkeman. Berikut ini merupakan penggalan bentuk dari panyandra temanten (Data diambil dari Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Surabaya) dalam upacara adat pernikahan jawa. Panyandra Sasana Pawiwihan Dalam panyandra sasana pawiwihan ini pranatacara menceritakan tempat digelarnya acara pernikahan ke dua mempelai, suasana yang ada di sekitar, dan deskripsi tempat yang makmur, tentram, dan damai. Swuh rep data pitana, hanenggih pundi sasana kang kaedi adi dasa purwa. Eka marang sawiji, dasa sepuluh purwa kawiwitan, nenggih satunggaling wisma kang minangka bebukaning kandha. Sanadyan kathah wisma mawi cukit, panti ginupit adu pager nunggal palataran, parandene boten dadi wisma kang minangka sasana pahargyan ing wanci menika. (Keadaan menjadi sunyi, dimana tempat yang bagus, nyawiji menjadi satu, dasa sepuluh dimulai, yaitu rumah yang menjadi permulaan pembicaraan. Meskipun banyak rumah namun tidak seperti rumah yang akan menjadi tempat berlangsungnya acara).
59
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Satnggang wisma ingkang mapan wonten wewengkon Banjarsari, Mojokerto Hadiningrat (tempat dilaksanakan acara pernikahan). Satunggaling papan ingkang panjang apunjung gemah ripah loh jinawi. Panjang dawa pocapane. Punjung luhur kawibawane. Gemah ripah lohjinawi, sarwa subur kang tinandur, sarwa murah kang tinuku, tata titi tentrem kerta raharja. (Sebuah rumah yang berada di daerah Banjarsari, Mojokerto. Sebuah tempat yang subur dan makmur, bagus wibawanya, semua yang ditanam tumbuh subur, dan tentram).
Panyandra Pawiwahan Panyandra pawiwahan mendeskripsikan kedua mempelai yang memiliki kepribadian yang baik, bibit, bebet, bobot-nya, dan berparas rupawan. Sehingga keduanya menjadi pasangan yang serasi. Nalika samana rising panganten sampun napakaken ing pada arsa tumuju wonten ing sasana panggih. Saya caket anggenira lumaksana, saya perak saya hangalela. Dumugi nggon tinuju kandheg sawetawis risang penganten. Daya-daya juru ampil sekar kembar mayang saking penganten putrid, warara sulistya miwah jejaka kembar loro cacahe ageage samyu liru kembang mayang. Rising abagus sigra kinepyok kembar mayang ing bahu kanan lan keringe. Ancasing sedya hamberat salwiring durgama, hambarastha salwiring durgama, hambarastha salwiring sukerta, satemah tulus mulya manggih raharja. Kembar mayang sigra kabucal ing prapatanjang marga. (Saat ini pengantin telah menuju tempat temu manten, semakin dekat semakin indah dan semakin memesona. Sampai pada tempat temu pengantin berhenti sejenak. Sementara itu juru pembawa kembang mayang dari pengantin putri yang cantik serta jejaka kembar yang segera bertukar kembang mayang. Kembar mayang laki-laki menari kembang mayang pada bahu sebelah kanan dan yang satunya disebelah kiri. Dengan tujuan semoga hilanglah semua malapetaka dan marabahaya serta tercapainya ketulusan dalam berumah tangga, maka bersamaan dengan itu dibuanglah kembang mayang diperempatan jalan).
Bobot timbang Bobot tinimbang adalah proses ketika bapak memangku kedua pengantin dengan tujuan sama-sama berat terhadap keduanya. Tidak ada pilih kasih di antara anak dengan menantu, semuanya diperlakukan sama. Rising penganten kakung kalenggahaken ing jengku iringi tengen, dene risang penganten putrid kalenggahaken ingjengku iring kiwa. Tanggap sasmita ingkang ibu daya-daya mangarsa sarwa munjuk: “Bapakne kepriye mungguh bebote anake dhewe sakloron?” (Pengantin laki-laki didudukkan di pangkuan sebelah kanan, sedangkan pengantin putri didudukkan disebelah kiri. Ibu segera memimpin serta berucap “Bapak bagaimana berat dari anak kita keduanya?)” “Manut rasaku kok padha bobot timbange, muga-muga padha timbang katresnane, timbang asihe, serta timbang kamulyane” (Perasaanku kok sama beratnya, semoga sama berat cintanya, berat kasihnya, serta sama-sama berat keutamaannya). “Pancene mangkono Bapakne kang deksesuwun, Bapakne.” (Memang benar seperti itu Bapak yang Ibu inginkan).
Wisudha Penganten Proses ini terjadi ketika pengantin sudah diwisuda dalam proses temu manten. Diwisuda merupakan peresmian bahwa ia telah melakukan sesuatu dalam hal ini adalah proses temu manten. Paripurna hambobot timbang putra pnganten, age-age ingkang rama jumeneng hangadhepi ingkang putra kekaleh. Kanthi rasa asih serta kebak ing sutiesna dan petek pamidhanganira risang temanten kekalih ing sasana mulya amrih lenggah kanthi tentrem sinuyutan ing kadang sentana warga wandawa. Risang penganten kelanggahaken ing sasana rinengga kang winastan tanem jero utawa wisudha penganten.
60
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
(Setelah acara bobot timbang pengantin, bapak segera berdiri menghadap kedua pengantin. Dengan rasa cinta kasih pengantin keduanya duduk di tempatnya dengan tentram dan penuh kebahagiaan. Pengantin yang didudukkan di tempat pengantin dinamakan tanem jero utawa wisudha pengantin).
Kacar kucur Kacar kucur merupakan proses pengucuran biji-bijian, kedelai, beras kuning, dan uang oleh mempelai laki-laki yang diterima oleh mempelai perempuan. Tujuannya adalah hasil kerja yang dilakukan oleh suami dititipkan kepada istri untuk dijaga dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan. Secara tidak langsung suami telah mempercayakan arus perputaran kebutuhan keluarga kepada istrinya. Paripuran winisudha, penganten arsa nindakaken adicara kacar-kucur. Kacarkucur, kacang kawak dhele kawak, arta receh, pratandha kahartakan. Minangka jejering priya, tetunggaling kulawarga, risang penganten kakung darbejejibahan hangupaya sandhang miwah boga, amrih kulawarga tansah kacekapan ing panggesangan. Syukur bage pinaringan kasugihan, satemah saged lumeber mring para kadang miwah Santana, tangga miwah tepalih. Risang ahayu nampi guna tampa kaya datan wonten ingkang marbei mratandhani kalamun risang penganten putrid badhe dados wanodya ingkanggemi nastiti ngati-ati. (Setelah selesai acara winisudha, pengantin melaksanakan acara kacar-kucur. Kacar kucur, kacang kawak (kacang yang sudah lama sekali), kedelai kawak (kedelai yang sudah lama sekali), uang logam, sebagai simbol harta kekayaan. Sebagai seorang laki-laki, yang diharapkan didalam keluarga, pengantin laki-laki memiliki kewajiban untuk mengupayakan pakaian serta makanan, supaya keluarganya selalu dalam kecukupan dalam hidupnya. Syukur telah diberikan kekayaan, syukur bisa sampai kepada saudara kanan kiri, tetangga. Penganten perempuan menerima pemberian tersebut sebagai simbol bahwa penganten putri akan menjadi perempuan yang hemat dan bisa berhati-hati dalam menyimpan kehidupan).
Dhahar walimahan Proses ini terjadi ketika kedua mempelai saling memberikan suapan makanan untuk pertama kalinya setelah dipersatukan dalam ikatan sah pernikahan. Gantine kang titi laksana pangih, ana Kenya loro kang sarwa kembar nyaosaken dhaharan dhumateng pinanganten sarimbit daya-daya kekalihe padha dulang-dinulang kang winastanan kembul bujana suci andrawina. (Bergantinya acara panggih pengantin, ada 2 perempuan yang kembar memberikan makanan kepada sepasang pengantin, keduanya saling suap-menyuapi yang dinamakan kembul bujana suci andrawina). Kawuryan saking mandrawa risang penganten kakung angepel-ngepel sekul jenar. Kinepel sekul sdadya satunggal, datan wonten kang gagar wigar tanpa karya. Mratandhani manunggaling kalih kulawarga ingkang bebesanan, serta manuggaling titah jalu tanai wanita nenggih risang penganten sarimbit. Pinilih sekul warni jenar mratandhani sedyaning gesang kang tumuju ing kamulyan. (Pengantin laki-laki mengepal-ngepalkan nasi, kepalan nasi jadi satu, menandai bersatunya utusan laki-laki dan perempuan yaitu pengantin sepasang. Dipilih nasi berwarna merah atau kuning yang menandakan siapnya kehidupan yang menuju kemulyaan).
Ngunjuk Toya Wening Proses di mana kedua mempelai meminum ‘air suci’ kehidupan untuk pertama kali. ‘air suci’ kehidupan yang dimaksud ini adalah air putih dan tidak digantikan oleh minuman berasa, misalnya jus dsb. Ngunjuk toya wening mrtandhani kekalihnya arsa liru salwiring rasa, rasa jalu tanapi wanita, manunggaling rasa jati, satemah risang penganten kakung hambabar karna awami seta, miwah kama awami reka ingkang mijil saking angganira risang penganten putri.
61
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
(Minum air bening sebagai simbol bahwa keduanya saling bertukar rasa, rasa cinta kasih antara pengantin laki-laki dan perempuan, bersatunya rasa sejati. Dengan takdir menyatakan tempat bening yang berwarna putih dan kecil, serta benih yang lahir dari badan pengantin putri). Paripurna adicara ngunuk toya wening, katindakaken adicara sungkema. Rising inanganten putri hanjebol keris kang kakung. (Selesainya acara meminum air bening dilanjutkan acara sungkeman, pengantin putri mencabut keris pengantin laki-laki).
Sungkeman Proses ini terjadi saat kedua mempelai meminta maaf atas segala perbuatan yang telah dilakukan selama ini, yang kurang brekenan di hati kedua orangtua maupun keluarga besar. Mengucapkan rasa terimakasih karena selama ini telah merawat dan membesarkan dengan baik. Linolos ingkang dhuwung miwah canela mratandhani purwakaning adicara sungkeman. (Setelah dilepaskannya keris serta sandal pengantin yang menandakan mulainya acara sungkeman). Sampun jengkar saking dhampar, parasing sedya hamung kasdu hanguswa ing pepadaning rama miwah ibu. Repepeh-repepeh hangeka pada tindake, tangkape asta sarwa sumembah, sumungkem ing jengku iring kanan. “Rama-Ibu kula ngaturaken sungkem pangabekti wonten ngarsa paduka, nyuwun agunging pangaksama sadaya kalepatan kawula. Sarta nyuwun tambahing donga pangestu mugi unggen kula mangun brayat sageda anggih ingkang ng kanagyan miwah katentreman. (Sudah berdiri dari tempat duduk, wajahnya telah siap hanya ingin meminta restu (pencerahan) bapak serta ibu. Saling menunduk dan sama jalannya, tangannya menelangkup menyembah, sungkem di sebelah kanan “bapak ibu saya haturkan sungkem bakti dihadapan anda, minta maaf sebesarnya untuk semua kesalahan saya serta meminta tambah doa restu semoga dalam membangun keluarga bahagia dan tentram).
Nutup
Nutup di sini menandakan bahwa acara pernikahan telah usai. Sumangga temanten sarimbit jengkar saking sasana rinengga tumuju ing regol. (Dipersilahkan untuk pengantin berdiri dari pelaminan menuju pintu gerbang). Tindakipun kadherekaken dening tiyang sepuh kekalih ugi pager ayu, manut lakuning cucuk lampah daya-daya temanten sarimbit tumuju dhateng regol. Sawetawis paring pambagya dhumateng kunduripun para tamu. (Jalannya diikuti oleh kedua orangtuanya serta kembar mayang. Mengikuti jalannya cucuk lampah pengantin keduanya menuju pintu gerbang untuk memberikan penghormatan terhadap pulangnya para tamu). Nuninggih para pirawuh sami, nuwun agunging pangestu anggeniun anaka kula kekaih, inggih … dalah nak mas…(nama mempelai) . mugi kanthi snineksenan pawiwahan agung lan pangestu saking panjenaengan sami. Kekalih pinanganten menika saged hanapaki bebrayan agung kanthi mujudaken pajangka kaluwarga ingkang sakinah, mawadah wararahmah. Kalis ing pambeng, mugiya saged hanapaki bebrayan agung kanthi mujudaken panjangka kaluwarga ingkang sakinah, mawadah warrahmah. Kalis ing pambeng, mugiya saged langgeng wilujeng. Amin ya robbal ‘alamin. (Dan juga untuk para tamu, terima kasih atas restu yang telah diberikan kepada kedua anak saya. Semoga dengan disaksikannya acara besar ini serta restu dari anda semua, kedua pengantin tersebut bisa memasuki masyarakat dengan jalan keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah. Terhindar dari malapetaka. Semoga bisa menjadi keluarga yang langgeng dan selamat. Aamiin yarobbal alamin).
Bentuk dari panyandra temanten hanya merupakan penggalan dari panyandra temanten, sebagai contoh bagaimana bahasa yang digunakan ketika panyandra temanten berlangsung. 62
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Melalui panyandra temanten tersebut dapat diketahui bahwa setiap acara atau prosesi yang berlangsung dijelaskan satu persatu sehingga detail acara dapat diketahui. Ditinjau dari aspek sosiolinguistik secara umum, sangat jelas bahwa terjadi kolaborasi yang tepat antara bahasa dan masyarakat. Keduanya memiliki peran yang sangat penting dan berkaitan. Tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Bahasa di sini tidak diamati sebagaimana sebagai bahasa itu sendiri melainkan didekati sebagai sarana komunikasi dalam masyarakat. Jika dilihat dari segi sebagai bahasa (murni), maka pembahasan ini akan berujung pada fonologi, morfologi, sintaksis, atau semantik. Namun, karena dipandang sebagai sarana komunikasi maka diperhitungkan juga siapa yang mengomunikasikannya dan dalam situasi apa bahasa ini dikomunikasikan. Panyandra temanten merupakan salah satu sarana komunikasi yang digunakan ketika prosesi adat upacara tradisi jawa berlangsung. Seperti yang sudah diketahui bahwa panyandra temanten menggunakan bahasa jawa krama inggil, maka komunikasi yang dimaksud di sini bukanlah komunikasi yang dituturkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, panyandra temanten sangat berperang penting sebagai aktualisasi dari pemertahanan bahasa ibu. Melalui tradisi panyandra temanten yang merupakan bagian dari pernikahan jawa ini, bahasa krama inggil yang notabenenya adalah bahasa ibu tetap bisa eksis di kalangan masyarakat, meskipun bahasa ini tidak dikomunikasikan dalam kehidupan sehari-hari akan tetapi akan tetap hidup dalam balutan tradisi. Selama upacara adat ini bertahan, maka bahasa Jawa krama inggil ini juga tidak akan punah. Mencegah kepunahan tradisi panyandra temanten hal yang perlu dilakukan adalah adanya regenerasi terhadap generasi muda. Jika berhenti pada generasi tua maka kepunahan tidak dapat dicegah karena suatu saat, cepat atau lambat generasi tua ini akan meninggalkan bumi sebagai tempat berlangsungnya segala kebudayaan. SIMPULAN Tradisi pernikahan Jawa merupakan topik yang yang sangat menarik untuk dibicarakan. Pada dasarnya, di balik adat pernikahan Jawa ini terdapat makna mendalam dan sangat penting untuk diambil. Tentu saja, makna di sini disampaikan secara implisit. Banyak masyarakat yang menggunakan adat Jawa dalam menggelar acara pernikahan. Acuannya sedikit banyak disesuaikan dengan pernikahan yang digelar di keraton. Hal inilah yang menimbulkan prestise tersendiri jika seseorang menggelar pernikahan dengan konsep tersebut. Padahal, apa pun maksud dari orang yang menggelar acara ini, yang pasti adalah adat pernikahan Jawa tidak hanya sebagai upacara biasa namun memiliki tujuan tertentu. Salah satunya sebagai bentuk dari pelestarian salah satu budaya dan sekaligus sebagai bentuk dari pemertahanan bahasa. Maka upacara adat ini akan tetap hidup dan anak cucu atau generasi muda selanjutnya masih dapat mengenal budaya daerahnya sendiri bahkan masih dapat melaksanakannya. Hal terpenting selanjutnya adalah bahwa upacara ini sebagai bentuk strategi pemertahanan bahasa ibu karena di dalam tradisi pernikahan jawa ada yang disebut sebagai panyandra temanten. Di dalam panyandra temanten terdapat penggunaan bahasa Jawa krama inggil yang saat ini mulai mengalami tanda-tanda pengikisan karena sedikitnya yang menggunakan bahasa ini. Padahal posisi bahasa jawa krama inggil ini adalah sebagai bahasa ibu yang seharusnya tetap eksis. Melalui panyandra temanten bahasa jawa tetap dapat dipertahankan meskipun hanya dalam acara tertentu dan setidaknya orang-orang pernah mendengar bahasa jawa krama inggil ini. Akan tetapi, apabila semakin banyak yang menggelar upacara adat ini, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak yang belajar menjadi pranatacara. Sehingga secara tidak langsung akan banyak juga yang belajar bahasa Jawa krama inggil. Hal ini akan menjadi angin segar terhadap eksistensi bahasa ibu.
63
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Santosa, Imam Budhi. 2012. Spiritualisme Jawa. Yogyakarta: Memayu Publishing. Suryani, Elis. 2012. Filologi. Bogor: Ghalia Indonesia. Suwarna. 1999. “Peran Pranata Adicara Dalam Melestarikan Bahasa, Sastra, Dan Budaya Jawa”. Diunduh dari staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/MC-lestarikan%20bahasa.DOC pada tanggal 16 Januari 2014, pukul 16.00. Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2012. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Ananlisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Data atau teks panyandra temanten diambil dari Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa angkatan tahun 2010 Universitas Negeri Surabaya.
64