Konsep Kecantikan Wanita Jawa dalam Panyandra: Sebuah Analisis Metafora Arif Nur Setiawan¹, Widhyasmaramurti² ¹˒ ² Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas konsep kecantikan wanita dalam panyandra berbahasa Jawa. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Sementara itu, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 7 buku teks berbahasa Jawa yang terbit pada tahun 1958 hingga 2011. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan makna metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa. Teori yang digunakan untuk menganalisis data adalah teori metafora Lakoff dan Johnson (1980) dan teori komponensial Nida (1975). Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui analisis makna metaforis ditemukan 70 makna metaforis panyandra berbahasa Jawa yang terdiri atas 3 kategori dan 34 subkategori pembangun konsep kecantikan wanita Jawa. Kata kunci: Konsep kecantikan wanita Jawa; metafora; dan panyandra.
Abstract This research discusses women’s beauty concepts of Javanese panyandra (proposition). Data that is used consisted of primary and secondary data which are taken from 7 Javanese language textbooks since 1958 until 2011, and analyzed based on descriptive qualitative research method by using theory of metaphor by Lakoff and Johnson (1980) and theory of componential meaning by Nida (1975). The aim is to discover the metaphorical meaning of the women’s beauty concepts of Javanese panyandra. As a result, there are 70 panyandra which can be found that form the concepts of women’s beauty, and those panyandra have 3 categories and 34 subcategories of metaphorical meaning that form the concept of women’s beauty of Javanese panyandra. Key words: Women’s beauty concepts; metaphor; and Javanese panyandra (proposition).
Pendahuluan Konsep kecantikan dalam budaya Jawa tercermin melalui ungkapan berbahasa Jawa dalam bentuk proposisi yang digunakan oleh masyarakat pendukungnya, salah satu jenis proposisi dalam bahasa Jawa adalah panyandra. Menurut pengamatan peneliti, panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa diciptakan oleh kaum pria. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Old Javanese-English Dictionary (Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti ‘yang 1
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
2
diinginkan’. Dalam pengertian ini, wanita merupakan ‘sesuatu yang diinginkan pria’. Jadi, kaum pria mengungkapkan gagasannya tentang konsep kecantikan wanita Jawa melalui panyandra. Penelitan ini berfokus pada kecantikan wanita karena dalam budaya Jawa, wanita dapat dimaknai dengan wani ditata 'berani ditata' dan sekaligus wani nata 'berani menata' (Ensiklopedi Istri-Istri Raja Jawa, 2013: 9). Dalam pengertian ini, wanita merupakan seseorang yang telah dewasa, baik itu dewasa dalam berpikir maupun bertindak. Hal ini senada dengan arti secara leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), arti kata wanita adalah 'perempuan dewasa' atau 'kaum putri (dewasa)'. Hal tersebut diperkuat dengan penjelasan dari Kamus Dewan (1970) bahwa kata wanita merupakan bentuk eufemistis1 dari kata perempuan. Sementara itu, dalam sejarah kontemporer bahasa Indonesia, kata wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu (Harimurti, 1993: 12). Selain itu, menurut Harimurti dalam Kamus Linguistik (1993), kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna, arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan kata wanita2. Dalam khazanah budaya Jawa Kuna terdapat konsep kecantikan wanita yang disebut dengan rupasampat wahyabyantara (Martha, 1999: 58). Konsep tersebut menjelaskan bahwa kecantikan merupakan paduan yang harmonis antara dua unsur yakni lahiriah dan batiniah. Kecantikan lahiriah adalah keelokan wajah dan tubuh. Sementara itu, kecantikan batiniah adalah keluhuran budi yang memancar keluar dari dalam diri. Selanjutnya, kedua unsur ini berpadu dan membentuk suatu keseimbangan. Keseimbangan tersebut tampak dalam panyandra. Panyandra merupakan ungkapan yang mengandung pengandaian dan terdapat hal yang diperbandingkan. Hal tersebut berkaitan dengan kajian metafora. Menurut Frans (1994: 1) metafora merupakan fenomena lingual yang unik karena dalam metafora terdapat unsur ketidaksesuaian antara isi tuturan secara harfiah dengan maksud penuturnya. Secara semantis fenomena ini menarik karena dalam metafora dapat ditemukan makna harfiah dan makna metaforis. 1
Menurut KBBI (2007), eufemistis berarti bersifat melembutkan tentang bahasa dan sebagainya. Kata wanita berasal dari bahasa Sansekerta yaitu vanita. Kata ini diserap oleh bahasa Jawa Kuna (Kawi) menjadi wanita, yang terdapat perubahan labialisasi dari labiodental ke labial: [v] à [w], dari bahasa Kawi, kata ini diserap oleh bahasa Jawa (Modern), lalu dari bahasa Jawa, kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia. Setelah diadopsi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata ini mengalami tambahan nilai positif. (Sudarwanti dan D. Jupriono, 1997)
2
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
3
Lakoff dan Johnson (1980: 3) mengemukakan bahwa pemikiran metaforis menggambarkan ada kecenderungan dasar dari pikiran manusia untuk memikirkan referen tertentu dengan cara tertentu. Pernyataan tersebut dapat dicontohkan dengan panyandra berikut ini. Contoh (1) kecantikan salah satu bagian dari fisik wanita Jawa dalam panyandra: Pakulitane ngulit langsep ‘kulitnya seperti kulit buah langsat’. Penggunaan unsur alam yang berupa buah langsat mempunyai ketentuan khas sehingga menjadi pilihan nenek-moyang orang Jawa dalam menggambarkan kata keindahan yang mengacu pada kecantikan seorang wanita. Ciri-ciri kulit buah langsat yang berwarna kuning cerah dan permukaannya halus diibaratkan dengan keindahan kulit seorang wanita. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa deskripsi kecantikan wanita terdapat dalam khazanah budaya Jawa. Sebagai penutur jati bahasa Jawa3, maka peneliti terdorong untuk menemukan makna metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini, yakni bagaimana proses pembentukan metafora dalam panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa. Adapun rumusan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Apa sajakah source domain ‘ranah sumber’ dan target domain ‘ranah sasaran’ metafora dalam panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa? 2. Apa sajakah komponen makna pada korespondensi antara source domain ‘ranah sumber’ dan target domain ‘ranah sasaran’ metafora dalam panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa? 3. Apakah makna metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa? Tinjauan Teoritis Penelitian ini menggunakan dua teori untuk menganalisis metafora dalam panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa. Kedua teori tersebut adalah teori yang dikemukakan
3
Menurut KBBI (2007), penutur jati (native speaker) berarti penutur yang menggunakan bahasa ibu. Dalam hal ini, penutur jati bahasa Jawa merupakan penutur yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu.
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
4
oleh Lakoff dan Johnson (1980) tentang metafora konseptual dan Nida (1975) tentang komponen makna. Adapun penjelasan kedua teori tersebut sebagai berikut: 1. Teori Metafora Konseptual Lakoff dan Johnson (1980: 3-6) berpendapat bahwa metafora merupakan hal umum dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya dalam bahasa, tetapi juga dalam perilaku dan pemikiran. Definisi metafora Lakoff dan Johnson ini yang digunakan sebagai landasan teori utama untuk menganalisis data dalam penelitian ini. Lebih lanjut, mereka mengemukakan sistem konseptual manusia merupakan proses pembentukan metafora secara alami. Proses tersebut terimplementasi baik dalam cara berpikir atau berperilaku. Dengan demikian, metafora konseptual merupakan suatu konsep yang sistematis yang terbentuk secara kognitif (Lakoff dan Johnson, 1980: 3-6). Menurut Lakoff dan Johnson (Cruse, 2004: 201), metafora konseptual dianalisis sebagai proses konseptualisasi kognitif bergantung pada tiga hal, yaitu (1) ranah sumber (source domain), (2) ranah sasaran (target domain), (3) pemetaan atau korespondensi (a set of mapping relation or correspondences). Dengan kata lain, metafora konseptual melihat ada hubungan antara kedua ranah yaitu ranah sumber dan ranah sasaran ke dalam bentuk pemetaan atau korespondensi. Ranah sumber berkenaan dengan dunia pengalaman yang biasanya konkret (nyata) dan dikenal akrab, sedangkan ranah sasaran biasanya lebih bersifat abstrak (Rahyono, 2012: 190). 2. Teori Komponen Makna Komponen makna adalah elemen-elemen makna yang membedakan makna suatu kata dari kata lainnya yang berada pada medan makna yang sama (Nida, 1975: 32). Untuk menemukan komponen makna sebuah kata dengan kata lainnya, maka digunakan analisis komponen. Analisis komponen adalah teknik untuk mendeskripsikan hubungan makna suatu referen dengan memilahmilah setiap konsep menjadi komponen minimal (Nida, 1975:64). Di dalam analisis komponensial, nilai komponen makna yang dimiliki sebuah kata dilambangkan dengan (+) dan nilai yang tidak memiliki dilambangkan dengan (-). Sebagai contoh, untuk mendeskripsikan perbedaan antara suami, bujangan, istri dan gadis (adaptasi dari Saeed, 2003: 249), dapat dilihat dari komponen makna (KM) yang dimiliki dari setiap kata tersebut.
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
5
-
Suami terdiri dari KM1 [+manusia], KM2 [+dewasa], KM3 [+laki-laki], dan KM4 [+menikah]. Jadi KM1, KM2, KM3, KM4 adalah komponen makna yang membentuk kata suami.
-
Bujangan terdiri dari KM1 [+manusia], KM2 [+dewasa], KM3 [+laki-laki], dan KM4 [-menikah]. Jadi, KM1, KM2, KM3, KM4 merupakan komponen makna yang membentuk kata bujangan.
-
Istri terdiri dari KM1 [+manusia], KM2 [+dewasa], KM3 [-laki-laki], dan KM4 [+menikah]. Jadi, KM1, KM2, KM3, KM4 merupakan komponen makna yang membentuk kata istri.
-
Gadis terdiri dari KM1 [+manusia], KM2 [+dewasa], KM3 [-laki-laki], dan KM4 [menikah]. Jadi, KM1, KM2, KM3, KM4 merupakan komponen makna yang membentuk kata gadis.
Berdasarkan uraian di atas dipaparkan bahwa setiap kata memiliki komponen makna yang sama dan dapat berbeda dengan komponen makna yang dimiliki kata lainnya. Oleh karena itu, Nida (1975: 32-37) membagi komponen makna menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Komponen makna bersama (common components), yaitu komponen makna yang dimiliki bersama oleh beberapa kata, contohnya, kata husband ‘suami’ dan wife ‘istri’ memiliki komponen makna yang sama yakni [+manusia], [+dewasa], dan [+menikah]. 2. Komponen makna pembeda (diagnostic components), yaitu komponen makna yang berfungsi untuk membedakan makna suatu kata dengan kata lainnya, contohnya, kata husband ‘suami’ dan wife ‘istri’ memiliki komponen makna yang berbeda yakni kata husband ‘suami’ untuk komponen makna [+laki-laki] dan kata wife ‘istri’ untuk komponen makna [-laki-laki]. 3. Komponen makna tambahan (supplementary components), yaitu komponen makna yang bersifat perluasan makna suatu kata, contohnya, kata kata husband ‘suami’ dan wife ‘istri’ memiliki komponen makna tambahan yakni kata husband ‘suami’ memiliki komponen makna tambahan [-melahirkan] dan kata wife ‘istri’ memiliki komponen makna tambahan [+melahirkan]. Lebih lanjut, Nida (1975: 64) mengemukakan ada empat tipe prosedur linguistik yang digunakan dalam analisis komponensial, yaitu: (1) penamaan (naming), (2) paraphrase
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
6
(paraphrasining), (3) pendefinisian (defining), dan (4) pengklasifikasian (classifying). Penamaan adalah
tindakan
spesifik
dalam
membentuk
sejenis
referen.
Parafrase
adalah
cara
mendeskripsikan ciri pembeda dalam unit makna dengan mengacu pada interpretasi perorangan, contohnya, kata paman dapat diparafrese menjadi saudara laki-laki ayah atau ibu. Pendefinisian mencakup mengombinasikan semua parafrasa yang spesifik menjadi satu pernyataan berdasarkan komponen pembeda dari sebuah makna, contohnya, kata paman didefinisikan saudara laki-laki dari seorang ayah atau suami dari seorang bibi. Selain itu, kata paman dapat didefinisikan sebagai panggilan keluarga terhadap laki-laki yang lebih tua dan panggilan yang digunakan oleh beberapa penutur bahasa Inggris ekspatriat kepada laki-laki dewasa. Kemudian pengklasifikasian yang terdiri atas tiga prosedur, yaitu (a) mengumpulkan unit makna yang mempunyai kesamaan ciri, (b) memisahkan unit makna yang berbeda, dan (c) menentukan dasar pengelompokan. Oleh sebab itu, untuk memulai menganalisis, peneliti menyusun kesimpulan dari landasan teori yang dapat dijabarkan dalam Bagan 1 berikut: Bagan 1 Kerangka Acuan Teoritis Penelitian
-
WACANA Pemikiran Nilai-nilai Tindakan
Panyandra
Teori Komponensial Nida (1975)
Teori Metafora Konseptual Lakoff dan Johnson (1980)
Makna Metaforis
Berdasarkan bagan di atas, dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Wacana tidak hanya sekadar bahasa, tetapi juga cara memandang dunia atau kehidupan yang terungkap dalam bahasa, tindakan, nilai, kepercayaan, sikap, dan identitas sosial (Kramsch, 1998).
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
7
2. Dalam pandangan fungsional, yaitu dalam penggunaan panyandra dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, panyandra merupakan salah satu bentuk wacana deskriptif4. Dalam mengkomunikasikan pesannya5, panyandra menggunakan makna metaforis. 3. Analisis metaforis panyandra dilakukan dengan menggunakan teori metafora konseptual Lakoff dan Johnson (1980) dengan tiga langkah kerja sehingga dapat ditemukan ranah sumber, ranah sasaran, dan pemetaan. Sementara itu, teori komponensial Nida (1975) dibutuhkan untuk menemukan komponen makna, yaitu komponen makna bersama, komponen makna pembeda, dan komponen makna tambahan jika ada. 4. Melalui analisis dengan menggunakan kedua teori tersebut maka makna metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa dapat ditemukan. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif yakni metode yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2008: 1). Penulis mendapatkan data panyandra, pertama-tama dipelajari, kemudian ditemukan masalah yang ada dalam data itu. Setelah menemukan masalah, maka ditentukanlah teori yang cocok untuk memecahkan masalah yang terdapat dalam panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa. Oleh karena itu, analisis data yang dilakukan bersifat induktif berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dapat dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori (Sugiyono, 2008: 3). Berikut adalah tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian: 1. Mengumpulkan data dengan teknik simak. 4
Kushartanti, dkk (2009) seperti dikutip dari Leech (1974) menjelaskan bahwa berdasarkan pemaparan, wacana dapat dikelompokkan atas wacana naratif, wacana deskriptif, wacana ekspositoris, wacana argumentatif, wacana persuasif, wacana hortatoris, dan wacana prosedural. Wacana deskriptif dicirikan oleh adanya detail suatu hal, seperti pada profil. 5 Lyons (1977) seperti dikutip dari Cruse (2004: 5) mengemukakan bahwa dalam model komunikasi akan terdapat penyampaian pesan atau informasi yang telah dikodekan dengan menggunakan tanda-tanda (bunyi bahasa) dari penutur ke petutur.
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
8
2. Mengklasifikasikan panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa berdasarkan kategori keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan batiniah, kecantikan lahiriah, dan kecantikan batiniah. 3. Menganalisis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa berdasarkan teori metafora Lakoff dan Johnson (1980) dan teori komponensial Nida (1975). 4. Mendapatkan hasil analisis makna metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa. Sumber Data Penelitian ini menggunakan korpus data yang berasal dari sumber data tertulis. Sumber data tertulis tersebut berasal dari tujuh buku teks berbahasa Jawa, yang terbagi atas 1 buku teks berbahasa Jawa sebagai sumber data primer dan 6 buku teks berbahasa Jawa sebagai sumber data sekunder. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1. Sumber Data Primer -‐ Buku Ngengrengan Kasusastran Djawa jilid I6 (S. Padmosoekotjo, 1958); Buku Ngengrengan Kasusastran Djawa merupakan sumber data tertua yakni diterbitkan pada tahun 1958 yang dijadikan peneliti sebagai sumber data primer. Pemilihan buku karangan Padmosoekotjo tersebut sebagai data primer didasari pada penjelasan panyandra secara terperinci dan disertai dengan contoh penggunaannya dalam macapat ‘puisi Jawa bertembang’. 2. Sumber Data Sekunder -‐ Buku Padalangan Djangkep Sedalu Muput Lampahan Kartopijogo Tjidra (Wignjawirjanta, 1963); -‐ Buku Sapala Basa Jawa (Y.A. Yuwono, 1987); -‐ Buku Gita Wicara Jawi (Suwarna Pringgawidagda, 1998); -‐ Buku Pepak Basa (S. Rahardjo, 2008); -‐ Buku Kawruh Pepak Basa Jawa Anyar (S. Yadi, 2009); dan -‐ Buku Pepak Basa Jawa Lengkap (Sri Hartatik, 2011). 6
Buku Ngengrengan Kasusastran Djawa merupakan sumber tertua yang diterbitkan oleh Penerbit Hien Hoo Sing, Yogyakarta pada tahun 1958. Buku karangan S. Padmosoekotjo ini terdiri atas 2 jilid, yaitu Ngengrengan Kasusastran Djawa I dan II.
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
9
Sumber data sekunder ini digunakan sebagai validasi sumber data primer sekaligus untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Dalam hal penggunaan panyandra, buku Padalangan Djangkep Sedalu Muput Lampahan Kartopijogo Tjidra, buku Sapala Basa Jawa dan buku Gita Wicara Jawi menjelaskan tentang konteks penggunaan panyandra, yaitu dalam pertunjukan wayang kulit dan upacara pernikahan adat Jawa. Selanjutnya, peneliti juga menggunakan buku teks berbahasa Jawa terbitan baru, yakni berkisar antara tahun 2008 hingga tahun 2011. Buku teks berbahasa Jawa ini merupakan buku pendamping mata pelajaran Bahasa Jawa untuk siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan masih dipelajari oleh masyarakat umum. Materi pelajaran di dalam buku teks tersebut masih digunakan dalam kegiatan belajar mengajar baik di sekolah maupun masyarakat umum. Berdasarkan ketujuh sumber data tertulis tersebut, diperoleh 70 panyandra tentang kecantikan wanita Jawa. Analisis Makna Metaforis Panyandra yang Membangun Konsep Kecantikan Wanita Jawa Berdasarkan data berupa 70 panyandra tentang kecantikan wanita Jawa, telah dilakukan analisis yang menghasilkan temuan berupa 3 kategori dan 34 subkategori pembangun konsep kecantikan wanita Jawa yang terdapat dalam panyandra. Ketiga kategori tersebut terbagi atas: (1) keseimbangan antara kencantikan lahiriah dan batiniah terdapat 1 panyandra; (2) kecantikan lahiriah terdapat 42 panyandra; dan (3) kecantikan batiniah terdapat 27 panyandra. Jadi, sebanyak 70 panyandra mengandung makna metaforis yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa. Sehubungan dengan jumlah data yang cukup banyak, maka analisis dalam tulisan ini dibatasi hanya pada penjelasan ringkas terhadap 3 kategori untuk memudahkan penyampaian makna metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa. Selain itu, pemilihan panyandra yang dianalisis dalam tulisan ini bersifat umum dan sesuai dengan urutan penomoran yang pertama dalam setiap kategorinya, sebagaimana dijelaskan dalam analisis berikut ini.
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
10
1. Panyandra Berdasarkan Kategori Keseimbangan Antara Kecantikan Lahiriah dan Batiniah Pada bagian ini berisi analisis makna metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa berdasarkan kategori keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan batiniah. Berdasarkan data yang terjaring, ditemukan satu panyandra yang masuk dalam kategori ini. Panyandra ini merupakan panyandra dengan struktur pepindhan. Hal ini didasari dari penggunaan kata kaya ‘seperti’ pada panyandra ini. 1.1 Ayune kaya Dewi Ratih ‘Cantiknya seperti Dewi Ratih’ Berikut alur analisis makna metaforis panyandra di atas. Tabel 1 Alur Analisis Makna Metaforis Ayune kaya Dewi Ratih RSu Ayune kaya Dewi Ratih. KM -‐ ayu ‘cantik’: [+elok] [+molek tentang wajah atau muka perempuan] [+indah] -‐ dewi ‘dewi’: [+dewa perempuan] [+perempuan yang cantik] -‐ ratih ‘bulan’: [+benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada malam hari karena pantulan sinar matahari]
RSa Keseimbangan kecantikan antara lahiriah dan batiniah wanita. KM -‐ seimbang: [+setimbang] [+sebanding] [+sama] -‐ cantik: [+elok] [+molek tentang wajah atau muka perempuan] [+indah] -‐ lahir: [+tampak dari luar] [+berupa benda yang kelihatan, keduniaan, jasmani] -‐ batin: [+sesuatu yang terdapat di dalam hati] [+sesuatu yang menyangkut jiwa atau perasaan hati dan sebagainya] -‐ wanita: [+perempuan dewasa] Pemetaan Ciri-ciri tokoh Dewi Ratih diibaratkan dengan keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan batiniah wanita, sehingga menghasilkan perbandingan komponen makna di bawah ini. Korespondensi Antara RSu dan RSa KM KM [+kecantikan lahiriah] [+kecantikan lahiriah] [+kecantikan batiniah] [+kecantikan batiniah] [+dewi] [-dewi] [+istri dari Batara Kamajaya] [-istri dari Batara Kamajaya] Makna Metaforis Kecantikan wanita yang seimbang antara kecantikan lahiriah dan kecantikan batiniah yang menyerupai dewi.
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
11
Berdasarkan alur analisis di atas, terlihat bahwa panyandra ini memiliki satu ranah sumber, yaitu tokoh Dewi Ratih7. Sementara itu, ranah sasarannya adalah keseimbangan kecantikan antara lahiriah dan batiniah wanita. Kedua ranah tersebut memiliki komponen makna masing-masing dan menghasilkan pemetaan, yakni ciri-ciri tokoh Dewi Ratih diibaratkan dengan keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan batiniah wanita. Selanjutnya, dilakukan korespondensi antara ranah sumber dan ranah sasaran yang menghasilkan komponen makna sebagai berikut: (1) komponen makna bersama, yaitu [+kecantikan lahiriah] dan [+kecantikan batiniah] pada kedua ranah; (2) komponen makna pembeda, yaitu [+dewi] pada komponen makna ranah sumber dan [dewi] pada komponen makna ranah sasaran; (3) komponen makna tambahan, yaitu [+istri dari batara Kamajaya] pada komponen makna ranah sumber dan [-istri dari batara Kamajaya] pada komponen makna ranah sasaran. Berpijak pada hasil korespondensi tersebut maka makna metaforis panyandra ini dapat dirumuskan, yaitu kecantikan wanita yang seimbang antara kecantikan lahiriah dan kecantikan batiniah yang menyerupai dewi. 2. Panyandra Berdasarkan Kategori Kecantikan Lahiriah Pada bagian ini berisi analisis makna metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa berdasarkan kategori kecantikan lahiriah. Pembentuk kategori kecantikan lahiriah tersusun atas: (1) karakteristik kulit; (2) karekteristik rambut; (3) karakteristik wajah; (4) karakteristik dahi; (5) karakteristik alis; (6) karakteristik bulu mata; (7) karakteristik mata; (8) karakteristik hidung; (9) karakteristik bibir; (10) karakteristik gigi; (11) karakteristik pipi; (12) karakteristik dagu; (13) karakteristik leher; (14) karakteristik badan; (15) karakteristik pundak; (16) karakteristik payudara; (17) karakteristik pinggang; (18) karakteristik tangan; (19) karakteristik jari tangan; (20) karakteristik kaki; (21) karakteristik bokong; (22) karakteristik paha; (23) karakteristik betis; (24) karakteristik tumit; dan (25) karakteristik jari kaki. Adapun
7
Dewi Ratih atau Dewi Kamaratih merupakan istri dari Batara Kamajaya. Keduanya sangat dicintai oleh bangsa Nuswantara7, sehingga ada kepercayaan apabila ada seorang wanita yang hamil, diperlukan syarat berupa sepasang cengkir gading atau kelapa gading yang masih muda yang dilukis dengan gambar Kamajaya dan Kamaratih. Menurut masyarakat pendukungnya, kepercayaan ini mempunyai maksud agar anaknya kelak jika lahir pria akan tampan seperti Kamajaya, dan jika lahir wanita akan secantik Kamaratih dan bertabiat seperti keduanya (Eksiklopedi Wayang Purwa, 1991: 430). Putri Batara Soma ini terkenal kecantikannya yang luar biasa. Dalam pewayangan, ia dan suaminya merupakan lambang cinta kasih yang murni dan abadi (Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 3, 1999: 730).
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
12
salah satu analisis makna metaforis panyandra kategori lahiriah yang akan diuraikan dalam penelitian ini dipilih tentang karakteristik kulit yang bersifat visual, sebagai berikut: 2.1 Pakulitane ngulit langsep ‘Kulitnya seperti kulit buah langsat’ Berikut alur analisis makna metaforis panyandra di atas. Tabel 2 Alur Analisis Makna Metaforis Pakulitane ngulit langsep RSu Pakulitane ngulit langsep. KM -‐ kulit ‘kulit’: [+pemalut paling luar buah] -‐ langsep ‘buah langsat’: [+buah tropis] [+berwarna kuning cerah] [+kulit buah bertekstur halus]
RSa Keindahan kulit wanita. KM
-‐ keindahan: [+sifat-sifat keadaan yang indah] [+cantik] [+elok] -‐ warna: [+corak rupa] -‐ tekstur: [+ukuran dan susunan bagian suatu benda] -‐ kulit: [+pemalut paling luar tubuh manusia] -‐ wanita: [+perempuan dewasa] Pemetaan Ciri-ciri kulit buah langsat diibaratkan dengan keindahan kulit wanita, sehingga menghasilkan perbandingan komponen makna di bawah ini. Korespondensi Antara RSu dan RSa KM KM [+kulit yang berwarna kuning cerah] [+kulit yang berwarna kuning cerah] [+flora] [-flora] [+permukaan kulit yang halus] [+permukaan kulit yang halus] Makna Metaforis Keindahan kulit wanita yang berwarna kuning cerah dan permukaannya halus.
Berdasarkan alur analisis di atas, terlihat bahwa panyandra ini memiliki satu ranah sumber, yaitu kulit buah langsat8. Sementara itu, ranah sasarannya adalah keindahan kulit wanita. Kedua ranah tersebut memiliki komponen makna masing-masing dan menghasilkan pemetaan, yakni ciri-ciri kulit buah langsat diibaratkan dengan keindahan kulit wanita. Selanjutnya, dilakukan korespondensi antara ranah sumber dan ranah sasaran yang menghasilkan komponen makna sebagai berikut: (1) komponen makna bersama, yaitu [+kulit yang berwarna kuning cerah] pada kedua ranah; (2) komponen makna pembeda, yaitu [+flora] pada komponen makna ranah sumber 8
Langsat (Lansium domesticum) merupakan pohon yang tingginya mencapai 10-20 meter, batang pokoknya lurus, bunganya berwarna putih atau kuning, buahnya menyerupai duku, bergerombol dalam tandan, rasanya asam-asam manis atau lebih asam daripada duku, berkulit tipis dan bergetah (KBBI, 2007: 636).
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
13
dan [-flora] pada komponen makna ranah sasaran; (3) komponen makna tambahan, yaitu [+permukaan kulit yang halus] pada kedua ranah. Berpijak pada hasil korespondensi tersebut maka makna metaforis panyandra ini dapat dirumuskan, yaitu visualisasi keindahan kulit wanita dapat dilihat jelas melalui kulitnya yang berwarna kuning cerah dan permukaannya halus. 3. Panyandra Berdasarkan Kategori Kecantikan Batiniah Pada bagian ini berisi analisis makna metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa berdasarkan kategori kecantikan batiniah. Pembentuk kategori kecantikan batiniah tersusun atas: (1) cara berpikir; (2) cara menulis; (3) tekad; (4) mimik muka/pesona wajah; (5) suara saat bertutur kata; (6) cara tersenyum; (7) cara berjalan; (8) cara menari; dan (9) cara bekerja. Adapun salah satu analisis makna metaforis panyandra yang akan dianalisis adalah tentang cara berpikir karena kecantikan batiniah merupakan representasi hasil dari proses berpikir seorang wanita, seperti analisis berikut ini. 3.1 Pintere kaya bisa njara langit ‘Kecerdasannya seperti dapat mengebor langit’ Berikut alur analisis makna metaforis panyandra di atas. Tabel 3 Alur Analisis Makna Metaforis Pintere kaya bisa njara langit
-‐
-‐ -‐
-‐
RSu Pintere kaya bisa njara langit. KM pinter ‘cerdas’: [+sempurna perkembangan akal budinya untuk berpikir, mengerti, dan sebagainya] [+tajam pikiran] bisa ‘bisa’: [+mampu] [+kuasa melakukan sesuatu] jara ‘bor’: [+gurdi] [+bor kecil untuk membuat lubang pada kayu atau sarung keris dan sebagainya] langit ‘langit’: [+ruang luas terbentang di atas bumi] [+tempat beradanya bulan, bintang, matahari, dan planet yang lain]
RSa Kecerdasan berpikir wanita. KM -‐ cerdas: [+sempurna perkembangan akal budinya untuk berpikir, mengerti, dan sebagainya] [+tajam pikiran] -‐ berpikir: [+menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu] [+menimbang-nimbang dalam ingatan] -‐ wanita: [+perempuan dewasa]
Pemetaan Ciri-ciri tindakan mengebor langit diibaratkan dengan kecerdasan berpikir wanita, sehingga menghasilkan perbandingan komponen makna di bawah ini. Korespondensi Antara RSu dan RSa KM KM
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
14 [+sangat tinggi] [+keadaan alam] [+luar biasa]
[+sangat tinggi] [-keadaan alam] [+luar biasa] Makna Metaforis Kecerdasan berpikir wanita yang sangat tinggi dan luar biasa.
Berdasarkan alur analisis di atas, terlihat bahwa panyandra ini memiliki satu ranah sumber, yaitu tindakan mengebor langit. Sementara itu, ranah sasarannya adalah kecerdasan berpikir wanita. Kedua ranah tersebut memiliki komponen makna masing-masing dan menghasilkan pemetaan, yakni ciri-ciri tindakan mengebor langit diibaratkan dengan kecerdasan wanita yang dihasilkan dari proses berpikir. Selanjutnya, dilakukan korespondensi antara ranah sumber dan ranah sasaran yang menghasilkan komponen makna sebagai berikut: (1) komponen makna bersama, yaitu [+sangat tinggi] pada kedua ranah; (2) komponen makna pembeda, yaitu [+keadaan alam] pada komponen makna ranah sumber dan [-keadaan alam] pada komponen makna ranah sasaran; (3) komponen makna tambahan, yaitu [+luar biasa] pada kedua ranah. Berpijak pada hasil korespondensi tersebut maka makna metaforis panyandra ini dapat dirumuskan, yaitu kecerdasan berpikir wanita yang sangat tinggi dan luar biasa. Kesimpulan Berdasarkan 70 panyandra yang telah dianalisis maka didapatkan kesimpulan yang menjawab tiga permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu: 1. a) Ranah-ranah sumber dari panyandra yang membangun konsep kecantikan
wanita
Jawa bersifat abstrak dan konkret, serta kerap ditemui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Ranah-ranah sumber tersebut, sebagai berikut: 1. 4. 7.
tokoh Dewi Ratih warna hitam manis uang logam yang tumpah
2. 5. 8.
kulit buah langsat bunga bakung burung belibis
3. 6. 9.
emas yang telah digosok bunga bakung kuncup bunga turi
10.
11.
batu pualam
12.
13.
irisan kunyit dan tebaran emas tulang daun
14.
lengkungan arah langit
15.
bulan sabit pada tanggal satu lentera yang terhembus angin
16. 19. 22. 25.
bintang emas yang telah digosok sepotong gula jawa tangkai senjata yang patah
17. 20. 23. 26.
bawang satu siung buah manggis yang merekah biji buah mentimun asahan pisau yang sudah lama digunakan
18. 21. 24. 27.
kuncup bunga melati buah pinang yang terbelah buah durian satu juring lebah yang tergantung
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
15 28.
29.
pohon beringin yang terbalik
30.
gambar bangunan
32. 35.
kelapa gading busur gading
33. 36.
badan lebah pucuk duri
37.
daun ubi jalar yang melilit pada inangnya timbangan emas busur panah yang dibentangkan kaki belalang
38.
39.
tanaman pandan
40.
batang padi yang hamil
41.
wadah dari janur yang berbentuk bulat kaki gangsir
42.
43. 46.
kepala ular bentuk ketumbar
44. 47.
45. 48.
49. 52. 55.
sifat api dan kobarannya sinar bintang johar suara bambu yang terhembus angin burung merak yang sayapnya lungkai ke bawah burung jalak yang sedang berjalan pohon pinang yang terhembus angin kecepatan gerakan kadal
50. 53. 56.
tindakan mengebor langit bentuk batu bata yang telah dicetak sifat madu dan rasa manisnya tokoh Dewi Sembadra madu yang sangat manis
bentuk yang dihasilkan oleh jangka tindakan mengikat langit bentuk duri
51. 54. 57.
cairan gula jawa suara ombak madu yang paling manis
59.
pelepah kelapa yang patah
60.
harimau lapar
62.
ayam hutan yang menelusup
63.
65.
cahaya kilat
66.
burung merak yang sayapnya lungkai ke bawah kecepatan angin
68.
kecepatan gerakan banteng yang terluka
69.
31. 34.
58. 61. 64. 67. 70.
kecepatan gerakan jangkrik yang dibaui rumput
gerak burung sikatan yang menyambar belalang
b) Ranah-ranah sasaran dari panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa mengacu pada keseimbangan kecantikan antara lahiriah dan batiniah wanita, kecantikan lahiriah, dan kecantikan batiniah. Ranah-ranah sumber tersebut, sebagai berikut: 1.
2.
Keindahan kulit wanita.
3.
Keindahan kulit wanita.
4. 7. 10.
Keseimbangan kecantikan antara lahiriah dan batiniah wanita. Keindahan kulit wanita. Keindahan poni wanita. Keindahan wajah wanita.
5. 8. 11.
Keindahan rambut wanita. Keindahan poni wanita. Keindahan dahi wanita.
6. 9. 12.
Keindahan rambut wanita. Keindahan cambang wanita. Keindahan alis wanita.
13. 16. 19. 22. 25. 28. 31. 34. 37.
Keindahan alis wanita. Keindahan mata wanita. Keindahan hidung wanita. Keindahan bibir wanita. Keindahan dagu wanita. Keindahan leher wanita. Keindahan pundak wanita. Keindahan tangan wanita. Keindahan kaki wanita.
14. 17. 20. 23. 26. 29. 32. 35. 38.
Keindahan bulu mata wanita. Keindahan mata wanita. Keindahan bibir wanita. Keindahan gigi wanita. Keindahan dagu wanita. Keindahan badan wanita. Keindahan payudara wanita. Keindahan tangan wanita. Keindahan bokong wanita.
15. 18. 21. 24. 27. 30. 33. 36. 39.
Keindahan mata wanita. Keindahan hidung wanita. Keindahan bibir wanita. Keindahan pipi wanita. Keindahan dagu wanita. Keindahan badan wanita. Keindahan pinggang wanita. Keindahan jari tangan wanita. Keindahan paha wanita.
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
16 40. 43. 46. 49. 52. 55. 58. 61. 64. 67. 70.
Keindahan betis wanita. Keindahan ibu jari kaki wanita. Keindahan tulisan wanita. Kebulatan tekad wanita.
41. 44.
Keindahan betis wanita. Kecerdasan berpikir wanita.
42. 45.
Keindahan tumit wanita. Kecerdasan berpikir wanita.
47. 50.
Keindahan tulisan wanita. Kebulatan tekad wanita.
48. 51.
Keindahan mimik muka/pesona wajah wanita. Keindahan suara wanita saat bertutur kata. Keindahan berjalan wanita. Keindahan berjalan wanita.
53.
54.
56.
Keindahan mimik muka/pesona wajah wanita. Keindahan senyuman wanita.
Keindahan tulisan wanita. Keindahan mimik muka/pesona wajah wanita. Keindahan suara wanita saat bertutur kata. Keindahan senyuman wanita.
59. 62.
Keindahan berjalan wanita. Keindahan berjalan wanita.
60. 63.
Keindahan wanita dalam menari. Kecepatan wanita dalam bekerja. Kecepatan wanita dalam bekerja.
65.
Kecepatan wanita dalam bekerja. Kecepatan wanita dalam bekerja.
66.
68.
57.
69.
Keindahan berjalan wanita. Keindahan wanita dalam menari. Kecepatan wanita dalam bekerja. Kecepatan wanita dalam bekerja.
2. Melalui analisis komponen makna pada korespondensi antara source domain ‘ranah sumber’ dan target domain ‘ranah sasaran’ metafora dalam panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa, ditemukan komponen makna bersama, komponen makna pembeda, dan komponen makna tambahan pada masing-masing panyandra. 3. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, melalui analisis makna metaforis panyandra ditemukan 70 makna metaforis panyandra yang membangun konsep kecantikan wanita Jawa. Makna metaforis tersebut berbagi atas 3 kategori dan 34 subkategori pembangun konsep kecantikan wanita Jawa. -
Kategori pertama, yakni keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan batiniah yang hanya memiliki 1 subkategori yakni tercermin dalam panyandra: Ayune kaya Dewi Ratih ‘Cantiknya seperti Dewi Ratih’.
-
Kategori kedua, yakni kecantikan lahiriah yang meliputi 25 subkategori, yaitu: (1) karakteristik kulit, (2) karakteristik rambut, (3) karakteristik wajah, (4) karakteristik dahi, (5) karakteristik alis, (6) karakteristik bulu mata, (7) karakteristik mata, (8) karakteristik hidung, (9) karakteristik bibir, (10) karakteristik gigi, (11) karakteristik pipi, (12) karakteristik dagu, (13) karakteristik leher, (14) karakteristik badan, (15) karakteristik pundak, (16) karakteristik
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
17
payudara, (17) karakteristik pinggang, (18) karakteristik tangan, (19) karakteristik jari tangan, (20) karakteristik kaki, (21) karakteristik bokong, (22) karakteristik paha, (23) karakteristik betis, (24) karakteristik tumit, dan (25) karakteristik jari kaki. -
Kategori ketiga, yakni kecantikan batiniah yang meliputi 9 subkategori berikut ini: (1) cara berpikir, (2) cara menulis, (3) tekad, (4) mimik muka/pesona wajah, (5) suara saat bertutur kata, (6) cara tersenyum, (7) cara berjalan, (8) cara menari, dan (9) cara bekerja.
Melalui deskripsi atas jawaban 3 permasalahan tersebut, dapat dikatakan bahwa konsep kecantikan wanita Jawa yang terdiri atas keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan batiniah, kecantikan lahiriah, dan kecantikan batiniah terdapat dalam panyandra. Ketiga kategori tersebut merupakan representasi dari konsep rupasampat wahyabyantara. Konsep ini berisi tentang keseimbangan antara kecantikan lahiriah dan batiniah wanita Jawa. Saran Sejauh ini penelitian tentang ungkapan bahasa Jawa sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, kajiannya masih bersifat umum. Padahal, ungkapan berbahasa Jawa jika digali lebih mendalam akan ditemukan nilai-nilai yang luhur yang dapat membentuk jati diri suatu bangsa. Kajian panyandra dalam penelitian ini hanya membahas mengenai konsep kecantikan wanita Jawa. Kajian panyandra yang membahas konsep-konsep lainnya dengan menggunakan acangan linguistik lainnya, misalnya pada tataran pragmatik masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penelitian tentang ungkapan berbahasa Jawa memiliki prospek yang sangat besar untuk dikaji lebih lanjut. Selanjutnya, kajian panyandra ini merupakan salah satu pelestarian bahasa dan budaya Jawa. Peneliti berharap agar penggunaan panyandra lebih diaktifkan kembali oleh masyarakat Jawa, khususnya generasi muda. Dengan mengetahui sekaligus memahami panyandra khususnya tentang konsep kecantikan wanita Jawa, nilai-nilai yang dikandungnya akan tetap lestari dan dapat berkembang di tengah arus globalisasi dewasa ini.
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
18
Daftar Referensi Bambang Harsrinuksmo. (1999). Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 1-5. Jakarta: Sena Wangi. Cruse, Alan. (2004). Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press. Frans Asisi Datang. (1994). Teori Kognitif Tentang Metafora: Sebuah Penjelasan Teoritis. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Harimurti Kridalaksana. (1993). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kramsch, Claire. (1998). Language and Culture. Oxford: Oxford University Press. Krisna Bayu Adji. (2013). Ensiklopedi Istri-istri Raja Jawa. Yogyakarta: Araska. Kushartanti, dkk. (2009). Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lakoff, George dan Mark Johnson. (1980). Metaphor We Live By. Chicago: The University of Chicago Press. Martha Tilaar. (1999). Kecantikan Perempuan Timur. Magelang: IndonesiaTera. Nida, Eugene A. (1975). Componential Analysis of Meaning. New York: Mouton Publisher. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ke-3 cetakan ke-4). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Rahyono. (2012). Studi Makna. Jakarta: Penaku. S. Padmosoekotjo. (1958). Ngengrengan Kasusastran Djawa (jilid I). Yogyakarta: Hien Hoo Sing. S. Prawiroadmodjo. (1996). Bausastra (Kamus) Jawa-Indonesia (edisi ke-3). Jakarta: PT Toko Gunung Agung. S. Rahardjo. (2008). Pepak Basa. Surakarta: CV. Ita. S. Yadi. (2009). Kawruh Pepak Basa Jawa Anyar. Surakarta: Pelangi Ilmu. Saeed, John. I. (2003). Semantics. Malden: Blackwell Publishers Inc. Sri Hartatik. (2011). Pepak Basa Jawa Lengkap. Surabaya: Penerbit Dua Media. Sudaryanto, dkk. (1991). Kamus Indonesia-Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014
19
Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta. Sutrisno Sastro Utomo. (2013). Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Suwandono, Dhanisworo, dan Mujiyono. (1991). Ensiklopedi Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka. Suwarna Pringgawidagda. (1998). Gita Wicara Jawi. Yogyakarta: Kanisius. T. Iskandar. (1970). Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran. W.J.S. Poerwadarminta. (1939). Baoesastra Djawa. Groningen: J.B. Wolters’
Uitgevers-
Maatschappij N. V. Wignjawirjanta. (1963). Pedalangan Djangkep Sedalu-Muput, Lampahan: Kartopijogo Tjidra. Solo: Penerbit Keluarga Soebarno. Y.A. Yuwono. (1987). Sapala Basa Jawa. Surabaya: Marfiah. Zoetmulder. P.J. (1982). Old Javanese-English Dictionary. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Konsep Kecantikan..., Arif Nur Setiawan, FIB UI, 2014