ANALISIS KONSEP PERBINTANGAN DALAM BUDAYA JAWA Sarwanto
[email protected]
ABSTRAK Pengamatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa terhadap fenomena benda langit menghasilkan ilmu perbintangan (Palintangan). Hasil dari pengamatan ini adalah mitos-mitos dan legenda-legenda yang memperkaya budaya Jawa dan disusun dalam pustaka-pustaka sastra. Cara mengkomunikasikan pengetahuan alam dalam sastra Jawa berbentuk kiasan-kiasan (sanepo). Kiasan inilah yang menghambat transfer pengetahuan dari generasi ke generasi berikutnya. Hasil penelitian dengan metode etnografi ini adalah lahirnya sistem kalender asli budaya Jawa yaitu pranata mangsa, sistem identifikasi sifat manusia yaitu pawukon, serta sistem social dan ekonomi yaitu pasaran.
Kata kunci: palintangan, etnosains, sains jawa, pranata mangsa, pawukon
Pendahuluan Perkembangan pengetahuan masyarakat dan diiringi dengan perkembangan pengetahuan yang terjadi di Indonesia menyebabkan transisi budaya. Ketika listrik belum masuk desa, malam bulan purnama adalah malam yang paling ditunggu oleh masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa maupun orang tua. Saat bulan purnama yang ditunggu masyarakat tiba, ternyata diikuti gerhana, maka suasana bukan lagi menyenangkan tetapi cenderung menakutkan. Orang-orang memukul kentongan, memukul lesung (kothekan), menambah suasana malam purnama yang harusnya indah menjadi mencekam. Keadaan ini sudah berubah seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi pada masyarakat. Program Listrik Masuk Desa pada masa orde baru mengubah wajah desa yang semula remang-remang menjadi terang benderang. Mengubah penerangan yang semula bergantung pada obor menjadi lampu listrik. Listrik masuk desa juga mengubah alat hiburan. Adanya listrik yang menerangi perkampungan, mengakibatkan obyek benda langit menjadi sesuatu yang indah untuk dinikmati dan dipelajari. Jika sebelum ada listrik, bulan purnama ditunggu kedatangannya, setelah ada listrik seolah tidak ada lagi beda antara purnama atau bukan purnama. Sebelum ada
listrik, hiburan anak-anak adalah dongeng dari ibunya, neneknya, atau sesepuh desa yang penuh dengan petunjuk dan pendidikan budi pekerti. Setelah ada listrik hiburan anak-anak adalah televisi, VCD, internet dll. Hiburan-hiburan ini lebih banyak menggambarkan peristiwa di luar daerahnya daripada peristiwa yang secara kontekstual terjadi di lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hasil pengamatan orang Jawa terhadap benda-benda langit, pemanfaatannya serta proses pembentukan konsep benda-benda langit tersebut.
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian ethnographi. Istilah Etnografi berasal dari bahasa Yunani yaitu ethnos (bangsa) yang berarti orang atau folk. Sementara Graphein (menguraikan) berarti penggambaran sesuatu (Neuman, 2000). Etnografi secara harfiah dapat dipahami sebagai upaya penggambaran (mendeskripsikan) suatu budaya atau cara hidup orang-orang dalam sebuah komunitas tertetu, atau menurut Atkinson (1992) diartikan sebagai penulisan budaya, deskripsi tertulis mengenai sebuah budaya berdasarkan temuan-temuan di lapangan. Secara khusus etnografi dapat dipahami sebagai usaha memahami tingkah laku manusia ketika mereka berinteraksi dengan sesamanya di suatu komunitas. Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau system kelompok sosial. Peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan dan cara hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai sebuah proses, etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, sehingga peneliti memahami betul bagaimana kehidupan keseharian subjek penelitian tersebut (Participant observation, life history), yang kemudian diperdalam dengan indepth interview terhadap masingmasing individu dalam kelompok tersebut. Dengan demikian penelitian etnografi menghendaki etnografer /peneliti : (1) mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok dalam situasi budaya
tertentu, (2) memahami budaya atau aspek budaya
dengan memaksimalkan observasi dan interpretasi perilaku manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya, (3) menangkap secara penuh makna realitas budaya berdasarkan perspektif subjek penelitian ketika menggunakan symbol-simbol tertentu dalam konteks budaya yang spesifik.
Hasil Penelitian Keterbatasan alat yang digunakan untuk mengamati benda-benda langit, maka orang Jawa tidak membedakan antara bintang dan planet. Benda langit dibedakan atas matahari, bulan, bintang dan komet (bintang berekor = lintang kemukus). Perbedaan kecemerlangan bintangbintang, kedudukan bintang-bintang, digunakan untuk memberikan nama dan pemberian sifat. Bintang yang tampak cemerlang di waktu pagi dinamakan bintang panjer rina (panjer = cemerlang, rina = pagi), sedangkan yang cemerlang di waktu sore dinamakan bintang panjer sore. Bintang yang warnanya kemerahan dinamakan bintang Joko Belek (Belek = radang sakit mata). Pemberian nama terhadap bintang-bintang juga didasarkan atas pola (konstalasi) bintang. Bintang yang konstalasinya seperti ikan pari dinamakan bintang pari (crux), sebaliknya ada juga yang memberikan nama terhadap kontalasi tersebut berbentuk gubug yang miring (gubug penceng). Berdasarkan pola konstalasi bintang, beberapa nama konstalasi bintang dalam bahasa Jawa antara lain: Banyakangkrem (scorpio), Waluku (Orion), Wuluh (Pleiades), Wulanjarngirim (Centauri), Bimasakti (Milkiway), Sapi Gumarang (Taurus) dll . Kitab Pustaka Radja adalah kitab sastra karangan RM Ranggawarsita seorang pujangga keraton Surakarta Hadiningrat. Kitab ini menceritakan tentang Prabu Watugunung. Telaah terhadap kitab ini adalah ditemukan nama-nama Maharesi Sucandra atau Caicitra dan Hyang Anantaboga. Keduanya adalah penamaan terhadap keluarga dari benda-benda yang ada di alam semesta ini.
Maharesi Sucandra atau Caicitra adalah keluarga dari Bimasakti dan Hyang
Anantaboga dari keluarga alam semesta diluar Bimasakti. Keluarga besar Maharesi Sucandra menikahkan keturunannya Wara Soma (Soma = Bulan) dengan Raden Respati (Jupiter), putra dari raja Purwacarita. Dalam pernikahan ini, dikaruniai tiga putra yaitu Raden Anggara (Planet Mars), Raden Buda (Planet Merkurius) dan Raden Sukra (Planet Venus). Selang beberapa waktu Raden Respati berkelana meninggalkan Wara Soma dan ketiga putranya untuk bertapa di belantara alam dunia raya. Selama perjalanan menuju bertapa itu ia mengganti namanya menjadi Rasi Wrahaspati (Matahari). Di lain tempat, Wara Basundari seorang putri Maharasi Antarala pergi berkelana ke belantara alam dunia raya bersama dua pengikutnya. dua pengikutnya ini adalah Maesa Pedro (berbentuk kambing = rasi Aries) dan Banyak Patra (berbentuk angsa angrem = rasi Scorpio). Wara Basundari setelah bertemu dengan Rasi Wrahaspati dan menikah.
Selain menikah dengan Wara Soma (Sinta) dan Wara Basundari (Landep), Rasi Wrahaspati juga menikah dengan 26 selir, yang masing-masing menurunkan seorang anak. Jumlah semua anaknya dan ditambah dengan Sinta dan putranya (Watugunung), Landep dan putranya (Wukir), genap 30 nama yang diabadikan sebagai nama wuku. Satu wuku adalah periode peristiwa alam yang periodik yang mengiringi karakter manusia dinamakan Pawukon. Pawukon juga merupakan system kalender, yang bersifat periodic. Namun system kalender ini tidak sepenuhnya didasarkan pada peristiwa alam, tetapi lebih kearah legenda. Namun, legenda pertemuan antara dua rasi bintang (banyak angrem dan maeso pedro = scorpio dan aries), dapat ditelaah dengan makna matematis. Bergesernya Equinox dari arah Scorpio menuju ke Aries adalah melalui 7 gugus bintang yaitu Libra, Virgo, Leo, Cancer, Gemini, Taurus dan Aries. Lamanya perjalanan waktu bergeser untuk tiap-tiap gugus bintang adalah 2156 tahun. Jadi total waktu perjalanan Scorpio ke Aries adalah 15.092 tahun. Berdasarkan hasil ini, diprediksikan pengetahuan perbintangan di Jawa sudah ada sejak 15000 tahun yang lalu. Selain menggambarkan legenda, pengetahuan tentang perbintangan juga diidentikan dengan perwatakan. Bumi, langit, matahari dan bulan memiliki watak sendiri-sendiri: 1. Watak Surya atau matahari diteladani oleh Bhatara Surya Matahari memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan yang membuat semua makhluk tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin hendaknya mampu menumbuh kembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negara dengan bekal lahir dan batin untuk dapat tetap berkarya. 2. Watak Candra atau Bulan diteladani oleh Bhatari Ratih Bulan memancarkan sinar kegelapan malam. Cahaya bulan yang lembut mampu menumbuhkan semangat dan harapan-harapan yang indah. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberikan dorongan atau motivasi untuk membangkitkan semangat rakyatnya, dalam suasana suka dan duka. 3. Watak Kartika atau Bintang diteladani oleh Bhatara Ismoyo Bintang memancarkan sinar indah kemilau, mempunyai tempat yang tepat di langit hingga dapat menjadi pedoman arah. Seorang pemimpin hendaknya menjadi suri teladan (Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tutwuri Handayani). Tidak ragu lagi menjalankan keputusan yang disepakati, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang akan menyesatkan. 4. Watak Angkasa yaitu Langit diteladani oleh Bhatara Indra
Langit itu luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan batin dan kemampuan mengendalikan diri yang kuat, hingga dengan sabar mampu menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam. Orang Jawa mengamati perubahan kenampakan di langit malam mengalami perubahan yang periodic. Perubahan periodic yang teramati juga bersesuaian dengan perubahan yang terjadi di lingkungan. Perubahan yang periodic ini dapat dijadikan sebagai tanda peringatan dan perhitungan. Perhitungan yang periodic inilah yang dinamakan system kalender. Pranatamangsa ini membagi setahun dalam 12 mangsa: mangsa kasa (I), karo (II), katelu (III), kapat IV), kalima (V), kanem (VI), kapitu (VII), kawolu (VIII), ksangsa (IX), kasapuluh (X), desta (XI), saddha (XII). Masing-masing mangsa mempunyai bintang sendiri-sendiri. Bintang tersebut berlaku sebagai pedoman bagi awal dan akhirnya suatu mangsa. Mangsa kasa, bintangnya Sapigumarang, mangsa karo, bintangnya Tagih, mangsa katelu, Lumbung, mangsa kapat, Jarandawuk, mangsa kalimat, Banyakangkrem, mangsa kanem, Gotongmayit, mangsa kapitu, Bimasekti, mangsa kawolu, Wulanjarangirim, mangsa kasanga, Wuluh, mangsa kasapuluh, Waluku. Dua mangsa terakhir, desta dan saddha tak mempunyai bintang yang khusus. Bintang kedua mangsa tersebut sama dengan bintang pada mangsa karo dan katelu, yakni lumbung dan tagih. Periode-periode musim yang ditandai dengan nama-nama mangsa itu berulang secara teratur dalam setiap tahun. Petani dapat membuktikan pengulangan musim yang teratur itu dengan mengamati rasi bintang yang muncul secara teratur dan periodik pula. Misalnya, rasi bintang Lumbung (Crux) pada mangsa katelu, Banyakangkrem (scorpio) pada mangsa kalima, Waluku (Orion) pada mangsa kasapuluh, wuluh (pleyades) pada mangsa kasambilan, wulanjarngirim (Centauri) pada mangsa kawolu, bimasakti (Milkmay)) pada mangsa kapitu, dan sebagainya.
Kesimpulan Pengamatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa terhadap fenomena benda langit menghasilkan ilmu perbintangan (Palintangan). Hasil dari pengamatan ini adalah mitos-mitos dan legenda-legenda yang memperkaya budaya Jawa dan disusun dalam pustaka-pustaka sastra. Hasil penelitian dengan metode etnografi ini adalah lahirnya sistem kalender asli budaya Jawa yaitu pranata mangsa, sistem identifikasi sifat manusia yaitu pawukon, serta sistem social.
Daftar Pustaka Christine Hine. 2001. Virtual Ethnography. London: Sage Publication Emzir. 2012. Metodologi penelitian pendidikan; kuantitatif dan kualitatif. Jakarta: rajawali Press. George Ritzer dan Douglass H Goodman, 2010. Teori sosiologi modern. Jakarta: Prenada Media Group. James P. Spradley.2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana