PEMBERDAYAAN DAN EFEKTIVITAS MANAJEMEN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM (LPI) DI INDONESIA, DALAM MENUNJANG PERWUJUDAN PENDIDIKAN NASIONAL
Suyono Dude Abstrak Mencermati sosok kelembagaan dan aktifitas Pendidikan Islam sebagaimana tersebut, jika dibanding dengan keadaannya pada masa yang lalu, patut disyukuri karena sudah mengalami kemajuan. Pembaharuan model pesantren, di samping sebagian tetap bertahan dalam format aslinya sebagai lembaga pengajaran kitab kuning, sudah banyak pesantren (kalau tidak semuanya) yang sudah membuka madrasah, sekolah umum, sekolah kejuruan, pelatihan keterampilan dan bahkan perguruan tinggi Islam/umum, pertanda telah muncul dinamika internal untuk mengakselerasikan diri pada orbit kebutuhan riel dunia modern. Dalam batas tertentu beberapa madrasah pun sudah mencapai kemajuan cukup berarti, apalagi dengan adanya status madrasah unggulan (Madrasah Model) mulai dari tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah. Kalau dahulu madrasah sering menimbulkan kesan sebagai lembaga pendidikan kelas dua atau dalam istilah Syamsul Arifin sebagai ma’mum, dewasa ini pamornya sudah mulai bergerak naik, bisa mengikut Ebtanas dengan sekolah umum, bahkan ada yang sudah go internasional. Sementara, pendidikan agama di sekolah umum dan perguruan tinggi umum secara internal semakin berkembang nuansa keislaman, yaitu dengan menjamurnya kelompokkelompok kajian, hal ini telah melahirkan hasil positif yang cukup menggembirakan. Demikian pula pengajian dan majelis taklim, TKA/TPA, muncul dimana-mana bagaikan jamur di musim hujan. Kata kunci: lembaga, pendidikan, Islam
I. Pendahuluan Ada yang mensinyalir, bahwa dunia madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, PTAIN/PTAIS, kendatipun sudah mengamali sekian kali perbaikan kurikulum dan ketatalaksanaan, namun kondisinya masih seperti orang bingung. Dikatakan demikian, karena dengan adanya perubahan ke arah standarisasi ujian negara, ternyata kualitas lulusannya cenderung menjadi setengah-setengah. Ingin mengejar kualifikasi tamatan sekolah/perguruan tinggi umum, jelas tidak mungkin berhasil secara tuntas, karena ada beban ilmu keagamaan yang cukup banyak pada kurikulumnya. Sementara, ingin kembali menoleh ke dunia pesantren dengan kualifikasi khusus secara mendalam di bidang ilmu keagamaan, juga terasa semakin berat di zaman modern sekarang ini, mengingat kurang-lebih setengah dari porsi kurikulumnya sudah dialokasikan untuk ilmu pengetahuan umum. Apalagi bila menengok kualifikasi tenaga pengajar di madrasah, masih banyak yang mis-macth atau salah kamar dan under-qualifide, lalu bagaimana mau mencetak lulusan yang berkualitas, sesuai tuntutan era perdagangan bebas kalau demikian adanya? Tamatan madrasah, IAIN, STAIN dan PTAIS itu sudah repot. Ingin jadi pelaku industri atau ekonomi, tidak memiliki modal keahlian yang memadai. Sebaliknya, ingin menjadi kyai semuanya juga tidak mungkin, karena ada kalanya yang sudah bergelar Sarjana Agama saja, ternyata belum begitu fasih dalam membaca Alqur'an. Maka serba salah jadinya. Sebagai konsekuensi logis, terjadilah semacam kecenderungan historissosiologis, bahwa tamatan sekolah atau perguruan tinggi agama, mau tidak mau mengelompok sedemikian rupa dalam mengadu nasib dan hari depan pengabdiannya di lingkungan lembaga keagamaan, kecuali sebagian kecil yang berhasil menerobos ke luar
lingkungan tersebut. Jika demikian kenyataannya apa yang harus dilakukan, kemana jalan yang seharusnya ditempuh, atau bagaimana mencari jalan keluarnya? II.
Pembahasan A. Signifikansi Manajemen pada Lembaga Pendidikan Dauda, (2002: 17) manajemen sering diartikan sebagai ilmu, kiat dan profesi. Dikatakan sebagai ilmu karena manajemen dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang bekerja sama. Dikatakan sebagai kiat karena manajemen mencapai tujuan melalui cara-cara dengan mengatur orang lain menjalankan tugas. Dipandang sebagai profesi karena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai prestasi, dan para profesional dituntun oleh suatu kode etik. Manjemen secara kebahasaan berasal dari bahasa inggris “management” mengandung arti ketatalaksanaan, tata pimpinan, pengelolaan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan Kamus Istilah Manajemen, didefinisikan bahwa kata manajemen terdiri atas dua arti. Pertama, penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Arti kedua, pimpinan yang bertanggungjawab atas jalannya roda organisasi. Pengertian terminologi, manajemen adalah ilmu dan seni yang mengatur proses pemamfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara efektif dan efesien untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Hasibuan, 2002: 9). Dengan kata lain manajemen merupakan suatu proses dimana suatu kelompok secara kerjasama mengarahkan tindakan atau kerjanya untuk mencapai tujuan bersama. Proses tersebut mencakup teknik-teknik yang digunakan oleh para manajer untuk mengkoordinasikankegiatan atau aktivitas orang lain menuju tercapainya tujuan bersama. Selanjutnya, Konstz dan Weihrich mendefenisikan manajemen sebagai the process of designing and maintaining an environment selected aims. (Steward, 1994: 4). Maksudnya, disebut manajemen karenanya merupakan proses mendesain dan memelihara lingkungan yang individualnya bekerja sama dalam kelompok, untuk mencapai tujuan tertentu secara efisien. Sejalan dengan definisi tersebut, Terri merumuskan bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, aktuasi, pengawasan, baik sebagai ilmu maupun seni, untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.(Terry, 1993:17). Dari definisi-definisi tersebut, dipahami bahwa manajemen adalah proses perencanaan secara matang untuk mencapai suatu tujuan maksimal yang diinginkan. Jadi secara sederhana, istilah manajemen yang dimaksudkan adalah proses kegiatan yang berkenaan dengan fungsi-fungsi manajemen, khususnya mengenai planning, organizing, actuating, dan controlling. (Salindeho, 1989:34). Dengan demikian, manajemen mencakup kegiatan untuk mencapai tujuan, dan dalam mencapai tujuan tersebut diadakanlah tindakan-tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tindakantindakan yang ditetapkan tersebut berupa pengetahuan tentang apa yang harus mereka lakukan, menetapkan cara bagaimana melakukannya, memahami bagaiamana mereka harus melakukan dan mengukur efektifitas dari usaha-usaha mereka. Termasuk perlunya menetapkan dan memelihara suatu kondisi lingkungan yang memberikan responsi ekonomis, sosial politik serta pengendaliannya. Pandangan yang bersifat umum mengatakan bahwa manajemen ialah proses mengintegrasikan sumber-sumber yang tidak berhubungan menjadi sistem total untuk menyelesaikan suatu tujuan. (Pidarta, 1988:3). Sesungguhnya, tumbuh dan berkembangnya suatu lembaga pendidikan tergantung pada tumbuh dan berkembangnya budaya kerja yang sesuai dengan yang dapat menjawab tuntutan dan kekuatan lingkungan eksternal. Keefektifan lembaga pendidikan berkaitan erat dengan kemampuan lembaga itu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Untuk itu, lembaga pendidikan harus sensitif terhadap kendala dan peluang-peluang lingkungan masyarakat sekaligus tanggap terhadap tiga aspek utama lingkungan, yaitu: a) aspek ekonomi; b) aspek politik dan hukum; dan c) aspek sosial budaya.
2
Mengingat lembaga pendidikan sebagai sarana dalam mengembangkan potensi dan sumber daya peserta didik, maka manajemen dilembaga pendidikan itu harus ditata dan dikelola berdasrkan prinsip-prinsip manajemen. Namun, mengelola lembaga pendidikan bukanlah pekerjaan mudah, apalagi yang dimaksud mengelola suatu lembaga pendidikan bukanlah sekedar mempertahankan yang sudah ada, tetapi melakukan penmgembangan secara sistemetik dan sestemik yang mengikuti aspek ideologis (visi dan misi), kelembagaan dan langkah operasional serta mencerminkan pertumbuhan, (growt), perubahan (change) dan pembaruan (reform).( Fadjar, 1998:91)
Manajemen sangat mempengaruhi keberhasilan pengelolaan sebuah organisasi atau lembaga. Kemampuan organisasi atau lembaga untuk dapat bertahan hidup dan menjawab tantangan yang kompetetif dari waktu kewaktu hanya dapat dilakukan dan di mobilisasi jika organisasi atau lembaga itu memiliki tenaga kerja yang kompeten dan bermotivasi tinggi. Keefektifan manajemen suatu organisasi atau lembaga sangat ditentukan oleh sifat dan karakter sumber daya manusia yang dimilikinya. Dengan kata lain, organisasi atau lembaga yang efektif adalah organisasi atau lembaga yang memiliki anggota yang menunjukkan kadar tingkatan yang tinggi dalam hal motivasi yang berhubungan dengan pekerjaan dan performans kerja. (Arsyad, 1999: 5). B. Pemberdayaan dan Efektivitas Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Pendidikan Islam, secara kelembagaan, tampak dalam berbagai bentuk yang bervariasi. Di samping lembaga yang bersifat umum, terdapat lembaga-lembaga lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya. Dalam sejarah Islam ditemukan bahwa sekitar abad IV H, terdapat beberapa corak pendidikan, yaitu sistem pendidikan yang bercorak teologi, tasawuf, filsafat, dan fikih. Institusi yang dipakai oleh masing-masing corak pendidikan tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Yang bercorak filsafat menggunakan lembaga pendidikan yang diberi nama Dar alHikmah, al-Muntadiyah, Hawanit, dan Warraqi’in; 2. Yang bercorak tasawuf menggunakan lembaga pendidikan yang bernama al-Zanaya, al-Ribat, al-Masajid, dan Khalaqat al-Zikr; 3. Yang bercorak teologi menggunakan lembaga pendidikan yang bernama al-Masajid, al-Maktabat, Hawanit, al-Warraqin, dan al-Muntadiyah; 4. Yang bercorak fikih menggunakan lembaga pendidikan yang bernama alKatatib, al-Madaris, dan al-Masajid.( Mukhtar, 2001:51-52). Dalam rangka membangun pemikiran ke depan, pertama-tama yang harus difahami bahwa pendidikan adalah suatu sistem, yaitu pendidikan yang terdiri atas faktorfaktor yang berhubungan secara simbiosis. Faktor-faktor itu adalah peserta didik, pendidik, ide serta cita-cita pendidikan, lingkungan dan alat. Selanjutnya, sebagai sistem yang berada pada pola kehidupan sosial budaya pendidikan mempunyai sifat terbuka, artinya pendidikan sensitif terhadap tuntutan-tuntutan yang semakin meningkat, karena itu berusaha untuk mendapatkan masukan-masukan dari lingkungannya dan menyampaikan hasil transformasinya kepada lingkungan pula. Maka dalam konteks ini perlu adanya diskusi dan analisis secara mendalam, dengan menelaah berbagai faktor yang saling berkaitan tersebut. Rekonstruksi wawasan semacam ini sangat penting, karena sebagaimana telah disinggung terdahulu, dan harus diakui secara jujur bahwa sekolah dan perguruan tinggi umum, dengan berbagai catatan tertentu, memiliki kemungkinan yang lebih luas dalam menjawab tantangan globalisasi dan pasar bebas, jika dibanding misalnya dengan pesantren dam madrasah. Bisa dimaklumi, karena secara historis-sosiologis, maupun kenyataannya sekarang, lembaga pendidikan modern tersebut memang relatif paling diuntungkan. Secara kuantitas, kurang lebih mencapai 80 % dari total lembaga pendidikan formal di Indonesia, sehingga potensial sekali dalam menjawab tantangan tersebut. Bagaimanapun, jumlah kelembagaan yang ada, sangatlah penting. Oleh karena itu, lebih dekat kemungkinannya mengharapkan kualitas sumber daya manusia dari kuantitas
3
kelembagaan yang jauh lebih banyak, dibanding dari jumlah yang hanya sedikit. Sementara, mayoritas siswa-mahasiswa yang belajar di sekolah/perguruan tinggi umum, sesuai dengan komposisi keagamaan masyarakat Indonesia, juga putra-putri kaum muslimin. Inti persoalannya adalah, bagaimana kualitas pengetahuan dan pengamalan ajaran Islam di kalangan civitas sekolah dan perguruan tinggi umum secara terus menerus ditingkatkan, tanpa mengurangi perhatian dan kesempatan mereka dalam mencapai keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi, membangun keseimbangan harmonis antara penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan pengokohan iman dan takwa. Untuk sampai ke situ, sumber daya pendidikan agama Islam yang sudah ada, harus ditingkatkan kemanfaatannya semaksimal mungkin. Tidak perlu mendesakkan keinginan untuk menambah alokasi waktu pelajaran agama, karena jika itu yang dilakukan, maka secara otomatis akan menguarngi alokasi waktu bidang studi umum, padahal sama-sama pentingnya ke depan. Akan lebih bijak, jika diupayakan mencari terobosan lain, misalnya dengan memperkuat posisi lingkungan keluarga dalam aktifitas pendidikan agama, mendayagunakan TKA/TPA untuk usia kanak-kanak, mengefektifkan kegiatan pondok ramadhan, pesantren kilat, pengajian/kajian, dan sebagainya. Dengan model pendidikan umum, dimaksudkan ada titik relevansinya secara penuh dalam menjawab tantangan ke depan, khususnya di bidang teknologi dan ekonomi. Sementara penempatannya di lingkungan pesantren, maka nilai kontrol dan penciptaan atmosfir keagamaan secara intensif, dapat dilakukan. Atas dasar pengamatan dan mungkin banyak pula yang langsung mengalaminya, bahwa model asrama di sebuah pemondokan yang dikelola secara baik, di dalamnya dapat ditegakkan prinsip-prinsip, -yang didunia pesantren dikenal dengan istilah “panca jiwa”,- yaitu kedisiplinan, kesederhanaan, keteladanan, pembinaan langsung dan efisiensi waktu, dan secara otomatis sangat mendukung bagi tercapainya tingkat efektifitas yang tinggi dalam realisasi program pendidikan. Bisa dibandingkan misalnya, jika siswa-mahasiswa berangkat dari rumah, membawa kendaraan pribadi dengan menyetir sendiri, atau naik angkutan umum berdesakan, sementara jarak tempuhnya cukup jauh, kadang terjadi kemacetan di jalan, bebas untuk berbuat apa saja karena tidak ada yang mengontrol, sedangkan pengaruh lingkungan pun seringkali cukup menggoda, dan sesampai atau selama di rumah juga belum tentu sempat belajar, asyik menonot telenovela atau senetron terus-menerus, keluar di malam hari untuk sekedar berhura-hura, jelas semaunya itu cenderung mengarah kepada in-effisiensy, semuanya sendiri, dan lupa terhadap hari depan. Rekonstruksi format pendidikan Islam di era perdagangan bebas juga bisa ditempuh, miaslnya dengan mengembangkan sekolah, kursus dan pelatihan kejuruan di lingkungan pesantren. Dasar pemikirannya adalah puluhan atau bahkan ratusan ribu tamatan sekolah umum (non-kejuruan), hanya sebagian kecil yang sempat melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sementara mayoritas dari mereka justru bertebaran di kota untuk mencari pekerjaan di pabrik-pabrik, perusahaan atau pertokoan. Padahal jelas, tidak ada relevansi (link and match) antara latar belakang pendidikan dan jenis keahlian pada lapangan kerja yang mereka masuki. Di sini ada unsur kemubadziran, dalam hal tenaga, waktu maupun biaya. Di sini muncul pertanyaan, apakah format pendidikan Islam atau sistem pendidikan nasional yang sudah ada harus dilakukan perombakan secara total? Tentunya, biaya atau resikonya terlalu mahal untuk melakukan perombakan, sementara belum tentu mendatangkan hasil yang memuaskan dikemudian hari seperti yang diinginkan. Model pesantren, madrasah, sekolah dan perguruan tinggi umum/agama yang sudah ada, biarkan berjalan dan terjadi seleksi secara alami. Jika hendak menerapkan gagasan baru, kiranya cukup dalam wujud eksperimen bebas di atas prinsip kreatifitas. Jika ternyata hasilnya positif dan kompetitif, masyarakat sendiri yang bakal menilai untuk selanjutnya memberikan apresiasi kongkret secara alamiah pula, sehingga lahirlah keanekaragaman format pendidikan yang senantiasa tampil segar dan menjanjikan. Di atas prinsip kreatifitas dan persaingan bebas sedemikian rupa, akhirnya mengarah kepada orientasi kualitas. Lembaga atau kegiatan pendidikan yang sungguh-
4
sungguh berkualitas, apapun jenis dan spesialisasi programnya, pasti akan terus bertahan, atau malah berkembang pesat. Sebaliknya, yang asal jalan, apalagi dikelola secara acak-acakan, tidak prospektif ke depan, secara alamiah akan tergilas oleh roda perputaran zaman. Kemudian, bagi pendidikan seperti IAIN, STAIN, STAIS harus mendefinisiakan dengan jelas sosok atau profil manusia yang ingin dihasilkan. Kemampuan apa yang harus dimiliki oleh lulusan lembaga itu? Secara “Cognitive” seberapa banyak atau seberapa dalam pengetahuan yang harus dimiliki? Secara “Metacognitive”, seberapa besar lulusan IAIN harus mampu secara mandiri mengembangkan kemampuan (dan menggunakan startegi) cognitive mereka? Secara affective, seberapa besar sikap mereka terhadap pengetahuan dan aturan agama? C. Pemberdayaan dan Efektifitas Lembaga Pendidikan Islam dalam Mewujudkan Pendidikan Nasional Madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang telah banyak memberikan kontribusinya terhadap transmisi ilmu pendidikan Islam di Indonesia. Dilihat dari sejarahnya, lembaga pendidikan Islam ini dikembangkan oleh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, sebagai organisasi yang sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat. Organisasi keagamaan tersebut telah melakukan pembaruan pendidikan Islam dengan memasukkan ilmu-ilmu yang bersifat umum kedalam lembaga pendidikan Islam sebagai upaya penyesuaian perubahan dan tuntutan zaman. Hal ini dimaksudkan agar para peserta didiknya diharapkaan memiliki keunggulan ilmu yang integratif, keterampilan, tekun beribadah serta memiliki akhlak yang Islami. Oleh karenanya, merupakan suatu kemestian lembaga pendidikan Islam melakukan modernisasi dalam rangka mewujudkan maksud tersebut. Dalam kaitan ini, Nurcholish Madjid menawarkan empat hal mengenai kepemimpinan pesantren, yaitu: 1. Pola kepemimpinan kharismatik sudah menunjukkan segi tidak demokratisnya kepemimpinan pesantren. Apalagi jika disertai dengan tindakan yang bertujuan untuk menjaga jarak dan rasa ketinggian dari para santri. Pola kepemimpinan seperti ini akan kehilangan kualitas demokratisnya; 2. Karena kepemimpinan ulama adalah kharismatik, maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi dan personal. Kenyataan itu mengandung implikasi bahwa seorang ulama tidak mungkin digantikan oleh orang lain dan sulit ditundukkan oleh administrasi dan manajemen modern; 3. Seorang ulama, selain menjadi pemimpin agama, sekaligus merupakan traditional mobility dalam masyarakat feodal. Feodalisme yang berbungkus keagamaan ini bila disalahgunakan, jauh lebih berbahaya dari feodalisme biasa; 4. Karena dasar kepemimpinan dalam pesantren adalah seperti yang disebutkan di atas, maka dengan sendirinya faktor kecakapan teknis menjadi tidak penting. Kekurangan ini menjadi salah satu sebab tertinggalnya pesantren dari perkembangan zaman. (Madjid, 1992: 22) Apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas merupakan cambuk bagi pesantren untuk menata organisasi dan manajemennya, agar mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lain di era modern ini. Jika lembaga pendidikan Islam ingin unggul di tengah-tengah kehidupan modern dewasa ini, maka ia harus merubah sistemnya dari sitem pendidikan trdisional menjadi sistem pendidikan yang dapat melayani dan menyesuaikan tantangan zamannya serta mampu merespons kebutuhan peserta didik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk kebutuhan pembangunan nasional dalam struktur relevansi cita-cita kehidupan sesuai dengan pandangan hidup bangsa dan ajaran agama yang dipeluknya. Dengan demikian, suatu pendidikan akan diminati oleh peserta didik dan orang tua apabila sistem pendidikan yang bersangkutan mampu mengembangkan kemampuan atau potensi
5
peserta didik sesuai dengan kecendrungannya, sehingga mereka dapat bekerja menghidupi diri dan keluarganya melalui kemampuan tersebut, mampu memberikan pedoman moral sesuai dengan keyakinanya dan tantangan zaman, sehingga mereka dapat hidup hormat dan disegani dalam tata pergaulan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam konteks pendidikaan Islam sebagai sub sistem pendidikan nasional merupakan totalitas interaksi dari seperangkat unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama secara utuh dan saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang telah menjadi cita-cita bersama para pelakunya. Kerjasama antara pelaku ini didasari, dijiwai, digerakkan, digairahkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh mereka. Unsur-unsur suatu sistem pendidikan selain terdiri atas pelaku yang merupakan unsur organik, juga terdiri dari dari unsur-unsur anorganik lainnya seperti dana, sarana, dan alat-alat pendidikan, baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dan unsur-unsur dalam suatu sistem pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Proses pendidikan Islam berusaha mencapai tiga tujuan yaitu” tujuan individual, tujuan sosial, dan tujuan operasional. Ketiga tujuan itu secara terpadu dan terarah diusahakan agar tercapai dalam proses pendidikan Islam. Dengan tujuan ini, jelas kemana pendidikan Islam itu diarahkan. Pendidikan Islam berdasarkan tujuan tersebut, pertama-tama membekali anak didik dengan keterampilan-keterampilan yang perlu bagi kepentingan dirinya dan masyarakat”. (Azra, 1998:7). Kebijakan dan peran pendidikan yang berorientasi kemajuan ke masa depan itu adalah dapat melahirkan manusia Indonesia yang berkualitas. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang memiliki moral yang tinggi dan intelektual yang memadai untuk mengenal atau menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia berkualitas yang hendak dilahirkan melalui pendidikan itu, tidak mungkin terealisasikan jika pendidikan masih berorientasi pada nilai akademik saja, tetapi juga berorientasi pada bagaimana seorang peserta didik mampu belajar dari pengalaman lingkungan, dan kehebatan para ilmuwan, sehingga ia bisa mengembangkan potensi intelektualnya (Sidi, 2001:26). Orientasi pendidikan tersebut di atas tidak dapat terlaksana jika pendidikan tidak memiliki visi yang jelas. Sidi menawarkan empat visi pendidikan yang harus diterapkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas. Pertama, hendaknya mengubah paradigma teaching menjadi learning (mengajar menjadi belajar). Dalam paradigma ini, peserta didik tidak lagi disebut siswa (pupil), tetapi pebelajar (leaner). Jadi peserta didik belajar menyatakan pendapatnya dengan kritis atau bagaimana ia berpikir (learning to think). Kedua, belajar untuk berbuat (learning to do). Jadi target yang ingin dicapai adalah keterampilan peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah (how to solve the problem). Ketiga, belajar hidup bersama (learning to lire together). Jadi, pendidikan berorientasi pada pembentukan peserta didik yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai latar belakang sosial. Di sinilah peserta didik diarahkan untuk mengenal nilai-nilai seperti, hak asasi manusia, perdamaian, toleransi, dan pelestarian lingkungan hidup. Keempat, belajar menjadi diri sendiri (learning to be). Visi ini beorientasi pada usaha untuk menghasilkan manusia yang mandiri, memiliki harga diri, dan tidak hanya mengharapkan materi dan kedudukan. Kelima, metode pengajaran harus membentuk suasana yang mengaktifkan potensi emosional, agar otak kanan terbuka sehingga daya pikir intuitif dan holistik dapat terangsang untuk belajar. Mencermati tujuan pendidikan Islam tersebut, tampaknya ke arah itulah yang harus diwujudkan oleh setiap lembaga pendidikan Islam dalam membimbing para peserta didiknya dalam menghadapi kehidupan di masa depannya. III. Penutup Lembaga pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan yang bertujuan untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moralitas dalam beragama sebagai pedoman hidup bermasyarakat, dan dari
6
sudut historis kultural dapat dikatakan sebagai training center yang otomatis menjadi cultural central Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat. Manajemen lembaga pendidikan Islam selama ini pada umumnya bercorak alami. Tujuan pengembangan lembaga pendidikan Islam adalah untuk mengintegrasikan antara pengetahuan agama dan non-agama, sehingga lulusan yang dihasilkan akan mempunyai kapabelitas dan kepribadian yang utuh dan bulat (beramal Ilmiah dan berilmu amaliah). Dalam upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam, tampaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan dan ditata yaitu pengembangan dari segi eksternal dan dari segi internal. Minimal dapat melahirkan peserta didik yang mempunyai ilmu pengetahuan yang bersifat praksis dan tidak mengabaikan nilai-nilai yang bersifat prakmatis sehingga mampu berkompetisi dalam masyarakat plural. Oleh karena itu, untuk menjadikan umat Islam maju dan sejahtera, perlu digalakkan pendidikan yang merupakan warisan kesejahteraan yang disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat. Pikir, zikir, dan amal shaleh adalah modal utama untuk menyongsong hari esok yang lebih cerah dan lebih manusiawi.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Azhar. "Paham Teologi dan Implikasinya terhadap Manajemen Kinerja: Tinjauan terhadap Dimensi Budaya Kerja pada Lembaga-lembaga Pendidikan Keagamaan Negeri di Sulawesi Selatan, Disertasi, 1999. Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Cet: I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998. ___________. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Cet. I; Jakarta: Logos, 1999. Dauda, Ahmad Kube. "Pembinaan Organisasi, Administrasi, dan Manajemen Madrasa/Pesantren" Makalah Musyawarah Kerja PB. As'adiyah. Sengkang: Gedung Yusbar, 2002. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Djailani, A. Timur. Peningkatan Mutu Pendidikan Pembangunan Perguruan Agama. Jakarta: Dermaga, 1982. Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Cet. XXI; Jakarta: Gramedia, 2002. Fadjar, H.A. Malik. Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: LP3NI, 1998. Fattah, Nanang. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Rosda Karya, 2001. Hasibuan, H. Malayu SP. Manajemen Sumber Daya Manusia. Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 2002. LPPM, Kamus Istilah Manajemen. Cet. II; Jakarta: Balai Aksara, 1983. Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1992. Mukhtar, Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Cet. III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Pidarta, Made. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1988. Qardhawi, Yusuf. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Salindeho, John. Peranan Tindak Lanjut dalam Manajemen. Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 1989. Sidi, Indra Djati. Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina, 2001. Steward, A. M. Total Quality Management in Edudation. London: Philadephia, 1994. Terry, George R. Guide to Managemen, diterjemahkan oleh J. Smith D. F.M dengan judul Prinsip-prinsip Manajemen. Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
7