24
BAB II MANAJEMEN KONFLIK DAN PENGEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
A. MANAJEMEN KONFLIK 1.
Pengertian Konflik a. Definisi Konflik Konflik adalah bentuk perasaan yang tidak beres yang melanda hubungan antara satu bagian dengan bagian lain, satu orang dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok lain1. Sebagaimana kita ketahui konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur2. Konflik didefinisikan sebagai interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan dimana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut menyadari perbedaan tersebut dan melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut. Implikasi dari definisi konflik diatas adalah : 1. Konflik dapat terjadi di dalam atau di luar sebuah system kerja peraturan. 2. Konflik harus disadari oleh setidaknya salah satu pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. 3. Keberlanjutan bukan suatu hal yang penting karena akan terhenti ketika suatu tujuan telah tercapai 4. Tindakan bisa jadi menahan diri dari untuk tidak bertindak
1 2
115
Alo Liliweri, Sosiologi Organisasi,,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 128. Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm.
25
5. Definisi ini bukan berarti menjadi definisi keseluruhan karena perbedaan pihak-pihak yang terlibat akan menyebabkan perbedaan pandangan terhadap konflik tersebut. 6. Definisi ini tidak termasuk kekerasan, perang dan kegiatan pengrusakan 7. Konflik tidak dibatasi sebagai situasi yang konstan3.
b. Teori Konflik Banyak Tokoh yang membahas mengenai “Teori Konflik” seperti Karl Marx, Durkheim, Simmel, dan lain-lain yang dilatarbelakangi oleh permasalahan ekonomi, sosial, maupun agama. 1.
Karl Marx (latar belakang ekonomi). Ia melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Ia mengantisipasi bahwa kedamaian dan harmoni akan menjadi hasil akhir sejarah perang dan revolusi kekerasan. Namun bentrokan kepentingan-kepentingan ekonomi ini akan berakhir di dalam sebuah masyarakat yang tanpa kelas, tanpa konflik dan
kreatifitas yang
4
disebut komunisme . 2.
Simmel dan Durkheim (latar belakang sosial). Dari sudut sosial, lawan dari persatuan bukanlah konflik tetapi ketidakterlibatan (noninvolvement; artinya tidak ada satupun bentuk interaksi timbal-balik). Perspektif Simmel mengenai konflik dan persatuan sebagai alternatif, kecuali sama pentingnya dan
3
Konflik bisa jadi bukan suatu hal yang simetris (bisa terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut). Lihat: Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: Universitas Janabadra dan BPFE, 2000), hlm. 98-99. 4 Analisisnya mengenai sebab-sebab ekonomis dari konflik sosial dan cara-cara konflik itu dibendung dan ditekan oleh kelas yang berkuasa dalam setiap masyarakat sebelum meledak menjadi bentuk-bentuk kehidupan sosial yang baru. Lihat: Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial; Sketsa, Pemikiran, Perbandingan, Penterjemah: F. Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 134.
26
merupakan bentuk-bentuk interaksi yang sangat saling tergantung, merupakan juga suatu alternatif yang menjembatani Marx yang memusatkan pada konflik sosial dan Durkheim yang memberikan tekanan pada integrasi dan solidaritas sosial5. Durkheim menekankan proses sosial yang meningkatkan integritas sosial dan kekompakan. Meskipun dia mengakui bahwa konflik terjadi dalam kehidupan sosial, dia cenderung untuk memperlakukan konflik yang berlebih-lebihan sebagai sesuatu yang tidak normal dalam integrasi masyarakat.
Hubungan saling ketergantungan antara konflik dan kekompakan dinyatakan juga dalam dinamika di dalam hubungan kelompok dalam (ingroup) dan kelompok luar (out-group). Suatu kelompok atau masyarakat cenderung memiliki sumber yang dapat dikerahkan dan solidaritasnya diperkuat bila kelompok itu terlibat dalam konflik dengan kelompok atau masyarakat lain. Selama masa dimana ada ancaman atau konflik dengan organisasi luar, percekcokan atau konflik dalam kelompok cenderung rendah dan menurun.6 Kiranya tidak akan ada yang menyanggah kebenaran pendapat yang menyatakan bahwa agar evektifitas organisasi dapat dipertahankan dan kekompakan ditingkatkan, konflik yang timbul baik pada tingkat individual, tingkat kelompok dan antar kelompok harus diselesaikan. Penyelesaian dimaksud tidak harus berarti bahwa konflik dikurangi atau dihilangkan sama sekali, melainkan dikelola sedemikian rupa sehingga
5
Marx menekankan konflik sebagai proses sosial yang paling dasar; munculnya kesatuan atau integrasi sosial diabaikan, yang menurutnya merupakan hasil dari kesadaran palsu dalam hubungan yang meliputi perbedaan. Doyle Paul Johnson, Teori Sosial; Klasik dan Modern, penterjemah: Robert M.Z. Lawang, (Jakarta: PT.Gramedia, 1986), hlm. 269. 6 Ibid., hlm. 272.
27
meningkatkan efektivitas individu, kelompok dan organisasi. 7 Para ahli konsultan dan praktisi manajemen pada umumnya telah mengetahui bahwa terdapat lima bentuk penanganan konflik yang dapat digunakan, yaitu: bersaing, kolaborasi, mengelak, akomodatif, dan kompromi.8
c. Perubahan Pandangan Mengenai Konflik 1. Pandangan tradisional, menganggap bahwa semua konflik adalah berbahaya dan oleh karenanya harus dihindari. 2. Pandangan aliran hubungan manusiawi, menganggap bahwa konflik adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi secara alami dalam setiap kelompok dan organisasi. Karena keberadaan konflik dalam organisasi tidak dapat dihindari, maka aliran ini mendukung penerimaan konflik tersebut dan menyadari adakalanya konflik tersebut bermanfaat bagi prestasi suatu kelompok. 3. Pandangan ineraksionis, John Aker dari IBM menjelaskan konflik perspektif interaksionis, bahwa pendekatan interaksionis mendorong konflik pada kedaan yang “harmonis”, tidak adanya perbedaan pendapat yang cenderung menyebabkan organisasi menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi9.
7
Sondang S. Siagian, Teori Pengembangan Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm.
183-184. 8
Ibid., hlm. 184. Sumbangan utama dari pendekatan interaksionis adalah mendorong pimpinan organisasi untuk selalu mempertahankan tingkat konflik yang optimal agar mampu menimbulkan semangat dan kreatifitas kelompok. Ibid. hlm. 99. 9
28
Tabel: Pandangan Kuno dan Pandangan Modern mengenai Konflik10
Pandangan Kuno
Pandangan Modern
1. Konflik dapat dihindari 2. Konflik
disebabkan
1. Konflik tidak dapat dihindari karena 2. Konflik muncul karena aneka macam
adanya kesalahan manajemen
sebab, termasuk di dalamnya struktur
dalam
organisatoris, perbedaan-perbedaan dalam
hal
mendesain
dan
memanaje organisasi-organisasi
tujuan
atau karena adanya pengacau-
perbedaan-perbedaan dalam persepsi serta
pengacau.
nilai-nilai personalia yang terspesialisasi
yang
tidak
dapat
dihindari
dan sebagainya 3. Konflik merusak organisasi yang 3. Konflik
membantu,
kadang-kadang
bersangkutan, dan menyebabkan
menghambat hasil pekerjaan organisatoris
tidak tercapainya hasil optimal
dengan derajat yang berbeda-beda.
4. Tugas
manajemen
adalah 4. Tugas manajemen adalah memanaje tingkat
meniadakan konflik
konflik, dan pemecahannya hingga dapat dicapai hasil prestasi organisatoris optimal.
5. Agar dapat dicapai hasil prestasi 5. Hasil organisatoris
optimal,
maka
pekerjaan
optimal
secara
organisatoris, memerlukan konflik moderat.
konflik perlu ditiadakan
d. Sumber Konflik 1. Kebijakan sebagai sumber konflik Kebijakan inilah yang selanjutnya sering menimbulkan persoalan sampai menjadi sebuah konflik. Timbulnya konflik dari sebuah kebijakan dapat terjadi dari karena adanya pihak-pihak dalam 10
Lihat: Winardi, Op.cit, hlm. 65. Lihat juga: T. Hani Handoko, Op.cit, hlm. 347. Serta lihat: James AF. Stoner dan R. Edward Freeman, Mamajemen, Jilid 1, Jakarta: Intermedia, 1992, Edisi keempat, hlm. 551.
29
penentuan kebijakan tersebut dimana tidak semua pihak dapat terakomodasi dengan kebijakan tersebut.11 Hal ini dapat terjadi karena: 1.
Substansi kebijakan yang mana dapat saja tidak diterima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan tersebut.
2.
Adanya individu dan atau pihak yang mempunyai akses lebih terhadap kebijakan tersebut sehingga ada pihak yang tidak terakomodasi dengan kebijakan tersebut. Proses penentuan kebijakan itu sendiri melalui tahapan-tahapan
sbb : 1. Identifikasi persoalan kebijakan termasuk permintaan publik untuk ditindak lanjuti oleh pemerintah 2. Penentuan agenda atau menentukan focus perhatian media massa pada permasalahan kebijakan publik yang akan dilakukan 3. Formulasi kebijakan dari lembaga yang berwenang untuk diajukan pada lembaga yang menentukan kebijakan itu dapat dilaksanakan atau tidak 4. Legitimasi kebijakan sebagai suatu tindakan politis untuk memperoleh kekuatan 5. Implementasi kebijakan oleh lembaga eksekutif 6. Evaluasi kebijakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan tersebut. Tahapan-tahapan diatas menunjukan adanya celah yang dapat menimbulkan
konflik
dimana
pihak-pihak
yang
mempunyai
kepentingan akan terbentuk seiring dengan berjalannya tahapantahapan diatas. Oleh karena itu kebijakan menjadi suatu hal yang sensitive yang dapat menjadi sebuah konflik.
11
Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan dasar yang berupa perbedaan tujuan dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Ibid.
30
2. Sumber-sumber konflik lain Ross (1993) mengemukakan dua sumber konflik yang terjadi dalam sebuah organisasi atau kelompok. Kedua sumber konflik itu adalah : a. Teori struktur sosial Menekankan pada persaingan antara pihak-pihak yang berkepentingan sebagai motif utama sebuah konflik. Tindakan terhadap pihak lain dalam pemikiran teori struktur social akan menciptakan tantangan nyata untuk meningkatkan solidaritas dan respon kolektif dalam menghadapi lawan. Selanjutnya pihak-pihak tersebut melakukan konsolidasi secara sadar sehingga membentuk suatu kekuatan dalam menghadapi konflik tersebut. Disisi lain struktur social ini berhubungan erat dengan teori kelompok elit yang mana konflik sangat sering terjadi dalam hal ini b. Teori Psychocultural Menekankan pada konflik sebagai kekuatan psikologi dan cultural. Teori ini menunjukan bahwa suatu pihak perlu memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal dan tingkah laku pihak lain. Oleh karena itu kondisi social dan hubungan dengan pihak lain menjadi suatu hal penting untuk diperhatikan dalam menghadapi konflik ini karena kondisi psikologis dan culutaral ini merupakan sebuah kekuatan nyata.12
12
Kedua sumber konflik diatas memerlukan penanganan yang berbeda. Teori structural menerangkan bahwa strategi manajemen konflik memerlukan perubahan kondisi organisasi pihak tersebut secara mendasar. Kepentingan yang divergen sangat sulit untuk dijembatani. Teori psychocultural conflict dalam melakukan manajemen konflik memfokuskan pada proses yang dapat mengubah persepsi atau mempengaruhi hubungan antara pihak-pihak kunci. Dalam pandangan teori ini kepentingan lebih bersifat subjektif dan dapat berubah dibanding dalam pandangan teori struktural. Ibid.
31
e. Jenis Konflik (Jenis konflik Secara Umum) 1. Konflik organisasi Dalam sebuah organisasi khususnya organisasi besar dimana pembagian kerja terjadi didalamnya sering timbul konflik antara unit kerja yang ada atau konflik antar organisasi. Timbulnya konflik ini dikarenakan adanya perbedaan tujuan antara satu pihak dengan pihak lain yang terlibat dalam konflik tersebut. Organisasi dapat diartikan sebagai sebuah struktur dari hubungan interaksi, kekuatan, sasaran, aturan, kegiatan, komunikasi dan faktor lain yang ada pada saat orang-orang bekerja sama. Tujuan dan struktur organisasi ini tidak berubah ketika ada perubahan orangorang yang mengatur organisasi tersebut. Oleh karena itu diperlukan kerjasama dan koordinasi antar struktur dalam organisasi atau antar organisasi sehingga dapat meminimalkan konflik yang terjadi 2. Konflik professional Konflik dapat terjadi pada setiap profesi
termasuk di
dalamnya perencanaan (Minnery 1985). Setiap profesi memiliki kode keprofesian
dan
meng-klaim
bahwa
mereka
memperhatikan
kepentingan publik. Satu hal yang membedakan konflik organisasi dengan konflik professional adalah pada kontrol terhadapnya. Organisasi mempunyai kontrol hirarki yang terstruktur sedangkan profesi hanya mengandalkan kontrol diri sendiri
f. Tipe-tipe Situasi Konflik Ada enam jenis konflik yang dapat kita indentifikasi dalam sebuah organisasi atau lembaga, yaitu: 1.
konflik dalam diri individu (intrapersonal)
2.
Konflik antar individu (interpersonal)
32
3.
Konflik antara individu dan kelompok (intragroup)
4.
Konflik antar kelompok (intergroup)
5.
Konflik di dalam organisasi (intraorganisasi)
6.
Konflik antar organisasi (interorganisasi)
2. Manajemen Konflik Konflik dalam kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu hal yang mendasar dan esensial. Konflik mempunyai kekuatan yang membangun karena adanya variable yang bergerak bersamaan secara dinamis. Oleh karena itu konflik adalah suatu proses yang wajar terjadi dalam suatu kelompok atau masyarakat. a. Pengertian Manajemen Konflik Manajemen secara etimologi berarti kepemimpinan; proses pengaturan; menjamin kelancaran jalannya pekerjaan dalam mencapai tujuan dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.13 Atau dengan kata lain manajemen secara singkat berarti pengelolaan. Menurut Mary Parker Vollett, manajemen merupakan seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Namun lebih dari itu, manajemen
mempunyai
pengertian
sebagai
proses
perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumberdaya-sumberdaya organisasi lainnya.14 Sedangkan Konflik dapat berarti perjuangan mental yang disebabkan tindakan-tindakan atau cita-cita yang berlawanan.15 Dalam arti lain konflik adalah adanya oposisi atau pertentangan pendapat atara orang-orang , kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi.
13
M. Sastra Pradja, Op.cit, hlm. 307. T. Hani Handoko, Op.cit., hlm. 8. Lihat juga Bedjo Siswanto, Manajemen Modern; Konsep dan Aplikasi, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm. 3. 15 Komaruddin, Op.cit, hlm. 151. 14
33
Jadi, Manajemen konflik adalah seni mengatur dan mengelola konflik yang ada pada organisasi agar menjadi fungsional dan bermanfaat bagi peningkatan efektivitas dan prestasi organisasi. Sedangkan tujuan utama manajemen konflik adalah untuk membangun dan mempertahankan kerjasama yang kooperatif dengan para bawahan, teman sejawat, atasan, dan pihak luar. Beberapa bentuk perilaku manajemen konflik seperti tawar-menawar, dan pemecahan masalah secara integratif, merupakan pendekatan-pendekatan untuk menangani konflik yang menyangkut seorang manajer dan pihak lain yang bantuannya dibutuhkan untuk mencapai sasaran pekerjaan16.
b. Srategi Manajemen Konflik Dalam proses perencanaan wilayah konflik dapat terjadi pada pengambilan keputusan dan implementasinya. Pemecahan konflik dengan sasaran sumber daya manusianya sangat menguntungkan untuk dilaksanakan. Strategi dalam memecahkan konflik menurut Chin dan Benne, 1976 adalah : 1. Strategi empiris-rasional. Asumsi dasar dalam startegi ini adalah bahwa setiap orang akan mengikuti pemikiran yang rasional sehingga perubahan baik dalam individu maupun dalam organisasinya dapat terjadi. 2. Startegi Normatif-reedukatif Strategi ini tidak melupakan rasionalitas dan intelegensi manusia namum mempunyai asumsi bahwa pola tindakan dan kegiatan dipengaruhi oleh norma sociocultural dan komitmen individual. Sehingga perubahan yang terjadi bukan hanya perubahan pengetahuan,
16
Gary. A. Yukl, Op.cit.
34
informasi, atau rasionalitas intelektual saja tapi juga perubahan perilaku, nilai-nilai, keahlian dan hubungan yang signifikan. 3. Strategi Power Coercive Penggunaan kekuatan dalam penyelesaian konflik baik dalam bentuk kekuatan politik maupun kekuatan lain sehingga akan terlihat jelas pihak-pihak yang mempunyai kekuatan dan yang tidak. Hal inilah yang akan menjadikan perubahan dalam pihak-pihak yang ada dalam konflik tersebut. Menurut Ross (1993) strategi dalam memecahkan konflik adalah: 1. Self-help Strategi self-help sering dilihat sebagai suatu tindakan sepihak yang bersifat destruktif. Tindakan ini kadang dilakukan oleh pihak yang kuat untuk menekan pihak yang lemah. Strategi self-help ini dapat digunakan untuk tindakan yang konstruktif dalam bentuk menarik diri, menghindar, tidak mengikuti, atau melakukan tindakan independen. Pihak yang lemah sangat tepat jika menerapkan strategi ini. Karena self-help merupakan tindakan sepihak yang potensial dapat meningkatkan respon, meyebabkan strategi ini sulit untuk mencapai solusi yang konstruktif. Langkah-langkah yang dapat diambil dalam menerapkan strategi self-help, antara lain: a. Exit. Jika tekanan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah sangat kuat, maka pihak yang lemah sebaiknya keluar dari tekanan tersebut. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa tekanan tersebut akan menimbulkan pengaruh yang kuat pada kehidupan pihak yang tertekan. b. Avoidance.
Tindakan
menghindar
dilakukan
berdasarkan
perhitungan untung ruginya untuk melakukan suatu aksi. Jika
35
biaya yang dikeluarkan lebih besar dari keuntungan yang akan didapat maka strategi menghindar dapat diterapkan. c. Noncompliance. Strategi ini berguna untuk mencari dukungan atas tindakan yang akan dilaksanakan sebagai akibat dari kewengan yang dimiliki sangat kecil. Tindakan ini dilakukan karena ada pihak yang tidak sepakat untuk bertindak karena tidak sesuai dengan yang diharapkan. Strategi ini juga merupakan langkah awal untuk menerapkan strategi joint solving problem atau thirdparty decision making. d. Unilateral action. Tindakan ini sangat memungkinkan terjadinya kekerasan, karena dua pihak saling berbenturan kepentingan. Pihak yang melakukan tindakan ini menganggap apa yang dilakukan merupakan bagian dari kepentingannya. Tetapi pihak lain mungkin akan menginterpretasikan sebagai tindakan yang destruktif. 2. Joint problem solving Joint problem solving memungkinkan adanya kontrol terhadap hasil yang dicapai oleh kelompok-kelompok yang terlibat. Masingmasing kelompok mempunyai hak yang sama untuk berpendapat dalam menentukan hasil akhir. Strategi ini membutuhkan penelusuran terhadap persoalan yang dihadapi. Keputusan yang diambil secara bersama dapat dikatakan berasal dari pendapat kelompok menurut standar masing-masing.17 Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam strategi ini, yaitu: a. Identification of interests. Identifikasi kepentingan-kepentingan yang terlibat dalam konflik sangat kompleks. Salah satu hambatan 17
Keputusan yang bersifat integrasi ini dapat melibatkan berbagai isu. Kesepakatan yang diambil memberikan keuntungan tiap kelompok dengan kadar yang berbeda, seperti dalam "the prisoner’s dilemma game".Ibid.
36
dalam mencari solusi dalam konflik ini adalah tidak mampunya pihak-pihak yang terlibat menterjemahkan keluhan yang samarsamar kedalam permintaan konkrit yang pihak lain dapat mengerti dan menanggapinya. b. Weighting interest. Setelah kepentingan teridentifikasi, masingmasing pihak memberikan penilainnya terhadap kepentingannya. Penilaian ini sangat bergantung pada komunikasi yang terbuka dan kejujuran masing-masing pihak sehingga dapat dibuat prioritas atas kepentingan-kepentingan yang dihadapi pihak-pihak tersebut. c. Third-party assistance and support. Pihak ketiga diperlukan untuk memfasilitasi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, membuat usulan prosedur, menterjemahkan keluhan-keluhan kedalam permintaan
yang
konkrit,
membantu
pihak-pihak
untuk
mendefinisikan kepentingan relatif dari masalah yang dihadapi, menyusun agenda, membuat pendapat mengenai isu substansi . Pihak ketiga ini harus bersifat netral agar masing-masing pihak dapat menerima hasil yang disepakati. d. Effective communication. Pihak-pihak yang terlibat terisolasi dalam persoalan yang tidak membutuhkan dialog secara langsung untuk mencapai solusi, tetapi mereka harus berkomunikasi aktif. Komunikasi ini diperlukan untuk mendefinisikan mengenai isu yang dihadapi bersama. e. Trust that an adversary will keep agreement. Keputusan yang diambil harus dijalankan oleh masing-masing pihak. Oleh karena itu jika ada pihak yang melanggar keputusan tersebut maka sebelum
keputusan
penalty/sanksi.
dijalankan
harus
dibuat
struktur
37
3. Third-party decision making Konflik yang dihadapi individu, kelompok, dan masyarakat kadang tidak dapat diselesaikan tanpa adanya pihak ketiga. Dalam strategi ini, pihak ketiga membuat keputusan yang mengikat berdasarkan aturan-aturan untuk mencapai hasil yang pasti. Pihak ketiga ini seperti administrator atau hakim. Keputusan yang diambil oleh administrator ini dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat konflik karena administrator dianggap mempunyai pegangan / pedoman yang baik. Strategi ini sedikit menawarkan kompromi atau penyelesaian masalah secara kreatif, karena pihak ketiga mempunyai otoritas penuh
c. Metode-metode Manajemen Konflik 1.
Stimulasi (merangsang) Konflik Seperti telah disebutkan dimuka, konflik dapat menimbulkan dinamika dan pencapaian cara-cara yang lebih baik dalam pelaksanaan kegiatan kerja suatu kelompok. Situasi di mana konflik terlalu rendah akan menyebabkan karyawan takut berinisiatif dan menjadi pasif. Kejadian-kejadian, perilaku dan informasi yang dapat mengarahkan orang-orang bekerja lebih baik diabaikan; para anggota kelompok saling bertoleransi terhadap kelemahan dan kejelekan pelaksanaan kerja. Metode stimulasi konflik meliputi: (1). Pemasukan atau penempatan orang luar ke dalam kelompok, (2). Penyusunan kembali organisasi, (3). Penawaran bonus, pembayaran insentif dan penghargaan untuk mendorong persaingan, (4). Pemilihan manajer-
38
manajer yang tepat, da (5). Perlakuan yang berbeda dengan kebiasaan.18 2. Pengurangan dan Penekanan Konflik Manajer biasanya lebih terlibat dengan pengurangan konflik daripada stimulasi konflik. Metode pengurangan konflik menekankan terjadinya antagonisme yang ditimbulkan oleh konflik. Jadi, metode ini mengelola tingkat konflik melalui “pendinginan suasana” tetapi tidak menangani masalah-masalah yang semula menimbulkan konflik. Dua metode dapat digunakan untuk mengurangi konflik. Pendekatan
efektif
pertama
adalah
mengganti
tujuan
yang
menimbulkan persaingan dengan tujuan yang lebih bisa diterima kedua kelompok. Metode efektif kedua adalah mempersatukan kedua kelompok yang bertentangan untuk menghadapi “ancaman” atau “musuh” yang sama.19 Sedangkan menurut James AF. Stoner sekurang-kurangnya ada 3 metode untuk mengurangi konflik, yaitu: (1). Memberikan informasi menyenangkan antara kelompok satu dengan kelompok lain, (2). Meningkatkan kontak sosial yang menyenangkan dengan berbagai cara, (3). Konfrontasi, atau berunding dan memberikan penjelasan tentang berbagai informasi20. 3. Penyelesaian Konflik Metode penyelesaian konflik yang akan dibahas berikut berkenaan dengan kegiatan-kegiatan para manajer yang dapat secara langsung mempengaruhi pihak-pihak yang bertentangan. Metodemetode penyelesaian konflik lainnya yang dapat digunakan, 18
Lihat juga: James AF. Stoner dan R. Edward Freeman, Op.cit, hlm. 562. T. Hani Handoko, Op.cit, hlm. 351. 20 Lebih jelas lihat: James A.F. Stoner, Op.cit., hlm. 563. 19
39
mencakup
perubahan
dalam
struktur
organisasi,
mekanisme
koordinasi, dan sebagainya. Ada tiga metode penyelesaian konflik yang sering digunakan, yaitu dominasi atau penekanan, kompromi, dan pemecahan masalah integratif. Metode-metode ini berbeda dalam hal efektifitas dan kreatifitas penyelesaian konflik serta pencegahan situasi konflik di masa mendatang. 1. Dominasi dan penekanan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: (1). Kekerasan (forcing), yang bersifat menekan otokratik; (2). Penenangan (snoothing), merupakan cara yang lebih diplomatis; (3). Penghindaran (avoidance), dimana manajer menghindar untuk mengambil posisi yang tegas; (4).
Aturan
mayoritas
(majority
rule),
mencoba
untuk
menyelesaikan konflik antar kelompok dengan melakukan pemungutan suara (voting) melalui prosedur yang adil. 2. Kompromi. Melalui kompromi, manajer mencoba menyelesaikan konflik melalui pencarian jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bentuk-bentuk kompromi meliputi: (1) pemisahan (separation), (2). Perwasitan (Arbitrasi), (3). Penyuapan (bribing). 3. Pemecahan masalah integratif. Dengan metode ini, konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan masalah bersama yang dapat diselesaikan melalui teknik-teknik pemecahan masalah. Ada 3 metode pemecahan konflik integratif: (1). Konsensus, (2). Konfrontasi, dan (3). Penggunaan tujuan yang lebih tinggi.21
21
T. Hani handoko, Op.cit., hlm. 352-353.
40
d.
Lima Gaya Manajemen Konflik Gaya atau pendekatan seseorang dalam hal menghadapi sesuatu situasi konflik dapat diterangkan sehubungan dengan tekanan relatif atas apa yang dinamakan cooperativeness (keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan minat pihak lain) dan assertiveness (keinginan untuk memenuhi keinginan dan minat diri sendiri). Adapun gaya dan intensi yang diwakili masing-masing gaya sebagai berikut: 1.
Tindakan menghindari (avoiding) Bersikap tidak koopratif, dan tidak asertif; menarik diri dari situasi yang berkembang, dan atau bersikap netral dalam segala macam “cuaca”. Seorang manajer yang menggunakan gaya ini akan lari dari peristiwa
yang
dihadapi,
meninggalkan
pertarungan
untuk
mendapatkan hasil. Bila suatu isu tidak penting, tindakan menangguhkan dibolehkan untuk mendinginkan konflik – inilah penggunaan gaya penyelesaian konflik menghindar yang paling efektif.22 2.
Kompetisi atau komando otoritatif Bersikap tidak koopratif tetapi asertif; bekerja dengan cara menentang pihak lain, berjuang untuk mendominasi dalam suatu situasi “menang – atau – kalah “, dan atau memaksakan segala sesuatu agar sesuai dengan kesimpulan tertentu, dengan menggunakan kekuasaan yang ada. Gaya ini juga sering diasosiasikan dengan gertakan dan “hardball tactic” dari para pialang kekuasaan. Gaya ini adalah strategi yang efektif bila suatu keputusan yang cepat dibutuhkan atau jika perso’alan tersebut kurang penting. Dan
22
Gaya ini juga efektif bila waktu memang membutuhkan. Sebagai contoh; misalnya dalam rapat dewan suatu item dapat dibuat “skemanya” atau ditunda untuk dibicarakan. Dilain pihak, gaya ini dapat membuat frustasi orang lain karena jawaban penyelesaian konflik demikian lambat. Rasa kecewa biasanya berpangkal dari gaya penyelesaian konflik dengan menghindar, dan konflik cenderung
41
strategi ini adalah paling baik digunakan bila dalam keadaan terpaksa. Dipergunakan sepanjang kita memiliki hak dan sesuai dengan pertimbangan hati nurani kita. 3.
Akomodasi atau meratakan Bersikap koopratif, tetapi tidak asertif; membiarkan keinginan pihak
lain
menonjol;
meratakan
perbedaan-perbedaan
guna
mempertahankan harmoni yang diciptakan secara buatan. 4.
Kompromis Bersikap cukup koopratif dan asertif, tetapi tidak hingga tingkat ekstrim. Bekerja menuju kearah pemuasan kepentingan parsial semua pihak yang berkepentingan; melaksanakan tawar-menawar untuk mencapai
pemecahan-pemecahan
“akseptabel”
tetapi
bukan
pemecahan optimal, hingga tak sorang pun merasa bahwa ia menang atau kalah secara mutlak. 5.
Kolaborasi (kerja sama) atau pemecahan masalah. Bersikap koopratif maupun asertif; berupaya untuk mencapai kepuasan benar-benar setiap pihak yang berkepentingan, dengan jalan bekerja melalui perbedaan-perbedaan yang ada; mencari dan memecahkan masalah demikian rupa, hingga setiap orang mencapai keuntungan sebagai hasilnya23
e. Sukses dan gagalnya manajemen konflik Sukses tidaknya konflik yang dihadapi pada dasarnya sangat bergantung pada seberapa besar perhatian pihak-pihak yang terlibat dalam mempertimbangkan
sumber
dari
konflik
itu
sendiri.
Dengan
meledak bila gaya ini dipakai. Lihat: William Hendricks, Bagaimana Mengelola Konflik, Penterjemah: Arif Santoso, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm.50-51. 23 Winardi, Op.cit., hlm. 18-19
42
mempertimbangkan sumber konflik maka strategi yang akan diambil dapat dilaksanakan. Hal ini dimungkinkan karena masing-masing sumber konflik memberikan strategi yang berbeda dalam penyelesaiannya. Terdapat tiga kriteria yang dapat dijadikan acuan untuk menilai apakah manajemen konflik yang diterapkan berhasil. Ketiga kriteria tersebut, yaitu: 1. Acceptance. Kesepakatan terhadap solusi yang diambil diterima masing-masing kesepakatan
pihak.
karena
Pihak-pihak
dua
alasan,
yang yaitu
terlibat adanya
menerima
solusi
yang
menguntungkan dan pertimbangan mengenai proses yang adil. 2. Duration. Solusi yang diambil harus berlangsung lama. Hal ini dapat dicapai jika masing-masing pihak mendapatkan keuntungan. Jika hanya satu pihak saja yang diuntungkan maka solusi yang diambil tidak akan bertahan lama. 3. Change relationship. Harus terjadi perubahan hubungan setelah kesepakatan diambil. Hal ini ditandai dengan adanya penghargaan terhadap masing-masing pihak, adanya upaya bersama untuk menjaga kesepakatan, dan pengaruh positif lainnya. Faktor yang menyebabkan konflik tidak terselesaikan, antara lain: 1.
Tidak
dilibatkannya
pihak-pihak kunci. Dalam menyelesaikan konflik semua pihak harus dilibtakan sehingga kepentingan dari masing-masing pihak dapat diidentifikasi.24
24
Tidak dilibatkannya semua pihak akan memungkinkan kepentingan yang mendasar tidak teridentifikasi sehingga keputusan yang diambil akan menguntungkan pihak tertentu. Ibid.
43
2.
Kurang
adanya
25
pemahaman terhadap suatu persoalan . 3. Melihat sumber konflik dari satu aspek saja . Konflik harus dilihat dari dua aspek yaitu aspek struktural dan aspek psikokultural. Aspek struktural
menekankan
pada
kepentingan,
sedangkan
aspek
psikokultural menekankan pada psikologi dan budaya dari pihak yang terlibat. B. PENGEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM 1. Definisi Lembaga Pendidikan Islam Untuk mengetahui arti pendidikan secara etimologi, maka dalam kedua sumber pendidikan Islam (al-Qur’an dan al-Hadits) dapat ditemukan kata-kata atau istilah-istilah yang pengertiannya terkait dengan pendidikan, yaitu rabba, kata kerja dari tarbiyah, allama, kata kerja dari ta’lim, dan addaba, kata kerja dari ta’dib26. Misalnya:
“Ya Tuhan, sayangilah keduanya (orang tuaku) sebagaimana mereka telah mengasuhku (mendidikku) sejak kecil”. (QS. Al-Isra’ : 24)
25
Masing-masing pihak harus mempunyai kemauan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan konflik dan adanya sikap saling menghargai, sehingga keputusan yang diambil dapat diterima oleh semua pihak. Ibid. 26 (a). Kata kerja Rabba ( ) memiliki beberapa arti, antara lain mengasuh, mendidik, dan memelihara. Di samping itu kata yang serumpun dengannya yaitu: rabba ( ), yang berarti memiliki, memimpin, memperbaiki, menambah. Sedangkan rabba ( ) juga berarti tumbuh atau berkembang. (b). Kata kerja ‘allama ( ) berarti mengajar yang lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan ketrampilan. (c). kata kerja addaba ( ) dapat diartikan mendidik yang lebih tertuju pada penyempurnaan akhlaq budi pekerti. Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya, Konsep Pendidikan Islam, dengan gigih mempertahankan penggunaan istilah ta’dib untuk konsep pendidikan Islam, bukan tarbiyah, dengan alasan bahwa dalam istilah ta’dib, berasal dari kata kerja addaba, mencakup wawasan ilmu dan amal yang merupakan esensi pendidikan Islam. Lihat: Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Semarang: Aditya Media bekerja sama dengan IAIN Walisongo, tth), hlm. 14-15.
44
“Dia yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-Alaq : 5).
“Ibunya telah mendidiknya dan kamu telah dididik oleh ibumu”. (HR. Muslim). Secara Istilah, pendidikan adalah usaha sadar yang dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup dan ketrampilan hidup baik yang bersifat manual, mental dan sosial27. Jadi pendidikan Islam merupakan pendidikan yang harus dilakukan secara sadar untuk mencapai tujuan yang jelas melalui syari’at Islam.28 Sesuai dengan konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam tahun 1977 di Makkah; yang menyatakan bahwa: “Istilah pendidikan Islam tidak lagi hanya berarti pengajaran teologik atau pengajaran al-Qur’an, Hadits dan Fiqih, tetapi memberi arti pendidikan di semua cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan dari sudut pandang Islam”29.
Lembaga, secara etimologi dapat dilihat dalam Kamus IndonesiaInggris, Lembaga (1) diartikan dengan Institute, League, Organization, Institution. (2) diartikan dengan
Embyo, Sprout.30 Sedangkan dalam buku
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud disebutkan bahwa: Lembaga berarti: (1) Asal mula / bakal sesuatu; (2) Bentuk (rupa / wujud) yang asli; (3) Acuan; ikatan; (4) Badan (organisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu 27
Abu Choir, Makalah Manajemen Pendidikan Islam, Disampaikan dalam kuliah perdana Manajemen Pendidikan Islam, (Semarang: Jurusan Kependidikan Islam Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, 18 – 9 – 2003). Sedangkan Pendidikan Islam menurut Hassan Langgulung terdapat 8 pengertian: (1). Pendidikan Agama (2). Pendidikan Keagamaan; (3). Pengajaran Agama; (4). Pengajaran Keagamaan; (5). Pendidikan Islami; (6). Pendidikan Orang-orang Islam; (7). Pendidikan dalam Islam; dan (8). Pendidikan menurut Islam. 28 Qomari Anwar, Manajemen Pendidikan Islam, dalam Adi Sasono (edts), Solusi Islam atas Problematika Umat, (Jakarta: Gema Insani, 1998), hlm. 87. 29 Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Semarang: Aditya Media dan IAIN Walisongo Press, tth), hlm. 20. 30 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), hlm.337.
45
usaha; (5) Ark Kepala Suku (di Negeri Sembilan); (6) Pola perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan.31 Secara istilah, definisi lembaga dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memiliki tiga arti. Namun lembaga yang dimaksud disini adalah arti yang ke-tiganya, yaitu badan atau organisasi yang bertujuan melakukan suatu penelitian keilmuan atau melakukan suatu usaha.32 Lembaga dapat diartikan juga sebagai proses-proses terstruktur (tersusun) untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.33 Menurut Kartasapoetra dan L.J.B. Kreimers dalam Sosisologi Umum, dinyatakan bahwa lembaga dalam masyarakat dapat diberi batasan dalam dua arah yang agak berlawanan, yaitu: Pertama, untuk menonjolkan masyarakat-masyarakat khusus yang telah memberikan kehidupan secara lebih lama banyak generasi biologis dan telah bertahan serta menyelamatkannya dari banyak kejadian malapetaka dan perubahan-perubahan. Kedua, sebagai unsur yang universal dan tidak mempunyai batas waktu, tumbuh dimana saja manusia hidup bermasyarakat. Seperti halnya kekeluargaan dan perkawinan, pengendalian terhadap produksi dan distribusi barang dan jasa, pelaksanaan tata cara yang berbau keramat, pengaturan terjadinya konflik, ketentuan sanksi-sanksi bagi para pelanggar peraturan, atau karakteristik-karakteristik lainnya pada kelompok atau golongan-golongan yang membatasi tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban terhadap sesama yang lainnya.34
Dari berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Lembaga Pendidikan Islam adalah badan atau organisasi pendidikan
31
Puasat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 580. 32 Moh. Daud Ali Dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 1. Lihat juga dalam: Anton M. Moeliono (penyunting), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,(Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 512. 33 Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Soiologi, Alih bahasa: Drs. Aminuddfin Ram, dan Tita Sobari, (Jakarta: Erloangga, 1999), hlm. 244. 34 Kartasapoetra dan L.J.B. Kreimers, Sosiologi Umum, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 213. Lembaga-lembaga ialah unsur unit-unit yang nyata pada kultur yang mempunyai suatu derajat yang sungguh-sungguh permanen, universalitas dan kebebasan adalah sistem-sistem kegiatan manusia yang teratur.
46
bernafaskan Islam yang berusaha melaksanakan pendidikan, pembinaan, penelitian dan pengembangan keilmuan secara terstruktur dan sistematis untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan.
2. Bentuk-Bentuk Lembaga Pendidikan Islam Secara umum, Lembaga Pendidikan Islam diseluruh penjuru dunia hampir sama, baik dari zaman Nabi, Sahabat, Tabi’in maupun zaman klasik, baik di Indonesia, Timur Tengah, Afrika, maupun di Amerika. Namun lembaga-lembaga itu akan berkembang sesuai dengan keadaannya masingmasing. Namun demikian, seiring dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan diera sekarang ini, baik dizaman modern maupun kontemporer, ternyata Lembaga Pendidikan Islam sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya Pondok Pesantren, Madrasah-madrasah dan Lembaga-lembaga pendidikan bercirikan Islam, yang memiliki daya saing serta peranan sangat kuat dalam masyarakat. Begitu halnya di Indonesia, Lembaga Pendidikan Islam di tanah air kita ini dapat dikategorikan ke dalam tiga golongan, yakni: (1) Pesantren, (2) Madrasah, dan (3) Sekolah Islam.35 a. Pondok Pesantern Pesantren atau Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Menurut para ahli, lembaga pendidikan ini sudah ada sebelum Islam datang ke Indonesia. Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam36. Itulah identitas pesantren pada awal perkembangannya. Namun kebanyakan orang tidak melihat kekuatan khusus pada pesantren, karena 35
H. Mohammad Daud Ali, dan Hj. Habibah Daud Ali, Op.cit, Hlm. 145.
47
lebih melihat pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tradisional yang mengajarkan Islam ortodoks secara tradisional yang memberi gambaran tentang dunia yang terbelakang dan mungkin juga konservatif, bahkan menurut gambaran dan pandangan sebagian kaum muslimin sendiri. Di sini orang tidak melihat dari segi kekuatannya, sebagai lembaga yang mengkonservasikan suatu produk budaya Indonesia yang unik dan khas, yang bila proses modernisasi berhasil menyapunya dari bumi eksistensi, masyarakat
baru merasakan kehilangannya, seperti orang kehilangan
kekayaan arsitektur tradisional. Namun demikian, ketika membicarakan model pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, pemimpin-pemimpin Indonesia, antara bulan Oktober 1935 sampai dengan bulan April 1936, pernah bertukar pikiran melalui majalah Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli dan Wasita, yang kemudian dikumpulkan oleh Akhdiyat K. Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan (1948). Yang menarik dalam Polemik Kebudayaan itu adalah pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara dan Dr. Sutomo, pemimpin golongan Nasionalis, bukan pemimpin Islam, yang menginginkan agar pesantren dijadikan sebagai model pendidikan Nasional. Menurut pendapat mereka, pendidikan yang diselenggaran di pesantren, lebih sesuai bagi bangsa Indonesia. Pesantren adalah warisan budaya Indonesia, karena itu seyogyanya pendidikan pesantren dijadikan model dalam menyusun perguruan nasional.37 Menurut dr. Sutomo, sebenarnya ada beberapa aspek yang diperhatikan pada pesantren, selain karena ia merupakan warisan budaya Indonesia: - Pertama system pondoknya, karena dengan sistem itu pendidik bisa melakukan tuntutan dan pengawasan langsung. Di sini, ia menekankan aspek pengaruh sistem pondok dalam proses pendidikan. 36 37
M. Dawam Raharjo, Op.cit, hlm. Vii. H. Mohammad Daud Ali, dan Hj. Habibah Daud Ali, Op.cit, hlm. 147.
48
- Kedua keakraban hubungan antara santri dan kyai sehingga yang terakhir bisa memberikan pengetahuan yang hidup - Ketiga, mampu mencetak orang-orang yang bisa memasuki semua lapangan pekerjaan yang bersifat merdeka. - Keempat, cara hidup para kyai yang sederhana, tetapi toh penuh kesenangan dan kegembiraan, dalam memberi penerangan bagi bangsa kita yang miskin; dan - Kelima, Pesantren merupakan sistem pendidikan yang murah biaya penyelenggaraannya untuk menyebarkan kecerdasan bangsa38.
Sistem pendidikan pesantren dapat diselenggarakan dengan biaya yang relatif murah karena semua kebutuhan untuk belajar mengajar disediakan bersama oleh para anggota dengan dukungan masyarakat di sekitarnya.39 Sedangkan proses belajar mengajar dilaksanakan dengan dua sistem, yaitu sistem sorogan dan sistem bandongan atau sering kali juga disebut sistem weton40.
b. Madrasah Pada permulaan abad ke-20 muncul lembaga pendidikan Islam baru yang disebut Madrasah. Kata madrasah berasal dari bahasa Arab, darasa artinya belajar. Lembaga pendidikan baru ini hadir di tengah-tengah dunia pendidikan Islam
Indonesia, terutama di luar Jawa, karena berbagai
dorongan dan alasan. Pertama, sebagai manifestasi dan realisasi cita-cita pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia. Kedua, sebagai salah satu usaha penyempurnaan sistem pendidikan pesantren, yang dipandang tidak memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan kerja, 38
M. Dawam Raharjo, Op.cit, hlm. xii Mohammad Daud Ali, dan Hj. Habibah Daud Ali, Op.cit, hlm. 149. 40 Sistem sorogan adalah sistem belajar seorang santri yang menyorog-kan (menyodorkan) kitab yang akan dikajinya kepada kyai, memohon agar dibimbing mempelajari kitab tersebut. Dengan sistem ini , terjadilah proses belajar mengajar yang bersifat “personal”, karena santri itu dilayani sebagai pribadi oleh kyai, tidak bersama-sama dengan yang lain. Adapun sistem bandongan atau weton adalah cara lain proses belajar mengajar di pesantren. Dalam sistem ini, kelompok murid yang terdiri 5 sampai 500 orang, mendengarkan seorang guru membaca, menterjemahkan, menerangkan, dan sering kali mengulas buku-buku Islam yang ditulis dalam bahasa Arab. (Lihat H. Mohammad Daud Ali, dan Hj. Habibah Daud Ali, Op.cit, hlm. 150). 39
49
seperti lulusan sekolah umum yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Ketiga, adanya sikap sementara umat Islam yang lebih condong mengikuti sistem pendidikan ala Barat yang lebih memungkinkan (anak-anak) mereka maju dalam ilmu, ekonomi dan teknologi.41 Dalam
kenyataannya
kemudian,
madrasah,
sebagai
lembaga
pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang baik yang masih dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, ekonomi dan teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di pesantren, yaitu ilmuilmu keagamaan ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum seperti sejarah, ilmu bumi, ilmu hitung, dan sebagainya.
Proses
belajar
mengajarnya
bersifat
klasikal
dengan
penjenjangan. Lulusannya memperoleh ijzah yang dapat dipergunakan untuk mencari pekerjaan pada kantor-kantor pemerintah atau perusahaanperusahaan swasta.
c. Sekolah Islam Lembaga pendidikan Islam yang ke tiga adalah Sekolah Islam. Lembaga ini merupakan pengembangan madrasah dengan falsafah pendidikan yang dipengaruhi oleh ajaran Barat. Kurikulumnya lebih dekat dengan kurikulum sekolah-sekolah umum. Kendatipun predikatnya Islam, namun pelajaran Islam kurang mendapatkan tempat dalam kurikulumnya. Yang diutamakan adalah persamaan status dan pengakuan yang sama dengan sekolah umum. Antara sekolah umum yang mengajarkan agama dengan
41
Ibid., hlm. 154.
50
sekolah Islam ini, terdapat persamaan, hanya dalam pelaksanaan pengajaran agamanya saja yang berbeda.42 Perkembangan yang terakhir inilah yang menyebabkan para pemikir Islam di dunia pendidikan merumuskan kembali dasar filsafat pendidikan Islam, tujuan, materi dan metodenya.
3. Pesantren Sebagai Salah Satu Lembaga Pendidikan Islam a. Pengertian Pesantren Untuk mengetahui tantang pesantren ini kita bisa melihat dari segi namanya yang berasal dari dua kata bahasa asing yang berbeda. Pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti tempat menginap atau asrama, sedangkan Pesantren dengan awalan pe- dan akhiran –an, berasal dari kata santri, bahasa Tamil yang berarti para penuntut ilmu atau diartikan juga guru mengaji.43 Dhofier (1994: P. 18) menyatakan bahwa pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Profesor Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah sastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.44 Secara terminologi, Zarkasyi (1998: P. 427) mendefinisikan, bahwa pesantren ialah lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, dengan kyai sebagai sentral figurnya, dan masjid sebagai titik pusat kejiwaannya. Dulay (2001: P. 8) mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam, dan 42 43
H. Mohammad Daud Ali, dan Hj. Habibah Daud Ali, Opcit, hlm. 154. Ibid., hlm. 145
51
mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fi al din dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Sedangkan Ahmadi
(1996: P. 329) mendefinisikan
pesantren adalah
sekolah berasrama untuk mempelajari agama Islam45.
b. Karakteristik Pesantren 1. Tujuan Pendidikan Pesantren Menurut Mastuhu (1994), bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman, dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat,
sebagai
rasul,
yaitu
menjadi
pelayan
masyarakat
sebagaimana Nabi Muhammad (mengikuti sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam di tengah-tengah masyarakat (Izzul Islam wal muslimin),
dan
mencintai
ilmu
dalam
rangka
mengembangkan
kepribadian Indonesia, 2. Model dan Jenjang Pendidikan Model
pesantren
pada
awalnya
merupakan
pendidikan
nonklasikal. Pendidikan ini sering dinyatakan sebagai model pendidikan pesantrenan. Perkembangan selanjutnya model pendidikan pesantren mulai mengadopsi model klasikal, yang disebut pendidikan madrasah. Azra (1997: P.XV) menyatakan, bahwa model
pendidikan
klasikal atau madrasah di pesantren merupakan responsi terhadap munculnya ide pembaharuan pendidikan Islam yang dibawa oleh kaum reformis sejak awal abad 20. Pesantren mengambil sikap menolak paham 44
Abu Choir, Pembaharuan Manajemen Pondok Pesantren, Tesis Magister Agama Islam, (Malang: STAIN Malang, 2002), hlm.13. 45 Abu Choir , Opcit.
52
dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi melakuakan sejumlah akomodasi dan “penyesuaian” yang dapat mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri dan membawa manfaat bagi santri, seperti sistem perjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal.46 Pada perkembangan selanjutnya, model pesantren dikenal dengan pesantren salaf dan pesantren modern. Model pesantren salaf adalah pesantren yang hanya mengkaji kitab kuning atau ilmu akhirat saja, dan pesantren khalaf atau modern; dimana kurikulum yang dipakai meliputi pengetahuan agama dan pengetahuan umum.47 Namun demikian hingga sekarang ternyata pesantren salaf yang sudah berkembang kebanyakan menyelenggarakan sekolah-sekolah umum sebagaimana pesantren khalaf (modern), sehingga bisa dibilang bahwa penggunaan istilah pondok modern dan salaf sudah tidak relevan lagi. 3. Materi (kurikulum) dan Metode Pengajaran Pada mulanya pesantren mengajarkan materi-materi khusus keagamaan dengan ciri khasnya adalah pelajaran kitab-kitab klasik / kuning (yang meliputi ilmu alat / nahwu-sharaf, fiqih, qur’an, hadits, teologi, tasawuf,dan lain-lain). Namun pada perkembangan selanjutnya banyak pesantren yang memasukkan kurikulum madrasah maupun sekolah dalam sistem pengajarannya, bahkan banyak juga yang menyelenggarakan Perguruan Tinggi (universitas). Jenis pendidikan madrasah dan sekolah umum bersifat formal, dan kurikulumnya mengikuti pemerintah. Madrasah mengikuti ketentuan dari Depag, dengan perbandingan 30 % berisi mata pelajaran agama, dan 70 % 46
berisi
mata
pelajaran
umum.
Tetapi
beberapa
pesantren
Abu Choir, Ibid, hlm. 18. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan., enterjemah: Arif Santoso, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997). 47
53
menyelenggarakan perbandingan terbalik, dengan bobot perbandingan yang agak berbeda: 20% berisi pelajaran umum, 80% berisi pelajaran agama; misalnya pada kurikulum madrasah yang selenggarakan oleh PP Tebu Ireng. Sedangkan proses belajar mengajar dilaksanakan dengan dua sistem (metode), yaitu sistem sorogan dan sistem bandongan atau sering kali juga disebut sistem weton48. Dalam sistem ini, kyai membacakan salah satu kitab, menterjemahkannya kedalam bahasa Jawa dan kemudian memberikan keterangan terhadap kata-kata yang sulit. Hampir tidak terjadi diskusi diantara kyai dan muridnya.49 Sistem sorogan adalah system belajar seorang santri yang menyorog-kan (menyodorkan) kitab yang akan dikajinya kepada kyai, memohon agar dibimbing mempelajari kitab tersebut. Dengan system ini , terjadilah proses belajar mengajar yang bersifat “personal”, karena santri itu dilayani sebagai pribadi oleh kyai, tidak bersama-sama dengan yang lain. Adapun sistem bandongan atau weton adalah cara lain proses belajar mengajar di pesantren. Kata bandongan, berasal dari bahasa Jawa bandong artinya pergi berbondong-bondong secara kelompok.50 Dalam sistem ini, kelompok murid yang terdiri 5 sampai 500
orang,
mendengarkan seorang guru membaca, menterjemahkan, menerangkan, dan sering kali mengulas buku-buku Islam yang ditulis dalam bahasa Arab. Adapun pesantren yang sudah maju (sesuai dengan perkembangan zaman)
kebanyakan
sudah
memakai
berbagai
metode
dalam
pengajarannya, sebagaimana sekolah-sekolah umum yang lainnya yang ada. 48
Lihat H. Mohammad Daud Ali, dan Hj. Habibah Daud Ali, Op.cit, hlm. 150. Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Ummat Kiai Pesantren - Kiai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 149. 49
54
4. Fungsi Pesantren Pada hakekatnya fungsi pesantren adalah untuk mendidik dan menggembleng para santri dalam segala permasalahan keislaman (tafaqquh fi al-din). Dimana para santri tersebut nantinya akan terjun ke masyarakat guna menyampaikan risalah Islam. Namun pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama. 51 Sistem pendidikan pesantren dapat diselenggarakan dengan biaya yang relatif murah karena semua kebutuhan untuk belajar mengajar disediakan bersama oleh para anggota dengan dukungan masyarakat di sekitarnya.52 5. Prinsip-prinsip pendidikan Pesantren Sistem pendidikan pesantren yang dibangun dalam rangkaian sejarah telah melahirkan sejumlah jiwa pesantren yang dijadikan sebagai prinsip pendidikan pesantren tersebut. Jiwa pesantren yang dimaksud tersimplikasi dalam panca-jiwa pesantren. Pertama jiwa keikhlasan, kedua jiwa kesederhanaan tetapi agung, ketiga jiwa ukhuwah Islamiah yang demokratis, keempat jiwa kemandirian, kelima jiwa bebas dalam memilih alternatif jalan hidup dan menentukan masa depan dengan jiwa besar dan optimis menghadapi segala problematika hidup berdasarkan nilai-nilai Islam.53 Menurut Mastuhu (1994), prinsip–prinsip sistem pendidikan pesantren adalah: (1). Theocentric (pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian berasal, berproses, dan kembali pada kebenaran Tuhan), (2). Sukarela dan mengabdi, (3). Kearifan (berperilaku dan bersikap 50
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 142-143 Mastuhu, op.cit., hlm. 59. 52 H. Mohammad Daud Ali, dan Hj. Habibah Daud Ali, Op.cit, hlm. 149. 53 Marzuki Wahid (eds), Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 215-216. 51
55
sabar, rendah hati, patuh, dan lain-lain), (4). Kesederhanaan, (5). Kolektivitas (kebersamaan), (6). Mengatur kegiatan bersama, (7). Kebebasan terpimpin, (8). Mandiri, (9) Pesantren tempat mencari ilmu dan mengabdi, (10). Mengamalkan ajaran agama, (11). Tanpa Ijazah. Dalam menghadapi perkembangan zaman, prinsip yang digunakan para pemimpin pondok pesantren sendiri yang telah menetapkan policy dan strategi dalam Muktamar Ikatan Pesantren (Robitthotul Mu’ahidil Islamiyah) yang ke-I, Januari 1959. Yang menyatakan sebagai berikut: almuhafadhatu ‘ala qadimi ash-shalih wal aqdu ‘ala jadidi al-ashlakh. (”mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik”)54 6. Sarana pendidikan Pesantren Sarana pondok pesantren sangatlah tergantung dari pola atau model yang mereka miliki. Dewasa ini ternyata ditemukan bermacammacam pola pesantren sebagai berikut: a. Pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai b. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama c. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama
dan madrasah d.
Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama dan madrasah dan tempat ketrampilan (peternakan, menjahit, pertanian, dan lain-lain.)
e.
Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama dan madrasah, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga, dan sekolah umum.55Bahkan akhir-akhir ini banyak pesantren yang sudah
54
H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000),
hlm. 250. 55
Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesi, (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), hlm. 120-121.
56
memiliki laboratorium, ladang pertanian, agribisnis, peternakan, toko (mini market) industri, dan lain-lain. 7. Kehidupan Kyai dan santri Keakraban hubungan antara santri dan kyai sangat bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bekerja, dalam hal makanan. Dan segala hal, sehingga terasa sangat menggembirakan dan nyaman.. Namun dibalik keakraban itu, ternyata tidak menghilangkan rasa tawadlu’ para santri terhadap guru (kyainya). Cara hidup kyai yang sederhana, tetapi toh penuh kesenangan dan kegembiraan, hal ini mencerminkan seorang pemimpin yang selalu memberikan teladan bagi para santrinya. Adapun proses pendidikannya berlangsung selama 24 jam penuh karena hubungan kyai, ulama dan santri yang terkonsentrasi di satu kompleks merupakan suatu masyarakat belajar.56Dengan demikian, proses pengajaran, pembinaan dan pengawasan dapat dilakukan secara intensif dan maksimal oleh kyainya secara langsung. 8. Evaluasi Di dalam budaya pesantren terdapat istilah akhirus sanah (akhir tahun ajaran), yang merupakan ajang evaluasi tahunan bagi seluruh santri. Sedangkan evaluasi bulanan atau harian juga sering diadakan, namun tidak dilakukan secara formal. Sedangkan
evaluasi keberhasilan belajar di “pesantren”
ditentukan oleh penampilan kemampuan mengajarkan kitab kepada orang lain. Jika audiencenya merasa puas, maka hal itu berarti santri yang bersangkutan telah lulus. Sebagai legalisasi kelulusannya adalah restu kyai bahwa santri yang bersangkutan boleh pindah mempelajari kitab lain yang lebih tinggi tingkatannya dan boleh mengajarkan kitab yang telah 56
Maksum Muhtar, Transformasi Pendidikan Islam dalam Pesantren Masa Depan, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 65.
57
dikuasai kepada orang lain57. Yang jelas, evaluasi keberhasilan belajar tersebut berbeda dengan evaluasi keberhasilan belajar pada madrasah dan sekolah-sekolah umum yang menggunakan ujian resmi dengan pemberian angka-angka tanda lulus atau naik tingkat. Bagi pesantren yang sudah memasukkan kurikulum sekolah dan madrasah, evaluasi biasanya sudah mengikuti tata cara sekolah (evaluasi resmi). Baik waktu, model, maupun sistem evaluasi yang digunakannya. Namun demikian mereka juga tetap mengadakan acara akhirus sanah.
4. Pengembangan Lembaga Pendidikan Pesantren Suatu organisasi, badan hukum, atau perusahaan yang tujuannya ekonomis, keagamaan, politis, pendidikan, rekreatif, disebut lembaga. Sedangkan istilah pengembangan lembaga juga bisa diartikan sebagaimana konsep pengembangan organisasi. Istilah pengembangan organisasi (lembaga) telah dipergunakan pada banyak teknik perilaku dan teknik yang digunakan untuk mendekati konflik dan perubahan dalam organisasi. Pengembangan organisasi menurut Richard Beckharl adalah upaya yang berencana, mencakup keseluruhan orang dan dikelola dari atas untuk meningkatkan efektivitas dan kesehatan organisasi melewati intervensi terencana atas proses yang terjadi dalam organisasi dengan memanfaatkan pengetahuan yang berasal dari ilmu perilaku.58 Jadi, pengembangan lembaga pendidikan pesantren adalah proses yang berencana, dimanajemeni dan secara sistematis untuk mengubah kultur, sistem, dan perilaku organisasi, guna meningkatkan efektivitas dan kesehatan lembaga pesantren tersebut dalam memecahkan masalah dan pencapaian sasaran (tujuan). 57
Mastuhu, Op.cit, hlm. 145. Komaruddin, Op.cit.. Hlm. 640. Lihat Juga: James L. Gibson, (et.al), Organisasi; Perilaku Struktur dan Proses, Alih Bahasa: Nunuk Adiarni, (Jakarta: Binarupa Aksara, 1997), hlm. 353. 58
58
a. Konsep Pengembangan Lembaga (Organisasi) Sebagai konsep formal Pengembangan Organisasi adalah baru, dan “istilah Pengembangan Organisasi sendiri masih didefinisikan secara tidak
konsisten,
terutama
sebagai
label
berbagai
kegiatan”.
Pengembangan organisasi berhubungan dengan suatu strategi, sistem, proses-proses guna menimbulkan perubahan organisatoris sesuai dengan rencana, sebagai suatu alat guna menghadapi situasi-situasi yang berubah yang dihadapi oleh organisasi modern, dan yang berupaya untuk menyesuaikan diri (adaptasi) dengan lingkungan mereka59. Pengembangan Organisasi adalah suatu usaha jangka panjang untuk memperbaiki proses-proses pemecahan masalah dan pembaharuan organisasi, terutama melalui manajemen budaya organisasi yang lebih efektif dan kolaboratif – dengan tekanan khusus pada budaya tim-tim kerja formal – dengan bantuan pengantar perubahan, katalisator, dan penggunaan teori dan teknologi ilmiah keperilakuan terapan, mencakup riset kegiatan60. Jadi,
pengembangan
lembaga
pesantren
bertujuan
untuk
mengubah semua elemen dari kultur lembaga yang ada, yang mencakup misalnya keyakinan, sikap, nilai-nilai, struktur-struktur dan sebagainya guna memungkinkan lembaga tersebut menghadapi perubahan-perubahan teknologikal dan perubahan-perubahan lainnya yang berlangsung dengan cepat, yang terjadi di dalam lingkungannya. Hal ini dilakukan dengan tanpa menghilangkan ciri khasnya dan tidak menghilangkan hal-hal yang baik di dalamnya. 59
Winardi, Op.cit., hlm. 210 Dalam definisi ini, ungkapan proses-proses pemecahan masalah berkenaan dengan metodametoda organisasi dalam penanganan berbagai ancaman dan kesempatan dari lingkungannya. Sebagai contoh para manajer dapat memilih untuk memecahkan masalah-masalah organisasi sendiri, atau melibatkan partisipasi para bawahan dalam pembuatan keputusan. Ia merupakan tipe latihan yang terintegrasi atau sebuah strategi pendidikan yang meliputi seluruh kultur organisasi yang bersangkutan, dengan tujuan untuk menimbulkan perubahan yang direncanakan. Ibid. 60
59
b. Beberapa Pendapat Para Pakar Warner Bruke (Clark University) mendefinisikan Pengembangan Organisasi sebagai suatu proses perubahan dalam budaya organisasi melalui penggunaan teknologi, riset dan teori ilmiah keperilakuan. Sedangkan menurut Edgar Schein (MIT) mengartikan PO sebagai seluruh kegiatan yang disusun oleh para manajer, karyawan dan lain-lain yang diarahkan menuju pembuatan dan penjagaan “kesehatan organisasi sebagai suatu sistem total61. Menurut
W.G.
Bennis,
pengembangan
organisasi
adalah
merupakan sebuah reaksi terhadap perubahan, dan ia merupakan strategi pendidikan kompleks, yang bertujuan untuk mengubah keyakinan, sikap, nilai-nilai dan struktur organisatoris, agar dapat menyesuaikan diri secara efektif dengan teknologi-teknologi baru, pasar-pasar yang berubah dan tantangan-tantangan yang muncul, dan tingkat perubahan yang tidak menentu. R. Beckhard mendefinisikan PO sebagai sebuah pengembangan yang direncanakan yang mencakup seluruh organisasi dan yang dimanaje dari puncak, dan yang bertujuan untuk memperbesar efektivtas dan kesehatan terrencana,
sesuatu dalam
organisasi proses
melalui
intervensi-intervensi
organisatoris,
dengan
yang
memanfaatkan
pengetahuan yang dicapai melalui ilmu tentang perilaku. W. French berpendapat bahwa PO adalah merupakan sebuah upaya jangka panjang, guna memperbaiki problem sesuatu organisasi, dan
61
kemampuan memecahkan
kemampuannya menghadapi unsur
T. hani Handoko, Manajemen , edisi II, (Yogyakarta: BPFE, 1995), hlm. 337.
60
perubahan dalam lingkungan eksternalnya dengan bantuan pelaku-pelaku perubahan (Change Agents). Blake dan Mouto menyatakan PO sebagai sebuah metode sistematik, untuk mengintroduksi perubahan, yang didasarkan atas sebuah model struktural untuk berpikir, dan bergerak dalam suatu rangkaian langkah-langkah programatik, dan masih banyak lagi definisi-definisi yang lain.
c. Sasaran dan Tujuan Pengembangan Lembaga Sasaran dan tujuan demikian tergantung pada diagnosis kebutuhan-kebutuhan sesuatu organisasi, karena upaya pengembangan organisasi berkaitan dengan metode-metode merangsang perubahan yang terpusat pada klien. Menurut James L. Gibson, ada tiga sub sasaran pengembangan organisasi: 2. Perubahan Sikap 3. Modifikasi Perilaku 4. Menginduksi Perubahan Dalam Struktur dan Kebijakan62. Tujuan PO pada hakekatnya adalah untuk mengubah seluruh iklim organisatoris di mana para manajer bertugas. Sedangkan tujuan normatif PO adalah: 1.
Perbaikan dalam kompetensi antar pribadi
2.
Perubahan dalam sistem-sistem nilai demikian rupa, hingga faktorfaktor manusia dan perasaan-perasaan dapat dianggap sah;
3.
Pengembangan pemahaman antar kelompok dan intra kelompok guna mengurangi
ketegangan-ketegangan
(misalnya
kapasitas
kelompok-kelompok fungsional untuk bekerja efektif);
62
James L. Gibson, (et, al), Op.cit.
dari
61
4.
Pengembangan metode-metode lebih baik dalam hal penyelesaian konflik dibandingkan dengan metode-metode birokratik yang biasanya dilaksanakan;
5.
Pengembangan sebuah sistem organik dan bukan sebuah sistem mekanikal.
d. Teknik-teknik Pengembangan Lembaga Pada dasarnya, teknik-teknik pengembangan organisasi mencakup tindakan tindakan mempersatukan kelompok-kelompok atau pasanganpasangan
kelompok guna mempelajari interaksi mereka sendiri,
aktivitas-aktivitas mereka dan sentimen-sentimen serta hubunganhubungan mereka dengan efektivitas organisatoris.63 Para pengantar perubahan mempunyai banyak teknik dan pendekatan intervensi yang tersedia, di mana teknik-teknik ini diklasifikasikan menurut kelompok sasaran64. Berikut ini akan dibahas secara ringkas teknik-teknik yang digunakan untuk setiap kelompok sasaran. 1. Pengembangan Organisasi untuk perseorangan. Latihan Sensitifitas adalah teknik “PO” pertama dan cukup meluas penggunaannya. Dalam kelompok “latihan”, kira-kira sepuluh peserta diarahkan oleh seorang pemimpin yang terlatih untuk meningkatkan
sensitifitas dan
ketrampilan penanganan hubungan-hubungan antar pribadi. 2. Pengembangan Organisasi untuk dua atau tiga orang. Analisa transaksional memusatkan perhatiannya pada gaya dan isi komunikasi (transaksi atau berita) antara orang-orang. Ini mengajarkan orangorang untuk mengirim berita yang jelas dan bertanggung jawab serta memberikan tanggapan yang wajar dan beralasan. 63
Winardi, Op.cit., hlm. 216
62
3. Pengembangan Organisasi
untuk tim atau kelompok. Dalam
konsultasi proses, seorang konsultan bekerja dengan para anggota organisasi untuk membantu mereka memahami dinamika hubunganhubungan pekerjaan dalam berbagai situasi kelompok merubah caracara mereka bekerja sama dan mengembangkan berbagai ketrampilan diagnostik
dan
pemecahan
masalah
yang
dibutuhkan
untuk
hubungan-hubungan
antar
memecahkan masalah yang lebih efektif. 4. Pengembangan
Organisasi
untuk
kelompok. Untuk memungkinkan organisasi menilai kesehatannya sendiri dan untuk menetapkan rencana-rencana kegiatan bagi perbaikan, pertemuan
(rapat) konfrontasi dapat digunakan. Ini
merupakan pertemuan satu-hari yang diikuti semua manajer organisasi dimana mereka membahas berbagai masalah, menganalisa sebab-sebab yang mendasarinya, dan merencanakan kegiatan-kegiatan perbaikan. 5. Pengembangan Organisasi
untuk organisasi keseluruhan. Teknik
survai umpan balik dapat digunakan untuk memperbaiki oprasi-oprasi organisasi keseluruhan. Ini meliputi pengarahan sikap dan surveysurvey lainnya serta pelaporan hasil-hasil secara sistematik kepada para anggota organisasi. Para anggota kemudian menentukan kegiatankegiatan apa perlu diambil untuk memecahkan masalah dan memanfaatkan kesempatan yang tidak terliput dalam survai.
e. Proses Pengembangan Organisasi (Lembaga Pendidikan) Pengembangan
organisasi
merupakan
sebuah
pendekatan
situasional atau kontingensi, guna memperbaiki efektivitas sesuatu organisasi. 64
Teknik-teknik PO dapat digunakan untuk memperbaiki efektivitas perseorangan, hubungan pekerjaan antara dua atau tiga individu; pemfungsian kelompok-kelompok, hubungan antar kelompok; atau efektivitas organisasi secara keseluruhan. Ibid.
63
Walaupun orang dapat memanfaatkan aneka macam teknik, proses tersebut mencakup langkah-langkah seperti diperlihatkan pada gambar berikut. Sebuah model tentang proses pengembangan organisasi.
Pengembangan strategi perubahan
Diketahui adanya problem
Diagnosis organisai
feedback
intervensi
Pengukuran dan evaluasi
Pengembangan lembaga pendidikan pesantren menjadi suatu proses yang berkelanjutan – direncanakan, dan yang bersifat sistematik, kemudian dipusatkan pada perso’alan perubahan – yang bertujuan agar lembaga tersebut menjadi lebih efektif, dan tentunya pengembangan itu dengan tanpa menghilangkan ciri khasnya.
f. Berbagai Kondisi bagi Keberhasilan Pengembangan Lembaga Termasuk di dalam pengembangan adalah berbagai jenis perilaku manajerial seperti coaching, pelatihan, mentoring, dan konsultasi tentang karir yang dirancang untuk meningkatkan ketrampilan seseorang
64
dan
memudahkan
penyesuaian
terhadap
pekerjaannya
serta
65
pengembangan karirnya.
French dan Bell telah mengidentifikasikan sekumpulan kondisi yang diperlukan bagi sukses program pengembangan organisasi (lembaga), yang secara ringkas dapat diperinci sebagai berikut: 1.
Pengenalan oleh manajer puncak atau lainnya, bahwa organisasi mempunyai berbagai masalah
2.
Penggunaan ahli keperilakuan dari luar oraganisasi sebagai konsultan
3.
Dukungan dan keterlibatan para manajer tingkat atas
4.
Keterlibatan para pemimpin kelompok kerja
5.
Pencapaian suskses awal dengan usaha PO
6.
Pendidikan bagi para anggota organisasi tentang PO
7.
Pengahargaan terhadap kekuatan-kekuatan para manajer
8.
Keterlibatan para manajer departemen personalia
9.
Pengembangan sumber daya PO internal
10. Manajemen efektif program PO 11. Pengukuran hasil-hasil
65
Pengembangan biasanya dilakukan dengan seorang bawahan, namun ia dapat juga dilakukan dengan teman sejawat, kolega, atau kadang-kadang bahkan dengan atasannya. Pengembangan mempunyai sejumlah keuntungan potensial, termasuk persiapan orang-orang yang dibutuhkan untuk mengisi posisi-posisi manajerial, suatu perasaan puas dalam membantu orang lain untuk tumbuh dan berkembang, serta kepuasan bawahan yang makin bertambah dan komitmen terhadap organisasi. Lihat: Gary. A. Yukl, Kepemimpinan dalam Organisasi, Penterjemah: Jusuf Udaya, (Jakarta: Prenhallindo, 1994), hlm. 125.