BAB II PEMERINTAH KELURAHAN DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
A. Pemerintah Kelurahan dan Lembaga Pendidikan Islam 1. Pemerintah Kelurahan a. Pengertian Pemerintah Kelurahan Secara etimologi, Pemerintah Kelurahan merupakan gabungan dari dua kata, Pemerintah dan Kelurahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa Pemerintah merupakan sistem yang menjalankan wewenang dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya. 1 Sedangkan Kelurahan adalah perangkat daerah Kabupaten atau Kota yang berkedudukan di wilayah Kecamatan. 2 Secara terminologi Pemerintah Kelurahan merupakan satu kesatuan istilah yang mengandung arti bahwa Pemerintah Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat daerah Kota dalam wilayah kerja Kecamatan.3
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (J akarta: Balai Pustaka. 2001), h.667 2 Peraturan Pemerintah RI nomor 73 tahun 2005 pasal 3 ayat (1) tentang Kelurahan, (Bandung: Citra Ambara, 2007) 3 Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 5 Tahun 2010 tentang lembaga kemasyarakatan kelurahan, (Pekalongan Tahun 2010)
19
20
b. Organisasi Kelurahan 1) Susunan Organisasi Kelurahan Sebagaimana
dituliskan
dalam
Peraturan
Walikota
Pekalongan nomor 22 tahun 2011 tentang susunan organisasi Kelurahan terdiri dari: a) Lurah Lurah
adalah seorang yang
memimpin Kelurahan
yang dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Camat. b) Sekretaris Kelurahan Sekretaris Kelurahan adalah seorang yang memimpin Sekretariat Kelurahan yang berada di bawah dan bertanggung jawab terhadap Lurah c) Seksi Pemerintahan Seksi Pemerintahan dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Lurah d) Seksi Ketentraman, ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat. Seksi
Ketentraman,
Ketertiban
Umum
dan
Perlindungan Masyarakat dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Lurah
21
e) Seksi Pembangunan Masyarakat Seksi Pembangunan Masyarakat dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab terhadap Lurah f) Seksi Kesejahteraan Masyarakat Seksi Kesejahteraan Masyarakat dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab terhadap Lurah.4 g) Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok Jabatan fungsional dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior selaku ketua kelompok yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Lurah5
2) Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kelurahan a) Kedudukan a. Kelurahan berkedudukan sebagai perangkat daerah di wilayah kecamatan yang mempunyai wilayah kerja tertentu. b. Kelurahan dipimpin oleh Lurah yang berada di bawah Camat. c. Dalam melaksanakan tugasnya Lurah bertanggung jawab kepada Walikota melalui Camat.6
4
Peraturan Walikota Pekalongan nomor 22 tahun 2011 tentang susunan organisasi Kelurahan, (Pekalongan tahun 2011), h. 7. 5 Peraturan Daerah Kota Pekalongan nomor 8 tahun 2008 tentang Organisasi dan tata kerja Kecamatan dan Kelurahan Kota Pekalongan, (Pekalongan tahun 2008), h.10.
22
b) Tugas dan Fungsi 1) Lurah a) Tugas Lurah mempunyai tugas melaksanakan sebagian kewenangan pemerintah yang dilimpahkan oleh Walikota melalui Camat, sesuai karakteristik wilayah, kebutuhan daerah dan tugas pemerintahan lainnya berdasarkakn peraturan perundang-undangan. b) Fungsi Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat 2 kelurahan menyelenggarakan fungsi: 1. Perumusan kebijakan teknis pemerintahan Kelurahan 2. Pembinaan administrasi Pemerintahan Kelurahan 3. Pembinaan ketentraman dan ketertiban serta kemasyarakatan 4. Fasilitas dan koordinasi penyelenggaraan pembangunan dan pengembangan perekonomian masyarakat di wilayah kerjanya. 5. Fasilitasi dan koordinasi peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah kerjanya. 6. Pengelolaan administrasi umum meliputi penyusunan program, ketatalaksanaan, keuangan, kepegawaian, perjalanan dinas, perundang-undangan, perpustakaan, dokumentasi dan publikasi serta kearsipan.
6
Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 4 Tahun 2005 tentang pembentukan, kedudukan, tugas, fungsi dan susunan organisasi Kecamatan dan Kelurahan Kota Pekalongan, (Pekalongan tahun 2005), h. 8-9.
23
7. Pengkoordinasian, pengendalian, pengevaluasiaan dan pelaporan pelaksanaan kegiatan 8. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Walikota melalui Camat sesuai tugas dan fungsinya. 2) Sekretaris Kelurahan a) Tugas Sekretaris Kelurahan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pengelolaan ketatausahaan, rumah tangga, kepegawaian dan keuangan Kelurahan. b) Fungsi Untuk melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat 2 Sekretaris Kelurahan menyelenggarakan fungsi: 1.
Penyusunan program kerja pengelolaan administrasi umum.
2.
Pengelolaan administrasi surat menyurat dan urusan rumah tangga
3.
Pengumpulan,
pengolahan
dan
pelaporan
administrasi
kepegawaian 4.
Pengelolaan administrasi keuangan yang meliputi penyusunan anggaran, pembukuan, pertanggung jawaban dan laporan keuangan
5.
Pelaksanaan perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan barang inventaris serta perlengkapan kantor
6.
Penyelenggaraan pelayanan umum
7.
Pengawasan dan pengkoordinasian penyelenggaraan kegiatan di kantor Kelurahan
24
8.
Pelaksana kegiatan teknologi informasi
9.
Pengevaluasian dan pelaporan pelaksanaan kegiatan
10. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan tugas dan fungsinya. 3) Seksi Pemerintahan a) Tugas Seksi
Pemerintahan
mempunyai
tugas
melaksanakan
kegiatan
pemerintahan umum, administrasi kependudukan dan pertahanan di wilayah Kelurahan. b) Fungsi Untuk menjalankan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), Seksi Pemerintahan menyelenggarakan fungsi: 1.
Penyusunan rencana kerja dibidang Pemerintahan
2.
Penyelenggaraan pemerintahan umum, administrasi kependudukan, catatan sipil, transmigrasi dan pertahanan
3.
Penyelenggaraan pelayanan masyarakat
4.
Penyusunan laporan dibidang pemerintahan
5.
Pembinaan dan fasilitasi kegiatan lembaga kemasyarakatan
6.
Pengevaluasian dan pelaporan pelaksanaan kegiatan
7.
Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
25
4) Seksi Ketenteraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat a) Tugas Seksi Ketentraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat mempunyai tugas
melaksanakan dan mengkoordinasikan kegiatan
dibidang ketentraman, ketertiban dan perlindungan masyarakat di wilayah Kelurahan. b) Fungsi Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), Seksi Ketentraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat mempunyai fungsi: 1.
Penyusunan rencana kerja dibidang ketentraman, ketertiban, kebersihan dan perlindungan masyarakat
2.
Pembinaan
dan
fasilitasi
kegiatan
ketentraman,
ketertiban,
kebersihan, dan perlindungan masyarakat 3.
Pembinaan idiologi negara dan kesatuan bangsa
4.
Pelaknaan koordinasi dan pembinaan perlindungan masyarakat (LinMas)
5.
Pencegahan dan penanggulangan bencana alam dan pengungsi
6.
Pengkoordinasian dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit masyarakat (Pekat)
7.
Pengevaluasian dan pelaporan pelaksanaan kegiatan
8.
Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya.
26
5) Seksi Pembangunan Masyarakat a) Tugas Seksi Pembangunan Masyarakat mempunyai tugas melaksanakan kegiatan dibidang pembangunan, perekonomian, dan pemberdayaan masyarakat b) Fungsi Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), Seksi Pembangunan Masyarakat menyelenggarakan fungsi: 1. Penyusunan Pembinaan
rencana dan
kerja
fasilitasi
dibidang
Pembangunan
perekonomian,
Masyarakat
pembangunan
serta
pemberdayaan masyarakat 2. Pengkoordinasian pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan sarana prasarana fisik serta pemberdayaan masyarakat 3. Pengevaluasian dan pelaporan pelaksanaan kegiatan 4. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. 6) Seksi Kesejahteraan Masyarakat a) Tugas Seksi Kesejahteraan Masyarakat mempunyai tugas melaksanakan kegiatan dibidang sosial dan kesejahteraan masyarakat. b) Fungsi Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) Seksi Kesejahteraan Masyarakat mempunyai fungsi:
27
1. Penyusunan rencana kerja dibidang Kesejahteraan Masyarakat 2. Pembinaan dan fasilitasi kegiatan kepemudaan, peranan wanita, olah raga, kehidupan keagamaan, pendidikan, kebudayaan, kesejahteraan sosial dan kesehatan masyarakat 3. Pengevaluasian dan pelaporan pelaksanaan kegiatan 4. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. 7 7. Kelompok Jabatan Fungsional a) Tugas Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas kecamatan dan Kelurahan sesuai dengan keahliannya. 8 b) Fungsi Funggsi Kelompok Jabatan Fungsional sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 huruf g dan Pasal 19 huruf
g, berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. 9
7
Peraturan Walikota Pekalongan nomor 22 tahun 2011 tentang susunan organisasi Kelurahan, (Pekalongan tahun 2011), h. 7–10. 8 Peraturan Daerah Kota Pekalongan nomor 4 tahun 2005 tentang pembentukan, kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi Kecamatan dan Kelurahan Kota Pekalongan, (Pekalongan tahun 2005), h.10-11. 9 Peraturan Walikota Pekalongan nomor 22 tahun 2011 tentang susunan organisasi Kelurahan, (Pekalongan tahun 2011), h. 10.
28
Gambar I10 Struktur Organisasi Kelurahan
LURAH
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
SEKSI PEMERINTAHAN
SEKRETARIS KELURAHAN
SEKSI KETENTRAMAN, KETERTIBAN & LINMAS
SEKSI PEMBANGUNAN MASYARAKAT
SEKSI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
10
Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja Kecamatan dan Kelurahan Kota Pekalongan, (Pekalongan tahun 2008)
29
c. Tugas dan Tanggung Jawab Pemerintah Kelurahan dalam Meningkatkan Kualitas Lembaga Pendidikan Islam Usaha mencerdaskan anak bangsa merupakan tugas dan tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah kelurahan merupakan bentuk kepemerintahan terkecil dari pemerintah daerah, sehingga tugas dan tanggung jawab segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat dan lembaga yang ada di kelurahan menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah kelurahan. Begitu juga dalam proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam di kelurahan, menjadi wewenang dan kebijakan daerah yang langsung diberikan kepada pemerintah kelurahan untuk proses pengelolaannya. hal tersebut sebagai wujud pemerintahan yang hirarki. Wujud hirarki itu sendiri adalah kedudukan atau status seseorang dalam otoritas atau wewenang. Kedudukan atau status itu sendiri adalah posisi individu dalam kelompok. Oleh mengetahui
proses
perubahan
karena itu, pemerintah harus lingkungan
yang
mempengaruhi
pendidikan agama Islam, di antaranya: a. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi b. Perkembangan sosial budaya masyarakat c. Kebijakan pemerintah terhadap masyarakat d. Perubahan politik pemerintah e. Kebijakan dalam bidang ekonomi. 11
11
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 243-244
30
Hal di atas kemudian memunculkan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya lembaga pendidikan agama Islam. Di antara tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan kualitas agama Islam antara lain: pemerintah menyediakan bantuan mulai dari percetakan buku pelajaran. a. pembangunan sekolah, perpustakaan b. penyediaan fasilitas untuk pembangunan Pesantren, Madrasah dan Taman Pendidikan Quran (TPQ ) c. pengangkatan guru dan penggajian d. Pemerintah Kota menyediakan fasilitas
bagi
institusi yang
melakukan kursus-kursus keagamaan.12
2. Lembaga Pendidikan Islam a. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukan suatu usaha. Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa lembaga mengandung dua arti, antara lain pengertian secara fisik, material, konkrit dan pengertian secara non fisik, non materil dan abstrak.
12
2003), h.7
Kamrani Buseri, antologi pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: VC Press,
31
Sedangkan dalam kamus bahasa Inggris, sebagaimana dikutip Ramayulis lembaga berarti Institute (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Kemudian lembaga dalam pengertian non fisik atau abstrak adalah Institution, yakni suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga dengan bangunan dan lembaga dalam pengertian non fisik disebut dengan pranata. 13 Dalam mendefinisikan secara terminologi, Hasan Langgulung mengemukakan bahwa lembaga pendidikan adalah suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, yaitu suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik, yaitu kelompok manusia terdiri dari individu-individuu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut diantaranya masjid, sekolah, dan sebagainya. 14 Terdapat dua versi pengertian lembaga pendidikan Islam dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari segi fisik merupakan suatu badan dan sarana yang didalamnya ada beberapa orang yang menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek non fisik lembaga merupakan suatu sistem yang berperan membantu mencapai tujuan. 15
13
Ramayulis, Op.cit., h.216 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad 21 , (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2001), h. 12 15 Ramayulis,Op.cit, h.217 14
32
Definisi lain tentang lembaga pendidikan bisa diartikan dengan kelembagaan yang secara administratif maupun operatif spesifik menangani dan lebih besar perhatiannya terhadap upaya memajukan anak didik untuk memahami, menghayati dan mengamalkan Islam sebagai agama.16 Adapun lembaga pendidikan Islam secara terminologi dapat diartikan suatu bentuk wadah organisasi yang dapat digunakan atau berfungsi sebagai pengembangan kegiatan pendidikan Islam. 17 Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan Islam mencakup peraturan-peraturan baik yang tetap maupun yang berubah dalam bentuk non fisik, bangunan seperti masjid, kuttab, dan sekolah, dalam bentuk fisik, yakni sebagai tempat untuk melaksanakan peraturan-peraturan, sedangkan penanggung jawab dari pendidikan tersebut adalah suatu badan, organisasi, orangtua, yayasan, dan negara.18 Pendidikan Islam termasuk masalah sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Secara konsep lembaga sosial tersebut terdiri atas tiga bagian, antara lain: a) Organisasi Khusus, misalnya penjara, rumah sakit, dan sekolahsekolah
16
Kamrani Buseri, Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: UII Press,
2003), h. 3 17 18
A.Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam,(Malang: UIN Press, 2008), h. 201 Ramayulis, Op.cit, h. 219
33
b) Asosiasi, misalnya universitas, persatuan atau perkumpulan c) Pola tingkah laku yang menjadi kebiasaan atau pola hubungan sosial yang mempunyai hubungan tertentu.19 Berdasarkan uraian di atas, lembaga pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai badan usaha yang bergerak dan bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak didik. Adapun lembaga pendidikan Islam dapat diartikan sebagai suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan. Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam
adalah
suatu
bentuk
organisasi
yang
diadakan
untuk
mengembangkan lembaga-lembaga Islam dan mempunyai pola-pola tertentu dalam memerankan fungsinya, serta mempunyai struktur tersendiri yang dapat mengikat individu yang berada di bawah naungannya, sehingga ini mempunyai kekuatan hukum tersendiri. 20 Dari beberapa uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa lembaga pendidikan Islam mencakup peraturan-peraturan baik yang tetap maupun yang berubah dalam bentuk fisik bangunan seperti masjid, kuttab, sekolah maupun dalam bentuk non fisik, yakni sebagai tempat
untuk
melaksanakan
peraturan-peraturan.
Sedangkan
penanggung jawab dari pendidikan tersebut adalah suatu badan, organisasi, orang tua, yayasan dan negara.
19
Muhaimin dan Abd Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Triganda Karya, 2001) , h. 284-285 20 Ibid, h. 286
34
b. Jenis–jenis Lembaga Pendidikan Islam Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang jenisjenis lembaga pendidikan Islam, harus meninjau pada beberapa aspek di antaranya: 1) Lembaga pendidikan Islam ditinjau dari aspek azas ajaran Islam sebagai azasnya Dalam ajaran Islam, perbuatan disebut dengan amal yang telah melembaga dalam jiwa seorang muslim, baik amal yang berhubungan dengan Allah SWT maupun amal yang berhubungan dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan Mahmud Syaltut mengemukakan bahwa ajaran Islam mencakup aspek akidah, syari‟ah dan mu‟amalah yang dapat membimbing manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Islam telah menetapkan norma-norma dalam mengamalkan ajarannya. Sebagaimana yang dikutib oleh Ramayulis dalam bukunya Sidi Gazalba yang menyatakan bahwa jenis lembaga pendidikan Islam yang serba tetap dan tidak boleh berubah dan tidak mungkin berubah adalah sebagai berikut: 1. Rukun Iman adalah asal ajaran dan amal Islam 2. Ikrar keyakinan atau pengucapan dua kalimat syahadat, adalah lembaga pernyataan 3. Thaharah, lembaga penyucian 4. Shalat, lembaga utama agama
35
5.
Zakat, lembaga pemberian wajib
6.
Puasa, lembaga menahan diri
7.
Haji, lembaga kunjungan Baitullah
8.
Ihsan, lembaga memperbaiki.
9.
Ikhlas, yang menjadikan amal agama
10. Taqwa, lembaga menjaga hubungan Allah SWT 21 Adapun lembaga-lembaga yang dapat berubah, karena perubahan norma-norma adalah sebagai berikut: 1) Ijtihad, lembaga berfikir 2) Fiqih, lembaga putusan tentang hukum yang dilakukan dengan metode ijtihad 3) Lembaga Pergaulan Masyarakat (sosial) 4) Lembaga Ekonomi 5) Lembaga Politik 6) Lembaga Pengetahuan dan Teknik 7) Lembaga Seni 8) Lembaga Negara22 2) Lembaga pendidikan Islam ditinjau dari aspek penanggung jawab Tanggung jawab kependidikan merupakan suatu tugas wajib yang harus dilaksanakan, karena tugas ini satu dari beberapa instrumen masyarakat dan bangsa dalam upaya pengembangan manusia sebagai khalifah dibumi. Tanggung jawab ini dapat 21 22
Ramayulis, Loc. cit, h. 219 Ibid, h . 220
36
dilaksanakan secara individu maupun kolektif. Secara individu dilaksanakan oleh orang tua dan kolektif
kerja sama seluruh
anggota keluarga, masyarakat dan pemerintah. Tanggung jawab kependidikan tidak dapat dilimpahkan sepenuhnya kepada pihak lain. Seperti sekolah dan lembaga kependidikan yang lain. Sebagaimana pendapat Al- Qabisy yang dikutip oleh Al-Jumbulati, pemerintah dan orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan anak baik
berupa bimbingan,
pengajaran secara menyeluruh, yang masing-masing sesuai dengan fungsinya dalam melaksanakan kewajiban mendidik atau mengajar anak mereka secara keseluruhan. 23 Konsep ini berimplikasi secara tidak langsung dalam melahirkan
jenis-jenis
lembaga
pendidikan
sesuai
dengan
penanggung jawabnya. Jika penanggung jawabnya orang tua maka merupakan jenis lembaga pendidikan keluarga. Jika penanggung jawabnya adalah pemerintah maka jenis lembaga pendidikan yang dilahirkan ada beberapa macam seperti sekolah,
lembaga
pemasyarakatan. Jika penanggung jawabnya adalah masyarakat maka lembaga pendidikan yang dimunculkan seperti panti asuhan, panti jompo dan sebagainya. 24
23
Ali Al- Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2001),
h. 106 24
Ramayulis. Loc. Cit. h. 220
37
3) Lembaga Pendidikan Islam Ditinjau dari Aspek Tempat dan Waktu. Lembaga pendidikan Islam dari tahun ketahun mengalami perkembangan sarana dan tempat pelaksanaan. Pendidikan pertama kali dilaksanakan pada masa rasulullah bertempat di rumah-rumah atau keluarga. Baru pada masa hijrahnya nabi ke Madinah lembaga pendidikan Islam berada di masjid-masjid. Setelah itu, di bentuk Kuttāb atau lembaga pendidikan Islam. Kuttāb ini sebagai lembaga pendidikan untuk mengajarkan menulis, membaca Al-Qur‟an, dan pokok-pokok ajaran Islam. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa wujud lembaga-lembaga pendidikan Islam di antaranya: a)
Masjid (surau, langgar, mushola)
b) Madrasah Diniyah, TPQ dan pondok pesantren, yang pada zaman dahulu lebih sering disebut dengan Kuttāb c)
Pengajian dan Penerangan Islam (Majlis Ta‟lim )
d) Kursus-kursus ke-Islaman e)
Badan-badan pembinaan rohani (Biro Konsultasi keagamaan), dan
f)
25
Musābaqah Tilāwah Qur’ān25
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Kajian Filosofis dan kerangka dasar operasionalnya), h. 289
38
Dari beberapa pendidikan Islam tersebut dalam bahasan ini penulis memilih lembaga pendidikan Islam yang akan menjadi obyek penelitian yaitu sekolah dasar Islam (MI), TPQ, dan Pondok Pesantren. c. Prinsip Lembaga Pendidikan Islam Bentuk lembaga pendidikan Islam apapun dalam Islam harus berpijak
pada
prinsip-prinsip
tertentu
yang
telah
disepakati
sebelumnya, sehingga antara lembaga satu dengan lembaga lainnya tidak
terjadi
semacam
tumpang
tindih
pada
prinsip-prinsip
pembentukan lembaga pendidikan Islam itu adalah: a) Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia dari api neraka. (Q.S.At-Tahrim: 6)
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia
39
perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.26. b) Prinsip pembinaan umat manusia menjadi hamba-hamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia dunia dan akhirat, sebagai realisasi cita-cita bagi orang yang beriman dan bertaqwa, yang senantiasa memanjatkan doa sehari-hari. c) Prinsip pembentukan pribadi manusia yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling mengembangkan hidupnya untuk menghambakan diri pada khaliknya. Keyakinan dan keimanannya sebagai penyuluh terhadap akal budi yang sekaligus mendasari ilmu pengetahuannya bukan sebaliknya, keimanan dikendalikan oleh akal budi. (Q.S Al-Mujadalah: 11)
26
Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahan (Surabaya: CV. Karya Utama, 2005), h. 820
40
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,”maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.27 d) Prinsip amar ma’rûf dan nahi munkar dan membebaskan manusia dari belenggu kenistaan. (Q.S. Al- Imron: 104)
Artinya: Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikkan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.28 Q.S. Al- Imron: 110
27 28
Ibid., h.793 Ibid., h. 79
41
Artinya: Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf , dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.29 e) Prinsip pengembangan daya pikir, daya nalar, daya rasa, sehingga dapat menciptakan anak didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya cipta, rasa dan karsanya. 30 Berdasarkan beberapa prinsip di atas, lembaga pendidikan Islam juga harus mampu menghadapi tantangan transformasi sosial budaya yang ada di masyarakat. Hal ini mutlak harus dilaksanakan agar prinsip-prinsip sebuah lembaga pendidikan Islam tetap terjaga. Beberapa fenomena perubahan sosial dan budaya yang berkembang saat ini diantaranya adalah terjadinya perubahan konsep utama dalam pemikiran islam, yaitu konsep westerenisasi (Al-Fikrah
29
Ibid., h. 80 Abdul Majid dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h. 223-224 30
42
Al-Taghrībī). Konsep moderenisasi (Al-Fikrah At-Tajaddûdi), konsep reformis (Al-Fikrah At-Tajdīdī).31 Fenomena-fenomena sosial tersebut menjadikan tantangantantangan bagi lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan Islam. Bentuk tantangan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam saat ini meliputi bidang-bidang berikut: politik, kebudayaan,
ilmu-ilmu
pengetahuan dan teknologi,
ekonomi,
masyarakat dan perubahan sosial, dan sistem nilai. 32 tantangan-tantangan
lembaga
pendidikan Islam tersebut
mengandung implikasi bahwa lembaga pendidikan Islam mempunyai peran ganda yakni sebagai pewarisan budaya (agen of consertave). Berperan sebagai pewaris budaya melalui pendidikan sistem nilai dan kepercayaan, pengetauan dan norma-norma serta adat kebiasaan dan berbagai perilaku tradisional yang telah membudaya di wariskan pada suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan cara ini, kebudayaan dapat dilestarikan, meskipun warga suatu masyarakat berganti-ganti, sedangkan kebudayaan dan sistem sosialnnya tetap berlaku. Di pihak lain, lembaga pendidikan berperan sebagai agen of change, yaitu adanya upaya untuk membuang unsur budaya lama yang dipandang tidak cocok lagi dan perlunya memasukkan unsur budaya baru. Tegasnya, lembaga pendidikan merupakan tempat sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang telah membudaya. Karena itu, penetapan 31 32
40-43
Ibid, h. 251-252 H. Muzzayin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2003), h.
43
kurikulum lembaga pendidikan dan tujuannya didasarkan atas nilainilai pengetahuan serta aspirasi dan pandangan hidup yang berlaku dan dihormati di masyarakat.33
d. Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan Islam Sebagaimana
pendapat
ahli
filsafat,
antropologi
dan
fenomenologi bernama Langeveld yang dikutip oleh Abdul Mujib dan Yusuf Mudakir menyatakan bahwa yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan adalah: a. Lembaga keluarga yang mempunyai wewenang bersifat kodrati. b. Lembaga negara yang mempunyai wewenang berdasarkan undangundang c. Lembaga swasta yang mempunyai wewenang berasal dari amanat tuhan. Sebaliknya, sebagaimana pendapat Ki Hajar Dewantara (RM. Soewardi Soerjaningrat) yang dikutip Oleh Abdul Mujib dan Yusuf Mudakir memfokuskan penyelenggaraan lembaga pendidikan dengan tri centra yang merupakan tempat pergaulan anak didik dan sebagai pendidikan amat penting baginya, tri centra itu adalah:
33
a.
Alam keluarga yang membentuk lembaga pendidikan keluarga
b.
Alam perguruan yang membentuk lembaga pendidikan sekolah
c.
Alam pemuda yang membentuk lembaga pendidikan masyarakat.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudakir. Loc. Cit, h.253
44
Sementara itu sebagaimana dalam buku Sidi Gazalba 34 yang dikutip Abdul Mujib, yang berkewajiban menyelenggarakan lembaga pendidikan adalah: a. Rumah tangga, yaitu pendidikan primer untuk fase bayi dan fase kanak-kanak sampai usia sekolah. Pendidiknya adalah orang tua, sanak kerabat, famili, saudara, temen sepermainan, dan kenalan pergaulan. b. Sekolah, yaitu pendidikan sekunder yang mendidik anak mulai dari usia masuk sekolah sampai dia keluar dari sekolah tersebut, pendidiknya adalah guru yang profesional. c. Kesatuan
sosial,
yaitu
pendidikan
tersier
yang
merupakan
pendidikan yang terakhhir tapi bersifat permanen. Pendidiknya adalah kebudayaan, adat istiadat dan suasana masyarakat setempat. 35 Berdasarkan uraian teori tentang lembaga pendidikan di atas, dalam Islampun menggunakan pendapat-pendapat sama dengan diatas. Namun di atas kurang lengkap dan perlu juga ditambahi dengan beberapa pernyataan bahwa Islam mengajarkan seseorang muslim untuk mencari ilmu secara individual karena ilmu merupakan syarat mutlak bagi kehidupan muslim sejati, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-quran surat At-Taubah: 122 yang berbunyi:
34
Sidi Ghazalba, Pendidikan Umat Islam: Madrasah Terbesar Kurun Kini Menentukan Nasib Umat, (Jakarta: Bhratara, 2002), h. 26-27 35 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, h. 224-225
45
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.36 Islam juga mengajarkan untuk amar ma’ruf (tindakan proaktif) dan nahi munkar (tindakan reaktif) terhadap lingkungan sekitarnya. Ajaran ini berimplikasi bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama, yang mencakup tanggung jawab keluarga melalui pendidikan keluarga, tanggung jawab pemerintah melalui pendidikan formal lingkungan sekolah, dan tanggung jawab masyarakat melalui pendidikan swasta.
B. Teori-teori Kebijakan Pemerintah 1) Teori-teori Perumusan Kebijakan a) Teori Rasional Komprehensif teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik sebagai
36
maximum social gain, yang berarti pemerintah sebagai
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: CV. Karya Utama, 2005), h.277
46
pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Teori ini mengatakan bahwa formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Dengan kata lain, teori ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis. Cara-cara formulasi kebijakan disusun dalam urutan: 1.
Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya
2.
Menemukan pilihan-pilihan
3.
Menilai konsekuensi masing-masing pilihan
4.
Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan
5.
Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien Apabila dirunut, kebijakan ini merupakan teori ideal dalam
formulasi kebijakan, dalam arti mencapai tingkata efisiensi dan efektivitas kebijakan. Studi-studi kebijakan biasanya memberikan fokus pada tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Namun
demikian,
kebijakan
ini
mempunyai
beberapa
kelemahan pokok, yakni pertama konsep maximum social gain berbedabeda di antara kelompok kepentingan. Kedua, sangat sulit dicapai kebijakan yang maximum social again mengingat patologi birokrasi yang cenderung melayani diri sendiri daripada melayani publik. Kenyataan ini sulit diingkari mengingat pegawai negeri adalah institusi
47
yang
kurang
memberikan
insentif
yang
memadai,
sehingga
menciptakan kecenderungan korupsi, termasuk mengorupsi kebijakan publik. Unsur-unsur utama dari teori rasional komprehensif dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain 2) Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang mempedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya 3) Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara seksama 4) Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditimbulkan oleh setiap alternatif yang dipilih diteliti 5) Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya, dapat diperbandingkan dengan alternatif-alternatif lainnya 6) Pembuat keputusan akan memilih alternatif, dan akibat-akibatnya yang dapat memaksimalkan tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan b) Teori Inkremental
48
Teori ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Teori ini dapat dikatakan sebagai teori pragmatis atau teori praktis. Pendekatan ini diambil ketika mengambil kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi, dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Pengambil
kebijakan
dihadapkan pada ketidakpastian yang muncul disekelilingnya. Pilihan adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan beberapa modifikasi seperlunya. Pilihan ini biasanya dilakukan oleh pemerintahan yang berada di lingkungan masyarakat yang pluralistik, yang membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang dapat memuaskan seluruh warga. Inti
kebijakan
mempertahankan
komitmen
inkrementalisme kebijakan
mempertahankan kinerja yang telah dicapai.
di
adalah masa
berusaha lalu
untuk
37
Pokok-pokok teori inkremental ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang diperlukan untuk mencapainya dipandang sebagai sesuatu hal yang saling terkait daripada sebagai sesuatu hal yang saling terpisah 2) Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah, dan
37
H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 195-199
49
alternatif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental atau marginal bila dibandingkan dengan kebijkan yang ada sekarang 3) Bagi tiap alternatif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja yang dapat dievaluasikan 4) Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan diredifinisikan secara
teratur.
Pandangan
inkrementalisme
memberikan
kemungkinan untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta sarana dan tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi 5) Bahwa tidak ada keputusan atau cara pemecahan yang tepat bagi tiap masalah. Batu uji bagi keputusan yang baik terletak pada keyakinan bahwa berbagai analisis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu, meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling tepat sebagai sarana untuk mencapai tujuan 6) Pembuatan keputusan yang inkremental pada hakikatnya bersifat perbaikan-perbaikan kecil dan hal ini lebih diarahkan untuk memperbaiki ketidaksempurnaan dari upaya-upaya konkrit dalam mengatasi masalah sosial yang ada sekarang dari pada sebagai upaya untuk menyodorkan tujuan-tujuan sosial yang sama sekali baru dimasa yang akan datang.38 c) Teori pengamatan terpadu
38
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 18-23
50
Teori ini merupakan upaya menggabungkan antara teori rasional dengan teori inkremental.
Inisiatornya adalah pakar
sosiologi
organisasi, Amitai Etzioni tahun 1967. Ia memperkenalkan teori ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan pokok, dan menjalankannya setelah keputusan itu tercapai. 39 Sebagaimana yang ditulis oleh Solichin Abdul Wahab dalam buku analisis kebijaksanaan, Etzioni menyodorkan konsepsi Mixed Scaning (pengamatan terpadu) sebagai suatu pendekatan untuk mengambil keputusan, yang memperhitungkan baik keputusankeputusan yang bersifat fundamental maupun keputusan-keputusan yang bersifat inkremental dan memberikan urutan teratas bagi proses pembuatan kebijaksanaan fundamental yang memberikan arahan dasar dan ... proses-proses pembuatan kebijaksanaan inkremental yang melapangkan jalan bagi keputusan-keputusan fundamental sesudah keputusan-keputusan ini tercapai. 40 2) Teori-teori Implementasi Kebijakan Studi Implementasi kebijakan akan mati jika dipahami sebagai sesuatu yang kaku berada dalam domain ilmu administrasi negara, dan paling jauh ilmu politik. Masuknya pengaruh berbagai cabang ilmu 39 40
H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, op.cit., h. 199-200 Solichin Abdul Wahab, op.cit., h. 24
51
pengetahuan memang membawa implikasi praktikalitas. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat beberapa teori implementasi kebijakan sebagai berikut: a) Teori Van Meter dan Van Horn Teori pertama adalah teori klasik,
yakni teori yang
diperkenalkan oleh duet Donald Van Meter dengan Carl Van Horn (1975). Teori ini mengandaikan bahwa
implementasi
kebijakan
berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel: 1) Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi 2) Karakteristik dari agen pelaksana atau implementor 3) Kondisi ekonomi, sosial dan politik 4) Kecenderungan dari pelaksana atau implementor b) Teori Mazmanian dan Sabatier Teori kedua adalah teori yang dikembangkan oleh
Daniel
Mazmanian dan Paul.A. Sabatier (1983) bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Teori ini disebut sebagai teori kerangka analisis Implementasi. Duet Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel yaitu:
52
1. Variabel Independen Variabel Independen yaitu mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan.41 a. Mudah atau tidaknya masalah dikendalikan Terlepas
dari
kenyataan
bahwa
banyak
sekali
kesukaran-kesukaran yang dijumpai dalam implementasi program-program pemerintah,
sebenarnya
ada
sejumlah
masalah-masalah sosial yang jauh lebih mudah untuk ditangani bila dibandingkan dengan masalah lainnya. b. Kesukaran-kesukaran teknis Tercapai atau tidaknya tujuan suatu program akan tergantung pada sejumlah persyaratan teknis, termasuk di antaranya kemampuan untuk mengembangkan indikatorindikator pengukur prestasi kerja yang tidak terlalu mahal serta pemahaman mengenai prinsip-prinsip hubungan kausal yang mempengaruhi masalah. c. Keragaman Perilaku yang akan Diatur Semakin beragam perilaku yang diatur atau semakin beragam pelayanan yang diberikan, semakin sulit upaya untuk membuat peraturan yang tegas dan jelas, dan dengan demikian semakin besar kebebasan bertindak yang harus diberikan
41
H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 213-216
53
kepada
para
pejabat
di
lapangan.
Mengingat
adanya
kemungkinan perbedaan komitmen para pejabat lapangan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan, maka pemberian kebebasan bertindak tersebut
kemungkinan
akan
menimbulkan
perbedaan-
perbedaan yang cukup mendasar dalam tingkat keberhasilan pelaksanaan program.
d. Prosentase Totalitas Penduduk yang Tercakup dalam Kelompok Sasaran Secara umum dapat dikatakan di sini, bahwa semakin kecil dan semakin jelas (dapat dibedakan dari kelompok lain), kelompok sasaran yang perilakunya akan diubah, maka semakin besar pula peluang untuk memobilisasikan dukungan politik terhadap program dan dengan demikian akan lebih terbuka peluang bagi pencapaian tujuan kebijakan. e. Tingkat dan Ruang Lingkup Perubahan Perilaku yang dikehendaki Jumlah modifikasi perliaku yang diinginkan bagi tercapainya tujuan formal atau tujuan undang-undang adalah
54
fungsi dari jumlah total orang yang menjadi kelompok sasaran dan jumlah perubahan yang dituntut dari mereka. 2. Variabel Interverning Variabel Interverning
yaitu kemampuan keputusan untuk
menstrukturkan secara tepat proses implementasinya a. Kemampuan Kebijakan Menstruktur Proses Implementasi Pada prinsipnya, setiap undang-undang, keputusan Mahkamah/pengadilan menstrukturkan
atau
proses
perintah
implementasi
eksekutif ini
dengan
dapat cara
menjabarkan tujuan-tujuan formal yang akan dicapainya, dengan cara menseleksi lembaga-lembaga yang tepat untuk mengimplementasikannya,
dengan
cara
memberikan
kewenangan dan dukungan sumber-sumber finansial pada lembaga-lembaga
tersebut,
dengan
cara
mempengaruhi
orientasi kebijakan dari pada pejabat pemerintah, dan dengan cara memberikan kesempatan berpartisipasi bagi pihak swasta atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam proses implementasi itu. Dengan demikian, nampak bahwa para pembuat kebijakan sebenarnya dapat memainkan peran yang cukup berarti dalam rangka pencapaian tujuan kebijakan dengan cara mendayagunakan wewenang yang mereka miliki untuk menstrukturkan proses implementasi secara tepat.
55
b. Kecermatan dan Kejelasan Penjenjangan Tujuan-tujuan Resmi yang akan Dicapai Tujuan-tujuan resmi yang dirumuskan dengan cermat dan disusun secara jelas sesuai dengan urutan kepentingannya memainkan peranan yang amat penting sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program, sebagai pedoman yang konkrit bagi pejabat-pejabat pelaksana dan sebagai sumber dukungan bagi tujuan itu sendiri. Dengan pendek kata, bahwa semakin mampu suatu peraturan memberikan petunujuk-petunjuk yang cermat dan disusun menurut urutan kepentingannya bagi para pejabat pelaksana dan aktor-aktor lainnya, semakin besar pula kemungkinan bahwa output kebijakan dari badan-badan pelaksana, dan pada gilirannya perilaku kelompok-kelompok sasaran, akan sejalan dengan petunjuk-petunjuk tersebut. c. Keterandalan Teori Kausalitas yang Dipergunakan Suatu teori kausal yang baik mempersyaratkan: 1) Bahwa hubungan-hubungan timbal balik antara campur tangan pemerintah disatu pihak dan tercapainya tujuantujuan program dapat dipahami dengan jelas 2) Bahwa para pejabat yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan program mempunyai kewenangan yang cukup atas sejumlah matarantai hubungan yang penting guna mengusahakan tercapainya tujuan
56
d. Ketepatan Alokasi Sumber-sumber Dana Dana tidak dapat disangkal merupakan salah satu faktor penentu dalam program pelayanan masyarakat apapun. Dalam program-program regulatif, dana juga diperlukan untuk menggaji atau menyewa tenaga personalia dan untuk memungkinkan
dilakukannya
analisis
teknis
yang
diperlakukan untuk membuat peraturan atau regulasi tersebut, mengadministrasikan program perizinan dan memonitor pelaksanaannya. Secara umum, tersedianya dana pada tingkat batas ambang tertentu amat diperlukan agar terbuka peluang untuk mencapai tujuan-tujuan formal, dan tersedianya dana di atas tingkat batas ambang ini akan sebanding dengan peluang tercapainya tujuan-tujuan tersebut. e. Keterpaduan Hierarki di dalam Lingkungan dan Di Antara Lembaga-lembaga atau Instansi-instansi Pelaksana Tingkat keterpaduan hierarki di antara badan-badan pelaksana tersebut sedikit banyak akan dipengaruhi oleh: 1) Jumlah titik-titik veto atau pihak-pihak yang dapat membatalkan keputusan yang terdapat dalam usaha pencapaian tujuan formal 2) Seberapa jauh para pendukung bagi tercapainya tujuan memiliki cukup pengaruh dan wewenang memberikan
57
sanksi guna tumbuhnya kepatuhan di kalangan mereka yang memiliki potensi untuk memveto f. Aturan-aturan Pembuatan Keputusan dari Badan-badan Pelaksana Selain dapat memberikan kejelasan dan konsistensi tujuan, memperkecil jumlah titik-titik veto, dan insentif yang memadai bagi kepatuhan kelompok-kelompok sasaran, suatu undang-undang masih dapat mempengaruhi lebih lanjut proses implementasi dengan cara menggariskan secara formal aturanaturan pembuatan keputusan dari badan-badan pelaksana. g. Kesepakatan
Para
Pejabat
terhadap
Tujuan
yang
Termaktub dalam Undang-undang atau Peraturan Ada prinsipnya ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh pembuat undang-undang atau peraturan untuk menjamin bahwa para pejabat pelaksana memiliki kesepakatan yang disyaratkan demi tercapainya tujuan. Tanggung jawab untuk implementasi dapat ditugaskan pada badan-badan orientasi h. Akses Formal Pihak-pihak Luar Faktor lain yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan
ialah sejauh mana peluang-peluang untuk
berpartisipasi terbuka bagi para aktor di luar badan-badan pelaksana mempengaruhi para pendukung tujuan resmi.
58
Undang-undang,
selain
dapat
mempengaruhi
proses
implementasi melalui pemilihan badan-badan pelaksana yang tepat, ia dapat pula mempengaruhi partisipasi dua kelompok aktor di luar badan-badan pelaksana tersebut, yaitu: 1) Calon-calon penerima manfaat
dan atau kelompok-
kelompok sasaran program 2) Badan-badan
legislatif,
eksekutif,
yudikatif
yang
merupakan atasan-atasan dari badan-badan pelaksana itu 3. Variabel Dependen Variabel Dependen yaitu pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut. a. Variabel-variabel
di
Luar
Undang-undang
(Non
Statutory/Non Legal Variables) yang Mempengaruhi Implementasi Implementasi
sebenarnya
mempunyai
dinamika
sendirri yang didorong oleh sekurang-kurangnya dua proses penting: 1) Kebutuhan setiap program yang berusaha untuk mengubah perilaku untuk menerima sentuhan-sentuhan dukungan politik yang teratur kalau memang menghendaki dapat mengatasi hambatan yang timbul dalam upayanya untuk
59
memperoleh kerjasama dari sejumlah besar orang, yang banyak
diantaranya
mungkin
menganggap
bahwa
kepentingan mereka akan dirugikan kalau implementasi tujuan kebijakan itu berhasil. 2) Dampak perubahan-perubahan keadaan sosio-ekonomis dan teknologis pada diri mereka yang menjadi pendukungpendukung tujuan kebijakan, baik dari kalangan masyarakat pada umumnya, kelompok-kelompok kepentingan maupun instansi-instansi atasan dari badan-badan pelaksana itu sendiri. b. Kondisi-kondisi Sosio-Ekonomi dan Teknologi Perbedaan-perbedaan waktu dan perbedaan-perbadaan di antara wilayah-wilayah hukum pemerintahan dalam hal kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan teknologi berpengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan yang digariskan dalam suatu undang-undang. Sekurang-kurangnya ada empat kemungkinan dimana
perbedaan-perbedaan
kondisi
semacam
itu
di
antaranya: 1) Perbedaan-perbedaan
kondisi
sosio-ekonomi
dapat
mempengaruhi persepsi mengenai kadar pentingnya masalah yang ditanggulangi oleh suatu undang-undang. 2) Keberhasilan implementasi mungkin akan lebih sulit dicapai mengingat
Perbedaan-perbedaan kondisi sosio-
60
ekonomi setempat dan sebagai telah disinggung diatas, tingkat
keseriusan masalah yang sedang dihadapi.
Perbedaan-perbedaan kondisi sosio-ekonomis tersebut akan menimbulkan desakan-desakan untuk membuat aturan-aturan
yang
keleluasaan
untuk
luwes
dan
melakukan
yang
memberikan
tindakan-tindakan
administrasi tertentu pada satuan-satuan organisasi lokal. 3) Dukungan terhadap peraturan yang bermaksud untuk melindungi lingkungan atau konsumen atau keselamatan kerja nampaknya berkorelasi dengan sumber-sumber keuangan dari kelompok sasaran dan kelompok-kelompok lain yang memiliki posisi strategis dalam sektor ekonomi secara keseluruhan. 4) Dalam hal kebijakan-kebijakan yang jelas terkait langsung dengan teknologi adanya perubahan-perubahan tertentu, atau tidak adanya perubahan-perubahan dalam teknologi yang ada sekarang jelas merupakan faktor penghambat baagi efektivitas implementasinya. c. Dukungan Publik Pada sistem politik yang relatif demokratis, khalayak dapat pula mempengaruhi proses implementasi melalui sekurang-kurangnya tiga cara berikut:
61
1) Pendapat umum (dan interaksinya dengan media massa) dapat mempengaruhi agenda politik, misalnya isu-isu yang harus dibicarakan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 2) Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (paling tidak di negara demokratis, yang menggunakan sistem distrik dalam pemilihan umumnya, pen.) dipengaruhi oleh opini masyarakat di daerah pemilihannya atas isu-isu yang dianggap menonjol bagi masyarakat di daerah tersebut, khususnya jika opinni di lingkungan distrik itu relatif seragam. 3) Pemungutan perndapat umum (public opinion polls) seringkali dimanfaatkan oleh para administrator dan pejabat-pejabat
atasan
mereka
untuk
mendukung
kebijakan tertentu. d. Sikap dan Sumber-sumber yang dimiliki Kelompokkelompok Masyarakat Kelompok-kelompok masyarakat berintereaksi dengan variabel-variabel lain melalui sejumlah cara tertentu antara lain:
62
1) Keanggotaan dan sumber-sumber keuangan mereka cenderung berbeda-beda sesuai dengan dukungan publik bagi posisi mereka dan lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki oleh tujuan undang-undang. 2) Kelompok-kelompok masyarakat dapat secara langsung mempengaruhi
keputusan-keputusan
badan-badan
pelaksana melalui pemberian komentar atas keputusankeputusan yang bersangkutan dan melalui sumbangan mereka berupa sumber-sumber yang diberikan pada badan-badan tersebut. 3) Kelompok-kelompok
tersebut
kemungkinan
mampu
mempengaruhi kebijakan badan-badan tersebut secara tidak langsung, yaitu melalui publikasi atau penerbitan hasil penelitian yang kritis mengenai prestasi kerja badanbadan tersebut, atau melalui pengumpulan
pendapat
umum, dan melalui himbauan yang mereka sampaikan pada
badan-badan
legislatif
dan
yudikatif
yang
berwenang. e. Dukungan dari Badan-badan atau Lembaga-lembaga Atasan yang Berwewenang
63
Lembaga-lembaga atasan dari badan-badan pelaksana dapat memberikan dukungan terhadap tujuan-tujuan undangundang melalui: 1) Jumlah dan arah pengawasan 2) Penyediaan sumber-sumber keuangan 3) Banyaknya tugas-tugas baru (sesudah tugas-tugas yang termuat dalam undang-undang yang telah ada) dan saling pertentangan di antara tugas-tugas tersebut. Salah satu kesulitan terbesar dalam implementasi program-program antar lembaga pemerintahan ialah bahwa badan-badan pelaksana bertanggung jawab pada lembagalembaga atasan yang berlainan yang masing-masing, ingin melaksanakan kebijakan yang berlainan pula. f. Kesepakatan
dan
Kemampuan
Kepmimpinan
Para
Pejabat Pelaksana Variabel yang paling berpengaruh langsung terhadap output kebijakan badan-badan pelaksana ialah kesepakatan para pejabat badan pelaksana terhadap upaya mewujudkan tujuan undang-undang. Hal ini sedikitnya terdiri dari dua komponen: 1) Arah dan rangking tujuan-tujuan tersebut dalam skala prioritas pejabat-pejabat tersebut
64
2) Kemampuan pejabat-pejabat tersebut dalam mewujudkan prioritas-prioritas tersebut, yakni kemampuan mereka untuk menjangkau apa yang dalam keadaan normal dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia. Pentingnya persoalan sikap dan kemampauan ini, tentunya saja, tergantung pada luas tidaknya kebebasan bertindak yang dimiliki para administrator.42
c) Teori Hoodwood dan Gun Model mereka ini kerapkali oleh para ahli disebut sebagai “the top down approach”. Menurut Hoodwood dan Gun, untuk dapat mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna maka diperlukan beberapa syarat sebagai berikut: 1.
Kondisi
Eksternal
yang
dihadapi
oleh
badan/Instansi
Pelaksana Tidak akan Menimbulkan Gangguan/ Kendala yang Serius Beberapa kendala atau hambatan pada saat implementasi kebijakan sering kali berada di luar kendali para Administrator, ebab hambatan-hambatan itu memang di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana. Hambatan-hambatan 42
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan dari Kebijaksanaan Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 83-100
Formulasi
ke Implementasi
65
tersebut
di
antaranya
mungkin
bersifat
fisik,
adapula
kemungkinan hambatan-hambatanitu bersifat politis, dalam artian bahwa baik kebijakan maupun tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakannya tidak diterima atau tidak disepakati oleh berbagai pihak yang kepentingannya terkait yang memiliki kekuasaan untuk membatalkannya. Kendala-kendala seperti ini cukup jelas dan mendasar sifatnya, sehingga sedikit sekali yang bisa diperbuat oleh para administrator guna mengatasinya. Dalam hal ini yang mungkin dapat dilakukan para administrator ialah mengingatkan bahwa kemungkinan-kemungkinan semacam itu perlu dipikirkan matang-matang sewaktu merumuskan kebijakan. 2.
Untuk Pelaksanaan Program Tersedia Waktu dan SumberSumber yang Cukup Memadai Kebijakan yang memiliki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Alasan yang bisa dikemukakan adalah terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek. Alasan lainnya adalah bahwa para politisi kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun
kurang
peduli
dengan
penyediaan
sarana
untuk
mencapainya, sehingga tindakan–tindakan pembatasan atau pemotongan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karenan sumber-sumber yang tidak memadai.
66
3.
Perpaduan Sumber-sumber yang Diperlukan Benar-benar Tersedia Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua di atas, dalam artian bahwa di satu pihak harus dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, pada setiap tahapan proses implementasinya perpaduan di antara sumber-sumber tersebut harus benar-benar dapat disediakan.
4.
Kebijakan yang akan Diimplementasikan Didasari oleh Suatu Hubungan Kausalitas yang Andal Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan lantaran ia telah diimplementasikan sembrono atau asal-asalan, melainkan karena kebijakan itu sendiri memang berengsek. Penyebab dari kesemua ini, kalau mau dicari tidak lain karena kebijakan itu telah didasari oleh tingkat pemahaman yang tidak memadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi. Sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahannya, atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang itu.
67
5.
Hubungan Kausalitas Bersifat Langsung dan Hanya Sedikit Mata Rantai Penghubungnya Pada kebanyakan program pemerintah sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan jauh lebih kompleks daripada sekedar berupa:
jika
X dilakukan, maka terjadi Y dan mata rantai
hubungan kausalitasnya hanya sekedar jika X, maka terjadi Y, dan jika Y terjadi maka akan terjadi Z. Dengan perkataan lain, semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko bahwa beberapa di antaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik. 6.
Hubungan Saling Ketergantungan Harus Kecil Implementasi yang sempurna menuntut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat Badan Pelaksana Tunggal, yang untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada badan-badan lain, atau kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan badan-badan atau instansi-instansi lainnya, maka hubungan
ketergantungan
dengan
organisasi-organisasi
ini
haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan atau komitmen terhadap setiap tahapan di antara sejumlah besar aktor
68
atau pelaku yang terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang 7.
Pemahaman yang Mendalam dan Kesepakatan terhadap Tujuan Persyaratan
ini
mengharuskan
adanya
pemahaman
yang
menyeluruh mengenai, dan kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai, dan yang penting, keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses implementasi. Tujuan tersebut haruslah dirumuskan dengan spesifik , jelas dan lebih baik lagi apabila dapat dikuantifikasikan, dipahami, serta disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung, serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelaksanaan program dapat dimonitor. 8.
Tugas-tugas Diperinci dan Ditempatkan dalam Urutan yang Tepat Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengayunkan langkah menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk memerinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat. Kesukaran-kesukaran untuk mencapai kondisi implementasi yang sempurna ini tidak dapat
69
kita sangsikan lagi. Disamping itu, juga diperlukan, bahkan dapat dikatakan tak dapat dihindarkan, keharusan adanya ruang yang cukup bagi kebebasan bertindak dan melakukan improvisasi, sekalipun dalam program yang telah dirancang secara ketat. 9.
Komunikasi dan Koordinasi yang Sempurna Persyaratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi yang sempurna di antara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program.
10. Pihak-pihak yang Memiliki Wewenang Kekuasaan dapat Menuntut dan Mendapatkan Kepatuhan yang Sempurna Pernyataan terakhir ini menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi ketundukan penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah atau komando dari siapapun dalam sistem admistrasi itu. Apabila terdapat potensi penolakan terhadap perintah itu maka ia harus dapat diidentifikasi oleh kecanggihan sistem informasinya dan dicegah sendiri mungkin oleh sistem pengendalian yang andal. 43 3) Teori-teori Analisis Kebijakan a) Analisis Kebijakan Versi Dunn
43
Ibid., h. 71-78
70
Analisis Kebijakan Versi Dunn dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan secara kritis, menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang proses kebijakan. Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses politik tapi tidak dimaksudkan mengganti politik dan membangun elit teknokratis. Selanjutnya Dunn (1966) dalam bukunya yang berjudul „Analisis Kebijakan Publik‟ mengemukakan lima tahap dalam proses penentuan kebijakan, yaitu : a) penyusunan agenda, b) formulasi kebijakan, c) adopsi kebijakan, d) implementasi kebijakan, dan e) penilaian kebijakan. b) Analisis Kebijakan Versi Weimer dan Vining Weimer dan Vining (1999) dalam Dwidjowijoto (2007:36) memahami analisis kebijakan sebagai sebuah kegiatan yang mengandung tiga nilai yaitu : pragmatis (client oriented), mengacu pada keputusan (kebijakan), dan tujuannya melebihi kepentingan atau nilai-nilai klien. Selanjutnya Weimer dan Vining mengembangkan konsep untuk memahami etika profesi analis kebijakan dengan mengedepankan tiga nilai yang selalu dihadapi, yaitu integritas analitis (analytical integrity), tanggung jawab kepada klien (responsibility to the client), dan loyalitas pada konsep seseorang tentang “the good of society”. c) Analisis Kebijakan Versi Patton dan Savicky
71
Patton dan Savicky (1993:482) dalam Dwidjowijoto (2007:68) menyarankan analisis kebijakan untuk : a) mendefinisikan, menferifikasi, dan mendetailkan permasalahan kebijakan, b) mengembangkan kriteria evaluasi, c) mengidentifikasi alternatif, d) mengevaluasi alternatif kebijakan, e) menyajikan alternatif kebijakan, f) memantau dan mengevaluasi kebijakan yang diimplementasikan, dan g) menyajikan alternatif kebijakan.