PEMBERDAYAAN ANAK WARGA BINAAN LAPAS ANAK TANJUNG GUSTA MEDAN OLEH YAYASAN GALATEA Sophia Anni Hasibuan & Adi Fahrudin Abstract The problem focus this research is how in punished children empowering program who live at Tanjung Gusta Children Prison in Medan by Galatea Fondation, especially fulfill their rights. The Galatea Fondation regarded influence the children social welfare. Reseachers investigated 25 punished children at Tanjung Gusta Children Prison in Medan. Data analysis showed that implementation program for punished children was not so good. So the punished children rights have not fulfill by Galatea Fondation. It is different when researchers investigated the Galatea Fondation officials. They said that Galatea Fondation have done their program as good as possible. Keywords: punished children, social welfare, children right
Pendahuluan Cara suatu masyarakat memperlakukan anak tidak hanya mencerminkan kualitas rasa iba, hasrat untuk melindungi dan memperhatikan anak, namun juga mencerminkan kepekaannya akan rasa keadilan, komitmennya pada masa depan dan peranan penting anak sebagai generasi penerus bangsa. Perhatian terhadap anak di suatu masyarakat atau bangsa itu paling mudah dapat dilihat dari berbagai produk peraturan perundang-undangan yang menyangkut hak-hak anak, dan manakala penelusuran itu menghasilkan kesimpulan bahwa masyarakat itu telah memiliki perangkat peraturan perundang-undangan yang memadai sebagai sarana pemberian perlindungan hakhak anak. Lazimnya orang terus memfokuskan perhatiannya pada kajian yang mengarah pada praktik penegakan peraturan dalam kehidupan nyata anak-anak di masyarakat. Setelah diundangkannya Rancangan Undang-Undang Pengadilan anak oleh DPR tahun 1996 dan ditandatangani Presiden tahun 1997 menjadi Undang-Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997, maka pemerintah sudah membuat suatu perangkat hukum untuk melindungi hak-hak anak yang terjebak pada suatu kondisi di mana anak melanggar norma-
norma hukum publik khususnya hukum pidana. Seorang anak yang karena suatu hal harus dihadapkan ke depan pengadilan, dan kemudian dipersalahkan dan sampai kepada penempatan pada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak, maka kondisi anak untuk tumbuh berkembang harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga jangan karena penanganan yang salah dan bersifat formalitas, potensi anak yang sedemikian besar justru berkembang ke arah yang negatif dan berbahaya, juga adalah untuk menyelamatkan anak tersebut agar tidak menjadi penjahat, terlebih-lebih menjadi residivis yang justru lebih berbahaya dari penjahat. Data dunia menunjukkan 50%-70% anak yang masuk proses peradilan pidana dan ditahan malah menjadi residivis, saatnya harus mengubah dan harus ada keseriusan dalam pemenuhan hak-hak dasar bagi anak yang terpaksa harus berkonflik dengan hukum, jika penanganan anak yang berkonflik dengan hukum masih seperti sekarang, kondisi anak akan semakin terpuruk dan kita hanya akan mencetak kriminal profesional di kemudian hari (www.google.com). Anak yang berkonflik dengan hukum membutuhkan perlindungan khusus dibandingkan kelompok anak lainnya. Anak tersebut harus terpaksa menghadapi situasi dan keadaan yang
Sophia Anni Hasibuan adalah Pekerja Sosial di Yayasan Puskasitra Medan, Adi Fahrudin adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesejahteraan Sosial Bandung
1
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2006, Volume 5, Nomor 1, Halaman 1-18
amat rentan terhadap kekerasan baik fisik maupun emosional yang menghancurkan martabat dan masa depan mereka. Negara harus menjamin terselenggaranya perlindungan anakanak ketika berkonflik dengan hukum seperti bunyi konvensi yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melaui Keppres No. 36 Tahun 1990. Konvensi Hak Anak tersebut menyatakan bahwa setiap anak memiliki hakhak anak yaitu pertama, hak untuk hidup, setiap anak di dunia berhak untuk mendapat akses atas pelayanan kesehatan dan menikmati standar hidup yang layak, termasuk makanan yang cukup, air bersih, dan tempat tinggal. Anak juga berhak memperoleh nama dan kewarganegaraan. Kedua, hak untuk tumbuh berkembang, setiap anak berhak memperoleh kesempatan mengembangkan potensinya semaksimal mungkin. Berhak memperoleh pendidikan baik formal maupun informal secara memadai. Konkretnya anak diberi kesempatan untuk bermain, berekreasi, dan beristirahat. Ketiga, hak memperoleh perlindungan, artinya setiap anak berhak melindungi dari eksploitasi ekonomi dan seksual, kekerasan fisik atau mental, penangkapan dan penahanan yang sewenangwenang, dan segala bentuk diskriminasi, ini juga berlaku bagi anak yang tidak lagi mempunyai orang tua dan anak-anak yang berada di tempat pengungsian. Mereka berhak mendapatkan perlindungan. Keempat, hak untuk berpartisipasi, artinya setiap anak diberi kesempatan menyuarakan pandanganpandangan, ide-idenya, terutama berbagai persoalan yang berkaitan dengan anak (Susilowati, 2003: 66–85). Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak merupakan sarana perlindungan anak dan pembinaan bagi anak negara, anak sipil, dan anak pidana yang berdasarkan putusan pengadilan ditempatkan di Lapas Anak untuk dibina. Penempatannya dilakukan terpisah dari narapidana dewasa sesuai pasal 60 UU No. 3 Tahun 1997. Tetapi sekarang malah sebaliknya terjadi penggabungan dan penempatan narapidana dewasa di Lapas Anak Medan karena penuhnya kapasitas di Lapas Dewasa, akibatnya terjadi eksploitasi narapidana dewasa terhadap pidana anak. Anak yang ditempatkan di Lapas Anak berhak memperoleh pendidikan dan latihan baik formal maupun informal sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta memperoleh hak-hak lain sesuai dengan Pasal
2
22 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu: a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya. b. Mendapatkan perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani c. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak d. Menyampaikan keluhan e. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang f. Mendapatkan pengurangan masa pidana g. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya h. Mendapatkan pembebasan bersyarat i. Mendapatkan cuti menjelang bebas j. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku k. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga l. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Galatea, 2003: 1). Untuk mengimplementasikan hak-hak tersebut, Lembaga Pemasyarakatan Anak Medan telah menyusun program pembinaan berupa rekreasi, perawatan, diklat kerja/ keterampilan, pendidikan kepramukaan, pendidikan umum, agama, kursus/ceramah, diklat olahraga/kesehatan dan kesenian, dan pengkaryaan. Namun terbatasnya sarana dan prasarana mengakibatkan program yang disusun tidak terimplementasi dengan baik, sekalipun telah ada Keputusan dari 3 Menteri, yaitu Menteri Kehakiman, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Sosial Tahun 1984 tentang kerjasama dalam program latihan kerja bagi narapidana serta rehabilitasi sosial dan resosialisasi bekas narapidana dan anak negara. Akibatnya, harapan untuk mewujudkan anak Lapas Anak yang lebih mandiri, dan bersikap berkarya pun makin jauh dari harapan. Pada akhirnya anak Lapas Anak cenderung mengulangi tindak pidana dan akan kembali bersosialisasi di jalanan dengan segala risiko baik fisik maupun psikologis. Tidak berfungsinya program pembinaan di Lapas Anak mengakibatkan anak Lapas Anak dan ex-napi (bekas narapidana) memiliki pandangan yang negatif tentang dunia luar dengan usia pertumbuhan mereka. Akibatnya labelling ex-napi, stigma ex-napi, dan konsep diri negatif, merasa tidak memiliki pendidikan
Hasibuan & Fahrudin, Pemberdayaan Anak...
dan keterampilan hidup, mengakibatkan mereka kembali ke jalan dan cukup berpotensi untuk mengulangi tindak pidana. Hal ini terlihat dari beberapa anak yang keluar masuk Lapas karena melakukan tindak pidana. Pelaksanaan pelayanan medis yang pernah dilakukan Yayasan Galatea pada Juni – Mei 2003 di Lapas Anak Medan, telah mengintervensi 824 kesehatan anak binaan Lapas Anak, kasus tertinggi adalah scabies (65%), implikasi dari temuan ini adalah pemerintah telah menempatkan seorang dokter yang bertugas secara tetap di Lapas Anak untuk pertama kalinya April 2003 sejak didirikannya tahun 1986. Artinya hak napi untuk mengakses pelayanan kesehatan setiap saat sudah dapat terpenuhi dan Yayasan Galatea telah mengadvokasi pengadaan obat-obatan di Lapas Anak berdasarkan kasus-kasus spesifik yang ditemui di lapangan, saat ini obat yang disediakan Dinas Kesehatan masih golongan general, belum secara spesifik menyentuh kebutuhan anak binaan Lapas Anak (Galatea, 2003: 1–2). Sementara ada 27 kasus psikologis yang berhubungan dengan persoalan keluarga, dan pacar. Di samping itu, ada 128 klien membutuhkan bantuan Yayasan Galatea, untuk menghubungi orang luar (91%), untuk menghubungi keluarga karena mempunyai hutang (41%), sakit (23%). Beberapa orang dari pegawai Lapas Anak sengaja melibatkan napi untuk berjualan di Lapas Anak, seperti mie instant, rokok, nasi bungkus, sambal, pulsa, dan jasa lain, yang dimanfaatkan oleh pegawai untuk mengambil keuntungan, karena kebutuhan beberapa anak binaan Lapas Anak terpaksa berhutang dan akan dibayar pada tanggal yang ditetapkan, bila terlambat membayar, anak akan dijadikan barcon (dipukuli). Kepala Lapas Anak yang lama bapak Slamet Tugiman tidak dapat bertindak tegas untuk menutup dan menghentikan pedagangpedagang tersebut, alasannya kegiatan itu adalah salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai. Makanya tidak heran jika setiap saat anak-anak selalu menitipkan surat untuk disampaikan kepada keluarga yang berisikan permintaan uang untuk membayar hutang, jumlahnya Rp 50.000 – Rp 500.000. Selain persoalan hutang, permasalahan psikologis lainnya adalah, rindu keluarga, tidak pernah dikunjungi, rencana masa depan,
dendam, kecanduan, dan stigma ex-napi (Galatea, 2003: 2). Di samping memberikan pelayanan medis dan psikologis, Yayasan Galatea telah melatih 20 orang Peer Educator (PE) kesehatan reproduksi di Lapas Anak. Hingga Mei 2003, ada 20 orang PE yang aktif dengan total dampingan 123 orang. Meningkatnya kesadaran dan pengetahuan anak Lapas Anak mengakibatkan adanya keinginan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada bulan Mei 2003 telah dilaksanakan tes HIV kepada 20 orang anak binaan Lapas Anak dengan metode Volunteery Counseling & Testing (VCT), disertai Informed Consent. Dari 23 orang yang konsultasi tentang pemasangan kelereng (guli-guli) di penis, secara sukarela 3 orang telah dilepaskan oleh tenaga medis. Yayasan Galatea juga telah melaksanakan pelatihan penyegaran mengingat beberapa orang PE akan menghabiskan masa hukuman. PE dan anak binaan Lapas Anak (ex-napi) yang telah mendapatkan informasi dasar kesehatan reproduksi akan dilibatkan sebagai tenaga outreach untuk menjangkau anak jalanan di kota Medan yang juga termarjinalisasi dalam pelayanan kesehatan dasar, pendidikan, dan konseling (Galatea, 2003: 2–3). Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk membuat suatu penelitian dalam rangka penulisan karya ilmiah untuk lebih mengetahui tentang pelaksanaan program pemberdayaan anak yang berkonflik dengan hukum di Lapas Anak Medan oleh Yayasan Galatea.
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau status fenomena secara sistematis dan akurat mengenai program pemberdayaan anak yang berkonflik dengan hukum warga binaan Lapas Anak Tanjung Gusta oleh Yayasan Galatea Medan. Penelitian dilaksanakan di Yayasan Galatea yang berlokasi di Jl. Laboratorium III No. 5 Kelurahan Kesawan Medan dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Medan yang berlokasi di Jl. Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan. Alasan memilih lokasi ini adalah karena Yayasan Galatea adalah satu-satunya LSM yang mengkonsentrasikan diri dalam bidang kesehatan Reproduksi, HIV/AIDS serta pelayanan konsultasi psikologis di Kota Medan. Yayasan Galatea merupakan LSM yang bersifat 3
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2006, Volume 5, Nomor 1, Halaman 1-18
non- profit, berbadan hukum yayasan dan terdaftar pada pengadilan Negeri Medan Nomor 583/YAY/PEND/2001. Pada awalnya Galatea adalah kumpulan relawan atau pekerja sosial proyek HIV/AIDS Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) daerah Sumatera Utara sejak tanggal 13 Januari 1997. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Tanjung Gusta Medan merupakan instansi pemerintah dan sebagai pelaksana teknisi yang menampung, merawat, dan membina anak negara yang berkonflik dengan hukum yang menjadi sasaran program yang dilaksanakan oleh Yayasan Galatea di Lapas Anak Tanjung Gusta Medan. Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan anak yang berkonflik dengan hukum warga binaan Lapas Anak Tanjung Gusta. Jumlah populasi ini dapat berubah setiap saat karena bebas dan masuknya narapidana baru. Dari data yang diperoleh tercatat bahwa populasi sampai awal bulan Mei 2006, jumlah populasi sebanyak 250 orang dan juga yang menjadi populasi adalah keseluruhan staf Yayasan Galatea yang terlibat dalam pelaksanaan program di Lapas Anak. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 25 orang warga binaan Lapas Anak dan yang mewakili staf Yayasan Galatea yang terlibat dalam pelaksanaan program pemberdayaan anak yang berkonflik dengan hukum di Lapas Anak. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive yang ditetapkan secara sengaja oleh peneliti dengan pertimbangan usia anak yang berkonflik dengan hukum dan yang mengikuti program Galatea, di mana anak tersebut yang peneliti anggap dapat mengerti dan memahami kegunaan dari program yang diberikan adalah anak berusia sekolah yaitu 12–18 tahun. Untuk memperoleh data yang relevan dilakukan studi pustaka dan studi lapangan. Di mana studi lapangan dilakukan melalui observasi dan wawancara yang dipandu dengan kuesioner. Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif - kualitatif.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Sebelum kita sampai pada analisis data, terlebih dahulu kita ketahui karakteristik sampel, yang dalam hal ini sekaligus berperan sebagai responden. Aspek pertama yang ingin ketahui adalah usia responden sebagaimana disajikan pada Tabel 1 berikut.
4
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Usia No
Usia
F
%
1
12 tahun
1
4,0
2
14 tahun
1
4,0
3
16 tahun
4
17 tahun
5
18 tahun
2
8,0
12
Total
48,0 9
36,0
25
100,0
Sumber: Data Primer
Data di atas menunjukkan bahwa responden yang berusia 12 tahun ada sebanyak 4%, dan 14 tahun ada sebanyak 4%, kemudian usia 16 tahun ada sebanyak 8%, sedangkan usia 17 tahun ada sebanyak 48%, dan usia 18 tahun ada sebanyak 36%, maka dapat dianalisis bahwa usia anak di Lapas Anak didominasi oleh usia 17 tahun dan 18 tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa responden merupakan anak yang sudah remaja, di mana pada usia ini anak berada dalam masa transisi dengan tingkah laku anti-sosial yang potensial, disertai dengan banyaknya pergolakan hati. Selanjutnya kita akan lebih mengenal responden berdasarkan agama sebagaimana disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Agama No
Agama
1
Islam
2
Protestan Total
F
%
22
88,0
3
12,0
25
100,0
Sumber: Data Primer
Agama merupakan salah satu faktor pengendali terhadap tingkah laku anak, di mana anak sedang dalam keadaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalan dirinya. Pedoman dan petunjuk ini dibutuhkan juga untuk mencari identitas dirinya, menuju kepribadian matang dengan “unifying philosophy of life” dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang terjadi pada masa transisi. Dari data responden dapat dilihat pada tabel di atas bahwa agama yang dianut oleh responden agama Islam dan Protestan sedangkan
Hasibuan & Fahrudin, Pemberdayaan Anak...
agama Katolik, Budha, dan Hindu frekuensinya adalah 0 atau 0%, agama yang dianut mayoritas agama Islam sebanyak 88%, tingginya angka tersebut dikarenakan penduduk di Indonesia mayoritas beragama Islam, sedangkan agama Protestan sebanyak 12%. Data lain yang relevan untuk kita ketahui adalah pendidikan responden, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan No
Pendidikan Terakhir
F
%
1
Tidak tamat SD
5
20,0
2
Tamat SD
9
36,0
3
Tidak tamat SLTP
7
28,0
4
Tamat SLTP
2
8,0
5
Tidak tamat SLTA
2
8,0
6
Tamat SLTA
0
0
Total
25
100,0
Sumber: Data Primer
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan anak baik dalam hal pembentukan moralitas maupun dalam pengembangan diri anak menjadi anak yang mempunyai kemampuan serta kepribadian yang baik supaya dapat hidup dengan wajar dalam masyarakat. Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa pendidikan terakhir tidak tamat SD ada 5 responden atau sebesar 20%, pendidikan terakhir tamat SD ada 9 responden atau sebesar 36%, pendidikan terakhir tidak tamat SLTP ada 7 responden atau sebesar 28%, pendidikan terakhir tamat SLTP ada 2 responden atau sebesar 8%, pendidikan terakhir tidak tamat SLTA ada 2 responden atau sebesar 8%, dan pendidikan terakhir responden tamat SLTA adalah 0 atau sebesar 0%. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden masih rendah, rata-rata pendidikan terakhir responden adalah tamat SD. Di samping itu, pekerjaan orang tua juga sangat perlu kita ketahui dalam rangka lebih mengenal responden, di mana datanya disajikan pada Tabel 4 berikut, yakni pekerjaan ayah.
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ayah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pekerjaan Ayah Petani Tukang becak Supir Buruh Pedagang Wiraswasta Karyawan swasta PNS Almarhum Total
F
%
2 4 4 2 1 6 3 2 1
8,0 16,0 16,0 8,0 4,0 24,0 12,0 8,0 4,0
25
100,0
Sumber: Data Primer
Data di atas menunjukkan bahwa pekerjaan ayah responden sebagai petani ada 2 responden atau sebesar 8%, pekerjaan ayah responden sebagai tukang becak ada 4 responden atau sebesar 16%, pekerjaan ayah responden sebagai supir ada 4 responden atau sebesar 16%, pekerjaan ayah responden sebagai buruh ada 2 responden atau sebesar 8%, pekerjaan ayah sebagai pedagang ada 1 responden atau sebesar 4%, pekerjaan ayah responden wiraswasta ada 6 responden atau sebesar 24%, pekerjaan ayah responden sebagai karyawan swasta ada 3 responden atau sebesar 12%, pekerjan ayah responden sebagai PNS ada 2 responden atau sebesar 8%, dan ada 1 responden ayahnya sudah meninggal dunia atau almarhum. Data tersebut menunjukkan bahwa keluarga responden adalah mayoritas golongan ekonomi menengah ke bawah. Sementara data tentang pekerjaan ibu disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu No 1 2 3 4 5
Pekerjaan Ibu Petani Tukang cuci Pedagang Ibu RT Almarhum Total
F
%
1 4 5 13 2
4,0 16,0 20,0 52,0 8,0
25
100,0
Sumber: Data Primer
5
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2006, Volume 5, Nomor 1, Halaman 1-18
Data di atas menunjukkan bahwa, pekerjaan ibu responden sebagai petani ada 1 responden atau sebesar 4%, pekerjaan ibu responden sebagai tukang cuci ada 4 responden atau sebesar 16%, pekerjaan ibu sebagai pedagang ada 5 responden atau sebesar 20%, pekerjaan ibu sebagai ibu rumah tangga ada 13 responden atau sebesar 52%. Dan ada 2 responden atau sebesar 2% ibunya sudah meninggal dunia atau almarhum. Data tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan ibu sebagai ibu RT paling tinggi, ini berarti ibu banyak menghabiskan waktunya untuk mengurusi rumah tangga termasuk mengurusi anak, seharusnya anak harus diperhatikan ibu, dan memberikan pengawasan supaya anak dapat terhindar dari perilaku yang menyimpang dan dapat berkembang secara wajar karena ibu adalah orang terdekat bagi anak dalam keluarga. Keberadaan mereka di Lapas Anak Tanjung Gusta Medan tentu karena terlibat kasus pelanggaran hukum. Pada Tabel 6 berikut disajikan data tentang kasus responden. Tabel 6. Distribusi Respoden Berdasarkan Kasus No 1 2 3 4 5 6
Kasus Penganiyayaan Pemerkosaan Pembunuhan Perampokan Pencurian Narkoba Total
F
%
1 3 3 4 4 10
4,0 12,0 12,0 16,0 16,0 40,0
25
100,0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kasus responden sehingga masuk dalam Lapas Anak yaitu karena kasus penganiyaan ada 1 responden atau sebesar 4%, kasus pemerkosaan ada 3 responden atau sebesar12%, kasus pembunuhan ada 3 responden atau sebesar 12%, kasus perampokan ada 4 responden atau sebesar 16%, kasus pencurian ada 4 responden atau sebesar 16%, dan kasus narkoba ada 10 responden atau sebesar 40%. Data di atas menunjukkan bahwa kasus tertinggi adalah kasus narkoba, diikuti kasus perampokan dan pencurian. Erat kaitannya dengan kasus di mana responden terlibat masalah di dalamnya adalah hukuman, yang akan disajikan pada Tabel 7 berikut. 6
Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Tahanan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Lama Hukuman 9 bulan 1 tahun 2 bulan 1 tahun 3 bulan 1 tahun 6 bulan 1 tahun 7 bulan 1 tahun 10 bulan 2 tahun 2 tahun 2 bulan 2 tahun 4 bulan 3 tahun 4 tahun 5 tahun 5 tahun 3 bulan 5 tahun 6 bulan 7 tahun 9 tahun Total
F
%
3 1 2 4 1 1 1 1 1 2 3 1 1 1 1 1
12,0 4,0 8,0 16,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 8,0 12,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0
25
100,0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan data di atas, menunjukkan bahwa lama tahanan responden ada yang 9 bulan dan ada juga sampai dengan 9 tahun. Maka sangat berat bagi anak untuk menjalani hukuman di Lapas dengan masa hukuman yang lama, membuat anak kehilangan kebebasan untuk berkarya, berkreasi, dan meraih cita-cita dan hanya bisa merenungi nasib dan menghabiskan waktu di Lapas Anak. Akhirnya data tentang frekuensi terlibat kasus pelaanggaran hukum dan ditahan di Lapas Anak disajikan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Ditahan di Lapas Anak No 1 2
Ditahan di Lapas Anak
F
%
1 Kali 2 Kali
22 3
88,0 12,0
25
100,0
Total Sumber: Data Primer
Data di atas, menunjukkan bahwa frekuensi anak di tahan di Lapas Anak sebanyak 1 kali ada 22 responden atau sebesar 88%, sedangkan frekuensi anak di tahan di Lapas Anak sebanyak 2 kali ada 3 responden atau sebesar 12%. Maka dapat diketahui bahwa ada 3 responden yang sudah pernah masuk ke Lapas masuk kembali ke Lapas, berarti responden
Hasibuan & Fahrudin, Pemberdayaan Anak...
mengulangi kembali tindakan melanggar normanorma hukum (residivis) sehingga responden harus berhadapan dengan hukum. Perilaku responden dalam mengikuti konseling yang dilakukan Galatea dapat kita lihat pada Tabel 9 berikut ini. Tabel 9. Distribusi Responden dalam Mengikuti Konseling
Tabel 10. Distribusi Responden berdasarkan Masalah yang Dikonselingkan No 1 2 3
Masalah Responden
F
%
Keluarga Pacar Masa depan
8 3 1
66,7 25,0 8,3
Total
12
100,0
Sumber: Data Primer No 1 2 3 4 5
Mengikuti Konseling
F
%
Tidak pernah Satu kali Dua kali Tiga kali Lain
13 7 1 1 3
52,0 28,0 4,0 4,0 12,0
Total
25
100,0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa ada sebanyak 13 responden atau sebesar 52% yang tidak pernah mengikuti konseling, sedangkan yang pernah mengikuti konseling dengan frekuensi masing-masing yaitu responden mengikuti konseling sebanyak satu kali ada sebanyak 7 responden atau sebesar 28%, responden mengikuti konseling sebanyak dua kali ada sebanyak 1 respoden atau sebesar 4%, responden mengikuti konseling sebanyak tiga kali ada sebanyak 1 responden atau sebesar 4%, dan responden yang mengikuti konseling lebih dari tiga kali ada sebanyak 3 atau sebesar 12%. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa responden yang pernah mengikuti konseling di Lapas Anak yang di laksanakan oleh Galatea ada sebanyak 13 responden atau sebesar 52% dan responden yang pernah mengikuti konseling di Lapas Anak yang dilaksanakan oleh Galatea ada sebanyak 12 responden dengan frekuensi yang berbeda-beda atau sebesar 48%. Maka dapat dikatakan bahwa motivasi keseluruhan responden untuk mengikuti konseling berdasarkan pengolahan skor adalah negatif secara signifikan (nilai = -0,04). Tentu masalah yang dikonseling mungkin beraneka-ragam, sebagaimana disajikan pada Tabel 10 berikut.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa ada sebanyak 8 responden dengan masalah yang dikonseling yaitu masalah keluarga atau sebesar 66,7%, responden yang mengkonselingkan masalah pacar ada sebesar 3 responden atau sebesar 25%, dan responden yang mengkonselingkan masalah masa depan ada sebanyak 1 responden atau sebesar 8,3%. Dari data tersebut angka tertinggi untuk masalah yang dikonselingkan adalah masalah keluarga. Dari hasil wawancara dari sekian responden mereka menjawab bahwa mereka jarang dikunjungi oleh keluarga, orang tua yang tidak mau menjenguk responden, orang tua yang tidak mau mengakui responden sebagai anggota keluarga lagi karena telah masuk ke dalam penjara yang memalukan keluarga responden, sehingga keluarga tidak pernah mengunjungi responden serta rindu dengan keluarga, sehingga mereka butuh bantuan seorang konselor dari Galatea untuk memberikan alternatif pemecahan masalah tersebut, selain itu ada responden yang mengkonselingkan masalah pacar karena pacar responden tidak pernah mengunjungi responden di Lapas, serta rindu dengan pacar responden. Dari sekian responden yang mengkonselingkan tentang masalah masa depan hanya ada sebesar 8,3%, berarti dapat diketahui bahwa warga binaan untuk usia anakanak di Lapas Anak belum memikirkan masalah masa depan mereka setelah bebas nanti karena masa hukuman yang lama membuat mereka malas untuk memikirkan masa depan mereka. Dari hasil wawancara, beberapa responden menjawab bahwa mereka malas untuk memikirkan masa depan mereka karena mereka menganggap masa depan tidak perlu untuk dipikirkan lagi karena mereka anggap masa depan mereka telah hancur dengan masuknya mereka ke Lapas Anak dengan hukuman yang bertahun-tahun, dan banyak waktu mereka
7
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2006, Volume 5, Nomor 1, Halaman 1-18
terbuang untuk meraih masa depan yang mereka cita-citakan, seperti wawancara dengan seorang responden: “aku dah malas kak mikirin masa depan, pening kepalaku mikirinnya, kayaknya aku gak punya masa depan lagi kak!” Berbeda dengan jawaban dari responden satu ini: “ aku bingung kak, mau ngapain kalo aku bebas, gak tau mau ngapaian kak!” Bagaimana perasaan responden setelah mengikuti konseling, tentu sangat perlu diketahui sebagai salah satu indikator keberhasilan konseling akan disajikan pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Distribusi Responden Merasa Terbantu Setelah Mengikuti Konseling No 1 2
Perasaan Responden Terbantu Tidak Terbantu Total
F
%
10 2
84,0 16,0
12
100,0
Sumber: Data Primer
Seorang konselor atau psikolog tidak mendudukkan dirinya pada posisi yang lebih tahu daripada kliennya, melainkan dari posisi yang sejajar mencoba bersama-sama klien memecahkan masalah. Tugas konselor di sini menjadi mitra klien sebagai tempat penyaluran perasaan atau sebagai pedoman dikala binggung atau sebagai pemberi semangat dikala patah semangat sehingga klien merasa nyaman untuk menceritakan masalah. Berdasarkan data di atas, jawaban responden merasa terbantu memecahkan masalah setelah mengikuti konseling yang dilaksanakan Galatea ada sebanyak 10 responden atau sebesar 84% dan yang merasa tidak terbantu dalam menyelesaikan masalah ada sebanyak 2 responden atau sebesar 16%. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa responden merasa terbantu setelah mengikuti konseling dari hasil pegolahan skor skala likert adalah positif tidak signifikan (nilai = 1). Frekuensi responden dalam mengikuti diskusi yang dilakukan Galatea tersaji pada Tabel 12 berikut.
8
Tabel 12. Distribusi Responden Mengikuti Diskusi Kelompok No
Mengikuti Diskusi
F
%
1
Tidak pernah
8
32,0
2
Satu kali
8
32,0
3
Dua kali
1
4,0
4
Tiga kali
1
4,0
5
Lain Total
7
28,0
25
100,0
Sumber: Data Primer
Tabel di atas, menunjukkan bahwa responden yang tidak pernah mengikuti diskusi kelompok ada sebanyak 8 responden atau sebesar 32%, sedangkan yang pernah mengikuti diskusi kelompok ada sebesar 17 responden atau sebesar 68%, dengan frekuensi masing-masing yaitu, pernah mengikuti diskusi kelompok satu kali ada sebanyak 8 responden atau sebesar 32%, responden yang pernah mengikuti diskusi kelompok dua kali ada 1 responden atau sebesar 4%, responden yang pernah mengikuti diskusi kelompok tiga kali ada sebanyak 1 responden atau sebesar 4%, dan responden yang mengikuti diskusi kelompok lebih dari tiga kali ada sebanyak 7 responden atau sebesar 28%. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa motivasi responden mengikuti diskusi kelompok adalah positif tidak signifikan (nilai = 0,36). Sementara data tentang materi diskusi kelompok disajikan pada tabel 13 berikut. Tabel 13. Distribusi Responden Berdasarkan Topik Diskusi Kelompok No
Topik Bahasan
F
1
Kesehatan Reproduksi
1
6,0
2
Narkoba
3
18,0
3
Masa depan
5
29,0
4
HIV/AIDS
8
47,0
17
100,0
Total Sumber: Data Primer
%
Hasibuan & Fahrudin, Pemberdayaan Anak...
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat dilihat bahwa topik yang bahasan dalam diskusi kelompok yang diikuti oleh responden yaitu ada sebanyak 1 responden atau sebesar 6% mengikuti diskusi kelompok dengan topik bahasan tentang Kesehatan Reproduksi (Kespro), ada sebanyak 3 responden atau sebesar 18% yang mengikuti diskusi kelompok dengan topik bahasan tentang narkoba, ada sebanyak 5 responden atau sebesar 29% mengikuti diskusi kelompok dengan topik bahasan masa depan, dan ada sebanyak 8 responden atau sebesar 47% mengikuti diskusi kelompok dengan topik bahasan tentang HIV/AIDS. Dari data tersebut didapat bahwa, dari sekian responden, angka tertinggi responden dalam mengikuti diskusi kelompok lebih tertarik membahas tentang masalah HIV/AIDS karena pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS masih minim dan juga Galatea lebih mengkonsentrasikan menyampaikan informasi tentang HIV/AIDS karena Galatea merupakan lembaga yang bergerak dalam isu penyampaian informasi tentang HIV/AIDS. Program lain yang dilakukan Galatea adalah manajemen kasus, di mana partisipasi responden terhadap program ini disajikan pada Tabel 14 berikut. Tabel 14. Distribusi Responden Mengikuti Manajemen Kasus No
Keterlibatan
1
Tidak pernah
2
Satu kali Total
F 21 4 25
Idealnya setelah mengikuti manajemen kasus, responden akan merasa terbantu. Bagaimana faktanya? Akan disajikan datanya pada Tabel 15 berikut. Tabel 15. Distribusi Responden Merasa Terbantu Setelah Mengikuti Manajemen Kasus No 1 2
Jawaban Responden Ya Tidak Total
F 2 2 4
% 50,0 50,0 100,0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan data di atas, menunjukkan bahwa responden yang merasa terbantu memecahkan masalah setelah mengikuti manajemen kasus ada sebanyak 2 responden atau sebesar 50%, sedangkan responden yang merasa tidak terbantu dalam memecahkan masalah setelah mengikuti manajemen kasus ada sebanyak 2 responden atau sebesar 50%, sehingga secara kuantitatif kegiatan ini tergolong positif namun tidak signifikan (nilai = 0). Kegiatan support meeting juga sangat perlu, di mana keaktifan responden dalam kegiatan ini disajikan pada Tabel 16 berikut. Tabel 16. Distribusi Responden Mengikuti Support Group Meeting (SGM)
% 84,0 16,0 100,0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat frekuensi responden tidak pernah mengikuti manajemen kasus adalah sebanyak 21 responden atau sebesar 84%, sedangkan frekuensi responden yang pernah mengikuti manajemen kasus ada sebanyak 4 responden atau sebesar 16%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan responden untuk mengikuti manajemen kasus sangat rendah dan dapat dikatakan bahwa responden mengikuti manajemen kasus dari hasil pengolahan skor pada tabel kerja, adalah negatif tidak signifikan (nilai = -0,68).
No 1 2 3 4
Mengikuti SGM Tidak pernah Satu kali Dua kali Lain Total
F 14 1 3 7
% 56,0 4,0 12,0 28,0
25
100,0
Sumber: Data Primer
Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa responden yang tidak pernah mengikuti Support Group Meeting (SGM) ada sebanyak 14 responden atau sebesar 56%, dan ada sebanyak 11 responden yang pernah mengikuti SGM dengan frekuensi masing-masing yaitu, responden yang pernah mengikuti SGM satu kali ada 1 responden atau sebesar 4%, responden yang pernah mengikuti SGM dua kali ada sebanyak 3 responden atau sebesar 12%, dan responden yang pernah mengikuti SGM lebih dari dua kali ada sebanyak 7 responden atau sebesar 28%. Maka dapat dikatakan bahwa
9
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2006, Volume 5, Nomor 1, Halaman 1-18
respons dari responden terhadap kegiatan SGM adalah negatif secara signifikan (nilai = -0,12). Adapun topik bahasan dalam SGM disajikan pada Tabel 17 berikut. Tabel 17. Distribusi Responden Berdasarkan Topik Bahasan yang Diikuti pada SGM No 1 2 3
Topik Bahasan HIV/AIDS Narkoba Masa depan Total
F
%
5 1 5
45,5 9,0 45,5
11
100,0
Sumber: Data Primer
Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa responden yang pernah mengikuti SGM, ada sebanyak 5 responden atau sebesar 45,5% yang mengikuti SGM dengan topik bahasan tentang HIV/AIDS, ada 1 responden atau sebesar 9% yang pernah mengikuti SGM dengan topik bahasan tentang narkoba, dan ada sebanyak 5 responden atau sebesar 45,5% yang pernah mengikuti SGM dengan topik bahasan tentang masa depan. Data tersebut menunjukkan bahwa topik yang sering dibahas adalah tentang HIV/AIDS dan masa depan, ini membuktikan bahwa pengetahuan responden akan HIV/AIDS minim dan ingin tahu lebih banyak lagi tentang informasi HIV/AIDS dan juga karena mereka mempunyai perilaku yang berisiko tinggi terkena HIV/AIDS, dan isu tentang HIV/AIDS merupakan konsentrasi dari Yayasan Galatea, responden sering membahas tentang masa depan karena banyak responden yang bingung tentang apa yang akan mereka lakukan setelah bebas dan rencana ke depan setelah bebas. Sedangkan partisipasi responden dalam kegiatan reunifikasi disajikan pada Tabel 18 berikut. Tabel 18. Distribusi Respoden Mengikuti Reunifikasi No 1 2 3 4 5
Mengikuti Reunifikasi
%
Tidak pernah Satu kali Dua kali Tiga kali Lain
8 2 2 2 1
72,0 8,0 8,0 8,0 4,0
Total
25
100,0
Sumber: Data Primer
10
F
Berdasarkan data di atas, menunjukkan bahwa responden yang tidak pernah mengikuti reunifikasi ada sebanyak 18 responden atau sebesar 72%, sedangkan responden yang pernah mengikuti reunifikasi ada sebanyak 7 responden atau sebesar 28% dengan frekuensi masingmasing yaitu, ada 2 responden atau sebesar 8% yang pernah mengikuti reunifikasi satu kali, responden pernah mengikuti reuinifikasi dua kali ada sebanyak 2 responden atau sebesar 8%, dan responden yang pernah mengikuti reunifikasi tiga kali ada sebanyak 2 responden atau sebesar 8%, sedangkan responden yang pernah mengikuti reunifikasi lebih dari tiga kali ada 1 responden atau sebesar 4%. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa responden mengikuti reunifikasi adalah negatif secara signifikan (nilai = -0,44). Adapun alasan responden mengikuti reunifikasi adalah sebagai berikut. Tabel 19. Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Mengikuti Reunifikasi No 1 2 3
Alasan Responden
F
Keluarga miskin Tidak pernah dikunjungi keluarga Rindu dengan keluarga
1 3
14,0 43,0
3
43,0
7
100,0
Total
%
Sumber: Data Primer
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa ada 1 responden atau sebesar 14% yang mengikuti reunifikasi karena keluarga miskin, ada sebanyak 3 responden atau sebesar 43% yang mengikuti reunifikasi karena tidak pernah dikunjungi oleh keluarga, dan ada sebanyak 3 responden atau sebesar 43% yang pernah mengikuti reunifikasi karena rindu dengan keluarga. Adanya reunifikasi ini dapat membantu warga binaan untuk dapat bertemu dengan keluarga yang sudah lama tidak berkunjung atau tidak pernah bertemu dengan keluarga semenjak berada di Lapas Anak. Warga binaan yang boleh ikut dalam reunifikasi harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan oleh pihak Yayasan Galatea, salah satunya harus berasal dari keluarga miskin, dan tempat tinggal orang tua berada di Medan sekitarnya. Adanya reunifikasi ini sangat membantu responden dalam rangka
Hasibuan & Fahrudin, Pemberdayaan Anak...
menyambung komunikasi dan hubungan emosional dengan pihak keluarga dan memperbaiki hubungan anak dengan orang tua yang sudah retak karena orang tua yang sudah tidak mengakui anak tersebut sebagai anggota keluarga semenjak anak melakukan berkonflik dengan hukum dan terpaksa harus berurusan dan berhadapan dengan hukum dan masuk ke dalam Lapas Anak. Apakah tersambung kembali hubungan emosional dengan keluarga setelah melakukan unifikasi? Datanya tentang hal ini disajikan pada Tabel 20 berikut. Tabel 20. Distribusi Responden Berdasarkan Tersambungnya Kembali Hubungan Komunikasi dan Emosional dengan Keluarga No 1 2
Jawaban Responden
F
%
Tersambung Tidak tersambung
6 1
86,0 14,0
Total
7
100,0
Data di atas, menunjukkan bahwa responden yang tidak pernah sebagai Peer Educator (PE) atau pendidik sebaya ada sebanyak 18 responden atau sebesar 72%, dan responden yang pernah sebagai Peer Educator (PE) atau pendidik sebaya ada sebanyak 7 responden atau sebesar 28%. Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa keterlibatan responden untuk menjadi sebagai Peer Educator (PE) atau pendidik sebaya sangat rendah. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan sesuai dengan hasil pengolahan data pada tabel kerja Lampiran 1 bahwa responden sebagai Peer Educator (PE) atau pendidik sebaya adalah negatif secara signifikan (nilai = -0,44). Yayasan Galatea juga menyelenggarakan pelatihan komputer, di mana keaktifan responden pada kegiatan tersebut disajikan pada Tabel 22 berikut. Tabel 22. Distribusi Responden Mengikuti Berdasarkan Pelatihan Komputer
Sumber: Data Primer No
Data di atas menunjukkan bahwa responden yang pernah mengikuti reunifikasi merasa tersambung kembali hubungan komunikasi dan hubungan emosional responden dengan keluarga ada sebanyak 6 responden atau sebesar 86%, sedangkan responden yang tidak merasa tersambung kembali hubungan komunikasi dan hubungan emosional responden dengan keluarga ada 1 responden atau sebesar 14%. Berdasarkan data tersebut, maka dari hasil pengolahan skor skala likert, dapat dikatakan bahwa tersambungnya kembali hubungan komunikasi dan hubungan emosional dengan keluarga adalah positif tidak signifikan (nilai = 0,2). Setelah mengikuti beberapa program, semestinya responden juga aktif sebagai peer educator, di mana datanya disajikan pada Tabel 21 berikut. Tabel 21. Distribusi Responden sebagai Peer Educator Atau Pendidik Sebaya No 1 2
Jawaban Responden Tidak pernah Pernah Total
F
%
18 7
72,0 28,0
25
100,0
Jawaban Responden
F
%
1
Tidak pernah
20
80,0
2
Pernah
5
20,0
25
100,0
Total Sumber: Data Primer
Pendidikan komputer yang dilaksanakan oleh Yayasan Galatea di Lapas Anak adalah untuk membekali warga binaan untuk memiliki keahlian komputer khusus program word. Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa responden yang tidak pernah mengikuti pelatihan komputer ada sebanyak 20 responden atau sebesar 80%, sedangkan responden yang pernah mengikuti pelatihan komputer ada sebanyak 5 responden atau sebesar 20%. Data tersebut menunjukkan bahwa banyak responden yang tidak terlibat dalam pendidikan komputer, maka dapat dikatakan dari hasil pengolahan skor diketahui bahwa responden mengikuti pendidikan komputer adalah negatif tidak signifikan (nilai = -0,6). Apakah responden memiliki keterampilan dalam komputer? Datanya disajikan pada Tabel 23 berikut ini.
Sumber: Data Primer
11
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2006, Volume 5, Nomor 1, Halaman 1-18
Tabel 23. Distribusi Responden Memiliki Keahlian Komputer Setelah Mengikuti Pendidikan Komputer No 1 2
Jawaban Responden Ya Tidak Total
F
%
5 0
100,0 0,0
5
100,0
Sumber: Data Primer
Pendidikan komputer sangat penting bagi warga binaan supaya mereka dapat mengisi waktu dengan hal yang positif di Lapas dan tidak ketinggalan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat terbatas untuk di akses di Lapas Anak. Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa responden yang memiliki keahlian komputer setelah mengikuti pendidikan komputer yang dilaksanakan oleh Galatea adalah keseluruhan responden yang pernah mengikuti pelatihan komputer. Distribusi jawaban responden ini diolah dengan menggunakan Skala Likert adalah positif tidak signifikan (nilai = 0,2). Pelatihan lain yang dilakukan adalah menjahit, di mana keaktifan responden pada kegiatan ini disajikan datanya pada Tabel 24 berikut. Tabel 24. Distribusi Jawaban Responden Mengikuti Pelatihan Menjahit No 1 2
Jawaban Responden
F
%
Tidak pernah Pernah
21 4
84,0 16,0
Total
25
100,0
atau sebesar 16%. Dari data tersebut, maka dapat dikatakan bahwa responden mengikuti pelatihan menjahit hasil pengolahan skor data adalah negatif tidak signifikan (nilai = -0,68). Setelah mengikuti pelatihan menjahit, tentu responden diharapkan memiliki keahlian dalam keterampilan tersebut, di mana datanya disajikan pada Tabel 25 berikut ini. Tabel 25. Distribusi Responden Memiliki Keterampilan Menjahit Setelah Mengikuti Pelatihan Menjahit No 1 2
Jawaban Responden Ya Tidak Total
F
%
4 0
100,0 0,0
4
100,0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa responden yang pernah mengikuti pelatihan menjahit memiliki keterampilan menjahit adalah keseluruhan responden yang pernah mengikuti pelatihan menjahit yaitu ada sebanyak 4 responden atau sebesar 100%. Maka dapat dikatakan bahwa responden memiliki keterampilan menjahit setelah mengikuti pelatihan menjahit adalah positif tidak signifikan (nilai = 0,16). Galatea juga menyediakan fasilitas majalah dinding yang berisikan informasi yang bermanfaat bagi binaan Lapas Anak Tanjung Gusta, di mana keaktifan responden dalam membacanya tergambar pada Tabel 26 berikut. Tabel 26. Distribusi Responden Membaca Majalah Dinding
Sumber: Data Primer
Pelatihan menjahit yang dilaksanakan oleh Yayasan Galatea di Lapas Anak bertujuan untuk membekali anak supaya memiliki keterampilan tingkat dasar dalam menjahit seperti; mengukur pola, memasang kancing, dan menjahit baju dan celana secara utuh. Keterampilan yang mereka miliki dapat mereka gunakan baik di Lapas maupun setelah bebas. Pada tabel di atas, menunjukkan bahwa frekuensi responden yang tidak pernah mengikuti pelatihan menjahit adalah sebanyak 21 responden atau sebesar 84%, sedangkan frekuensi responden yang pernah mengikuti pelatihan menjahit adalah sebanyak 4 responden
12
No 1 2
Jawaban Responden
F
%
Tidak pernah Pernah
1 24
4,0 96,0
Total
25
100,0
Sumber: Data Primer
Majalah dinding merupakan media untuk memperoleh informasi HIV/AIDS, kesehatan reproduksi, narkoba, artikel, dan menampilkan karya tulis yang dibuat oleh warga binaan supaya mereka dapat berkreasi dan berkarya dalam karya tulis. Majalah dinding ini juga sebagai media pembantu bagi relawan Galatea untuk menyebarkan informasi kepada seluruh
Hasibuan & Fahrudin, Pemberdayaan Anak...
warga binaan karena keterbatasan waktu dan kehadiran relawan di Lapas Anak. Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa responden yang tidak pernah membaca majalah dinding ada 1 responden atau sebesar 4%, sedangkan frekuensi responden yang pernah membaca majalah dinding ada sebanyak 24 responden atau sebesar 96%. Data tersebut, menunjukkan bahwa responden memiliki keterlibatan dan minat yang tinggi dalam membaca majalah dinding sehingga dapat dikatakan bahwa hasil pengolahan skor adalah positif secara signifikan (nilai = 0,92). Selain membaca majalah dinding warga binaan juga diberi kesempatan mengisi karya tulisnya pada majalah dinding tersebut, di mana keaktifan mereka disajikan datanya pada Tabel 27. Tabel 27. Distribusi Responden Menampilkan Karya Tulis di Majalah Dinding
Data tabel di atas menunjukkan bahwa frekuensi responden yang tidak pernah membuat karya tulis yang ditampilkan di Buletin Tirai ada sebanyak 21 responden atau sebesar 84%, sedangkan responden yang pernah membuat karya tulis yang ditampilkan di Buletin Tirai ada sebanyak 4 responden atau sebesar 16%. Maka dapat dikatakan bahwa karya tulis yang ditampilkan di Buletin Tirai sesuai dengan hasil pengolahan skor adalah negatif tidak signifikan (nilai = -0,68). Sedangkan keaktifan responden dalam membaca Buletin Tirai disajikan pada Tabel 29 berikut ini. Tabel 29. Distribusi Responden Membaca Buletin Tirai No 1 2
Jawaban Responden
F
Tidak pernah Pernah Total
No
Jawaban Responden
F
%
13 12
52,0 48,0
25
100,0
% Sumber: Data Primer
1 2
Tidak pernah Pernah Total
17 8
68,0 32,0
25
100,0
Sumber: Data Primer
Data pada tabel di atas, menunjukkan bahwa frekuensi responden yang tidak pernah menampilkan karya tulis di majalah dinding ada sebanyak 17 responden atau sebesar 68%, sedangkan frekuensi responden yang pernah menampilkan karya tulis di majalah dinding ada sebanyak 8 responden atau sebesar 32%. Maka dapat dikatakan bahwa responden menampilkan karya tulis di majalah dinding sesuai dengan pengolahan skor adalah negatif secara signifikan (nilai = -0,36). Selain majalah dinding, media lain yang dibina Galatea adalah Buletin Tirai, di mana keaktifan responden mengisi rubrik di sana disajikan pada Tabel 28 berikut. Tabel 28. Distribusi Responden Berdasarkan Karya Tulis yang Ditampilkan di Bulettin Tirai No 1 2
Jawaban Responden Tidak pernah Pernah Total
F
%
21 4
84,0 16,0
25
100,0
Buletin Tirai merupakan media yang diterbitkan secara triwulan atau sekali dalam tiga bulan sebagai media komunikasi dan advokasi, dan informasi tentang warga binaan di Lapas Anak. Isi Buletin Tirai 70% berasal dari warga binaan sendiri. Pada tabel di atas, menunjukkan bahwa frekuensi responden yang tidak pernah membaca Buletin Tirai ada sebanyak 13 responden atau sebesar 52%, sedangkan frekuensi responden yang pernah membaca Buletin Tirai ada sebanyak 12 responden atau sebesar 48%. Maka dapat dikatakan sesuai dengan hasil pengolahan skor adalah negatif secara signifikan (nilai = -0,04). Perihal jenis informasi yang diperoleh dari Buletin Tirai disajikan pada Tabel 30 berikut ini. Tabel 30. Distribusi Responden Berdasarkan Informasi yang Didapatkan di Buletin Tirai No 1 2 3
Informasi
F
%
HIV/AIDS Hak-Hak Anak Narkoba
2 9 1
17,0 75,0 8,0
Total
12
100,0
Sumber: Data Primer
Sumber: Data Primer
13
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2006, Volume 5, Nomor 1, Halaman 1-18
Data di atas menunjukkan bahwa responden yang pernah membaca bulettin Tirai mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS sebanyak 2 responden atau sebesar 17%, ada sebanyak 9 responden atau sebesar 75% mendapatkan informasi tentang hak-hak anak, dan ada 1 responden atau sebesar 8% mendapatkan informasi tentang narkoba. Selain kegiatan yang terencana, Galatea juga mengadakan kegiatan yang bersifat insidensial, di mana keaktifan responden disajikan pada Tabel 31 berikut. Tabel 31. Distribusi Responden Mengikuti Kegiatan Isedensial di Lapas Anak
atau sebesar 4%. Maka dapat dikatakan bahwa responden yang melakukan seks menyimpang di Lapas Anak adalah negatif tidak signifikan (nilai = -0,92). Selanjutnya salah satu aktivitas negatif warga binaan Lapas Anak Tanjung Gusta Medan adalah memasang guli-guli, di mana datanya disajikan pada Tabel 33 berikut. Tabel 33. Distribusi Responden Memasang Guli-Guli Semenjak di Lapas Anak No 1 2
Jawaban Responden Tidak pernah Pernah Total
No 1 2
Jawaban Responden Tidak pernah Pernah Total
F
%
3 22
12,0 88,0
25
100,0
Sumber: Data Primer
Data tabel di atas menunjukkan bahwa frekuensi responden yang tidak pernah mengikuti kegiatan isedensial di Lapas Anak ada sebanyak 3 responden atau sebesar 12%, sedangkan frekuensi responden yang pernah mengikuti kegiatan isedensial ada sebanyak 22 responden atau sebesar 88%. Maka dapat dikatakan sesuai dengan hasil pengolahan skor adalah positif secara signifikan (nilai = 0,76). Saat berada di Lapas mungkin saja responden melakukan aktivitas seks menyimpang, di mana datanya disajikan pada Tabel 32 berikut. Tabel 32. Distribusi Responden Melakukan Seks Menyimpang di Lapas Anak No 1 2
Jawaban Responden Tidak pernah Pernah Total
F
%
14
72,0 28,0
25
100,0
Data tabel di atas menunjukkan bahwa frekuensi responden yang tidak pernah memasang guli-guli ada sebanayak 18 responden atau sebesar 72%, sedangkan frekuensi responden yang pernah memasang guli-guli semenjak di Lapas Anak ada sebanyak 7 responden atau sebesar 28%. Maka dapat dikatakan bahwa responden yang memasang guli-guli semenjak di Lapas Anak adalah negatif secara signifikan (nilai = -0,44). Berikut ini adalah data tentang alasan responden memasang guli-guli. Tabel 34. Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Memasang Guli-Guli Semenjak di Lapas Anak No
Jawaban Responden
F
1 2
Ingin tahu Supaya dapat memuaskan pasangan Coba-coba Ikut-ikutan teman Keinginan sendiri
3 1
43,0 14,3
1 1 1
14,3 14,2 14,2
7
100,0
3 4 5
96,0 4,0
Total
25
100,0
Sumber: Data Primer
Data tabel di atas menunjukkan bahwa frekuensi responden yang tidak pernah melakukan perilaku seks menyimpang di Lapas Anak ada sebesar 24% responden, sedangkan responden yang pernah melakukan perilaku seks menyimpang di Lapas Anak ada 1 responden
%
Sumber: Data Primer
24 1
Sumber: Data Primer
F 18 7
%
Data tabel di atas menunjukkan bahwa alasan responden memasang guli-guli, karena ingin tahu ada 3 responden atau sebesar 43%, ada 1 responden atau sebesar 14,25% memasang guli-guli supaya dapat memuaskan pasangan, ada 1 responden atau sebesar 14,25% memasang guli-guli karena ingin coba-coba, dan ada juga 1 responden atau sebesar 14,25% yang memasang
Hasibuan & Fahrudin, Pemberdayaan Anak...
guli-guli karena ikut-ikutan teman, dan1 responden atau sebesar 14,25% memasang guliguli karena keinginan sendiri. Salah satu yang dianggap sebagai lambang premanisme adalah “tato”. Data tentang pemasangan tato sejak responden menjadi warga binaan Lapas Anak Tanjung Gusta Medan disajikan pada Tabel 35 berikut. Tabel 35. Distribusi Respoden Memasang Tato Semenjak di Lapas Anak No 1 2
Jawaban Responden Tidak pernah Pernah Total
F
%
15 10
60,0 40,0
25
100,0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa responden yang tidak pernah memasang tato semenjak berada di Lapas anak adalah 15 responden atau sebesar 60%, sedangkan responden yang pernah memasang tato semenjak di berada di Lapas Anak ada sebanyak 10 responden atau sebesar 40%. Maka dapat dikatakan bahwa responden memasang tato semenjak di Lapas Anak adalah negatif secara signifikan (nilai = -0,2). Apakah responden pernah menggunakan narkoba selama sejak berada di Lapas Anak Tanjung Gusta Medan? Datanya disajikan pada Tabel 36 berikut. Tabel 36. Distribusi Responden Menggunakan Narkoba Semenjak di Lapas Anak
menggunakan narkoba semenjak di Lapas Anak adalah negatif secara signifikan (nilai = -0,36). Apa alasan mereka menggunakan narkoba? Pada Tabel 37 berikut disajikan datanya. Tabel 37. Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Menggunakan Narkoba di Lapas Anak No 1 2 3
Jawaban Responden
F
Menghilangkan stres Keinginan Menyenangkan pikiran
5 1 2
62,5 12,5 25,0
8
100,0
Total Sumber: Data Primer
Pada tabel di atas, menunjukkan bahwa alasan responden menggunakan narkoba di Lapas Anak untuk menghilangkan stres sebanyak 5 responden atau sebesar 62,5%, ada 1 responden atau sebesar12,5% menggunakan narkoba di Lapas Anak karena keinginan atau kecanduan. Dan ada juga responden yang menggunakan narkoba di Lapas Anak untuk menyenangkan pikiran yaitu sebanyak 2 responden atau sebesar 25%. Data yang disajikan pada Tabel 38 berikut ini berisikan apakah responden menjadi pecandu narkoba atau tidak. Tabel 38. Distribusi Responden sebagai Pecandu Narkoba No 1 2
Jawaban Responden Tidak Ya Total
No 1 2
Jawaban Responden Tidak pernah Pernah Total
F
%
17 8
68,0 32,0
25
100,0
Sumber: Data Primer
Pada tabel di atas, menunjukkan bahwa frekuensi responden yang tidak pernah menggunakan narkoba semenjak di Lapas Anak ada sebanyak 17 responden atau sebesar 68%, sedangkan responden yang pernah menggunakan narkoba semenjak di Lapas Anak ada sebanyak 8 responden atau sebesar 32%. Maka dapat dikatakan bahwa responden
%
F
%
20 5
80,0 20,0
25
100,0
Sumber, Data Primer
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa responden tidak sebagai pecandu narkoba ada sebanyak 20 responden atau sebesar 80%, sedangkan responden sebagai pecandu ada sebanyak 5 responden atau sebesar 20%. Maka dapat dikatakan bahwa responden sebagai pecandu adalah negatif tidak signifikan (nilai =0,6). Bagi responden yang sudah kecanduan narkoba tentu akan sangat sulit selama berada di Lapas Anak Tanjung Gusta. Bagaimana cara mengatasi kecanduan tersebut, datanya disajikan pada Tabel 39 berikut.
15
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2006, Volume 5, Nomor 1, Halaman 1-18
Tabel 39. Distribusi Responden Berdasarkan Cara Mengatasi Kecanduan di Lapas Anak No 1 2 3 4
Jawaban Responden
F
%
Mencari kesibukan Bingung Menggunakan lagi Berdiam diri
2 1 1 1
40,0 20,0 20,0 20,0
Total
5
100,0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui cara responden mengatasi kecanduan dengan mencari kegiatan atau kesibukan yaitu sebanyak 2 responden atau sebesar 40%, ada 1 responden atau sebesar 20% bingung mengatasi kecanduan, dan ada 1 responden atau sebesar 20% mengatasi kecanduan dengan menggunakan narkoba kembali, sedangkan 1 responden atau sebesar 20% lagi mengatasi kecanduan dengan berdiam diri saja. Para responden tentu juga menghadapi masalah, di mana cara mereka mengatasi masalah sendiri disajikan pada Tabel 40 berikut. Tabel 40. Distribusi Responden Berdasarkan Cara Mengatasi Masalah Sendiri No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jawaban Responden Berdiam diri Berdoa Bertobat Diskusi sama teman Bercanda sama teman Bernyanyi Main bola Nonton Cari jalan keluar Total
F
%
4 1 1 1 1 1 3 2 1
26,7 6,7 6,7 6,7 6,7 6,7 20,0 13,1 6,7
15
100,0
Sumber: Data Primer
Data tabel di atas menunjukkan bahwa cara mengatasi masalah sendiri adalah dengan berdiam diri yaitu ada 4 responden atau sebesar 26,7%, ada 1 responden atau sebesar 6,7% mengatasi masalah sendiri dengan berdoa agar masalahnya selesai, ada 1 responden atau sebesar 6.7% cara mengatasi masalah sendiri yaitu dengan bertobat, ada 1 responden atau sebesar 6,7% mengatasi masalah sendiri dengan berdiskusi dengan teman, ada 1 responden atau sebesar 6,7% mengatasi maslah sendiri dengan bercanda sama teman sehingga tidak 16
memikirkan masalah tersebut. Ada 1 responden atau sebesar 6,7% mengatasi masalah sendiri dengan bernyanyi supaya bisa melupakan masalah tersebut, ada juga responden cara mengatasi masalah sendiri dengan cara bermain bola supaya bisa melupakan masalah tersebut, ada juga responden mengatasi masalah sendiri dengan nonton supaya dapat hiburan, dan 1 responden lagi cara mengatasi masalah sendiri adalah dengan mencari jalan keluar supaya lepas dari masalah tersebut. Jika responden ternyata tidak mampu mengatasi sendiri masalahnya tentu dapat melakukan cara lain, di mana datanya disajikan pada Tabel 41 berikut ini. Tabel 41. Distribusi Responden Berdasarkan Cara Mengatasi Masalah Jika Tidak Dapat Mengatasi Masalah Sendiri No
Jawaban Responden
F
%
1 2 3 4 5
Mengikuti konseling Main-main Minta pendapat orang lain Bercerita sama teman Berdiam diri
3 2 1 2 2
30,0 20,0 10,0 20,0 20,0
10
100,0
Total Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui cara responden mengatasi masalah apabila tidak bisa mengatasi masalah sendiri yaitu ada 3 responden atau sebesar 30% yang mengikuti konseling yang dilaksanakan oleh Galatea, ada 2 responden atau sebesar 20% cara mengatasi masalah apabila tidak dapat mengatasi masalah sendiri yaitu dengan bermain-main agar dapat lalai dan melupakan masalah tersebut, ada 1 responden atau sebesar 10% mengatasi masalah dengan minta pendapat orang lain agar dapat mencari jalan keluar dan memecahkan masalah tersebut, ada 2 responden atau sebesar 20% cara mengatasi masalah apabila tidak dapat mengatasi masalah sendiri yaitu dengan bercerita sama teman atau curhat, selain itu ada 2 responden atau sebesar 20% cara mengatasi masalah sendiri dengan berdiam diri.
Kesimpulan Keterlibatan anak dalam program Galatea di Lapas Anak tidak signifikan, hal ini diketahui dari kurangnya keterlibatan anak dalam mengikuti setiap kegiatan-kegiatan yang
Hasibuan & Fahrudin, Pemberdayaan Anak...
diprogram Galatea di Lapas Anak, berarti dalam hal ini pemenuhan akan hak-hak anak di Lapas belum sepenuhnya dapat terpenuhi. Program pemberdayaan dalam hal pengetahuan anak tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS ternyata banyak yang tidak memahami tentang HIV/AIDS. Ini dikarenakan metode yang dipakai adalah metode peer educator atau pendidik sebaya. Sehingga perubahan perilaku atau sikap anak tidak kentara karena masih banyak dari mereka melakukan perilaku berisiko tinggi di Lapas Anak.
Saran Kepada Yayasan Galatea agar membuat program kepada warga binaan yang bersifat kontinu atau berkelanjutan supaya dapat memenuhi hak-hak anak dan agar melibatkan seluruh warga binaan Lapas Anak supaya anak dapat terpenuhi hak-haknya. Program pemberdayaan perlu ditanamkan kepada warga binaan sehingga menumbuhkan kesadaran anak akan pentingnya pengetahuan kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS, pendidikan komputer, pelatihan menjahit sehingga ada dampak dalam perubahan perilaku anak. Bagi instansi terkait yaitu Lapas Anak Tanjung Gusta Medan seharusnya memberikan pembinaaan yang baik lebih baik lagi bagi warga binaan khususnya bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum supaya mereka kembali ke masyarakat dapat berfungsi sosial dan tidak akan mengulangi tindakan menyimpang lagi. Bagi Yayasan Galatea seharusnya memberikan pelayanan yang lebih baik lagi bagi warga binaan agar dampak perubahan perilaku menyimpang anak (delinquency) dapat diminimalisir dan untuk mengembangkan kemampuan anak, Galatea perlu memberikan pelatihan-pelatihan yang bersifat kompetitif.
Daftar Pustaka Nawawi, Hadari, 1991, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Singarimbun, Masri, 1985, Metode Penelitian Survey, LP3S, Yogyakarta.
Adi, Isbandi Rukminto, 2003, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Sumarnonugroho, 1987, Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, Penerbit PT. Hanindica, Yogyakarta. Arikunto, Suharsimi, 1993, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktis, Bina Aksara, Jakarta. Maansyurdin, 1994, Sosiologi Suatu Pengenalan Awal, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum USU Medan. Suparlan, Y.B., 1983, Kamus Istilah Kesejahteraan Sosial, Pustaka Pengarang, Yogyakarta. Nurdin, Fadhil, 1989, Pengantar Studi Kesejahteraan Sosial, PT. Angkasa, Bandung. Hermawati, Istiana, 2001, Metode dan Teknik dalam Praktik Pekerjaan Sosial, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta. Adi,
Isbandi Rukminto, 2004, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, FISIP UI Press, Jakarta.
Arief, 2003, Sistem Sosial Indonesia, FISIP USU, Medan. Susilowati, Ima, 2003, Pegertian Konvensi Hak Anak, UNICEF untuk Indonesia, PT. Enka Parahiyangan, Jakarta. Kartono, Kartini, 1992, Patalogi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta. Sarwono, Sarlito Wirawan, 1989, Psikologi Remaja, Rajawali Pers, Jakarta. Sumber-sumber lain: Rencana Induk Pembangunan dan Perlindungan Anak (RIPKPA), Tahun 2001–2010, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Jakarta, 2001.
17
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2006, Volume 5, Nomor 1, Halaman 1-18
Mencari Keadilan Dalam Sistem Pengadilan Anak (Kisah Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum), Yayasan Pusaka Indonesia, 2004.
Proposal Pemberdayaan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di Lapas Anak Tanjung Gusta Medan, Yayasan Galatea, Medan, 2003.
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Peermpuan RI, 2002.
http/www. Google. Com
18
http/www. Yahoo. Com.