Simatupang Psikososial …
Dinamika
Faktor-Faktor
DINAMIKA FAKTOR-FAKTOR PSIKOSOSIAL PADA RESIDIVIS REMAJA PRIA (Studi Kasus Residivis Remaja Pria di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan) Hamaria Mendrofa Simatupang dan Irmawati P. S. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Intisari Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika faktor-faktor psikososial yang melatarbelakangi terjadinya pengulangan tindak kejahatan oleh seorang residivis remaja pria. Penelitian ini menggambarkan bagaimana dinamika dari faktor-faktor psikososiaasdl yang dialami oleh residivis remaja pria yang berada di LP anak Tanjung Gusta Medan dengan menggunakan teori Antisocial by Young People yang dikemukakan oleh Michael Rutter, Henri Giller, dan Ann Hagell (1998). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek. Dalam pengumpulan data digunakan metode wawancara serta observasi yang sifatnya non-partisipan. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 2 orang yang memiliki karakteristik sebagai seorang residivis pria dan berusia remaja yaitu 17 tahun dan 18 tahun.Hasil penelitian menunjukkan dinamika faktorfaktor psikososial dalam hal pengaruh keluarga, teman sebaya, pengangguran, serta efek perilaku timbal balik dengan lingkungan terhadap perilaku antisosial kedua subjek. Kata kunci: Dinamika faktor psikososial, Residivis remaja pria, Lembaga pemasyarakatan. Abstract The purpose of this research is to describe the dynamic of the psychosocial features that caused repetition of criminality by young male recidivist. This research describe how the dynamic of psychosocial features of young male recidivist in Tanjung Gusta Medan prison for children, based on Antisocial by Young People Theory from Michaell Rutter, Henri Giller & Ann Hogell (1998). This research used a qualitative approach because by this method we can understand the phenomenon of psychosocial feature where subjects have been through. Data of research had been collected through interview and non participant observation. The subjects were 2 (two) young male with characteristic, they are 17th years old and 18th years old. The result indicates many dynamic factor such as family, friends, jobless and behavior have causal effect toward antisocial behavior of the subjects. Keywords: Dynamic of psychosocial features, Young male recidivist, Prison. Jumlah narapidana serta tahanan di LP Anak Tanjung Gusta Medan per tanggal 31 Desember 2003 tercatat sebanyak 465 orang.
Dari jumlah tersebut, berdasarkan keterangan petugas Bimbingan dan Pemasyarakatan (Bimpas) LP Anak Tanjung Gusta Medan,
33
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 31 – 38
jumlah narapidana residivis berusia 13 hingga 18 tahun sebanyak 18 orang, dengan pengulangan jenis kejahatan yang bervariasi. Kartono (1992) menyatakan, kira-kira 50 % dari individu yang terlibat kejahatan remaja pernah mendapatkan hukuman polisi dan pengadilan lebih dari satu kali. Mereka ini akhirnya dikenal sebagai residivis, sesuai istilah yang lazim dikenal dalam hukum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, bahwa residivis adalah penjahat yang berulang-ulang keluar masuk penjara; selalu mengulangi perbuatan jahat, baik yang serupa ataupun yang berbeda bentuk kejahatannya (Kartono, 1997). RESIDIVIS REMAJA PRIA Masa remaja berdasarkan teori perkembangan yang dikemukakan oleh Hurlock (1999) berlangsung pada rentang usia 13 hingga 18 tahun. Pengertian remaja yang mengacu pada ketentuan hukum di Indonesia tidak dikenal istilah remaja, tetapi hanya ‘Anak’ dan ‘Dewasa’. Sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Anak dalam perkara pengadilan adalah orang yang berusia 8 hingga 18 tahun. Penelitian ini menetapkan istilah ‘Remaja’ dengan batasan usia 13 hingga 18 tahun yang mengacu pada teori perkembangan Hurlock (1999). Perilaku kejahatan berulang yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja ini, menurut Kartono (1992) menunjukkan gejala perilaku antisosial, yaitu kurang atau tidak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial. Rutter, Giller dan Hagell (1998) menambahkan bahwa perilaku antisosial tidak hanya mencakup tindakan-tindakan yang sering berkaitan dengan aksi kriminal dan pelanggaran hukum yang dapat berakibat pada penahanan (pemenjaraan), namun juga mencakup tindakan-tindakan ilegal yang melibatkan aksi kekerasan, agresi, dan perilaku merusak, yang bisa saja tidak berakibat pada penahanan. Pelaku tindak kriminal yang berulang kali (residivis) menurut Hawari (1996), pada umumnya juga adalah orang-orang yang memiliki perilaku antisosial. Pernyataan tersebut didukung oleh Rutter dkk. (1998),
34
bahwa bentuk perilaku antisosial sangat bervariasi. Salah satunya adalah recidivist crime atau kejahatan residivis. Menurut Kartono (1997), meskipun kejahatan dapat dilakukan oleh siapapun juga, umumnya yang lebih dominan dalam dunia kejahatan adalah kaum pria. Rutter dkk. (1998) mendukung hal ini dengan menyatakan, telah menjadi suatu fakta yang diterima secara universal bahwa kejahatan lebih banyak dilakukan oleh pria. Selain itu, berdasarkan data statistik di banyak negara termasuk di Indonesia, tindak kejahatan paling banyak dilakukan oleh adolesens dan dewasa muda. Adolesensi atau masa remaja berdasarkan teori perkembangan yang dikemukakan oleh Hurlock (1999) berlangsung pada rentang usia 13 hingga 18 tahun. Selanjutnya usia 18 hingga 40 tahun disebut sebagai masa dewasa muda. Teori utama penelitian ini yaitu Antisocial by Young People yang dikemukakan oleh Rutter dkk. (1998) memfokuskan penelitian-penelitian terhadap individu berusia 10-19 tahun. Namun demikian, mereka tidak menggunakan istilah ‘remaja’, tetapi menggantikannya dengan istilah ‘orang muda’ (young people). Batasan orang muda menurut Rutter dkk. (1998) adalah individu dengan rentang usia di bawah 25 tahun. Rutter dkk. (1998) menyatakan, penggantian istilah ini dimaksudkan agar terdapat keseragaman pemahaman yang dapat bersifat internasional, dikarenakan batasan usia individu yang dikatakan sebagai ‘remaja’ umumnya berbeda-beda di tiap negara; seringkali hal tersebut terkait dengan aturan hukum yang berlaku. Pernyataan tersebut didukung oleh Hurlock (1999), bahwa lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia yang dianggap matang secara hukum, yaitu rentang usia 13 hingga 18 tahun. DINAMIKA FAKTORF A K T O R PSIKOSOSIAL Rutter dkk. (1998) menyimpulkan bahwa perilaku antisosial bersumber dari peranan tiga faktor utama, yaitu Psychosocial Features (faktor-faktor psikososial); Environmental Features (faktor-faktor
Simatupang Psikososial …
lingkungan), serta Individual Features (faktor-faktor individu). Berikut ini adalah kutipan wawancara pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap HS, seorang residivis remaja di LP Anak Tanjung Gusta Medan. HS pada saat ini berusia 17 tahun dan sedang menjalani hukuman pidana untuk kedua kalinya dengan kasus yang sama, yaitu penganiayaan. HS masuk penjara untuk kedua kalinya berselang satu tahun setelah ia dibebaskan dari hukuman pidana yang pertama. “....gara-gara kawan jugalah kak..., dengar-dengar cerita kawan, makanya jadi bandal gitu. Kalau nggak..., nggak bisa aku bandal kak.... Pernah kubilang sama abang, aku masuk penjara tu bukan keinginan aku. Kalian kalau nggak suka samaku, udahlah. Mau marah pun nggak masalah.... Yang penting aku.. dah biasa menjalani hidupku sendiri. Udah dari kecil aku, dari umur 8 tahun nggak pernah lagi minta uang Bapak. Udah biasa aku... istilahnya, berkelana. Makan tak makan pun udah pernah kurasakan. Sampai baju tahun baru pun, sepatu, aku sendiri yang beli. ...Sering juganya kurenungrenungkan... kalau malam, tepikir awak, kenapalah... jadi kayak gini awak... Makanya kalau teringat-teringat yang dulu.., sedih kali rasanya.. Entah, nggak taulah kak... entah kek mana kehidupan ni....”
Kutipan wawancara dengan HS di atas menggambarkan adanya faktor pengaruh teman serta pengabaian dari keluarga dalam mempengaruhi perilakunya menjadi antisosial. Kedua faktor di atas merupakan bagian dari sejumlah faktor-faktor psikososial, seperti dinyatakan oleh Rutter dkk. (1998), merupakan salah satu sumber utama yang berperan melatarbelakangi timbulnya perilaku antisosial pada remaja. Menurut Rutter dkk. (1998), sejumlah studi mengenai kejahatankejahatan remaja menemukan bukti kuat pengaruh-pengaruh psikososial serta lingkungan terhadap perilaku antisosial remaja, dengan tidak mengabaikan peranan faktor individual, yang melibatkan komponen-komponen genetik, biologis, proses kognitif, intelegensi, temperamen serta kepribadian. Rutter dkk. (1998) menyatakan dalam meneliti timbulnya
Dinamika
Faktor-Faktor
perilaku antisosial remaja, pertanyaannya bukanlah mana di antara faktor-faktor psikososial tersebut yang memiliki pengaruh terbesar, namun bagaimana dinamika faktorfaktor psikososial tersebut, yaitu bagaimana faktor-faktor tersebut saling berinteraksi. Kompleksitas dari proses ini haruslah dipahami menyeluruh, oleh karena latar belakang psikososial setiap orang menurut Rutter (1998) sifatnya heterogen yaitu tumbuh dan berkembang pada orang-orang yang berbeda, dalam situasi-situasi yang berbeda, dan pada waktu yang berbeda-beda dalam suatu sejarah kehidupan (life history). Kejadian-kejadian dalam hidup yang dialami sejak masa kanakkanak memiliki kontribusi yang besar dalam memprediksi apakah suatu perilaku antisosial pada remaja akan berhenti hingga pada batas akhir masa remaja (adolescence-limited) ataukah akan terus berlanjut hingga dewasa (life-course-persistent). Oleh karena itu, studi mengenai perbedaan-perbedaan individual akan membawa banyak keuntungan dalam memahami kompleksitas yang terjadi serta mekanisme yang terlibat di dalamnya (Rutter dkk., 1998). Rutter dkk. (1998: 215) menyatakan: “Psychosocial factors have a main focus on their possible role as a risk or protective influences on antisocial behavior in individuals. These differ with environmental factors that might serve to raise or lower overall levels of crime in community.”
Berdasarkan definisi di atas disimpulkan bahwa faktor psikososial adalah faktor yang berperan sebagai faktor pelindung ataupun faktor risiko terhadap timbulnya suatu perilaku antisosial pada tiap-tiap individu. Menurut Rutter dkk. (1998), hal ini dikarenakan adanya perbedaan individu dalam memberikan respons terhadap faktor-faktor psikososial. Sebagian individu dapat terpengaruh secara serius dalam jangka panjang, sementara sebagian individu lainnya tetap menunjukkan perkembangan psikologis serta fungsi sosial yang normal ataupun mendekati normal. Kondisi ini berkaitan dengan resiliansi (Rutter dkk., 1998). Sejumlah faktor-faktor psikososial yang melatarbelakangi perilaku antisosial remaja menurut Rutter dkk.(1998) adalah sebagai berikut:
35
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 31 – 38
1. Efek Perilaku Timbal Balik dengan Lingkungan. Bagaimana cara seseorang berperilaku dapat membawa efek dalam hubungan interpersonalnya. 2. Mediator (Perantara) Genetik Studi yang dilakukan Plomin, 1994, 1995; Plomin & Bergeman, 1991 (dalam Rutter dkk., 1998) mengemukakan bahwa penggambaran ciri-ciri lingkungan juga melibatkan suatu komponen genetik. Mereka menemukan 3 hal berikut ini, bahwa: (1) Studi terhadap pasangan kembar secara konsisten menunjukkan, faktor genetik memegang peranan yang penting dalam menjelaskan timbulnya perilaku antisosial; (2) Studi terhadap anak adopsi menunjukkan bahwa korelasi antara karakteristik keluarga dengan perilaku anak selalu lebih tinggi di dalam keluarga biologis dibandingkan keluarga angkat/adopsi; (3) Pengaruh genetik yang diasosiasikan dengan risiko-risiko dalam lingkungan sering overlap dengan pengaruh genetik yang diasosiasikan dengan perilaku anak. 3. Mediator Lingkungan Pengaruh lingkungan berperan penting terhadap perilaku antisosial. Dalam studi yang dilakukan terhadap anak kembar terlihat bahwa pengaruh mediator lingkungan ini ternyata sama kuatnya dengan pengaruh genetik (Rutter dkk., 1998). Pengaruh dari faktor-faktor risiko spesifik yang diperantarai lingkungan ini dibedakan menjadi pengaruh bersama (shared effect) dan pengaruh tidak bersama (nonshared effect). Pengaruh bersama adalah pengaruh yang dirasakan oleh semua anak dalam satu keluarga, sedangkan pengaruh tidak bersama adalah pengaruh yang dialami oleh seorang anak yang memiliki pengalaman berbeda (misal: pengalaman di luar rumah) maupun pengaruh yang berasal dari faktor-faktor risiko keluarga luas, seperti perselisihan keluarga, kemiskinan, serta kepadatan jumlah anggota keluarga. 4. Efek Variabel Ketiga (Variabel Antara) Efek variabel ketiga menjelaskan hubungan yang terdapat antara 2 variabel
36
yang menjadi fokus perhatian. Perantaraan genetik serta perilaku individu terhadap lingkungan merupakan contoh efek variabel ketiga dalam hal pengukuran faktor risiko lingkungan. 5. Pengaruh Keluarga, terdiri dari beberapa faktor berikut ini: a. Orang tua berusia remaja Conseur dkk. (dalam Rutter dkk., 1998) membuat studi perbandingan antara remaja kriminal dengan non kriminal dan menemukan bahwa, baik pada remaja pria maupun wanita, dilahirkan oleh ibu yang tidak menikah memiliki risiko sebesar 2 kali lipat untuk menjadi pelaku kriminal yang kronis. Sementara itu, dilahirkan oleh ibu yang berusia di bawah 18 tahun dihubungkan dengan risiko lebih tinggi, yaitu sebesar 3 kali lipat untuk menjadi pelaku kriminal yang kronis. Risiko tertinggi, yaitu 11 kali lipat, ditemukan pada kelompok remaja pria yang memiliki ibu tidak menikah yang masih berusia di bawah 18 tahun. b. Ukuran keluarga yang besar Dilahirkan dalam suatu keluarga yang memiliki paling sedikit 4 orang anak telah lama dianggap sebagai suatu faktor risiko yang signifikan terhadap perilaku antisosial (Rutter & Giller dalam Rutter dkk., 1998). Hal yang terkait dengan ukuran keluarga yang besar adalah: (1) Ukuran keluarga besar cenderung terkait dengan bimbingan serta disiplin orang tua yang kurang adekuat (Farrington & Loeber dalam Rutter dkk., 1998); (2) Offord (dalam Rutter dkk., 1998) berpendapat, ukuran keluarga besar lebih dikaitkan dengan pengaruh dari saudara-saudara yang antisosial dibandingkan kualitas pola asuh. c. Keluarga yang berantakan (broken home) Ferguson, Lynskey, dan Horwood (dalam Rutter dkk., 1998) menemukan bahwa anak yang diadopsi memiliki tingkat kecenderungan perilaku antisosial yang sedikit lebih tinggi dibandingkan anak yang diasuh dalam keluarga dengan kedua orang tua
Simatupang Psikososial …
biologis. Risiko terhadap perilaku antisosial serta bentuk-bentuk malfungsi psikososial lainnya paling besar ditemukan pada anak tidak sah yang diasuh oleh ibunya (single mother). Rutter dan Giller (dalam Rutter dkk., 1998) selanjutnya menyatakan, perceraian atau perpisahan orang tua memiliki asosiasi yang penting dalam hal peningkatan risiko perilaku antisosial bagi anak, sementara risiko yang diasosiasikan dengan kematian orang tua adalah minimal. d. Penyiksaan dan Pengabaian Masalah perilaku antisosial pada remaja maupun orang dewasa sering ditemukan memiliki kaitan dengan pengalaman-pengalaman penyiksaan di masa kanak-kanak (Boswell, 1995, 1996; Lewis dkk., 1989b; dalam Rutter dkk., 1998). Anak-anak yang mengalami pengabaian serta penyiksaan serius secara fisik maupun seksual menunjukkan peningkatan gangguan-gangguan perilaku, sosial serta emosi. Widom (dalam Rutter dkk., 1998) mengatakan, penyiksaan di masa kanak-kanak meningkatkan risiko sebesar 50% bagi tindak kriminalitas di masa mendatang. Perilaku ayah yang agresi juga memiliki korelasi dengan conductdisorder (gangguan perilaku) di masa kanak-kanak, serta antisocial personality disorder (gangguan kepribadian antisosial) di masa dewasa (Rutter dkk., 1998). e. Kekerasan dan Permusuhan Sejumlah studi menemukan bahwa pola asuh yang sering melibatkan kekerasan, permusuhan, kritik, serta hukuman berhubungan kuat dengan risiko perilaku antisosial pada anak (Farrington & Loeber dalam Rutter dkk., 1998). f. Pola Asuh serta Pengawasan yang Tidak Efektif Patterson (dalam Rutter dkk., 1998) mengemukakan, para orang tua dari remaja antisosial biasanya gagal dalam
Dinamika
6.
7.
8.
9.
Faktor-Faktor
memonitor perilaku anak sehingga mereka sering tidak mengetahui di mana anaknya berada serta apa yang sedang dilakukannya. Teman Sebaya Telah lama dinyatakan bahwa remaja antisosial cenderung memiliki temanteman yang juga antisosial dan kebanyakan tindakan antisosial tersebut mereka lakukan bersama-sama (Reiss dalam Rutter dkk., 1998). Kemiskinan dan Ketidakadilan Sosial Seperti dinyatakan oleh Marton (dalam Rutter dkk., 1998), perilaku antisosial muncul dari ketegangan yang diakibatkan adanya gap (kesenjangan) antara tujuan yang diharapkan dan sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut. Pengangguran. Sejumlah studi menunjukkan kaitan penting antara kondisi tidak adanya pekerjaan dengan timbulnya tindak kejahatan. Studi-studi longitudinal yang menyoroti kehidupan remaja antisosial hingga pada masa dewasanya menemukan bahwa peluang mereka sangat besar untuk tidak memiliki pekerjaan; salah satunya ditunjukkan dengan pengalamanpengalaman kerja yang tidak menetap (Caspi dkk dalam Rutter dkk., 1998). Resilience (Resiliansi) Luthar, Doernberger, dan Zigler (dalam Rutter dkk., 1998) menjelaskan, resiliansi adalah suatu keadaan di mana individu dapat terlindungi dari sejumlah pengaruh yang merugikan, yang justru sangat berdampak bagi individu lainnya. Farrington dkk. (dalam Rutter dkk., 1998) menemukan hal yang sama, bahwa terdapat individu dengan latar belakang yang berisiko tinggi terhadap perilaku antisosial namun mereka tetap memiliki fungsi sosial yang baik dan tidak menjadi pelaku kriminal.
Dengan demikian, permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana dinamika psikososial residivis remaja pria di LP Anak Tanjung Gusta Medan.
37
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 31 – 38
METODE PENELITIAN Untuk dapat menggambarkan dinamika psikososial seorang residivis remaja, jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah studi kasus. Hal ini didasari oleh pernyataan Yin (1996), bahwa studi kasus merupakan strategi yang lebih tepat apabila: (1) Pokok pernyataan suatu penelitian berkenaan dengan “how” (bagaimana) atau “why” (mengapa); (2) Bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki; dan (3) Bila fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata. Poerwandari (2001) kemudian menambahkan, studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam. Metode yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan observasi terhadap 2 orang residivis yang berada di LP Anak Tanjung Gusta Medan dan memiliki kriteria dibawah ini. Kriteria yang digunakan untuk memilih subjek penelitian adalah sebagai berikut: 1. Residivis, yaitu orang yang telah lebih dari satu kali di penjara karena berulangulang melakukan tindak pidana dengan jenis kejahatan yang sama ataupun berbeda. 2. Jenis kelamin pria 3. Berusia remaja, yaitu antara 13-18 tahun. Strauss (dalam Irmawati, 2002) mengatakan bahwa tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah minimal subjek yang harus dipenuhi. Apabila data yang dikumpulkan telah cukup mendalam maka dapat diambil subjek penelitian dalam jumlah kecil. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 2 orang. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Anak Tanjung Gusta Medan; merupakan satu-satunya Lembaga Pemasyarakatan di kota Medan yang menampung narapidana pria berusia anak hingga remaja, yang secara hukum ditetapkan mulai dari usia 8 hingga 18 tahun.
38
KESIMPULAN 1. Subjek I Dari uraian dinamika faktor-faktor psikososial yang dialami oleh Subjek I sejak masa kecilnya, tergambar kondisi suatu keluarga besar dengan orang tua tunggal, yaitu ayah. Perilaku ayah yang agresif menyebabkan terjadinya pengalaman penyiksaan serta pemberian hukuman secara fisik di masa kanak-kanak. Ayah juga menerapkan pola asuh serta pengawasan yang tidak efektif terhadap keberadaan, kebutuhan serta perasaan anak, sehingga ia merasa diabaikan. Konflik dengan keluarga kemudian mendorong subjek pergi dari rumah dan mengakibatkan ia mulai terpengaruh oleh pergaulan dengan teman-teman di jalanan. Ia kemudian menyadari sulitnya mencari pekerjaan karena tidak tamat bersekolah. Di masa remaja ini juga terjadi perselisihan dalam keluarga, yaitu antara subjek dengan kedua abangnya. Pengalaman dikecewakan oleh pihak yang berjanji untuk menyekolahkan namun tiba-tiba memberhentikannya tanpa alasan yang jelas menyebabkan subjek sejak saat itu menjadi mudah emosi dan mudah terpancing untuk marah. Hal itu menyebabkannya berespons negatif jika ada pihak yang mulai menganggunya lebih dahulu. Sifat mudah emosi tersebut menyebabkan ia masuk penjara pertama kalinya karena melakukan pemukulan terhadap orang yang sering “mengompas” sesama rekannya di jalanan, yaitu anak-anak pengamen. Setelah keluar dari penjara, subjek terlibat peer group antisosial yang sering melakukan perkelahian sehingga menyebabkannya dipenjara kembali untuk kedua kalinya. 2.
Subjek II Dari uraian dinamika faktor-faktor psikososial yang dialami oleh subjek II, terlihat bahwa pada masa kecil, subjek dibesarkan dalam keluarga utuh bersama dengan kedua orang tua kandungnya. Subjek memiliki keterikatan yang erat dengan ibunya, sementara ayah dianggap kurang memberi perhatian pada keluarga karena jarang berada di rumah. Meskipun ayah sering memberi hukuman fisik, subjek dapat memahami
Simatupang Psikososial …
alasan pemberian hukuman yaitu karena ia dan adik-adiknya membuat kesalahan sehingga hal tersebut tidak menjadi suatu faktor risiko baginya. Pengaruh keluarga yang dirasakan oleh subyek adalah perceraian orang tua, pola asuh dan pengarahan yang tidak efektif dari ayah, pengabaian oleh ibu tiri dan permusuhan dalam keluarga, yaitu antara ayah dan ibu kandung subjek. Hal ini menyebabkan pengaruh teman-teman yang telah dimilikinya sejak kecil menjadi semakin intens. Pikiran yang selalu tertuju untuk bermain mempengaruhi cara-cara subjek dalam berperilaku sehingga menyebabkan respons negatif dari orang lain serta seringnya ia diberhentikan dari pekerjaan. Kegemaran bermain serta keterikatan dengan teman dikarenakan adanya faktor kesenangan dan rasa kebersamaan menyebabkan subjek selalu mengikuti apapun aktivitas yang dilakukan teman-temannya. Hal ini menjerumuskan subjek ke dalam perilaku antisosial yang berakibat ia harus menjalani hukuman pemenjaraan sebanyak 2 kali. DISKUSI Dari gambaran dinamika faktor-faktor psikososial pada residivis remaja pria di LP Tanjung Gusta Medan, terlihat bahwa pengaruh faktor kekerasan dalam keluarga hanya dirasakan oleh subjek I, meskipun kedua subjek sama-sama mengalami seringnya pemberian hukuman fisik oleh ayah di masa kanak-kanak. Dalam hal ini, Subjek II dapat memahami bahwa pemukulan yang dilakukan ayahnya disebabkan oleh kesalahan yang ia lakukan, yaitu tidak menuruti perkataan ayahnya. Hal ini sejalan dengan penjelasan Rutter dkk. (1998) bahwa pemberian hukuman secara fisik akan menjadi
Dinamika
Faktor-Faktor
suatu faktor risiko dalam memicu perilaku antisosial anak jika hukuman tersebut dilandasi oleh hubungan orang tua anak yang buruk serta jika anak tidak dapat menerima alasan pemberiam hukuman oleh orang tua. Selanjutnya, dalam penelitian ini juga tidak ditemukan pengaruh kemiskinan serta ketidakadilan sosial dalam latar belakang kedua subjek penelitian, di mana secara subjektif mereka menyatakan berasal dari keluarga yang cukup mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara ekonomi. Hal ini dikarenakan mereka melihat adanya kesamaan status sosial dengan keluarga-keluarga lain di lingkungan sekitar mereka. Kondisi ini dijelaskan oleh Widyanti (1987) bahwa tidak semua perilaku antisosial disebabkan oleh tekanan-tekanan ekonomi, melainkan lebih kepada masalah-masalah yang bersifat psikologis, salah satunya yaitu tekanantekanan emosi dan konflik sehingga seseorang melakukan pelanggaran. Pada umumnya perilaku antisosial remaja sering dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang menyangkut penyesuaian diri (pribadi) serta keluarga (Widyanti, 1987). Faktor psikososial lainnya yang tidak ditemukan adalah resiliansi, di mana kedua subjek sama-sama merasakan efek negatif dari faktor-faktor risiko psikososial yang dialami sejak masa kecilnya. Kondisi-kondisi penuh tekanan, antara lain pengaruh faktor keluarga, menyebabkan kedua subjek terkena dampak serius yang kemudian memicu keterlibatan mereka dalam perilaku antisosial. Berkaitan dengan hal tersebut Rutter (1998) menyatakan memang terdapat perbedaan individual dalam memberikan respons terhadap pengaruh faktor-faktor psikososial, di mana
Tabel 1. Dinamika Psikososial Residivis Remaja Pria di LP Anak Tanjung Gusta Medan Faktor-Faktor Subjek 1 Subjek 2 Psikososial a) Keluarga broken home 1. Pengaruh Keluarga a) Ukuran keluarga besar b) Pengabaian terhadap anak (ayah b) Pola asuh dan pengawasan yang tidak efektif agresif) c) Orang tua tunggal (ibu c) Pengabaian oleh ibu tiri d) Permusuhan dalam keluarga meninggal) d) Pola asuh serta pengawasan yang tidak efektif 2. Pengaruh Teman Pengaruh Teman Sebaya Pengaruh Teman Sebaya
39
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 31 – 38
Sebaya 3. Pengangguran
Pengangguran
sebagian individu mungkin dapat terpengaruh secara serius dalam jangka panjang, sementara sebagian individu lainnya tetap menunjukkan perkembangan psikologis serta fungsi sosial yang normal. Mereka yang berada dalam kelompok yang terakhir inilah yang dikatakan mengalami pengaruh resiliansi (Rutter dkk.,1998). Temuan baru yang terlihat dalam penelitian ini berkaitan dengan kondisi korban keluarga broken home dengan orang tua tunggal, yaitu efek ketiadaan ibu terhadap subjek penelitian. Subjek I tidak memiliki ibu dikarenakan telah meninggal dunia pada saat masa ia berusia 5 tahun. Dalam pernyataannya, subjek I merasa bahwa di masa kecil orang yang paling dekat dengannya adalah ayahnya. Namun demikian, sikap ayahnya yang sering memukul menyebabkan ia merasa kecewa dan memutuskan pergi dari rumah. Kondisi ini dijelaskan oleh Hurlock (1999) bahwa di masa kanak-kanak awal yaitu rentang usia 2 hingga 6 tahun, kondisi yang paling penting dalam mempengaruhi penyesuaian diri anak di masamasa mendatang adalah faktor hubungan orang tua dengan anak, yaitu kedekatan anak dengan salah satu orang tua. Dalam hal ini, jika anak merasa dekat dengan salah satu orang tuanya maka ia akan meniru sikap, emosi, serta pola perilaku tokoh tersebut. Sementara itu, Subjek II kehilangan ibu karena bercerai pada saat ia duduk di kelas 6 SD. Menurut Hurlock (1999) masa tersebut berada pada rentang usia puber/pra remaja seperti halnya semua anak, seorang anak pada masa puber mendambakan kasih sayang, namun ia menginginkan kasih sayang yang lebih banyak dari sebelumnya karena anak puber biasanya merasa tidak bahagia dan tidak puas terhadap diri sendiri serta terhadap kehidupan pada umumnya. Kurangnya kasih sayang akan menyebabkan ketidakbahagiaan masa puber yang berdampak pada penyesuaian diri pada tahap perkembangan selanjutnya. Sesuai dengan pernyataan Subjek II, ibunya adalah orang yang selalu
40
Pengangguran
memberikan kasih sayang serta merupakan orang yang paling dekat dengannya. Ketiadaan ibunya di rumah serta berbedanya kasih sayang dari ibu tiri menyebabkan ia tidak suka berada di rumah serta terlibat perselisihan dengan ibu tirinya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hurlock (1999) bahwa seorang anak yang masih mengingat orang tua kandung yang tidak ada lagi bersamanya di rumah biasanya akan membenci orang tua tiri. Ia kemudian akan menunjukkan sikap kritis, negativistis, serta perilaku yang sulit, yang kemudian berdampak pada timbulnya perselisihan-perselisihan di rumah. SARAN Perlunya melakukan penelitian terhadap individu-individu antisosial dengan jumlah subjek penelitian yang lebih besar agar dapat diperoleh gambaran yang lebih baik dan menyeluruh mengenai dinamika faktor-faktor penyebab yang berperan besar terhadap diri mereka. Dalam mendekati individu yang berstatus narapidana maupun residivis sangat dipentingkan rapport yang baik dan intens. Tujuan wawancara serta penggunaan recorder harus dijelaskan dengan baik sehingga mereka merasa yakin bahwa pembicaraan tidak akan disampaikan kepada petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP). Kepercayaan terhadap peneliti perlu ditumbuhkan sebelum masuk dalam pengambilan data wawancara. Pada umumnya, mereka akan menghargai orang yang tidak merasa takut pada mereka serta memperlakukan mereka dengan akrab tanpa memandang mereka adalah narapidana. Mereka juga sangat menghargai kunjungan serta pemberian. Perlunya uji keabsahan data untuk penelitian selanjutnya dengan menggunakan alat bantu lain seperti heteroanamnesa, yaitu mengumpulkan informasi tambahan dari pihak-pihak lain yang terkait seperti keluarga dan teman, agar data yang diperoleh lebih akurat dan dapat dipercaya.
Simatupang Psikososial …
DAFTAR PUSTAKA Hawari, D. (1996). Tiga kelompok pemakai ecstasy: Kriminal, korban, atau pasien?. Republika [ 0n-line] Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi ke-5). Jakarta: Penerbit Erlangga. Irmawati. (2002). Motivasi berprestasi dan pola pengasuhan pada suku bangsa Batak Toba dan suku bangsa Melayu. Thesis (Tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Kartono, K. (1992). Patologi sosial 2: Kenakalan remaja. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali
Dinamika
Faktor-Faktor
Poerwandari, K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Pengembangan sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rutter, M., Giller, H., Hagell, A. (1998). Antisocial behavior by young people. United Kingdom: Cambridge University Press. Widyanti, N., Waskita, Y. (1987). Kejahatan dalam masyarakat dan pencegahannya. Jakarta: Penerbit PT. Bina Aksara Yin, R.K. (1996). Studi kasus (desain dan metode). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
------------- (1997). Patologi sosial 1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
41