PROGRAM PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN OLEH YAYASAN AKMI MEDAN Mai Yusra & Hairani Siregar
Abstract The economical poverty is very significant to social problem. The street children are the social problem caused by the economical poverty. This research try to know how The YAKMI (foundation) help the poor children which have the street children status. This research especially to know how the change in the mind of the street children after got the treatment program which be done by YAKMI. The result of this research shows, there are some positive changes in the street children’s selves. After got the treatment program by YAKMI they tried change their selves as good as they can and try to prepare their future. Keywords: street children, deviation
Pendahuluan Keberadaan pekerja anak sudah lazim terlihat di kota-kota besar di Indonesia. Pada umumnya mereka bekerja pada sektor informal. Kebanyakan dari mereka sebagai pemulung, penyemir, tukang sapu, lap mobil, pedagang asongan, pengemis, tukang pakir, dan pekerjaan lain yang menghasilkan uang. Secara empiris juga mengindikasikan peningkatan pekerja anak pada kondisi yang sangat berisiko yaitu mencari sisa makanan dan pemungut sampah dan juga pekerja anak di atas jermal perikanan lepas pantai yang sering dijumpai pada daerah pesisir pantai. Menurut Sarjono dalam tulisannya, mengemukakan problematika pekerja anak dalam skala dunia merupakan masalah sosial yang cukup pelik bagi semua negara. Bagi yang bersangkutan, di usia mereka semestinya dipergunakan untuk menuntut ilmu dan menambah keterampilan bahkan untuk bermain, justru dipergunakan untuk bekerja. Jurnal tingkat dunia menyebutkan, tahun 1999 dalam Laporan Situasi Anak-Anak terungkap keberadaan 80 juta anak menjadi pekerja anak dan di antara 30 juta dibiarkan oleh orang tuanya untuk mengurus dirinya sendiri dan menjadi anak jalanan (www.dipnakertransjateng.go.id).
Sementara di Indonesia sendiri adanya peningkatan tajam jumlah pekerja anak. Berdasarkan perbandingan data BPS dari tahun 2000 hingga 2002 jumlah pekerja anak di Indonesia naik dari 2183 juta jiwa, hingga 2,3 juta jiwa ini tidak termasuk anak di bawah umur 10 tahun. Dan pada tahun 2003 pekerja anak di bawah 15 tahun mencapai 6 – 8 juta jiwa. Dan akan bertambah banyak pula di tahun 2004 ini (www.dipnakertransjateng. go.id). Perubahan sosial dan politik yang terjadi di Indonesia sejauh ini tampaknya belum memiliki pengaruh dan dampak bagi kehidupan pekerja anak khususnya anak-anak jalanan. Anak jalanan yang termarjinalkan ini dijadikan isu sebagai gambaran keadaan fungsi sosial mereka yang tidak terpenuhi. Mereka tidak lagi tinggal di rumah, tidak mempunyai kelompok sebaya di lingkungan rumahnya, dan terutama mereka telah meninggalkan sekolah. Begitu pula anak jalanan yang masih tinggal dengan orang tua dan masih bersekolah, dapat berisiko besar meninggalkan rumah dan sekolahnya (artikel:
[email protected]). Anak jalanan merupakan suatu pribadi dan dunia tersendiri yang berbeda dengan dunia anak-anak lain. Sebagai suatu dunia di dalamnya terdapat mekanisme hidup yang khas seperti cara berinteraksi, berkomunikasi, berperilaku,
Mai Yusra adalah Staf PT Satelindo Dumai, Hairani Siregar adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU 186
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
berkelompok, dan bertahan hidup. Mekanisme tersebut terbentuk dari proses interaksi dengan cara hidup di jalanan dan umumnya berinteraksi dengan orang-orang yang berada di jalanan oleh karena itu, siapapun yang bekerja dengan anak jalanan dalam rangka mencapai perubahanperubahan yang diinginkan harus memahami mekanisme hidup mereka tersebut (UNDP, 1997: 51). Sosok anak jalanan dianggap merupakan pekerjaan yang paling hina di mata masyarakat. Penampilan mereka yang jorok, ekonomi keluarga yang miskin, permukiman mereka yang kumuh atau bahkan sama sekali mereka tidak mempunyai tempat tinggal. Ini sangat berbeda dengan anak-anak kebanyakan lainnya yang tidak hidup di jalanan. Hidup menjadi anak jalanan bukanlah sebagai pilihan hidup yang menyenangkan, melainkan keterpaksaan hidup yang mereka harus terima karena adanya sebab tertentu. Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fanomena yang menuntut perhatian kita semua. Menurut Arief, secara psikologis mereka adalah anakanak pada taraf tertentu belum mempunyai bentuk mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian mereka. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Di mana labilitas emosi dan mental mereka ditunjang dengan penampilan yang kumuh sehingga melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diindentifikasikan sebagai pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, dan malah ada beranggapan sebagai sampah masyarakat yang harus diasingkan (www.bpk.go.id). Memahami anak jalanan secara utuh, hendaknya kita harus mengetahui definisi anak jalanan tersebut. Departemen Sosial RI mendefinisikan anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Dari definisi tersebut kita tahu bahwa kehidupan anak jalanan tersebut rentan terhadap berbagai tindak kekerasan dan eksploitasi anak. Karena mereka hidup pada lingkungan luar yang menerapkan kebebasan tanpa aturan (Proyek INS/94/007, 1997:13).
Perkembangan seorang anak akan tergantung pada fungsi keluarga (Zeithlin dkk., 1995). Baik buruknya perkembangan anak baik secara fisik, mental, dan psikologis sangat bergantung pada keluarga ketika menjalankan fungsinya. Keluarga mempunyai beberapa fungsi yaitu reproduksi (Riddele, 1987) dan di dalamnya mencangkup pula berbagai kasih sayang antara suami dan istri (Andayani, 1981); sosialisasi dan pendidikan anak (Riddele, 1987), fungsi penyedia kebutuhan dasar (Riddle 1987, Andayani 1998), dan sumber dukungan sosial (Heristanti, 1996). Sebagaimana yang lebih lanjut diungkapkan oleh Zeitlin bahwa keluarga yang berfungsi secara sehat akan memberikan kesempatan besar bagi perkembangan anak (Zeithin dalam Siregar, 2004: 27). Anak jalanan sering diidentifikasikan sebagai anak yang bebas, liar, tidak mau diatur, melakukan kegiatan negatif seperti mencuri, berkelahi, mabuk, menggunakan obat-obat terlarang, melakukan hubungan seks, dan lainlain. Kondisi ini terjadi karena hubungan dengan orang tua renggang bahkan sebahagian telah putus. Mereka berada di jalanan tanpa kontrol dan perhatian, bahkan di antaranya ada yang justru diusir orang tua atau sengaja meninggalkan rumah. Hidup tanpa adanya orang tua memungkinkan anak bebas melakukan apa saja (Proyek INS/94/007 hal: 60) Minim bahkan tiada perhatian orang tua diperkuat oleh pengaruh jalanan. Kepribadian anak lambat laun akan membentuk perilaku yang tidak berbeda dengan orang-orang jalanan, seperti preman, dll. Semakin lama anak di jalanan, semakin kuat pengaruh pada sikap dan perilakunya. Bila dicermati terbentuknya perilaku anak jalanan, menggunakan teori pendekatan Behavioristik (teori lingkungan). Yaitu suatu pendekatan yang menitikberatkan pada pembentukan perilaku karena adanya proses belajar terhadap lingkungan baik dalam lingkungan internal maupun eksternal. Lingkungan internal seperti keluarga dan lingkungan eksternal yaitu sekolah, tempat bermain maupun lingkungan masyarakat. H. Khairuddin mengatakan bahwa keluarga adalah kelompok pertama yang mengenal nilai-nilai kebudayaan pada si anak dan di sinilah yang dialami antar-aksi dan disiplin pertama yang dikenakan kepadanya dalam kehidupan sosial (Khairuddin,1997: 67), ketika anak tidak lagi memperoleh perhatian dari orang tua maka anak akan mudah 187
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
dipengaruhi perilakunya dengan lingkungan luar. Budaya dalam kehidupan anak jalanan terbangun dari interaksi mereka selama berada di jalanan yang sudah pasti berbeda dengan budaya yang ada di masyarakat “normal”. Sub kultur menjadi sebutan bagi budaya yang lahir tersebut sering menjadi pegangan bagi orang yang masih hidup dalam komunitas tersebut menjadi hukum tidak tertulis yang patut dipatuhi. Dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan beberapa pendamping di Medan, ada beberapa sifat khas yang dimiliki oleh anak jalanan yaitu: rasa solidaritas yang tinggi, ulet dalam bekerja walaupun usia mereka masih tergolong muda, mandiri, tidak perlu indentitas dalam bentuk formal, rasa ingin tahu dan kreativitas yang tinggi, keinginan akan kebebasan yang tinggi tanpa aturan formal yang mengikat (Ikhsan dkk.,2004: 1). Bila dicermati lebih teliti, adanya proses imitasi (peniruan) dalam diri anak jalanan sangat tinggi, apalagi idola yang dikenalkan di jalanan dan biasanya yang ditiru adalah sifat dan perilaku yang menentang dari aturan formal yang ada dalam masyarakat. Inilah yang akan lebih mengarah pada pembentukan perilaku anak jalanan, bila mana orang yang diimitasikan memiliki perilaku yang buruk maka perilaku buruk itu pula yang akan ditiru oleh anak tersebut. Pengamatan visual dalam keseharian utama anak jalanan Kota Medan, ialah banyaknya anak-anak jalanan di bawah umur yang bekerja mencari nafkah di jalan yang jumlahnya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Banyak faktor yang menyebabkan anak pergi ke jalanan, berdasarkan penuturan mereka ada 5 faktor yang menjadi latar belakangnya, yaitu: 1) Kekerasan dalam keluarga. 2) Dorongan keluarga. 3) Ingin bebas. 4) Ingin memiliki uang sendiri, dan 5) Pengaruh teman. Namun faktor yang paling dominan munculnya anak jalanan, adalah faktor kondisi sosial ekonomi. Jumlah anak jalanan di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2002 hingga 2003 tidak andanya perbedaan jumlah yang berarti hanya saja beberapa kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara sendiri. Dari data Dinas Sosial Kota Medan sendiri, menyebutkan bahwa jumlah anak jalanan pada tahun 2003 berjumlah 2.526 jiwa anak, yang menduduki tingkat tertinggi di Medan (Siregar, 2004: 27).
188
Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk, di mana kelompok ini belum mendapatkan hakhaknya bahkan sering terlanggar. Hal tersebut menunjukkan kepekaan masyarakat kepada anak-anak jalanan itu nampaknya tidak begitu tajam. Padahal anak merupakan karunia ilahi dan amanah yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Tentu saja penanganan yang baik masalah anak jalanan diharapkan akan dapat memperkuat sendi-sendi kesejahteraan sosial serta stabilitas nasional di masa yang akan datang. Pada dasarnya setiap manusia memiliki hak-hak tersendiri yang dilindungi oleh undangundang, tidak terkecuali anak sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan. Demikian juga dengan kesejahteraan yang termasuk dalam ruang lingkup pemberian hak pada anak. Namun seringkali hak anak tidak dipenuhi malah seakan-akan diabaikan. Padahal sudah ada undang-undang yang mengatur secara tegas tentang hak-hak anak yang dikenal dengan hak asasi anak. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Sedemikian seriusnya masalah ini dituangkan dalam suatu peraturan, karena hak asasi anak itu merupakan bagian dari hak asasi manusia. Ini yang menjadi dasar pertimbangan adanya pengesahan konvensi tersebut (Elvayani dalam Lintas Anak-PPAI, 2004: 2). Pada kenyataannya ada banyak anak yang tidak dapat menerima haknya untuk merasakan pendidikan, perlindungan, bahkan tempat tinggal yang layak untuk mereka tinggali. Bahkan seringkali mereka menerima perlakuan kasar (tindak kekerasan). Ini dapat terlihat pada hasil monitoring PPAI yang dilakukan oleh pusat Data dan Informasi PPAI – Sumut tahun 2004, yang didapat dari berbagai sumber. Disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak semakin meningkat dari tahun ke tahun khususnya di Kota Medan. Data mencatat bentuk kekerasan yang paling tinggi jumlahnya adalah pencabulan sebanyak 66 kasus dari 227
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
kasus yang ada dari 12 bentuk kekerasan. Sedangkan bentuk kekerasan Konflik dengan Hukum berada di urutan kedua dengan 50 kasus (Elvayani dalam Lintas Anak-PPAI, 2004: 3). Anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional, dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Upaya pengembangan dan peningkatan kualitas generasi bangsa (termasuk di dalamnya anak jalanan) tidak dapat dilepaskan dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan khususnya anak yang diwarnai dengan upaya pendalaman di bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, intelektualitas. Menurut Dr. E.M. Sweeting dkk., mengatakan bahwa rata-rata anak yang putus sekolah diperkirakan karena masalah ekonomi yang buruk. Namun kadang-kadang ada yang terus-menerus sakit dan malah ada pula anakanak yang berhenti dari sekolah karena membantu menambah penghasilan keluarga. Sehingga mereka terpaksa tidak memperdalam pendidikan mereka. Apalagi pembentukan perilaku mereka di jalan terutama perilaku buruk (Sweeting,1998: 15). Dari data baseline survey (penelitian dasar) ditemukan, perilaku buruk anak jalanan di Kota Medan dalam hal pemakaian napza pada anak jalanan yang paling umum adalah ngelem dan alkohol masing-masing sekitar 27%, kumudian ganja/cimeng 21%. Sementara dalam mengkonsumsi rokok ditemukan sekitar 50% anak jalanan telah mengkonsumsinya. Jumlah batang rokok bervariasi dari 1 sampai 24 batang per hari, di mana anak laki-laki yang berusia di atas 15 tahun umumny a mengkonsumsi rokok hingga 6 batang per hari. Sementara penyakit yang paling banyak ditemukan pada anak jalanan adalah penyakit kulit sekitar 46,8% dibandingkan diare dan penyakit kelamin (Kencana, 2001: 32). Jenis perilaku anak jalanan yang sering dilakukan salah satunya adalah berkelahi. Perilaku yang sering berkelahi pada anak jalanan dapat dilihat dari tabel di bawah ini. Data ini diperoleh dari hasil survei yang dilakukan kepada anak jalanan dari empat LSM yang didanai oleh Save The Children. LSM tersebut meliputi KKSP, PKPA, YAKMI, KARANG yang dilakukan pada masing-masing lokasi Rumah Singgah tersebut. Dari data pada tabel di atas terlihat bahwa anak yang tidak berkelahi adalah 8 % atau 20
orang anak. Dari data bahwa alasan berkelahi yang paling banyak karena diganggu (53,6%). Dari 27 anak perempuan, 22 anak memakai alasan ini (81%). Tidak ada perempuan berkelahi karena membela teman. Dari data ini terlihat bahwa lingkungan membentuk perilaku buruk pada anak. Menanggapi kompleksitas masalah tersebut, harus ada upaya-upaya konkret untuk melakukan perbaikan atas situasi anak jalanan atau bahkan – yang bersifat utopis – menghilangkan keberadaan anak jalanan. Upaya ini akan berdampak besar apabila ada keterlibatan dan jalinan kerja sama berbagai pihak seperti pemerintah, organisasi non – pemerintah (NGO), organisasi sosial dan kemasyarakatan, akademis dan masyarakat umum. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan upaya pemberdayaan, ini sangat penting dilakukan agar anak jalanan dapat keluar dari kondisi marjinal. Pemberdayaan tidak hanya dilakukan dalam segi ekonomi (pekerjaan dan penghasilan) tapi juga pendidikan yang akan merupakan investasi bagi mereka dalam meraih pekerjaan yang lebih baik di masa dewasanya. Pendidikan yang dimaksud bisa berupa pendidikan formal maupun pendidikan informal berupa keterampilan. Pemberdayaan menjadi peluang untuk anak jalanan dapat berkembang menjadi lebih baik. Agar mereka dapat terhindar dari ancaman dan masalah penyalahgunaan dirinya di jalanan. Sehingga anak jalanan menjadi lebih produktif dengan memanfaatkan peluang di jalan maupun di luar lingkungan jalanan sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Menindaklanjuti masalah di atas, maka diharapkan berpartisipasi LSM dalam penanganan masalah anak jalanan tersebut. Yayasan Kesejahtraan Masyarakat Indonesia (YAKMI) sebagai salah satu organisasi non pemerintahan, secara berkelanjutan melakukan program pemberdayaan terhadap anak jalanan. Program yang dilakukan antara lain meliputi pemberian bantuan kepada anak jalanan seperti pelayanan pendidikan dan keterampilan, beasiswa, bimbingan dan motivasi, pemberian bantuan modal. Pada umumnya anak yang didampingi lembaga YAKMI adalah anak yang Vulnarabel yaitu 89,8% dari jumlah anak dampingan (360 anak). Mereka tinggal bersama orang tua/ 189
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
keluarga dan ada yang hidup mengontrak bersama teman-teman (5,5%). Mereka yang mengontrak pada umumnya berasal dari luar Kota Medan, yaitu kabupaten terdekat seperti Deli Serdang dan Langkat. Sekarang 48,8% dari jumlah anak dalam keadaan putus sekolah. Jika didasari dari teori behavioralisme yaitu teori yang mengungkapkan bahwa perilaku sesorang terbentuk dari proses belajar terhadap lingkungan yang bersangkutan. Maka perilaku anak jalanan terbentuk dari kehidupan mereka di jalanan karena hampir sebahagian waktu mereka habiskan di jalanan maka terbentuknya perilaku buruk dari proses peniruan. Oleh sebab itu YAKMI sebagai lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada anak jalanan memiliki program untuk menekan perilaku buruk pada anak. Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mengakaji program tersebut terlaksana dalam kaitan merubah perilaku anak jalanan. Karena pada hakikatnya anak jalanan bagaimanapun merupakan generasi penerus sehingga perilaku buruk tersebut harus segera dirubah. Oleh karena itu masalah ini harus segera diteliti agar program tersebut memiliki dampak perubahan terhadap sasaran ataupun sebaliknya.
Metode Penelitian Tipe penelitian tergolong penelitian penelitian deskriptif, yaitu suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang masyarakat dan lain-lain) pada saat ini berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1990: 63). Dalam hal ini menggunakan tipe penelitian deskriptif ingin membuat gambaran atau melukiskan secara sistematis aktual dan akurat tentang Program Pemberdayaan Anak Jalanan terhadap Perilaku Anak Jalanan yang dibimbing oleh YAKMI. Penelitian ini dilakukan di lembaga swadaya masyarakat yaitu Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia (YAKMI) yang berada di jalan Gajah Mada/Jl. Dame No.8 dan Sanggar PKBM Ganesa di Jalan Sei Lepan No. 09. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia (YAKMI) secara aktif terlibat dalam menangani perilaku anak jalanan dengan memberikan pemberdayaan guna merubah penyimpangan perilaku anak jalanan.
190
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang mendapat program pemberdayaan oleh Yayasan Kesejahtraan Masyarakat Indonesia (YAKMI) yang berjumlah 318 Anak. Dalam penelitian ini peneliti mengambil 10% dari 318 orang anak jalanan yang mendapat program pemberdayaan oleh YAKMI. Dengan demikian sampel yang diambil berjumlah 32 orang. Sedangkan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel kuota, yaitu teknik sampling yang tidak mendasarkan kepada strata atau daerah, tetapi mendasarkan diri pada jumlah yang sudah ditentukan. Biasanya yang dihubungi adalah subjek yang mudah ditemui (Arikunto, 1997: 119). Untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan peneliti menggunakan metode pengumpulan data berupa studi pustaka dan studi lapangan. Data studi lapangan diperoleh melalui observasi (pengamatan), dilakukan dengan memperhatikan dan mengamati kehidupan anak jalanan sehari-hari yang menjadi responden. Di samping itu juga dilakukan wawancara yaitu peneliti dalam memperoleh dan mengumpulkan data, akan mengadakan dialog secara langsung dengan mengajukan pertanyaan mengenai persoalan perilaku pada anak jalanan yang dibahas dalam penelitian ini kepada responden yaitu anak jalanan yang telah ditetapkan. Selain itu tambahan informasi dari wanwancara pendamping anak selama ini serta teman anak tersebut. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Yayasan kesejahteraan masyarakat Indonesia (YAKMI) merupakan lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial yang pada saaat ini memusatkan perhatian pada pembinaan, pemberdayaan dan perlindungan anak jalanan melalui model sanggar belajar anak jalanan. Yayasan ini berdiri pada tahun 1999 berdasarkan ide dan prakarsa murni pekerja sosial profesional sehingga kinerja kegiatannya berorientasi pada metode pekerja sosial. Landasan hukum lembaga YAKMI berakte notaris No. 78/ Tanggal 22 Mei 2000 dan terdaftar pada Dinas Sosial Sumatera Utara No. 467.6/17 Tanggal 11 Januari 2001. LembagaYAKMI saat ini memusatkan pembina anak jalanan di wilayah pasar petisah
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
sekitarnya, bundaran golden, Setia Luhur, Simpang Seikambing dan Simpang Lampu Merah Brayan. Adapun pelayanan sosial yang diberikan YAKMI kepada anak jalanan berupa bimbingan sosial, budi pekerti yang baik, dan advokasi pendidikan. Proses pemandirian pada anak jalanan juga dilakukan dengan memberikan keterampilan kepada anak jalanan menjelang usia 18 tahun agar mereka dapat mandiri. Pelayanan sosial ini bertujuan memberikan alternatif bagi anak jalanan agar waktu yang dihabiskan di jalan semakin berkurang dan dengan modal keterampilan yang dimiliki oleh anak jalanan dan tetap terpeliharanya kelangsungan pendidikan mereka, diharapkan anak jalanan tetap terpelihara pendidikan mereka serta anak jalanan tersebut dapat meninggalkan kehidupan di jalanan di kemudian hari. Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur No 1 2 3
Kelompok Umur 5 – 9 tahun 9 – 13 tahun 13 – 18 tahun Jumlah
F
(%)
4 16 12
12,5 50,0 37,5
32
100,0
Sumber: Data Primer
Ditegaskan dalam UU No.20/1999 mengenai batas minimum anak yang bekerja minimal 15 tahun, anak diperbolehkan untuk bekerja dengan catatan tidak membahayakan kesehatan, keselamatan dan tidak mengganggu kehidupan mereka di sekolah/pelatihan/ kejuruan maka anak-anak yang berusia 15 tahun menurut mereka telah diperbolehkan untuk bekerja sementara pekerjaan yang mereka lakukan sangat membahayakan mental dan kesehatan moral mereka yang pada umumnya pekerjaan yang tidak boleh dilakukan di bawah umur 18 tahun ke bawah. Batas usia minimum ini sangat jauh berbeda dengan fakta anak yang berada di jalanan. Menurut Wiwid Trisnadi, mengungkap tentang batas usia anak bekerja di jalan: “Kerja di jalan akan membawa risiko besar seperti ditabrak atau diserempet kendaraan yang lewat. Risiko ini secara tidak langsung membatasi umur anak mulai bekerja di jalan. Yaitu di atas 4 tahun. Pada usia ini anak dipandang sudah mampu melindungi diri dari
ancaman jalanan, khususnya kecelakaan lalu lintas”. Ternyata di lapangan umumnya usia anak-anak mulai bekerja di atas 5 tahun Dalam kasus ini anak-anak jalanan yang berusia di atas 4 tahun juga memiliki risiko kecelakaan lalu lintas saat mereka bekerja. Dari hasil wawancara di lapangan terungkap bahwa beberapa anak mengaku pernah menjadi korban kecelakaan saat mereka mengamen dan meminta-minta. Ini berarti risiko kecelakaan tidak hanya pada anakanak usia di bawah 4 tahun tetapi usia di atas 4 tahun juga berisiko kecelakaan lalu lintas, terutama anak-anak yang pemula atau baru turun ke jalanan. Data tabel di atas menunjukan bahwa responden 50% lebih didominasi anak-anak yang memiliki usia sekolah. Dari hasil wawancara diperoleh umumnya anak-anak jalanan tersebut masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Ternyata anak-anak bekerja di jalanan tidak membatasi keinginan mereka untuk memperoleh pendidikan. Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Pendidikan No 1 2 3 4 5 6
Pendidikan
F
(%)
Tidak Tamat SD Tamat SD Tidak Tamat SLTP Tamat SLTP Tidak Tamat SMU Tamat SMU
4 16 4 6 0 2
12,5 50,0 12,5 18,8 0,0 6,3
Jumlah
32
100,0
Sumber: Data Primer
Jika diperhatikan dari data sebelumnya bahwa responden didominasi oleh anak-anak yang berusia sekolah, maka dari tabel di atas anak-anak dampingan YAKMI umumnya masih sekolah dasar (SD). Ada beberapa anak yang menjawab SLTP dan SMU. Tetapi tidak menutup kemungkinan anak-anak yang tidak bersekolah lagi. Anak-anak yang menjawab tidak tamat SD dan tidak tamat SLTP termasuk ke dalamnya yaitu anak-anak yang sebelumnya tidak sekolah dari awal atau anak yang tidak pernah duduk di bangku sekolah maupun anakanak yang telah bersekolah namun putus di tengah jalan karena sesuatu hal. Dari hasil wawancara terhadap anak yang tidak tamat SD maupun SLTP, terungkap bahwa mereka tidak menamatkan sekolah akibat dari
191
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
tidak adanya biaya sekolah dari orang tua. Selain tidak adanya biaya ternyata kurangnya motivasi dari anak maupun lingkungan yang dibarengi dengan malas juga mempengaruhi anak untuk menamatkan sekolah. Dari hasil wawancara terhadap responden; Muamar yang ngamen di Simpang Seikambing. Alasan ia tidak bersekolah karena ikut orang tuanya pindah dari Aceh. Sebelumnya Muamar sekolah SD di Lansa tetapi sewaktu umur Muamar 9 tahun orang taunya pindah ke Medan. Hingga umur Amar 15 tahun saat ini Muamar tidak bersekolah lagi dan sekarang dia mengikuti program belajar kelompok yang dibuat oleh YAKMI.
daripada laki-laki.” (dalam Trisnadi, 2004: 72) Sehingga dalam hal ini jelas alasan anak jalanan perempuan lebih sedikit jumlahnya. Jumlah anak jalanan laki-laki lebih banyak tidak terkait dengan persoalan jenis pekerjaan anak di jalan karena tidak ada peran gender pada pekerjaan anak jalanan. Ini juga dibuktikan dari hasil penelitian Dinas Sosial Sumatera Utara dan Universitas Atmajaya pada tahun 2002, bahwa anak jalanan di Kota Medan didominasi oleh anak laki-laki. Begitu juga anak jalanan dampingan YAKMI umumnya laki-laki. Tabel 4. Distribusi Daerah Titik Mangkal Responden
Tabel 3. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin No No 1 2
Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah
F
(%)
28 4
87,5 12,5
32
100,0
Sumber: Data Primer
Kenyataan di lapangan bahwa sering sekali terjadi penyimpangan dalam memperlakukan anak-anak jalanan. Anak jalanan perempuan lebih sering mengalami kondisi keterpakasaan di lingkungan kerjanya seperti pelecehan seksual malahan pemerkosaan sehingga dalam hal ini anak jalanan lebih didominasi oleh anak-anak laki-laki. Dari persoalan pekerjaan, tidak adanya pengkhususan pekerjaan karena semua anak bebas memilih pekerjaan yang ada baik anak laki-laki maupun anak perempuan yang menurut mereka pekerjaan tersebut cocok. Namun pendapat dari Paramita Hapsari; direktur LSM Anak mengatakan bahwa: “Pada iklim budaya timur tidak bisa disangkal bahwa relasi sosial antara anak laki-laki dan perempuan memiliki tingkat yang berbeda. Pada undangundang perkawinan, misalnya, bahwa batas usia anak laki-laki dan perempuan; anak laki-laki boleh menikah setelah berusia 19 tahun, sedangkan perempuan berusia 16 tahun. Perbedaan ini menunjukkan bahwa anak perempuan dipandang lebih cepat dewasa daripada anak laki-laki. Usia dewasa ini jelas bersifat diskriminatif karena mendudukan anak perempuan sebagai individu yang masa kanak-kananya lebih pendek
192
1 2 3 4 5
Daerah Mangkal Pajak Setia luhur Lampu Merah Seikambing Simpang Golden Belakang Petisah Baru Titi Layang Brayan Jumlah
F
%
6 7 4 11 4
18,8 21,9 12,5 34,4 12,5
32
100,0
Sumber: Data Primer
Anak-anak yang bekerja di jalanan umumnya memilih tempat-tempat ramai. Salah satunya di persimpangan jalan (lampu merah), pusat pasar dan ada pula yang memilih dekat dengan lokasi rumah mereka. Daerah persimpangan jalan atau lampu merah termasuk: di Lampu Merah Seikambing, Simpang Golden Petisah, dan Simpang Titi Layang Brayan, sedangkan di daerah pusat pasar meliputi: Belakang Petisah Baru, dan lokasi dekat dengan rumah mereka meliputi: Pajak Setia Luhur. Tetapi banyak pula anak-anak yang selalu berpindah-pindah. Hal ini terjadi karena anakanak merasa bosan pada tempat tersebut dan ada pula karena pengaruh ajakan teman namun kebanyakan anak-anak mengakui mereka pindah karena lokasi mereka sebelumnya telah banyak yang seprofesi dengan mereka sehingga menimbulkan persaingan. Seperti yang diungkapkan responden yang mengaku sering berpindah-pindah: “kami kak gak tentu ngamenya. Kadangkadang kami di Seikambing kadangkadang-kadang kami di simpang guru patimpus, kadang-kadang kami di titi bobrok. Pokoknya kak kalau udah ramai di sini kami pindah-pindah kak ”
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
Khusus daerah Belakang Petisah Baru dan Simpang Lampu Merah Seikambing, di mana orang tuanya ikut serta khususnya ibu. Mereka ikut serta tidak hanya mengontrol anak yang sedang bekerja di jalanan namun mereka juga terlibat bekerja di jalan. Hal ini dipertegas oleh Wiwied trisnadi, bahwa adanya dua kategori lokasi tempat kerja anak-anak jalanan: “Lokasi kerja anak-anak jalanan dapat dipilah menjadi dua kelompok, perempatan di tengah kota dan perempatan di pinggir kota. Anak yang bekerja dipusat kota umunya bekerja bersama-sama dengan keluarganya, biasanya kecuali bapaknya. Sementara si bapak biasanya bekerja di sektor informal, seperti tukang beca, pemulung, buruh, bangunan, dsb. Sianak bersama ibunya berangkat dari pagi hari dan pulang sore hari. Bagi anak yang bersekolah pagi hari, maka ia akan bekerja sepulang sekolah. Sianak biasanya meletakkan peralatan sekolah dan berganti baju dan kemudian bergabung dengan anggota keluarganya yang lain di jalanan”(Trisnadi, 2004: 37). Tabel 5. Frekuensi Responden Pulang ke Rumah dalam Seminggu No. 1 2 3 4 5
Pulang ke Rumah per Minggu
F
%
2 kali 3-4 kali 4-5 kali 6 kali setiap hari
2 4 2 4 20
6.3 12.5 6.3 12.5 62.5
Total
32
100.0
Sumber: Data Primer
Budaya dalam kehidupan anak jalanan terbangun dari interaksi mereka selama berada di jalan. Kehidupan di jalan indentik liar dan bebas sangat tidak cocok bagi anak seusia mereka. Apalagi bahaya-bahaya yang kemungkinan akan menimpa mereka. Rumah adalah salah satu tempat ternyaman untuk mereka tinggali dan proses pendidikan berlangsung. Jarangnya anak-anak pulang ke rumah akan membentuk perilaku tidak baik karena proses imitasi anak terbentuk dari apa
saja yang mereka pelajari dan mereka anggap baik di luar. Frekuensi pulang ke rumah yang dimaksud pada tabel di atas adalah seberapa sering anak-anak tersebut pulang ke rumah orang tua mereka. Semakin jarang anak pulang maka semakin besar proses pembentukan perilaku yang muncul pada diri anak dari pengaruh lingkungan luar. Anak-anak dampingan YAKMI didominasi oleh seringnya mereka pulang ke rumah karena mereka masih bersekolah. Sementara yang memilih pulang 6 kali dalam seminggu alasan mereka karena malam minggu dan hari minggu mereka habiskan bersama teman-teman mereka di jalan maupun di kontrakan teman mereka dan di hari lain mereka pulang karena mereka masih sekolah. Namun dari koresponden yang memilih 2 kali dan 3 hingga 4 kali frekuensi pulang ke rumah adalah anak-anak yang remaja yang tidak bersekolah lagi sementara 4 hingga 5 kali adalah anak yang rumahnya jauh seperti Muamar yang rumahnya di Binjai dan dan Hesekharianto yang mengaku malas pulang. Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Lamanya Berada di Jalanan dalam Sehari No. 1. 2. 3. 4. 5.
Lama di Jalanan
F
%
< 4 jam 4 sampai 5 jam 6-7 jam 8 sampai 10 jam > 11 jam
2 22 3 2 3
6.3 68.8 9.4 6.3 9.4
Total
32
100.0
Sumber: Data Primer
Dari data tabel di atas terlihat bahwa sekitar 68% anak-anak yang dibimbing YAKMI berada di jalan selama 4 sampai 5 jam per hari. Ini membuktikan bahwa anak-anak masih meluangkan waktu berada di rumah. Waktu anak berada di rumah digunakan untuk belajar maupun beristirahat. Seperti halnya Juli Opariani yang bekerja berdagang di Pajak Tradisional Setia Luhur, mengaku bekerja selama kurang lebih 5 jam per hari dan sisanya “saya buat PR kak, walaupun jualanya habis maupun tidak”. Sedangkan anak-anak yang frekuensinya pulang ke rumah lebih dari 5 jam per hari dihabiskan untuk melaklukan aktivitas di jalan seperti bekerja, bermain, mejeng
193
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
maupun ngumpul-ngumpul bersama kawankawan. Lamanya keberadaan anak di jalanan menentukan besarnya pengaruh buruk yang terbentuk kepada diri anak. Karena faktor lingkungan memegang peran penting dalam pembentukan gaya hidup seseorang dan tidak terkecuali pada anak. Anak-anak selain bekerja mereka juga bersekolah sehingga keberadaan anak semakin lama di jalanan akan mengurangi aktivitas belajar mereka di rumah dan pembentukan perilaku di jalanan pun semakin besar. Ini diperkuat oleh pendapat Wiwied Trisnadi, tentang sosialisasi keluarga terhadap anak: “Perubahan pola kerja jelas berpengaruh besar dalam sosialisasi anak. Orang tua tidak lagi dapat berperan penuh dalam sosialisasi anak. Pada masyarakat tradisional peran keluarga begitu dominan dalam sosialisasi anak, khususnya mengantar anak memasuki jenjang yang lebih dewasa. Jika keluarga ini tidak lagi mampu, peran ini digantikan dengan keluarga luas. Disaat keluarga sudah disibukan dengan aktivitas ekonomi untuk mencukupi kebutuhan (ekonomi) maka sosialisasi anak tidak lagi sepenuhnya dapat dilakukan oleh keluarga. Sosialisasi keluarga kemudian perlahan-lahan mulai diambil alih oleh lembaga pendidikan (sekolah), dan peer group. Di tempat inilah anak-anak menghabiskan sebahagian besar waktunya, itu berarti di tempat inilah anak lebih banyak belajar untuk menjalani kehidupan menuju dewasa.” Tabel 7. Distribusi Responden Menurut Pekerjaanya No. 1 2 3 4
F
%
Mengamen Berjualan Menyemir sepatu Lain-lain
Pekerjaan Anak
11 9 1 11
34.4 28.1 3.1 34.4
Total
32
100.0
Sumber: Data Primer
Pekerjaan anak-anak di jalanan bervariasi tergantung kemampuan masing-masing yang dimiliki anak. Apalagi di jalan mereka tidak hanya memperoleh duit tetapi juga mereka bisa bermain bebas. Hal ini dapat dibuktikan 194
dengan keadaan di lapangan, kadang-kadang anak Tumin pindah menjadi pengamen, kadang-kadang juga pengamen pindah menjadi Tumin. Begitu juga berjualan rokok, kadang-kadang juga penjual rokok adalah anak perempuan walaupun dengan alasan ia berjualan menggantikan abangnya, sejauh mereka memperoleh uang yang banyak pekerjaan apa saja mereka lakukan. Bagi anak yang pandai menyanyi dan main gitar maka mereka mengamen. Dari data pekerjaan yang banyak dilakukan adalah mengamen, menurut Wiwied Trisnadi bahwa ngamen yang serius seperti menggunakan gitar, indentik dengan penguasaan keterampilan bermain musik, sehingga seorang anak yang bekerja sebagai pengamen akan merasa “derajatnya” lebih tinggi dibandingkan bekerja sebagai pengemis yang hanya mengandalkan belas kasihan orang. Selain ngamen ada juga anak-anak yang bekerja berjualan. Anak-anak ini mempunyai modal sedikit dari orang tuanya seperti berjualan rokok, aqua, atau plastik maka mereka memilih berjualan plastik sedangkan anak-anak yang pandai menyemir mereka memilih profesi sebagai penyemir dan juga bekerja sebagai tukang minta dan masih banyak pekerjaanpekerjaan lain yang mereka bisa tekuni. Menurut Wiwied tentang jenis pekerjaan: “Jalan memberi peluang bagi anak-anak untuk mencari uang. Umumnya tidak butuh keterampilan khusus untuk mencari uang di jalan. Pilihan atas suatu pekerjaan dengan beberapa pertimbangan, yakni pekerjaan itu secara teknis mudah dilakukan, mudah menghasilkan uang, dan fleksibel dalam waktu dan tempat” (Trisnadi, 2004 hal: 37). Sehingga dengan beberapa pertimbangan tersebut anak-anak jalanan bebas memilih pekerjaan apa saja. Selain itu pemilihan pekerjaan juga tidak terlepas dari pengaruh lokasi kerja mereka seperti lokasi kerja di pasar tradisional misalnya, mereka lebih memilih berjualan plastik, cairan pemutih atau yang lainya dan ada juga mengumpul karton, butut maupun makanan ternak. Bagi mereka yang lokasi kerjanya di simpang jalanan maka mereka bekerja sebagai pengamen, tukang minta maupun jualan rokok. Sedangkan tukang semir selalu berpindah-pindah dan lebih banyak di kedai-kedai kopi maupun pasar.
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
Dari data tabel di atas dapat terlihat bahwa anak-anak yang didampingi YAKMI lebih banyak bekerja sebagai pengamen dan responden yang memilih lain-lain bekerja sebagai pemulung dan tukang minta. Variasinya pekerjaan mereka maka semakin variasi pula perilaku yang terbentuk diri mereka. Ini dikarenakan perilaku anak berkaitan erat dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Pada anak pemulung lebih kelihatan kumuh dan dekil daripada pengamen. Tetapi bagi tukang minta, anak lebih kelihatan memprihatinkan baik segi fisik maupun penampilan, ini dikarenakan untuk menarik minat orang untuk memberi uang. Saat pengalaman peneliti membagi angket, peneliti melihat fanomena unik di mana anak yang masih berumur 5 tahun dipaksa bekerja. Semula anak tersebut dan ibunya berpakain sedikit bersih lalu ia menukar pakaiannya dan pakaian anaknya yang koyak dan kotar lalu ibu pun berpakain seperti muslim yang menggunakan jilbab. Ternyata anak tersebut dibawa ibunya untuk meminta. Anak tersebut dibebaskan di tengah jalan dengan membawa gelas plastik aqua. Dari hasil wawancara terhadap pendamping mengenai fanomena tersebut ternyata banyak kejadian serupa yang terjadi pada anak jalanan tersebut. Menurut pendamping mereka sudah pernah dikenai program kesehatan khususnya pemeriksaan kesehatan terhadap anak-anak jalanan. Namun kebanyakan ibu dari anak melarang anaknya diperiksa kesehatannya. Pada saat itu kondisi anak tersebut memprihatinkan karena di bahagian tubuhnya penuh kudis dan telinganya berlendir “tungkik” dan flu. Penyakit ini hampir diderita anak-anak jalanan. Namun berbeda dengan anak pengamen, mereka lebih bersih dibandingkan tukang minta. Dari hasil wawancara dengan beberapa pengamen menjawab “ya lah kak, kalo kami bauk mana ada orang yang mau kasi kami uang”, tetapi dari pengamatan peneliti ada juga beberapa pengamen yang dekil dan jorok.
Tabel 8. Distribusi Lamanya Responden Turun ke Jalan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
F
%
< 1 tahun 1 – 2 tahun 2 – 3 tahun 3 – 4 tahun 4 – 5 tahun 5 – 6 tahun > 6 tahun tidak ada jawaban
Lamanya Turun ke Jalan
4 4 9 5 5 3 1 1
12.5 12.5 28.1 15.6 15.6 9.4 3.1 3.1
Total
32
100.0
Sumber: Data Primer
Seperti data-data sebelumnya, lamanya anak berada di jalan mempengaruhi seberapa banyak perubahan yang terjadi pada anak. Semakin lama anak berada di jalanan maka semakin banyak pula peniruan pada anak yang ia dapat dari luar. Adanya hubungan antara lamanya perilaku anak tersebut mendarah daging sehingga butuh waktu dalam merubah perilaku anak tersebut. Dari tabel di atas menunjukkan bahwa anak-anak yang didampingi YAKMI rata-rata di bawah 6 tahun dan kebanyakan sudah dua hingga tiga tahun berada di jalanan. Tabel 9. Lama Responden Bergabung dengan YAKMI No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Lamanya Mengikuti Program YAKMI
F
%
< 6 bulan 6 bulan - 1 tahun 1 sampai 2 tahun 2 sampai 3 tahun 3 sampai 4 tahun tidak ada jawaban
8 7 5 8 3 1
25.0 21.9 15.6 25.0 9.4 3.1
Total
32
100.0
Sumber: Data Primer
Lamanya anak jalanan mengikuti YAKMI yang dimaksud dalam tabel ini adalah lamanya anak-anak jalanan bergabung dalam yayasan ini. Bergabungnya anak dalam yayasan ini berarti anak-anak jalanan tersebut telah menerima program-program yang diberikan YAKMI kepada mereka. Tentunya semakin lama anak tersebut bergabung di YAKMI maka semakin mandiri anak-anak tersebut karena salah satu tujuan dari YAKMI terhadap anak jalanan adalah menciptakan kemandirian pada anak.
195
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
Lembaga ini sudah ada sejak tahun 2000 oleh karena itu anak paling lama ikut lembaga ini sekitar 4 tahun. Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Kesehatan Dasar No. 1 2 3
Pendidikan Kesehatan Dasar Tidak tahu Tahu tidak ada jawaban Total
F
%
5 25 2
15.6 78.1 6.3
32
100.0
Sumber: Data Primer
Pendidikan kesehatan dasar yang dimaksud di atas adalah program pendidikan yang dibuat YAKMI tentang kesehatan guna memperkenalkan pentingnya hidup sehat kepada anak-anak jalanan sehingga anak-anak dapat berperilaku sehat dalam kesehariannya. Latar belakang program ini diadakan: Hasil observasi dan analisis yang dilakukan oleh pendampingpendamping YAKMI terhadap kondisi fisik dan sosial anak, yaitu diri anak, lingkungan tempat tinggal anak serta lingkungan di titik mangkal. Secara umum, anak jalanan memiliki penampilan gadel/dekil dan kurang terawat dalam hal kebersihan tubuh serta kesehatannya. Hal ini menjadi latar belakang diberikannya topik-topik penyuluhan kesehatan dasar dan umum bagi anak. Selain itu juga ancaman obatobatan terlarang yang tersebar bukan saja di kalangan pemadat dewasa tetapi juga pada anakanak di sekolah dan di jalanan, bahkan dalam polanya yang sederhana seperti penggunaan lem sebagai pengganti napza membuat tema ini penting untuk diberikan pada anak. Dari data di atas dapat diketahui bahwa hampir separuh anak-anak jalanan tahu mengenai pendidikan kesehatan dasar. Ini dapat dibuktikan dengan hasil wawancara terhadap anak di mana anak tersebut secara keseluruhan anak-anak dapat menyebutkan apa-apa saja yang berkaitan dengan kesehatan dasar seperti: mencuci tangan, mandi, sikat gigi dan lain-lain dan ada juga menyebutkan pemeriksaan kesehatan. Seperti yang diungkapkan oleh koresponden yang bernama Yanti di Pajak Tradisional Setia Luhur: “Ooo.. kesehatan dasar itu kak yang dibilang kak Rohtua (pendamping YAKMI) kita harus mencuci tangan 196
sebelum makan kan kak, supaya gak cacingan. Ada lagi Kak itu..harus sering mandi, sikat gigi eee…cuma itu yang ingat Kak” Begitulah ungkapan dari responden Yanti. Namun ada beberapa responden yang tidak mengetahui pendidikan kesehatan dasar. Tabel 11. Distribusi Frekuensi Responden tentang Pendidikan Kesehatan Dasar No. 1 2 3 4 5
Frekuensi Mengikuti Tidak pernah Satu kali Dua kali Lain-lain Tidak ada jawaban Total
F
%
5 5 5 14 3
15.6 15.6 15.6 43.8 9.4
32
100.0
Sumber: Data Primer
Frekuensi anak jalanan mengikuti pendidikan kesehatan dasar yang dimaksud pada tabel di atas adalah seberapa sering anak mengikuti pendidikan kesehatan dasar yang diberikan YAKMI. Semakin sering anak mengikuti pendidikan maka anak semakin mengerti tentang kesehatan dasar. Frekuensi anak mengikuti pendidikan kesehatan dasar ini bervariasi. Variasi anak-anak megikuti pendidikan kesehatan dasar dikarenakan oleh kurangnya motivasi anak untuk mengikuti pendidikan dan selain motivasi juga ketersediaan waktu anak-anak yang terbatas. Seperti pengakuan Muhamad Ridwan Chaniago bahwa ia tahu tentang adanya pendidikan kesehatan namun Ridwan tidak mengikuti pendidikan tersebut karena sibuk. Ada pula beberapa yang lainya mengaku “malas”. Ini berarti kurangnya motivasi dari anak maupun lingkungan untuk mengikuti program etika. Tetapi berbeda dengan Sakti yang berada di Simpang Jembatan Layang Brayan mengaku: “Saya kak pernah beberapa kali ikut. Tapi sudah lupa berapa kali. Aku pernah juga ikut dari rumah singgah Harapan mulia kak.” Bagi anak-anak yang menjawab lain-lain maksudnya adalah anak-anak mengikuti pendidikan kesehatan dasar lebih dari dua kali. Dari pengakuan anak-anak yang menjawab lainlain terlihat bahwa anak-anak yang mengaku menjawab sekitar 3 hingga 4 kali mengikuti pendidikan kesehatan dasar berjumlah 8
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
responden sementara 6 responden lagi menjawab lebih dari 5 kali. Aktivitas anak jalanan yang hidup dan bekerja di jalan setiap saat tidak terlepas dari pengaruh keadaan yang kotor baik dari diri anak maupun dari lingkungan kerja anak. Keinginan anak untuk membersihkan diri salah satunya dapat diukur dengan frekuensi anak jalanan mandi minimal dua kali dalam sehari. Dari tabel di atas terlihat bahwa ternyata adanya kemajuan frekuensi mandi anak jalanan yang dibimbingi YAKMI sekitar 31.2 % bertambah anak-anak yang mandi 2 kali sehari, sementara anak-anak yang tidak pernah mandi menurun sekitar 25% setelah mengikuti program dan begitu juga anak-anak mandi satu kali sehari menurun sekitar 9.4%, sementara anak-anak yang menjawab lain-lain yaitu anak-anak yang mengaku mandi tiga kali sehari. Dari data tabel di atas terlihat bahwa frekuensi anak jalanan mandi dalam sehari sebelum menerima program YAKMI menjawab hanya sekali dalam sehari malahan banyak juga anak jalanan yang tidak pernah sama sekali mandi dalam sehari. Jarangnya mereka mandi dalam sehari diungkapkan oleh anak karena kelelahan setelah mereka pulang dari kerja dan dibarengi kurangnya motivasi dari anak sendiri dan juga keluarga. Selain itu alasan mereka jarang mandi dalam sehari karena tidak memiliki sabun. Dari hasil wawancara terhadap beberapa anak jalanan mengenai mandi dalam setiap harinya terungkap bahwa: “Aku ingat kali kak, dulu aku kak malas kali mandi, habis kak di rumah aku tidaknya punya sabun. Jadi aku mandi kadang mau pergi sekolah aja. Tapi kak pernah lah aku pergi sekolah itu cuma cuci muka aja…he he. Mamak aku gak marah kok, mamak aku pagi-pagi aja udah pergi cari makan babi.” Namun berbeda pula dengan ungkapan Hesekharianto sebagai pengamen di simpang Seikambing: “Ah aku dari dulu sampai sekarang …aku malas pulang ke rumah, lagian aku juga gak sekolah, jadi kalo aku nginap rumah kawan aku mandi di sana aja..tapi kalau paling sering aku mandi pagi karena kalau sore aku masih ngamen. Kadangkadang pulang malam.”
Kemudian Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia membuat program pendidikan kesehatan dasar tentang kebersihan tubuh anak-anak jalanan. Adapun materi yang dibuat adalah tentang kebersihan tubuh yang di dalamnya meliputi pola mandi dalam sehari. Materi tentang pola mandi yang dijelaskan oleh YAKMI meliputi alasan keharusan mandi, cara mandi yang benar, dan frekuensi mandi. Penyampaikan materi ini kepada anak digunakan metode modeling. Di mana beberapa anak diminta untuk mandi dan memperagakan cara mandi yang benar. Anak-anak tersebut diminta untuk menceritakan kepada temantemanya tentang kondisi yang anak rasakan setelah mandi. Setelah menerima program tersebut dari YAKMI frekuensi anak jalanan mandi dalam sehari dari tabel di atas terlihat bahwa hampir setengah jumlah anak-anak tersebut mengaku mandi dua kali sehari. Ini berarti adanya kemajuan anak menjaga kebersihan diri. Namun dari pengamatan peneliti di lapangan masih banyak juga anak-anak yang mengaku mereka mandi dua kali sehari namun kondisi mereka tidak menunjukan kebersihan diri. Ada banyak daki di lipatan-lipatan kulit anak, juga ada seperti iritasi atau gatal-gatal pada kulit anak dan juga ada kudis dan luka malahan ada juga tungkik pada telinga mereka yang telah membau. Lain halnya pada anak-anak tukang botot dan pengumpul makan ternak, mereka lebih kotor dan bau. Namun orang tua anak mengaku bahwa mereka selalu meminta anakaanak mereka mandi setiap hari seperti hasil wawancara kepada ibu anak pengumpul botot berikut ini: “Anak saya mandi kok, kadang mau pergi sekolah. Saya selalu marahi kalau dia gak mandi.” Tetapi ada juga anak yang sebelumnya menjawab mandi 2 kali sehari kemudian setelah mengikuti program kesehatan dasar menjadi mandi 1 kali sehari. Dari hasil wawancara kepada anak mengaku alasannya: “He he…iya kak malas aku kak, kadang aku lupa cape udah pulang kerja aku tidur aja. Jadi kalo ingat aku mandi.” Namun ada juga anak yang menjawab: “Kadang-kadang kak jorok ini membawa rezeki, lebih banyak orang yang mau ngasi kalau keadaan kami jorok, malahan
197
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
kadang kala sengaja kami gak mandi supaya bisa cari banyak duit.” Tapi berbeda dengan yang dijawab oleh responden yang satu ini: “Aku mandi kak kalau hujan, lebih enak lagi kak, langsung di jalan. Sekalian aku sampoan di sini. Sekalian nyari duit sekalian juga aku mandi.. he..he..” Ada juga responden yang menjawab lainlain maksudnya adalah mereka mengaku mandi lebih dari 2 kali dalam sehari seperti anak-anak ini menjawab: “Kalau kami kak mandi lebih lah 3 kali sehari, mandi pagi, mandi sore terus mandi hujan…kan tiga kali kak” “Aku kak suka mandi 3 kali dalam sehari, bangun pagi, mau pergi sekolah siang, karena aku masuk sekolah siang kak, trus pulang ngamen kak.” Jadi alasan anak-anak jalan yang masih jarang mandi setelah menerima program pendidikan kesehatan dasar dari YAKMI yaitu dikarenakan kurangnya motivasi anak dan keluarga. Selain dari kurang perhatian ada juga anak-anak yang mengaku mandi tetapi kondisi sebenarnya tidak menunjukan kebersihan diri yaitu disebabkan cara mandi anak yang tidak benar seperti tidak menggunakan air yang bersih, mandi tanpa sabun dan mandi tanpa air yang cukup dan juga sengaja tidak mandi untuk meminta belas kasihan orang lain. Tabel 12a. Distribusi Frekuensi Responden Menyikat Gigi dalam Sehari Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3 4 5
Menyikat Gigi Tak pernah Satu kali Dua kali Lain-lain Ragu Total
F
%
15 5 9 2 1
46.9 15.6 28.1 6.3 3.1
32
100.0
Sumber: Data Primer Tabel 12b. Distribusi Frekuensi Responden Menyikat Gigi dalam Sehari Sesudah Mengikuti Program No. 1 2 3 4 5
Menyikat Gigi Tak pernah Satu kali Dua kali Lain-lain Ragu Total
Sumber: Data Primer
198
F
%
6 15 8 2 1
18.8 46.9 25.0 6.3 3.1
32
100.0
Tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah anak-anak jalanan yang tidak pernah menyikat gigi menurun sekitar 28.1%, anak anak yang menyikat gigi satu kali naik 31.3%, anak-anak yang mengaku menyikat gigi dua kali dalam sehari sedikit menurun 3.1% sementara yang menjawab lain-lain mengaku menyikat gigi lebih dari dua kali tetap 6.3%. Responden yang menjawab lebih dua kali ini mengaku menyikat gigi sebelum tidur dan sesudah makan. ini membuktikan adanya kemajuan anak-anak setelah mengikuti program YAKMI. Frekuensi menyikat gigi anak jalanan sebelum mengikuti program Pendidikan kesehatan dasar dari 32 responden lebih banyak mengaku tidak pernah. Alasan meraka menjawab tidak pernah dikarenakan malas. Tapi ada juga anak yang menjawab dua kali seperti Novita mengaku: “Aku menyikat gigi dua kali dulu kak tapi sekarang tidak lagi kak. Dulu mamakku belum sibuk jualan jadi aku dimarahi kalau tidak sikat gigi tapi sekarang aku malas kak.” Motivasi mereka untuk menyikat gigi sebenarnya kurang sehingga mereka cenderung tidak mau menyikat gigi. Motivasi itu lebih banyak berasal dari diri mereka sendiri yang tidak mau peduli. Kemudian YAKMI memberikan program kebersihan tubuh. Adapun materi yang diberikan yaitu kebersihan tubuh dengan topik pola kebersihan gigi. Materi yang diberikan oleh YAKMI tentang kebersihan gigi yaitu membangun kesadaran anak tentang pentingnya menyikat gigi, cara menyikat gigi yang benar dan penggunaan pasta gigi. Dalam menyampaikan materi tentang kebersihan gigi pada anak dengan menggunakan alat peraga seperti: metaplan, sikat gigi, pasta gigi. Kemudian masing-masing anak-anak dibagikan sikat gigi oleh pendamping dan diminta memperagakan menyikat gigi secara benar. Setelah anak-anak menerima program pendidikan kesehatan dasar, hasilnya menunjukkan bahwa frekuensi anak jalanan menyikat gigi lebih didominasi satu kali dalam sehari dan ada juga tidak pernah menyikat gigi dalam sehari. Menurut pengakuan mereka tidak pernahnya karena mereka kecapean setelah pulang kerja. Seperti yang diungkapkan oleh seorang responden:
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
“Kalau udah pulang kak mana ada ingat lagi mau menggosok gigi. Udah capek habisnya kak.” Sementara anak yang memilih jarang alasanya adalah kelupaan: “Aku rajin kan tapi kalau aku di rumah, kalau udah keluar, udah lupa kak.” Tabel 13a. Distribusi Responden Melakukan Hubungan Seks Bebas Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Hubungan Seks Bebas Tak pernah Jarang Sering Tidak menjawab Total
F
%
26 2 2 2
81.3 6.3 6.3 6.3
32
100.0
orang tua sehingga menekan keinginan mereka dalam berhubungan seks. Sedangkan responden yang menjawab jarang berkurang jumlahnya sekitar 3.2% dari hasil wawancara mereka diketahui anak-anak jalanan telah mengetahui bahaya berhubungan seks yang menyimpang. Sementara responden yang menjawab sering berhubungan seks tidak ada. Program kesehatan dasar dengan topik penyakit IMS dilakukan YAKMI guna mengantisipasi anak-anak jalanan terinfeksi penyakit menular seksual. Materi yang dibawa guna mencegah bahaya penyakit ini dengan memberi pemahaman kepada anak-anak tentang peyakit IMS, akibat penyakit IMS, upaya pencegahan dengan tidak melakukan seks menyimpang. Metode yang dipakai oleh YAKMI sendiri adalah peer educator (pendidikan sebaya) dan penyuluhan.
Sumber: Data Primer Tabel 13b. Distribusi Responden Melakukan Hubungan Seks Bebas Sesudah Mengikuti Program
Tabel 14a. Distribusi Frekuensi Jumlah Batang Rokok Responden Merokok dalam Sehari Sebelum Mengikuti Program No.
No. 1 2 3 4
Frekuensi Hubungan Seks Bebas Tak pernah Jarang Sering Tidak menjawab Total
F
%
29 1 2
90.6 3.1 6.3
32
100.0
1 2 3 4 5
Frekuensi Hubungan Seks Bebas Tak pernah 1-5 batang 5-10 batang 10-1 bks >1 bungkus Total
F
%
7 11 5 5 4
21.9 34.4 15.6 15.6 12.5
32
100.0
Sumber: Data Primer
Sumber: Data Primer
Frekuensi responden tidak pernah berhubungan seks maksudnya adalah responden tidak sama sekali melakukan hubungan seks. Hubungan seks yang dimaksud di sini meliputi melakukan hubungan seks sempurna, melakukan petting, anal seks dan oral seks bersama pasangan maupun bersama pekerja seks diluar pernikahan. Sedangkan jarang maksudnya responden pernah melakukan hubungan seks namun tidak dilakukan secara terus-menerus sedangkan responden sering maksudnya adalah responden berhubungan seks dilakukan secara teratur dan terus-menerus. Tabel di atas menunjukkan bahwa frekuensi anak jalanan sebelum dan sesudah mengikuti program kesehatan dasar menunjukan selisih yaitu anak-anak yang menjawab tidak pernah berhubungan seks sekitar 9.3%, Tidak pernahnya responden melakukan hubungan seks dikarenakan mereka masih dalam pengawasan
Tabel 14b. Distribusi Frekuensi Jumlah Batang Rokok Responden Merokok dalam Sehari Sesudah Mengikuti Program No. 1 2 3 4 5
Frekuensi Hubungan Seks Bebas Tak pernah 1-5 batang 5-10 batang 10-1 bks >1 bungkus Total
F
%
13 10 4 3 2
40.6 31.3 12.5 9.4 6.3
32
100.0
Sumber: Data Primer
Merokok bagi anak jalanan merupakan hal yang biasa. Ini dikarenakan anak-anak jalanan menganggap dirinya telah mampu mencari uang sendiri. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah batang rokok yg dikonsumsi anak jalanan sebelum mengikuti program YAKMI mencapai satu hingga lima 199
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
batang per hari, namun ada juga beberapa dari anak-anak jalanan yang merokok hingga satu bungkus dan lebih. Responden yang mengaku merokok mencapai satu bungkus per hari umumnya anak-anak jalanan yang tergolong remaja. Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia mengadakan suatu program mengenai bahaya merokok bagi anak-anak. Program yang dibuat yaitu penyakit yang ditimbulkan dari merokok seperti penyakit TBC dan kesehatan paru-paru. Materi yang disampaikan meliputi kesehatan paru-paru, penyakit yang rentan paruparu dan penyuluhan tentang bahaya merokok. Metode yang dipakai adalah diskusi dan tanya jawab bersama anak-anak jalanan. Setelah program tersebut diberikan kepada anak-anak jalanan perubahan perilaku anak jalanan merokok sedikit berkurang. Pengurangan ini kemajuan yang sangat berarti karena merokok merupakan suatu kebiasaan yang sulit dirubah. Tabel 15a. Distribusi Frekuensi Responden Keramas dalam Seminggu Sebelum Mengikuti Program No.
Frekuensi Hubungan Seks Bebas Tak pernah Tiap hari Tiapminggu Lain-lain
1 2 3 4
Total
F
%
6 8 14 4
18.8 25.0 43.8 12.5
32
100.0
Sumber: Data Primer Tabel 15a. Distribusi Frekuensi Responden Keramas dalam Seminggu Sesudah Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Keramas Dalam Seminggu
F
%
Tak pernah Tiap hari Tiapminggu Lain-lain
5 10 11 6
15.6 31.3 34.4 18.8
Total
32
100.0
Sumber: Data Primer
Dari tabel dapat diketahui bahwa anak jalanan keramas dalam seminggu mengalami sedikit kemajuan sekitar 3.2% dari anak yang sebelumnya mengaku tidak pernah keramas ini dikarenakan tidak ada keinginan mereka untuk menjaga kebersihan diri seperti diungkapkan oleh mereka: “males kak”. Kemudian pada 200
anak-anak yang keramas setiap hari sekitar 6.3% telah menyadari penting menjaga kebersihan rambut dikarenakan mereka yang sebahagian besar waktu berada di jalanan dengan kondisi penuh debu. Sedangkan anak-anak yang mengaku mencuci rambut seminggu sekali pun masih banyak dan sedikit sekali mengalami perubahan ini dapat dilihat sekitar 9.4%. Ini dikarenakan anak tidak peduli dengan kebersihan tubuhnya dan ada juga anak yang mengaku tidak ada sampo di rumahnya serta ada beberapa anak yang mengaku dikarenakan kelelahan setelah bekerja dan langsung tidur. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa anak: “Di rumah aku kak gak ada sampo, jadi kayak mana kami mau keramas seringsering, lagian pun udah ngantuknya kak kami pulang kerja, kalau pagi udah buruburu mau kesekolah kak.” Selain itu maksud pilihan anak-anak ke lain-lain adalah bahwa anak-anak diberi kebebasan menjawab berapa kali mereka keramas dalam seminggu. Adapun dari hasil angket diketahui beberapa di antara responden menjawab 3 kali sampai 4 kali dalam seminggu mereka keramas. Kecenderungan anak-anak sebelum menerima program dari YAKMI, anak-anak mengaku jarang mencuci rambut dikarenakan kurangnya motivasi dari mereka ini dapat dilihat dari anak pada tabel di atas bahwa banyak anakanak yang mengaku mencuci rambut hanya satu kali dalam seminggu dengan alasan tidak ada sampo di rumah mereka. Melihat kondisi anak-anak di atas maka Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia membuat program tentang pola hidup sehat pada anak jalanan. Pola hidup sehat ini meliputi kebersihan rambut. Materi pola kebersihan rambut meliputi: membangun kesadaran anak tentang pentingnya kebersihan rambut, cara mencuci rambut yang benar, frekuensi mencuci rambut. Adapun metode yang digunakan adalah modeling di mana anak diminta keramas dengan menggunakan sampo dan air yang bersih lalu anak tersebut diminta mengungkapkan kesegaran yang anak rasakan setelah mencuci rambut kepada teman-teman yang lain. Setelah program diberikan maka hasil yang dicapai dapat diketahui dari tabel di atas yaitu anak-anak masih banyak yang menjawab seminggu sekali. Anak-anak yang menjawab seminggu sekali dikarenakan kurangnya dukungan terhadap anak baik dari diri anak sendiri maupun dari keluarga anak tentang
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
kebersihan tubuh. Selain kurangnya motivasi juga anak-anak mengaku pengaruh kesibukan anak diluar rumah sehingga mereka kelelahan setelah tiba di rumah. Tabel 16a. Distribusi Frekuensi Responden Memakai Alas Kaki Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3
Frekuensi Memakai Alas Kaki Tak pernah Jarang Sering Total
F
%
13 15 4
40.6 46.9 12.5
32
100.0
Sumber: Data Primer Tabel 16b. Distribusi Frekuensi Responden Memakai Alas Kaki Sesudah Mengikuti Program No. 1 2 3
Frekuensi Memakai Alas Kaki Tak pernah Jarang Sering Total
F
%
5 15 12
15.6 46.9 37.5
32
100.0
Sumber: Data Primer
Menggunakan alas kaki bagi setiap orang adalah hal yang sangat penting dan begitu juga pada anak, apa lagi anak jalanan yang mereka setiap harinya berada di jalan. Alas kaki dimaksud di sini termasuk sepatu maupun sendal. Alas kaki ini sangat membantu anak jalanan terhindar dari bahaya luka yang bisa disebabkan oleh pecahan kaca, paku maupun yang lainya. Dari Tabel 16a dan 16b di atas dapat diketahui kesadaran anak memakai alas kaki dapat dilihat dari frekuensi mereka sebelum menerima program dengan setelah mengikuti program yang dibuat YAKMI, yaitu anak-anak menjawab tidak pernah memakai alas kaki berkurang sekitar 25% ini dikarenakan mereka telah menyadari bahaya mereka di jalanan tanpa alas kaki, apalagi bagi anak-anak pemulung yang mereka harus berada pada tong-tong sampah besar. Sedangkan anak yang masih tetap tidak mau memakai alas kaki mengaku bahwa mereka tidak memiliki sendal maupun sepatu. “Kek mana aku mau pake sepatu kak, sendal aja aku gak punya”, ungkap seorang responden.
Sedangkan bagi anak yang menjawab jarang tetap tidak mengalami kemajuan maupun kemunduran yang artinya tidak mengalami perubahan apapun. Dan bagi yang anak-anak yang mengaku sering memakai alas kaki mengalami kemajuan sekitar 25%. Bagi anak yang jarang memakai alas kaki dikarenakan selalu hilang saat bekerja. Seperti salah satu responden mengatakan: “Payah kali aku kak, pantang di lepas sebentar udah hilang. Habis uang ku aja beli sendal terus-terusan. Mending aku gak pake sendal. Mana ada duit ku beli sepatu.” Kecenderungan anak jalanan jarang dan hampir tidak pernah memakai alas kaki dikarenakan kelalaian mereka dalam menjaga sendal sehingga sering hilang, dan ada juga anak-anak yang tidak memakai sendal dikarenakan malas malahan ada beberapa anak yang mengaku tidak memiliki sendal maupun sepatu. Melihat kondisi anak-anak jalanan yang jarang memakai alas kaki menyebabkan Yayasan Kesejahteraan Mayarakat Indonesia membuat penyuluhan memakai alas kaki saat keluar rumah terutama saat bekerja. Materi yang dipakai adalah membangun kesadaran anak tentang bahaya ketika anak-anak tidak menggunakan alas kaki saat bekerja. Metode yang dipakai adalah metaplan, diskusi dan tanya jawab terhadap anak. Setelah diberikan program hasil yang dicapai ternyata anak-anak masih jarang memakai alas kaki alasan mereka karena masih sering hilang. Namun tidak sedikit juga anak-anak yang sering menggunakan alas kaki. Ini menunjukan kesadaran anak telah terbangun mengenai bahaya bila tidak memakai alas kaki saat keluar rumah. Tabel 17a. Distribusi Frekuensi Responden Membersihkan Telinga dalam Seminggu Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Membersihkan Telinga Tak pernah Jarang Sering Lain-lain Total
F
%
8 7 16 1
25,0 21,9 50,0 3,1
32
100.0
Sumber: Data Primer
201
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
Tabel 17b. Distribusi Frekuensi Responden Membersihkan Telinga dalam Seminggu Sesudah Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Membersihkan Telinga Tak pernah Jarang Sering Lain-lain Total
F
%
5 18 8 1
15,6 56,3 25,0 3,1
32
100.0
Sumber: Data Primer
Frekuensi responden membersihkan telinga sebelum mengikuti program kesehatan dasar dapat dilihat pada tabel di atas hampir 50% sering membersihkan telinga, namun tidak sedikit juga anak-anak yang jarang dan malah beberapa anak tidak mau membersihkan telinga. Alasan anak-anak yang jarang maupun tidak mau untuk membersihkan telinga karena motivasi mereka yang kurang, namun juga ada hubungan antara gaya hidup yang tidak bersih dengan pekerjaana anak. Oleh sebab itu para orang tua anak melarang anak-anak mereka untuk menjaga kebersihan khususnya telinga, seperti hasil wawancara dari paa pendamping bahwa orang tua anak enggan anaknya diperiksa oleh pemeriksaan kesehatan yang disediakan oleh lembaga. Program yang dibuat pihak lembaga yaitu pendidikan kesehatan di mana di dalamnya ada penyuluhan mengenai kebersihan telinga. Materi penyuluhan kebersihan telinga yang diberikan meliputi pentingnya telinga sebagai salah satu indera pada tubuh, pola perawatan, jenis-jenis penyakit dan rujukan untuk pengobatan penyakit telinga. Metode yang dipakai adalah penyuluhan kepada anak-anak jalanan. Setelah diberikan program ternyata hasilnya anak-anak yang membersihkan telinga semakin sedikit. Alasan anak-anak tidak membersihkan telinga karena dimarahi oleh orang tua dan beberapa anak mengaku karena mereka juga tidak punya kapas telinga. Seperti hasil wawancara terhadap beberapa anak: “Jarang kak aku bersihkan telinga, kalau aku bersihkan mamak aku marah.” “Kalau aku kak, tidak punya congkel telinga di rumah.” Dari hasil observasi terhadap anak-anak di lapangan ada beberapa anak yang sampai “tungkik” dan orang tuanya tidak mengizinkan
202
anaknya untuk diperiksa maupun diberi rujukan berobat gratis oleh lembaga. Tabel 18a. Distribusi Frekuensi Responden Mengganti Pakaian dalam Sehari Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3
Frekuensi Mengganti Pakaian dalam Sehari Tak pernah Jarang Sering Total
F
%
7 19 6
21.9 59.4 18.8
32
100.0
Sumber: Data Primer Tabel 18b. Distribusi Frekuensi Responden Mengganti Pakaian dalam Sehari Sesudah Mengikuti Program No. 1 2 3
Frekuensi Mengganti Pakaian dalam Sehari Tak pernah Jarang Sering Total
F
%
0 17 15
0 53.1 46.9
32
100.0
Sumber: Data Primer
Jarangnya anak jalanan mengganti pakaian dalam sehari pada tabel di atas maksudnya adalah anak jalanan selalu memakai pakaian yang sama dengan hari sebelumnya. Adapun alasan mereka jarang mengganti pakaian adalah karena mereka “malas” ungkap mereka. Jika kita melihat kondisi anak bekerja di jalan, anak-anak mudah sekali mengotori pakaian yang mereka pakai. Hal ini dikarenakan mereka juga bekerja tanpa memperdulikan lingkungan mereka, misalnya di mana mereka duduk, mereka mengelap keringat di baju bahkan mereka tidak mengelap tangan mereka di baju yang mereka pakai. Khususnya pada anak pemulung, mereka harus mengais tongtong sampah untuk mencari botot begitu juga anak-anak pengumpul makanan ternak babi. Makanya jarangnya mereka mengganti pakaian akan mengganggu kesehatan mereka. Ada juga anak yang mengaku jarang mengganti pakaian dalam sehari dikarenakan orang tuanya malas mencuci sehingga ia terpaksa memakai pakain yang sama dengan yang sebelumnya. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden yang bernama Gunawan (seorang pemulung): “Kek mana aku mau ganti pakain kak karena mamak aku malas mencuci jadi terpaksa aku
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
pake baju ini lagi.” Hal ini di iyakan oleh kawan-kawanya pada saat itu berada di samping gunawan. Melihat kondisi anak jalanan maka dibuat program mengenai kebersihan diri meliputi kebersihan pakaian. Metode yang digunakan adalah modeling atau pemberian contoh langsung. Setelah anak-anak diminta mandi kemudian anak-anak diminta memakai pakaian ganti yang bersih yang telah disediakan oleh lembaga. Pakaian yang disediakan berasal dari sumbangan masyarakat maupun gereja. Dari tabel 5.21 dapat dilihat hasilnya meliputi anakanak yang sebelumnya jarang mengganti pakaian mengalami penurunan drastis menjadi tidak ada sama sekali. Sedangkan pada anakanak yang jarang mengganti pakaian berkurang sekitar 6.3%, dan pada anak-anak yang sering mengganti pakaian naik sekitar 28.1% ini menunjukkan YAKMI berhasil membuka kesadaran anak jalanan untuk menjaga kebersihan diri mereka. Tabel 19a. Distribusi Frekuensi Responden Mencuci Tangan Sebelum dan Sesudah Makan Sebelum Mengikuti Program No.
1 2 3
Frekuensi Mencuci Tangan Sebelum dan Sesudah Makan Tak pernah Jarang Sering Total
F
%
6 19 7
18.8 59.4 21.9
32
100.0
Sumber: Data Primer Tabel 19b. Distribusi Frekuensi Responden Mencuci Tangan Sebelum dan Sesudah Makan Sesudah Mengikuti Program No.
1 2 3
Frekuensi Mencuci Tangan Sebelum dan Sesudah Makan
F
%
Tak pernah Jarang Sering
5 17 10
15.6 53.1 31.3
32
100.0
Total Sumber: Data Primer
Pada Tabel 19a dan 19b di atas dapat dilihat bahwa anak-anak yang tidak pernah mencuci tangan baik telah mendapat program maupun sebelum mendapat program dari
YAKMI ternyata hanya berkurang sekitar 3.2% karena ini dipengaruhi dari situasi anak di jalanan yang sulit mendapatkan air. Sedangkan anak jalanan yang jarang mencuci tangan hanya berkurang 6.3%, dan juga pada anak-anak yang sering mencuci tangan naik menjadi 9.4%, dalam hal ini anak lebih banyak menyadari pentingnya mencuci tangan. Kecenderungan anak jalanan jarang mencuci tangan dikarenakan kesulitan anak untuk memperoleh air yang bersih di jalan sehingga anak-anak mengaku sering menggunakan plastik untuk menutupi tangan yang kotor ketika makan. Selain itu responden juga menjawab penggunaan sendok membantu mereka untuk tidak perlu mencuci tangan. Seperti yang diungkapkan responden berikut ini: “Kek mana kak kami mau cuci tangan, mana ada air di jalan ini kak, paling kalu hujan aja baru ada air kak. Ya udah aku makan aja kak yang penting udah aku lap pake baju aku sebelum makan.” “Aku makan kan kak pake sendok, jadi gak perlu aku cuci tangan kak. Kadang aku bawa sendok dari rumah kak. Tapi kalo lupa bawa sendok aku pake plastik aja kak, kan sama ajanya kak.” Pengadaan program YAKMI mengenai mencuci tangan diberikan ketika pemeriksaan kesehatan di mana anak-anak dijelaskan mengenai penyakit yang sering diderita anak ketika makan tidak bersih. Salah satu penyebab penyakit itu melalui tangan. Metode penyampaian adalah ceramah dan gambar. Hasil yang dicapai setelah program tersebut dilaksanakan anak-anak masih jarang mencuci tangan. Ini dikarenakn anak-anak masih menganggap sulit memperoleh air di jalan. Namun ada beberapa anak yang menjawab memakai sendok. Tabel 20a. Distribusi Frekuensi Responden Ngelem Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Ngelem Tak pernah Jarang Sering Lain-lain Total
F
%
27 3 1 1
84.4 9.4 3.1 3.1
32
100.0
Sumber: Data Primer
203
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
Tabel 20b. Distribusi Frekuensi Responden Ngelem Sesudah Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Ngelem Tak pernah Jarang Sering Lain-lain Total
F
%
28 1 0 3
87.5 3.1 0 9.4
32
100.0
Sumber: Data Primer
Frekuensi anak jalanan tidak pernah ngelem maksudnya adalah anak jalanan sama sekali tidak menggunakan “ngelem”, sedangkan jarang maksudnya adalah anak jalanan pernah ngelem namun tidak diteruskan, sedangkan sering maksudnya adalah anak jalanan telah ketagihan dan dilakukan berulang-ulang. Responden yang memilih tidak pernah “ngelem” pada tabel di atas mengaku bahwa mereka tidak tertarik menggunakan zat tersebut. Selain itu dari hasil data sebelumnya bahwa anak-anak yang didampingi oleh YAKMI ini masih adanya hubungan teratur dengan orang tua mereka. Hubungan yang teratur terhadap orang tua akan memperkecil keinginan anak untuk “ngelem”. Seperti yang dikatakan oleh responden: “Dari dulu sampai sekarang aku gak pernah ngelem kak, aku takut ayah aku selalu bilang ‘awas ya kalau kau ngelem bapak libas kau..’ lagian aku juga tidak bergaul dengan orang-orang itu kak, mendingan aku pulang kalau udah ada orang kek gitu.” Selain itu responden yang mengaku jarang “ngelem” maksudnya bahwa mereka pernah menggunakannya namun tidak terusmenerus. Responden yang mengaku ini adalah responden yang lebih remaja. Adapun alasan mereka pernah menggunakan karena pengaruh ajakan teman serta anak tidak mengetahui risiko akibat penggunaannya. Sementara dari anakanak juga mengaku pernah menggunakan namun hanya sesekali. “Dulu aku pernah kak beberapa kali ikutikutan sich tapi sekarang gak lagi. Habis aku dulu diajak kawan kak, mereka bilang itu gak apa-apa dan aku juga gak setia katanya kalau aku gak ikut ngerasain.” Sedangkan anak-anak yang menjawab sering adalah anak-anak yang sudah ketagihan dan sulit lepas, anak-anak yang didampingi oleh
204
YAKMI tergolong tidak banyak karena mereka masih dalam keadaan pengontrolan orang tua. Pada tabel 5.23 juga terlihat bahwa frekuensi anak jalanan ngelem sebelum maupun sesudah mengikuti program YAKMI yang tergolong tidak pernah ini dapat dilihat dari perbedaan sekitar 0.31%, ini dikarenakan pada dasarnya anak jalanan sebelum masuk YAKMI cenderung tidak pernah “ngelem”. Kecenderungan anak jalanan tidak pernah “ngelem” karena mereka masih dimonitor keluarga secara teratur baik di jalanan maupun di rumah. Banyak orang tua anak jalanan yang bekerja di jalanan. Mereka bekerja sebagai pengumpul botot, pengumpul makanan ternak, tukang minta dan berjualan rokok maupun minuman. Lembaga YAKMI membuat program mengenai bahaya narkoba dan di dalamnya ngelem. Adapun materi yang disampaikan meliputi: bahaya narkoba, jenis-jenis narkoba. Metode yang digunakan adalah ceramah, menerangkan gambar dan memakai alat peraga. Setelah diberikan program tersebut kepada anak jalanan ternyata hasilnya yang dicapai adalah anak-anak tetap tidak menggunakan narkoba. Namun anak-anak mengetahui bahaya narkoba tersebut. Ini dibuktikan dari wawancara terhadap anak. Pemahaman anak tentang narkoba ini dilihat dengan kemampuan anak dapat menyebutkan bahaya-bahaya bagi pengguna penggunaan narkoba. Tabel 21a. Distribusi Frekuensi Responden Menggunakan Narkoba Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3
Frekuensi Menggunakan Narkoba Tak pernah Jarang Lain-lain Total
Sumber: Data Primer
F
%
31 1 0
96.9 3.1 0
32
100.0
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
Tabel 21a. Distribusi Frekuensi Responden Menggunakan Narkoba Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3
Frekuensi Menggunakan Narkoba Tak pernah Jarang Lain-lain Total
Tabel 22b. Distribusi Frekuensi Responden Mabuk Sesudah Mengikuti Program
F
%
No.
29 0 3
90.6 0 9.4
1 2 3 4
32
100.0
Frekuensi Mabuk Tak pernah Jarang Sering Lain-lain Total
F
%
31 1 0 0
96.9 3.1 0 0
32
100.0
Sumber: Data Primer
Sumber: Data Primer
Frekuensi anak jalanan tidak pernah menggunakan narkoba adalah anak jalanan sama sekali tidak mencoba menggunakan narkoba, sedangkan dimaksud sering yaitu anak jalanan menggunakan narkoba berulang-ulang hingga sekarang. Dari tabel di atas terlihat bahwa hampir semua anak-anak jalanan dampingan YAKMI tidak menggunankan narkoba. Ini dikarenakan mereka masih berhubungan teratur dengan orang tua dan juga mereka masih sekolah sehingga masih adanya peraturanperaturan yang melarang mereka menggunakan narkoba baik itu dari sekolah maupun dari orang tua. Adapun anak mengaku jarang yaitu alasanya anak pernah sekali mencoba narkoba jenis ganja namun tidak diteruskan. Anak ini mengaku keterlibatan ia menggunakan narkoba karena ajakan teman. Pada Tabel 5.23 terlihat bahwa anak yang menggunakan narkoba baik sebelum mengikuti program kesehatan dasar hingga setelah mengikuti pendidikan kesehatan dasar cenderung tidak berubah, hal ini dikarenakan anak-anak dampingan YAKMI sebelumnya tidak menggunakan narkoba dan begitu juga setelahnya. Seperti yang terlihat dari data-data pada tabel sebelumnya bahwa anak dampingan YAKMI masih berhubungan teratur dengan orang tua. Sehingga masih ada pengontrolan orang tua yang ketat.
Frekuensi anak-anak jalanan tidak pernah mabuk maksudnya yaitu dalam kehidupan anak sama sekali anak jalanan tersebut tidak pernah minum minuman beralkohol. Sedangkan jarang adalah anak jalanan pernah mencoba mabuk namun tidak dilakukan terus-menerus atau berulang-ulang. Sedangkan frekuensi sering maksudnya adalah anak jalanan mabuk dilakukan terus-menerus hingga sekarang. Dari tabel di atas hampir semua anak-anak jalanan menjawab tidak pernah mabuk. Alasan mereka tidak pernah mabuk karena mereka tau kalau hal itu tidak baik bagi kesehatan mereka seperti yang diungkap kan mereka: “Untuk apa mabuk kak, mending aku main PS daripada habis uang ku beli kamput. Nantik aku dimarahi pula sama mamak aku kalau udah pulang.” “Kalau aku kak gak mau minumminuman kek gituan, kan gak bagus untuk kesehatan. Nantik aku bisa ketagihan kak.” Responden yang mengaku jarang minum, menurut pengakuan mereka pernah mencoba tetapi tidak dilakukan berulang-ulang. Ini dikarenakan mereka terpengaruh teman sekeliling mereka yang peminum dan juga pengaruh orang tua yang peminum: “Aku kak pernah sekali minum tapi sekarang gak lagi, aku gak beli kak bapak aku bawa minuman ke rumah trus aku coba sikit, tapi paling sering kalo natal dan tahun baru kak.” Responden yang mengaku sering minum, menurut pengakuan mereka adalah “kalau udah malam minggu kak, kan biasa ngumpul-ngumpul gitu lho”. Pada umumnya yang menjawab ini adalah anak jalanan yang udah remaja. Mereka sering tidak pulang ke rumah setiap malam minggu. Pada Tabel 22a dan 22b terlihat bahwa anak-anak jalanan yang tidak pernah mabuk baik sebelum mendapat pendidikan kesehatan
Tabel 22a. Distribusi Frekuensi Responden Mabuk Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3 4
F
%
Tak pernah Jarang Sering Lain-lain
Frekuensi Mabuk
23 6 2 1
71.9 18.8 6.3 3.1
Total
32
100.0
Sumber: Data Primer
205
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
dasar maupun setelah mendapat pendidikan kesehatan dasar terlihat ada kemajuan sekitar 52% anak-anak yang tidak pernah mabuk. Sedangkan anak-anak yang jarang mabuk sekitar berkurang sekitar 15.7%, sedangkan yang sering yang sebelum masuk pendidikan kesehatan dasar mabuk namun setelah masuk pendidikan kesehatan dasar menjadi tidak ada sama sekali. Tabel 23a. Distribusi Frekuensi Responden Memukul Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3
Frekuensi Memukul Orang Lain
F
%
Tak pernah Jarang Sering
2 13 17
6.3 40.6 53.1
Total
32
100.0
Sumber: Data Primer Tabel 23b. Distribusi Frekuensi Responden Memukul Sesudah Mengikuti Program No. 1 2 3
Frekuensi Memukul Orang Lain Tak pernah Jarang Sering Total
F
%
2 19 11
6.3 59.4 34.4
32
100.0
Sumber: Data Primer
Frekuensi responden memukul sebelum mengikuti program pendidikan etika didominasi oleh anak-anak yang mengaku sering memukul. Arti sering di sini yaitu anak-anak pernah memukul dalam setiap hari baik terhadap teman maupun terhadap saudara kandung. Anak-anak sering memukul dikarenakan konflik kecil dalam pergaulan anak-anak di jalanan. Konflik ini disebabkan adanya ketidaksenangan anak dalam perkawanan. Namun umumnya konflik ini tidak berlangsung lama, dari ungkapan responden mengaku bahwa berkelahi merupakan kebiasaan sesama mereka. Dari hasil wawancara terungkap bahwa: “Memang kak kami sering pukul-pukulan sebentar aja palingan besok udah kawanan lagi. Kadang karena berebut, tapi kak paling sering kami ngomong jorok daripada mukul.”
206
“Aku mukul dia kak karena dia pukul aku dulu, ya…aku balas lah kak.” Program yang diberikan Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia untuk menekan perilaku memukul pada anak yaitu etika bergaul. Materi yang disampaikan yaitu cara bergaul yang baik, menghargai teman dan melarang anak melakukan kekerasan. Metode yang dipakai untuk menyampaikan materi tersebut yaitu menonton tayangan dari VCD kartun yang mengandung nasehat berperilaku, kemudian anak-anak diminta untuk mempresentasikan bergaul yang baik sesama teman-temanya. Setelah mengikuti program etika hasilnya anak-anak jalanan menunjukan kemajuan yaitu di mana anak-anak yang sebelum mengikuti program tergolong sering namun setelah mengikuti anakanak menjadi jarang berkelahi. Perubahan ini tidak begitu signifikan dikarenakan berkelahi merupakan kebiasaan yang sering dilakukan pada anak-anak jalanan. Namun di kalangan anak-anak yang lebih kecil lebih sering dipukul oleh anakanak jalanan yang lebih besar namun mereka tidak membela maupun membalas, seperti yang diungkapkan responden berikut ini: “Kami kak kalau memukul jarang tapi dipukul sama anak-anak yang besar itu kak. Kadang mereka kompas kami terus ditokoknya kepala kami kak. Mana berani kami membalas kak, takut lah.” Selisih perubahan anak-anak yang sering memukul sebelum dan sesudah menerima program etika berkurang sekitar 18.7%, selisih perubahan perilaku anak-anak yang jarang memukul sebelum dan sesudah menerima program etika naik sekitar 18.8%, sedangkan untuk anak-anak yang tidak pernah memukul dalam jumlah yang tetap. Tabel 24a. Distribusi Frekuensi Responden Berkelahi Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Berkelahi Tak pernah Jarang Sering Lainnya Total
Sumber: Data Primer
F
%
2 19 11 0
6.3 59.4 34.4 0
32
100.0
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
Tabel 24b. Distribusi Frekuensi Responden Berkelahi Sesudah Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Berkelahi Tak pernah Jarang Sering Lainnya Total
F
%
9 18 4 1
28.1 56.3 12.5 3.1
32
100.0
Sumber: Data Primer
Peneliti memisahkan antara memukul dan berkelahi dengan pertimbangan anak-anak selalu mengaku memukul namun tidak sampai dalam perkelahian. Sehingga untuk melihat pengukuran agar lebih jelas peneliti memisahkan antara memukul dan berkelahi. Dari data tabel di atas terlihat bahwa frekuensi anak jalanan sebelum mengikuti program etika anak-anak lebih banyak mengaku jarang berkelahi. Dari pengakuan mereka alasan anak-anak jarang berkelahi dikarenakan kuatnya persahabatan di kalangan mereka walaupun ada beberapa kali konflik kecil namun bagi mereka itu bukan dikatakan perkelahian dan di kalangan mereka hanya sering beradu kata-kata kasar. Sedangkan anak-anak yang sering berkelahi mengaku perkelahian antara saudara kandung misalnya abang berkelahi bersama adiknya maupun sebaliknya. Namun perkelahian mereka tidak berlangsung lama. Dari hasil wawancara terhadap responden pemulung berikuti ini: “Kalau kami kak jarang berkelahi, karena kami gak suka tapi sesekali pernah lah, palingan soal duit atau berebut kotak. Tapi besoknya kami baikan lagi kak.” “Kalau dia kak sering kelahi sama adiknya, sampai nangis adiknya kak baru dia berhenti.” Pengakuan dari temanteman responden. Diadakan program etika bergaul yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia. Materi etika bergaul berisi cara bergaul yang baik, menghargai teman dan melarang anak melakukan kekerasan. Metode yang dipakai untuk menyampaikan materi tersebut yaitu menonton tayangan dari VCD kartun yang mengandung nasehat berperilaku, kemudian anak-anak diminta untuk mempresentasikan bergaul yang baik sesama teman-temanya.
Setelah diadakan program tersebut maka kondisi anak-anak jalanan, adanya sedikit kemajuan di mana anak-anak yang sebelumnya sering berkelahi menjadi tidak pernah berkelahi. Namun anak-anak yang mengaku jarang berkelahi masih tetap dengan jumlah yang sama. Alasan mereka dikarenakan perkelahian antara mereka pernah dilakukan namun tidak sering, seperti dari hasil wawancara responden berikut ini, “Kami kalau dibilang tidak pernah kelahi kak tapi sering juga namun kalau sering, jarang juga kak. Pernahlah kak dibuat tapi kadang-kadang kalau lagi membela teman yang sedang dipukul.” Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kemajuan anak-anak jalanan mengikuti program yaitu sebelumnya jarang berkelahi berkurang sedikit yaitu sekitar 3.1%, artinya ini telah menunjukan kemajuan yang baik dalam pergaulan anak jalanan. Sedangkan anak-anak yang sebelumnya sering berkelahi berkurang 21.9%, dan anak-anak yang tidak pernah sama sekali bertambah sekitar 21.8% ini menunjukan keberhasilan YAKMI dalam membentuk pola perilaku pada anak jalanan. Tabel 25a. Distribusi Frekuensi Responden Bermain Judi Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Bermain Judi Tak pernah Jarang Sering Lainnya Total
F
%
16 9 5 2
50.0 28.1 15.6 6.3
32
100.0
Sumber: Data Primer Tabel 25b. Distribusi Frekuensi Responden Bermain Judi Sesudah Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Bermain Judi Tak pernah Jarang Sering Lainnya Total
F
%
16 14 1 1
50.0 43.8 3.1 3.1
32
100.0
Sumber: Data Primer
Sebelum anak-anak mendapat program etika, frekuensi anak-anak jalanan berjudi dapat 207
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
dikatakan tidak pernah. Anak-anak yang mengaku tidak pernah berjudi dikarenakan mereka tidak ada waktu untuk bermain judi. Kesibukan aktivitas mereka dari sekolah pada pagi hari hingga kerja pada sore hari menekan keinginan anak-anak untuk bermain judi. Selain itu dipengaruhi pula dengan pengontrolan orang tua saat mereka berada di jalanan. Sementara anak-anak yang mengaku sering bermain judi menggunakan kartu dengan taruhan kecilkecilan. Taruhan yang sering dipakai anak-anak tersebut paling sedikit Rp 500,- dan paling banyak Rp 10.000,-. Ada beberapa anak-anak jalanan yang mengaku jarang berjudi maksudnya yaitu mereka pernah berjudi namun hanya sesekali. Seperti responden ini mengaku: “Aku kak sering juga kak, kalau udah malam minggu. Taruhan kadang-kadang duit, kadang-kadang rokok. Itupun kalau bergadangnya.” “Aku kak pernah berjudi kak, kalau kawan-kawan ada yang main, aku ikut juga kak.” Diadakan program etika mengenai kerugian berjudi. Materi mengenai kerugian berjudi meliputi menanamkan pemahan kepada anak tentang kerugian berjudi, mensosialisasikan kepada anak bahwa telah ada razia perjudian oleh aparat dan menjelaskan kepada anak tentang risiko anak apabila telah tertangkap oleh aparat. Materi terseut disampaikan dengan metode diskusi dan tanya jawab. Setelah diadakan program etika tentang kerugian berjudi ternyata hasilnya anak-anak jalanan semakin berkurang bermain judi. Ini dapat dilihat pada tabel di atas bahwa anak-anak yang mengaku jarang berjudi setelah menerima program berkurang jumlahnya sekitar 15.7%, sedangkan bagi anak yang mengaku sering berjudi berkurang sekitar 12.5%, dan bagi anakanak yang mengaku tidak pernah berjudi dalam jumlah yang tetap. Tabel 26a. Distribusi Frekuensi Responden Berbicara Kasar Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Berbicara Kasar Tak pernah Jarang Sering Lainnya Total
Sumber: Data Primer
208
F
%
4 12 15 1
12.5 37.5 46.9 3.1
32
100.0
Tabel 26b. Distribusi Frekuensi Responden Berbicara Kasar Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Berbicara Kasar Tak pernah Jarang Sering Lainnya Total
F
%
4 20 8 0
12.5 62.5 25.0 0
32
100.0
Sumber: Data Primer
Berbicara kotor yang dimaksud di sini adalah berbicara dengan mencela dan menggunakan bahasa kotor atau “ngomong jorok”. Berkata jorok atau ngomong jorok menurut kamus bahasa Indonesia yaitu perkataan kotor, cabul atau tidak senonoh. Dari tabel terlihat bahwa anak-anak sebelum mengikuti program mengaku sering berbicara kotor. Anak-anak yang mengaku berbicara kotor lebih banyak dari yang mengaku jarang maupun tidak pernah. Kebiasaan sering berbicara kotor terbangun dalam lingkungan anak jalanan yang sudah lama. Kebiasaan ini juga dikarenakan pengaruh faktor imitasi dari lingkungan sekitar anak-anak. Sehingga anak-anak mudah sekali menyebutkan kata-kata kasar. Seperti yang diungkapkan oleh responden berikut ini: “Duh kak kalau kami kak sudah biasa itu kak, daripada kami kelahi baik kami kelahi mulut.” Yayasan kesejahteraan Masyarakat Indonesia mengadakan program tentang sopan santun berbicara. Dengan materi program yaitu mengajarkan tentang etika berbicara, melarang anak berbicara kotor, menghargai orang lain saat berbicara. Metode yang digunakan adalah diskusi dan tanya jawab. Setelah dilakukan program tersebut ternyata anak-anak yang semula sering berbicara kasar telah berkurang frekuensinya, ini menunjkan kemajuan yang positip bagi anak adapun selisih kemajuan sekitar 21.9%. Sedangkan untuk anak yang sebelumnya jarang berbicara kasar bertambah banyak sekitar 25% sementara bagi anak-anak yang mengaku tidak pernah dalam jumlahyang tetap.
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
Tabel 27a. Distribusi Frekuensi Responden Sembahyang/Kebaktian Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Sembahyang/Kabaktian Tak pernah Jarang Sering Lainnya Total
F
%
7 19 5 1
21.9 59.4 15.6 3.1
32
100.0
Sumber: Data Primer Tabel 27b. Distribusi Frekuensi Responden Sembahyang/Kebaktian Sesudah Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Sembahyang/Kabaktian Tak pernah Jarang Sering Lainnya Total
F
%
12 15 5 0
37.5 46.9 15.6 0
32
100.0
Sumber: Data Primer
Pelaksanakan sembahyang atau kebaktian pada anak-anak Kristen mengaku mengikuti Pendalaman Alkitab (PA) yang dilakukan pada masing-masing gereja mereka tetapi khusus anak-anak di Setia Luhur pendalaman alkitab diadakan oleh YAKMI sendiri. Kecenderungan anak jalanan jarang melaksanakan sembahyang atau kebaktian sebelum mengikuti program pendidikan etika dikarenakan kesibukan anak-anak jalanan yang menghabiskan sebahagian besar di jalan sehingga anak-anak melupakan waktu ibadah dan juga banyak anak-anak yang mengaku menghabiskan waktu minggunya bermain bersama teman-teman dan ada beberapa anak yang bekerja. Selain anak-anak selalu berada di jalan juga dipengaruhi kurangnya dukungan dari orang tua untuk menjalankan ibadah. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang anak: “Kek mana kak mau sembahyang, aku di jalanan. Mana ada ingat aku lagi.” “Kadang-kadang hari minggu aku ke gereja tapi Kak aku sering main. Malas aku kak.” Program yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia kepada anak-anak jalanan yaitu etika beragama. Materi program etika beragama mengenai pola hidup
yang mengasihi Tuhan, mengasihi sesama manusia dan diri sendiri, membaca alkitab serta kedisiplinan dalam menjalankan ibadah. Metode yang dipakai dalam menyampaikan materi tersebut yaitu penyuluhan dan diskusi tanya jawab. Setelah anak-anak jalanan menerima program pendidikan etika beragama ternyata hasilnya anak-anak masih tetap jarang menjalankan ibadah. Ini dikarenakan kurang motivasi atau dukungan terhadap anak-anak jalanan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh responden dari hasil wawancara: “Malas kali aku ke gereja kak, kadang hari minggu aku main-main kak. Tapi aku ikut PA (pendalaman alkitab) kak.” Frekuensi responden dalam membaca alkitab sebelum mendapat program etika beragama dapat dilihat pada tabel di atas yakni didominasi anak-anak yang mengaku sering membaca kitab suci. Menurut pengakuan mereka, rajinnya mereka membaca kitab karena mereka bergabung dalam persatuan penelaah alkitab atau dikenal PA. dan bagi yang islam mengaku mengaji. Namun anak-anak yang menjawab jarang dikarenakan kurangnya motivasi dari anak untuk membaca alkitab. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa responden: “Kadang aku malas kak ikut PA, aku main-main aja bersama teman-teman aku. Kadang-kadang aku nyari.” Program pendidikan etika mengenai etika beragama yang materi tentang pola hidup yang mengasihi Tuhan, mengasihi sesama manusia dan diri sendiri, membaca alkitab serta kedisiplinan dalam menjalankan ibadah. Metode yang digunakan dalam menyampaikan materi tersebut diskusi tanya jawab. Setelah program tersebut diberikan ternyata hasilnya anak-anak semakin bertambah dalam membaca alkitab yaitu naik sekitar 31.2%, sedangkan pada anakanak jalanan yang jarang membaca alkitab berkurang jumlahnya sekitar 53.1% setelah mengikuti program etika, ini maksudnya adalah anak-anak semakin rajin membaca alkitab dengan berkurangnya anak-anak yang mengaku jarang dan bertambahnya anak-anak yang mengaku sering. Pada anak-anak yang tidak pernah berkurang sekitar 18.7%. ini menunjukan kemajuan program dalam merubah perilaku anak jalanan.
209
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
Tabel 28a. Distribusi Frekuensi Responden Menabung Sebelum Mengikuti Program No. 1 2 3 4
Frekuensi Menabung Tak pernah Jarang Sering Lainnya Total
F
%
No.
9 18 4 1
28.1 56.3 12.5 3.1
1 2 3 4
32
100.0
Sumber: Data Primer
1 2 3 4
Frekuensi Menabung Tak pernah Jarang Sering Lainnya Total
Frekuensi Bolos Sekolah Tak pernah Jarang Sering Lainnya Total
F
%
11 6 7 8
34.4 18.8 21.9 25.0
32
100.0
Sumber: Data Primer
Tabel 28b. Distribusi Frekuensi Responden Menabung Sesudah Mengikuti Program No.
Tabel 29a. Distribusi Frekuensi Responden Menabung Sebelum Mengikuti Program
Tabel 29b. Distribusi Frekuensi Responden Menabung Sesudah Mengikuti Program
F
%
No.
6 7 18 1
18.8 21.9 56.3 3.1
1 2 3 4
32
100.0
Frekuensi Bolos Sekolah Tak pernah Jarang Sering Lainnya Total
F
%
11 10 3 8
34.4 31.3 9.4 25.0
32
100.0
Sumber: Data Primer
Sumber: Data Primer
Anak-anak jalanan tidak terlepas dari pola perilaku yang konsumtif. Pembentukan pola perilaku konsumtif ini dipengaruhi oleh kemudahan anak-anak jalanan seusia mereka memperoleh duit. Sehingga tidak jarang anakanak jalanan membelajakan uang mereka tanpa adanya batasan. Namun adanya juga anak-anak jalanan yang mengaku memberikan semua uang mereka kepada orang tua anak. Dari tabel di atas terlihat bahwa kecenderungan anak-anak jalanan jarang menabung sebelum mengikuti program dikarenakan anak-anak selalu menghabiskan uang untuk bermain game maupun berbelanja atau jajan. Namun ada juga anak-anak jalanan yang rajin menabung dengan orang tuanya dan sewaktu-waktu dapat diminta kembali. Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia mengadakan program giat menabung kepada anak-anak jalanan. Metode yang dipakai adalah lembaga menyediakan celengan untuk masing-masing anak agar mereka menyisihkan pendapatan yang mereka terima setiap harinya. Dan sewaktu-waktu mereka bisa mengambilnya kembali. Setelah program tersebut dilakukan ternyata hasilnya anak-anak yang menabung semakin bertambah 43.8%. Sementara anakanak yang tidak pernah menabung 9.3% berkurang.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kecenderungan anak jalanan bolos sekolah lebih banyak menjawab tidak pernah. Anak-anak jalanan tidak pernah bolos dikarenakan anakanak tersebut masih dalam pengontrolan orang tua sehingga anak-anak tidak pernah bolos. Dan anak-anak yang memilih tidak menjawab dikarenakan mereka tidak bersekolah lagi. Sedangkan anak-anak yang mengaku sering dikarenakan ajakan teman. Setelah adanya program dari yayasan Kesejahteraan masyarakat indonesia tentang program etika budi perkerti yang di dalamnya tentang tidak bolos sekolah. Materi yang disampaikan pemberian pengarahan dalam masing-masing kelompok belajar yang mengandung makna bahwa tidak baik bolos sekolah. Metode yang dipakai adalah peraturanperaturan yang dibuat saat kelompok belajar. Hasil dari program tersebut ternyata anak jalanan yang sering bolos sekolah telah berkurang sekitar 12.5%, sedangkan untuk anak yang tidak pernah bolos masih dalam jumlah yang tetap.
210
Yusra & Siregar, Program Pemberdayaan Anak...
Kesimpulan 1. Program pemberdayaan yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia dalam merubah perilaku anak jalanan dapat dibagi menjadi tiga program. Tiga program tersebut yaitu; pendidikan kesehatan dasar, pendidikan etika dan pendidikan hukum. Pendidikan kesehatan dasar adalah pendidikan mengenai perubahan perilaku anak dalam menjaga kebersihan tubuh dan kesehatan dirinya. pendidikan ini dilakukan karena anak-anak jalanan dampingan YAKMI cenderung tidak perhatian akan kebersihan diri sehingga tidak jarang anak-anak berpenyakit seperti sakit kulit, cacingan, paru-paru dan lainlainya. Pendidikan etika adalah pendidikan tentang merubah perilaku kesaharian anak yang dalam pergaulanya. Sedangkan pendidikan hukum adalah pendidikan yang diberikan kepada anak agar anak dapat berperilaku 2. Program pemberdayaan yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia untuk mengubah perilaku anak jalanan dalam hal pendidikan kesehatan dasar ternyata anak-anak mengalami kemajuan dalam perubahan perlaku ke arah yang lebih baik. Ini dapat dibuktikan dengan adanya perhatian dari anak-anak dalam menjaga kebersihan diri dan kesehatan tubuhnya. 3. Program pemberdayaan tetang pendidikan etika yang dilakukan oleh YAKMI untuk mengubah perilaku dalam bergaul pada anak jalanan ternyata hasilnya anak-anak mengalami perubahan perilaku ke arah yan baik. Perubahan ini tidak terlalu signifikan karena pergaulan anak telah terbentuk dari anak kecil sehingga untuk merubah perilaku dalam pergaulan ini memerlukan waktu yang lebih lama. 4. Program pemberdayaan tentang pendidikan hukum ternyata hasilnya anak-anak banyak yang tidak memahami tentang pendidikan hukum tersebut. Ini dikarenakan metode yang dipakai adalah pendidikan sebaya atau (peer educator). Sehingga perubahan yang terjadi pada perilaku anak-anak sedikit tidak kentara.
Saran
1. Kepada Lembaga Yayayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia dalam membuat program kepada anak jalanan agar lebih bersifat kontinu atau berkelanjutan. Program yang berkelanjutan dibuat agar anak-anak dapat menyerap program tersebut secara sempuran selain itu sebaiknya dari lembaga mengadakan evaluasi tentang kebutuhan anak tentang program dan dilakukan monitoring setelah program tersebut diadakan. Dan tidak salah bila program tersebut diadakan berulang-ulang dengan metode yang berbeda agar anak sadar betapa pentingnya program tersebut bagi anak. 2. Program pemberdayaan seperti pendidikan kebersihan, pendidikan etika, dan pendidikan hukum tidak hanya diberikan kepada anak tetapi juga kepada orang tua sehingga nantinya pemberian program tidak hanya diberikan oleh YAKMI namun juga dapat diberikan oleh orang tua kepada anak. 3. Program pemberdayaan perlu ditanamkan kepada anak sehingga menumbuhkan kesadaran anak akan pentingnya pendidikan kesehatan dasar, pendidikan etika, dan pendidikan hukum sehingga anak dapat merubah perilakunya atas keinginan anak sendiri.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara, Jakarta. Gunarsa, D, Singgih, Dr, Prof & Gunarsa, D, Singgih, Y, Ny, Dra. 1999 Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. PTBPK Gunung Mulia, Jakarta. Ikhsan, Edy. 2004. Buku Saku Pendampingan Bagi Anak Jalanan Yang Berkonflik Dengan Hukum. Yayasan Pusaka Indonesia & Save the Children-USAID, Medan. Kataren, Nurlela, Dra. Asas-Asas Manajemen. USU PRESS, Medan. Kencana, Gita, dkk. 2001. Baseline Survei Untuk Program Dukungan Dan 211
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 186-212
Pemberdayaan Anak Jalanan Di Perkotaan. MEDAN. Save The ChildreUSAID. Medan. Khairuddin, H, DRS, H.SS. 1997. Sosiologi Keluarga. Liberty, Yogyakarta. Koeswara, E. 1991. Teori- Teori Kepribadian. PT Eresco, Bandung. Mangunharjana, 1984. Pembinaan Arti Dan Metode Kanisus. LP3S, Jakarta. Muzaham, Fauzi. 1995. Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan. UIP, Jakarta. Nawawi, Hadari, H. 1983. Metode Penelitian Bidang sosial. Gajah Mada University Perss, Jogyakarta. Proyek INS/94/077 Kerja sama UNDP & DEP SOSIAL R.I, 1997. Pedoman Penyelenggara Rumah Singgah Program Iji Coba Anak Jalanan Di 7 Propinsi. -, Jakarta.
Sudrajat, Ajat & Sutisna, Nono. 1999. Pengubahan Perilaku dalam Pekerjaan Sosial. Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung, Bandung. Suharto, Edi, Drs, M.SC. 1997. Pembangungan, Kebijakan Sosial & Pekerjaan Sosial. Spektrum pemikiran. Lembaga Studi Pembangunan LSP-STKS Bandung, Bandung. Sweeting, Dr, E.M. 1998. Beberapa Penyebab Murid Mengulan Kelas, Putus sekolah, Dan Melanjutkan Sekolah Dari SD ke SLTP. Departemen pendidikan Dan kebudayaan, Direktorat jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta. Tunggal, Setia, Hadi, SH. 2000. Konvensi HakHak Anak. Cetakan kedua, Harvarindo, Jakarta. Walpole, Ronald. E. 1993. Pengantar Statistik. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Schellenberg, A, James. 1997. Tokoh-Tokoh Psikologi Sosial. Bumi Aksara, Jakarta. Sumber-sumber lain: Soedijar, Z, A.1990. Penelitian Anak Jalanan Di DKI Jakarta. Badan Penelitian Dan Pengembangan Sosial, Jakarta.
artikel:
[email protected] PPAI, 2004. Lintas Anak. PPAI, Medan.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survay, LP3ES, Siregar,Hairani,S.Sos, M.Si. 2003. FaktorFaktor Anak Menjadi Anak Jalanan. USU, Medan.
212
www.bpk.go.id www.disnakertransjateng.go.id