(Makalah Ringkas KIMLI 2011: ±2.400 kata) PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA DALAM PLURALINGUALISME KOMUNITAS ASEAN: VALIDASI “PASPOR BAHASA” Maryanto Badan Bahasa, Kemdiknas Pendahuluan Pembentukan karakter bangsa Indonesia--yang dalam makalah ini disebut karakter berbahasa Indonesia--tidak akan terlepas dari agenda bangsa Indonesia untuk ikut serta membentuk Komunitas ASEAN. Pembentukan Komunitas ASEAN—dengan tiga pilar, yaitu Ekonomi, Politik dan Keamanan, serta Sosial Budaya--merupakan implementasi Piagam ASEAN yang di dalamnya telah ditetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa kerja ASEAN (Pasal 34). Jika tidak ditentukan lain, Komunitas ASEAN—yang di dalamnya termasuk bangsa Indonesia sebagai bagian terbesar dari segi geopolitik—akan berbentuk masyarakat yang mengutamakan berbahasa Inggris. Sekali lagi, jika tidak ditentukan lain, bahasa Indonesia dan bahasa kebangsaan lainnya akan hidup melengkapi keberadaan bahasa Inggris sebagai bahasa dominan di kawasan Komunitas ASEAN. Di kawasan Uni Eropa, dominasi bahasa tertentu atas bahasa-bahasa lain telah berhasil dicegah dengan menyusun kebijakan Europass Language Passport. Pemberlakuaan kebijakan politik bahasa itu merujuk dokumen teknis yang disebut Common European Framework of Reference (CEFR) for Languages. Melalui kebijakan politik bahasa itu, bangsa-bangsa Eropa—meskipun telah berbertuk satu komunitas—dalam derajat tertentu berhasil mempertahankan karakter kebangsaannya masing-masing dengan saling menjamin kehormatan pluralitas kebahasaan bangsa Eropa. Dari kawasan Uni Eropa itulah berkembang konsep pluralingualisme (plurilingualisme) yang dipandang lebih adil implementasinya daripada konsep multilingualisme bagi masyarakat atau komunitas antar-bangsa. Konsep linguistik multilingualisme itu telah membenarkan terjadinya dominasi satu bahasa atas bahasa lain dalam sebuah komunitas. Pengalamanan terbaik (best practices) bangsa-bangsa Eropa tersebut dapat diterapkan oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara yang akan segara bergabung dalam Komunitas ASEAN. Ketika Komunitas ASEAN mulai berlaku (pada tahun 2015), bangsa-bangsa ASEAN dapat memperkuat pembentukan karakter kebangsaannya masing-masing dengan memberlakukan kebijakan ”paspor bahasa”. Bagi Indonesia, wacana ”paspor bahasa” pernah digulirkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Kemdiknas) pada tahun 2010 dengan merujuk pada skema sertifikasi bahasa dalam sistem Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Validasi gagasan ”paspor bahasa” itulah yang akan dibahas lebih mendalam melalui makalah ini. Selain itu, makalah ini juga akan mengupas sekilas perbedaan antara mulitilingualisme dan pluralingualisme dalam kaitan dengan pembentukan Komunitas ASEAN. Permasalahan Pembahasan topik makalah ini mengangkat masalah perbedaan teoretis antara multilingualisme dan pluralingualisme serta implikasi praktis dalam konteks pembentukan Komunitas ASEAN. Selain itu, dibahas juga masalah peluang yang terbuka untuk memberlakuan “paspor bahasa” dalam rancangan Komunitas ASEAN. Permasalahan itu diangkat untuk melakukan validasi gagasan “paspor bahasa” tersebut dengan membandingkan pemberlakuan kebijakan serupa dalam
1
komunitas Uni Eropa. Pembahasan makalah ini berawal dari asumsi bahwa pembentukan karakter bangsa Indonesia akan melemah apabila pembentukan Komunitas ASEAN gagal dimanfaatkan untuk mempromosikan bahasa Indonesia sebagai karakter penting bangsa Indonesia. Pembahasan Pentingnya bahasa Indonesia sebagai karakter bangsa Indonesia diungkapkan oleh Harahap (2010) dengan pepatah bahasa menunjukkan bangsa. Dalam pepatah lama itu, tidak hanya tersirat keluhuran tindak berbahasa sebagai cermin kebaikan budi pekerti pada seseorang. Akan tetapi, perilaku berbahasa secara kolektif juga menentukan posisi bangsa. Ketika posisi bangsa Indonesia sekarang telah mulai terpinggirkan oleh karena dominasi asing (terutama dalam bidang ekonomi), bahasa Indonesia pun mulai tersisihkan. Di tempat-tempat umum, sekadar untuk contoh, ungkapan ”pria” dan ”wanita” bukan lagi bahasa tutur yang luhur bagi sebagian orang Indonesia yang hendak berhajat buang air (kencing atau berak). Meskipun belum tentu ada orang asing di sini, perlu tersedia kamar kecil yang berlabel “gents” dan “ladies”. Gejala kerusakan karakter bangsa Indonesia ini sering terlihat di hotel-hotel yang tidak cukup percaya diri berbahasa Indonesia. Sebagai pengalaman pribadi, hotel-hotel yang tidak konsisten berbahasa Indonesia sering disewa untuk rapat dengan biaya dari rakyat Indonesia. Jika situasi ini dibiarkan tanpa intervensi memperkuat karakter berbahasa Indonesia, bangsa Indonesia akan perlahan dan pasti membunuh karakter jati dirinya. Di dalam wilayah persekolahan, situasinya hampir sama. Para siswa sekolah sekarang diarahkan agar patuh pada ”head master”, tidak lagi pada ”kepala sekolah”, terutama di sekolah penyelenggara program bilingual. Arah pendidikan seperti itu bisa jadi bertolak belakang dengan gerakan pembangunan karakter bangsa yang telah dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas). Gejala rendah diri (inferior) tampak telah muncul pada anak-anak bangsa Indonesia yang sekarang masuk ke sekolah yang hanya berbahasa Indonesia atau sekolah yang disebut ”reguler”. Di luar dunia pendidikan, terjadi pula inferioritas bangsa Indonesia dalam ranah pekerjaan. “Expat [pekerja asing] justru mengeluh tidak dapat memraktikkan pengetahuan bahasa Indonesia karena orang Indonesia dalam pergaulannya dengan expat ingin berbahasa Inggris.” Itulah yang dikatakan Anton M. Moeliono (2010, dalam komunikasi pribadi) ketika menanggapi artikel Koran Tempo (1 Mei 2010) yang berjudul “Menuntut Ekspatriat Berbahasa Indonesia”. Baik ranah pekerjaan maupun pendidikan Indonesia itu telah memperlihatkan kecenderungan melemahnya karakter bangsa Indonesia dalam hal berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia cenderung inferior. Menurut Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN, bahasa Inggris—meskipun ditetapkan sebagai bahasa kerja ASEAN—memang tidak dirancang akan dikembangkan sebagai bahasa superior di kawasan ini. Pada bagian awal Cetak Biru itu telah ditegaskan bahwa Komunitas ASEAN ”harus menghormati budaya, bahasa, dan agama yang berbeda dari bangsa-bangsa ASEAN [...]”. Dalam kaitan itu, terdapat enam elemen utama rencana Komunitas Sosial Budaya ASEAN yang terdiri atas (1) pembangunan sumber daya manusia, (2) perlindungan dan kesejahteraan sosial, (3) hak dan keadilan sosial, (4) menjamin kelestarian lingkungan hidup, (5) membangun identitas ASEAN, dan (6) mempersempit kesenjangan pembangunan. Dari enam elemen itu, pembangunan identitas ASEAN tampak paling erat kaitanya dengan masalah karakter bangsa Indonesia dan--mungkin--karakter bangsa-bangsa lain sebagai warga Komunitas ASEAN. Superioritas bahasa Inggris agaknya tidak diharapkan dalam Komunitas ASEAN. Jika Komunitas ASEAN, khususnya Komunitas Sosial Budaya, diharapkan berbentuk serupa dengan masyarakat Uni Eropa, strategi pembangunan identitas Uni Eropa dari aspek budaya
2
sangat menarik sebagai bandingan dengan pembanguan identitas ASEAN nantinya. Oleh the Council of Europe, nilai-nilai bersama dengan semangat persatuan dalam keanekaragaman budaya bangsa-bangsa Eropa telah dibentuk dengan kebijakan paspor bahasa Eropa dalam kerangka European Language Portofolio (baca: www.coe.int/portfolio). Dalam kebijakan bahasa itu, setiap pemilik paspor itu diharapkan dapat secara reguler memutakhirkan kompetensi berbahasanya berdasarkan kriteria umum yang diterima di seluruh Eropa. Surat paspor itu berfungsi sebagai sertifikat kepemilikan keterampilan komunikasi berbahasa Eropa. Kebijakan politik bahasa Uni Eropa, menurut Hein Steinhauer (2010, dalam komunikasi pribadi), telah mengakomodasi 23 bahasa kebangsaan negara Eropa--tanpa diskriminasi-- misal dalam hal penggunaannya sebagai bahasa resmi Parlemen Uni Eropa. Sebagai bandingan, ketika ASEAN sekarang menuju satu komunitas seperti kawasan Eropa, organisasi ASEAN juga telah diamanatkan untuk menjaga kehormatan pluralitas kebahasaan negara anggotanya. Dalam konteks Komunitas ASEAN (baca Maryanto dalam Koran Tempo edisi 18 Mei 2011), sangat menarik usulan Marzuki Alie (Ketua DPR RI sekarang) agar bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi AIPA (ASEAN Inter-Perlement Assembly). Usulan Indonesia itu dilaporkan telah disepakati pada pertemuan AIPA di Hanoi, Vietnam pada tahun 2010 dan kesepekatan ini akan segera dimasukkan ke dalam statuta AIPA.1 Usulan penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks ASEAN tersebut nantinya tidak boleh menghalangi bahasa kebangsaan negara lain yang juga perlu berlaku sebagai resmi Parlemen ASEAN. Catatan itu amat penting untuk menciptakan kawasan ASEAN terbebas dari dominasi bahasa tertentu. Seperti halnya di kawasan Uni Eropa, pencegahan terjadinya dominasi sebuah bahasa atas bahasa lain dalam komunitas antar-bangsa ASEAN perlu ditempuh dengan penerapan konsep pluralingualisme. Konsep itu pada tataran teoretis dan praktis sangat berbeda dari konsep multilingualisme yang lebih populer dalam khazanah linguistik. Perbedaan kedua konsep linguistik tersebut terletak pada cara pandang terhadap keberadaan bahasa dalam sebuah komunitas. Dalam buku Language Policy, Bernard Spolsky (2004:4) telah mendefinisikan multilingualisme untuk merujuk sebuah komunitas yang di dalamnya terdapat penggunaan sejumlah bahasa, sedangkan plurilingualisme (pluralingualisme) pada anggota komunitas yang pada tataran perseorangan menguasai beberapa bahasa. Istilah linguistik yang disebut terakhir itu merujuk keberadaan bahasa dengan penekanan pada individu anggota komunitas sebagai suatu kemahiran berbahasa. Sementara itu, penekanan pengertian multilingualisme terletak pada keberadaan beragam bahasa dalam sebuah komunitas dengan struktur atau pola yang berbeda-beda sehingga sebuah bahasa bisa jadi lebih tinggi atau lebih dominan daripada bahasa lain dalam penggunaannya. Pada tataran praktis, Spolsky (2004:76) bertanya, “[…] how does this multilingualism work?” Praktik penerapan kebijakan mulitilingualisme telah dicontohkan di negara India. Di India, kata Spolsky, bahasa sering dihubungkan dengan konflik dan—bahkan—kekerasan. Spolsky menggunakan hasil studi Olson and Pearson (2001) yang telah mempelajari 27 peristiwa yang di dalamnya terdapat konflik besar mengenai bahasa yang menimbulkan protes atau kekerasan di India. Kekerasan yang terjadi dalam 22 peristiwa di negara itu merupakan butut dari pengajuan kebijakan yang memungkinkan terjadi diskriminasi bahasa tertentu. Sebagai kesimpulan studi Olson and Pearson, sebagaimana dikutip Spolsky, “language policy moves are now important in generating societal upheavals.” Kebijakan multilingualisme sangat berpotensi membuat keresahan masyarakat.
3
Masyarakat atau komunitas antar-bangsa, seperti ASEAN nantinya atau sekarang Uni Eropa, agaknya tidak perlu menerapkan konsep mulitilingualime sebagai garis kebijakan bahasa. Ternyata, garis kebijakan bahasa masyarakat Uni Eropa bukanlah konsep multilingualisme, melainkan pluralingualisme (plurilingualisme) yang dipandang lebih demokratis dalam penerapannya di masyarakat. Setiap individu anggota masyarakat Uni Eropa telah didorong untuk menguasai lebih dari satu bahasa yang berlaku di masyarakat melalui kebijakan European Language Portofolio. Dalam kebijakan bahasa itu, telah tersedia keterangan laksana paspor, yang mereka sebut Europass Language Passport, sebagai bukti penguasaan suatu bahasa pada individu anggota masyarakat Uni Eropa. Bukti penguasaan bahasa itu berlaku lintas-negara anggota Uni Eropa dan bermanfaat bagi orang yang memegang paspor itu di negara yang bersangkutan.2 Kebijakan “paspor bahasa” tampak perlu dirintis dalam rangka pembentukan Komunitas ASEAN. Wacana kebijakan “paspor bahasa” dalam konteks ASEAN itu telah bergulir, khususnya terkait dengan bahasa Indonesia. Pada kesempatan ini, perlu dibuat sebuah rekomendasi untuk mendorong percepatan pemberlakukan kebijakan bahasa itu di kawasan ASEAN. Pemberlakuan “paspor bahasa” Indonesia dapat dimulai dengan memanfaatkan model sertifikasi UKBI yang telah lama disiapkan oleh Pusat Bahasa (sekarang--Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) di Kemdiknas (baca Maryanto, 2010a). Model sertifikasi UKBI itu berisi enam kualifikasi kompetensi berbahasa Indonesia (Terbatas, Marginal, Semenjana, Madya, Unggul/Sangat Unggul, dan Istimewa). Model itu setara dengan model sertifikasi CEFR yang juga berisi enam kualifikasi kompetensi berbahasa Eropa: A1, A2, B1, B2, C1, dan C2. Telah dilaporkan hasil kajian sementara mengenai kesetaran antara skema kemahiran berbahasa Indonesia yang dikembangkan dalam sistem UKBI dan skema CEFR (Maryanto, 2010b). Dalam skema UKBI, kemahiran terendah (Terbatas) menunjukkan kompetensi komunikasi berbahasa Indonesia untuk keperluan yang sangat personal atau kesintasan/survival. Jika dibandingkan dengan CEFR, kemahiran berbahasa pada peringkat itu akan disebut setara dengan peringkat A1 yang menandakan pemenuhan kebutuhan komunikasi berbahasa yang sangat konkret (satifaction of needs of a concrete type). Sedikit di atas peringkat Terbatas ialah kemahiran Marginal yang menunjukkan kompetensi komunikasi berbahasa Indonesia untuk keperluan sosial/kemasyarakatan (social) yang sangat sederhana atau tidak kompleks. Kualifikasi kemahiran itu dalam CEFR akan setara dengan peringkat A2, yaitu penguasaan komunikasi berbahasa yang sederhana dan rutin (can communicate in simple and routine tasks). Kemahiran Semenjana tergolong ke dalam kemahiran yang cukup. Kemahiran ini menunjukkan kompetensi komunikasi berbahasa Indonesia untuk keperluan sosial yang cukup kompleks, tetapi belum cukup untuk memenuhi keperluan teknis di bidang keahlian atau spesialisasi tertentu. Jika dibandingkan dengan CEFR, kemahiran berbahasa pada peringkat itu akan disebut setara dengan peringkat B1 yang menandakan pemenuhan kebutuhan komunikasi untuk keperluan rutin dalam berbagai situasi berbahasa (can deal with most situations). Masih dalam kategori kemahiran cukup ialah kemahiran Madya. Kemahiran ini menunjukkan kompetensi komunikasi berbahasa Indonesia secara memadai (cukup) untuk keperluan teknis (vokasional) dalam bidang keahlian atau spesialiasi tertentu. Jika dibandingkan dengan CEFR, kemahiran berbahasa pada peringkat itu akan disebut setara dengan peringkat B2 yang menandakan pemenuhan kebutuhan komunikasi berbahasa untuk keperluan teknis dalam bidang spesialisasi (including technical discussions in his/her field of specialisation). Selanjutnya, kemahiran Unggul dan Sangat Unggul tergolong ke dalam kemahiran yang tinggi dalam skema UKBI. Kemahiran itu menunjukkan kompetensi komunikasi berbahasa Indonesia untuk keperluan teknis (vokasional) yang sangat kompleks. Jika dibandingkan dengan CEFR,
4
kemahiran berbahasa pada peringkat itu akan disebut setara dengan peringkat C1 yang menandakan pemenuhan kebutuhan komunikasi berbahasa secara efektif tidak hanya untuk keperluan sosial, tetapi juga keperluan akademik dan teknis (profesional) yang kompleks. Jika dibandingkan dengan CEFR, kemahiran berbahasa pada peringkat itu akan disebut setara dengan peringkat C1 yang menandakan pemenuhan kebutuhan komunikasi berbahasa secara fleksibel dan efektif tidak hanya untuk keperluan sosial, tetapi juga keperluan akademik dan profesional (can use language flexibly and effectively for social, academic and professional purposes). Lebih lanjut, dalam skema tes UKBI, kemahiran Istimewa disebut sebagai kemahiran yang sempurna. Kemahiran itu menunjukkan kompetensi komunikasi berbahasa Indonesia untuk keperluan akademis dan keperluan lain-lain yang sangat kompleks. Jika dibandingkan dengan CEFR, kemahiran berbahasa pada peringkat itu akan disebut setara dengan peringkat C2 yang menandakan pemenuhan kebutuhan komunikasi berbahasa hampir untuk keperluan apa pun dengan mudah (can understand with ease virtually everthing heard and read). Perlu dicatat bahwa skema standar-kompetensi berbahasa Indonesia tersebut menggambarkan validitas logis tes UKBI dan validitas tes bahasa itu juga menggambarkan sebuah perbandingan yang bersifat hipotesis dengan skema CEFR dalam kebijakan European Language Portofolio. Dengan kebijakan itu, berlakulah Europass Language Passport di Uni Eropa. Pada saatnya nanti Komunitas ASEAN perlu mengadosi kebijakan serupa. Penutup Untuk menjadikan kebijakan ”paspor bahasa”, seperti halnya sertifikasi bahasa yang berlaku di Uni Eropa, skema tes UKBI dapat ditawarkan sebagai sebuah alternatif. Skema UKBI itu terbukti valid; memiliki derajat kesetaraan dengan skema CEFR. Penerapan kebijakan bahasa itu, setidaknya di Indonesia, perlu segera dirintis untuk menyambut pemberlakukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015. Sebagai warga terbesar dalam Komunitas ASEAN nantinya, Indonesia perlu mendorong kerja sama dengan negara ASEAN lainnya untuk menyusun dan memberlakukan kebijakan ”paspor bahasa” bagi Komunitas ASEAN. Jika kebijakan bahasa yang bertolak dari konsep pluralingualisme itu tidak disusun dan diterapkan, Komunitas ASEAN akan segera terwujud sebagai masyarakat multilingual dengan dominasi keberadaan bahasa Inggris. Apabila hal itu terjadi, bangsa Indonesia perlu bersiap gagal membentuk karakter sebagai bangsa yang berbahasa Indonesia. Demikian pula bangsa lain yang tergabung dalam Komunitas ASEAN. Pustaka Acuan (terseleksi) Maryanto. 2010a. “Tes Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) sebagai Arena Riset Linguistik” dalam Widyaparwa Volume 38 Nomor 1 (hlm. 69—80). Maryanto. 2010b. “Menuju ‘Paspor Bahasa’ untuk Komunitas ASEAN: Skema StandarKompetensi Tes UKBI” dalam makalah simposium internasional yang diselenggarakan SEAMEO QITEP in Language di Jakarta, tanggal 20 Oktober 2010. Spolsky, Bernard. 2004. Language Policy. Cambridge: Cambridge University Press. 1 Mengenai usulan itu, masyarakat internasional bisa jadi masih menganggap bahasa Indonesia yang diusung tersebut sebagai bahasa Melayu yang diakui juga oleh bangsa selain Indonesia. Anggapan masyarakat internasional itu telah diperkuat dengan adanya proyek Melindo (penyatuan bahasa Melayu dan Indonesia) sejak tahun 1959. 2 Dalam kaitan itu, seorang rekan peneliti bahasa dari Jerman pernah menuturkan bahwa warga negara asing wajib memegang paspor bahasa Jerman, sekurang-kurangnya dalam kualifikasi A1, jika akan memasuki wilayah Jerman dan tinggal menetap bersuami atau beristri dengan warga asli Jerman.
5