PEMBENTUKAN DAN SELEKSI F1 PADI CIHERANGPANDAN WANGI DAN FATMAWATI–MENTIK WANGI MENGGUNAKAN MARKA AROMATIK
DEWI PRAPTIWI
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
ABSTRAK DEWI PRAPTIWI. Pembentukan dan Seleksi F1 Padi Ciherang-Pandan Wangi dan Fatmawati-Mentik Wangi Menggunakan Marka Aromatik. Dibimbing oleh AHMAD ENDANG ZAINAL HASAN dan TRI JOKO SANTOSO. Pengembangan varietas padi aromatik saat ini telah banyak dilakukan dengan pendekatan rekayasa genetik. Namun, komersialisasi padi transgenik tersebut memerlukan regulasi yang ketat. Penelitian ini bertujuan mempelajari pemasukan gen aromatik dari padi aromatik ke padi nonaromatik melalui persilangan dan menyeleksi tanaman F1 hasil persilangan menggunakan marka molekuler yang terkait gen aromatik. Pandan Wangi dan Mentik Wangi digunakan sebagai tetua donor aromatik sementara Ciherang dan Fatmawati sebagai tetua penerima. Pandan Wangi akan disilangkan dengan Ciherang, sedangkan Mentik Wangi akan disilangkan dengan Fatmawati untuk menghasilkan tanaman F1 yang membawa gen aromatik. Marka aromatik berbasis PCR yang digunakan adalah primer Bradbury untuk mendeteksi gen aromatik pada F1 persilangan Fatmawati x Mentik Wangi dan primer RM223 untuk mendeteksi gen aromatik pada F1 persilangan Ciherang x Pandan Wangi. Hasil penelitian menunjukkan telah diperoleh tanaman-tanaman F1 dari kedua kombinasi persilangan. Seleksi tanaman F1 menunjukkan gen aromatik telah ada di tanaman F1 yang ditunjukkan oleh terbentuknya pita DNA heterozigot dengan ukuran 580, 355, dan 257 bp untuk tanaman F1 Fatmawati x Mentik Wangi dan 140 dan 160 bp untuk F1 Ciherang x Pandan Wangi.
ABSTRACT DEWI PRAPTIWI. Formation and Selection F1 Ciherang-Pandan Wangi and Fatmawati-Mentik Wangi Rice Using Marka Aromatik. Under the direction of AHMAD ENDANG ZAINAL HASAN and TRI JOKO SANTOSO. Development of aromatic rice varieties have been carried out by using genetic engineering approach. Nevertheless, commercialization of those genetic modified rice will require the strict genetic modified organism regulation. The objectives of this experiment were to study of introduction of aromatic trait from aromatic into nonaromatic rice through crossing and to screen the F1 plants by using molecular markers linked to aromatic trait. Pandan Wangi and Mentik Wangi will be used as aromatic donor parents meanwhile Ciherang and Fatmawati are as recurrent parents. Pandan Wangi will be crossed with Ciherang dan Mentik Wangi will be crossed with Fatmawati to produce aromatic F1 hybrids. PCR-based markers that will be used in this research i.e. Bradbury primer for detecting the aromatic trait in F1 Fatmawati x Mentik Wangi and RM223 primer for F1 Ciherang x Pandan Wangi. Result of the research showed that F1 hybrid plants have been obtained from both of the crossing combination. Screening of the F1 plants showed that the tested F1 plants have been proved carrying the aromatic trait indicated by the formation of DNA band heterozygous with size 580, 355, and 257 bp for F1 plants Fatmawati x Mentik Wangi and 140 and 160 bp for F1 Ciherang x Pandan Wangi.
PEMBENTUKAN DAN SELEKSI F1 PADI CIHERANGPANDAN WANGI DAN FATMAWATI–MENTIK WANGI MENGGUNAKAN MARKA AROMATIK
DEWI PRAPTIWI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi : Pembentukan dan Seleksi F1 Padi Ciherang-Pandan Wangi dan Fatmawati-Mentik Wangi Menggunakan Marka Aromatik Nama : Dewi Praptiwi NIM : G84052522
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. A. E. Zainal Hasan, M.Si Ketua
Dr. Tri Joko Santoso, S.P. M.Si Anggota
Diketahui
Dr. Ir. I Made Artika, M.App. Sc Ketua Departemen Biokimia
Tanggal Lulus:
PRAKATA Untaian rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala nikmat dan karunia Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler, Kelompok Peneliti Biologi Molekuler, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen) dari bulan Maret sampai November dengan judul Konstruksi Generasi Pertama Ciherang-Pandan Wangi dan Fatmawati- Mentik Wangi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. A.E. Zainal Hasan, M.Si selaku pembimbing utama, Dr. Tri Joko Santoso, M.Si selaku pembimbing kedua dan Drs. Djarot Sasongko, MS atas bimbingan dan saran-saran yang diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pak Iman dan Pak Asep selaku teknisi BB Biogen atas semua bantuannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ganti Swara Pratama dan Aditya Rizko Nugroho sebagai rekan kerja yang banyak membantu dalam kegiatan penelitian. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam menyusun karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang biokimia.
Bogor, Maret 2010
Dewi Praptiwi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 24 Juli 1987 dari ayahanda Suparjo dan ibunda Parsiyem. Penulis merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara. Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 5 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti kegiatan Praktik Lapangan di Laboratorium Biologi Molekuler Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Bogor selama periode Juli sampai dengan Agustus 2008 dengan judul Pengujian Ekspresi Gen CsNitrl-L Tanaman Padi Hasil Persilangan Padi Transgenik Varietas Nipponbare dengan Varietas Mekongga. Penulis juga terlibat aktif dalam Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) yang berjudul Pemanfaatan Destilat Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Alternatif Pengganti Epigallocatechin-3gallate (EGCG) pada Minuman Antioksidan. Disamping itu penulis aktif menjadi pengurus himpunan profesi (HIMPRO) Biokimia, Community of Research and Education in Biochemistry (CREBs), pada Departemen Informasi, Komunikasi dan Kasekretariatan (Infokomtari) periode 2006/2007 dan Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) periode 2007/2008. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Biokimia Umum untuk Mahasiswa S1 Fakultas Kedokteran Hewan dan Teknologi Hasil Perikanan tahun ajaran 2008/2009.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi . .......................................................................................... Senyawa Pembawa Aroma ........................................................................ Gen Pengendali Sifat Aroma Padi ............................................................ Metode Seleksi Aroma .............................................................................. Marka Aromatik PCR ................................................................................ Metode Silang Terarah (Site-directed Crossing) ......................................
1 2 4 5 5 7
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat ......................................................................................... 8 Metode Penelitian ..................................................................................... 8 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembentukan Populasi F1 ......................................................................... Pengujian Kualitas DNA .......................................................................... Seleksi F1 Padi Ciherang-Pandan Wangi ................................................. Seleksi F1 Padi Fatmawati-Mentik Wangi ................................................
10 11 12 13
SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 14 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 14 DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... 16
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur kimia 2-asetil-1-pirolin .................................................................... 2 2 Jalur pembentukan 2-asetil-1-pirolin (2AP) .................................................. 3 3 Perbandingan sekuen gen badh2 pada berbagai varietas padi di dunia ........ 4 4 Pola amplifikasi pasangan primer serta ukuran DNA yang dihasilkan ......... 6 5 Pola amplifikasi pasangan primer RM223 forward dan reverse .................... 6 6 Diagram metode persilangan terarah (site-directed crossing) ...................... 10 7 Tahap pembentukan populasi F1 .................................................................... 11 8 Hasil isolasi daun padi ................................................................................... 12 9 Contoh seleksi F1 Ciherang-Pandan Wangi menggunakan primer RM 223 ... 13 10 Seleksi F1 Fatmawati-Mentik Wangi menggunakan primer Bradbury ......... 13
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Tahapan alur penelitian ............................................................................... 17 2 Pembentukan benih F1 ................................................................................. 18 3 Isolasi DNA .................................................................................................. 19 4 Pengukuran konsentrasi, kemurnian, dan pengenceran DNA ...................... 20 5 Hasil seleksi persilangan padi Ciherang dan Pandan Wangi ....................... 21
1 PENDAHULUAN Padi adalah makanan pokok lebih dari setengah populasi di dunia. Sebagian besar tanaman padi diproduksi dan dikonsumsi di Asia (Kibria et al. 2008). Padi memegang peranan paling penting di antara berbagai sumber bahan pangan lainnya di Indonesia dalam penyediaan pangan yang mendukung ke arah ketahanan pangan nasional dan pemberdayaan ekonomi rumah tangga petani. Mutu suatu varietas sangat mempengaruhi besarnya pendapatan petani. Bukan hanya dari segi kuantitas, tetapi kualitas padi yang menyangkut selera pasar, rasa, aroma, dan kandungan nutrisi menjadi hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan padi ke depan (Krishnan & Puepke 1983). Kebutuhan pangan dunia setiap tahunnya semakin meningkat seiring dengan semakin pesatnya petumbuhan penduduk dan perkembangan industri pangan. Namun, pada kenyataannya produsen pangan tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin meningkat dan beragam. Upaya yang sedang dilakukan untuk menjawab permasalahan pangan tersebut adalah dengan mengintensifkan kegiatan pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode yang menggali potensi genetik suatu tanaman untuk memaksimumkan ekspresi dari potensi tersebut pada suatu kondisi lingkungan tertentu (Stoskopf et al. 1983). Tujuan pemuliaan tanaman adalah mengurangi resiko kegagalan panen saat tanam di lahan, meningkatkan kualitas panen sehingga menambah nilai komersial pada saat pasca panen. Pemuliaan tanaman padi dilakukan melalui perakitan varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi, berkualitas, serta resisten terhadap kendala biotik dan abiotik (Shivanna & Sawhney 1997). Pemuliaan tanaman padi yang banyak berkembang di Indonesia umumnya lebih terfokus untuk mengurangi resiko kegagalan panen dan meningkatkan kuantitas panen (Slamet & Loedin 2000). Peningkatan kualitas produk seperti rasa, aroma, dan non transgenik belum banyak mendapat perhatian. Jika dilihat dari aspek komersial, kualitas produk tersebut selalu dipertanyakan pada saat pemasaran (pasca panen) terutama untuk tujuan ekspor maupun pasar menengah ke atas. Aroma dan rasa dari padi menjadi bahan pertimbangan penting untuk meningkatkan selera makan konsumen. Oleh karena itu, padi aromatik adalah jawaban untuk masalah tersebut.
Padi aromatik lebih dipilih daripada padi nonaromatik karena mengandung butiran beras dengan keharuman yang akan menarik konsumen dengan harga jual yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh harga eceran beras Jasmine dari Thailand yang memiliki harga pasar dua kali lipat lebih tinggi daripada beras nonaromatik. Selain itu, padi aromatik memiliki tekstur yang pulen sehingga disukai oleh konsumen. Namun, padi ini sering tidak dikehendaki karena memiliki produktivitas yang rendah dan sangat rentan terhadap hama dan penyakit. Padi Basmati dari India misalnya sering memberikan hasil panen yang sedikit karena resistennya rendah terhadap penyakit padi dan adaptasi luar terbatas secara distribusi geografis. Tipe padi Basmati juga memiliki kemampuan kombinasi yang rendah ketika disilangkan dengan dengan padi genotip lainnya (Berner & Hoff 1986). Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya peningkatan kualitas padi aromatik yang memiliki produktivitas tinggi, tahan terhadap penyakit dan aman untuk dikonsumsi (bukan yang berasal dari produk transgenik). Penelitian ini bertujuan mempelajari pemasukan gen aromatik dari padi aromatik ke padi nonaromatik melalui persilangan dan menyeleksi tanaman F1 hasil persilangan menggunakan marka molekuler yang terkait gen aromatik. Hipotesis pada penelitian ini adalah pembentukan F1 dilakukan dengan metode persilangan terarah dan gen aromatik pada tanaman hasil persilangan dideteksi dengan marka aromatik berbasis PCR yaitu primer RM223 dan primer Bradbury. Padi Pandan Wangi akan disilangkan dengan padi Ciherang, sedangkan padi Mentik Wangi akan disilangkan dengan padi Fatmawati hingga dihasilkan benih tanaman padi F1 yang memiliki pola gen yang heterozigot dan tanaman yang positif mengandung gen aromatik tersebut akan digunakan untuk persilangan balik dengan tetuanya yang nonaromatik. Aromatisasi padi Ciherang dan Fatmawati akan lebih menguntungkan karena dapat menghasilkan beras beraroma dengan kemudahan tanam, resiko kegagalan panen, waktu tanam, dan produktivitas seperti menanam padi Ciherang dan Fatmawati.
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Padi aromatik lokal yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mentik Wangi
2 dan Pandan Wangi. Padi Mentik Wangi merupakan padi varietas javanica dengan karakteristik berbiji bulat, daun berwarna hijau, dan tinggi tanamannya berkisar 95 hingga 115 sentimeter. Kelebihan dari padi Mentik Wangi yaitu memiliki aroma menyerupai pandan dan bertekstur pulen. Namun, padi Pandan Wangi memiliki tingkat produktivitas yang rendah dan tidak tahan terhadap hama (LITBANG 2006). Pandan Wangi merupakan varietas lokal aromatik yang telah terkenal sejak tahun 1973 di pasaran beras lokal maupun internasional. Aroma yang menyerupai pandan merupakan karakter paling menarik dari padi Pandan Wangi yang banyak diminati di pasaran Asia maupun dunia. Pandan Wangi merupakan varietas javanica dengan ciri bulat, berbulu, tahan rontok, dan usia tanamnya mencapai 150 hingga 160 hari dan tingginya mencapai 150 sentimeter. Pandan Wangi mengandung kadar amilosa 7-20% yang menyebabkan padi varietas ini bertekstur pulen. Selain itu, Pandan Wangi cocok tumbuh di suhu 25 0C hingga 30 0C, dengan ketinggian 500 sampai 800 meter dari permukaan laut. Kelemahan dari padi Pandan Wangi adalah tingkat produktivitasnya rendah dan tidak tahan terhadap hama dan penyakit (LITBANG 2006). Ciherang merupakan kelompok padi sawah varietas unggul hasil beberapa kali persilangan, yaitu IR18349-53-1-3-13/IR19661-131-3-1//IR119661-131-31///IR64////IR64. Padi Ciherang memiliki karakteristik umur tanamannya cukup singkat yaitu 116 hingga 125 hari, bentuk tanaman tegak, tingginya mencapai 107 hingga 115 sentimeter, menghasilkan anakan produktif 14 hingga 17 batang, warna kaki hijau, warna batang hijau, warna daun hijau, posisi daun tegak, bentuk gabah panjang ramping, warna gabah kuning bersih, tekstur nasi pulen, bobot 1000 butir 27 hingga 28 gram, rata-rata produksi 5 hingga 8.5 ton/ha, tahan terhadap bakteri hawar daun (HDB) strain III dan IV, tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3. Padi Ciherang mulai diresmikan oleh menteri pertanian pada tahun 2000 dengan anjuran cocok ditanam pada musim hujan dan kemarau dengan ketinggian di bawah 500 meter di bawah permukaan laut (Hermanto 2006). Fatmawati merupakan padi varietas unggul baru yang diresmikan pemerintah pada tahun 2003, memiliki karakteristik tinggi tanamannya 95 hingga 110 sentimeter, menghasilkan jumlah anakan produktif 8
hingga 14 batang, dan warna batang tanaman hijau. Ciri pada daun yaitu daun berwarna hijau tua dan permukaannya berbulu halus. Fatmawati memiliki gabah berbentuk ramping, berwarna kuning bersih dengan berat 29 gram per 1000 butir, mampu menghasilkan 200 hingga 300 butir gabah per malai dengan tingkat kerontokan sedang. Selain itu, padi ini memiliki kadar amilosa 23% dengan tekstur pulen dan rasanya enak. Keunggulan padi Fatmawati diantaranya memiliki potensi hasil yang tinggi, tahan terhadap kekeringan, tidak mudah rebah, memiliki daun bendera yang tebal dan tegak sehingga tidak disukai oleh burung. Selain itu, tekstur nasinya pulen sehingga disukai oleh konsumen serta tahan rontok sehingga mengurangi kehilangan hasil pada saat panen (LITBANG 2006). Senyawa Pembawa Aroma Rasa yang berbeda dan tekstur yang pulen sangat mempengaruhi selera makan. Konsumen menyadari rasa dalam beras sering mereka anggap sebagai kualitas beras terbaik. Beberapa konsumen lebih menyukai rasa dan kualitas padi yang disimpan lebih lama, sementara yang lainnya lebih memilih untuk aroma padi segar. Terdapat beberapa senyawa kimia yang berperan dalam aroma dan rasa dalam padi dan hal ini sering dikaitkan dengan penyimpanan jangka panjang. Senyawa 1-heksanal, metil etil keton, 1pentanal dan propanol dikaitkan dengan aroma padi yang disimpan dalam waktu yang lama, sedangkan 1-butanal dan 1-heptanal terkait dengan aroma padi segar (Bradbury et al. 2005a). Aroma padi disebabkan oleh senyawa kimia yang mudah menguap. Aroma pada padi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat lebih dari 114 senyawa terdapat pada padi aromatik. Namun, senyawa utama yang menyebabkan aroma wangi pada padi adalah 2-asetil-1-pirolin (2AP) dengan struktur seperti pada Gambar 1. Senyawa 2AP memiliki gugus pirol dan keton yang terdiri atas 6 atom karbon (C), 9 atom hidrogen (H), 1 atom nitrogen (N), dan 1 atom oksigen (O).
Gambar 1 Struktur kimia 2-asetil-1-pirolin.
3 Penelitian Buttery et al. (1983) menemukan bahwa 2AP adalah senyawa kimia utama penyebab keharuman aroma pada daun pandan. Aroma pandan memiliki kesamaan genetik dan molekuler dalam aroma padi, namun tanaman pandan (Pandanus amaryllifolius Roxb) tidak dikelompokkan ke dalam golongan rumput-rumputan (Poaceae). Aroma padi Basmati sering digambarkan seperti daun pandan dan dalam beberapa budaya Asia daun pandan kering sering ditambahkan ke beras nonaromatik saat dimasak. Aroma padi aromatik tidak hanya dapat dicium pada saat pemasakan nasi. Sejak penemuan bahwa 2AP adalah senyawa kimia utama yang terlibat dalam aroma pandan, Buttery juga telah menemukan berbagai cita rasa makanan seperti jagung berondong, jagung tortila, ham, keju, kacang hijau, teh hijau, dan anggur yang juga dikaitkan dengan kehadiran 2AP. Padi aromatik mengandung senyawa 2AP lebih tinggi (0,04–0,07 ppm) dibandingkan padi nonaromatik (0.004–0.006 ppm) (Adijono et al. 1993). Hal yang sama dikemukakan oleh Buttery et al. (1983) bahwa kandungan senyawa 2AP dalam padi aromatik mencapai 0.04–0.09 ppm, sepuluh kali jauh lebih tinggi dibanding padi nonaromatik yang hanya 0.004–0.006 ppm. Senyawa 2AP terdeteksi di semua bagian tanaman padi, kecuali di akar (Lorieux et al. 1996). Konsentrasi ambang batas 2AP yang dapat dideteksi oleh hidung manusia ketika butiran padi dilarutkan dalam air adalah sekitar 0.1 ppb, tetapi kemungkinan dapat lebih tinggi pada butiran padi yang kompleks (Buttery et al. 1983). Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan prosedur ekstraksi atau kuantifikasi 2AP, pengaruh lingkungan seperti temperatur, garam dan kekeringan, pengaruh waktu panen atau kondisi penyimpanan beras, dan pengaruh waktu penggunaan pupuk nitrogen ke tanaman (Buttery et al. 1983). Biosintesis jalur reaksi yang rinci tentang kompleks ini belum sepenuhnya dijelaskan. Namun, telah ditemukan bahwa prekursor dan sumber nitrogen 2AP pada varietas aromatik Thai Hom Mali adalah senyawa prolin (Yoshihashi et al. 2002). Diduga jalur pembentukan 2AP seperti pada Gambar 2. Jalur pembentukkan 2AP dimulai dari pemecahan prolin menjadi putresin kemudian membentuk senyawa gamaaminobutiraldehid (GABald), sebuah substrat dari enzim BADH2. Jika enzim BADH2 aktif, maka enzim ini dapat mengubah GABald
menjadi asam gama-aminobutirat (GABA), tetapi jika enzim BADH2 tidak aktif, GABald mengalami asetilasi (penambahan gugus asetil) membentuk 2AP. Putresin ditemukan dalam jumlah tinggi pada jaringan yang tumbuh aktif membelah. Putresin akan dipecah menjadi GABald oleh diamina oksidase (DAO) selama proses pembentukan lignin dan kaku dinding sel, yaitu setelah sebagian besar pembelahan sel telah terjadi. Oleh karena itu, pembentukan GABald cenderung terjadi di jaringan muda yang secara aktif membelah dan dinding sel mengalami kaku (Bradbury 2005b).
Prolin
Ornitin
Arginin
Putresin
2-oksoarginin
λ–guanidinobutiraldehid N-asetilputresin
N4-asetilamino λ-aminobutiral dehid (GABAld) butiraldehid (NABald)
∆1- pirolin gugus
asetil
Asam λ-aminobutirat (GABA)
2-asetil-1-pirolin
Gambar 2 Jalur pembentukan 2-asetil-1-pirolin (2AP). Pembentukan 2AP ketika enzim BADH2 tidak aktif melalui pemecahan prolin menjadi putresin kemudian membentuk senyawa 2asetil-1-pirolin ditunjukkan oleh panah berwarna merah (Bradbury 2005b).
4 Ujung daun padi mengandung 2AP dalam jumlah yang lebih tinggi daripada di pangkal daun, sementara daun muda lebih beraroma daripada daun tua (Lorieux et al. 1996). Penurunan jumlah 2AP dalam jaringan yang lebih tua kemungkinan besar disebabkan oleh sifat volatil kimia. Aroma padi aromatik tidak hanya dapat dicium pada saat pemasakan nasi. Aroma juga dapat tercium saat tanaman padi berbunga di lahan (Mittal et al. 1995). Pada tanaman prolin berfungsi sebagai zat pelindung terhadap kerusakan daun ketika terjadi dehidrasi. Prolin diakumulasi dalam jumlah yang sangat tinggi di dalam daun ketika tanaman terpapar oleh cekaman kekeringan atau terdapatnya kandungan garam yang tinggi di dalam tanah. (Heldt 2005). Gen Pengendali Sifat Aroma Padi Studi genetik awal yang dilakukan oleh Ahn et al. (1992) terhadap sebuah gen fgr (fragrance) yang mengendalikan sifat aroma pada varietas Della (padi aromatik turunan Jasmine) pada kromosom 8. Terdapat tiga kandidat gen dalam wilayah fgr yaitu gen yang menyandi protein betain aldehid dehidrogenase (BADH2), karbonat anhidrase (Cah), dan 3-metilkrotonil-KoA (Mccc2). Bradbury et al. (2005a) lebih mempersempit wilayah genom untuk sifat aroma dan mengidentifikasi satu gen resesif yang bertanggung jawab untuk sifat aroma pada verietas-varietas padi seperti Jasmine dan Basmati. Bradbury juga telah melakukan pengurutan gen di wilayah fgr dari 64 padi aromatik dan 14 padi aromatik varietas Thailand dan melaporkan bahwa gen yang menyandi protein BADH2 yang menjadi gen penyebab aroma karena memiliki delesi 8 basa. Hasil penelitian Bradbury (2005b) menunjukkan bahwa gen yang menyandi protein betain aldehid dehidrogenase memiliki polimorfisme di daerah ekson pada genotip tanaman. Polimorfisme gen tersebut terdiri atas gen badh1 dan gen badh2 yang memiliki kesamaan bentuk namun berbeda fungsinya. Gen badh1 disandi oleh kromosom nomor 4 yang berkaitan dengan toleransi tanaman ketika dalam kondisi cekaman. Gen ini terdapat pada tanaman padi, jagung, barley, dan sorgum. Gen badh2 terdapat di kromosom nomor 8 yang bertanggung jawab dalam menyebabkan aroma. Gen tidak hanya terdapat pada padi
aromatik tetapi juga terdapat dalam padi nonaromatik (Bradbury 2005b). Penemuan terbaru dari Shi et al. (2008) yang mengungkap adanya delesi pada ekson 2 yang mirip dengan delesi di ekson 7. Struktur lokus gen fgr mengandung 15 ekson dan 14 intron yang dibatasi oleh kodon awal ATG dan kodon berhenti TAA. Ekson 7 terdapat delesi 8 basa (5’-GATTATGC-3’), dan 3 SNP (polimorfisme nukleotida tunggal), sedangkan di ekson 2 terjadi delesi 7 basa (5’-CGGGCGC-3’). Akumulasi senyawa 2AP disebabkan oleh berkurangnya aktivitas enzim betain aldehid dehidrogenase (BADH2). Adanya mutasi delesi 8 basa pada padi aromatik mengakibatkan kodon berhenti (TAA) lebih awal dan diduga adanya delesi tersebut menyebabkan aktivitas enzim BADH2 pada tanaman menjadi berkurang (Bradbury et al. 2005a). Penelitian Bourgis et al. (2008) yang mengungkap adanya mutasi gen pada berbagai varietas padi di berbagai negara. Mutasi gen badh2 disebabkan oleh peristiwa domestikasi atau terjadinya evolusi dalam suatu populasi yang terisolasi secara genetik. Selain itu, Bourgis et al. (2008) melakukan studi perbandingan sekuen gen badh2 terhadap beberapa varietas padi di dunia. Analisis sekuen gen badh2 ekson 7 dari gen padi aromatik (KDML105, RD6, dan SuYuNuo) menunjukkan adanya delesi 8 pasang basa dan 3 polimorfisme nukleotida (SNP), sedangkan pada varietas nonaromatik (SMJ, NST, Nipponbare, dan Nanjing11) tidak terdapat delesi (Gambar 3). Bourgis menyimpulkan bahwa asam amino parsial dari gen badh2 padi Thailand diperkirakan mengalami mutasi atau delesi pada ekson 7 yang menyebabkan enzim BADH2 kehilangan fungsinya.
Gambar 3 Perbandingan sekuen gen badh2 pada berbagai varietas padi di dunia. Padi aromatik (KDM 105, RD 6, dan SuYuNuo) terdapat delesi basa pada sekuen basanya, sedangkan padi nonaromatik (SMJ, NST, Nipponbare, dan Nanjing11) tidak terdapat delesi (Bourgis et al. 2008).
5 Metode Seleksi Aroma Sejumlah metode panca indera telah digunakan untuk membantu petani dalam menyeleksi padi aromatik. Pengecapan individu merupakan salah satu metode tradisional untuk menyeleksi kualitas padi aromatik. Sebuah panel analis digunakan untuk mendeteksi variasi aroma dari berbagai varietas, namun kemampuan setiap analis menjadi berkurang karena indera pengecap menjadi jenuh atau terjadi kerusakan fisik berupa lecet pada lidah sebagai akibat dari pengunyahan beras yang keras (Badbury et al. 2005b). Metode kimia telah dikembangkan untuk menyeleksi aroma padi. Metode ini meliputi uji bau dengan melibatkan jaringan daun atau butir padi yang dipanaskan dalam air atau dalam pereaksi KOH atau I2KI. Namun, metode ini dapat mengakibatkan kerusakan pada rongga nasal hidung (Sood & Sidiq 1978). Metode penentuan jumlah 2AP juga telah dikembangkan menggunakan kromatografi gas. Namun, metode ini membutuhkan sampel yang banyak, mahal, menghabiskan banyak waktu, dan puncak senyawa 2AP yang dihasilkan dari kromatografi gas lebih kecil dibandingkan dengan puncak dengan senyawa lain yang ada di dalam padi sehingga membuat hasilnya sulit untuk dijelaskan (Lorieux et al. 1996). Metode lainnya dikembangkan oleh Srivong et al. (2008) yang melakukan pengukuran aktivitas enzim BADH2 melalui pemberian sejumlah substrat 4-aminobutiraldehid dan hasilnya diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm. Namun, metode ini memiliki sensitivitas terbatas, mengonsumsi banyak waktu, dan memerlukan sampel yang banyak. Penemuan baru dari sebuah marka molekuler yang digunakan untuk melacak keberadaan gen penyandi aroma. Marka molekuler adalah suatu penanda pada tingkat DNA yang memberikan keleluasaan dalam meningkatkan efisiensi pemuliaan dengan melakukan seleksi tidak langsung pada karakter yang diinginkan, yaitu pada marka yang terkait dengan karakter tersebut. Marka molekuler tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan dapat terdeteksi pada semua fase pertumbuhan tanaman. Marka molekuler telah digunakan secara luas oleh para pemulia tanaman karena menyediakan informasi genetik yang sangat berguna pada tingkat molekuler (Roy et al. 2006). Marka molekuler restriction fragment length polymorphisms (RFLP) juga telah
dikembangkan untuk mengidentifikasi gen aroma yang memiliki kelebihan mudah, cepat, dan hanya memerlukan sampel dalam jumlah yang sedikit (Corderio et al. 2002). Ahn et al. (1992) telah melaporkan marka DNA yang berhubungan dengan gen fgr padi pada kromosom nomor 8. Marka yang digunakan adalah RFLP untuk mendeteksi gen aroma pada varietas turunan Della. Analisis RFLP yang menggunakan RG28 menunjukkan pada kromosom nomor 8 terdapat gen tunggal penyebab aroma pada jarak 4.5 cM (senti Morgan). Namun, penggunaan marka-marka tersebut hanya dapat mendeteksi gen aromatik saja dan tidak dapat membedakan status dari gen (utuh atau terdelesi). Penemuan Bradbury et al. (2005b) dan oleh Lang & Buu (2008) yang melakukan perbandingan sekuen padi aromatik dan nonaromatik di berbagai negara yang menghasilkan pengembangan sebuah marka molekuler yang dapat mendeteksi sekaligus dapat membedakan padi aromatik dan nonaromatik. Metode PCR marka aromatik yang menggunakan primer Bradbury dan RM 223 merupakan metode yang paling sensitif karena melalui amplifikasi gen. Marka Aromatik PCR Penemuan teknik marka gen yang mengendalikan suatu karakter sebagai penanda sangat membantu proses seleksi. Marka molekuler digunakan berdasarkan polimorfisme yang terdeteksi pada tingkat molekul di dalam sel. Metode ini melakukan pelacakan sifat-sifat tanaman berdasarkan DNA yang dimiliki tanaman. Pemanfaatan marka molekuler dalam pemuliaan tanaman salah satunya adalah untuk mempercepat seleksi kembalinya genom tetua pemulih dalam persilangan silang balik. Sebuah metode digunakan untuk menyeleksi hasil persilangan antara padi aromatik dan nonaromatik menggunakan marka molekuler aromatik berbasis PCR (Corderio et al. 2002). Sebuah uji dengan metode sederhana yang digunakan untuk skrining padi dan penentuan aroma di antara berbagai macam jenis padi dan segregasi populasi, memiliki beberapa kelebihan yaitu sederhana dan cepat (Badbury et al. 2005a). Perbanyakan fragmen DNA dilakukan secara selektif dan spesifik oleh sepasang oligonukleotida yang dikenal sebagai primer. Metode seleksi generasi hasil persilangan menggunakan metode PCR berbasis marka aromatik. Marka aromatik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
6 primer Bradbury et al. (2005b) dan primer Lang & Buu (2008). Walaupun telah terbukti pada berbagai varietas padi di berbagai negara, namun marka-marka tersebut belum pernah digunakan untuk varietas padi Indonesia. Primer Bradbury memiliki kelebihan yaitu mampu membedakan padi aromatik dan nonaromatik, melalui identifikasi alel homozigot aroma, homozigot nonaroma serta heterozigot dalam suatu populasi yang bersegregasi. Primer Bradbury terdiri atas dua buah primer eksternal dan dua buah primer internal. Primer internal terdiri atas internal fragrant antisense primer (IFAP) dan internal non-fragrant sense primer (INSP), sedangkan primer eksternal terdiri atas external sense primer (ESP) external antisense primer (EAP). Primer eksternal dirancang sebagai kontrol positif yang akan mengamplifikasi daerah di 580 bp pada padi aromatik dan nonaromatik. Kombinasi primer eksternal dan internal dari primer Bradbury akan memberikan produk dengan berbagai ukuran tergantung dari genotip DNA sampel (Gambar 4). Campuran primer ESP dan IFAP akan menghasilkan pita berukuran 257 bp yang menunjukkan alel dari padi aromatik, sedangkan campuran dari INSP dan EAP akan menghasilkan pita berukuran 355 bp yang menunjukkan alel dari padi nonaromatik. Alel aromatik (bawah) dan alel nonaromatik (atas) berkorespondensi di daerah intron 5-8 (warna biru) dan daerah ekson 6-7 (warna merah muda). Ekson 7 pada alel aromatik menunjukkan adanya mutasi atau delesi basa dan dapat diamplifikasi melalui PCR menggunakan campuran primer ESP dan IFAP. 577 bp or 580 bp 355 bp
Lang & Buu (2008) melaporkan primer RM 223 sebagai primer yang dapat membedakan pola pita dari padi aromatik dan nonaromatik berdasarkan ukuran DNA padi penyandi gen aromatik. Sebuah marka SSR (single sekuen repeat) yang berhasil mengamplifikasi lokus target sekaligus membedakan polimorfisme di antara tetua tanaman padi telah berhasil dilakukan oleh Lang & Buu untuk menyeleksi hasil persilangan antara padi varietas aromatik Thailand yaitu Jasmine 85 dengan nonaromatik C53. Sepasang primer RM 223 yang terdiri atas forward dan reverse digunakan dalam reaksi amplifikasi untuk membedakan padi aromatik Jasmine 85, nonaromatik C53, dan hasil persilangannya pada generasi BC2F2. Prinsip kerja primer ini berdasarkan reaksi amplifikasi dengan ulangan berupa sekuen pendek. Primer RM223 memberikan gambaran polimorfisme pada generasi BC2F2 yang menghasilkan fragmen DNA dengan ukuran variasi 90 bp hingga 190 bp. Varietas Jasmine yang merupakan tetua aromatik menghasilkan ukuran di 120 bp dan varietas C53 menghasilkan ukuran fragmen di 160 bp (Gambar 5). Ukuran fragmen DNA yang dapat teramplifikasi pada padi aromatik dan nonaromatik oleh primer ini mempunyai variasi panjang fragmen DNA antara 120 bp hingga 160 bp. Ukuran fragmen DNA yang diamplifikasi menggunakan primer ini tidak seragam pada tiap varietasnya. Primer RM 223 memiliki kelebihan yaitu mampu membedakan padi aromatik dan nonaromatik serta dapat membedakan polimorfisme pada kedua jenis padi tersebut (Lang & Buu 2008). Namun, primer berbasis SSR ini memiliki kelemahan yaitu marka ini hanya berhubungan dengan gen aroma dan tidak dapat diprediksi status wangi (aroma) dari salah satu contoh beras dengan akurasi 100% (Badbury et al. 2005b). 120 bp-160 bp RM 223 Forward
RM 223 Reverse
257 bp Gambar 5 Pola amplifikasi pasangan primer Gambar 4 Pola amplifikasi pasangan primer eksternal dan internal, serta ukuran DNA yang dihasilkan. (Bradbury 2005b).
RM223 forward dan reverse. Campuran primer menghasilkan ukuran 120-160 bp (Lang & Buu 2008).
7 Metode Silang Terarah (Site-directed Crossing) Metode pemuliaan tanaman dibagi menjadi tiga yaitu metode konvensional (random crossing), persilangan terarah (sitedirected crossing), dan rekayasa genetik. Persilangan konvensional merupakan metode yang lebih dahulu dikembangkan, memiliki kelebihan berupa waktu pengerjaanya lebih singkat sekitar 8 hingga 10 bulan bila belum tersedia dari awal atau dapat berlangsung 4 hingga 5 bulan bila sudah tersedia tanaman BC4F1. Namun, metode ini memiliki kelemahan yaitu penggabungan sifat tidak spesifik, memiliki ketepatan terhadap sekumpulan gen, melibatkan organisme utuh, dan hanya dapat digunakan dalam satu spesies atau genus (Nasution 2002). Rekayasa genetik dapat digunakan tanpa ada batasan taksonomi (dalam spesies yang berbeda) dan hanya melibatkan sel atau molekul. Namun, rekayasa genetik ini akan menghasilkan organisme modifikasi yang stabilitasnya belum teruji untuk waktu yang lama. Secara ekologi penggunaan organisme modifikasi dikhawatirkan akan mengganggu tekstur dan struktur tanah. Gen yang dipindahkan ke tanaman transgenik akan menghasilkan endotoksin yang dapat mencegah serangan hama dalam tanah. Sisa tanaman transgenik tersebut yang masih mengandung toksin dapat mematikan mikroorganisme dan organisme di dalam tanah, sehingga terjadi degradasi bakteri maupun organisme di dalam tanah, yang akan mengubah struktur dan tekstur tanah dalam jangka waktu tertentu (Dekeyser & Motagu 1990). Perdebatan mengenai penggunaan organisme hasil modifikasi genetik atau yang lebih dikenal dengan genetically modified organism (GMO) telah menimbulkan arus pertentangan antara setuju dan yang kurang setuju. Hal ini perlu diantisipasi dengan menghindari metode-metode pengembangan yang menghasilkan produk tanaman transgenik. Metode persilangan terarah merupakan metode alternatif yang dapat digunakan untuk memasukkan sifat tertentu secara spesifik tanpa harus melalui rekayasa genetik yang menghasilkan produk tanaman transgenik (Mackill et al. 2007). Metode site-directed crossing yang sering digunakan dengan nama markerassisted backcrossing atau PCR-assisted backcrossing (Mackill et al. 2007). Metode ini lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan seleksi fenotip karena berdasarkan
pada sifat genetik saja dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu, kegiatan pemuliaan menjadi lebih cepat, tepat, dan relatif lebih hemat biaya dan waktu (Azrai 2005). Melalui metode ini, pemasukkan gen donor dapat diminimalisasi dan hanya sifat yang diinginkan yang terinduksi pada tanaman induk. Pemindahan gen padi aromatik ke padi nonaromatik untuk menghasilkan turunan varietas aromatik pada penelitian ini dilakukan dengan metode persilangan terarah. Padi nonaromatik akan disilangkan dengan padi aromatik selanjutnya individu turunannya akan disilangkan balik dengan tetuanya dari nonaromatik. Proses silang balik ini akan diulangi empat kali sampai generasi BC4F1. Silang balik merupakan teknik persilangan yang dapat digunakan untuk memindahkan satu atau beberapa gen yang diinginkan dari tanaman donor ke tanaman penerima. Namun, diperlukan persilangan silang balik beberapa kali agar diperoleh introgresi sifat yang diinginkan dan sekecil mungkin membawa introgresi negatif fragmen liar yang tidak diinginkan (Reyes 2000). Gen badh2 pada generasi silang balik selalu dalam keadaan heterozigot, sementara gen ini hanya terekspresi dalam keadaan resesif dan keberadaannya tidak dapat dideteksi dengan uji aroma. Oleh karena itu, digunakan marka molekular berbasis PCR untuk melacak keberadaan alel gen badh2 dari padi aromatik Pandan Wangi dan Mentik Wangi pada individu turunan di setiap generasi silang balik. Tanpa bantuan analisis molekuler PCR, penyerbukan sendiri harus selalu dilakukan pada setiap generasi silang balik, sehingga jangka waktu penelitian menjadi dua kali lebih lama (Mackill et al. 2007). Persilangan terarah merupakan metode persilangan yang memiliki kelebihan yaitu penggabungan sifat tanaman bersifat spesifik atau selektif dengan ketepatan terhadap satu gen tunggal, memiliki stabilitas gen selama puluhan tahun, menghasilkan produk yang aman (bukan organisme modifikasi) dengan kepastian perubahan genetiknya mudah atau dapat dikarakterisasi dengan baik, waktu pengerjaannya 2 hingga 3 tahun bila mulai dari awal atau 8 hingga 10 bulan jika belum tersedia BC4F1 atau dapat berlangsung lebih singkat yaitu 4 hingga 5 bulan jika sudah tersedia BC4F1. Kelemahan dari persilangan terarah adalah metode ini hanya dapat digunakan dalam satu spesies atau genus dan melibatkan organisme utuh (Nasution 2002).
8 BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam pembentukan benih F1 adalah tanaman tetua betina (padi Ciherang dan Fatmawati) dan tetua jantan (padi Pandan Wangi dan Mentik Wangi). Isolasi DNA menggunakan daun tanaman padi (Pandan Wangi, Ciherang, Fatmawati, Mentik Wangi, serta hasil persilangannya), bufer ekstrak yang mengandung Tris-HCl (pH 8.0), etilendiamin tetraasetat (EDTA), natrium klorida (NaCl), setiltrimetil amonium bromida (CTAB), polivinil pirolidon (PVP), dan merkaptoetanol. Bahan lain yang digunakan untuk isolasi DNA adalah isopropanol, etanol 70%, dan bufer Tris-EDTA (TE) yang mengandung ribonuklease. Reaksi PCR menggunakan bufer PCR MgCl2, dNTP (dATP, dCTP, dGTP, dTTP), primer Bradbury (ESP, EAP, IFAP, dan INSP), primer Lang & Buu (RM 223), DNA, Taq polimerase (FastStart), dan ddH2O. Selain itu, bahan lain yang digunakan pada analisis elektroforesis adalah agarosa, bufer Tris HClasam asetat-EDTA (TAE) etidium bromida (etbr), dan DNA standar (1 kb ladder). Alat-alat yang digunakan untuk pembentukan benih F1 adalah cawan petri, bak plastik, ember, penyedot vakum, kertas minyak, klip, lampu listrik, dan gunting. Isolasi DNA menggunakan tabung mikro, mortar, satu set pipet mikro, tip pipet mikro, spin, sentrifus (Backman rotor 12), dan inkubator. Analisis PCR menggunakan mesin PCR PTC-100 (MJ Research, Inc) dan seperangkat alat elektroforesis yang terdiri atas tangki elektroforesis dan alat dokumentasi gel (chemidoc EQ gel system). Selain itu, spektrofotometer (SmartSpec TM Plus Spectrophotometer, Biorad) digunakan untuk kuantifikasi DNA. Metode Penelitian Pembentukan Benih F1 Pembentukan benih F1 mengacu pada metode Soedyanto et al. (1978). Materi yang digunakan adalah varietas Ciherang dan Fatmawati sebagai tetua pemulih, sedangkan sebagai tetua donor digunakan padi aromatik Pandan Wangi dan Mentik Wangi. Dilakukan penanaman butir padi dari masing-masing varietas dalam cawan petri hingga membentuk kecambah (selama 14 hari). Setelah itu, dipilih kecambah yang pertumbuhannya baik untuk dipindahkan ke
bak pembenihan. Setelah berumur 2 minggu, tanaman dipindahkan ke ember dan dipelihara sampai berbunga. Tanaman tetua betina (padi Ciherang dan Fatmawati) serta tetua jantan (padi Pandan Wangi dan Mentik Wangi) yang waktu pembungaannya bersamaan digunakan untuk persilangan. Sebelum dilakukan persilangan terlebih dahulu dilakukan kastrasi pada bunga-bunga tanaman tetua betina. Bunga pada malai yang akan dikastrasi dijarangkan menjadi 15-50 bunga. Sepertiga bagian bunga dipotong miring menggunakan gunting kemudian benang sari diambil dengan alat penyedot vakum. Bunga yang telah bersih dari benang sari ditutup dengan kertas minyak agar tidak terserbuki oleh tepung sari yang tidak dikehendaki. Penyerbukan tanaman padi dilakukan dengan menyalakan semua lampu di ruang persilangan untuk meningkatkan suhu hingga 32 °C sehingga dapat mempercepat pemasakan tepung sari. Setelah kepala sari membuka, bunga jantan diletakkan di atas bunga betina yang telah dikastrasi. Tanaman selanjutnya dipelihara sampai panen. Biji-biji yang telah masak dipanen dan dikeringkan dalam oven pada suhu 28 °C selama 2 malam untuk mengurangi kadar air. Biji padi F1 selanjutnya ditumbuhkan dalam cawan petri dan bak pembenihan. Isolasi DNA Isolasi DNA dengan metode CTAB yang mengacu pada Shure et al. (1983) dan Doyle & Doyle (1987) dilakukan melalui tiga tahap yaitu preparasi ekstrak sel, pemurnian DNA, dan pemekatan DNA. Preparasi ekstrak sel dimulai dengan penggerusan daun padi sebanyak 0.5 gram dalam mortar steril yang diberi bufer ekstraksi sebanyak 1000 µL (2 x 500µL). Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 mL, kemudian diinkubasi di dalam penangas air pada suhu 65 ˚C selama 15 menit. Pemurnian DNA dilakukan melalui penambahan natrium asetat 3M sebanyak 100 µL dan kloroform isoamilalkohol sebanyak 900 µL ke dalam tabung, kemudian dikocok hingga merata. Suspensi selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 17724 g selama 5 menit. Pemekatan DNA dilakukan dengan penambahan natrium asetat 3M sebanyak 70 µL dan isopropanol sebanyak 500 µL ke dalam supernatan dan dicampur perlahan. Sampel disentrifugasi pada kecepatan 17724 g selama 5 menit. Pelet yang diperoleh dicuci dengan 500 µL etanol 70%.
9 Campuran disentrifugasi kembali selama 2 menit pada kecepatan 17724 g. Pelet selanjutnya dikeringkan dalam oven selama 10 menit. Pelet yang telah kering dilarutkan dalam bufer TE yang mengandung ribonuklease sebanyak 50 µL dan diinkubasi pada suhu 37 ˚C selama 30 menit. Pengukuran Kuantitas dan Kualitas DNA Hasil isolasi DNA selajutnya dilakukan kuantifikasi untuk melihat konsentrasi dan kemurniannya. Konsentrasi dan kemurnian DNA dari masing-masing hasil isolasi diuji dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Kemurnian DNA ditetapkan berdasarkan nilai perbandingan A260/A280. Batas kemurnian yang biasa dipakai dalam analisis molekuler pada rasio A260/A280 adalah 1.8-2.0 (Sambrook et al. 1989). Total volume yang digunakan untuk pengukuran sebanyak 400 µL dengan faktor pengenceran sebesar 200 kali. Larutan blanko yang digunakan adalah ddH2O. Kualitas DNA diuji dengan elektroforesis untuk mengetahui ada atau tidaknya DNA dari pita yang terbentuk. Konsentrasi DNA hasil isolasi dapat diketahui dengan menyertakan DNA lambda yang telah diketahui konsentrasinya. Konsentrasi DNA lambda yang digunakan adalah 20 ng/ µL dan 40 ng/ µL. Jumlah 2 µL DNA lambda sebanding dengan 10 ng/µL sampel DNA. Elektroforesis DNA hasil isolasi dilakukan pada gel agarosa 1%. Seleksi Padi F1 Tanaman F1 hasil persilangan perlu dilakukan seleksi untuk memastikan bahwa individu yang dihasilkan untuk dilakukan persilangan balik dengan tetua nonaromatik (Ciherang dan Fatmawati) mengandung alel heterozigot. Seleksi tanaman F1 hasil persilangan Ciherang dan Pandan Wangi menggunakan primer RM 223. Sedangkan, seleksi tanaman F1 hasil persilangan Fatmawati dan Mentik Wangi menggunakan primer Bradbury. Primer RM 223 mampu membedakan padi varietas aromatik dan nonaromatik berdasarkan ukuran pita DNA. Primer RM 223 mengandung sekuen basa forward 5’GAGTGAGCTTGGGCTTGGGCTGAAAC3’ dan sekuen basa reverse 5’GAAGGCAAGTCTTGGCACTG-3’. Ukuran DNA yang diamplifikasi menggunakan primer ini adalah 120 bp-160 bp (Lang & Buu 2008). Reaksi amplifikasi dilakukan sebanyak 35 siklus yang terdiri atas denaturasi awal selama
5 menit pada suhu 94 ºC, denaturasi selama 1 menit pada suhu 94 ºC, penempelan primer selama 30 detik pada suhu 55 ºC, dan perpanjangan primer selama 1 menit pada suhu 72 ºC. Perpanjangan primer terakhir terjadi selama 5 menit pada suhu 72 ºC. Primer Bradbury menggunakan empat buah primer masing-masing terdiri atas 2 buah primer eksternal dan 2 buah primer internal. Primer eksternal terdiri atas external antisense primer (EAP) dengan sekuen 5’AGTGCTTTACAAAGTCCCG-3’, external sense primer (ESP) dengan sekuen 5’TTGTTTGGAGCTTGCTGATG-3’. Primer internal terdiri atas internal non fragrant sense primer (INSP) dengan sekuen 5’CTGGTAAAAAGATTATGGCTTCA-3’ dan internal fragrant antisense primer (IFAP) 5’CATAGGAGCAGCTGAAATATATACC-3’. Pasangan primer eksternal EAP dan ESP akan menghasilkan fragmen berukuran 580 sebagai kontrol positif untuk masing-masing sampel. Pasangan primer IFAP dan ESP akan menghasilkan fragmen alel aromatik berukuran 257 bp. Pasangan primer INSP dan EAP akan menghasilkan fragmen alel nonaromatik berukuran 355 bp (Bradbury 2005). Reaksi amplifikasi dilakukan sebanyak 30 siklus yang terdiri atas denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94 ºC, denaturasi selama 30 menit pada suhu 94 ºC, penempelan primer selama 30 menit pada suhu 58 ºC, dan perpanjangan primer selama 45 menit pada suhu 72 ºC. Perpanjangan primer terakhir terjadi selama 5 menit pada suhu 72 ºC. Analisis PCR dilakukan dengan mesin PCR TETRAD menggunakan program RM 223 untuk primer RM 223 dan program BAD2 untuk primer Bradbury. Jumlah total volume yang digunakan adalah 20 µL, berisi 2.0 µL bufer PCR (10 mM Tris-HCl (pH 8.3), 1.2 µL MgCl2 50 mM, 0.4 µL dNTP (dATP, dCTP, dGTP, dTTP) 5 mM, 1 µL masingmasing primer (RM 223 forward, RM 223 reverse, ESP, EAP, INSP, dan IFAP), 0.16 µL DNA Taq polimerase, 2 µL DNA 50 µg/mL, dan ditepatkan volumenya menjadi 20 µL dengan ddH2O sebanyak 11.24 µL. Konfirmasi DNA dengan Elektroforesis Pengujian hasil isolasi DNA dan hasil PCR perlu dilakukan konfirmasi untuk mengetahui kualitas DNA hasil isolasi dan ukuran DNA hasil amplifikasi. Konfirmasi DNA hasil isolasi menggunakan agarosa 1%. Sebanyak 4 µL DNA dicampur dengan 2 µL loading dye, kemudian disertakan DNA lambda dengan konsentrasi 20 ng/µL dan 40
10 ng/µL. Konsentrasi gel agarosa yang digunakan untuk konfirmasi produk PCR adalah 1.5% dan 3% dan disertakan marker 1 kb ladder untuk mengetahui ukuran DNA hasil amplifikasi. Gel agarosa direndam dalam tangki yang berisi 1x bufer TAE (Tris HCl-asam asetat-EDTA) dan dialiri arus dengan tegangan 80 volt selama 35 menit. Tahap selanjutnya dilakukan proses pewarnaan dengan larutan etidium bromida (10 mg/L) selama 5 menit, kemudian dibilas dengan air selama 10 menit. Gel agarosa selanjutnya ditampakkan dengan chemidoc gel system. Gambar 6 Diagram metode persilangan terarah
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembentukan Populasi F1 Sifat yang dimiliki oleh masing-masing tetua padi berbeda. Persilangan tanaman padi merupakan penggabungan sifat melalui pertemuan tepung sari dengan kepala putik yang menghasilkan embrio dan kemudian embrio berkembang menjadi benih. Menurut Welsh (1981) kombinasi sifat dari kedua tetua pada individu generasi pertama terjadi secara acak, sehingga dapat menghasilkan kombinasi sifat yang lebih menguntungkan dari kedua tetuanya. Komposisi gen yang diperoleh dari hasil persilangan antara padi Ciherang-Pandan Wangi dan padi FatmawatiMentik Wangi adalah 50%:50%, artinya gen dari kedua tetua telah bersegregasi dalam tanaman F1 dalam jumlah yang sama. Individu F1 yang dihasilkan bersifat heterozigot dan akan mengalami pemisahan pada generasi berikutnya. Pembentukan benih tanaman F1 hasil persilangan padi Ciherang-Pandan Wangi dan Fatmawati-Mentik Wangi dilakukan melalui metode persilangan terarah. Persilangan yang dilakukan dalam penelitian ini hanya sampai pada pembentukan populasi generasi pertama. Pembentukan populasi hingga BC5 F1 akan menghasilkan turunan dengan komposisi gen yang mendekati seratus persen tanaman tetua nonaromatik. Diagram metode persilangan terarah (Gambar 6) menjelaskan persilangan dilakukan selama tiga tahun dan pada akhir tahun ketiga akan diperoleh varietas aromatik BC5F2 yang memiliki gen homozigot resesif. Penyerbukan sendiri pada generasi BC5F1 hanya diperlukan untuk penggabungan sifat yang memiliki gen resesif misalnya sifat aromatik, sedangkan untuk sifat yang dominan misalnya sifat toleransi genangan cukup hingga BC5F1.
(site-directed crossing). Persilangan, dan komposisi gen pada setiap generasi silang balik, hingga pada tahun ketiga diperoleh individu BC5F2 yang merupkan homozigot resesif.
Tahap pembentukan populasi F1 dimulai dengan persilangan yaitu melalui kastrasi dan penyerbukan untuk menghasilkan biji. Biji inilah yang selanjutnya dipelihara hingga membentuk suatu populasi tanaman hasil persilangan. Persilangan dilakukan ketika masa pembungaan antara tetua jantan dan tetua betina sama, sehingga perlu dilakukan pengaturan dan penghitungan jarak waktu tanam agar kedua tetua dapat berbunga secara bersamaan. Pengaturan waktu pembungaan dapat dilakukan dengan menanam tetua nonaromatik (padi Ciherang dan Fatmawati) dalam selang waktu setiap satu minggu sebanyak lima kali. Persilangan antara padi Fatmawati dan Mentik Wangi memiliki masa berbunga 9 minggu atau 63 hari, sedangkan persilangan antara padi Ciherang dengan Pandan Wangi memiliki masa berbunga 12 minggu atau 84 hari. Selain itu, persilangan membutuhkan ketelitian khusus terutama ketika dilakukan kastrasi, karena jika tidak bersih maka akan menyebabkan terjadinya penyerbukan sendiri pada bunga betina. Kastrasi adalah membuang bagian tanaman yang tidak diperlukan. Kastrasi dilakukan pada bunga betina dan dalam hal ini bagian yang tidak diperlukan adalah benang sari dan tepung sari (Gambar 7A). Setiap bunga terdapat enam benang sari dan dua kepala putik yang menyerupai rambut tidak boleh rusak. Kastrasi yang baik dilakukan sehari sebelum penyerbukan agar putik menjadi masak sempurna saat penyerbukan sehingga keberhasilan penyilangan lebih tinggi. Bunga yang telah dikastrasi sebaiknya ditutup
11 dengan kertas minyak agar bunga tidak terserbuki oleh tepung sari dari bunga lain yang tidak dikehendaki (Gambar 7B). Penyerbukan dilakukan dengan cara mengambil tepung sari dari bunga tanaman jantan yaitu bunga dari padi aromatik. Bunga tersebut diletakkan di atas bunga betina sambil digerak-gerakkan hingga tepung sari bunga jantan jatuh ke kepala putik bunga betina. Jarak waktu dari persilangan hingga terbentuknya biji terjadi selama lebih kurang 2 minggu. Biji F1 yang dihasilkan dari persilangan memiliki bentuk ramping panjang tanpa sekam (Gambar 7C). Biji hasil persilangan dilakukan pengeringan selama 7 hari untuk mengurangi kadar air dalam biji. Biji yang telah kering dilakukan penyemaian dalam cawan petri hingga terbentuk benih F1. Populasi tanaman hasil persilangan ditempatkan di rumah kaca (Gambar 7D). Jumlah tanaman padi F1 yang dihasilkan dari hasil persilangan padi Ciherang-Pandan Wangi terdapat 20 tanaman, sedangkan populasi tanaman padi F1 dari hasil persilangan padi Fatmawati-Mentik Wangi terdapat 4 tanaman. Jumlah populasi tanaman tersebut berdasarkan seleksi adanya gen heterozigot badh2 menggunakan marka aromatik PCR. Populasi tanaman yang mengandung gen tersebut selanjutnya akan digunakan untuk persilangan balik dengan tetua induk (padi nonaromatik) untuk dihasilkan tanaman BC1F1.
A
B
C
D
Gambar 7 Tahap pembentukan populasi F1. (A) Bunga betina pada Ciherang yang telah dikastrasi; (B) bunga tanaman padi yang telah diserbuki tepung sari dari bunga jantan dan ditutup dengan kertas minyak; (C) biji F1 dari hasil persilangan; (D) populasi tanaman F1 dalam rumah kaca.
Pengujian Kualitas DNA Daun tanaman padi hasil persilangan digunakan untuk proses isolasi DNA. Hasil isolasi DNA perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui kualitas atau kemurnian DNA dan konsentrasi yang dibutuhkan untuk analisis PCR. Uji kualitas DNA hasil isolasi diuji secara kuantitatif dan kualitatif. Uji kuantitatif menggunakan spektrofotometer melalui pengukuran konsentrasi sampel DNA pada panjang gelombang 260 nm dan kemurnian sampel pada perbandingan panjang gelombang 260/280 nm. Nilai kemurnian sampel yang baik menurut Sambrook et al. (1989) adalah 1.8-2.0. Adanya kontaminasi protein terlihat dari nilai kemurnian yang kurang dari 1.8, sedangkan nilai kemurnian sampel yang lebih dari 2.0 menunjukkan adanya kontaminasi RNA. Uji kualitatif DNA dapat dilakukan melalui elektroforesis gel agarosa. Uji kualitatif ini berupa gambaran untuk mengetahui ada atau tidaknya DNA serta untuk mengetahui ada atau tidaknya kontaminasi RNA dalam sampel. Isolasi DNA tanaman padi hasil persilangan Ciherang-Pandan Wangi dan Fatmawati-Mentik Wangi menggunakan metode Shure et al. (1983) dengan modifikasi tambahan CTAB dari metode Doyle & Doyle (1987). Metode ini dipilih karena praktis, membutuhkan sampel dalam jumlah yang sedikit, tidak membutuhkan waktu yang lama, serta tahapan metode yang relatif lebih mudah dan cepat. Bufer CTAB sangat baik digunakan untuk isolasi DNA tanaman karena memiliki kelebihan yaitu dapat mendegradasi senyawa-senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam tanaman. Selain itu, CTAB mampu memisahkan DNA dan RNA dari pengotor (karbohidrat dan protein). Hasil isolasi DNA tanaman F1 ditampakkan pada gel agarosa 1%. Pola pita sampel hasil elektroforesis gel agarosa menunjukkan DNA sudah murni atau tidak terkontaminasi RNA, karena jika dalam sampel masih mengandung RNA akan dihasilkan pita di bawah atau ukurannya lebih kecil dari DNA sampel. Elektroforesis sampel menggunakan kontrol pembanding berupa DNA lambda yang sudah diketahui konsentrasinya. Konsentrasi DNA lambda ini digunakan untuk menghitung konsentrasi DNA sampel dengan cara membandingkan luas atau tebal pita hasil elektroforesis. Konsentrasi DNA lambda yang digunakan adalah 20 ng/µL dan 40 ng/µL (Gambar 8).
12
C P 1
2
3
4 5
6 7
8 9 10 11 12 13
20 40
Gambar 8 Hasil isolasi DNA daun padi. Marker: DNA lambda konsentrasi 20 dan 40 ng/µL, Sampel: Ciherang, Pandan Wangi, F1 Ciherang-Pandan Wangi (nomor 1-13).
Hasil elektroforesis menunjukkan konsentrasi DNA sampel tidak dapat dibandingkan dengan DNA lambda karena terdapatnya pita smear pada semua sampel. Pita smear tersebut dapat disebabkan oleh terpotongnya fragmen DNA akibat pemipetan berulang ketika proses isolasi DNA sehingga dihasilkan pita-pita DNA yang tidak sama ukurannya. Konsentrasi DNA yang diperoleh dari hasil isolasi tidak seragam. Oleh karena itu, konsentrasi DNA yang sudah diperoleh diseragamkan dengan pengenceran menjadi 50 µg/ml. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin bahwa jumlah DNA yang akan amplifikasi dengan PCR mempunyai konsentrasi yang sama. Seleksi F1 Padi Ciherang-Pandan Wangi Tidak semua bunga yang dihibridisasi menghasilkan benih F1 sejati (sebaliknya justru persilangan sendiri yang terjadi), sehingga perlu dilakukan seleksi tanaman F1. Seleksi tanaman F1 tidak dapat diuji secara langsung melalui uji aroma biasa untuk melihat apakah gen badh2 dari tanaman aromatik telah bergabung dengan alel gen padi nonaromatik. Oleh karena itu, digunakan marka molekuler berbasis PCR. Analisis PCR dalam penelitian ini menggunakan primer berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Padmadi (2009). Marka aromatik yang digunakan untuk menyeleksi tanaman hasil persilangan dalam penelitian ini adalah primer Bradbury dan RM 223. Kedua primer tersebut telah diuji oleh Lang & Buu (2008) mampu membedakan pola amplifikasi antara padi aromatik dan nonaromatik dari berbagai negara, dan untuk beberapa padi varietas lokal Indonesia sendiri baru-baru ini telah diujikan. Keuntungan dari penggunaan marka aromatik PCR ini adalah dapat membantu
melacak keberadaan alel gen heterozigot badh2 pada tanaman F1 yang dihasilkan dari persilangan dengan teknik yang sederhana, mudah, dan cepat. Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Padmadi (2009) yang menyatakan bahwa pola amplifikasi padi aromatik Pandan Wangi dan padi nonaromatik Ciherang dengan menggunakan primer Bradbury tidak dapat dibedakan satu sama lainnya. Namun, ketika digunakan primer RM 223 baik Pandan Wangi maupun Ciherang dapat dibedakan dengan ukuran pita yang berbeda akibat adanya polimorfisme pada kromosom nomor 8. Oleh karena itu, primer RM 223 dalam penelitian ini digunakan untuk menyeleksi padi F1 hasil persilangan antara padi Ciherang dan Pandan Wangi. Hasil PCR ditampakkan dengan menggunakan gel agarosa 3%. Penggunaan konsentrasi tersebut berdasarkan perbedaan basa yang sangat kecil dari setiap sampel yaitu berbeda 20 basa dan tidak akan terlihat berbeda jika digunakan konsentrasi gel agarosa di bawah 3%. Sebanyak 20 sampel tanaman padi yang merupakan tanaman hasil persilangan antara padi Ciherang dan Pandan Wangi diseleksi dengan menggunakan marka aromatik RM 223. Keseluruhan tanaman positif memiliki gen heterozigot badh2. Pola gen heterozigot ini terlihat dari pola pita hasil elektroforesis gel agarosa yang memiliki dua buah pita yang merupakan kombinasi dari kedua tetua padi Ciherang dan Pandan Wangi (Gambar 9). Primer RM 223 dapat mengamplifikasi padi Ciherang dengan ukuran 160 bp, padi Pandan Wangi 140 bp, dan F1 hasil persilangan padi Ciherang-Pandan Wangi menghasilkan dua pita berukuran 140 bp dan 160 bp. Penggunaan primer RM 223 mampu mengamplifikasi padi varietas aromatik dan nonaromatik dengan variasi panjang fragmen DNA antara 120 bp-160 bp (Lang & Buu 2008). Penelitian sebelumnya (Padmadi 2009) juga telah membuktikan primer RM 223 mampu membedakan padi aromatik dan nonaromatik untuk beberapa varietas lokal Indonesia. Hasil penelitian diperoleh ukuran produk amplifikasi dari padi Ciherang lebih besar daripada Pandan Wangi disebabkan oleh adanya delesi basa pada padi Pandan Wangi. Selain itu, pola amplifikasi pada tanaman F1 hasil persilangan padi CiherangPandan Wangi yang menunjukkan sifat heterozigot. Hal ini mendukung pernyataan dan penelitian sebelumnya dari Lang & Buu (2008) dan Padmadi (2009).
13 12.000 bp 5.000 bp 2.000 bp
Cih PW 1
2
3
4
5
1.000 bp 850 bp 650 bp 500 bp 400 bp
300 bp
200 bp
100 bp
Gambar 9 Contoh seleksi F1 padi CiherangPandan Wangi menggunakan primer RM223. Marker: DNA 1 kb, Sampel: Ciherang (Cih), Pandan Wangi (PW), F1 Cih/PW (nomor 1-5).
Seleksi F1 Padi Fatmawati-Mentik Wangi Sebuah metode digunakan untuk menentukan genotip individu tanaman padi baik homozigot aroma, homozigot non aroma, atau heterozigot non aroma, praktis memiliki kegunaan untuk bidang pertanian. Uji dengan metode yang sederhana untuk skrining padi dan penentuan aroma di antara berbagai macam jenis padi dan segregasi populasi, memiliki kelebihan yaitu sederhana, murah, dan cepat (Badbury et al. 2005). Seleksi tanaman F1 menggunakan marka molekuler berbasis PCR. Analisis PCR dalam penelitian ini menggunakan primer Bradbury. Penggunaan primer tersebut berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Padmadi (2009). Hasil analisis PCR dengan primer tersebut ditampakkan dalam gel agarosa 1%. Berbeda dengan konsentrasi gel agarosa yang digunakan pada seleksi persilangan Ciherang-Pandan Wangi, konsentrasi yang digunakan untuk seleksi hasil persilangan Fatmawati-Mentik Wangi lebih kecil. Pemilihan konsentrasi gel agarosa tersebut berdasarkan ukuran produk PCR yang dihasilkan. Menurut Sambrook et al. (1989) konsentrasi 1% digunakan untuk ukuran fragmen DNA 250 bp – 12 kbp. Marka aromatik dari primer Bradbury mampu mengamplifikasi padi aromatik dengan ukuran 580 bp dan 257 bp, sedangkan untuk padi nonaromatik menghasilkan ukuran 580 bp dan 355 bp. Keuntungan dari penggunaan primer ini adalah mampu membedakan pola gen homozigot resesif (pada varietas aromatik), homozigot dominan (pada varietas nonaromatik), dan heterozigot (pada hasil persilangan). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Padmadi (2009) primer Bradbury tidak sepenuhnya dapat membedakan padi aromatik dan nonaromatik pada beberapa varietas lokal Indonesia. Varietas padi aromatik yang mempunyai pola pita DNA yang berbeda dengan padi varietas nonaromatik adalah Mentik Wangi dan Gunung Perak. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan delesi pada kromosom 8. Selain itu, penggunaan primer RM 223 tidak mampu membedakan antara padi Pandan Wangi dengan padi nonaromatik lainnya. Oleh karena itu, primer ini digunakan dalam menyeleksi F1 Fatmawati-Mentik Wangi. Sebanyak 4 sampel tanaman padi yang merupakan hasil persilangan antara padi Fatmawati dan Mentik Wangi diuji dengan marka aromatik Bradbury. Hasil penelitian menunjukkan keseluruhan tanaman positif memiliki gen heterozigot badh2. Pola gen heterozigot ini terlihat dari pola pita hasil amplifikasi yang ditampakkan melalui elektroforesis gel agarosa. Pola gen heterozigot memiliki dua buah pita yang merupakan gabungan dari kedua tetua tanaman padi Fatmawati dan padi Mentik Wangi (Gambar 10). Penggunaan primer Bradbury untuk seleksi F1 hasil persilangan dari padi Fatmawati dan Mentik Wangi menunjukkan padi Fatmawati menghasilkan fragmen DNA ukuran 580 bp dan 357 bp, padi Mentik Wangi menghasilkan fragmen DNA ukuran 580 dan 355 bp, dan padi F1 hasil persilangan Fatmawati-Mentik Wangi menghasilkan fragmen DNA ukuran 580 bp, 355 bp, dan 257 bp. Hal ini mendukung pernyataan Bradbury et al. (2005) dan penelitian sebelumnya dari Padmadi (2009). Fat MW 1
2
3
4
A
12.000 bp
5.000 bp 2.000 bp 1.000 bp 850 bp 650 bp 500 bp 400 bp 300 bp 200 bp
100 bp
Gambar 10 Seleksi F1 padi Fatmawati- Mentik Wangi menggunakan primer Bradbury. Marker: DNA 1 kb ladder, Sampel: padi Fatmawati (Fat), padi Mentik Wangi (MW), padi F1 Fat/MW (nomor 1-4), air (A).
14 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pembentukan tanaman padi F1 hasil persilangan Ciherang-Pandan Wangi dan Fatmawati-Mentik Wangi dilakukan melalui persilangan terarah dan berhasil. Keberadaan alel gen badh2 dari tetua donor (padi aromatik Pandan Wangi dan Mentik Wangi) pada tanaman hasil persilangan terdeteksi dengan marka aromatik PCR. Primer RM 223 dapat digunakan untuk seleksi turunan hasil persilangan padi Ciherang dan Pandan Wangi. Primer Bradbury digunakan untuk menyeleksi turunan F1 dari hasil persilangan antara padi Fatmawati dengan Mentik Wangi. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan hingga dihasilkan tanaman generasi BC5F2 untuk melihat hasil akhir dari persilangan terarah. Kajian lain seperti pengurutan DNA ukuran 580 bp untuk padi aromatik dan nonaromatik varietas asli Indonesia juga perlu dilakukan sehingga dapat menentukan primer spesifik untuk membedakan padi aromatik dan nonaromatik.
DAFTAR PUSTAKA Adijono et al. 1993. Pemuliaan Padi Aromatik dan Ketan. Di dalam: Mahyudin S, editor. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Bogor: IPB Pr. hlm.422-428. Ahn SN, Bollisch CN, Tanksley SD. 1992. RFLP tagging of a gene for aroma in rice. Theor Appl Genet 84:825–828. Azrai M. 2005. Pemanfaatan markah molekuler dalam proses seleksi pemuliaan tanaman. J Agro Biogen 1:2637. Berner DK, Hoff BJ. 1986. Inheritance of scent in American long grain rice. J Crop Sci 26:876-878. Bourgis et al. 2008. Characterization of the major fragance gene from an aromatic japonica rice and analysis of its diversity in Asian cultivated rice. Theor Appl Genet 117: 353–368. Bradbury LMT, Fitgerald TL, Henry RJ, Jin Q, Waters DLE. 2005a. The gene for fragrance in rice. J Plant Biotech 3:363– 370.
Bradbury LMT, Henry RJ, Jin Q, Reinke RF, Waters DLE. 2005b. A perfect marker for fragrance genotyping in rice. J Mol Breed 16:279–283. Buttery RG, Ling LC, Juliano BO, Turnbaugh JG. 1983. Cooked rice aroma and 2acetyl–1-pyroline in rice. J Agric Food Chem 31:823–826. Corderio GM, Christopher MJ, Henry RJ, Reinke RF. 2002. Identification of microsatellite markers for fragrance in rice by analysis of the rice genome sequence. J Mol Breed 9:245-250. Dekeyser RPL, Motagu MV. 1990. Transgenic plants. [Di dalam]: Gene manipulation in plant improvement II. New York Plenum Pr. Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolation from small amount of fresh leaf tissue. J Phytochem Bull 19:11-15. Heldt W. 2005. Plant Biochemistry. German: Elvesier All Right Reserved. Hermanto. 2006. Padi Ciherang makin populer. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28:14-15. [terhubung berkala]. http://
[email protected]/journal/warta [14 Feb 2009]. Kibria et al. 2008. Screening of aromatic rice lines by phenotypic and molecular markers. J Bot 37:141-147. Krishnan HB, Puepke SG. 1983. Nucleotide sequence of an abundant rice seed globulin. J Biophys 193:460-466. Lang NT, Buu BC. 2008. Development of PCR based markers for aroma (fgr) gene in rice (Oryza sativa L.). J Omonrice 16:16-23. [LITBANG] Balai Penelitian Bahan Pangan. 2006. Mengenal padi VUTB Fatmawati. http://jakarta.litbang.deptan.go.id/klinika gribisnis. J Litbang 12:1-6. Lorieux M, Petrov M, Huang N, Guiderdoni E, Ghesquiere A. 1996. Aroma in rice: genetic analysis of a quantitative trait. Theor App Genet 93:1145–1151. Mackill et al. 2007. Marker assisted selection for submergence tolerance in rice. J Mol Plant Breed 5:207-208.
15 Mittal et al. 1995. Variability of aroma in some land races and cultivar of scented rice. J Crop Improv 22:109-122. Nasution MA. 2002. Biologi molekuler dan ketahanan pangan nasional. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Padmadi B. 2009. Identifikasi sifat aroma tanaman padi menggunakan marka berbasis gen aromatik [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Reyes MH. 2000. A model for marker based selection in gene introgression breeding program. J Crop Sci 40: 91–98. Roy et al. 2006. Association analysis of agonomically important traits using SSR, SAMPL, and AFLP markers in bread wheat. Current Science 90:683689. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning 3rd edition. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Pr. Shi W, Yang Y, Chen S, Xu M. 2008. Discovery of a new fragrance allele and the development of functional markers for the breeding of fragrant rice varieties. J Mol Breeding 22:185-192. Shivanna KR, Sawhney. 1997. Pollen Biotechnology for Crop Production and Improvement. UK: Cambridge University Pr. Shure, Wessler MS, Fedorrof N. 1983. Molecular identification and the isolation of the waxy locus in maize. J Cell 35:225-233. Slamet, Loedin IH. 2000. Tanaman transgenik: Perspekstif dan tantangan di masa mendatang bagi Indonesia. Warta Biotek LIPI 1-3 [terhubung berkala]. http://indonesiaindonesia.com/warta [2 November 2000]. Sood BC, Sidiq EA. 1978. A rapid technique for scent determination in rice Indian. J Genet Plant Breed 38:268-271. Soedyanto et al. 1978. Bercocok Tanam Jilid II. Jakarta: Yasaguna. Srivong P, Wangsomnuk P, Pongdontri P. 2008. Characterization of a fragrant gene enzymatic activity of betaine aldehyde dehydrogenase in aromatic and non
aromatic Thai rice cultivar. J KKU Sci 36:290-301. Stoskopf NC, Thomes DT, Christie BR. 1993. Plant Breeding, Theory, and Practice. Oxford: Westview Pr. Welsh, James R. 1981. Dasar-dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Jakarta: Erlangga. Yoshihashi et al. 2002. Quantitative analysis on 2-acetyl-1-pyrroline, a potent flavor compound of an aromatic rice variety. J Agric Food Chem. 50: 2001-2004.
LAMPIRAN
17
Lampiran 1 Tahapan alur penelitian
Penanaman biji tetua (F0)
Penyilangan tetua (F0)
Penanaman biji hasil persilangan (F1)
Isolasi DNA dan kuantifikasi
Seleksi F1
18
Lampiran 2 Pembentukan benih F1 Penanaman biji tetua (F0) dalam cawan petri
Selama 2 minggu
Penanaman benih dalam bak Selama 2 minggu
Penanaman benih dalam ember
Setelah berbunga, kedua tetua disilangkan Dihasilkan biji F1
Penanaman biji F1 dalam cawan petri
Benih F1
19
Lampiran 3 Isolasi DNA ( Shure et al. 1983 dan Doyle & Doyle 1987)
Bufer CTAB 1000 µL (2 x 500 µL)
Gerus Daun padi Tabung mikro 2 mL Inkubasi 65 ˚C selama 15 menit (tiap 5 menit dibolak-balik) + 100 µL natrium asetat 3M + 1000 µL kloroform isoamilalkohol
12000 rpm selama 5 menit Supernatan + 70 µL natrium asetat 3M + 600 µL isopropanol dingin
12000 rpm selama 5 menit Pelet DNA
Cuci dengan etanol 200 µL 70 % Keringkan dengan oven selama 10 menit
Larutkan kembali dalam 50 µl TE buffer + RNase
20
Lampiran 4 Pengukuran konsentrasi, kemurnian, dan pengenceran DNA
Sampel Ciherang (Cih) Pandan Wangi (PW) F1 Cih/PW 1 F1 Cih/PW 2 F1 Cih/PW 3 F1 Cih/PW 4 F1 Cih/PW 5 F1 Cih/PW 6 F1 Cih/PW 7 F1 Cih/PW 8 F1 Cih/PW 9 F1 Cih/PW 10 F1 Cih/PW 11 F1 Cih/PW 12 F1 Cih/PW 13 F1 Cih/PW 14 F1 Cih/PW 15 F1 Cih/PW 16 F1 Cih/PW 17 F1 Cih/PW 18 F1 Cih/PW 19 F1 Cih/PW 20 Fatmawati (Fat) Mentik Wangi (MW) F1 Fat/MW 1 F1 Fat/MW 2 F1 Fat/MW 3 F1 Fat/MW 4
Konsentrasi (µg/mL)
A260/280
Volume DNA (µL)
Volume ddH2O (µL)
679.9708 929.4803 504.7173 593.0117 637.6172 746.9965 590.9950 684.1451 425.9383 439.5803 512.4072 760.9763 843.4597 706.8452 423.9931 226.2931 730.1597 672.1149 530.3080 478.7943 566.3766 540.4127 687.1975 322.7012 541.4791 261.3229 695.8763 481.0869
1.86 1.88 1.96 1.84 1.86 1.78 1.70 2.00 1.70 1.75 1.76 1.94 1.73 1.89 1.77 1.71 1.81 1.87 2.10 1.75 2.00 1.84 1.95 1.76 1.91 1.81 1.82 1.72
7.35 5.38 9.91 8.43 7.84 6.69 8.46 7.31 11.74 11.37 9.76 6.57 5.93 7.07 11.79 22.09 6.85 7.44 9.43 10.44 8.83 9.25 7.28 15.49 9.23 19.13 7.19 10.39
92.65 94.62 90.09 91.57 92.16 93.31 91.54 92.69 88.26 88.63 90.24 93.43 94.07 92.93 88.21 77.91 93.15 92.56 90.57 89.56 91.17 90.75 92.72 84.51 90.77 80.87 92.81 89.61
Contoh perhitungan: Ciherang M1 x V1 = M2 x V2 M1 V1 M2 V2
: konsentrasi DNA : volume DNA yang akan diambil : konsentrasi akhir (50 µg/mL) : volume akhir (100 µL)
M1 x V1 = M2 x V2 679.9708 µg/mL x V1 = 50 µg/ml x 100 µL 679.9708 µg/mL x V1 = 5000 µLµg/mL 5000 µL µg/mL
V1 =
679.9708 µg/mL
V1 = 7.35 µL
21
Lampiran 5 Hasil seleksi persilangan padi Ciherang dan Pandan Wangi
M Cih PW 1
2
3 4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 A
12.000 bp 5.000 bp 2.000 bp 1.000 bp 850 bp
650 bp 500 bp 400 bp
300 bp 200 bp
100 bp
Keterangan: M : Marker 1 kb ladder Cih : Padi Ciherang PW : Padi Pandan Wangi 1-20 : Padi hasil persilangan Ciherang dan Pandan Wangi (F1) A : Air