ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR)
Oleh PRIMA GANDHI A14104052
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
1
ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR)
Oleh : PRIMA GANDHI A14104052
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
RINGKASAN PRIMA GANDHI, 2008. Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi Varietas Ungul (Studi Kasus Beras Pandan Wangi di Kecamatan Warung Kondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Di bawah bimbingan HENY K. S. DARYANTO. Sistem ketahanan pangan merupakan persoalan tentang penyediaan bahan pangan pokok dalam dimensi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu bagi seluruh masyarakat. Dalam bahasa ekonomi masalah ketahanan pangan menyangkut persoalan ekonomi produksi, distribusi dan konsumsi. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia. Indonesia berhasil berswasembada beras pada tahun 1984. Dua dasawarsa terakhir ketersediaan beras nasional hanya mampu memenuhi 90 persen kebutuhan nasional. Ketersediaan beras dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan beras adalah luas areal panen (usahatani), produksi beras atau gabah, dan jumlah penduduk. Peningkatan produksi padi di Indonesia belum mampu mencukupi permintaan kebutuhan masyarakat dalam negeri yang jumlahya semakin bertambah setiap tahunnya. Agar stok beras nasional tercukupi pemerintah melalui Bulog melakukan impor. Besarnya volume impor beras menimbulkan berbagai pro-kontra di kalangan masyarakat. Volume impor beras menimbulkan masalah bagi petani padi di Indonesia, karena ketidakmampuan bersaing dalam permasalah harga. Konsumen lebih memilih beras impor karena harganya lebih murah dengan kualitas yang tidak berbeda. Hal ini menyebabkan penurunan pendapatan petani padi. Pemerintah setiap tahunnya berusaha untuk menurunkan nilai impor beras. Untuk menurunkan nilai impor beras Indonesia, pemerintah melalui Departemen Pertanian mengeluarkan beberapa kebijakan pertanian. Kebijakan pertanian yang dikeluarkan Deptan meliputi kebijakan pertanian untuk komoditas padi, baik dari segi on farm maupun off farm-nya. Kebijakan dari segi on-farm diantaranya adalah mengeluarkan beberapa padi varietas unggul, pemberian subsidi untuk pupuk padi dll. Sedangkan dari segi on farm-nya pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yang terkait dengan permodalan, tataniaga beras dan penyuluhan di bidang pertanian. Padi pandanwangi merupakan contoh padi varietas unggul yang sudah ditetapkan oleh negara melalui departemen pertanian. Padi varietas unggul pandan wangi juga dijadikan komoditas unggulan utama hasil pertanian pemerintah Kabupaten Cianjur. Status padi varietas unggul ini harus bisa dibuktikan keunggulan secara ilmiah. Tujuannya agar masyarakat, pemerintah dan khusuanya petani (pemilik dan penggarap) mengetahui keunggulan padi pandan wangi dibanding padi jenis lainnya. Analisis usahatani dan tataniaga pertanian merupakan salah satu alat untuk mengetahui keunggulan suatu usahatani dan tataniaga komoditas pertanian. Analisis usahatani, terdiri atas analisis penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani padi pandanwangi. Analisis tataniaga meliputi analisis fungsi, efisiensi, lembaga, saluran dan marjin tataniaga. Melalui kedua analisis tersebut, dapat digambarkan dimana letak keunggulan padi pandanwangi. Lembar kuisioner
3
analisis usahatani diiisi oleh petani pemilik dan penggarap. Hal tersebut berdasarkan pemilihan petani yang membudidayakan padi pandan wangi yang bersifat purpossive (sengaja). Wawancara terhadap petugas dari dinas pertanian, petugas ppl dan pengurus kelompok tani juga dilakukan, hal tersebut dikarenakan penelitian ini menggunakan metode participatory action riset. Hasil analisis usahatani menunjukkan pendapatan yang dihasilkan oleh petani pemilik jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan petani penggarap. Hal itu dapat dilihat dari besarnya rasio R per C atas biaya tunai maupun atas biaya total petani pemilik (2,42 dan 1,19) dari petani penggarap (1,07 dan 1,08). Berdasarkan analisis pendapatan, penerimaan dan rasio R per C atas biaya tunai dan atas biaya total, usahatani yang dilakukan oleh kedua jenis strata yaitu petani pemilik penggarap dan penggarap masih menguntungkan karena R per C rasionya lebih besar dari satu. Pendapatan petani (pemilik dan penggarap) masih dapat ditingkatkan lagi karena dalam berusahatani petani masih belum dapat memksimalkan teknik budidaya yang lebih efisien. Hasil analisis tataniaga yang dilakukan adalah (1) Saluran tataniaga yang terbentuk dilokasi penelitian memasarkan beras pandanwangi murni dan beras pandanwangi campuran. Jumlah saluran yang memasarkan beras pandanwangi campuran (10 saluran) lebih banyak dibanding dengan yang murni (6 saluran). Analisis marjin tataniaga, biaya dan keuntungan tidak dilakukan pada saluran-saluran yang menjual beras pandanwangi campuran tidak dilakukan. Alasannya adalah beras pandanwangi campuran yang diperjualbelikan tidak dapat diasumsikan merupakan beras campuran yang memiliki perbandingan dalam jumlah yang sama, diantara lembaga-lembaga terkait dalam proses pengolahan dan pengemasannya. (2) Lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyaluran beras dan tingkat petani hingga konsumen akhir adalah pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan luar daerah, pasar swalayan dan pedagang pengecer daerah dan luar daerah. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut berupa fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi pengadaan secara fisik (penyimpanan, pengolahan, pengangkutan) serta fungsi pelancar (sortasi dan grading). (3) sebaran nilai marjin saluran tataniaga beras pandanwangi murni jenis super dan kepala, yaitu dari 46,48 persen hingga 58,04 persen. Saluran E2 memiliki persentase nilai marjin beras jenis super yang terkecil. Dengan demikian, maka saluran E2 adalah saluran yang lebih efisien bagi konsumen beras jenis super. Saluran A merupakan saluran beras jenis super yang paling efisien bagi penjual. Hal ini dikarenakan saluran A mempunyai biaya terkecil dan total keuntungan terbesar untuk beras jenis super dengan nilai persentase sebesar 13,12 dan 43,41.Untuk beras pandanwangi jenis kepala, saluran E1 merupakan saluran yang efisien bagi konsumen beras pandanwangi jenis kepala dengan nilai marjin tataniaga sebesar 48,93 persen. Nilai keuntungan saluran D1 sebesar 17,67 persen membuat dari harga konsumen membuat saluran ini efisien bagi penjual. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki segi usahatani maupun tataniaga pandan wangi. Pertama, petani padi pandan wangi harus membuka diri untuk menerima dan mencari masukan dari pihak luar (instansi terkait dan pemerintah) terutama tentang teknik budidaya yang efisien dan efektif, tujuannya agar dapat menghemat biaya tunai yang dikeluarkan. Kedua, pemerintah harus menggalakkan dan mengembangkan kembali pembentukan
4
kelompok tani dengan jalinan mitra usaha antar petani (dalam hal ini kelompok tani) dengan salah satu pedagang besar. Setelah itu, pemerintah daerah harus memberikan rangsangan berupa penghargaan dan hadiah kepada petani/kelompok tani/gabungan kelompok tani yang berprestasi dalam berusahatani padi pandan wangi baik dari aspek budidaya dan tataniaganya, sehingga banyak petani yang ingin berusahatani pandan wangi. Ketiga, Pihak pemerintah harus mendorong para petani yang sudah tergabung dalam suatu kelompok tani dan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga, sehingga dapat meningkatkan nilai jual produknya.
5
Judul : Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi Varietas Unggul (Studi Kasus Beras Pandan Wangi di Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur) Nama : Prima Gandhi
NRP : A14104052
Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Dr.Ir. Heny. K. Daryanto, M.Ec NIP 131 578 790
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan :
6
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI
KASUS
BERAS
WARUNGKONDANG
PANDAN
KABUPATEN
WANGI
CIANJUR)”
DI
KECAMATAN
ADALAH
KARYA
SENDIRI DAN BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA PERGURUAN
TINGGI
MANAPUN,
SUMBER
INFORMASI
YANG
BERASAL ATAU DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN MAUPUN TIDAK DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM BENTUK DAFTAR PUSTAKA DI BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.
Bogor,September2008
Prima Gandhi A14104052
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 April 1986. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Edison Muchtar dan Ibu Yenita. Penulis mengawali jenjang pendidikan di Taman Kanak-kanak Al-Irsyad, Bekasi pada tahun 1989, kemudian pada tahun 1990 penulis langsung melanjutkan ke SD Tunas Jaka Sampurna, Bekasi. Tahun 1996 penulis melanjutkan ke SMPN 214 Jakarta. Pada Tahun 2004, penulis lulus dari SMAN 3 Jakarta dan lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian. Semasa kuliah penulis cukup aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan. Penulis aktif telibat dalam kepanitiaan maupun organisasi kemahasiswaan intra kampus dan ekstra kampus. Pada tingkat satu penulis aktif sebagai staff komisi advokasi DPM TPB IPB (2004-2005). Kemudian penulis pernah aktif di organisasi peminat ilmu sosial ekonomi pertanian (MISETA) IPB di departemen PSDM (2005-2006). Penulispun aktif pada organisasi ekstra kampus yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Penulis mendapat amanah sebagai Ketua Umum HMI Komisariat Faperta
IPB periode 2007-2008. Penulis juga aktif
menulis artikel kepemudaan di beberapa media nasional.
8
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada program studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Propinsi Jawa Barat memegang peranan penting dalam produksi beras Indonesia. Salah satu daerah sentra produksi beras di Jawa Barat adalah Kabupaten Cianjur. Jenis beras yang dihasilkan petani di Kabupaten Cianjur adalah beras varietas unggul nasional IR 64 dan varietas unggul lokal spesifik pandanwangi. Saat ini beras pandan wangi murni sudah sulit ditemui di pasaran. Penyebabnya adalah karena sedikit petani yang menanam jenis padi pandanwangi dan adanya beras pandanwangi campuran. Penggiatan kembali usahatani dan perbaikan sistem tataniaga pandanwangi harus segera dilakukan masyarakat dan pemerintah. Tujuannya untuk menjaga kelestarian jenis plasma nuftah asli Indonesia yang hanya terdapat di Kabupaten Cianjur ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan sehingga diperlukan saran untuk perbaikan agar menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat memberikan mamfaat dan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan. Bogor, September 2008
Penulis
9
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan berkat dan rahmat-NYA, skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis haturkan terimakasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu banyak dalam penulisan tugas akhir untuk menyelesaikan pendidikan sarjana ini. 1. Dosen Pembimbing Skripsi, Dr. Ir. Heny K. S. Daryanto, M.Ec. Terimakasih atas kesabaran Ibu, dalam membimbing bagaimana cara menulis serta dalam memberikan banyak ide, kritik dan saran yang membangun. 2. Dosen Penguji Utama, Dr. Ir. Ratna Winandi, MS. Terimakasih atas kesediaan waktu Ibu untuk menguji serta memberikan ide, kritik dan saran yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Dosen Penguji Komisi Pendidikan, Rahmat Yanuar, S.P, M.si. Terimakasih atas kesediaan waktu Bapak untuk menguji serta memberikan ide, kritik dan saran yang sangat membangun. 4. Petugas
PPL
dan
Ketua
Kelompok
Tani
Pandan
Wangi
di
Warungkondang: Bapak Machpudin, Bapak Entus, Bapak H.Mansyur, Ibu. H. Mansyur dan Bapak H Pepen. 5. Pedagang Beras Pandan Wangi di Cianjur Yaitu, Bapak Iwan, Bapak Handoyo, Bapak Rais, Bapak Yitno dan Ibu Roro. 6. Dosen Pembimbing Akademik, Dr. Ir. Heny K. S. Daryanto, M.Ec. Terimakasih atas bimbingannya selama 5 semester. 7. Ayah dan Ibu Tercinta. Terimakasih untuk semua, limpahan kasih sayang, motivasi dan doanya. 8. Adik-adikku Ilham Septiawan dan Arya Tama. Terimakasih atas atas support dan doanya. 9. Semua Uni, Uda, Tante dan Om, terimakasih atas support dan bantuan lainnya. 10. Teman-teman sekelas Manajemen Agribisnis angkatan 41. Terima kasih tas
10
11. Teman-teman sepermainanku: Aulia N (AGB), Herikson (AGB), Guntur (AGR), Satria (TIN), Beng-Beng (TIN), Wahyu (AGR), Didit (HPT) dan teman-teman lainnya. 12. Teman-teman seperjuangan selama KKP di Desa Bumi Jawa Tegal: Semoga sukses untuk kita semua di masa mendatang. 13. Teman satu bimbingan skripsi : Ariani Dian, Mitha, Reni, Laura dan Viona. 14. Kanda/Yunda, Teman-teman dan Adinda di HMI Komisariat Fakultas Pertanian IPB ( Kanda Yeka, Kanda Adi, Bang Aliansyah, Bang Ian, Bang Laso, Bang Dika, Fandy, Dina, Siri, Nuy, Mirza, Galih, Andri, Indri, dan semua keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Pertanian IPB) 15. Bang Karim, Bang Dila, Bang Sofyan, Bang Sultan dan Abang-abang lainnya,
Syahril
Ilhami
terima
kasih
atas
semangat
dan
ilmu
pengetahunanya selama ini. 16. Rekan C1-001, SOSEK 41, PONDOK IONA, DPM TPB 2004-2005 dan MISETA. Terimakasih atas persahabatan yang tak ternilai selama di IPB. 17. Mbak Dewi, Mbak Dian, Teh Ida, Pak Yusuf. Terimakasih banyak atas kerjasamanya membantu penulis selama perkuliahan, seminar dan sidang.
11
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sistem ketahanan pangan merupakan persoalan tentang penyediaan bahan
pangan pokok dalam dimensi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu bagi seluruh masyarakat. Dalam bahasa ekonomi masalah ketahanan pangan menyangkut persoalan ekonomi produksi, distribusi dan konsumsi. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia. Dengan jumlah 205 juta jiwa penduduk Indonesia memerlukan pangsa energi dan protein sebanyak 55 persen (Saragih,2002). Makanan alternatif lainnya belum mampu menggantikan beras. Oleh karena itu beras bisa dikatakan sebagai makanan pokok bangsa Indonesia dengan permintaan di pasaran mencapai 139 kg per kapita per tahun (BPS, 2006). Indonesia berhasil berswasembada beras pada tahun 1984. Saat itu ketersediaan beras nasional mencapai lebih dari 25,90 juta ton. Akan tetapi, setelah dua dasawarsa ketersediaan beras nasional hanya mampu memenuhi 90 persen kebutuhan nasional. Agar stok beras nasional tetap terjamin pemerintah melalui Bulog melakukan impor (Malian, 2001). Ketersediaan beras dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan beras adalah luas areal panen (usahatani), produksi beras atau gabah, dan jumlah penduduk. Berikut ini disampaikan risalah perkembangan keragaan produksi padi di Indonesia dan perkembangan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1971 sampai 2008.
12
Tabel 1. Perkembangan Jumlah Penduduk dan Produksi Padi Indonesia 19712008
Tahun
Jumlah Penduduk (orang)
Luas Lahan Panen (Ha)
Laju Laju Laju Laju Pertumbuhan Peningkatan Produksi Padi Produktifitas Pertumbuhan Pertumbuhan Produksi Padi Per Produktifitas Penduduk Per Luas Panen (Ton/GKP) (Ku/Ha) Padi Per tahun Tahun (%) Tahun (%) Per Tahun (%) (%)
1971
119.208.229 8.324.322
20.483.687
24,61
1980
147.490.298 9.005.065
29.651.905
32,93
2,64
0,91
4,97
3,76
1990
179.378.946
10.502.357
45.178.751
43,02
2,16
1,66
5,24
3,06
1995
194.754.808
11.438.764
49.744.140
43,49
1,71
1,78
2,02
0,22
2000
205.132.458
11.793.475
51.898.852
44,01
1,07
0,62
0,87
0,24
2005
218.868.791
11.839.060
54.151.097
45,74
1,34
0,08
0,87
0,79
2006
222.051.300
11.786.430
54.454.937
46,02
1,45
0,04
0,56
1,01
2007
224.904.900
12.124.827
57.051.679
47,05
1,29
2,87
4,77
1,84
2008
227.779.100
12.299.391
58.268.796
47,38
1,28
1,44
2,13
0,68
Sumber : Bappenas, UNDP dan Deptan (Diolah) Keterangan : 1. Jumlah penduduk diatas tahun 2000, merupakan data proyeksi 2. Produksi padi tahun 2008, merupakan angka ramalan Deptan 3. Produktivitas = Produksi Padi per Luas Lahan Panen Tabel 1 diatas menerangkan bahwa; Pertama, penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan yang relatif berbeda untuk setiap periodenya. Selama kurun 1971-1990 laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,40 persen per tahun. Laju pertumbuhan pada periode 1990-2008 menurun menjadi 2 persen per tahun. Selama periode 2005-2008 laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,34 persen. Kedua, Pemerintah sudah berupaya dalam meningkatkan produksi beras nasional melalui upaya peningkatan areal panen dan berbagai upaya peningkatan produktivitas padi. Laju peningkatan pertambahan areal panen pada periode 1971-2008 sebesar 1,29 persen per tahun. Laju peningkatan produksi periode 1971-2008 sebesar 4,98 persen per tahun. Pada era tahun 1980-an laju peningkatan produksi relatif besar dan sempat mengalami stagnasi pada periode 1990-an. Melalui berbagai upaya peningkatan produksi, di
13
tahun 2007 produksi padi mengalami peningkatan yang cukup besar. Ketiga mencermati angka-angka laju pertumbuhan masing-masing indikator terlihat bahwa dari tahun 1995, laju peningkatan luas areal panen dan laju peningkatan produksi selalu dibawah laju peningkatan penduduk, terkecuali pada tahun 2007 dan 2008. Hal ini menandakan adanya upaya dalam memecahkan stagnasi pertumbuhan produksi padi di Indonesia. Produksi padi di Indonesia cenderung stabil. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2001 menunjukkan angka produksi padi hanya mencapai 50,46 juta Ton gabah kering giling (GKG) atau menurun sekitar 1,44 juta ton GKG (2,77 persen). Apabila angka tersebut dibandingkan dengan produksi tahun 2000 yang mencapai 51,90 juta ton GKG, maka produksi tahun 2002 meningkat sebesar 0,75 persen atau sebesar 50,84 juta ton GKG dibandingkan tahun 2001. Dalam kurun waktu 1984-2002 oleh Badan Pusat Statistik luas panen, produksi dan produktivitas padi di Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 2. Penyebab menurunnya produksi adalah (i) tidak ditemukannya teknologi yang tepat untuk mengolah lahan di luar Pulau Jawa; (ii) tidak adanya diversifikasi teknologi pangan; serta (iii) meningkatnya populasi penduduk di Indonesia (pada Tabel 1). Tingkat produksi dan produktivitas padi nasional mengalami peningkatan dari tahun 1971 sampai 2008. Akan tetapi laju pertumbuhan produksi padi dan laju peningkatan produktivitas padi setiap tahunnya berfluktuasi (Tabel 1). Hal itu disebabkan oleh berkurangnya luas areal panen. Peningkatan produksi padi di Indonesia belum mampu mencukupi permintaan
kebutuhan
masyarakat dalam negeri.
Akibatnya pemerintah
mengimpor beras dari luar negeri. Nilai volume impor beras Indonesia dalam
14
kurun waktu 1997-2002 cenderung fluktuatif kecuali tahun 1998 saat puncak krisis ekonomi. Pada tahun 2004-2006 nilai volume impor beraspun berfluktuatif tetapi terjadi penurunan yang signifikan nilai impor tahun 2004-2006 dibanding tahun 1997-2002. Peningkatan impor beras pada kurun waktu 1997-2002 juga disebabkan oleh penurunan produksi beras akibat berkurangnya luas panen yang disebabkan adanya konversi lahan, yang menurunkan luas panen sehingga produktivitas menurun dari tahun sebelumnya. Selain itu faktor alam seperti El Nino, kekeringan, perubahan iklim serta cuaca dalam kurun waktu 2003 dan 2004 juga ikut mempengaruhi produksi dan produktivitas. Perkembangan impor beras Indonesia sejak tahun 1997-2006 di sajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan Impor Beras di Indonesia Tahun 1997-2006 Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Jumlah (Ton) 406.000 5.765.000 4.183.000 1.153.000 1.423.000 1.113.000 659.000 459.000 304.000 210.000
Sumber : Andi Irawan, 2007 Besarnya volume impor beras menimbulkan berbagai pro-kontra di kalangan masyarakat. Volume impor beras menimbulkan masalah bagi petani padi di Indonesia, karena ketidakmampuan bersaing dalam permasalah harga. Harga beras impor cenderung lebih murah dibandingkan dengan harga beras lokal yang memiliki mutu dan kualitas yang hampir sama. Harga beras impor di Pasar Induk Cipinang (PIC) Jakarta berkisar Rp. 2.900 sampai Rp. 3.200 per kg. Harga
15
tersebut lebih rendah dibandingkan beras lokal dari petani dengan kualitas standar termurah yang harga jualnya paling murah berkisar antara Rp. 3.500 dan Rp. 3.600 per kg. Dampaknya petani lokal merugi karena harga mereka tidak ekonomis dibandingkan dengan beras impor (Andi Irawan,2007). Konsumen lebih memilih beras impor karena harganya lebih murah dengan kualitas yang tidak berbeda. Hal ini menyebabkan penurunan pendapatan petani padi. Selain itu penyebab penurunan pendapatan petani adalah tingginya ongkos produksi yang dikeluarkan petani berupa biaya pengolahan lahan (tanah), penyediaan sarana produksi pertanian (saprotan), biaya input pertanian (seperti pupuk,benih dan lain-lain), biaya transportasi dan biaya-biaya yang lainnya mengalami kenaikan. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan usahatani petani padi.
1.2
Perumusan Masalah Dalam rangka pemenuhan pangan penduduk Indonesia yang jumlahnya
terus meningkat, produksi beras dari Pulau Jawa masih diandalkan oleh pemerintah. Pulau Jawa memegang peranan penting dalam produksi beras, dengan produksi sekitar 56 persen, selebihnya 22 persen di Pulau Sumatera, 10 persen di Pulau Sulawesi dan 5 persen di Pulau Kalimantan. Di perkirakan beberapa tahun kedepan Pulau Jawa tetap akan menjadi produsen utama beras di Indonesia. Pemerintah tetap mengandalkan Pulau Jawa sebagai produsen beras utama di Indonesia. Propinsi Jawa Barat yang terletak di Pulau Jawa terus meningkatkan produksi beras, minimal untuk memenuhi kebutuhan beras bagi penduduknya sendiri. Peningkatan produksi beras di Jawa Barat dimulai dengan usaha peningkatan luas panen (ekstensifikasi) yang menghasilkan
kenaikan sebesar
16
3,99 persen. Hal ini harus diikuti oleh peningkatan mutu yang baik sebab saat ini peningkatan mutu (intensifikasi) padi belum mendapat perhatian serius karena penurunan produksi padi di Jawa barat rata-rata 0,37 persen per tahunnya (Dinas Perkebunan dan Hortikultura, 2006). Ketersedian pangan di Jawa Barat masih ditopang oleh produksi sendiri, cadangan masyarakat dan impor. Ada beberapa daerah lumbung padi (daerah penghasil padi utama di propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Cianjur termasuk salah satu diantaranya. Kabupaten
Cianjur
merupakan
daerah
agraris
yang
flatform
pembangunannya bertumpu pada sektor pertanian. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan Kabupaten Cianjur menjadi salah satu daerah di Jawa Barat yang berswasembada padi. Dengan jumlah produksi padi per tahun sekitar 625.000 ton, kabupaten ini masih memperoleh surplus padi (surplus bersih) sekitar 40 persen per tahunnya setelah dikurangi kebutuhan konsumsi lokal dan benih (Dinas Pertanian Kab. Cianjur, 2006) Produksi pertanian padi terdapat di seluruh wilayah Kabupaten Cianjur, akan tetapi dalam menghasilkan produk hasilnya masih berfluktuasi setiap tahunnya (Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa sebelum krisis ekonomi di tahun 1997, produksi padi sawah sudah mulai mengalami penurunan (19951996). Hal ini disebabkan oleh jumlah lahan yang ditanami dan luas lahan yang dipanen, keduanya sama-sama mengalami penurunan. Keberhasilan panen raya, pengendalian hama, irigasi dan pemupukan yang lebih baik (intensifikasi pertanian yang optimal) menjadi faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi. Produksi padi di Kabupaten Cianjur mengalami penurunan yang drastis
17
saat terjadinya puncak krisis ekonomi. Hal ini mengakibatkan inflasi yang tinggi, sehingga berdampak terhadap kenaikan semua barang dan jasa. Tabel 3. Perbandingan Keadaan Tanaman Padi Sawah Tahun 1995-2001 di Daerah Kabupaten Tingkat II Cianjur Tahun Luas Tanam (Ha) Luas Panen (Ha) Produksi Bruto (Ton) 1995 114,923 104,630 664,601 1996 107,338 104,430 646,568 1997 102,550 86,846 630,175 1998 128,358 111,021 659,499 1999 116,326 113,948 678,104 2000 110,091 109,430 661,757 2001 109,710 107,430 659,906
Produktivitas (Kw/Ha) 63,52 61,91 72,56 59,40 59,51 60,11 60,15
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur Tahun 1997-2002 Kenaikan harga faktor-faktor input pertanian seperti benih padi, pupuk dan alat-alat produksi (Saprodi) pertanian, menyebabkan sebagian besar petani di Kabupaten Cianjur tidak bisa mengolah lahannya. Hal ini disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu : terbatasnya modal petani dalam mengolah usahataninya dan penerimaan (income) petani lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkannya (outcome). Penurunan luas lahan di Kabupaten Cianjur ternyata berbanding lurus dengan penurunan luas panen yang mempengaruhi penurunan jumlah produksi padi. Penyebabnya tidak berbeda jauh dengan kondisi umum pertanian di Indonesia, yaitu maraknya konversi lahan menjadi perumahan ataupun dijadikan daerah industri. Dampaknya adalah lahan yang ditanami padi di daerah Cianjur menjadi berkurang. Hal ini merupakan bukti nyata dari neoliberalisme di Indonesia yang terbukti menumpas kehidupan petani. Tabel 3
juga menunjukkan bahwa produksi padi sawah mengalami
peningkatan yang cukup baik hingga tahun 1999 (dari 630,175 ton tahun 1997
18
menjadi 678,104 ton pada tahun 1999). Peningkatan produksi pasca krisis terjadi karena sebagian besar petani menanami kembali lahannya (kecuali tahun 1999 luas lahan yang di tanam menurun dibanding tahun sebelumnya). Namun peningkatan jumlah produksi tersebut tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas. Angka produktivitas hingga tahun 1999 menurun dibandingkan tahun 1997 (dari 61,45 Kw per Ha menjadi 59,51 Kw per Ha). Hal itu menunjukan keberhasilan panen tidak merata di semua wilayah Cianjur. Peningkatan jumlah produksi pasca krisis ekonomi tidak berlangsung lama, yakni hanya tahun 1998 dan 1999. Tampak pada Tabel 3 bahwa pada tahun 2000 hingga 2001 produksi padi sawah menurun kembali. Penyebabnya adalah karena luas lahan tanam dan luas panen mengalami penurunan. Sebagian besar petani di Kabupaten Cianjur menanami padi varietas unggul nasional IR 64 dan varietas unggul lokal spesifik (Tabel 4) yaitu pandanwangi. Tabel 4 menunjukan varietas-varietas yang ditanam oleh petani padi di Kabupaten Cianjur. Secara khusus Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur menetapkan padi varietas pandanwangi menjadi komoditas unggulan utama hasil pertanian di samping tanaman Palawija, sayuran, buah-buahan dan tanaman hias. Pemerintah Kabupaten Cianjur yang diwakili oleh Dinas Pertanian beserta jajarannya, menggalakan kembali pembentukan kelompok petani khusus untuk padi pandanwangi. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan produksi padi pandanwangi sebagai komoditas unggulan daerah Cianjur dan mempermudah komunikasi berupa transfer informasi teknologi pertanian antara petani dengan pemerintah (petugas penyuluhan pertanian, petugas Pertanian dan
dinas dari Departemen
peneliti dari instansi pendidikan pertanian). Pembentukan
19
kelompok tani ini diharapkan dapat memecahkan pelbagai permasalahan yang terjadi ditingkat petani seperti masalah dalam hal pembudidayaan (usahatani) dan tataniaganya (pemasarannya). Tabel 4. Realisasi Penyebaran Varietas Padi Masa Tanam : Bulan September 2001 S per D Bulan Februari 2002 Kabupaten per Kota : Cianjur No Varietas I Unggul Nasional 1.IR 64 2.Cisadane 3.Way seputih 4.Way Apo Buru 5.Cibodas 6.Cilamaya Muncul 7.Widas 8.Ciherang 9.Aromatik 10.Towuti II Varietas Lokal 1.Pandan Wangi 2.Tembleg 3.Cere 4.Hawara 5.Cingkrik 6.Boneng III Lain‐lain 1.BTN
Padi Sawah (Ha)
Padi Ladang (Ha)
Jumlah (Ha)
29.828 4.165 952 8.881 586 246 4.793 1.449 50 250
‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 521
29.828 4.165 952 8.881 586 246 4.793 1.449 50 771
14.939 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
‐ 6.559 2.359 2.845 167 389
14.939 6.559 2.359 2.845 167 389
1.075
4.445
5.52
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur (2003) Daerah-daerah penghasil padi pandanwangi sebagian besar merupakan daerah yang kaya akan air, sehingga jarang ditemui adanya permasalahan yang berkaitan dengan air dalam pembudidayaaannya. Padi jenis pandanwangi memiliki perbedaan dibandingkan dengan jenis padi lainnya. Perbedaaan tersebut adalah pada proses pembudidayaan hingga proses penangganan pasca panennya (penggolahan dari bentuk gabah menjadi beras). Umur tanaman yang lebih lama serta harganya yang mahal (dibandingkan jenis beras lainnya) mendorong terjadinya praktek pencampuran beras pandanwangi dengan beras lain yang
20
memiliki bentuk dan tekstur serupa, sehingga beras yang beredar di pasaran sebagian besar merupakan beras pandanwangi campuran. Pola tataniaga beras pandan wangi dari tingkat petani hingga konsumen akhir melalui berbagai lembaga tataniaga yang terlibat dalam suatu saluran tataniaga. Banyaknya mata rantai saluran tataniaga dari tingkat petani hingga konsumen akhir menyebabkan besarnya perbedaan harga produk yang diterima oleh petani dan harga produk yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Dalam hal ini petani sebagai produsen, cenderung untuk menjual gabah kepada lembaga tataniaga selanjutnya dari pada mengolahnya secara langsung. Semakin banyak lembaga yang terlibat dalam tataniaga beras, maka semakin besar nilai marjin tataniaga yang akan terjadi (Primas, 2008). Berdasarkan
permasalahan yang telah diuraikan di atas, perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana
penerimaan,
biaya
dan
pendapatan
usahatani
padi
pandanwangi yang diterima petani penggarap dan pemilik penggarap di lokasi penelitian. 2.
Bagaimana efisiensi dan marjin tataniaga padi pandanwangi di lokasi penelitian.
3.
Bagaimana struktur pasar dan fungsi tataniaga padi pandanwangi di lokasi penelitian.
21
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Menganalisis
penerimaan,
biaya
dan
pendapatan
usahatani
padi
pandanwangi yang diterima petani penggarap dan pemilik penggarap. 2.
Melihat efisiensi, dan marjin tataniaga komoditas padi pandanwangi di lokasi penelitian.
3.
Mengetahui struktur pasar dan fungsi tataniaga komoditas padi pandanwangi seperti lembaga dan saluran tataniaga, farmer share, rasio keuntungan dan biaya tataniaga di lokasi penelitian.
1.4
Manfaat Penelitian Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini
diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi dalam hal usahatani dan tataniaga beras varietas unggul khususnya komoditi beras (pandanwangi), terutama bagi instansi terkait seperti Pemerintah Daerah Tingkat II Cianjur beserta Dinas Pertaniannya dalam rangka mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi produksi beras pandanwangi sebagai varietas unggul daerah serta memperbaiki sistem tataniaga yang selama ini dilakukan. Bagi penulis penelitian ini merupakan sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama di bangku kuliah, serta sebagai syarat dalam menyelesaikan studi di bangku kuliah. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi penelitian berikutnya yang berkaitan dengan usahatani dan tataniaga beras.
22
1.5
Ruang Lingkup penelitian Penelitian ini dibatasi oleh:
1. Produk yang diteliti adalah Beras Pandan Wangi, yang difokuskan pada beras pandan wangi jenis super dan kepala 2. Objek Penelitian adalah petani dan pedagang beras (lembaga tataniaga) pandanwangi di kabupaten Cianjur yang berjumlah 30 responden dan 24 pedagang yang berdagang di Kabupaten Cianjur, Kota Cianjur, Kota Bogor dll.
23
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Gambaran Umum Komoditas Beras Beras yang berasal dari Padi (Oryza Sativa Sp) merupakan bahan makanan
pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Rata-rata konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah 290 gr per kapita per hari (Susenas, 2002). Beras memiliki rasa yang enak, sesuai dengan selera masyarakat Indonesia umumnya serta memiliki kandungan gizi (kalori dan protein) yang jauh lebih tinggi dibanding komoditas yang lainnya (seperti jagung, ketela, kentang dan sagu). Beras termasuk komoditas pertanian strategis, karena ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia saat ini bertumpu pada produksi beras dengan jumlah yang sesuai konsumsi nasional, harga terjangkau dan bergizi tinggi. Untuk itu pemenuhan kebutuhan pokok ini tergantung pada produksi beras dalam negeri. Apabila terjadi kekurangan stok beras nasional akibat kurangnya produksi dalam negeri, pemecahan yang selalu dilakukan pemerintah adalah dengan cara mengimpor beras dari luar negeri.
2.2
Gambaran Beras pandanwangi Pandanwangi adalah beras khas Cianjur yang berasal dari padi bulu
varietas unggul lokal Javanica. Aroma yang dimiliki oleh padi dan beras ini adalah aroma daun pandan, maka sejak tahun 1973 padi ini dikenal dengan sebutan “pandanwangi”. Deskripsi padi pandanwangi antara lain; Varietas unggul lokal ini ditanam di dataran sedang dengan ketinggian sekitar 700 m di atas permukaan laut, umur tanaman 150-160 hari, tinggi tanaman 150 – 170 cm, bentuk gabah (endosperm) bulat atau gemuk berperut, berbulu, tahan rontok, berat
24
1.000 butir gabah adalah 30 gr, beraroma daun pandan, kadar amilose 26 persen dan potensi hasil 6-7 Ton per Ha malai kering pungut. Jenis padi varietas lokal asli Cianjur ini secara terbatas di tanam pada areal pesawahan di Kecamatan Warung Kondang, Cugenang, Cianjur dan sekitarnya dengan ketinggian 700 meter dari permukaan laut. Termasuk varietas Javanika (varietas unggul) atau padi bulu dengan ciri-ciri tinggi tanaman rata-rata diatas 1 meter, tidak tahan rebah, umur panjang (panen 2 kali setahun) dan kurang respon terhadap pemupukan. Ciri-ciri lainnya adalah tidak tahan terhadap virus kerdil, rumput dan tungro, rasanya beras enak, wangi dan tidak basi sehingga harga beras jenis ini cukup mahal. Keunikannya apabila padi ini ditanam di luar daerah setra produksinya di Cianjur, maka rasanya berbeda dan aroma pandannya tidak muncul (Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur,2002). Daerah-daerah sentra produksi padi pandanwangi di Kabupaten Cianjur tertera pada Tabel 5. Tabel 5. Daerah Sentra Produksi padi pandanwangi di Kabupaten Cianjur Tahun 2002 Kecamatan
Jumlah Jumlah Jumlah Kelompok Luas Sawah Anggota Petani Tani (Ha) (Orang) P.Wangi
Total Produksi (Ton)
Dikonsumsi (Ton)
Dijual (Ton)
Wr.Kondang
28
2,597
2,985
760
6,298
348
5,950
Cibeber
20
818
3,200
351
2,080
216
1,864
Cugenang
14
912
2,174
357
1,874
468
1,406
Cilaku
31
412
2,574
210
1,472
143
1,329
Cianjur
14
494
1,206
183
1,088
187
901
Campaka
2
40
2,800
15
88
12
76
Jumlah
78
4,870
14,939
1,876
12,901
1,374
11,527
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur 2002 Menurut laporan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2001), beras pandanwangi mengandung berbagai macam zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh,
25
diantaranya protein, lemak, gula pereduksi, zat besi (Fe), zat tembaga (Cu) dan kalori. Persentase kadar gula pereduksi lebih besar dibandingkan dengan kadar protein dan lemak (Tabel 6). Teknik usahatani padi pandanwangi hampir sama dengan menanam padi varietas lokal lainnya. Langkah pertama adalah persiapan pengolahan tanah dimulai dengan pembabatan jerami, pembuatan saluran air sepanjang pematang dan perbaikan pematang yang dikerjakan dengan menggunakan cangkul dan arit. Kemudian langkah pengolahan tanah dapat dilakukan dengan mengunakan tenaga manusia, hewan ataupun mesin. Alat yang biasa digunakan adalah bajak, garu, papan perata tanah, singkal dan rotari. Langkah berikutnya adalah membuat persemaian dan pemupukan persemaian. Persemaian dibuat pada bagian sawah yang airnya terjamin terhindar dari banjir pada waktu hujan serta terhindar dari gangguan ternak peliharaan. Luas lahan persemaian perhektar antara 450-500 meter persegi. Proses ini dikerjakan dengan tenaga manusia dan mengunakan cangkul. Setelah itu proses selanjutnya adalah pembenihan dan perlakuan benih. Benih yang baik adalah benih hasil pemurnian pertumbuhan di lapangan (sawah). Benih yang diperlukan dalam satu hektar sawah adalah 30-40 kg.Waktu yang diperlukan dalam penyemaian sehingga menjadi malai antara 160-180 hari. Setelah berbentuk malai barulah dilakukan persiapan tanam. Proses persiapan tanam meliputi : (1) Meratakan dan menggaris, (2) Mencabut bibit dan menanam. Dalam proses tersebut alat yang digunakan adalah alat caplakan, tali, golok dan koran, sebagai alat pengangkut bibit digunakan tangkai merang padi. Tenaga yang digunakan adalah tenaga kerja manusia. Proses selanjutnya adalah pemupukan. Dosis dan jenis pupuk kimia per hektar yang dianjurkan adalah 150-200 kg Urea,
26
SP 36 100-150 kg, KCl 50-75 kg. Apabila mengunakan pupuk organik maka bahan organik yang digunakan adalah feces atau urine hewan baik unggas maupun hewan ternak domba, kambing atau sapi, sampah organik dapur berupa sisa-sisa sayuran, abu hawu dan sampah dapur organik lainnya, sisa tanaman padi (jerami), pohon pisang serta rumput-rumputan. Dosis pupuk organik yang diberikan cukup 4-6 ton per hektarnya. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah pengendalian hama dan penyakit padi pandanwangi. Hama yang dominan menyerang tanaman padi adalah tikus, keong mas, walang sangit, hama putih dan Ulat Grayak. Sedangkan penyakit yang banyak menyerang adalah Balst, Tungro. Untuk menanggulanginya biasanya digunakan pestisida sesuai dengan hama atau penyakit yang diderita. Kemudian penyiangan dan sanitasi serta pengaturan air di sawah (irigasi) adalah hal yang harus dilakukan sebelum panen. Panen padi pandanwangi di panen sekitar 145-155 hari setelah tanam atau 160-190 hari semai. Alat yang digunakan adalah ani-ani. Setelah padi dipanen
dilakukan
proses penjemuran secara bertahap 3-4 hari. Dari segi tataniaganya beras pandanwangi banyak dijual di toko-toko dan kios-kios beras di sekitar Kota Cianjur yang dijajakan dalam berbagai ukuran kemasan mulai dari 5 kg sampai dengan 50 kg dengan berbagai grade dan kualitas, diantaranya beras super, beras kepala ( I dan II). Harga beras di pasaran pun tergantung dari kualitasnya.
27
Tabel 6. Kandungan Zat Gizi Beras pandanwangi per 100 gram No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Parameter Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Gula Pereduksi Fe Cu Kalori
Satuan % % % Ppm Ppm kg/g
Hasil 8,97 0,32 63,39 4,65 6,42 14,81
Sumber : Institut Pertanian Bogor (IPB) (2001) Selain pandanwangi, petani di Kabupaten Cianjur juga menanam padi varietas IR 64, Cisadane, Way seputih, Way Apo Buru, Cibodas, Cilamaya Muncul, Widas, Ciherang, Aromatik, Towuti, Tambleg, Cere, Hawara, Cingkrik, Boneng dan BTN. Jenis padi non lokal yang banyak ditanam oleh petani adalah IR 64. Pemerintah mengenalkan jenis padi non lokal pertama kali melalui Program Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW). Berbeda dengan padi pandanwangi, penanaman padi IR 64 menyebar diseluruh daerah Kabupaten Cianjur. Hal itu terlihat dari realisasi penyebaran padi ini pada masa tanam periode September 2001 sampai dengan Februari 2002 yang mencapai 29,828 Ha. Perkiraan hasil potensial padi varietas ini mencapai 5-7 Ton per Ha dalam satu kali panen.
2.3
Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian Satria (1995), yang bertujuan menelaah masalah perberasan
pasca swasembada di Indonesia, perkembangan konsep dan pemikiran tentang kebijakan
perberasan,
dampak
berbagai
kebijakan
perberasan
terhadap
kesejahteraan petani serta masalah perberasan di Indonesia dalam menghadapi pasar global. Berdasarkan penelitian tersebut, dalam tataniaga beras terdapat berbagai lembaga tataniaga, seperti; pedagang, penggiling, KUD dan Dolog.
28
Shaffreddie (1998) mengkaji perkembangan produksi di Indonesia dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya; mengkaji perkembangan konsumsi beras di Indonesia untuk keperluar konsumsi rumah tangga, non rumah tangga dan kegiatan ekspor-impor, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya; mengkaji pola tataniaga beras di Indonesia dan lembaga tataniaga yang terlibat di dalamnya; serta mengkaji peranan BULOG dalam pengadaan, penyaluran, dan penyediaan cadangan beras nasional. Wijaya (2002) dengan tujuan penelitiannya untuk mengetahui keragaan usahatani padi input rendah di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, membandingkan pendapatan dan kelayakan usahatani padi input rendah terhadap usahatani padi input tinggi atau konvensional; dan mengetahui level efisien penggunaan faktor produksi pada usahatani padi input rendah. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pendapatan kotor dan pendapatan bersih usahatani petani input rendah pemilik lebih besar dibandingkan dengan petani input rendah penggarap. Begitu pula pendapatan kotor dan pendapatan bersih petani konvensional pemilik lebih tinggi dibanding petani konvensional penggarap. Wijaya menyatakan bahwa usahatani padi input rendah berada pada daerah produksi yang rasional, namun penggunan faktor produksinya belum mencapai level efisien. Hal ini dilihat dari rasio VMPx per Px masing-masing faktor produksi yang lebih besar atau lebih kecil dari satu. Andrida (1993) mengunakan Index of Market Connection (IMC) sebagai alat analisis untuk melihat tingkat keterpaduan pasar antara pasar-pasar lokal di DKI Jakarta dengan Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Berdasarkan penelitian
29
tersebut diperoleh bahwa keterpaduan pasar dalam jangka pendek antara PIBC dengan pasar-pasar di wilayah DKI Jakarta untuk jenis IR dan Cisadane maupun gabungan keduanya terlihat sangat rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa pembentukan harga di pasar-pasar lokal hampir seluruhnya ditentukan oleh kondisi pasar itu sendiri, sehingga informasi harga yang ditentukan di pasar referensinya kurang berpengaruh. Penelitian Komara pada tahun 2000, yang bertujuan untuk mengetahui saluran tataniaga yang terdapat dalam tataniaga komoditas beras di Kabupaten Karawang, serta lembaga-lembaga apa saja yang terlibat di dalamnya, menganalisis marjin tataniaga diantara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga beras serta fungsi-fungsi yang dilakukan oleh Bulog atau Sub Dolog dan Non Bulog dilihat dari marjin tataniaga serta indeks keterpaduan pasarnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa saluran tataniaga beras memiliki banyak alternatif, diantaranya ditelusuri sebanyak dua belas saluran tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga itu adalah pedagang pengumpul, huller, pedagang besar daerah, pedagang besar luar daerah, pedagang pengecer, KUD serta Dolog. Dengan fungsi tataniaga yang dilakukan adalah fungsi pertukaran (pembeli dan penjualan), dan fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan, pengangkutan) serta fungsi fasilitas (standarisasi dan grading). Menurut Komara, semakin banyak penambahan fungsi tataniaga dan lembaga tataniaga yang terlibat akan menghasilkan biaya tataniaga yang semakin tinggi dan mempengaruhi marjin tataniaga yang terbentuk. Dari analisis marjin tataniaga dan penyebarannya, saluran tataniaga melalui Bulog lebih efisien dibandingkan dengan saluran tataniaga melalui KUD. Keterpaduan pasar baik
30
antara Pasar Induk Cipinang (PIC) dengan Bulog maupun dengan KUD Binamukti dalam jangka pendek masih rendah. Hal ini menunjukan pembentukan harga pada satu pihak tidak membawa pengaruh bagi pihak lain. Penelitian Syahroni (2001), bertujuan antara lain untuk menganalisis ; (1) mekanisme pasar oleh PIC (Pasar Induk Cipinang), (2) pangsa pasar beras PIC dan tingkat persediaan beras stabil yang perlu dipertahankan PIC dan, (3) keterpaduan pasar beras melalui Index of Market Connection (IMC) di DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, saluran tataniaga beras dari daerah hingga konsumen mempunyai enam alternatif pola. Pangsa PIC dalam distribusi beras untuk wilayah DKI pada tahun 1997 sebesar 57,21 persen dan pada tahun 1998 sebesar 55,56 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pasokan langsung dari daerah semakin lama semakin meningkat, tetapi juga ada indikasi masuknya pasokan beras dari daerah Lampung, karena fasilitas transportasi dari Lampung sama baiknya dengan Cirebon. Menurut Syahroni, jumlah beras yang harus disediakan di PIC adalah sebesar 1,784 ton per hari supaya stok beras terjamin. Dengan demikian perlu ada penambahan sekitar 208 Ton per hari dari kondisi tersebut. Dari data harga tahun 1999 yang dianalisisnya menunjukkan tidak adanya keterpaduan pasar antara pasar induk dengan pasar eceran, karena besaran koefisien IMC-nya semua lebih besar dari satu.
31
Tabel 7. Tabel Penelitian Tataniaga Terdahulu No
Nama
Tahun Penelitian
1
Nanang F
1998
2
Hermanto
1998
3
Bambang H
1999
4
Rinaldi
2002
5
Nanang S
2005
6
Hasniah
2005
7
Tita Tehyati
2005
8
Nursakinah
2006
9
Dwi Haryanto
2006
10
Diah Maharani
2007
Judul penelitian
Alat analisis
Hasil Penelitian
(1) Analisis efisiensi Analisis Efisiensi Sistem tataniaga mangga tidak efisien saluran tataniaga, (2) karena kecilnya nilai marjin pemasaran dan Tataniaga Mangga Marjin tataniaga Cangkir,Arumanis tidak adanya keterpaduan pasar dan Gedong di Indramayu (1) Analisis efisisensi orientasi pemasaran daerah penghasil Analisis Deskripsi saluran tataniaga, cabai adalah Pasar Induk Kramat jati Sistem Tataniaga (2)Marjin tataniaga Komoditas Cabai Merah di Tegal, Brebes dan Pemalang (1) Analisis keterpaduan Persaingan di tingkat pedagang pengecer Analisis Sistem sangat ketat dan kompetitif hal ini Tataniaga Gula Pasir pasar secara vertikal, (2) Marjin tataniaga ditunjukan dengan nilai marjin pengecer Pasca Monopoli yang kecil Bulog Hubungan Persepsi (1) Uji Spearmen , (2) Persepsi calo ternyata tidak tepat yaitu Calo Beras Terhadap Marjin Tataniaga sebagai penghubung dan negositor Peranan dan Fungsinya dalam Sistem Tataniaga beras di Pasar Induk Cipinang Analisis Tataniaga Beras di Pasar Tradisional dan Modern di DKI Jakarta Analisis Efisiensi Sistem Tataniaga Komoditas Pepaya Sayur di Megamendung Gula Pasir Pasca Monopoli Bulog Analisis Efisiensi Tataniaga Ikan Hias Air Tawar di Rancamaya, Bogor Analisis Efisiensi Tataniaga Ikan Hias Air Tawar di Rancamaya, Bogor
(1) Analisis struktur pasar, Petani berda dalam posisi yang paling lemah karena sebagai price taker dalam (2) Marjin pemasaran saluran tataniaga
(1) Analisis R/C ratio, (2) Marjin tataniaga, (3) Farmer's share
Saluran tataniaga yang paling efisien adalah Petani, Pedagang pengecer, Konsumen karena memiliki marjin tataniaga yang terkecil
(1) Analisis R/C ratio, (2) Marjin tataniaga, (3) Farmer's share
Saluran Tataniaga sudah efisien karena strukturnya adalah pasar persaingan sempurna dna efisiensi secara ekonomis sudah terjadi (1) Analisis R/C ratio, (2) Saluran yang paling sedikit rantainya yaitu Marjin tataniaga, (3) Petani,Pedagang Besar, Eksportir Farmer's share merupakan saluran yang paling efisien, karene memiliki marjin tataniaga terkecil
Analisis Efisiensi (1) Analisis saluran dan Fungsi Tataniaga, (2) Tataniaga Ikan Hias Marjin Pemasaran Air Tawar di Rancamaya, Bogor Analisis Efisiensi (1) Analisis Pendapatan Tataniaga Ikan Hias Usahatani, (2) Analisis Air Tawar di Struktur pasar, (3) Marjin Rancamaya, Bogor tataniaga, (4) Farmer's share
Sistem tataniaga pupuk urea belum efisien agar efisien perlu dibangun gudang pupuk urea di lini III (kabupaten) Ada 5 saluran tataniaga jamur tiram putih di Bandung, tidak ada saluran yang efisien karean marjin pemasaran lembaga lebih besar daripada petani
Sumber : Skripsi Tahun 1998, 1999, 2002, 2005, 2006, dan 2007
32
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Usahatani Usahatani adalah seluruh organisasi alam, tenaga kerja, modal dan
manajemen yang ditujukan pada produksi di lapangan pertanian (Soeharjo dan Patong, 1973). Organisasi ini ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat genologis, politis maupun teritorial sebagai pengelolanya. Pada umumnya ciri-ciri usahatani di Indonesia adalah berlahan sempit, modal relatif kecil, pengetahuan petani terbatas, kurang dinamik sehinggga berakibat pada rendahnya pendapatan usahatani (Soekarwi et al, 1986). Terbatasnya modal seringkali menyebabkan petani tidak mampu membeli teknologi. Dengan keterbatasan itu usahatani cukup dilaksanakan oleh teknologi petani sendiri. Tujuan setiap petani dalam melaksanakan usahataninya berbeda-beda (Soeharjo dan Patong, 1973). Apabila dorongannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga baik melalui atau tanpa peredaran uang, maka usahatani yang demikian disebut usahatani pencukup kebutuhan keluarga (Subsistence farm). Sedangkan bila motivasi yang mendorongnya untuk mencari keuntungan , maka usahatani yang demikian disebut usahatani komersial (Commercial Farm). Soekartawi (1995), menyatakan bahwa ciri petani komersial adalah; (1) cepatnya adopsi terhadap inovasi, (2) cepat mobilitas pencarian informasi, (3) berani menanggung resiko dalam berusaha, (4) memiliki sumberdaya yang cukup. Sedangkan ciri petani subsisten adalah kebalikannya. Akan tetapi dengan
33
teknologi serta kemajuan pembangunan yang hampir merata ke berbagai pelosok daerah, petani tidak lagi mengusahakan usahataninya secara subsisten melainkan semi subsisten (setengah subsisten dan setengah komersial). Perubahan tersebut diantaranya disebabkan oleh perkembangan teknologi yang semakin maju dalam hal produksi sehingga mempermudah pekerjaan petani, kebutuhan petani yang semakin banyak, teknologi informasi yang memberikan berbagai informasi produk, teknologi dan kebutuhan serta adanya perubahan pandangan masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam usahatani terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain teknologi, penggunaan input, dan cara (teknik) bercocok tanam. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari cuaca, iklim, hama dan penyakit. Hemanto (1989), menyatakan dalam usahatani selalu ada empat unsur pokok yang sering disebut sebagai faktor-faktor produksi, yaitu : 1.
Tanah Tanah usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah, dan
sebagainya. Tanah tersebut dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian negara, warisan ataupun wakaf. Penggunaan tanah dapat diusahakan secara monokultur, polikultur, ataupun tumpangsari. 2.
Tenaga Kerja Jenis tenaga kerja adalah tenaga kerja manusia, dibedakan menjadi tenaga
kerja pria, wanita dan anak-anak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, ketrampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan. Tenaga ini dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (biasanya
34
dengan cara upahan). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu : 1 pria = 1 hari kerja pria (HKP); 1 wanita = 0,7 HKP; dan 1 anak = 0,5 HKP. 3.
Modal Unsur lainnya yang mendukung kelancaran suatu kegiatan usahatani
adalah modal. Modal dalam suatu usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pinjaman uang dari famili atau tetangga dan lain-lain), hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa. 4.
Pengelolaan atau Manajemen Pengelolaan usahatani dalah kemampuan petani untuk menentukan,
mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai dengan sebaik-baiknya sehingga mampu menghasilkan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil, maka pengenalan pemahaman terhadap prinsip teknik meliputi : (a) perilaku cabang usaha yang diputuskan; (b) perkembangan teknologi; (c) tingkat teknologi yang dikuasai; (d) daya dukung faktor cara yang dikuasai; dan (e) cara budidaya dan alternatif cara lain berdasar pengalaman orang lain. Pengenalan dan pemahaman prinsip ekonomis antara lain : (a) penentuan perkembangan harga; (b) kombinasi cabang usaha; (c) tataniaga hasil; (d) pembiayaan usahatani; (e) pengolongan modal dan pendapatan serta (f) ukuran-ukuran keberhasilan yang lazim dipergunkan lainnya. Panduan penerapan kedua prinsip itu tercermin dari keputusan yang diambil, agar resiko tidak menjadi tanggungan si pengelola.
35
Ketersediaan menerima resiko sangat tergantung kepada ; (a) tersedianya modal; (b) status petani; (c) umur; (d) lingkungan usaha; (e) perubahan sosial serta (f) pendidikan dan pengalaman petani.
3.1.2 Analisis Pendapatan Usahatani Usahatani yang dilakukan petani akhimya akan memperhitungkan biayabiaya yang dikeluarkan dengan penerimaan yang diperoleh. Selisih antara biaya yang dikeluarkan dengan penerimaan yang diperoleh merupakan pendapatan bersih dari kegiatan usahatani. Soeharjo dan Patong (1973), menyebut bahwa analisis pendapatan mempunyai kegunaan bagi pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu (1) menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan usaha, dan (2) menggambarkan keadaan yang akan datang dari suatu kegiatan usaha. Analisis pendapatan usahatani sendiri sangat bermanfaat bagi petani untuk dapat mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama jangka waktu tertentu. Penerimaan merupakan total nilai produk yang dihasilkan, yakni hasil kali antara jumlah output yang dihasilkan dengan harga produk tersebut. Sedangkan pengeluaran atau biaya adalah semua pengorbanan sumberdaya ekonomi dalam satuan uang yang diperlukan untuk menghasilkan sutau produk dalam suatu periode produksi. Penerimaan usahatani dapat berbentuk dalam tiga hal, yaitu; (1)hasil penjualan tunai (seperti tanaman, ternak, ikan atau produk yang akan dijual), (2)
36
produk yang dikonsumsi keluarga petani, dan (3) kenaikkan nilai inventaris (selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun). Sedangkan pengeluaran usahatani secara umum meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Bentuk pengeluaran usahatani berupa pengeluaran yang diperhitungkan (inputed cost). Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan dengan uang, seperti biaya pembelian sarana produksi dan biaya untuk membayar tenaga kerja. Sedangkan pengeluaran yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenamya pendapatan kerja petani seandainya bunga modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan. Bentuk-bentuk analisis pendapatan usahatani antara lain : 1.
Analisis Pendapatan Tunai ,Pendapatan Total dan Analisis Biaya per Satuan Produksi Usahatani yaitu analisis yang digunakan untuk melihat keuntungan relatif dari suatu kegiatan cabang usahatani berdasarkan perhitungan finansial. Dalam analisis ini dilakukan dua pendekatan, yaitu perhitungan pendapatan atas dasar biaya tunai dan perhitungan atas dasar biaya total (biaya tunai dan biaya total diperhitungkan). Analisis biaya per satuan produksi digunakan untuk menentukan perkiraan harga jual atau keuntungan relatif yang diperoleh dari penjualan komoditi hasil usahatani. Dalam analisis ini digunakan untuk menentukan perkiraan harga jual atau keuntungan relatif yang diperoleh dari penjualan komoditi hasil usahatani. Dalam analisis ini digunakan dua unsur yang menjadi perhitungan utama, yaitu produksi kotor dan biaya total. Produksi kotor merupakan total produksi yang dihasilkan cabang usahatani, sedangkan biaya atau
37
pengeluaran total adalah pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan produksi tersebut. 2.
Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya ( R per C ratio). Salah satu ukuran efisiensi pendapatan adalah penerimaan untuk setiap rupiah yang dikeluarkan (Revenue-Cost ratio atau R per C ratio). Rasio penerimaan atas biaya menunjukan berapa besarnya penerimaan yang akan diperoleh dari setiap produk dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam produksi usahatani. Dengan analisis ini dapat diketahui apakah suatu usahatani menguntungkan atau tidak. Jika nilai rasio R per C-nya lebih besar atau sama dengan satu, maka usahatani tersebut menguntungkan. Sebaliknya jika nilai rasio R per C-nya kurang dari satu berarti belum menguntungkan. Secara teoritis dengan rasio R per C = 1 artinya tidak untung dan tidak rugi. Namun karena adanya biaya usahatani yang kadang-kadang tidak dihitung, maka kriterianya dapat diubah menurut keyakinan si peneliti. Berdasarkan gambar 1 dapat dilihat pada tingkat produksi berapa suatu usahatani mencapai titik impas. Atau Break Even Point (BEP). Bila produksi mencapai sekitar OYI, maka usahatani itu rugi, karena R
TC.
38
Rp
R TC VC -------------------------------------FC
O
Y1
Y
Gambar 1. Titik Impas (Break Even Point) Usahatani 3.1.3 Tataniaga Pertanian Menurut Limbong dan Sitorus (1985) tataniaga pertanian adalah semua kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barang-bamg kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen. Selain itu termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya. Menurut Sudiyono (2002), tataniaga pertanian adalah proses aliran komoditi yang disertai perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu, guna tempat dan bentuk, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga dengan melaksanakan satu atau lebih fungsi-fungsi tataniaga. Tataniaga pertanian tidak hanya meliputi aliran komoditi pertanian uang terjadi setelah proses produksi pada usahatani, tetapi juga meliputi penyediaan input produksi untuk melakukan proses produksi.
39
Tataniaga adalah kegiatan yang bertalian dengan penciptaan atau penambahan kegunaan daripada barang dan jasa. Oleh karena itu tataniaga termasuk tindakan atau usaha yang produktif. Kegunaan yang diciptakan oleh kegiatan tataniaga adalah kegunaan tempat, waktu dan kegunaan pemilikan. Kegunaan waktu adalah suatu barang atau jasa akan mempunyai nilai yang lebih besar apabila sudah terjadi perubahan waktu contohnya Jambu Getas pada waktu bukan musimnya lebih besar nilainya (harga) dibandingkan pada musimnya. Kegunaan tempat adalah sutau barang atau jasa akan lebih besar nilainya karena perubahan tempat, contohnya Ikan Tongkol akan lebih besar nilainya apbila dibawa ke daerah dataran tinggi dari pada di daerah pantai. Kegunaaan pemilik berarti bahwa barang-barang mempunyai kegunaan yang lebih besar karena beralihnya hak milik atas barang. Berdasarakan uraian di atas, tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan pergerakan barang dan jasa dari produsen sampai konsumen. Dari definisi yang diberikan dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir dari tataniaga adalah menempatkan barang atau jasa ke konsumen akhir. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan kegiatan-kegiatan tataniaga yang dibangun berdasarkan arus barang yang meliputi proses pengumpulan (konsentrasi), proses pengimbangan (equalisasi), proses penyebaran (dispersi).
3.1.3.1 Fungsi Tataniaga Tataniaga merupakan suatu proses daripada pertukaran yang mencakup serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memindahkan barang atau jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi. Kegiatan-kegiatan ini yang disebut sebagai
40
fungsi tataniaga. Fungsi tataniaga bekerja melalui lembaga tataniaga atau struktur tataniaga. Pada umumnya fungsi tataniaga di kelompokkan sebagai berikut: 1.
Fungsi pertukaran : -
Penjualan : Mengalihkan barang ke pembeli dengan harga yang memuaskan.
-
Pembelian : Mengalihkan barang dari penjual dan pembeli dengan harga yang memuaskan.
2.
Fungsi pengadaan secara fisik -
Pengangkutan : Pemindahan barang dari tempat produksi dan atau tempat penjualan ke tempat-tempat dimana barang tersebut akan terpakai (kegunaan tempat).
-
Penyimpanan : Penahanan barang selama jangka waktu antara dihasilkan atau diterima sampai dijual (kegunaan waktu).
3.
Fungsi pelancar -
Pembiayaan : Mencari dan mengurus modal uang yang berkaitan dengan transaksi-transaksi dalam arus barang dari sektor produksi sampai sektor konsumsi.
-
Penanggungan resiko : Usaha untuk mengelak atau mengurangi kemungkinan rugi karena barang yang rusak, hilang, turunnya harga dan tingginya biaya.
-
Standardisasi dan Grading : Penentuan atau penetapan dasar penggolongan (kelas atau derajat) untuk barang dan memilih barang untuk dimasukkan ke dalam kelas atau derajat yang telah ditetapkan dengan jalan standardisasi.
41
-
Informasi
Pasar
:
Mengetahui
tindakan-tindakan
yang
berhubungan dengan fakta-fakta yang terjadi, penyampaian fakta, menafsirkan fakta dan mengambil kesimpulan akan fakta yang terjadi. Hammond dan Dahl (1997), mengatakan bahwa untuk menganalisis sistem tataniaga dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu sebagai berikut : 1.
Pendekatan fungsi (Functional Approach), terdiri dari fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan) dan fungsi fasilitas (standarisasi dan grading, penanggung resiko, pembiayaan dan informasi pasar).
2.
Pendekatan kelembagaan (Institutional Approach), terdiri dari pedagang, pedagang perantara, pedagang spekulan, pengolah dan organisasi yang memberikan fasilitas tataniaga.
3.
Pendekatan perilaku (Behavioral Approach), merupakan kelengkapan dari kedua fungsi di atas yaitu menganalisis aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga seperti perubahan dan perilaku lembaga tataniaga. Terdiri dari pendekatan input-output, power, communications dan adaptive behavior system. Menurut Sa’id dan Harizt (2001), fungsi tataniaga didefinisikan sebagai
serangkaian kegiatan fungsional yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga, baik aktivitas proses fisik maupun aktifitas jasa, yang ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada konsumen sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya melalui penciptaan atau penambahan kegunaan bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan terhadap suatu produk.
42
3.1.3.2 Lembaga dan Saluran Tataniaga Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatankegiatanatau fungsi tataniaga yang membuat barang-barang berpindah dari tangan produsen ke konsumen. Yang termasuk lembaga tataniaga adalah produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa. Produsen adalah semua orang (badan) yang tugas utamanya menghasilkan barang-barang. Pedagang perantara (midleman pre intermediary) adalah perorangan, perserikatan, atau perseroan yang berusaha dalam bidang tataniaga yang tugasnya membel dan mengumpulkan barang-barang yang berasal dari produsen dan menyalurkannya kepada konsumen. Lembaga pemberi jasa (facilitating agencies) adalah orang atau badan yang memberikan jasa atau fasilitas untuk memperlancar fungsi tataniaga yang dilakukan produsen atau pedagang perantara. Contoh dari lembaga ini antara lain adalah bank, usaha pengangkutan, biro iklan dan sebagainya. Penyaluran barang-barang dari pihak produsen ke pihak konsumen melalui satu hingga beberapa pedagang perantara yang berbeda. Pedagang perantara ini dikenal sebagai saluran tataniaga (marketing channel). Jadi saluran tataniaga terdiri dari pedagang perantara yang membeli dan menjual barang dengan tidak menghiraukan apakah mereka memiliki barang dagangannya atau hanya bertindak sebagai agen dari pemilik barang. Terdapat lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyampaian barang atau jasa dari produsen ke tangan konsumen. Adanya perbedaan jarak antara produsen yang menghasilkan barang atau jasa dengan konsumen mengakibatkan
43
keberadaan
lembaga-lembaga
tataniaga
sangat
diperlukan
untuk
dapat
menggerakkan barang dan jasa tersebut dari titik produsen ke titik konsumen. Limbong dan Sitorus (1987), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor penting yang harus dipertimbangkan seorang produsen bila hendak memilih pola penyaluran diantaranya : 1.
Pertimbangan pasar meliputi siapa yang menjadi konsumen produknya (rumah tangga, industri, atau rumah dan industri), beberapa besar pembeli potensial, bagaimana konsentrasi pasar secara geografis, berapa besar jumlah pesanan, dan bagaimana kebiasaan konsumen dalam membeli.
2.
Pertimbangan barang meliputi : berapa besar nilai per unit barang tersebut; berapa besar dan berat barang; apakah mudah sobek atau tidak; bagaimana sifat teknis dari barang tersebut; apakah berupa barang standar atau pesanan, dan bagaimana luasnya produk lain perusahaan bersangkutan.
3.
Pertimbangan dari segi perusahaan meliputi sumber permodalan, kemampuan dan pengalaman manajemen, pengawasan penyaluran, dan pelayanan yang diberikan oleh penjual.
4.
Pertimbangan terhadap lembaga perantara meliputi : pelayanan yang dapat diberikan lembaga perantara; kegunaan perantara; sikap perantara terhadap kebijaksanaan produsen serta volume penjualan dan pertimbangan ongkos (biaya). Limbong dan Sitorus (1987), mendefinisikan saluran tataniaga sebagai
saluran yang digunakan produsen untuk menyalurkan produksinya kepada konsumen dari titik produsen.
44
3.1.3.3 Biaya dan Marjin Tataniaga Marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat konsumen dengan harga di tingkat produsen (Hammond dan Dahl,1977). Sedangkan menurut Limbong dan Sitorus (1987), mengatakan bahwa marjin tataniaga dapat didefinisikan sebagai perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen. Tetapi marjin tataniaga dapat juga dinyatakan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen hingga ke tingkat konsumen akhir. Marjin tataniaga umumnya dianalisis pada komoditas dan jumlah yang sama serta pada struktur pasar bersaing sempurna. Marjin tataniaga berbeda-beda antara satu komoditas hasil pertanian dengan komoditas lainnya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan jasa-jasa yang diberikan pada berbagai komoditas mulai dari petani sampai ke tingkat pengecer maupun konsumen akhir. Sedangkan nilai marjin tataniaga (value of marketing) merupakan perkalian antara marjin tataniaga dengan volume yang terjual. Biaya tataniaga adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses pengaliran komoditi dari produsen sampai konsumen yang nilainya tergantung dari fasilitas dan fungsifungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga-lembaga yang terlibat (Kustiari, 2003). Adapun perbedaan perlakuan yang diberikan antara satu komoditas dengan komoditas yang lainnya akan menyebabkan perbedaan marjin tataniaga antara komoditas tersebut. Rendahnya marjin tataniaga suatu komoditas belum tentu dapat mencerminkan efisiensi yang tinggi dalam tataniaga komoditas tersebut. Salah satu cara yang bermanfaat adalah membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s share) dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Untuk
45
dapat menghitung marjin tataniaga dan keuntungan, pada penelitian ini perlu di ketahui harga yang diterima oleh petani, harga beli, biaya-biaya tataniaga dan harga jualnya.
3.1.3.4 Efisiensi Tataniaga Salah satu cara untuk mempelajari apakah suatu sistem tataniaga telah bekerja efisien dalam suatu struktur pasar tertentu adalah dengan melakukan analisis terhadap biaya dan marjin tataniaga serta analisis terhadap penyebaran harga dari tingkat produsen hingga ke tingkat eceran (konsumen), untuk melihat besarnya sumbangan pedagang perantara sebagai penyumbang antara produsen dan konsumen. Tataniaga disebut efisien dan apabila tercipta keadaan dimana pihak-pihak yang terlibat baik produsen, lembaga-lembaga tataniaga maupun konsumen memperoleh kepuasan dengan adanya aktivitas tataniaga tersebut (Limbong dan Sitorus, 1987). Menurut Azzaino (1981), salah satu cara untuk mempelajari apakah suatu sistem tataniaga telah bekerja efisisen dalam suatu struktur pasar tertentu adalah dengan melakukan analisis terhadap penyebaran harga dari tingkat produsen sampai tingkat eceran (konsumen). Untuk komoditas yang sama pada saluran yang berbeda, saluran tataniaga yang mempunyai nilai marjin yang lebih kecil dianggap lebih efisien (Sarma,1985).
3.1.3.5 Struktur Pasar Struktur pasar yaitu suatu dimensi yang secara deskriptif menjelaskan gambaran fisik meliputi apa yang dimaksud dengan industri , pasar, ukuran
46
perusahaan di dalam suatu pasar, ukuran dari distribusi dan konsentrasi perusahaan, jenis-jenis dan diferensiasi produk, kondisi keluar masuk pasar dan hubungan antara penjual dan pembeli, pembeli-pembeli serta penjual-penjual. Hubungan antara penjual dengan penjual dan pembeli dengan pembeli disebut sebagai kompetisi. Hubungan kompetisi ini menggambarkan bagaimana lembaga tataniaga berinteraksi dan mengambil tindakkan sebagai reaksi atas tindakkan yang dilakukan oleh lembaga tataniaga lainnya dalam satu tingkatan sistem tataniaga yang sama. Hubungan antara penjual dan pembeli disebut dengan hubungan negosiasi, hubungan ini terbentuk dari tindakkan dan interaksi antar penjual dan pembeli. Hubungan kompetisi dan negosiasi mungkin dapat ditunjukan oleh karakter individu (bagaimana lembaga ‘a’ berinteraksi dengan lembaga’ b’) dalam pasar atau agregasi dari semua pelaku pasar (bagaimana semua lembaga berinteraksi). Agregasi hubungan antara pembeli dan atau penjual disebut dengan perilaku pasar atau market conduct (Hammond and Dahl, 1977). Hammond dan Dahl (1977) menyatakan ada empat karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan struktur pasar, yaitu : (1) jumlah dan ukuran perusahaan per produsen, (2) pandangan pembeli terhadap sifat produk, (3) kondisi keluar masuk pasar dan (4) tingkat pengetahuan seperti biaya, harga dan kondisi pasar diantara partisipan. Secara garis besar struktur pasar dapat digolongkan ke dalam dua kelompok utama yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar bersaing tidak sempurna. Ciri utama pasar bersaing sempurna yaitu didalam pasar terdapat banyak penjual dan pembeli, pelaku pasar hanya menguasai sebagian kecil dari
47
barang yang dipasarkan sehingga tidak dapat mempengaruhi pembentukan harga (pricetaker), barang yang dipasarkan bersifat homogen serta penjual dan pembeli dapat dengan mudah keluar atau masuk kedalam pasar karena tidak adanya hambatan. Hal yang membedakan pasar bersaing sempurna dan pasar bersaing tidak sempurna adalah ada tidaknya ciri atau kriteria di atas. Dalam pasar bersaing tidak sempurna salah satu atau beberapa kriteria diatas tidak terpenuhi. Struktur pasar bersaing tidak sempurna dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi pembeli dan sisi penjual. Dilihat dari sisi pembeli pasar bersaing tidak sempurna terdiri atas pasar monopsoni, oligopsoni dan monopolistik. Dari sisi penjual terdiri atas pasar monopolistik, monopoli, oligopoli dan duopoli (Limbong dan Sitorus, 1987).
3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ini kerangka operasionalnya dapat digambarkan pada Gambar 1.
Penelitian ini menganalisis usahatani dan sistem tataniaga padi (beras) pandanwangi. Analisis yang dilakukan berupa analisis pendapatan usahatani, saluran tataniaga, analisis marjin tataniaga, analisis keuntungan dan biaya. Dengan mengetahui saluran tataniaga penelitian ini juga diharapkan dapat mengetahui karakteristik pelaku tataniaga. Dalam menganalisis pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu analisis usahatani untuk petani pemilik penggarap dan petani penggarap yang masing-masing dihitung selama satu musim tahun dengan luas lahan 1 Ha. Analisis nilai R per C ratio masing-masing dihitung berdasarkan R per C atas biaya tunai dan R per C atas biaya total. Analisis saluran tataniaga dilakukan dengan menelusuri pola tataniaga yang dilalui dari produsen hingga konsumen.
48
Dalam menganalisis marjin tataniaga dihitung besarnya harga beli, besarnya keuntungan yang diterima oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat dalam suatu saluran tataniaga.
Komoditas Unggul Beras pandanwangi
Usahatani
Analisis Pendapatan
Analisis R per C ratio
Tataniaga
Analisis Fungsi Tataniaga
Analisis Struktur Pasar
Analisis Efisiensi dan marjin Tataniaga
Apakah Menguntungkan bagi Petani ?
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Tataniaga dan Usahatani Padi Varietas Unggul (pandanwangi)
49
IV METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Warung Kondang Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Mei hingga Juni tahun 2008. Alasan yang melatarbelakangi Kecamatan Warung Kondang dijadikan sebagai lokasi penelitian diantaranya; Warung Kondang merupakan sentra produksi beras pandanwangi terbesar di Cianjur; produksinya cukup bagus dibandingkan dengan daerah sentra produksi lainnya (berproduksi setiap musim).
4.2
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan para petani dan lembaga tataniaga yang ada (pedagang pengumpul, pedagang besar daerah atau luar daerah dan pedagang pengecer daerah dan luar daerah) dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Wawancara dilakukan dengan mempersiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan (kuisioner) yang akan diajukan. Teknisnya peneliti mengajukan pertanyaan dengan panduan daftar pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya. Data yang bersifat sekunder diperoleh melalui laporan-laporan tahunan tertulis lembaga atau institusi yang terkait dalam penelitian ini, seperti Perpustakaan Fakultas Pertanian IPB, Perpustakaan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB, Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, Badan
50
Pusat Statistik Kabupaten Cianjur, Badan Pusat Statistik Pusat Jakarta serta laporan-laporan lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
4.3
Metode Penarikan Contoh Pemilihan lokasi penelitian dan responden dilakukan secara sengaja
(purposive sampling) dan participatory action riset dengan bantuan petugas dari Dinas Pertanian Kabupaten Daerah Tingkat II Cianjur, Petugas Penyuluhan Lapang (PPL) setempat dan Ketua Kelompok Tani desa lokasi penelitian. Namum dalam pengolahannya dibedakan berdasarkan kepemilikan lahan dengan alasan perbedaan tersebut mempengaruhi biaya yang dikeluarkan dan harga jual padi pandanwangi yang selanjutnya menentukan besarnya farmer’s share. Responden diambil dari kecamatan yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Warung Kondang. Jumlah petani responden yang diambil adalah 30 orang dengan alasan telah memenuhi syarat uji statistik, dimana 15 petani adalah petani pemilik dan penggarap, sedangkan 15 orang petani lainnya adalah petani penggarap. Sampel petani pemilik penggarap maupun penggarap yang dipilih merupakan petani yang menanam pada kedua musim tanam (MT I dan MT II). Untuk analisis tataniaga, pengambilan contoh responden pedagang dilakukan dengan sengaja yaitu dengan mengikuti alur tataniaga Beras pandanwangi dari petani sampai konsumen di lokasi penelitian. Jumlah responden yang diambil adalah 24 orang yang terdiri dari (1) Pedagang pengumpul yang dijadikan responden diambil sebanyak 5 orang dari Kecamatan Warung Kondang, (2) Pedagang besar daerah sebanyak lima orang, (3) Pedagang besar luar daerah yang dijadikan responden berjumlah lima orang, (4) Pedagang pengecer yang
51
dijadikan responden di daerah Cianjur
berjumlah lima orang, sedangkan (5)
pedagang pengecer luar daerah yakni sebanyak empat orang.
4.4
Metode Pengolahan Data Penelitian ini mengunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif.
Analisis kualitatif dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap keadaan sistem tataniaga yang meliputi analisis fungsi tataniaga, lembaga dan saluran tataniaga, dan struktur pasar. Analisis kuantitatif yang dilakukan meliputi analisis pendapatan usahatani, marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya serta analisis efisiensi tataniaga. Data yang telah diperoleh dari lapangan kemudian dianalisis. Sebelum data dianalisis langkah awal yang dilakukan yakni mengolahnya terlebih dahulu. Caranya yakni dengan melakukan pengeditan dan pentabulasian data mentah. Data tersebut kemudian dikelompokan sesuai indikator-indikator yang akan dijadikan ukuran penelitian. Data kuantitatif yang terkumpul diolah dengan menggunakan alat hitung kalkulator dan bantuan komputer.
4.5
Analisis Data Setelah data diolah selanjutnya adalah dianalisis dengan menggunakan
analisis pendapatan usahatani dan tataniaga pertanian.
4.5.1
Analisis Pendapatan Usahatani Usahatani adalah kegiatan yang ditujukan untuk menghasilkan output
(penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja dan modal sebagai korbanannya. Penerimaan total adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu.
52
Pengeluaran total usahatani adalah nilai semua input yang dikeluarkan dalam proses produksi. Pendapatan adalah selisih antara total penerimaan dan total pengeluaran
(Soekarwi et al, 1986). Rumus penerimaan, total biaya dan
pendapatan adalah sebagai berikut : TR = Py X Qy TC = TFC + TVC Π = TR – TC Dimana :
TR
= total penerimaan usahatani
TC
= total biaya usahatani
Π
= pendapatan tau keuntungan usahatani
Py
= harga output
Qy
= jumlah output
TFC
= total biaya tetap
TVC = total biaya variabel Pengeluaran total dapat dibedakan menjadi dua yaitu, biaya tetap dan tidak tetap (biaya variabel). Biaya variabel adalah biaya yang tidak digunakan untuk proses produksi tetentu dan jumlahnya berubah sebanding dengan besarnya produksi seperti biaya pengeluaran tenaga kerja. Biaya tetap adalah biaya yang tidak tergantung pada besarnya produksi seperti biaya penyusutan alat-alat pertanian, pajak dan lain-lain. Biaya penyusutan alat-alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya modal dipakai, dengan rumus sebagai berikut :
53
Biaya penyusutan =
Keterangan
Nb – Ns n
: Nb
= nilai pembelian (Rp.)
Ns
= tafsiran nilai sisa (Rp.)
N
= jangka usia ekonomis (tahun)
Suatu usaha dikatakan efisien secara ekonomis dari usaha lain apabila rasio output terhadap inputnya lebih menguntungkan dari usaha lain. Retum and Cost Ratio (R per C ratio) merupakan perbandingan antara nilai output terhadap nilai inputnya atau perbandingan antara penerimaan usahatani dengan pengeluaran usahatani. Dalam penelitian ini untyuk mengetahui keuntungan dari usahatani padi dipergunakan R per C ratio dengan rumus yang digunakan oleh Soeharjo dan Patong (1973), yaitu : R per C ratio = Jumlah penerimaan (Rp.) Jumlah Biaya (Rp.)
4.5.2
Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga Saluran tataniaga beras pandanwangi di Kabupaten Cianjur dapat
dianalisis dengan mengamati lembaga tataniaga yang membentuk saluran tataniaga tersebut. Lembaga-lembaga tataniaga ini beRp.eran sebagai perantara dalam penyampaian barang dari produsen ke konsumen akhir dan arus barang yang melalui lembaga-lembaga yang menjadi perantara membentuk saluran tataniaga. Perbedaan saluran tataniaga yang dilalui oleh suatu jenis barang akan berpengaruh pada pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing
54
lembaga tataniaga yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu, suatu saluran tataniaga yang berbeda akan memberikan keuntungan yang berbeda pula kepada masing-masing lembaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga.
4.5.3 Analisis Karakter Pelaku dan Struktur Pasar Struktur pasar dapat dibedakan atas pasar persaingan sempurna dan tidak sempurna. Pernahaman mengenai struktur pasar dapat didekati dengan mengetahui jumlah pelaku tataniaga yang terlibat, sifat produk, sumber informasi dan hambatan untuk memasuki pasar. Pernahaman mengenai tingkah laku pasar dapat didekati dengan mengetahui cara penentuan harga serta parktek-praktek fungsi tataniaga lainnya.Karakter dari pelaku tataniaga Beras pandanwangi dapat dianalisa dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian, sistem penentuan dan pembayaran harga, serta kerjasama diantara lembaga tataniaga.
4.5.4
Analisis Marjin Tataniaga Analisis marjin tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efisiensi jalur
tataniaga Beras pandanwangi. Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkatan lembaga yang terlibat dalam distribusi Beras pandanwangi. Besarnya marjin tataniaga pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biaya-biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam jalur distribusi tersebut, secara matematik marjin tataniaga dirumuskan sebagai berikut (Limbong dan Sitorus, 1987):
55
Mi = Psi – Pbi ................................................................................ (1) Mi = Ci + Li ................................................................................ (2) Dari perasamaan (1) dan (2) diperoleh Li = Psi – (Pbi – Ci) .......................................................................... (3) Dimana: Mi
= Marjin tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i (Rp. per kg).
Psi
= Harga jual lembaga tataniaga ke-i (Rp. per kg)
Pbi
= Harga beli lembaga tataniaga ke-i (Rp. per kg)
Ci
= Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i (Rp. per kg)
Li
= Keuntungan lembaga tataniaga ke-i (Rp. per kg)
Penyebaran marjin tataniaga Beras pandanwangi dapat juga dilihat berdasarkan persentase keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masing-masing lembaga tataniaga. Perhitungannya dilakukan dengan mengunakan rumus: Rasio keuntungan – biaya (persen) = Li per Ci x 100 persen
4.5.5
Analisis Efisiensi Saluran Tataniaga Petani dan pedagang menganggap bahwa suatu sistem tataniaga dikatakan
efisien apabila dalam menjual barangnya mendatangkan keuntungan yang tinggi. Konsumen menganggap bahwa suatu sistem tataniaga efisien apabila konsumen dapat dengan mudah mendapatkan barang yang diinginkan serta murah harganya sesuai dengan harapannya. Kepuasan konsumen terhadap barang yang diterimanya merupakan keluaran (output) tataniaga, sedangkan masukan (input) tataniaga merupakan semua pengorbanan baik berupa tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang digunakan oleh lembaga tataniaga dalam proses tataniaga. Suatu sistem tataniaga
56
dianggap dalam keadaan efisien apabial nisbah input-output mencapai nilai minimum. Akan tetapi penggunaan konsep efisiensi nisbah input-output sangat sulit. Kesulitan ini timbul karena tingkat kepuasan konsumen yang tergantung pada selera masing-masing individu sulit untuk diukur. Oleh karena itu pengukuran efisiensi saluran tataniaga dilakukan dengan dua cara, yaitu efisiensi teknis dan ekonomis (Soertiarso et al, 1995). Efisiensi teknis ditujukan pada usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi biaya (input) dengan anggapan bahwa kepuasan (output) pada saat itu tidak berubah. Efisiensi ekonomis dapat dicapai apabila dengan biaya yang rendah dalam proses pengaliran barang dari produsen sampai ke konsumen akhir diperoleh keuntungan maksimum bagi lembaga tataniaga. Penentuan indeks efisiensi teknis (T) dan ekonomis (E) dapat dilakukan dengan menggunakan rumus (Soetiarso et al, 1995): a. Indeks Efisiensi Teknis (T) Ti = Vi / Wi / di b. Indeks Efisiensi Ekonomis (E) Ei = ∑
Π ij Vij
Dimana : T
= Variabel biaya tataniaga per berat akhir penjualan barang per total jarak yang ditempuh oleh komoditas (Rp. per kg per km).
E
= Jumlah keuntungan lembaga per variabel biaya tataniaga.
V
= Variabel biaya tataniaga (Rp. per kg).
W
= Berat akhir yang dijual (Rp. per kg).
57
Π
= Jumlah keuntungan pada tiap lembaga tataniaga (Rp. per kg)
4.5.6
d
= Total jarak yang ditempuh oleh komoditas tersebut (km).
I
= Jenis saluran tataniaga.
J
= Jenis pedagang
Analisis Farmer’s Share Farmer’s share merupakan indikator yang dapat digunakan untuk
menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas selain marjin tataniaga. Farmer’s share adalah salah satu indikator yang sering dinyatakan dalam persentase dengan membandingkan harga yang diterima lembaga tataniaga dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Farmer’s share mempunyai hubungan negatif dengan marjin tataniaga sehingga semakin tinggi marjin tataniaga, maka bagian yang akan diperoleh petani semakin rendah. Secara matematis farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut: FS
= Hj / He x 100 persen
dimana : Hj
= Harga jual di tingkat petani (Rp per kg).
He
= Harga eceran di tingkat konsumen per pengecer (Rp per kg).
58
4.6
Batasan dan Definisi Operasional Petani
pandanwangi
adalah
petani
yang
mengusahakan
padi
pandanwangi. Beras pandanwangi adalah beras murni pandanwangi yang dihasilkan dari Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tanpa campuran beras jenis lain. Saluran Tataniaga adalah saluran yang digunakan oleh lembaga tataniaga untuk menyalurkan gabah dan Beras pandanwangi dari produsen sampai konsumen Lembaga Tataniaga adalah lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsifungsi tataniaga mulai titik produsen yaitu petani serta lembaga perantara yang lain. Harga jual petani (Rp.) adalah harga gabah kering pungut (MKP) yang diterima petani di lokasi penelitian. Harga beli pedagang (Rp.) adalah harga gabah yang diterima pedagang pengumpul maupun pedagang besar daerah dan harga beras yang diterima pedagang baik npedagang besar daerah per luar daerah maupun pedagang pengecer dalam per luar daerah. Harga Beras Konsumen (Rp.) adalah harga transaksi antara pedagang pengecer dan pembeli yang diukur dalam satuan Rp. per kg Rasio R per C adalah perbandingan antara penerimaan yang diterima lembaga tataniaga dengan biaya yang dikeluarkannya
59
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1
Karakteristik Wilayah Luas wilayah Kabupaten Cianjur 350.148 hektar dengan jumlah penduduk
sebanyak 2.098.644 jiwa (BPS, 2007). Mata pencaharian utama penduduk di daerah ini adalah bertani dan berdagang. Sebanyak 62,99 persen dan 14,60 persen penduduk Kabupaten Cianjur bekerja di bidang pertanian dan perdagangan. Sektor pertanian merupakan sektor yang memberikan keuntungan berupa pendapatan daerah yang tersebesar. Keuntungan berupa pendapatan daerah yaitu sebesar 42,8 persen. Bidang perdagang berada dalam posisi ke dua yaitu menyumbang pendapatan sebesar 24,62 persen dari jumlah total seluruh PDRB Kabupaten Cianjur (BPS, 2007). Secara administratif Pemerintah Kabupaten Cianjur terbagi dalam 30 Kecamatan, dengan batas-batas administratif sebagai berikut : 1.
Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta.
2.
Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi.
3.
Sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.
4.
Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
60
Secara geografis , Kabupaten Cianjur dapat dibedakan dalam tiga wilayah pembangunan yaitu : 1. Wilayah Utara Meliputi 15 Kecamatan
: Cianjur, Cilaku, Warungkondang, Gekbrong,
Cibeber,
Sukaluyu,
Karangtengah,
Ciranjang,
Bojongpicung,
Mande,
Cikalongkulon, Cugenang , Sukaresmi, Cipanas dan Pacet. 2. Wilayah Tengah Meliputi 9 Kecamatan
: Sukanagara, Takokak, Campaka, Campaka Mulya,
Tanggeung, Pagelaran, Leles, Cijati dan Kadupandak. 3. Wilayah Selatan Meliputi 6 Kecamatan
: Cibinong, Agrabinta, Sindangbarang, Cidaun ,
Naringgul dan Cikadu. Sebagai daerah beriklim tropis, di wilayah Cianjur Utara dapat tumbuh dengan subur tanaman seperti sayuran, padi, teh dan tanaman hias. Wilayah Cianjur Tengah merupakan daerah yang baik untuk tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tanaman Palawija, perkebunan teh, padi, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan dapat dibudidayakan dengan subur. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi. Sebagai daerah agraris yang pembangunannya bertumpu pada sektor pertanian, Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah swasembada padi. Produksi padi pertahun sekitar 625.000 ton, dari jumlah itu setelah dikurangi kebutuhan konsumsi lokal dan benih, Kabupaten Cianjur masih memperoleh surplus padi sekitar 40 persen dari total produksi padi. Produksi padi terdapat hampir di seluruh wilayah Cianjur,
61
kecuali di Kecamatan Pacet dan Sukanagara. Wilayah ini setiap harinya memasok puluhan ton sayur mayur ke Jabotabek . Letak
strategis
sebagai
lintasan
Jakarta-Bogor-Sukabumi-Bandung
membawa keberuntungan tersendiri bagi Kabupaten Cianjur. Tersedianya sarana prasarana transportasi dan perhubungan yang cukup memadai memberikan kemudahan dalam mendistribusikan dan mengembangkan akses pasar produk unggulan Kabupaten Cianjur. Sebagai daerah yang berbasis pertanian, Kabupaten Cianjur memiliki sejumlah komoditas pertanian yang menjadi komoditas unggulannya. Komoditas unggulan tersebut dibagi menjadi dua kategori yaitu komoditas unggulan utama dan komoditas unggulan prospektif. Beras pandanwangi merupakan salah satu komoditas unggulan utama di samping komoditas unggulan lain diantaranya kacang tanah, pisang, teh, cengkeh, kelapa, sayuran dan tanaman hias serta bunga Krisan. Sedangkan komoditas unggulan prospektif diantaranya tomat dan jambu bol. Padi varietas pandanwangi yang merupakan kebanggaan warga Cianjur sebab hanya dapat tumbuh pada daerah-daerah tertentu, seperti di daerah Warung Kondang, Cugenang, Cilaku, Cibeber dan Campaka. Secara umum dari 58.000 Ha lahan pertanian di Kabupaten Cianjur, luas lahan yang ditanami oleh padi pandanwangi jumlahnya mencapai 2.000 Ha sampai dengan 2.500 Ha, dengan kapasitas produksinya mencapai 1.012 ton per bulan. Daerah yang dijadikan tempat penelitian, yaitu Kecamatan Warung Kondang. Kecamatan Warung Kondang merupakan daerah sentra penghasil padi pandanwangi. Kecamatan ini merupakan daerah yang ditunjuk pemerintah daerah
62
sebagai tempat pembenihan padi pandanwangi. Secara administratif Kecamatan Warung Kondang berbatasan dengan : 1.
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cugenang dan Cianjur.
2.
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi.
3.
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Gekbrong.
4.
Sebela timur berbatasan dengan Kecamatan Cibeber dan Cilaku. Masyaratkat Kecamatan Warung Kondang sebagian besar mempunyai
pekerjaan utama sebagai petani (petani pemilik penggarap dan penggarap). Selain bertani pekerjaan masyrakat kecamatan ini adalah pedagang, buruh pabrik dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Berdasarkan letak geografisnya daerah ini berada di bawah kaki Gunung Gede. Kondisi ini menyebabkan daerah ini mempunyai air yang melimpah. Kondisi air yang melimpah ini membuat petani menanam sawahnya dengan sistem mina padi, yaitu menanam padi bersama ikan. Ikan yang mereka budidayakan pada umumnya adalah ikan mas. Dengan sistem mina padi seperti ini dirasakan sangat membantu penghasilan petani. Mereka hanya membeli ikan dibudidayakan baik bibit ikan maupun ikan yang masih kecil tanpa harus memberikan pakan terhadap ikan. Keuntungan cukup tinggi, sebab tanpa harus memberikan pakan mereka mampu memanen ikan dalam jumlah yang banyak. Daerah ini sendiri pada tahun 1990-an areal tanam dan panen antara 700-1000 ha permusim, saat ini hanya ditanam dan dipanen antara150-200 ha per musim.
63
5.2
Karakteristik Petani Padi Pandan Wangi Karakteristik petani merupakan aspek penting dalam menilai keberhasilan
usahatani. Seseorang yang mempunyai kemampuan pendidikan yang baik, dan berpengalaman lebih banyak serta mempunyai kemampuan teknis yang memadai akan berada pada posisi yang terbaik (Setianingsih et al, 2000). Dalam penelitian ini karakteristik petani padi menyangkut status usaha, status kepemilikan lahan, usia, tingkat pendidikan, pengalaman dalam usahatani padi pandanwangi, jumlah tanggungan keluarga dan luas pengusahaan lahan dianggap sebagai faktor penting. Oleh karena itu penelitian ini menjelaskan kaitan faktor tersebut dengan usahatani padi pandanwangi. Karakteristik petani responden secara umum terdapat pada Tabel 8
64
Tabel 8. Karakteristik Petani Padi Pandan Wangi No
Uraian
Pemilik Penggarap (%) (n=14)
Penggarap (%) (n=13)
1 Status Usaha a. Mata pencaharian utama
85,72
84,62
b. Mata pencaharian sampingan
14,28
15,38
50,71
47,61
64,28
61,54
b.SLTP
0
23,08
c.SLTA
28,58
7,69
7,14
7,69
0
23,08
b. 5‐15 tahun
14,28
0
c.15‐25 tahun
28,58
30,77
d. > 25 tahun
57,14
46,15
a. 1‐2
7,14
15,38
b. 3‐4
35,71
38,47
c. 5‐6
57,15
46,15
2 Usia petani (tahun) 3 Pendidikan petani a. SD
d. Perguruan Tinggi 4 Pengalaman bertani a. 0‐5 tahun
5 Jumlah anggota keluarga
Ket : n = jumlah responden Sumber : Data primer, diolah * Persentase terhadap harga konsumen
5.2.1
Status Usaha Pada umumnya responden
menjadikan pekerjaan usahatani padi
pandanwangi sebagai mata pencaharian utama. Tampak pada Tabel 8, persentase petani pemilik penggarap maupun petani penggarap yang menjadikan usahatani sebagai mata pencaharian pokok lebih besar dibandingkan dengan responden lain yang sekedar mejadikannya sebagai mata pencaharian sampingan.
65
5.2.2
Usia Kisaran usia yang produktif untuk menjalankan usaha pertanian berada
pada kisaran usia 15-50 tahun (Soeharjo dan Patong, 1973, dalam Setianingsih et al, 1993). Pada Tabel 8 tampak usia rata-rata petani pemilik penggarap yaitu 50,71 tahun, sedangkan petani penggarap 47,61 tahun. Maka, petani penggarap dapat dikatakan lebih produktif karena rataan usia respondennya berada pada kisaran usia produktif dalam berusahatani. Jika dilihat dari rata-rata usia petani pemilik penggarap dan penggarap, juga dapat diketahui bahwa rata-rata responden telah lama berkecimpung dalam usahatani tersebut.
5.2.3
Pendidikan
Tingkat pendidikan petani responden sangat berpengaruh terhadap hasil produksi (terutama dalam hal teknologi dan ilmu pengetahuan). Pendidikan baik yang dimiliki responden akan menghasilkan proses produksi yang baik pula. Sebagian besar responden di daerah penelitian telah mengikuti pendidikan formal. Mulai dari pendidikan dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). Selain dari mengikuti pendidikan formal mereka juga pernah mengikuti pendidikan nonformal seperti pelatihan-pelatihan dan kursus-kursus yang berhubungan dengan pertanian. Pelatihan-pelatihan dan kursus-kursus ini, sebagian besar diadakan oleh Dinas Pertanian bersama PPL setempat. Mayoritas tingkat pendidikan responden adalah tamatan Sekolah Dasar (petani pemilik penggarap maupun petani penggarap). Tabel 8 menunjukkan data rataan tingkat pendidikan responden petani pemilik penggarap dan penggarap. Dari Tabel tersebut dapat diketahui bahwa 64,28 persen petani pemilik penggarap merupakan tamatan SD;
66
28.58 persen tamatan SLTA dan 7,14 persen tamatan Perguruan Tinggi (PT). Sementara petani penggarap terdiri dari 61,54 persen tamatan SD; 23,08 persen tamatan SLTP; 7,69 persen tamatan SLTA dan 7,69 persen tamatan PT.
5.2.4
Pengalaman Usaha Tingkat pendidikan ataupun pengetahuan yang baik tidaklah cukup untuk
mendukung keberhasilan seorang petani. Selain dari pendidikan yang baik dibutuhkan
juga
pengalaman
dalam
berusahatani.
Pengalaman
petani
berusahatani sangat berpengaruh terhadap jumlah total produk yang dihasilkan. Mayoritas dari responden sudah cukup lama berprofesi sebagai petani padi pandanwangi. Mereka memulai bertani sewaktu mereka masih kecil (bersama orangtua). Alasan responden berusahatani padi pandanwangi karena merupakan usaha turun-temurun dari orang tua mereka yang cocok diusahakan di daerah mereka tinggal. Selain itu, harga beras pandanwangi yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang sangat tinggi membuat petani ingin mengusahakannya agar mendapat keuntungan yang cukup besar. Alasan lain petani mengapa berusahatani padi pandanwangi adalah ingin melestarikan padi jenis ini dari kepunahan. Pengalaman dalam berusahatani padi pandanwangi membuat mereka lebih cermat dalam memberikan perlakuan kepada lahan dan padi pandanwanginya. Contohnya jika musim hujan tiba mereka mengetahui pupuk jenis apa yang harus dikurangi ataupun ditambah dan jika musim kemarau tiba mereka mengetahui jenis hama dan penyakit padi pandanwangi apa yang harus diberantas. Kebanyakan mereka mengetahui semua dengan teknik “Trial” dan “Error” (teknik coba-coba). Dari pengalamannya itu mereka lebih memahami praktek di lapangan
67
dibandingkan dengan petugas PPL. Petugas PPL dilokasi penelitian memang lebih paham tentang budidaya padi pandanwangi secara konsep teori, namun dalam prakteknya kurang memahaminya dibanding petani.. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa petani pemilik penggarap yang memiliki pengalaman usahatani selama 5-15 tahun sebanyak 2 orang (14,28 persen); antara 15-25 tahun sebanyak 4 orang (28,58 persen) dan sisanya sebanyak 8 orang (57,14 persen) memiliki pengalaman diatas 25 tahun. Petani penggarap yang memiliki pengalaman dibawah 15 tahun sebanyak 3 orang (23,08 persen); 4 orang (30,77 persen) berpengalaman 15-25 tahun dan sisanya 6 orang (46,15 persen) berpengalaman di atas 25 tahun. Dari segi pengalaman di lapangan, temyata semua responden petani pemilik penggarap memiliki pengalaman bertani padi pandan wangi diatas 5 tahun. Berarti jika dilihat dari pengalaman, dapat dikatakan petani pemilik penggarap lebih berpengalaman dibandingkan dengan petani penggarap.
5.2.5
Kepemilikan Lahan Penguasaan lahan antara petani pemilik penggarap dengan penggarap tidak
sama. Petani pemilik penggarap di lokasi penelitian cenderung memiliki lahan yang lebih luas dibandingkan dengan penggarap, tetapi dalam pengolahannya sebagian dari mereka ada yang membayar petani penggarap untuk mengelolanya. Luas lahan yang dikuasai oleh petani pemilik penggarap sebesar 11,45 Ha, dua kali lipat lebih dari lahan yang dikuasai oleh petani penggarap yaitu sebesar 4.,3 Ha. Dari jumlah itu sebanyak 7,63 Ha lahan petani pemilik penggarap ditanami padi Pandan Wangi per musim tanam. Sedangkan sebanyak 1,43Ha lahan petani penggarap ditanami padi Pandan Wangi per musim tanam.
68
5.2.6
Jumlah Tanggungan Keluarga Besarnya pendapatan usahatani seseorang tidak dapat dijadikan sebagai
indikasi kesejahteraaan hidup keluarga petani. Jika besarnya jumlah pendapatan usahatani sebanding dengan banyaknya jumlah anggota keluarga petani yang harus ditanggung, maka besarnya jumlah pendapatan yang diterima petani tidak akan berpenggaruh nyata terhadap kesejahteraan hidup keluarga petani. Tampak pada Tabel 8 jumlah tanggungan keluarga petani responden terbanyak (baik petani penggarap maupun pemilik penggarap) berjumlah 5-6 orang. Petani pemilik penggarap yang memiliki tanggungan keluarga 1-2 sebanyak 1 orang (7,14 persen); 5 orang (35,71 persen) petani memiliki tanggungan keluarga berjumlah 3-4 orang dan tanggungan yang menanggung jumlah keluarga 5-6 orang sebesar 57,15 orang (8 orang). Sementara petani penggarap yang memiliki tangungan 1-2 orang berjumlah 2 orang (15,38 persen); sebanyak 5 orang (38,47 persen) yang memiliki tanggungan keluarga 3-4 orang dan 6 orang (46,15 persen) yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 5-6 orang.
5.2.7
Sumber Modal Sumber permodalan usahatani merupakan hal yang dapat dijadikan
tambahan karakteristik responden. Alasannya karena modal merupakan faktor pentingyang bisa menjaga keberlangsungan usahatani padi pandanwangi. Jika tidak memiliki modal yang cukup maka akan dipastikan usahatani tidak akan berjalan dengan lancar. Sumber modal petani baik petani pemilik penggarap maupun penggarap sebagian besar berasal dari modal sendiri (pribadi). Adapun sumber modal yang berasal dari pihak luar yaitu berasal dari pinjaman sesama
69
petani yang tergabung dalam kelompok tani, pinjaman tengkulak ataupun pinjaman lainnya. Dilokasi penelitian tidak ditemukannya peran Kredit Usahatani (KUT) atau Program Usaha Agribisnis Pedesaaan (PUAP). Menurut keterangan para petani KUT di daerah mereka mengalami kemacetan dalam hal dana. Hal itu disebabkan dana yang dipinjam oleh petani sebagian besar tidak kembali , sehingga membuat KUT tidak dapat difungsikan lagi. Sedangkan mengenai PUAP sebagian besar petani belum mengetahui akan program pemerintah tersebut. Mereka berkeinginan sekali untuk merasakan peran KUT dan PUAP sehingga dapat membantu mereka dalam hal pengadaan modal bagi usahataninya.
70
VI ANALISIS USAHATANI PADI PANDANWANGI
6.1
Waktu Budidaya padi pandanwangi Secara umum dilokasi penelitian petani pemilik penggarap dan penggarap
menanam padi pandanwangi dalam 2 musim tanam setiap tahunnya, yaitu MT 1 dan MT 2. Musim tanam 1 dimulai bulan Mei atau Juni dan kegiatan panennya dilakukan sekitar bulan Desember atau Januari, sedangkan MT II dimulai bulan Januari atau Februari dan kegiatan panennya dilakukan pada bulan Juni atau Juli. Pola tanam di Kecamatan Warung Kondang sama dengan pola tanam di kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Cianjur yang membudidayakan padi pandanwangi.
6.2
Teknik Budidaya pandanwangi Teknik budidaya padi pandanwangi tidak jauh berbeda dengan jenis padi
lainnya. Terdapat sedikit perbedaan seperti pada teknik awal proses pengolahan lahan dan pemanenan. Adapun teknik budidaya padi pandanwangi sebagai berikut: 1.
Penebaran Benih Langkah awal dari teknik menanam padi pandanwangi adalah penebaran
benih. Langkah yang harus dilakukan saat penebaran benih adalah petani mempersiapkan lahan yang akan dijadikan tempat persemaian benih haruslah lahan yang airnya terjamin sepanjang hari serta terhindar dari banjir ketika hujan dan terhindar dari gangguan ternak peliharan. Mencangkul tanah merupakan proses pengolahan lahn yang harus dilakukan ketika sudah mendapat lahan yang
71
cocok dijadikan persemaian. Setelah diolah, proses selanjutnya adalah membuat petakan dan saluran air. Lebar petakan antara 1,25 sampai 2 meter sedangkan lebar saluran air antara 30-40 cm. Petakan persemaian dibuat mengarah memotong petak sawah. Lalu petak lahan yang akan dipakai untuk penyemaian dicangkul sekali lagi agar tanahnya gembur. Setelah selesai, lahan tersebut didiamkan antara 3-5 hari. Jenis pupuk yang dipakai saat persemaian biasanya adalah pupuk organik cair atau padat. Luas lahan persemaian padi pandanwangi perhektar antara 450-500 meter persegi. Luas lahan persemaian yang optimal akan membuat benih tumbuh sehat, kekar dan kuat. Persemaian dikerjakan dengan menggunakan tangan manusia dan cangkul. Benih padi pandanwangi yang baik adalah hasil permurnian pertumbuhan dilapangan yang seragam dari sawah yang sama. Benih hasil pemurnian di kemas dalam bentuk gabah. Sebelum ditanam benih memerlukan beberapa perlakuan diantaranya : 1.
Benih dijemur selam 1 hari antara pukul 8.00 s per d 11.00 WIB.
2.
Benih di rendam dalam larutan air garam 4 persen untuk memisahkan antara benih berisi penuh dengan yang hampa atau kurang berisi. Benih yang disemai merupakan benih yang berisi penuh.
3.
Merendam benih yang telah dibuang gabahnya dengan air bersih menggunakan karung selama 24 jam.
4.
Benih yang telah direndam, setelah diangkat, diperam selama 48 jam (1-2 hari).
72
5.
Setelah diperam selama 48 jam benih akan berkecambah. Panjang kecambahnya antara 0,5-1 mm (cumileuh). Benih yang berkecambah siap ditebarkan. Perlakuan benih sebelum disemai biasanya dilakukan oleh petani di rumah.
Alat-alat dan kondisi yang perlu dipersiapkan adalah alat menjemur (penjemuran), ember, garam, air, karung, bak air, tempat yang teduh dan lembab untuk memeram. Padi pandanwangi tidak memiliki waktu dormansi, artinya benih atau gabah yang baru di panen setelah dikeringkan langsung dapat di semai. Namun benih yang tidak mengalami masa dormansi pertumbuhannya tidak akan sebaik benih yang telah mengalami masa dormansi. Cara menabur benih padi pandanwangi di lahan persemaian adalah (1) Pilih benih yang telah berkecambah. Setelah itu segera ambil benih tersebut dengan kerapatan 0,5 genggam tangan (3-5 cm) untuk 0,5 meter persegi (1 petak), benih sebanyak 1 kg memerlukan persemaian sebesar 15 meter persegi atau 1 hektar sawah memerlukan 450 meter persegi dengan keperluar benih sebesar 3040 kg. Kedua, waktu menebar benih ke lahan persemaian, harus dipastikan tidak ada air tergenang di dalam area persemaian. Ketiga, benih disebar merata. Dan yang keempat, melakukan pengaturan air dipersemaian sedemikian rupa dengan acuan lebih rendah 0,01-0,05 mm dari ketinggian benih yang tumbuh. Penggunaan pupuk organik sangat dianjurkan saat proses persemaian berlangsung karena selain dapat manyuburkan tanaman, pupuk organik juga dapat memudahkan pencabutan bibit saat hendak ditanam. Sebaiknya tidak menutup benih menggunakan sekam padi, karena dapat menyebabkan tercampurnya benih
73
padi pandanwangi dengan benih padi yang lain. Melakukan penutupan benih bertujuan untuk mengantisipasi tercecernya benih padi akibat tertimpa air hujan. Proses penebaran benih biasanya dilakukan pada saat menjelang panen. Penebaran benih tidak dilakukan lahan untuk menanam padi. Alasan petani responden menyegerakan penyemaian benih adalah agar bisa memulai proses pengolahan tanah di sawah setelah panen bisa dilakukan. Jika lahan sudah selesai diolah, mereka bisa menghemat waktu dan tinggal menunggu bibit yang sedang disemai tumbuh. Pada saat penebaran benih dilakukan, sebagian dari petani responden ada yang mulai menanam bibit ikan ditempat persemaian dan ada yang melakukannya bersamaan dengan penanaman bibit padi. 2.
Persiapan dan Pengolahan Lahan Setelah padi musim sebelumnya dipanen, batang jerami padi tersebut di
tebas dengan menggunakan arit, biasanya dipotong sehingga tinggal menjadi sepertiga bagian dari awal. Batang jerami padi pandanwangi agak sukar busuk jika dibandingkan tanaman tanaman padi Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW) atau Varietas Unggul Baru (VUB). Pemotongan jerami menjadi sepertiga bagian bertujuan agar jerami mudah busuk dan pada waktu pengolahan tanah tidak jerami tersangkut pada alat pengolah tanah. Petani padi pandanwangi tidak membakar jerami di lahan mereka. Alasannya agar kandungan bahan organik yang berasal dari jerami di dalam lumpur lahan/sawah tidak hilang, sehingga kesuburan tanah di lahan mereka bertambah. Setelah jerami di tebas, dilakukan perbaikan pematang (mopokan) dan membuat saluran air di sepanjang pematang. Hal ini bertujuan agar air dapat
74
tergenang pada waktu pengolahan lahan (nyisian). Dalam mengolah lahan dibutuhkan air tergenang karena dapat mempermudah pengolahan lahan. Pembabatan jerami, pembuatan saluran air sepanjang pematang dan perbaikan pematang dikerjakan dengan tenaga laki-laki dengan menggunakan cangkul dan arit. Pengolahan tanah langsung dilakukan setelah panen selesai. Sebagian besar petani di lokasi penelitian setelah panen tidak membiarkan lahannya diberakan. Dari pada memberakan lahan, mereka memilih untuk langsung mengolah lahannya dengan menanami padi ataupun palawija. Perilaku ini lebih banyak dilakukan oleh petani penggarap yang harus bekerja lebih keras dalam mengoptimalkan produktivitas lahannya. Tujuannya untuk mengejar “setoran” (biaya bagi hasil atas penggunaan lahan) kepada pemilik lahan. Pengolahan tanah dimaksudkan untuk menstabilkan kondisi tanah dari segi kandungan unsur-unsur hara, memperbaiki sifat fisik tanah, memperbaiki drainase (aliran) air tanah sehingga tanah menjadi gembur dan siap untuk ditanami kembali. Pada umumnya setelah panen terdapat sisa-sisa jerami di lahan persawahan. Untuk padi pandanwangi, petani melakukan pengolahan tanah yang agak sedikit berbeda dengan padi lainnya. Pengolahan tanah diawali dengan melakukan penyiangan terhadap jerami padi pandanwangi bekas panen (istilahnya “babad jerami”). Setelah proses penyiangan selesai, langkah selanjutnya yakni dikenal dengan istilah “mopok galeung” (maksudnya menutup pematang sawah dengan tanah sawah agar aliran air di lahan tersebut tidak mengalami kebocoran). Kemudian setelah itu dibajak dengan mesin traktor ataupun dengan menggunakan
75
tenaga sapi atau kerbau. Sebagian besar petani responden menggunakan traktor dalam membajak lahannya. Ketika lahan dibajak dengan traktor, secara bersamaan petani pun mempekerjakan orang untuk membersihkan pematang, membuat aliran air dan merata-ratakan permukaan tanah yang telah dibajak. Setelah lahan menjadi gembur dan rata, maka lahan siap untuk ditanami. 3.
Penanaman bibit (“Tandur”) Petani menyebut penanaman bibit dengan istilah”tandur”. Bibit yang telah
disemai kemudian diangkat dan diikat terlebih dahulu. Dua hari sebelum penanaman bibit, petani sudah harus meratakan dasar sawah dan membuat saluran air baik memanjang pematang ataupun memotong petak sawah. Saluran air juga harus dibuat pada pinggir pematang yang tinggi (pada sawah terasering). Kemudian proses selanjutnya adalah membuat garis pada petakan dengan mengunakan penggaris. Jarak tanam berkisar antara 27x27 cm atau 30x30 cm, jika menggunakan alat legowo, jarak tanam padi pandanwangi adalah menggunakan legowo 5. Saat perataan tanah sebelum menggaris sebaiknya dilakukan pemupukan dasar, karena pada saat itu lumpur sawah masih lembek sehingga penggunaan pupuk akan lebih efektif dan efisien. Biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki dengan alat-alat yang digunakan adalah alat caplakan (penggaris), alat untuk meratakan tanah yang terbuat dari papan (pangangler) dan tali untuk membantu mencaplak. Proses pengangkatan bibit dari tempat persemaian disebut dengan istilah “babut”. Teknis dalam mencabut bibit dari tanah di lahan persemaian adalah
76
pertama, menggemburkan tanah persemaian agar memudahkan proses pencabutan bibit sehingga bibit tidak mengalami kerusakan. Bibit yang telah dicabut diikat dengan mengunakan merang padi. Pemilihan merang padi sebagai pengikat karena tekstur batang merang padi yang lembut dan kuat. Dengan tekstur tersebut bibit padi dapat dipastikan tidak akan rusak. Banyaknya benih padi setiap ikatannya kira-kira sejumlah gengaman orang dewasa (20-30 benih). Pencucian akar yang berlebihan sebaiknya dihindari agar akar benih padi tidak rusak. Ketika mengangkut bibit sampai ke petakan sawah sebaiknya jangan melempar bibit ke petakan sawah karena akan membuat bibit menjadi rusak. Ketika sudah sampai di sawah, bibit harus segera ditanam. Penanaman bibit disawah tidak boleh terlalu dalam (sampai ke dasar sawah). Akar dan batang benih tidak boleh terlipat. Penanaman yang terlalu dalam akan menyebabkan tanaman lambat tumbuh dan mudah terserang penyakit. Biasanya ibu-ibu yang melakukan proses babut hinga tandur. Selain tenaga kerja wanita dibutuhkan juga tenaga kerja pria untuk mengangkut bibit dari tempat persemaian. 4.
Penyulaman (“Ngageudag”) dan Pemupukan Tahap Satu Penyulaman dilakukan dengan melihat terlebih dahulu kondisi tanaman
apakah tumbuh dengan baik ataukah tidak. Jika sebagian tanaman ada yang terbawa aliran air atau roboh, maka harus dilakukan penyulaman. Di lokasi penelitian, biasanya proses penyulaman menggunakan tenaga kerja ibu-ibu. Selain menyulam tanaman, mereka juga harus menyiangi tanaman yang tumbuh liar disekitar sawah. Tanaman liar (gulma) tersebut berbentuk rumput dan alangalang yang dapat menghambat pertumbuhan bibit padi. Proses penyulaman dan penyiangan tahap awal dikenal dengan istilah “ngarambel awal” atau
77
“ngageudag”. Selain melakukan penyulaman, dilakukan pula pemupukan tahap 1. Pupuk yang diberikan adalah 150-200 kg Urea, 150-200 SP-36 dan KCl 50-75 kg setiap hektarnya per satu musim tanam. Petani juga bisa menggunakan pupuk NPK Phonska untuk mengantikan pupuk KCl yang sangat sulit ditemukan dilokasi penelitian. Dosis pupuk NPK Phonska yang dianjurkan adalah 300 kg per Ha. Cara dan waktu pemupukan pada tahap 1 adalah 1.
Pemberian pupuk dasar sebelum tanam yaitu saat menyelesaikan proses meratakan tanah sampai dengan bibit padi berumur 15 hari. Dosis pupuk yang diberikan adalah Urea sepertiga dari 50-65 kg (67 persen), sepertiga SP 36 dari 100-150 kg (67 persen), sepertiga dari KCl 25-37 kg (50 persen). Jika menggunakan Phonska digunakan 150 kg (50 persen). Proses pemberian pupuk dengan cara di tebar.
2.
Pupuk susulan ke 1 diberikan saat umur tanaman 25-30 hari ketika melakukan penyiangan pertama. Takaran pupuk Urea yang diberikan adalah sebesar dua per tiga dari 50-65 kg (33 persen), SP 36 dua per tiga dari 25-37,5 kg (40persen) dan dua per tiga dari KCl antara 25-37 kg. Pupuk ini diberikan pada saat menyiangi, tujuannya agar pupuk dapat terbenam ke dasar sawah. Jika menggunakan Phonska digunakan sebesar 150 kg (50persen). Pemberian pupuk dilakukan dengan cara disebar. Pengaturan air harus diperhatikan dan dipertahankan agar air yang sudah bercampur dengan pupuk tidak keluar dari petakan (terbuang).
78
5.
Penyiangan dan Pemupukan Tahap Dua. Padi yang telah ditanam memerlukan pemeliharaan dan pemberian unsur
hara (pupuk). Pemberian pupuk sangat penting untuk membuat pertumbuhan tanaman padi sesuai dengan yang diharapkan. Tanaman padi akan mati ataupun tumbuh dengan tidak optimal jika tidak ada pemeliharaan dan pemberian pupuk dari petani. Setelah beberapa minggu sejak proses penanaman, rumput-rumputan dan alang-alang liar tumbuh disawah. Jika tanaman liar itu dibiarkan hidup, maka akan mengganggu pertumbuhan tanaman padi. Untuk itu petani menyiangi rumput-rumputan dan alang-alang yang tumbuh liar. Selain menyiangi tanaman yang tidak diinginkan (gulma), petani pada saat yang sama juga melakukan pemupukan tahap 2. Pupuk yang diberikan yakni berupa sisa pupuk Urea dan SP 36 (sisa pemupukan tahap 1) juga ditambah KCl atau NPK Phonska. 6.
Membersihkan Pematang Sawah (Penyiangan Pematang Sawah) Pada tahap ini aktifitas yang dilakukan petani yakni membersihkan
pematang sawah dari rumput-rumput dan tanaman-tanaman penggangu lainnya dengan menggunakan kored. 7.
Pemberantasan Hama dan Penyakit 1. Setiap tanaman yang ditanam tidak lepas dari hama dan penyakit yang
akan selalu menggangu pertumbuhannya. Begitu juga dengan padi pandanwangi. Hama yang menyerang tanaman padi pandanwangi adalah : tikus, Keong Mas, Walang Sangit, Hama Putih (Nymphula depuntalis), hama putih palsu (Cnaphaloscsis medinalis), Ulat Grayak (Laphym exemta dan Laucania spp).
79
Penyakit yang sering menyerang padi adalah penyakit balst atau busuk daun (Rice balst),leher (Neck Rot) dan gelang buku (Node balst), dan penyakit virus tungro. Petani padi pandanwangi melakukan penyemprotan insektisida untuk memberantas hama dan penyakit tersebut. Insektisida yang dipakai oleh petani berupa larutan cair yang dilarutkan bersama air. Jenisnya tergantung dari hama atau penyakit yang menyerang padi pandanwangi miliknya. Biasanya jenis pestisida yang digunakan berupa Decis, Arrivo, dsb. Dalam menyemprot pestisida ke tanaman padi, petani biasanya menggunakan alat seperti sprayer dan handsbower. 8.
Pemberantasan Hama dan Penyakit 2 Langkah yang dilakukan sama dengan pemberantasan hama dan penyakit
satu. 9.
Panen Umur tanaman padi pandanwangi mencapai 150-160 hari. Setelah padi
mencapai umur panen, pemanenan harus segera dilakukan. Cara memanen padi pandanwangi tidak sama dengan jenis padi pada umumnya. Salah satu keunikan padi pandanwangi adalah cara memanennya. Pemanenan padi pandanwangi mengunakan alat bernama etem. Alasan penggunaan alat ini adalah karena padi pandanwangi memiliki postur batang tinggi dan butir padi yang terikat kuat pada malainya. Kuatnya butiran padi terikat pada malainya itu menyebabkan gabah pandanwangi sulit untuk dirontokkan dengan mesin perontok atau pun dengan alat tradisional lainnya (“digeubug”). Sampai saat ini petani masih menggunakan etem
80
untuk menuainya dan belum ada alat lain yang mampu menggantikannya sekalipun ilmu dan teknologi pertanian terus berkembang.
6.3
Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Dalam menganalisis pendapatan usahatani responden, dibedakan menjadi
dua, yaitu pertama, pendapatan usahatani pemilik penggarap dan yang kedua, pendapatan usahatani penggarap. Sumber penerimaan kedua jenis strata petani dapat berbentuk tunai maupun tidak tunai. Sumber penerimaan petani sebagian berasal dari produksi gabah dan ikan. Penerimaan petani yang berbentuk tunai berupa hasil penjualan gabah dan ikan, sedangkan penerimaan tidak tunai berupa gabah dan ikan yang digunakan untuk konsumsi keluarga serta jumlah penyimpanan gabah yang akan dijadikan benih untuk usahatani selanjutnya. Jumlah gabah maupun ikan yang dikonsumsi jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dijual. Petani pemilik penggarap dan penggarap lebih memilih untuk menjual gabah dalam jumlah volume yang besar. Harga gabah pandanwangi yang mahal dan sangat menjanjikan merupakan alasan mereka untuk melakukan hal tersebut. Tujuannya agar mereka bisa memperoleh penerimaan yang lebih besar dari hasil penjualannya. Petani membutuhkan sejumlah biaya input produksi dalam mengolah lahannya. Terdapat perbedaan antara petani pemilik dan penggarap berkaitan dengan besarnya jumlah input yang dipakai. Tingkat pengetahuan dan kebiasaan yang dilakukan oleh petani juga merupakan salah satu penyebab perbedaan tersebut. Input yang dibutuhkan oleh responden petani di daerah penelitian antara lain; lahan, benih padi, bibit ikan, pupuk (Urea, SP 36 dan NPK), insektisida dan tenaga kerja (dari luar keluarga maupun dari dalam keluarga). Biaya input
81
produksi yang harus dikeluarkan oleh petani dibedakan menjadi dua, yaitu biaya tunai dan tidak tunai. Pendapatan yang diterima petani pemilik penggarap maupun penggarap terdiri dari dua, yaitu pendapatan atas biaya tunai atau biaya total.
6.3.1 Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Petani Pemilik Penggarap. Sumber penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani pemilik penggarap secara rinci dapat dilihat dari Tabel 9. Dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa penerimaan yang diterima petani pemilik penggarap berasal dari produksi gabah dan ikan. Gabah yang dihasilkan sebanyak 3.588,31 kg GKP per musim tanamnya. Angka produksi gabah yang dihasilkan oleh pemilik dipengaruhi oleh faktor lamanya pengalaman dalam usahatani dan tingkat pendidikan (Tabel 8). Petani pemilik penggarap menjual gabah sebanyak 3.065,28 kg atau sebesar 85,41 persen dari total gabah yang dihasilkan. Sisanya sebanyak 216,35 kg (6,04 persen) dipakai untuk konsumsi keluarga dan sebanyak 306,88 kg (8,55 persen) dipakai sebagai tambahan stok benih untuk penanaman musim berikutnya. Mayoritas petani pemilik penggarap (85,7 persen) menjual gabah tanpa melakukan pengolahan sama sekali. Hal ini disebabkan oleh ; keinginan untuk cepat memperoleh uang, rumit dan lamanya proses pengolahan gabah pandanwangi menjadi beras pandanwangi serta besarnya modal yang diperlukan. Penerimaan yang diterima petani pemilik penggarap dari hasil penjualan gabah sebesar Rp. 9.195.840,10.
82
Tabel 9. Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Rata-Rata Per Musim Usahatani Petani Pemilik Penggarap padi pandanwangi pada Lahan 1 Ha Rata‐Rata per Musim No Komponen Jumlah Fisik Tanam (Rp) 1 Penerimaan Penerimaan Tunai Penjualan gabah (kg) 3.065,28 9.195.840,10 Penjualan ikan (kg) 72,42 579.332,93 9.775.173,03 Total Penerimaan Tunai Penerimaan Tidak Tunai Konsumsi gabah keluarga (kg) 216,35 649.035,00 Konsumsi Ikan keluarga (kg) 7,78 69.992,68 Penyimpanan (kg) 306,88 920.625,00 1.639.652,68 Total Penerimaan Tidak Tunai 11.414.825,71 Total Penerimaan Usahatani 2 Biaya Biaya Tunai Pembelian benih padi (kg) 43,33 303.300,00 41,32 198.350,21 pembelian bibit ikan (kg) pembelian pupuk : ~ Urea (kg) 135,80 203.696,12 ~ SP 36 (kg) 118,20 212.760,63 ~ NPK (kg) 41,48 103.708,25 520.165,00 Total pembelian Pupuk 75.000,00 Pembelian Insektisida 538.275,00 Biaya Panen (per kg) Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (HOK) 143,19 2.147.796,40 60.000,00 Iuran Pajak 157.025,00 Zakat 38.860,00 Biaya lain‐lain 4.038.771,61 Total Biaya Tunai Biaya Tidak Tunai Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (HOK) 11,31 169.684,12 95.100,25 Penyusutan alat Biaya imbangan penggunaan lahan 5.315.091,70 5.579.876,07 Total Biaya Tidak tunai 9.618.647,68 Total Biaya Produksi 3 Pendapatan 5.736.401,43 Pendapatan atas biaya tunai 1.796.178,04 Pandapatan atas biaya total 2,42 R/C atas biaya tunai 1,1867 R/C atas biaya total Sumber: Data primer, diolah
83
Total biaya per musim yang dikeluarkan oleh petani pemilik penggarap besarnya mencapai Rp. 9.618.647,68, yang terdiri dari 41,99 persen biaya tunai dan 58,01 persen biaya tidak tunai. Persentase biaya tidak tunai lebih besar dibanding dengan biaya tunai. Komponen penyusun biaya tidak tunai terbesar adalah biaya imbangan penggunaan lahan. Dalam penggunaan insektisida, data yang diperoleh dari petani tidak sama dalam hal satuan fisik yang digunakan. Oleh karena itu untuk penggunaan insektisida hanya dapat diketahui dari rataan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh setiap responden untuk biaya membeli insektisida. Kegiatan usahatani di daerah penelitian memerlukan tenaga kerja yang berasal dari tenaga kerja manusia (pria dan wanita), tenaga kerja dan tenaga kerja mesin. Tenaga kerja manusia berasal dari dalam dan luar keluarga. Petani menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga disebabkan oleh keterbatasan yang dimilki oleh tenaga kerja dalam keluarga. Tenaga kerja dari luar sering disebut sebagai tenaga buruh tani. Penggunaaan tenaga kerja ternak seperti penggunaan kerbau atau sapi untuk membajak tidak di temui di daerah penelitian. Hal ini disebabkan karena sebagian besar petani telah menggunakan tenaga mesin traktor untuk membajak (lahan) sawahnya. Selein itu penggunaan mesin traktor lebih efektif, efisien dan praktis. Sebagian besar petani mempekerjakan tenaga dari luar untuk membajak lahannya dengan menggunakan mesin traktor. Pembayaran upahnya di lakukan dengan sistem borongan dengan atau tanpa memberi makan. Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) diperlukan dalam proses pemangkasan, pembajakan, penyiangan, penanaman bibit, pengangkutan bibit dari tempat penyemaian, pemupukan , pemberantasan hama penyakit serta panen padi
84
dan ikan. Sebagian besar tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja pria, Tenaga kerja wanita hanya dibutuhkan pada saat pengambilan bibit dari tempat penyemaian, penanaman bibit dan penyiangan rumput dan gulma. Penggunaaan tenaga kerja baik yang berasal dari dalam maupun dari luar keluarga dikonversikan ke dalam satuan hari orang kerja (HOK). Tenaga kerja pria dijadikan sebagai standar pokok bagi penentuan satu satuan HOK yang memiliki rata-rata jam kerja 6 jam per hari. Petani mulai bekerja dari pukul enam pagi sampai pukul 12 siang. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga rata-rata responden petani pemilik penggarap 143,19 HOK per per musimnya. Penggunaan tenaga kerja dari dalam keluarga rata-rata responden petani pemilik penggarap per musimnya adalah 11,3 HOK. Penggunaan tenaga kerja dari dalam keluarga lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja luar keluarga. Pendapatan atas biaya tunai per musim petani pemilik penggarap besarnya adalah Rp. 5.736.401,43 sedangkan pendapatan atas biaya total sebesar Rp. 1.796.178,04.
6.3.2
Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Petani Penggarap Secara umum variabel penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani petani
penggarap hampir sama dengan petani pemilik. Besarnya ketiga komponen tersebut secara rinci tertera dalam Tabel 10. Penerimaan petani penggarap per musim dari hasil penjualan gabahnya mencapai 97,58 persen dari total nilai gabah yang dihasilkan atau sebesar Rp. 8.470.559,60. Sisanya sebesar 2,42 persen disimpan petani penggarap untuk tambahan benih pada musim tanam berikutnya. Persentase gabah yang dijual dari jumlah penggarap
yang dihasilkan
petani
lebih besar dibandingkan dengan petani pemilik penggarap. Hal ini
85
disebabkan
oleh
keinginan
petani
penggarap
beserta
keluarga
untuk
mengkonsumsi beras pandanwangi lebih rendah dibandingkan keluarga pemilik penggarap. Selain itu kewajiban untuk menyerahkan biaya bagi hasil atas penggunaan lahan kepada pemilik lahan dalam jumlah yang cukup besar juga membuat petani penggarap harus mencari keuntungan maksimal dari hasil produksinya. Pada Tabel 10 terlihat komponen biaya dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh responden petani penggarap. Komponen penyusun biaya, baik biaya tunai maupun tidak tunai hampir memiliki kesamaan dengan komponen biaya yang dikeluarkan oleh responden petani pemilik penggarap. Total biaya yang harus dikeluarkan oleh petani penggarap besarnya adalah Rp. 8.810.215,54 , yang terdiri dari Rp. 8.593.864,76 biaya tunai dan Rp. 216.350,78 biaya tidak tunai. Biaya tunai yang dikeluarkan oleh penggarap jauh lebih besar dibandingkan dengan pemilik. Hal ini disebabkan oleh besarnya biaya bagi hasil yang dikeluarkan penggarap sebesar Rp. 5.315.091 per musimnya. Ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga pada petani petani penggarap tidak mencukupi kebutuhan mereka akan tenaga kerja. Oleh sebab itu mereka pun mempekerjakan tenaga kerja luar keluarga yang mencapai 114,94 HOK per musimnya lebih besar dibandingkan dengan ketersediaan tenga kerja dalam keluarga yaitu 11,31 HOK per musimnya. Jika kita membandingkan penggunaan tenaga kerja luar keluarga antara responden petani pemilik penggarap dan penggarap, maka akan tampak jelas bahwa penggunaan tenaga kerja luar keluarga petani pemilik penggarap lebih besar daripada petani penggarap. Hal ini disebabkan oleh petani penggarap lebih banyak mengikutsertakan dirinya bekerja
86
di lahan dibanding dengan pemilik. Secara rinci penggunaan input produksi oleh petani penggarap dapat dilihat dalam Tabel 10. Pendapatan yang diperoleh petani penggarap dipengaruhi oleh besarnya biaya yang dikeluarkan, baik dalam bentuk biaya tunai maupun total biaya keseluruhan yang didalamnya terdapat biaya-biaya yang diperhitungkan. Pendapatan atas biaya tunai responden petani penggarap besarnya rata-rata Rp. 606.961,99 per musimnya. Pendapatan responden petani penggarap terlihat jauh lebih kecil (Tabel 10). Penyebabnya adalah besarnya nilai pengeluaran secara tunai, khususnya biaya bagi hasil atas penggunaan lahan yang jumlahnya Rp. 5.315.091,70.
87
Tabel 10. Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Petani Penggarap Pada Lahan 1 Ha Rata-Rata Per Musim Tanamnya No 1
2
Komponen Penerimaan Penerimaan Tunai Penjualan gabah (kg) Penjualan ikan (kg) Total Penerimaan Tunai Penerimaan Tidak Tunai Konsumsi gabah keluarga (kg) Konsumsi Ikan keluarga (kg) Penyimpanan (kg) Total Penerimaan Tidak Tunai Total Penerimaan Usahatani Biaya Biaya Tunai Pembelian benih padi (kg) pembelian bibit ikan (kg) pembelian pupuk : ~ Urea (kg) ~ SP 36 (kg) ~ NPK (kg) Total pembelian Pupuk Pembelian Insektisida Bagi hasil atas penggunaan lahan
Biaya Panen Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (HOK)
Biaya lain‐lain Total Biaya Tunai Biaya Tidak Tunai Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (HOK)
Penyusutan alat Total Biaya Tidak tunai Total Biaya Produksi 3 Pendapatan Pendapatan atas biaya tunai Pandapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total Sumber: Data primer, diolah
Jumlah Fisik
Rata‐Rata per Musim Tanam (Rp)
2823,52 8.470.559,60 81,14 730.267,15 9.200.826,75 ‐ 15,46 139.095,44 70,00 210.000,00 349.095,44 9.549.922,19
42,65 298.535,96 49,46 237.413,08 133,34 200.014,87 122,93 221.271,05 41,48 103.708,25 524.994,17 41.000,00 5.315.091,70 436.389,29 114,94 1.724.163,91 16.276,66 8.593.864,76 11,31 169.684,12 46.666,66 216.350,78 8.810.215,54 606.961,99 739.706,65 1,07 1,08
Sistem pembagian hasil yang ditetapkan oleh pemilik lahan yang menggunakan pembagian sistem 2 : 1 atau 3 : 2 menyebabkan besarnya biaya bagi hasil yang harus dibayarkan oleh petani penggarap. Sistem 2 : 1 atau 3 : 2
88
maksudnya adalah si pemilik lahan memperoleh 2 per 3 atau 3 per 5 bagian sedangkan si penggarap hanya memperoleh 1 per 3 atau 2 per 5 bagian dari hasil panen yang diperoleh. Kemudian untuk biaya produksi semuanya menjadi tanggungan penggarap, terkecuali zakat dan iuran pajak kepada pemerintah yang menjadi tanggungan pemilik. Dengan sistem seperti ini responden petani penggarap hanya mendapat bagian (hasil) lebih kecil dibandingkan petani pemilik. Banyak petani penggarap di lokasi penelitian yang mengeluh dan merasa keberatan dengan sistem ini. Hal ini membuktikan bahwa sistem pembagian hasil ini
terkesan sangat tidak adil. Namun petani penggarap tidak dapat berbuat
banyak dengan sistem yang berlaku dan sudah mengakar didaerahnya. Menurut piahk PPL setempat, pihak pemerintah dalam hal ini Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat II Kabupaten Cianjur akan membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang isinya mengatur hubungan anatara pemilik tanah dan para penggarap tanah mengenai pembagian hasil diantara mereka. Sistem ini juga menunjukan bahwa teori kapitalis berlaku pada daerah penelitian Pada umumnya petani penggarap di lokasi penelitian menggarap lebih dari satu lahan garapan. Dalam mencukupi kebutuhan sehari-harinya, petani penggarap tidak hanya mengandalkan hasil dari mengolah lahan garapan milik orang lain. Biasanya mereka juga mengolah lahan milik sendiri dengan jenis padi lain atau tanaman Holtikultura seperti (jagung, kol, kubis dll). Untuk jenis padi, padi yang mereka tanam adalah padi jenis IR 64. Alasan memilih menanam padi IR 64 adalah karena umurnya relatif pendek dibandingkan dengan padi pandanwangi. Sehingga dalam satu tahun mereka bisa memanennya hingga tiga kali. Tidak
89
hanya menanaminya dengan padi, petani penggarap sering menerapkan pola pergiliran tanaman dengan Palawija (seperti kacang-kacangan, jagung, mentimun dan sebagainya). Hasil panen dari lahan itu pun kebanyakan mereka jual. Untuk memenuhi kebutuhan beras keluarga kebanyakan mereka membeli beras yang harganya lebih murah dari harga beras pandanwangi atau IR 64. Kenyataan ini sangatlah menyedihkan. Kebanyakan dari petani penggarap tidak pernah mengkonsumsi beras yang mereka produksi sendiri, bahkan banyak petani penggarap yang menggunakan Raskin (beras miskin) pemberian negara untuk konsumsi sehari-hari. Selain mengolah lahan mereka sendiri, sebagian besar dari petani responden ada yang mengolah kebun, ladang atau kolam ikan. Seringkali mereka pun melakukan sistem penanaman tumpang sari pada lahan pemilik yang mereka garap, yaitu dengan menanam kacang-kacangan, jagung, pisang ataupun tanaman konsumsi sehari-hari di pematang sawah dengan jumlah yang tidak banyak. Hasil panen tanaman tumpang sari serta hasil panen dari lahan sendiri (sawah, kebun, ladang maupun kolam) cukup membantu pendapatan keluarga petani penggarap. Secara umum di lokasi penelitian, terlihat jelas perbedaan sikap antara petani pemilik penggarap dengan petani penggarap. Petani penggarap terlihat sangat gigih dan tekun serta tidak pernah lelah dalam menjalankan usahatani. Tujuannya adalah untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya yang tidak pernah tercukupi. Rasio R per C atas biaya tunai per musim responden petani pemilik penggarap sebesar 2,42 Hal ini menunjukkan bahwa Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan oleh petani akan membuat petani mendapatkan penerimaan sebesar
90
Rp. 2,42, sedangkan nilai Rasio R per C petani penggarap adalah 1,07. Rasio R per C atas biaya tunai pada kedua strata petani tersebut menunjukan bahwa usahatani padi pandanwangi ini menguntungkan dan dapat dikembangkan agar lebih menguntungkan lagi. Analisis rasio R per C terhadap biaya total menunjukan bahwa nilai R per C rasio kedua strata petani tersebut diatas satu, ini menunjukan bahwa kedua strata petani tersebut melakukan usahatani yang menguntungkan. Secara nominal rasio R per C atas biaya total pemilik penggarap sebesar 1,19 lebih besar dibanding dengan nilai penggarap 1,08. Dari perhitungan pendapatan dan rasio R per C, dapat diketahui bahwa usahatani yang dilakukan oleh petani pemilik penggrap dan penggarap keduanya menguntungkan, namun secara nominal usahatani yang dilakukan oleh petani pemilik penggarap lebih menguntungkan dari pada penggarap. Secara rinci perbandingan produksi gabah, ikan mas, biaya input usahatani dan R per C Ratio petani pemilik penggarap dan penggarap dapat dilihat pada Tabel 11. Keterangan lebih rinci mengenai penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani pada musim tanam I dan II (MT I dan MT II) dapat dilihat pada Tabel Lampiran 1 dan Lampiran 2. Tabel 11. Perbandingan Produksi Gabah, Ikan mas, Biaya Input Usahatani dan R per C Ratio Antara Petani Pemilik Penggarap dan Penggarap Pada Lahan 1 Ha Per Musimnya Keterangan Pemilik Penggarap Penggarap Produksi gabah (kg) 3588,51 2893,52 Produksi ikan (kg) 80,2 96,6 Penerimaan usahatani (Rp) 11.414.825,71 9.549.922,19 Penerimaan tunai (Rp) 9.775.173,03 9.200.826,75 Total biaya (Rp) 9.618.647,68 8.810.215,54 Total biaya tunai (Rp) 4.038.771,61 8.593.864,76 R/C atas biaya total 1,19 1,08 R/C atas biaya tunai 2,42 1,07 Sumber: Data primer, diolah
91
Tabel 12. Perbandingan Analisis Usahatani Petani Pemilik Penggarap dan Petani Penggarap Per Musim Tanamnya Petani Pemilik Petani Penggarap No Komponen penggarap 1 Penerimaan Penerimaan Tunai 9.195.840,10 8.470.559,60 Penjualan gabah (kg) 579.332,93 730.267,15 Penjualan ikan (kg) 9.775.173,03 9.200.826,75 Total Penerimaan Tunai Penerimaan Tidak Tunai 649.035,00 Rp‐ Konsumsi gabah keluarga (kg) 69.992,68 139.095,44 Konsumsi Ikan keluarga (kg) 920.625,00 210.000,00 Penyimpanan (kg) 1.639.652,68 349.095,44 Total Penerimaan Tidak Tunai 11.414.825,71 9.549.922,19 Total Penerimaan Usahatani 2 Biaya Biaya Tunai 303.300,00 298.535,96 Pembelian benih padi (kg) 198.350,21 237.413,08 pembelian bibit ikan (kg) pembelian pupuk : 203.696,12 200.014,87 ~ Urea (kg) 212.760,63 221.271,05 ~ SP 36 (kg) 103.708,25 103.708,25 ~ NPK (kg) 520.165,00 524.994,17 Total pembelian Pupuk 75.000,00 41.000,00 Pembelian Insektisida Bagi Hasil Atas Penggunaan Lahan 0,00 5.315.091,70 538.275,00 436.389,29 Biaya Panen (per kg) Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (HOK) 2.147.796,40 1.724.163,91 60.000,00 Rp‐ Iuran Pajak 157.025,00 Rp‐ Zakat 38.860,00 16.276,66 Biaya lain‐lain 4.038.771,61 8.593.864,76 Total Biaya Tunai Biaya Tidak Tunai Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (HOK) 169.684,12 169.684,12 95.100,25 46.666,66 Penyusutan alat Biaya imbangan penggunaan lahan 5.315.091,70 Rp‐ 5.579.876,07 216.350,78 Total Biaya Tidak tunai 9.618.647,68 8.810.215,54 Total Biaya Produksi 3 Pendapatan 5.736.401,43 606.961,99 Pendapatan atas biaya tunai 1.796.178,04 739.706,65 Pandapatan atas biaya total 2,42 1,07 R/C atas biaya tunai 1,19 1,08 R/C atas biaya total Sumber: Data primer, diolah
92
VII SALURAN, LEMBAGA DAN FUNGSI TATANIAGA BERAS PANDANWANGI DI KABUPATEN CIANJUR
7.1.
Saluran dan Lembaga Tataniaga Definisi saluran tataniaga adalah rangkaian lembaga tataniaga yang dilalui
produk berupa barang atau jasa dengan arah penyaluran produk dari produsen ke konsumen. Setiap saluran yang berbeda akan memberikan keuntungan yang berbeda pula kepada masing masing lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga tersebut. Semakin pendek saluran tataniaga akan memberikan keuntungan yang lebih besar terhadap produsen dibandingkan dengan saluran tataniaga yang panjang. Hal ini dijelaskan dengan menggunakan analisis marjin tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga yang terdapat dalam saluran tataniaga beras pandanwangi didaerah penelitian adalah sebagai berikut: 1.
Pedagang Pengumpul Tingkat Desa (Tengkulak) Pedagang pengumpul tingkat desa adalah orang yang membeli gabah dari
petani secara langsung. Mereka membeli gabah dari petani dalam bentuk padi siap panen yang masih ditanam di sawah dan pembeliannya dilakukan dengan sistem borongan (istilahnya “kemplang”). Sebagian besar pedagang pengumpul tingkat desa tidak mengolah gabah secara langsung menjadi beras. Pedagang pengumpul yang dijadikan responden, umumnya tidak memiliki Huller (Alat merubah gabah menjadi beras), sehingga jika ingin melakukan proses pengolahan gabah menjadi beras harus menyewa Huller yang dimiliki oleh pedagang besar desa setempat.
93
2.
Pedagang Besar Daerah (PBD) Pedagang besar daerah adalah orang yang membeli gabah atau beras dari
pihak pedagang pengumpul ataupun dari petani. Prosedur pembeliannya adalah pedagang pengumpul atau petani mendatangi pedagang besar ataupun pihak pedagang besar yang mendatangi petani. Biasanya pedagang besar telah memiliki langganan pedagang pengumpul yang menjual gabah atau beras kepada mereka. Sebagian mereka membeli gabah dari pedagang pengumpul sudah dalam bentuk beras dan sebagian lainnya membeli masih dalam keadaan Gabah Kering Panen (GKP). Sedangkan pembelian yang berasal dari petani secara keseluruhannya GKP. Rata-rata pedagang besar yang dijadikan responden memiliki fasilitas Huller dengan sarana dan prasana yang lengkap juga ditunjang dengan kualitas mesin pabrik yang baik. Beras yang telah dibeli dari pedagang pengumpul diolah kembali oleh pedagang besar menjadi beras yang memiliki kualitas dan nilai jual yang lebih tinggi dari pada sebelumnya. Pengolahannya menyangkut proses pemutihan beras. Proses penggolongan beras (grading) ke dalam beberapa kualitas yang diinginkan dan proses pengemasan ulang. Sementara lnput yang masih dalam bentuk gabah mereka olah hingga menjadi beras yang siap untuk dijual. Proses pengolahannya mulai dari penjemuran, penggilingan, grading, sortasi dan pengemasan. Hasil grading yang dilakukan oleh pedagang besar menghasilkan kualitas Kepala, Super dan Jitay. Setelah proses pengemasan selesai, maka langkah selanjutnya memasarkan kepada pedagang pengecer daerah, luar daerah dan pedagang besar daerah. Tidak hanya memasarkan kepada lembaga tataniaga lain, mereka juga
94
memasarkan beras secara langsung kepada konsumen. Dalam hal ini konsumen langsung mendatangi Huller yang dimiliki oleh pedagang besar. 3.
Pedagang Besar Luar Daerah (PBLD) Pedagang besar luar daerah (biasa disebut sebagai pedagang grosir) yang
dituju oleh para pedagang besar daerah diantaranya pedagang grosir di Pasar Induk Cipinang (PIC), Bogor, Bandung, dan Sukabumi. Biasanya mereka dikirim langsung oleh pedagang besar daerah secara kontinu setiap minggu. Pembayaran yang dilakukan bisa dalam bentuk tunai. Mereka menjual beras kepada konsumen dengan cara mengirimnya langsung kepada konsumen ataupun melayani di tempat. Sebagian besar konsumen pandanwangi di PlC adalah restoran, rumah makan dan catering. Dan pedagang besar luar daerah (khususnya di PIC) beras disalurkan kepada pedagang besar luar pulau seperti ke Lampung. 4.
Pasar Swalayan Pasar swalayan merupakan lembaga yang langsung berhadapan dengan
konsumen. Pasar swalayan meliputi dua jenis yaitu Supermarket dan Hypermarket. Supermarket yang dituju oleh pedagang besar adalah Hero. Sedangkan Hypermarket yang dituju oleh pedagang besar adalah Carefour. Baik Hero ataupun Carefour tidak melakukan pengemasan ulang karena mereka langsung menjual beras yang telah dibeli dari pedagang besar daerah dalam kemasan ukuran 5kg, 10kg, dan 20kg. Jenis kualitas beras yang dipasarkan adalah super.
95
5.
Pedagang Pengecer Pedagang pengecer merupakan pedagang yang langsung berhadapan
dengan konsumen. Pedagang pengecer terbagi menjadi dua jenis yaitu pedagang pengecer daerah dan pedagang pengecer luar daerah. Pedagang pengecer daerah yang dituju oleh para pedagang besar daerah diantarannya toko-toko manisan yang terdapat di sepanjang jalan Bypass Cianjur dan pedagang beras yang terdapat di beberapa pasar yang ada di Kabupaten Cianjur. Sedangkan pedagang pengecer luar daerah ada yang mengecerkannya di pasar atau di toko-toko. Baik pedagang pengecer daerah ataupun luar daerah tidak melakukan proses pengemasan ulang karena mereka langsung menjual beras yang telah dibeli dari pedagang besar daerah dalam kemasan ukuran 5kg, 10 kg, 20 kg, 25 kg dan 50 kg. Jenis kualitas beras yang dipasarkan juga berbeda seperti Kepala, Super dan Jitay. Pola tataniaga beras dari tingkat petani hingga konsumen pada lokasi penelitian digambarkan pada Gambar 3. 81,4 persen (22 Orang) Pedagang Pengumpul (Tengkulak)
Pedagang Besar Luar Daerah Pasar Swalayan
Petani Padi PW Pedagang Besar Daerah
Pedagang Pengecer
Konsumen
(5 Orang) 18,6 persen Gambar 3.
Saluran Tataniaga Beras pandanwangi dari Kabupaten Cianjur Sampai ke Konsumen Keterangan : Petani tidak melakukan fungsi pengolahan gabah
96
7.2
Analisis Fungsi-Fungsi Tataniaga Dalam proses penyampaian barang dari tangan produsen hingga ke tangan
konsumen
diperlukan
berbagai
kegiatan
atau
tindakan-tindakan
untuk
memperlancar proses penyampaian barang dan jasa yang bersangkutan. Kegiatan tersebut disebut sebagai fungsi tataniaga. Apabila fungsi-fungsi tataniaga berperan sebagaimana mestinya, maka tataniaga dapat meningkatkan nilai ekonomi dan nilai jual produk yang bersangkutan. Fungsi - fungsi tataniaga dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat didalamnya. Tidak semua jenis fungsi tataniaga dilakukan oleh semua lembaga tataniaga. Ada kalanya suatu fungsi tataniaga tertentu dilakukan oleh satu lembaga atau beberapa lembaga, tetapi tidak dilakukan oleh lembaga lainnya. Selain itu ada fungsi tataniaga tertentu yang dilakukan oleh semua lembaga yang terlibat. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga beras pandanwangi dapat dilihat pada Tabel 13.
97
Tabel 13. No
Fungsi-Fungsi Tataniaga yang Dilaksanakan Oleh Lembaga Lembaga Tataniaga Beras pandanwangi di Kabupaten Cianjur
Lembaga Pemasaran
1 Petani
2 Pedagang Pengumpul
Fungsi Tataniaga Pertukaran Pelancar Pertukaran
Perlakuan Penjualan Permodalan Penjualan dan Pembelian
Pengadaan Secara Fisik
Pengolahan, Pengemasan, Pengangkutan dan Penyimpanan
Pertukaran
Informasi Harga dan Pasar, Sortasi, Permodalan dan Penanggungan resiko Pembelian dan Penjualan
Pengadaan Secara Fisik
Pengolahan, Pengemasan, Pengangkutan dan Penyimpanan
Pelancar
Informasi Harga dan Pasar, Sortasi dan Grading, Permodalan dan Penanggungan resiko
Pelancar
3 Pedagang Besar Daerah
4 Pedagang Besar Luar daerah
Pertukaran Pengadaan Secara Fisik Pelancar
5 Pedagang Pengecer
Pertukaran Pengadaan Secara Fisik Pelancar
6 Pasar Swalayan
Pertukaran Pengadaan Secara Fisik
Pembelian dan Penjualan Pengangkutan dan Penyimpanan Informasi harga dan Pasar, Permodalan dan penanggungan Resiko Pembelian dan Penjualan Pengangkutan dan Penyimpanan Informasi harga dan Pasar, Permodalan dan penanggungan Resiko Pembelian dan Penjualan Pengangkutan, pengemasan dan Penyimpanan
Sumber: Data primer, diolah
7.2.1 Fungsi Pertukaran Dalam setiap kegiatan tataniaga produk atau komoditas apapun tidak akan terlepas dari proses transaksi penjualan-pembelian. Begitu pula untuk tataniaga
98
beras pandanwangi. Proses jual-beli yang merupakan bagian dari fungsi pertukaran tataniaga. Pada tingkat petani fungsi pertukaran yang dilakukan yaitu fungsi penjualan. Mereka menjual gabah kepada pedagang pengumpul ataupun kepada pedagang besar daerah. Sistem pembayaran dari jual-beli yang terjadi bisa dalam bentuk tunai maupun kredit. Pedagang pengumpul tingkat desa juga melakukan fungsi pertukaran yaitu penjualan dan pembelian. Mereka malakukan fungsi pembelian saat membeli gabah dari petani. Sistem pembelian gabah yang berlaku di sana sebagian besar berupa sistem “ijon” dimana padi dibeli oleh pedagang sebelum dipanen. Sistem ini tidak selamanya menguntungkan petani ataupun pedagang pengumpul. Dalam prakteknya, pedagang hanya menaksir luas dan kondisi tanaman padi yang akan dibeli dengan sebuah sistem yang disebut dengan istilah kemplang (membeli dalam areal satu hamparan). Mereka memilik alasan untuk melakukan sistem jual beli seperti itu. Alasannya bagi petani adalah sistem itu memudahkan keinginan mereka yang cepat memperoleh hasil tunai (uang). Selain itu, dengan sistem ini petani berharap dapat mengurangi resiko apabila ternyata hasil yang dipanen jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang diperkirakan. Keuntungan petani dan pedagang sangat ditentukan sistem taksir-menaksir (spekulasi) terhadap jumlah produksi. Jika pedagang lebih pandai dalam menaksir, maka ia akan memperoleh keuntungan yang besar. Namun, jika taksirannya meleset, maka mereka mengalami kerugian. Begitu pula bagi petani, jika taksiran pedagang sama dengan taksiran hasil yang ia perkirakan, maka petani akan mengalami keuntungan. Walaupun faktor untung-rugi senantiasa menghampiri mereka (pedagang
99
pengumpul dan petani), tetapi sistem jual-beli seperti ini sampai sekarang masih berlaku. Fungsi penjualan terjadi saat pedagang pengumpul menjual gabah atau beras kepada pedagang besar. Sebagian dari mereka merubah gabah menjadi beras dengan menggunakan fasilitas Huller yang dimiliki oleh pedagang besar tingkat desa setempat. Selain itu sebagian mereka menjual masih dalam bentuk gabah kepada pedagang besar. Tidak hanya kepada pedagang besar, beras yang dihasilkannya dijual juga kepada pedagang pengecer baik di pasar ataupun di toko-toko. Pada tingkat pedagang besar daerah, fungsi-fungsi pertukaran yang dilakukan adalah fungsi pembelian dan penjualan. Fungsi pembelian dilakukan pada saat membeli gabah atau beras dari pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul yang telah menjadi langganan seorang pedagang besar secara kontinu akan mengirimkan gabah atau berasnya, sehingga pedagang besar tidak mengeluarkan biaya transportasi untuk membeli gabah atau beras dari pedagang pengumpul. Namun selain dari pedagang pengumpul yang menjadi langganannya, sebagian mereka ada juga yang langsung membeli dari petani. Untuk pembelian yang berasal dan petani, pedagang besar mengeluarkan ongkos untuk mengangkut gabah dari petani. Fungsi penjualan juga terjadi saat pedagang besar menjual kepada lembaga tataniaga berikutnya, seperti pedagang pengecer daerah atau luar daerah dan pedagang besar luar daerah. Atau saat mereka beRp.eran sebagai pedagang pengecer yang menjual beras kepada konsumen yang langsung datang ke tempat mereka.
100
Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang besar luar daerah tidak berbeda dengan lembaga-lembaga tataniaga sebelumnya yakni fungsi pembelian dan penjualan. Fungsi pembelian terjadi saat mereka membeli beras di tempat yang dikirim oleh pedagang besar daerah. Sementara untuk fungsi penjualan, terjadi saat mereka menjual beras kepada konsumen (baik rumah tangga, restoran atau rumah makan dan catering). Fungsi pertukaran berupa pembelian dan penjualan juga dilakukan oleh pasar swalayan. Pasar swalayan mengadakan pembelian dengan cara memesan langsung kepada pedagang besar daerah. Sitem pembelian yang dilakukan oleh pasar swalayan adalah pembayaran sesuai beras yang laku (retur). Fungsi penjulan mereka lakukan saat mereka melakukan penjualan kepada konsumen. Sistem yang pembayaran yang merela lakukan saat penjualan adalah tunai (cash). Adapun fungsi pertukaran berupa pembelian dan penjualan dilakukan pula oleh pedagang pengecer daerah atau luar daerah. Pedagang pengecer mengadakan pembelian terhadap beras dengan cara dikirim langsung oleh pedagang pengumpul maupun pedagang besar daerah. Sistem pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengecer ada yang mengunakan sistem pembayaran tunai dan kredit. Fungsi penjualan terjadi pada saat mereka melakukan penjualan kepada konsumen. Sistem pembayaran dari penjualan yang terjadi antara pedagang pengecer dan konsumen sebagai pembeli adalah tunai (cash).
7.2.2
Fungsi Pengadaan Secara Fisik Fungsi yang dilakukan terdiri dari pengolahan hasil (procesing),
pengemasan (packaging), pengangkutan (transportasi) dan penyimpanan.
101
1.
Pengolahan Hasil (Processing) Setelah padi dipanen dari sawah langkah selanjutnya adalah mengolahnya
menjadi beras. Pengolahan gabah menjadi beras tidak dilakukan oleh petani sebagai prousennya, tetapi langkah ini dilakukan oleh pedagang pengumpul dan pedagang besar daerah. Alasan petani tidak mengolah gabah ke bentuk beras karena diproses pengolahannya sulit dan mahal. padi pandanwangi mempunyai perlakuan panen yang berbeda dengan padi varietas lain. padi pandanwangi dipanen dengan keadaan buliran padi masih terikat kuat pada malainya. Padi ini setelah dipanen kemudian dijemur dalam “geugeusan”. Hal itu menyebabkan petani memilih menjual gabahnya. Apalagi mereka pun tidak memiliki fasilitas Huller untuk mengolahnya menjadi beras. Pedagang
pengumpul
mengolah
gabah
menjadi
beras
dengan
menggunakan fasilitas Huller yang dimiliki oleh pedagang besar tingkat desa setempat, sedangkan pedagang besar memiliki sendiri fasilitas Huller. Proses pengolahan terdiri dari penjemuran, perontokkan dan penggilingan. Penjemuran dilakukan hingga kadar air berkurang dan malai kering panen (MKP) menjadi gabah yang siap digiling. Setelah bentuk gabah menjadi malai kering giling (MKG), maka langkah selanjutnya yakni memasukkan beras ke dalam mesin penggilingan. Di dalam mesin penggilingan terdapat beberapa proses yang dilalui. Proses-proses itu adalah perontokkan buliran padi dari malainya, pemisahan buliran padi dari sekamnya dan proses pemutihan. Setelah proses penggilingan selesai maka keluarlah beras yang
diinginkan. Besarnya rendemen Beras pandanwangi
102
mencapai di bawah atau sama dengan 50 persen dari keadaan awal (MKP) atau menyusut hingga mencapai 0 persen lebih Jenis beras yang keluar dari mesin tergantung yang diinginkan. Misalnya jika kita menginginkan jenis Kepala berarti harus memisahkan antara kepala dan patahannya. Pemisahan antara kepala dan patahan bisa dilakukan secara manual atau menggunakan mesin secara langsung. Biasanya di tingkat pedagang pengumpul proses pemisahan antara kepala dan patahan bergantung kepada kualitas mesin penggilingan yang dimiliki oleh pedagang besar tempat memproses gabahnya. Rata-rata pedagang besar tingkat desa tidak memiliki fasilitas mesin penggilingan yang langsung dapat memisahkan antara kepala dan patahan. Oleh karena itu mereka umumnya memisahkannya secara manual. Jenis kualitas beras yang dihasilkan oleh pedagang pengumpul tergantung dari yang mereka inginkan. Sebagian besar dari pedagang hanya mengolah sampai bentuk SLYP atau Super. Hal itu dikarenakan fasilitas Huller yang tersedia pada pedagang besar tempat pedagang pengumpul mengolah beras adalah mesin penggilingan yang masih sederhana. Dengan mesin penggilingan yang sederhana pedagang pengumpul belum dapat menggrade beras secara otomatis. Apabila melihat segi kualitas beras yang dihasilkan, beras yang dihasilkan tidak sebaik beras yang dihasilkan oleh pedagang besar yang memiliki kelengkapan sarana dan prasana serta mesin pabrik yang teknologinya lebih canggih. Tetapi tidak semua pedagang pengumpul mengolah beras dengan mesin, ada beberapa pedagang pengumpul yang menghasilkan beras jenis kepala dengan proses secara manual. Proses pengolahan gabah yang terjadi diantara pedagang pengumpul dan pedagang besar tidak jauh berbeda. Yang membedakan hanya pada waktu
103
memprosesnya di dalam mesin penggilingan. Hal yang perlu dicatat di sini bahwa beras yang dihasilkan baik yang berasal dari pedagang pengumpul maupun dari pedagang besar sebagian besar bukan merupakan beras pandanwangi murni, melainkan beras pandanwangi yang telah mengalami pencampuran dengan beras yang lain. Masalah beras pandanwangi “oplosan” (campuran) sudah merupakan rahasia umum. Diperoleh keterangan dari salah seorang pedagang besar bahwa hanya sekitar 10 persen dari pedagang pengumpul maupun pedagang besar daerah yang memproduksi beras pandanwangi murni. Mereka melakukan hal seperti itu karena permintaan beras pandanwangi murni yang tetap setiap hari sedangkan musim panen tenjadi hanya dua kali setiap tahunnya. Ketika permintaan (demand tetap, sedangkan penawaran (supply)-nya terbatas mendorong mereka melakukan pencampuran dengan jenis beras yang lain. Beras yang dipakai untuk mencampurnya bukanlah beras sembarangan, akan tetapi dengan jenis beras yang bentuknya hampir sama dengan pandanwangi. Biasanya mereka mencampurnya dengan jenis Cisadane dan jenis padi bulu aromatik lainnya. Proses pencampuran dilakukan pada saat penggilingan gabah ataupun setelah menjadi beras sebelum dilakukan pengemasan. Dari lokasi penelitian hanya ada 2 dari 5 pedagang besar beras pandanwangi yang tidak melakukan proses pencampuran. Dampak dari kegiatan ini adalah kualitas beras pandanwangi asli tidak terjaga. Sebab banyak pedagang besar yang membuat label beras dengan mencantumkan nama asli pandanwangi cianjur atapi produknya tidak sesuai dengan labelnya.
104
2.
Pengemasan (Packaging) Nilai jual suatu produk atau suatu komoditas pertanian ditentukan juga
dalam proses pengemasannya. Pengemasan dapat mempengaruhi terhadap daya tahan suatu produk. Pengemasan yang baik dapat menjaga suatu produk dan kerusakan yang dapat menurunkan kualitas dan pada akhimya menurunkan nilai jual dari produk tersebut. Apabila suatu produk dikemas dalam bentuk yang menarik, maka konsumen akan tertarik untuk membelinya. Berbeda halnya jika produk dikemas dalam bentuk yang kurang baik dan tidak menarik, maka konsumen cenderung tidak tertarik untuk membelinya. Begitu pula dengan beras pandanwangi, sangat memperhatikan pengemasannya. Tujuan utama dari mengemas beras pandanwangi adalah untuk menjaga kualitas beras sehingga dapat meningkatkan nilai jual dan tidak menyebabkan kerugian yang besar. Alasan pengemasan ini juga diperkuat oleh perilaku pangsa pasar beras pandanwangi merupakan golongan menengah ke atas. Perilaku konsumen yang melakukan pembelian beras pandan wangi adalah membeli beras dengan praktis dan higienis (bukan dalam bentuk takaran per eceran seperti beras lain). Di pasaran, beras pandanwangi dijual dalam bentuk kemasan plastik dan karung. Lembaga tataniaga yang melakukan fungsi pengemasan diantaranya adalah pedagang pengumpul yang mengolah gabah hingga menjadi beras serta pedagang besar daerah. Ukuran kemasan beras pandanwangi di pasaran diantaranya 5 kg; 10 kg; 20 kg; 25 kg; dan 50 kg. Semua ukuran diperuntukkan untuk ketiga jenis kualitas beras (Kepala, Super dan Jitay) terkecuali Jitay hanya dikemas dalam ukuran 50 kg. Bahan yang digunakan untuk mengemas beras ini berupa kantong plastik, karung plastik dan karung goni. Di awal tahun 90-an
105
bahan yang digunakan untuk mengemas adalah karung goni yang menjadi trade mark atau ciri khas yang membedakan antara beras pandanwangi dengan beras yang lain. Karung goni digunakan untuk kemasan beras pandanwangi ukuran 20 kg, 25 kg dan 50 kg. Selanjutnya dengan alasan efisensi, lembaga tataniaga yang melakukan pengemasan beras banyak menggunakan kemasan lain, seperti karung plastik dan kantong plastik. Kantong plastik digunakan untuk kemasan ukuran 5 kg, 10 kg dan 20 kg. Karung plastik digunakan untuk kemasan ukuran 20 kg, 25 kg dan 50 kg. Pedagang besar daerah juga melakukan pengemasan beras yang siap untuk dikonsumsi. Selain itu pasar swalayan juga melakukan pengemasan agar beras berlabel pasar swalayan yang menjualnya. Kemasan yang digunakan adalah Kantong plastik digunakan untuk kemasan ukuran 5 kg, 10 kg dan 20 kg. Karung plastik digunakan untuk kemasan ukuran 20 kg, 25 kg dan 50 kg. 3.
Pengangkutan (Transportasi) Dalam kegiatan tataniaga, pendistribusian suatu barang (transportasi)
merupakan salah satu faktor yang penting. Sebab dengan kegiatan inilah diciptakan nilai kegunaan tempat. Apabila fungsi ini dapat dilaksanakan tepat waktu maka dapat mempunyai nilai waktu atas produk. Sampainya produk dari produsen hingga konsumen dikarenakan adanya transportasi. Jika transportasi ini tersendat ataupun terganggu, maka konsumen akan mengalami kesulitan dalam memperoleh barang yang dibutuhkan, ataupun jika mereka mendapatkannya, harus membeli dengan biaya yang lebih mahal. Jika transportasi lancar, maka konsumen dengan mudah mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah.
106
Lembaga-lembaga tataniaga beras pandanwangi yang melakukan fungsi pengangkutan adalah pedagang pengumpul, pedagang besar daerah, pedagang besar luar daerah, pasar swalayan dan pedagar pengecer dalam per luar daerah. Pada tingkat petani tidak melakukan fungsi pengangkutan, karena petani menjual gabahnya secara langsung di area per lahan pesawahan miliknya kepada pedagang pengumpul per besar. Pedagang pengumpul ataupun pedagang besar yang melakukan sistem jual-beli padi dengan sistem ijon selalu mendatangi sawah petani ketika panen. Merekalah yang memanen padi milik petani dan mengangkutnya untuk dijual kembali kepada lembaga tataniaga selanjutnya. Fungsi pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dan pedagang besar daerah tidak hanya mengangkut gabah yang dibeli dari petani semata. Contoh pengangkutan lain adalah ketika pedagang pengumpul menjual gabah atau beras kepada pedagang besar dengan cara membawanya dengan kendaraan bak terbuka. Pedagang pengumpul juga mengirimkan beras kepada pedagang pengecer di pasar atau pun di toko-toko. Dalam hal ini biaya pengiriman beras menjadi tanggungan pedagang pengumpul. Sementara yang dilakukan oleh pedagang besar tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul, yakni mereka menjual beras kepada pedagang pengecer baik daerah per luar daerah dengan cara mengirimkannya dengan langsung. Selain kepada pengecer, mereka menjualnya kepada pedagang besar luar daerah. Biasanya pedagang besar daerah menggunakan alat transportasi berupa truk kecil per mobil box. Dari penelitian ini juga diketahui semua biaya pengiriman beras pandanwangi ditanggung oleh si pengirim (pedagang besar daerah).
107
Adapun fungsi pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang besar luar daerah berupa pengangkutan beras kepada konsumen dan biaya bongkar muat. Pedagang besar luar daerah di Bogor memberikan pelayanan khusus kepada konsumen yang terdiri dari restoran per rumah makan dan catering ataupun konsumen lain yang memesan dalam partai yang besar dengan mengirimkan pesanan sampai ke tempat kosumen dan harga yang lebih murah dari pasaran. Mereka tidak merugi mengeluarkan ongkos pengiriman barang sebesar Rp. 37.5 per kg, karena volume pemesanan beras besarnya mencapai 2 ton per 1 kali kirim. Untuk pedagang besar yang terdapat di Pasar Bogor tidak mengeluarkan biaya pengiriman barang karena konsumen mengadakan pembelian langsung di tempat. Mereka mengeluarkan biaya bongkar-muat, yakni biaya untuk menurunkan karung yang berisi beras dan mengangkutnya dari mobil pedagang besar daerah ke gudang tempat penyimpanan. Pasar swalayan melakukan proses pengangkutan saat mengangkut beras dari pedagang besar daerah. Biaya yang dikeluarkannya adalah upah angkut buruh dan transportasi. Pedagang pengecer melakukan fungsi pengangkutan, yakni pada saat ia mengangkut beras konsumen ke tempat yang konsumen inginkan. Biaya yang dikeluarkannya berupa upah angkut buruh. 4.
Penyimpanan Komoditas beras merupakan barang yang tidak cepat mengalami
kebusukan dan tahan lama. Namun bukan berarti tidak memerlukan suatu proses penyimpanan yang baik. Jika proses penyimpanan dan tempat penyimpanan kurang baik, maka akan mengakibatkan kemasan menjadi rusak, beras menjadi
108
bau apek, masuknya kutu ke dalam beras, bahkan mengakibatkan beras menjadi busuk. Hal itu akan berdampak pada menurunnya kualitas beras dan menurunkan nilai jualnya sehingga merugikan suatu lembaga tataniaga. Oleh karena itu proses penyimpanan beras yang baik dan praktis mutlak diperlukan. Kegiatan penyimpanan dalam tataniaga Beras pandanwangi dilakukan antara lain oleh pedagang pengumpul, pedagang besar daerah, pedagang besar luar daerah dan pedagang pengecer daerah per luar daerah. Sementara petani dan sebagian pedagang pengumpul tidak melakukan fungsi penyimpanan sebagaimana lembaga tataniaga yang lain. Petani tidak melakukan fungsi penyimpanan dikarenakan ia langsung menjual padinya kepada pedagang pengumpul atau pedagang besar daerah. Pedagang pengumpul yang tidak melakukan fungsi penyimpanan, mereka membeli gabah petani kemudian langsung menjual kembali kepada pedagang besar daerah tanpa menyimpannya terlebih dahulu. Pedagang pengumpul yang melakukan fungsi penyimpanan adalah pedagang pengumpul yang mengolah gabah menjadi beras yang siap untuk dijual. Penyimpanan dilakukan dengan menyimpan gabah yang telah dibeli dari petani untuk dilakukan proses penjemuran dan proses pengolahan dengan memanfaatkan fasilitas Huller yang dimiliki oleh pedagang besar setempat. Pedagang besar melakukan fungsi penyimpanan dengan cara menyimpan gabah yang telah dibeli dari petani maupun pedagang pengumpul. Biasanya pedagang besar memiliki cadangan gabah dalam jumlah volume yang besar yang disimpan di gudang. Mereka tidak mengolah secara keseluruhan gabah yang dimilikinya. Mereka hanya mengolah gabah sebatas yang diperlukan. Hal ini
109
bertujuan untuk menjamin keberlangsungan produksi beras. Dengan mengolah gabah seperlunya mereka dapat memproduksi Beras pandanwangi baik dalam keadaan supply gabah sedang berlebih maupun saat supply berkurang. Penyimpanan gabah yang baik sangat mempengaruhi kualitas dari pada gabah. Jika tempatnya terlalu lembab maka akan menyebabkan gabah menjadi busuk dan menurunkan kualitas beras yang dihasilkan. Pasar Swalayan melakukan fungsi penyimpanan untuk menyimpan beras yang belum lakuk dijual. Tempat penyimpanan pada pasar swalayan biasanya sudah sangat modern. Penyimpanan beras yang dilakukan oleh pasar swalayan sangat hiegienis, sehingga kualitas beras yang disimpan tidak mudah rusak. Untuk pedagang pengecer fungsi penyimpanan yang dilakukan yakni dengan melakukan penyimpanan terhadap beras yang tidak habis terjual. Penyimpanan dilakukan dengan menyimpan beras yang terdapat dalam kemasan karung diatas papan. Jika karung beras disimpan secara langsung di lantai tanpa alas, maka hal itu akan mengakibatkan beras tersebut menjadi lembab, cepat busuk dan dapat dimasuki oleh kutu-kutu.
7.2.3
Fungsi Pelancar (Fasilitas) Fungsi pelancar meliputi permodalnya, informasi (pasar dan harga),
grading, sortasi dan penanggungan resiko. 1.
Pembiayaan Modal mutlak diperlukan oleh semua lembaga tataniaga yang terlibat
dalam proses tataniaga pandanwangi. Petani memerlukannya untuk mengolah lahan dan menanam padi di sawah hingga panen tiba. Sebagian besar dari mereka
110
menggunakan modal pribadi dan meminjam kepada sesama petani ataupun pihak lain. Di daerah penelitian tidak ditemukan seorang petani pun yang meminjam dari lembaga keuangan baik pemerintah maupun nonpemerintah. Pada tingkat pedagang baik pengumpul, pedagang besar daerah per luar daerah dan pedagang pengecer daerah per luar daerah dalam hal permodalan usahanya sebagian besar menggunakan modal pribadi. 2.
Informasi Pasar dan Harga Dalam setiap proses tataniaga setiap lembaga yang terlibat di dalamnya
memerlukan informasi pasar dan harga. Informasi pasar diperlukan oleh mereka untuk mengetahui tentang kondisi pasar, lokasi, jenis mutu, waktu dan harga pasar. Petani pandanwangi di daerah penelitian tidak melakukan fungsi fasilitas yang berupa fungsi informasi pasar dan harga. Hal itu dikarenakan bagaimanapun kondisi pasar, apakah kondisi harga yang terjadi sedang membaik ataukah memburuk, tidak memiliki pengaruh apapun terhadap petani. Mereka tidak akan mengurungkan niatnya untuk menjual hasil panen sekalipun keadaan harga di pasaran sedang mengalami penurunan. Hal itu dikarenakan usahatani padi merupakan mata pencaharian pokok dan saat panen tiba merupakan waktu bagi mereka untuk menuai hasilnya. Jika dilihat dari waktu panen pandanwangi, maka hanya terjadi dua kali setiap tahunnya. Apabila kondisi harga di pasaran meningkat, maka petani akan mengeruk keuntungan. Sebaliknya jika harga yang terjadi anjlok atau mengalami penurunan, maka mereka akan mengalami kerugian.Untung ataupun rugi keduanya merupakan resiko yang harus diterima oleh petani. Harga yang terjadi diantara petani dan pedagang adalah hasil dari
111
tawar-menawar diantara dua belah pihak. Namun seringkali petani berlaku sebagai pihak yang menerima harga (price taker) yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul maupun pedagang besar daerah. Adapun di tingkat pedagang pengumpul informasi pasar dan harga sangat diperlukan. Informasi pasar diperlukan untuk mengetahui secara pasti mengenai kapan musim panen terjadi dan didaerah mana saja. Sehingga dari informasi tersebut jauh hari sebelumnya pedagang pengumpul akan mempersiapkan segala sesuatunya untuk mendatangi petani di daerah yang sedang panen. Informasi tentang keberlangsungan panen di suatu daerah tertentu berasal dari mulut ke mulut setiap pedagang pengumpul ataupun dari pihak lain, sedangkan informasi harga diterimanya dari pedagang besar daerah. Pedagang besar daerah merupakan pihak yang dominan dalam menentukan harga bagi pihak petani. Pada umumnya pedagang pengecer daerah atau luar daerah tidak memerlukan
informasi
pasar
maupun
harga
dalam
menjajakan
Beras
pandanwangi. Hal itu dikarenakan harga yang terjadi di tingkat pedagang pengecer cenderung tetap per stabil setiap tahunnya. Mereka menjualnya dalam jumlah terbatas disebabkan oleh konsumen beras jenis ini hanyalah golongan menengah ke atas. 3.
Grading dan Sortasi Grading adalah suatu proses penggolongan beras ke dalam kelompok-
kelompok khusus yang mempunyai kriteria mutu dan ukuran yang sama. Tujuan pengkelasan tersebut adalah untuk membentuk diferensiasi harga bagi konsumen agar memperoleh nilai jual yang lebih tinggi serta menguntungkan. Suatu proses menggolongkan beras ke dalam beberapa jenis kualitas yang didasarkan atas
112
standar mutu tertentu sebagian besar dilakukan oleh pedagang besar. Pada tingkat pedagang
pengumpul
tidak
dilakukan
penggradingan
secara
khusus.
Pengkategorian Beras pandanwangi dilakukan berdasarkan jenis serta bentuk. Hasil dari grading dan sortasi yang dilakukan oleh pedagang besar daerah berupa beras Kepala, Super dan Jitay. Jenis Kepala adalah beras yang mengandung unsur kepala yang bentuknya bulat tanpa ada sedikitpun patahan didalamnya, sedangkan Super adalah jenis beras yang terdiri dari unsur kepala dan patahan. Sebaliknya Jitay adalah beras yang secara keseluruhan berisi patahan. Sortasi merupakan proses pemisahan beras dari bagian yang tidak dapat dipasarkan. Sortasi dapat dilakukan dengan menggunakan tangan secara manual ataupun dengan menggunakan mesin. Tujuan melakukan sortasi terhadap Beras pandanwangi adalah untuk memisahkan beras yang tidak memenuhi kriteria tataniaga yang diinginkan dan memisahkan beras dari bebagai barang ataupun produk ikutan lainnya
pada saat proses penggilingan. Sortasi biasanya
memisahkan beras dari pasir, sekam, kerikil ataupun yang lainnya. Proses sortasi itu sendiri hanya dilakukan oleh pedagang pengumpul (yang mengolah gabah hingga menjadi beras) dan pedagang besar daerah. Sedangkan lembaga-lembaga tataniaga berikutnya tidak lagi melakukan fungsi sortasi. 4.
Penanggungan Resiko Kemungkinan terjadinya resiko dapat terjadi dalam berbagai proses
termasuk proses tataniaga Beras pandanwangi. Lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses tataniaga Beras pandanwangi dapat mengalami resiko. Lembagalembaga tersebut adalah petani, pedagang pengumpul, pedagang besar daerah atau luar daerah dan pengecer daerah atau luar daerah.
113
Pada tingkat petani resiko tidak menjadi tanggungan mereka. Hal ini disebakan oleh proses penjualan yang petani lakukan kepada pedagang pengumpul ataupun pedagang besar adalah sistem ijon. Resiko kerugian yang ditanggung pihak pedagang pengumpul atau pedagang besar akibat membeli padi dengan sistem ijon bukanlah menjadi tanggung jawab petani. Keuntungan dan kerugian menjadi resiko bagi pedagang pengumpul dan pedagang besar daerah. Pedagang pengumpul biasanya menanggung resiko saat mengirimkan gabah per beras kepada pedagang besar ataupun saat mengirimkan beras kepada pedagang pengecer. Jika volume timbang sebelum barang tiba di tempat pedagang besar tidak sama dengan volume timbang pada saat tiba di tempat pedagang besar, maka resiko berupa biaya penyusutan menjadi tanggung-jawab pedagang pengumpul. Begitu pula dalam mengirimkan beras kepada pedagang pengecer, jika kemasan karung beras ada yang mengalami kerusakan, maka mereka juga yang harus bertanggung jawab menggantinya dengan yang baru. Namun pada kenyataannya beras pandanwangi jarang mengalami kerusakan pada saat proses pengirimannya terutama output yang sudah menjadi beras. Hal ini dikarenakan proses ini sudah dipersiapkan dengan baik. Akan tetapi bila proses yang dilakukan adalah pengiriman dalam bentuk gabah, penyusutan yang terjadi kira-kira 10 persen dari total pengiriman. Pada tingkat pedagang besar daerah mereka biasanya membayar resiko pada saat penyimpanan gabah di gudang dari kemungkinan kerusakan atau gangguan lainnya. Selain itu mereka juga harus menanggung resiko pada saat mengirimkan barang kepada pedagang pengecer daerah per luar daerah dan
114
kepada pedagang besar luar daerah. Resiko itu berupa biaya penyusutan per kerusakan kemasan beras pada waktu pengiriman. Sementara pedagang pengecer daerah per luar daerah harus menanggung resiko pada saat beras yang belum habis terjual mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh kelalaian dalam proses penyimpanan ataupun dari gangguan halhal yang tidak diinginkan (seperti dimakan tikus, kutu beras dan sebagainya).
115
VIII ANALISIS MARJIN SALURAN TATANIAGA DAN STRUKTUR PASAR BERAS PANDANWANGI
Tujuan penggunaan analisis marjin saluran tataniaga beras pandanwangi adalah untuk melihat perbedaan harga yang terjadi antara saluran-saluran tataniaga beras pandanwangi. Definisi dari marjin tataniaga adalah selisih perbedaan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir terhadap harga yang dikeluarkan oleh produsen. Perbedaan rantai tataniaga pada setiap saluran tataniaga akan menyebabkan perbedaan harga jual yang diterima konsumen akhir. Hal itu disebabkan oleh fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses penyampaian barang dari produsen hingga konsumen (saluran tataniaga). Tujuan lembaga-lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi tataniaga adalah memperoleh keuntungan. Semakin banyak lembaga yang terlibat dalam suatu sistem tataniaga, maka akan semakin banyak biaya tataniaga yang harus dikeluarkan dan semakin besar juga perbedaan harga yang harus dibayar oleh konsumen.
8.1
Biaya, Keuntungan, Marjin dan Saluran Tataniaga Pembahasan saluran tataniaga beras pandanwangi ditelusuri dari lembaga
tataniaga terakhir hingga petani sebagai produsen. Dari beberapa pola saluran yang terbentuk, beras pandanwangi yang dijual meliputi dua jenis yaitu pandanwangi murni dan campuran serta dua kualitas yaitu Kepala dan Super. Hal ini menyebabkan dalam menghitung biaya dan marjin tataniaga dibedakan berdasarkan kualitas dan jenis beras.
116
Saluran tataniaga yang terbentuk dilokasi penelitian memasarkan beras pandanwangi murni dan beras pandanwangi campuran. Jumlah saluran yang memasarkan beras pandanwangi campuran lebih banyak dibanding dengan yang murni. Analisis marjin tataniaga, biaya dan keuntungan hanya dilakukan pada saluran-saluran tataniaga yang menjual beras pandanwangi Murni (Saluran A sampai F). Analisis marjin tataniaga, biaya dan keuntungan tidak dilakukan pada saluran-saluran yang menjual beras pandanwangi campuran tidak dilakukan. Alasannya adalah beras pandanwangi campuran yang diperjualbelikan tidak dapat diasumsikan merupakan beras campuran yang memiliki perbandingan dalam jumlah yang sama, diantara lembaga-lembaga terkait dalam proses pengolahan dan pengemasannya. Akan tetapi, sebagai tambahan informasi, pola-pola saluran tataniaga beras pandanwangi campuran yang terbentuk tetap digambarkan sebagai bahan perbandingan (Saluran 1 sampai 10). Jadi dalam hal ini, biaya marjin tataniaga yang dikeluarkan terdiri dari biaya marjin tataniaga beras pandanwangi murni kualitas kepala dan super. Pada saluran 1 sampai 4 dan A sampai C pengolahan gabah menjadi beras dilakukan oleh pedagang pengumpul. Pada saluran 5 sampai 8 dan saluran D gabah yang berasal dari pedagang pengumpul diolah menjadi beras oleh pedagang besar daerah per luar daerah. Sementara itu dari saluran 9 dan 10 serta E dan F gabah dari petani langsung dijual kepada pedagang besar daerah sebagai lembaga yang mengolah gabah menjadi beras. Perbedaan harga jual diantara lembaga tataniaga disebabkan oleh adanya fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga yang terlibat untuk meningkatkan nilai ekonomi dan nilai jual beras. Perbedaan harga di tingkat
117
petani akan mempengaruhi besarnya marjin atau keuntungan yang akan diperoleh oleh setiap lembaga yang terkait. Harga gabah dari masing-masing responden memiliki perbedaan. Hal itu disebabkan petani responden diambil dari desa yang berbeda di Kecamatan Warung Kondang. Selain itu harga gabah juga dipengaruhi oleh waktu penanaman dan panen. Kualitas gabah masing-masing daerah yang berbeda juag mempengaruhi harga gabah. Harga jual gabah yang berbeda di tingkat petani kemudian dijadikan data rataan bagi responden petani yang menjual gabah kepada pedagang pengumpul dan pedagang besar daerah. Harga jual di tingkat pedagang pengumpul berbeda sebagaimana harga jual di tingkat petani. Penyebabnya antara lain, perbedaan waktu panen daerahdaerah penghasil padi pandanwangi dan besarnya ongkos yang harus dikeluarkan untuk membeli dan menjual gabah serta biaya untuk pengolahan gabah. Pedagang pengumpul membeli gabah dari daerahnya sendiri maupun luar daerah (luar desa maupun luar kecamatan).
8.1.1
Saluran Tataniaga Beras pandanwangi Campuran
8.1.1.1 Saluran Tataniaga 1 Lembaga-lembaga yang terlibat pada saluran 1 adalah petani, pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Petani menjual gabah kepada pedagang pengumpul. Kemudian pedagang pengumpul mengolah secara Iangsung gabah padi menjadi beras yang siap dijual. Lembaga tataniaga selanjutnya yang dituju oleh pedagang pengumpul adalah pedagang pengecer di pasar ataupun pedagang pengecer di toko-toko. Pada umumnya pedagang pengumpul yang memproduksi beras tidak melakukan proses grading. Beras yang mereka hasilkan dikenal
118
dengan istilah beras SLYP (beras pandanwangi campuran). Kualitas dari beras SLYP pada dasarnya sama dengan kualitas Super. Pola tataniaga pada saluran 1 dapat dilihat pada Gambar 4. Petani
P.Pengumpul
P.Pengecer
Konsumen
Gambar 4. Saluran Tataniaga 1 Biaya tataniaga dikeluarkan oleh pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Biaya yang harus dikeluarkan oleh pedagang pengumpul diantaranya biaya transportasi yang terdiri dan ongkos beli gabah dari petani dan ongkos jual kepada pedagang besar , upah penjemuran gabah, ongkos penggilingan gabah, pengemasan dan biaya penyusutan gabah (menyusut 30 persen). Biaya penyusutan gabah berasal dari rendemen gabah yang dibeli dari petani yang berbentuk MKP.
8.1.1.2 Saluran Tataniaga 2 Pada saluran 2 lembaga-lembaga yang terlibat adalah petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar daerah. Sama halnya dengan saluran 1, pengolahan beras dilakukan oleh pedagang pengumpul. Jika pada saluran 1 lembaga tataniaga berikutnya pedagang pengecer maka dalam saluran 2 adalah pedagang besar daerah (Gambar 5).
Petani
P.Pengumpul
P.Besar D
Konsumen
Gambar 5. Saluran Tataniaga 2 Keterangan : Pengolahan gabah menjadi beras dilakukan oleh pedagang pengumpul.
119
Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul pada saluran ini baik jenis maupun besarnya sama dengan biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul pada saluran 1. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar diantaranya biaya pengemasan ulang dan penyusutan. Penyusutan terjadi dengan adanya beras yang tercecer pada saat pengemasan ulang dilakukan. Biasanya beras yang berasal dari pedagang pengumpul dikemas dalam karung plastik, seIanjutnya oleh pedagang beras dikemas ulang dalam kemasan karung plastik ataupun dalam karung goni dengan memakai merk dagang perusahaannya. Dalam hal ini, beras yang dibeli dari pedagang pengumpul jenis kualitasnya adalah super. Beras yang telah dibeli dari pedagang pengumpul tidak langsung dijual oleh pedagang besar, namun terlebih dahulu,
mereka melakukan fungsi tataniaga
berupa pengemasan ulang untuk menambah nilai jualnya.
8.1.1.3 Saluran Tataniaga 3 Lembaga tataniaga yang terdapat dalam saluran 3 diantaranya petani, pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan pedagang pengecer daerah. Pada saluran 3 biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga hampir sama dengan saluran 2. Berbeda halnya dengan saluran 2, setelah dari pedagang besar daerah, lembaga tataniaga selanjutnya yakni pedagang pengecer (Gambar 6). Petani
P.Pengumpul
PB.Daerah
P.Pengecer
konsumen
Gambar 6. Saluran Tataniaga 3 Keterangan : Pengolahan gabah menjadi beras dilakukan oleh pedagang pengumpul.
120
Jenis biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul sama dengan saluran 2. Pada pedagang besar jenis biaya yang dikeluarkan hampir sama dengan saluran 2. Hanya saja pada saluran 3 ditambah dengan biaya transportasi sebagai ongkos angkut barang kepada pedagang pengecer. Setelah pedagang besar lembaga tataniaga selanjutnya adalah pedagang pengecer. Pedagang pengecer hanya mengeluarkan biaya bongkar muat barang.
8.1.1.4 Saluran Tataniaga 4A dan 4B Pada saluran ini lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya petani, pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan pedagang besar luar daerah. Pedagang besar luar daerah yang dituju adalah pedagang besa luar daerah yang berada di Pasar Induk Cipinang (PIC) Jakarta dan Pasar Bogor. Sama halnya dengan saluran-saluran sebelumnya, dalam saluran ini pedagang pengumpul adalah lembaga tataniaga yang melakukan pengolahan terhadap gabah. Sebagai bahan perbandingan, saluran 4 dibedakan menjadi 2, yaitu saluran 4A yang menuju PIC dan 4B yang menuju Pasar Bogor (Gambar 7). Jenis kualitas beras yang dipasarkan adalah beras Super.
Petani
P.Pengumpull
PBLD (PIC)
Konsumen
PBLD (PB)l
Konsumen
PB.Daerah
Gambar 7. Saluran Tataniaga 4A dan 4B Keterangan:
Pengolahan gabah menjadi beras dilakukan oleh pedagang pengumpul. 4A = saluran yang menuju PlC 4B = saluran yang menuju Pasar Bogor
121
Jenis biaya yang dikeluarkan pada tingkat pedagang pengumpul sama dengan saluran-saluran sebelumnya. Pada tingkat pedagang besar daerah, jenis biaya yang dikeluarkan juga sama tetapi biaya transportasi yang berbeda, karena adanya perbedaan jarak yang ditempuh. Adapun biaya yang dikeluarkan oleb pedagang pengecer pada saluran 4A adalah biaya bongkar muat dan ongkos antar barang ke tempat konsumen. Sementara pedagang pengecer pada saluran 4B hanya mengeluarkan biaya bongkar muat.
8.1.1.5 Saluran Tataniaga 5A dan 5B Pada saluran 5, yang mengeluarkan biaya tataniaga adalah pedagang pengumpul dan pedagang besar daerah. Berbeda dengan saluran-saluran sebelumnya, dalam saluran 5 ini, out put dari pedagang pengumpul belum dalam bentuk beras melainkan masih dalam bentuk gabah. Oleh sebab itu lembaga tataniaga berikutnya yakni pedagang besar harus mengolah gabah tersebut menjadi beras dan menggradenya sesuai yang diinginkan (seperti jenis Kepala dan Super), sehingga saluran ini terbagi dua menjadi 5A untuk jenis Kepala dan 5B untuk jenis Super (Gambar 8). Konsumen (Kepala) Petani
P.Pengumpul
PB.Luar daerah Konsumen (Super)
Gambar 8. Saluran Tataniaga 5A dan 5B Keterangan :
Pengolahan gabah menjadi beras dilakukan oleh pedagang besar. 5A = jenis kualitas beras yang dijual kepada kosumen adalah Kepala. 5B = jenis kualitas beras yang dijual kepada konsumen adalah Super.
122
Jenis biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul adalah biaya transportasi (ongkos beli dari petani dan ongkos jual kepada kepada pedagang besar) dan biaya bongkar muat barang. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar
diantaranya
biaya
untuk
upah
penjemuran
gabah,
penggilingan,
pengemasan, grading. sortir, upah timbang dan biaya penyusutan. Biaya penyusutan dalam saluran ini berasal dari rendemen dari gabah yang dibeli dari pedagang pengumpul. Rendemen gabah yang dibeli dari pedagang pengumpul pada tingkat pedagang besar, besarnya berbeda-beda sesuai dengan jenis dan kualitas beras. 8.1.1.6 Saluran Tataniaga 6A dan 6B Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran 6 diantaranya petani, pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan pedagang pengecer. Saluran 6 terbagi menjadi 2 jenis, yaitu untuk 6A jenis Kepala dan 6B untuk jenis Super. Dalam saluran ini lembaga tataniaga akhir bukan lagi merupakan pedagang besar daerah melainkan pedagang pengecer (Gambar 9). Konsumen (Kepala) Petani
P.Pengumpul
PB.Daerah
P.Pengecer Konsumen (Super)
Gambar 9. Saluran tataniaga 6A dan 6B Keterangan:
Pengolahan gabah dilakukan oleh pedagang besar daerah. 6A = jenis kualitas beras yang dijual adalah Kepala 6B = jenis kualitas beras yang dijual adalah Super
123
Jenis biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul sama dengan saluran 5 dan saluran setelahnya, yakni saluran 7 dan 8 mungkin perbedaannya sedikit terdapat pada tambahan biaya transportasi kepada pengecer.
8.1.1.7 Saluran tataniaga 7A dan 7B Pada saluran ini melibatkan petani, pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan pedagang besar luar daerah. Pedagang besar luar daerah yang dituju oleh pedagang besar dari Cianjur diantaranya pedagang besar di PIC Jakarta dan Pasar Bogor. Perbedaan lembaga tataniaga yang dituju menyebabkan biaya transportasi juga berbeda. Dari perbedaan pedagang besar yang dituju, maka biaya tataniaga beras pada saluran 7 dibedakan menjadi 2, yakni saluran 7A yang menuju PlC dan 7B yang menuju Pasar Bogor (Gambar 10).
Petani
P.Pengumpul
PBLD (PIC)
Konsumen
PBLD (PB)
Konsumen
PB.Daerah
Gambar 10. Saluran tataniaga 7A dan 7B Keterangan:
Pengolahan gabah menjadi beras dilakukan oleh pedagang besar. Jenis kualitas beras yang dijual adalah Kepala 7A = saluran yang menuju PBLD di PlC Jakarta 7B = saluran yang menuju PBLD di Pasar Bogor
Jenis biaya yang harus dikeluarkan oleh pedagang besar daerah jenis sama dengan yang terdapat pada saluran 6 kecuali biaya transportasi. Jenis kualitas beras yang dikirim oleh pedagang besar daerah adalah Kepala. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar luar daerah pada saluran 7A berupa biaya bongkar muat dan biaya transportasi. Ongkos transpor kepada konsumen biayanya
124
ada yang dibagi dua dengan konsumen dan ada pula yang ditanggung sepenuhnya oleh oleh pedagang. Sebagian besar konsumen Beras pandanwangi Campuran di pasar ini merupakan rumah makan per restoran dan catering serta konsumen rumah tangga kelas menengah keatas. Pada saluran 7B jenis biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar hanya berupa biaya bongkar muat yakni upah yang diberikan pedagang besar kepada tenaga kerja per buruh yang mengangkut beras dari mobil pedagang besar (kuli angkut). Mereka langsung menerima kiriman langsung dari pedagang besar yang berasal dari Cianjur dan pihak konsumen sendiri yang melakukan pembelian di tempat pedagang.
8.1.1.8 Saluran tataniaga 8A dan 8B Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran 8 adalah petani, pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan pedagang pengecer luar daerah. Pedagang pengecer luar daerah yang dituju adalah pedagang pengecer yang berada di daerah Bogor seperti di Pasar Bogor, Gunung Batu dan Dramaga. Jenis kualitas beras yang dikirim oleh pedagang besar berupa Kepala dan Super. Sehingga untuk saluran 8 dibedakan menjadi saluran 8A untuk jenis Kepala dan 8B untuk jenis Super (Gambar 11). Konsumen (Kepala)
Petani
P.Pengumpul
PB.Daerah
Pengecer LD (Bogor) Konsumen (Super)
Gambar 11. Saluran Tataniaga 8A dan 8B
125
Keterangan :
Pengolahan gabah menjadi beras dilakukan oleh pedagang besar 8A = saluran yang menuju Peng LD dengan kualitas beras Kepala 8B = saluran yang menuju Pengecer LD dengan kualitas beras Super
Jenis biaya tataniaga pedagang besar yang dibutuhkan untuk saluran 8A sama dengan saluran sebelumnya. Pada saluran 8B biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar daerah jenisnya tidak jauh berbeda dengan saluran 8A. Yang membedakannya hanya pada biaya penyusutan.
8.1.1.9 Saluran Tataniaga pada Saluran 9A dan 9B Lembaga-lembaga yang terlibat dalam tataniaga pada saluran 9 antara lain petani, pedagang besar daerah dan pedagang besar luar daerah (PIC dan Pasar Bogor). Adanya perbedaan kota yang dituju dalam tataniaga beras pandanwangi menyebabkan terjadinya perbedaan dalam biaya tataniaga dikeluarkan. Sebagai bahan perbandingan, maka untuk saluran 9 ini dibagi menjadi 2, yakni saluran 9A dan 9B. Saluran 9A diperuntukkan bagi saluran yang menuju pedagang besar di PIC, sedangkan saluran 9B diperuntukkan bagi saluran yang menuju Pasar Bogor (Gambar 12). Jenis kualitas beras yang dipasarkan adalah jenis Kepala.
Petani
PBLD(PIC)
Konsumen
PBLD (Pasar Bogor)
Konsumen
PB.Daerah
Gambar 12. Saluran Tataniaga pada Saluran 9A dan 9B Keterangan:
9A = saluran yang menuju PB. Luar Daerah di PlC 9B = saluran yang menuju PB. Luar Daerah di Pasar Bogor
Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar hampir sama dengan saluran 8, hanya pada saluran 9 memerlukan biaya transportasi yang lebih besar. Hal itu
126
disebabkan lembaga tataniaga yang dituju berikutnya, yakni pedagang besar luar daerah yang memerlukan ongkos pengiriman barang yang lebih tinggi dibanding sebelumnya.
8.1.1.10 Saluran Tataniaga 10A dan 10B Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran ini ada petani, pedagang besar daerah dan pedagang pengecer luar daerah. Pedagang pengecer luar daerah yang dimaksud adalah pedagang pengecer yang berada di Bogor antara lain yang terdapat di Pasar Bogor, pengecer di daerah Gunung Batu dan Dramaga. Jenis kualitas beras yang dipasarkan kepada pedagang pengecer luar daerah adalah Kepala dan Super. Berdasarkan jenis kualitas beras maka saluran ini dibedakan menjadi dua, yaitu saluran 10A untuk jenis Kepala dan 10B untuk jenis Super (Gambar 13). Konsumen (Kepala) Petani
PB.Daerah
Pengecer LD (Bogor)
Konsumen (Super)
Gambar 13. Saluran Tataniaga pada Saluran 10A dan 10B Keterangan:
8.1.2
Pedagang pengecer yang dituju adalah yang berada di daerah Bogor 10A = jenis kualitas beras yang dijual adalah Kepala 10B = jenis kualitas beras yang dijual adalah Super
Biaya, Keuntungan dan MarjinTataniaga Beras pandanwangi Murni
8.1.2.1 Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniaga Beras Pada Saluran A Lembaga-lembaga yang terlibat pada saluran A adalah petani, pedagang pengumpul dan pedagang pengecer daerah. Petani menjual padi kering panen
127
bermalai kepada pedagang pengumpul. Kemudian pedagang pengumpul mengolah secara langsung padi kering panen menjadi beras pandanwangi yang siap dijual. Lembaga tataniaga selanjutnya yang dituju oleh pedagang pengumpul adalah pedagang pengecer di pasar ataupun pedagang pengecer di toko-toko. Pada umumnya pedagang pengumpul yang memproduksi beras, melakukan proses grading. Beras pandanwangi yang dihasilkan adalah jenis super. Pola tataniaga pada saluran A dapat dilihat pada Gambar 14.
Petani
P.Pengumpul
P.Pengecer.D
Konsumen
Gambar 14. Saluran Tataniaga A Biaya tataniaga dikeluarkan oleh pedagang pengumpul dan pedagang pengecer daerah. Biaya yang harus dikeluarkan oleh pedagang pengumpul diantaranya biaya transportasi yang terdiri dari ongkos jual kepada pedagang besar sebesar Rp. 48 per kg, upah penjemuran gabah Rp. 30 per kg, ongkos penggilingan sebesar Rp. 250 per kg, biaya sortir Rp. 10 per kg, pengemasan Rp. 235 per kg dan biaya penyusutan gabah sebesar Rp. 242,5 per kg (menyusut sekitar 50 persen). Biaya penyusutan gabah berasal dari rendemen gabah yang dibeli dari petani yang berbentuk MKP (malai kering panen). Gabah pandanwangi biasanya dalam bentuk “gempelan” (gabah yang masih dalam tangkainya), sehingga rata-rata rendemen yang dihasilkannya lebih rendah dibanding dengan jenis padi lainnya yakni dibawah 50 persen. Besarnya rendemen di kalangan pedagang pengumpul mencapai 50 persen yang berarti besarnya penyusutan mencapai 50 persen dari harga beli pedagang pengumpul. Biaya pengilingan
128
sebesar Rp. 250 per kg merupakan biaya terbesar yang harus dikeluarkan oleh pedagang pengumpul. Total biaya tataniaga yang dikeluarkan pedagang pengumpul jumlahnya sebesar Rp. 815,5 per kg. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer daerah pada saluran A sebesar Rp. 40 per kg, yaitu Rp. 75 per kg untuk transportasi dan Rp. 14,5 per kg untuk biaya bongkar muat. Dengan demikian total biaya tataniaga pada saluran ini sebesar Rp. 905 per kg. Secara rinci biaya tataniaga saluran A dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Rincian Harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniaga pada Saluran A Jenis Biaya
Harga (Rp/Kg)
Persentase (%)*
Petani Harga jual Farmer'share
3.000,00
43,48 43,48
3.000,00
43,48
30,00 10,00 250,00 235,00 48,00 242,50 815,50 5.000,00 1.184,50 2.000,00 1,31
0,43 0,14 3,62 3,41 0,70 3,51 11,82 72,46 17,17 28,99 1,31
5.000,00
72,46
75,00 14,50 89,50 6.900,00 1.810,50 1.900,00 1,36
1,09 0,21 1,30 100,00 26,24 27,54 1,36
6.900,00
100,00
905,00
13,12
2.995,00
43,41
3.900,00
56,52
Pedagang Pengumpul Harga Beli Biaya tataniaga : Penjemuran Sortir Penggilingan Pengemasan Transportasi Penyusutan 50 % Total Biaya Harga Jual Keuntungan Marjin R/C ratio
Pedagang pengecer daerah Harga beli Biaya tataniaga : Transportasi Biaya bongkar muat Total Biaya Harga jual Keuntungan Marjin R/C ratio
Konsumen Harga beli
Total Biaya Total Keuntungan Total Marjin
Sumber: Data primer, diolah * Persentase terhadap harga konsumen
129
8.1.2.2 Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniaga Pada Saluran B Lembaga-lembaga tataniaga yang terdapat dalam saluran B diantaranya petani, pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan pedagang pengecer daerah. Pada saluran B biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul hampir sama dengan saluran A. Berbeda halnya dengan saluran A, setelah dari pedagang pengumpul lembaga tataniaga selanjutnya yang dituju pada saluran B adalah pedagang besar daerah. Setelah dari pedagang besar daerah barulah Beras pandanwangi disalurkan ke pedagang pengecer daerah (Gambar 15). Beras yang dihasilkan jenisnya super. Petanii
P.Pengumpull
PB.Daerah
P.Pengecer.D
Konsumen
Gambar 15. Saluran Tataniaga B Keterangan : Pengolahan gabah menjadi beras dilakukan oleh pedagang pengumpul
Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul jenis dan besarnya sama dengan saluran A yakni sebesar Rp. 815,5 per kg. Pada pedagang besar daerah biaya total yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 160 per kg. Setelah dari pedagang besar daerah, lembaga tataniaga selanjutnya adalah pedagang pengecer daerah. Pedagang pengecer daerah mengeluarkan biaya bongkar muat barang sebesar Rp. 48 per kg dan biaya transportasi sebesar Rp. 75 per kg, sehingga total biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam saluran B besarnya Rp. 962,5 per kg. Perinciannya terdapat pada Tabel 15.
130
Tabel 15. Rincian Harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniaga pada Saluran B Jenis Biaya
Harga (Rp/Kg)
Persentase (%)*
Petani Harga jual Farmer'share
3.000,00
43,17 43,17
3.000,00
43,17
30,00 10,00 250,00 235,00 48,00 242,50 815,50 5.000,00 1.184,50 2.000,00 1,31
0,43 0,14 3,60 3,38 0,69 3,49 11,73 71,94 17,04 28,78 1,31
5.000,00
71,94
40,00 40,00 80,00 160,00 5.400,00 240,00 400,00 1,05
0,58 0,58 1,15 2,30 77,70 3,45 5,76 1,05
5.400,00
77,70
75,00 48,00 123,00 6.950,00 1.427,00 1.550,00 1,26
1,08 0,69 1,77 100,00 20,53 22,30 1,26
Harga beli
6.950,00
100,00
Total Biaya Total Keuntungan Total Marjin
962,50 2.851,50
13,85 41,03
3.950,00
56,83
Pedagang Pengumpul Harga Beli Biaya tataniaga: Penjemuran Sortir Penggilingan Pengemasan Transportasi Penyusutan 50 % Total Biaya Harga Jual Keuntungan Marjin R/C ratio
Pedagang Besar Daerah Harga Beli Biaya tataniaga : Pengemasan Transportasi Penyusutan Total Biaya Harga jual Keuntungan Marjin R/C ratio
Pedagang pengecer daerah Harga beli Biaya tataniaga : Transportasi Biaya bongkar muat Total Biaya Harga jual Keuntungan Marjin R/C ratio
Konsumen
Sumber: Data primer, diolah * Persentase terhadap harga konsumen
8.1.2.3 Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniaga Pada Saluran C1 dan C2 Pada saluran ini lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya petani, pedagang pengumpul, pedagang besar luar daerah dan pasar swalayan. Pedagang besar luar daerah yang dituju adalah supermarket dan hypermarket yang berada di Jakarta. Sama halnya dengan saluran-saluran sebelumnya, dalam saluran ini pedagang pengumpul adalah lembaga tataniaga yang melakukan pengolahan terhadap gabah. Sebagai bahan perbandingan, saluran C dibedakan menjadi 2,
131
yaitu saluran C1 yang menuju Supermarket (Hero) dan 4B yang menuju Hypermarket (Carefour) dijelaskan oleh Gambar 16. Jenis kualitas beras yang dipasarkan adalah beras super.
Petani
P.Pengumpul
Supermarket (Hero)
Konsumen
Hypermarket (Carefour)
Konsumen
PB.Luar Daerah
Gambar 16. Saluran Tataniaga C1 dan C2 Keterangan:
Pengolahan gabah menjadi beras dilakukan oleh pedagang pengumpul C1 = saluran yang menuju Supermarket (Hero) C2 = saluran yang menuju Hypermarket (Carefour)
Biaya yang dikeluarkan pada tingkat pedagang pengumpul nilainya sama dengan saluran-saluran sebelumnya, yaitu sebesar Rp. 815,5 per kg. Pada tingkat pedagang besar daerah, biaya yang dikeluarkan nilainya sama, kecuali ongkos transportasi yang berbeda, karena adanya perbedaan jarak yang ditempuh. Biaya yang dikeluarkan pedagang besar masing-masing sebesar Rp. 420 per kg untuk saluran C1 dan Rp. 415,5 per kg untuk saluran C2. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing saluran sebesar Rp. 1.360,50 per kg untuk saluran C1 dan Rp. 1.336,50 per kg untuk saluran C2. Rincian biaya tataniaga saluran C1 dan C2 dapat dilihat pada Tabel 16.
132
Tabel 16. Rincian Harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniagaa pada Saluran C1 dan C2 Jenis Biaya Petani Harga jual Farmer'share Pedagang Pengumpul Harga Beli Biaya tataniaga : Penjemuran Sortir Penggilingan Pengemasan Transportasi Penyusutan 50 % Total Biaya Harga Jual Keuntungan Marjin R/C ratio Pedagang Besar Daerah Harga Beli Biaya tataniaga : Pengemasan Transportasi Penyusutan Total Biaya Harga jual Keuntungan Marjin R/C ratio Pasar Swalayan Harga beli Biaya tataniaga : Transportasi Biaya pengemasan Biaya bongkar muat Total Biaya Harga jual Keuntungan Marjin R/C ratio Konsumen Harga beli Total Biaya Total Keuntungan Total Marjin
Saluran C1 Harga (Rp/kg)
Saluaran C2 Harga (Rp/kg) (%) *
(%) *
3.000,00
41,67 41,67
3.000,00
42,25 42,25
3.000,00
41,67
3.000,00
42,25
30,00 10,00 250,00 235,00 48,00 242,50 815,50 5.000,00 1.184,50 2.000,00 1,31
0,42 0,14 3,47 3,26 0,67 3,37 11,33 69,44 16,45 27,78 1,31
30,00 10,00 250,00 235,00 48,00 242,50 815,50 5.000,00 1.184,50 2.000,00 1,31
0,42 0,14 3,52 3,31 0,68 3,42 11,49 70,42 16,68 28,17 1,31
5.000,00
69,44
5.000,00
70,42
260,00 80,00 80,00 420,00 6.400,00 980,00 1.400,00 1,18 Super Market 6.400,00
3,61 1,11 1,11 5,83 88,89 13,61 19,44 1,18
260,00 75,50 80,00 415,50 6.255,25 839,75 1.255,25 1,16 Hyper Market 6.255,00
3,66 1,06 1,13 5,85 88,10 11,83 17,68 1,16
88,89
88,10
65,00 200,00 60,00 325,00 7.200,00 475,00 800,00 1,07
0,90 2,78 0,83 4,51 100,00 6,60 11,11 1,07
55,50 175,00 50,00 105,50 7.100,00 739,50 845,00 1,12
0,78 2,46 0,70 1,49 100,00 10,42 11,90 1,12
7.200,00 1.560,50 2.639,50 4.200,00
100,00 21,67 36,66 58,33
7.100,00 1.336,50 2.763,75 4.100,25
100,00 18,82 38,93 57,75
Sumber: Data primer, diolah * Persentase terhadap harga konsumen
133
8.1.2.4 Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniaga pada Saluran D1 dan D2 Pada saluran D, yang mengeluarkan biaya tataniaga adalah pedagang pengumpul dan pedagang besar luar daerah. Berbeda dengan saluran-saluran sebelumnya, dalam saluran 5 ini out put dari pedagang pengumpul belum dalam bentuk beras melainkan masih dalam bentuk gabah. Oleh sebab itu lembaga tataniaga berikutnya yakni pedagang besar harus mengolah gabah tersebut menjadi beras dan menggradenya sesuai yang diinginkan (seperti jenis Kepala dan Super), sehingga saluran ini terbagi dua menjadi D1 untuk jenis Kepala dan D2 untuk jenis Super (Gambar 17).
Konsumen (Kepala) Petani
P.Pengumpul
PB.Luar daerah Konsumen (Super)
Gambar 17. Saluran Tataniaga D1 dan D2 Keterangan :
Pengolahan gabah menjadi beras dilakukan oleh pedagang besar. D1 = jenis kualitas beras yang dijual kepada kosumen adalah Kepala. D2 = jenis kualitas beras yang dijual kepada konsumen adalah Super.
Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul adalah biaya transportasi (ongkos beli dari petani) dan biaya bongkar muat barang. Besarnya biaya transportasi yakni Rp. 48 per kg dan biaya bongkar muat besarnya Rp. 35 per kg. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar luar daerah diantaranya upah penjemuran gabah, penggilingan, pengemasan, grading, sortir, upah timbang dan biaya penyusutan dan transportasi. Upah penjemuran gabah masing-masing sebesar Rp. 22,5 per kg. Biaya penggilingan besarnya Rp. 185 per kg,
134
pengemasan Rp. 325 per kg; grading Rp. 40 per kg; sortir Rp. 20 per kg; biaya transportasi Rp. 85 per kg dan besarnya upah timbang sebesar Rp. 5 per kg. Sementara untuk biaya penyusutan adalah rendemen dari gabah yang dibeli dari pedagang pengumpul. Rendemen gabah yang dibeli dari pedagang pengumpul pada tingkat pedagang besar, besarnya berbeda-beda menurut jenis kualitas beras. Rata-rata rendemen gabah masing-masing untuk jenis Kepala besarnya 50 persen dan untuk jenis Super besarnya 45 persen. Biaya penyusutan masing-masing besarnya Rp. 2.201 per kg dan Rp. 1.981 per kg. Total biaya tataniaga pada saluran 5A dan 5B adalah Rp. 2.866,75 per kg dan sebesar Rp. 2.751,63 per kg. Perinciannya tampak pada Tabel 17.
135
Tabel 17. Rincian Harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniaga pada Saluran D1 dan D2 Jenis Biaya
Saluran D1 Harga (Rp/kg)
Petani Harga jual Farmer'share Pedagang Pengumpul Harga Beli Biaya tataniaga : Biaya bongkar muat Transportasi Total Biaya Harga Jual Keuntungan Marjin R/C Ratio Pedagang Besar Luar Daerah Harga Beli Biaya tataniaga : Penjemuran Penggilingan Pengemasan Grading Sortir Upah timbang Penyusutan 50% penyusutan 45% Transportasi Total Biaya Harga jual Keuntungan Marjin R/C Ratio Konsumen Harga beli Total Biaya Total Keuntungan Total Marjin
Saluaran D2 Harga(Rp/kg) (%) *
(%) *
3.000,00
40,82 40,82
3.000,00
43,80 43,80
3.000,00
40,82
3.000,00
43,80
35,00 48,00 83,00 3.800,00 717,00 800,00 1,23
0,48 0,65 1,13 51,70 9,76 10,88 1,23
35,00 48,00 83,00 3.800,00 717,00 800,00 1,23
0,51 0,70 1,21 55,47 10,47 11,68 1,23
3.800,00
51,70
3.800,00
55,47
22,50 185,00 325,00 40,00 20,00 10,00 2.201,25
0,31 2,52 4,42 0,54 0,27 0,14 29,95
22,50 185,00 325,00 40,00 20,00 10,00
0,33 2,70 4,74 0,58 0,29 0,15 28,92 38,96 100,00 5,57 44,53 1,06 100,00 40,17 16,03 56,20
85,00 2.803,75 7.350,00 746,25 3.550,00 1,11
38,15 100,00 10,15 48,30 1,11
1.981,13 85,00 2.668,63 6.850,00 381,38 3.050,00 1,06
7.350,00 2.886,75 1.463,25 4.350,00
100,00 39,28 19,91 59,18
6.850,00 2.751,63 1.098,38 3.850,00
Sumber: Data primer, diolah * Persentase terhadap harga konsumen
8.1.2.5 Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniaga pada Saluran E1 dan E2 Pada saluran ini lembaga yang terkait hanya petani dan pedagang besar daerah yang sekaligus berfungsi sebagai pedagang pengecer (Gambar 18). Dalam hal ini pedagang besar daerah langsung membeli dari petani tidak melalui pedagang pengumpul terlebih dahulu. Tujuan mereka diantaranya agar kualitas beras dapat terkontrol dengan baik mulai dari penjemuran gabahnya, proses pengolahan
(penggilingan)
hingga
pengemasannya.
Sebagian
mereka
136
menganggap bahwa kualitas beras sangat ditentukan pula dari proses penjemuran dan penyimpanan gabah, sehingga mereka lebih memilih membeli langsung dari petani dan melakukan proses pengolahan sendiri mulai dari awal. Selain itu pedagang besar juga mengiginkan agar petani dapat menikmati hasil jerih payahnya dengan harga padi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menjual ke pedagang pengumpul (tengkulak). Tidak mengherankan jika harga beli gabah di tingkat PBD lebih tinggi dibandingkan di tingkat pedagang pengumpul. Mereka pun menggrade Beras pandanwangi ke dalam 2 jenis sebagaimana pedagang besar pada saluran-saluran sebelumnya. Biaya pada saluran ini terbagi menjadi dua, yang pertama biaya tataniaga untuk jenis kepala (E1) dan yang kedua untuk jenis super (E2 ). Perbedaan utama yang terdapat antara beras kualitas super dan kepala pada saluran ini adalah besarnya biaya penyusutan (tergantung besarnya rendemen gabah).
Petani
Konsumen (Kepala)
E1
Konsumen (Super)
E2
P.Besar daerah
Gambar 18. Saluran Tataniaga E1dan E2 Keterangan:
E1 dan E3 jenis kualitas beras yang dijual adalah Kepala E2 dan E4 jenis kualitas beras yang dijual adalah Super
Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar diantaranya upah penjemuran,ongkos penggilingan, grading, sortasi, pengemasan, biaya transportasi sebagai ongkos beli dari petani, upah timbang, upah bongkar muat dan biaya penyusutan. Yang berbeda hanyalah biaya penyusutannya, sedangkan biaya yang lain besarnya sama. Upah penjemuran besarnya Rp. 30 per kg; ongkos
137
penggilingan sebesar Rp. 250 per kg; pengemasan sebesar Rp. 235 per kg; biaya sortir sebesar Rp. 10 per kg; grading sebesar Rp. 20 per kg; biaya bongkar muat Rp. 20 per kg dan transportasi sebesar Rp. 40 per kg. Biaya penyusutan saluran E1 besarnya Rp. 1.932,63 per kg, sedangkan saluran E2 Rp. 1.779,86 per kg. Total biaya tataniaga saluran E1 besarnya Rp. 2.542,63 per kg, sedangkan saluran E2 Rp. 2.389,86 per kg. Perincian biaya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18.
Rincian Harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniaga pada Saluran E1 dan E2 Jenis Biaya
Petani Harga jual Farmer'share Pedagang Besar Daerah Harga Beli Biaya tataniaga : Biaya bongkar muat Transportasi Penjemuran Penggilingan Pengemasan Grading Sortir Upah timbang Penyusutan 45% Penyusutan 50% Total Biaya Harga jual Keuntungan Marjin R/C ratio Konsumen Harga beli Total Biaya Total Keuntungan Total Marjin
Saluran E1 Harga (Rp/kg)
Saluaran E2 Harga (Rp/kg) (%) *
(%) *
3.345,25
49,56 49,56
3.345,25
51,07 51,07
3.345,25
49,56
3.345,25
51,07
20,00 40,00 30,00 250,00 235,00 20,00 10,00 5,00
0,30 0,59 0,44 3,70 3,48 0,30 0,15 0,07
20,00 40,00 30,00 250,00 235,00 20,00 10,00 5,00 1.779,86
0,31 0,61 0,46 3,82 3,59 0,31 0,15 0,08 27,17
1.932,63 2.542,63 6.750,00 862,13 3.404,75 1,15
28,63 37,67 100,00 12,77 50,44 1,15
2.389,86 6.550,00 814,89 3.204,75 1,14
36,49 100,00 12,44 48,93 1,14
6.750,00 2.542,63 862,13 3.404,75
100,00 37,67 12,77 50,44
6.550,00 2.389,86 814,89 3.204,75
100,00 36,49 12,44 48,93
Sumber: Data primer, diolah * Persentase terhadap harga konsumen
8.1.2.6. Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniaga pada Saluran F1 dan F2 Saluran ini melibatkan petani, pedagang besar daerah dan pedagang pengecer luar daerah. Pedagang besar daerah memasarkan beras kepada pedagang pengecer luar daerah meliputi dua jenis kualitas beras, sehingga saluran ini
138
dibedakan menjadi dua jenis yakni saluran F1 untuk jenis Kepala dan F2 untuk jenis Super (Gambar 19). Sebagaimana biaya pada saluran E (E1 dan E2), maka biaya tataniaga pada saluran F1dan F2 juga tidak jauh berbeda. Dalam saluran F hanya menambahkan biaya transportasi sebagai ongkos jual kepada pedagang pengecer luar daerah, sehingga total biaya transportasi yang dikeluarkan pedagang besar daerah sebesar Rp. 48 per kg. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar untuk saluran F1 sebesar Rp. 2.551 per kg dan saluran F2 sebesar Rp. 2.401 per kg.
Konsumen (Kepala) Petani
PB.Daerahl
P.Pengecer LD Konsumen (Super)
Gambar 19. Saluran Tataniaga F1 dan F2 Keterangan :
F1 = jenis kualitas beras yang dijual kepada kosumen adalah Kepala. F2 = jenis kualitas beras yang dijual kepada konsumen adalah Super.
Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer luar daerah besarnya tidak sama dengan saluran-saluran sebelumnya karena pedagang pengecer juga mengeluarkan biaya transportasi yakni sebesar Rp. 175 per kg. Total biaya tataniaga yang terjadi untuk saluran F1 besarnya mencapai Rp. 2.550,6 per kg dan saluran F2 besarnya Rp. 2.401,5 per kg. Secara rinci biaya tataniaga yang terjadi pada saluran F1 dan F2 dapat dilihat pada Tabel 19.
139
Tabel 19. Rincian Harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniaga pada Saluran F1 dan F2 Jenis Biaya Petani Harga jual Farmer'share Pedagang Besar Daerah Harga Beli Biaya tataniaga : Biaya bongkar muat Transportasi Penjemuran Penggilingan Pengemasan Grading Sortir Upah timbang Penyusutan 45% Penyusutan 50% Total Biaya Harga jual Keuntungan Marjin R/C ratio Pedagang Pengecer LD Harga Beli Biaya pemasaran : Transportasi Biaya bongkar muat Total Biaya Harga jual Keuntungan Marjin R/C ratio Konsumen Harga beli Total Biaya Total Keuntungan Total Marjin
Saluran F1 Harga (Rp/kg)
Saluaran F2 Harga (Rp/kg) (%) *
(%) *
3.345,25
47,45 47,45
3.345,25
48,83 48,83
3.345,25
47,45
3.345,25
48,83
20,00 48,00 30,00 250,00 235,00 20,00 10,00 5,00
0,28 0,68 0,43 3,55 3,33 0,28 0,14 0,07
20,00 48,00 30,00 250,00 235,00 20,00 10,00 5,00 1.783,46
0,29 0,70 0,44 3,65 3,43 0,29 0,15 0,07 26,03
1.932,63 2.550,63 6.450,00 554,13 3.104,75 1,09
27,41 36,18 91,49 7,86 44,04 1,09
2.401,46 6.100,00 353,29 2.754,75 1,06
35,06 89,05 5,16 40,21 1,06
6.450,00
91,49
6.100,00
89,05
175,00 18,00 193,00 7.050,00 407,00 600,00 1,06
0,26 2,74 100,00 5,77 8,51 1,06
175,00 18,00 193,00 6.850,25 557,25 750,25 1,09
0,26 2,82 100,00 8,13 10,95 1,09
7.050,00 2.743,63 961,13 3.704,75
100,00 38,92 13,63 52,55
6.850,25 2.594,46 910,54 3.505,00
100,00 37,87 13,29 51,17
Bogor
Bogor
Sumber: Data primer, diolah * Persentase terhadap harga konsumen
8.2
Efisiensi Saluran Tataniaga Pengertian efisiensi tataniaga dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu,
dari sudut pandang konsumen(pembeli) dan sudut pandang penjual. Perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan kepentingan antara konsumen dan produsen. Penjual menganggap suatu sistem tataniaga efisien apabila dapat menghasilkan keuntungan tinggi baginya. Sebaliknya konsumen menganggap sistem tataniaga
140
efisien apabila konsumen mudah mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga yang rendah. Berarti untuk mengetahui apakah tataniaga suatu produk efisien ataukah tidak, juga dapat dilihat dari dua unsur. Yang pertama, dilihat dan segi efisiensi operasional dan harga. Efisien operasional dilihat dari segi penggunaan teknologi dalam melakukan fungsi-fungsi tataniaga, sedangkan efisien harga dapat dilihat dari marjin tataniaga yang Iebih rendah dan memberikan farmer ‘s share (bagian yang diterima petani) lebih besar serta memberikan rasio keuntungan biaya yang tinggi. Untuk mengetahui saluran yang efisien dalam operasionalnya, maka pedagang besarlah yang telah efisien dalam penggunaan teknologi. Hal itu dapat dilihat dari proses grading dan sortasi yang telah menggunakan mesin dibanding dengan penggunaan tenaga manusia (manual). Tabel 20. Nilai Persentase Famer’s Share, Total Biaya, Total Keuntungan dan Total Marjin Saluran Farmer's Share Total Biaya (%) Total Total Marjin (%) * Pemasaran (Jenis (%) * * Keuntungan (%) beras) * A (super) 43,48 13,12 43,41 56,52 B (super) 43,17 13,85 41,03 56,83 C1 (super) 41,67 18,90 39,44 58,33 C2 (super) 42,25 18,82 38,93 57,75 D1 (kepala) 41,96 40,37 17,67 58,04 D2 (super) 43,80 40,17 16,03 56,20 E1 (kepala) 49,56 37,67 12,77 50,44 E2 (super) 51,07 36,49 12,44 48,93 F1 (kepala) 47,45 38,92 13,63 52,55 F2 (super) 48,83 37,87 13,29 51,17 RATA‐RATA 45,32 29,62 24,86 54,68 RATA‐RATA (super) 44,90 25,60 29,22 55,10 RATA‐RATA (kepala) 46,32 38,99 14,69 53,68 Sumber: Data primer, diolah * Persentase terhadap harga konsumen
141
Pada Tabel 20 secara nominal nilai farmer’s share untuk beras jenis super terbesar dan terkecil terdapat pada saluran E2 dan C1, yang masing-masing besarnya 53,52 persen dan 41,67 persen. Hal itu berarti petani pada saluran E2 mendapatkan bagian sebesar 53,52 persen dan untuk C1 petani hanya mendapatkan 41,67 persen dari harga yang dibayarkan oleh konsumen. Sedangkan untuk beras jenis kepala kita dapat melihat nilai farmer share terbesar dan terkecil terdapat pada saluran E1 dan D1 dengan nilai persentase 51,07 dan 46,48 persen dari harga yang dibayar oleh konsumen Rata-rata keseluruhan farmer‘s share petani lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diterima oleh pedagang (pedagang pengumpul dan pedagang besar). Mereka bisa saja untuk mengoptimalkan lagi nilai farmer’s share-nya, jika melakukan beberapa fungsi tataniaga. Namun, sebagian besar petani, baik petani pemilik penggarap maupun penggarap langsung menjual padi malai keringnya dari pada melakukan pengolahan. Apalagi saat ini sebagian besar petani padi pandanwangi tidak lagi memiliki tempat penjemuran gabah seperti halnya yang dimiliki oleh petani pada masa lampau. Hal ini disebabkan semakin banyak dan padatnya penduduk di desa yang memerlukan tempat tinggal, sehingga banyak prasarana pendukung usahatani di tempat penelitian berlangsung berubah fungsi menjadi tempat tinggal. Kenyataan ini menunjukan bahwa land reform sudah terjadi di desa tempat padi pandanwangi dibudidayakan. Proses pengolahan gabah sendiri memerlukan modal dalam jumlah yang sangat besar. Hal itu disebabkan pengolahan gabah pandanwangi tidak sama dengan gabah padi secara umum. Dibandingkan dengan padi yang lain padi jenis ini memiliki lebih banyak tahapan pengolahannya, mulai dari proses penjemuran
142
hingga pengemasan. Faktor modal juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan petani tidak dapat langsung mengolah gabahnya. Dalam kasus tataniaga beras pandanwangi ini, khususnya yang berkaitan dengan analisis nilai marjin, sebaran nilai marjin tataniaga secara umum dapat dijadikan indikator untuk melihat apakah suatu saluran tataniaga efisien atau tidak. Melihat kondisi tataniaga yang terjadi, maka dalam hal ini untuk mengetahui saluran tataniaga yang efisien baik dari perspektif konsumen ataupun penjual, salah satu caranya adalah dengan membandingkan
saluran yang
menghasilkan Beras pandanwangi murni. Pada Tabel 20 terlihat bahwa saluran E2 memiliki persentase nilai marjin beras jenis super yang terkecil. Jika dilihat dari nilai persentase biaya yang dikeluarkan maka saluran A merupakan saluran beras jenis super yang mengeluarkan nilai terkecil dengan nilai persentase sebesar 13,12. Dengan demikian dilihat dari nilai marjin tataniaga, maka saluran E2 adalah saluran yang lebih efisien bagi konsumen beras jenis super dibandingkan dengan saluran A ataupun saluran yang lainnya. Sedangkan bagi penjual saluran yang paling efisien adalah saluran A karena mempunyai biaya terkecil dan total keuntungan terbesar untuk beras jenis super. Untuk Beras pandanwangi jenis kepala saluran E1 memiliki nilai marjin tataniaga sebesar 48,93 persen dari harga pengecer, secara nominal merupakan nilai marjin terbesar diantara saluran yang lainnya. Berarti saluran ini lah yang memiliki efisiensi tataniaga bagi konsumen beras kepala.
Nilai keuntungan
saluran D1 sebesar 17,67 persen dari harga konsumen merupakan nilai keuntungan saluran terbesar dibandingkan dengan yang lain, sehingga membuat saluran tataniaga ini menjadi efisien bagi penjual beras kepala.
143
Keuntungan terbesar baik pada saluran A maupun D1 diperoleh pedagang pengumpul. Nilai keuntungan yang besar disebabkan oleh keinginan memperoleh keuntungan yang besar dari lembaga terkait di dalam salurannya. Hal ini berkaitan pula dengan tataniaga pandanwangi yang sifatnya tidak cepat terjual seperti beras yang lain, karena pangsa pasarnya terbatas pada kalangan menengah ke atas. Pada saluran tataniaga D, E, F pedagang besar merupakan lembaga yang melakukan fungsi pengolahan hingga pengemasan modern. Jika dilihat secara nominal dari sebaran nilai marjin, maka dapat disimpulkan bahwa saluar C2 (beras jenis super) dan D1 (beras jenis kepala) adalah saluran yang paling tidak efisien. Sebaran nilai marjin saluran tataniaga beras pandanwangi murni jenis super dan kepala, yaitu dari 46,48 pensen hingga 58,04 persen. Dalam menganalisis biaya tataniaga terbesar maka digunakan angka nominal, sehingga biaya terbesar terdapat pada saluran tataniaga (beras jenis kepala) D1 yang besarnya mencapai Rp. 2.886,8 per kg. Hal itu disebabkan oleh jarak antar lembaga yang terlibat (biaya transportasi) ditambah dengan banyaknya fungsi tataniaga yang dilakukan oleh masing-masing lembaga. Saluran tataniaga yang terdapat didalamnya sebagai berikut petani — pedagang pengumpul — pedagang besar luar daerah — konsumen. Biaya terbesar dikeluarkan oleh pedagang besar luar daerah sebesar Rp. 2.804 per kg. Pedagang besar luar daerah merupakan lembaga yang melakukan fungsi pengolahan hingga pengemasan terhadap beras.
144
Nilai persentase keuntungan terbesar dimiliki oleh saluran tataniaga A dengan nilai 43,48. secara nominal merupakan terbesar dibandingkan dengan lembaga lainnya yang terlibat dalam saluran tersebut. Penggunaan analisis R per C ratio yaitu untuk mengetahui rasio besar keuntungan yang diperoleh terhadap setiap rupiah yang dikeluarkan. Pada kedua belas saluran tataniaga yang diteliti, maka nilai rasio R per C terbesar dimiliki oleh pedagang pengecer daerah pada saluran A, yakni sebesar 1,36 yang artinya untuk setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 1,36.
8.3
Struktur Pasar Struktur pasar yaitu suatu dimensi yang secara deskriptif menjelaskan
gambaran fisik meliputi apa yang dimaksud dengan industri , pasar, ukuran perusahaan di dalam suatu pasar , ukuran dari distribusi dan konsentrasi perusahaan, jenis-jenis dan diferensiasi produk, kondisi keluar masuk pasar dan hubungan antara penjual dan pembeli, pembeli-pembeli serta penjual-penjual. Hubungan antara penjual dengan penjual dan pembeli dengan pembeli disebut sebagai kompetisi. Hubungan kompetisi ini menggambarkan bagaimana lembaga tataniaga berinteraksi dan mengambil tindakkan sebagai reaksi atas tindakkan yang dilakukan oleh lembaga tataniaga lainnya dalam satu tingkatan sistem tataniaga yang sama. Hubungan antara penjual dan pembeli disebut dengan hubungan negosiasi, hubungan ini terbentuk dari tindakkan dan interaksi antar penjual dan pembeli. Hubungan kompetisi dan negosiasi mungkin dapat ditunjukan oleh karakter individu (bagaimana lembaga ‘a’ berinteraksi dengan lembaga’ b’) dalam
145
pasar atau agregasi dari semua pelaku pasar (bagaimana semua lembaga berinteraksi). Agregasi hubungan antara pembeli dan atau penjual disebut dengan perilaku pasar atau market conduct (Hammond and Dahl, 1977). Hammond dan Dahl (1977) menyatakan ada empat karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan struktur pasar, yaitu : (1) jumlah dan ukuran perusahaan atau produsen, (2) pandangan pembeli terhadap sifat produk, (3) kondisi keluar masuk pasar dan (4) tingkat pengetahuan seperti biaya, harga dan kondisi pasar diantara partisipan. Secara garis besar struktur pasar dapat digolongkan ke dalam dua kelompok utama yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar bersaing tidak sempurna. Ciri-ciri yang terjadi dalam pasar beras Pandan Wangi Murni adalah didalam pasar terdapat banyak penjual dan pembeli , saluran-saluran tataniaga pasar hanya menguasai sebagian kecil dari barang yang dipasarkan sehingga tidak dapat mempengaruhi pembentukan harga (pricetaker) dibuktikan dengan banyaknya lembaga tataniaga (34 lembaga) pada setiap tingkatannya pada saluran tataniaga , produk yang dipasarkan bersifat homogen (beras pandan wangi murni kepala dan super) serta pelaku pasar dapat dengan mudah keluar atau masuk kedalam pasar karena tidak adanya hambatan (keterikatan). Berdasarkan ciri-ciri lembaga-lembaga yang membentuk saluran tataniaga, jumlah pembeli dan penjual maka pasar yang terjadi pada
tataniaga beras
pandanwangi murni didaerah penelitian adalah pasar bersaing sempurna.
146
IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1
Kesimpulan
1.
Pendapatan yang dihasilkan oleh petani pemilik penggarap jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan petani penggarap. Hal itu dapat dilihat dari besarnya rasio R per C atas biaya tunai maupun atas biaya total dari responden petani pemilik penggarap. Berdasarkan analisis pendapatan, penerimaan dan rasio R per C atas biaya tunai dan atas biaya total, usahatani yang dilakukan oleh kedua jenis strata yaitu petani pemilik penggarap dan penggarap masih menguntungkan.
2.
Dari analisis marjin tataniaga, sebaran nilai marjin saluran tataniaga beras pandanwangi murni jenis super dan kepala, yaitu dari 46,48 persen hingga 58,04 persen. Saluran E2 memiliki persentase nilai marjin beras jenis super yang terkecil. Dengan demikian, maka saluran E2 adalah saluran yang lebih efisien bagi konsumen beras jenis super. Saluran A merupakan saluran beras jenis super yang paling efisien bagi penjual. Hal ini dikarenakan saluran A mempunyai biaya terkecil dan total keuntungan terbesar untuk beras jenis super dengan nilai persentase sebesar 13,12 dan 43,41.Untuk beras pandanwangi jenis kepala, saluran E1 merupakan saluran yang efisien bagi konsumen beras pandanwangi jenis kepala dengan nilai marjin tataniaga sebesar 48,93 persen.
Nilai keuntungan
saluran D1 sebesar 17,67 persen membuat dari harga konsumen membuat saluran ini efisien bagi penjual.
147
3.
Beras pandanwangi yang beredar di pasaran saat ini sebagian besar adalah beras campuran. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya saluran tataniaga yang memasarkan beras pandanwangi campuran dari pada yang murni. Dari segi tataniaga, beras pandanwangi campuran dan murni untuk kualitas Kepala dan Super yang ada di Kabupaten Cianjur memiliki banyak alternatif saluran tataniaga diantaranya terdapat dua puluh tujuh saluran tataniaga. Dari dua puluh tujuh saluran tataniaga tersebut terdiri dari sepuluh saluran tataniaga beras pandanwangi murni dan tujuh belas saluran beras pandanwangi
campuran.
Lembaga-lembaga
yang
terlibat
dalam
penyaluran beras dan tingkat petani hingga konsumen akhir adalah pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan luar daerah, pasar swalayan dan pedagang pengecer daerah dan luar daerah. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut berupa fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi pengadaan secara fisik (penyimpanan, pengolahan, pengangkutan) serta fungsi pelancar (sortasi dan grading). Lembaga yang melakukan fungsi pengolahan cenderung memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga tataniaga lainnya. Dalam setiap lembaga yang terlibat dalam proses penyaluran beras, dilakukan fungsi-fungsi tataniaga yang dapat menambah nilai ekonomi dan nilai jualnya. Dari kedua belas saluran tataniaga yang diteliti,nilai rasio R per C terbesar dimiliki oleh pedagang pengecer daerah pada saluran A, yakni sebesar 1,36 yang artinya untuk setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 1,36. Nilai R/C ratio terkecil dimilik oleh pedagang besar daerah di saluran B.
148
Dengan nilai 1,05. secara nominal nilai farmer’s share untuk beras jenis super terbesar dan terkecil terdapat pada saluran E2 dan C1, yang masingmasing besarnya 53,52 persen dan 41,67 persen. Hal itu berarti petani pada saluran E2 mendapatkan bagian sebesar 53,52 persen dan untuk C1 petani hanya mendapatkan 41,67 persen dari harga yang dibayarkan oleh konsumen.
9.2
Saran
1.
Petani maupun pedagang merubah sistem ijon sebagai sistem jual-beli diantara mereka dengan sistem yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Sistem penjualan yang dilakukan oleh petani sebaiknya dilakukan setelah padinya masak dan dipanen terlebih dahulu oleh petani, sehingga dapat diketahui secara pasti berapa berat gabah yang dipanen. Sistem minapadi sebaiknya digunakan dalam berusahatani padi pandan wangi. Petani juga sebaiknya menanam tanaman konsumsi (buah pisang) di pematng sawahnya.
2.
Pemerintah
harus
menggalakkan
dan
mengembangkan
kembali
pembentukan kelompok tani dengan jalinan mitra usaha antar petani (dalam hal ini kelompok tani) dengan salah satu pedagang besar patut lebih dikembangkan. Pihak pemerintah harus mendorong para petani yang tergabung dalam suatu kelompok tani dan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani)
untuk
melakukan
fungsi-fungsi
tataniaga,
sehingga
dapat
meningkatkan nilai jual produknya. Petani beserta kelompoknya dapat secara bersama-sama menggalang modal untuk melakukan fungsi pengolahan gabah hingga penjualannya, sehingga usaha yang mereka
149
lakukan berkembang menjadi usaha agribisnis utuh dari hulu sampai hilir. Untuk mengawalinya diperlukan pinjaman modal baik dari pemerintah maupun dari pihak-pihak terkait lainnya. Dalam hal ini diperlukan suatu keberanian dari petani untuk memulai sesuatu yang baru dan penuh resiko. 3.
Proses pencampuran beras di pasaran oleh pedagang ataupun pada saat penebaran benih yang dilakukan oleh petani dapat menurunkan kualitas dan harga dari beras pandanwangi. Dalam hal ini peran pemerintah setempat sangat diperlukan untuk menjaga kualitas dari produk andalan daerahnya. Rencana dan upaya yang akan dilakukan pemerintah untuk melakukan sertifikasi beras khususnya pandanwangi harus segera dilakukan untuk menjaga kelestarian jenis plasma nuftah asli Indonesia yang hanya terdapat di Kabupaten Cianjur ini.
4.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi petani di Cianjur berusahatani padi pandanwangi dan faktor-faktor yang menyebabkan pedagang mencampur beras pandan wangi dengan beras lainnya. Dalam merumuskan pertanyaan yang akan diajukan ke responden, sebaiknya penggunaan diksi kalimat pertanyaan yang dimengerti konsumen. Tujuannnya agar semua pertanyaan yang diajukan valid.
150
Sedangkan untuk beras jenis kepala kita dapat melihat nilai farmer share terbesar dan terkecil terdapat pada saluran E1 dan D1 dengan nilai persentase 51,07 dan 46,48 persen dari harga yang dibayar oleh konsumen. Berdasarkan pengamatan dan fakta di lokasi penelitian terhadap ciri-ciri dan saluran tataniaga, jumlah pembeli dan penjual maka pasar yang terjadi pada
tataniaga beras
pandanwangi murni didaerah penelitian sesuai dengan kriteria pasar bersaing sempurna. Jenis beras pandanwangi yang dipasarkan berupa jenis pandanwangi murni dan campuran. Ada 3 kualitas beras pandanwangi yang dipasarkan yaitu Kepala, Super dan Jitay. Tataniaga jenis Kepala dan Super hingga ke luar daerah, seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Sukabumi dan kota-kota lainnya, sedangkan jenis Jitay tataniaganya hanya di daerah Cianjur sendiri.
saran Pendapatan yang dihasilkan oleh petani pemilik penggarap jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan petani penggarap. Hal itu dapat dilihat dari besarnya rasio R per C atas biaya tunai maupun atas biaya total dari responden petani pemilik penggarap. Berdasarkan analisis pendapatan, penerimaan dan rasio R per C atas biaya tunai dan atas biaya total, usahatani yang dilakukan oleh kedua jenis strata yaitu petani pemilik penggarap dan penggarap masih menguntungkan. Dinas Pertanian yang memiliki tugas untuk memurnikan kembali benih pandanwangi. Hal itu dilakukan berkaitan dengan adanya praktek pencampuran
151
benih pandanwangi yang dilakukan oleh sebagian petani sebelum disemai ataupun pencampuran yang dilakukan oleh pedagang. Mengingat pentingnya pemurnian benih tersebut. Dinas Pertanian memerintahkan kepada salah seorang petani pandanwangi benama H.Mansyur yang telah berkompeten di bidangnya untuk melakukan proses penangkaran benih di Desa Bunisari, Kecamatan Warung Kondang Kabupaten Cianjur. Tujuannya untuk mempertahankan benih padi pandanwangi yang murni dari kepunahan. Dinas Pertanian secara sengaja bekerjasama dengan Balai Pengawasan Sertifikasi Benih (BPSB) melakukan labelisasi benih. Hal itu bertujuan antara lain, agar sumber benih padi pandanwangi sama; untuk menjaga keseragaman benih yang tersebar di lapangan, sehingga pandanwangi yang dihasilkan dimana pun asal tempat menanamnya, bentuknya seragam; dan untuk menjaga kualitas dari varietas padi pandanwangi itu sendiri. Beras pandanwangi yang beredar di pasaran saat ini sebagian besar adalah beras campuran. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya saluran tataniaga yang memasarkan beras pandanwangi campuran dari pada yang murni. Dari segi tataniaga, beras pandanwangi campuran dan murni untuk kualitas Kepala dan Super yang ada di Kabupaten Cianjur memiliki banyak alternatif saluran tataniaga diantaranya terdapat dua puluh tujuh saluran tataniaga. Dari dua puluh tujuh saluran tataniaga tersebut terdiri dari sepuluh saluran tataniaga Beras pandanwangi murni dan tujuh belas saluran beras pandanwangi campuran Lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyaluran beras dan tingkat petani hingga konsumen akhir adalah pedagang pengumpul, pedagang besar daerah per luar daerah, pasar swalayan dan pedagang pengecer daerah per luar daerah. Fungsi
152
tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut berupa fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi pengadaan secara fisik (penyimpanan, pengolahan, pengangkutan) serta fungsi pelancar (sortasi dan grading). Lembaga yang melakukan fungsi pengolahan cenderung memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga tataniaga lainnya. Dalam hal ini dicontohkan oleh pedagang pengumpul dan pedagang besar daerah. Dalam setiap lembaga yang terlibat dalam proses penyaluran beras, dilakukan fungsi-fungsi tataniaga yang dapat menambah nilai ekonomi dan nilai jualnya. Semakin banyak lembaga yang terlibat, semakin banyak peran yang dilakukan oleh setiap lembaga untuk melakukan fungsi tataniaga, sehingga semakin besar pula biaya yang dikeluarkan. Dari analisis marjin tataniaga, saluran E2 memiliki persentase nilai marjin beras jenis super yang terkecil. Dengan demikian, maka saluran E2 adalah saluran yang lebih efisien bagi konsumen beras jenis super dibandingkan dengan saluran A ataupun saluran yang lainnya. Dari analisis nilai persentase biaya dan keuntungan maka saluran A merupakan saluran beras jenis super yang paling efisien bagi penjual. Hal ini dikarenakan saluran A mempunyai biaya terkecil dan total keuntungan terbesar untuk beras jenis super dengan nilai persentase sebesar 13,12 dan 43,41. Untuk beras pandanwangi jenis kepala saluran E1 memiliki nilai marjin tataniaga sebesar 48,93 persen dari harga pengecer. Berarti saluran ini lah yang memiliki efisiensi tataniaga bagi konsumen beras pandanwangi jenis kepala. Nilai keuntungan saluran D1 sebesar 17,67 persen dari harga konsumen merupakan nilai keuntungan saluran terbesar dibandingkan dengan yang lain,
153
sehingga membuat saluran tataniaga ini menjadi efisien bagi penjual beras jenis kepala. Keuntungan terbesar baik pada saluran A maupun D1 diperoleh pedagang pengumpul. Nilai keuntungan yang besar disebabkan oleh keinginan memperoleh keuntungan yang besar dari lembaga terkait di dalam salurannya. Hal ini berkaitan pula dengan tataniaga pandanwangi yang sifatnya tidak cepat terjual seperti beras yang lain, karena pangsa pasarnya terbatas pada kalangan menengah ke atas. Pada saluran tataniaga D, E, F pedagang besar merupakan lembaga yang melakukan fungsi pengolahan hingga pengemasan modern. Jika dilihat secara nominal dari sebaran nilai marjin, maka dapat disimpulkan bahwa saluran C2 (beras jenis super) dan D1 (beras jenis kepala) adalah saluran yang paling tidak efisien. Sebaran nilai marjin saluran tataniaga beras pandanwangi murni jenis super dan kepala, yaitu dari 46,48 persen hingga 58,04 persen. Dalam menganalisis biaya tataniaga terbesar maka digunakan angka nominal, sehingga biaya terbesar terdapat pada saluran tataniaga (beras jenis kepala) D1 yang besarnya mencapai Rp. 2.886,8 per kg. Hal itu disebabkan oleh jarak antar lembaga yang terlibat (biaya transportasi) ditambah dengan banyaknya fungsi tataniaga yang dilakukan oleh masing-masing lembaga. Saluran tataniaga yang terdapat didalamnya sebagai berikut petani — pedagang pengumpul — pedagang besar luar daerah — konsumen. Biaya terbesar dikeluarkan oleh pedagang besar luar daerah sebesar Rp. 2.804 per kg. Pedagang besar luar daerah merupakan lembaga yang melakukan fungsi pengolahan hingga pengemasan terhadap beras.
154
Nilai persentase keuntungan terbesar dimiliki oleh saluran tataniaga A dengan nilai 43,48. secara nominal merupakan terbesar dibandingkan dengan lembaga lainnya yang terlibat dalam saluran tersebut. Penggunaan analisis R per C ratio yaitu untuk mengetahui rasio besar keuntungan yang diperoleh terhadap setiap rupiah yang dikeluarkan. Pada kedua belas saluran tataniaga yang diteliti, maka nilai rasio R per C terbesar dimiliki oleh pedagang pengecer daerah pada saluran A, yakni sebesar 1,36 yang artinya untuk setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 1,36. Berdasarkan pengamatan dan fakta di lokasi penelitian terhadap ciri-ciri dan saluran tataniaga, jumlah pembeli dan penjual maka pasar yang terjadi pada tataniaga beras pandanwangi murni didaerah penelitian sesuai dengan kriteria pasar bersaing sempurna. Secara umum penjualan gabah yang dilakukan olen petani dengan pedagang (pedagang pengumpul maupun pedagang besar) masih memakai sistem “ijon”. Dengan sistem ijon. proses tawar-menawar antara petani dan pedagang terjadi dengan sistem taksir-menaksir diantara keduannya. Sistem taksir-menaksir yang dilakukan memiliki resiko, diantaranya menguntungkan satu pihak per merugikan yang lain, menguntungkan keduanya ataupun merugikan keduanya. Untuk itu sebaiknya petani maupun pedagang merubah sistem ijon sebagai
sistem
jual-beli
diantara
mereka
dengan
sistem
yang
dapat
menguntungkan kedua belah pihak. Sistem penjualan yang dilakukan oleh petani sebaiknya dilakukan setelah padinya masak dan dipanen terlebih dahulu oleh petani, sehingga dapat diketahui secara pasti berapa berat gabah yang dipanen. Dalam hal ini diperlukan adanya upaya dari pemerintah dan instansi pertanian
155
terkait untuk memberikan pengarahan serta penyuluhan kepada petani, sehingga mereka dengan kesadaran sendiri mengubah kebiasaannya. Upaya yang tengah dilakukan oleh pemerintah dengan menggalakan kembali pembentukan kelompok tani serta adanya jalinan mitra usaha antara petani (dalam hal ini kelompok tani) dengan salah satu pedagang besar patut lebih dikembangkan lagi. Mitra usaha yang dilakukan yaitu dengan cara kelompok tani menjual gabahnya kepada pedagang besar dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan pada pengumpul. Syaratnya gabah tersebut harus pandanwangi murni. Hal itu dapat mencegah petani untuk menjual gabahnya secara tunai serta adanya jaminan pihak luar yang akan membeli hasil panennya. Pihak pemerintah dapat pula mendorong para petani yang tergabung dalam suatu kelompok tani dan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga, sehingga dapat meningkatkan nilai jualnya. Petani beserta kelompoknya dapat secara bersama-sama menggalang modal untuk melakukan fungsi pengolahan gabah hingga penjualannya, sehingga usaha yang mereka lakukan berkembang menjadi usaha agribisnis utuh dari hulu sampai hilir. Untuk mengawalinya diperlukan pinjaman modal baik dari pemerintah maupun dari pihak-pihak terkait lainnya. Dalam hal ini diperlukan suatu keberanian dari petani untuk memulai sesuatu yang baru dan penuh resiko. Proses pencampuran beras di pasaran oleh pedagang ataupun pada saat penebaran benih yang dilakukan oleh petani dapat menurunkan kualitas dari beras pandanwangi. Dalam hal ini peran pemerintah setempat sangat diperlukan untuk menjaga kualitas dari produk andalan daerahnya. Rencana dan upaya yang akan dilakukan pemerintah untuk melakukan sertifikasi beras khususnya pandanwangi
156
harus segera dilakukan untuk menjaga kelestarian jenis plasma nuftah asli Indonesia yang hanya terdapat di Kabupaten Cianjur ini.
157
LAMPIRAN
158
Lampiran 1. Tabel Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Petani Pemilik Penggarap Padi Pandan Wangi dalam MT I dan MT II pada Lahan 1 Ha No Komponen 1
2
Penerimaan Penerimaan Tunai Penjualan gabah (kg) Penjualan ikan (kg) Total Penerimaan Tunai Penerimaan Tidak Tunai Konsumsi gabah keluarga (kg) Konsumsi Ikan keluarga (kg) Penyimpanan (kg) Total Penerimaan Tidak Tunai Total Penerimaan Usahatani Biaya Biaya Tunai Pembelian benih padi (kg) pembelian bibit ikan (kg) pembelian pupuk : ~ Urea (kg) ~ SP 36 (kg) ~ NPK (kg) Total pembelian Pupuk Pembelian Pestisida Biaya Panen (per kg)
Rata‐Rata per Musim (Rp)
8.466.870,20 9.924.810,00 9.195.840,10 524.160,36 634.505,50 579.332,93 8.991.030,56 10.559.315,50 9.775.173,03 649.230,00 67.500,02 965.400,00 1.682.130,02 10.673.160,58
648.840,00 72.485,34 875.850,00 1.597.175,34 12.156.490,84
649.035,00 69.992,68 920.625,00 1.639.652,68 11.414.825,71
278.800,00 327.800,00 303.300,00 180.500,20 216.200,22 198.350,21 201.275,00 208.334,00 103.250,00 512.859,00 75.000,00 504.075,00 1.865.568,80 60.000,00 150.050,00 38.860,00 3.665.713,00
206.117,24 217.187,25 104.166,50 527.470,99 75.000,00 572.475,00 2.430.024,00 60.000,00 164.000,00 38.860,00 4.411.830,21
203.696,12 212.760,63 103.708,25 520.165,00 75.000,00 538.275,00 2.147.796,40 60.000,00 157.025,00 38.860,00 4.038.771,61
149.828,24 95.100,25 Biaya imbangan penggunaan lahan 5.084.183,40 Total Biaya Tidak tunai 5.329.111,89 Total Biaya Produksi 8.994.824,89 Pendapatan Pendapatan atas biaya tunai 5.325.317,56 Pandapatan atas biaya total 1.678.335,69 R/C atas biaya tunai 2,45 R/C atas biaya total 1,1866
189.540,00 95.100,25 5.546.000,00 5.830.640,25 10.242.470,46
169.684,12 95.100,25 5.315.091,70 5.579.876,07 9.618.647,68
6.147.485,29 1.914.020,38 2,39 1,1869
5.736.401,43 1.796.178,04 2,42 1,1867
Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (HOK)
Iuran Pajak Zakat Biaya lain‐lain Total Biaya Tunai Biaya Tidak Tunai Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (HOK
Penyusutan alat
3
Musim Tanam I Musim Tanam II (Rp) (Rp)
Sumber: Data primer, diolah
159
Lampiran 2. Tabel Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Petani Penggarap Padi pandan Wangi dalam MT I dan MT II pada Lahan 1 Ha Musim Tanam I Musim Tanam II Rata‐Rata per No Komponen (Rp) (Rp) Musim (Rp) 1 Penerimaan Penerimaan Tunai Penjualan gabah (kg) 7.484.309,20 9.456.810,00 8.470.559,60 Penjualan ikan (kg) 656.663,18 803.871,12 730.267,15 Total Penerimaan Tunai 8.140.972,38 10.260.681,12 9.200.826,75 Penerimaan Tidak Tunai Konsumsi gabah keluarga (kg) ‐ ‐ ‐ Konsumsi Ikan keluarga (kg) 201.951,80 76.239,08 139.095,44 Penyimpanan (kg) 210.000,00 210.000,00 210.000,00 Total Penerimaan Tidak Tunai 411.951,80 286.239,08 349.095,44 Total Penerimaan Usahatani 8.552.924,18 10.546.920,20 9.549.922,19 2 Biaya Biaya Tunai Pembelian benih padi (kg) 274.258,58 322.813,33 298.535,96 pembelian bibit ikan (kg) 219.563,07 255.263,09 237.413,08 pembelian pupuk : ~ Urea (kg) 197.637,50 202.392,23 200.014,87 ~ SP 36 (kg) 216.667,35 225.874,75 221.271,05 ~ NPK (kg) 103.250,00 104.166,50 103.708,25 Total pembelian Pupuk 517.554,85 532.433,48 524.994,17 Pembelian Pestisida 41.000,00 41.000,00 41.000,00 Bagi hasil atas penggunaan laha 5.084.183,40 5.546.000,00 5.315.091,70 Biaya Panen (per kg) 322.835,18 549.943,40 436.389,29 Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (HOK) 1.491.485,81 1.956.842,00 1.724.163,91 Biaya lain‐lain 16.276,66 16.276,66 16.276,66 Total Biaya Tunai 7.967.157,55 9.220.571,96 8.593.864,76 Biaya Tidak Tunai Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (HOK 149.828,24 189.540,00 169.684,12 Penyusutan alat 46.666,66 46.666,66 46.666,66 Total Biaya Tidak tunai 196.494,90 236.206,66 216.350,78 Total Biaya Produksi 8.163.652,45 9.456.778,62 8.810.215,54 3 Pendapatan Pendapatan atas biaya tunai 173.814,83 1.040.109,16 606.961,99 Pandapatan atas biaya total 389.271,73 1.090.141,58 739.706,65 R/C atas biaya tunai 1,02 1,11 1,07 R/C atas biaya total 1,05 1,12 1,08 Sumber: Data primer, diolah
160
Lampiran 3. Gambar Lambang dan Peta Kabupaten Cianjur
Makna Lambang • /isai, melambangkan ketangguhan fisik dan mental. • Warna dasar kuning emas, melambangkan kehidupan yang abadi. • Gunung berwarna hijau, melambangkan kesuburan. • Hamparan warna biru, menunjukkan air yang melambangkan kesetiaan dan ketaatan. • Dua tangkai padi bersilang berwarna, masing - masing berbutir 17 melambangkan ketentraman dan dinamika kehidupan masyarakat yang dijiwai semangat Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. • Simpul pita berwarna kuning emas, melambangkan sifat /satuan dan kesatuan. • Motto Sugih Mukti, melambangkan kesejahteraan
161
Lampiran 4. Data Pedagang Beras Pandan Wangi No Jenis Lembaga Nama Orang / Lembaga Fungsi Tataniaga Perlakuan H. Mansyur Pertukaran Penjualan dan Pembelian Pengolahan, Pengemasan, Pengadaan H.Pepen Pengangkutan dan Pedagang Secara Fisik 1 Penyimpanan Pengumpul H. Ishak Informasi Harga dan Pasar, Pelancar Aa Anwar Sortasi, Permodalan dan Apud Penanggungan resiko
2
Pedagang Besar Daerah
PB. Pusiterup
Pertukaran
PB Sukamulya
Pengadaan Secara Fisik
PB. Pusaka PB. Wangun
Pelancar
PB. Burung Nuri
3
Pedagang Besar Luar Daerah
PB. Joglo
Pertukaran
PB. Sd. Asih
Pengadaan Secara Fisik
PB. OKH PB. Budi Asih PB.Hikmah
Toko Sugih Mukti Toko Krisna Jaya Abadi
4
5
Pedagang Pengecer
Pasar Swalayan
Toko Cianjur Asri Toko Budi Beras Toko Berkah Utama Toko Beras Mulia (Bogor) Toko Beras Anugrah (Bogor)
Pembelian dan Penjualan Pengolahan, Pengemasan, Pengangkutan dan Penyimpanan Informasi Harga dan Pasar, Sortasi dan Grading, Permodalan dan Penanggungan resiko Pembelian dan Penjualan Pengangkutan dan Penyimpanan
Pelancar
Informasi harga dan Pasar, Permodalan dan penanggungan Resiko
Pertukaran
Pembelian dan Penjualan
Pengadaan Secara Fisik
Pengangkutan dan Penyimpanan
Pelancar
Informasi harga dan Pasar, Permodalan dan penanggungan Resiko
Hero
Pertukaran
Pembelian dan Penjualan
Carefour
Pengadaan Secara Fisik
Pengangkutan, pengemasan dan Penyimpanan
162
Lampiran 5. Kuisioner Petani Padi Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi Varietas Unggul (Studi Kasus Beras pandanwangi di Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat) Prima Gandhi (A14104052) Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Fakultas /tanian-Institut /tanian Bogor
Kuisioner Petani padi pandanwangi Tanggal
:
No.Kuisioner
:
A. IDENTITAS PETANI 1. Nama
: .................................................................................
2. Pekerjaan Utama
: .................................................................................
3. Pekerjaan Sampingan
: .................................................................................
4. Daerah asal
: .................................................................................
5. Umur dan jenis kelamin
: ...............................................Laki-laki//empuan
6. Agama
: ..................................................................................
7. Alamat
: ......................................................Rt........Rw.......... Desa Bunisari, Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
8. Pendidikan formal
: .............................tamat / tidak tamat kelas................
9. Pengalaman mengikuti kursus, latihan kerja, penyuluhan kelompok yang diberikan oleh Dinas /tanian, Penyuluh lapangan, KUD atau Instansi lain, jumlah :........... a.
.................................................................tahun.............................................
b.
.................................................................tahun.............................................
c.
.................................................................tahun.............................................
10. Keluarga (Mereka yang hidup serumah / menjadi tanggungan petani atau yang ikut mencari nafkah) Jumlah : (.........)............................. orang
163
No
Nama
Status Hubungan
Jenis Kelamin
Pendidikan terakhir
Ikut membantu Kegiatan Usahatani *
Ikut mencari nafkah diluar Usahatani *
1 2 3 4 5 6 7 8
Ket : * (Ya/Tidak), Pilih salah satu 11. Pengalaman bertani padi pandanwangi
: ......................................................Tahun.
12. Alasan menjadi petani padi pandanwangi: ................................................................................ 13. Pola bercocok tanam padi pandanwangi : a. Monokultur b. Minapadi dengan ............................................ c. Tumpangsari dengan....................................... d. Lainnya........................................................... 14. Asal Modal
: pribadi/pinjaman
15. Hasil panen selanjutnya (dijual langsung ditempat/disimpan)
B. LAHAN USAHATANI 1. Luas Lahan yang dimiliki (dikuasai) / dikerjakan :
No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Lahan
Digarap Sendiri/Orang lain
Status*
Luas (Ha)
Taksiran Nilai (Rp)
Sawah Tegalan Kebun Kolam Pekarangan Kandang JUMLAH
* Ket : disewakan, disakapkan, digadaikan, dsb.
2. Jenis Tanaman/ Hewan yang diusahakan :
164
No 1
Jenis Tanaman/Hewan
Luas Ha/ jumlah pohon/hewan
Status*
Taksiran Nilai (Rp)
Padi Pandan Wangi
2 3 4 5 6 Total Luas Lahan 3. Pola pergiliran Tanaman dalam satu tahun Pola Tanam
Bulan 4. Pola Tanam padi pandanwangi
Bulan Kode Persil :
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
(...................................................)
(.......................................)
(...................................................)
(........................................)
Pola Luas : tanam Kode Persil : Luas :
C. BIAYA INVENTARISASI DAN ASET YANG DIGUNAKAN DALAM USAHATANI PADI PANDANWANGI 1. Sarana produksi /tanian :
165
Jenis Aset Jumlah yang Jumlah yang dan dimiliki disewa Investasi
Harga Beli (Rp/buah)
Harga Umur Nilai Sewa Teknis Sekarang (Rp/buah/ (Tahun) (Rp) musim)
Bangunan Alat‐alat ~ Cangkul ~ Kored ~ Sabit/Arit ~ Golok ~ Linggis ~ Sprayer ~ Traktor ~ caplakan ~ Panganler ~ Ember ~ ............... ~ ............... Bibit yang disimpan Sarana Produksi ~ Pupuk ~............. ~ Pestisida ~............ Ternak Produksi Tanaman di Lapangan Tenaga Kerja Lain‐lain ~ ............ ~ ............
2. Penggunaan lahan dalam 1(satu) musim tanam usahatani (Musim tanam........)
166
No
Jenis lahan
Area (Ha)
Dalam Dalam bentuk bentuk cash barang (Rp)
Lahan sewa 1 1. Sewa tetap dibatarkan kepada pemilik lahan 2. Bagi hasil Lahan yang disewakan ke orang lain 1. Sewa tetap dibayarakan oleh penyewa 2 2. Bagi hasil 3. Pembayaran pajak (PBB) Lahan yang diusahakan sendiri 3 1. Pembayaran pajak (PBB)
D. PENGELUARAN USAHATANI PADI PANDANWANGI 1. Penggunaan Sarana Produksi (satu musim / masa tanam................)
Jenis Sarana Produksi
Harga (Rp/satuan)
Jumlah (Satuan)
Jumlah Nilai (Rp)
Asal Sistem Pembelian* Pembaya ran **
Benih/bibit padi Pupuk Kimia : a. Urea b. SP 36 c. KCl d. NPK e. ......... Pupuk Buatan : a. Pupuk kandang b. Pupuk kompos c. Pupuk organik Obat-obatan a. Rodentisida b. Pestisida c. ............... Jumlah
Cat : Ket:
xxxxxxxxxxx
xxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxx xxxxxxxxx
Penggunaan sarana produksi ini hanya yang dibeli, harga satuan sarana produksi diperhitungkan pada tingkat usahatani / petani. * Asal pembelian : kios saprotan desa, kios saprotan kecamatan, pabrik saprotan, KUD,dll ** Sistem pembayaran : tunai, kredit, dll
167
2. Pengeluaran Umum Usahatani (masa tanam.....................................) No Jenis Jumlah Nilai Keterangan Padi Pandanwangi (Rp) Satuan
Jumlah Nilai (Rp) 1
8
Ipeda lahan (PBB) Iuaran Pengairan Iuran wajib lainnya (Listrik) Zakat Produksi Perbaikan lahan Upah buruh umum Pembayaran bunga pinjaman Sewa Traktor
9
Sewa Ternak
2 3
4 5 6 7
Keteranga n satuan
1 Tahun
10 11
.....................
12
.....................
13
.....................
14
..................... Total
168
E. PENDAPATAN USAHATANI 1. Produksi dan Penggunaannya ( masa tanam.............................)
Jenis Produk
Jumlah (satuan)
Dikonsumsi Keluarga
Dipakai lagi dalam Usahatani
Dijual
Yang Hilang
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Nilai Nilai Nilai Nilai (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) Padi Pandan Wangi Tanaman Lain ~ ~ ~ Hewan Ternak ~ ~ ~ Total Cat : Produk adalah yang dihasilkan oleh petani, /hitungan nilai produk didasarkan pada hargaharga yang berlaku di tingkat petani.
F. TATANIAGA PADI PANDANWANGI 1. Kegiatan tataniaga ( Dijual Ke)
No Bentuk Produk*
Lembaga Pemasaran
Harga Jual (Rp/Kg)
Jumlah Sistem Pasar yang Penjualan (Kg) Pembayaran ** dituju
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ket : * Padi, Gabah atau Beras ** Sistem pembayaran: tunai, kredit, dll. 2. Jika disimpan : a. Bentuk dan Jumlah komoditi yang disimpan..........................................kg b. Lokasi penyimpanan................................................................ c. Lama penyimpanan..................................................................
169
d. Cara penyimpanan................................................................... e. Besarnya biaya penyimpanan: Rp......................................... 3. Apakah Bapak / Ibu mengeluarkan biaya pengangkutan ? (Ya / Tidak) Jika Ya, besarnya biaya pengangkutan Rp. :......................................................... 4. Apakah lembaga tataniaga yang menerima hasil panen dari petani menerapkan suatu standarisasi ? (Ya / Tidak) 5. Sebelum dijual apakah padi pandanwangi mengalami penyortiran? (Ya / Tidak) Jika iya, berapa besar biaya penyortiran Rp................... 6. Apakah Bapak / Ibu melakukan proses pengemasan.? (Ya / Tidak) Jika iya, se/ti apa dan, berapa besar biaya pengemasan Rp......................... 7. Bagaimana dan Siapakah yang menetukan harga jual?.................................................................... ........................................................................................................................................................ 8.Darimanakah informasi mengenai harga di/oleh?........................................................................ ...................................................................................................................................................... 9. Apakah kesulitan yang dihadapi dalam sistem tataniaga komoditi padi pandanwangi di kecamatan Warung Kondang?.............................................................................................. ...................................................................................................................................................... 10. Apakah jika harga dipasar sedang turun anda tetap melakukan kegiatan panen? ...................................................................................................................................................... 11. Adakah pengaruh hari besar terhadap harga padi pandanwangi? (Ada / Tidak ada) Jika ada apa pengaruhnya?........................................................................................................... 12. Sumber modal (modal sendiri / mendapat bantuan / mendapat pinjaman) a. Besarnya modal : Rp................................................................................................................ b. Jika mendapat pinjaman dalam bentuk...................................dengan jangka waktu.............Th c. Apakah ada keterkaitan dengan pemilik modal? (Ya / tidak) d. Jika ya, apakah petani harus menjual hasil panen ke lembaga terebut?................................... ................................................................................................................................................
------------------=Trima
Kasih=--------------------
170
Lampiran 6. Kuisioner Pedagang Beras Pandan Wangi Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi Varietas Unggul (Studi Kasus Beras pandanwangi di Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat) Prima Gandhi (A14104052) Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Fakultas /tanian-Institut /tanian Bogor
Kuisioner Responden Tataniaga Beras pandanwangi Tanggal
:
No.Kuisioner
:
I. Identitas Pedagang 1. Nama
:.............................................................................
2. Alamat
: Rt / Rw........................... Desa............................. Kecamatan.......................
3. Umur dan Jenis Kelamin
:..................tahun(Laki-laki / Wanita)
4. Pendidikan Formal
:.....................tamat / tidak tamat kelas.....................
5. Pendidikan Nonformal
:
a. ..........................................................................................tahun.......................... b. ..........................................................................................tahun.......................... c. ..........................................................................................tahun.......................... d. ..........................................................................................tahun......................... 6.Pekerjaan utama
:.............................................................................
7. Pekerjaan sampingan
:.............................................................................
8. Klasifikasi Pedagang
: (1) Pengumpul desa
(3) Pedagang besar
(2)Pengumpul kecamatan(4) Pengumpul kabupaten 9.Nama Lembaga
:................................................
10.Bentuk Lembaga
: (1) perorangan (2) Koperasi
11.Tahun mulai bero/asi
(3) Firma / CV (4) Lainnya................
:....................................................................................
12. Komoditas /tanian yang di/dagangkan (berdasarkan pembelian) :
171
No
Bentuk Persentase* Komoditi * * 1
2
3
4
Bulan*** 5 6 7 8 9 10 11 12
1 2 3 4 5 6 *) Padi, Gabah atau Beras *) Terhadap nilai usaha seluruh komoditi yang diperdagangkan setahun terakhir **) Tuliskan (B) jika banyak, (C) jika cukup dan (S) sedikit 13.Jumlah pembantu / pegawai tetap :
No
Jenis pekerjaan Jumlah (orang)
Status pekerja*
Lama jenis pekerjaan (hari
Upah/hari (Rp)
1 2 3 4 5 6 *) : (1) anggota keluarga (2) luar anggota keluarga, isikan 1 atau 2, atau 1 dan 2
II. Pembelian 1. Jenis dan bentuk barang yang dibeli (diurutkan berdasarkan volume) 1. ......................................................................................................... 2. ......................................................................................................... 3. ......................................................................................................... 4. ......................................................................................................... 2. Apakah Anda menerapkan suatu standarisasi? 3. Apakah Anda melakukan proses sortasi?(Ya / Tidak) Jika Ya, Berapa biaya sortasi yang dikeluarkan Rp.............................. 3. Apakah anda menanggung biaya resiko dari kegiatan penjualan?(Ya / Tidak) Jika iya, berapa besar biayanya?.........................................
4. Dibeli dari / Sumber pembelian
172
No
Sumber pembelian
Volume pembelian (Kg)
Harga beli (Rp/Kg)
Sistem Pembayaran
1 2 3 4 5 6 7 8 9 5. Tata cara pembelian (dalam seminggu terakhir) No
Uraian
Kegiatan pembelian 1
1
2
3
4
Sumber Pembelian
2
Volume (Kwintal)
3
Harga (Rp/Kwintal)
4
Lokasi
5
Alasan membeli dari sumber
6
Cara pembelian a. Bebas b. Kontrak
7
Cara pembayaran a.Tunai b.Dibayar dimuka c.Dibayar sebagian
8
Cara penyerahan barang a. Ditempat pembeli b. Ditempat penjual
9
Cara penentuan harga a.Ditentukan petani b.Ditentukan pedagang c.Ditentukan pemerintah d.Tawar‐menawar
10
Cara perolehan informasi harga
No. 1 : a. Petani b.Kelompok tani
c. Pedagang desa
e. Pedagang kabupaten
d. Pedagang kecamatan
f. Lainnya...................
No. 4 : a. Dalam desa
c. Luar desa dalam kecamatan
b. Luar kecamatan dalam kabupaten No. 5 : a. Harga lebih murah
d. Lainnya...............................
c. Lokasi mudah dijangkau e. Lainnya............
b. Barang lebih bagus d. Langganan No 10 : a. Sesama pedagang b. Media massa
c. Kelompok tani d. Lainnya...............................
173
6. Kaitan Mutu dan Harga barang 1. Apakah ada /bedaan mutu barang yang dibeli? (Ya / Tidak) 2. Jika ya, apakah ada /bedaan harga berdasarkan mutu? (Ya / Tidak) 3. Jika ya, dalam hal apa? ...................................................................... 7. Kegiatan Penyimpanan a. Jumlah komoditi yang disimpan..........................................kg b. Lokasi penyimpanan................................................................ c. Lama penyimpanan.................................................................. d. Cara penyimpanan................................................................... e. Biaya penyimpanan................................................................. 8. Kegiatan Pengangkutan a. Jumlah kendaraan yang digunakan
:..........................................................................buah
b. Kapasitas kendaraaan
:..............................................................................kg
c. Jarak pengangkutan
:..............................................................................Km
d. Dibutuhkan berapa kali pengangkutan?:............................................................................... e.Apakah ada kegiatan dan biaya bongkar muat?(Ya / Tidak) Jika ya, Besar biaya bongkar muatRp......................................................... f. Biaya pengangkutan Rp............................................................... 9. Biaya total tenaga kerja 10. Kegiatan Pengemasan a. Jenis kegiatan yang dilakukan? ......................................................................................................................................................... ......................................................................................................................................................... ........................................................................................................................................................ b. Biaya pengemasan Rp........................................................ 11. Apakah terjadi penyusutan produk?(Ya / Tidak) Jika Ya, Berapa jumlah biaya penyusutan Rp............................................ 9. Hambatan dan Masalah dalam proses pembelian (dalam seminggu terakhir)
174
No
Masalah
(1) = Ya (2) = Tidak
1
Harga terlalu tinggi/rendah
2
Harga berfluktuasi tajam
3
Ketersediaan barang tidak kontinyu
4
Ketersediaan barang terlalu sedikit dibanding kemampuan membeli
5
Sarana jalan jelek
6
Fasilitas angkutan langka
7
Peraturan pemerintah tidak jelas
8
Peraturan pemerintah membatasi masalah
9
Pungutan‐pungutan terlalu besar
10
Keterbatasan tenaga terampil
11
Keterbatasan tenaga buruh
12
Kualitas barang dapat berubah
13
Kualitas barang sangat beragam
14
Keterbatasan modal
15
...............................................
III. Penjualan 1. Apakah Anda menentukan harga jual? 2. Dari manakah informasi tentang harga di/oleh? 3. Jenis dan bentuk barang yang dijual (urutan dari volume terbesar) : (1). ................................................................. (2). ................................................................. (3). ................................................................ 4. Tujuan penjualan / dijual ke
No
Tujuan penjualan
:
Volume (kwintal)
Harga (Rp/Kw)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 3. Volume penjualan dan /kembangan harga sebulan terakhir( rata-rata / minggu)
175
No
Bulan
Minggu ke... Produksi (Kg) Penjualan (Rp) Harga (Rp/Kg)
4. Tata cara penjualan (seminggu terakhir) No 1
Uraian
Kegiatan pembelian 1
2
3
4
Tujuan penjualan
2
Volume (Kwintal)
3
Harga (Rp/Kwintal)
4
Lokasi
5
Alasan penjualan
6
Cara penjualan (%) a. Bebas b. Kontrak
7
Cara pembayaran (%) a.Tunai b.Dibayar dimuka c.Dibayar sebagian
8
Cara penyerahan barang a. Ditempat pembeli b. Ditempat penjual
9
Cara penentuan harga a.Ditentukan petani b.Ditentukan pedagang c.Ditentukan pemerintah d.Tawar‐menawar
10
Cara perolehan informasi harga
5. Bagaimana menentukan harga jual ? ............................................................................................................................................... ............................................................................................................................................... 6. Dari manakah informasi mengenai harga di/oleh ? ............................................................................................................................................... ............................................................................................................................................... ............................................................................................................................................... 7. Apakah Anda memberikan bantuan kredit kepada petani?
176
Jika ya, dalam bentuk.................................................dengan jangka waktu..................tahun. 8. Apakah Anda menetapkan suatu standarisasi produk yang dibeli ? .............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................... 9. Apakah anda menanggung biaya resiko dari kegiatan penjualan ? ............................................................................................................................................... .............................................................................................................................................. 10.Sumber modal berdagang
: a. Modal sendiri b. Mendapat bantuan c.Lainnya.............................
7. Besarnya Modal : Rp............................................................................ 8. Jika mendapat bantuan dalam bentuk.........................................dengan jangka waktu pengembalian............................................Tahun
IV. Total biaya keseluruhan yang dikeluarkan 1. Biaya yang dikeluarkan : a. Biaya Tenaga Kerja
=
b. Biaya Pengangkutan
=
c. Biaya Pengemasan
=
d. Biaya Penyimpanan
=
e. Biaya Penyusutan
=
f. Biaya Resiko
=
g. Biaya Sortasi
=
h. Retribusi
=
i. Lain-lain
=
-------------------oTrima
Kasiho-------------------
177
Lampiran 7. Gambar Padi dan Beras Pandanwangi
178