1
PEMBELAJARAN QASHÎDAH WU’ÛD MINAL `ÂSHIFAH KARYA MAHMUD DARWISH MELALUI KAJIAN POSTKOLONIAL Dr. Hanik Mahliatussikah, S.Ag., M.Hum. Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]/
[email protected]
Individu puisi dalam sastra Arab disebut qashîdah dan dalam sastra Indonesia disebut sajak. Puisi atau syi`ir merupakan nama genre atau jenis sastra sebagaimana prosa atau natsr. Qashîdah Wu`ûd min al-Âshifah adalah salah satu karya sastrawan Arab Palestina, Mahmud Darwish (1941-2008). Ia menyuarakan hati rakyat Palestina yang terjajah dan menderita melalui karya-karyanya. Mahmoud Darwish telah mempublikasikan lebih dari 30 antologi puisi dan 8 buku prosa.Qashîdah Wu`ûd min al-Âshifah merupakan salah satu qashîdah yang menarik; direspon pembaca melalui terjemahan dalam bahasa Inggris “Promises from Storm” dan juga digubah dalam bentuk lagu. Kajian postkolonial merupakan kajian terhadap karya sastra yang berkaitan dengan praktik kolonialisme atau imperialisme. Mahmud Darwish sebagai bagian dari masyarakat Palestina melakukan resistensi terhadap pihak penjajah melalui karya-karyanya. Teks puisi inilah yang merupakan dokumen sejarah. Qashîdah dipandang memiliki kekuatan, baik sebagai pembentuk hegemoni kekuasan atau sebaliknya sebagai konter hegemoni.Kajian ini berusaha membongkar selubung praktik kolonialisme di balik Qashîdah Wu`ûd min alÂshifahkarya nasionalis Palestina Mahmud Darwish. Dalam perspektif kajian postkolonial, qashîdah ini berisi motivasi kepada pejuang Palestina bahwa mereka mampu mengambil kembali Negeri Palestina dari penjajah, mampu mengembalikan kebahagiaan rakyat Palestina yang terampas. Penyair sebagai bagian dari rakyat terjajah memilih diksi “al-Âshifah “ (angin badai) yang merupakan kata kunci dalam qashîdah ini. Angin badai adalah metafor bagi para pejuang Palestina yang tangguh dan kuat, mampu mengembalikan negeri sebagaimana angin badai yang mampu mencabut apapun yang dikehendakinya. Kemampuan para pejuang diibaratkan sebagai kilatan petir yang mampu bergerak cepat. Rakyat Palestina mengalami penderitaan dan ketakutan. Namun, mereka tetap memiliki harapan untuk merdeka. Kemerdekaan yang dirindukan dikiaskan dengan secawan arak dan pelangi. Artikel ini mendeskripsikan adanya dikotomi dan oposisi, serta mendekonstruksi teks yang merupakan penanda kajian postkolonial. Kata kunci: wu`ûd min al-âshifah , Mahmud Darwish, puisi, postkolonial
2
PENDAHULUAN Sajak-sajak Mahmud Darwish telah dikenal di berbagai penjuru dunia. Hal itu dibuktikan oleh adanya respon berupa penerjemahan karya-karya Darwish ke dalam berbagai bahasa, ada yang mengatakan lebih dari dua puluh dua bahasa. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya karya Darwish sehingga ia perlu diterjemahkan untuk bisa dimengerti isinya oleh berbagai kalangan. Beberapa karyanyapun digubah dalam bentuk lagu.Salah satunya adalah wu`ûd min al-`âshifah yang dinyanyikan oleh Marcel Khalifah, seorang komposer musik dan penyanyi Arab asal Libanon yang merindukan kemerdekaan Palestina. Mahmud Darwish yang lahir pada13 Maret 1941 telah memenangkan berbagai penghargaan, di antaranya Lotus Prize( 1969); Peace Prize Lenin (1983 ); dan Medali Perancis tertinggi, serta Knight Seni dan Sastra (1993). Ia meninggal pada 9 Agustus 2008 (http://www. darwishfoundation.org; http://www.progressive.org) Kajian postkolonial termasuk dalam kajian poststruktural, sebagaimana kajian dekonstruksi, kajian feminis, intertekstual, dan Resepsi (Ratna, 2004: 158-222; Fananie, 2000: 151; Eagleton, 1988:140-163). Poststruktural memiliki keterkaitan dengan postmodernisme. Teori postmodern dan poststruktural bercirikan menolak adanya satu pusat, kemutlakan, menolak sistem pemikiran tunggal (homologi) dan sebaliknya menawarkan sistem pemikiran plural, Postmodernisme sebagai gejala kebudayaan yang relatif luas yang muncul antara 1960-1990 (Ratna, 2004: 154). Postmodernisme merupakan perkembangan positif modernisme dan poststrukturalisme merupakan perkembangan positif struktural. Kedua istilah ini hampir tidak dibedakan dalam kehidupan praktis sehari-hari. Post strukturalisme semata-mata dikaitkan dengan wilayah pengkajian sastra, termasuk di dalamnya postkolonial. Kajian postkolonial menitikberatkan kajian pada adanya teks yang terpengaruh oleh pengalaman penindasan dan perjuangan terhadap kolonialisme. Bentuk perlawanan terhadap kolonialisme tidaklah berhenti setelah kemerdekaan dicapai, namun juga muncul imbasnya secara psikologis setelah penjajahan. Imbas penjajahan itu merasuk ke dalam pikiran bawah sadar. Meskipun bangsa Indonesia telah merdeka, namun aspek psikologis, seperti perasaan inferioritas di hadapan bekas penjajah secara tidak sadar masih mempengaruhi perilaku masyarakat. Masalah inferioritas muncul karena di dalam
3
alam pikiran bawah sadar negara bekas terjajah masih tersimpan ingatan kekalahan dan kegamangan akan identitas diri yang belum tertemukan. Inferioritas yang dialami dapat disembuhkan lewat proses reidentifikasi, yaitu melalui pencarian identitas, di antaranya dengan nasionalisme. Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan teori dan metode kajian postkolonial dan menerapkannya dalam telaah Qashidah Wu`ûd min al-`Ashifah karya Mahmud Darwish.
TEORI POSTKOLONIAL Teori postkolonial lahir setelah kebanyakan negara-negara terjajah mengalami kemerdekaan. Kesusastraan postkolonial ialah kesusastraan yang membawa pandangan subversif terhadap penjajah dan penjajahan. Postkolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik penjajah dan terjajah. Penjajah biasanya memunculkan cara berpikir yang berbeda dengan yang terjajah. Cara berpikir yang berbeda ini tentu saja menimbulkan dikotomi-dikotomi tertentu. Penjajah menciptakan imaji yang negatif terhadap jajahannya. Menurut Edward Said (2000), manipulasi cara berpikir tentang negatif suatu label milik terjajah itu diciptakan penjajah dengan demonisasi dan dehumanisasi. Masyarakat terjajah kemudian menjadi objek pasif yang tidak sepadan dengan subjek aktif. Pelabelan dan pengkondisian demikian, yang memang disengaja, akan membuat negara-negara bekas terjajah menjadi stagnan dan tidak maju. Postkolonialisme menjadi kekuatan anti kolonialisme imperialisme dan metamorfosanya: neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Postkolonial merupakan suatu bentuk perjuangan terhadap realitas kekinian yang masih terjajah oleh bentuk neo-kolonialisme selepas kemerdekaan dicapai (Rukundwa dan Aarde, 2007: 1175).
Kolonialisme menggunakan wacana kolonial untuk menguatkan perbedaan antara dunia terjajah dan penjajah. Mereka mengkaji masyarakat terjajah dan melukiskannya dalam berbagai bentuk media, tulisan, film, iklan, brosur, dan gambar. Kolonialisme berasumsi bahwa apa yang mereka lakukan akan menciptakan perbedaan yang tegas antara masyarakat penjajah dan terjajah. Tetapi dalam kenyataannya, banyak masyarakat terjajah justru meniru penjajahnya dalam penampilan dan perilaku hidup sehari hari. Dalam pandangan Said, orientalisme adalah mentimurkan Timur. Barat menguatkan oposisi biner lewat pembedaan antara Barat dan Timur dalam rangka mendominasi Timur
4
(Said, 1978; Said, 1995). Dominasi dan hegemoni tersebut mereka praktikkan dalam kolonialisme. Jika dikaitkan dengan model teori Marx dan Derrida, maka kolonial identik dengan subjek dan yang terjajah adalah the others. Kajian postkolonial membahas tentang subjek-the others, Barat sebagai subjek, dan budaya lain sebagai the others. Terdapat relasi patronase yang tidak seimbang, pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan. Patron berada dalam posisi superior dan klien berada dalam posisi inferior (Scott, 1972). Hubungan patron klien merupakan hubungan asimetris, berat sebelah karena merupakan hubungan vertikal dan bukan horizontal (Pahrudin, 2010 dalam http://roedijambi.wordpress.com). Patronase menurut Scott memiliki karakteristik yaitu (1) adanya ketimpangan dalam pertukaran antara patron yang berposisi lebih kuat dan klien yang berposisi lebih lemah, (2) bersifat tatap muka, ada hubungan akrab sehingga ada rasa saling percaya antara kedua belah pihak, (3) bersifat luwes dan meluas. Hal itu terus menerus tersosialisasikan di masyarakat sehingga melahirkan kebiasaan yang membedakan kelaskelas sosial, yang kemudian dianggap sebagai hal yang wajar dan harus dipatuhi. Hal ini yang kemudian dalam istilah Bourdieu disebut dengan habitus. Habitus merupakan struktur kognitif yang menghubungkan individu dengan realitas sosial (Bagus, dalam Setiawan, 2015) Postkolonial menolak hegemoni dan autoriti Barat, mempertanyakan hierarki sosial, struktur kekuasaan, dan wacana kolonialisme. Pembacaan postkolonial berusaha menjelaskan bagaimana suatu teks mendestabilisasi dasar pikiran kekuatan kolonial, atau bagaimana teks-teks tersebut mengedepankan efek kolonialisme. Kolonialisme melalui berbagai praktik dan bentuknya, seperti pendudukan, perbudakan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, atau penggantian budaya telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan kebudayaan masyarakat jajahan. Beberapa topik yang dikembangkan oleh postkolonial adalah masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya. Menurut Derrida segala bentuk identitas merupakan bangunan sosial, bukan merupakan suatu esensi yang telah ditentukan secara biologis (Budianta, 2004:51). Kajian Postkolonial bertujuan untuk
5
mengembalikan atau memulihkan keutuhan dan kekuasaan masyarakat yang telah dimarjinalkan atau termarjinalkan oleh proses-proses kolonialisasi tersebut. Ratna (2004:205-211) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan teori postkolonial adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Objek penelitian postkolonial menurut Ashcroft mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang, termasuk berbagai efek yang ditimbulkannya. Objek postkolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman kolonial. Kajian postkolonial berkaitan dengan nasionalisme. Nasionalisme merupakan keinginan untuk hidup bersama sebagai suatu komunitas bangsa yang memiliki tujuan dan cita-cita yang hendak diraih bersama. Dalam nasionalisme inilah seorang individu mengintegrasikan perasaan dan kecintaannya pada negara kebangsaan, setia terhadap bangsa. Kesetiaan itu muncul karena adanya kesadaran akan identitas kolektif. Bangsa mempunyai pengertian totalitas yang tidak membedakan suku, ras, golongan, dan agama. Kepentingan semua kelompok diinstitusionalisasikan dalam berbagai organisasi sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan. Kebersamaan ini dilakukan untuk menghapus superioritas kolonial terhadap suatu bangsa yang telah menimbulkan berbagai penderitaan selama kurun waktu yang cukup lama.
METODE KAJIAN POSTKOLONIAL DALAM SASTRA Metode yang dianggap paling tepat untuk mengkaji aspek kolonial adalah metode kualitatif. Hal ini karena postkolonial merupakan bagian dari postmodernisme yang bertujuan bukan untuk objektivitas, melainkan dasar-dasar berpikir yang berbeda. Istilah postkolonial sering digunakan untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, juga mencakup seluruh kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial dari awal sejarah kolonisasi hingga kurun waktu sekarang. Ia juga merupakan istilah yang paling tepat untuk menyebut kritik-kritik lintas budaya yang muncul akhirakhir ini serta wacana yang dibentuknya. Karya-karya postkolonial memiliki karakteristik yang khas sehingga para kritikus akhirnya mengembangkan model-model kajian yang
6
secara garis besar dibedakan atas empat model, yaitu (1) model „nasional‟, (2) model berbasis ras, (3) model perbandingan yang menjelaskan ciri-ciri linguistik, historis, dan kebudayaan tertentu yang melintasi dua atau lebih kesusastraan postkolonial dengan cara memperbandingkannya; dan (4) model perbandingan yang lebih luas, yang lebih menonjolkan pada aspek-aspek hibriditas dan sinkretisitas (Nurhadi, 2003; Ashcroft, Bill, dkk. 1995). Teori postkolonial berkaitan dengan postmodernisme, poststrukturalisme, new criticism, teori wacana, teori ideologi, marxisme, dan feminisme. Kritik postkolonial dapat dilakukan dengan (1) pembacaan terhadap teks-teks postkolonial yang spesifik dan dampak-dampak yang muncul akibat penciptaannya dalam konteks sosial historis yang spesifik. (2) mengkaji kiasan-kiasan seperti alegori, ironi, dan metafor dan pembacaan ulang teks-teks kanonik dalam kerangka pikir praktik diskursif postkolonial. Kajian puisi dengan model analisis postkolonial juga dapat dilakukan dengan mendeskripsikan berbagai isu yang berhubungan dengan wacana postkolonial, konsep kekuasaan, konsep penjajahan, tindakan subversif penjajah dan penjajahan, masalah ras, etnisitas, identitas budaya, gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas jajahan (http://ithasartika91.blogspot.co.id). Bahri (1996) menjabarkan beberapa isu yang dapat dikaji di dalam kajian postkolonialisme, di antaranya (a) pengaruh kolonialisasi terhadap patron-klien, (b) strategi patron menguasai klien, (c) jejak atau bukti yang dapat ditemukan di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berbau kolonial yang masih tersisa atau nampak di negara klien, (d) efek jejak kolonialisme berpengaruh di dalam pembangunan dan modernisasi negara postkolonial, (e) bentuk perlawanan terhadap pengaruh atau kontrol kolonial, (f) manifestasi identitas postkolonial setelah para penjajah berhasil terusir, (g) fungsi dan peran jender, ras, dan kelas sosial dalam wacana kolonial dan postkolonial, (h) hibriditas, sinkretisasi, dan pastiche (http://dipanugraha.blog.com). Kajian postkolonial juga dapat dilihat dari adanya dua penanda, yaitu: (1) tempat dan pemindahan, dan (2) dekonstruksi. Tempat dan pemindahan terjadi disebabkan oleh kebutuhan kolonial untuk ketertiban, proses hibridisasi sebagai suatu keadaan yang muncul akibat belenggu kolonialisme dan upaya untuk menemukan kembali jati dirinya,
7
dan yang terakhir adalah globalisasi. Terdapat individu yang mengalami pemindahan, pengucilan, dan marginalisasi. Adapun dekonstruksi yang diperkenalkan oleh Jacques Derrida dipakai untuk membaca berbagai macam teks sastra maupun nonsastra, untuk menunjukkan ketidaksesuaian dengan logikal retorika, antara yang secara eksplisit disebutkan dan yang secara implisit tersembunyi dalam teks. Kajian dekonstruksi menunjukkan bagaimana kontradiksi-kontradiksi tersebut disamakan oleh teks (http:// dipanugraha.blog.com). Kesusasteraan postkolonial tidak terikat dengan masa, tetapi terikat dengan wacana postkolonial. Postkolonial mengkaji teks dari aspek kolonialisme ketika berlangsung ataupun selepas penjajahan. Pada saat ini pun di berbagai negara masih terjadi penjajahan, termasuk di Indonesia. Penjajahan dalam arti luas, tidak hanya aspek politik, tetapi juga ekonomi, budaya, dan mental. Analisis wacana postkolonialis digunakan untuk menelusuri aspek-aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan, sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja atau membongkar disiplin lembaga dan idiologi yang mendasarinya. Postkolonialisme di samping mengedepankan transkulturasi mutual penjajah dan yang terjajah, juga mengkaji mimikri dan hibriditas. Mimikri merupakan bentuk-bentuk peniruan, penyesuaian terhadap etika dan kategori ideal eropa, seolah-olah sebagai sesuatu yang universal. Sedangkan hibriditas adalah hubungan dua kebudayaan dengan identitas berbeda.
TERJEMAHAN QASHÎDAH WU`ÛD MIN AL-ÂSHIFAH 1.
Terjemahan Bahasa Indonesia
8
JANJI ANGIN BADAI Karya: Mahmud Darwish
Biarlah Kan kutolak kematian Kan kubakar airmata nyanyian darah Kan kubebaskan pohon zaitun dari dahandahan palsu
Ketika kunyanyikan lagu kebahagiaan Di balik kelopak-kelopak mata ketakutan Karena angin badai Telah menjanjikanku secawan arak Sejuta harapan baru Pelangi warna warni Karena angin badai Telah melenyapkan suara burung-burung dungu Dahan-dahan yang tergadai Dari batang-batang pohon kokoh berdiri
Biarlah Kan kubanggakan dirimu wahai pejuang bangsa Engkaulah kilatan petir Di malam-malamku yang sedih Kala jalan muram di depanku Kau menjagaku dari bayang-bayang dan pandangan perseteruan
Akan kunyanyikan lagu kebahagiaan Di balik kelopak-kelopak mata ketakutan Sejak angin badai berhembus di negeriku Dan menjanjikanku secawan arak dan pelangi warna warni
صفَ ِة ِ ُوع ُْو ٌد ِمنَ ْال َعا
محمود درويش ُ ْ َول َيك ْن َ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ْ َّ ُ َ ض امل ْوت َل بد ِلي أن أزف ْ َ َّ ْ ُ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ ُ َق َ اعفة ِ وأن أحس دمع لْاغ ِني ِ ات الس َ ّ َ ُ َ ّ ي َ َ َ ّ ْ ُ ْ َن ْ ُ ّ ْ ُ ُ ْ ن وأع ِس شجس الزٍتو ِمن ك ِل الغصو ِ الز ِائف ِة َْ َ ُ ُ َ َ ف ِإذا ك ْن ُت أغ ِ ّني ِللف َس ِح َ َْ َ َ ْ ُ ف َأ ْج َفان ْا لع ُي ْو ِن الخ ِائف ِة خل ِ َ َ َ ْ َّ َ َ اصفة ِ ف ِِلن الع َو َع َد ْث ِن ْي ِب َن ِب ْي ٍر َ َْ َ اب َج ِد ًْ َد ٍة ٍ و ِبأنخ َ َ َوب َأ ْك اس ك َز ٍح و ٍ َ َ َ ْ َّ َ ِ َ اصفة ِ وِِلن الع َصاف ْير ْا َلبل ْيدة َ لع َ ص ْو َت ْا َ َك َّن َص ْت ِ ِ ِ ِ ُ ْ ُ ُْ َ ص ْو ِن امل ْص َت َع َاز ِة والغ ْ ََ َ ّ ُ ُ ْ َ َ َ ات الو ِاكف ِة ِ عن جر ِوع الشجس ُ ْ ... َول َيك ْن َ َْ َ َ ّْ َل ُب َّد ِل ْي أن أث َب َاهى ِب َك ًَا ُج ْس َح امل ِد ًْ َن ِة َ َأ ْن َت ًَا َل ْو َح َة َب ْسق ف ْي َل َيال ْي َنا ْا لح ِزٍْ َن ِة ِ ِ ٍ َّ ض ُ ٌَ ْع َب الش ِاز ُع ِف ْي َو ْج ِه ْي َّ َف َت ْحم ْين ْي م َن ّالظ ّل َو َن َظ َسات الض ِغ ْي َن ِة ِ ِ ِ ِ ِ ِ ْ َ ُ َشأغ ِ ّني ِلل َف َس ِح َ َ َْ ْ َ ْ خلف أ ْج َف ِان ال ُع ُي ْو ِن الخ ِائ َف ِة َ ُ َ ُُْ َ ْ اص َفة ِ منر ه َّب ِت ِف ْي ِبَل ِدي الع َ ََْ َ ْ َ ْ ََْ َ اس ك َز ٍح ٍ وعدث ِني ِبن ِبي ٍر و ِبأكو
9
Di samping terjemahan penulis berbahasa Indonesia tersebut, terdapat terjemahan berbahasa Inggris yang kemudian digubah menjadi lagu oleh komposer musik Marcel Khalifah yang juga merupakan pendukung pembebasan Palestina. 2.
Terjemahan Bahasa Inggris
PROMISES FROM THE STORM Marcel Khalifah
And so it shall be I must refuse to die And burn the tears of the bleeding songs And strip the olive tree of all its fake branches For if I was singing for joy Behind the eyelids of scared eyes It is because the storm has promised me wine And new toasts (celebratory, not bread) And rainbows And because the storm Swept away the sound of idle sparrows And the naked branches From the stems of the standing tress And so it shall be I must be proud of you oh wound of the city You, my picture of lightning in our sad nights The street frowned at me So you protect me from the shadows and the hateful looks (of others) I will sing for joy Behind the eyelids of scared eyes Since the storm has sprung up in our country It has promised me wine and rainbows
ANALISIS POSTKOLONIAL QASHÎDAH WU`ÛD MIN AL-ÂSHIFAH Analisis ini diawali dengan mendekonstruksi kata-kata penting melalui kajian oposisi biner patron klien sebagai berikut. Oposisi Biner Patron Klien Terjajah/klien/the others Al-`âshifah (angin badai), lambang keberanian anak-
Penjajah/patron/subjek Mapan, tenang, tanpa
10
anak/pemuda/pejuang Negeri Palestina, bersemangat dan mampu bergerak cepat seperti angin badai Rafdhul maut (menolak untuk mati), ada perlawanan achruqa dam`a al ughniyât ar-râ`ifah (Membakar airmata nyanyian darah), ingin melenyapkan kesedihan dan penderitaan yang mendalam U`arrî sajaraz zaitûn (membebaskan pohon zaitun), membebaskan Negeri Palestina, Negeri Palestina terjajah Negeri Palestina yang terjajah, yang dirongrong, terkena imbas kemunafikan
pergolakan Menimbulkan kematian, memerangi, menjajah Menimbulkan air mata dan kesedihan Menjajah Negeri Palestina Al-ghusûn az-Zâifah (dahan-dahan palsu) perongrong negeri, penjajah yang bersikap munafik Posisi menguasai dan menekan
Berada dalam kekuasaan musuh, Ughannî lil farach (menyanyikan lagu bahagia), memiliki harapan, impian, semangat, dan motivasi untuk merdeka dan berbahagia, meskipun berada dalam tekanan akan selalu mengobarkan berita bahagia akan hadirnya kemerdekaan Ajfânil uyûnil khâ`ifah (kelopak mata yang ketakutan), Penjajah yang membuat rakyat yang terjajah, takut bertindak rakyat berada dalam cengkeraman ketakutan Wa`adat (berjanji), pejuang memberi keyakinan akan Posisi menguasai dan dicapainya kebahagiaan, harapan-harapan kemerdekaan menekan Kannasat (melenyapkan), berani melawan musuh Shauta al `ashâfir alAl-ghushûn al-musta`ârah (dahan-dahan yang tergadai), Balîdah (suara burungsendi-sendi negeri yang terjajah, yang tercerabut dari burung dungu), yaitu bumi asalnya. para penguasa dan pemimpin yang pengecut, tidak berani menyuarakan hak rakyat. Lâ budda lî an atabâhâ bika (kan ku banggakan dirimu), Pelaku yang rasa nasionalisme yang tinggi terhadap negeri. menhancurkan kota Jurhal madînah (pembela bangsa), para mujahid yang beserta kondisi mental rela mati dan bahkan bangga jika mati syahid. psikologis Lauchata barqin (kilatan petir), para pejuang itu bagai masyarakatnya kilatan petir, dalam hal memberikan secercah harapan akan datangnya hujan, yaitu kehidupan yang lebih baik. Ya`basu asy-syâri`u fî wajhî (jalan muram di depanku), Penyebab tidak adanya rakyat terjajah serasa tidak memiliki harapan, tidak masa depan bagi terjajah memiliki masa depan. Hanya negeri itu yang dimiliki, yang bisa diperjuangkan untuk menjadi tempat menggantungkan harapan masa depan yang gemilang. Negeri itu saja yang dimiliki dan kemudian perlu Menimbulkan dipertahankan karena negeri itu mampu menjaga permusuhan dan penduduknya dari permusuhan dan perselisihan perselisihan
11
Berdasarkan identifikasi struktur oposisi biner, diketahui adanya ketidakseimbangan antara patron dan klien. Penjajah sebagai patron atau subjek memiliki kebebasan dalam menentukan kebijakan dan bebas berbuat sesuai dengan rencana. Adapun klien berada dalam tekanan, tidak dapat secara bebas untuk bertindak. Klien melakukan perlawanan dalam rangka memperoleh haknya yang terampas. Tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh penjajah telah menimbulkan semangat nasionalisme pada diri masyarakat terjajah. Keinginan merdeka dan bebas dari interfensi luar itu menjadikan pemuda yang merupakan penerus generasi memiliki keberanian yang luar biasa, berani pasang badan atau tidak takut mati demi mempertahankan negeri.
صفَ ِة ِ ُوع ُْو ٌد ِمنَ ْال َعا ُ ْ َول َيك ْن َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ْ َّ ُ َ ض امل ْو َت َل بد ِلي أن أزف ْ َ َّ ْ ُ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ ُ َق َ اعفة ِ وأن أحس دمع لْاغ ِني ِ ات الس ْ ُ ُ ّ ص ْون ْ َ ْ ُ ّْ َ َ َ َُ ُ الز ِائ َف ِة ِ وأع ّ ِسي شج َس الزٍتون ِمن ك ِ ّل الغ Diksi Al-`âshifah ( )العاصفةsecara bahasa memiliki pengertian angin badai. Penyair memilih kata Al-`âshifah (angin badai) dan bukan rîch / ( السٍحangin biasa/ non badai) untuk menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan itu. Al-`âshifah adalah gambaran pejuang dan penerus bangsa Palestina yang memiliki kecepatan gerak dan kemampuan untuk menghancurkan musuh. Kekuatan mereka itu diibaratkan seperti kekuatan angin badai. Jika sudah tiba masanya, anak-anak penerus bangsa itu akan bergerak cepat merebut negerinya yang dirampas sebagaimana angin badai yang mampu mencabut pohon dan bangunan, memporak porandakan kemapanan. Penyair memiliki harapan kepada para pejuang untuk tetap tangguh, kuat, dan bergerak cepat sebagaimana angin badai. Kata Al-`âshifah dijadikan sebagai judul sajak/qashîdah, dan disebut 3 kali. Penyebutan berulang ini menunjukkan pentingnya kata ini dalam mempengaruhi makna qashîdah secara keseluruhan, sehingga kata ini merupakan kata kunci yang mewadahi keseluruhan makna qashîdah ini.
12
Diksi Al-`âshifah jika dikaitkan dengan aspek geografis, adalah penanda awal datangnya hujan. Hujan adalah penyebab datangnya rizki. Pada waktu langit berawan atau pada waktu hujan sering kita lihat kilapan cahaya yang diikuti suara yang sangat kencang dan bergemuruh. Peristiwa terjadinya kilat dan guntur biasanya diikuti dengan hujan dan angin kencang (http://geoenviron.blogspot.co.id/2012/10/cuaca-dan-badaiguntur.html). Selanjutnya, diksi Rafdhul maut
( زفض املوتmenolak untuk mati) merupakan
gaya bahasa hiperbola penyair untuk menunjukkan betapa para pejuang Palestina, yaitu anak-anak dan generasi muda sudah tidak lagi takut mati. Ia menolak kematian itu karena pada dasarnya mereka yang syahid itu tetap hidup meskipun jasadnya telah meninggal. Penyair juga menggunakan gaya personifikasi pada ungkapan achruqa dam`a al ughniyât ar-râ`ifah
( أحسق دمع لْاغنيات الساعفةMembakar air mata darah). Kata
membakar di sini menunjukkan betapa kesungguhan para pejuang Palestina benar-benar telah mencapai puncaknya dalam keinginan meraih kemerdekaan. Ungkapan “membakar air mata darah” memberikan makna bahwa pejuang akan membawa kebebasan Palestina sehingga tidak akan ada lagi penderitaan dan tetesan air mata. Tetesan air mata akan lenyap dan berubah menjadi senyuman dan kebahagiaan. Diksi Syajaraz zaitûn
) (شجس الزٍتونpohon zaitun merupakan kiasan pengganti
nama atau kinayah bagi negeri Palestina. Penyebutan Syajaraz zaitûn itu mengandung gaya bahasa sinekdok pars prototo, yaitu menyebut bagian untuk menunjukkan arti keseluruhan (Keraf, 1994). Penyebutan sebagian yang penting, yaitu syajaraz zaitûn karena kata itu dianggap mewakili keseluruhan. Kata itu mampu mewakili negeri Palestina yang subur, dan kata itulah yang terpenting. Dalam ilmu bayan, hal ini disebut majas mursal, yaitu dzikrul juz wa iradatu kull , yaitu menyebutkan sebagian untuk mewakili keseluruhan. Palestina adalah daerah makmur yang terletak di tengah-tengah antara benua Asia, Afrika dan Eropa. Negeri yang dijuluki “Bulan Sabit Subur” ini berhubungan juga dengan Samudra Atlantik dan Samudra India. Palestina mempunyai posisi strategis karena mengendalikan jalur perhubungan penting Eropa, Asia dan Afrika bahkan
13
Amerika, baik perdagangan, angkutan laut maupun pertemuan antar bangsa. Palestina dianggap satu-satunya wilayah yang paling banyak bersinggungan dengan banyak negara di dunia Arab. Hamparan bumi Palestina terdiri atas bukit-bukit dan barisan gunung-gunung kecil, sungai-sungai, danau dan oase yang membentang (http://mirajnews.com). Di negeri Palestina terdapat banyak pohon zaitun. Pohon zaitun merupakan lambang kesuburan tanah air. Karena itulah, untuk menggambarkan Negeri Palestina yang subur dan kaya, Darwish cukup menyebut Zaitun. Para pejuang ingin membebaskan Negeri Palestina dari penjajah (U`arrî syajaraz zaitûn شجس الزٍتون
( أعسيmembebaskan pohon zaitun) minal
al-ghusûn az-Zâifah ( من الغصون الزائفةdahan-dahan palsu), yaitu perongrong negeri dan penjajah yang bersikap munafik. Pada penggalan teks tersebut di atas, Penyair ingin menyampaikan bahwa para pejuang Palestina itu tidak takut mati dan mereka akan menghentikan penderitaan rakyat dan akan mengambil negeri mereka yang subur yang telah terampas oleh penjajah.
ْ َ ُ ُ َ َ ف ِإذا ك ْن ُت أغ ِ ّني ِلل َف َس ِح َ َْ َ ْ ُ ف َأ ْج َفان ْا لع ُي ْو ِن الخ ِائ َف ِة خل ِ َ َ َ ْ َّ َ َ اصفة ِ ف ِِلن الع َو َع َد ْث ِن ْي ِب َن ِب ْي ٍر َ َْ َ اب َج ِد ًْ َد ٍة ٍ و ِب َأنخ َ َْ َ اس ك َز ٍح ٍ و ِبأكو
Si aku menyampaikan harapan adanya kemerdekaan kepada rakyat yang sedang ketakutan. Hal ini memotivasi kepada rakyat Palestina untuk tidak takut, karena para pejuang telah menjanjikan kepada mereka kemerdekaan serta datangnya kebahagiaan. Hal itu diungkapkan melalui ungkapan penyair Ughannî lil farach للفسح
أغني
(menyanyikan lagu bahagia). Para pejuang memiliki harapan, impian, semangat, dan motivasi untuk merdeka dan berbahagia, meskipun berada dalam tekanan, mereka akan selalu mengobarkan berita bahagia akan hadirnya kemerdekaan. Kebebasan dan kemerdekaan itu akan terus dikumandangkan pejuang di hadapan rakyat Palestina, untuk
14
mengurangi ketakutan mereka dan untuk meyakinkan mereka akan hadirnya kebahagiaan. Kondisi rakyat yang ketakutan digambarkan penyair dengan ungkapan Khalfa Ajfânil uyûnil khâ`ifah
خلف أجفان العيون الخائفة
)di balik kelopak mata yang
ketakutan). Ungapan ini juga mengandung gaya bahasa sinekdok pars prototo/ majas mursal, yaitu dzikrul juz wa irâdatu kul, menyebut bagian untuk menunjukkan arti keseluruhan. Kata kelopak mata maksudnya adalah orang. Namun yang disebut hanya kelopak matanya, karena biasanya dalam kondisi ketakutan itu, ekspresi yang paling nampak adalah pada mata. Dalam kondisi takut biasanya mata terpejam, atau menangis, atau juga terperangah. Rakyat hendaknya berbahagia karena para pejuang telah memberikan janji untuk memberikan kemerdekaan. Diksi Nabîdz
( نبيرsecawan arak) bagi orang Arab adalah
sesuatu yang disukai. Jika dikaitkan dengan puisi ini maka sesuatu yang disukai oleh yang terjajah adalah kemerdekaan dari penjajah. Adapun diksi Aqwâsin Qazach ( أكواس كزحpelangi) merupakan metafor bagi datangnya harapan-harapan baru, dan optimisme akan hadirnya kemerdekaan. Diksi ini digunakan sesuai dengan kondisi Palestina yang dalam peperangan. Pelangi terjadi ketika udara sangat panas tetapi hujan turun rintik-rintik. Artinya, kondisi yang berada dalam penjajahan dan peperangan itu ibarat udara yang panas. Meskipun demikian, semangat dan harapan untuk merdeka dan tetap mempertahanan negeri itu tetap ada bagaikan hujan turun rintik-rintik di tengah panas tersebut yang kemudian menimbulkan munculnya pelangi yang indah. Dalam ilmu fisika, pelangi dapat dijelaskan sebagai sebuah peristiwa pembiasan alam. Pada pelangi, proses berurainya warna terjadi ketika cahaya matahari yang berwarna putih terurai menjadi spektrum warna melalui media air hujan. Adapun spektrum warna yang terjadi terdiri atas warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Pelangi hanya dapat dilihat saat hujan bersamaan dengan matahari bersinar, tapi dari sisi yang berlawanan dengan si pengamat. Diksi pelangi yang di pilih Mahmud Darwish menjadi cocok dengan kondisi Palestina. Tampak adanya oposisi biner, bahwa
15
untuk dapat melihat pelangi harus dari sisi yang berlawanan dengan pengamat. Dalam hal ini, kemerdekaan dan harapan hanya dapat dilihat oleh yang terjajah yang merindukan kemerdekaan dan harapan baru itu, dan bukan dari sisi penjajah yang telah menindas dan berkuasa. Untuk bisa mengetahui semangat para terjajah tersebut, pengamat (penjajah) berada di antara matahari, tetesan air dan matahari dibelakang orang tersebut. Matahari dan tetesan air ibarat kebenaran dan kelembutan hati. Penjajah hanya akan tahu pentingnya kemerdekaan dan kebebasan jika dia berada dalam posisi terjajah, melihat sesuatu dengan kebenaran dan hati nurani (http://putrasaimima.blogspot.com).
َ َ َ ْ َّ َ َ اصفة ِ وِِلن الع ْ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َّ َ ص ِاف ْي ِر ا َلب ِل ْي َد ِة كنصت صوت الع ُ ْ ُ ُْ َ ص ْو ِن امل ْص َت َع َاز ِة والغ ْ ََ َ ّ ُ ُ ْ َ ات ال َو ِاك َف ِة ِ عن جر ِوع الشجس Para pejuang Palestina telah menjanjikan akan menumpas penjajah dan merebut kembali negeri yang telah dikuasai penjajah. Diksi shauta al-`Ashâfir al-Balîdah
صوت
( العصافير البليدةsuara burung-burung yang dungu) merupakan metafor dari para pengecut yang takut pada kematian, pemimpin-pemimpin yang mendukung penjajah dan tidak berani menyuarakan rakyatnya. Para pemimpin yang seperti itu akan dilenyapkan para pejuang karena keberadaan mereka justru mendukung penjajah dan menindas rakyat. Kata Shaut juga merupakan gaya bahasa sinekdok pars prototo, menyebut sebagian, yaitu shaut (suara) burung saja untuk mewakili semua aktivitas burung. Kata “suara/shaut” dipilih karena suara dianggap bisa mewakili burung itu. Diksi Kannasat (melenyapkan) ini juga menggambarkan keinginan penyair untuk menumpas penjajah sampai ke akar-akarnya. Penyair sebagai subjek kolektif dari rakyat Palestina menghendaki kedaulatan yang sempurna. Penyair menggunakan diksi Kannasat untuk menunjukkan bahwa penumpasan itu akan dilakukan secara tuntas dan bersih, sebagaimana orang yang menyapu lantai. Para pejuang tidak hanya ingin mengusir pimpinan penjajah, tetapi juga ingin melenyapkan para pengikutnya, dan membebaskan daerah-daerah kecil yang masih
16
dalam kekuasaan musuh, Al-ghushûn al-musta`ârah (dahan-dahan yang tergadai), sendisendi negeri yang terjajah, yang tercerabut dari bumi asalnya.
ُ ْ ... َول َيك ْن َ َ َْ َ َ َ ّْ َل ُب َّد ِل ْي أن أث َباهى ِب َك ًَا ُج ْس َح امل ِد ًْن ِة َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ْق لح ِزٍْن ِة أنت ًا لوحة بس ٍ ِفي لي ِالينا ا
َّ ُ َ ْ َ ض الش ِاز ُع ِف ْي َو ْج ِه ْي ٌعب َ ََ ّ َ َ َّ ْ ََ الض ِغ ْين ِة ات ِ فتح ِم ْي ِن ْي ِمن ال ِظ ِ ّل ونظ َس Bait Lâ budda lî an atabâhâ bika (kan ku banggakan dirimu) yâ Jurhal madînah (wahai pejuang bangsa), menunjukkan adanya rasa nasionalisme yang tinggi terhadap negeri. Para pejuang itu akan bangga jika dirinya kemudian mati syahid dalam rangka bela negara. Kebanggaan itu tidak terlepas dari keyakinan bahwa orang yang mati syahid itu dijamin masuk syurga. Kematian syahid itu pada dasarnya tidak mati meskipun jasad telah terkubur namun ruh mereka akan tetap hidup (baca surat Ali Imran, ayat 169-171). Kata Jurhal madînah merupakan eufimisme atau kinayah nisbah untuk menggantikan nama para pembela negeri, para syuhadak. Begitu pula dengan Diksi Lauchata barqin (kilatan cahaya) mewakili panggilan untuk para pejuang negeri. Panggilan pengganti ini termasuk dalam kategori kinayah nisbah, yaitu memanggil nama lain sebagai pengganti dari nama yang seharusnya. Gaya bahasa simile digunakan penyair pada pejuang Palestina sebagai lauchata barqin (kilatan petir). Pada ungkapan
أنت ًالوحة بسق,tampak bahwa anta sebagai
hal
yang akan diperbandingkan ( tenor/musyabbah) dan lauchata barqin sebagai pembanding (vehicle/ musyabbah bih). Dalam kajian bayan, jenis tasybih yang hanya menyebut 2 unsur pokok saja disebut tasybih baligh atau muakkad mujmal. Dalam bahasa Indonesia, kalimat tersebut dinamakan metafora dalam arti sempit. Disebut tasybih baligh karena kesempurnaan kalimat tersebut dalam mubalaghahnya. Jadi seakan akan kamu (pejuang Palestina) itu adalah kilatan petir. Tidak lagi diikuti penanda “huruf al-kaf/(seperti)” dan juga dalam hal apa keserupaan pejuang Palestina itu sehingga disebut lauchata barqin.
17
Apakah keserupaan itu dalam hal pembrontakannya melawan para penjajah atau dalam hal yang lainnya. Dengan tidak disebutkannya penanda dan motif itu mengindikasikan bahwa keserupaan itu terjadi pada banyak hal dan bahkan pada semua sifat yang dimiliki pembanding. Tidak adanya penyebutan penanda perbandingan dan motif perbandingan itu juga untuk tujuan estetis, yaitu hadirnya gaya hiperbola dan penegasan mengenai persamaan keduanya yang benar-benar sempurna. Semangat dan kecepatan para pejuang Palestina dalam mempertahankan negeri itu seperti kilatan petir yang melesat dengan cahayanya yang menyambar. Penyair mengisyaratkan bahwa perjuangan dan pembrontakan terhadap penjajah itu merupakan aktivitas yang mulia, bagaikan kilatan cahaya petir yang menyinari kegelapan. Penyair juga memanfaatkan gaya bahasa personifikasi pada ungkapan Ya`basu asy-syâri`u fî wajhî ( ٌعبض الشازع في وجهيjalan muram di depanku). Jalan disamakan dengan orang yang memiliki sifat sedih, yaitu ditandai dengan wajah muram. Rakyat terjajah serasa tidak memiliki harapan, tidak memiliki masa depan, serasa suram kehidupannya. Hanya negeri itu yang dimiliki, yang bisa diperjuangkan untuk menjadi tempat menggantungkan harapan masa depan yang gemilang. Penjajahan itu tidak hanya berimbas pada kemiskinan material rakyat terjajah, tetapi yang lebih parah dari itu, menghancurkan mental rakyat, berupa ketakutan, inferioritas, dan ketidaknyamanan dalam menjalani kehidupan. Penggalan qashîdah di atas juga memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa si aku merasa bangga dengan adanya para pejuang palestina. Gugurnya para pejuang adalah kebanggaan karena mereka adalah mati syahid dan surga menjadi haknya. Bahkan mereka pada hakekatnya tetap hidup. Para pejuang telah memberi harapan akan datangnya kemerdekaan, sebagaimana adanya kilatan petir yang akan menjanjikan datangnya hujan. Hujan yang ditunggu oleh penduduk negeri karena hujan itulah yang akan mendatangkan rizki yang membahagiakan. Kemerdekaan telah ditunggu oleh rakyat karena kemerdekaan itulah sumber kebahagiaan. Para pejuang akan memberikan sebuah pengharapan baru kepada rakyat dan akan mengubah masa depan rakyat yang selama ini suram menjadi cerah penuh kebahagiaan. Bahasa kiasan merupakan salah satu alat kepuitisan yang berfungsi agar sesuatu yang digambarkan dalam puisi menjadi jelas, hidup, intensif, dan menarik. Bahasa kiasan
18
itu dapat menyampaikan makna secara efektif karena (1) dapat memberikan kenikmatan kepada pembacanya, (2) merupakan sebuah jalan untuk menyampaikan imajinasi tambahan dalam puisi (3) merupakan cara untuk menambah intensitas emosi, dan (4) merupakan alat untuk pemusatan dan alat untuk menyatakan sesuatu secara jelas (Perrine, dalam Mahliatussikah, 2013: 38). Pada qashîdah ini, penyair juga memanfaatkan gaya bahasa repetisi (tikrâr) dalam qashîdahnya. Repetisi atau pengulangan digunakan untuk memperkuat dan mempertegas ungkapan, di samping juga untuk menunjukkan pentingnya kata atau kalimat yang diulang. Pengulangan itu dilakukan penyair dalam rangka penyampaian makna secara efektif. Pada qashîdah ini, Darwish tidak hanya mengulang kata al`âshifah, tetapi juga mengulang kalimat dan bahkan beberapa baris dengan sedikit modifikasi. Hal ini sebagai bentuk kreativitas penyair. Adapun kalimat-kalimat yang diulang adalah sebagai berikut.
شأغني للفسح خلف أجفان العيون الخائفة ّ منر هبت في بَلدي العاصفة وعدثني بنبير وبأكواس كزح
-2
فإذا كنت أغني للفسح- 1 خلف أجفان العيون الخائفة فِلن العاصفة وعدثني بنبير وبأنخاب جدًدة وبأكواس كزح
Penutup Postkolonial merupakan pisau bedah untuk melihat adanya hubungan-hubungan kolonialisme dengan modernitas dan persoalan sosial yang menjadi implikasinya. Pengembalian sosiologi kepada publik dalam kerangka postkolonialisme, adalah mengembalikan fungsi sosiologi, membebaskan mereka yang lemah dan terpinggirkan. Karya Darwish Wuûd min al-`âshifah merupakah salah satu teks puisi yang memuat pesan perjuangan dan ketangguhan klien terhadap patronnya. Kobaran semangat untuk berani melangkah walau dalam tekanan merupakan salah satu ciri rakyat pejuang yang terjajah yang merindukan kemerdekaan seutuhnya. Mahmud Darwish melalui karyanya ini ingin membangkitkan semangat para pemuda dan pejuang Palestina dan meyakinkan rakyat Palestina bahwa mereka akan merdeka. Dalam kajian ini, teori dekonstruksi mewarnai teori postkolonial, karena ciri khas kajian poststrukturalisme, termasuk di
19
dalamnya kajian postkolonial adalah mendekonstruksi teks dengan memunculkan oposisi biner. Daftar Pustaka Ashcroft, Bill, dkk. 1995. The Post-Colonial Studies Reader. London and New York: Routledge. Bahri, Deepika. 1996. Introduction to Postcolonial Studies (online) dalam https://scholarblogs.emory.edu/postcolonialstudies/2014 diakses 5 Oktober 2015. Darwish, Mahmud. Wu`ûd min al-`Âshifah. dalam www.adab.com. www.arabicnadwah.com/arabpoets/asefa-darwish.htm. Eagleton, Terry.1988. Teori Kesusasteraan. Kuala Lumpur: Balai Bahasa dan Pustaka. Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial: Upaya meruntuhkan hegemoni Barat. Yogyakarta: Qalam. http://dipanugraha.blog.com/2012/05/24/sastra-dan-kajian-postkolonial. diakses tanggal 7 Oktober 2015 http://ithasartika91.blogspot.co.id/2011/02/pendekatan-postkolonial-dalammengkaji.html. diakses tanggal 7 Oktober 2015 http://mirajnews.com/id/artikel/opini/lebih-dekat-dengan-palestina-kondisi-geografispotensi-alam. diakses tanggal 7 Oktober 2015 http://www. darwishfoundation.org. diakses tanggal 7 Oktober 2015 http://www.progressive.org. diakses tanggal 7 Oktober 2015 http://putrasaimima.blogspot.com. diakses tanggal 7 Oktober 2015 http://geoenviron.blogspot.co.id diakses tanggal 7 Oktober 2015 Keraf, Gorys.1994. Diksi dan Gaya Bahasa.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Khalife, Marcel. https://www.youtube.com/ diakses 5 Oktober 2015 Mahliatussikah. 2013. Pembelajaran Puisi Arab: Teori dan aplikasi. Malang: Universitas Negeri Malang. Nurhadi. 2003. Bahasa dan Sastra dalam Konteks Kajian Postkolonial. Resensi terhadap buku Menelanjangi Kuasa Bahasa, Teori dan Praktik Sastra Postkolonial. Pahrudin, Mengenal Hubungan Patron Klien, dalam http://roedijambi.wordpress.com /2010/01/27/ diakses 10 Oktober 2015 Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rukundwa, L.S. dan Andries G. van Aarde. 2007. “The Formation of Postcolonial Theory”, Hervormde Teologiese Studies, 63(3). hlm. 1171-1194. Scott, James C. 1972. Patron Client, Politics and political change in South East Asia dalam Friends Followers and Factions: A Reader in Political clientalism steffen W. Schmidt, James C. Scott, dkk (eds) ,Berkeley: University of California Press Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Vintage Books. Said, Edward. 25 Juli 2000 (12 Agustus 1996). A Devil Theory of Islam. Diakses tanggal 24 Mei 2012 pukul 11:01 a.m. (GMT+7) dari: Setiawan, Ikwan. Relasi Patron Klien sebagai Moda dominasi: membaca Minawang dalam pespektif Bourdieu, dalam ikwansetiawan.web.unej.ac.id Said, Edward W. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan, Membongkar Mitos Hegemoni Barat. Bandung: Mizan.