12
Pembelajaran merupakan kegiatan yang bersifat kontinum, difokuskan kepada kepentingan pebelajar. Pembelajar hanya sebagai fasilitator, mengaransemen berbagai sumber serta fasilitas yang tersedia untuk dimanfaatkan pebelajarnya. Sebagai subjek dalam pembelajaran, pebelajar adalah individu yang kompleks bersifat khusus yang dibekali kemampuan, keterampilan dan pengalaman sehingga kehendaknya sulit dipahami (Karwono, 2008). Lebih khususnya lagi, anak usia 12-14 tahun yang setingkat SMP merupakan usia rawan dan serba tanggung yang mudah dipengaruhi. Individu setingkat SMP memiliki kecenderungan selalu berubah pikiran, sehingga memerlukan perhatian khusus (Sukmadinata, 2003; Theriqa, 2008). Sikap belajar harus mendapat perhatian khusus, jika diinginkan terwujudnya kegiatan pembelajaran yang bermutu di kelas (Marmai, 2001). Sikap pebelajar, secara langsung bisa mempengaruhi keputusan untuk menerima, menolak atau mengabaikan pembelajaran sesuai penilaian yang dimilikinya (Churchill dan Gilbert, 1993; Dimyati dan Mudjiono, 2002). Peningkatan kinerja pada pebelajar melalui pembinaan sikap belajar dalam kegiatan pembelajaran menjadi penting, karena sebagai individu yang kompleks dan bersifat khusus memiliki motivasi untuk meningkatkan mutu proses pembelajarannya. Motivasi belajar adalah pendorong terjadinya proses belajar, untuk mengoptimalkan kegiatan belajar di kelas agar mutu hasil belajar meningkat sehingga diperlukan suasana belajar yang menyenangkan (Dimyati dan Mudjiono, 2002). Penelitian tentang sikap belajar oleh Marmai (2001), berhasil didapatkan data kecenderungan pebelajar kurang siap dan kurang disiplin serta kurang bersungguhsungguh mengikuti aktivitas pembelajarn di kelas. Oleh karena itu, pembinaan sikap belajar untuk memotivasi peningkatan kinerja pada pebelajar perlu memperhatikan: (1) kondisi fisik dan mental pebelajar; (2) kondisi unsur dinamis dalam pembelajaran:
13
perasaan, perhatian, kemauan, ingatan, pikiran; dan (3) kondisi lingkungan pebelajar. Sudharmanto dan Slameto berharap, agar kondisi fisik (kesehatan mata khususnya) serta daya serap otak pebelajar dalam upaya peningkatan mutu kegiatan belajar di kelas diperhatikan sehingga kinerja pada pebelajar meningkat (Marmai, 2001).
2.1.1 Kinerja pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung Berdasarkan pembahasan tentang kinerja pada pebelajar, maka bisa dievaluasi kinerja pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung. Sesuai dengan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan di SMPN-3 Abiansemal Badung pada pukul 10.10 Wita, didapat data peningkatan keluhan mata sekitar 12,38% dan keluhan muskuloskeletal sebesar 17,15% serta kelelahan adalah 11,61%. Hasil penelitian pendahuluan dapat dipakai membuktikan keterlibatan faktor fisik, mental dan unsur dinamis pebelajar di SMPN-3 Abiansemal Badung kurang optimal. Padahal pembelajaran masih harus berlangsung sampai pukul 12.40 Wita, ketika kondisi lingkungan semakin panas. Sumardi, dkk. menyatakan, intensitas radiasi terendah terjadi pagi hari dan pukul 12.00 mencapai titik kulminasi (Surata, 2011). Dapat diasumsikan, tingkat keluhan dan kelelahan bertambah seiring pertambahan radiasi panas pada siang hari. Berpegang pada hasil penelitian pendahuluan, dapat disimpulkan kinerja pada pebelajar di SMPN-3 Abiansemal Badung belum prima. Peningkatan mutu kegiatan pembelajaran di kelas menjadi kurang optimal, jika kinerja pada pebelajar di SMPN-3 Abiansemal Badung belum prima. Faktor kinerja pada pebelajar, merupakan unsur penentu terwujudnya mutu kegiatan pembelajaran di kelas. Kondisi fisik dan mental serta unsur dinamis pebelajar dalam kegiatan pembelajaran di kelas, mempengaruhi kinerja pada pebelajar. Keterlibatan fisik, mental dan unsur dinamis pebelajar yang optimal dapat meningkatkan kinerja pada pebelajar yang bisa dilihat dari minimalnya
14
keluhan dan kelelahan serta kebosanan dan optimalnya kenyamanan yang dirasakan oleh pebelajar dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Manusia menghadapi kondisi kerja melalui proses adaptasi, sesuai kapasitas yang dimilikinya. Jika proses adaptasi melebihi kapasitasnya, terjadi kelelahan dan keluhan serta gangguan bahkan cedera (Adiatmika, 2007).
2.2 Kondisi Fisik Pebelajar dalam Pembelajaran Kondisi fisik pebelajar dalam proses pembelajaran dipengaruhi kondisi desain interior pembelajaran, maka harus mendapatkan perhatian khusus agar tidak melebihi batas fisiologis. Kondisi fisik selama mengikuti pembelajaran di kelas dipengaruhi oleh jumlah, durasi dan frekuensi jam pembelajaran (Grandjean, 2000). Pembahasan kondisi fisik, berkaitan dengan faktor keluhan mata dan keluhan muskuloskeletal.
2.2.1 Keluhan mata pebelajar dalam pembelajaran Mata merupakan organ visual pebelajar yang aktif saat aktivitas pembelajaran berlangsung, karena dapat mengamati lingkungan dan dapat mempengaruhi kualitas pemahaman yang dihasilkan. Tampilan visual memiliki pengaruh kuat dalam proses pengamatan, agar diperoleh pengertian yang sebenarnya dan membantu memudahkan proses mengingat. Mata dapat melihat jika medapat rangsangan gelombang cahaya, langsung dari matahari dan lampu atau api serta sumber pantulan benda atau bidang (Grandjean, 2000; Sherwood, 2001; Nurmianto, 2003; Bommel, 2006; Guyton dan Hall, 2008; Zambrano, dkk., 2010). Aktivitas belajar mengharuskan pebelajar melihat pembelajar, buku, papan tulis dan unsur lain lebih dari 60 menit. Proses melihat paling penting terjadi di dalam otak, sebagai titik awal dari proses berpikir untuk pengambilan keputusan atau reaksi
15
emosional. Hampir pada semua jenis aktivitas, mata memiliki peran yang menentukan apalagi jika memang dibutuhkan kecermatan. Mata merupakan organ tubuh yang ikut bertanggungjawab terhadap timbulnya kelelahan (Sastrowinoto, 1985).
2.2.1.1 Karakteristik mata manusia Mata adalah bola berisi cairan terbungkus 3 lapisan jaringan khusus, yaitu: (a) sklera/kornea; (b) koroid/badan siliaris/iris; (c) retina. Kornea tempat cahaya menuju interior mata, berperan penting karena kemampuan refraktifnya. Bagian dalam kornea berisi aqueous humor, cairan encer jernih yang berisi zat gizi untuk kornea dan lensa karena tidak memiliki pasokan darah sehingga cahaya yang menuju fotoreseptor tidak terganggu (Sherwood, 2001). Rincian struktur mata, disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur bagian dalam tampak sagital mata (Sherwood, 2001)
Setelah aqueous humor, terdapat sekumpulan jaringan kontraktil (iris) yang di tengahnya berlubang bundar (pupil). Pupil berimpitan dengan lensa berdampingan dengan vitreous humor, melekat pada otot siliaris melalui ligamentum suspensorium. Secara fisiologis, bentuk lensa adalah silindris untuk dapat memfokus cahaya yang datang dari retina. Lapisan di sebelah anterior, membentuk korpus siliaris dan iris
16
(Sherwood, 2001). Retina berfungsi menangkap refraksi cahaya, terpisah oleh fovea berposisi tepat di tengah retina dan memiliki ketajaman paling tinggi. Retina memiliki lapisan berpigmen serta jaringan saraf yang mengandung sel batang dan sel krucut, berada di bagian dalam vitreous humor yang mengandung zat semi cair menyerupai gel agar bentuk bola mata sferis. Sel batang untuk penglihatan hitam-putih dan malam hari (sensitivitas tinggi), sel krucut untuk ketajaman dan penglihatan siang hari atau terang serta warna (Sherwood, 2001; Guyton dan Hall, 2008; Pinel, 2009).
2.2.1.2 Faktor yang mempengaruhi keluhan mata pebelajar dalam pembelajaran Proses pengumpulan informasi melalui mata, tergantung kualitas cahayanya. Mata hanya organ penerima cahaya, karena saraf otak yang bekerja menimbulkan penglihatan. Tajam penglihatan dan sensitivitas dipengaruhi intensitas cahaya, maka kepekaan kurang penting pada intensitas cahaya tinggi. Pada iluminasi rendah, pupil melebar oleh kontraksi otomatis otot sirkuler iris yang diatur serat parasimpatis saraf otonom. Cahaya masuk banyak, tetapi menyebar sehingga objek menjadi kabur maka kedalaman fokus dan tajam penglihatan menjadi rendah (Sherwood, 2001; Pinel, 2009). Kedalaman fokus terbaik jika ukuran pupil kecil karena kontraksi otomatis otot radial iris yang diatur serat simpatis saraf otonom. Saraf mengalami kelelahan sinapsis, karena berbagai jenis stimulus datang dari berbagai sumber impuls secara bersamaan dan berpanjangan (Sherwood, 2001; Guyton dan Hall, 2008). Proses akomodasi mengubah bentuk lensa mata, agar bayangan jatuh di retina sehingga objek pada berbagai jarak dapat difokus (Susila, 2001). Perubahan bentuk lensa selama ada proses akomodasi, menyebabkan ligamen tegang (oleh otot siliaris) untuk menjaga bentuk fisiologisnya (silindris) dan bisa tetap ditempatnya (Sherwood, 2001; Pinel, 2009). Ketika otot siliaris relaksasi, ligamentum suspensorium tegang
17
maka lensa gepeng dan kekuatan refraksinya minimal. Lengkungan lensa membesar, menambah kekuatan agar berkas cahaya semakin dibelokkan. Pada mata normal, serat simpatis saraf otonom menginduksi otot siliaris untuk penglihatan yang jauh. Serat parasimpatis saraf otonom menginduksi otot siliaris, agar objek dekat dapat terlihat lebih akurat (Pulat, 1992; Sherwood, 2001). Jarak pandang adalah variasi garis pandang normal, sehingga mata nyaman melihat objek jauh dengan pandangan lurus dan datar (Ankrum, 2010). Mata mudah melakukan akomodasi dan pemusatan, ketika melihat ke bawah (Ankrum, 2010; Sweere, 2010; The Maine Department of Labor, 2009). Gambar 2.2 menampilkan beberapa jenis sudut pandang mata, agar objek pandang tajam tetapi kesehatan mata tetap terjaga.
Gambar 2.2 Hasil Penelitian tentang Sudut Penglihatan Mata (Ankrum, 2010).
Objek terlihat jelas dan tajam jika sudut pandang lebih rendah daripada posisi datar, karena daya akomodasi meningkat (Ankrum, 2010). Tajam penglihatan yang disebut visus, merupakan kemampuan mata memilah objek secara rinci. Visus diukur memakai Snellen Chart (peta Snellen), yang memiliki berbagai jenis ukuran huruf pada jarak yang sudah ditetapkan. Visus normal adalah 6/6, yang artinya pada jarak
18
600 cm (6 m) mata kiri dan kanan dapat jelas melihat huruf pada peta Snellen (Niti, 2000). Faktor penyebab keluhan mata: (1) intensitas cahaya; (2) kontras; (3) ukuran objek; (4) akomodasi; dan (5) usia. Jenis gangguan visual terdiri atas: mata lelah (eyestrain), penglihatan kabur dan ganda, mata kering, iritasi, peka cahaya, sakit pada leher dan bahu serta kepala (Susila, 2001; McDowell, 2010). Cahaya memenuhi syarat penting untuk pengamatan visual, kewaspadaan, kesehatan dan kesejahteraan (Bommel, 2006). Pencahayaan yang memadai membantu menjaga kecepatan, kesalahan dan kerusakan sedikit, lebih aman, kecelakaan kecil, absensi rendah (kinerja prima). Produktivitas kerja sebagai tujuan akhir, nilai peningkatannya disajikan pada Tabel 2.1 (Bommel, 2006). Tabel 2.1 Peningkatan Produktivitas melalui Perbaikan Intensitas Cahaya Perbaikan Intensitas Cahaya
Peningkatan Produktivitas
Dari 300 menjadi 500 lux
8%
Dari 300 menjadi 2.000 lux
20 %
(Sumber: Bommel, 2006)
Pemahaman pada sistem visual manusia membantu desain tempat beraktivitas meningkatkan kinerja, mencegah keluhan mata (Bommel, 2006). Sistem penglihatan yang baik, mengontrol ±90% aktivitas manusia (Sherwood, 2001). Otot sirkular dan radial iris kontraksi karena intensitas cahaya rendah ataupun tinggi yang lama, tanpa memperoleh kesempatan relaksasi melalui proses akomodasi. Kontraksi yang lama menghabiskan cadangan energi di otot, karena darah mengandung nutrisi dan oksigen tidak mampu memasuki pembuluh darah yang sedang dijepit oleh otot. Kemampuan otot memproduksi energi tanpa bantuan oksigen (anaerobik) terbatas, maka asam piruvat sebagai sisa metabolisme yang seharusnya dapat diubah menjadi ATP sudah
19
terlanjur menjadi asam laktat. Sistem sirkulasi yang terhambat, menyebabkan asam laktat mengental sehingga timbul rasa sakit pada otot (Sherwood, 2001; Guyton dan Hall, 2008; Pinel, 2009).
2.2.1.3 Metode pengukuran keluhan mata Keluhan mata pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung, diukur memakai jenis kuesioner kelelahan mata yang sudah dimodifikasi oleh Noerasto (2004). Kuesioner kelelahan mata, sudah dipergunakan pada penelitian kemampuan penyanyi membaca syair lagu dan posisi monitor serta pemakaian meja komputer berukuran S, M dan L (Noerasto, 2004; Ardana, 2005; Ardana, 2008). Kuesioner kelelahan mata memuat 8 komponen pengukuran dengan kategori nilai: (1) Sangat Tidak Terasa; (2) Tidak Terasa; (3) Agak Terasa; (4) Terasa; (5) Sangat Terasa. Kuesioner kelelahan mata, dapat dilihat pada Lampiran 8 di halaman 191. Penggunaan 5 kategori pada skala likert sudah banyak digunakan untuk riset SDM, karena mewakili tingkat intensitas penilaian sampel dengan baik. Penggunaan lebih banyak dari 5 kategori, sering membingungkan tetapi jika kurang dari 5 kategori membatasi jumlah pilihan karena ada pembatasan dalam mengungkapkan perasaan seseorang (Istijanto, 2005; Wilson dan Corlett, 2005).
2.2.2 Keluhan muskuloskeletal pebelajar dalam pembelajaran Nyeri atau sakit pada bagian tulang, otot, tendon, ligaments, persendian dan piringan tulang belakang yang tersusun dalam sistem otot skeletal disebut keluhan muskuloskeletal (Yale University, 2009). Keluhan muskuloskeletal dirasakan sebagai gejala kemampuan otot menegang berkurang, ditandai penurunan tenaga dan perlu waktu tenggang lebih lama untuk gerakan otot berikutnya (Sastrowinoto, 1985).
20
Keluhan muskuloskeletal dirasakan sebagai fenomena yang menyakitkan, karena ada tekanan pada otot tetapi sifatnya lokal. Keluhan muskuloskeletal diawali otot tegang berlebihan, tremor, akumulasi asam laktat, tenaga berkurang dan gerakan lambat sehingga koordinasinya menurun (Grandjean, 2000). Terjadi perlahan dan bervariasi, sesuai tingkat adaptasi pebelajar dan jenis otot yang kontraksi. Lokasi sensasi dapat meluas mulai dari kulit, tendo, sendi, jaringan dalam dan organ (Adiatmika, 2007). Keluhan muskuloskeletal dan penurunan kinerja karena sikap duduk, maka aliran darah ke otot terhambat. Suplai oksigen, glukose menurun, sisa metabolisme menumpuk sehingga menimbulkan nyeri (Grandjean, 2000; Miller, 2010). Selama duduk, tubuh hendaknya dalam posisi fisiologis untuk mencegah kontraksi otot dan peregangan tendo berlebihan (Grandjean, 2000). Kontraksi otot membutuhkan energi, sehingga diperlukan istirahat agar mendapat asupan tambahan untuk mempertahankan tubuh dalam posisi yang diinginkan tanpa merasa nyeri atau sakit. Leher, punggung, lengan, maupun tangan memiliki posisi fisiologis saat berdiri ataupun duduk. Tubuh menerima tekanan paling kecil pada posisi yang fisiologis, jika berbeda maka stres pada tubuh meningkat (Yale University, 2009). Agar dapat terhindar dari keluhan muskuloskeletal, maka prinsip fisiologis dan biomekanika serta antropometri harus dipahami. Prinsip fisiologi terdiri atas: (a) pembatasan penggunaan energi; (b) setelah bekerja diperlukan istirahat cukup. Prinsip biomekanika: (a) sendi berada dalam posisi fisiologis; (b) pekerjaan dilakukan di dekat tubuh; (c) hindari sikap membungkuk; (d) hindari gerakan memutar; (e) hindari gerakan mendadak; (f) tidak monoton; (g) batasi waktu penggunaan otot; (h) cegah kelelahan otot; dan (i) istirahat pendek berkali-kali lebih baik daripada istirahat panjang hanya satu kali. Prinsip antropometri: (a) pemakaian data antropometri harus
21
tepat untuk populasi tertentu; (b) salah satu faktor penting terkait dengan ruang, tempat, peralatan dan sikap kerja (Pheasant, 1991; Kearney, 1998; Nurmianto, 2003; Wignjosoebroto, 2003). Selama mengikuti kegiatan pembelajaran, pebelajar duduk pada kursi dengan tinggi dudukan melebihi tinggi popliteal sehingga telapak kaki tidak menapak datar di atas permukaan lantai. Bagian bawah paha tertekan pada permukaan kursi karena ada gravitasi yang tertahan, sehingga bertahap muncul rasa sakit. Lengan bawah berada di atas paha, karena tidak ada sandaran sehingga menekan struktur fungsional yang ada di bawah permukaan kulit paha. Posisi punggung tegak, karena posisi sandaran kursi juga tegak sehingga otot punggung menjadi tegang. Jika lengan bawah ditaruh di atas meja belajar, posisi bahu menjadi kurang fisiologis sehingga otot pada bahu kontraksi selama lengan bawah berada di atas permukaan meja belajar. Selama otot kontraksi diperlukan ATP secara kontinyu, tergantung pasokan nutrisi dan oksigen yang dibawa oleh darah sewaktu beredar ke seluruh tubuh (Guyton dan Hall, 2008). Struktur dan fungsi serta sistem kerja bagian tubuh, penting diketahui untuk memahami keluhan yang terjadi karena sifat gerakan memiliki syarat fisiologis yaitu: (a) mengatur pergerakan bagian tubuh saat berjalan; (b) mempertahankan kontraksi otot secara lokal agar tubuh bisa berdiri, duduk, jongkok dan sikap yang lainnya; (c) menghasilkan panas, karena proses kimia dalam otot dapat dipakai mempertahankan suhu tubuh (Ganong, 2001).
2.2.2.1 Faktor penyebab keluhan muskuloskeletal dalam pembelajaran Ada 2 tipe kerja otot, untuk menentukan sifat kerja fisik tubuh yaitu: (1) Otot tipe kerja dinamis, kontraksi dan relaksasi ritmik. Tekanan alternatif dan relaksasi, memungkinkan banyak darah disalurkan pada otot. Jumlah oksigen yang diperlukan
22
banyak, sehingga pembuangan asam laktat efektif; (2) Otot tipe kerja statis, kontraksi lama dan membatasi aliran darah ke otot sehingga oksigen yang dibutuhkan serta sisa metabolisme yang dibuang kurang efektif. Otot besar yang mendapat muatan statis cepat menghabiskan cadangan ATP dan creatin phospat. Asam laktat sebagai sisa metabolisme terakumulasi dalam jaringan otot, menyebabkan rasa sakit maka perlu waktu istirahat lebih lama daripada otot dinamis (Bridger, 1995; Grandjean, 2000; Cummings, 2003). Perlu relaksasi optimal ketika terjadi kontraksi lama, agar oklusi kontinyu terhindari dan sirkulasi intramuskular optimal kembali (Adiatmika, 2007). Selama otot kontraksi, relaksasi pembuluh darah intramuskular tidak optimal sehingga asupan nutrisi dan oksigen berkurang. Kontraksi otot anggota gerak bagian atas dan punggung terjadi ketika pebelajar duduk tegak, membungkuk tetapi tidak dapat bersandar ke belakang karena posisi sandaran kursi tegak. Terjadi metabolisme anaerobik yang membatasi produksi ATP, sehingga sudah terbentuk asam laktat. Jalur metabolis yang memasok ATP untuk proses kontraksi dan relaksasi terdiri atas: (a) pemindahan fosfat berenergi tinggi dari kreatin fosfat menjadi ADP (sumber segera); (b) fosforilasi oksidatif (sumber utama jika ada O2), membutuhkan glukosa berasal dari simpanan glikogen otot atau glukosa dan asam lemak yang disalurkan darah; dan (c) glikolisis (sumber utama jika tidak ada O2). Produk akhir glikolisis, yaitu asam piruvat diubah menjadi asam laktat karena tidak ada O2 menghambat pengolahan asam piruvat oleh jalur fosforilasi oksidatif. Aktivitas intensitas tinggi, mempercepat kelelahan otot (Sherwood, 2001). Sikap duduk pebelajar selama proses pembelajaran’ mempengaruhi kondisi muskuloskeletal. Diperlukan pengetahuan tentang permukaan tempat kerja dan task serta organisasi pekerjaan, desain perlengkapan dan tempat kerja yang sesuai dengan
23
antropometri pemakai dan sikap tubuh selama kegiatan pembelajaran harus variatif untuk mencegah gangguan muskuloskeletal (Chavalitsakulchai dan Shahnavaz, 1993; Ayoub, 1996; Chau, dkk., 2002; Ketola, 2004). Penurunan energi bias mempercepat kelelahan, keluhan muskuloskeletal terjadi akibat akumulasi asam laktat merangsang reseptor rasa nyeri (Guyton dan Hall, 2008). Kontraksi otot anggota gerak atas dan punggung yang lama, berulang serta monoton mempercepat terjadinya keluhan muskuloskeletal (Adiatmika, 2007). Penjelasan produksi ATP selama otot kontraksi dan relaksasi, secara skematis dapat dilihat lebih rinci pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3
Jalur Metabolis yang Menghasilkan ATP untuk Otot Kontraksi dan Relaksasi. (Sherwood, 2001).
Tubuh didesain untuk digerakkan, sehingga otot agonis dan antagonis yang membungkus setiap tulang dapat melaksanakan tugas bergantian. Jika tubuh kurang digerakkan, sebagian otot kontraksi lama dan lainnya relaksasi berlebihan sehingga
24
kedua otot sama-sama mendapat keluhan (Kjaer, dkk., 2005). Dengan demikian, pebelajar perlu dudukan yang luas agar tubuh dapat leluasa digerakkan. Setidaknya tubuh dapat bergerak ke samping, ke belakang dan ke depan atau tegak. Sikap duduk perlu diubah dengan posisi berlawanan, setelah 60 menit agar posisi setiap persendian yang sudah tertekuk lama menjadi lurus beberapa saat. Posisi tubuh lurus perlu dikombinasikan dengan berjalan, karena gerakan otot ritmik membantu kelancaran peredaran darah yang mengandung nutrisi dan oksigen. Penelitian oleh Nachemson membuktikan, peningkatan tekanan pada tulang belakang diakibatkan upaya mempertahankan posisi tubuh dalam keadaan tertentu (Anannontsak dan Puapan, 1996). Studi pada 330 tukang ketik, menunjukkan gejala keluhan muskuloskeletal yang paling umum berupa sakit pinggang 53%, leher 50%, tangan 27% dan jari tangan 27,6%. Pekerja pabrik botol kaca di India, yang bekerja secara repetitif mengalami cedera otot tangan dan pergelangan tangan 40,6% (Bazroy, dkk., 2003). Keluhan muskuloskeletal menempati urutan pertama di antara penyakit akibat kerja lainnya, 44,9% karena karakteristik individu yaitu umur lebih dari 30 tahunan (Bhattaherjee dkk., 2003). Sakit pada leher, bahu, punggung dan pinggang karena sikap kerja statis dialami oleh 63% pekerja (Evelyn, 1996). Kerja otot statis, mempercepat keluhan muskuloskeletal (Adiatmika, 2007). Keluhan muskuloskeletal adalah refleksi kelelahan fisik, secara berangsur-angsur menjadi stimulus kelelahan mental dan demikian sebaliknya (Manuaba, 2005).
2.2.2.2 Metode pengukuran keluhan muskuloskeletal Keluhan muskuloskeletal dimungkinkan oleh sikap tubuh statis saat belajar, tanpa memperoleh kesempatan pemulihan. Sikap tubuh yang buruk (sikap paksa) saat belajar dan berlangsung lama, menyebabkan pembebanan pada sistem otot skeletal
25
dan berdampak negatif pada kesehatan (Manuaba,1992a; Ketola, 2004). Rasa sakit biasanya terlokalisir di bagian tubuh tertentu, sehingga gambar segmen tubuh (body map) memakai rating dan ranking berupa Nordic Body Map (NBM) Questionnaires yang dikembangkan di Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia (Wilson dan Corlett, 2005) dapat dipakai sebagai alat ukur keluhan muskuloskeletal. Pada kuesioner NBM terdapat 28 unsur pengukuran keluhan dengan nilai yang sudah dimodifikasi terdiri atas (Sutajaya, 1998): (1) Sangat Tidak Sakit; (2) Tidak Sakit; (3) Agak Sakit; (4) Sakit; (5) Sangat Sakit. Kuesioner NBM disajikan pada Lampiran 9 di halaman 192.
2.3 Kondisi Mental Pebelajar dalam Pembelajaran 2.3.1 Kelelahan pebelajar dalam pembelajaran Proses pembelajaran melibatkan aktivitas fisik dan mental pebelajar secara terpadu menyebabkan kelelahan yang berpotensi mempengaruhi kecepatan, ketelitian dan konstansi kerja (Sutajaya, 2006). Kelelahan muncul karena aktivitas monoton, kerja fisik berat dan berlangsung lama, masalah mental serta psikis, sedang sakit, kurang energi maupun lingkungan fisik buruk (Manuaba, 1992a; ILO, 1998). Kondisi mental berubah ketika belajar, pada kategori ringan disebut kelelahan mental karena proses berpikir (Grandjean, 2000; Nurmianto, 2003). Kelelahan mental terjadi, jika reseptor nyeri pada ujung saraf telanjang yang tersebar di kulit dan jaringan dalam mendapat rangsangan. Serat aferen tipe C meneruskannya ke radiks spinalis dorsalis, yang berada di sumsum tulang belakang. Oleh traktus paleospino di teruskan ke otak talamikus, akhirnya dirasakan sebagai nyeri (Guyton dan Hall, 2008). Munculnya kelelahan mental dalam proses pembelajaran, merupakan ekspresi beban belajar yang membutuhkan energi relatif banyak apalagi jika disertai kondisi
26
lingkungan kurang memadai sehingga energi terkuras untuk mengatasinya (Sutajaya, 2006). Kelelahan dimanifestasikan oleh hilangnya efisiensi dan muncul rasa enggan melakukan berbagai upaya, yang sifatnya tidak tunggal sebagai gejala perubahan psikofisiologis. Cirinya terdiri atas: keletihan, mengantuk, pusing, pengabaian tugas, membenci pekerjaan, berpikir lambat, kurang waspada, persepsi rendah serta lamban karena terjadi penurunan kinerja mental (Grandjean, 2000). Kelelahan menurunkan kinerja dan menambah kuantitas kesalahan kerja, maka memberi peluang terjadinya kecelakaan kerja (Pulat, 1992; Grandjean, 2000; Ganong, 2001; Nurmianto, 2003). Agar diketahui kondisi mental pebelajar selama dalam proses pembelajaran, maka normalnya proses fisiologis di dalam tubuhnya perlu diperhatikan. Pelemahan aktivitas, motivasi dan fisik yang diakibatkan oleh keadaan umum secara subjektif merupakan pertanda telah terjadi kelelahan. Faktor beban kerja yang terkait kegiatan pembelajaran, ditimbulkan oleh interaksi karakteristik personal dengan berbagai jenis komponen yang ada di kelas sehingga terjadi kelelahan. Beban kerja yang terkait dengan mental terdiri atas: (1) kompleksitas pekerjaan; (2) tuntutan sifat pekerjaan; (3) tanggungjawab terhadap pekerjaan; (4) beban moral. Pada diri pebelajar juga ada timbul beban kerja, bersumber dari dalam tubuh pebelajar sendiri yang terdiri atas: (1) faktor somatik (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, somatotipe, kondisi kesehatan, status gizi); dan (2) faktor psikis yang meliputi motivasi, persepsi, keinginan, emosi, kepuasan, kepercayaan, harga diri dan tanggungjawab. Pada proses pembelajaran, dapat muncul perpaduan beban kerja fisik dan mental yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal (Sutajaya, 2006). Jenis serta faktor penyebab kelelahan fisiologis dalam pembelajaran sering diabaikan, karena dianggap kurang penting dalam upaya peningkatan mutu kegiatan
27
pembelajaran di kelas. Faktor yang terintegrasi di tempat belajar terdiri atas: beban eksternal, organisasi dan sosial. Faktor ini penyebab setiap individu memiliki beban biomekanika, sehingga toleransi internal tidak mampu mencegah terjadinya kelelahan dan pelemahan. Sedangkan faktor personal yang meliputi: antropometri, kekuatan dan keterampilan menimbulkan pengaruh (Ketola, 2004) seperti terlihat pada Gambar 2.4. Variasi sikap tubuh, mutu penataan fasilitas pembelajaran serta kondisi lingkungan kurang mendapatkan perhatian seksama (Mathiassen, 2006) sehingga selalu menjadi faktor pengganggu dan penyebab kelelahan termasuk keluhan bahkan cedera.
Respon Psikologis TOLERANSI INTERNAL
FAKTOR ORGANISASI
Tekanan Mekanika Kelelahan
FAKTOR SOSIAL
LUARAN Sakit, Stres, Tidak Nyaman Keterbatasan Fisik
Faktor Individu
BEBAN LUAR
INDIVIDU BEBAN BIOMEKANIKA Beban Internal (antropometri, kekuatan, keterampilan)
TEMPAT BELAJAR
Gambar 2.4 Bagan Model Konseptual Hubungan Kegiatan dengan Kelelahan (Ketola, 2004).
2.3.1.1 Faktor penyebab kelelahan pebelajar dalam pembelajaran Kelelahan ditandai oleh keengganan bekerja karena sifat kerja monoton, kerja fisik berat dan lama, keadaan lingkungan, mental, kesehatan dan gizi/nutrisi (Waters dan Bhattacharya, 1996). Perasaan lelah bukan kondisi tidak menyenangkan asalkan dapat berisirahat, kesulitan jika tidak ada kesempatan relaksasi. Kelelahan merupakan perangkat pelindung alami seperti halnya haus, lapar dan sensasi sejenis. Kelelahan
28
mencegah manusia dari beban melebihi kemampuan diri melakukannya, sehingga dibutuhkan waktu rekuperasi. Kelelahan terlihat dari peningkatan instabilitas psikis, gangguan depresi akibat ada rasa khawatir, malas, tidak menyenangi pekerjaan dan cenderung sakit, tempat kerja kurang memuaskan, tidak mampu menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan lingkungannya (Grandjean, 2000). Kelelahan dipengaruhi mekanisme kontrol pada medula spinalis dan internal otak, yang meregulasi dan mengatur agar sesuai dengan kondisi aktivitas manusia. Perasaan lelah merupakan reaksi fungsional pusat kesadaran di korteks serebri, yang dipengaruhi oleh sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Jika pengaruh dari dalam tubuh menjadi faktor penghambat dominan sehingga sistem penghambat unggul, maka muncul perasaan lamban dan ngantuk maupun lesu. Jika sistem aktivasi lebih kuat maka tubuh tetap segar, sehingga timbul semangat untuk melakukan aktivitas fisik dan memtal. (Grandjean, 2000).
2.3.1.2 Metode pengukuran kelelahan pebelajar Ada 6 model metode pengukuran kelelahan yang dipakai oleh para ahli pada berbagai penelitian: (1) kualitas dan kuantitas kinerja; (2) rekaman subjetif perasaan lelah; (3) elektroence phalography; (4) frekuensi kedipan mata; (5) tes psikomotor; dan (6) tes mental (Grandjean, 2000; Nurmianto, 2003). Gejala kelelahan dimulai dari sangat ringan sampai sangat melelahkan dan kelelahan terjadi pada akhir jam kerja (Astrand dan Rodahl, 1977; Pulat, 1992). Pada pembelajaran, kelelahan pebelajar diukur memakai kuesioner 30 item kelelahan subjektif karena berkaitan dengan pelemahan aktivitas dan motivasi serta fisik. Kuesioner ini diperkenalkan pertama kali oleh Yoshitake (1971), mengukur kelelahan pekerja di bidang industri. The Industrial Fatigue Research Committee of
29
Japan (IFRCJ) dan Japan Association Industrial Health (JAIH), merekomendasikan sebagai salah satu alat ukur refresentasi kelelahan (Kashiwagi, 1971; Adiputra, 1998). Kuesioner 30 item kelelahan subjektif merekam kondisi mental pebelajar, karena menyentuh aspek aktivitas dan motivasi yang relevan dalam proses pembelajaran. Substansi dimensionalnya terdiri atas: (a) pelemahan aktivitas tercermin pada item 1– 10; (b) pelemahan motivasi terefleksikan oleh item 11–20; dan (c) disintegrasi atau pelemahan fisik dipresentasikan oleh item 21–30. Kuesioner disajikan pada Lampiran 10 di halaman 209, merekam 30 unsur pengukuran dengan kategori nilai: (1) Sangat Tidak Merasa; (2) Tidak Merasa; (3) Agak Merasa; (4) Merasa; (5) Sangat Merasa.
2.4 Kondisi Unsur Dinamis Pebelajar dalam Pembelajaran Menurut Marmai (2001), dalam pembelajaran diperlukan ada pengaruh yang menyenangkan karena meningkatkan motivasi belajar. Peningkatan motivasi belajar, diharapkan meningkatkan kinerja pada pebelajar tetapi terjadi sebaliknya jika timbul kebosanan dan perasaan kurang nyaman dalam pembelajaran.
2.4.1 Kebosanan pebelajar dalam pembelajaran Kebosanan mengurangi mekanisme stimulus respon pada sistem saraf dan otot. Menurut teori fisiologi, stimulus di sistem saraf pusat atau otak diakibatkan oleh tuntutan fisik dan mental. Jika stimulus rendah, maka respon atau reaksi organisme menurun juga. Penurunan menyebabkan daya tahan seseorang untuk memperhatikan sesuatu dengan cermat secara perlahan menurun, sehingga dibutuhkan stimulus baru agar perhatian atau kesiagaan tergugah (Grandjean, 2000). Kadarusman dan Rachmat menyatakan, malas atau kebosanan yang diakibatkan rentang waktu istirahat sekitar
30
60 menit menurunkan jumlah produksi yang dihasilkan. Perubahan sistem istirahat 2 tahap selama 45 menit dan 15 menit, ternyata bisa meningkatkan rerata produksi dari 198,0 menjadi 208,0. Peningkatan diasumsikan karena rasa nikmat terputus setelah mendapat istirahat panjang, bisa menimbulkan rasa malas bekerja karena belum ada yang mengharuskannya segera kembali belajar (Sutajaya, 2006).
2.4.1.1 Faktor yang mempengaruhi kebosanan pebelajar dalam pembelajaran Kebosanan dapat muncul karena faktor sebagai berikut: (1) pekerjaan yang kurang menarik; (2) kurangnya motivasi terhadap pekerjaan; (3) aktivitas yang ada tidak membutuhkan keterampilan tinggi; (4) mekanisme kerja lamban; (5) kurangnya keleluasaan tubuh bergerak; (6) jenis kegiatan yang repetitif atau berulang-ulang; (7) siklus kerja pendek; (8) kontak dengan orang lain kurang; (9) punya kemampuan tinggi tetapi tidak tersalurkan; (10) lingkungan kerja yang kurang nyaman; (11) suhu lingkungan panas (Pulat, 1992; Grandjean, 2000). Pembelajar yang kurang berhasil mengelola proses pembelajaran, juga dapat bertindak sebagai pemicu perasaan bosan. Sukmadinata (2003) menyatakan, bahwa kondisi sosial yang berhubungan dengan interaksi pebelajar dengan pihak lain seperti: guru, teman, pegawai tata usaha, satpam dan yang lain cukup berperan mempengaruhi konsentrasi dan proses pembelajaran. Sutajaya (2006) berdasarkan pendapat Anoraga menyatakan, aktivitas yang dilakukan dengan perasaan bosan bisa menimbulkan: (1) keinginan menghindar dari aktivitas utamanya; (2) selalu merasa tersiksa; (3) gelisah; (4) kelelahan lebih dini; (5) rasa kurang puas; (6) berpaling ke jenis aktivitas lain; dan (7) konsentrasi berkurang. Jika diperinci lagi, maka perasaan bosan dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab kurang optimalnya keterlibatan fisik dan mental serta unsur dinamis dalam pembelajarannya. Pembelajar belum berupaya mengembangkan
31
paradigma pembelajaran interaktif, menyenangkan, menarik, atraktif, menantang dan inspiratif atau IMMAMI (Darmawan, 2006). Shigemi, dkk. menjelaskan, kebosanan diiringi stres memperburuk kondisi pebelajar ketika memahami materi pelajaran. Muncul rasa khawatir dan depresi ±27,4% dan 29,3% serta 31,7% saat dilakukan survey I – III secara berturut-turut selama setahun di Jepang. Okubo, dkk. mencatat gaya hidup dan insiden hipertensi, berkaitan erat dengan perasaan khawatir serta depresi. Jika stres terintegrasi dengan rasa bosan maka konsentrasi berkurang, beban kerja meningkat, kelelahan dini serta proses pembelajaran kurang efektif dan kurang efisien (Sutajaya, 2006).
2.4.1.2 Metode pengukuran kebosanan pebelajar dalam pembelajaran Kebosanan secara subjektif dapat dinilai melalui kuesioner kebosanan, yang dikembangkan oleh Anoraga (1998) dan sudah dimodifikasi oleh Sutajaya (2006). Pada kuesioner ini terdapat 26 unsur penilaian dengan tingkat pernyataan dan nilai: (1) Sangat Tidak Setuju; (2) Tidak Setuju; (3) Agak Setuju; (4) Setuju; (5) Sangat Setuju. Rerata skor kebosanan mengikuti pembelajaran didapat setelah pembelajaran berakhir, baik pada desain interior lama dan ergo-desain interior. Kuesioner ini sudah dipakai pada penelitian pembelajaran melalui pendekatan SHIP di IKIP Singaraja dan pembelajaran sains di SD Sawan Buleleng Singaraja (Sutajaya, 2006; Wijana, 2008). Kuesioner disajikan pada Lampiran 11 di halaman 210.
2.4.2 Kenyamanan pebelajar dalam pembelajaran Kenyamanan belajar adalah idaman setiap pebelajar dan dalam ergonomi, menjadi faktor penting karena berbeda-beda pada setiap individu. Perbedaan timbul karena adanya bentuk, ukuran, usia, budaya, penerimaan terhadap penyakit, cedera,
32
ketidakmampuan dan pertimbangan fisik lain (Kearney, 1998). Salah satu cara untuk memperoleh kenyamanan dalam pembelajaran dan terhindar dari cedera, penggunaan stasiun kerja sesuai antropometri pemakai (Abeysekera, dkk., 1996; Kearney, 1998; Grandjean, 2000; Gerr, dkk., 2000). Kesesuaian merupakan salah satu faktor yang berpotensi mempengaruhi kenyamanan, termasuk ukuran alat dengan antropometri pebelajar dalam proses pembelajaran (Panero dan Zelnik, 2000). Ketidaksesuaian adalah faktor penyebab munculnya perasaan tidak nyaman, mengakibatkan perasaan terganggu jika harus tetap dipakai (Abeysekera, dkk., 1996). Kenyamanan mempengaruhi motivasi belajar karena berkaitan dengan pernyataan Bubb (2006), dari energi yang disediakan oleh alam manusia merasakan kenyamanan. Perbaikan kenyamanan, memungkinkan peningkatan produktivitas (Eikhout, dkk., 2005; Hedge dan Sakr, 2005; Looze, dkk., 2005; Rosercrance, dkk., 2005; Vink, 2005).
2.4.2.1 Meningkatkan kenyamanan pebelajar dalam pembelajaran Faktor utama yang menentukan kenyamanan adalah, ukuran produk sesuai antropometri pebelajar. Data antropometri dipakai untuk mengembangkan desain dan memilih produk, agar bentuk dan dimensinya sesuai dengan pemakai agar nyaman dipakai (Kearney, 1998; Wignjosoebroto, 2003). Data antropometri diolah memakai perhitungan persentil, sebagai nilai rata-rata antropometri manusia untuk menentukan ukuran suatu produk. Penerapan persentil pada desain, untuk menjamin kesesuaian ukuran produk dengan antropometri pemakai agar diperoleh kenyamanan pemakaian (Adiputra, 2003). Aplikasi persentil sudah diterima secara konvensional dan berlaku umum, agar desain produk dinyatakan ergonomis (Sutalaksana, 2001). Produk yang dipakai banyak orang, harus sesuai setiap pemakai. Ukurannya bervariasi, maka tabel
33
data antropometri pada produk umumnya hanya memuat persentil 5 dan 50 serta 95 (Sutalaksana, 2001; Adiputra, 2003). Dengan demikian, data antropometri pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung diukur (Lampiran 15 di halaman 214) untuk pedoman aplikasi ergo-desain interior. Data antropometri diolah berdasarkan jumlah sampel yang memakai meja dan kursi belajar, juga menentukan ukuran lebar area sirkulasi. Keluasan ruang gerak yang harus tersedia di depan perut, di atas paha, di sebelah kanan dan kiri paha serta di depan lutut menjamin gangguan sensasi pada bagian tubuh minimal. Sesuai dengan pengertian kenyamanan sebagai salah satu tujuan penerapan ergonomi, tidak ada atau gangguan sensasi yang dirasakan manusia minimal (Manuaba, 1997; Adiputra, 2000). Keleluasaan gerak setelah memakai produk, mempengaruhi perasaan nyaman karena kenyamanan merupakan pengalaman yang menyenangkan selama dan sesaat setelah menggunakan produk (Vink, dkk., 2006). Jika pandangan Bubb (2006) dicermati maka kenyamanan merupakan upaya perlindungan diri terhadap perubahan fluktuaktif energi panas, dingin, bising, getaran, bebas dari ikatan mobilitas informasi dan produk berguna pada kondisi aktual yang dihadapi. Meja dan kursi belajar harus memberi peluang pada tubuh bergerak efisien dan efektif, sehingga jarak serta posisi semua perlengkapan belajar berada dalam jangkauan antropometri agar hemat energi. Kenyamanan dipengaruhi dimensi dan jarak atau posisi perlengkapan yang tersedia serta bentuk produk, agar terwujud sikap tubuh ergonomis. Sikap tubuh ergonomis pada kegiatan belajar adalah: leher sedikit membungkuk, lengan atas tidak mengalami ekstensi dari tubuh, lengan bawah juga berposisi horizontal dengan lantai, pergelangan tangan tidak menekuk dan posisi paha dengan tubuh bersudut lebih besar dari 90º serta telapak kaki menapak datar di atas
34
permukaan lantai (Susila, 2001). Posisi tubuh ergonomis sulit terwujud jika dimensi fasilitas tidak sesuai antropometri pemakai, sehingga menimbulkan kontraksi otot. Setiap saat permukaan tubuh bersentuhan dengan benda eksternal, mekanisme stres di jaringan dalam seharusnya mendapatkan perhatian khusus. Stres lokal dapat menyebabkan cedera pada kulit dan struktur yang ada di dalamnya seperti otot, saraf dan pembuluh darah. Area yang pada umumnya harus mendapatkan perhatian adalah lengan, paha, punggung dan pinggang (Kuorinka dan Forcier, 1992).
2.4.2.2 Metode pengukuran kenyamanan pebelajar dalam pembelajaran Faktor kenyamanan, secara subjektif dapat diukur menggunakan kuesioner kenyamanan. Abeysekera, dkk (1996) sudah mengembangkan kuesioner kenyamanan yang sudah umum dipakai oleh peneliti di dunia, tetapi yang dikenal di Indonesia hanya untuk pengukuran kenyamanan pemakaian helm. Sudiarta (2000) sudah pula mengembangkan kuesioner kenyamanan untuk stasiun kerja warnet, lebih sesuai jika dipakai untuk mengukur kenyamanan pebelajar pada ergo-desain interior ini. Oleh karena itu, pada penelitian ini faktor kenyamanan diukur memakai kuesioner kenyamanan (Lampiran 12 di halaman 195) yang sudah digunakan pada penelitian stasiun kerja di warnet dan meja komputer berukuran S, M dan L (Sudiarta, 2000; Ardana, 2008).
2.5 Desain Interior dan Manfaatnya pada Pembelajaran Kondisi faktor internal pebelajar perlu disesuaikan dengan kondisi faktor eksternal, karena menjadi penting dalam pembentukan pola belajar positif (Karwono, 2008). Pemahaman mengenai karakteristik manusia wajib dipakai pedoman untuk peningkatan keharmonisan interaksi antara manusia dengan kondisi fasilitas serta
35
lingkungannya beraktivitas (Wilson dan Corlett, 2005). Oleh karena itu peningkatan mutu proses pembelajaran di SMPN-3 Abiansemal Badung, mewajibkan kesediaan pengelola sekolah melakukan kajian lebih dalam tentang faktor kinerja pada pebelajar dan penataan fasilitas pembelajarannya. Sikap belajar atau kinerja dan mutu penataan fasilitas pembelajaran di kelas, menjadi unsur penentu terwujudnya peningkatan mutu kegiatan pembelajaran di kelas (Ainly, 1990; Sukmadinata, 2003; Darmawan, 2006). Peningkatan kinerja pada pebelajar dan mutu penataan fasilitas pembelajaran harus dijadikan fokus dalam intervensi, agar mutu kegiatan pembelajaran di kelas meningkat. Peningkatan kinerja pada pebelajar harus dikaji berdasarkan pendekatan ergonomi, karena dilandasi ilmu dasar fisiologi dan kinesiologi serta biomekanika. Sedangkan peningkatan mutu penataan fasilitas pembelajaran di kelas, selayaknya dikaji berpedoman pada kaidah desain interior untuk bisa menghasilkan produk yang artistik karena menimbulkan pengaruh menyenangkan bahkan memuaskan. Pebelajar merupakan sosok manusia yang sedang berkembang dan memiliki berbagai jenis potensi, dalam perkembangannya membutuhkan dukungan komponen eksternal yang memuaskan (Karwono, 2008). Pada pebelajar yang bersifat misterius dan sulit dipahami, terpendam tuntutan kepada pengelola sekolah maupun pembuat keputusan di bidang pendidikan agar sungguh-sungguh mengupayakan peningkatan kinerja di kelas. Mutu penataan fasilitas pembelajaran di kelas yang menyenangkan, dapat mempengaruhi peningkatan kinerja pada pebelajar untuk meningkatkan mutu kegiatan pembelajaran di kelas (Dimyati dan Mudjiono, 2002).
2.5.1 Pengertian desain interior Desain adalah sebuah komposisi baru atau susunan bentuk baru suatu produk, karena ada perkembangan kebutuhan dan citarasa baru yang membedakannya dengan
36
produk lain maupun produk lama yang sejenis. Secara garis besar, desain bisa dinilai sebagai upaya pencerminan perhatian manusia pada apresiasi dan adaptasi dengan lingkungan. Jika ditinjau dari kebutuhan jasmani serta rohaninya, secara khusus dapat dikaitkan dengan konfigurasi, komposisi, makna, nilai dan tujuan pembuatan produk (Archer dan Baynes, 1977). Desain merupakan benda yang dipakai manusia dalam berbagai kebutuhan, untuk mendapatkan hasil akhir yang sifatnya spesifik. Desain sebagai perancangan yang dikerjakan secara profesional dan dikenal sebagai kegiatan bersifat multidisipliner, karena melibatkan sekelompok orang dengan orientasi kerja profesi berbeda-beda (Wilson dan Corlett, 2005). Secara teoritis desain diartikan sebagai susunan unsur seni rupa berupa: bintik (titik), garis, bidang, volume, warna dan tekstur pada suatu komposisi yang harmonis sehingga terwujudnya produk baru yang sesuai perkembangan kebutuhan manusia (Pile, 1988). Desain dapat mempengaruhi perilaku personal dan masyarakat, budaya serta peradaban manusia tetapi faktor ini juga mempengaruhi perkembangan desain sehingga di antara keduanya selalu terjadi interaksi (Gustami, 2008). Desain adalah produk menakjubkan, karena mampu mengubah kehidupan manusia secara individu dan budaya maupun sosial (Chong, 2010). Kehidupan manusia menjadi menakjubkan juga, karena mendapat dukungan produk desain yang menakjubkan. Interior adalah ruang dalam, bagian dari suatu bangunan yang terbentuk oleh pembatas berupa lantai, dinding dan plafon (Pile, 1988; Kurtich dan Eakin, 1993). Setiap area yang memiliki lantai, dinding dan plafon dapat diartikan sebagai interior. Interior menjadi bagian suatu bangunan sebagai karya arsitek, sehingga persepsinya mempengaruhi karakteristik interior. Pada masa lalu, arsitek merancang bangunan sekaligus interiornya. Perkembangan kebutuhan dan citarasa manusia yang semakin
37
beragam serta mode yang berkembang progresif, maka interior menjadi bidang ilmu baru yang mandiri. Dengan demikian, desain interior adalah bentuk baru penataan berbagai jenis perabotan di area yang dibatasi lantai dan dinding serta plafon agar aktivitas pemakai dapat berlangsung lancar dan menyenangkan. Desain interior merupakan perwujudan ruangan 3 dimensional, untuk tempat manusia berkembang dan hidup menyenangkan. Pemilik mendapat citra dari desain interior, karena terwujud tempat beraktivitas yang artistik. Desain interior membangkitkan rasa nikmat setiap pemakai karena penataan fisik yang tepat, cermat serta efisien (Zainuddin, 1986; Mangunwijaya, 1992). Desain interior merupakan upaya pemecahan permasalahan kenyamanan, struktur dan unsur estetika seperti diungkap Vitruvius seorang arsitek termasyur Romawi: convenience, strenght and beauty. Sir Henry Wotton, penulis Inggris menjabarkannya menjadi commoditie, firmness and delight (Kurtich dan Eakin, 1993). Berbagai jenis kegiatan preservasi, restorasi, renovasi dan adaptasi ulang fungsi semua jenis bangunan termasuk bangunan bersejarah ataupun lainnya yang difokuskan pada desain ruang dalamnya dapat dianggap sebagai bagian dari desain interior (Kurtich dan Eakin, 1993). Desain interior adalah eksplorasi seluruh spektrum kehidupan manusia dan arsitektur yang dibutuhkan untuk beraktivitas, memperoleh suasana nyaman yang artistik (Pile, 1988). Desain interior adalah hasil kreasi untuk mengekspresikan pendekatan ruang yang manusiawi, melalui pengembangan bentuk 3 dimensinya agar bangunan menjadi lebih berharga dan peka terhadap pengalaman manusia (Kurtich dan Eakin, 1993). Penataan fasilitas sesuai aktivitas manusia di ruangan dalam, untuk memperoleh kemudahan dan kepuasan serta lingkungan yang artistik agar produktivitas meningkat merupakan kata kunci desain interior.
38
2.5.2 Pengertian pembelajaran Pembelajaran merupakan inti daripada aktivitas pendidikan, maka pemecahan masalah mutu pendidikan harus terfokus pada kualitas pembelajaran. Komponen yang dapat memberikan kontribusi terhadap kualitas hasil pembelajaran adalah: pebelajar, pembelajar, materi, metode, sumber belajar dan fasilitas serta anggaran (Karwono, 2008). Pembelajaran merupakan upaya seseorang atau sekelompok orang untuk bisa menguasai, memanfaatkan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung pembangunan secara harmonis. Belajar juga diartikan sebagai upaya memiliki pengetahuan dan keahlian sesuai kebutuhan jenjang pendidikan lebih tinggi, kebutuhan pasar kerja agar terserap dalam waktu relatif singkat (Darmawan, 2006). Belajar merupakan akuisisi pengetahuan dan sikap serta keterampilan baru agar diperoleh perubahan. Akuisisi mewujudkan banyak perubahan karena belajar mendorong terjadinya perubahan pada diri seseorang untuk mengetahui, memahami, mendalami dan merasakan serta mengerjakan sesuatu yang berharga (Marmai, 2001). Pembelajaran adalah kondisi eksternal belajar yang berpedoman pada karakteristik pebelajar dan prinsip belajarnya, karena pebelajar merupakan primus motor dalam belajar. Dituntut pemusatan perhatian pada pengelolaan dan analisis serta optimalisasi aspek yang berhubungan dengan: (a) perhatian dan motivasi belajar; (b) keaktifan; (c) tanggungjawab; (d) penguatan; dan (e) proses belajar yang sesuai perbedaan individu pebelajarnya (Dimyati dan Mudjiono, 2002). Pebelajar adalah sosok manusia yang sedang berkembang, memiliki berbagai jenis potensi dan dalam perkembangannya membutuhkan komponen eksternal (Karwono, 2008). Desain interior pembelajaran adalah bentuk komposisi atau penataan fasilitas pembelajaran yang artistik agar bisa menyenangkan. Sesuai kebutuhan aktivitas untuk
39
memudahkan pelaksanaan akuisisi pengetahuan, sikap, keterampilan baru agar kinerja pebelajar meningkat karena tersedia berbagai perlengkapan baru yang menarik dan menyenangkan pada area dibatasi lantai, dinding dan langit-langit (Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Contoh Desain Interior Pembelajaran (Zaini, dkk., 2002)
2.5.3 Proses dan tahapan pengerjaan desain interior pembelajaran Desain interior merupakan kreasi yang holistik, selalu berubah, bersifat kasus per kasus karena pengembangan dan pengolahan ruangan terfokus untuk kepentingan manusia pada suatu tempat serta waktu berbeda (Kurtich dan Eakin, 1993). Setiap ruang memiliki karakteristik tersendiri, jika dikaitkan dengan individu pemakai maka dituntut solusi bersifat personal. Lingkungan memberikan pengaruh spesifik, agar unsur bersifat umum dimodifikasi sehingga sesuai dengan perspektif baru. Unsur yang memiliki karakter khusus, harus digubah sesuai permasalahan khusus yang ada pada setiap lokasi. Upaya peningkatan kinerja pada pebelajar untuk meningkatkan mutu proses pembelajar di kelas, menuntut fasilitas pembelajaran didesain dengan benar walaupun sederhana tetapi sesuai kebutuhan manusia yang berkembang semakin kompleks. Bentuk desain dipengaruhi oleh pemakai dan cara memakai. Untuk mendesain produk
40
atau jasa, desainer seharusnya tidak hanya saling kenal dengan pemakainya tetapi juga harus memahami konteks pemakaiannya. Metode 5W1H (why, where, when, what, whom dan how), merupakan bagian inti konteks pemakaian yang berhubungan dengan karakteristik pemakaian suatu produk (Stappers dan Visser, 2006; Kaptein, dkk., 2009). Tahapan pengerjaan desain interior dilakukan berurutan agar lengkap, benar dan terinci sehingga terorganisir baik. Tahapan pengerjaan terdiri atas: (1) program identifikasi kebutuhan dan keinginan pemakai; (2) alokasi ruangan untuk spesifikasi dan hubungan antar ruang serta mengatasi salah pengertian atau kontradiksi termasuk penentuan anggaran; (3) desain dinding, unsur bukaan serta penataan mebel secara keseluruhan; (4) pengembangan desain berbentuk gambar detail desain pendahuluan; (5) presentasi penentuan bentuk akhir; (6) gambar konstruksi atau blueprint, untuk penghitungan biaya dan pedoman pelaksanaan pekerjaan di lapangan (Ekuan, 1986; Onggodiputro, 1986; Pile, 1988; Halim, 2005). Tahapan proses ini baru berakhir saat pemakai menyatakan persetujuan terhadap desain yang diajukan desainernya. Bangunan karya arsitek, tentu sudah didesain dengan cermat. Tetapi sejak lama berkembang rasa tidak puas masyarakat, karena cenderung egosentrik serta untuk kepuasan estetika maupun identitas diri semata. Orientasi desain terfokus untuk menciptakan personal monumen, daripada untuk kebutuhan pemakai (Halim, 2005). Desainer interior mengolah ruang dalam menjadi baik dan artistik serta memuaskan, tetapi tanpa disadari cenderung belum sesuai prinsip ergonomi karena membatasi mekanisme kerja organ tubuh pemakai. Desain interior dianggap berhasil, jika pelaku aktivitas selama mungkin berada di tempatnya menyelesaikan pekerjaan. Disediakan perlengkapan untuk efisiensi gerakan, mudah dijangkau, nyaman, sampai tidak perlu
41
menggerakkan tubuh. Dalam ergonomi, diajarkan agar otot dan saraf maupun organ tubuh lainnya yang sudah kontraksi memperoleh pemulihan melalui proses relaksasi dengan cara menggerakkan dan mengubah posisi bahkan memindahkan tubuh. Berdasarkan uraian proses dan tahapan pengerjaan desain interior di atas, bisa terlihat jelas sasaran estetika menjadi dominan. Prinsip ergonomi belum tersentuh, karena dasar keilmuannya belum dikuasai. Seharusnya, keberhasilan desain interior pembelajaran dievaluasi oleh pebelajarnya agar diketahui kekurangannya. Pembelajar kurang berpeluang mengamati keluhan yang terjadi pada tubuh pebelajar, walaupun selalu berinteraksi. Apalagi arsitek dan desainer interior tidak mengamati pengaruh desain terhadap pemakai, tetapi selalu yakin desainnya sudah benar dan baik karena sudah berkepribadian serta trendi maupun artistik. Seandainya diinginkan agar desain berhasil menyentuh kepentingan kesehatan manusia, ergonomi harus dilibatkan dalam setiap proses analisisnya. Agar masyarakat mengetahui peran ergonomi dalam desain, maka harus diaplikasikan secara jelas pada setiap komponen desain (Chong, 2010). Oleh karena itu setiap elemen desain interior harus jelas merupakan refresentasi prinsip ergonomi untuk terjaganya keselamatan, kenyamanan, efisiensi, kesegaran tubuh, peningkatan kinerja maupun produktivitas sehingga diperoleh keuntungan finansial memadai. Seorang desainer semestinya merasa perlu bekerjasama dengan ergonom, agar desain menjadi lebih sesuai untuk meningkatkan kesejahteraan pemakainya (Chong, 2010). Desain menjadi lebih manusiawi, karena dalam proses analisisnya memakai parameter mekanisme kerja tubuh manusia yang fisiologis. Mutu penataan fasilitas pembelajaran yang menyenangkan bahkan memuaskan juga, ternyata belum berhasil mengoptimalkan peningkatan kinerja pada pebelajar. Agar kinerja pada pebelajar bisa
42
ditingkakan, prinsip ergonomi harus dilibatkan dalam analisis desain interior sehingga lahir gagasan aplikasi ergo-desain interior pembelajaran.
2.6 Konsep Ergonomi Peningkatan kinerja dapat dilihat dari minimalnya keluhan, kelelahan dan kebosanan serta optimalnya kenyamanan pebelajar. Hal ini menandakan optimalnya keterlibatan fisik dan mental serta unsur dinamisnya dalam pembelajaran. Ergonomi memiliki pengetahuan untuk merealisasikan tujuan tersebut, sehingga harus dipahami secara mendalam.
2.6.1 Pengertian dan manfaat ergonomi Ergonomi sebagai ilmu terapan bersifat multidisiplin dijabarkan sebagai ilmu, teknologi dan seni untuk menserasikan desain alat dan sistem serta lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia untuk terciptanya kondisi kerja serta lingkungan yang sehat, aman, nyaman, efisien sehingga diperoleh prestasi termasuk produktivitas kerja setinggi-tingginya (Adiputra, 1998; Manuaba, 2005b; Mechanical Engineering, 2005). Desain atau ergonomi mengaplikasikan berbagai informasi faktor manusia untuk mendesain alat, tugas/sistem dan lingkungan sehingga fungsi manusia efektif, selamat, nyaman dan produktif setiap melakukan kegiatan (Hendrick, 2002). Ergonomi menguraikan interaksi antara manusia dengan unsur lain dari sistem yang dipakai, disebarluaskan sebagai pengetahuan ilmiah yang memenuhi syarat untuk menilai kualifikasi ergonomi (Sluiter, 2006). Definisi praktis ergonomi, design for human use (Pulat, 1992). Ergonomi memanfaatkan prinsip dan data ilmiah tentang manusia untuk proses desain perlengkapan, produk, jasa, tugas, peralatan, fasilitas, lingkungan serta
43
sistem agar kebutuhan optimalisasi penampilan seluruh organ tubuh yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan, kenyamanan dan produktivitas dapat terwujud (Vink, dkk., 2006; Chebykin, dkk., 2008). Ergonomi dibutuhkan manusia untuk mendapat fasilitas yang mendukung proses penyegaran tubuh yang sehat, sekaligus memuaskan karena memiliki nilai estetika. Tujuan ergonomi adalah untuk meningkatkan keselamatan, kenyamanan dan produktivitas serta kualitas hidup (The Joy Institute, 1998). Manfaat ergonomi: (a) pekerjaan lebih cepat selesai; (b) risiko kecelakaan lebih kecil; (c) man-days/hours tidak banyak yang hilang; (d) risiko penyakit akibat kerja kecil; (e) gairah/kepuasan kerja tinggi; (f) biaya ekstra/tambahan/tidak terduga dapat ditekan; (g) absensi/tidak masuk kerja rendah; (h) kelelahan berkurang; (i) rasa sakit berkurang bahkan tidak ada; dan (j) produktivitas meningkat. Ergonomi diperlukan karena adanya berbagai dampak pembangunan seperti kecelakaan, polusi dan banjir serta bencana. Dampak perubahan cuaca global yang sudah menimpa dunia, dicegah atau diminimalkan oleh aplikasi ergonomi (Manuaba, 2002b; Manuaba, 2005b). Aplikasi ergonomi ternyata berhasil mencegah disefisiensi kualitas sekitar 30-50% (Axelsson, 2000). Ergonomi perlu berkontribusi dalam proses desain, evaluasi tugas, pekerjaan, produk, lingkungan serta sistem agar sesuai kebutuhan, kemampuan dan keterbatasan manusia. Ergonomi menjadi misi masyarakat yang punya perhatian mempromosikan penemuan dan perkembangan pengetahuan baru tentang karakteristik manusia, yang cocok dengan sistem desain serta peralatan agar manusia sehat bisa segar sehingga menjadi produktif untuk kesejahteraan dirinya sendiri dan masyarakat di sekitarnya (Dainoff, 2008). Ergonomi menjadikan desain selalu siap menyehatkan manusia, agar produk tidak terfokus pada kepentingan estetika dan penonjolan identitas diri saja.
44
Faktor profil, kapasitas fisiologis, psikologis dan biomekanika menentukan kemampuan manusia (Albayrak, dkk., 2010). Karakteristik kegiatan, tugas, organisasi serta lingkungan beraktivitas mempengaruhi tuntutan tugas. Dampak negatif aplikasi ilmu dan teknologi dapat ditanggulangi oleh kehadiran ergonomi sehingga penyakit akibat kerja, kecelakaan, pencemaran, keracunan, kekecewaan dan kesalahan manusia dapat dihindari serta diminimalkan. Desain menjadi memuaskan, aman, nyaman dan sesuai karakteristik pemakainya jika prosesnya berbasis ergonomi (Valasco, 2002; Manuaba, 2003). Manusia berharap selalu dapat menjalani kehidupan dengan elegan, tanpa keluhan agar dapat merasakan makna kesejahteraan. Ergonomi selalu berupaya memanusiakan manusia, karena sistem kerja tubuhnya secara seksama diperhitungkan pada setiap bagian komponen desain. Sebenarnya ada 8 aspek penting yang harus mendapat perhatian dalam setiap aplikasi ergonomi, yaitu: (1) nutrisi; (2) pemanfaatan tenaga otot; (3) sikap kerja; (4) kondisi lingkungan; (5) kondisi waktu; (6) kondisi sosial; (7) kondisi informasi, dan (8) interaksi manusia-alat (Manuaba, 2003). Berdasarkan 8 aspek tersebut, seharusnya setiap orang yang memanfaatkan ergonomi minimal memperoleh keuntungan dari 8 aspek tersebut. Ergonomi membuat produk menjadi menakjubkan, karena mengubah kehidupan manusia (Chong, 2010).
2.6.2 Perkembangan konsep ergonomi Ergonomi baru dikenal secara khusus pada masa Perang Dunia II, padahal secara faktual berbagai jenis kegiatannya sudah berlangsung mulai dari sejak manusia mengupayakan jalan ke luar karena berbagai masalah kehidupannya. Hasil yang dapat diperoleh dari pendekatan ergonomi, bahkan merambah ke bidang industri setelah perang usai. Fakta menunjukkan, setiap generasi selalu mengubah harapannya karena
45
rasa belum puas terhadap hasil yang didapatkan oleh para pendahulunya yang selalu mencari cara agar hidupnya mudah dan menyenangkan. Ergonomi semakin dikenal dan dibutuhkan setelah untuk pertama kali aspek teknologi dan ilmu tentang manusia secara sistematik diaplikasikan oleh pakar fisiologi, psikologi, antropologi, kesehatan, keselamatan kerja dan keteknikan untuk peningkatan kesejahteraan maupun kualitas hidup manusia (Dul dan Weerdmeester, 1993; Bridger, 1995). Setiap ada manusia terlibat di dalam kegiatan, seharusnya ergonomi sudah diterapkan karena kemampuan manusia mengenai tuntutan tugas sudah harus mulai diperhitungkan. Pendorong utama terbesar agar pekerja selamat dan sehat, datang selama serta setelah revolusi industri pada pertengahan abad-18 sampai awal abad-19. Terwujud abad pabrik dan energi, mesin industri tekstil berhasil diciptakan. Mesin mampu mengoptimalkan produksi, melebihi hasil tangan manusia tetapi pekerjanya menderita dan bahkan cedera. Muncul masalah sosial, disusun perlindungan pekerja untuk mengurangi cedera tetapi upaya pencegahan menguat (Bridger, 1995). Setelah masyarakat industri tumbuh dan sistemnya mulai semakin kompleks, lahir kesadaran teknologi tidak menjamin peningkatan kinerja manusia. Berkembang managemen ilmiah, yang berupaya memaksimalkan produktivitas melalui perbaikan desain tugas dilandasi pengetahuan rational economic men. Lahir konsep ergonomi dan manajemen modern. Unsur diredesain, agar gerakan serta prosedur kerja kurang produktif minimal. Studi gerakan dalam prosedur kerja, berkembang menjadi metode motion and time study serta human engineering. Pakar pekerja di perusahaan, untuk pertama kali melaksanakan penelitian interaksi manusia dengan alat dan desain tugas agar produktivitas dan kesejahteraannya meningkat bersama-sama (Bridger, 1995; Nurmianto, 2003).
46
Thackrah, meneruskan ide Ramazzini membenahi lingkungan kerja. Manusia merasakan lingkungan kurang nyaman, postur tubuh yang berkaitan dengan faktor antropometri kurang memenuhi kaidah ilmu kesehatan. Cahaya mengakibatkan iritasi mata, pengaruh ventilasi, suhu panas, jam kerja terlalu panjang, gerakan repetitif, pengaruh pelatihan terhadap kinerja, kerja bergilir juga mengganggu kesehatan serta kelelahan. Vernon melakukan penelitian sikap dan ruang kerja, yang menghasilkan konklusi bahwa sejumlah aktivitas fisik menimbulkan kelelahan jika berlangsung konstan dan lama serta tanpa variasi (Bridger, 1995; Nurmianto, 2003). Kata kunci ergonomi adalah cara pengelolaan tubuh manusia dalam setiap beraktivitas, agar tubuh sehat tetap segar sehingga produktif untuk hidup sejahtera. Faktor internal dan eksternal yang secara otomatis langsung direspons oleh sistem tubuh, agar kondisi bagian dalam tubuh menjadi stabil tetapi dinamis. Sedikit saja berbeda dengan syarat fisiologisnya, terbentuk perlawanan yang bisa menguras energi agar prinsip homeostasis stabil. Ergonomi memiliki perspektif sesuai naluri manusia. Sejak beribu tahun mencari cara terbaik mengorganisasikan tubuhnya dalam setiap beraktivitas, agar proses produksi lebih efisien serta produktif untuk kesejahteraan. Manusia tidak boleh mengandalkan insting, karena masalah semakin kompleks dan kompetisi semakin ketat menuntut pemakaian potensi ilmiah untuk hidup sejahtera (Manuaba, 2005b). Ergonomi yang berlandaskan fisiologi, kenesiologi, biomekanika memberikan gambaran tubuh manusia memang didesain untuk mobilitas. Buktinya, tubuh manusia belum pernah berubah secara signifikan sejak ada di bumi. Manusia masih dilahirkan memiliki sejumlah otot, equivalen dengan lebih dari setengah berat tubuh agar dapat membawa tubuh berkeliling serta melaksanakan pekerjaan otot. Semua otot mampu
47
mengubah energi kimia yang terdapat pada makanan yang disantap, menjadi kerja mekanik yang secara mekanis lebih efisien daripada mesin mobil tercanggih (Rodahl, 1989). Berpedoman pada fakta itu, tubuh manusia seharusnya selalu digerakkan agar kesehatannya terjaga. Jika kurang gerak, tubuh menjadi sakit karena unsur tubuh yang sehat terpaksa melakukan tugas ekstra sehingga menjadi toleran dengan keluhan. Tubuh memiliki kemampuan, kebolehan, keterbatasan karena kondisi bagian dalam memiliki toleransi yang sempit ketika terjadi perbedaan dari syarat fisiologis. Faktor yang berperan penting untuk menjaga tubuh yang sehat tetap segar: (1) postur harus dinamis walaupun saat posisi diam; (2) pada periode tertentu setiap posisi harus diganti dengan posisi berlawanan, digerakkan dan dipindahkan; (3) lingkungan fisik menjaga konsep homeostasis tidak dapat gangguan (Dul dan Weerdmeester, 1993; Sherwood, 2001; Pinel, 2006; Guyton dah Hall, 2008). Ada fakta fundamental yang dipakai pedoman pada proses desain, sehingga manusia selalu sejahtera dalam setiap beraktivitas (Pulat dan Alexander, 1991). Fakta tersebut terdiri atas: (1) bentuk dan ukuran tubuh berbeda, perlu tempat beraktivitas antropometris; (2) kemampuan motorik berbeda, waktu reaksi dan kekuatan serta kemampuan sensorik berbeda; (3) persepsi kenyamanan berbeda; (4) kemampuan kognitif atau mental untuk menyimpan dan mengolah informasi berbeda maka hasil keputusan akuratpun berbeda; (5) pengalaman, motivasi, latar belakang budaya dan persepsi tentang risiko berbeda maka manusia yang sama menjadi berbeda pada waktu berbeda; (6) manusia belum cukup jika hanya diberi pengarahan, karena tidak yakin bersedia mengubah perilaku maka sistem harus dibuat agar secara otomatis mengubah perilaku walaupun tanpa diberikan himbauan; (8) manusia berorientasi pada hasil akhir, melalui kesalahan dilakukan perbaikan karena sudah pengalaman;
48
(9) manusia berani memilih sambil mengkoordinasi alternatif hasil bertentangan; (10) manusia sumber kesalahan, tetapi bisa berupaya mengurangi kesalahan atau membuat sistem toleran dengan kesalahan itu; dan (11) manusia siap menghadapi risiko atau mengambil risiko demi hasil yang lebih baik dan benar serta maksimal. Simpulannya, ergonomi tidak berharap manusia mengalami bencana tetapi masih harus disadarkan bahwa manusia membutuhkan ergonomi. Berdasarkan uraian dasar kajian ergonomi, maka dapat ditelusuri sumber dan berbagai masalah yang harus ditanggulangi. Setiap individu harus diyakinkan tentang kebutuhannya terhadap ergonomi, sebagai aset kompetisi serta peningkatan kualitas hidupnya. Keberhasilan ergonomi, ditentukan oleh metode pendekatan yang dipakai di dalam setiap aplikasinya. Perlu memahami berbagai metode pendekatan ergonomi, salah satunya disebut pendekatan terpadu atau ergonomi total (total approach).
2.6.3 Pendekatan ergonomi total dalam pembelajaran Ilmuwan diharapkan mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan di bumi ini dengan metode ilmiah, khususnya setelah kemajuan ilmu alam pada abad ke19 (Bubb, 2006). Desain interior pembelajaran perlu pertimbangan holistik, berlanjut agar hasilnya manusiawi. Bisa dicapai melalui penerapan pendekatan ergonomi total, memanfaatkan TTG melalui pendekatan SHIP. Makna pendekatan SHIP: proses identifikasi, analisis dan solusi permasalahan dilakukan secara sistemik, holistik, interdisipliner serta partisipatori komponen terkait. Sedangkan pemanfaatan teknologi tepat guna berkaitan dengan intervensinya agar secara teknis, ekonomis, ergonomis, sosio budaya dapat dipertanggungjawabkan, hemat energi dan ramah lingkungan (Manuaba, 2005a).
49
Pada masa krisis seperti sekarang, kegiatan ilmiah harus dilaksanakan tetapi dengan cara yang efektif dan efisien serta harus dicermati melalui pendekatan SHIP agar kendala dan duplikasi minimal. Setiap upaya pembangunan harus menghasilkan kondisi kehidupan dan lingkungan yang sehat, selamat, nyaman serta efisien karena merupakan komponen penting kualitas hidup. Harus dikelola dengan baik sehingga selalu dapat dicermati dalam semua tingkatan proses produksi, sejak fase perencanaan sampai evaluasi (Manuaba, 2005a). Prinsip dasar pemecahan masalah, menempatkan permasalahan pada konteks pendekatan SHIP. Perlu diterapkan secara konsekuen, jika sistem dan proses kerja serta produknya diinginkan kompetitif, berlanjut dan juga manusiawi. Pendekatan SHIP, berkaitan secara khusus dengan desain yang digunakan manusia karena memiliki aspek kajian sebagai berikut (Manuaba, 2001). 2.6.3.1 Pendekatan SHIP Pendekatan SHIP merupakan 4 faktor penting dalam kajian ergonomi yang terdiri atas: pendekatan sistemik, holistik, interdisipliner dan partisipatori. 1) Pendekatan sistemik Pendekatan sistemik memperhatikan dan menanganani setiap sistem secara terpadu, agar berbagai unsur yang saling berhubungan dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang mudah dikelola. Sistem dipilih dan digunakan sesuai tempat dan waktu. Pendekatan sistemik pada ergo-desain interior pembelajaran dilandasi fakta pebelajar, ruangan, fasilitas, mikroklimat memiliki karakteristik berbeda. Karakteristik pebelajar memiliki persyaratan, harus diperhitungkan dalam proses desain interior dan fasilitas serta mikroklimat ruangan. Semua karakteristik pebelajar perlu ditangani secara bijak, agar faktor yang berbeda tidak muncul sebagai kendala selama proses pembelajaran untuk mendukung intervensi (Manuaba, 2000). Melalui model pendekatan sistemik,
50
ergonomi berkontribusi untuk optimalisasi keterlibatan fisik dan mental serta unsur dinamis dalam aktivitas belajar. Desain interior pembelajaran, mempromosikan dan meningkatkan kinerja setiap pebelajar sekaligus kesehatannya (Abeysekera, 2002). Berpikir sistem berarti berpikir tentang bagian-bagian dari keseluruhan dan cara bagian-bagian menunjukkan reaksi antara satu dan yang lainnya dalam konteks keseluruhan. Pada sistem ada susunan dan ketertiban, sebagai cara mendekati masalah dengan pertimbangan keseluruhan daripada pemusatan hanya pada suatu bagian atau mengesampingkan beberapa bagian lainnya. Kondisi patologis muncul ketika tujuan tidak tercapai, karena ada beberapa kesalahan pada operasi internal sistem atau ada kegagalan penyeseuaian antara sistem dan lingkungan (Onggodiputro, 1986). Pendekatan sistem memperlakukan setiap masalah tidak sebagai kasus khusus tetapi mengambil sari dari sifat umum dan khususnya. Konsep sistem tidak diarahkan pada unsur khusus sebagai fenomena individual, tetapi lebih pada pola fenomena total yang menciptakan lingkungan (Onggodiputro, 1986). Tubuh manusia sebagai sistem sehingga dapat bergerak, tetapi keterbatasannya harus dipertimbangkan jika dikaitkan dengan sistem yang ada pada komponen desain interior. Antropometri sebagai sistem dikaitkan dengan dimensi pada produk, anatomi menjadi pedoman posisi komponen produk, persendian dipertimbangkan dalam penentuan lokasi fasilitas, kapasitas otot dan saraf sebagai dasar evaluasi penempatan elemen visual. Berbagai jenis unsur yang signifikan dan relevan serta berpeluang untuk dipecahkan, harus dikaji dengan cermat agar usulan menjadi jelas dan manusiawi (Manuaba, 2005a). 2) Pendekatan holistik Berbagai faktor yang mempengaruhi sikap individu pebelajar dalam kegiatan pembelajaran, jika dikaitkan dengan aplikasi ergo-desain interior pembelajaran perlu
51
kajian holistik untuk menjaga produk yang dihasilkan bisa diterima secara manusiawi (Manuaba, 2003). Karakteristik individu, sosial, budaya, agama, hukum, ekonomi dan lingkungan sekaligus menjadi bahan pertimbangan dalam proses aplikasi ergo-desain interior pembelajaran. Pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor, bersumber dari komponen internal dan eksternal pebelajar. Agar faktor pengaruh menjadi positif, aplikasi ergo-desain interior pembelajaran disesuaikan dengan kondisi individu, sosial budaya, ekonomi, hukum, agama, keyakinan, perkembangan global dan kesehatan serta lingkungan di sekitarnya (Manuaba, 2001). Tujuan penting pembangunan, untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan (Manuaba, 2003). Pihak sekolah perlu didukung mewujudkan ergo-desain interior pembelajaran agar proses pembelajaran nyaman, sehat sehingga keterlibatan fisik, mental serta unsur dinamis pebelajar optimal. Pendekatan holistik adalah strategi untuk menghasilkan solusi tepat guna dan relevan dengan situasi serta kondisi sebenarnya, sebagai pengembangan alternatif solusi dan biaya. Berdasarkan skala prioritas, tahapan proses harus diperoleh outcomes yang tinggi sehingga solusi masalah tidak pragmentatif (Adiputra, 2000; Manuaba, 2004a). Keuntungan ekonomi yang didapat dari intervensi ergonomi, adalah perbaikan sistem serta produktivitas. Jika keuntungan bermakna sebagai konsekuensi, seharusnya produk untuk mendapat luaran hasil pembangunan didesain secara bijak sehingga kerugian lebih besar dapat dihindari (Abeysekera, 2002; Manuaba, 2003). Tujuan penerapan pendekatan holistik, pembangunan kualitas hidup manusia meningkat secara berkelanjutan berdasarkan seluruh sistem nilai dan sumber daya yang dimilikinya. Seluruh biaya, waktu, energi, pikiran dan sistem nilai sosial budaya yang sudah diinvestasikan untuk perwujudan ergo-desain interior pembelajaran dapat
52
berkontribusi optimal kepada kesejahteraan hidup pebelajar serta insan yang lainnya. Oleh karena itu, manajemen risiko dan keuntungan (risk and benefit) harus dijadikan pedoman dalam setiap perbaikan yang berorientasi pada risiko karena secara otomatis dapat diperoleh keuntungan yang diharapkan (Manuaba, 2005c). 3) Pendekatan interdisipliner Walaupun ergonomi sudah didukung oleh berbagai jenis ilmu, tetapi berbagai permasalahan yang semakin kompleks ternyata belum berhasil dipecahkannya secara oprtimal. Perlu melibatkan pihak lain, dari berbagai disiplin berbeda. Kompleksitas masalah dibidang sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan menuntut partisipasi ilmu dan teknologi untuk memecahkan masalah manusia (Manuaba, 2000). Pendekatan interdisipliner mewajibkan keterlibatan disiplin terkait agar desain menjadi layak pakai jika ditinjau dari aspek ergonomi, fisiologi, psikologi, antropometri, anatomi, teknologi, seni, ekonomi, hukum dan sistem nilai pemakainya (Manuaba, 2001). Aplikasi ergo desain-interior pembelajaran membutuhkan pemikiran bidang desain produk, teknik, sosial dan budaya, ekonomi, politik dan yang lain (Manuaba, 2000). Setiap perbaikan harus meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental manusia, mencegah cedera, sakit akibat kerja dan mendorong terwujudnya kemampuan serta kepuasan kerja. Pendekatan interdisipliner menghasilkan desain interior pembelajaran yang mendukung terwujudnya perilaku ergonomis secara sistemik dan reguler. Faktor penyebabnya, himbauan, pelatihan, pendekatan personal, hadiah dan contoh belum efektif untuk mengubah kebiasaan negatif yang mendarah daging (Manuaba, 2004a). 4) Pendekatan partisipatori Pemakai ergo-desain interior pembelajaran, perlu menyumbangkan pemikiran dan pandangannya dalam proses desain (Manuaba, 2001), sehingga dapat membenahi
53
berbagai kondisi beragam sesuai kepentingannya (Koningsveld, dkk., 2005). Pemakai diakui lebih memahami kendala dan kebutuhan setiap pemakaian produk (Vink dkk., 2006; Kogi, 2006). Pengelola dan pebelajar di SMPN-3 Abiansemal Badung terlibat dalam proses ergo-desain interior pembelajaran, untuk kepuasan dan dapat dihasilkan perlengkapan pembelajaran yang berdaya guna serta berhasil guna tinggi (Eklof, dkk., 2004; Manuaba, 2004b). Memberdayakan pemakai untuk mendapatkan solusi atas kemampuan sendiri, agar perbaikan selanjutnya dapat dilakukan sendiri sehingga bisa tumbuh rasa memiliki yang optimal dan sesuai kemampuan finansialnya. Pendekatan partisipatori dilakukan melalui diskusi bertahap dan dalam bentuk kelompok terbatas, baik dengan pihak pengelola maupun dengan pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung. Hasil diskusi dibahas dengan staf pimpinan, untuk menemukan wujud final intervensi yang memenuhi harapan sivitas SMPN-3 Abiansemal Badung. Pemilihan desain meja dan kursi belajar mempertimbangkan asas manfaat, mudah dikerjakan, biaya produksi dan perawatan murah, ramah lingkungan, menarik serta harga terjangkau. Beberapa perbaikan ditangani komite sekolah, perusahaan mitra kerja sekolah dan pihak lain yang berkompeten. Berdasarkan pendekatan SHIP, dapat diyakini aplikasi ergo-desain interior pembelajaran berbeda dengan desain interior pembelajaran yang sudah biasa dipakai di SMPN-3 Abiansemal Badung. Unsur yang membedakannya adalah: (1) efisiensi tenaga otot; (2) efisiensi waktu; (3) efisiensi kerja; (4) kelelahan berkurang; (5) perilaku negatif hilang; (6) kenyamanan dan kepuasan meningkat; (7) mutu proses, luaran dan hasil belajar meningkat; (8) pebelajar yang sakit berkurang; (9) kecelakaan mungkin dihilangkan; (10) kesalahan dan kerusakan minimal; (11) biaya perawatan kesehatan dan kecelakaan berkurang sehingga dapat menghemat biaya operasional
54
(Manuaba, 2000). Metode SHIP approach diharapkan berhasil mewujudkan produk yang manusiawi, dapat dipakai sebagai konpensasi memperoleh status terakreditasi SSN atau bahkan Rencana Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).
2.6.3.2 Pemanfaatan TTG Teknologi diartikan sebagai cara, metode, upaya, alat atau hasil budi daya manusia untuk memperoleh hasil kerja yang lebih berhasil dan berdaya guna. TTG adalah hasil budi daya manusia yang tepat dan berguna, jika dilihat dari segala aspek kehidupan (Manuaba, 1983). Aspek kehidupan yang layak dipakai kriteria penentuan keberhasilan yang tepat dan berguna antara lain: (1) secara teknis lebih efisien dalam pemakaian dan perawatan, (2) secara ekonomis lebih menguntungkan, (3) dari aspek ergonomi menyehatkan, (4) secara sosio-budaya bisa diterima dan ditolerir, (5) ramah lingkungan, serta (6) hemat energi. Negara industri berkembang (IDCs) atau Industrially Developing Countries lebih tepat memakai TTG daripada mengimpor teknologi modern yang sengaja dibuat bagi masyarakat negara industri (ICs) Industrialized Countries. Berdasarkan 2 alasan mendasar, yaitu: (1) pemilik teknologi tidak punya informasi memadai mengenai kondisi infrastruktur, faktor manusia dan lingkungan serta hal lain yang berkaitan dengan pemakai di IDCs, (2) pengetahuan tentang cara penyesuaian dan pemakaian teknologi oleh masyarakat di IDCs terbatas (Abeysekera, 2002). Transfer teknologi oleh IDCs cenderung lebih banyak menimbulkan beban dan bahaya, sehingga terjadi insiden serta penyakit akibat kerja. Faktor penyebabnya: perbedaan gaya hidup, jenis tugas setiap individu, kondisi ruang kerja, pendidikan dan pelatihan, faktor sosial-budaya serta agama. Transfer teknologi modern harus mempertimbangkan aspek fisik, sosial-budaya, ekonomi, politik dan lingkungan.
55
Perlu pertimbangan yang bijak dalam setiap upaya pengalihan teknologi, karena harus sesuai nilai sosial-budaya lokal (Caple, 2005). Konsekuensi transfer teknologi, perlunya penyesuaian desain organisasi dan managemen, jaringan komunikasi serta partisipasi pekerja yang pada umumnya sulit dilakukan. Pemotongan biaya pencegahan timbulnya keluhan dan kecelakaan sudah umum dilakukan, apalagi pemilik teknologi tidak bertanggungjawab terhadap keluhan atau kecelakaan yang diakibatkan oleh teknologinya. Keterbatasan pemerintah IDCs memberikan perlindungan dalam proses alih teknologi, karena dana yang disediakan untuk mencegah kerugian sudah terlanjur dipakai memenuhi kepentingan sekelompok individu tertentu (O’Neill, 2000). Ergo-desain interior pembelajaran di SMPN-3 Abiansemal Badung, memakai TTG agar memenuhi aspek sebagai berikut. 1)
Aspek teknis Mudah dikerjakan, dirawat, diperbaiki sehingga memakai bahan lokal dan dapat dikerjakan oleh masyarakat setempat sehingga memakai teknologi sederhana;
2)
Aspek ekonomis Secara finasial dapat dibiayai oleh seluruh tingkat ekonomi masyarakat setempat, sehingga memanfaatkan sumber daya alami dan bahan yang biasa dipakai;
3)
Aspek ergonomis Secara fisik dan mental aman, nyaman dan menyehatkan baik pada saat dilihat apalagi saat digunakan;
4)
Aspek sosial-budaya Memperhatikan sikap, perilaku, kebiasaan, norma, nilai, kehendak, kepercayaan yang dianut pengelola dan pebelajar serta masyarakat di sekitarnya;
56
5)
Aspek energi Menghemat pemanfaatan energi listrik melalui optimalisasi cahaya alami, untuk mengurangi pembayaran listrik tetapi kebutuhan sesuai dengan persyaratan; dan
6)
Aspek lingkungan Pemakaian teknologi manual dan cahaya alami menjadikan ergo-desian interior pembelajaran terhindar dari kategori sebagai penyebab polusi. Uraian desain interior dan ergonomi, memperkuat upaya peningkatan kinerja
pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung. Peningkatan kinerja pada pebelajar dan mutu penataan fasilitas pembelajaran, dapat mempengaruhi peningkatan mutu proses pembelajaran sehingga terdidik pebelajar berprestasi dan memiliki kompetensi untuk terwujudnya pengakuan sebagai sekolah bermutu.
2.7 Aplikasi Ergo-Desain Interior Pembelajaran di SMPN-3 Abiansemal Badung 2.7.1 Kondisi desain interior SMPN-3 Abiansemal Badung SMPN-3 Abiansemal Badung berlokasi di Desa Sibang Kaja, merupakan bagian dari Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung. Desa Sibang Kaja hanya memiliki 1 buah sekolah, sehingga wajib melaksanakan Wajar. Semua warga berusia wajar di Desa Sibang Kaja, harus diterima menjadi pebelajar di SMPN-3 Abiansemal Badung. Akibatnya, pebelajarnya mencapai 1.456 orang. Berhubung hanya memiliki 18 kelas, maka pebelajar harus dibagi menjadi 35 rombongan belajar. Belajar pada pagi hari 18 kelas, siang hari 17 kelas. Setiap ruangan berukuran 8.00 X 8.00 cm (luas 64 m2), sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk 32 pebelajar menurut UU No. 32 tahun 2004 yang menentukan rasio luas lantai minimal 2 m2/pebelajar. Berhubung jumlah pebelajarnya ±43 orang/kelas, maka rasio luas lantainya menjadi hanya ±1,52 m2/pebelajar. Oleh karena itu, usulan status akreditasi SSNnya belum disetujui.
57
Dari 18 kelas yang tersebar pada lahan 76.000 m2 (Gambar 2.6) hanya 2 kelas berada di lingkungan terbuka walaupun dalam 1 bangunan (Gambar 2.7). Ada 3 kelas tetapi 1 kelas tertutupi bagian bangunan lainnya dan tanaman serta berdekatan dengan fasilitas publik. Suhu dan kondisi di sekeliling 2 kelas nyaman dan tenang, sehingga memenuhi syarat untuk kegiatan pembelajaran. Sinar matahari membantu pengelola sekolah mengembangkan kebijakan penghematan pemakaian listrik.
Kelas di tengah lahan sekolah
Gambar 2.6 Situasi Lingkungan SMPN-3
Abiansemal Badung
Gambar 2.7 Kelas di Tengah Lahan Sekolah (2 buah)
Intensitas pencahayaan di kelas yang diukur pada pukul 11.00-12.00 Wita, ± 199 lux saat matahari tidak tertutup awan dan 4 buah lampu neon 20 watt menyala. Intensitas cahaya turun sampai ± 94,7 lux, jika keadaan sebaliknya. Lantai ruang dan tinggi plafon 300 cm berwarna putih, dinding warna krem, belum dapat membantu peningkatan intensitas pencahayaan karena semua bahan kayu berwarna coklat. Luas dinding terbuka dan ventilasi silang tidak berimbang serta selasar selebar 210 cm, menghalangi sinar matahari memasuki kelas. Suhu kering pada interior sekitar 2431ºC dan suhu basah 22-29ºC, masih tergolong nyaman tetapi nilai kelembaban relatif mencapai 82% dan gerakan udara hanya 0,13m/d belum memenuhi syarat. CO2 tidak
58
dapat segera tersalurkan ke luar dari ruangan, karena gerakan udara masih tergolong lambat. Formasi duduk, diatur dalam 3 kelompok. Tersedia lebar jalur sirkulasi 56,6 cm, tetapi efektif untuk 5 deret pebelajar. Pebelajar lain, terhalang 5 pebelajar di sisi jalur sirkulasi dan dinding kelas. Kurang leluasa masuk serta ke luar dari atau menuju tempat duduknya. Suasana kelas menjadi sesak, karena memakai meja belajar ukuran 55X70 cm dan dinding dipenuhi berbagai jenis hiasan agar suasana interior meriah. Papan tulis berdampingan dengan papan informasi dan komunikasi, dilengkapi foto presiden dan wakil presiden RI serta pahlawan nasional dan hiasan artifisial. Prioritas penataan interior lebih pada upaya menampung seluruh pebelajar, tanpa pertimbangan peningkatan kinerja apalagi kesehatan pebelajar tersebut. Meja belajar berukuran tinggi ±74 cm, belum sesuai tinggi siku yang berbeda ketika duduk. Rak di bawah meja belajar, membatasi kebebasan gerak kaki pebelajar. Ada upaya memperluas ruang gerak kaki (leg room) di bawah meja, maka lebar rak dikurangi. Tinggi dudukan dan kedalaman kursi belajar belum sesuai dengan tinggi popliteal dan panjang buttock-popliteal pebelajar yang berbeda-beda, sehingga bagian belakang lutut tertekan oleh sudut depan dudukan ketika punggung disandarkan ke belakang. Bentuk bagian tepi dan sudutnya siku serta lancip, menimbulkan gangguan kenyamanan selama duduk sambil belajar lebih dari 60 menit.
2.7.2 Organisasi pembelajaran Aktivitas pembelajaran 1 minggu berlangsung 5 hari (Senen-Jumat), karena hari Sabtu khusus untuk pelajaran pilihan di ruang berbeda. Setiap hari pembelajaran dimulai pukul 7.30–10.10 Wita dan pukul 10.40-12.40 Wita, terdiri atas 4 dan 3 jam pelajaran masing-masing berisi 2-3 jenis mata pelajaran. Selama ±160 menit pebelajar
59
harus duduk di kursi (1 jam setara dengan 40 menit), walaupun ada penggantian mata pelajaran setelah 40-80 menit. Waktu yang ada untuk menunggu pelajaran berikut, digunakan menyelesaikan tugas rumah yang belum dikerjakannya. Istirahat hanya 1 kali selama 30 menit mulai pukul 10.10–10.40 Wita, seharusnya untuk meregangkan otot sebagai syarat pemulihan dari kelelahan tetapi pebelajar lebih banyak duduk di sekitar halaman sekolah dan atau di kelas. Rombongan belajar terbagi atas beberapa kelompok petugas piket, setiap pukul 06.30 Wita harus sudah berada di sekolah. Membersihkan halaman sekolah dan bagian interior pembelajaran, membersihkan papan tulis. Setiap pebelajar meletakkan tas sekolah di atas meja belajar atau di laci dan bahkan digantung pada kursi belajar. Selama kegiatan pembelajaran, tulisan di papan tulis dihapus oleh pembelajar ketika tempat menulis habis. Waktu belajar hanya 40 menit, tersita untuk menghapus tulisan di papan tulis sehingga materi pelajaran yang diprogramkan tidak tuntas. Berdasarkan kepentingan untuk peningkatan kinerja pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung, maka diperlukan aplikasi ergo-desain interior. Diharapkan mutu proses pembelajaran meningkat, agar mutu hasil belajar meningkat sehingga diakui sebagai sekolah bermutu. Walaupun belum berhasil mendapat akredetasi SSN, karena menjadi lebih penting mendapat pengakuan riil dari masyarakat.
2.7.3 Tampilan ergo-desain interior pembelajaran SMPN-3 Abiansemal Badung 2.7.3.1 Desain almari penyimpanan tas sekolah Berpedoman pada teori, tubuh manusia memang didesain untuk digerakkan (Rodahl, 1989) maka pebelajar yang sudah duduk selama 40-80 menit harus berdiri dan berjalan. Secara sistematis dan reguler pebelajar berjalan menuju locker (Gambar 2.9), menyimpan buku pelajaran yang telah selesai dipelajari dan mengambil buku
60
pelajaran berikutnya serta kembali ke tempat duduk. Pengubahan posisi tubuh dan berjalan, sebagai proses peregangan dan pemulihan otot. Relaksasi dan kontraksi otot bergantian secara reguler kurang dari 120 menit, merupakan bagian dari sistem kerja tubuh yang fisiologis agar terhindar dari keluhan otot skeletal. Pada desain interior lama (Gambar 2.8), proses pemulihan otot kurang memperoleh perhatian.
Locker tempat menyimpan tas sekolah
Gambar 2.8 Desain Interior Lama tanpa Locker Penyimpanan Tas Sekolah
Gambar 2.9 Ergo-Desain Interior dengan Locker Penyimpanan Tas Sekolah
Posisi duduk bisa saja diubah dengan posisi berdiri agar bagian tubuh yang tertekuk lurus, tetapi jika tetap dalam posisi statis maka proses pemulihan belum optimal. Optimalisasi pemulihan perlu dilakukan dengan gerakan berjalan, sehingga kesegaran otot terjaga untuk membantu keterlibatan fisik optimal selama aktivitas pembelajaran. Penyimpanan tas sekolah pada locker, untuk menghilangkan rak di bawah meja agar gerakan kaki pebelajar leluasa. Selain itu, di meja belajar hanya ada buku pelajaran yang dipelajari sesuai jadwalnya. Perilaku ini mengubah kebiasaan menyimpan benda yang seharusnya sudah dibuang, untuk menjaga kebersihan kelas sehingga kesehatan terjamin. Mencegah pebelajar membawa bacaan hiburan, karena dibaca sembunyi-sembunyi ketika sedang mengikuti pelajaran karena dihinggapi perasaan bosan.
61
2.7.3.2 Desain kursi belajar Kursi belajar memegang peranan penting, karena pebelajar harus duduk dan selama kegiatan pembelajaran jarang memiliki kesempatan berdiri (Motmans, 2006). Kursi yang digunakan oleh satu orang tidak memerlukan pertimbangan khusus, tetapi diperlukan jika dipakai banyak orang agar nyaman digunakan oleh sebagaian besar pemakainya (Cornell University, 2008). Kursi merupakan sumber kenyamanan saat beraktivitas dalam jangka waktu lama maka dilengkapi sandaran pinggang, sandaran punggung dan sandaran lengan (Nala, 1994; TN076, 2010; OSHA, 2010). Desain kursi yang ideal menyangga tekanan dan tidak memaksa atau menghalangi setiap bagian tubuh digerakkan karena harus disangga saat posisi tegak, berayun atau rebah serta bekerja (Wilkinson, 2010). Kaki kursi seharusnya kokoh, agar diperoleh stabilitas maksimum dan mudah dipindah (Grandjean, 2000; Kemdiknas RI, 2007). Pemakai merasa nyaman duduk, jika ukuran sesuai antropometri. Ketentuan yang dipakai pedoman mendesain kursi belajar adalah (Dul & Weerdmeester, 1993; Nala, 1994; Grandjean, 2000): (1) Tingi dudukan 38-54 cm atau setinggi popliteal; (2) Dudukan miring ke belakang (14-24º dari permukaan lantai) agar tubuh pemakai tidak melorot ke depan; (3) Tepi depan dudukan lengkung (waterfall edge) agar bagian bawah paha terhindar dari tekanan sehingga nyaman untuk duduk lebih dari 60 menit (TWCC, 2010); jarak bagian tepi depan dengan bagian belakang kaki bawah idealnya 7,6 - 8,9 cm (Wilkinson, 2010); panjang 40,6 cm cukup fit untuk banyak orang, bisa juga lebih pendek 5,8 cm dari popliteal sampai buttock (FEOSH, 2010); paha tidak tersangga baik jika ukurannya kurang dari 33 cm dan pemakainya tidak dapat duduk sampai ke belakang jika terlalu panjang (TWCC, 2010); (4) Luas dudukan sesuai ukuran pantat ±40-45 cm melintang
62
dan ±38-42 cm membujur serta permukaan dudukan memberikan peluang bagian punggung bawah bersentuhan dengan sandarannya (OSHA, 2010); dan (5) Sandaran pinggang dan punggung diperlukan agar tubuh bisa relaks, karena tekanan pada otot dan intervetebral disc di tulang belakang dipindahkan. Posisinya miring ke belakang bersudut ±105-110º, permukaan disesuaikan bentuk lengkung vertebrae tubuh agar menopang dengan baik. Ukuran tinggi ±48-50 cm dari dudukan dan lebar ±32-36 cm (Grandjean, 2000; Cornell University, 2008; Wilkinson, 2010; TWCC, 2010). Parcells, dkk., (1999) menetapkan tinggi kursi belajar ±88-95% dari tinggi popliteal, agar pebelajar dapat mengistirahatkan kedua kakinya dengan datar di atas permukaan lantai selama mereka duduk. Kedalaman dudukan ditetapkan ±80-95% dari panjang buttock-popliteal, agar tersedia area ekstra antara bagian belakang lutut dengan bagian depan kursi untuk mengurangi tekanan yang kurang menyenangkan. Tinggi dudukan kursi lebih rendah dari tinggi popliteal dan memiliki tonjolan sebagai penunjang lumbar, tidak nyaman dipakai dan menimbulkan kejengkelan (AagaardHansen dan Storr-Paulsen, 1995; Troussier, dkk., 1999; Knight dan Noyes, 1999). Cekungan tulang punggung alami dan bagian belakang lutut juga sedikit lebih tinggi dari alas duduk agar kenyamanan optimal terasa di punggung bawah (TWCC, 2010; Wilkinson, 2010). Permukaan licin menyebabkan pemakai tergelincir seperti tidak tersedia penyangga tubuh (TWCC, 2010; OSHA, 2010). Bahan harus menjamin penyerapan dan sirkulasi udara, menghindari berat buttocks agar otot pinggul tidak tegang (OSHA, 2010). Sandaran lengan sebaiknya diatur agar tidak menekan saraf di lengan saat pemakai melakukan berbagai gerakan, sehingga diperlukan: (1) Posisi di bawah permukaan tinggi siku; dan (2) Ukuran pendek, permukaan cekung serta sesuai tinggi siku saat relaksasi di samping tubuh agar permukaan kerja terjangkau (TWCC,
63
2010; OSHA, 2010; Wilkinson, 2010). Posisi paling nyaman jika menyangga seluruh lengan bawah, tanpa mengangkat bahu (TWCC, 2010). Posisi yang rendah cenderung membiarkan pemakai bersandar dan melorot ke satu sisinya, menyebabkan punggung bawah tegang dan menimbulkan rasa nyeri bahkan sakit (OSHA, 2010). Sandaran lengan
44 cm 40 cm 44 cm 45 cm
Gambar 2.10 Kursi Belajar pada Desain Interior Lama
42 cm
15 cm 40 cm
Gambar 2.11 Kursi Belajar pada ErgoDesain Interior
Desain kursi ergo-desain interior pembelajaran SMPN-3 Abiansemal Badung, memiliki spesifikasi sebagai berikut.
1) Tinggi bagian depan dan belakang dudukan 40 dan 37 cm. Lebar dan kedalaman dudukan 40-42 cm, tinggi sandaran lengan 15 cm (bagian depan) dan lebar 8 cm. Total tinggi kursi 85 cm, sandaran punggung bersudut 110º dan terbuat dari 2 buah papan yang terpisah untuk rongga udara. Warna kursi kuning terang untuk mewujudkan ruangan yang terang, bersih dan ringan (Gambar 2.11). Model kursi desain interior lama, seperti ditampilkan pada Gambar 2.10. 2) Bagian tepi dan sudut berbentuk lengkung dan tumpul, agar saraf dan otot serta pembuluh darah yang ada di bawah permukaan kulit terhindar dari tekanan karena dapat menimbulkan gangguan serta keluhan. 2.7.3.3 Desain meja belajar Meja belajar adalah perlengkapan belajar yang dipakai sebagai landasan, pada saat mengikuti pembelajaran. Bentuk mendukung posisi bahu yang fisiologis, ketika
64
pebelajar menaruh atau memakai tangannya mengerjakan sesuatu di atas meja. Jika meja belajar terlalu tinggi, permukaan bahu berada pada posisi lebih tinggi dari syarat fisiologis. Jika terlalu rendah, posisi tubuh membungkuk sehingga menyebabkan otot pinggang atau punggung dan leher serta bahu kontraksi. Jika posisi ini bertahan lama, menimbulkan rasa sakit yang muncul akibat akumulasi asam laktat yang tersimpan dalam otot tidak berhasil didaur ulang menjadi energi untuk disalurkan ke bagian organ tubuh yang membutuhkannya. Kontraksi otot leher, bahu dan pinggang diatasi dengan tinggi meja belajar sesuai antropometri pemakai. Aktivitas membaca dan menulis dalam posisi duduk, yang didominasi oleh pemakaian organ mata, lengan serta tangan direkomendasi pada ketinggian 0-5 cm di atas tinggi siku (Dul dan Weerdmeester, 1993). Parcells, dkk., (1999) menetapkan tinggi maksimum meja belajar, sesuai dengan posisi fleksi bahu maksimum sekitar 25º dan abduksi bahu maksimum sekitar 20º. Permukaan kerja minimal 240 m2 (lebar 40,6 cm), tidak menyilaukan, di bawahnya tersedia ruang kaki (leg room). Kedalaman minimum leg room 38,1 cm pada batas lutut, 59,7 cm pada batas jari kaki serta lebar minimum lutut 50,8 cm (TWCC, 2010; OSHA, 2010). Meja belajar ergo-desain interior berisi fasilitas tempat buku dan alat tulis (Gambar 2.13), secara sistematis dan reguler terjadi pergerakan tubuh pebelajar saat duduk mengikuti pembelajaran selama 40-80 menit. Pergerakan tubuh merupakan perwujudan sikap tubuh dinamis, lebih baik daripada sikap tubuh statis (Grandjean, 2000). Bagian tepi dan sudutnya didesain lengkung serta tumpul, untuk mencegah gangguan pada struktur fungsional di bawah permukaan kulit yang terdiri atas: otot, saraf dan pembuluh darah bahkan tulang (Guyton dan Hall, 2008). Pada Gambar 2.12, secara lengkap ditampilkan model meja belajar pada desain interior lama.
65 70 cm
Rak tempat tas
74 cm
65 cm
55 cm
50 cm
69 cm
Permukaan datar tanpa lobang tempat buku dan alat tulis
Tanpa Rak
Lobang tempat buku dan alat tulis
Permukaan miring
Gambar 2.12 Meja Belajar pada Desain Interior Lama
Gambar 2.13 Meja Belajar pada Ergo Desain Interior
2.7.3.4 Formasi duduk Formasi duduk pebelajar harus berorientasi ke papan tulis dan pembelajar yang mengajar di depan kelas, agar seluruh informasi yang harus didengar dan dilihat bisa dimengerti sepenuhnya. Formasi duduk harus menghindari pandangan mata ke arah sumber cahaya datang, agar tidak mengurangi kejelasan pandangan pada objek yang harus dilihat karena faktor kesilauan. Formasi duduk menampilkan suasana kelas yang rapi, tertib dan teratur untuk mendukung konsentrasi belajar yang dibutuhkan pada setiap kegiatan pembelajaran. Formasi duduk menyediakan jalur sirkulasi yang nyaman, aman, efisien agar setiap pebelajar mudah dan leluasa masuk menuju atau ke luar dari tempat duduk. Formasi duduk yang menghalangi setiap pebelajar melakukan sirkulasi, tidak semata-mata mengakibatkan rasa kurang nyaman saja tetapi juga membuang waktu belajar yang jumlahnya terbatas serta mengganggu konsentrasi belajar. Menghilangkan perasaan kurang senang, karena perilaku naik ke atas kursi atau meja belajar temannya.
66
Berhubung pebelajar dalam 1 kelas berjumlah 43 orang, padahal ukuran kelas 8.00X8.00 cm maka formasi duduk diatur -2-2-1-2-2-. Setiap pebelajar memiliki area sirkulasi selebar 35,8cm, sehingga merasa leluasa walaupun berjalan miring (Gambar 2.15). Pada desain interior lama (Gambar 2.14), tidak semua pebelajar memiliki jalur sirkulasi. Formasi duduk untuk mengurangi kesan kepadatan kelas, walaupun jumlah pebelajar sama. Anderson (2009) menyatakan, pembelajar di Minnesota AS meyakini bahwa pebelajar dapat belajar dengan cara lebih baik jika bebas bergerak di dalam kelasnya. Kelas jenis ini disebut ’activity-permissive-classroom’, yang menjadi model pada semua sekolah di Distrik Carolina Utara sampai California.
Gambar 2.14 Formasi Duduk pada Desain Interior Lama
Gambar 2.15 Formasi duduk pada Ergo Desain-Interior
2.7.3.5 Penataan dinding depan dan desain papan tulis Pada desain interior lama (Gambar 2.16), dinding depan dipenuhi sejumlah media informasi dan komunikasi. Tersedia hanya 1 buah papan tulis, waktu belajar terbuang untuk menghapus tulisan jika papan sudah penuh. Pada ergo-desain interior (Gambar 2.17), media informasi dan komunikasi tertutupi oleh papan tulis sepanjang dinding. Waktu belajar efektif, karena keterangan pembelajar pada papan tulis bisa dihapus setelah pelajaran usai. Salah satu papan tulis posisinya permanen, 2 buah
67
papan tulis lainnya dapat digeser karena di bagian belakangnya terpasang media informasi yang difungsikan sebelum ataupun setelah pelajaran usai. Penutupan papan informasi selama pelajaran berlangsung, untuk mengurangi jumlah objek visual yang dipandang karena dapat mengakibatkan kelelahan sinaps (Sherwood, 2001; Guyton dan Hall, 2008) sehingga konsentrasi tidak terfokus pada materi pelajaran.
Gambar 2.16 Penataan Dinding Depan pada Desain Interior Lama
Gambar 2.17 Penataan Dinding Depan pada Ergo-Desain Interior
Tinggi posisi papan tulis berpedoman pada tinggi mata pebelajar dalam posisi duduk, dengan beberapa persyaratan seperti (Woodson, dkk., 1992): (a) Bahan tidak mengkilap; (b) Permukaan berwarna terang; (c) Ukuran lebar sesuai rotasi maksimum mata 5º dan 30º di atas bidang horisontal, jarak antara papan tulis dengan kursi pebelajar bagian tengah pada baris paling belakang; (d) Ukuran panjang dihitung memakai rumus A = K x D, yang artinya A = panjang papan tulis dan K = konstanta (0,33) serta D = jarak antara papan tulis dengan baris kursi paling belakang. Pemasangan papan tulis di sepanjang dinding yang ada, diprioritaskan untuk pebelajar yang terlambat menyalin tulisan sehingga tidak mengganggu teman yang berkonsentrasi mengikuti pembelajaran. Berbagai media informasi dan komunikasi yang dipasang pada dinding depan yaitu: papan absensi, struktur kelas, administrasi
68
kelas, daftar mata pelajaran dan daftar piket dengan tampilan warna warni tetapi dibutuhkan padahal berpotensi mengalihkan konsentrasi maka perlu ditutupi. Selain itu, pada dinding lainnya tidak tersedia tempat untuk memasang seluruh jenis media informasi dan komunikasi vital yang harus ada di setiap kelas.
2.7.3.6 Penataan aksesoris Pemasangan aksesoris untuk memperindah tampilan ruang, membangun rasa memiliki yang memuaskan. Perlu jenis aksesoris untuk peningkatan motivasi belajar, agar kesungguhan dan kedisiplinan pebelajar mengikuti permbelajaran meningkat. Jenis aksesoris yang dibutuhkan, pada umumnya berkaitan dengan nilai kependidikan kepahlawanan serta kemanusiaan. Penataan aksesoris tidak mengganggu konsentrasi belajar, maka ditata terfokus di dinding belakang (Gambar 2.19). Pada desain interior lama, seluruh dinding kelas dipasangi hiasan dengan formasi kurang teratur sehingga terkesan ramai (Gambar 2.18).
Gambar 2.18 Penataan Hiasan pada Desain Interior Lama
Gambar 2.19 Penataan Hiasan pada Ergo-Desain Interior
2.7.3.7 Pewarnaan ergo desain interior Warna bagian kelas yang perlu mendapat perhatian adalah: meja dan kursi belajar, locker, aksesoris, lantai, dinding dan plafon. Jenis warna yang dipakai harus mendukung intensitas dan pemerataan cahaya pada interior, tetapi tidak menyilaukan.
69
Objek yang dipandang tetap jelas, mata tidak mudah lelah karena mengakibatkan keterlibatan fisik dan mental serta unsur dinamis pebelajar menjadi kurang optimal. Warna kemerahan untuk perwujudan suasana agar pebelajar bekerja akurat, maka jenis warna krem kemerahan mendominasi perlengkapan pada ergo desain-interior. Warna kemerahan mengarah pada sifat hati-hati, agar hasil akurat (Anderson, 2009).
Perlengkapan interior memakai warna terang tetapi bagian dinding warna krem sehingga cahaya matahari tidak terserap, juga untuk membangkitkan gairah pebelajar dalam pembelajaran. Warna lantai, dinding dan plafon serta papan tulis sudah sesuai syarat. Warna meja, kursi, pintu dan kosen jendela berkesan kuning terang kemerahan (Gambar 2.21). Pada desain interior lama, dominan memakai warna coklat (Gambar 2.20) sehingga suasana interior agak gelap.
Gambar 2.20 Warna pada Desain Interior Lama
Gambar 2.21 Warna pada ErgoDesain Interior
2.7.3.8 Desain lingkungan fisik 1) Desain pencahayaan Cahaya mempengaruhi kemampuan manusia melihat, mengenal ruangan, memudahkan gerakan dan caranya merasakan sesuatu (Kearney, 1998). Berdasarkan sumber cahaya, ada jenis cahaya alami dan buatan. Cahaya alami adalah matahari, bulan, bintang yang memiliki variasi kekuatan tergantung waktu serta musim dan
70
lokasi. Cahaya buatan dihasilkan oleh elemen rekayasa manusia, dengan kualitas dan kuantitas cahaya berbeda karena tergantung jenisnya (Ching, 1996). Intensitas cahaya yang kurang sesuai, menyebabkan gangguan penglihatan dan keluhan mata. Intensitas cahaya berlebihan, menimbulkan silau dan pantulan atau bayangan (Amstrong, 1992). Intensitas cahaya yang sesuai jenis pekerjaan, bisa mengurangi kelelahan dan keluhan muskuloskeletal. Memanipulasi bentuk, tekstur, warna cahaya dan jenis pekerjaan untuk menimbulkan perbedaan serta tanggapan terhadap keinginan manusia (Kearney, 1998). Pencahayaan umum (ambient lighting), menerangi ruangan secara merata karena membaur (Ching, 1996). Pencahayaan lokal (task lighting) menerangi permukaan kerja, meningkatkan daya tarik dan nilai suatu objek (TNO76, 2010). Kriteria yang umum dipakai menentukan keberhasilan penataan pencahayaan ruangan pembelajaran adalah, kuantitas peningkatan produktivitas dan kepuasan serta kenyamanan yang diperoleh pemakainya. Tidak tergantung pada nilai keindahan tata letak lampu. Jika tidak bisa mendukung keberhasilan penyelesaian pekerjaan sesuai kriterianya maka desain pencahayaan dianggap gagal (Ankrum, 2010; FEOSH, 2010). Pemakaian penerangan alami harus memperhatikan beberapa hal (Manuaba, 1998b): (1) luas jendela diupayakan 1/5 luas lantai; (2) lantai dan plafon berwarna lembut atau putih agar membantu refleksi sinar serta mengurangi kontras. Intensitas pencahayaan interior di SMPN-3 Abiansemal, setelah diukur pada 5 titik mendapatkan angka bervariasi mulai dari 65–199 lux yang diukur pukul 11.0012.00 Wita. Intensitas cahaya umum yang sesuai untuk jenis pekerjaan pada tingkat ketelitian sedang seperti belajar adalah 240-700 lux (Manuaba, 1998a; McCormick & Sanders, 1982; Amstrong, 1992; Grandjean, 2000). Desain cahaya cenderung terfokus pada kesesuaian dengan spesifikasi pekerjaan, maka direkomendasikan 200-500 lux
71
karena fungsi utama mendukung keberhasilan pelaksanaan pembelajaran. Intensitas pencahayaan pada interior perlu diperbaiki, tetapi harus tetap hemat energi. Melalui diskusi terbuka dengan pengelola sekolah, komite, Disdikporkab Badung dan yang lain maka disepakati memakai genteng transparan serta modifikasi plafon transparan (Gambar 2.23). Jumlah lampu dari 4 buah ditambah menjadi 6 buah, tetapi masingmasing berkekuatan 9 Watt. Plafon tidak tembus cahaya dan saluran udara
Saluran udara ke luar pd bagian plafon
Plafon transparan yg ditembus sinar matahari
Gambar 2.22 Desain Plafon dan Tata Gambar 2.23 Desain Plafon dan Tata Lampu Lampu pada Desain pada Ergo-Desain Interior Interior Lasma
Jenis lampu neon (TL) memberi penerangan sebesar 75% dan radiasi panas hanya 25%, tetapi memiliki efek getaran. Terjadi efek getaran jika hanya memakai 1 buah lampu TL, tetapi dapat diatasi dengan memasang TL berpola T atau TL ganda sehingga efek getaran hilang. Tujuan yang lebih penting adalah mengurangi penyebab kelelahan otot mata, agar keterlibatan faktor fisik optimal karena otot mata lebih relaks saat belajar pada ruangan dengan intensitas cahaya memadai (Sutajaya, 2006). 2) Gerakan angin Gerakan angin pada interior merupakan salah satu syarat perwujudan kondisi ruangan ergonomis, karena mengeluarkan CO2 akibat proses pernafasan pemakainya. Perlu disediakan lobang memadai, agar udara segar lebih banyak di interior. Jika
72
kandungan CO2 di dalam darah melebihi batas normal maka, pusat respirasi segera menstimuli terjadi pernafasan cepat dan dalam (Sherwood, 2001; Guyton dan Hall, 2008). Timbul gangguan konsentrasi dalam pembelajaran. Gerakan udara, memberi pengaruh pada suhu yang dirasakan seseorang. Jika kurang dari 0,20 m/d, temperatur interior terganggu. Gerakan udara lambat mengakibatkan pertukaran CO2 dengan O2 terhambat, suhu ruang menjadi panas. jika lebih dari 0,20 m/d, mengurangi kesadaran kehilangan panas tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi (Manuaba, 1992b). Interior yang panas menimbulkan gangguan fisiologis yaitu peningkatan: (1) rasa lelah diikuti hilangnya efisiensi kerja fisik dan mental; (2) denyut jantung; (3) tekanan darah; (4) suhu inti tubuh; (5) aliran darah menuju permukaan kulit; (6) produksi keringat; (7) aktivitas alat pencernaan menurun (Manuaba, 1998b). Gerakan udara merupakan salah satu solusi mengurangi panas ruangan, termasuk menurunkan kelembaban relatifnya. Jendela kaca yang tidak bisa dibuka
Gambar 2.24 Jendela Kaca Mati pada Desain Interior lama
Jendela kaca yang sudah bisa dibuka
Gambar 2.25 Jendela Kaca Bisa Dibuka pada Ergo-Desain Interior
Agar gerakan udara mencapai 0,20 m/d, 4 buah jendela kaca mati (Gambar 2.24) dijadikan jendela dapat dibuka (Gambar 2.25). Modifikasi pada plafon untuk desain pencahayaan, juga untuk menambah gerakan udara agar lebih cepat ke luar dari interior. Pada desain plafon (Gambar 2.23), ditampilkan dimensi penurunan agar
73
tersedia celah sirkulasi udara. Bidang yang digantung, diatur untuk menambah nilai estetika ergo-desain interior pembelajaran agar menjadi menarik. 3) Suhu dan kelembaban relatif Mikroklimat interior dipengaruhi oleh suhu udara, suhu permukaan, gerakan angin, kelembaban relaitf dan kualitas udara. Rerata suhu udara dan suhu permukaan, merupakan suhu yang dirasakan manusia. Pedoman yang dipakai untuk menentukan suhu nyaman, perbedaan rerata suhu permukaan tidak lebih dari 2-3°C di atas atau di bawah suhu udara. Perbedaan suhu interior dan eksterior, tidak lebih dari 4° C. Jika dilewati, diperlukan ruangan transisi untuk adaptasi (Manuaba, 1998a). Mikroklimat di ruangan belajar harus dikendalikan, agar tidak menjadi stressor penyebab strain (Manuaba, 1992a). Suhu udara di interior, diharapkan sekitar 20-24°C pada musim dingin dan 23-26°C pada musim panas (Helander, 1995). Kelembaban relatif interior tidak boleh kurang dari 30% atau 40–60% pada musim panas, sebagai kondisi interior yang nyaman (Manuaba, 1992b; Manuaba, 1998a). Ruangan belajar, direkomendasikan memiliki indeks suhu bola basah (ISBB) antara 27,8-30,6°C (McCormick dan Sanders, 1982). Daerah nyaman orang Indonesia sekitar 22-28°C suhu kering, kelembaban relatif 70-80% dan kecepatan angin tidak lebih dari 0,20 m/d (Manuaba, 1998b). Suhu ruang kurang dari 20°C mengakibatkan badan menggigil dan frekuensi pengeluaran urine meningkat, sehingga mengganggu keseimbangan cairan di dalam tubuh. Suhu panas meningkatkan pengeluaran kringat, vasokontriksi dan vasodilatasi sub kutis. Gangguan keseimbangan elektrolit, dapat menyebabkan potensial aksi dan penghantaran impuls sehingga timbul kelelahan. Pengukuran pada pukul 11.00-12.00 Wita, mendapatkan nilai suhu kering 26°C dan suhu basah 23°C saat matahari tertutup awan. Saat matahari tidak tertutup
74
awan, suhu kering 27°C dan suhu basah 24°C. Perbedaan suhu pada interior dengan eksterior 1°C, kelembaban relatif ruangan 82%, gerakan angin 0,13 m/d. Hal ini disebabkan Kabupaten Badung secara geografis terletak di antara 8°14’20”–9°50’48” Lintang Selatan dan 115°05’00”–115°26’16” Bujur Timur. Suhu udara maksimum 29,7°C–32,8°C terjadi bulan Juli–Nopember. Suhu udara minimum 23,8°C–18,5° C terjadi bulan Januari–Mei (Darmawan, 2006). Berdasarkan konversi suhu kering dan suhu basah pada diagram psikrometri, kelembaban relatif interior pembelajaran di SMPN-3 Abiansemal Badung sebesar 82%. Perlu modifikasi agar gerakan angin lebih cepat tetapi tidak lebih dari 0,20 m/d, sehingga kelembaban relatif berkurang. Modifikasi menghasilkan gerakan angin 0,20 m/d dan kelembaban relatif 66%. 4) Intensitas suara Pendengaran seringkali menimbulkan persepsi menyenangkan dan juga tidak menyenangkan, karena suara dari luar diiterpretasi dengan cara berbeda. Tergantung pendapat sebelumnya dan harapan serta pengalaman seseorang (Nurmianto, 2003). Kebisingan meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, kontriksi pembuluh darah pada kulit, metabolisme, tensi otot dan menurunkan aktivitas alat pencernaan. Bising yang tidak dikehendaki tetapi masih di interior, sumber suara ditempatkan pada arah angin pergi (Manuaba, 1998b; Grandjean, 2000). Berbeda dengan kebisingan yang dikehendaki seperti suara musik sebagai pelembut suasana interior, jelas bermanfaat bagi pebelajar bila tidak mengganggu percakapan dan komunikasi agar kenyamanan belajar meningkat (Manuaba, 1998b). Kebisingan saat pelajaran berlangsung dapat menimbulkan stres, sehingga konsentrasi terganggu dan otot menegang. Kebisingan di ruangan belajar diharapkan
75
tidak lebih dari 55dB, ekuivalen dengan latar belakang suatu percakapan. Paparan kebisingan dapat dikurangi dengan mengatur waktu belajar, peralatan sumber bising ditempatkan pada permukaan lembut dan permukaan dinding interior dilapisi bahan peredam bising (TNO76, 2010; TWCC, 2010). Intensitas suara di kelas tempat penelitian dilaksanakan hanya 55dB, karena berada jauh dari lokasi lalu lintas kendaraan umum, aktivitas dan fasilitas publik serta aktivitas sekelompok manusia yang dilakukan di sekitar sekolah. Dengan demikian, tidak perlu ada perbaikan intensitas suara karena sudah memenuhi syarat. Klasifikasi bising di ruangan kerja, dijabarkan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Klasifikasi Kebisingan di Dalam Ruangan Kerja Tingkat Kebisingan 30 - 40 dB 50 - 60 dB > 60 dB 70 db
Klasifikasi Sangat tenang - tenang Cukup tenang - berisik Berbicara melalui telpon sulit Sangat berisik
(Sumber: Manuaba, 1998a)
2.8 Ergonomi dan Kajian Sosial Budaya Faktor pembeda tampilan desain interior lama dengan ergo-desain interior, kajian ergonomi menjadikan manusia sebagai titik tolak pembahasan terkait dengan nilai sosial budaya lingkungan tempat dilahirkan dan berada saat ini. Unsur budaya bersifat universal dan pasti dimiliki oleh semua kebudayaan di dunia, baik yang hidup pada masyarakat di pedesaan kecil dan terpencil sekalipun apalagi dalam masyarakat perkotaan yang besar dan kompleks. Unsur universal terdiri atas: (1) sistem relegi dan upacara agama; (2) sistem organisasi kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata pencaharian dalam kehidupan; serta (7) sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1987).
76
Pengembangan kebudayaan oleh pendukungnya, secara hakiki dimulai dari pemahaman sebagai bagian ranah kognitif. Diikuti penghayatan, merupakan bagian ranah afektif. Lahir tindakan nyata, ketika menyentuh ranah psikomotorik. Pikiran, sikap dan perilaku manusia adalah refleksi nyata bentuk kebudayaan. Kebudayaan modern menyebabkan pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat berubah. Budaya tradisional selalu mendapat pengaruh dari luar, sehingga mengubah berbagai bidang kehidupan manusia (Nala, 2002). Faktor sosial budaya menjadi relevan dibahas, agar ergo-desain interior meningkatkan kualitas budaya pendidikan dan SDM sehingga berdaya guna dan berhasil guna optimal bagi masyarakat. Aplikasi ergonomi yang diintegrasikan dengan pendekatan teknis, ekonomis, sosio budaya, energi dan lingkungan harus dipilih serta teknologi yang dialihkan tepat guna dan berhasil guna. Pemilihan dilandasi pertimbangan efisiensi, selamat, nyaman dan kesehatan didambakan manusia (Manuaba, 2005a). Tergambar pemikiran 7 unsur kebudayaan universal yang erat terkait dengan 8 komponen ergonomi yaitu: (1) status energi atau nutrisi; (2) pemanfaatan tenaga otot secara maksimal dan efisien; (3) sikap kerja; (4) kondisi lingkungan; (5) kondisi waktu; (6) kondisi sosial; dan (7) kondisi informasi; serta (8) interaksi manusia dengan mesin atau peralatannya. Pembahasan faktor sosial budaya dalam penelitian ergonomi, harus dikaitkan dengan aplikasi ergo-desain interior agar sesuai harapan pengelola dan masyarakat di sekitar SMPN-3 Abiansemal Badung. Aplikasi berjalan lancar dan memperoleh hasil maksimal dengan biaya, waktu serta tenaga lebih efisien sehingga berkelanjutan.
2.9 Ergonomi dan aspek ekonomi Intervensi ergonomi yang sudah banyak dilakukan oleh cukup banyak ahli di berbagai tempat di dunia, menghasilkan cetusan semboyan ’good ergonomic is good
77
economic’ (Hendrick, 1997). Semboyan ergonomi mengindikasikan upaya aplikasi ergonomi bersifat proporsional, agar berhasil memberi keuntungan material walaupun sasaran utama faktor kesehatan dan keselamatan (Wilson dan Corlett, 2005). Secara realistis, pencegahan risiko sudah pasti menghasilkan keuntungan non material dan material. Sangat ironis jika aplikasi ergonomi hanya berhasil membiayai perbaikan, tetapi perubahan yang didambakan tidak terwujud sehingga McLeod (1995) berani memproklamirkan ’ergonomic is for saving and earning money’. Ergonomi menawarkan manfaat lebih berhasil guna, untuk seluruh bidang kehidupan. Dalam rangka efisiensi biaya dan peningkatan produktivitas yang terkait dengan keselamatan, kesehatan, kenyamanan selama memakai produk dan peralatan sehingga meningkatkan kualitas hidup manusianya (Hendrick, 2002). Semua aspek seharusnya diperhitungkan secara ekonomis, tetapi tidak berarti upaya efisiensi boleh mengabaikan keselamatan dan kesehatan manusia. Pertimbangan teknis, ekonomis tidak melupakan aspek sosial budaya yang dimiliki pemakai teknologi. Lebih penting lagi, semua perbaikan seharusnya dilakukan agar hemat energi dan ramah lingkungan (Manuaba, 2005a). Return on invesment harus terlihat transfaran bagi masyarakat, agar tidak terpendam keraguan dalam setiap aplikasi ergonomi (Wilson dan Corlett, 2005).