ISBN :978-602-17187-2-8
PEMBELAJARAN MENYIMPULKAN ISI CERITA DENGAN METODE THINK PAIRE SHARE DI KELAS V SDN 1 POASIA KENDARI Hendriaty Silondae,S.Pd Guru SD Negeri 17 Baruga Kendari e-mail
[email protected] Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran membaca untuk menyimpulkan isi cerita dengan menggunakan metode think pair share pada siswa kelas V SD Negeri 1 Poasia Kota Kendari. Pembelajaran menyimpulakan isi cerita pada siswa kelas V SD Negeri 1 Poasia Kendari dilakukan berbasis lesson study. Subjek penelitian adalah siswa kelas V SD Negeri 1 Poasia Kendaris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran menyimpulkan isi cerita dengan metode think pair share dapat mengaktifkan siswa belajar, membentuk suasana belajar yang menyenangkan,membentuk interaksi yang kondusif antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru , siswa lebih berani mengemukakan pendapatnya dan menghargai pendapat temannya. Kata kunci: Think Pair Share, membaca, menyimpulkan cerita
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan diri seseorang pada tiga aspek, yakni pandangan hidup, sikap hidup, dan ketrampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah, dan keluarga (Zamroni,2000:81). Pendidikan sangat berperan dalam mendidik anak untuk mencapai cita-cita yang mereka inginkan. Guru dituntut kualitasnya harus bagus dan mempunyai pemikiran yang kretif. Salah satu Ketrampilan dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah membaca. Membaca adalah keterampilan berbahasa reseptif. Membaca banyak manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari. Karenanya, keterampilan membaca adalah salah satu keterampilan berbahasa yang strategis dan mutlak dikuasai oleh siswa SD setelah mampu menyimak dan berbicara Khalik (2009:22). Melalui pembelajaran membaca siswa dapat menyimpulkan isi cerita , hal ini sejalan dengan pendapat Syafi‘ie (dalam Nisbah, 2013) yang mengemukakan bahwa kemampuan membaca dan ketrampilan baca tulis, khususnya ketrampilan membaca, harus segera dikuasai siswa sejak SD karena kemampuan dan ketrampilan ini secara langsung berkaitan dengan seluruh proses kegiatan belajar di sekolah. Ketrampilan mengikuti mata pelajaran dan meningkatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam membaca. Pentingnya kemampuan dan ketrampilan membaca pada setiap orang di ungkapkan oleh Bum dan Rosess (Khalik 2002:22). Dalam pembelajaran membaca untuk menyimpulkan isi cerita di SD , guru lebih dominan sekedar memberikan teks bacaan kemudian memberi tugas mencatat kesimpulan tanpa memberikan bimbingan terlebih dahulu, diskusi dengan temannya, cara demikian membuat siswa menjadi pasif, dan menjadi tidak bermakna. Setelah merenungkan secara mendalam pada beberapa hal yang sering di lakukan guru di kelas,peneliti berkesimpulan bahwa selama ini pembelajaran yang dilakukan masih kurang memberikan pengalaman belajar yang berarti bagi peserta didik. Pembelajaran yang dilakukan masih lebih berpusat pada guru. Pembelajaran membaca untuk menyimpulkan isi cerita dapat dilaksanakan dengan menggunakan metode think pair share. Metode think pair share adalah satu metode yang membantu siswa memfokuskan pikiran dan perilaku pada masalah yang dihadapi. Metode ini dapat meningkatkan partisipasi dan informasi yang dapat di ingat siswa. Tulisan ini dirancang menggunakan desain deskriptif kualitatif. Dalam hal ini guru mendeskripsikan pembelajaran membaca untuk menyimpulkan isi cerita dengan fokus pada tahap perencanaan pembelajaran (PLAN), pelaksanaan pembelajaran (DO), dan refleksi pembelajaran (SEE). Dilaksanakan diKelas V SD Negeri 1 Poasia Kendari diuraikan sebagai berikut.
606
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Perencanaan Pembelajaran (PLAN) Setelah melalui beberapa tahap TOT sebanyak dua kali pada tahun 2015, penulis sebagai trainer menjadi guru model kegiatan on going dua pada hari senin tanggal 7 september 2015 di kelas V SD Negeri 1 Poasia Kendari. Pada tahap persiapan pembelajaran guru menyusun RPP beserta kelengkapannya. Kelengkapan yang dimaksud meliputi materi ajar sesuai dengan kompetensi dasar menyimpulkan isi cerita. Penulis juga memilih cerita anak yang sesuai dengan perkembangan siswa kelas V SD. Ditetapkan cerita berjudul Malin Kundang(Kumpulan Cerita Rakyat,2013) sebagai cerita yang akan dibaca dan disimpulkan oleh siswa. . Penyiapan perangkat pembelajaran ini dilakukan berkolaborasi dengan teman trainer, khususnya dalam menentukan materi ajar. Rambu-rambu penilaian juga disiapkan agar penilaian dapat dilakukan secara objektif. Pelaksanaan Pembelajaran (DO) Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembelajaran membaca untuk menyimpulkan isi cerita dengan model pembelajaran Think Pair Share terdiri atas kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Kegiatan Awal Kegiatan awal dilakukan dengan salam, mengecek kehadiran siswa, dan berdoa. Apersepsi dilakukan dengan bertanya jawab bersama siswa untuk hal yang berkaitan dengan menyimpulkan isi cerita. Guru : ―apakah kalian senang membaca?‖ Siswa : ―(semua siswa menjawab) Ya‖ Guru : ―bacaan apa yang paling senang atau kalian sukai?‖ Siswa:. ―buku cerita ,Bu‖ Guru : ―Apa isi ceritanya?‖ Siswa : ―Bawang merah putih‖ Guru : ―Apa isi ceritanya?‖ Siswa: ―(salah seorang siswa menjawab) tentang seorang anak yang baik dan jahat, Bu‖ Siswa : ―(salah seorang siswa menjawab) tentang dua orang anak yang bersaudara yang satunya baik hati Dan yang satunya hatinya jahat,Bu‖ Siswa:‖(salah seorang siswa menjawab ) tentang ibu tiri yang jahat kepada anak tirinya,Bu‖ Guru : ―Baiklah, jawabannya banyak sekali dan benar semua. Sekarang, berdasarkan jawaban kalian,Tariklah satu kesimpulan dari cerita Bawang Merah Bawang Putih‖ (jawaban siswa atas perintah guru tersebut dijawab dengan berbagai „kesimpulan‟ yang dianggap benar oleh siswa). Melalui apersepsi seperti di atas,secara tidak langsung guru telah memperkenalkan konsep cerita dan konsep kesimpulan kepada siswa. Dan karena cerita Bawang Merah Bawang Putih merupakan cerita yang sudah dikenal baik oleh siswa maka mereka pun antusias menyambutnya. Antusiasme ini menjadi modal awal bagi semangat siswa dalam belajar menyimpulkan isi cerita. Kegiatan Inti Kegiatan inti diawali dengan membagikan cerita Malin Kundang kepada seluruh siswa. Siswa diminta membaca cerita tersebut dengan cermat kemudian menuliskan pokok-pokok ceritanya. Aktivitas ini merupakan tahap Think, yaitu siswa memahami sendiri isi cerita yang dibacanya dan memikirkan pokok-pokok isi cerita tersebut. Pada tahap ini tampak beberapa siswa tidak konsentrasi mengerjakan tugas guru. Mereka hanya memainkan polpen, mengobrol dengan temannya, atau tiduran di bangku, Ada juga yang sibuk mengganggu teman yang sedang membaca. Namun sebagian besar siswa dapat mengerjakan tugas guru dengan sikap yang baik. Meski guru telah memintanya untuk memikirkan sendiri, beberapa siswa mendiskusikannya dengan teman sebangku. Pada tahap Pair siswa berpasangan dengan teman sebangku. Mereka saling mencocokkan pemikiran tentang pokok-pokok isi cerita dan merevisinya berdasarkan kesepakatan. Masih dalam tahap Pair, guru menjelaskan tentang langkah-langkah menyimpulkan isi cerita. Siswa tampak memperhatikan dengan baik penjelasan guru, tapi ada beberapa siswa yang masih bermain sendiri. Sepasang siswa terpaksa ditukar pasangannya karena sejak awal pembelajaran mereka tidak bisa konsentrasi belajar. Setelah itu, secara berpasangan siswa diminta menyimpulkan isi cerita ke dalam beberapa kalimat. Proses 607
ISBN :978-602-17187-2-8
menyimpulkan cerita berlangsung di bawah bimbingan guru. Hasil kerja siswa selanjutnya nanti di diskusikan didepan kelas. Dalam hal ini guru berkeliling dari satu bangku ke bangku yang lain. Pada tahap Share perwakilan dari masing-masing pasangan siswa membacakan kesimpulannya di hadapan pasangan - pasangan siswa yang lain. Selanjutnya pasangan yang lain memberi penilaian atas kesimpulan yang disharekan tersebut. Ketika ada kesimpulan yang benar, serentak siswa memberi penilaian ―Benar...‖. Kalau kesimpulan yang diberikan salah, serentak juga siswa memberi penilaian ―Salah...‖, dan sempat ada yang siswa yang mengejek jawaban temannya.Namun, tampak bahwa jawaban yang diberikan siswa secara umum relatif sama. Tampak beberapa kelompok mengganti jawaban saat kelompok lain mempresentasikan jawabannya. Sebagian besar dari mereka mengikuti jawaban yang di anggap ―benar‖ oleh teman-teman mereka. Di akhir kegiatan inti terlebih dulu guru membimbing siswa untuk menemukan pesan moral yang bisa dipetik dari cerita berjudul Malin Kundang. Guru juga menegaskan bahwa cerita berjudul Malin Kundang merupakan cerita rakyat Sumatrea Barat yang sangat terkenal. Sekilas guru juga menjelaskan pentingnya mengetahui cerita rakyat sebagai kekayaan budaya daerah Nusantara. Selanjutnya, guru memberikan penguatan atas pemahaman siswa. Guru menegaskan langkah-langkah menyimpulkan isi cerita ke dalam beberapa kalimat dengan cara meminta siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan schafoldingnya. Jawaban siswa sekaligus dimaksudkan untuk memastikan guru bahwa siswa telah paham terhadap materi ini. Pada tahap pelaksanaan ini, penulis sebagai model dan teman sejawat menjadi observer. Observer , baik dari rekan penulis maupun dari guru-guru yang berasal dari sekolah tempat berlangsungnya on going. Fokus pelaksanaan diarahkan pada aktivitas belajar, baik interaksi antar siswa , interaksi siswa dengan guru. Lembar pengamatan berpedoman pada prosedur dan instrument pengamatan yang telah di sepakati pada tahap plan. Kegiatan Akhir Dalam kegiatan akhir, siswa dan guru menyimpulkan materi bersama-sama. Hal ini untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap materi menyimpulkan isi cerita. evaluasi pembelajaran dilakukan dengan cara menilai hasil diskusi siswa pada tahap Pair yang disampaikan secara lisan pada tahap Share. Selanjutnya guru memberi tugas sebagai tindak lanjut kepada siswa berupa menyimpulkan isi cerita. Guru menyediakan 5 cerita yang boleh dipilih siswa secara bebas minimal 1 cerita. Siswa diperkenankan memilih semua cerita asalkan mereka mau membaca dan menyimpulkan isi ceritanya ke dalam beberapa kalimat. Refleksi (SEE) Setelah selesai proses pembelajaran yang dilakukan ,diadakan refleksi bersama tim lesson study , dimana guru model dan para observer berkumpul untuk menyampaikan hasil pengamatan masing-masing. Refleksi di pandu oleh seorang moderator. Adapun yang bertindak sebagai moderator saat itu adalah bapak Ahit Hidayat dosen expert dari Universitas Haluoleo yang mengawali kegiatan dengan memperkenalkan kelompok lesson study yang di lnjutkan dengan member ucapan surprise pada guru model. Selanjutnya moderator memberikan kesempatan kepada guru model untuk menyampaikan perasaan ketika melaksanakan proses pembelajaran di kelas V dengan materi menyimpulkan isi cerita dengan menggunakan metode think pair share . Guru model merasa senang sebab siswa pada saat proses pembelajaran sangat antusias, aktif dan bersemangat apalagi saat di beri pasangan dengan temannya untuk mendiskusikan cerita yang di bagikan kepada mereka. Penggunaan metode think pair share pada pembelajaran menyimpulkan isi cerita menjadikan suasana pembelajaran aktif,tidak membosankan untuk siswa. Walaupun masih ada 2 siswa yang senang mengganggu temannya,tetapi lebih banyak yang aktif mengikuti proses pembelajaran. Selanjutnya para observer diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil pengamatannya mengenai hal-hal yang menyangkut interaksi siswa selama kegiatan proses belajar mengajar berlangsung yang sudah disusun dalam kegiatan perencanaan. Dari keseluruhan komentar yang disampaikan para observer tersebut dijadikan bahan untuk perbaikan pada pembelajaran berikutnya. Semua komentar atau pendapat yang disampaikan oleh observer akan didiskusikan dengan expert dari Universitas Negeri Malang. Keseluruhan observer menyatakan lesson study perlu di terapkan di sekolah-sekolah.
608
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan refleksi yang di temukan oleh observer, secara umum siswa sudah siap mengikuti pembelajaran menyimpulkan isi cerita sejak awal pelajaran. Hal ini dapat dilihat dari adanya interaksi antar siswa dengan guru , dan antara siswa dengan siswa sejak di awal pembelajaran. Menurut observer siswa sangat bersemangat dan antusias menerima pelajaran yang diberikan guru model, guru berhasil mengondisikan siswa sehingga mereka mengikuti pembelajaran. Stimulus yang diberikan guru berupa bawang merah bawang putih telah mampu mengalihkan perhatian sebagian besar siswa pada materi yang disajikan. Mereka saling bersaing mengemukakan pendapat mereka pada cerita bawang merah bawang putih bertindak seolah-olah dialah yang paling tahu tentang cerita tersebut. Metode pembelajaran Think Pair Share adalah satu strategi yang membantu siswa memfokuskan pikiran dan perilaku pada masalah yang dihadapi. Metode Think Pair Share dapat meningkatkan partisipasi dan informasi yang dapat diingat siswa. Dalam Think Pair Share siswa dapat bertukar pikiran dengan pasangannya dan teman lain untuk memikirkan jawaban atau tugas dari guru. Think Pair Share mencakup tiga tahapan kegiatan utama berikut. (1) Tahap Thinking (berpikir), yaitu saat guru mengajukan suatu dikaitkan dengan materi pembelajaran, kemudian meminta siswa menggunakan waktu untuk memikirkan sendiri jawabannya. (2) Tahap Pair (berpasangan), yaitu saat guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang mereka peroleh dari guru untuk menyatukan pendapat dengan menjawab pertanyaan atau mengatasi masalah. (3) Tahap Share (berbagi), yaitu saat guru meminta pasangan- pasangan tersebut berbagi informasi dengan kelompok pasangan keseluruhan kelas. Share ini dilanjutkan sampai sebagian besar pasangan mendapat hasil dari yang didiskusikan untuk dilaporkan atau dipresentasikan (Andajani & Pratiwi,2013). Hal ini dapat di lihat Pada kegiatan inti pembelajaran, guru mengganti cerita Bawang Merah Bawang Putih, ,dengan cerita Malin Kundang. Cerita ini merupakan cerita rakyat yang sangat popular. Pemilihan cerita tersebut dikarenakan ibu adalah orang tua yang harus di hormati,disayangi,jangan menjadi seorang yang durhaka kepada orang tua. Dengan siswa membaca cerita tersebut dan melalui metode think pair share maka pembelajaran menjadi lebih bermakna. Hal ini sejalan dengan pendapat Subanji (2013) yang mengemukakan bahwa pembelajaran akan lebih bermakna apabila siswa mengenal secara langsung hal yang dipelajarinya. Isi cerita Malin Kundang dengan nilai edukatif bagi siswa. Terdapat banyak pesan moral yang bisa dipelajari siswa melalui cerita ini. Berdasarkan hasil refleksi pembelajaran maka dapat di katakan pemilihan penggunaan metode Think Pair Share dalam pembelajaran menyimpulkan isi cerita di kelas V SD negeri 1 POasia Kendari ini dinilai sangat tepat. Dibandingkan jika pembelajaran dilakukan secara individual, tidak melalui aktivitas kelompok dalam bentuk apapun, pembelajaran dengan metode Think Pair Share ini memberikan lebih banyak manfaat bagi siswa. Langkah pertama, Think, telah memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar secara mandiri dalam memahami isi cerita Malin Kundang serta menemukan pokok-pokok isi ceritanya. Sebagian besar siswa mampu melampaui tahap ini dengan baik. Namun, beberapa siswa tampak tidak bisa belajar mandiri secara maksimal. Karenanya, langkah Pair menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi lemahnya belajar mandiri pada tahap Think. Selama melaksanakan tahap Think ini siswa belajar karakter tanggung jawab karena siswa dituntut mampu menyelesaikan tugas yang diberikan gurudengan sebaik mungkin dan tepat waktu. Pada tahap Pair siswa dikondisikan untuk mencocokkan dan mendiskusikan hasil pemikirannya pada tahap Think. Tahap ini sekaligus sebagai tahap untuk mengasah ketajaman analisis siswa terhadap isi cerita. Siswa diberi kesempatan untuk beradu argumentasi bersama pasangannya sehingga diperoleh satu jawaban yang menjadi kesepakatan mereka, yaitu berupa kesimpulan isi cerita. Pada tahap ini, secara tanpa disadari siswa juga telah belajar karakter berani, tanggung jawab, tenggang rasa, dan toleransi. Siswa belajar berani mengemukakan pendapat, siswa belajar bertanggung jawab terhadap pendapatnya dengan selalu memberikan argumentasi (mengapa itu jawaban yang dipilihnya), siswa belajar tenggang rasa untuk mendengarkan dan memperhatikan jawaban teman pasangannya, serta siswa belajar toleransi untuk menerima pendapat teman pasangannya apabila jawaban itu yang benar. Hanim (2011) mengemukakan bahwa sifat berani adalah model paling besar dalam diri untuk bisa maju dan sukses. Dengan berani seseorang bisa eksis. Dengan berani seseorang bisa mengembalikan martabat bangsa. Melalui hal yang kecil, yaitu dalam 609
ISBN :978-602-17187-2-8
pembelajaran menyimpulkan isi cerita, siswa dilatih untuk berani mengemukakan pendapat. Keberanian diikuti oleh tanggung jawab. Berani tanpa tanggung jawab hanya akan menghasilkan generasi yang tidak pernah berpikir panjang sebelum bertindak. Siswa menjadi bersemangat belajar karena ada proses diskusi dengan teman. Dengan belajar secara kolaboratif, pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan pun menjadi lebih tajam. Dengan share di kelas maka keberanian siswa untuk tampil di hadapan teman-temannya dapat ditingkatkan. Mereka pun belajar bertanggung jawab atas jawaban yang diberikan. KESIMPULAN Penerapan metode Think Pair Share dalam pembelajaran membaca untuk menyimpulkan isi cerita dapat membuat siswa berpikir secara mandiri sekaligus kolaboratif bersama pasangannya mendiskusikan hasil pemikiran mereka untuk menemukan simpulan isi cerita. Penerapan metode ini juga mengondisikan siswa untuk berani tampil di depan kelas untuk menyampaikan jawaban hasil diskusi kelompoknya. Metode Think Pair Share berpotensi membuat siswa yang minim pengetahuan terbantu oleh siswa yang memiliki banyak pengetahuan yang menjadi pasangannya. Dalam hal ini pembentukan kelompok Pair selayaknya memperhatikan keseimbangan kompetensi akademik siswa. DAFTAR RUJUKAN Andajani,Kusubakti & Pratiwi, Yuni. 2013. Pembelajaran Bahasa Indonesia Kreatif dan Inofatif. Bahan Ajar TEQIP. Malang: Universitas Negeri Malang. Khalik, Abdul. 2009. Penelitian Tindakan Kelas . Makassar: PGSD FIP UNM Kumpulan cerita rakyat. 2003. ― Legenda malin Kundang ― dalam Kumpulan Cerita Rakyat Indonesia Nusantara . (online ), (http : // www.kumpulan cerita rakyat.com/cerita – rakyat – legenda /, Malin kundang 2 agustus 2015 Subanji, 2013. Pembelajaran bermakna. Bahan ajar TEQIP. Malang: Universitas Negeri Malang.
PEMBELAJARAN MENJELASKAN PETUNJUK PENGGUNAAN ALAT DENGAN MEDIA GAMBAR SISWA KELAS IV SD NEGERI 05 MANINJAU Faulia SDN 05 Maninjau Kabupaten Agam Abstrak: Kesulitan siswa dalam berbicara disebabkan kurangnya perbendaharaan kata dan kurangnya kesempatan untuk mengkomunikasikan sesuatu secara alami kepada orang lain. Pemanfaatan media gambar diterapkan di kelas IV SDN 05 Maninjau, bertujuan untuk meningkatkan skemata siswa sehingga menambah perbendaharaan kata. Berdasarkan hasil refleksi,penulis merasakan manfaat dari media gambar untuk membantu siswa dalam menjelaskan petujuk penggunaan suatu alat dengan bahasa yang baik dan benar. Selama ini guru kurang menggunakan media pembelajaran,hanya menggunakan buku teks atau LKS.Akibatnya prestasi belajar yang dicapai siswa kurang optimal. Dengan adanya media gambar, siswa menjadi aktif dan lebih percaya diri untuk menjelaskan petunjuk penggunaan alat dengan bahasa yang baik dan benar. Kegiatan pembelajaran ini dilaksanakan dengan model example non example. Kata Kunci : petunjuk penggunaan alat, media gambar, example non example, aspek berbicara
610
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Pada kegiatan pembelajaran berbicara ditingkat SD, guru sering menemukan hambatan dan rintangan untuk menyelesaikan suatu masalah. Pada kegiatan pembelajaran berbicara siswa tidak berani dan malu-malu untuk menjelaskan ke depan kelas. Guru menggunakan media gambar untuk pembelajaran. Penggunaan media gambar tersebut bertujuan agar siswa bisa dengan cepat dan mudah memahami apa yang ia pelajari. Dengan penggunaan media ini siswa dapat merespon dengan tepat materi yang disampaikan guru. Pada pembelajaran berbicara menjelaskan petunjuk penggunaan alat diperlukan media gambar agar siswa dapat mengungkapkan hasil pengamatan dengan bahasa yang runtut. Pentingnya keterampilan berbicara bukan saja bagi guru, tetapi juga bagi siswa sebagai subjek dan objek didik. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dituntut terampil berbicara. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Suyoto (2003:32) bahwa seseorang yang terampil berbicara cenderung berani tampil di masyarakat. Dia juga cenderung memiliki keberanian untuk tampil menjadi pemimpin pada kelompoknya. Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan,menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan ( Tarigan, 1993; 15) Berbicara merupakan suatu keterampilan,dan keterampilan tidak akan berkembang kalau tidak dilatih terus menerus. Keterampilan berbicara lebih mudah dikembangkan apabila siswa memperoleh kesempatan untuk mengkomunikasikan kepada orang lain. Selama kegiatan belajar di sekolah, guru menciptakan berbagai lapangan pengalaman yang memungkinkan siswa mengembangkan kemampuan berbicara. Artikel ini adalah laporan pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan penulis ketika membelajarkan aspek berbicara dengan KD menjelaskan petujuk penggunaan alat dengan bahasa yang baik dan runtut dengan menggunakan media gambar di kelas IV SDN 05 Maninjau Kabupaten Agam. Dengan media gambar tersebut penulis berharap siswa menemukan ideidenya untuk mengungkapkan hasil pengamatannya. Penulis juga berharap melalui media gambar siswa tidak mengalami kesulitan untuk menjelaskan, menceritakan atau mendeskripsikan tentang petunjuk penggunaan alat dengan bahasa yang baik dan runtut. Keterampilan mendeskripsikan adalah keterampilan menggambarkan atau melukiskan sesuatu kepada orang lain. Semakin lengkap dan beragam media yang digunakan guru, pembelajaran berbicara semakin menyenangkan dan semakin optimal hasilnya. Tentu saja, siswa akan semakin mudah menguasai keterampilan berbicara yang diajarkan guru (Roekhan, 2013: 35) Media yang digunakan harus benar-benar mendukung tercapainya kompetensi dasar yang akan dicapai. Sebelum memilih media guru harus memahami kompetensi dasar yang hendak dicapai. Sebelum memilih media guru harus memahami indikator pembelajaran. Salahsatu media pembelajaran yang dapat digunakan untuk melatih keterampilan berbicara, adalah media gambar. Media yang digunakan harus sesuai dengan karakteristik siswa, yakni umur, jenis kelamin, jenjang kelas, tingkat kecerdasan, kebudayaan ataupun faktor sosial ekonomi. METODE PENGAMATAN Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode deskriptif. Melalui metode ini penulis berusaha mendeskripsikan sesuatu atau menggambarkan secara sistematis tentang fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diamati secara tepat,yakni pelaksanaan pembelajaran menjelaskan petunjuk penggunaan alat, dari persiapan sampai penilaian. Melalui metode ini penulis mendapatkan informasi apa adanya tentang keadaan serta praktik-praktik yang dilakukan di dalam pembelajaran. Dalam kegiatan ini objek yang diamati adalah pembelajaran secara langsung terhadap KD menjelaskan petunjuk penggunaan alat. Dalam hal ini penulis terlibat secara langsung proses pada proses pembelajaranya. Objek yang diamati adalah pembelajaran pada siswa kls IV SDN 05 Maninjau, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat dengan jumlah siswa 29 orang. Untuk memperoleh data secara akurat, penulis menggunakan rubrik penilaian. Rubrik penilaian digunakan untuk melihat kemampuan berbicara siswa dalam menjelaskan petunjuk penggunaan alat dengan menggunakan media gambar.
611
ISBN :978-602-17187-2-8
HASIL PENGAMATAN Pada kegiatan ini ada tiga tahap kegiatan yang dilaporkan, yakni (1) perencanaan pembelajaran, (2) pelaksanaan pembelajaran, dan (3) penilaian pembelajaran. Perencanaan pembelajaran (plan) Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam mempersiapkan pembelajaran menjelaskan petunjuk penggunaan alat. Pertama, menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Langkah penting dalam menyusun RPP meliputi (a) menentukan SK dan KD dari kurikulum, (b) menjabarkan KD menjadi indikator-indikator keberhasilan, (c) mengembangkan materi pokok, (d) memilih metode dan model pembelajaran yang cocok, mengembangkan media belajar, dan (f) mengembangkan alat penilaian. Kedua, mengembangkan lembar observasi terhadap pelaksanaan. Ketiga, merancang dan mengembangkan media pembelajaran. Adapun media yang digunakan dalam pembelajaran menjelaskan petunjuk penggunaan alat berupa gambar magic com, blender, mesin cuci, sabuk pengaman berkendaraan, dan spidol. Pelaksanaan pembelajaran (do) Dalam pembelajaran ini penulis menggunakan model pembelajaran example non example. Terlebih dulu siswa dibagi menjadi empat kelompok dan masing-masing kelompok mendapat tugas menjelaskan petunjuk penggunaan alat yang berbeda. Langkah-langkah pembelajaran sesuai prosedur pembelajaran yaitu kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. 1. Kegiatan awal Pada kegiatan awal pembelajaran dimulai dengan doa bersama yang dipimpin salah satu siswa, mengecek kehadiran dan kesiapan siswa untuk menerima pembelajaran,dan menyampaikan tujuan pembelajaran. Setelah itu melakukan apersepsi dan menyanyikan lagu ―Berbicara dengan berani‖. Apersepsi yang dilakukan dengan menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. Guru : ―Anak-anak apa yang kamu lakukan setelah bangun tidur?‖ Siswa : ―Mandi dan gosok gigi, Bu.‖ Guru : ― Ayo, siapa yang bisa menceritakan bagaimana cara menggosok gigi?‖ Siswa : ― Pertama ambil sikat giginya,kedua berikan odol pada sikat gigi yang dipencet dari ujung bulu sikat gigi, ketiga menggosok gigi dengan gerakan horizontal atau maju mundur pada kedua bagian gigi atas dan bawah. Guru : ―Bagus,anak-anak.‖ Seluruh siswa merasa tertantang dan termotivasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru. Selanjutnya guru menampilkan sebuah gambar alat rumah tangga seperti blender. Lalu siswa menjelaskan bagaimana langkah-langkah petunjuk penggunaan alat tersebut, dengan menggunakan kata perintah dan kata larangan. 2.Kegiatan inti Dalam kegiatan inti, terdiri dari eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Pada kegiatan eksplorasi siswa berlatih membuat kalimat petunjuk penggunaan alat dengan kalimat perintah yang jelas dan tepat.Kemudian berlatih memberikan penjelasan petunjuk penggunaan alat dengan urutan yang tepat. Pada kegiatan elaborasi siswa dibagi menjadi 4 kelompok. Setiap kelompok mengamati gambar yang diberikan guru,dan menyusun urutan petunjuk penggunaan alat yang terdapat pada gambar kelompoknya. Adapun kegiatan konfirmasi, siswa bersama kelompoknya menjelaskan secara bergantian petunjuk penggunaan alat sesuai dengan gambar pada kelompoknya dengan bahasa yang baik dan benar. Kelompok lain mengomentari deskripsi petunjuk penggunaan alat kelompok penyaji. Berdasarkan hasil penyajian dan komentar siswa tersebut, selanjutnya guru menjelaskan materi keterampilan berbicara sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Gambar : Siswa sedang menjelaskan petunjuk penggunaan alat melalui gambar
612
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
3. Kegiatan akhir Kegiatan akhir ini guru dan siswa mengadakan refleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Dengan menanyakan hal-hal yang sudah dipahami dan yang belum dipahami siswa. Guru memberikan motivasi kepada siswa untuk selalu berlatih menjelaskan sesuatu secara lisan. Refleksi (See) Pada tahap refleksi seluruh observer menyampaikan hasil pengamatanya Skegiatan ini dipimpin oleh moderator. Moderator memberikan kesempatan kepada guru model untuk menyampaikan perasaan ketika melaksanakan proses pembelajaran di kelas IV dengan materi menjelaskan petunjuk penggunaan alat dengan bahasa yang baik dan benar. Pembelajaran berlangsung dengan semangat dan menyenangkan. Siswa berebutan ingin menjelaskan gambar yang ditampilkan guru. Penggunaan media gambar dapat meningkatkan motivasi dan semangat belajar siswa sehingga siswa dapat berperan lebih aktif dan antusias dalam mengikuti proses belajar mengajar. Seluruh komentar dari observer dijadikan bahan untuk perbaikan pada pembelajaran berikutnya. PEMBAHASAN Pada pembelajaran menjelaskan petunjuk penggunaan alat dibutuhkan strategi dan media yang tepat agar siswa termotivasi untuk berbicara dengan perccaya diri di depan kelas. Pada pembelajaran ini untuk membantu siswa dalam menjelaskan urutan petunjuk penggunaan alat dengan urutan yang tepat, menggunakan kata perintah dan kata larangan yang sesuai serta mampu bercerita dengan bahasa yang baik dan benar. Untuk itu penulis menggunakan media gambar. Agar siswa memilki skemata yang jelas, sehingga memudahkan siswa untuk mendeskripsikan urutan petunjuk penggunaan alat. Penulis menggunakan model pembelajaran example non exsample agar siswa bekerja sama dengan teman kelompoknya dalam mennyusun kalimat urutan petunjuk penggunaan alat dengan tepat. Adapun pembelajaran menjelaskan petunjuk penggunaan alat ini dikatakan berhasil apabila indikatornya tercapai, yaitu siswa mampu membuat kalimat petunjuk penggunaan alat tertentu dengan kalimat perintah yang jelas, memberi petunjuk dengan urutan yang tepat, dan menjelaskan petunjuk penggunaan alat dengan intonasi dan lafal yang tepat. Pada akhirnya siswa dapat menjelaskan petunjuk penggunaan alat dengan baik dan benar sesuai dengan gambar. Kegiatan ini dapat berhasil karena adanya persiapan yang baik. Yang utama adalah gambar yang disajikan sebagai media dapat memperjelas da mempercepat penyampaian materi. Hal-hal yang perlu diperhatikan agar media gambar dapat mempermudah siswa dalam menjelaskan petunjuk penggunaan alat adalah (1) gambar yang disajikan menarik, (2) gambar sesuai dengan lingkungan siswa, (3) gambar sesuai dengan usia siswa, dan (4) gambar tidak menimbulkan pengertian ganda. Penggunaan media gambar dalam menjelaskan petunjuk penggunaan alat tertentu membuat siswa lebih antusias dibandingkan apabila guru masuk kelas tanpa menggunakan media apapun. Pada dasarnya siswa kesulitan untuk dapat menjelaskan petunjuk penggunaan alat tanpa adanya rangsangan. Media gambar dapat mempermudah menemukan kalimat dan memfokuskan ide-ide yang akan dijelaskan. Pada kegiatan awal guru sudah memotivasi siswa dengan menggali pengalamannya menggunakan suatu alat. Dengan pancingan pertanyaan yang diberikan guru, siswa berebutan untuk menjelaskan penggunaan alat yang pernah digunakannya. Siswa akan merasa bangga apabila apa yang pernah dilakukannya sekecil apapun diakui oleh gurunya. Lebih-lebih dalam kegiatan pembelajaran terlihat siswa termotivasi saat guru memajang gambar di papan tulis,untuk mengarahkan siswa dalam membuka skematanya tentang penggunaan alatalat pada gambar tersebut. Kemudian dalam kegiatan inti guru selalu membimbing siswa bagaimana menjelaskan petunjuk penggunaan suatu alat melalui gambar yang diamatinya. Hasil akhirnya siswa mampu menjelaskan urutan petunjuk penggunaan alat dengan lancar dan tepat. Guru membimbing siswa dalam menjelaskan petunjuk alat tersebut dengan lafal dan intonasi yang tepat. Dalam kegiatan akhir dari pembelajaran siswa merefleksikan kegiatan pembelajaran dengan bimbingan guru. Guru menyimpulkan hasil belajar siswa tentang cara menjelaskan petunjuk penggunaan alat dengan bahasa yang baik dan benar. Guru selanjutnya memberi penguatan kepada siswa agar berani berbicara dan menjelaskan sesuatu di depan kelas dengan percaya diri. 613
ISBN :978-602-17187-2-8
Guru juga memotivasi siswa untuk mampu menggunakan laval, intonasi, dan penggunaan bahasa yang tepat di saat berbicara. Agar apa yang kita sampaikan dapat di mengerti dan di pahami oleh orang lain. Penilaian hasil belajar menjelaskan petunjuk penggunaan suatu alat dengan media gambar, menggunakan rubrik penilaian berbicara dengan aspek sebagai berikut: (1) penggunaan kalimat perintah yang tepat, (2) menjelaskan petunjuk dengan runtut, (3) mengungkapkan kalimat petunjuk dengan lafal dan intonasi yang tepat, dan (4) mampu menjelaskan dengan lancar dan percaya diri. Media gambar yang digunakan dalam pembelajaran menjelaskan petunjuk penggunaan alat ini bersifat praktis, tepat dan efektif serta efesien. Dikatakan praktis karena media gambar mudah dibawa keman-mana dan sudah mendekati benda aslinya. Dikatakan efektif karena tidak memerlukan waktu khusus untuk memanfaatkannya. Dikatakan efesien karena tidak terlalu banyak memerlukan biaya, sehingga siapapun dapat memanfaatkan media gambar ini. Berdasarkan hasil keseluruhan dapat disimpulkan bahwa semua siswa dapat memperoleh nilai dengan kriteria tuntas. Pembelajaran menjelaskan petunjuk penggunaan alat dengan media gambar berhasil mencapai tujuan dan sasaran. Indikator pada kometensi tersebut mampu menggiring siswa untuk menjelaskan petunjuk penggunaan alat tertentu dengan percaya diri di depan kelas. Siswa mampu mengungkapkan kalimat petunjuk penggunaan alat dengan lafal dan intonasi yang tepat. Nilai yang diperoleh rata-rata kelas adalah 82. Nilai rata-rata kelas tersebut telah memenuhi KKM 75, yang berarti pencapaian indikator pembelajaran telah berhasil. Keberhasilan pembelajaran yang baik tentunya diawali dari perencanaan yang baik pula,mulai kegiatan awal, sampai kegiatan akhir. PENUTUP Dalam pelaksanaan pembelajaran menjelaskan petunjuk penggunaan alat tertentu dengan bahasa yang baik dan benar dilakukan dengan menggunakan media gambar. Penggunaan media gambar ini sangat membantu siswa dalam menjelaskan langkah-langkah petunjuk penggunaan alat tersebut. Intinya adalah media gambar dapat merangsang siswa untuk menyusun kalimat demi kalimat tentang langkah penggunaan alat yang sesuai dengan gambar dan mengkaitkan dengan pengalaman siswa. Pada kenyataannya apabila pembelajaran tidak menggunakan media, siswa bingung mau menjelaskan seperti apa. Hal ini terbukti pada pembelajaran menjelaskan penggunaan alat tertentu siswa dengan mudah dapat menjelaskan langkah-langkah petunjuk penggunaan suatu alat. DAFTAR RUJUKAN Roekhan. 2013. Media Pembelajaran Bahasa Indonesia. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Suwigyo, Heri & Santoso, Anang. 2013. Pendalaman Materi Bahasa Indonesia. Bahan Pelatihan TEQIP-SD 2013. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Andajani, Kusubakti & Pratiwi, Yuni.2013. Pembelajaran Bahasa Indonesia Kreatif dan Inovatif. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Suyoto, 2003: 32 Tarigan, 1993: 15
614
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PEMBELAJARAN MENANGGAPI RUBRIK/ KOLOM MENGGUNAKAN METODE GROUP INVESTIGATION DI KELAS VI SDN 2 KOTA BESI HULU Damayanti SDN 2 Kota Besi Hulu Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah damayantirf060 @gmail.com Abstrak : Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran menanggapi rubrik/ kolom menggunakan metode Group Investigation di kelas IV SDN 2 Kota Besi Hulu Kabupaten Kotawaringin Timur. Pembelajaran diselenggarakan dalam kerangka lesson study yang melibatkan beberapa teman sejawat. Pada tahap persiapan pembelajaran dilakukkan penyusunan RPP yang beracuan pada Kurikulum 2006. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran dilakukan kegiatan pembelajaran yang sudah disesuaikan yaitu dengan.memperhatikan karakter peserta didik. Pada saat yang sama dilakukan observasi oleh teman sejawat untuk melihat pelaksanaan pembelajaran tersebut secara utuh. Pada tahap refleksi dilakukan diskusi dengan teman sejawat mengenai praktik pembelajaran yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa penggunaan metode Group Investigation dalam pembelajaran menanggapi rubrik/ kolom dapat membuat siswa menjadi antusias dan bersemangat dalam belajar. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya siswa untuk memberikan tanggapan mereka berdasarkan gambar atau teks rubrik yang dibaca. Kata kunci : Menanggapi rubrik, group investigation, membaca intensif.
Dalam pembelajaran tingkat sekolah dasar ada tiga hal pokok yang harus dimiliki peserta didik yaitu membaca, menulis dan berhitung. Membaca merupakan salah satu ranah yang dikaji dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pembelajaran Bahasa Indonesia bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis (Depdiknas, 2006). Salah satu keterampilan berbahasa yang diajarkan kepada siswa SD adalah membaca. Membaca merupakan keterampilan berbahasa reseptif. Menurut Khalik (dalam Bait & Sanam 2014) membaca memiliki banyak manfaat bagi kehidupan sehari-hari. Karenanya, keterampilan membaca menjadi salah satu keterampilan berbahasa yang strategis dan mutlak harus dikuasai siswa SD. Menurut Syafi‘ie (dalam Nisbah 2013) kemampuan dan keterampilan membaca secara langsung berkaitan dengan seluruh proses belajar siswa di sekolah. Keberhasilan siswa dalam meningkatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam membaca. Modal utama bagi siswa untuk memahami suatu persoalan haruslah membaca terlebih dahulu, kemudian memahaminya. Dengan membaca kita bisa menemukan makna tersirat dari suatu teks. Membaca adalah keterampilan berbahasa reseptif tulis. Dalam membaca, seorang pembaca harus memahami kode-kode dalam bentuk tulisan. Seorang pembaca harus memahami konvensi-konvensi dalam ejaan, kata, frasa, kalimat, paragraf, dan teks/ wacana jika ingin berhasil memahami bacaan. Sebaliknya, seorang akan gagal apabila tidak dapat memahami kode-kode dalam bentuk tertulis itu (Nurchasanah, 2015). Salah satu kompetensi dasar dalam Kurikulum KTSP yang harus dikuasai siswa kelas VI SD adalah bagaimana menanggapi informasi dari rubrik/kolom khusus (majalah anak, koran, dll). Untuk menanggapi informasi dari rubrik/kolom khusus yang berupa saran dan kritik terlebih dahulu siswa harus membaca dan mampu memahami teks rubrik dengan membaca intensif. Dalam hal ini keterampilan membaca menjadi andalan bagi tercapainya kompetensi dasar tersebut. Membaca intensif adalah kegiatan yang dilakukan seseorang dalam membaca dengan cermat agar memahami bacaan atau teks dengan cepat dan tepat. Jadi kemampuan dalam membaca intensif adalah kemampuan memahami secara detail isi bacaan secara lengkap, akurat, dan kritis pada suatu fakta, konsep, pendapat, gagasan, pengalaman, perasaan, dan pesannya. Saat membaca para pembaca biasanya membaca hanya satu atau beberapa bacaan yang ada. Hal 615
ISBN :978-602-17187-2-8
ini bertujuan agar menumbuhkan dan mengasah kemampuan dalam membaca dengan kritis. Membaca dengan model ini dilakukan apabila membaca dimaksudkan untuk meneliti, memahami, menganalisis, memberikan kritikan atau pun kesimpulan isi bacaan tersebut. Membaca dengan intensif yang paling diutamakan bukan pada keterampilan yang dapat terlihat atau yang dapat menarik perhatiannya, melainkan pada pemahaman terhadap isi bacaan, yaitu pengertian atau pemahaman mendalam dan terperinci pada teks yang dibaca sebagai tujuan akhir. Untuk mencapai tujuan pembelajaran diperlukan strategi pembelajaran yang tepat dan menyenangkan agar tercipta suasana pembelajaran yang kondisif. Selain itu, strategi pembelajaran juga harus memperhitungkan semua kondisi siswa, baik itu keadaan intenal maupun eksternal siswa. Kondisi internal yang dimaksud antara lain meliputi kondisi psikologis siswa, kemampuan akademik siswa, serta karakter siswa. Adapun kondisi eksternal yang dimaksud antara lain meliputi latar belakang kehidupan keluarga siswa, kondisi lingkungan sekitar sekolah, kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar siswa, serta adat budaya masyarakat tempat siswa tinggal. Secara psikologis anak usia 11—12 tahun, yaitu usia rata-rata anak kelas VI SD, gemar berkelompok. Mereka cenderung ingin menunjukkan eksistensi diri dalam kelompoknya. Tanpa sadar muncul rasa bersaing pada diri anak. Kondisi psikologis ini baik untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran. Pada umumnya siswa SD masih kesulitan dalam menanggapi rubrik/ kolom pada majalah anak, koran, dll. Ini dapat dilihat dari bahasa yang digunakan untuk menanggapi tidak terstruktur dengan baik hal inidipengaruhi oleh bahasa daerah. Group investigation merupakan salah satu metode alternatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran untuk siswa kelas VI SD, termasuk di antaranya pembelajaran menanggapi rubrik/kolom khusus dalam majalah anak. Metode pembelajaran group investigation mengambil model dari masyarakat, terutama mengenai mekanisme sosial yang ada pada masyarakat yang biasa dilakukan melalui kesepakatan bersama. Melalui kesepakatan bersama inilah siswa mempelajari pengetahuan dan mereka melibatkan diri dalam pemecahan masalah sosial (Winataputra, 2001:34). Group investigation adalah kelompok kecil yang dimaksudkan untuk menuntun siswa dalam keterlibatan belajar. Metode ini menuntut siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan pross kelompok (group process skills). Hasil akhir dari kelompok berupa sumbangan ide dari tiap anggota kelompok serta pembelajaran kelompok yang notabene lebih mengasah kemampuan intelektual siswa dibanding belajar secara individual. Dalam makalah ini disajikan penerapan metode group investigation dalam pembelajaran menanggapi rubrik/kolom khusus dalam majalah anak. Diharapkan, tulisan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca agar dapat melaksanakan kegiata pembelajaran sejenis dengan lebih baik. Perencanaan (plan) Setelah melalui tahapan dalam pelatihan TEQIP 2015 yaitu pada realisasi program on going kedua yang dilaksanakan di SD 2 kota Besi Hulu melalui lesson study. Penulis bersama rekan sejawat melakukan plan.Dimana dalam tahap perencanaan ini, dapat menentukan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang sesuai dengan program dan tujuan dari guru itu sendiri. Langkah penting dalam menyusun RPP meliputi (a) menentukan SK dan KD dari kurikulum, (b) menjabarkan KD menjadi indikator-indikator, (c) mengembangkan materi pokok, (d) memilih metode dan model pembelajaran yang cocok, (e) mengembangkan media belajar, dan (f) mengembangkan alat penilaian. Selanjutnya mengembangkan lembar observasi yang digunakan sebagai bahan refleksi demi memperbaiki RPP dan pelaksanaan pembelajaran. Dalam menyampaikan pembelajaran hendaknya perangkat RPP dirancang sedemikian rupa dengan serta pemilihan metode dan media yang sesuai dengan apa yang akan kita ajarkan, kita tata dan kita buat sedemikian menarik sehingga dapat menjadikan stimulus yang bermakna yaitu dengan adanya RRP yang terarah serta metode dan pemilihan media yang dapat membangkitkan gairah belajar siswa.
616
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Pelaksanaan Pembelajaran (Do) Kegiatan Awal Kegiatan awal dilakukan dengan salam, mengecek kehadiran siswa, dan berdoa,kemudian bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Apersepsi dilakukan dengan bertanya jawab bersama siswa untuk hal yang berkaitan dengan menanggapi informasi rubrik / kolom melalui kritik dan saran dengan mengunakan bahasa yag santun. pembelajaran dimulai dengan stimulus menampilkan gambar yang berprilaku berbuat positif dan negativ. Guru :―Anak-anak apakah kalian tahu ini gambar apa?‖ Siswa : ―Itu gambar seorang anak membuang sampah pada tempatnya.‖ Guru : ―Dan ini gambar pa?‖ (berbagai macam tanggapan anak dari siswa diantaranya...). Siswa : ―Gambar anak yang menyeberang jalan,‖ (sahut siswa yang lain) ―anak yang berprilaku kurang baik, Anak-anak memakai seragam sekolah ketika menyebrang jalan,‖ dan ―Anak yang berprilaku kurang baik yaitu menyeberang sembarangan ketika hendak pergi kesekolah sehingga menggangu pengguna jalan berkendaraan disana.‖ Guru : ―Ya,betul ini adalah gambar anak-anak menyeberang sembarangan ketika hendak pergi kesekolah sehingga menggangu pengguna jalan berkendaraan disana.‖ kemudian meminta siswa untuk mengenali gambar tersebut dan meminta tanggapan siswa ―apakah kalian setuju dengan gambar yang pertama?‖ Siswa : ―setuju!!!‖sahut anak-anak serempak. Guru : ―Nah bagaimana dengan gambar yang kedua ini?‖ (Guru menunjukan gambar anak-anak yang menyebrang jalan sembarangan). Siswa : ―Tidak setuju!!‖ Guru : (Sambil mengarahkan) .―Coba ibu ingin mendengar jawaban atau tanggapan yang setuju dan tidak setuju dari kedua gambar tersebut ibu ingin mendengar alasannya juga mengapa setuju dan tidak setuju.‖ Sswa : ―Saya bu,untuk gambar no satu saya setuju karena itu perbuatan mulia.‖ (Kemudian ada beberapa tanggapan siswa lainya) ―saya setuju dan menyukai gambar no satu karena menjaga kebersihan sehingga kita tidak mudah terserang penyakit. Guru : ―Bagaimana dengan gambar kedua?‖ (Ada beberapa siswa yang mengacungkan jarinya.) Siswa : ―Saya bu,‖ kata ketua kelas ―Saya tidak menyukai gambar no dua karena bisa membahayakan pengguna sepeda motor yang lewat yang nantinya akan menimbulkan kecelakaan.‖(dan siswa ada juga siswa yang mengutarakan pendapatnya) ―Saya setuju untuk no dua biar kita ke sekolah tidak terlambat jadi boleh mencari jalan pintas. Guru : ― Ya, kalian sudah melihat gambar dan perbuatan yang baik dan tidak tentunya kalian juga memberikan berbagai komentar ada yang setuju dan ada yang tidak setuju disertai alasannya, tetapi dalam memberikan tanggapan baik itu pujian/ saran maupun kritik harus tetap menggunakan bahasa yang santun.‖ Melalui kegiatan apersepsi ini dapat memancing siswa untuk bisa membedakan perbuatan yang baik atau tidak baik melalui gambar yang sudah ditampilkan serta dapat melatih mereka untuk mengungkapkan perasaan mereka tentang setuju dan tidaknya terhadap perbuatan itu. Dan ungkapan yang tentunya diarahkan menggunakan kalimat atau bahasa yang santun, setelah itu para siswa menuangkan perasaanya kedalam bentuk tulisan dan membacakan tentunya dengan aturan membaca yang benar yaitu dengan kelancaran dan memperhatikan tanda bacanya, pada tahap unjuk kerja. Kegiatan Inti Kegiatan ini diawali dengan bertanya kepada siswa ―ada yang tahu itu rubrik? ‖kemudian salah seorang siswa menjawab ―Rubrik itu mainan kotak yang warna warni,bu‖ Pada tahap ini guru model mulai menjelaskan apa arti ―rubrik‖. Rubrik adalah kepala karangan (ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah, dan sebagainya. kemudian untuk menkonfirmasi jawaban anak mengenai apa itu rubrik maka diperlihatkanlah sebuah koran bahwa rubrik 617
ISBN :978-602-17187-2-8
terdapat ruangan tetap pada koran . Dan rubrik mempunyai edisi jadi rubrik yang terdapat pada koran itu berkesinambungan misal pada tanggal satu kita juga dapat melihat sesuai tanggal berikutnya,dan tentunya setiap edisinya berbeda arikel yang memuat bersifat informasi yang dicetak pada koran.
Gambar 1 : Gamabar Guru Memperlihatkan Media
Rubrik yang dimaksud di sini adalah rubrik khusus anak. Banyak sekali rubrik yang dikhusukan untuk anak. Dengan rubrik ini diharapkan anak-anak dapat memperoleh pengetahuan yang mereka perlukan. Majalah anak juga sangat banyak yang memberikan informasi untuk anak. Setelah menjelaskan pengertian rubrik, Kemudian guru membagi siswa dalam beberapa kelompok dengan mengguanakan nama kelompok yang sudah disepakati bersama misalnya kelompok Cermat, Tanggung Jawab dan lain-lain. Kemudian membagikan artikel rubrik Pusat Primata Terbesar Dunia. selanjutnya siswa diminta untuk membaca artikel rubrik Pusat Primata Terbesar Dunia dengan membaca intensif dan menggunakan metode grup invetigation. Guru juga memberikan penekanan untuk menanggapi rubrik yang sesuai dengan hal yang seharusnya ditanggapi. Dalam membaca intensif sebuah artikel, ada beberapa langkah yang harus diterapkan, antara lain sebagai berikut. 1. Membaca judul dan paragraf pendahuluan dengan cepat. 2. Membaca paragraf-paragraf berikutnya dengan cepat dan menuliskan pikiran pokok setiap paragraf. 3. Memahami isi bacaan melalui pikiran-pikiran pokok paragraf. 4. Memberi tanggapan terhadap isi bacaan berupa kritik dan saran disertai alasan yang logis atau masuk akal.
Gambar 2 : Kegitan Siswa
Setelah membaca intensif, masing-masing kelompok menuangkan perasaan setuju dan tidak setujunya berupa saran atau pujian pada rubrik Pusat Primata Terbesar Dunia disertai alasan yang mendukung dari pilihan ungkapan persaan tersebut. kemudian guru membagikan kelas menjadi beberapa kelompok heterogen,kemudian guru menjelaskan maksud pembelajaran dan tugas kelompok yang harus dikerjakan,guru memanggil ketua-ketua kelompok untuk memggali materi tugas secara kooperatif dalam kelompoknya,setelah selesai,masing-masing kelompok yang diwakili ketua kelompok atau masing-masing kelompok dari perwakilan kelompoknya membacakan hasil unjuk kerjanya dengan bergantian misalnya dalam kelompok itu setiap siswa mempunyai tugas masing-masing ada yang membaca mengenai pikiran pokok pada setiap pragraf dan tanggapan yang berupa kritik dan saran beserta alasannya.tentunya
618
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
dengan kaidah membaca yang benar dan baik yaitu dengan kelancaran serta memperhatikan tanda bacanya. Kemudian kelompok lainya saling menanggapi hasil diskusi kelompok lainnya. Kegiatan Akhir Evaluasi pembelajaran dilakukan dengan cara menilai hasil diskusi siswa dengan cara siswa membacakan hasil diskusinya, adapun penilaian yang dilakukan disesuaikan dengan pembelajaran yang dilaksanakan yang disesuaikan dengan SK, KD, serta Indikator pencapaian dan rubrik penilaian misalnya ketepatan menemukan ide pokok paragraf, ketepatan tanggapan, dan mutu daripada tanggapan itu serta kelancaran membaca dalam menyampaikan tanggapan yang menggunakan bahasa yang santun. Namun ada sebagian siswa yang memberi tanggapan yang tidak relevan dan juga tidak menggunakan bahasa yang runtut dan mudah di pahami.
Gambar : 3 Kegiatan Akhir
Pada tahap ini juga guru bersama siswa mengadakan refleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Dengan menanyakan hal-hal yang sudah dipahami dan yang belum dipahami siswa. Selanjutnya siswa memperhatikan penjelasan guru tentang hal-hal yang belum dipahami siswa, yang pada akhirnya siswa bersama guru menyimpulkan materi pembelajaran yang telah dipelajari. Guru memberikan motivasi kepada siswa untuk selalu meningkatkan daya belajarnya dalam hal membaca lebih memperhatikan tanda baca mapun ejaan, dan membiasakan hidup untuk berbahasa santun baik jika kita merasa setuju ataupun tidak sependapat. Refleksi (see) Pada tahap refleksi seluruh observer menyampaikan hasil pengamatan yang sudah dilakukan selama mengamati kegiatan yang pembelajaran yang telah disajikan guru model dalam pembelajaran dengan KD menaggapi informasi dari kolom/ rubrik khusus (majalah anak,koran,dll). Tahap refleksi ini dipimpin moderator,yang mana moderator memperkenalkan kelompok lesson study, tidak lupa memberikan apresiasi kepada guru model yang sudah menampilkan kegiatan belajar secara maksimal. Selanjutnya moderator memberikan kesempatan kepada guru model untuk menyampaikan perasaannya ketika melaksanakan proses pembelajaran di kelas VI dengan materi teks rubrik ― Pusat Primata Terbesar Di dunia‖ yaitu guru model merasakan pembelajaran dalam menanggapi rubrik ada kemajuan dengan menggunakan metode group investigation suasana pembelajaran menjadi hidup yaitu khususnya interaksi kolaborasi dalam kelompok.Dengan melihat perubahan yang signifikan membuat perasaan menjadi senang,bersyukur, karena proses belajar mengajar yang dilakukan melalui lesson study dapat berjalan dengan lancar. Adapun kekurangan yang dirasakan oleh guru model adalah bahasa yang digunakan untuk menanggapi tidak terstruktur dengan baik hal ini dipengaruhi oleh bahasa daerah,sebagian tanggapan siswa kelas VI, tanggapan yang diberikan termasuk kategori kurang kritis tanggapan yang dibacakan masih kontekstual. Selanjutnya para observer diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil pengamatanya mengenai hal-hal yang menyangkut interaksi siswa selama kegiatan proses belajar mengajar berlangsung yang sudah disusun dalam plan and do. Dari keseluruhan komentar yang sudah disampaikan para observer dan hasil pengamatan dari lembar 619
ISBN :978-602-17187-2-8
observer digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki RPP dan pelaksanaan pada pembelajaran berikutnya. Dalam kegiatan refleksi ini disepakati bahwa lesson study perlu diterapkan pada sekolah-sekolah untuk mencapai hasil yang lebih baik pada pembelajaran. PEMBAHASAN Pada kegiatan pembelajaaran yang dilaksanakan di kelas VI SDN 2 Kota Besi Hulu kecamatan Kota Besi kabupaten Kotawaringin Timur dalam menanggapi rubrik/ kolom khusus berupa kritik dan saran yang menggunkan bahasa yang santun dan mudah dipahami. Berdasarkan hasil pengamatan dan refleksi dari para observer ditemukan dari proses pembelajaran tentang kesiapan belajar siswa dalam menerima pelajaran yang akan disampaikan sangat siap dan dan antusias ketika guru memperlihatkan media gambar sebagai apersepsi yaitu gambar orang membuang sampah dan pelajar yang menyebrang sembarangan ketika hendak pergi ke sekolah. Ditambah lagi sebelum memulai pembelajarn bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya sehingga menambah semangat juang 45 dalam menerima pembelajaran. Kemudian respon siswa ketika guru menyampaikan kegiatan apersepsi dimana siswa sangat merespon ketika guru menyampaikan apersepsi,ini dibuktikan dengan adanya interaksi antara guru dengan siswa mengenai tanggapan gambar yang diperlihatkan oleh guru. Berbagai macam tanggapan yang disampaikan dengan bahasa anak yang tentunya belum sempurna disana terdapat tanggapan yang setuju dan tidak setuju terhadap gambar tersebut. Interaksi antar siswa dengan siswa ketika dalam pembelajaran terjadi ketika media pemebelajaran dibagikan dengan membaca intensif teks rubrik terjadi diskusi dalam kelompok sampai penyampaian hasil diskusi didepan kelas . selain terjadi interaksi antar siswa interaksi terjadi pula antara guru dan siswa dimulai ketika guru melakukan apersepsi, kegiatan inti, sampai menyampaikn hasil unjuk kerja dari tiap kelompok serta didalam penguatan pembelajaran. Namun ada alah satu orang siswa dari kelompok diskusi yang ada di dalam kelas tidak bisa mengikuti pembelajaran dengan baik kerena asyik bermain dan asyik mengibaskan selembar teks rubrik yang dibagikan sehingga mengganggu temannya membuat suasana diskusi tidak efektif. Siswa tersebut asyik memperhatikan gambar hewan primata yang ada pada teks rubrik dan mengatakan temannya mirip hewan primata yang mempunyai bulu kebetulan teman yang diganggu mempunyai bulu badan yang cukup panjang. Melihat hal itu Upaya guru untuk mengatasi gangguan belajar Guru memberikan perhatian lebih kepada siswa yang terdapat pada salah satu kelopmok itu,yaitu dengan menegur secaraa baik-baik dan memberikan bimbingan serta mengarahkan bahwa apabila kita tidak menyukai sesuatu hendaknya diucapkan dengan kata yang sopan sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain,seperti halnya dalam pembelajaran yang sedang berlangsung ini,kita belajar memberi tanggapan yang berupa pendapat kita baik yang setuju yaitu berupa pujian dan yang tidak sependapat dengan pikiran kita dengan membiasakan mengutarakan pendapat atau tanggapan dengan bahasa yang santun. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengtasi siswa yang terganggu dalam belajar, guru selalu mengadakan pengawasan dan bimbingan secara ekstra dan teratur pada saat diskusi kelompok berlangsung.selain itu guru harus mengenal semua karakter seluruh peserta didik. Usaha guru dalam mendorong siswa yang tidak efektif untuk belajar, Guru juga mengarahkan siswa itu dengan memberikan contoh lain dengan memodelkan temannya yang memakai seragam yang tidak rapi yaitu baju seragamnya dikeluarkan,dan menanyakan bagaimana perasaan kamu ketika melihat teman yang memakai seragam sekolah yang tidak rapi.Siswa itu menjawab sesuai dengan perasaannya,sambil guru meluruskan untuk menyampaikan dengan bahasa yang santun dari petikan tanggapannya. Pada kegiatan penutup guru dan siswa bersama-sama mengadakan refleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan,dengan menanyakan hal-hal yang sudah dan belum dipahami siswa.selain itu guru juga memberikan pekerjaan rumah untuk mencari rubrik pada koran atau majalah anak sebagai tindak lanjut pembelajaran. Adapun hikmah pembelajaran Dengan menggunkan metode group investigation pada pembelajaran ini menjadi lebih bermakna interaksi kolaborasi didalam kelompok terstruktur memudahkan mereka bekerja sama sehinga hasil yang dicari dapat tercapai. group investigation juga menerapkan kerjasama semangat gotong royong yang tinggi. Berdasarkan hasil refleksi pembelajaran yang telah diuraikan diatas dapat dilihat dengan adanya RRP yang terarah serta metode yang sesuai juga pemilihan media yang dapat 620
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
membangkitkan gairah belajar siswa, Dengan adanya media yang dapat menarik perhatian mereka kita juga harus pandai mencari dan mengkondisikan media itu untuk secara tidak langsung sudah membelajarkan siswa misalnya dari gambar yang memperlihatkan dua sikap yang berbeda sehingga kita meminta mereka berkomentar sesuai apa yang mereka lihat dan rasakan, tentu saja untuk dapat berkomentar atau memberi tanggapn diperlukan keberanian dalam mengungkapkanya, dalam hal ini memberi motivasi kepada siswa dalam berani mengeluarkan tanggapan mereka harus mempunyai keberanian dan modal percaya diri yang tinggi, serta keuletan dalam belajar membaca serta perlu latihan dan ketelitian dalam ejaan ataupun kaidah membaca yang benar.Baik melatih siswa dalam menyampaikan kritik dan saran harus dibiasakan dengan kalimat yang sopan,runtut dan mudah dipahami misalnya dengan kata,saya setuju,menurut saya, alangkah lebih baik, sebaiknya, dan sebagainya. Kepercayaan diri dan membiasakan diri adalah kunci utama untuk melatih memberikan kritik dan saran melalui kegiatan membaca yang terarah.Sebelum memberi tanggapan pada suatu teks terlebih dahulu harus memebaca teks itu dengan membaca intensif. Melalui metode grup investigation dengan membaca intensif dengan mengetahui ide pokok paragraf memudahkan untuk mengarahkan kesesuaikan tanggapan yang bisa berupa kritik dan saran pada suatu teks rubrik yang bersipat informasi. Dengan siswa belajar memberi tanggapan baik itu berupa kritik dan saran berarti melatih siswa untuk mengeluarkan pendapatnya terhadap sesuatu yang sukai dan kurang di sukai tentunya dengan menggunakan bahasa yang sopan agar mudah dipahami dan tidak menyinggung berbagai pihak, disamping itu juga dengan metode grup investigation ini melatih siswa dalam berkelompok untuk memudahkan dan mengarahkan dalam menemukan ide pokok paragraf sehingga menuntun siswa untuk lebih runtut dalam memberikan tanggapan berupa kritik dan saran. Selain itu pula dengan membaca intensif kita tahu secara garis besar gambaran keseluruhan apa yang terdapat di dalam teks,Adapun teks rubrik pada umumnya banyak menyamapikan informasi. Hanim (2011) mengemukakan bahwa sifat berani adalah model paling besar dalam diri untuk bisa maju dan sukses. Dengan berani seseorang bisa eksis. Dengan berani seseorang bisa mengembalikan martabat bangsa. Melalui hal yang kecil, yaitu dalam pembelajaran menanggapi rubrik/ kolom berupa kritik dan saran dengan bahasa yang santun disertai alasan yang logis. Melalui hal yang kecil, yaitu dalam pembelajaran menangapi rubrik/kolom, siswa dilatih untuk berani mengemukakan pendapat. Keberanian diikuti oleh tanggung jawab. Berani tanpa tanggung jawab akan menghasilkan generasi yang tidak pernah berpikir panjang sebelum bertindak. Hal ini membahayakan sebab seseorang akan melakukan banyak hal tanpa memikirkan akibatnya. Pendidikan karakter dalam kegiatan pembelajaran merupakan satu hal penting bagi upaya pembentukan karakter bangsa. Patters (2013) mengemukakan bahwa pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran dan proses belajar mengajar itu dapat dilakukan dengan pemuatan dan penetrasi nilai-nilai karakter dalam semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. Untuk itu, setiap guru harus mampu untuk mempersiapkan pendidikan karakter mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya. Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah perlu didukung oleh keteladananguru dan orang tua murid serta budaya yang berkarakter. Pembangunan karakter harus dilakukan dengan pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Secara umum, pembelajaran menanggapi rubrik/ kolom khusus (majalah anak,koran ,dll) menggunakan strategi grup investigation dapat berlangsung efektif. Siswa menjadi bersemangat belajar karena ada proses diskusi dengan teman. Dengan belajar secara kolaboratif, pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan pun menjadi lebih tajam. Dengan grup investigation bersama mengatasi masalah di kelas maka keberanian siswa untuk tampil di hadapan temantemannya dapat ditingkatkan. Mereka pun belajar bertanggung jawab atas jawaban yang diberikan,dengan menggunakan bahasa yang sopan untuk menyampaikan tanggapan terhadap sesuatu. SIMPULAN Metode group investigation dapat membantu siswa dalam bekerja sama untuk menanggapi rubrik/kolom khusus dalam majalah anak. Dengan bekerja sama, siswa memiliki kemampuan lebih dalam mencari aspek-aspek yang akan ditanggapi. Siswa menjadi lebih teliti 621
ISBN :978-602-17187-2-8
dan cermat dalam membaca intensif rubrik/ kolom yang disiapkan guru. Dengan bekerja sama siswa juga dapat dengan mudah menemukan ide pokok dalam setiap paragraf. Dengan mengetahui ide pokok tersebut, tanggapan yang diberikan siswa dapat lebih terarah. Penggunaan metode grup investigation dalam menanggapi sebuah rubrik/ kolom siswa kelas VI SDN 2 Kota Besi Hulu ini mampu meningkatkan pemahaman siswa tentang membaca intensif dengan memanfaatkan sebuah rubrik pada artikel/ bacaan anak. Dan memudahkan siswa dalam memahami materi pembelajaran dengan bersama-sama mengali apa yang terdapat didalam teks misalnya teks rubrik yang bersipat informasi. Adapun plan do see yang dilakukan adalah sebagai berikut. Setelah RPP tersusun dengan baik dan terencana, siapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Menyiapkan media pembelajaran dan lembar kerja siswa. Setelah perencanaan dilaksanakan, masuk pada tahap berikutnya yaitu tahap Acting pelaksanaan. Dalam tahap ini, adalah tahap menerapkan apa yang sudah direncanakan, yaitu bertindak di kelas. Tindakan harus sesuai rencana. Guru bisa bekerjasama dengan rekan sejawat untuk dapat merekam, medokumentasikan serta mencatat semua peristiwa yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Keaktifan siswa, mengumpulkan semua data dan kegiatan pembelajaran yang menggunakan media, sejak kegiatan awal/ pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup/kesimpulan atau kegiatan akhir. Setelah tahap pelaksanaan, masuk pada tahap Observation (pengamatan). Menurut Prof. Supardi observasi dimaksudkan untuk pengumpulan data. Dengan kata lain, observasi adalah alat untuk memotret seberapa jauh efektifitas tindakan telah mencapai sasaran. Setala tahap observasi dilakukan maka selanjutnya tahap Refleksi. Tahap refleksi adalah kegiatan untuk menemukan kembali apa yang telah dilakukan, rekan sejawat berkumpul kemudian mengutarakan berbagai hal yang terjadi di dalam kelas baik itu baik itu bersifat kekurangan dalam pembelajaran serta hal positif yang perlu diterapkan dalam pembelajaran kedepannya yang disesuaikan dengan pembelajaran serta karakter peserta didik. DAFTAR PUSTAKA Zega,Viktor Risman, 2013.Membaca Intensif. (oneline) MembacaIntensifvr.blog spot.com diakses 22 Oktober 2015 Winataputra, 2001: 34. Model-model Pembelajaran Inovatif.Jakarta Pusat : Direktorat Jendral Pendidikann Tingggi Departemen Pendidikan Nasional. Model Pembelajaran Group Investigation Kajian Pustaka.com.www.kajianpustaka.com.Diakses 28 Oktober 2015 Bait,Petronela dan Sanam ,Kanisius Neno 2014.Penerapan Strategi Think Pair Share Dalam Pembelajaran Menyimpulkan Isi Cerita Yang Dibaca Siswa Kelas V SD Koemnu Kabupaten Timur Tengah Utara J-TEQIP,Tahun v, Nomor 1.Mei. (hal 90-98) Nisbah, Faisal.2013. Pengertian Keterampilan Membaca. (On-Line) Patters, Reiza.2013. Pendidikan Karakter Tanggung Jawab Semua. (On-line) Kompas.com ( Kumpulan Artikel )
PEMBELAJARAN MENULIS PETUNJUK MODEL HABARING HURUNG DENGAN BERBASIS MEDIA LOKAL PADA KELAS IV MI NURUL UMMAH SAMPIT KALIMANTAN TENGAH Nurul Amalia MI Nurul Ummah Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah
[email protected] Abstrak:Pada pembelajaran bahasa Indonesia aspek menulis di kelas IV MI Nurul Ummah menunjukkan pada umumnya siswa banyak diam dan kurang berani mengungkapkan apa yang dibaca atau didengarkan ke dalam tulisan. Salah satu faktor penyebabnya adalah SDM siswa yang masih memiliki rasa percaya diri yang rendah dalam hal tersebut.Demikian juga dalam penggunaan EYD dan tanda baca masih harus
622
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
selalu diberikan bimbingan. Kearifan lokal Habaring Hurung diterapkan pada pembelajaran menulispenjelasan tentang cara membuat sesuatu memotivasi siswa aktif dan kreatif. Penggunaan media benda konkret yang dekat dengan kehidupan siswa diharapkan lebih bermakna bagi siswa sehingga keterampilan menulis siswa dapat meningkat. Kata Kunci:habaring hurung, menulis petunjuk
Pembelajaran bahasa Indonesia diselenggarakan dalam rangka meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesasteraan manusia Indonesia (Depdiknas, 2006). Salah satu keterampilan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia adalah menulis. Melalui pembelajaran menulis, siswa dapat menungkapkan pikiran, perasaan, dan pengalaman melalui tulisan. Pembelajaran menulis di sekolah dasar ditujukan agar siswa terampil menulis, seperti menulis pengalaman, mendeskripsikan sesuatu yang dilihat atau mendeskripsikannya. Keterampilan menulis ini merupakan suatu keterampilan yang palingtinggi dan sangat kompleks tingkatannya dari keterampilan berbahasa lainnya. Fenomena yang terjadi di lapangan, pembelajaran menulis masih belum memberikan ruang dan kesempatan yang cukup bagi siswa untuk melakukan praktik menulis yang baik dan benar. Faktor yang mempengaruhi masalah tersebut diantaranya adalah sumber daya manusia (SDM) guru dan SDM siswa, SDM orang tua siswa serta sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah. Siswa-siswi yang bersekolah di MI Nurul Ummah kebanyakan tidak berasal dari TK ketika mereka mendaftar di kelas I pada sekolah ini. Dengan demikian, sebagian besar dari mereka baru bisa membaca dan menulis ketika mereka naik kelas II, sehingga hal ini mengakibatkan keterampilan menulis siswa kelas IV masih harus terus ditingkatkan. Beberapa faktor yang menjadi penyebab hal tersebut adalah (1) sebagian siswa tidak berani memulai menulis karena penguasaan kosa kata bahasa Indonesia yang kurang memadai (2) siswa tidak menguasai materi (3) siswa sulit mengurutkan atau kronologis petunjuk melakukan sesuatu atau petunjuk membuat sesuatu. Hal tersebut dapat dipahami mengingat minimnya kesempatan siswa melakukan aktivitas menulis apalagi dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun ada beberapa siswa yang dalam keluarganya menggunakan bahasa Indonesia, umumnya bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah (bahasa Banjar, bahasa Madura dan bahasa Jawa) yang tentu berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa Indonesia para siswa. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dikembangkan model pembelajaran menulis yang relevan sehingga kemampuan siswa dalam menulis akan meningkat. Siswa dikondisikan untuk tidak menulis secara individu dan adanya bantuan dari siswa lain dalam menulis, yakni dengan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran seperti ini akan menarik dan menantang perhatian siswa dan melahirkan siswa yang lebih berani dalam berkomunikasi, matang emosinya, santun, dan terampil berbahasa karena memberikan iklim kebebasan berpikir dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi yang memadai (Anindyarini dan Sumarwati, 2014). Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang didasarkan pada faham konstruktivisme.Pada pembelajaran kooperatif diyakini bahwa keberhasilan peserta didik tercapai jika setiap anggota kelompoknya berhasil. Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama denngan temannya dalam tugas-tugas terstruktur disebut pengajaran gotong royong atau cooperative learning (Lie, 2005 dalam Anindyarini dan Sumarwati, 2014 hal:61). Selanjutnya, menurut Freire dalam Anindyarini dan Sumarwati, 2014:61, metode kooperatif (kelompok) akan melahirkan pembelajaran yang humanis, yang memberikan kebebasan yang luas kepada siswa untuk mengelaborasi pikiran dan pengetahuannya bersama siswa lain. Model pembelajaran cooperative learning mempunyai manfaat-manfaat yang positif apabila diterapkan di ruang kelas. Terlebih lagi, metode tersebut sejalan dengan semangat Habaring Hurung (bahasa Dayak artinya gotong-royong) yang merupakan kearifan lokal di Kabupaten Kotawaringin Timur. Beberapa keuntungannya antara lain: mengajarkan siswa menjadi percaya pada guru, kemampuan untuk berfikir, mencari informasi dari sumber lain dan 623
ISBN :978-602-17187-2-8
belajar dari siswa lain; mendorong siswa untuk mengungkapkan idenya secara verbal dan membandingkan dengan ide temannya; dan membantu siswa belajar menghormati siswa yang pintar dan siswa yang lemah, juga menerima perbedaan ini.Ironisnya, model pembelajaran kooperatif belum banyak diterapkan dalam pendidikan walaupun orang Indonesia sangat membanggakan sifat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam rangka menanamkan kebiasaan gotong royong dan untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis penjelasan tentang cara membuat sesuatu di kelas IV MI Nurul Ummah, penulis mencoba menerapkan pembelajaran dengan metode pembelajaran Habaring Hurungatau pembelajaran secara berkelompok. Pemanfaatan bahan lokal sebagai media pendukung pembelajaran diharapkan akan membangun kebermakanaan pembelajaran bagi siswa. Bahan daun nipah tumbuh subur di beberapa bagian daerah di Kabupaten Kotawaringin Timur. Khusus yang digunakan pengrajin di ibukota Kabupaten yaitu kota Sampit, didatangkan dari daerah sebelah selatan yaitu Samuda dan Ujung Pandaran. Hasil anyaman daun nipah ini digunakan sebagai atap rumah-rumah di pedesaan, di sawah dan kebun maupun atap rumah makan. Artikel ini dibuat untuk mendeskripsikan kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia di kelas IV MI Nurul Ummah Sampit dengan Kompetensi Dasar: Menulis Petunjuk Melakukan Sesuatu atau Penjelasan Tentang Cara Membuat Sesuatu.Adapun indikator sesuai dengan KD tersebut adalah (1) menulis petunjuk sebelum membuat sesuatu dengan menggunakan kata-kata peringatan, perintah dan larangan(2) menulis petunjuk saat membuat sesuatu dengan menggunakan kata-kata peringatan, perintah dan larangan (3) menulis petunjuk selesai membuat sesuatu dengan menggunakan kata-kata peringatan, perintah dan larangan. Hal lain yang harus diperhatikan pada pembelajaran menulis penjelasan tentang cara membuat sesuatu adalah pada aspek penilaian. Karena penilaian dilakukan pada penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian proses adalah mengumpulkan bukti bahwasiswa melakukan proses menulis dengan prosedur dan respon afektif yang sesusai. Penilaian proses berfungsi untuk mendeteksi kesulitan belajar siswa dan membantu melakukan proses yang sesuai dan penilaian hasil adalah pengumpulan dan penganalisisan bukti bahwa siswa sudah berhasil menguasai keterampilan (sudah berhasil menulis) sesuai konteks komunikasi tertentu (Harsiati, 2015: 105-107) IMPLEMENTASI LESSON STUDY DI MI NURUL UMMAH SAMPIT KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR Dalam program TeQIP, diterapkan pelaksanaan pembelajaran bermakna terintegrasi dengan lesson study. Pada kegiatan lesson studymeliputi kegiatan plan, do dan see. Ketika pembelajaran menulis petunjuk membuat sesuatu yang diterapkan di MI Nurul Ummah Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur diterapkan kegiatan lesson study. Adapun kegiatan plan, do dan see akan diuraikan sebagai berikut. Perencanaan (Plan) Pada tahap perencanaan (plan) bertujuan untuk menghasilkan rancangan pembelajaran yang diyakini mampu membelajarkan peserta didik secara efektif serta membangkitkan partisipasi dan motifasi aktif peserta didik dalam pembelajaran. Perencanaan itu disusun secara kolaborasi untuk memperkaya ide terkait dengan rancangan pembelajaran yang akan dihasilkan. Rencana yang disusun bersama harus dapat memudahkan siswa dalam memahami materi menulis cara membuat sesuatu. Dalam kegiatan perencanaan ini kegiatan yang dilakukan berupa persiapan-persiapan yaitu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) menulis pada Standar Kompetensi menulis (Menulis Petunjuk Melakukan Sesuatu) dengan Kompetensi Dasar menulis petunjuk untuk melakukan sesuatu atau penjelasan tentang cara membuat sesuatu.Setelah SK dan KD ditentukan, langkah berikutnya mengembangkan indikator. Indikator Kompetensi Dasar menulis petunjuk untuk melakukan sesuatu atau penjelasan tentang cara membuat sesuatu, yaitu (1) menulis petunjuk sebelum membuat sesuatu dengan menggunakan kata-kata peringatan, perintah dan larangan(2) menulis petunjuk saat membuat sesuatu dengan menggunakan kata-kata peringatan, perintah dan larangan(3) menulis petunjuk selesai membuat sesuatu dengan menggunakan kata-kata peringatan, perintah dan larangan, Penjabaran indikator tersebut dituangkan dalam RPP. 624
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Pada kegiatan perencanaan pembelajaran juga dirancang langkah-langkah pembelajaran yang digunakan untuk mengajar KD tersebut. Salah satu langkah dalam rancangan tersebut guru mempersiapkan satu contoh bentuk anyaman sederhana sebagai media yang akan digunakan di kelas nantinya. Penggunaan media sangat berperan penting dalam proses pembelajaran. Setelah tahap perencanaan rampung dan siap diterapkan maka tahap selanjutnya dilaksanakan pembelajaran sesuai dengan rancangan yang telah dibuat. Pada saat pembelajaran berlangsung diamati oleh observer yang merupakan rekan sejawat. Setiap observer mencatat hasil observasinya sebagai bahan refleksi. Jadi, tugas observer hanya mengamati dan mencatat aktifitas pembelajaran. Jika memungkinkan, dianjurkan untuk merekam dengan handycam. Oleh karena itu observer dilarang untuk membantu, mengintervensi, atau mengganggu siswa maupun guru model selama kegiatan pembelajaran. Adapaun penilaian yang akan dilakukan oleh guru adalah penilaian proses dan penilaian hasil yang terlihat pada tabel berikut: Tabel 1: Penilaian proses Menulis Cara Membuat Sesuatu No. Indikator Deskriptor Skor 1. Keaktifan Aktif 3 Kurang aktif 2 Tidak aktif 1 2. Kerjasama Terlihat 3 Kurang terlihat 2 Tidak terlihat 1 Skor maksimal 6 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑐𝑎𝑝𝑎𝑖 𝑆𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 = × 100% 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑀𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 Tabel 2: Penilaian Hasil Menulis Cara Membuat Sesuatu No. Indikator Deskriptor Skor 1. Keruntutan langkah Runtut 3 Kurang runtut 2 Tidak runtut 1 2. Penggunaan EYD Tepat 3 Kurang tepat 2 Tidak tepat 1 3. Penggunaaan tanda baca Tepat 3 Kurang tepat 2 Tidak tepat 1 4. Kerapian tulisan Rapi 3 Kurang rapi 2 Tidak rapi 1 Skor maksimal 12 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑐𝑎𝑝𝑎𝑖 𝑆𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 = × 100% 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑀𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 Pelaksanaan Pembelajaran (Do) Apabila tahap pelaksanaan (do) telah dilaksanakan maka langkah selanjutnya adalah pelaksanaan refleksi (see). Kegiatan refleksi yang dipimpin oleh seorang moderator akan membantu guru mendiskusikan pembelajaran. Guru model diberi kesempatan pertama untuk melakukan reflleksi diri tentang perasaan, alur skenario atau langkah pembelajaran dan penilaian terhadap keberhasilan pembelajaran. Selanjutnya, observer diberi kesempatan menyampaikan hasil pengamatannya disertai bukti riil, misal dengan memnyebut nama atau nomor dada siswa dan momen kejadiannya. Pada prinsipnya, setiap observer menyampaikan komentar sebagai ucapan terima kasih kepada guru model secara santun, jujur dan penuh respek, memperbanyak pujian serta menghindari kritik berlebih. Pada kegiatan pembelajaran, meliputi kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan penutup yang dapat diuraikan sebagai berikut. Kegiatan Awal Aktifitas yang dilakukan guru di awal pembelajaran selama 10 menit adalah memberi salam, berdoa dan melakukan presensi. Setelah itu guru melakukan apersepsi dengan 625
ISBN :978-602-17187-2-8
menyanyikan lagu Penggunaan Huruf Kapital dengan nada lagu daerah Manari Manasai sebagai berikut: Kesatu untuk awal kalimat Kedua untuk nama orang Ketiga untuk nama hari Keempat untuk nama bulan Kelima untuk nama kota Keenam untuk nama provinsi Ketujuh untuk nama pulau Negara dan bahasa Ayo kita menghafal, kita menghafal Penggunaan huruf kapital Selanjutnya guru bertanya jawab sebagai berikut: Guru : “Anak-anak senang menyanyikan lagu tadi?” Siswa : “Senang, Bu.” Guru : “Ya, bagus. Karena nada lagu tersebut adalah nada lagu Manari Manasai yang merupakan lagu daerah kita Kalimantan Tengah. Selain itu, lagu tersebut berisi tentang penggunaan huruf kapital dalam tulisan. Nah, pada hari ini pembelajaran kita adalah menulis. Jadi, nanti anak-anak harus memperhatikan penggunaan huruf kapital dalam tulisannya ya.” Siswa : “Ya, Bu.” Selanjutnya, guru menunjukkan bahan daun nipah yang digunakan masyarakat Kotawaringin Timur untuk membuat atap. Guru : “Apakah anak-anak pernah melihat ini?” Siswa : (Sebagian besar siswa memnjawab) “Belum pernah, Bu.” (Ada 1-2 siswa menjawab) “Sayapernah melihat di Rumah Makan Kayu Manis di Jalan Cilik Riwut, Bu.” Guru : “Ada yang tahu apa nama daun ini?” Siswa : “Daun kelapa, Bu.” Guru : “Terima kasih, anak-anak. ini namanya daun nipah. Banyak tumbuh di daerah Samuda dan Ujung Pandaran, anak-anak.” Siswa : “Bisa dibuat atap seperti yang di rumah makan itu ya, Bu?” Guru : “Ya, betul. Atap dari daun nipah ini juga digunakan saudara-saudara kita di daerah pedesaan untuk atap rumah mereka..Anak-anak, ingin melihat cara pembuatannya?” Siswa : “Ya, Bu.” Guru : “Ibu akan menunjukkan video singkat cara pembuatan atap daun ini. Bergantian setiap barisan ya.” Siswa : “Ya, Bu.” (menjawab dengan semangat) Guru mengadakan dialog dengan siswa dalam rangka untuk menggali minat belajar dan pengetahuan awal yang dimiliki siswa. Selanjutnya guru menunjukkan video singkat pembuatan atap daun nipah berdurasi sekitar 1 menit kepada siswa secara bergiliran setiap baris. Kemudian guru menyampaikan tujuan pembelajaran pada materi Menulis Petunjuk untuk Melakukan Sesuatu atau Penjelasan Tentang Cara Membuat Sesuatu. Kegiatan Inti Kegiatan inti pembelajaran Menulis Petunjuk untuk Melakukan Sesuatu atau Penjelasan Tentang Cara Membuat Sesuatuyang dilaksanakan selama 45 menitdilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Siswa dibentuk kelompok berpasangan dengan teman sebangku. 2. Guru menyampaikan tugas siswa dan rubrik penilaian yang akan dibagikan untuk menilai hasil tulisan temannya. 3. Guru membagikan kertas berisi gambar-gambar pembuatan anyaman sederhana dari daun nipah dan lembar rubrik penilaian. 4. Siswa mengamati gambar yang dibagikan guru. Setelah itu, siswa memberi nomor urut untuk setiap gambar dengan bekerja sama (berdiskusi) dengan teman sebangku. 5. Setiap siswa secara individu menulis cara membuat anyaman sederhana dari daun nipah. 626
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Suasana pembelajaran di kelas IV MI Nurul Ummah
Setelah semua siswa menyelesaikan tugasnya, hasil tulisan dikumpulkan kemudian ditukar dengan barisan di sebelahnya untuk dinilai oleh teman. 1. Masing-masing siswa menilai hasil tulisan temannya sesuai rubrik yang dibagikan guru. 2. Guru menunjuk beberapa siswa perwakilan dari tiap barisan untuk menulis ke papan tulis dengan memperhatikan penggunaan bahasa yang baik dan benar serta memperhatikan penggunaan ejaan dan keruntutan tahap pembuatan anyaman. Kegiatan Penutup Dalam kegiatan penutup yang dilaksnakan selama 15 menit, guru dan siswa menyimpulkan materi bersama-sama. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap materi.Adapun untuk mengukur keberhasilan proses belajar siswa dilakukan evaluasi secara tertulis tentang petunjuk cara membuat hiasan sederhana dari gelas plastik bekas.Dalam hal ini media yang digunakan adalah objek benda langsung yang dekat dengan lingkungan siswa. Selain itu, guru memberikan semangat kepada siswa agar lebih termotivasi. Refleksi(See) Pada tahap refleksi ini observer yang berjumlah 2 orang menyampaikan hasil pengamatannya.Selanjutnya moderatormemberikan kesempatan kepada guru untuk menyampaikan perasaan ketika melaksanakan proses pembelajaran dikelas IV dengan materi Menulis Cara Membuat Sesuatu, Guru (penulis)merasakan ada kemajuan dan disertai perasaan bahagia dan senangkarena proses belajar mengajar yang penulis lakukan melalui lesson study dapat berjalan dengan lancar. Penulis tidak merasa grogi karena sebelum kegiatan do sudah menyiapkan perangkat pembelajaran ketika kegiatan plan. Ketika mengajar guru semakin lebih percaya diri,karenadalam proses belajar mengajar guru menggunakan media objek secara langsung. Penggunaan media ini dapat meningkatkan motivasi dan semangat belajar siswa sehingga siswa dapat lebih berperen aktif dan antusias dalam mengikuti proses belajar mengajar. Pada kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di kelas IV MI Nurul Ummah Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur dengan materi Menulis Penjelasan Tentang Cara Membuat Sesuatu diamati oleh observer. Pada kegiatan refleksi setelah kegiatan pembelajaran selesai observer menyampaikan hasil pengamatan. Di awal pembelajaran terlihat siswa dalam keadaan siap dan bersemangat untuk mengikuti pembelajaran karena siswa aktif dan senang bernyanyi bersama. Siswa pun merespon dengan baik ketika guru menyampaikan apersepsi, siswa antusias menjawab sesuai dengan konsep pengetahuan awal yang dimiliki.Antara siswa terjadi interaksi sejak media pembelajaran dibagikan. Meskipun hanya berpasangan dengan teman sebangku, kerja sama sudah tampak.Antara siswa dengan guru terjadi interaksi sejak di awal pembelajaran. Semangat siswa sudah terlihat sejak guru mengawali pembelajaran dengan mengajak menyanyikan lagu tentang penggunan huruf kapital. Namun demikian, ada satu siswa di barisan paling utara yang tidak bisa mengikuti pembelajaran dengan baik. Hal itu disebabkan siswa tersebut sempat bermain sendiri dengan mainan kecil yang terdapat pada ujung alat tulis yang dipegangnya.Penyebab siswa tersebut terganggu didalam belajar karena alat tulis tersebut terlihat masih baru dan ia sempat asyik memainkan barang tersebut. Guru berusaha mengatasi gangguan belajar tersebut dengan menegur dan membimbing siswa tersebut agar lebih berkonsentrasi kepada 627
ISBN :978-602-17187-2-8
pembelajaran.Alternatif yang dapat dilakukan guru untuk mengatasi siswa yang terganggu dalam belajaradalah dengan cara selalu meninjau dan membimbing secara ekstra pada saat diskusi kelompok berlansung. Selain itu, guru harus mengenal karakter siswa tersebut. Pada kegiatan penutup siswa dan guru bersama-sama menyimpulkanmateri pembelajaran. Pada tindak lanjut guru memberikan pekerjaan rumah yang bisa dijadikan bahan untuk remidial. Respon siswa ketika guru menyampaikan tindak lanjut pembelajaran hampir seluruh siswa antusias. Hikmah pembelajaran yang dapat dipetik dari penerapan model pembelajaran berkelompok pada pembelajaran ini membuat siswa lebih aktif, percaya diri dan pembelajaran menjadi lebih bermakna.Dengan adanya media yang dekat dengan kehidupan siswa, siswa menjadi berpikir lebih kritis dan aktif, pembelajaran lebik menarik dan menanamkan pemahaman materi yang konkrit sehingga daya ingat siswa dapat bertahan lama. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil refleksi pembelajaran yang diuraikan di atas dapat diketahui bahwa pembentukan kelompok belajar model Habaring Hurung dalam pembelajaran tersebut berdampak adanya interaksi antara siswa dengan siswa. Pembimbingan guru pada proses pembelajaran juga dapat menimbulkan interaksi antara guru dengan siswa. Meskipun pembentukan kelompok hanya dengan teman sebangku, kerja sama telah muncul. Hal ini membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Pada saat melaksanakan tugas menulis, kepercayaan diri siswa meningkat. Model pembelajaran seperti ini akan menarik dan menantang perhatian siswa dan melahirkan siswa yang lebih berani dalam berkomunikasi, matang emosinya, santun, dan terampil berbahasa karena memberikan iklim kebebasan berpikir dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi yang memadai (Anindyarini dan Sumarwati, 2014). Menulis cara membuat sesuatu dilakukan dengan menggunakan objek benda langsung yang dekat dengan kehidupan siswa. Hal ini berdampak pada tingkat kebermakanaan pembelajaran tersebut bagi siswa. Siswa pun menjalani proses pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. PENUTUP Pemanfaatan media objek langsung dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada kompetensi dasar Menulis Cara Membuat Sesuatu pada siswa kelas IV MI Nurul Ummah dapat memudahkan siswa memahami materi pembelajaran. Siswa pun termotivasi belajar dengan adanya media tersebut. Hal itu berdampak pada nilai hasil belajar siswa diatas rata-rata, sehingga menunjukkan ketuntasan belajar siswa. Pembelajaran yang dilakukan melalui kegiatan lesson studypasca kegiatan diseminasiTEQIP 2015.Dalam kegiatan ini semua perangkat pembelajaran disiapkan dengan maksimal. Persiapan perangkat tersebut dilakukan pada kegiatan plan. Penerapan model pembelajaran Habaring Hurung danmedia langsung dilakukan ketika kegiatan do. Hasil pengamatan teman sejawat disampaikan ketika kegiatan see. Hasil diskusi pada kegiatan see akan ditindaklanjuti untuk perbaikan pada pembelajaran berikutnya. DAFTAR RUJUKAN Anindyarini, A dan Sumarwati. 2014 Sekolah Dasar Kajian Teori dan Praktik Pendidikan Malang: Program Studi PGSD, Jurusan KSDP, Fakultas Ilmu Pendidikan,Universitas Negeri Malang. Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Jenjang SD/MI. Jakarta: Depdiknas. Harsiati, T. 2015. Asesmen Pembelajaran Bahasa Indonesia. Malang: Kerja sama PT. Pertamina ( Persero ) dengan Universitas Negeri Malang. Santoso, Anang dan Suwignyo, Heri. 2015. Pendalaman Materi Bahasa Indonesia. Malang: Kerja sama PT. Pertamina ( Persero ) dengan Universitas Negeri Malang.
628
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PENINGKATAN KETRAMPILAN MENULIS PANTUN MELALUI TEKNIK BERNYANYI DENGAN METODE DEMONTRASI DI KELAS IV SDN 2 KUNYET KABUPATEN PIDIE ACEH Zuraidah SDN 2 Kunyet Kabupaten Pidie, Aceh Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis pantun siswa kelas IV SDN 2 Kunyet Kabupaten Pidie Aceh. Upaya peningkatan dilakukan dengan menggunakan teknik bernyanyi. Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ). Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Hasil analisis pelaksanaan tindakan menunjukkan bahwa ketrampilan menulis pantun melalui teknik bernyanyi dengan metode demontrasi terbukti dapat meningkatkan kemampuan menulis pantun siswa. Kata Kunci: Ketrampilan menulis pantun, teknik bernyanyi.dan metode demontrasi
Salah satu bentuk ekspresi jiwa seseorang adalah dalam bentuk tulisan. Melalui tulisan seseorang dapat menuangkan ide, gagasan, serta kreativitas lainnya. Menulis merupakan keterampilan yang tidak dapat dipisahkan dari proses belajar mengajar yang berlangsung di sekolah. Hal ini dikarenakan dalam silabus mata pelajaran Bahasa Indonesia dicantumkan empat keterampilan berbahasa yang harus dikuasai siswa, yaitu keterampilan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Hal ini dapat ditegaskan Sulistyorini (2010:13), ―Menulis adalah keterampilan berbaha-sa yang padu dan ditujukan untuk meng-hasilkan sesuatu yang disebut tulisan‖. Jadi, menulis dapat diartikan juga sebagai salah satu cara berkomunikasi antar manusia dengan bahasa tulis. Tulisan tersebut dirangkai kedalam susunan kata dan kalimat yang runtut dan sistematis, sehingga informasi yang disampaikan dapat dipahami oleh orang yang membacanya. Seorang penulis yang ingin menyampaikan gagasan atau ide dapat mengorganisasikan kata-kata yang dipakainya dalam kalimat. Hal tersebut tidaklah mudah, karena tidak semua pembaca dapat memahami makna bahasa tulis seseorang. Salah satu standar kompetensi dari mata pelajaran bahasa Indonesia yang harus dikembangkan melalui pembelajaran di Sekolah Dasar menyangkut aspek menulis adalah menulis pantun. Standar kompetensi yang diharapkan tercapai adalah mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara tertulis dalam bentuk karangan, pengumuman, dan pantun anak. Secara spesifik kompentensi dasar dari standar kompetensi tersebut adalah membuat pantun anak yang menarik tentang berbagai tema (persahabatan, ketekunan, kepatuhan, dan lain-lain.) sesuai dengan ciri-ciri pantun (Depdiknas: 2006: 326). Berdasarkan pengamatan penulis terhadap siswa kelas IV SDN 2 Kunyet Kabupaten Pidie, Aceh para siswa pada umumnya kurang tertarik pada pelajaran menulis pantun. Hal ini dibuktikan dengan rerata hasil ulangan Bahasa Indonesia semester 2, nilai siswa kelas IV SDN 2 Kunyet khususnya pada kompetensi menulis pantun menunjukkan baru 7 orang (35%) dari 20 orang siswa yang berhasil selebihnya 13 orang siswa (65%) belum berhasil. Faktor penyebab rendahnya tingkat ketuntasan belajar siswa yaitu dari diri siswa sendiri diantaranya: (1) siswa kurang berminat dalam menulis pantun karena menganggap menulis itu sulit, (2) kurangnya motivasi dan keterampilan menulis pada diri siswa, (3) Banyak siswa yang mengeluh dalam menulis pantun dengan teknik konvensional yaitu diberi penjelasan materi yang kemudian diikuti dengan kegiatan menulis pantun di dalam kelas. Faktor guru diantaranya guru enggan memberikan pelajaran menulis pantun karena sering tidak mendapat respon positif dari siswa. Hal ini disebabkan guru kurang memberi motivasi kepada siswa sehingga siswa kurang mendapat pelatihan dalam menulis pantun, guru kurang kreatif dalam penggunaan metode pembelajaran dan penguasaan strategi pembelajaran masih kurang. Menurut Santoso (2012:10) melaksanakan pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan aktif harus menjadi agenda dalam setiap aktivitas sebagai guru.Tantangan yang semakin besar untuk segala bidang menantang guru untuk mempersiapkan siswa menjadi calon generasi yang berkualitas. Guru harus dapat 629
ISBN :978-602-17187-2-8
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, menggunakan media yang tepat, menemukan strategi yang tepat untuk menghadapi siswa dan segala aktivitas selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini sejalan dengan pendapat Subanji (2013) yang mengemukakan bah-wa pembelajaran akan lebih bermakna apabila siswa mengenal secara langsung hal yang dipelajarinya. Dalam hal ini, peran guru sangat penting. Seorang guru bukan hanya harus menguasai materi ajar tetapi juga harus memiliki dan menguasai teknik-teknik pembelajaran, sehingga pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Untuk menciptakan proses pembelajaran yang baik, seorang guru harus memperhatikan karakteristik anak dan berbagai teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli, serta penggunaan alat peraga yang sesuai dengan materi ajar sehingga dapat tercipta proses pembelajaran yang tepat, efektif, dan efisien. Menurut Wijaya dan Rusyan (1994: 37) media berperan sebagai perangsang belajar dan dapat menumbuhkan motivasi belajar sehingga siswa tidak menjadi bosan dalam meraih tujuantujuan belajar. Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba memperbaiki pembelajaran dengan menerapkan teknik bernyanyi untuk meningkatkan ketrampilan menulis pantun anak yang menarik tentang berbagai tema (persahabatan, ketekunan, kepatuhan,dan lain-lain). METODE Prosedur penelitian ini menggunakan rancangan Penelitian Tindakan Kelas (PTK).Penelitian ini dilakukan untuk memecahkan masalah dalam pembelajaran. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan jenis penelitian pembelajaran yang berkonteks kelas dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi dan memperbaiki mutu serta hasil pembelajaran serta mencobakan hal-hal baru di bidang pembelajaran demi peningkatan mutu dan hasil pembelajaran (Maryaeni, 2011: 8). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dilakukan dalam dua siklus yang terdiri atas empat tahap pokok yaitu: perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. (Kemmis dan McTaggart, 1992). Pada tahap perencanaan, langkah-langkah yang ditempuh peneliti adalah menyusun perangkat dan instrumen penelitian berupa (1) rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) siklus I dan II, ringkasan materi pelajaran yang akan diberikan, (3) lembaran kerja siswa (LKS) dan (4) lembaran pengamatan. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua siklus, maka perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian dibuat untuk dua siklus. Adapun instrumen penelitian ini adalah tes menulis pantun melalui teknik bernyanyi dan pedoman pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Sedangkan pengamat dalam penelitian adalah teman sejawat yang bersedia membantu dalam pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Adapun pelaksanaan dilakukan secara rinci dalam dua siklus pada perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian dibuat dalam dua siklus. Siklus II disusun berdasarkan pengalaman pada siklus I dan memperhatikan saran-saran dari pengamat atau teman sejawat. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan identifikasi serta perumusan masalah tersebut, penulis akan menguraikan secara singkat dan sederhana tentang langkah-langkah perbaikan yang telah dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus ada empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. SIKLUS I Perencanaan Identifikasi dan rumusan masalah, merancang pembelajaran dengan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan menerapkan metode demontrasi yang dimanfaatkan sebagai strategi mengajar, merancang alat observasi, serta merancang tes formatif. Pelaksanaan Pengelolaan kelas dan mengecek kehadiran siswa, guru mengucapkan ―salam ‖ dan siswa menjawab : ―salam. Sebelum guru menyampaikan apersepsi dan tujuan pembelajaran khusus atau indikator yang ingin dicapai, guru menanyakan ―apa kabar hari ini‖? Anak-anak menjawab : ―Baik luar biasa, yes yes yes‖. Guru memberi motivasi dengan mengajak siswa bernyanyi dengan judul ―sebatang pohon‖ agar lebih semangat dalam mengikuti pembelajaran. Penyajian materi pada siklus ini adalah guru memasang 4 kalimat di papan tulis dengan ukuran 7 cm x 80 630
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
cm. Setelah itu setiap kelompok wajib menyusun pantun di papan tulis dengan menggunakan media kartu pantun. Guru bersama siswa menyanyikan pantun yang telah di susun. Guru menyediakan lembar kerja kelompok, dan tiap kelompok mengerjakan tugas mernulis pantun sesuai dengan perintah guru, siswa bersama kelompoknya menulis pantun sesuai dengan syaratsyarat pantun. Pada saat ini guru memperhatikan siswa menulis pantun secara berkelompok. Tampak bermacam-macam perilaku siswa ketika mengikuti pelajaran. Siswa berdiskusi untuk menulis pantun dengan tema yang berbeda-beda. Guru menyuruh siswa maju untuk menyanyikan pantun yang telah ditulis. Siswa menyimpulkan materi tentang isi pantun dan ciri-ciri pantun. Dari hasil kegiatan ini siswa dapat menulis pantun sesuai dengan syarat-syarat pantun. Pantun yang telah ditulis ditukarkan dengan kelompok yang lain untuk memperbaiki ejaan yang salah. Kelompok Siswa yang lebih dahulu menulis secara benar mendapat nilai yang bagus. Pada kegiatan akhir siswa menyimpulkan materi dengan me-nyimpulkan syarat-syarat pantun. Sebagai pos tes guru memberikan tugas kepada siswa untuk membuat empat pantun sederhana. Observasi Observasi dilakukan secara bersamaan dengan pelaksanaan tindakan, dengan tujuan untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam tentang pembelajaran pada siklus 1. Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi berupa check list. fokus observer adalah bagaimana proses penerapan tindakan yang dilakukan siswa dan guru yang bertindak sebagai pelaksanaan tindakan, untuk mengetahui minat siswa dalam mengikuti pembelajaran dengan motivasi yang diberikan guru, untuk mengetahui aktivitas siswa dalam pembelajaran yang meliputi kuantitas dan kualitas bertanya dan menjawab pertanyaan, serta mengetahui tingkat keterampilan dan daya imajinasi siswa dalam berpikir, mengetahui kemahiran siswa dalam mengolah kata-kata. Refleksi Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah menganalisis data yang diperoleh pada tahap observasi dan tes hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil analisis data, dilakukan refleksi guna melihat kekurangan dan kelebihan yang terjadi pada saat pembelajaran diterapkan. Kekurangan yang terjadi pada siklus I akan diperbaiki pada siklus berikutnya. Siklus I Dari hasil refleksi, peneliti menyederhanakan semua data yang diperoleh dari pengumpulan data, menyeleksi apa saja kekurangan dan kelebihan pada proses pembelajaran, kemudian data yang diperoleh disusun secara sederhana kedalam bentuk tabel. Sehingga memberikan adanya penarikan kesimpulan. Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, maka dilakukan suatu perbaikan pada siklus II. Pelaksanaan siklus II tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan siklus I, hanya saja beberapa hal yang dianggap kurang pada siklus I diperbaiki pada siklus II dan disesuaikan dengan perubahan yang ingin dicapai. Hasil yang diperoleh pada siklus ini dikumpulkan serta dianalisis. Hasilnya digunakan untuk menetapkan suatu kesimpulan. Apabila pada siklus ini belum mencapai indikator keberhasilan, maka dilanjutkan pada siklus berikutnya. Adapun alur refleksi dapat disajikan pada gambar dibawah ini.
ANALISIS DATA SIKLUS I
DISKUSI PENELITI DENGAN OBSERVER DAN SUPEVISOR
ANALISIS DATA SIKLUS II
PERENCANAAN TINDAKAN SIKLUS II
631
ISBN :978-602-17187-2-8
SIKLUS II 1. Perencanaan Kegiatan ini meliputi membuat perencanaan pengajaran, mempersiapkan alat peraga, membuat lembar observasi, dan mendesain alat evaluasi. 2. Pelaksanaan Tindakan Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahapan ini adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran sebagaimana yang telah direncanakan. Guru menerapkan pembelajaran menulis pantun menggunakan teknik bernyanyi dengan metode demontrasi, Siswa secara berkelompok belajar menulis pantun. 3. Observasi Pada tahap ini dilaksanakan observasi langsung terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan. Memonitor dan membantu siswa jika menemui kesulitan, Memberikan penilaian proses terhadap kegiatan siswa. 4. Tahap Refleksi, pada tahap ini guru : a. Membahas dan mengevaluasi hasil pembelajaran dari kegiatan 1dan 2 b. Membuat kesimpulan perlu atau tidak melaksanakan siklus ketiga. Jika pada siklus II sudah menunjukkan adanya peningkatan kemampuan menulis pantun di kelas IV, maka sesuai rencana tindakan hanya 2 siklus saja. Indikator kinerja yang dijadikan sebagai indikator keberhasilan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dapat dilihat dari adanya peningkatan aktivitas siswa dalam mengikuti pelajaran, yang diukur melalui kuisioner (lembar observasi aktivitas siswa) yang berada dalam kategori baik dan sangat baik serta nilai hasil belajar siswa pada akhir siklus mencapai daya serap individu minimal 60 % dan ketuntasan klasikal 100 %. Dari hasil yang diperoleh setelah melaksanakan pembelajaran yang kedua ini menunjukkan adanya peningkatan bahwa dari 20 siswa tersebut dinyatakan telah mencapai KKM yang ada. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel Rekapitulasi Skor Perolehan Siswa NO 1 2 3 4 5
NAMA SISWA
LIA MAQFIRAH MAULIDI ABDUL KARIM M ALFARIZI REZA FITRA RAMADHAN 6 SALSABILA 7 ZIAN ALFIRA 8 ISFIANA 9 BUNAYYA SUIDA 10 M AZIS 11 M HABIL 12 HAFIF RISKI BATUBARA 13 RAHMAT HIDAYAT 14 M.DANIL FAZLIA 15 M AHYAR 16 ANITA 17 ANNISA 18 SYINTA SAFIRA 19 MUHAMMAD RISKI 20 MAULIDI JUMLAH RATA- RATA
NILAI PRA SIKLUS 70 70 50 70 70
KETUN TASAN
KETUN TASAN
TUNTAS TUNTAS BELUM TUNTAS TUNTAS
NILAI SIKLUS I 70 70 60 75 75
KETUN TASAN
TUNTAS TUNTAS BELUM TUNTAS TUNTAS
NILAI SIKLUS II 75 90 70 85 75
70 50 60 70
TUNTAS BELUM BELUM TUNTAS
75 60 70 70
TUNTAS BELUM BELUM TUNTAS
80 75 75 80
TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS
60 55 60
BELUM BELUM BELUM
70 60 70
TUNTAS BELUM TUNTAS
80 70 90
TUNTAS TUNTAS TUNTAS
50
BELUM
60
BELUM
70
TUNTAS
60
BELUM
70
TUNTAS
80
TUNTAS
70 50 75 70 50
TUNTAS BELUM TUNTAS TUNTAS BELUM
75 65 70 75 60
TUNTAS BELUM TUNTAS TUNTAS BELUM
95 70 75 90 75
TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS
55 1235 61.75
BELUM
70 1372 68.6
TUNTAS
90 1590 79.5
TUNTAS
7
632
12
TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS
20
KKM KD 70
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PORSENTASE KETUNTASAN
35 %
60%
100%
Dari hasil kegiatan pada siklus I, beberapa siswa tampak kesulitan dalam menulis pantun.Pada kegiatan diskusi kelompok, kegiatan masih didominasi oleh siswa yang pandai.sehingga perlu dilakukan perbaikan pada siklus II. Pada siklus II tampak peningkatan yang cukup signifikan setelah disetiap kegiatan siswa kelihatan antusias ketika menulis pantun dengan teknik bernyanyi secara berkelompok dan hasil pembelajaran meningkat mencapai 60%. Melalui hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menulis pantun dengan teknik bernyanyi membawa dampak positif dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas IV. Tabel Hasil Pengamatan Kreatifitas Siswa NO
JUMLAH SISWA
SISWA AKTIF
SISWA TIDAK AKTIF
1
20
18
2
Tabel Presentase Hasil Belajar Siswa NO
JUMLAH SISWA
1
20
% SISWA YANG TUNTAS
100%
% SISWA TDK TUNTAS
%
PEMBAHASAN Setelah melakukan penelitian dari siklus I dan Siklus II, terlihat adanya peningkaatan hasil belajar siswa. Hal ini terlihat dari hasil observasi dan evaluasi setiap siklus, untuk lebih mudahnya melihat perubahan dan kemajuan dari pelaksanaan kedua siklus dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel Refleksi Kondisi Awal ke Kondisi Akhir pada Akhir Proses Pembelajaran REFLEKSI NO KONDISI AWAL SIKLUS I SIKLUS II/ KONDISI AWAL KONDISI AKHIR KE KONDISI AKHIR 1 Masih banyak Siswa yang pasif mulai Siswa semuanya Dari kondisi awal siswa yang kurang berkurang,ada 2 siswa aktif, tidak ada dan kondisi akhir bersemangat dan yang kurang serius dan lagi yang asyik terjadi peningkatan tidak aktif dalam masih kelihatan bermain-main keaktifan siswa mengikuti bermaian-main dalam dalam dalam proses pelajaran pembelajaran, pembelajaran pembelajaran sebagian menulis pantun siswa sudah mulai dengan teknik Nampak kreatifitasnya bernyanyi
Berdasarkan pembahasan dari pembelajaran di atas, bahwa keterampilan menulis pantun dengan teknik bernyanyi dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dan uraian peningkatan hasil belajar dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel. Refleksi Kondisi Awal ke Kondisi Akhir pada Hasil Belajar REFLEKSI SIKLUS II/ KONDISI AWAL KONDISI AKHIR KE KONDISI AKHIR Tugas menulis Tugas menulis pantun Tugas menulis Dari kondisi awal pantun pada kondisi dengan teknik pantun dengan ke kondisi akhir
NO KONDISI AWAL
1
SIKLUS I
633
ISBN :978-602-17187-2-8
awal Nilai terendah 50 Nilai tertinggi 75 Nilai rata- rata 61.75
bernyanyi pada siklus I Nilai terendah 60 Nilai tertinggi 75 Nilai rata-rata 68.6
teknik bernyanyi Pada siklus II Nilai terendah 70 Nilai tertinggi 95 Nilai rata-rata 79.5
terdapat peningkatan hasil belajar siswa dari rata-rata 61.75 menjadi 79.5
Dari hasil rekapitulasi data pada awal siklus I hingga akhir siklus II, menunjukkan bahwa pada umumnya siswa dapat meningkatkan ketrampilan menulis pantun dengan teknik bernyanyi dan membawa dampak positif dalam pembelajaran bahasa Indonesia dikelas IV SD Negeri 2 Kunyet Kabupaten Pidie.Aceh KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan yang di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Minat dan motivasi siswa dapat ditingkatkan dengan menciptakan komunikasi yang baik antara guru dan siswa,menumbuhkan keberanian siswa dalam menjawab pertanyaan melalui diskusi kelompok,sehingga dapat mendukung peningkatan hasil belajar 2. Menulis pantun dengan teklnik bernyanyi dapat meningkatkan kreativitas siswa ,dapat menciptakan Suasana belajar yang menyenangkan dan kelas lebih hidup, lebih santai dan tidak membosankan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar seperti yang diharapkan SARAN Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada guru: 1. Hendaknya menggunakan metode yang sesuai dengan materi yang diajarkan dalam pembelajaran menulis pantun. 2. Untuk meningkatkan ketrampilan menulis pantun Guru hendaknya mencoba menerapkan teknik bernyanyi 3. Diskusi dan bertukar pengalaman dengan teman sejawat sangat perlu dilakukan demi keberhasilan pembelajaran DAFTAR RUJUKAN Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006 tentang Standar penilaian. Jakarta: Depdiknas. Maryaeni.dan Sunoto,2011. Penelitian tindakan kelas. Malang: Universitas Negeri Malang dan PT.Pertamina. Santoso, Anang.2012. Nafas Kreatif Inovatif Aktif (KIA) dalam Pembelajaran Bahasa dan SastraIndonesia. J-TEQIP: Jurnal Peningkatan Kualitas Guru. 3(2):1—10 Subanji, 2013. Pembelajaran Bermakna. Bahan ajar TEQIP. Malang: Uni-versitas Negeri Malang. Sulistyorini, Dwi. 2010. Peningkatan Keterampilan Menulis Puisi Dengan Media Gambar Pada Siswa Kelas V SDN Sawojajar V Kota Malang. Jurnal J-TEQIP Tahun I, November 2010, hlm 12-19. Wiyanto. 2006. Metode Penelitian Tindakan Kelas Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
634
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PENGGUNAAN MEDIA KARTU KATA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACA NYARING PADA SISWA KELAS I SD NEGERI 4 MEKARSARI KECAMATAN GUNUNGSARI KABUPATEN LOMBOK BARAT Lalu Hamdan Trainer TEQIP Kabupaten Lombok Barat
Abstrak: Kemampuan membaca khususnya pada standar kompetensi memahami teks pendek dengan membaca nyaring bagi siswa kelas I SD Negeri 4 Mekarsari Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat tahun pelajaran 2015/2016 masih tergolong rendah. Teridentifikasi nilai rata-rata yang dicapai siswa hanya mencapai 57,50 dari KKM yang telah ditetapkan sebesar 65,00. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar 20 orang siswa, hanya 2 orang siswa mendapat nilai 80, sebanyak 5 siswa mendapat nilai 70, 4 orang siswa mendapat nilai 60, sebanyak 5 orang siswa mendapat nilai 50, dan 4 orang siswa mendapat nilai 40, demikian pula dengan aktivitas belajar siswa masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya penerapan strategi dan metode pembelajaran yang kurang efektif. Melalui media kartu kata permasalahan ini dicoba untuk diperbaiki dan ditingkatkan. Dengan penggunaan media kartu kata akan memudahkan siswa untuk membaca teks pendek dengan nyaring. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan membaca teks pendek dengan nyaring melalui penggunaan media kartu kata. Penggunaan media seperti ini menuntun siswa lebih efektif dalam membaca teks pendek dengan suara nyaring. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Subyek penelitiannya adalah siswa kelas I SD Negeri 4 Mekarsari tahun pelajaran 2015/2016 sebanyak 20 orang siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media kartu kata dapat meningkatkan keterampilan membaca nyaring bagi siswa kelas I SD Negeri 4 Mekarsari, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat. Kata kunci: kartu kata, membaca nyaring, ketrampilan membaca. Membaca merupakan kemampuan untuk memahami informasi atau wacana yang disampaikan pihak lain melalui tulisan. Jika anak pada usia sekolah tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka anak mengalami kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas berikutnya. Kegiatan membaca selain berupa pengucapan bahasa tulisan atau lambang bunyi bahasa, membaca juga merupakan kegiatan menanggapi dan memahami isi bahasa tulisan. Moeliono (1988:62) menyatakan bahwa membaca adalah melihat serta memahami apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). Dengan demikian membaca merupakan kegiatan yang terpadu untuk memperoleh makna atau simbol yang berupa huruf dan atau melihat serta memahami isi tulisan baik dengan melisankan atau hanya dalam hati. Membaca nyaring menurut Tarigan (1979: 22) adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang merupakan alat bagi guru dan murid untuk menangkap makna serta perasaan yang terkandung dalam bahan bacaan. Orang yang membaca nyaring selain haruslah mengerti makna serta perasaan yang terkandung dalam bahan bacaan, dia juga harus mempelajari ketrampilanketrampilan penafsiran atas lambang-lambang tertulis sehingga penyusunan kata-kata serta penekanan sesuai dengan ujaran pembicaraan yang hidup. Membaca nyaring yang baik menuntut agar si pembaca memiliki kecepatan mata yang tinggi serta pandangan mata yang jauh, karena dia haruslah melihat pada bahan bacaan untuk memelihara kontak mata dengan para pendengar. Dia juga harus mengelompokkan kata-kata dengan baik dan tepat agar jelas maknanya bagi para pendengar. 635
ISBN :978-602-17187-2-8
Media pembelajaran dapat dipahami sebagai ―segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif di mana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif‖ (Munadi,2008:7) Sejalan dengan definisi di atas, Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (AECT) dalam Yudhi Munadi menyampaikan bahwa media pembelajaran diartikan sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi. Dari dua definisi media pembelajaran yang dikemukakan di atas dapat dipelajari bahwa media pengajaran adalah segala alat pengajaran yang digunakan guru sebagai perantara untuk menyampaikan bahan-bahan instruksional dalam proses belajar mengajar sehingga memudahkan pencapaian tujuan pengajaran tersebut. Pembelajaran membaca di kelas I merupakan pembelajaran membaca tahap awal, salah satuya adalah membaca nyaring. Dengan membaca nyaring siswa akan mengenali huruf-huruf dan membacanya sebagai suku kata, kata dan kalimat sederhana. Membaca nyaring adalah sebuah pendekatan yang dapat memuaskan serta memenuhi berbagai ragam tujuan serta mengembangkan sejumlah ketrampilan serta minat. Oleh karena itu dalam mengajarkan ketrampilan-ketrampilan membaca nyaring, sang guru harus bisa memahami proses komunikasi dua arah. Hasil pembelajaran membaca nyaring siswa kelas I SD Neger 4 Mekarsari Tahun pelajaran 2015/2016 teridentifikasi belum mencapai kriteria ketuntasan minimal yanga di tetapkan. Pada Kompetensi Dasar 3.1 membaca nyaring suku kata dan kata dengan lafal yang tepat, nilai rata-rata yang dicapai siswa hanya mencapai 57,50 dari KKM pada KD ini yang telah ditetapkan sebesar 65,00. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar 20 orang siswa kelas I SD Negeri 4 Mekarsari, 10% anak mendapat nilai 80, sebanyak 25% anak mendapat nilai 70, sebanyak 4 atau 20% anak mendapat nilai 60, sebanyak 5 atau 25% anak mendapat nilai 50, dan 4 anak mendapat nilai 40, demikian pula dengan aktivitas belajar siswa masih tergolong rendah. Setelah peneliti mencermati ternyata siswa kurang tertarik dan kurang aktif dalam mengikuti pembelajaran membaca nyaring. Berdasarkan beberapa teori mengenai pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar dengan menggunakan media atau alat bantu pembelajaran, maka peneliti mancoba menerapkan penggunaan media kartu kata dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca nyaring karena merupakan kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan rancangan Penelitian Tindakan Kelas tentang penggunaan media kartu kata untuk meningkatkan keterampilan membaca nyaring pada siswa kelas I SD Negeri 4 Mekarsari Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat. Datadata hasil penelitian akan menghasilkan data tentang kemampuan siswa kelas I dalam membaca nyaring yang dipaparkan dalam bentuk tabel hasil penelitian. Rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) yang lazim disebut classroom action research yang berarti penelitian yang dilakukan pada sebuah kelas untuk mengetahui akibat tindakan yang diperlukan pada suatu subyek penelitian di kelas tersebut (Arikunto, 2006:93). Penelitian ini dilakukan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas I SDN 4 Mekarsari, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, dengan subjek penelitian ini adalah siswa kelas I SDN 4 Mekarsari tahun pelajaran 2015/2016 dengan jumlah siswa sebanyak 20 orang. Faktor yang diteliti di antaranya adalah faktor media dan faktor siswa. Dari sisi media, penelitian difokuskan pada penelitian dalam hal keefektifan kartu kata dalam meningkatkan keterampilan membaca nyaring khususnya pada Kompetensi Dasar 3.1 Membaca nyaring suku kata dan kata dengan lafal yang tepat. Dari faktor siswa, pusat penelitian difokuskan pada aktivitas dan hasil belajar yang diperoleh siswa dengan penerapaan media kartu kata pada mata pelajaran Bahasa Indonesia (KD 3.1), termasuk di dalamnya seperti kesiapan dalam belajar, keaktifan dalam kegiatan belajar mengajar yang meliputi perhatian siswa serta keaktifan melaksanakan tugas yang diberikan guru. Penelitian tindakan kelas (PTK) ini menggunakan model kolaborasi yang ditempuh dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri atas tahap perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Model Kemmis dan Taggart (dalam Dasna, 2013:18) menjelaskan Penelitian Tindakan Kelas terdiri atas 4 tahapan yaitu Planning (perencanaan), Acting (tindakan), Observing (observasi atau pengamatan), dan Reflecting (refleksi). 636
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Siklus 1 Pada siklus 1 ini meliputi perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Hasil siklus 1 dipaparkan sebagai berikut. a. Perencanaan Pada tahap perencanaan pertemuan pertama, guru menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) tindakan, menentukan metode yang digunakan, menetapkan bahan ajar, menyusun alat evaluasi, serta menyiapkan lembar pengamatan. b. Pelaksanaan Tindakan Pada tahap pelaksanaan tindakan, guru melaksanakan pembelajaran sesuai RPP yang telah disusun bersama-sama antara peneliti, dan observer. Tahap Kegiatan awal/apersepsi, guru memotivasi siswa untuk aktif dalam pembelajaran dengan melakukan : (1) Siswa menyanyikan lagu ―balonku‖ sambil tepuk tangan (2) Guru menyuruh siswa menghitung warna balon (3) Guru menempelkan kartu kata-kartu kata berikut di papan tulis : balonku ini
balon
banu
balon
banu
lima
ini
balon
ibnu
balon
ibnu
dua
mana
balon
danu
balon
danu
abu-abu
Tahap kegiatan inti pembelajaran yang dilakukan selama kurang lebih 40 menit, langkahlangkah kegiatan yang dilakukan sebagai berikut: 1. Siswa mengamati objek yaitu kartu kata yang ditempel di papan tulis 2. Guru memberi contoh dalam membaca nyaring 3. Siswa membaca nyaring bacaan ―balon‖ dengan suara yang jelas dan lafal yang tepat secara bersama-sama 4. Siswa secara kelompok maju membaca nyaring dengan bimbingan guru 5. Siswa secara perorangan membaca nyaring dengan bimbingan guru sedangkan siswa yang lain ditugaskan menulis 6. Guru membetulkan bacaan siswa yang belum betul . Tahap kegiatan akhir dilakukan dalam waktu kurang lebih 15 menit, kegiatan yang dilakukan antara lain: (1) Guru mengacak kartu kata (2) Siswa secara berpasangan masing-masing 3 orang ditugaskan mencari kartu kata sesuai kalimat yang didiktekan guru untuk kemudian siswa dalam kelompok tersebut membacakan kartu kata yang ditemukan (3) Guru melakukan penilaian secara perorangan dan secara kelompok. Selanjutnya guru melakukan refleksi dan tindak lanjut. c. Observasi Tahapan ini dilaksanakan selama pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan instrumen monitoring yang telah direncanakan secara kolaboratif agar mendapatkan data yang lebih lengkap. Hal-hal yang diobservasi adalah tentang kegiatan guru dalam mengimpelemntasikan pembelajaran membaca nyaring dengan menggunakan kartu kata pada saat pra pembelajaran, 637
ISBN :978-602-17187-2-8
membuka pembelajaran, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Data tentang keberhasilan guru dalam pelaksanaan pembelajaran diperoleh dari lembar observasi kegiatan guru dalam pembelajaran siklus I. Adapun data tentang keberhasilan guru pada tahap ini terlihat pada tabel berikut: (Tabel 1.1) Data Tentang Keberhasilan Guru
Nilai No Aspek yang dinilai
Kondisi Awal
Kegiatan pra pembelajaran, membuka pembelajaran, kegiatan inti dan kegiatan penutup Keterangan kriteria penilaian 3 – 4 : Sangat baik 2 - 2,9 : Baik 1 : 1,9 : Cukup baik
Siklus I
Siklus II
3,24
-
1
1,9
ktivitas belajar siswa dalam pembelajaran pada observasi oleh teman sejawat. Hal-hal yang diobservasikan adalah kegiatan keterlibatan siswa dalam tahap pra pembelajaran, kegiatan pembukaan pembelajaran, kegiatan inti pembelajaran, dan kegiatan penutup. Data tentang keberhasilan siswa atau aktivitas siswa dalam pembelajaran diperoleh dari lembar observasi aktivitas belajar siswa. Setelah dilaksanakan pembelajaran siklus I diperoleh hasil seperti pada tabel berikut: (Table 1.2) Data Keberhasilan Siswa atau Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Siklus I Siklus II ∑ Sisa No Aspek yang dinilai 20 orang F % F % Pra P Pembelajaran 1. Siswa menempati tempat duduk 16 80 masing-masing 2. Kesiapan menerima pembelajaran 14 70 KegiatMembuka Pelajaran
I.
1. Siswa mampu menjawab pertanyaan appersepsi
14
70
-
-
2. Mendengarkan secara seksama saat dijelaskan kompetensi yang hendak dicapai 14
70
-
-
-
-
KegiaIInti Pembelajaran A. Penjelasan materi pelajaran 1. Memperhatikan dengan serius ketikadijelaskan materi pembelajaran 2. Aktif bertanya saat proses penjelasan materi 3. 4.
Adanya interaksi positif antar siswa Adanya interaksi positif antara siswa - guru, siswa - siswa materi pembelajaran B. Pendekatan / Strategi belajar 1. Siswa terlibat aktif dalam kegiatan belajar
5.
2. Siswa memberikan pendapatnya ketika diberikan kesempatan 3. Aktif mencatat berbagai penjelasan yang diberikan 4. Siswa termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran Siswa mengikuti proses pembelajaran dengan tenang dan tidak tertekan 638
13
65
14
70
-
-
13
65
-
-
13
65
-
-
13
65
-
-
13
65
-
-
13
65
-
-
13
65
-
-
14
70
-
-
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
6. Siswa merasa senang menerima pelajaran C. Pemanfaatan media pembelajaran / sumber belajar 1. Adanya interaksi positif antar siswa dan media pembelajaran yang digunakan guru 2. Siswa tertarik pada materi yang disajikan dengan media pembelajaran 3. Siswa tampak tckun mempelajari sumber relajar yang ditentukan guru D. Penilaian proses dan hasil belajar 1. Siswa merasa terbimbing 2. Siswa mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru E. Penggunaan bahasa
13
65
-
-
12
60
-
-
12
60
-
-
13
65
13
65
13
65
1. Siswa mampu mengemukakan pendapatnya 12 dengan lancer 2. Siswa mengajukan pertanyaan dengan lugas 12
60 60
F. Penutup 1.
Siswa secara aktif rangkuman
2.
Siswa menerima tugas tindak lanjut Dengan senang RATA-RATA
12
60
13
65 65,65
Kriteria Penilaian : Rata-rata prosentase : 76 - 100% = sangat baik 51 - 75 % = baik 26 - 5 0 % = cukup baik <26 % = kurang baik Dalam pelaksanaan kegiatan inti peneliti melakukan observasi atau melaksanakan penilaian proses tentang performance siswa. Data diperoleh dari lembar penilaian proses dan kuisioner yang dinilai adalah tentang kelancaran membaca, kejelasan lafal, ketepatan intonasi, keberanian sehingga setelah dilaksanakan pembelajaran siklus I diperoleh hasil seperti pada table berikut: (Table 1.3) Lembar Performance Siswa
Siklus I F % 60 12
Siklus II F % -
12
60
-
-
Ketepatan intonasi
11
55
-
-
Keberanian
13
65
-
-
No
Aspek
1. 2.
Kelancaran membaca Kejelasan lafal
3. 4.
RATA-RATA
∑ Sisa 20 orang
60,00
(Tabel 1.4) Lembar Kuisioner Siswa
No
Aspek
1. 2.
Senang kartu huruf Suka membaca
Siklus I F % 65 13 13 65 639
Siklus II F % -
∑ Sisa 20 orang
ISBN :978-602-17187-2-8
3. Berani bertanya pada guru 16 80 4. Dapat menjawab pertanyaan guru 16 80 RATA-RATA 72,50 Penilaian hasil belajar siswa diperoleh dari penilaian proses dengan pengamatan dan dari penilaian akhir dengan tes individu. Hasil belajar tes akhir ini diperoleh dari lembar tes individu siswa. Setelah dilaksanakan penelitian siklus I diperoleh hasil seperti berukut: (Tabel 1.5) Lembar Tingkat Pencapaian Hasil Belajar Siswa
Aspek Kondisi Awal F % -
1 2
Nilai dari Pencapaian Hasil Belajar 10 – 19 20 – 29
3
30 – 39
-
4
40 – 49
5
No
Siklus I
Siklus II
Ket.
F -
F
20 Orang Siswa
-
% -
-
-
-
5
25
-
-
50 – 59
4
20
-
-
6
60 – 69
4
20
8
40
7
70 – 79
5
25
6
30
8
80 – 89
2
10
4
20
9
90 – 99
-
-
2
10
10
100
-
-
-
-
*
KKM
64
-
65
-
*
Nilai Terendah
40
-
60
-
*
Nilai Tertinggi
80
-
90
-
*
Prosentase Tuntas
-
35,0
-
60,0
*
Prosentase Belum Tuntas Nilai Rata-Rata Kelas 57,5
*
65,0 -
70,0
%
Indikator keberhasilan penelitian ini sedikitnya 75% siswa telah dapat mencapai KKM rata-rata minimal mencapai KKM
40,0 -
Setelah kegiatan penilaian akhir diadakan tindakan refleksi tentang pembelajaran membaca nyaring dengan kartu kata teridentifikasi ada siswa yang tertarik dan semangat, cukup tertarik, cukup bergairah, kurang menarik atau kurang bergairah. Berikut ini data setelah dilaksanakan refleksi siklus I. (Tabel 1.6) Data Ketertarikan Siswa Hasil Refleksi Siklus I No Aspek yang dinilai mengenai Kondisi Awal Siklus I Siklus I Ket pendapat siswa tentang proses F % F % F % Jumlah pembelajaran siswa 20 1. Tertarik 7 35,00 12 60,00 orang 2. Cukup tertarik 4 20,00 5 25,00 3. Kurang tertarik 4 45,00 3 15,00 d. Refleksi Hasil analisis dan refleksi yang dilakukan secara kolaboratif menunjukkan bahwa ketertarikan siswa kelas I (satu) dalam belajar membaca nyaring dengan kartu kata mengalami peningkatan, pada kondisi awal 35,00% menjadi 60,00% pada siklus I. Kemampuan guru dalam menerapkan pembelajaran membaca nyaring dengan kartu kata pada saat pra pembelajaran, membuka pembelajaran, kegiatan inti, dan kegiatan akhir mengalami peningkatan dari kondisi awal mencapai 1,9 poin dalam kriteria cukup baik menjadi 3,24 dalam kriteria sangat baik pada siklus I. Hasil belajar siswa pada tes akhir mengalami peningkatan. Prosentase siswa tuntas belajar pada kondisi awal 35,00% menjadi 60,00% pada siklus I. Namun, hasil belajar secara klasikal belum memuaskan, indikator keberhasilan diharapkan mencapai KKM 640
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
65.00 dan jumlah siswa tuntas mencapai 75%. Hasil yang dicapai rata- rata kelas baik, telah mencapai 70.00, namun jumlah siswa yang tuntas belajar baru mencapai 60 % berarti belum tuntas. Dengan kesimpulan tersebut penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian siklus berikutnya. Kendala dan masalah yang muncul dalam pelaksanaan pembelajaran untuk siklus pertama: 1) Ketertarikan siswa terhadap penggunaan media kartu kata masih kurang 2) Siswa masih kurang aktif dalam bertanya dan menjawab pertanyaan guru 3) Siswa dalam membaca nyaring kurang keras sehingga teman yang lain kurang memperhatikan 4) Ukuran media peraga kurang besar, sehingga siswa yang duduk di belakang masih melihat kurang jelas 5) Guru masih kurang memberikan contoh membaca Upaya perbaikan / rancangan strategi penyelesaian salah dan paparan langkahlangkah implementasi strategi penyelesaian masalah dalam siklus I: a) Rancangan strategi penyelesaian masalah berdasarkan penemuan masalah di atas yaitu b) Menyediakan Kartu kata berwarna-warni c) Menyediakan pertanyan dari yang mudah ke yang sukar 4) Memberi motivasi agar siswa membaca nyaring dengan suara jelas 5) Menyediakan alat peraga kartu kata dengan ukuran yang lebih besar 6) Guru mempersiapkan diri untuk memberikan contoh membaca nyaring lebih banyak. Hasil Siklus II a. Perencanaan Tindakan yang dilakukan pada siklus 2 ini merupakan pelaksanan dari perencanaan tindakan yang telah disusun yaitu RPP yang telah diperbaiki dan disempurnakan, sehingga kekurangan pada siklus 1 dapat diperbaiki. b. Pelaksanaan Tahap pelaksanaan tindakan pada siklus II diawali dengan kegiatan apersepsi dengan alokasi waktu kurang lebih 10 menit, guru memotivasi siswa untuk aktif dalam pembelajaran dengan melakukan kegiatan sebagai berikut: a) Siswa menyanyikan lagu ―balonku‖sambil tepuk tangan. b) Guru menyuruh siswa menghitung warna balon dan bunga c) Guru menempelkan kartu kata berwarna-warni dengan ukuran yang lebih besar. d) Guru meminta siswa untuk menyebutkan benda-benda lain yang mempunyai warna e) Siswa menyebutkan benda lain yang mempunyai warna Tahap kegiatan inti atau kegiatan pokok pembelajaran, kegiatan yang dilakukan selama kurang lebih 40 menit adalah sebagai berikut : a) Siswa mengamati kartu huruf yang ditempel di papan tulis. b) Guru memberi contoh frekuensi dalam membaca nyaring lebih banyak c) Siswa membaca nyaring bacaan ―balonku‖ dengan kata yang jelas dan lafal yang tepat secara bersama-sama. d) Siswa maju satu persatu membaca nyaring dengan ketentuan-ketentuan seperti siklus I e) Guru membetulkan bacaan siswa yang belum betul f) Siswa berpasangan menemukan kartu kata yang telah diacak untuk disusun sesuai kalimat yang didiktekan guru g) Siswa dalam kelompok membaca kartu kata yang ditemukan sesuai kalimat yang didiktekan guru Tahap kegiatan akhir dimulai dengan penugasan kepada siswa untuk mengidentifikasi kartu kata sesuai kalimat yang didiktekan guru sekaligus guru melakukan penilaian. Setelah seluruh siswa mendapat giliran menemukan kartu kata kemudian dibaca secara nyaring, Kegiatan dilanjutkan dengan refleksi dan tindak lanjut. c. Observasi Observasi atau pengamatan siklus II dilaksanakan selama pelaksanaan pembelajaran secara kolaboratif dengan menggunakan instrumen monitoring yang telah direncanakan secara kolaboratif pula agar mendapatkan data yang lebih lengkap. Data tentang keberhasilan guru dalam pelaksanaan pembelajaran diperoleh dari lembar observasi kegiatan guru dalam pembelajaran siklus II pada aspek kegiatan pra pembelajaran, membuka pembelajaran, kegiatan inti 641
ISBN :978-602-17187-2-8
dan kegiatan penutup. Dari hasil observasi siklus II diperoleh nilai sebesar 3,9 berarti ada peningkatan 6,6 poin dari kegiatan pada siklus I. Aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran di observasi oleh teman sejawat, hal-hal yang diobservasikan adalah kegiatan keterlibatan siswa dalam tahap pra pembelajaran, kegiatan pembukaan pembelajaran, kegiatan inti pembelajaran, dan kegiatan penutup. Data tentang keberhasilan atau aktivitas siswa dalam pembelajaran diperoleh dari lembar observasi aktivitas belajar siswa dengan perolehan nilai seperti pada tabel berikut (Tabel 2.1) Data tentang Keberhasilan atau Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran
No I.
II.
Siklus I F %
Aspek yang dinilai
Pra Pembelajaran Siswa menempati tempat duduk masing16 masing Kesiapan menerima pembelajaran 14 Kegiatan Membuka Pelajaran
80
20
100
70
19
95
70
18
90
70
20
100
16
80
70
16
80
65
19
95
65
19
95
13
65
18
90
13
65
17
85
13
65
16
80
13
65
20
100
14
70
19
95
13
65
19
95
60
20
100
60
18
90
65
18
90
65
20
100
Siswa mampu menjawab pertanyaan 14 apersepsi Mendengarkan secara seksama saat dijelaskan kompetensi yang hendak dicapai 14 III.
Siklus II F %
Kegiatan Inti Pembelajaran
A. Penjelasan materi pelajaran Memperhatikan dengan serius ketika 13 dijelaskan materi pembelajaran Aktif bertanya saat proses penjelasan materi 14 Adanya interaksi positif antar siswa 13 Adanya interaksi positif antara siswa - guru, 13 siswa - siswa materi pembelajaran B. Pendekatan / Strategi belajar Siswa terlibat aktif dalam kegiatan belajar Siswa memberikan pendapatnya ketika diberikan kesempatan Aktif mencatat berbagai penjelasan yang diberikan Siswa termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran Siswa mengikuti proses pembelajaran dengan tenang dan tidak tertekan Siswa merasa senang menerima pelajaran
C. Pemanfaatan media pembelajaran / sumber belajar Adanya interaksi positif antar siswa dan 12 media pembelajaran yang digunakan guru Siswa tertarik pada materi yang 12 disajikan dengan media pembelajaran Siswa tampak tckun mempelajari sumber 13 relajar yang ditentukan guru D. Penilaian proses dan hasil belajar Siswa merasa terbimbing
13 642
65
∑ Sisa 20 orang
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Siswa mampu menjawab dengan benar 13 pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru E. Penggunaan bahasa Siswa mampu mengemukakan pendapatnya 12 dengan lancer 1. Siswa mengajukan pertanyaan dengan lugas 12 IV.
65
18
90
60
18
90
60
18
90
60
18
90
65
16
80
Penutup Siswa secara aktif rangkuman
12 Siswa menerima tugas tindak lanjut dengan 13 senang RATA-RATA
65,65
91,30
Kriteria Penilaian : Rata-rata prosentase : 76 - 100% = sangat baik 51 - 75 % = baik 26 - 5 0 % = cukup baik <26 % = kurang baik Dalam pelaksanaan kegiatan inti peneliti melakukan observasi tentang performance siswa. Data diperoleh dari lembar penilaian proses dan kuisioner yang dinilai adalah tentang kelancaran membaca, kejelasan lafal, ketepatan intonasi, keberanian sehingga setelah dilaksanakan pembelajaran siklus II diperoleh data seperti berikut (Tabel 2.2) Lembar Performance Siswa
Siklus I F % 60 12
Siklus II F % 90 18
12
60
18
90
Ketepatan intonasi
11
55
18
90
Keberanian
13
65
18
90
No
Aspek
1. 2.
Kelancaran membaca Kejelasan lafal
3. 4.
RATA-RATA
60,00
∑ Sisa 20 orang
90,00
(Tabel 2.3) Lembar Kuisioner Siswa
Siklus I F % 13 65 13 65
No Aspek 1. 2.
Senang kartu huruf Suka membaca
Siklus II F % 19 95 18 90
∑ Sisa 20 orang
3. Berani bertanya pada guru 16 80 19 95 4. Dapat menjawab pertanyaan guru 16 80 18 90 RATA-RATA 72,50 92,50 Penilaian hasil belajar siswa diperoleh dari penilaian proses dengan pengamatan dan dari penilaian akhir dengan tes individu dengan perolehan sebagai berikut. (Tabel 2.4) Lembar Tingkat Pencapaian Hasil Belajar Siswa
1 2
Nilai dari Aspek Pencapaian Hasil Belajar 10 – 19 20 – 29
Kondisi Awal F % -
3
30 – 39
-
4
40 – 49
5
No
Siklus I
Siklus II
Ket.
F -
F -
% -
20 Orang Siswa
-
% -
-
-
-
-
-
25
-
-
-
-
643
Indikator keberhasilan penelitian ini sedikitnya 75% siswa telah dapat mencapai KKM rata-
ISBN :978-602-17187-2-8
5
50 – 59
4
20
-
-
-
-
6
60 – 69
4
20
8
40
2
10
7
70 – 79
5
25
6
30
3
15
8
80 – 89
2
10
4
20
10
50
9
90 – 99
-
-
2
10
3
15
10
100
-
-
-
-
2
10
*
KKM
64
-
65
-
65
-
*
Nilai Terendah
40
-
60
-
60
-
*
Nilai Tertinggi
80
-
90
-
100
-
rata minimal mencapai KKM
*
Prosentase 35,0 60,0 95 Tuntas * Prosentase Belum 65,0 40,0 5 Tuntas * Nilai Rata-Rata 57,5 70,0 81,7 Kelas 0 0 5 Setelah kegiatan penilaian akhir diadakan tindakan refleksi tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan yaitu pembelajaran membaca nyaring dengan kartu kata. Adapun hasil yang diperoleh pada siklus II ini terlihat pada tebel berikut. (Table 2.5) Hasil refleksi pembelajaran membaca nyaring
No
1. 2. 3.
Aspek yang dinilai mengenai pendapat siswa tentang proses pembelajaran Tertarik Cukup tertarik Kurang tertarik
Kondisi Awal Siklus I F % F %
Siklus I F %
7 4 4
15 4 1
35 20 45
12 5 3
60 25 15
Ket Jumlah siswa 20 orang
75 20 5
d. Refleksi Hasil analisis dan refleksi yang dilakukan menunjukkan bahwa ketertarikan siswa kelas I (satu) dalam belajar membaca nyaring dengan kartu kata mengalami peningkatan, pada kondisi awal 35,00% menjadi 60,00% pada siklus I berarti naik 25% dan menjadi 75,00% pada siklus II berarti naik 15,00%. Pada indikator partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran meningkat dari siklus I sebesar 65,65% menjadi 91,30% pada siklus II terjadi kenaikan 25,65%, dari pengamatan performance siswa dalam membaca nyaring secara berkelompok pada siklus I 60,00% menjadi 90,00% pada siklus II mengalami kenaikan 30,00% dan dari hasil kuesioner siswa 72,50% pada siklus I menjadi 92,50% pada siklus II meningkat 20,00%. Indikator keberhasilan tentang keaktifan dan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah pada penelitian ini 75% jumlah siswa berarti telah berhasil. Hal ini diamati pada proses yang menghidupkan suasana pembelajaran sehingga siswa pun mampu memecahkan masalah. Kemampuan guru dalam menerapkan membaca nyaring dengan kartu kata pada saat pra pembelajara, membuka pembelajaran, kegiatan inti, dan kegiatan akhir atau penutup mengalami peningkatan dari kondisi awal mencapai poin 1,9 dalam kriteria cukup baik menjadi 3,24 dalam kriteria sangat baik pada siklus I naik 1,34 poin dan mencapai 3,9 dalam kriteria sangat baik pada siklus II naik 0,66 poin. Hasil belajar siswa pada tes akhir atau pada ulangan harian mengalami peningkatan prosentase siswa tuntas belajar pada kondisi awal 35,00% menjadi 60,00% pada siklus I berarti naik 25,00% dan menjadi 95, 00% pada siklus II naik 35,00%. Indikator keberhasilan tentang hasil belajar siswa pada penelitian ini ditetapkan minimal 75% jumlah siswa telah mencapai KKM berarti telah berhasil. Nilai rata-rata kelas juga mengalami peningkatan dari kondisi awal 57,50 menjadi 70,00 pada siklus I naik 12,50 poin dan menjadi 81,75 pada siklus II naik 11,75 poin. Indikator keberhasilan tentang nilai rata-rata kelas pada penelitian ini ditetapkan telah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan yaitu 65,00 berarti sudah berhasil. 644
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Dengan demikian suasana pembelajaran lebih menarik, siswa lebih aktif dapat memecahkan masalah dan kemampuan guru meningkat serta hasil belajar siswa meningkat. PEMBAHASAN Pembahasan Hasil Tindakan Siklus I Berdasarkan tabel tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada kondisi awal menunjukkan rata-rata kelas nilai ulangan harian 57,5 dari 20 siswa 2 siswa mendapat nilai 80, 5 siswa mendapat nilai 70, 4 siswa mendapat nilai 60, 4 siswa mendapat nilai 50 dan 5 siswa mendapat nilai 40. Dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 65,00, siswa tuntas belajar sebanyak 7 orang atau 35,00%, siswa belum tuntas belajar 13 siswa atau 65,00%, nilai terendah 40 dan nilai tertinggi 80. Setelah dilaksanakan pembelajaran membaca nyaring dengan kartu kata pada Siklus I nilai rata-rata kelas hasil ulangan harian menjadi 70,00 dari 20 siswa, 8 siswa mendapat nilai 60,6 siswa mendapat nilai 70, 4 siswa mendapat nilai 80, 2 siswa nilai mendapat 90. Presentase tuntas belajar klasikal meningkat dari kondisi awal dari 35,00% menjadi 60,00% setelah dilaksanakan siklus I, tetapi belum mencapai indikator keberhasilan penelitian ini yaitu 75% siswa tuntas belajar. Dari hasil wawancara ketika kegiatan refleksi pembelajaran tentang ketertarikan siswa pada pelajaran membaca nyaring menunjukkan bahwa pada kondisi awal dari 20 siswa yang tertarik sebanyak 7orang siswa , 4 siswa cukup tertarik , dan 9 siswa yang kurang tertarik. Setelah dilaksanakan siklus I menggunakan media kartu kata terjadi peningkatan dari 20 siswa 60,00% siswa tertarik , 25,00% siswa cukup tertarik , dan 15,00% siswa kurang tertarik. Aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia dengan media Kartu kata mencapai rata-rata 65,65%, pada siklus I. Kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran membaca nyaring dengan kartu kata pada mata pelajaran Bahasa Indonesia telah terjadi peningkatan hal ini terlihat dari data hasil observasi dari kondisi awal mencapai nilai 1,9 kriteria cukup baik menjadi 3,24 kriteria sangat baik pada siklus I. Pembahasan Hasil Tindakan Siklus II Berdasarkan tabel tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada kondisi awal menunjukkan rata-rata kelas nilai ulangan harian sebesar 57,5 dari 20 siswa, 2 orang siswa mendapat nilai 80, 5 orang siswa mendapat nilai 70, 4 siswa mendapat nilai 60, 4 siswa mendapat nilai 50 dan 5 siswa mendapat nilai 40. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 65,00, siswa tuntas belajar 7 orang, siswa belum tuntas belajar 13 orang, nilai terendah 40 dan nilai tertinggi 80. Setelah dilaksanakan pembelajaran pada Siklus I nilai rata-rata kelas hasil ulangan harian menjadi 70,00 dari 20 siswa, 8 siswa mendapat nilai 60,6 orang siswa mendapat nilai 70, 4 orang siswa mendapat nilai 80, dan 2 siswa nilai mendapat 90. Hasil tindakan pada siklus II menunjukkan terjadi peningkatan pada tingkat pencapaian hasil belajr siswa yaitu nilai rata-rata kelas hasil ulangan harian menjadi 81,75 dari 20 siswa 1 siswa mendapat nilai 60, 1 siswa mendapat nilai 65, 3 siswa mendapat nilai 75, 8 siswa mendapat 80, 2 siswa mendapat nilai 85, 2 siswa mendapat nilai 90, 1 siswa mendapat nilai 95 dan 2 siswa mendapat nilai 100. Dengan prosentase tuntas belajar klasikal 95,00% dan prosentase belum tuntas belajar klasikal 5,00%, nilai terendah 60 dan nilai tertinggi 100. Nilai rata-rata kelas pada kondisi awal 57,5 meningkat menjadi 70,00 pada siklus I 50,00 point diatas KKM, dari siklus I ke siklus II meningkat mendapat 81, 75. 16,75 point di atas KKM. Prosentase tuntas belajar klasikal meningkat dari kondisi awal dari 35,00% menjadi 60,00% setelah siklus I, dan menjadi 95,00% setelah siklus II sudah mencapai indikator keberhasilan penelitian ini yaitu ditetapkan 75,00% siswa telah tuntas belajar. Dari hasil wawancara ketika kegiatan refleksi pembelajaran tentang ketertarikan siswa pada pelajaran Bahasa Indonesia dengan pembelajaran tematik menunjukkan bahwa pada kondisi awal dari 20 siswa yang tertarik 7 siswa sebanyak 35,00%, 4 siswa cukup tertarik sebanyak 20,00%, siswa yang kurang tertarik 9 siswa sebanyak 45,00%. Setelah dilaksanakan siklus I terjadi peningkatan dari 20 siswa 12 siswa tertarik sebanyak 60,00%, 5 siswa cukup tertarik sebanyak 25,00%, 3 siswa kurang tertarik sebanyak 15,00% dan setelah dilaksanakan siklus II terjadi peningkatan dari 20 siswa 15 anak tertarik sebanyak 75,00%, siswa yang cukup tertarik 4 anak sebanyak 20,00%, siswa yang kurang tertarik 1 anak sebanyak 5,00%, ketertarikan siswa ini memacu keaktifan belajar siswa terbukti hasil belajar meningkat. Aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran dengan media kartu kata mencapai rata-rata 645
ISBN :978-602-17187-2-8
65,65%, pada siklus I dan meningkat menjadi 91,30% pada siklus II sudah mencapai kriteria keberhasilan penelitian ini yaitu 75% siswa dapat menunjukkan keaktifan berpikir dengan sungguh-sungguh, dalam proses pembelajaran pada siklus I dan 90,40% pada siklus II berarti siswa sudah dapat memecahkan masalah yang dihadapi secara bersama-sama. Kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran membaca nyaring dengan kartu kata mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari data hasil observasi, dari kondisi awal mencapai nilai 1,9 kriteria cukup baik menjadi 3,24 kriteria sangat baik pada siklus I dan meningkat menjadi 3,9 kriteria sangat baik pada siklus II. Dengan peningkatan seperti ini maka penelitian siklus II dihentikan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil tindakan yang telah dilaksanakan dalam dua siklus dan indikatorindikator yang telah ditetapkan, maka dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut : - Media kartu kata dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia khususnya membaca nyaring pada siswa kelas I SDN 4 Mekarsari - Media kartu kata dapat meningkatkan keterampilan membaca pada mata pelajaran Bahasa Indonesia khususnya membaca nyaring pada siswa kelas I SDN 4 Mekarsari. Saran Berdasarkan paparan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan di kelas I SDN 4 Mekarsari, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat pada Tahun Pelajaran 2015/2016, ada beberapa hal yang peneliti sarankan terutama bagi guru agar kiranya lebih kreatif dalam menyusun RPP dan melaksanakan pembelajaran yang inovatif pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Salah satunya yaitu dengan menggunakan media kartu kata dalam melaksanakan pembelajaran membaca nyaring pada siswa kelas I. Selain itu hendaknya guru selalu meningkatkan profesionalismenya guna meningkatkan kualitas pendidikan. Guru harus selalu mengadakan perubahan- perubahan di dalam melaksanakan pembelajaran. Guru perlu melakukan PTK untuk merekam semua kegiatan pembelajarannya sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. DAFTAR PUSTAKA Aqib, Zainal. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: CV. Yrama Widya. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Sebagai Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Citriadin, Yudin. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Mataram. Darmiyati Zuchdi dan Budiasih.2001.Pendidikan Bahasa dan Sastra di Kelas Rendah. Yogyakarta: PAS. Guntur Tarigan, Henry. 1979. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung : Angkasa. Muhibin Syah.1995. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Rosdakarya. Mulyani Sumantri dan Johan Permana. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Maulana. Munadi, Yudhi. 2008. Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Gaung Persada Press. Moeliono, Anton M..1998.Psikologi Belajar. Yogyakarta:Rineka Cipta.
646
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PEMANFAATAN MEDIA GAMBAR DAN KARTU HURUF DALAM PEMBELAJARAN MENULIS PERMULAAN DENGAN METODE PICTURE AND PICTURE MELALUI LESSON STUDY PADA SISWA KELAS I SD Sri Gusnilla SDN 001 Ranai Kecamatan Bunguran Timur Kabupaten Natuna Abstrak: Di dalam proses belajar mengajar, strategi pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, dengan menggunakan media gambar dan kartu huruf sebagai alat untuk membantu dalam pelaksanaan pembelajaran sangat berguna dan bermanfaat bagi siswa terutama bagi siswa kelas rendah, khususnya siswa kelas I. Adapun tujuan dari menggunakan media gambar dan kartu huruf ini adalah untuk membantu siswa kelas rendah, khususnya siswa kelas I dapat dengan mudah mengenal huruf, menulis huruf, menyusunnya bahkan membaca kata yang sudah disusun dan ditulis. Selain itu, penggunaan media gambar sebagai media pembelajaran dalam proses belajar mengajar adalah untuk membangkitkan motivasi siswa agar lebih aktif, antusias, semangat, berani tertantang, kerjasama dan sebagainya. Kata Kunci: media gambar, kartu huruf, motivasi, kerjasama, berani, prestasi, menulis permulaan.
Untuk mengajar di kelas I para guru harus memiliki kemampuan khusus dan mempunyai mentalitas yang tinggi untuk menghadapi siswa yang mengalami masa transisi dari TK ke SD. Strategi pembelajaran, metode pembelajaran serta media pembelajaran adalah modal utama untuk siswa kelas I ini dalam melaksanakan proses pembelajaran. Bisa mengajar saja tidaklah cukup dijadikan sebagai modal utama untuk menghadapi siswa-siswa yang sedang mengalami masa transisi ini. Guru harus siap dianggap sebagai pengganti orang tuanya yang dianggap sebagai ibu, teman, kakak, adik dan saudara. Maka dari itu guru kelas I harus siap dalam segala hal baik sebelum proses belajar mengajar ataupun selesainya proses belajar mengajar. Banyak masalah yang sering muncul ketika guru dalam menyajikan pembelajaran, khususnya cara memperkenalkan huruf–huruf. Untuk itu guru harus berusaha keras untuk meningkatkan strategi pembelajaran dalam kelas. Berbagai macam strategi pembelajaran seharusnya disajikan terutama media pembelajaran yang sangat berperan penting untuk melaksanakan proses belajar mengajar. Media pembelajaran dibuat semenarik dan seindah mungkin. Selain untuk menarik perhatian siswa, media juga berguna untuk meningkatkan kreativitas dan keberanian siswa, serta mengetahui cara bekerjasama dengan teman sebaya atau teman satu kelompok. Media pembelajaran yang monoton membuat siswa menjadi bosan dan tidak tertarik untuk mengikuti pembelajaran. Rasa ingin tahu untuk melihat benda-benda langsung merupakan hal yang harus diperhatikan oleh guru. Disisi lain cara pembelajaran, pola atau sistem yang diterapkan guru dalam pelaksanaan pembelajaran khususnya Bahasa Indonesia masih cenderung mengabaikan peran siswa aktivitas siswa saat pembelajaran berlangsung. MEDIA Media adalah salah satu perangkat pembelajaran yang harus disiapkan guru sebelum melaksanakan pembelajaran. Penggunaan media sangatlah penting untuk menarik perhatian siswa, khususnya kelas rendah. Media diartikan sebagai perantara, penghubung yang terletak diantara dua pihak (orang, golongan dsb). Media pembelajaran memiliki fungsi sebagai perantara atau membawa informasi dari guru menuju siswa. Menurut Ibrahim (dalam Kusubakti dan Pratiwi, 20111:4) ada tiga kelebihan kemampuan media 1. Kemampuan fiksatif, media pembelajaran dapat menangkap, menyimpan, dan menampilkan kembali suatu objek atau kejadian. 2. Kemampuan manipulatif, dapat menampilkan kembali objek atau kejadian dengan berbagai macam perubahan (manipulasi) sesuai keperluan, misalnya diubah ukurannya, kecepatannya, warnanya, serta dapat pula diulang–ulang penyajiannya. 647
ISBN :978-602-17187-2-8
3. Kemampuan distributif. Dengan media siswa bisa menyaksikan benda atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau dengan media siswa bisa mengganti benda/peristiwa yang sukar dikunjungi baik karena jarak bahaya atau terlarang. Selain itu dengan media, siswa bisa memperoleh gambaran yang jelas tentang benda atau hal-hal yang sukar diamati secara langsung karena ukurannya yang tidak memungkinkan. Agar tidak membosankan media juga harus bervariasi dan kongkret. Pertimbangan mengadakan variasi dalam penggunaan media bukan sebagai pelengkap pembelajaran tetapi benar-benar sesuai dengan karakteristik siswa sekolah dasar. Kegiatan pembelajaran itu sendiri pada hakikatnya merupakan proses komunikasi. Dalam proses komunikasi, biasanya guru berperan sebagai komunikator (communicator) yang bertugas menyampaikan pesan/bahan ajar (massages) kepada siswa. Siswa dalam hal ini bertindak sebagai penerima pesan (communicant). Agar pesan atau bahan ajar yang disampaikan guru dapat di terima oleh siswa maka diperlukan wahana pesan yaitu media pembelajaran (Schramm, 1977, Briggs, 1977, NEA , 1969 dalam Atimah 2007: 6.4). Apabila proses tersebut divisualisasikan akan tampak pada gambar :
Communicator
Massages (Pesan/bahan ajar)
Media
Communicant
Gambar proses komunikasi dalam pembelajaran
1. Media Gambar Dalam pelaksanaan pembelajaran, khususnya kelas I media gambar sangat berperan penting. Dengan melihat gambar pada awal mulanya siswa dapat lebih mengenal gambar dari pada melihat tulisan. a. Memperkenalkan huruf vokal dengan media gambar (a,i,u,e,o) Contoh gambar 1. 2. . …pel
….kan
3.
4. …lar
5. ….dol
648
…mber
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
b. Contoh media gambar dengan empat huruf 1. 2. …….
………
3.
4.
5.
…….
6.
…….
7.
…
8
……. …..
……
c. Contoh media gambar dengan lima huruf 1. 2. … ….
4.
3. ……
5. …..
6. …..
2. Prestasi Siswa Menggunakan Media Gambar Dalam Mengenal Huruf Materi pembelajaran Bahasa Indonesia yang disampaikan di kelas selama ini masih menggunakan cara lama dan monoton. Khususnya untuk kelas rendah, guru terlalu dominan memberi contoh dipapan tulis atau metode mengajar masih banyak menggunakan metode ceramah, pemberian tugas mengerjakan soal dan tanya jawab.Hal ini mengakibatkan siswa merasa minder takut, jenuh, bosan bahkan tidak nyaman atau tidak menyenangkan. Kemampuan siswa tidak merata ada yang bisa mengikuti dan ada siswa yang tidak bisa mengikuti. Maka dari itu penulis mencari solusi dari masalah yang dialami siswa, penulis juga mencari cara bagaimana siswa bisa kreatif, tertantang, berani, penasaran, tertarik dan saling kerja sama dengan materi yang diberikan. Semenjak menggunakan media gambar dan kartu huruf sebagai media pembelajaran semangat siswa naik dratis pada saat pembelajaran Bahasa Indonesia dalam mengenal huruf atau mambaca. 3. Kemampuan Menulis Huruf, Menempel Huruf, Menyusun Huruf Serta Membaca Kata Kompetensi Dasar menulis yang dikembangkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya kelas I, diantaranya adalah kemampuan menulis huruf, menyusun huruf dan membaca kata sesuai gambar. Sebelum melakukan pembelajaran siswa diharapkan dapat menulis huruf pada kartu yang sudah disediakan guru, menyusun huruf, dan membaca kata yang telah ditulis, disusun berdasarkan gambar. 649
….
ISBN :978-602-17187-2-8
Menulis adalah suatu aktivitas menuangkan pikiran secara sistematis kedalam bentuk tertulis. Menurut Cunningham, dkk.(dalam Yunus, 2013:1.5) menulis adalah berfikir. Dalam menulis terdapat sembilan proses berpikir yaitu : mengingat, menghubungkan, mengorganisasikan, membayangkan, memprediksi, meramalkan, memonitor, menggeneralisasikan, menerapkan, mengevaluasi Smith (dalam Sriatun & Asniah,2010:43), menjelaskan bahwa pengalaman belajar menulis yang dialami siswa disekolah tidak terlepas dari kondisi guru membelajarkan menulis. Berdasarkan fakta dilapangan menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran kemampuan menulis, menyusun huruf dan membaca kata bagi siswa kelas rendah khususnya kelas satu masih banyak kesulitan. Selama ini siswa masih sulit menulis tertutama dalam membaca. Hal ini disebabkan kurangnya motiasi dan variasi dalam mengajar yang disampaikan oleh guru. Seperti yang sudah ditulis penulis pada halaman pendahuluan pola mengajar guru yang masih konvensional, yang mewajibkan siswa kelas satu harus bisa dan cepat bisa dengan materi yang diberikan guru. Sehingga siswa menjadi bosan , takut minder untuk belajar bahkan mogok sekolah. Kondisi tersebut terjadi pada siswa kelas satu SDN 001 Ranai. Hal ini disebabkan oleh karena pembelajaran yang dilakukan selama ini tentang kompetensi dasar menulis huruf menyusun huruf, dan membaca kata sesuai gambar kurang menarik bagi siswa. Untuk mengatasi kesulitan siswa dalam aspek menulis huruf, menyusun huruf dan membaca kata sesuai gambar, penulis mencoba menerapkan pembelajaran dengan metode penggunaan media untuk merangsang siswa didalam hal menulis huruf, menyusun huruf dan membaca kata. 4. Pembelajaran Tahap Pelaksanaan Pada tahap ini penulis menggunakan konsep belajar kelompok dimana siswa kelas I di bagi menjadi 4 kelompok buah-buahan yaitu kelompok apel, anggur, jeruk, dan mangga. Dalam hal ini penulis juga membagikan potongan-potongan kartu, potongan-potongan kartu tersebut digunakan untuk siswa menulis huruf dan menempelnya pada gambar yang telah disiapkan. a. Kegiatan awal (10 menit) Pada kegiatan awal secara klasikal guru menyiapkan siswa untuk belajar, guru memberi salam dan dijawab oleh siswa, doa, guru mengabsen siswa, tanya jawab tentang materi pembelajaran,mengkondisikan kelas diiringi dengan nyanyian ―kalau kau senang hati‖. Apersepsi. Guru : (sambil memperlihatkan karton yang masih tertutup).‖Anak-anak coba lihat ibu bawa apa ?‖ Siswa : ― Kertas, Bu....! Guru : ― Sudah tau belum gambar apa yang ibu bawa?‖ Siswa : ― Belum, Bu....! Guru : Sambil menghitung, guru membuka gambar ―satu...dua...tiga...‖ (anak-anak menjadi penasaran.) Siswa : ―Buah apel bu, ikan bu, baju, bola.‖ Jawaban yang beragam dan saling berebut masing-masing ingin memberi jawaban. Seluruh siswa berbicara menurut pendapatnya masing-masing. Dari gambar yang mereka lihat salah satu cara guru menggali pengetahuan siswa selama ini. Secara keseluruhan siswa menjadi termotivasi untuk belajar dengan adanya media gambar yang diperlihatkan guru untuk menarik perhatian siswa untuk pembelajaran selanjutnya. Siswa yang tadinya sibuk denga aktivitasnya sendiri menjadi semangat dan antusias dalam mengikuti pelajaran yang disampaikan b. Kegiatan Inti - Guru memperlihatkan berbagai macam gambar.
650
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
-
-
1.
Siswa memperlihatkan berbagai macam gambar yang diperlihatkan guru Siswa dibagi menjadi empat kelompok yaitu kelompok dengan macam-macam nama buah, kelomok apel, kelompok anggur, kelompok jeruk, kelompok mangga. Guru membagikan berbagai macam gambar dan potongan kartu yang masih kosong kepada setiap kelompok. Dengan dibantu guru, masing-masing siswa setiap kelompok menulis huruf pada kartu yang sudah disediakan. Siswa menempel hasil kelompok di papan tulis.
- Masing-masing kelompok membacakata-kata sesuai dengan gambar. - Guru menilai hasil siswa. - Setelah selesai mengikuti semua kegiatan pembelajaran, guru memberikan penguatan. c. Kegiatan Akhir - Guru bersama siswa mengulangi materi hari ini. - Guru bersama siswa menyimpulkan pembelajaran - Guru memberi motivasi kepada siswa agar lebih giat lagi belajar di rumah. Adapun hasil evaluasi pada proses pembelajaran tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut. 1) Kelompok Apel No Indikator Aspek yang dinilai Deskripsi skor Nilai Menulis huruf Kesesuaian Sesuai 3 Kurang sesuai 2 3 Tidak sesuai 1 2. Menyusun Huruf Ketepatan Tepat 3 Kurang tepat 2 2 Tidak Tepat 1 3. Membaca kata Kejelasan suara Jelas 3 1 Kurang Jelas 2 Tidak Jelas 1 Skor yang diperoleh 6 Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap kemampuan siswa dalam menulis huruf, menyusun huruf dan membaca kata sesuai gambar dapat diperoleh kriteria ketuntasan kelompok apel yaitu X100% Skor yang dicapai Siswa Nilai = Skor Maksimal : 6/9 X 100% = 6,7% Berdasarkan nilai yang diperoleh sebesar 6,7 maka hal itu menunjukkan bahwa kelompok apel dapat dikatakan tuntas atau sukses diterapkan. 2) Kelompok Anggur No Indikator Aspek yang dinilai Deskripsi Skor Nilai 1. Menulis huruf Kesesuaian Sesuai 3 Kurang sesuai 2 3 Tidak sesuai 1 2. Menyusun Huruf Ketepatan Tepat 3 Kurang tepat 2 3 Tidak Tepat 1 651
ISBN :978-602-17187-2-8
3.
Membaca kata
Kejelasan suara
Jelas Kurang jelas Tidak jelas
3 2
1
1 Skor
7
Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap kemampuan siswa dalam menulis huruf, menyusun huruf dan membaca kata sesuai gambar dapat diperoleh kriteria ketuntasan kelompok anggur yaitu X100% Skor yang dicapai Siswa Nilai = Skor Maksimal 7/9 X 100% = 7,8% Berdasarkan nilai yang diperoleh sebesar 7,8 maka hal itu menunjukkan bahwa kelompok anggur dapat dikatakan tuntas atau sukses diterapkan. 3) Kelompok Jeruk No Indikator Aspek yang dinilai Deskripsi Skor Nilai 1. Menulis huruf Kesesuaian Sesuai 3 Kurang sesuai 2 3 Tidak sesuai 1 2. Menyusun Huruf Ketepatan Tepat 3 Kurang tepat 2 3 Tidak Tepat 1 3. Membaca kata Kejelasan suara Jelas 3 3 Kurang jelas 2 Tidak jelas 1 Skor 9 Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap kemampuan siswa dalam menulis huruf, menyusun huruf dan membaca kata sesuai gambar dapat diperoleh kriteria ketuntasan kelompok jeruk yaitu X100% Skor yang dicapai Siswa Nilai = Skor Maksimal 9/9 X 100% = 100% Berdasarkan nilai yang diperoleh sebesar 10 maka hal itu menunjukkan bahwa kelompok jeruk dapat dikatakan tuntas atau sukses diterapkan. 4) Kelompok Mangga No Indikator 1. Menulis huruf
2.
3.
Menyusun Huruf
Membaca kata
Aspek yang dinilai Kesesuaian
Ketepatan
Kejelasan suara
Deskripsi Sesuai Kurang sesuai Tidak sesuai Tepat Kurang tepat Tidak Tepat Jelas Kurang jelas Tidak jelas
Skor 3 2 1 3 2 1 3 2
Nilai 3
2 2
1 Skor
8
652
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap kemampuan siswa dalam menulis huruf, menyusun huruf dan membaca kata sesuai gambar dapat diperoleh kriteria ketuntasan kelompok apel yaitu Nilai =
X100%
Skor yang dicapai Siswa Skor Maksimal
8/9 X 100% = 8,9% Berdasarkan nilai yang diperoleh sebesar 8,9 maka hal itu menunjukkan bahwa kelompok mangga dapat dikatakan tuntas atau sukses diterapkan. Berdasarkan hasil keseluruhan dapat disimpulkan bahwa hampir semua siswa mengikuti pelajaran dengan baik dan mencapai target kompetensi. Hal ini tidak terlepas dari peran media yang membangkitkan semangat dan menambah rasa penasaran, tertarik dan tertantang untuk mengikuti pembelajaran. Berdasarkan hasil keseluruhan dapat disimpulkan bahwa hampir semua siswa mengikuti pelajaran dengan baik dan mencapai target kompetensi. Hal ini tidak terlepas dari peran media yang membangkitkan semangat dan menambah rasa penasaran, tertarik dan tertantang untuk mengikuti pembelajaran. 5. Refleksi Kesan guru model Dalam pelaksanaan proses pembelajaran siswa kelas 1 SDN 001 Ranai Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna , walaupun dengan siswa sendiri penulis masih ada rasa grogi, takut dan ragu-ragu hal ini disebabkan penulis merasa khawatirterhadap kemampuan, cara penerimaan siswa, atas sambutan siswa atau sambutan siswa dalam pembelajaran yang penulis berikan. Apapun yang dikhawatirkan penulis terobati karena sambutan siswa sangat antusias dan bersemangat apalagi diringi dengan nyanyian-nyanyian yang memacu semangat untuk mengikuti pembelajaran. Melalui Lesson Studi ini dapat melihat atau merasakan kekurangan selama inidalam proses pembelajaran. Mudah-mudahan cara pembelajaran seperti ini akan terus berlanjut dimasa yang akan datang. Pengamatan Para Observer Dalam kegiatan Lesson Study ini umumnya siswa sangat merespon semangat dan tertantang dengan melihat media gambar yang diperlihatkan guru. Pada saat guru memberi gambar untuk diamati siswa saling berebutan satu sama lain. Pada saat siswa sudah mulai menulis huruf pada kartu yang telah disiapkan guru, siswa saling bersaing memberi jawaban kepada guru kelas mulai riuh dan ribut. Selain siswa dapat berinteraksi dengan baik bersama dengan siswa yang lain dan dapat bekerja sama dengan kelompoknya terjadi pertikaian antara guru dan siswa pada saat siswa menempel hasil tulisannya dipapan tulis. Permasalahan yang muncul Pada saat pembelajaran berlangsung sebagian siswa ada yang mengalami kesulitan dalam hal menulis huruf, tidak konsentrasi, dan ada yang tidak percaya diri dengan hasil yang siswa tullis tersebut. Selain itu masih ada siswa yang tidak merespon materi yang diberikan oleh guru, siswa tersebut sibuk dengan urusannya sendiri duduk diam sambil melamun. Penyebab munculnya masalah - Tidak paham dengan materi yang diberikan guru. - Jumlah siswa yang terlalu ramai, kelas menjadi riuh, siswa saling berebut satu dengan yang lainnya. - Sebagian siswa tidak diberikan kesempatan oleh teman satu kelompoknya. - Kurang perhatian dari guru, karena guru lebih konsentrasi dengan kelompok lain. - Kurangnya penguatan yang diberikan kepada guru terhadap siswa yang berani. - Guru tidak menguasai materai pembelajaran. - Guru tidak kreatif - Tidak ada media pembelajaran - Model pembelajaran , model ceramah, tanya jawab. Penyelesian masalah - Guru harus lebih kreatif, menguasai maateri pembelajaran - Model pembelajaran yang diberikan harus bervariasi, tidak monoton dan tidak kaku. - Menyiapkan media pembelajaran atau alat peraga. - Memberikan perhatian lebih pada siswa yang tidak konsetrasi dan tidak merespon. 653
ISBN :978-602-17187-2-8
- Memberi pengertian kepada masing-masing kelompok agar bekeja sama dengan kelompok teman satu kelompoknya. - Memberikan penguatan atau pujian bagi siswa atau kelompok yang berhasil menyelesaikan tugas dengan baik dan benar. Hikmah Pembelajaran a. Hal positif yang bisa dicontoh - Kreativitas guru - Adanya media pembelajaran - Guru menguasai materi - Adanya variasi pembelajaran - Menggunakan model pembelajaran yang menarik minat siswa - Guru datang tepat waktu - Memberikan selingan - selingan pada saat pembelajaran berlangsung - Keberanian siswa - Kerjasama antar teman - Saling membantu - Memberikan penguatan - Semangat dan kepedulian siswa b. Hal negatif yang harus dihindari - Model pembelajaran yang monoton - Metode ceramah - Guru datang terlambat - Variasi pembelajaran yang monoton KESIMPULAN Berdasarkan pelaksanaan pembelajaran menulis huruf, menyusun huruf, menempel huruf serta membaca kata dapat disimpulkan (1) Kreativitas guru dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam melaksanakan proses belajar mengajar. (2) Media pembelajaran yang menarik khususnya media gambar dapat membantu siswa dalam menulis dan membaca kata dari gambar yang disiapkan guru. Dengan demikian kreativitas guru dan media gambar yang digunakan dalam proses pembelajaran sangatlah berperan penting bagi peserta didik. DAFTAR RUJUKAN Andajani, Kusubakti dan Pratiwi, Yuni. 2011. Model-Model Pembelajaran Kreatif dan Inovatif Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar. Malang:PT.Pertamina bekerjasama dengan Universitas Negeri Malang Atimah, Sri W,dkk. 2007. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka Depdiknas.2007 Kurikulum 2006 Mata PelajaranBahasa Indonesia Saya Senang Berbahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas I. Jakarta : PusatKurikulum Sriatun dan Asniah. 2010. Penggunaan Media Gambar Seri Untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Karangan Sederhana. Jurnal J- TEQIP 2012 PT Pertamina bekerjasama dengan UniversitasNegeri Malang. Yunus, M.,dkk.2013. Keterampilann Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka.
654
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR DAN METODE SAS DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS PERMULAAN SISWA KELAS I SEKOLAH DASAR NEGERI MUSI Evy Sasunda Sekolah Dasar Negeri Musi Kecamatan Lirung Kabupaten Kepulauan Talaud Abstrak: Penelitian ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan keterampilan menulis permulaan pada siswa sekolah dasar kelas rendah dengan menggunakan media gambar dalam pembelajaran tematik, yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan menulis permulaan siswa kelas 1 SDN Musi Kecamatan Lirung Kabupaten Kepulauan Talaud. Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang dilaksanakan dalam dua siklus, masing-masing siklus terdiri atas tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Pengumpulan data melalui, observasi, wawancara, dan tes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media gambar dalam pembelajaran tematik dapat meningkat keterampilan menulis permulaan siswa kelas 1 SDN Musi Kecamatan Lirung Kabupaten Kepulauan Talaud. Hal ini dibuktikan rata-rata persentase yang terus meningkat dari siklus 1, 64,7%, dan siklus II 80,5%. Kesimpulan dari pelaksanaan ini adalah penggunaan media gambar dan metode SAS dapat meningkatkan keterampilan menulis permulaan siswa kelas 1 SDN Musi Kecamatan Lirung Kabupaten Kepulauan Talaud. Sehingga disarankan kepada guru kelas 1 SD untuk dapat menggunakan media gambar dan metode SAS dalam pembelajaran tematik menulis permulaan. Kata Kunci : Media Gambar, Metode SAS, Keterampilan Menulis Permulaan.
Pembelajaran yang berkualitas adalah pembelajaran yang mengisyaratkan adanya interaksi antara pengajar dan peserta didik. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidikan agar dapat terjadi perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan, kemahiran, dan tabiat serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Disamping dalam proses belajar, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai pelajaran hingga mencapai suatu obyektif yang ditentukan (aspek kognitif) juga mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif) serta keterampilan (aspek psikomotor). Keterampilan berbahasa yang diajarkan di SD adalah keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis Ahmadi 1990: 2 (dalam Nalim dan Djeniah 2011) menyatakan bahwa melalui kegiatan menulis, guru bahasa Indonesia dapat membantu atau menolong siswa untuk merentangkan dan meluaskan dunia untuk hidup yang memiliki makna. Pembelajaran tematik di sekolah dasar baik negeri maupun swasta di Indonesia, masih banyak sekolah dasar yang belum melaksanakan pembelajaran tematik dengan baik. Hal ini dikarenakan antara lain: Tidak adanya bahan ajar yang mendukung, ketidak mampuan guru melaksanakan pembelajaran tematik, karena dinas pendidikan setempat sudah menyusun silabus sedangkan guru tidak dilibatkan saat penyusunan dan mereka harus melaksanakannya tanpa mengetahui tujuan serta cara penerapan pembelajaran tematik. Dengan demikian pembelajaran tematik sebaiknya diperkenalkan kepada guru, guru diberi kebebasan untuk memilih jenis pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik itu merupakan pembelajaran terpadu dengan menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan Poerwadarminta, (dalam Alim Sumarno 2014). Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu, guru perlu mengemas atau merancang pengalaman belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa. Pengalaman belajar yang menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Selain itu, dengan penerapan pembelajaran tematik disekolah dasar akan sangat membantu siswa, karena sesuai dengan tahap perkembangan siswa yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik). 655
ISBN :978-602-17187-2-8
Observasi yang dilakukan peneliti dalam pembelajaran tematik di kelas awal dapat diidentifikasi pembelajaran tematik yang bermakan bagi siswa tidak ada. Hal ini terbukti disaat peneliti melakukan observasi awal dalam pembelajaran tematik menulis permulaan, terdapat pembelajaran yang menggunakan cara lama, terpisah antara satu pelajaran dengan pelajaran yang lain. Ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung, siswa terlihat bosan, mengantuk dan jemu hanya memperhatikan guru di depan. Siswa tidak berkonsentrasi dalam pembelajaran, siswa banyak terlihat mengobrol, bercanda, bermain alat tulis, baik sendirian maupun dengan teman sebangku. Penyebab dari masalah ini adalah guru dan siswa, penyebab dari siswa: (1) Siswa tidak tertarik atau termotivasi untuk mengikuti pelajaran karena tidak memahami materi yang disampaikan; (2) Siswa bosan, jenuh dan mengantuk karena yang dilakukan hanya mendengar, (3) Siswa tidak tahu cara meletakkan buku tulis dan memegang pensil, (4) Siswa belum bisa menebalkan gambar dan menulis huruf, kata dan kalimat dengan benar. Sedang penyebab dari guru adalah: (1) Guru belum menggunakan media dan metode yang tepat dalam pembelajaran, sehingga siswa kesulitan memahami materi yang disampaikan; (2) Guru menyampaikan pembelajaran dengan metode ceramah, sehingga siswa hanya berperan sebagai pendengar saja. Berdasarkan penelitian di kelas 1 Sekolah Dasar Negeri (SDN) Musi Kecamatan Lirung Kabupaten Kepulauan Talaud pada saat guru mengajar tematik dalam menulis permulaan, siswa belum dapat menebalkan gambar dan menulis huruf, kata dan kalimat dengan benar, sehingga dari hasil evaluasi diperoleh dalam pembelajaran tematik dalam menulis permulaan masih rendah. Terbukti pada pencakupan KKM 65 %, perolehan hasil belajar di kelas 1 SDN Musi yang berjumlah 14 orang dan yang mendapat nilai di bawah standar KKM sebanyak 8 orang siswa atau hanya mencapai 57,14% dan yang mencapai KKM 6 orang siswa atau capaian 42,85%. Berdasarkan masalah ini, peneliti mengadakan penelitian untuk mengatasi masalah yang muncul di dalam kelas yakni dengan memanfaatkan media gambar dan metode yang tepat. Adapun alasan diadakannya penelitian tindakan kelas ini adalah untuk meningkatkan keterampilan menulis permulaan dengan menggunakan media gambar dan metode SAS. Dari rumusan masalah yang ada, sehingga yang menjadi tujuan penelitian adalah Untuk meningkatkan hasil pembelajaran tematik melalui penggunaan media gambar siswa kelas 1 SDN Musi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan desain penelitian tindakan kelas (PTK), yang didasarkan pada model Kemmis dan Taggart (Depdikbud, 1988). Kemmis dan Taggart mengemukakan bahwa penelitian tindakan kelas dapat digunakan untuk memecahkan masalah khusus, praktis, atau individual yang didapatkan di dalam masyarakat, sosial, sekolah (kelas). Penelitian tindakan kelas merupakan suatu bentuk penelitian pembelajaran yang bersifat refleksif yang dilakukan oleh pelaku dalam masyarakat sosial. Penalitian tindakan kelas adalah penelitian pembelajaran yang dihadapi oleh guru untuk memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi oleh guru, memperbaiki mutu proses (praktik) dan hasil (produk) pembelajaran, demi peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas melalui beberapa tahap yang berlangsung dalam bentuk siklus. Satu siklus terdiri atas empat kegiatan, yaitu: Perencanaan; Pelaksanaan; Observasi; Refleksi. Dalam peneliti ini, subjek penelitian adalah siswa kelas 1 SDN Musi Kecamatan Lirung Kabupaten Kepulauan Talaud dengan jumlah siswa 14 orang, laki-laki 6 orang siswa dan perempuan 8 orang siswa. Objek dalam penelitian ini adalah penggunaan media gambar dan metode SAS dalam pembelajaran tematik menulis permulaan. Dari hasil observasi pembelajaran dianalisis oleh peneliti, kemudian ditafsirkan berdasarkan kajian pustaka dan pengalaman yang dialami guru, sedangkan data evaluasi dianalisis berdasarkan ketentuan belajar siswa dengan memperhitungkan persentase keberhasilan belajar siswa, dengan cara membandingkan hasil capaian belajar. Persentase diperoleh dari rata-rata keaktifan siswa pada tiap pertemuan. Hasil data observasi ini dianalisis dengan pedoman sebagai berikut. Kualifikasi persentase Keaktifan Siswa PERSENTASE KRITERIA 85-100 Sangat baik 75-85 Baik 60-75 Cukup 60-50 Kurang 656
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Cara menghitung persentase keaktifan siswa berdasarkan lembar observasi untuk tiap pertemuan adalah sebagai berikut: 𝑃𝑟𝑜𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 =
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑥 100 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil Hasil siklus I Berdasarkan hasil yang dilakukan siswa melalui pembelajaran menulis melalui penilaian dapat dilihat pada tabel berikut: 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 906,4 𝑥1= = 64,7% 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 14 Dari jumlah 14 orang siswa, yang mengikuti kegiatan pembelajaran dan mendapat nilai baik 1 orang, cukup 11 orang, kurang 2 orang. Dari hasil yang diperoleh nilai rata-rata kelas 6,47 dengan KKM 64,7%. Setelah pelaksanaan tindakan pada siklus 1, ternyata guru kurang menggunakan media gambar, sehingga siswa kurang serius dalam mengikuti kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan. Hal ini perlu diperhatikan dengan cara, mengatasi siswa yang kurang serius dengan memotivasi siswa melalui bimbingan dan latihan secara individual maupun kelompok sehingga siswa dapat menulis dengan baik dan benar. Pengaturan kelas perlu mendapat perhatian, agar proses pembelajaran berjalan dengan baik. Untuk itu pembelajaran dilanjutkan pada siklus yang kedua. Hasil Siklus II Berdasarkan hasil siswa dalam pembelajaran menulis permulaan melalui penilaian, peneliti merangkap praktisi dan guru pamong sebagai berikut: Persentase =
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 1.135,9 𝑥 100 = 𝑥 100 = 81,1% 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 14 Dari jumlah 14 orang siswa pada siklus II, yang mengikuti kegiatan pembelajaran dan mendapat nilai. Nilai baik sekali 2 orang, baik 11 orang, kurang 1 orang. Dari hasil yang diperoleh nilai rata-rata kelas 8,73 dengan KKM 64,7%. Sehingga pada pembelajaran yang dilaksanakan pada siklus yang kedua mengalami peningkatan. b. Pembahasan Tahap perkembangan menulis yang dimaksud adalah (1) pramenulis, pada tahap pramenulis anak berpura-pura menulis, menggambar, berbicara tentang gambar yang mengandung makna; (2) saat menulis, pada tahap anak membutuhkan bahan-bahan yang bervariasi, membutuhkan keteraturan, sejumlah waktu untuk menulis, pertemuan guru dan siswa membantu mengembangkan gagasan. Pembelajaran keterampilan ditekankan pada tanda baca, dasar penggunaan waktu, huruf kapital, dll; (3) pascamenulis, tahap ini merupakan perbaikan yang dilaksanakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa memperbaiki kesalahan yang terdapat pada tulisannya, Penggunaan bahasa lisan meningkat, dapat berbicara dengan teman sebaya. Hal itu ditegaskan oleh Paris (1993:202) menggunakan tahap perkembangan menulis anak SD kelas 1 yang dapat dijadikan pegangan dan titik tolak guru dalam menumbuhkan minat tulis anak.. Akhadiah, Sabarti dkk (2001) menjelaskan pengertian menulis permulaan diberikan secara bertahap yaitu pramenulis dan menulis. Pada tahap menulis, kepada siswa diajarkan (1) cara meletakkan buku tulis; (2) cara memegang pensil; (3) cara menggoreskan pensil pada buku tulis; (4) gerakan menulis di udara untuk melemaskan lengan; (5) melemaskan jari dengan mewarnai, menjiplak, menyalin huruf, menebalkan, menggambar, dan dasar menulis (tegak, miring, melengkung); (6) melemaskan jari dengan cara menuliskan huruf dengan menggunakan jari, dimeja dan di udara. Cara atau teknik menulis permulaan yaitu (1) sikap duduk (kepala tegak,punggung lurus, tangan dan kaki ditempatnya); (2) cara meletakkan buku tulis; (3) cara memegang dan membuka buku tulis; (4) cara memegang pensil; Persentase =
657
ISBN :978-602-17187-2-8
(5) gerakan menulis di udara untuk melemaskan tangan; (6) melatih jari dengan menjiplak, menyalin huruf, menebalkan, menggambar dan dasar menulis (garis, tegak, miring, lurus dan lengkung); (7) cara menuliskan huruf dengan menggunakan jari (untuk melemaskan jari). Metode pengajaran menulis permulaan menurut Depdikbud (1996) langkah-langkah menulis di kelas I adalah (1) pengenalan huruf, meliputi (a) menyajikan gambar; (b) menyebut dan menulis nama yang terdapat dalam gambar; (c) menggunakan teknik dan tulisan; (d) memperkenalkan bentuk-bentuk huruf. (2) latihan, meliputi (a) memegang pensil dan sikap duduk; (b) gerakan tangan dalam menulis: garis lurus , setengah lingkaran; (c) mengeblat: menggunakan karbon, kertas tipis, menebalkan tulisan, menatap huruf/ kata (kordinasi mata, ingatan, dan ujung jari; (d) latihan menatap bentuk tulisan; (e) latihan menulis halus dan indah. (3) menyalin tulisan, meliputi menyalin huruf, kata, kalimat dan menyalin bacaan sederhana. Model Pembelajaran Membaca dan menulis Permulaan Joice dan Weil (dalam Satriyo, 2006) pelaksanaan kegiatan belajar mengajar membaca dan menulis permulaan ini terbagi dalam dua tahap: (1) Pembelajaran tanpa buku. Langkahlangkah pembelajaran membaca dan menulis permulaan tanpa buku adalah (a) menunjukkan gambar; (b) menceritakan gambar; (c) siswa becerita dengan bahasa sendiri; (d) memperkenalkan bentuk-bentuk huruf (tulisan) melalui bantuan gambar; (e) membaca tulisan bergambar; (f) membaca tulisan tanpa gambar; (g) memperkenalkan huruf, suku kata, kata atau kalimat dengan bantuan kartu huruf. (2) Pembelajaran dengan menggunakan buku. Langkah pembelajaran membaca permulaan dengan menggunakan buku: (a) membaca buku pelajaran (buku paket); (b) siswa diberi penjelasan singkat mengenai buku tentang: warna, jilid, tulisan/judul luar, dan sebagainya; (c) siswa diberi penjelasan dan petunjuk tentang bagaimana cara membuka halaman-halaman buku, agar buku tetap terpelihara dan tidak cepat rusak; (d) siswa diberi penjelasan mengenai fungsi dan kegunaan angka-angka yang menunjukkan halaman-halaman buku; (e) siswa diajak untuk memusatkan perhatian pada salah satu teks/bacaan yang terdapat pada halaman tertentu; (f) jika bacaan disertai gambar, sebaiknya terlebih dahulu guru bercerita tentang gambar dimaksud; (g) selanjutnya barulah pembelajaran membaca dimulai. Media Gambar Kata media berasal dari bahasa latin Medius yang secara harafiah berarti tengah, perantara, atau pengantar. Namun pengertian media dalam proses pemebelajaran cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, fotografis atau elektronis untuk menagkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Sudirman ( dalam Zainil A, 2002: 58 ), mengemukakan bahwa media gambar adalah bahasa umum yang dapat dimengerti dan dinikmati di mana saj Sudirman (dalam Zainil A, 2002: 58 ), mengemukakan bahwa media gambar adalah bahasa umum yang dapat dimengerti dan dinikmati di mana saja. Gagne dan Briggs (dalam Zainil A,2002: 58) menekankan pentingnya media sebagai alat untuk merangsang proses belajar mengajar. Media gambar adalah media yang paling umum dipakai, hal ini dikarenakan siswa di kelas rendah lebih menyukai gambar dalam pembelajaran, apalagi bila gambar yang disajikan membuat anak tertarik. Dengan demikian dalam pelaksanaan pembelajaran akan membuat siswa termotivasi dalam belajar. Melalui media gambar dapat memberikan gagasan kepada guru dalam mengajar sehingga tidak tergantung pada buku atau teks. Dengan media gambar dapat membuat siswa lebih aktif dan senang dalam belajar. Ciri-ciri gambar yang baik (Sudirman 2005) adalah (1) dapat menyampaikan pesan ide tertentu ; (2) memberi kesan yang kuat dan menarik perhatian; (3) merangsang orang yang melihat ingin mengungkap tentang obyek-obyek dalam gambar; (4) berani dan dinamis, pembuatan gambar hendaknya menunjuk gerak atau perbuatan; (5) bentuk gambar bagus, menarik, dan disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Menurut Gagne dan Briggs (dalam Zainal A, 2002: 59 ) manfaat media gambar yaitu (1) memudahkan pengertian ketika anak sedang mendengarkan penjelasan guru; (2) dapat melafalkan dengan baik dari kosa kata; (3) membaca dengan baik; (4) tersedianya suatu topik kata; (5) memudahkan komunikasi antar guru dan siswa. Menurut Fathurrohman dan Sobry (2007: 67), dalam proses belajar mengajar, fungsi penggunaan media, yaitu (1) menarik perhatian siswa; (2) membantu untuk mempercepat pemahaman dalam proses pembelajaran;
658
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
(3) memperjelas penyajian agar tidak bersifat verbalitas (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan ); (4) mengatasi keterbatasan ruang; (5) pembelajaran lebih komunikatif dan produktif; (6) waktu pembelajaran bisa dikondisikan; (7) menghilangkan kebosanan siswa dalam belajar; (8) meningkatkan motivasi siswa dalam mempelajari sesuatu/menimbulkan gairah belajar; (9) melayani gaya belajar; (10) meningkatkan kadar/keaktifan/keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Teknik pelaksanaan pembelajaran metode SAS yakni keterampilan menulis kartu huruf, kartu suku kata, kartu kata dan kartu kalimat, sementara sebagian siswa mencari huruf, suku kata dan kata, guru dan sebagian siswa menempel kata-kata yang tersusun sehingga menjadi kalimat yang berarti (Subana). Proses operasional metode SAS mempunyai langkah-langkah dengan urutan sebagai berikut: (a) struktur yaitu menampilkan keseluruhan; (b) analitik yaitu melakukan proses penguraian; (c) sintetik yaitu melakukan penggalan pada struktur semula. Demikian langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam pembelajaran menulis permulaan dengan metode SAS, sehingga hasil belajar itu benar-benar menghasilkan struktur analitik sintetik (Subana:176). Metode ini merupakan salah satu jenis metode yang bisa digunakan untuk proses pembelajaran mambaca dan menulis permulaan bagi siswa pemula. Kemudian melalui proses analitik, anak-anak diajak untuk mengenal konsep kata. Kalimat utuh yang dijadikan tonggak dasar untuk pembelajaran membaca permulaan ini diuraikan ke dalam satuan-satuan bahasa yang lebih kecil di sebut kata. Proses penganalisisan atau penguraian ini terus berlanjut hingga pada wujud satuan bahasa terkecil yang tidak bisa diuraikan lagi, yakni huruf-huruf. Proses penguraiyan ini dalam pembelajaran dengan metode SAS yaitu; kalimat menjadi kata-kata, kata menjadi suku-suku kata dan, suku kata menjadi huruf-huruf. Pengajaran menulis di mulai dari huruf lepas, dengan langka-langkah sebagai berikut: (1) Menulis huruf lepas; (2) Merangkaikan huruf lepas menjadi suku kata; (3) Merangkaikan suku kata menjadi kata; (4) Menyusun kata menjadi kalimat (Djauzak, 1996:4). Dilihat dari kemampuan siswa pada siklus I dalam menebalkan gambar dan huruf, menulis, dan membedakan huruf, dari jumlah siswa 14 orang siswa, 8 orang siswa belum bisa menulis dan membedakan huruf dengan baik dan 6 orang siswa sudah dapat menulis dengan baik. Untuk hasil belajar siswa pada siklus I yang tuntas hanya mencapai 57,14% dan siswa yang tidak tuntas mencapai 42,85%.). Hal ini disebabkan karena anak belum tahu cara meletakkan buku tulis, cara memegang pensil, cara menggoreskan pensil pada buku tulis, gerakan menulis di udara untuk melemaskan lengan, melemaskan jari dengan mewarnai, menjiplak, menyalin huruf, menebalkan, menggambar. Sehingga penerapan/pelaksanaan menulis permulaan dengan menggunakan media gambar dan metode SAS di kelas 1 perlu diperbaiki pada siklus berikutnya. Hasil belajar siswa pada suklus II. Siswa terlihat senang dalam mengikuti kegiatan pembelajaran menulis permulaan dengan menggunakan media gambar dan metode SAS (Sintetik, Analisik dan Sruktural). Selain itu juga, terlihat pada perolehan hasil belajar siswa yang menunjukkan peningkatan mutu belajar siswa dari jumlah siswa 14 orang siswa yang sudah dapat menulis dengan baik 13 orang siswa atau mencapai 92,85% dan yang belum bisa menulis dengan baik 1 orang siswa atau hanya 7,15%. Untuk itu penggunaan media gambar dan metode SAS sangat membantu dalam mendorong dan memotivasi minat belajar siswa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telah terjadi peningkatan pembelajaran tematik dalam menulis permulaan di kelas 1 Sekolah Dasar Negeri (SDN) Musi dengan menggunakan media gambar dan metode SAS. Dari hasil sebagaimana yang diharapkan sehingga tidak perlu lagi dilakukan tindakan perbaikan pada siklus berikutnya. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan, (1) penggunaan media gambar dalam dan metode SAS dalam pembelajaran tematik dapat meningkatkan keterampilan menulis permulaan siswa kelas 1 SDN Musi Kabupaten Kepulauan Talaud; (2) dengan menggunakan media gambar dalam pembelajaran tematik menulis permulaan maka suasana belajar jadi menyenangkan sehingga siswa termotivasi untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar. Saran 659
ISBN :978-602-17187-2-8
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dalam praktik pembelajaran selanjutnya disarankan kepada. 1. Guru diharapkan dalam menciptakan suasana pembelajaran yang berkualitas dan berdampak pada adanya peningkatan keterampilan menulis permulaan, maka guru sebaiknya dapat menggunakan media gambar. 2. Guru seharusnya memahami uraian langkah-langkah penggunaan media gambar agar penggunaan media gambar dalam pembelajaran tematik dapat meningkatkan keterampilan menulis permulaan, maka guru. DAFTAR PUSTAKA Abdhi Griffindors. 2014. Ciri-ciri Pembelajaran Tematik, (Online), http/2014/04/ciri-ciripembelajaran-qtematik.html, diakses tanggal 21 Juli 2014. Akhadiah, Sabarti dkk. 2001. Menulis 1. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Alim, Sumarno. 2014. Media Gambar, (Online),http//2014. Penerapan-Media-Gambar-DalamPembelajaran-Tematik-Untuk-Meningkatkan-Hasil-Belajar-Siswa-Kelas-I-SDN, diakses tanggal 21 Juli 2014. Arikunto, Suharsimi dkk. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Rineka Cipta Aqib, Zainal, dkk 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Penerbit Yrama Widya Darmiyati, Zuchdi Budinsih, 2007.Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta, Depdikbud Depdiknas. 2000. Metodik Khusus Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas Dikdasmen. Fathurrohman, Pupuh, Sutikno dan M. Sobry, 2007. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: PT Refika Aditama. Joice dan weil, Mudjiono dan Dimyanti.1992. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Dirjen Dikti Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. Muhammad, Faiq. 2013. Model Peembelajaran,(Online), http//2013/09/model- pembelajarantematik-terpadu-di-SD.htm, diakses tanggal 15 juli 2014. Mustakin, 1992.Membina Kemampuan Berbahasa. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama Nalim dan Djeniah. 2011. Proses Membaca Permulaan, (Online), http//proses-membaca-danmenulis-permulaan-pada-anak-sd-dikelas-rendah/#comment-29, diakses tanggal 18 April 2014. Rofi‘uddin, A. 2002. Metode Penelitian Kualitatif dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Bahan Ajar Mata Kuliah Penelitian Pengajaran Bahasa Indonesia. Malang: PPS UM.
PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN (ROLE PLAYING) DALAM PEMBELAJARAN MENCERITAKAN ISI DRAMA PENDEK YANG DISAMPAIKAN SECARA LISAN PADA SISWA KELAS VI SEKOLAH DASAR Iskandar SD Negeri 005 Tanjungpinang Kota Tanjungpinang Abstrak : Pembelajaran adalah proses pengelolaan lingkungan seseorang yang dengan sengaja dilakukan sehingga memungkinkan dia belajar untuk melakukan atau mempertunjukkan tingkah laku tertentu pula. Jadi pembelajaran adalah proses yang disengaja yang menyebabkan siswa belajar pada suatu lingkungan belajar untuk melakukan kegiatan pada situasi tertentu. Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggungjawab moral yang cukup berat. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar. Proses belajar mengajar merupakan suatu inti dari
660
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peran utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Metode bermain peran adalah metode pembelajaran yang di dalamnya menampakkan adanya perilaku pura-pura dari siswa yang terlihat dan/ atau peniruan situasi dari tokoh-tokoh sejarah sedemikian rupa. Dengan demikian metode bermain peran adalah metode yang melibatkan siswa untuk pura-pura memainkan peran/ tokoh yang terlibat dalam proses sejarah. Dalam bermain peran, tidak ada peran paling penting dan kurang penting karena konteks bermain peran dirancang dengan asas keberimbangan. Kata kunci : metode, motivasi, penerapan, peran, simulasi
Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Pembelajaran adalah proses pengelolaan lingkungan seseorang yang dengan sengaja dilakukan sehingga memungkinkan dia belajar untuk melakukan atau mempertunjukkan tingkah laku tertentu pula. Sedangkan belajar adalah suatu peoses yang menyebabkan perubahan tingkah laku yang bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan yang bersifat fisik, tetapi perubahan dalam kebiasaan, kecakapan, bertambah, berkembang daya pikir, sikap dan lain-lain. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar, yang memiliki tujuan untuk mengubah tingkah laku menjadi lebih baik (Soeitoe.1981). Tingkah lku yang baik dapat mencerminkan budi pekerti yang baik. Dalam penelitian ini guru model sering menemukan hambatan dan rintangan untuk menyelesaikan masalah. Maka dari itu penulis memilih menggunakan metode bermain peran khusnya pada pembelajaran menceritan isi drama pendek yang disampaikan secara lisan. Salah satu materi pembelajaran Bahasa Indonesia yang dianggap sulit oleh siswa adalah menceritakan isi drama pendek. Karena selama ini guru kurang menerapkan model yang menarik dalam pembelajaran menceritakan isi drama pendek yang disampaikan secara lisan. Media bermain peran juga dapat digunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemampuan siswa, sehingga dapat mendorong siswa dalam menceritakan isi drama pendek. Berdasarkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam kegiatan pembelajaran bercerita, siswa masih banyak mengalami kesulitan dalam menuangkan ide atau gagasan yang dimiliki siswa dalam menceritakan isi drama. Hambatan lain yang dihadapi siswa dalam pembelajaran menceritakan isi drama pendek adalah kurangnya semangat dan minat mereka dalam menceritakan drama pendek. Hal itu disebabkan model pembelajaran yang digunakan guru kurang menarik bagi siswa. Guru hanya menerapkan metode ceramah saja dalam menyampaikan materi pembelajaran di kelas. Pembelajaran menceritakan isi drama pendek memberikan banyak manfaat antara lain: mengembangkan kreativitas, menanamkan keberanian dan percaya diri, dan membantu siswa menuangkan ide, pikiran, pengalaman, perasaan dan cara memandang kehidupan. Melihat banyaknya manfaat yang akan diperoleh siswa dalam pembelajaran menceritakan isi drama pendek, seharusnya kegiatan bercerita menjadi kegiatan yang diminati siswa. Metode bermain peran (role playing) adalah suatu metode pembelajaran seni peran. Dalam oprasionalnya memerankan sebagai tokoh tertentu dengan menjiwai perannya masing-masing. Prinsip dasar dalam metode pembelajaran bermain peran. Bidang studi Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara alam. Perkembangan Bahasa Indonesia tidak hanya ditandai dengan adanya fakta, tetapi juga oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Metode ilmiah dan pengamatan ilmiah menekankan pada hakikat Bahasa Indonesia. Salah satu kompensi dasar yang diajarkan di kelas VI adalah menceritan isi drama pendek yang disampaikan secara lisan. Proses dalam pengertian disini merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam belajar mengajar yang satu sama lainnya saling berhubungan (inter independent) dalam ikatan untuk mencapai tujuan. Belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Burton bahwa seseorang setelah mengalami proses belajar akan
661
ISBN :978-602-17187-2-8
mengalami perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun aspek sikapnya. Misalnya dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar. Proses belajar mengajar merupakan suatu inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegangn peran utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar. Belajar dapat membawa suatu perubahan pada individu yang belajar. Perubahan ini merupakan pengalaman tingkah laku dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Pengalaman dalam belajar merupakan pengalaman yang dituju pada hasil yang akan dicapai siswa dalam proses belajar di sekolah. Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai (dilakukan, dekerjakan), dalam hal ini prestasi belajar merupakan hasil pekerjaan, hasil penciptaan oleh seseorang yang diperoleh dengan ketelitian kerja serta perjuangan yang membutuhkan pikiran. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dengan melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya setelah siswa itu melakukan kegiatan belajar. Pencapaian hasil belajar tersebut dapat diketahui dengan megadakan penilaian tes hasil belajar. Penilaian diadakan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Disamping itu guru dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sejalan dengan prestasi belajar, maka dapat diartikan bahwa prestasi belajar Bahasa Indonesia adalah nilai yang dipreoleh siswa setelah melibatkan secara langsung/aktif seluruh potensi yang dimilikinya baik aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan) dalam proses belajar mengajar Bahasa Indonesia. PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN Metode bermain peran merupakan salah satu proses belajar mengajar yang tergolong dalam metode simulasi. Simulasi merupakan suatu istilah umum berhubungan dengan menyusun dan mengoperasikan suatu model yang mereplikasi proses-proses perilaku dan suatu cara pengajaran dengan melakukan proses tingkah laku secara tiruan. Penggunaan media pengajaran dapat mempertinggi kualitas proses belajar mengajar yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hasil belajar para siswa ( Sudjana & Rivai,2002:130). Metode pengajaran metode bermain peran (role playing) terbagi menjadi 3 kelompok yaitu (1) sosiodrama: semacam drama sosial berguna untuk menanamkan kemampuan menganalisa situasi sosial tertentu, (2) psikodrama : hampir mirip dengan sosiodrama . Perbedaan terletak pada penekannya. Sosia drama menekankan kepada permasalahan sosial, sedangkan psikodrama menekankan pada pengaruh psikologisnya dan (3) role-playing: role playing atau bermain peran bertujuan menggambarkan suatu peristiwa masa lampau. Alipandie (1986) menegaskan dalam role playing ada (1) permainan simulasi (simulation games) yakni suatu permainan di mana para pemainnya berperan sebagai tempat pembuat keputusan, bertindak seperti jika mereka benar-benar terlibat dalam suatu situasi yang sebenarnya, dan / atau berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan peran yang ditentukan untuk mereka, (2) bermain peran (role playing) yakni memainkan peranan dari peran-peran yang sudah pasti berdasarkan kejadian terdahulu, yang dimaksudkan untuk menciptakan kembali situasi sejarah/peristiwa masa lalu, menciptakan kemungkinan-kemungkinan kejadian masa yang akan datang, menciptakan peristiwa mutakhir yang dapat diperkaya atau mengkhayal situasi pada suatu tempat dan/ atau waktu tertentu, dan (3) sosiodrama (sociodrama) yakni suatu pembuatan pemecahan masalah kelompok yang dipusatkan pada suatu masalah yang berhubungan dengan relasi kemanusiaan. Sosiodrama memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan alternatif pemecahan masalah yang timbul dan menjadi perhatian kelompok. Metode demonstrasi adalah suatu metode mengajar yang dilakukan oleh guru dengan memperlihatkan kepada seluruh siswa tentang suatu proses atau suatu cara melakukan sesuatu. Metode bermain peran adalah metode pembelajaran yang di dalamnya menampakkan adanya perilaku pura-pura dari siswa yang terlihat dan/ atau peniruan situasi dari tokoh-tokoh 662
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
sejarah sedemikian rupa. Dengan demikian metode bermain peran adalah metode yang melibatkan siswa untuk pura-pura memainkan peran/ tokoh yang terlibat dalam proses sejarah. Dalam bermain peran, tidak ada peran paling penting dan kurang penting karena konteks bermain peran dirancang dengan asas keberimbangan (Zahroh dan Sulistyorini,2010:84). Dengan metode bermain peran diharapkan siswa dapat menghayati dan berperan dalam berbagai figure khayalan atau figure sesungguhnya dalam berbagai situasi. Sehingga melalui metode bermain peran siswa dapat memperlihatkan aspek-aspek kognitif, efektif, maupun psikomotorik (Seniawan,2002). Ciri Metode Bermain Peran (Role Playing) Langkah-langkah menggunakan metode bermain peran dalam pembelajaran menceritan isi drama pendek yang disampaikan secara lisan; guru mengantarkan peserta didik terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari agar tertarik pada masalah, peserta didik dan guru mendiskripsikan berbagai watak atau karakter tokoh yang diperankan, menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan, mempersiapkan secara matang adegan cerita yang akan dimainkan, peserta didik sebagai pemeran akan berperan sesuai perannya masingmasing, mendiskusikan hasil pemeranan, membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan dari hasil bermain peran. KESIMPULAN Berdasarkan hasil uraian diatas dapat disimpulkan bahwa metode bermain peran merupan salah satu proses belajar mengajar yang tergolong dalam metode simulasi. Simulasi merupakan suatu istilah umum berhubungan dengan menyusun dan mengoperasikan suatu model yang mereplikasi proses-proses perilaku dan suatu cara pengajaran dengan melakukan proses tingkah laku secara tiruan. Penggunaan media pengajaran dapat mempertinggi kualitas proses belajar mengajar yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hasil belajar para siswa. DAFTAR RUJUKAN Alipandie, I. 1986. Didaktik dan Metodik. Bandung : Tarsito. Seniawan dan Conny R. 2002. Belajar dan Pengembangan Prasekolah dan Sekolah Dasar. Jakarta: PT Indeks Sujana, Nana & Ahmad, Rivai. 2002. Media Pengajaranl. Bandung: Sinar Baru Algensindonesiao. Zahroh dan Sulistyorini. 2010. Strategi Kooperatif dalam Pembelajaran Menyimak Berbicara. Malang: Asah Asih Asuh.
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGINDENTIFIKASI TOKOH, DAN LATAR DALAM CERPEN MELALUI STRATEGI JIGSAW PADA SISWA KELAS V SD Afrida SDN 001 Ranai Kab.Natuna
[email protected] Abstrak: Mendengarkan dan berbicara merupakan aktivitas berbahasa yang paling awal dipelajari oleh anak. Kedua aktivitas berbahasa ini saling berhubungan. Aktivitas mendengarkan membutuhkan konsentrasi agar dapat memahami isi informasi dan merespon dengan benar. Proses menyimak secara teoristis dimulai dengan penangkapan/penyerapan rentetan bunyi bahasa melalui indra telinga. Rentetan bunyi tersebut melalui saraf sentifugal diteruskan menuju otak pada bagian yang disebut ―perankat ingatan jangka pendek ― untuk diproses dan di analisis. Dalam pemerosesan dan penganalisisan digunakan sejumlah alat. Aslat itu ialah kegiatan otak dalam berolah pikir terhadap permasalahan tuturan, pengatahuan
663
ISBN :978-602-17187-2-8
bahasa, kompetensi komunikatif, pengatahuan budaya. Menyimak merupakan salah satu metode yang digunakan manusia untuk memahami sekitarnya,dengan menginterpretasikan apa yang didengar dari suara sekitar. Padahal menyimak sebagai sebuah keterampilan hanya banyak dilatihkan kepada siswa. Artinya siswa harus mendapat latihan menyimak sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan kemampuan menyimaknya. Siswa juga harus mendapat latihan bermacam-macam wacana lisan yang sering dijumpai berita, laporan dan dialog atau wacana Kata kunci: penerapan, strategi, kelompok ahli, kemampuan menyimak
Mendengarkan dan berbicara merupakan aktivitas berbahasa yang paling awal dipelajari oleh anak. Kedua aktivitas berbahasa ini saling berhubungan. Aktivitas mendengarkan membutuhkan konsentrasi agar dapat memahami isi informasi dan merespon dengan benar. Proses menyimak secara teoristis dimulai dengan penangkapan/penyerapan rentetan bunyi bahasa melalui indra telinga. Rentetan bunyi tersebut melalui saraf sentifugal diteruskan menuju otak pada bagian yang disebut ―perangkat ingatan jangka pendek ― untuk diproses dan di analisis. Hal itu ditegaskan oleh Soedjiatno (dalam Zahroh dan Sulistyorini, 2009:24). Dalam pemrosesan dan penganalisisan digunakan sejumlah alat. Alat itu ialah kegiatan otak dalam berolah pikir terhadap permasalahan tuturan, pengatahuan bahasa, kompetensi komunikatif, pengatahuan budaya. Apabila pemrosesan atas rentetan bunyi bahasa (unsur-unsur bahasa: gejala fonetik, kosakata,struktur) itu berhasil maka berarti penyimak bukan hanya mengerti atau paham akan makna pesan atau isi informasi yang terkandung dalam rentetan bunyi bahasa atau lambang bahasa yang telah terproses menjadi konsep. Menyimak merupakan salah satu metode yang digunakan manusia untuk memahami sekitarnya,dengan menginterpretasikan apa yang didengar dari suara sekitar. Menyimak merupakan suatu proses mengorganisasi bunyi-bunyi yang didengar dan menetapkan unit-unit verbal yang berkores ponden sehingga bisa ditangkap makna tertentu dari satuan bunyi yang didengar Kurniasih dan Iskandar (dalam Zahroh dan Sulistyorini,2009:26). Berdasarkan pengertian ini, menyimak bukan sekedar mendengar atau mendengarkan, namun merupakan suatu proses integral yang rumit. Menyimak sama dengan berpikir. Wolvin dan Coakley (dalam Tompkins dalam Zahroh dan Sulistyorini,2009:26) menjelaskan ada tiga tahap utama dalam proses menyimak,yaitu menerima (receiving), mendatangi (attending) pesan,serta menetapkan (assigning) makna terhadap pesan tersebut. Kutipan tersebut menunjukkan dalam menyimak perlu ada proses. Ricards (dalam Zahroh dan Sulistyorini, 2009:29) juga menegaskan bahwa guru perlu memperhatikan fungsi-fungsi interaksional dan fungsi-fungsi transaksional dari bahasa. Pengunaan bahasa secara intraksional adalah penggunaan bahasa untuk keperluan sosial dari bahasa seperti memberi salam, memberi pujian, bergurau, memberikan penanda-penanda jarak sosial antar penutur dan melakukan percakapan serius atau sekedar ngobrol bersama teman untuk melewatkan waktu. Sementara penggunaan bahasa secara transaksional adalah ketika bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi seperti misalnya memberi petunjuk, memberi nasehat atau memberi sesuatu dan memberikan informasi tentang berita tertentu. Dasar menyimak harus dikuasai oleh peserta didik, maka dari itu peran guru sangat besar dalam menyampaikan materi pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya aspek menyimak dan pada kompetensi dasar mengindentifikasi tokoh dan latar dalam cerpen. Faktanya menunjukkan lemahnya kemampuan siswa dalam menyimak dalam forum diskusi dan belajar kelompok sering dijumpai perbedaan laporan hasil diskusi atau dari berita yang didengar. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran menyimak, khususnya pada kompetensi dasar mengindentifikasi tokoh dan latar dalam cerpen juga beragam sehingga catatan siswa juga beragam. Dalam kegiatan belajar mengajar tentang materi lain juga sering dijumpai siswa yang tidak menangkap isi dari pelajaran tersebut. Pembelajaran menyimak selama ini kurang memberi pengalaman pada siswa kelas V SDN 001 Ranai kabupaten Natuna untuk berlatih menyimak. Pembelajaran masih berfokus pada guru sehingga miskin latihan. Padahal seperti ditegaskan oleh Dunkel (dalam Zahroh dan Sulistyorini, 2009:33), dalam pembelajaran menyimak sangat penting diberikan kegiatan menyimak dalam jumlah besar kepada siswa dan memberikan banyak jenis wacana lisan yang autentik dengan menggunakan sarana audio dan video. 664
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Selama ini dalam pembelajaran menyimak pada kompetensi dasar mengindentifikasi tokoh dan latar dalam cerpen pada siswa kelas V SDN 001 Ranai kabupaten Natuna,pada umumnya guru membacakan suatu materi untuk disimak dan ditindaklanjuti menjawab sejumlah pertanyaan terkait dengan materi simakan. Padahal peningkatan mutu guru adalah sebuah kebutuhan (Santoso dan Suwignyo, 2012: iii ). Oleh karena itu, Guru dituntut untuk selalu kreatif dalam artikata bukan menunggu pelatihan atau tataran guru tetapi bisa juga mutu guru itu ditingkat untuk lebih banyak membaca dan mencoba berbagai metode didalam pelaksanaan pembelajaran sehigga anak didik menjadi mudah menerima materi pembelajaran dan senang terhadap proses pembelajaran itu sendiri. Dengan demikian teks yang disimak siswa dalam suatu kegiatan belajar hanya satu teks saja. Karena selama ini guru cendrung mengatasi kelemahan tersebut dengan melakukan analisis terhadap kesalahan-kesalahan siswa dalam menyimak mengindentitifikasi alur, tokoh, dan latar dalam cerpen. Guru berasumsi bahwa siswa akan belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat sebelumnya dan tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam menyimak penjelasan nara sumber dan cerita rakyat secara lisan. Sedangkan guru itu sendiri tidak pernah mau mencoba untuk hal-hal yang baru. Kompetensi merupakan sesuatu yang ingin dimiliki oleh peserta didik, dan merupakan komponen utama yang harus dirumuskan dalam pembelajaran yang memiliki peran penting dan menentukan arah pembelajaran. Kompetensi yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula terhadap materi yang harus dipelajari, penetapan metode pembelajaran, serta memberi petunjuk terhadap penilaian. Oleh karena itu, setiap kompetensi harus merupakan perpaduan dari pengatahuan, keterampilan dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Mulyasa, 2010:215). Padahal menyimak sebagai sebuah keterampilan hanya banyak dilatihkan kepada siswa. Artinya siswa harus mendapat latihan menyimak sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan kemampuan menyimaknya. Siswa juga harus mendapat latihan bermacammacam wacana lisan yang sering dijumpai berita, laporan dan dialog atau wacana. Paparan di atas ditunjang oleh pengamatan awal yang dilakukan peneliti terhadap hasil menyimak siswa kelas V SD. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut diketahui bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menyimak mengindentifikasi tokoh dan latar dalam cerpen. Hasil indentifikasi terhadap mengindentifikasi alur, tokoh, dan latar dalam cerpen tersebut menunjukkan bahwa kelemahan tersebut meliputi (1) kelengkapan aspek yang diulas tidak lengkap, (2) ketepatan ulasan tidak tepat, (3) ketepatan bukti yang dikutip dalam ulasan tidak ada, (4) kejelasan bahasa yang digunakan tidak jelas. Alternatif untuk mengatasi masalah pembelajaran menyimak pada kompetensi dasar mengindentifikasi tokoh, dan latar dalam cerpen pada siswa kelas V SDN 001 Ranai kabupaten Natuna adalah dengan menerapkan strategi yang dapat menciptakan kondisi belajar yang mendukung pencapaian tujuan pembelajaran. Strategi yang digunakan adalah kooperatif yang kususnya strategi Jigsaw. Dengan strategi Jigsaw, peserta didik terdorong aktif mengikuti kegiatan di kelas sehingga semua dengan berbagai latar belakangnya sukses. Strategi Jigsaw memang sengaja dirancang kedalam pembelajaran ini karena penulis merasa bisa memberdayakan semua peserta didik. Pemberdayaan dilakukan melalui pengelolaan kelas yang berbeda dengan kelas konvensional. Kelas dibagi kelompok-kelompok dan dirancang dengan maksud membuat peserta didik berani berintraksi, dapat bekerja sama, berinisiatif, dan memperoleh beragam data. Seperti diungkapkan Nurhadi,dkk (dalam Zahroh dan Sulistyorini, 2009:34) pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar menciptakan interaksi yang silih asah sehingga sumber belajar bagi siswa bukan hanya guru dan buku ajar, tetapi juga sesama siswa. Sejalan dengan pendapat ahli di atas maka penelitian ini dilakukan dengan maksud memanfaatkan strategi Jigsaw untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran menyimak mengindentifikasi tokoh, dan latar dalam cerpen siswa kelas V sekolah dasar. Adapun langkahlangkah penerapan strategi Jigsaw yaitu siswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil secara heterogen (kelompok asal), guru membagi materi dalam satuan-satuan yang lebih kecil. Setiap anggota kelompok asal mendalami satu bagian materi, anggota kelompok asal yang mendalami satuan kelompok yang sama membentuk kelompok baru, setelah berdiskusi dalam kelompok ahli, anggota kelompok ahli kembali kepada kelompok asal masing-masing dan menyampaikan hasil diskusinya pada kelompoknya. Hal ini dikarenakan pembelajaran koorperatif merupakan pembelajaran yang secara sadar dan sengaja dikembangkan secara interaktif dan silih asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahfahaman yang dapat menimbulkan permusuhan. 665
ISBN :978-602-17187-2-8
Proses pembelajaran dengan strategi kelompok Jigsaw sangat efektif untuk menumbuhkan kemandirian siswa. Dengan tanggung jawab tugas menjadi ahli, siswa mendalami materi tanpa tergantung guru. Hal ini dapat membangun rasa percaya diri siswa karena semua siswa memiliki peran yang sangat penting yakni ahli di bidang tugas masingmasing. Tugas menjadi ahli berarti juga membantu siswa mengembangkan kemampuannya dalam mengungkapkan ide. Kemampuan ini terbangun dalam diskusi pada kelompok ahli maupun pada saat ia harus menyampaikan hasil diskusi tersebut kepada kelompok asalnya. Johnson (2012:164) mengatakan bahwa kerjasama dapat menghilangkan hambatan mental akibat terbatasnya pengalaman dan cara pandang yang sempit. Rendahnya kemampuan siswa dalam mengindentifikasi tokoh, dan latar dalam cerpen yang disimak perlu dicarikan solusinya. Dasna (2012:3) mengatakkan bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan kinerjanya adalah selalu berupaya memperbaiki perencanaan pembelajarannya agar pembelajaran dapat dilakukan secara efektif dan efesien. Keterampilan mengindentifikasi tokoh, dan latar dalam cerpen yang didengar dapat mengasah siswa indra pendengar mereka dengan baik dan jelas dan mengaktualisasi diri melalui tanggapan yang didengar, dan ahirnya dapat mempertajam rasa empati pada diri siswa. Apabila masalah tersebut teratasi, maka dengan sendirinya keterampilan siswa dalam menyimak dapat ditingkatkan. Salah satu caranya yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan di atas adalah dengan melakukan penelitian tindakan kelas (classroom action research) atau dikenal juga dengan PTK. Artikel ini ditulis berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas terhadap siswa kelas V sekolah dasar negeri 001 Ranai kecamatan Bunguran Timur,yang mengalami kesulitan dalam mengindentifikasi tokoh dan latar dalam cerpen yang disimak dengan memanfaatkan penerapan strategi Jigsaw ini tentunya dapat memotivasi siswa untuk belajar. Adanya penerapan strategi Jigsaw dapat membangun rasa percaya diri siswa karena semua siswa memiliki peran yang sangat penting yakni ahli dibidang tugas masing-masing. METODE Penelitian ini dilakukan untuk mengatasi masalah pembelajaran,yaitu keterampilan siswa dalam mengindentifikasi tokoh dan latar dalam cerpen yang didengar. Tindakan yang diberlakukan kepada siswa adalah mengindentifikasi tokoh, alur, dan latar dalam cerpen yang didengar dengan memanfaatkan strategi Jigsaw. Selama penelitian berlansung, dibutuhkan keterlibatan guru yang bekerja secara kolaboratif. Paparan tersebut menyiratkan bahwa (1) terdapat permasalahan faktual dalam pembelajaran, yaitu keterampilan siswa dalam mengindentifikasi tokoh dan latar dalam cerpen yang disimak masih rendah, (2) ada tindakan untuk memperbaiki permasalahan tersebut, yaitu penggunaan strategi Jigsaw dalam mengindentifikasi tokoh dan latar dalam cerpen yang disimak serta (3) adanya kolaboratif antara peneliti dengan guru atau teman sejawat selama penelitian berlansung. Berdasarkan ciriciri tersebut, dilakukan penelitian tindakan kelas dengan satu kasus dalam satu situasi. Pelaksanaan perbaikan pembelajaran pada penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus. Setiap siklus terdri dari 4 tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan/observasi, dan refleksi pada tahap perencanaan ini peneliti menyiapkan perangkat pembelajaran. Pada tahap awal dilakukan studi pendahuluan dan pengamatan terhadap proses pembelajaran dalam Mengindentifikasi unsur cerita tentang cerita rakyat yang didengar untuk mengindentifikasi permasalahan di kelas. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut disusun rencana pelaksanaan pembelajaran dan Model ini mengikuti alur yang terdiri dari empat komponen pokok yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. Selanjutnya, rencana tindakan siklus 1 itu diaplikasikan dalam pelaksanaan tindakan pembelajaran yang nyata di kelas dengan melibatkan keberadaan guru sebagai tenaga pelaksananya. Maka dari itu Guru dituntut untuk selalu bersikap baik di depan kelas karena akan mempengaruhi siswa. Semiawan (1997:162) mengatakan bahwa secara sederhana dapat dikatakan kompleksitas emosi atau rasa itu membentuk sikap seseorang dan secara timbal balik perkembangan nilai juga erat hubungannya dengan perkembangan sikap dan informasi tentang nilai tertentu yang membentuk kerangka moral seseorang. Sementara itu dilakukan pengamatan secara lansung terhadap proses pembelajaran tersebut sambil mencatat hal-hal yang sekiranya perlu mendapat perlakuan baru. Hasil pengamatan direfleksikan dan dijadikan dasar bagi penyusunan rencana tindakan siklus 2 yang juga diwujudkan dalam bentuk rencana tindakan 666
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
siklus 2 tersebut diaplikasikan dalam pelaksanaan tindakan pembelajaran yang nyata di kelas dengan melibatkan keberadaan guru sebagai tenaga pelaksananya. Data penelitian ini adalah tindakan Guru dan Siswa dalam proses pembelajaran, rencana pembelajaran, jawaban angket, serta hasil belajar siswa. Data tersebut dikumpulkan melalui pengamatan, anket, studi dokumen, dantes. Pengamatan digunakan untuk mengumpulkan data perilaku Guru dan Siswa dalam pembelajaran. Studi dokumen digunakan untuk mengumpulkan data perencanaan pembelajaran. Anket digunakan untuk mengumpulkan data tenteng motivasi belajar siswa. Tes digunakan untuk mengumpulkan data hasil belajar siswa. Data dianalisis secara kuntitatif (analisis statistic deskriftif) dan secara kualitatif. Dalam pengumpulan data, peneliti dibantu oleh seorang observer agar pengamatan dapat dilakukan secara cermat dan sistematis. Observer ini juga membantu peneliti dalam menganalisis dan menfsirkan data. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V SDN 001 Ranai, kecamatan Bunguran Timur kabupaten Natuna tahun ajaran 2015/2016 yang berjumlah 26 orang, yang terdiri dari 13 orang siswa laki-laki dan 13 orang siswa perempuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi prasiklus saat peneliti melakukan pembelajaran Bahasa Indonesia dari 26 siswa diperoleh hasil 9 siswa yang sudah tuntas (35%), sedangkan 17 siswa (65%) belum mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Berdasarkan hasil evaluasi prasiklus, maka peneliti merancang langkah-langkah rencana perbaikan pembeljaran dalam 2 siklus. Setiap siklus terdiri dari 4 tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan/ observasi, dan refleksi. Setiap 1 siklus ada 2 x pertemuan, alokasi waktu disediakan 4x 35 menit. Setiap siklus diuraikan di bawah ini. Siklus 1 Perencanaan ini dilakukan peneliti pada siklus 1 adalah menyiapkan perangkat pembelajaran ( RPP yang memuat tindakan ). Setelah RPP disusun, peneliti melaksanakan pembelajaran materi mengindentifikasi unsur cerita ( tokoh,latar dan amanat ). Pertemuan 1 pada siklus 1 dilaksanakan pada tanggal 20 maret 2015, alokasi waktu yang disediakan adalah 2 x 35 menit. Materi pokok dalam pembelajaran ini adalah pengindentifikasian unsur cerita rakayat. Indikator yang hendak dicapai adalah mendaftar namanama tokoh dan menuliskan secara singkat watak tokoh cerita rakyat, menuliskan latar cerita rakyat, menceritakan kembali secara tertulis, menuliskan tanggapan terhadap isi cerita rakyat. Untuk mencapai indikator ini diterapkan teknik pendekatan strategi kooperatif yaitu strategi Jigsaw. Berikut adalah perincian penyampaian materi dari awal sampai akhir. Guru memberi salam, membuka kegiatan pembelajaran dengan doa‘ dilanjutkan dengan mempresensi kehadiran siswa, melakukan apersepsi dengan menanyakan cerita-cerita pendek yang dibaca siswa, menyampaikan kompetensi dasar yang akan dipelajari, yaitu menyimak pembacaan cerpen dan mengindentifikasi tokoh dan latar. Pada kegiatan inti Guru meminta siswa membentuk kelompok terdiri atas 3 siswa. Setiap anggota kelompok diberi nomor urut 1 s.d 3. Kelompok ini adalah kelompok asal. Guru memperdengar pembacaan cerpen yang berjudul Putri yang Durhaka, masing-masing kelompok membahas tokoh dan latar dalam cerpen tersebut. Anggota 1 bertanggung jawab terhadap tugas indentifikasi latar. Setelah itu Guru meminta siswa membentuk kelompok baru berdasarkan nomor urut dalam kelompok. Kelompok ini disebut kelompok ahli. Kelompok ahli 1 (ahli alur) mendapat tugas mengulas alur cerpen yang diperdengarkan, kelompok ahli 2 (ahli tokoh) mendapat tugas mengulas tokoh dan mendaftar tokoh dalam cerpen yang diperdengarkan, kelompok ahli 3 (ahli latar) mendapat tugas mengulas cerpen yang diperdengarkan. Ulasan disertai kutipan yang membuktikan ketepatan ulasan tersebut. Selanjutnya Masing-masing kelompok ahli memperdengarkan laporan untuk disampaikan kepada kelompok asal masingmasing. Anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal masing-masing dan menyampaikan laporannya secara bergiliran. Setiap siswa membuat laporan dalam bentuk uraian mengenai tokoh dan latar cerpen yang berjudul Putri yang Durhaka (ulasan sederhana). Ulasan ditulis dalam bentuk uraian dan diberi judul menarik. Setelah semuanya berjalan dengan lancar, Ulasan masing-masing siswa ditempelkan didinding perkelompok untuk diapresiasikan ke kelompok lain dan ditetapkan sebagai uraian terbaik. Guru dan siswa mendiskusikan ulasan yang telah dibuat. 667
ISBN :978-602-17187-2-8
Berdasarkan hasil pengamatan ketika pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan secara kolaborasi dengan teman sejawat, siswa masih kurang antusias mengikuti pembelajaran , masih ada siswa yang kurang memahami cara menemukan dan mengulas tema dalam cerpen. Hasil evaluasi siklus 1 dari 26 siswa, hanya 14 siswa ( 54% ) yang sudah tuntas, sedangkan 12 siswa ( 46% ) belum mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM). NIlai KKM yang di tetapkan untuk belajar individu 65 dan KKM klasikal 75. Berdasarkan hasil observasi pada kegiatan awal siswa siswa sangat sulit diajak untuk fokus pada pembelajaran. Guru membutuhkan waktu lebih dari 5 menit untuk menarik perhatian siswa pada indikator yang dipelajari Pada kegiatan ini hanya sebagian kelompok yang bisa berdiskusi dengan baik. Sementara itu siswa lain hanya pasif dan menunggu dan mencatat jawaban dari teman anggota kelompok saja. Setelah mengetahui hasil perbaikan pembelajaran siklus pada pelaksanaan perbaikan pembelajaran dapat diketahui adanya peningkatan sebesar 8% dari prasiklus. Siswa yang mencapai ketuntasan pada prasiklus 35% dari jumlah siswa , sedangkan pada siklus 1 tercapai 54%. Namun hasil ketercapaian pada siklus 1 belum sesuai dengan kriteria ketuntasan minimal ( KKM ) yang diharapkan. KKM yang ditetapkan adalah 65 dan persentase ketuntasan klasikal kelas adalah 75%. Dari hasil tersebut. Maka, peneliti menyimpulkan perlu adanya perbaikan pembelajaran siklus 2. Siklus 2 Pertemuan 1 pada siklus ke 2 dilaksanakan pada tanggal 5 April pada tahun 2015, alokasi waktu yang disediakan adalah 2 x 35 menit.Pelaksanaan pembelajaran pada siklus 2 dirancang sesuai dengan hasil refleksi 1 pada pelaksanaan pembelajaran mengindentifikasi unsur cerita (tokoh, tema, latar, dan amanat) tetap menggunakan model pembelajaran strategi Jigsaw, namun dengan materi yang berbeda yaitu cerpen yang berjudul Asal Usul Beras Ketan. Tabel 1. Aktivitas pembelajaran pada siklus 2 Hasil pengamatan Tahap
Indikator/aspek pengamatan 1
Kegiatan Awal
Kegiatan Inti
Kegiatan
1. Melakukan apresiasi dengan menanyakan cerpen-cerpen yang pernah dibaca siswa. 2. Memotivasi siswa untuk belajar 3. Menyampaikan KD pembelajaran 4. Siswa membentuk kelompok. Masingmasing kelompok terdiri atas 3 siswa. Setiap anggota kelompok diberi nomor urut 1 s.d 3. Kelompok ini adalah kelompok asal. 5. Siswa mendengar Pembacaan cerpen yang berjudul Asal Usul Beras ketan. 6. Masing-masing kelompok membahas alur, tokoh, dan latar dalam cerpen. 7. Siswa membentuk kelompok baru berdasarkan nomor urut yang disebut kelompok ahli 8. Masing-masing kelompok ahli kembali ke kelompok asal masing-masing dan menyampaikan laporannya secara bergiliran 9. Setiap siswa membuat laporan mengenai alur, tokoh, dan latar dalam cerpen . 10. Ulasan masing-masing siswa ditempelkan didinding per kelompok untuk diapresiasikan kelompok lain dan ditetapkan sebagai uraian terbaik. 11. Guru dan siswa mendiskusikan ulasan yang telah dibuat. 12. Guru bersama siswa menyimpulkan makna apa saja yang terkandung dari cerita pendek 668
2
3
4
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
pnutup
yang telah didengar. 13. Siswa diberi tugas untuk mecari cerpen lain dan saling menceritakan isi cerpen kepada teman sebangkunya. Keterngan: 1 =sangat rendah 2 =rendah 3 =tinggi 4 =sangat tinggi Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa pembelajaran siklus 2 diperoleh 100% siswa yang sudah tuntas hasil evaluasi 26 siswa dan berlansung sangat baik. Hal ini menyebabkan keaktifan siswa dan perhatian dalam mengikuti pembelajaran mengindentifikasi tokoh, tema dan latar dalam cerpen yang berjudul Asal Usul Beras Ketan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel penilaian proses di bawah ini. Tabel 2. Penilaian proses skor jumlah No Aspek yang dinilai 1 2 3 4 1. Intraksi siswa 2 11 13 26 siswa 2. Kerjasama 1 15 10 26 siswa 3. Keaktifan siswa 2 12 12 26 siswa Keterangan skor 1 = Kurang, 2 = Cukup, 3= Baik, 4 = Sangat baik Adapun nilai produk siswa dapat dilihat pada table berikut : Tabel 3. Penilaian produk atau hasil kerja No Indikator 1.
2.
3.
4.
5.
diskripsi
Tepat Ketepatan mengindentifikasi tema cerita Kurang tepat Tidak tepat Lengkap Kelengkapan dan ketepatan tokoh yang ada Kurang lengkap dalam cerpen yang didengar Tidak lengkap Sesuai Kesesuaian latar dengan cerpen yang didengar Kurang sesuai Tidak sesuai Sesuai Kesesuaian amanat cerita dengan cerpen Kurang sesuai Tidak sesuai Jelas Kejelasan bahasa yang digunakan Kurang jelas Tidak jelas JUMLAH X 100% Skor yang dicapai Siswa Nilai = Skor Maksimal
skor 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1
Nilai 3
3
3
3
3 15
15/15 X 100% = 100% Berdasarkan tabel 3 yang telah dijabarkan diatas dapat diketahui hasil pelaksanaan perbaikan pembelajaran pada siklus 2 mengalami peningkatan dari siklus 1. Siswa yang telah mencapai ketuntasan pada siklus 1 54% dari jumlah siswa, sedangkan ketuntasan pada siklus 2, 100%. Hal ini melambangkan pembelajaran sudah sesuai dengan kriteria ketuntasan minimal ( KKM ) yang diharapkan yaitu KKM belajar individu 65 dan KKM secara global atau klasikal kelas adalah 85. Berkaitan dengan hasil pelaksanaan tindakan siklus 2 diatas maka perbaikan pembelajaran tidak dilanjutkan ke siklus berikutnya dengan kata lain target tindakan telah tercapai pada siklus ke 2, dan bisa juga dikatakan karena secara klasikal siswa kelas V semester 1 SDN 001 Ranai kabupaten Natuna Kecamatan Bunguran Timur tahun pelajaran 2015/2016 bisa dinyatakan tuntas pada kompetensi dasar mengindentifikasi unsur cerita ( tokoh, tema, latar, dan amanat ), maka penelitian ini dihentikan. 669
ISBN :978-602-17187-2-8
PENUTUP Secara keseluruhan berdasarkan pelaksanaan penelitian tindakan kelas di kelas V SDN 001 Ranai Kabupaten Natuna Kecamatan Bunguran timur dapat disimpulkan bahwa penggunaan sratetegi Jigsaw pada proses pembelajaran menyimak kususnya pada kompetensi dasar mengindentifikasi unsur cerita ( tokoh, tema, latar, dan amanat) untuk siswa kelas V SDN 001 Ranai terbukti dapat meningkatkan kemampuan mengindentifikasi unsur cerita pada siswa. Siswa dapat menindentifikasi unsur cerita dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan 2 siklus. Pada siklus 1 siswa mencapai 54% dari jumlah siswa, sedangkan ketuntasan pada siklus 2,100%. Hasil pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan pada siklus 2 telah mengalami peningkatan secara drastis dan mengalami peningkatan yang sangat tinggi dari pelaksanaan pembelajaran yang biasa dilakukan sehari-hari. Oleh karena itu penelitian ini dihentikan pada siklus ke 2. DAFTAR RUJUKAN Dasna, Wayan I. 2012. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Malang : PT. Pertamina bekerjasama dengan UM. Johnson, B. Elaine. 2012. CTL ( Contextual Teaching Dan Learning ). Bandung: Kaifa. Mulyasa, 2010. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Santoso, Anang dan Suwignyo, Heri.2012.Pendalaman Materi Bahasa Indonesia. Malang : Kerja sama PT. Pertamina ( Persero ) dengan Universitas Negeri Malang. Semiawan, Coni 1997. Perspektif Pendidikan Anak berbakat. Jakarta: PT. Grasindo Anggota Ikapi. Zahro, Azizatus dan Sulistyorini, Dwi 2010. Strategi koopratif Dalam pembelajaran menyimak dan berbicara. Malang: YA3.
PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR GERAK DALAM PEMBELAJARAN MENYAMPAIKAN KEMBALI ISI PESAN MELALUI MODEL STAD SISWA KELAS VI SDN 17 BARUGA KENDARI Hudaya Peserta TEQIP 2015 SDN 19 Kendari Barat Kota Kendari
[email protected] Abstrak: Penelitian ini mendeskripsikan penggunaan media gambar gerak yang dipadukan dengan model pembelajaran tipe STAD untuk materi "menyampaikan kembali isi pesan/informasi yang didengar melalui berita televisi dengan menggunakan bahasa yang runtut baik dan benar". Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan berupa informasi tentang kegiatan pembelajaran dalam kerangka lesson study di SD Negeri 17 Baruga Kota Kendari. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengonservasi seluruh kegiatan pembelajaran dan merekamnya menggunakan video dan foto kegiatan. Data diolah dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan gambar gerak dalam pembelajaran Menyampaikan Kembali Isi Pesan pada aspek keterampilan berbicara dapat mengkondisikan siswa menjadi antusias belajar. Penerapan pembelajaran kooperatif dapat menciptakan suasana belajar yang interaktif, kondusif dan menyenangkan. Kata kunci :
media pembelajaran, gambar gerak, pembelajaran kooperatif model STAD
670
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Salah satu fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Karenanya, bahasa Indonesia diajarkan mulai tingkat sekolah dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi. Hal ini dimaksudkan agar bahasa Indonesia dapat digunakan secara baik dan benar, termasuk di antaranya dalam dunia pendidikan. Kurikulum 2006 mata pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar menekankan pada empat keterampilan berbahasa yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis—serta kemampuan mengapresiasi sastra. Kemampuan menyimak merupakan kategori reseptif sedangkan kemampuan berbicara merupakan kategori produktif. Hasil dari kegiatan tersebut dapat diukur dengan melalui kegiatan berbicara dan menulis. Pada kegiatan berbicara, umumnya siswa sekolah dasar kesulitan dalam mengungkapkan gagasan atau pikiran-pikirannya secara langsung antara lain terdapat pada materi menyampaikan kembali isi pesan/informasi yang didengar melalui televisi dengan bahasa yang runtut, baik dan benar Kendala dilapangan menunjukan secara umum kemampuan berbicara siswa dalam proses pembelajaran masih rendah. Guru telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan permasalan tersebut, antara lain menggunakan media pembelajaran yang menarik dan metode pembelajaran yang menyenangkan secara tepat. Proses pembelajaran bahasa Indonesia merupakan satu sistem yang mencakup berbagai komponen pembelajaran yang saling terintegrasi dalam mencapai tujuan. Semua komponen dalam proses pembelajaran tidak boleh diabaikan. Dua di antara komponen tersebut adalah media dan model pembelajaran. Media merupakan salah satu komponen penting dalam pembelajaran. Media pembelajaran merupakan segala hal yang digunakan untuk menyampaikan pesan/ informasi dalam kegiatan pembelajaran sehingga terjalin komunikasi yang efektif, dalam hal ini antara guru dengan siswa (Arsyad, 2011). Tanpa media, kualitas pembelajaran yang dicapai tidak akan bisa optimal. Secara alamiah, guru juga menjadi media dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan guru berfungsi sebagai perantara (mediator) penyampai pesan/informasi akademik kepada siswa. Selain itu, guru juga menjadi penentu yang memutuskan media apa yang akan digunakan dalam pembelajaran tersebut. Media pembelajaran bahasa Indonesia adalah segala alat atau bahan yang disiapkan sebagai perantara atau penghubung antara siswa dan kompetensi dasar bahasa Indonesia yang dipelajari oleh siswa (Roekhan: 2015. 5). Pengertian media pembelajaran bahasa Indonesia di atas dapat ditemukan dua unsur penting dalam media pembelajaran, yaitu (1) alat atau bahan itu disiapkan secara khusus untuk kepentingan pembelajaran, dan (2) alat atau bahan tersebut berfungsi sebagai perantara atau penghubung antara siswa dengan kompetensi dasar yang mereka pelajari. Alat atau bahan tersebut dirancang secara khusus karena disesuaikan dengan atau bahan untuk membelajarkan siswa. Berdasarkan penjelasan tersebut maka media gambar gerak dalam pembelajaran menyampaikan kembali pesan/informasi tepat digunakan untuk menunjang tercapainya kualitas pembelajaran yang optimal maka dilakukan pola pembelajaran bersifat kooperatif. Dalam hal ini guru menerapkan pembelajaran kooperatif model STAD. Penggunaan Media Gambar Gerak adalah , Kata penggunaan, berarti "proses, pembuatan, cara menggunakan sesuatu". Media "Gambar Gerak" terdiri atas (1) gambar dari rekaman video dapat diperoleh dari berita televisi, (2) ditayangkan dengan bantuan laptop dan LCD, yang terpenting dapat didengar dan dilihat oleh siswa secara langsung berita yang diperdengarkan melalui rekaman video. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD merupakan satu model pembelajaran kelompok yang terdiri atas 4 orang. Ide dasar model pembelajaran ini untuk memotivasi peserta didik dalam kelompok agar mereka dapat mendorong dan membantu satu sama lain dalam menguasai materi pelajaran yang disajikan guru, serta menumbuhkan suatu kesadaran bahwa belajar itu penting, bermakna, dan menyenangkan. Hal ini dinyatakan oleh Robert E. Slavin (2008: 8) bahwa dalam pembelajaran kooperatif para siswa akan duduk bersama-sama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Karena itulah maka penggunaan media gambar gerak disajikan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD. 671
ISBN :978-602-17187-2-8
Penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan media sudah dilakukan oleh beberapa peneliti {Asri,2009; Hudaya,2009; Sindra,2013; Rini M. Lintong,2013}. Asri Akbar (2009) menjelaskan, pembelajaran visualitatif dengan media gambar sebagai stimulus keterampilan berbicara siswa sekolah dasar sangat efektif untuk menimbulkan keberanian siswa untuk menyampaikan pikiran, gagasan, serta kreativitas, imajinatif siswa secara lisan, sehingga dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Hudaya [2009] menjelaskan, Penggunaan „cd chart” dapat mengatasi kesulitan siswa kelas V SD dalam mempelajari transformasi dan operasi hitung pecahan jika diajarkan melalui model STAD juga dapat meningkatkan motifasi belajar dan hasil belajar siswa SDN 14 Kendari Barat.. Rini M. Lintong (2013) menjelaskan, dengan adanya media, siswa menjadi senang dalam belajar karena mereka lebih cepat memahami materi yang disajikan, sehingga hasil belajar siswa pun juga lebih meningkat. Metode pengamatan ini bertujuan mendeskripsikan penggunaan media gambar gerak dalam proses pembelajaran menyampaikan kembali isi pesan melalui model STAD. Pengamatan dilakukan dengan cara mengobservasi pembelajaran yang diselenggarakan di SD Negeri 17 Baruga Kota Kendari. Data dikumpulkan berupa informasi yang diperoleh dari kegiatan praktek pembelajaran di kelas VI SD Negeri 17 Baruga Kota Kendari. Pengamatan ini dilakukan dalam rangka kegiatan lesson study di SD Negeri 17 Baruga Kota Kendari. Kegiatan lesson study dilaksanakan dengan perencanaan on going 1 dan on going 2, yaitu perencanaan (PLAN), pelaksanaan (DO), dan refleksi (SEE Data dikumpulkan dengan merekam aktivitas pembelajaran dengan foto dan video serta hasil observasi dari pengamat. Guru model dalam lesson study ini adalah penulis. Bahan ajar yang dipilih adalah "Menyampaikan pesan/informasi yang didengar melalui berita televisi dengan menggunakan bahasa yang runtut, baik dan benar". HASIL PENGAMATAN Kegiatan pengamatan ini terintegrasi dalam kegiatan lesson study di SD Negeri 17 Baruga Kota Kendari. Lesson study dilakukan dalam tiga tahap: PLAN, DO, dan SEE. Pada saat PLAN dilakukan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) secara berkolaborasi dengan peserta trainer TEQIP, dan dihasilkan seperangkat RPP dan lembar kerja siswa serta media serta model pembelajaran yang telah dirancang bersama, sesuai dengan materi yang akan dibelajarkan kepada siswa. yang akan digunakan pada saat on going 1. Model pembelajaran yang dipilih untuk DO adalah kooperatif tipe STAD sedangkan media yang digunakan adalah gambar gerak yang berupa rekaman video yang bersumber dari berita televisi yaitu sudut pandang metro TV . Pada tahapan DO atau pelaksanaan dilakukan praktik pembelajaran di kelas on going 1; pembelajaran Bahasa Indonesia dilaksanakan di kelas VI/a pada semester ganjil 2015/2016 diobservasi oleh 8 orang: 1 orang guru (peserta lesson study), 2 orang guru SD Negeri 17 Baruga, 2 orang pengawas SD Kota Kendari, 1 orang expert dan 2 anggota tim TEQIP dari UM. Kegiatan awal dimulai dengan berdoa, memperkenalkan diri lalu mengecek kehadiran siswa. Pembelajaran diawali dengan kegiatan pendahuluan dengan menayangkan video lagu anak-anak yang berjudul ‗‘Makan Apa‘‘.yang bertujuan untuk mengaitkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang akan dibahas serta menarik minat siswa terhadap materi yang akan disampaiakan. LCD digunakan untuk menayangkan gambar gerak yang telah dirancang bersama.dengan menggunakan LCD maka seluruh siswa dapat melihat langsung isi tangan video.sekaligus memudahkan siswa menguasai syair lagu. Semua siswa menyanyi bersama mengikuti video tersebut sambil bertepuk tangan. Pada saat memberikan pendahuluan guru ingin mengetahui materi prasyarat dengan mengadakan dialog sebagai yang berkaitan dengan materi sbb:. G: “Siapa yang sarapan pagi sebelum ke sekolah?” S: (Sebagian besar siswa menjawab) Saya Bu. G: “Menu sarapannya apa saja?” S: (Jawaban siswa bermacam-macam guru menampung semua jawaban siswa). G: “Nah, yang terpenting adalah harus sarapan.” G. “Pertanyaan berikutnya, siapa yang sering menonton berita televisi?” S. Jawaban siswa semua menjawab saya Bu, dirangkum untuk mengarah ke tujuan pembelajaran. G. “Pernakah kalian menonton berita televisi, lalu isi beritanya diceritakan lagi kepada teman yang tidak sempat nonton?” 672
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
S. Sebagian besar yang menjawab "ya", ada juga yang menjawab "tidak".bahkan ada siswa tidak menjawab. Dari dialog tersebut terlihat bahwa siswa sudah memiliki pengetahuan prasyarat yang cukup untuk melanjutkan pembelajaran tentang ‗‘Menyampaikan secara lisan isi pesan/informasi yang didengar melalui video rekaman dari berita televisi dengan menggunakan bahasa yang runtut, baik dan benar". Kegiatan selanjutnya menyampaikan tujuan pembelajaran. Pada kegiatan inti 1 dilakukan pembentukan kelompok; siswa berjumlah 32 orang dibagi menjadi 7 kelompok, masing-masing 4 - 5 orang. Siswa dikelompokkan secara heterogen, dilihat dari tingkat kecerdasan maupun jenis kelamin. Meskipun konsep model pembelajaran tipe STAD terdiri atas empat orang dalam satu kelompok, ada juga kelompok beranggotakan 5 orang karena jumlah siswa tidak habis jika dibagi empat. Jadi atas kebijakan guru mengatur demikan agar semua siswa dapat belajar sesuai rencana. KEGITAN INTI Guru meminta semua siswa memperhatikan penjelasan guru yaitu mencatat pokokpokok informasi yang didengar, karena guru menyiapkan video yang akan ditayangkan melalui LCD (gambar gerak). Guru menayangkan video tersebut yang direkam dari berita Metro TV (Sudut Pandang Metro TV). Semua kelompok memperhatikan sambil mencatat pokok-pokok informasi. Pemutaran video selama tujuh menit dan dilakukan sebanyak dua kali.Pada kegiatan ini siswa menunjukan sikap senang dan semangat,terlihat semua siswa berkonsentrasi untuk menyimak isi rekaman video yang diperdengarkan guru. Hal ini disebabkan karena media yang digunakan dapat menarik minat siswa. Berikut Teks berita video wawancara Prof. Hardin pada acara sudut pandang Metro TV oleh Vivi Aleyda Yahya (Metrotvnews.com, 6 April 2015). ―Energi yang cukup untuk memulai hari, hanya dapat dihasilkan dari asupan sarapan yang tepat. Menurut Prof. Hardin, "Makan makanan yang benar dan minum yang cukup di pagi hari adalah dua elemen penting di dalam sarapan". Kenyataan banyak penduduk Indonesia dan yang termasuk anak sekolah yang belum sarapan. Kemudian yang kedua, "bisa saja sarapan, tapi kualitas masih jelek secara gizi atau belum sehat". Alasan kedua, bisa jadi karena mereka tidak mampu, bisa jadi dia tahu, tapi tidak mampu mewujudkan seperti apa itu makan sehat, atau untuk membeli atau memperoleh makan pagi pun belum sanggup. Tapi menurut Prof. Hardin, angka kemiskinan itu makin lama makin menurun sekitar 10-11 %, berarti 90 % penduduk Indonesia tidak miskin, berarti mampu. Berarti sebagian besar penduduk Indonesia karena ketidaktahuannya tentang sarapan pagi yang benar. Saran Prof. Hardin kepada para keluarga terutama bunda dan ayah, "Tolong dibiasakan anak tidak tidur larut malam". Kalau anak sekolah dasar harusnya jam 09.00 malam sudah tidur, karena kalau telat tidur maka telat bangun. Jika telat bangun akhirnya anak telat untuk bersiapsiap ke sekolah. Sarapan yang sebagai salah satu bagian dari gizi yang bagus dalam satu hari akan terlewatkan. ―Hal yang biasa dilakukan penduduk Indonesia sarapannya, nasi putih dengan ayam goreng, atau nasi putih dan telur goreng, hai ini belum memadai karena tidak ada sayurnya". Ada lagi kebiasaan masyarakat Indonesia, sarapannya nasi goreng dan telur pagi-pagi". Ini juga belum memadai, harusnya diberikan satu buah ketimun, atau satu buah tomat di sayat-sayat sebagai sayur yang paling praktis di pagi hari atau ditambah dengan makan jeruk atau pisang setelah makan atau sarapan. Menurut Prof. Hardin, yang terpenting sebenarnya adalah, "Bagaimana seorang ibu dan ayah menyiapkan makanan sarapan tidak hanya bergizi tapi juga enak". Banyak kejadian "anak bosan itu lagi-itu lagi setiap pagi yang diberikan kepada anak," sehingga anak meninggalkan sarapan di rumah hanya karena rasa bosan. Dia ingin jajan di sekolah." Nah kalau di sekolah itu ada kantin yang sehat tentunya bagus. tetapi kalau kantinnya seperti survey Badan Obat dan Makanan (POM), di mana 20 % jajanan di sekolah tidak aman, ini kan tentunya menghawatirkan (Sumber: http//youtube metrotv. New. com Sudut pandang Metro tv tanggal 6 April 2015) Sesi kedua, guru membagikan lembar kerja kepada kelompok yang berisikan tujuh buah pertanyaan yang ada hubungannya dengan informasi dari berita video, dan membagikan pula kartu berantai sebagai tempat untuk setiap kelompok menuliskan jawabannya. Pertanyaan yang 673
ISBN :978-602-17187-2-8
terdapat pada lembar kerja tersebut bertujuan membantu siswa dapat memahami isi berita dengan menjawab pertanyaan.sedangkan kartu berantai setiap lembar berbentuk gambar buahbuahan, misalnya: ada yang berbentuk buah apel, buah strowbery, buah jeruk, buah mangga, buah manggis, buah semangka, dan buah jambu air. Jawaban siswa ditulis dengan menggunakan spidol berwarna-warni. Kartu berantai dibuat dalam bentuk gambar-gambar buah-buahan sesuai dengan nama kelompok masing-masing agar guru dengan mudah mengenal nama kelompok siswa serta memudahkan untuk pembagian kartu-kartu berantai kepada semua kelompok.Penyelesaian tugas dengan kerja kelompok dimaksudkan agar terjadi interaksi yang positif diantara anggota kelompoknya.tercipta suasana yang kondusif sehingga melahirkan situasi belajar yang menyenangkan bagi semua siswa.Kegiatan tersebut adalah penerapan model pembelajaran koperatif tipe STAD.tujuannya adalah agar kelas menjadi kondusif, interaktif dan menyenangkan Sebelum siswa menuliskan jawaban tersebut siswa bersama anggota mendiskusikannya bersama kelompoknya.Tujuannya agar siswa bersama-sama bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas mereka dengan sunggu- sunggu. Selanjutnya hasil kerja kelompok ditempelkan di papan tulis, terlebih dahulu siswa memahami kembali jawaban-jawaban yang telah dituliskan pada kartu berantai tersebut,agar kelompok fokus dan berupaya memenangkan persaingan agar kelompoknya dapat mendapat penghargaan atau rewort. karena setelah ditempelkan di papan tulis, guru mengadakan penilaian terhadap hasil kerja setiap kelompok secara transparan. Yang mendapat nilai terbaik akan diberikan hadiah yang berupa gambar bintang dan pujian dengan simbol senyum (smile), hadiah ini ditempelkan pada kartu berantai hasil kerja siswa. Sesi berikutnya diberikan kesempatan kepada semua kelompok menyampaikan kembali isi pesan/informasi di depan kelas secara lisan dan menghadap ke seluruh siswa di kelas. Tim kelompok menyampaikannya secara berantai, jadi semua siswa berkesempatan berbicara. Adapun teknik penyampaiannya sebagai berikut. Siswa A menyampaikan secara lisan jawaban dari soal no. 1 dan 2 yang dipandu oleh siswa B. Siswa B menyampaikan secara lisan jawaban dari soal no. 3 dan 4 yang dipandu oleh siswa C. Siswa C menyampaikan secara lisan jawaban dari soal no 5, 6, dan 7 yang dipandu oleh siswa D. Siswa D menyampaikan kesimpulan dari semua jawaban yang dipandu oleh siswa A, dan seterusnya. Dengan demikian guru melatih siswa terbiasa mau berbicara tampa malu-malu di depan teman- temannya,serta melatih menggunkan bahasa indonesia yang baik, Siswa yang lain dapat melengkapinya jika diperlukan Pada saat kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya, maka kelompok yang lain dapat memberi tanggapan. Guru tetap melakukan penilaian berdasarkan penilaian yang telah dirancang sebelumnya pada rencana persiapan pembelajaran. Setelah semua kelompok mempresentasikan kegiatan menyampaikan isi informasi secara lisan selesai, maka siswa kembali duduk bersama kelompoknya lalu guru memberikan kuis secara bersama untuk mengetahui siswa yang mana yang terbaik dalam peoses pembelajaran tersebut. Setelah semua proses selesai maka diakhiri dengan penyimpulan materi. siswa dan guru menyimpulkan materi. Sebelum pelajaran diakhiri guru menyampaikan motivasi kepada siswa agar sebelum ke sekolah harus sarapan agar di sekolah dapat menerima pelajaran dengan baik karena dalam kondisi yang sehat. Siswa kembali menyanyikan lagu "Aku Anak Sehat" dengan memutarkan video lagu, semua siswa bernyanyi dengan riang gembira. Pelajaran ditutup dengan doa dan ucapan salam. Kegiatan Refleksi Setelah selesai pembelajaran dilakukan refleksi bersama tim lesson study. Pada tahap refleksi ini seluruh observer menyampaikan hasil pengamatannya. Kegiatan see dipimpin oleh Tim Teqip UM Bapak Toto Nusantara sebagai moderator.Kegiatan diawali dengan memperkenalkan peserta lesson study.Selanjutnya moderator memberi kesempatan kepada guru model untuk menceritakan pengalaman mengajar sebagai guru model ketika melaksanakan pembelajaran dengan materi menyampaikan kembali isi pesan/ informasi dari berita televisi. Guru model merasakan senang dan puas terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan karena , adanya penerimaan yang positif dari Kepala Sekolah,Guru serta siswa sendiri yang menjadi subjek pengamatan.Pembelajaran berjalan dengan lancar meskipun terjadi kendala diawal saat mengoperasikan media gambar gerak sehingga menyita waktu kurang lebih 7 menit, karena adanya pemutusan arus listrik yang mengakibatkan tampilan LCD terhambat. Namun, seluruh rancangan pembelajaran tetap dapat dilaksanakan dengan baik. Kedua, Guru 674
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
model sangat percaya diri menyampaikan pembelajaran meskipun pengamat banyak berada di ruang kelas,karena yang diamati adalah siswa, sehingga guru model tidak merasa grogi. Ketiga guru model telah mempersiapkan diri, baik menyangkut perencanaan pembelajaran, media serta hal-hal yang dapat mendukung kelancaran proses pembelajaran.Penggunaan media ini mengkondisikan siswa menjadi antusias belajar apalagi pembelajaran disampaikan melaui model STAD. Adapun yang dihawatirkan guru model dengan penggunaan media Gambar Gerak tersebut adalah pemutusan arus listrik, karena apabila arus listrik terputus maka media ini jika ditampilkan dengan LCD tentu merupakan hambatan dalam pembelajaran.ini juga merupakan kelemahan dari media gambar gerak tersebut. Namun secara umum kelebihannya lebih mudah memahamkan materi kepada siswa. Selanjutnya para observer menyampaikan hasil pengamatannya hubungannya dengan kesiapan siswa, respon siswa,interaksi siswa dan guru maupun siswa dan siswa mulai dari kegiatan awal sampai pada kegitan pembelajaran berakhir. Hal-hal yang menyangkut apa saja yang diamati formatnya telah disiapkan sehingga pengamat tidak mengalami kesulitan untuk mengisi lembar pengamatan tersebut. Keseluruhan pengamat berkomentar pembelajaran sangat bagus dilihat dari antusias siswa, keaktifan siswa kerja sama siswa {kekompakan siswa} antusias siswa,percaya diri siswa, tanggung jawab dalam kelompok.Semua komentar pembelajaran sangat bagus, antusias karena adanya media yang menarik merasa senang dan semangat, serta kelas menjadi kondusif, interaktif dan menyenangkan dengan dipadukannnya model STAD.Kegitan presentasi dari kelompok setelah mereka menyelesaikan diskusinya terlaksana sesui rencana. Ketiga, entusiasme siswa menunjukkan respons positif, terlihat pada saat disuruh maju presentase tugas kelompoknya, semua maju dan memperlihatkan kerja tim yang bagus. Kelompok buah apel yang memenangkan kuis yang diberikan guru, sehingga diberikan penghargaan berupa gambar bintang SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa: (1) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan gambar gerak dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada aspek keterampilan berbicara dapat mengkondisikan siswa menjadi antusias belajar.[2] Pembelajaran koperatif dapat menciptakan suasana belajar yang interaktif, kondusif dan menyenangkan. DAFTAR RUJUKAN Arsyat,Azhar. Media Pembelajaran, Jakarta: Raja Grasindo Persada Asri. 2009. "Model Pembelajaran Visualitatif dengan media Gambar sebagai Stimulus Keterampilan Berbicara Siswa Sekolah Dasar" dalam Jurnal Humanika no. 1 vol. 2. Hudaya. 2009. " Penggunaan ‗cd chart‖ dapat mengatasi kesulitan siswa kelas V SD dalam mempelajari transformasi dan operasi hitung pecahan jika diajarkan melalui model STAD juga dapat meningkatkan motifasi belajar dan hasil belajar siswa SDN 14 Kendari Barat” dalam Jurnal Humanika no. 1 vol. 2. Lintong, Rini M. 2013. Penggunaan Media Tabel Penjumlahan dalam Pembelajaran Matematika Berbasis Lesson Study di Kelas V Sekolah Dasar. Prosiding Seminar Nasional TEQIP 2013 Volume 1 hal. 783-786. Universitas Negeri Malang. Roekhan, 2015 Media Pembelajaran Bahasa Indonesia: Bahan Teachers Quality Improvement Program (TEQIP) Peningkatan Kualitas Guru SD/MI Indonesia melalui Pembelajaran Bermakna Terintegrasi dengan Lesson Study. Malang: Universitas Negeri Malang. Slavin, Robert E. 2008. Cooperative Learning, Nusa Media: Bandung Sudut Pandang Metro TV dalam http//youtube.metrotvnews.com, 6 April 2015. Pembelajaran Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Rakyat dengan Media Audio Visual siswa SDN Inpres Wearlilir, Kabupaten Maluku Tenggara
675
ISBN :978-602-17187-2-8
PEMBELAJARAN MENGIDENTIFIKASI UNSUR INTRINSIK CERITA RAKYAT DENGAN MEDIA AUDIO VISUAL SISWA SDN INPRES WEARLILIR, KABUPATEN MALUKU TENGGARA Martenci Rahanten, S,Pd SD Negeri Inpres Wearlilir Abstrak : Pembelajaran mengidentifikasi unsur intrinsik cerita rakyat dengan media audio visual, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan media audio visual dalam pembelajaran Bahasa Indonesia kelas V, makalah ini menggunakan metode pengamatan dengan menggunakan lesson study yaitu perencanaan (plan), Pelaksanaan (Do), dan Refleksi (See). Sumber data pengamatan ini adalah siswa kelas V, Guru model, guru observer serta pengumpulan datanya menggunakan lembar observasi, tes. Hasil pengamatan menunjukan bahwa penggunaan media audio visual dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa Kata Kunci: unsur-unsur cerita rakyat,Media Audio Visual
Pembelajaran itu sangatlah penting dalam dunia pendidikan, baik pendidikan pada jenjang SD, SMP, SMU maupun di Perguruan Tinggi.Pembelajaran yang dibahas dalam artikel ini adalah pembelajaran pada jenjang Sekolah Dasar( SD). Pengertian pendidikan Menurut Bapak Comenius pada abad pertengahan, bahwa pendidikan adalah proses dimana individu mengembangkan kualitasnya terhadap agama, ilmu pengetahuan dan moralnya, yang membuatnya mampu mengklaim dirinya sebagai manusia. (http://www.apapengertianahli.com/2015/01/pengertian-pendidikan-pendapat-ahli-pendidikan. html). Hal ini bisa kita lihat dari tujuan pendidikan Nasional menurut UUD tahun 2003 No.20 pasal 3 yang berbunyi,“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (http://belajarpsikologi. com/tujuan-pendidikan-nasional/). Di lihat dari pandangan Bapak Comenius tentang pengertian Pendidikan, serta Tujuan pendidikan nasional maka, kesimpulnya bawah “ Pendidikan itu adalah mengembangkan potensi dan kualitas peserta didik tehadap aspek intelektualnya,religiusnya serta karakteristiknya sebangai manusia yang berahklak mulia untuk bertanggung jawab terhadap negara dan bangsa. Jadi seorang guru itu bagaikan “sepotong lilin yang harus menerangi kegelapan”artinya guru harus mendidik siswa yang belum tahu menjadi tahu. Dengan sebuag ungkapan sederhana inilah, maka kita sebagai seorang pendidik, kita harus bertanggung jawab atas kelancaran pendidikan, agar dapat mencerdaskan anak- anak bangsa. Jadi, seorang guru harus melaksanakan pembelajaran dalam kelas, diharuskan menggunakan media agar dapat membantu peserta didik dalam belajar. dalam ketrampilan menyimak. Media pembelajaran ini sangat penting bagi pendidik maupun peserta didik. Media pembelajaran adalah alat bantu guru dan siswa dalam pembelajaran agar secara langsung siswa bisa melihat apa yang di ajarkan guru kepada siswa, apa bermanfaat atau tidak?. Hal ini yang telah dialami oleh penulis sehingga dapat di tuangkan dalam artikel ini, materi yang diambil “ Mengidentifikasi Unsur cerita dalam cerita rakyat yang didegarkan”, dengan media Audio Visual Menyimak /Mendengarkan adalah suatu proses kegiatan menangkap lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi, untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan (Tarigan,1983:28) Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan tersebut ialah dengan bekerja keras melakukan penataan pendidikan dan peningkatan mutu pembelajaran secara terus menerus. Keberhasilan penataan system pendidikan dan peningkatan kualitas pembelajaran sangat ditentukan oleh usaha – usaha yang dilakukan dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal ini, usaha guru untuk melakukan adaptasi, inovasi, dan pengembangan 676
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
kreativitas pembelajaran seiring dengan tuntutan perkembangan zaman dianggap memberikaan sumbangan bagi pemecahan berbagai problema pembelajaran Secara umum artikel ini menguraikan pelaksanaan pebbelajaran menyimak cerita dengan menggunakan media audio visual pada siswa SDNI Wearlilir. Secara khusus artikel ini memaparkan (1) perencanaan pembelajaran menyimak cerita dengan media audio visual. (2) pelaksanaan pembelajaran menyimak crita dengan media audio visual, serta (3) penilaian pembelajaran menyimak cerita. METODE PENGAMATAN Tempat dan Waktu pengamatan Tempat penelitian SD Negeri Inpres Wearlilir Kabupaten Maluku Tenggara Populasi dan Sampel Populasi dalam pengamatan ini adalah siswa kelas V sebanyak 16 orang HASIL PENGAMATAN Tahap Perencanaan (Plan) Dalam pembelajaran dengan lesson study tahap perencanaan (plan) bertujuan untuk menghasilhan rancangan pembelajaran yang diyakini mampu membelajarkan peserta didik secara efektif serta membangkitkan partisipasi dan motifasi aktif peserta didik dalam pembelajaran Dalam tahapan ini kegiatan yang dilakukan berupa persiapan – persiapan yaitu menyusun rencana pelaksanaan Pembelajaran (RPP) menulis pada Standar Kompetensi Menyimak (Mengidentifikasi unsur – unsur cerita rakyat) Indikator dari kompetensi Dasar Mengidentifikasi yaitu (1) menyebutkan tokoh dalam cerita (2) menyebutkan watak tokoh dalam cerita (3) Menyebutkan latar dalam cerita (4) menyebutkan amanat dalam cerita. Indikatot tersebut dituangkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, dalam langkah-langkah tersebut terdapat langkah guru yang memutarkan sebuah cerita rakyat melalui media audio visual. Model yang digunakan yaitu jigsaw Penggunaan media sangat berperan penting dalam proses pembelajaran. Media yang digunakan dalam menyampaikan proses pembelajaran adalah audio visual. Dimana cerita rakyat tersebut diperdengarkan lewat audio visual dengan memfokuskan ketrampilan menyimak siswa membentuk tim ahli (jigsaw) setelah merasa yakin dengan jawabannya kembali lagi ke kelompok awal untuk meyakinkan teman – teman kelompok asal kembali lagi ke kelompok ahli dan presentasi.selain materi, metode, dam media pada perencanaan perlu dirancangnya instrument penilaian yang disesuaikan dengan Kompetensi Dasar yang diajarkan. Penilaian di rancang dalam bentuk tes lisan dan tes tulisan. Instrumen ini diharapkan dapat membantu guru dalam menilai secara objektif dengan indikator yang jelas Setelah perencanaan telah disusun bersama, maka guru yang disiapkan sebagai model menerapkan RPP yang telah dirancang bersama-sama secara kolaborasi. Pelaksanan pembelajaran di mulai dari kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Tahap Pelaksanaan (DO) Dilaksanakan pada tanggal 25-08-2015 dengan materi unsur intrinsik cerita rakyat. Guru model mengimplementasikan pembelajaran sesuai dengan skenario yang disusun bersama – sama. Sendangkan guru guru yang lain bertindak sebagai pengamat (observer). Fokus pengamatan diarahkan pada aktifitas belajar peserta didik dengan berpedoman pada prosedur dan instrumen pengamatan yang telah di sepakati pada tahap perencanaan, bukan untuk mengevaluasi guru model yang melakukan pembelajaran Pada kegiatan awal pembelajaran,Siswa didalam kelas, guru membuka dengan ucapan salam, mengabsensi kehadiran siswa dikelas, guru memperkenalkan diri. Sebelum memulai pembelajaran guru model melakukan apersepsi dengan memperdengarkan sebuah cerita dongeng pendek (bawang putih bawang merah) dengan media Audio Visual kemudian guru mengajukan pertanyaan cerita apa yang kalian dengar tadi?, Siapa saja dalam cerita yang didengar tadi.Setelah melakukan Tanya jawab singkat dengan siswa. Guru model menyampaikan materi dan tujuan yang hendak dicapai. Setelah apersepsi selesai disampaikan, guru model melanjutkan dengan kegiatan inti pembelajaran 677
ISBN :978-602-17187-2-8
Pada kegiatan inti didalamnya terdapat 3 tahap kegiatan yaitu eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Guru model melakukan penanaman konsep singkat tentang unsure– unsur intrinsik cerita rakyat.siswa dibagi dalam 4 kelompok awal siswa di bagikan materi, setiap anggota kelompok dalam kelompok masimg – masing mendapat materi yang berbeda yaitu (1) tokoh – tokoh dalam cerita (2) watak tokoh dalam cerita (3) latar cerita (4) amanat cerita. Guru memperdengarkan sebuah cerita rakyat ( Maling Kundang ) siswa membagikan materi setelah semua siswa kebagian materi, siswa di bimbing guru untuk membentuk tim ahli sesuai dengan materi yang di bagikan guru, siswa dalam kelompok ahli berdiskusi setelah selesai tim ahli kembali ke kelompok asal untuk meyakinkan teman-teman setelah itu kembali ke kelompok ahli, setelah itu siswa presentasi dan teman kelompok lain menanggapi, setelah itu guru memberikan pujian dan memberikan penguatan terhadap hasil presentasi pekerjaan siswa Pada kegiatan akhir, siswa dibimbing guru menyimpulkan pelajaran yang telah dipelajari yaitu unsur – unsur cerita yaitu tokoh adalah orang yang berperan dalam cerita, watak adalah sifat, karakter dari tokoh tersebut, latar adalah waktu dan tempat cerita tersebut,amanat adalah pesan yang terkandung dalam cerita,setelah itu guru model memberikan tugas rumah menonton film anak Balveer kemudian menuliskan tokoh – tokoh, watak, latar, amanat dari cerita balveer tersebut, selain itu guru model juga member motivasi kepada siswa untuk terus belajar di rumah terlebih PR yang di berikan guru model Tahap Refleksi (See) Pada tahap ini teman observer yang terdiri dari teman sejawat dan guru kelas menyampaikan hasil pengamatannya. Refleksi di pandu oleh seorang moderator. Moderator mengawali kegiatan dengan memperkenalkan kelompok lesson study dilanjutkan dengan memberi ucapan selamat kepada guru model. Kemudian moderator memberikan kesempatan lebih awal kepada guru model untuk menyampaikan perasaannya pada saat melaksanakan proses pembelajaran di kelas V materi menyimak unsure intrinsic cerita rakyat. Guru model merasakan siswa dari awal sampai akhir pembelajaran sangat antusias, siswa selalu merespon ketika guru mengajukan pertanyaan, ketika guru memperdengarkan cerita melalui audio visual siswa terdiam dan sangat senang untuk mendengar cerita tersebut. guru model pun dengan mudah mengajarkam materi sesuai dengan rancangan dan media pembelajaran yang yang disiapkan dan telah disusun bersama teman sejawat. Namun mungkin saja ada kekurangan kekurangan yang di amati teman observer. Guru model dengan senang hati menerima masukan dan saran demi perbaikan pembelajaran berikutnya. Teman observer mencatat seluruh hasil pengamatan dan melaporkan hasil pengamatannya PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan dan refleksi yang ditemukan oleh observer, secara umum siswa sudah siap mengikuti pembelajaran mengidentifikasi unsur intrinsik cerita rakyat yang diperdengarkan dan dapat dilihat bahwa media pembelajaran sangat penting untuk membantu proses pembelajaran. Open class dengan menggunakan media Audio Visual, dapat meningkatkan, memotivasikan dan meningkatkan hasil belajar siswa kelas V, Peningkatan hasil belajar juga sangat didukung pada penggunaan media pembelajaran yang digunakan, dengan menggunakan media dapat memperjelas dan memperluas pengertian kepada siswa, media pembelajaran sangat penting untuk membantu guru dalam menjelaskan materi. Media pembelajaran dapat membuat siswa dapat lebih aktif, kreatif, dan belajar dengan senang. Materi pembelajaran yang dijelaskan oleh guru pun mudah diterima, dan sangat menarik perhatian siswa untuk menyimak isi cerita tersebut, selain itu pembentukan kelompok dalam pembelajaran tersebut berdampak adanya interaksi antara siswa dengan siswa. Bimbingan guru padaa proses pembelajaran juga dapat menimbulkan interaksi antara guru dan siswa. Adanya proses pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa sudah tentunya ada persiapan yang baik, terutama perangkat pembelajaran sebelum mengajar , Hal ini dilakukan karena sesuai dengan prosedur lesson study yang meliputi tahapan plan. Tahapan plan tersebut dilakukan penyusunan perangkat pembelajaran bersama sama dengan teman sejawat, kemudian tahap yang berikut adalah pelaksanaan do. Pada tahapan ini 1 guru disiapkan sebagaai model dan guru yang lain berperan sebagai observer. Pengamatan yang di lakukan oleh teman observer ini sangat baik, karena mereka hanya mengamati gerak – gerik siswa. Kehadiran para observer 678
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
ini sangat baik karena dapat memotifasikan guru untuk mengajar dengan baik dan para observer mencatat keunggulan dan kelemahan dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dengan sasaran nya adalah siswa. Hasil observasi pengamatan disampaikan oleh observer pada tahapan refleksi see. Pada tahapan ini semua yang berperan sebagai observer menyampaikan hasil pengamatannya. Peningata keterampilan mengajar ini disebabkan guru model telah mengikuti telah mengikuti lesson study sehingga dapat mengembangkan pembelajaran yang inovatif, kreatif, dan menyenangkan yang membentuk karakter pesrta didik belajar aktif dan mandiri. Dengan adanya media yang digunakan siswa dapat mengidentifikasi unsur cerita rakyat dengan audio visual yang diperdengarkan. PENUTUP Pembelajaran mengidentifikasi unsur intrinsic cerita rakyat dengan media audio visual, pada kegiaatan Open Class TEQIP 2015 dapat disimpulkaan sebagai berikut. 1. Penggunaan media yang menarik terbukti dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa kelas V SD Negeri Inpres Wearlilir 2. Penggunaan media yang menarik dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Inpres Wearliir DAFTAR RUJUKAN Kurnia Rita, Novita Rahayu. Penggunaan Media Puzzle Dalam Pembelajaran Menulis Pengumuman berbasis Lesson Study. Malang: Universitas
PEMBELAJARAN MEMBACA PUISI DENGAN METODE THINK PAIR SHARE DI KELAS V SDN 24 SUNGAI CUBADAK KABUPATEN AGAM TERINTEGRASI LESSON STUDY Syafyarnita SD Negeri 24 Sungai Cubabak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat
[email protected] Abstrak: Makalah ini ini bertujuan mendeskripsikan proses pembelajaran membaca puisi dengan lafal, intonsi, dan ekspresi yang tepat menggunakan strategi Think Pair Share.Pembelajaran membaca puisi bertujuan untuk memahami ide, menangkap makna dalam bacaan secara utuh serta membaca dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat. Pembelajaran ini dilaksanakan terintegrasi dengan lesson study. Data proses dikumpulkan dengan teknik observasi,. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa siswa sangat aktif, percaya diri dan senang mengikuti pembelajaran mulai awal kegiatan pembelajaran hingga akhir pembelajaran. Siswa mampu membaca puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat serta penuh percaya diri. Kesimpulannya penerapan model pembelajaran Think Pair Share tepat digunakan dalam pembelajaran membaca puisi di kelas V SD. Kata kunci: pembelajaran membaca, membaca puisi, metode think-paire-share, lesson study
Membaca secara umum di SD bertujuan agar siswa mampu membaca dan memahami teks pendek dengan cara lancar atau bersuara beberapa kalimat sederhana dan membaca puisi (Depdiknas; 2004: 15). Pembelajaran Bahasa Indonesia bertujuan meningkatkan keterampilan peserta didik untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap karya kesusasteraan manusia Indonesia (Depdiknas, 2006). Pembelajaran membaca adalah keterampilan berbahasa reseptif tulis. Dalam membaca, seorang pembaca harus memahami kode-kode dalam bentuk tulisan. Seorang pembaca harus memahami konvensi-konvensi dalam ejaan, kata, frasa, kalimat, paragraf, dan teks/wacana jika
679
ISBN :978-602-17187-2-8
ingin berhasil memahami bacaan. Sebaliknya, seorang akan gagal apabila tidak dapat memahami kode-kode dalam bentuk tertulis itu (Suwignyo, H.& Santoso, Anang. 2015) Pada dasarnya, kegiatan membaca puisi merupakan upaya apresiasi puisi. Secara tidak langsung, bahwa dalam membaca puisi, pembaca akan berusaha mengenali, memahami, menghargai, memberi pengertian, memberi penghargaan, membuat berpikir kritis, dan memiliki kepekaan rasa. Semua aspek dalam karya sastra dipahami, dihargai bagaimana persajakannya, irama, citra, diksi, gaya bahasa, dan apa saja yang dikemukakan oleh media. Pembaca akan berusaha untuk menerjemahkan bait perbait untuk merangkai makna dari makna puisi yang hendak disampaikan pengarang. Pembaca memberi apresiasi, tafsiran, interpretasi terhadap teks yang dibacanya Setelah diperoleh pemahaman yang dipandang cukup, pembaca dapat membaca puisi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membaca puisi sebagai berikut: (1) Artikulasi yaitu ketepatan dalam melafalkan kata- kata. Lafal meliputi: timbre yaitu warna bunyi suara (bawaan) yang dimilikinya, dinamik artinya keras lembut, tinggi rendahnya suara. (2) Intonasi atau lagu suara yang meliputi: tekanan dinamik yaitu tekanan pada kata- kata yang dianggap penting, tekanan tempo yaitu cepat lambat pengucapan suku kata atau kata. (3) Ketepatan ekspresi/mimik. Ekpresi adalah pernyataan perasaan hasil penjiwaan puisi. Mimik adalah gerak air muka dan kinesik. Salah satu kompetensi dasar dalam Kurikulum KTSP yang harus dikuasai siswa kelas V SD adalah membaca puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. Untuk dapat membaca puisi terlebih dulu siswa harus mampu memahami isi puisi dan mampu membacakan dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat. Dalam hal ini keterampilan membaca menjadi andalan bagi tercapainya kompetensi dasar tersebut. Yang dimaksud dengan keterampilan membaca di sini adalah keterampilan dalam membaca tekstual bacaan dan memahami isi bacaan, dalam teks puisi tersebut. Pembelajaran bermakna terjadi apabila struktur masalah yang akan dipelajari terkait dengan struktur berpikir yang telah dipunyai siswa (Subanji, 2010). Pembelajaran membaca puisi salah satu upaya yang dilakukan guru untuk membuat pembelajaran lebih bermakna adalah menerapkan pembelajaran kooperatif model Think Pair Share. Belajar kooperatif merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Pada pembelajaran kooperatif, siswa diberi kesempatan untuk saling berinteraksi, membandingkan pemahaman, pengalaman dan kemampuan awal yang telah dimiliki, berlatih dan berkolaborasi dalam sehingga terjadi pembelajaran yang sangat efektif. Hasil belajar kooperatif ini secara empirik dapat memberikan hasil belajar yang lebih maksimal dibanding pembelajaran yang hanya mendengarkan penjelasan dari guru dan pembelajaran yang hanya bersifat pemberian tugas secara individu. Hasibuan (2008) mengusulkan metode diskusi sebagai alternatif dalam memperoleh hasil belajar dan berpikir kritis siswa yang optimal. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang menciptakan interaksi yang saling menguntungkan, baik antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru. Pembelajaran kooperatif merupakan sekelompok pelajar yang bekerja sama sebagai suatu tim untuk memecahkan masalah, menyelesaikan tugas atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah untuk meningkatkan kerjasama akademik antar siswa, membentuk hubungan positif, mengembangkan rasa percaya diri, dan meningkatkan kemampuan akademik melalui aktivitas kelompok. Pembelajaran kooperatif Think Pair Share membantu menstrukturkan diskusi siswa mengikuti proses yang telah ditentukan sehingga membantu siswa dalam memfokuskan pikiran dan perilaku pada masalah yang dihadapi. Think Pair Share dapat meningkatkan partisipasi dan meningkatkan informasi yang dapat diingat siswa. sehingga siswa dapat bertukar pikiran dengan teman lain, kesempatan yang layak untuk berkolaborasi tentang pembelajaran yang diberikan guru. Think Pair Share mencakup tiga tahapan kegiatan utama berikut. (1) Tahap Thinking (berpikir), yaitu saat siswa mengamati contoh cara pembacaan puisi dan berpikir secara individu untuk pembacaan puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. (2) Tahap Pair (berpasangan), yaitu saat guru meminta siswa untuk berpasangan mendiskusikan dan berkolaboratif tentang memaknai isi puisi, berlatih membaca teks puisi utuh , membagi dan menentukan bagian puisi yang akan dibaca, berlatih membaca puisi dengan diamati teman pasangan, dan menyelaraskan tampilan. (3) Tahap Share (berbagi), yaitu saat guru meminta 680
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
pasangan-pasangan tersebut berbagi membaca puisi sesuai dengan bagian yang telah ditetapkan oleh pasangan kepada kelompok pasangan keseluruhan kelas. Share ini dilanjutkan sampai seba-gian besar pasangan mendapat hasil dari yang didiskusikan untuk dipresentasikan (Andajani & Pratiwi, 2013). Kelebihan model pembelajaran Think Pair Share antara lain cocok untuk tugas sederhana, lebih memberikan kesempatan kepada masing-masing anggota kelompok untuk berkontribusi, berinteraksi, berkolaborasi mudah dilakukan, serta cepat membentuk dan meningkatkan partisipasi siswa. Model pembelajaran Think Pair Share dapat digunakan pada semua mata pelajaran serta dapat berlaku untuk tingkatan usia anak didik. Dalam makalah ini dipaparkan pembelajaran bermakna tentang model pembelajaran Think Pair Share yang terintegrasi dengan lesson study terhadap siswa kelas V SD Negeri 24 Sungai Cubadak. Secara operasional lesson study adalah suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara berkolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip kolegialitas mutual learning untuk membangun komunitas belajar dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru serta meningkatkan kualitas pembelajaran. Dalam tahap awal pengenalan ada tiga tahap utama lesson study, yaitu: (1) Perencanaan (Plan); (2) Pelaksanaan (Do); (3) Refleksi (See). Ketiga tahapan tersebut dilakukan secara berulang dan terus menerus (siklus). Kajian penelitian ini difokuskan pada perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan refleksi. Pemaparan dalam makalah in dilakukan secara deskriptif kualitatif. Dalam hal ini penulis menggambarkan kegiatan pembelajaran membaca puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat yang fokus pada tahap persiapan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan refleksi pembelajaran. Data yang diamati berupa informasi yang terkait dengan pembelajaran membaca puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. Sumber datanya adalah seluruh siswa kelas V SDN 24 Sungai Cubadak, Kabupaten Agam , Sumatera Barat yang berjumlah 28 orang siswa terdiri dari 16 orang laki-laki dan 12 orang perempuan. Data dikumpulkan dengan teknik observasi dan wawancara. Pada bagian ini disampaikan hasil deskripsi terhadap pembelajaran pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pada tahap refleksi. Perencanaan (plan) Penulis selaku guru model menyusun kegiatan perencanaan (Plan)dengan teman sejawat yang meliputi penyusunan RPP dengan menerapkan model pembelajaran Think Pair Share pada kompetensi dasar membaca puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. Rancangan ini diyakini mampu membelajarkan peserta didik secara efektif serta membangkitkan partisipasi aktif peserta didik. Pada tahap ini pendidik berkolaborasi untuk memperkaya ide terkait dengan rancangan pembelajaran yang dihasilkan, baik dalam aspek pengorganisasikan bahan ajar, aspek pedagogis, maupun aspek penyiapan alat bantu pembelajaran. Puisi yang yang dipilih adalah puisi dengan tema pahlawan. Pelaksanaan (do) Dalam pelaksanaan (do) proses pembelajaran dimaksudkan untuk menerapkan rancangan pembelajaran dengan metode Think Pair Share terdiri dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, kegiatan penutup. Kegiatan Pendahuluan Kegiatan pendahuluan dilakukan selama 15 menit diawali dengan memberi salam, berdoa, presensi, appersepsi, motivasi, dan penyampaian informasi tentang tujuan dan setting kegiatan pembelajaran. Kegiatan appersepsi diawali dengan bertanya jawab dengan siswa tentang hal yang terkait dengan membaca puisi dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat. Guru : ‖Apakah Ananda sudah pernah membaca puisi?‖ Siswa : ‖Sudah pernah, Bu! Jawab anak-anak serempak.‖ Guru : ‖Apa judul puisi yang pernah Ananda baca?‖ Siswa : ‖Puisi Guruku, Bu. Jawab beberapa orang siswa lantang.‖ Guru : ‖Ayo, anak-anak! Siapa yang berani tampil membaca puisi tersebut ke depan kelas?‖ Siswa : ‖Saya, Bu, jawab Dani.‖( tampil di depan kelas dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat) Guru : ‖Anak-anak, bagaimana menurut penilaianmu ketika Dani membaca puisi?‖ Siswa : ‖Bagus, Bu, suaranya jelas. Dani kan pernah jadi perwakilan sekolah kita mengikuti lomba ke tingkat kecamatan, Bu. ‖ (siswa menjawab serempak sambil bertepuk tangan) 681
ISBN :978-602-17187-2-8
Guru : ‖Baiklah anak-anak, berdasarkan kegiatan tadi, anak-anak dapat membaca puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat.‖ Dengan appersepsi yang telah dilaksanakan tersebut berarti guru secara tidak langsung telah menggali pengalaman siswa dan memotivasi siswa yang lain untuk membaca puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. Guru juga memotivasi siswa dengan menyanyikan lagu bertema pahlawan ‖ Ibu Kita Kartini‖ secara bersama- sama. Hal ini selaras dengan contoh puisi ‖Raden Ajeng Kartini‖ karya Aqlia Pratiwi II-B yang akan dibaca, diberi tanda jeda, dimaknai, dan membacanya dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat di bawah bimbingan guru. Kegiatan Inti Kegiatan inti dilaksanakan selama 45 menit diawali dengan guru membagikan teks puisi ‖Karangan Bunga‖ karya Taufik Ismail, kemudian secara mandiri membaca, mencermati, memberi tanda jeda, memaknai isi puisi sesuai petunjuk yang terdapat dalam lembar kerja peserta didik (LKPD). Aktivitas siswa ini merupakan tahap Think (berpikir), yaitu saat siswa mengamati contoh cara pembacaan puisi dan berpikir secara individu memaknai isi dan suasana puisi. Memberi tanda-tanda yang berkaitan dengan penggunaan nada, tekanan, tempo, dan jeda untuk pembacaan puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. Berlatih dilakukan berulang-ulang untuk membaca puisi dengan memperhatikan tanda-tanda penggunaan intonasi secara mandiri. Hal ini penting karena memberi kesempatan kepada siswa untuk memulai merumuskan jawaban dengan mendapatkan kembali informasi dari memori jangka panjang. Selama tahap Think, lebih kurang 25 dari 28 orang siswa mampu bekerja secara mandiri dengan baik dan tepat waktu bahkan melampau target yang telah ditetapkan. Namun ada berapa orang siswa merasa bingung untuk mengerjakan tugas dan berusaha bertanya kepada temannya dan ada juga yang gelisah dan sesekali memandang guru ketika guru mengamati proses tahap ini. Karena itu untuk membantu siswa yang tidak mampu bekerja secara mandiri maka tahap Pair dapat mengatasi kelemahannya saat bekerja secara mandiri. Pada tahap Pair (berpasangan), yaitu saat guru meminta siswa untuk berpasangan mendiskusikan dan berkolaboratif tentang memaknai isi dan suasana puisi, berlatih membaca teks puisi utuh, membagi dan menentukan bagian puisi yang akan dibaca, berlatih membaca puisi dengan diamati teman pasangan, dan menyelaraskan penampilan. Masing-masing pasangan diberi nama-nama penyair seperti: Taufik Ismail, Chairil Anwar, Ramadhan K.H., Toto Sudarto Bakhtiar, Eka Budinanta, Yudhistira Ardi Nugraha, Muhammad Yamin, Sutardji Calzoum Bahri, Hartoyo Andangjaya, Abdul Hadi W.M., Apip Mustofa, Abrar Yusra, dan Aqlia Pratiwi (penyair cilik). Hal ini sangat penting sebab siswa mulai membangun pengetahuan, sikap, keterampilan mereka melalui diskusi dan juga untuk menemukan apa yang belum atau tidak diketahui. Pada tahap Share (berbagi), guru meminta pasangan-pasangan tersebut berbagi membaca puisi sesuai dengan bagian yang telah ditetapkan oleh pasangan kepada kelompok pasangan keseluruhan kelas. Kegiatan ini dilanjutkan sampai sekitar seperempat pasangan mendapat kesempatan untuk menampilkan membaca puisi. Langkah ini sangat tepat untuk melatih sikap tanggung jawab, keberanian, rasa percaya diri, dan saling menghargai serta mengapresiasi penampilan teman. Berdasarkan hasil pleno kelas, guru memberi evaluasi terkait dengan membaca puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat dengan menggunakan rubrik penilaian uji petik kinerja dan mengumpulkan LKPD. Kegiatan Penutup Kegiatan ini dilakukan selama 10 menit. Siswa dengan bimbingan guru membuat kesimpulan dan menanyakan hikmah pembelajaran yang terkait pembelajaran sesuai kompetensi dasar. Kegiatan ini dilanjutkan dengan refleksi, pemberian tindak lanjut serta penyampaian pesan moral yang sangat erat hubungannya dengan pembentukan karakter. Refleksi (see) Pada tahap refleksi ini seluruh observer menyampaikan hasil pengamatannya. Kegiatan ini dipimpin oleh moderator. Adapun moderatornya adalah Ibu Faulia, mengawali kegiatan ini dengan memperkenalkan kelompok lesson study dan dilanjutkan dengan memberikan ucapan selamat dan aplaus pada guru model. Selanjutnya moderator memberikan kesempatan kepada guru model untuk menyampaikan perasaan ketika pproses pembelajaran di kelas V dengan materi ‖Membaca Puisi 682
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
dngan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat‖. Penulis selaku guru model merasa senang dan bahagia serta merasa ada kemajuan dalam menyajikan materi pembelajaran, karena proses pembelajaran yang penulis lakukan terintegrasi dengan lesson study berjalan dengan lancar. Dalam proses pembelajaran penulis tampil dengan percaya diri, karena sebelum kegiatan pembelajaran penulis dengan teman sejawat telah mempersiapkan perangkat pembelajaran yang dirancang dengan metode Think Pair Share. Metode ini dapat meningkatkan kreativitas, rasa percaya diri, apresiasi, dan semangat belajar sehingga siswa dapat berperan aktif dan mengembangkan potensi diri sehingga pembelajaran lebih bermakna. Adapun hal unik yang dirasakan penulis ketika ada seorang siswa yang tidak dapat menampilkan membaca puisi dengan lafal dan intonasi yang tepat, tetapi dapat menampilkan dengan ekspresi yang tepat dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Ketidak tepatan lafal dan intonasi ini dipengaruhi oleh timbre yaitu warna bunyi suara (bawaan) yang dimilikinya. Siswa ini mengalami cacat bawaan yakni bibir sumbing. Penulis merasa bangga terhadap siswa tersebut karena dengan segala keterbatasannya ia mampu tampil dengan penuh percaya diri dan bercita-cita menjadi seorang penyair. Selanjutnya para observer diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil pengamatannya tentang hal-hal yang menyangkut interaksi siswa selama proses pembelajaran berlangsung sesuai dengan rancangan pembelajaran. Seluruh hasil pengamatan yang disampaikan oleh ovserver tersebut dijadikan bahan perbaikan pada pembelajaran berikutnya. Semua saran dan pendapat yang disampaikan oleh observer didiskusikan dengan expert dari Universitas Malang. Setelah melakukan pengamatan, semua observer menyatakan bahwa metode Think Pair Share pada pembelajaran membaca puisi terintegrasi dengan lesson study sangat tepat meningkatkan kreativitas, rasa percaya diri, apresiasi, dan semangat dan belajar perlu diterapkan di sekolah-sekolah. Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di kelas V SDN 24 Sungai Cubadak, Baso, Kabupaten Agam tentang kompetensi dasar ‖Membaca Puisi dengan lafal, intonsi, dan ekspresi yang tepat‖ diamati oleh observer. Selesai kegiatan pembelajaran, maka dilaksanakan refleksi. Berdasarkan hasil pengamatan dan refleksi tehadap proses pembelajaran berlangsung yang dimulai dari kegiatan pendahuluan. Kesiapan siswa dalam menerima pembelajaran benar-benar terasa yang ditandai dengan menyambut salam dari guru penuh semangat, memulai pembelajaran dengan berdoa, dan siap dengan yel-yel kelas di bawah bimbingan guru. Semua aktif dan ikut menyanyi dengan gembira. Siswa sangat merespon ketika guru menyampaikan kegiatan apersepsi. Hal ini ditandai adanya siswa yang dapat menjawab pertanyaan terkait dengan pengalamannya tentang membaca puisi. Ada siswa yang berani tampil membaca puisi dan dapat langsung dijadikan model, karena siswa tersebut sudah berpengalaman lebih dan pernah menjadi peserta lomba baca puisi. Siswa lain termotivasi dengan penampilan temannya. Dalam kegiatan ini siswa dipandu oleh guru dengan advance organizer. Interaksi siswa dengan siswa terjadi pada tahap pair, siswa mencocok makna dan penggunaan intonasi puisi, berlatih membaca puisi dengan diamati teman pasangan, menyelaras penampilan dalam membaca puisi. Interaksi siswa dengan siswa dilanjutkan saat masingmasing pasangan menampikan pembacaan puisi dan kelompok lain menanggapi penampil kelompok tersebut. Interaksi siswa dengan guru terjadi semenjak kegiatan dimulai yaitu sejak guru, memberikan pertanyaan, pemberian LKPD, dan penyampaian advance orgnizer kegiatan pembelajaran kepada siswa. Semua siswa mengikuti pembelajaran dengan baik dan semakin bersemangat setelah guru mengajak ‖tepuk semangat‖. Siswa mengikuti pembelajaran sesuai petunjuk yang tercantum dalam LKPD individu dan LKPD kelompok berpasangan. Salah satu siswa dari kelompok Sutardji Calzoum Bahri tidak bisa mengikuti pembelajaran dengan baik. Hal tersebut disebabkan karena saat mengerjakan tugas secara mandiri kurang fokus dan kurang memahami petunjuk LKPD individu. Siswa merasa bingung untuk mengerjakan tugas dan berusaha bertanya kepada temannya dan ada juga yang gelisah dan sesekali memandang guru ketika guru mengamati proses. Guru memberikan perhatian khusus sambil mendekati dan memberikan arahan langsung pada kelompok Sutardji Calzoum Bahri, agar dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi siswa yang terganggu dalam proses pembelajaran adalah membekali siswa sejak awal dengan alat/ media, jadi ketika guru 683
ISBN :978-602-17187-2-8
menyampaikan advand organizer siswa tahu persis apa yang harus dkerjakannya. Usaha guru sudah sangat bagus agar siswa aktif belajar dengan mendekati semua kelompok sambil menilai proses pembelajaran dalam kelompok. Keterlibatan siswa dalam kegiatan penutup adalah bersama guru menyimpulkan pembelajaran. Penilaian proses tiap kelompok dan penilaian uji petik unjuk kerja siswa di atas rata-rata, semua siswa bersorak gembira. Pada tindak lanjut guru memberikan tugas pekerjaan rumah untuk berlatih membaca puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat sebagai bahan remedial. Respon siswa ketika guru menyampaikan pesan moral hampir seluruh siswa antusias untuk menjadi pembaca puisi yang terbaik dalam berbagai kegiatan lomba baca puisi. Hikmah pembelajaran yang dapat dipetik adalah dengan menerapkan metode Think Pair Share ini membuat pembelajaran lebih bermakna dan dapat menumbuhkan rasa percaya diri, siswa lebih aktif, kreatif, dan saling menghargai Berdasarkan hasil refleksi pembelajaran yang telah diuraikan di atas bahwa pembelajaran membaca puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat dengan metode Think Pair Share memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja, menyampaikan ide sendiri dan berkerjasama dengan orang lain. Dalam hal ini, guru sangat berperan penting untuk membimbing siswa melakukan diskusi, sehingga terciptanya suasana belajar yang lebih hidup, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan serta menumbuhkan rasa percaya diri. DAFTAR RUJUKAN Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar. Model Silabus Kelas V SD. Jakarta:BSNP Andajani, Kusubakti & Pratiwi, Yuni. 2015. Pembelajaran Bahasa Indonesia Kreatif dan Inovatif. Bahan ajar TEQIP. Malang: Kerjasama PT Pertamina dengan Universitas Negeri Malang Suwignyo, H. & Santoso, Anang. 2015. Pendalaman Materi Bahasa Indonesia. Bahan ajar TEQIP. Malang: Kerjasama PT Pertamina dengan Universitas Negeri Malang Subanji, 2013. Pembelajaran Bermakna. Bahan ajar TEQIP. Malang: Uni-versitas Negeri Malang Ibrohim. 2015. Panduan Pelaksanan Lesson Study. Bahan ajar TEQIP. Malang: Kerjasama PT Pertamina dengan Universitas Negeri Malang Khalik, Abdul. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Makassar: PGSD FIP UNM Nisbah, Faisal. 2013. Pengertian Keterampilan Membaca. (Onli-ne) (http:// faizalnizbah.Blogspot.com/2013/08/pengertian-keterampilan-membaca.html) Hasibuan, Moejiono. 2008. Proses Belajar Mengajar. Penerbit Rosdakarya. Bandung
PEMBELAJARAN MENJELASKAN PETUNJUK PENGGUNAAN ALAT DENGAN MEDIA GAMBAR DI KELAS IV SDN 10 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN SUMATERA BARAT Lindawati, S.Pd SD Negeri 28 Batang Anai Abstrak: Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran menjelaskan petunjuk penggunaan alat secara lisan dengan bahasa yang baik dan benar. Pembelajaran keterampilan berbicara tersebut menggunakan media gambar. Pembelajaran berbicara sering kurang dianggap perlu dan kurang ditangani serius sebab setiap siswa dianggap sudah pintar berbicara dan keterampilan berbicara dapat dipelajari secara informal di luar sekolah. Agar pembelajaran terlaksana dengan baik dan bermakna bagi siswa, guru menggunakan media gambar yang berfungsi sebagai perantara untuk melatih keberanian siswa pada keterampilan berbicara. Berdasarkan pengamatan terhadap pembelajaran di SDN 10 2 x 11 Enam Lingkung Sicincin
684
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
diketahui bahwa penggunaan media gambar dapat memudahkan siswa dalam menjelaskan petunjuk penggunaan alat tersebut. Kata Kunci: Petunjuk Penggunaan Alat, Media Gambar
Pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang dipelajari oleh siswa mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Pada pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar mempelajari tentang empat aspek yaitu mendengar, berbicara, membaca dan menulis yang harus dipelajari oleh siswa. Pada hakekatnya belajar Bahasa Indonesia adalah belajar berkomunikasi yang merupakan bagian dari aspek berbicara. Berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekpresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Berbicara sangat penting sekali bagi siswa, karena menimbulkan keberanian serta keaktifan bagi siswa untuk mengemukakan pendapatnya pada sesuatu yang diketahui siswa. Masa usia sekolah dasar merupakan masa usia yang sangat baik untuk mengembangkan kemampuan berbicara siswa. Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar perlu direncanakan dan dikembangkan oleh guru. Guru bertanggung jawab untuk menguatkan kemampuan berbicara siswa. Pada pembelajaran berbicara kurang mendapat perhatian yang serius dari guru karena siswa sudah dapat berbicara, guru menganggap tidak perlu kegiatan pembelajaran berbicara di sekolah dasar. Pembelajaran lebih banyak mengarah pada membaca dan menulis. Suatu studi yang dilakukan oleh Galda (dalam Novi, 2006:185) hanya sedikit perhatian yang diberikan pada pengembangan berbicara di sekolah. Berdasarkan latar belakang dalam pembelajaran maka masalah yang muncul adalah bagaimana pembelajaran berbicara dapat mengaktifkan siswa dapat menjelaskan penggunaan alat dengan media gambar yang menarik. Pemilihan metode dalam mengajar sangatlah menentukan hasil belajar siswa. Jika guru dalam pembelajaran menggunakan metode yang tepat maka hasil belajar siswa akan baik. Begitu juga sebaliknya, jika guru dalam mengajar tidak menggunakan metode yang tepat maka dalam pembelajaran tidak akan berhasil. Keterampilan berbicara memiliki peranan yang penting dalam pendidikan siswa, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat luas. Proses transfer ilmu pengetahuan kepada subjek didik pada umumnya disampaikan secara lisan. Siswa harus diberi kesempatan untuk melakukan komunikasi baik secara lisan maupun tulis. Supaya siswa mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka siswa perlu dilatih sebanyak-banyaknya atau diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan kegiatan berbicara. Selain itu, sebagaimana dikemukakan Piaget, karena anak usia SD berada pada tahap operasional konkret, maka dalam setiap pembelajaran anak perlu memperoleh objek yang senyata mungkin. Kalau objek nyata tidak bisa diperoleh, maka dapat digantikan dengan tiruannya, yaitu gambar. Setidaknya, keberadaan gambar ini dapat membantu siswa dalam menyebutkan langkah-langkah membuat sesuatu. Untuk meningkatkan keaktifan siswa menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan dengan berbicara agar tercapai dengan baik, maka pembelajaran berbicara harus lebih terpusat kepada siswa, sehingga siswa lebih aktif belajar dan berani serta berinteraksi dengan siswa lainnya. Intereaksi yang dilakukan siswa dalam kelompok untuk mengenali gambar dapat meningkatkan keaktifan dan pemahaman siswa terhadap materi yang sedang dipelajari. METODE PENGAMATAN Pengamatan dilakukan dalam rangka kegiatan lesson study On Going Tot 2 kerjasama dengan Universitas Negeri Malang dan PT Pertamina Pusat, yang mana kegiatan Lesson Studi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan TOT 2 yang pengamat ikuti di Malang. Lesson studi dilaksanakan dengan perencanaan (PLAN), pelaksanaan (DO), dan refleksi (SEE). Adapun pengertian lesson study menurut Walker (dalam Ibrahim 2005:7) adalah suatu metode pengembangan profesi guru. Data pengamatan diperoleh dari kegiatan praktik pembelajaran di kelas IV SDN 2x11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman. Rancangan pengamatan yang digunakan dalam pengamatan ini adalah rancangan deskriptif. Dalam pelaksanaannya, tindakan diberikan kepada semua siswa kelas IV SDN 2 X 11 Enam Lingkung, yang dijadikan fokus pengamatan. Instrumen utama pengumpul data dalam pengamatan ini adalah pengamat dibantu 685
ISBN :978-602-17187-2-8
guru sebagai kolaborator. Dalam pengumpulan data, pengamat dan guru dilengkapi instrumen pendukung berupa pedoman wawancara, lembar pengamatan, catatan lapangan, dan tes berbicara. Untuk memperoleh data secara akurat, peneliti menggunakan instrumen yaitu produk dan hasil. Produk digunakan untuk memperoleh informasi tentang kemampuan siswa mengurutkan langkah kegiatan berdasarkan gambar. Sementara itu,hasil siswa bercerita kedepan tentang menjelaskan petunjuk penggunaan alat. Kegiatan pengamatan ini terintegrasi dalam kegiatan lesson study di SDN 2x11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman. Lesson study dilakukan dalam 3 tahap: plan, do, dan see. HASIL PENGAMATAN Perencanaan Pembelajaran (Plan) Pada saat PLAN dilakukan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan dihasilkan seperangkat RPP beserta lembar kerja siswa yang akan digunakan pada saat open class. Pada bagian ini disampaikan hasil deskripsi terhadap pembelajaran pada tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi. Pada tahap persiapan pembelajaran guru menyusun RPP beserta kelengkapannya. Kelengkapan yang dimaksud meliputi materi ajar menjelaskan petunjuk penggunaan alat dengan baha yang baik dan benar. Kemudian siswa membicarakan kegiatan tersebut kedepat secara berkelompok. Peneliti juga memilih bahan ajar yang sesuai dengan perkembangan siswa kelas IV SD. Persiapan perangkat pembelajaran ini dilakukan berkolaborasi dengan teman sejawat, khususnya dalam menentukan Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Indikator. Ramburambu penilaian juga disiapkan agar penilaian dapat dilakukan secara objektif. Kegiatan yang dilakukan pada perencanaan Pembelajaran menyusun tentang RPP yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dari kurikulum, dikembangkan menjadi Indikator keberhasilan, mengembangkan materi pokok, memilih metode dan model pembelajaran yang cocok. Hasil pengamatan dari lembar observasi digunakan sebagai bahan refleksi demi memperbaiki RPP dan pelaksanaan pembelajaran. Langkah-langkah merancang dan mengembangkan media pembelajaran adalah sebagai berikut. Pertama, mengidentifikasi kompetensi utama yang dituntut dalam kompetensi dasar yang akan diajarkan. Kedua, mengidentifikasi indikator dari kompetensi dasar tersebut secara rinci dan menatanya dalam urutan yang sistematis. Ketiga, memilih media yang sesuai dengan tuntutan kompetensi dasar dan indikator. Keempat, merancang media pembelajaran yang sesuai bahan, bentuk, langkah pembuatan dan cara pemakaiannya. Kelima, membuat media sesuai rancangan. Keenam, menguji media yang dikembangkan untuk melihat efektivitas dan efisiennya. Pelaksanaan Pembelajaran (Do) Pada pembelajaran menjelaskan petunjuk penggunaan alat peneliti membagi siswa dalam 4 kelompok. Keempat kelompok tersebut menggunakan media yang berbeda-beda. Kelompok pertama menjelaskan petunjuk pengunaan bertelepon, kelompok kedua menjelaskan petunjuk penggunaan setrika, kelompok ketiga menjelaskan petunjuk pemakaian laptop, kelompok keempat menjelaskan petunjuk pemakaian blender. Langkah-langkah penggunaan media gambar dalam pembelajaran berbicara, yang penulis lakukan adalah dengan menggunakan langkah-langkah sesuai prosedur pembelajaran yaitu kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Dengan pembagian waktu setiap langkahnya sebagai berikut. Kegiatan Awal Pada kegiatan awal pembelajaran dilakukan selama 10 menit, dimulai dengan doa bersama yang dipimpin oleh salah satu siswa, mengecek kehadiran dan kesiapan siswa untuk menerima pelajaran. Apersepsi dengan menanyakan kepada siswa hal-hal yang terkait dengan materi pembelajaran yang akan dipelajari yaitu sebagai berikut. Guru : ―Anak-anak pernahkah kalian bermain di lapangan?‖ Siswa : ―Pernah, Bu.‖ Guru : ―Apa saja permainan yang dimainkan?‖ Siswa : ―Sepak bola, Bu.‖ Siswa : ―Main layang-layang, Bu.‖ Guru : ―Anak-anak, coba perhatikan gambar apa yang ada di papan tulis?‖ 686
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Siswa : ―Anak-anak bermain layang-layang, Bu.‖ Guru : ―Bagus sekali!‖Sekarang, kita nyanyikan ―Bermain Layang-layang.‖ Guru dan Siswa bernyanyi Kuambil buluh sebatang Kupotong sama panjang Kuraut dan kutimbang dengan benang Kujadikan layang-layang Bermain … bermain… Bermain layang-layang Bermain kubawa ke tanah lapang Hati gembira dan senang Guru : ―Anak-anak, dari nyanyi tadi apa yang dilakukan?‖ Siswa : ―Main layang-layang, Bu.‖ Guru : ―Pintar sekali, sebelum bermain apa dipersiapkan?‖ Siswa : ―Buluh, Bu.‖ ―Dipotong sama panjang, kemudian diraut, Bu.‖ Guru : ―Bagus , seterusnya apa yang dilakukan lagi?‖ Siswa : ―Ditimbang sama benang, Bu.‖ Guru : ―Ya, pintar sekali, anak-anak apa saja alat-alat yang dibutuhkan untuk membuat layang-layang?‖ Siswa : ―Buluh, kertas layang-layang benang, lem, pisau untuk meraut.‖ Guru : ―Ya pintar, anak-anak sudah tahu dengan urutan membuat layang-layang beserta alat-alat dan bahan yang diperlukan.‖ Dengan apersepsi di atas terlihat gambar sebagai inspirasi bagi siswa untuk langkah awal berbicara yang merupakan pengalaman yang telah dimiliki siswa sebelumnya dan dekat dengan siswa, secara tidak langsung pembelajaran sangat bermakna bagi siswa dan menimbulkan semangat belajar karena sesuai dengan kehidupan anak-anak. Selanjutnya, guru model mengajak siswa bernyanyi sesuai dengan gambar untuk membuka skemata siswa. Dari nyanyi tersebut guru model menyuruh siswa menyebutkan kegiatan yang dilakukan pada nyanyi, bahan serta alat yang dipakai untuk membuat layang-layang. Hal ini dapat memotivasi siswa untuk mendeskripsikan secara lisan petunjuk penggunaan alat yang sesuai dengan SK (Standar Kompetensi) yang akan diajarkan. Kemudian diteruskan pada kegiatan inti yakni melakukan sesuatu berdasarkan petunjuk pemakaian yang dibaca berdasarkan KD (Kompetensi dasar). Selanjutnya guru menjelaskan bahwa apa yang disebutkan tadi merupakan langkah awal melakukan petunjuk penggunaan alat. Kegiatan Inti Dalam kegiatan inti yang dilakukan selama 45 menit, guru memperlihatkan gambar pompa sepeda, kemudian siswa menyebutkan nama gambar tersebut serta menjelaskan penggunaannya. Dengan arahan guru siswa disuruh kedepan setelah melihat gambar yang dipajang guru dan berbicara tentang petunjuk penggunaan alat sesuai gambar dengan bergantian kedepan sebanyak 3 orang siswa. Kegiatan selanjutnya guru membagi siswa menjadi 4 kelompok setiap kelompok beranggotakan 4 orang.Masing-masing kelompok mendapat satu gambar yang disertai petunjuk dengan beberapa kalimat yang terpisah sesuai urutan kegiatan yang dilakukan. Kemudian siswa diskusi pada kelompok masing-masing untuk menyusun kalimat tersebut. Setiap kelompok menempelkan susunan kalimat pada kertas yang sudah disediakan guru sesuai dengan gambar. Setelah selesai masing-masing kelompok menempelkan hasil kerjanya kedepan dan membicarakan apa kegiatan yang telah dilakukan secara bergantian pada kegiatan yang mereka lakukan, sedangkan kelompok lain mengamati dan menanyakan tentang hal yang berhubungan dengan kegiatan. Guru meluruskan hal-hal yang kurang benar yang terdapat pada kerja kelompok siswa. Kegiatan Akhir Dalam kegiatan akhir guru dan siswa mengadakan refleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan serta menanyakan hal-hal yang sudah dipahami dan yang belum dipahami siswa. Selanjutnya siswa memperhatikan penjelasan guru tentang kegiatan yang telah dilakukan, 687
ISBN :978-602-17187-2-8
Siswa bersama guru menyimpulkan materi pembelajaran yang telah dipelajari. Guru memberikan motivasi kepada siswa setiap mulai bekerja membaca Bismillahi rahmanir rahim selesai bekerja Alhamdulillahi robbilalamin. Kemudian guru memberikan pekerjaan rumah mengenai yang dimasak ibu. Bahan dan alat serta urutan kerjanya dicatat dan diceritakan di depan kelas.
Gambar 1. Media gambar saat kegiatan inti
Gambar 2. Siswa sedang mendiskusikan petunjuk penggunaan alat
Gambar 3. Guru mengamati kerja kelompok
Refleksi (See) Pada tahap refleksi seluruh observer menyampaikan hasil pengamatannya. Kegiatan see dipimpin oleh moderator Adapun moderator dipimpin oleh Bapak Muhana Gipayana yang mengawali kegiatan dengan memberikan ucapan suprise pada guru model. Selanjutnya moderator memberikan kesempatan pada guru model untuk mengemukakan tentang perasaan ketika melaksanakan proses pembelajaran dik kelas IV dengan materi manjelaskan petunjuk penggunaan alat. Guru model merasakan kemajuan disertai perasaan bahagia dan senang karena proses belajar mengajar yang dilakukan melalui lesson study dapat berjalan dengan lancer. Peneliti tidak merasa grogi karena sebelum kegiatan do sudah menyiapkan perangkat pembelajaran ketika kegiatan plan. Ketika mengajar guru model makin percaya diri karena dalam proses belajar mengajar guru model memperkenalkan yel-yel untuk memotivasi semangat belajar siswa juga bernyanyi sesuai dengan kegiatan yang akan diajarkan. Kemudian guru 688
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
model memajangkan media sehingga siswa berperan aktif saat pelaksaan pembelajaran berlangsung Adapun kekurangan yang dirasakan oleh guru model lembaran kerja yang diberikan hanya satu lembar perkelompok, sebaiknya satu anak satu lembar. Selanjutnya observer diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil pengamatannya mengenai hal-hal yang menyangkut intereaksi siswa Selma kegiatan proses beljar mengajar berlangsung yang sudah disusun dalam kegiatan perencanaan. Dari keseluruhan komentar observer tersenut dijadikan bahan untuk perbaikan pada pembelajaran berikutnya. Semua komentar atau pendapat dari observer aka didiskusikan oleh expert dari Universitas Negeri Malang. Pada umumnya observer menyatakan lesson study sangat perlu diterapkan di sekolah-sekolah. PEMBAHASAN Pada kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan dikelas IV SDN 10 2 x 11 Enam Lingkung Sicincin Kabupaten Padang pariaman dengan materi Menjelaskan Petunjuk Penggunaan Alat dengan Media Gambar diamati oleh para observer ditemukan hal-hal sebagai berikut. Kesiapan belajar siswa dalam menerima pelajaran sangat siap dan siswa tampak semangkat dalam menerima pelajaran. Semua siswa ikut aktif dalam kegiatan yel-yel dan bernyanyi dan sangat senang karena guru memberikan apearsepsi dengan bernyanyi. Siswa sangat antusias ketika guru menyampaikan kegiatan apearsepsi. Hal ini dibuktikan dengan lancarnya siswa menjawab pertanyaan yang dilakukan guru hamper semua siswa terjawab apa yang ditanya guru. Intereaksi siswa dengan siswa terjadi ketika guru membagikan tugas kelompok, antar siswa ada kegiatan. Saat diskusi berlangsung sampai dipresentasekan kedepan siswa saling bekerjasama. Intereaksi antar siswa dengan guru sudah terjadi sejak siswa diberikan pertanyaan oleh guru, hampir seluruh siswa menjawab pertanyaan.Intereaksi tersebut berlangsung sampai pembelajaran berakhir.Ada siswa yang kebingungan bekerja karena lembaran kerja yang diberikan hanya satu untuk satu kelompok, sehingga siswa tersebut menunggu dan mendengarkan bacaan yang didengar dari temannya. Siswa yang tidak biasa mengikuti pelajaran dengan baik karena ada siswa yang kurang tidur dan mengakibatkan lesu saat belajar. Penyebab siswa terganggu dalam belajar, karena kurang tidur dan merasa mengantuk sehingga semangat belajar siswa berkurang. Upaya guru untuk mengatasi gangguan belajar dengan memberi perhatian pada siswa dengan membimbing dan menjelaskan sama siswa kelompok 3 tersebut untuk melakukan petunjuk sesuai dengan lembaran kerja siswa. Untuk mengatasi siswa yang tenganggu dalam proses pembelajaran guru membimbing siswa dengan mengarahkan kegiatan yang dilakukan, dan guru bertanya pada kelompok tentang yang tidak dipahami. Pada kegiatan penutup siswa dan guru sama-sama menyimpulkan materi pembelajaran. Pada tindak lanjut guru memberikan pekerjaan rumah, respon siswa sangat antusias menerima tugas yang diberikan. Dengan memberikan media gambar dan bernyanyi membuat pembelajaran lebih bermakna dan memudahkan siswa memahami materi yang diterima dari guru. Dengan adanya media gambar siswa akan lebih berpikir kritis dan aktif. Dengan penggunaan media gambar, pembelajaran lebih menarik dan menanamkan pemahaman materi yang sangat mudah bagi siswa dan tersimpan lama pada ingatan siswa. Berdasarkan hasil refleksi pembelajaran yang telah diuraikan diatas dapat dilihat bahwa media pembelajaran dengan gambar sangat penting untuk membantu guru dalam menjelas pelajaran. Media pembelajaran juga sangat terbantu bagi siswa karena siswa dapat lebih aktif dan kreatif, dan belajar dengan tenang. Adanya media pembelajaran juga dapat membuat siswa beritereaksi dengan media secara langsung. Pembentukan kelompok juga nampak beritereaksi antar siswa dengan siswa. Bimbingan guru pada proses pembelajaran juga merupakan intereaksi antara guru dan siswa. Proses pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa maupun guru dengan adanya persiapan yang baik, terutama perangkat pebelajaran sebelum mengajar. Hal ini dilakukan karena sesuai dengan prosedur lesson study yang mengikuti tahapan plan. Tahapan plan tersebut dilakukan dengan penyusunan perangkat bersama dengan teman sejawat. Kemudian diterapkan pada kegiatan do. Pada kegiatan do tersebut, menunjuk satu orang guru menjadi guru model dan teman sejawat lainnya menjadi observer. Pengamatan yang dilakukan oleh observer sangat baik, karena mengamati gerak gerik siswa. Dengan adanya observer dapat memotifasi guru untuk 689
ISBN :978-602-17187-2-8
mengajar dengan baik, para observer mencatat keunggulan serta kelemahan pada proses pembelajaran. Hasil dari pengamatan disampaikan oleh observer ketika kegiatan see (refleksi). Pada kegiatan refleksi semua observer menyampaikan pengamatannya. Saran dari observer terkait alternatif untuk mengatasi siswa yang tidak aktif seperti kutipan ―Guru harus selalu meninjau dan membimbing siswa secara berkelompok saat diskusi berlangsung‖. Hasil pengamatan tersebut untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Oleh karena itu, dengan adanya lesson study eneliti dapat berdiskusi dengan teman sejawatsaat menyelesaikan masalah yang terjadi di kelas. Dengan adanya perbaikan pada pembelajaran dapat meningkatkan kualitas pembelajaran berikutnya. PENUTUP Pelaksanaan yang dilakukan pada pembelajaran berbicara hendaklah disertai dengan media gambar karena merupakan petunjuk apa yang akan dibicarakan oleh siswa, apalagi menjelaskan petunjuk penggunaan suatu alat harus ada juga gambar yang tertera sehingga siswa dapat memberikan pedapatnya tentang kegiatan yang dilakukan. Disaat siswa disuruh melakukan sesuatu hendaklah disertai dengan lembaran kerja siswa berupa perintah melakukan kegiatan serta menjelaskan agar siswa lebih mudah melakukan kegiatan tersebut. Berdasarkan fakta yang ada pembelajaran menjelaskan petunjuk penggunaan alat dengan bahasa yang baik dan benar tidak disertai media gambar, akan membingungkan siswa belajar. DAFTAR RUJUKAN Ibrahim, 2005. Panduan Pelaksanaan Lesson Study. Malang: PT Pertamina-Universitas Negeri Malang. Resmini, Novi. 2006. Keterampilan Berbicara. Roekhan, 2013. Media Gambar. (online) (www.Langkah Pembelajaran.com, diakses 20 Oktober 2015) Sadiman, Arief. 2003. Media Gambar. (online) (www.Langkah Pembelajaran.com, diakses 20 Oktober 2015) Tarigan, 2008. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. (online) (www.Buku Kita.com, diakses 20 Oktober 2015)
PEMBELAJARAN MENGIDENTIFIKASI UNSUR CERITA RAKYAT DENGAN METODE JIGSAW PADA SISWA KELAS V SD NEGERI 16 KECAMATAN NAN SABARIS KABUPATEN PADANG PARIAMAN Ramalah Taher S.Pd SD SD Istiqamah Sicincin
[email protected] Abstrak: Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran mengidentifikasi unsur cerita rakyat dengan metode jigsaw bagi siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 16 Nan Sabaris. Pembelajaran ini dilakukan dalam kerangka lesson study dengan tahapan Perencanaan (plan), Pelaksanaan (do), dan Refleksi (see). Pengambilan data dilakukan secara kolaborasi dengan 2 guru sebagai observer saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Hasil pengamatan menunjukan bahwa melalui pembelajaran kooperatif model jigsaw siswa mampu mengidentifikasi unsur cerita rakyat dengan tepat. Proses pembelajarannya pun berlangsung secara kooperatif. Siswa memiliki kesempatan untuk berdiskusi dengan teman pada kelompok ahli, dan menyampaikan hasil pemahamannya kepada teman lain di kelompok awal. Siswa pun merasa senang karena mereka memiliki kesempatan berkomunikasi dengan teman-temannya saat pembelajaran berlangsung. Kata kunci : identifikasi, unsur cerita rakyat, kooperatif, jigsaw
690
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia menurut Kurikulum 2006 terdapat empat aspek yang perlu diajarkan yaitu aspek mendengar, aspek bebicara, aspek menulis, dan aspek membaca. Keempat aspek tersebut diajarkan kepada siswa melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia. Salah satu aspek yang diajarkan kepada siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah aspek menyimak. Hal ini dimaksudkan untuk memberi bekal kepada siswa agar mereka terampil dalam mendengarkan sesuatu. Salah satu KD dalam keterampilan menyimak yang diajarkan kepada siswa kelas V SD 16 Nan Sabaris adalah mendeskripsikan unsur intrinsic cerita rakyat Banyak guru melakukan pembelajaran ini dengan cara konvensional, yaitu ceramah, tanya jawab, dan penugasan. Strategi pembelajaran yang demikian cenderung membuat siswa menjadi pasif dan bosan. Mereka mereka tidak memberi parhatian maksimal terhadap pembelajaran untuk materi tersebut. Dampaknya, kualitas hasil pembelajarannya tidak maksimal. Salah satu langkah yang dilakukan guru SDN 16 Nan Sabarais dalam mengatasi persoalan tersebut adalah melaksanakan pembelajaran kooperatif model jigsaw. Model kooperatif jigsaw adalah sebuah model kooperatif yang menitikberatkan kepada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil, seperti yang di ungkapkan Lie (1993: 73) bahwa pembelajaran kooperatif model jigsaw merupakan model belajar kooperatif dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai dengan enam orang secara heterogen dan siswa bekerjasama saling ketergantungan positif dan bertanggungjawab secara mandiri. Salah satu materi yang diajarkan pada siswa SD 16 Nan Sabaris pada mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah KD mengidentifikasi unsur cerita rakyat yang diperdengarkan melalui media eletronik (tape recorder). Secara umum siswa mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi unsur intrinsik sustu cerita, karena merasa sulit maka siswa cenderung merasa bosan atau tidak senang dalam belajar dan akhirnya mereka akan merasa malas untuk belajar Bahasa Indonesia. Menghadapi permasalahan itu, guru melakukan berbagai upaya untuk meminimalkan rasa bosan yang dirasakan siswa, salah satunya dengan mengambil metode pembelajan yang dianggap mampu mengoptimalkan pembelajaran, sehingga pelajaran Bahasa Indonesia khususnya KD mengidentifikasi unsur intrinsik cerita rakyat dapat diterima dan dipahami oleh siswa SD 16 Nan Sabaris. Dengan diterapkan metode jigsaw ini dapat memudahkan siswa SD 16 Nan Sabaris untuk mengidentifikasi unsur cerita rakyat. Dalam pembelajarannya mengidentifikasi unsure cerita rakyat dimulai dengan memperdengarkan sebuah cerita rakyat yang berjudul tangkuban perahu, siswa menyimak dengan penuh perhatian, siswa juga dimita agar bisa menyimak. Pelajaran menyimak dapat diartikan proses mendengarkan dengan penuh pemahaman. Dalam proses menyimak diawali dengan kegiatan mendengarkan sebuah cerita setelah itu siswa mengidentifikasi unsur intrinsik yang terdapat dalam cerita, selanjutnya bahan simakan dipahami berdasarkan tingkat pemahaman siswa Menurut H. G Tarigan dan Djago Tarigan dalam Astawan (2008: 112) menyatakan, keterampilan berbahasa meliputi empat aspek, yaitu (1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca, dan (4) keterampilan menulis. Keempat keterampilan iti merupakan kesatuan yang utuh .Dalam pembelajaran bahasa Indonesia , siswa diajarkan keterampilan menyimak terlebih dahulu , setelah itu baru berbicara,membaca, dan menulis. Dalam proses pembelajaran kegiatan menyimak sering diabaikan oleh guru karena mengidentifikasi unsure cerita rakyat masih kurang. Hal ini terjadi karena kemampuan menyimak siswa. Selain itu tidak ada upaya guru untuk meningkatkan kualitas pengajaran menyimak siswa terhadap materi pelajaran sehingga menyebabkan prestasi belajar siswa menjadi kurang, khususnya dalam mengidentifikasi unsur cerita rakyat. METODE PENGAMATAN Penelitian ini dilakukan di SD negeri 16 Nan Sabaris.Dalam pembelajaran agar siswa lebih memehami dari materi yang di ajarkan yaitu mengidentifikasi unsur cerita rakyat, cerita yang diperdengarkan pada siswa adalah cerita Tangkuban Perahu . Metode yang digunakan kooperatif model Jigsaw, yang terintegrasi dengan lesson study. 691
ISBN :978-602-17187-2-8
Tahap perencanaan (plan) Kegiatan ini dilakukan pada saat on going yang dilaksanakan di SD 16 Nan Sabaris , bersama guru-guru sebelum memodelkan menyusun terlebih dahulu tentang perangkat pembelajaran yang dirancang dengan teman sejawat,yang terdiri dari peyusunan rencana perangkat pembelajaran (RPP),lembaran kegiatan siswa ,dan media pembelajaran.Pada penyusunan (RPP) dengan Kompetensi Dasar mendeskripsikan unsure intrinsic cerita rakyat dengan indikator (1) menyebutkan tokoh serta wataknya, (2) menyebutkan latar cerita, (3) menjelaskan amanat cerita, serta (4) menyebutkan alur cerita. Pada kegiatan on going melalui lesson stady disepakati menentukan sebagai guru modelnya yaitu penulis artikel sendiri.
Kegtiatan perencanaan Tahap pelaksaan (do) Dalam pembelajaran dilakukan dengan belajar berkelompok, siswa dibagi menjadi empat kelompok , setiap kelompok akan mendapatkan pertanyaan yang berbeda yaitu tentang tokoh, watak, latar, amanat, dan alur. Kelompok satu tentang tokoh yang terdapat dalam cerita , kelompok kedua tentang watak, kelompok ketiga tentang latar, dan kelompok ke empat tentang alur dadi cerita. Dalam pembelajaran meliputi kegiatan awal, kegiatan inti , dan kegiatan akhir, yang di uraikan sebagai berikut. Kegiatan awal (10 menit) Pada awal pembelajaran yang dilakukan selama 10 menit, guru memberi salam, seterusnya berdo‘a bersama . Setelah itu guru mempresensi kehadiran siwa. Kemudian mlakukan appersepsi dengan memperdengarkan cerita Malin Kundang , setelah memperdengarkan cerita lalu antara guru dan siswa melakukan Tanya jawab sebagai berikut. Guru : Pernahkah kamu mendengar cerita Malin Kundang ? Siswa : Sudah pernah, Bu Guru : Siapakah tokoh cerita Malin Kundang yang kamu dengar tadi ? Siswa : Malin Kundang, ibunya,dan istrinyan , Bu. Guru : Dimana tempat kejadian cerita malin kundang? Siswa : Di Sumatra Barat,Bu. Guru : Bagaimana watak malin Kundang ? Siswa : Malin Kundang adalah anak yang durhaka. Guru : Apa amanat yang terkandung dalam cerita Malin Kundang? Siswa : ....................... Dengan pertanyaan tersebut siswa sangat antusias untuk menjawabnya .Setelah itu guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang sesuai materi yaitu unsur –unsur crita rakyat Kegiatan inti (45 menit) Pada kegiatan inti pelajaran dengan kompetensi Dasar mendeskripsikan unsure intrinsic cerita rakyak,dilakukan dengan model kooperatif jiksaw yang terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut. a. Siswa dibentuk menjadi 4 kelompok yaitu kelompok asal. b. Siswa diperdengarkan cerita tangkuban Perahu. c. Guru membagikan lembaran kerja pada siswa , setiap siswa mendapatkan soal yang berbeda-beda. d. Siswa disuruh membentuk kelompok ahli. e. Siswa berdiskusi dalam kelompok ahli 692
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
f.
Kemudian siswa kembali kekelompok asal guna memberikan jawaban pada masingmasing teman yang mendapatkan soal yang berbeda. g. Setelah itu siswa kembali kekelompok ahli guna mempresentasikan hasil diskusinya ke depan kelas.Kelompok satu mrnyebutkan tokoh dan watak yang terdapat pada cerita Tangkuban Perahu. Tokoh Sangkurisng wataknya ceroboh sedangkan ibunya berwatak baik. Kelompok dua menyampaikan hasil diskusinya tentang latar dari cerita ,latar cerita Tangkuban Perahu di Pulau Jawa.Kelompok ketiga tpmelaporkan tentang amanat cerita Tangkuban Perahu yaitu jangan terlalu cepat mengambil suatu keputusan. Sedangkan kelompok empat malaporkan tentang alur dari cerita Tangkuban Perahu yaitu disebuah kerajaan hidup sebuah keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak perempuan, mereka dibantu oleh para penjaga istana ,suatu saat anak gadisnya menikah dengan seekor anjing dan melahirkan seurang anak laki-laki bernama Sangkuriang, karena adanya membuat kesalahan telah memerahi anaknya Sangkuriang ayahnya raja mengusir mereka dari istana , lalu mereka hidup di tepi hutan. Suatu hari Sangkuriang berburu ke hutan yang ditemani bapaknya, karena tak dapat buruan lalu Sangkuriang membunuh ayahnua dan memberikan pada ibunya, saar ibunya tahu bahwa itu daging ayahnya , ibunya mengusir Sangkuriang dari rumahnya. Waktu terus berlalu Sangkuriang menjadi seorang pemuda yang gagah dan ingin menikahi ibunya, saat ibunya tahu ibunya menberi syarat untuk membuat kapal satu malam, karena gagal Sangkuriang marah dan menyepah perahunya dalam posisi tertelungkup, sekarang dikenal dengan Gunung Tangkuban perahu.
Siswa SD 16 berdiskusi kelompok
Siswa mepresentasikan hasil diskusinya
Pada saat guru memodelkan pembelajaran tentang mendeskripsikan unsur cerita rakyat dihadirkan 5 orang sebagai observer, baik dari rekan penulis sebagai guru model maupun dari guru-guru tempat melakukan permodelan pembelajaran, termasuk kepala sekolah, dan dari dinas pendidikan . Dalam melakukan observasi pada saat pembelajaran , para observer dibri lembaran pengamatan yang telah ndisediakan , observer memberikan pengamatan bukan pada guru model teapi hanya melihat tindak tanduk siwa diaar terjadinya pembelajaran,bagaimana sikap siswa mulai dari guru membuka pelajaran sampai akhir pelajaran , mungkin ditemui siswa yang bermain-main dalam belajar atau mungkin saja siswa bertingkah laku nyang aneh di dalam belajar saat guru menyampaikan pembelajaran tentang mendeskripsikan unsure cerita rakyat. 693
ISBN :978-602-17187-2-8
Kegiatan akhir (25 menit) Guru bersama siswa menyimpulkan pelajaran , selanjutnya untuk mengetahui sapai dimana pemahaman belajar siswa tentang mengidentifikasi unsur cerita rakyat maka dilakukan evaluasi dengan memberikan pertanyaan yang akan dijawab siswa masing-masing,tak lupa guru model memberikan motivasi agar siswa bersemangat agar anak berpacu untuk mendapatkan hasil yang baik. Refleksi (see) Pada saat refleksi semua para guru yang ikut sebagai observer dikumpulkan dalam sebuah ruangan . Sebelum observer membacakan hasil pengamatannya moderator terlebih dahulu mempersilahkan guru model untuk menyampaikan kesan yang dia rasakan saat menjadi guru model, bagi guru model pembelajaran yang dimodelkannya sangat merasa puas dan itu bisa dijadikan sebagai tindak lanjut untuk pembelajaran berikutnya, Dalam pembelajaran itu guru model merasakan adanya kekurangan yaitu tentang pengelolaan kelas yeitu ada siswa yang bermain-main dalam belajar, setelah itu moderator mempersilahkan para observer untuk menyanpaikan hasil pengamatannya terhadap siswa disaat guru model menyampaikan pembelajaran tentang mendeskripsikan unsure cerita takyat dari ceria Tangkuban perahu. Setelah semua observer menyampaikan hasil pengamatannya , kemudian diadakan diskusi lansung penyampaian dari expert tentang hasil observernya dim kelas . Kegiatan ini dihadiri oleh expert yang datang dari Universitas Malang sebagai penggerak TEQIP yang telah meningkatkan cara pembelajaran bagi guru sekolah dasar. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pembelajaran di kelas, tentunya banyak faktor yang mempengaruhi dalam pembelajaran tersebut. Adapun faktor penyebab siswa kurang menguasai materi yang diajarkan dalam pembelajaran apresiasi sastra, terutama mengidentifikasi unsur cerita (tokoh, tema, latar, dan amanat) antara lain, (1) siswa kurang terbiasa membaca cerpen maupun novel, (2) siswa kurang memahami unsur intrinsik cerpen, (3) guru kurang mem-bimbing siswa dalam menuliskan dan mendiskusikan kelebihan cerpen berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya, (4) siswa mengalami kesulitan dalam menceritakan kembali isi cerpen dengan bahasanya sendiri. Kreativitas seorang guru dapat menumbuhkan semangat siswa dalam belajar dan memahami materi yang dismpaikan. Hal itu juga perlu dilakukan ketika guru mengajarkan pembelajaran menyimak pada siswa kelas v Sekolah dasar Misalnya dalam pembelajaran menyimak ceritarakyat dengan judul Tangkuban Perahu. Berdasarkan hasil kegiatan mengajar saat on go ing di SD nomor 16 di kecamatan Nan Sabaris dengan model pembelajaran yang diberikan siswa tampak sangat tertarik .Saat pembelajaran, siswa diperdengarkan sebuah cerita tentang cerita rakyat dengan menggunakan media elektronik .Siswa mengidentifikasi tenteng unsur cerita rakyat. Siswa akan lebih memehami bagaimana menentukan tentang unsur cerita rakyat dengan langkah-langkah dan model pembelajaran. setelah menyampaikan tujuan guru perlu menjelaskan bagaimana cara menentukan unsur cerita rakyat tersebut seperti : Tokoh dan watak Tokoh atau pelaku cerita adalah individu rekaan yang mengemban amanat tertentu. Dalam cerita rakyat tokoh rekaan dapat berupa manusia atau bukan manusia, misalnya hewan, tetumbuhan, atau bahkan benda-benda. Dalam dongeng tokoh yang dikisahkan dapat berupa binatang (fabel), atau benda-benda misalnya, kisah tongkat ajaib, atau seruling sakti. Dalam cerita rakyat terdapat tokoh protagonis yakni tokoh yang mengemban amanat mulia. Sebab itu disenangi oleh pembaca/ pendengar. Sebaliknya tokoh antagonis adalah tokoh jahat yang dikisahkan selalu berusaha menggagalkan niat baik tokoh protagonis. Watak pada sebuah cerita adalah tingkah laku yang dicerminkan oleh seoyang tokoh,misalnya tokoh jahat, baik Latar dan Pelataran Latar atau setting adalah konteks kejadian/peristiwa dalam cerita. Sebab itu di dalamnya dicakup tempat, waktu, dan suasana yang muncul (bandingkan dengan Zaidan, 2007:118). Tempat-tempat keja-dian atau peristiwa dalam cerita dapat bersifat alamiah dan sosial. Latar alamiah, misalnya di hutan, di tepi sungai, di gunung, di gua, di padang rumput, di laut, di tepi pantai. Latar sosial, misalnya di lingkungan penghuni kampung, di lingkungan penghuni desa, di lingkungan penghuni hutan dsb.penolong. 694
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Alur atau plot Alur atau plot adalah rangkaian kejadian yang berhubungan secara logis atau kronologis dalam suatu cerita. Hubungan logis, misalnya ada hubungan sebab dan akibat.Sebab satu dapat menimbulkan akibat tunggal atau akibat ganda, Dinyatakan akibat ganda kalau satu akibat utama menimbulkan rangkaian kejadian sebagai akibat satu, dua, tiga dst. Hubungan kronologis adalah rangkaian kejadian dalam cerita rakyat yang ditentukan oleh waktu dan urutan waktu. Misalnya kejadian yang dialami tokoh sejak kecil, tumbuh besar remaja, dewasa, hingga menjadi tua. Dalam cerita rakyat atau cerita jenis lain, urutan kejadian/peristiwa lazim mengikuti pola perkenalan, perselisihan, penegangan, klimaks, dan peleraian atau pengakhiran. Secara sederhana sebuah cerita rakyat tentu memiliki struktur baku, yakni bagian awal-bagian tengahbagian akhir. Cerita rakyat tanpa memiliki tiga bagian tersebut, tentu bukanlah cerita rakyat yang baik ditinjau dari segi keutuhannya Amanat Amanat adalah hikmah atau manfaat praktis yang dapat diambil oleh pembaca/ pendengar. Tema cerita rakyat memang hanya satu, tetapi manfaat praktis yang dapat diambil oleh pembaca relatif tidak terbatas. Dengan kata lain amanat cerita rakyat sangat dinamis, berkembang sesuai dengan kekayaan batin dan pengalaman membaca dan mendengar cerita rakyat oleh pembaca/pendengar. Setelah diberkan wejangan tentang maksud dari unsur cerita siswa akan lebih memahami tentang apa yang harus dilakukan nanti setelah mendengarkan cerita yang diperdengarkan guru, Pada pembelajaran mengidentifikasi tentang unsur ncerita rakyat paling cocok digunakan pembelajaran model pembelajar Jiqsaw dan dilakukan saat pelaksanaan lesson study , dalam kegiatan langkah-langkah jigsaw ini akan menjadikan siswa itu ahli dalam sebuah pertanyaan yang biberikan guru ,setelah mereka ahli di satu bidangnya, siswa akan bisa pula bertukar pikiran dengan temannya, Diamping itu siswa tampak senang saat berdiskusi, setelah mereka dapat menjawab soal yang diberikan, mereka dengan bangga pula untuk memperlihatkan hasil kerjanya pada kelompok asalnya . Dari hasil pengamatan yang kami lakukan ,penggunaan metode ini sangat bermanfaat untuk keberhasilan siswa. Walaupun ada beberapa orang siswa yang belum memehami namun siswa yang paham lebih banyak dibanding yang masih belum memahami tentang pengetahuan menyimak.Hakekatnya pembelajaran menyimak tentang KD mengidentifikasi cerita rakyat sangat cocok menggunakan metode kooperatif Jiqsaw. siswa bisa mengetahui hal-hal penting yang berhubungan dengan unsur cerita rakyat. Pada saat refleksi penulis menemukan hal –hal yang terjadi pada siswa atau keadaan siswa saat terjadinya pembelajaran. Setelah. Setelah kegiatan lesson study selesai pada SD 16 Nan Sabaris dengan materi mendeskripsikan unsur cerita rakyat . Menrut pengamatan dan refleksi daripada observer ditemukan hal-hal sebagai berikut. Sebelum pembelajaran berlansung guru model mengkondisikan siswa untuk siap dalam mengikuti pelajaran, siswa sangat antusias sekali ketika guru model menperdengarkan cerita Malin Kundang dengan menggunakan tepe recorder, semua siswa dalam keadaan serius. Saat memperdengarkan cerita Malin Kundang siswa sangat sangat merespon sekali dapat dilihat ketika guru memberikan pertanyaan siswa mampu menjawabnya Dalam pembelajaran interksi antara guru dan siswa terjadi saat siswa bertanya dalam menyelesaikan soal dalam kelompok ,gurupun merespon dari apa yang dipertanyakan siswa sehubungan dengan unsur intrinsic pada cerita rakyat. Interaksi antara siswa dengan siswa terlihat saat siswa melakukan diskusi pada kelompok ahli, siawa mendiskusikan tentang unsur cerita rakyat. Yaitu terdapat pada kelompok 2 yang memakai nomor 5 selalu merasa gelisah sehingga siswa tersebut tidak mengikuti pembelajaran dengan bebaiknya,begitu juga dengan siswa bernomor 10 dan 7 sering berbicara saat guru model menyampaikan meteri pembelajaran. Salah satunya karena ada siswa yang terlalu jahil kelakuaanya, ditanya oleh geru model ternyata siswa tersebut adalah siswa yang kurang dapat perhatian dari orang tuanya karena orang tuanya sangat sibuk. Guru berusaha memberikan perhatian pada siswa tersebut,setra mendatanginya dan menanyakan kenapa hal itu bisa terjadi pada siswa , keaadaan yang demikian ternyata dilakukan disetiap pembelajaran di kelas. Dalam berkelompok guru berusaha membimbing siswa agar bertindak yang benar. Agar siswa termotivasi untuk belajar guru dengan sabar menhadapi siswa 695
ISBN :978-602-17187-2-8
yang berkelainan serta usaha guru agar siswa giat dalam belajar adalah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menari bagi siswa. Semua siswa terlibat dalam kegiatan penutup yitu mulai dari menimpulkan pembelajaran sampai siswa mengikuti evaluasi, siswa tampak antusias sekali. Dengan memilih model pembelajaran kooperatif Jigsaw siswa sangat antusias sekali karena metode ini menjadikan siswa dapat menyampaikan idenya masing-masing melalui diskusi, dan siswa sangat tertarik menerima pelajaran saat guru monel memperdengarkan cerita rakyat melalui media tape recorder. Berdasarkan hasil refleksi yang penulis dengar media dan model sangat berperan penting untuk menjadikan pembelajaran yang berarti bagi siswa , ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran siswa sangat antisias sekali untuk ikut serta dalam belajar. Agar terciptanya pembelajaran yang menarik perlu adanya persiapan yang matang dari guru model, baik medi pembelajaran ,model yang yang cocok , serta perencanaan pembelajaran yang matang. Juga dengan terintegrasinya dengan lesson study yang terdiri dari 3 tahap seperti perencanaan,pelasanaan kegiatan dan mereflesi kegiatan, observer mempuyai peranan penting untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, karena seorang observer memperhatikan bagaiman gerak-gerik siswa dalam mengikuti pembelajaran. Dengan demikian hal itu sangat menunjang sekali untuk tindak lanjut pembelajaran berikutnya. Kalau lesson study dapat dilakukan secara berulang maka sudah pasti mampu meningkatkan pembelajaean dan mempengaruhi majunya perkembangan pendidikan di tenga-tengah masyarakat.
Kegiatan refleksi di SD 16 Nan Sabaris PENUTUP Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dapat mengunakan bermacam model pembelajaran. Seperti pembelajaran menyimak tentang mendeskripsikan unsur cerita rakyat, dapat disajikan dengan menggunakan model kooperatif Jigsaw. Dengan model ini dapat meningkatkan minat siswa dalam menerima pelajaran, karena pada model ini siswa diajak untu berdiskusi dalam sebuah kelompok mkecil, pada umumnya siswa sekolah dasar sangat senag kalau belajar berkelompok apalagi dengan model jigsau. Terbukti saat peneliti melakukan pembelajaran saat on go ing ,siswa SD 16 Nana Sabaris siswa sangat antusias sekali mengikuti pembelajaran. Yang diawali dengan memperdengarkan cerita rakyat melalui rekaman tape recorder , Setelah berdiskusi siswa mampu mengetahui tentang unsur-unsur dari cerita rakyat tersebut. Jadi penggunaan model kooperatif jigsaw ini sangat membantu siswa untuk membuka minat serta motivasi siswa untuk belajar, dengan termotivasinya siswa maka tujuan pembelajaran yang diharapkan akan tercapai yaitu siswa mampu memahami tentang unsur – unsur cerita rakyat, di akhir pembelajaran setelah dilakukan evaluasi 80 persen siswa mendapat nilai di atas KKM sedangkan 20 persen siswa berada nilainya di bawah KKM. Untuk meningkatkan hasil pembelajaran bisa dilakukan pembelajaran yang berorientasi pada lesson study secara berulang DAFTAR RUJUKAN H.G.Tarigan. 2008. Membaca sebagai Keterampilan. (Online), http://id.scribd.com/.../ (diakses 20 Oktober 2015) Zaidan. 2007 . Unsur Intrinsik Drama. (Online) https://other sidemiko.worpres.com// 2008.05/…/ unsure intrinsik (diakses 19 Oktober 2015) 696
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
UPAYA MENINGKATKAN KETRAMPILAN MENULIS PUISI MELALUI PENGAMATAN BENDA MODEL PADA SISWA KELAS V DI SDN 004TANAH GROGOT TAHUN 2015/2016 Sriatun SDN 004 Tanah Grogot Kabupaten Paser Abstrak : Dalam upaya meningkatkan keterampilan menulis siswa kelas V SDN. 004 Tanah Grogot pada pelajaran Bahasa Indonesia, maka peneliti memutuskan untuk menerapkan pengamatan benda model. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, yang direncanakan dilaksanakan dalam dua siklus, terbagi dalam beberapa tahapan. (1) Rencana (2) pelaksanaan (3) Pengamatan dan pengumpulan data / Instrumen (4) Refleksi. Pada siklus I, setelah hasil belajar dikoreksi terjadi peningkatan prestasi belajar siswa, dari rata-rata prestasi siswa70 menjadi 81,52 dan dari proses diskusi kelompok prosentasi amat baik 6 orang (27,3%) , Baik 6 orang (27,3) dan cukup10 orang ( 45,5%) setelah siklus satu. pada siklus dua membawa dampak yang baik terhadap hasil belajar siswa, terdapat peningkatan keterampilan menulis puisi pada siswa dari kondisi awal rata-rata 55,76 menjadi 81,52.dan dari proses pembelajaran sanagt baik menjadi 19 orang (86%), baik 3 orang (3 orang) . Hal ini sudah melebihi target dan kriteria ketuntasan minimal nilai Bahasa Indonesia pada kelas V SDN 004 tanah Grogot . Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas menerapkan pengamatan benda model untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis puisi . Kata Kunci : Peningkatan, pengamatan benda model, Keterampilan Menulis Puisi, Banyak siswa tidak memahami untuk apa dia menulis, atau merasa tidak berbakat menulis, dan merasa tidak tahu bagaimana menulis. Ketudaktahuan ini tak lepas dari pengaruh keluarga, lingkungan dan pembelajaran menulis di sekolah yang kurang memotivasi dan merangsang minat siswa.sebagai pendidik perlu banyak menggali informasi mengapa pembelajaran menulis sangat tidak diminati oleh sebagaian siswa. Padahal menulis dapat mengasah kosentrasi siswa serta mengembangkan daya imajinasi siswa. Pembelajaran menulis puisi untuk siswa kelas V SD, yang melibatkan ketepatan aspek, kebermaknaan, kreatifitas , dan keindahan rasa dan emosi sangatlah penting bagi siswa. Dalam mengembangkan ketiga potensi di atas, perlu ketrampilan dari guru dalam mengelolah pembelajaran agar pembelajaran benar-benar menjadi aktivitas siswa yang menyenangkan. ( Depdiknas, 2003) Namun demikian masih banyak guru yang mengalami kesulitan dalam mengelolah pembelajaran dalam menulis puisi. Bahkan kadang-kadang pembelajaran menulis puisi diajarkan dengan tidak sungguh-sungguh. Dengan demikian, pelajaran Bahasa Indonesia materi menulis puisi dirasakan kurang mendapat perhatian dari siswa. Menulis merupakan kegiatan yang produktif dan ekspresif untuk mengungkapkan ide, pikiran, gagasan dan pengetahuan. Dalam kegiatan menulis ini, maka penulis haruslah teampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata. (Tarigan 1983:3-4). Pembelajaran menulis puisi keberhasilannya ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Sebab, guru dapat mempengaruhi, membina, dan meningkatkan keterampilan menulis siswa dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menggunakan strategi mengajar dalam menulis puisi. Namun kenyataannya, masih banyak guru yang hanya mengajarkan menulis puisi untuk menggugurkan kewajiban atau melanjutkan pelajaran tanpa memikirkan apakah siswa benar-benar mampu dan terampil dalam menulis puisi. Akibatnya, proses pembelajaran keterampilan menulis tidak menarik bagi siswa dan ketrampilan siswa tidak meningkat. Untuk mengatasi hal tersebut, penulis menerapkan pembelajaran dengan pengamatan benda model untuk merangsang minat dan motivasi siswa dalam menulis puisi. Selama ini, 697
ISBN :978-602-17187-2-8
banyak siswa yang merasa kesulitan menulis puisi. Kesulitan yang dialami siswa tersebut antara lain, pemilihan kata yang sesuai dengan tema puisi. Briggs (1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan, National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandangdengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik. Sejalan dengan pendapat ahli di atas maka penelitian ini memanfaatkan benda model untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran siswa kelas V dalam menulis puisi. Dalam langkah-langkah pemanfaatan media benda model dalam proses pembelajaran puisi menggunakan strategi kooperatif. Karena pembelajaran koorperatif ( cooperative learning ) adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaktif yang silih asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan Dan penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (classromm action research). Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk meningkatankan keterampilan menulis puisi melalui pengamatan benda model siswa kelas V SDN 004 Tanah grogot. Dari uraian latar belakang permasalahan tersebut di atas, judul penelitian ini, yang diajukan penulis adalah,‖ Upaya Peningkatkan Keterampilan Menulis Puisi Melalui pengamatan benda model siswa kelas V di SDN 004 Tanah Grogot Tahun 2015/2016" Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan keterampilan menulis puisi melalui pengamatan benda model siswa kelas V di SDN 004 Tanah Grogot Tahun 2015/2016 KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka dalam penelitian ini berisi kajian tentang beberapa teori yang relevan kebutuhan penelitian. Kajian teoeri yang dimaksud membahas tentang (1) Hakikat menulis (2) keterampilan menulis (3) pembelajaran puisi Dengan Tehnik IKAPU, (4) Pembelajaran kooperatif, (5) dan tanggung jawab, partisipasi dan kerjasama dalam diskusi (6). Paparan bagian-bagian tersebut dikemukakan sebagai berikut. 2.1 Hakikat Menulis Menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Pesan adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Menulis merupakan kegiatan yang produktif dan ekspresif untuk mengungkapkan ide, pikiran, gagasan dan pengetahuan. Dalam kegiatan menulis ini, maka penulis haruslah teampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata. Disebut sebagai kegiatan produktif karena kegiatan menulis menghasilkan tulisan, dan disebut sebagai kegiatan yang ekspresif karena kegiatan menulis adalah kegiatan yang mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan pengetahuan penulis kepada pembaca (Tarigan 1983:3-4). 2.2 Keterampilan Menulis Smit (1981) mengatakan bahwa pengalaman menulis yang di alami siswa di sekolah tidak terlepas dari kondisi gurunya sendiri. Jadi dalam hal ini keterampilan siswa dalam menulis di perlukan guru yang kreatif dan inovatif sehingga siswa dapat menuangkan ide-ide cemerlangnya dalam bentuk tulisan. Keterampilan menulis adalah keterampilan yang paling kompleks, karena keterampilan menulis merupakan suatu proses perkembangan yang menuntut pengalaman, waktu, kesepakatan, latihan serta memerlukan cara berpikir yang teratur untuk mengungkapkannya dalam bentuk bahasa tulis. Oleh sebab itu, keterampilan menulis perlu mendapat perhatian yang lebih dan sungguh-sungguh sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa. 2.3 Media Menurut Para Ahli Media adalah semua bentuk perantara yang dipakai orang untuk menyebarkan ide, sehingga idea tau gagasan itu dipakai (Hamijaya dalam Rohani) (1998 : 3). Media adalah chanel (saluran) karena apda hakikatnya media telah memperluas atau memperpanjang kemampuan manusia untuk merasakan, mendengar, dan melihat dalam batas jarak, ruang dan waktu 698
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
(Mcluahan dalam Kemp). Media adalah segala bentuk yang dipergunakan dalam proses penyampaian informasi (AECT). Media adalah segala benda yang dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca atau dibicarakan beserta instrument yang digunakan untuk kegiatan tersebut. (NEA, National Education Association). Media adalah suatu alat yang dipakai sebagai saluran (chanel) untuk menyampaikan suatu pesan (message) atau informasi dari suatu sumber (resource) kepada penerimanya (receiver). Dalam dunia pengajaran, pada umumnya pesan atau informasi tersebut berasal dari sumber informasi, yaitu guru, sedangkan penerima informasinya adalah siswa. Pesan atau informasi yang dikomunikasikan tersebut berupa sejumlah kemampuan yang perlu dikuasai oleh para siswa (Bloom, dalam Rahmanto, 1998 : 4). Media digunakan dengan tujuan untuk menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Karena itu dalam merencanakan penggunaan media, guru harus mempertimbangkan tujuan pengajaran, materi pengajaran dan strategi pengajaran. Ada beberapa hal yang harus dipikirkan pada penggunaan media tersebut yaitu : a) Media yang digunakan harus transparansi dan tersedia. b) Tekhnik atau metode yang digunakan oleh guru harus sesuai, dan c) Memperhatikan kondisi kelas yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan pembelajaran. Dan juga media berfungsi sebagai perantara atau sarana untuk proses komunikasi (belajar menagajar) dan sebagai alat penampil, contohnya peta, model, globe dsb. a. Jenis – Jenis Media Gambar Media dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan pengalaman belajar peserta didik antara lain : 1. Media lambing kata atau verbal. 2. Media lambing visual (peta, diagram). 3. Media gambar (foto, album). 4. Media rekaman, radio, gambar. 5. Media gambar hidup. 6. Media pameran (study display). 7. Media wid wisata (field study). 8. Media kegiatan demonstrasi. 9. Media mode (benda tiruan). b. Fungsi Media Gambar Fungsi media gambar antara lain : 1. Memberikan kesamaan atau kesatuan persepsi bagi peserta didik. Persepsi yang berbeda karena keabstrakan konsep bisa disatukan dengan mengkonkretkan konsep tersebut melalui media. 2. Menarik perhatian peserta didik sehingga dalam pembelajaran semakin berminat untuk mengikuti. 3. Membangkitkan motivasi belajar siswa dalam pembelajaran. 4. Memhilangkan kejenuhan siswa sehingga pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan keinginan guru. 5. Antara guru dan siswa mempunyai tujuan yang sama, yaitu siswa mengalami perubahan yang positif dan sebelum proses belajar mengajar dilalui dan sesudah proses belajar mengajar berlangsung meskipun ada perbedaan-perbedaan yang terdapat antara setiap siswa dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Perbedaan ini dapat pula terjadi pada tingkat keterampilan kognitifnya, dapat terjadi pada cara siswa menangkap pengetahuan yang baru. c. Manfaat Media Pembelajaran Manfaat penggunaan media gambar antara lain, : 1. Media dimanfaatkan untuk menunjang tercapainya tujuan tetentu yang dipadukan dengan proses belajar mengajar dalam situasi kelas. 2. Media dapat juga dimanfaatkan secara bebas artinya bahwa media itu dapat disebarluaskan melalui program media seperti program-program aplikasi computer dsb. 3. Media dapat dimanfaatkan secara perorangan artinya media ini digunakan oleh satu orang saja. Media ini biasanya dilengkapi dengan petunjuk pemakaian yang jelas sehingga penggunaan media peroragan ini bermanfaat bagi seorang saja. 699
ISBN :978-602-17187-2-8
4. Manfaat media secara berkelompok yaitu dimanfaatkan oleh sekelompok orang dan biasanya menggunakan buku petunjuk, biasanya ditunjukan kepada guru atau tutor. 5. Manfaat media secara missal yaitu melalui media elektronik seperti radio dan televise ataupun media elektronik lainnya seperti proyektor. d. Keunggulan Dan Kelemahan Penggunaan Media a) Keunggulan Penggunaan Media Gambar 1) Peranan media dalam pembelajaran. 2) Dengan adanya media, benda-benda konkret yang tidak mungkin dibawa keruang kelas bias dikenalkan kepada siswa. Contoh untuk mengenal gajah, guru bias menggunakan media gambar gajah, jadi tidak harus membawa gajah keruang kelas. 3) Mengatasi kesulitan apabila ada suatu benda secara langsung tidak dapat diamati karena terlalu kecil, contohnya: benda-benda mikroskopik seperti sel dan yang lain-lain bisa digambarkan sehingga jika sekolah tidak memiliki mikroskop, ini tidak menjadi kendala bagi siswa untuk tahu bagaimana bentuk sel. 4) Menggambarkan bagaimana peristiwa alam yang sulit diamati secara nyata, misalnya gunung berapi, gunung meletus, banjir, tanah longsor dsb. 5) Memberikan kesamaan atau kesatuan persepsi bagi peserta didik. Persepsi yang berbeda karena keabstrakan konsep bias disatukan dengan mengkonkretkan konsep tersebut melalui media gambar. b) Kelemahan Penggunaan Media Gambar 1) Guru harus menyediakan media gambar yang sesuai dengan melaksanakan pembelajaran. 2) Terbatasnya ketersediaan media gambar disekolah merupakan kendala guru dalam memberikan pembelajaran. 3) Keterbatasan waktu menyebabkan guru tidak dapat menjelaskan secara rinci dan mendetail dengan menggunakan media gambar sehingga siswa kurang mengerti apa yang diterangkan dengan menggunakan media gambar. 4) Guru seringkali memajang pelajaran yang menggunakan media gambar yang dikarenakan pemahaman siswa kurang. 2.4 Pembelajaran Menulis Puisi Dengan Pengamatan Benda Model Pembelajaran berpuisi pada kalimat di atas dimaksudkan sebagai pembelajaran yang berkenaan dengan menulis puisi dan mempresentasikannya, dua hal yang tidak terpisahkan karena orientasi dari pembelajaran adalah kompetensi berpuisi. Jadi konotasinya adalah kemampuan siswa dalam praktek, dengan penekanan pada aspek kinerjanya. Dalam pembelajaran ini, siswa kelas V SD tidak perlu penekanan secara teori tentang istilah-istilah dalam berpuisi akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana praktek membuat dan mempresentasikan puisi, yang materinya sesuai dengan kehidupan siswa sehari-hari, dengan menggunakan pembendaharaan kata yang luas, susunan kata, gaya bahasa yang tepat, dan memuat unsur esensial puisi yaitu rima, ritme, diksi, larik, dan amanat dalam puisi. Pada pertemuan pertama, setelah pembukaan pembelajaran, dengan memotivasi dan apersepsi tentang materi puisi pada semester ganjil, guru menayangkan puisi melalui laptop dan LCD yaitu puisi karya Chairil Anwar yang berjudul ―Aku‖ kemudian siswa menanggapinya melalui tanya jawab lisan. Selanjutnya guru melaksanakan pembelajaran,dalam hal ini aspek bimbingan guru masih dominan, sehingga model yang digunakan adalah pembelajaran langsung dengan metode tanya-jawab dari sebuah alat peraga sebuah bunga mawar. Setelah itu siswa dibagi menjadi 4 kelompok. Namun demikian, dengan penggunaan model ini aktivitas siswa tetap tinggi melalui kegiatan mengamati benda model dengan tema dan diskusi kelompok dalam membuat puisi yang bermakna . Mereka secara bersama menyusun suatu puisi yang kemudian mencoba mempresentasikannya dengan improvisasi dan apresiasi masing-masing. Sintaks pembelajaran tersebut adalah : a. Kegiatan Pendahuluan Memfokuskan perhatian dan memotivasi siswa, apersepsi, informasi kompetensi dasar, manfaat materi bahan ajar, serta rencana aktivitas pembelajaran. Siswa disuruh mengamati benda model yang dibawa guru untuk membuka wawasan dalam membuat kata puisi dengan tema yang di tentukan 700
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
b. Kegiatan Inti Guru mengajak siswa-siswa untuk mengamati bunga sepatu , kemudian serangkaian pertanyaan diajukan secara teratur kepada seluruh siswa berkenaan dengan bunga sepatu tersebut. Misalnya, siapa yang tahu nama bunga ini ? siswa menjawab serempak dan guru memintanya kepada seorang siswa dan menuliskannya di papan tulis. Kemudian guru memberikan pertanyaan menggali, apa yang engkau ketahui tentang tumbuhan ini ? (mungkin siswa merenung atau bingung dalam memberikan jawabannya, karena pertanyaan tersebut sangat terbuka), kemudian guru memberikan pertanyaan bimbingan terarah fokus, apa warnanya bunganya? dan bagaimana keindahannya? dan semacamnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya tidak diberikan sekaligus, namun secara berkala tergantung jawaban siswa pada pertanyaan sebelumnya. Pemberian teknik menggalih dan membimbing dilakukan fleksibel sehingga siswa terarah-terbimbing dan tergali pengetahuannya. Semua jawaban siswa dituliskan pada papan tulis. Kemudian dengan pengarahan dari guru siswa dibimbing untuk menghaluskan dan menyempurnakan jawaban-jawaban siswa pada papan tulis, dengan cara memberi jiwa pada kalimat-kalimat yang telah ditulis dan diberi hiasan kata-kalimat estetika, contohnya siswa menulis warnanya merah menyala. Menyala biasanya untuk apai tapi dalam pembelajaran ini digunakan untuk warna bunga yang merah sekali di konotasikan menyala. Langkah selanjutnya setiap kelompok dibagi benda model tujuannya untuk diamati dan di analisa kira-kira apa yang menarik dari benda tersebut untuk dijadikan kalimat puisi. .Dan dilanjutkan dengan diskusi kelompok untuk menulis puisi sesuai dengan menuangkan gagasan kata puisi yang telah ada dalam pengetahuannya. Setiap siswa diwajibkan aktif dalam memberikan gagasan atau ide tentang benda model yang diamati dan selanjutnya dituangkan dalam kalimat puisi. Sehingga setiap siswa mempunyai kewajiban yang sama dalam menulis puisi. Dari puisi yang telah dibuat bersama , setiap kelompok ke depan kelas untuk presentasi hasil puisi yang telah dibuat bersama-sama. c. Kegiatan Penutup Guru kembali bertanya-jawab dengan siswa untuk menyimpulkan kegiatan pembelajaran pada hari itu sekaligus mangadakan refleksi, kemudian memberikan arahan untuk menyiapkan kegiatan pada pertemuan yang akan datang dan memberikan tugas untuk menulis puisi dengan tema yang berbeda-beda. Dari kegiatan tersebut, secara implisit indikator-indikator pembelajaran dengan menggunakan media model benda permainan terakomodasi dan terlaksana. Pada kegiatan pembelajaran pertemuan berikutnya, sajian pelajaran menggunakan media yang berbeda yang diajarkan dengan model kooperatif . pertemuan keempat diadakan evaluasi hasil belajar (post-test) dengan cara guru menugaskan kelompok untuk membuat puisi yang berjudul bebas sesuai dengan tema. Evaluasi ini tidak bersifat pengetahuan melainkan kemampuan menulis dan mempresentasikan puisi, sesuai dengan amanat kurikulum. Penilaian proses dilakukan terhadap aktivitas siswa (menulis dan mempresentasikan) serta portofolio berupa hasil karya siswa, sebagai reward hasil karya siswa ditempel pada dinding kelas. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Dalam penelitian tindakan kelas, guru bertindak sebagai peneliti sekaligus observer di dalam kelas berkolaborasi dengan teman sejawat yang membantu sebagai pengamat dalam proses pembelajaran. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama 3 bulan yaitu mulai bulan juli sampai September 2015. Penentuan waktu penelitian mengacu pada kalender akademik sekolah, karena PTK memerlukan beberapa siklus yang membutuhkan proses belajar mengajar yang efektif di kelas. Penelitian ini dilakukan di kelas V SDN 004 Tanah Grogot. Lokasi penelitian terletak di Jln Modang Kec. Tanah Grogot, Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur. 701
ISBN :978-602-17187-2-8
Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SDN 004 Tanah Grogot yang berjumlah 22 siswa yang terdiri dari 12 orang perempuan 10 orang laki-laki. Karakteristik siswa kelas V dimana peneliti melakukan penelitian memiliki tingkat kemampuan yang bervariasi, tingkat prestasi yang berbeda serta latar belakang ekonomi dan pendidikan yang berbeda. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian dilaksanakan berdasarkan model penelitian tindakan kelas yang dikembangkan oleh Kemmis dan MC Taggart (1993: 48), yang terdiri atas 4 tahapan, yaitu : Planning (perencanaan), Acting ( tindakan), Observing ( observasi atau pengamatan) dan Reflecting (refleksi). Penjelasan dari tahap-tahap penelitian tindakan kelas adalah sebagai berikut: a. Tahap perencanaan Tindakan Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini adalah : a) Menyusun rencana pembelajaran (RPP). b) Menyiapkan media yang dibutuhkan dalam pembelajaran c) Menyiapkan instrument penelitian d) Menyiapkan alat evaluasi b. Tahap Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan tindakan dillakukan dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang dilakukan mengacu pada rencana pembelajaran yang telah dibuat, yakni pembelajaran Bahasa Indonesia dengan kompetensi dasar menulis puisi bebas dengan menerapkan pengamatan benda model. c. Tahap Pengamatan dan Penilaian. Observasi atau pengamatan dilakukan untuk mengumpulkan dan menjaring data-data atau informasi tindakan pembelajaran yang dilakukan guru. Melalui kegiatan observasi ini, guru dibantu oleh guru mitra (kolaboran) dapat merekam, mengenali, serta mendokumentasikan semua kejadian yang terjadi dalam pembelajaran. Observasi dilakukan secara terus menerus sejak pelaksanaan tindakan siklus I sampai siklus berikutnya. d. Refleksi Setelah kegiatan inti, berdasarkan data hasil observasi peneliti melakukan refleksi untuk menilai sejauh mana keberhasilan pengamatan benda model dalam rangka meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa kelas V SDN 004 Tanah Grogot . Selain itu juga mencari solusi atas hambatan-hambatan yang muncul untuk perbaikan pada kegiatan pembelajaran selanjutnya. Apabila pada siklus kedua hasil belajar sudah nampak adanya peningkatan yang signifikan, maka sesuai dengan rencana tindakan penelitian hanya dilakukan 2 siklus. Rancangan Tindakan. a. Siklus 1 : - Pertemuan / tindakan 1 guru menyampaikan materi cara menulis puisi . Pertemuan / tindakan 2 guru menyampaikan materi tentang cara menulis puisi dan setiap kelompok mendapatkan tugas menulis puisi yang temanya sama dalam setiap kelompok dan setiap anggota kelompok wajib aktif dalam kelompok. b. Siklus II : - Pertemuan / tindakan 1 guru menyampaikan materi cara menulis puisi - Pertemuan / tindakan 2 guru menyampaikan materi tentang cara menulis puisi dan setiap kelompok mendapatkan tugas menulis puisi yang temanya yang berbeda dalam setiap kelompok.. Tehnik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tugas kelompok dan observasi. Tugas digunakan untuk mengumpulkan data tentang hasil/prestasi belajar siswa . Sedangkan observasi digunakan untuk mengumpulkan data yang berupa kegiatan siswa selama mengikuti pembelajaran. Selain itu, observasi juga digunakan untuk mengamati kegiatan guru dalam pembelajaran. Sedangkan alat pengumpulan data yang digunakan adalah lembar tugas dan lembar observasi/pengamatan.
702
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Teknik Analisa Data Analisa data dilakukan dengan analisis kualitatif meliputi tiga akhir kegiatan yang terjadi secara bersamaan dan terus–menerus selama dan setelah pengumpulan data yaitu: 1) Reduksi data; 2) Penyajian data; 3) Penarikan kesimpulan/verifikasi (Milles & Huberman, 1992). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian tindakan ini dilakukan dalam 2 siklus. Setiap siklus dilakukan dengan dua pertemuan yang alokasi waktu setiap pertemuannya adalah 2 x 35 menit. Sebelum memberi tindakan dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa, maka dilaksanakan observasi awal untuk melihat kondisi awal dengan meninjau kelas pada saat proses pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung. Observasi ini dibantu oleh observer yaitu wali kelas V yang memberikan penilaian saat pembelajaran Bahasa berlangsung. Hasil observasi tersebut disajikan pada tabel di bawah ini: Tabel 4.1 Hasil Analisis Data pada Observasi Awal
Kriteria yang ditentukan Pilihan Kesesuaian Amanat No Nama Siswa Jumlah Nilai Kata Tema Puisi 1 -5 1 -5 1 -5 Skor 1 DK 1 2 3 6 40.0 2 ACT 3 4 3 10 66.7 3 DP 3 3 3 9 60.0 4 DU 3 2 3 8 53.3 5 AGG 3 2 3 8 53.3 6 FDL 1 2 3 6 40.0 7 HDR 1 2 3 6 40.0 8 FN 3 2 3 8 53.3 9 EK 3 2 3 8 53.3 10 SF 3 3 3 9 60.0 11 NN 3 4 3 10 66.7 12 IH 3 4 3 10 66.7 13 MW 3 3 3 9 60.0 14 SH 3 3 3 9 60.0 15 MK 3 2 3 8 53.3 16 SN 3 4 3 10 66.7 17 WH 1 2 3 6 40.0 18 ST 3 4 3 10 66.7 19 WY 1 2 3 6 40.0 20 RM 3 3 3 9 60.0 21 PS 3 3 3 9 60.0 22 RN 3 4 3 10 66.7 56 62 66 184 1226.7 Jumlah 2.55 2.82 3.00 8.36 55.76 Rata-Rata Sumber: Hasil Penelitian, Paser 2015/2016 Berdasarkan hasil observasi awal dapat disimpulkan bahwa pemahaman siswa terhadap materi menulis puisi masih sangat rendah , Dari hasil belajar ketahui rata-ratanya 55,76. Dan nilai yang paling rendah adalah dalam pilihan kata atau diksi rata-ratanya hanya 2,55. Sementara itu dari kesesuaian tema rata-rata nilainya 2,82. Sedangkan dari segi menentukan amanat puisi nilai rata-rata siswa 3,00.
703
ISBN :978-602-17187-2-8
Berdasarkan hasil observasi awal tersebut, antara peneliti dan guru wali kelas sepakat untuk meningkatkan keterampilan siswa pada materi menulis puisi dengan menggunakan model kooperatif tehnik IKAPU. Adapun hasil penelitian dari setiap siklus adalah sebagai berikut: 1. Siklus 1 a. Perencanaan Penelitian bersama guru kelas merencanakan satuan pembelajaran yang berkaitan dengan materi yang akan diberikan serta model pembelajaran yang akan digunakan. Untuk mengetahui sejauh mana siswa menguasai materi, dipersiapkan tugas menulis puisi. Peneliti juga menyiapkan lembar observasi untuk mengamati jalannya proses pembelajaran. b. Pelaksanaan Tindakan Pada penelitian tindakan kelas, guru sebagai pengajar melaksanakan skenario pembelajaran yang direncanakan pada lampiran 1. Adapun pembelajaran yang dilakukan sebagai berikut: 1) Pertemuan pertama a) Guru melaksanakan skenario pembelajaran yang direncanakan b) Guru mengkondisikan kelas c) Guru menayangkan sebuah puisi dan menyuruh salahsatu siswa untuk membaca puisi tersebut. d) Siswa dibentuk kelompok e) Siswa secara berkelompok untuk mengerjakan tugas membuat puisi sesuai dengan tema diarahkan untuk secara individu membuat kata puisi , selanjutnya disusun untuk jadi satu puisi dan guru membimbing siswa yang mengalami kesulitan. Dan setiap siswa diberi waqktu mengamti benda model yang di bawa oleh guru. f) Sebelum waktu pelajaran selesai selama ± 10 menit, pekerjaan siswa dikumpul. g) Siswa diwakili oleh salahsatu anggota kelompok untuk membacakan puisi yang telah dibuat. h) Guru dan siswa menyimpulkan materi yang telah dibahas. i) Siswa diberi pekerjaan rumah, yang dikumpul pada pertemuan berikutnya. 2) Pertemuan kedua a) Guru melaksanakan skenario pembelajaran yang direncanakan . b) Guru mengkondisikan kelas dan mengadakan apersepsi tentang materi dan guru bersama siswa membahas pekerjaan rumah yang dianggap sulit oleh siswa selama ± 15 menit. c) Siswa secara berkelompok mengerjakan tugas yaitu membuat puisi dengan mengamati benda model yang berbeda setiap kelompoknya . d) Sebelum waktu pelajaran Bahasa Indonesia selesai selama ± 10 menit, pekerjaan kelompok dikumpul. e) Guru bersama siswa membahas hasil tugas yang telah dikerjakan oleh siswa secara berkelompok. c. Observasi Penelitian bersama guru kelas melakukan observasi tindakan yang dilakukan selama pembelajaran berlangsung. Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.2 Hasil Analisis Data Pada Observasi Siklus I
No 1 2 3
Nama Siswa DK ACT DP
Kriteria yang ditentukan Pilihan Kesesuaian Kata Tema 1 -5 1 -5 4 3 4 4 4 3
Amanat Puisi 1 -5 4 3 3 704
Jumlah
Nilai
Skor 11 11 10
73.3 73.3 66.7
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
DU 3 3 4 10 66.7 AGG 3 3 4 10 66.7 FDL 4 3 4 11 73.3 HDR 4 3 4 11 73.3 FN 3 3 4 10 66.7 EK 3 3 4 10 66.7 SF 4 3 3 10 66.7 NN 4 4 3 11 73.3 IH 4 4 3 11 73.3 MW 4 3 3 10 66.7 SH 4 3 3 10 66.7 MK 3 3 4 10 66.7 SN 4 4 3 11 73.3 WH 4 3 4 11 73.3 ST 4 4 3 11 73.3 WY 4 3 4 11 73.3 RM 4 3 3 10 66.7 PS 4 3 3 10 66.7 RN 4 4 3 11 73.3 83 72 76 231 1540.0 Jumlah 3.77 3.27 3.45 10.50 70.00 Rata-Rata Sumber: Hasil Penelitian, Paser 2015/2016 Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa keterampilan siswa menulis puisi masih belum mendapatkan prestasi belajar yang maksimal. Dari hasil belajar ketahui rataratanya 70. Dan nilai yang paling rendah adalah dalam pilihan kata atau diksi rata-ratanya hanya 3,77. Sementara itu dari kesesuaian tema rata-rata nilainya 3,77. Sedangkan dari segi menentukan amanat puisi nilai rata-rata siswa 3,45. Hasil Observasi dari segi proses sebagai berikut: 1) Aktivitas Guru Aktivitas guru secara keseluruhan dinilai cukup. Guru mampu menyajikan materi. Bimbingan yang diberikan guru kepada siswa dinilai kurang maksimal karena guru hanya membimbing siswa yang pintar saja sehingga tidak semua siswa mendapat bimbingan. Pengelolaan kelas pada pertemuan ke-2 dinilai kurang karena masih belum terciptanya suasana kelas agar siswa aktif dalam pembelajaran. 2) Aktivitas Siswa Aktivitas siswa secara keseluruhan dinilai cukup, kecuali pada partisipasi siswa. Pada tanggungjawab, siswa terlihat masih malas dalam mengerjakan tugas, siswa dinialai cukup sedangkan partisipasi siswa masih kurang, dikarenakan masih banyak siswa yang bingung dan diam tidak memahami tugas kelompok, sehingga lamban dalam mengerjakan tugas kelompok. Hasil prestsa belajar keterampilan puisi seperti terlihat pada lampiran…. . d. Refleksi Peneliti bersama guru mendiskusikan hasil observasi dari tindakan kelas dan hasil tugas akhir siswa pada siklus I untuk menentukan langkah-langkah perbaikan pada putaran selanjutnya. Dari hasil tes belajar siswa yang diperoleh dapat diketahui bahwa hasil tes belajar pada siklus I lebih baik dari tes observasi awal (sebelum diadakan PTK). Karena nilai rata-rata kelas meningkat dari 55,8 sebelum diadakan PTK menjadi 70 pada siklus I, meskipun secara kualitas nilai rata-rata kelas masih kurang. Berdasarkan hasil observasi dan refleksi yang diperoleh dari siklus I dapat diketahui hambatan-hambatan yang terjadi selama pembelajaran menggunakan benda model untuk diamati langsung, yaitu: 1) Adanya siswa yang hanya melihat hasil kerja temannya tanpa mau berusaha sendiri. 2) Ditemukan beberapa siswa yang terlihat malas dan lebih banyak diam. 705
ISBN :978-602-17187-2-8
3) Sebagian besar siswa masih ragu-ragu untuk bertanya ketika mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas dalam membuat puisi sesuai dengan tema. 4) Bimbingan yang diberikan oleh guru masih belum merata. Melihat berbagai hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pembelajaran dengan mengamaati benda model pada siklus I, maka peneliti dan guru sepakat mengambil suastu kesimpulan bahwa diperlukan bimbingan guru yang maksimal dalam membuat kata puisi, sehingga partisipasi dan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan pada putaran selanjutnya lebih meningkat dan pengelolaan kelas dapat ditingkatkan. Dengan demikian diharapkan pembelajaran menulis puisi dengan pengamatan benda model maka partisipasi dan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan maupun keterampilan siswa dapat ditingkatkan, serta pengelolaan kelas oleh guru dapat lebih baik. 2. Siklus Kedua a. Perancanaan Dari hasil refleksi peneliti bersama guru merencanakan suatu pelajaran yang berkaitan dengan materi yang diajarkan, model pembelajaran yang digunakan, dan pemberian tugas kelompok dengan waktu 2 x 35 menit untuk mengetahui sejauh mana materi pelajaran yang diberikan dikuasai. Selain itu peneliti juga menyiapkan lembar observasi untuk mengamati jalannya proses pembelajaran. b. Pelaksanaan tindakan Guru melaksanakan skenario pembelajaran sambil mengamati siswa dan kelas kemudian guru membimbing siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas kelompok, sesuai dengan kesepakatan agar guru lebih meningkatkan bimbingan dan pengelolaan kelas terhadap siswa selama pembelejaran berlangsung c. Observasi Peneliti bersama guru mengobservasi tindakan yang dilakukan selama pembelajaran berlangsung. Adapun hasil observasi adalah sebagai berikut: Ta bel 4.3 Hasil Analisis Data Pada Observasi Siklus II Kriteria yang ditentukan Nama Pilihan Kesesuaian Amanat No Jumlah Nilai Siswa Kata Tema Puisi 1 -5 1 -5 1 -5 Skor 1 DK 4 5 4 13 86.7 2 ACT 5 4 4 13 86.7 3 DP 4 4 3 11 73.3 4 DU 4 4 4 12 80 5 AGG 4 4 4 12 80 6 FDL 4 5 4 13 86.7 7 HDR 4 5 4 13 86.7 8 FN 4 4 4 12 80 9 EK 4 4 4 12 80 10 SF 4 4 3 11 73.3 11 NN 5 4 4 13 86.7 12 IH 5 4 4 13 86.7 13 MW 4 4 3 11 73.3 14 SH 4 4 3 11 73.3 15 MK 4 4 4 12 80 16 SN 5 4 4 13 86.7 17 WH 4 5 4 13 86.7 18 ST 5 4 4 13 86.7 19 WY 4 5 4 13 86.7 20 RM 4 4 3 11 73.3 21 PS 4 4 3 11 73.3 706
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
22
RN 5 4 4 13 86.7 Jumlah 94 93 82 269 1793.3 Rata-Rata 4.27 4.23 3.73 12.23 81.52 Sumber: Hasil Penelitian, Paser 2015/2016 Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa keterampilan siswa menulis puisi mendapatkan prestasi belajar yang maksimal. Dari hasil belajar ketahui rata-ratanya 81,52. Dan nilai rata-rata dari pilihan kata 4,27. Sementara itu dari kesesuaian tema rata-rata nilainya 4, 23. Sedangkan dari segi menentukan amanat puisi nilai rata-rata siswa 3,73. c. Refleksi Berdasarkan hasil observasi yang diperoleh pada siklus kedua dapat diketahui bahwa dibandingkan dengan siklus sebelumnya selama pembelajaran menulis puisi secara berkelompok berlangsung siswa benar-benar berpastisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Hasil tes belajar siswa siklus II lebih baik dari siklus I karena nilai rata-rata kelas secara kuantitas maupun kualitas meningkat dari dari criteria sangat baik 27,3% (6 siswa) di siklus I menjadi 86,4% (19 siswa) pada siklus II. Kriteria baik 27,3% ( 6 siswa) di siklus I menjadi 13,6% (3 siswa), Kriteria cukup 45, 5 % (10 orang) di siklus I menjadi 0% di sikuls II Hal ini disebabkan karena siswa sudah tidak mengalami kesulitan lagi dalam menulis puisis sehingga siswa terlihat lebih semangat dalam mengerjakan tugas kelompok sehingga lebih aktif dalam pembelajaran. Guru tidak lagi mengalami kesulitan dala hal pembimbingan dan pengelolaan kelas karena siswa terlihat terbiasa mengikuti pembelajaran dengan menggunakan benda model sebagai media. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada siklus kedua, maka peneliti dan guru sepakat untuk tidak melakukan tindakan berikutnya karena keberhasilan pencapaiannya telah melebihi 85% dari yang ditentukan. Keberhasilan siswa dapat di lihat pada grafik dibawah ini. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Nilai Awal
Dwiki Agung Dian Puspita Diah Anggi Fadli Hendri Fina Erika Siti Fathona Neni Iin H Mislawati Suherman Miko Sherin Wahyu H Santi Wahyudin Rajasa M Putri S Risna
Nilai Siklus 1 Nilai Siklus 2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Grafik 4.1 peningkatan keterampilan menulis siswa pada siklus I dan siklus II
C. PEMBAHASAN Sebelum memulai pembelajaran terlebih dahulu guru mengkondisikan kelas dan mengadakan apresiasi tentang materi yang akan dibahas. Pada pertemuan pertama peningkatan proses belajar mengajar tercermin pada aktivitas guru di mana kemampuan guru dalam menyajikan materi dinilai cukup karena 4 dari 5 kriteria yang ditentukan. Keempat criteria tersebut adalah: 1) Guru memberikan kesempatan atau menciptakan kondisi yang memungkinkan pertanyaan dari siswa. 2) Memberikan pujian atau penghargaan bagi jawaban-jawaban yang kurang tepat. 3) Memperhatikan reaksi atau tanggapan yang berkembang pada diri siswa baik verbal maupun non verbal. 4) Terlihat adanya variasi dalam pemberian materi dan kegiatan. 5) Menyampaikan pelajaran yang tepat dan jelas 707
ISBN :978-602-17187-2-8
Sedangkan aktivitas siswa yaitu pada kerjasama, partisipasi, dan tanggungjawab siswa. Kerjasama siswa cukup karena masih terdapat siswa yang ragu-ragu untuk bertanya ketika mengalami kesulitan sehingga hanya diam. Untuk partisipas siswa juga dinilai cukup karena sebagian siswa dapat menyelesaikan tugas menulis kata puisi yang akan disumbangkan pada kelompoknya. Sedangkan partisipasi siswa dinilai kurang karena sebagian siswa tidak cepat menyelesaikan tugas kelompoknya. Hal ini disebabkan sebagian besar siswa dalam menulis kata puisi masih mencontoh pekerjaan temannya saja. Pada pertemuan pertama, dari 22 siswa yang hadir dan mendapat tugas kelompok, diperoleh nilai rata-rata kelas 70. Meskipun nilai rata-rata kelas pada siklus I dinilai masih kurang. Namun dari segi kerjasama, partisipan dan tanggungjawab meningkat setiap siklusnya. Adapun hambatan yang ditemui adalah adanya siswa yang hanya melihat hasil kerja temannya tanpa mau berusaha sendiri. Ditemuinya beberapa siswa yang terlihat malas dan leih banyak diam serta sebagian besar siswa masih ragu untuk bertanya ketika menemukan kesulitan dalam menulis kata puisi pada guntingan kertas yang di dapat. Sedangkan hambatan pada guru adalah keterbatasan waktu dan kemampuan membimbing setiap siswa selama proses KBM berlangsung. Berdasarkan kenyataan tersebut peneliti dan guru kelas bersama-sama mempertimbangkan bahwa untuk tindakan selanjutnya diperlukan pembimbingan yang lebih terhadap siswa sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat dari sebelumnya serta pengelolaan kelas yang lebih baik agar suasana kelas dalam belajar lebih tenang. Adapun siklus berikutnya, siswa tetap diberikan tugas mengerjakan untuk menulis kata puisi secara individu dan selanjutnya di sumbangkan ke kelompoknya untuk di susun menjadi satu puisi sesuai dengan tema, hanya saja diperlukan bimbingan yang lebih baik dari guru. Bimbingan yang diberikan kepada siswa dinilai baik karena bimbingan diberikan pada siswa yang oandai dan mengalami kesulitan saja. Pengelolaan kelas dinilai baik karena sebagian besar siswa dapat menyelesaikan latihan-latihan soal dengan cepat tanpa membuang waktu. Aktivitas siswa secara keseluruhan dinilai baik. kerjasama tanggungjawab dan partisipasi siswa dinilai baik.Pada siklus II nilai yang diraih mengalami peningkatan dari 22 siswa yang hadir dan menulis kata puisi sesuai dengan tema diperoleh nilai rata-rata kelas 87,52. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada siklus II tersebut, peneliti dan guru kelas berkesimpulan bahwa tidak perlu lagi melaksanakan tindakan berikutnya karena keberhasilan yang diperoleh sudah melebihi 80% dari jumlah siswa. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada SD Negeri 004 Tanah Grogot diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan 22 orang siswa yang aktif mengikuti pembelajaran saat penelitian maka nilai rata-rata prestasi belajar menulis puisi mengalami peningkatan dari kondisi awal 55,8 menjadi 70 di siklus I dan menjadi 81,6 pada siklus II. 2. Berdasarkan penelitian maka nilai rata-rata keaktifan dari kerjasama, partisipan dan tanggung jawab mengalami peningkatan penilaian proses dari criteria sangat baik 27,3% (6 siswa) di siklus I menjadi 86,4% (19 siswa) pada siklus II. Kriteria baik 27,3% ( 6 siswa) di siklus I menjadi 13,6% (3 siswa), Kriteria cukup 45, 5 % (10 orang) di siklus I menjadi 0% di sikuls II B. Saran-saran 1. Dalam belajar menulis puisi, siswa diharapkan dapat memanfaatkan lingkungan, karena dapat memudahkan siswa dalam berimanjinasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan keterampilan menulis puisi bagi siswa. 2. Disarankan kepada guru bahasa Indonesia agar menggunakan benda model sebagai media dalam pembelajaran menulis puisi, karena dapat melatih siswa untuk aktif dan belajar mandiri sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, A. 1998. Pengantar MetodeDidaktik. Jakarta : Arcinto Arikunto, S. 1992. Dasar-Dasar Evaluasi pendidikan. Bumi Aksara; Jakarta. Dahar, R.W. 1989. Teori – Teori Belajar. Jakarta : Erlangga Ismail. 2006. Kriteria Penilaian Hasil Belajar. Jakarta : CV Rajawali 708
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Ismail. 2006. Pengelolaan Kelas dan Siswa. Jakarta : CV Rajawali Semiawan, A. S. 1992. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta : Gramedia Sudjana, N. 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Tim Pelatihan Proyek PGSM. 1991. Penilaian Tindakan Kelas (Classroom Action Research. Jakarta : Proyek PGSM, Dirjen Dikti Dekdikbud
PENERAPAN METODE JIGSAW PADA PEMBELAJARAN MENGIDENTIFIKSI UNSUR INTRISIK DALAM CERITA RAKYAT YANG DIPERDENGARKAN SISWA KELAS V SDN INPRES SELAYAR MALUKU TENGGARA Rofina Telaubun,S.Pd SD Negeri 3 Mastur Baru-Maluku Tenggara
[email protected] Abstrak: Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan penerapan metode jigsaw pada pembelajaran mengidentifikasi unsur intrinsik dalam cerita rakyat yang diperdengarkan. Pembelajaran dilakukan terintegrasi dengan Lesson Study pada siswa kelas V SDN Inpres Selayar Kabupaten Maluku Tenggara. Tahap persiapan dilakukan secara kolaboratif, meliputi penyusunan RPP, penentuan metode mengajar, penyiapan bahan ajar, dan pemilihan media pembelajaran. Tahap pelaksanaan dilakukan dengan melakukan pembelajaran berdasarkan perencanaan yang disepakati, dan diamati oleh teman sejawat dalam kapasitas sebagai observer. Tahap refleksi dilalakukan dengan cara mendiskusikan praktik pembelajaran yang telah dilakukan. Secara umum, metode Jigsaw dapat diterapkan dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur intrinsik dalam cerita rakyat yang diperdengarkan. Siswa tampak antusias belajar dan bertanggung jawab untuk menyampaikan hasil diskusi dalam kelompok ahli kepada teman-teman di kelompok awal. Kata Kunci : metode jigsaw, unsur intrisik, cerita rakyat
Pada kegiatan pembelajaran menyimak di tingkat SD, guru sering menemukan banyak rintangan dan hambatan untuk menyelesaikan suatu masalah. Pada kegiatan pembelajarn mengidentiksi unsur intrisik dlm cerita rakyat yang didegarkan guru. Penggunan metode ini agar siswa secara cepat dan mudah memahami dan mengerti apa yang ia pelajari.Dengan menggunakn metode jigsaw ini siswa dapat merespon dengan tepat dan cepat materi yang di sampaikan oleh guru kepada mereka. Pada pembelajaran menyimak, mengidentifikasi unsur intrisik yang terdapat dalam sebuah cerita dengan metode jigsaw. Penerapan sangat efesien dengan materi yang diajarkn karena dapat melatih siswa dalam berpikir untuk mengolah pesan yang disampaikan secara lisan. Menyimak merupakan salah satu dari empat ketarmpilan berbahasa.Menyimak merupakan ketrampilan berhasa yang harus diberikan pertama kepada siswa sesudah itu baru ketrampilan membaca,menulis dan berbicara Menurut fedian Rahman menyimak mempunyai beberapa tahapan seperti : Tahap mendengarkan ( heaarning ) yaitu kita mendengarkan segala sesuatu dari pembicara dan memprosesnya untuk memperoleh sebuah informasi yang baru maupun yang sudah kita ketahui. Setelah kita mendengarkan pembicaran pembicara, maka kita akan merasa ingin mengetahui, mengerti, dan memahami apa isi dari informasi yang kita dengarkan. Tahap menginterprestasi ( interpreting ) pada tahap ini kita merasa tidak puas dengan apa yang disampaikan oleh pembicara, maka kita berkeinginan untuk menginterprestasikannya dalam pendapat kita yang kita anggap dapat melengkapai informasi dari apa yang kita dapat. 709
ISBN :978-602-17187-2-8
Tahap mengevaluasi ( evaluating ) pada tahap ini kita melakukan evaluasi atau penilaian terhadap pembicara apakah baik atau buruk dan kita bisa menginterprestasikan kelemahan dan keunggulan pembicara. Yang terakhir dalam menyimak, yaitu penyimak menerima dan menyerap hasil simakan kemudian memberikan respond dan tanggapan terhadap apa yang disimak, bisa berupa komentar, pertanyaan, dan tanggapan yang lainnya. Pada pembelajaran mengidentifikasi unsur instrisik dalam cerita yang didegarkan dengan metode jigsaw. Siswa diminta untuk menentukan unsur instrik yng terdapat dalam cerita itu seperti unsur tokoh,watak,latar,tema,alur dan amant yng terdapat dalam cerita. Dan dalam menentukn unsur intrisik itu yang diterapkan adalah metode jigsaw. Metode jigsaw ini merupakan suatu metode yang memberikan bersemagat siswa dalam berkerja. Metode jigsaw merupakan proses belajar kelompok dimana siswa atau setiap anggota dapat menyumbangkan informasi, ide, sikap, pendapat, kemampuan untuk bertanggung jawab atas materi yang akan disampaikan (Johnson,1991; Slavin,2005; Sudrajat,2008). Kelemahan metode jigsaw untuk diterapkan dalam pembelajaran menyimak adalah menidentifikasi unsur intrisik cerita rakyat yang didegarkan. Mempertimbangkan kelemahankelemahan tersebut, maka metode jigsaw tepat digunakan dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur intrisik cerita rakyat yang didegarkan. Penulis menerapkan metode jigsaw ini untuk membangkitkan semagat belajar siswa dan cara kerja sama antar siswa dengan siswa, serta saling menghargai pendapat siswa lain dalam menyampaikan ide, pendapat dan sarannya serta memberikan keberanian kepada siswa dalam menyampaikan pendapatnya di hadapan teman-teman sebayanya. Deskripsi Proses Pembelajaran Pada kegiatan lesson Study meliputi kegiatan plan,do dan see.Ketika pembelajaran bahasa indonesia dengan materi mengidentikasi unsur intrisik cerita dalam cerita yang diperdegarkan diterapkan pada SD N Inpres Selayar Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara,diterapkan kegaiatan lesson study.Adapun kegiatan plan,do,dan see. Pada pembelajaran yang dilaksanakan pada SD N Inpres Selayar, unsur instrik inilah yang telah ditentukan oleh siswa dalam cerita ― Bawang Merah dan Bawang Putih‖ . Pada pembelajaran siswa sangat senang dan bersemangat dalam mengiktuti pembelajaran. Hal yang menbuat mereka bersemagat yaitu mereka ingin mendegarkan terus-menerus cerita bawang merh dan bawang putih tadi. Namun ada satu siswa mengatakan bawah bawang merah jahat sedangkan bawang putih baik.Nah itulah maka mereka sudah tau membedakan tokoh protogonis dan antogisnya.Dan pada akhir pembelajaran juga siswa bisa menentukan unsur intrisik yang terdapat dalam cerita ― Bawang Merah dan Bawang Putih‖ tadi walaupun ada 1 dan orang 2 siswa saja yang kurang menyebutkan secara tepat satu atau unsur. Perencanaan ( Plan) Setelah melalui tahap TOT I pada program TEQIP, penulis sebagai treiner melakukan kegiatan on going di SD N Inperes Selayar Kecamatan Kei Kecil Kabupten Maluku Tenggara melalui lesson study.Penulis mengambil guru model bersama teman sejawat melakukan plan.Melalui plan penyusun perangkat pembelajaran dirancang bersama-sama teman sejawat.Perencanan pembelajaran yang dilakukan meliputi persiapan media pembelajaran,lembar kerja siswa,dan menyusunan rancana pelaksanaan pembelajaran (RPP).Menyusun RPP dengan Kompetensi Dasar Mengidentifikasi unsur cerita tentang cerita rakyak yang didengarkan.Penulis dengan teman sejawat berdiskusi untuk menentukan indikator.Indikator yng dirumuskan adalah (1) Memdergkan teks cerita yang berjudul ― Bawang Merah dan Bawang Putih‖ (2) menyebutkan tokoh yang terdapat dalam cerata Bawang Merah dan Bawang Putih, (3) menyebutkan latar pada cerita Bawang Merah dan Bawang Putih,(4) Menentukan tema dari cerita tersebut,(5) menyebutkan alur dari cerita Bawang Merah dan Bawang Putih,(6) Menyampaikan anamat yang terkandung dalam cerita Bawang Merah dan Bawang Putih.Penulis memilih pokok- pokok pada menetuan tokoh,tema,wata,alur,latar dan anamat dalam cerita Bawang Merah dan Bawang Putih yang telah dibacakan guru,sehingga tidak ada kesalahan dalam menentukan unsur-unsur intrisik dalam sebuah cerita rakyat.Setelah menentukan pokok-pokok itu maka, siswa diminta untuk menentukan unsur intrisik yng terdapat cerita― Bawang Merah dan Bawang Putih‖ Adapun bahan ajar dalam Kompetesi Dasar mengidentifiksi unsur intrisik dalam cerita rakyat yang diperdegarkan yaitu; Teks cerita yang sudah dirancang dengan sedemikian rupa 710
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
untuk dapat menarik perhatian siswa.Pada kegiatan on gong melalui pembelajaran berbasis lesson study disepakati dengan teman sejawat yang menjadi guru model adalah penulis yang penulis artikel ini dan Martenci Rhnten sebng observer I dan walinya sebngi obsver II.Selain ibu Teni,wali kelasnya,ada jug teman- teman guru pada SDN Inpers Selayar ditunjuk sebngai obsever juga.Perencanaan untuk pembelajaran dengan materi medegarkan cerita rakyat dan siswa diminta untuk mendegarkan salah satu contoh cerita yang berjudul ―Kerbau dan Kambing‖.Mengapa cerita ini penulis ambil? kerena dapat menarik perhatian siswa pada cerita yang diperdegarkan.Hal ini dsebabkan karna anak-anak lebih otentetik pada cerita yang berbaur fabel. Pelaksanan Pembelajaran ( Do) Dalam pembelajaran ini penulis menggunakan metode jigsaw dengan konsep belajar kelompok yang dibagi menjadi 5 kelompok awal. Namun pada awal pembelajaran guru memberikan salah satu contoh cerita yng berjudul ― Kerbau dan Kambing‖ untuk menarik perhatian siswa terhadap pembelajaran yang akan diajarkan . Kelima kelompok tersebut disebut dengan kelompok awal, setelah kelompok awal sudah terbentuk, baru guru membrikan arahan singkat tentang bagaimana cara menetukan unsur intrisik yang terdapat dalam sebuah cerita rakyat, setelah itu guru membacakan cerita ― Bawang Merah dan Bawang Putih‖ dan setelah itu siswa dalam kelompok mendiskusikan tugas mereka masing-masing dalam kelompok awal, setelah semuanya sudah dianggap mengerti , maka siswa diminta untuk membentuk kelompok ahli. Pada kegiatan pembelajaran meliputi kegiatan awal,kegiatan inti,dan kegiatan akhir.Setiap kegiatan ini dapat diuraikan sebangai berikut: Kegiatan Awal ( 15 menit) Pada kegiatan awal guru membrikan salam,berdoa bersama-sama sesuai dengan keyakinan masing-masing.Setelah berdoa, guru mengbsensi kehdiran siswa, dan setelah itu guru melakukan apersepsi dengan bertanya kepada siswa bahwa siapa yang ingin mendegarkan sebuah cerita?.Dengan begitu serentak, semua siswa mengancungkan tangan dan jawab : mau ibu. Guru membacakan cerita‖ Kerbau dan Kambing‖ dan setelah itu,guru dan siswa membuat tanya siswa singkat dengan isi cerita yang baru selesai dibacakan.Dan tnya jawab sebngai berikut : Guru : Anak-anak,siapa saja yang terdapat dalam cerita tadi? Siswa : Kerbau dan Kambing ibu,namun ada seorang siswa menjawab lain Siswa : Ibu....Bukan kerbau dan kambing saja,tapi juga Singa Guru : Bagus sekali,guru memberikan pujian kepada siswa yang menjawab tadi. Guru : Kalau begitu,kerbau dan kambing itu,mereka tinggalnya dimana? Siswa : Di gua ibu.. Guru : Bagus sekali...nah kalau begitu,sifat dari ketiga binatang tadi itu bagamana? Siswa : Kambing sombong,Kerbau baik hati sedang Singa jahat ibu. Guru : Bagus sekali,dan siswa diajak untuk bertepuk tanggan semua,semua siswa sangat gembira dan bersemangat sekali. Guru : Kalau begtu anak-anak,pesan apa yang disampaikan pada cerita tadi? Siswa : 1. Jangan kita bersifat seperti singga yang jahat,ada yang lain menjawab 2.Kita tidak boleh menirukan sifat dari kambing yang sombong. Ada banyak jawab dari siswa,namun penulis mengangkat dua contoh diatas sebangai sampel saja. Guru : Sangat bagus sekali.nah, sekarang anak nanti sebentar kita akan belajar tentang tokoh,watak,Latar,alur dan amanat yang terdapat dalam sebuah cerita. Seluruh siswa merasa terpacu semangat dan sangat senang karena merasa tertantang dengan pertayaan yang diajukan guru kepada mereka.Setelah itu model menyamapaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai pada pembelajaran ini yaitu anak-anak,tujuan kita belajar materi ini agar nanti pada akhir pembelajaran sebentar,ibu harapkan agar semua siswa bisa menjawab pertayaan yang diberikan ibu kepada kalian semua yaitu anak-anak bisa menyebutkan tokoh-tokoh,watak,latar,alur dan amanat yang terdapat dalam cerita yang nanti ibu bacakan.
711
ISBN :978-602-17187-2-8
Kegiatan Inti ( 45 menit) Pada kegiatan inti pembelajaran,guru model menerangkan secara singkat pengertian dari tokoh,watak,latar alur dan amanat yang terkandung dalam sebuah cerita.Langkah-langkah pembelajaran sebangai berikut : Siswa dibagikan dalam 3 kelompok awal setelah itu guru membrikan petunjuk cara menentukan tokoh-tokoh serta wataknya, latar,dan amanat yang terdapat dalam cerita ― Bawang Merah dan Bawang Putih‖kepada masing- masing kelompok yang sudah di bentuk. Setelah siswa membentuk kelompok, setiap perwakilan kelompok mengambil amplop yang sudah disediakan guru. Setiap kelompok di minta untuk mendegarkan/menyimak cerita‖ Bawang Merah dan Bawang Putih ― yang akan dibacakan oleh salah seorang teman mereka. Setelah itu, masingmasing kelompok diminta untuk mengidentifikasi unsur intrisik cerita dalam cerita yang baru mereka dengarkan tadi sesuai dengan tugasnya masing-masing. Setelah itu masing-masing siswa dengan tugas yang sama, membentuk kelompok ahli, sehingga terbentuk kelompok baru ( kelompok ahli tokoh dan Kelompok ahli wataknya, kelompok ahli latar dan kelompok ahli amanat ) yang terkandung dalam cerita ― Bawang Merah dan Bawang Putih ‖. Kemudian bersama-sama mengidntifikasi lebih lanjut unsur tokoh serta watak dari tokoh tersebut, latar, dan amanat yang terkandung dalam cerita tersebut berdasarkan keahlian mereka masing-masing. Setelah setiap siswa memahami secara benar terhadap diskusi dalam kelompok ahli,mereka kembali ke kelompok asal. Kemudian siswa mempresentasikan hasil diskusi, kepada teman- teman kelompok awal secara bergantian. Setelah kelompok asal sudah paham dan mengerti,setiap siswa kembali ke kelompok ahli. Setiap kelompok ahli diminta untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka di depan kelas.Berdasarkan hasil presentasi kelompok ahli tersebut, selanjutnya guru memberikan dan penegasan terkait dengan ketrampilan memdegarkan yang diajarkan sesuai denga tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Setelah semuanya sudah selesai, maka guru dan siswa membuat kesimpulan. Pada tahap pelaksaan kegitan inti ini,penulis menjadi guru model dan teman sejawat menjadi observer.Observer,baik dari rekan penulis maupun dari para guru yang berasal dari SDN Inpres Selayar.Selain itu juga pada saat yang bersamaan,obsever terdiri dari 4 orang guru termasuk wali kelas,guru pendamping wali kelas,guru wali kelas satu dan salah satu bidang studi yaitu bidang studi agama katolik yang diminta kepala sekolah untuk bersedia menjadi obsever. Pada tahapan ini fokus pegamatannya diarahkan pada aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran.Aktivitas siswa yang meliputi aktivitas anatar siswa dengan siswa,antara siswa dengan guru maupun dengan media yang digunakan. Lembaran observasi berpedoman pada prosudur dan instrumen pengamatan yang telah sepakati dalam tahap perencanaan ( Plan) .Selama kegiatan ini dilaksanakan,para obsever hanya mengobservasikan pada belajar siswa bukan mengobservasi pada cara guru mengajar.Adapun hal-hal yang harus diperhatikan oleh observer dalam melaksanakan observasi yaitu interasi antara siswa dengan siswa,siswa dengan guru serta antara siswa dengan media yang digunakan dalam menyampaikan materi. Dalam tahap ini juga guru melaksanakan evaluasi kepada siswa.Pada evaluasi ini menunjukan bawah apakah siswa sudah memahami dan mengerti pelajaran yang selasai dilaksanakan.berapa siswa yang bisa menjawab semua pertayaan benar atau tidak?ataukah ada bisa menjawab pertayaan dengan setegah saja? Ataukah ada yang tidak bisa menjawab pertanyaan diberikan guru atau tidak? Kegiatan Penutup ( 10 menit) Pada kegiatan penutup ini guru dan siswa menyimpulkan materi yang baru saja diajarkan.Hal dilaksanakan agar guru mengetahui bagaiman pemahaman siswa terhadap meteri yang baru diajarkan kepada mereka.Adapun kengiatan ini untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses belajar pada tahap evaluasi tadi.Dalam pembelajaran ini media yang digunakan yaitu teks bacaan dan metode yang diterapkannya yaitu metode jigsaw. Refleksi ( See) Pada tahap refleksi ini seluruh observer menyamapaikan seluruh hasil observasinya.See dipimpim oleh seorang moderator yang bertugas untuk memimpin jalannya refleksi itu.Selanjutnya moderator mempersilakan guru model untuk menceritakan pengalaman yang dirasakan ketika melaksankan proses pembelajaran di kelas V SDN Inpres Selayar dengan materi Mengidentifikasi unsur-unsur intrisik dalam sebuah cerita diperdegarkan.Guru model 712
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
merasakan bahagia bercampur campur senang kerena proses pembelajaran dengan menggunakan metode jigsaw melalui lesson study berjalan dengan lancar.Penulis juga tidak merasa takut atau gementar sedikitpun dalam melaksakan proses pembelajaran karena sebelum kegiatan do ,penulis juga sudah mempersiapkan secara matang perangkat pembelajaran ketika kegiatan plan.Pada saat mengajar,guru model semakin percaya diri karena dalam proses pembelajaran guru model menggunakan metode yang membuat para siswa saling bekerja sama,saling menghargai pendapat teman lain dan berani menyampaikan pendapatnya. Penerapan metode jigsaw ini sangat membuat siswa bersemangat dan berani serta berperan aktif dalam mengikuti pembelajaran. Dan juga metode ini membuat siswa lebih saling berkerja sama dalam menyesaikan masalah,Karena metode ini ada kelompok awal dan kelompok ahli sehingga siswa lebih terfokus pada pembahasannya apalagi dibentuk kelompok ahli maka siswa lebih pengerti dan memahami apa yang harus dipecahkan pada soal tersebut. Adapun banyak kekurangan dan kelemahan yang dirasakan oleh guru model dalam memyampaikan materi serta penggunaan media dan pembagian kelompok dalam kelompok awal,karena banyak siswa yang mengingikan satu kelompok dengan teman sebangkunya sendiri,namun karena guru model melihat banyak alasan yang membuat sehingga harus dibagi dengan berhitung. Selanjutnya observer diberikan kesempatan untuk menyampaikan hasil pengamatan tentang hal-hal apa saja dilakukan siswa dalam proses pembelajaran berlansung. Dari seluruhan komentar yang telah disampaikan oleh para observer dan para expert dari Universitas Negeri Malang dalam melaksanakan observasi,akan dijadiakan sebanagai bahan perbaikan pada pembelajaran berikutnya. Dan juga akan penulis jadikan sebangai suatu bekal dan patokkan serta pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran guna untuk mencerdaskan anak-anak bangsa menuju pada globalisasi di dunia fantasi pendidikan. PEMBAHASAN Pada kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan pada SDN Inpres Selayar Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara dengan materi Mengidentifikasi unsur-unsur intrisik dalam cerita yang diperdegarkan diamati oleh para observer. Berdasarkan hasil refleksi diatas, maka dapat diuraikan bahwa penerapan metode jigsaw dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur intrisik dalam cerita rakyat yang diperdegarkan, siswa sangat bersemangat dan antusias terhadap materi yang diajarkan.Dan juga mereka tidak merasa bosan atau merasa lelah dalam menerima materi.Hal ini yng hrus dilkukan oleh guru agar dapat menarik perhatian siswa terhadap materi yang diajarkan.Sehingga dari hasil itu,maka untuk meninkatkan hasil belajar siswa terhadap materi mengidentifikasi unsur intrisik cerita rakyat yang diperdegarkan agar lebih terarik dan bersemangat serta saling bertanggung jawab terhadap apa yang diberikan guru kepada mereka,maka guru memberikan materi mengidentifikasi unsur intrisik cerita itu dengan menggunakan metode jigsaw. Dari penerapan metode jigsaw ini maka siswa sudah bisa bertanggung jawab,berani,dan lebih percaya diri dalam menyampaikan hasil diskusinya didepan teman sebayanya. PENUTUP Kesimpulan Penerapan metode jigsaw dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada Kompetensi dasar mengidentifikasi unsur intrisik cerita rakyat yang diperdegarkan pada kelas V SD N Inpers Selayar dapat memudahkan dan membangkitkan semangat siswa dalam memahami materi pembelajaran.Siswa pun termotivasi belajar dengan adanya penerapan metode jigsaw dalam pembelajaran tersebut.Hal ini ditunjukan dengan ketuntasan belajar siswa.Pembelajaran yang dilakukan melalui lesson study on going TEQIP 2015.Dalam kegiatan ini semua perangkat pembelajaran disiapkan secara bersama-sama dengan teman sejawat.Persiapan pembelajaran tersebut dilakukan pada kegiatan plan.Penerapan RPP dan media dilakukan pada kegiatan do.Hasil pengamatan teman sejawat disampaikan ketika kegiatan see.Hasil diskusi pada kegiatan see akan ditindak lanjuti untuk perbaikan pada tahap pembelajaran berikutnya.
713
ISBN :978-602-17187-2-8
Saran 1. Bagi guru Guru disarankan untuk selalu mengunakan metode pembelajaran yang cocok dalam melaksanakan pembelajaran.Sehingga pembelajaran itu dapat bermanfaat bagi siswa dan siswa lebih memhami pembelajaran yang diberikan. 2. Bagi siswa Siswa diharapkan agar dapat lebih aktif dalam belajar dengan adanya penerapan metode jigsaw dalam belajar unsur intrisik cerita rakyat yang diperdegarkan. DAFTAR RUJUKAN Andajani, Kusubakti dan Pratiwi, Yuni . 2015. Pendalaman Materi. Kerja sama P.T Pertamina dan Universitas Negeri Malang Rini Tama. 2010. Unsur-unsur intrisik cerpen (Online) http: // iritama.wordpress.com tanggal 28 Oktober 2015 J- TEQIP.Universitas Negeri Malang
PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN DAN SEMANGAT BELAJAR PADA MATERI PERCAKAPAN SEDERHANA DI KELAS II SDK VIKTOR BULUDE Olprine Pangalasen SDK Viktor Bulude Kecamatan Kabaruan Kabupaten Kepulauan Talaud Abstrak : Pembelajaran Percakapan Sederhana dengan Metode Bermain Peran telah dilaksanakan di SDK Viktor Bulude Kecamatan Kabaruan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan jumlah siswa 21 orang, Penelitian ini dilaksanakan dengan 2 siklus, dimana siklus I kemampuan anak mencapai 60 %, siklus II kemampuan anak bisa mencapai 91 %, Dengan menggunakan Metode Bermain Peran dapat meningkatkan semangat belajar siswa tentang percakapan sederhana pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kata Kunci : Motivasi, Belajar Siswa, Bermain Peran
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, pendidikan sangat mempengaruhi perkembangan manusia dalam seluruh aspek kepribadian, serta mempunyai kekuatan dinamis dalam kehidupan manusia dimasa depan. Pendidikan dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki secara optimal, yaitu mengembangkan potensi individu yang setinggi-tingginya. Selanjutnya mutu pendidikan yang ada di Indonesia harus ditingkatkan, sebab pendidikan di Indonesia sangat tertinggal di bandingkan dengan negara-negara maju, bahkan di Negara berkembang sekalipun. Sementara itu kita menyadari kemajuan suatu bangsa akan semakin bergatung pada tingkat pendidikanya. Oleh karena itu untuk menghadapi perkembangan yang semakin meluas, sistim pendidikan kita harus segera di perbaiki, agar dapat menghasilkan manusia cerdas, mandiri dan dapat bersaing ditingkat internasional. Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan penting dalam pendidikan formal pada umumnya. Karena bagi peserta didik guru sering dijadikan tokoh teladan, bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. Guru memiliki perilaku dan kompetensi yang memadai untuk mengembangkan pendidikan peserta didik secara utuh, memiliki wawasan yang luas menghadapi anak didik, melalui berbagai metode pembelajaran. Melalui Metode Pembelajaran Bermain Peran, pelaksanaan pelatihan berbicara dan pembinaan samangat belajar siswa dalam pengajaran Bahasa Indonesia akan berhasil. Karena 714
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
metode yang akan diterapkan harus sesuai dengan materi yang akan disajikan dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pelaksanaannya harus tepat dan benar sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Hasil pengamatan penulis secara umum pada siswa kelas II di SDK Viktor Bulude megalami kesukaran ketika diminta untuk bercerita, bercakap-cakap, berpidato bahkan sekedar bertanyapun banyak diantara siswa yang tidak mampu. Padahal siswa SD sebenarnya harus memiliki kemampuan untuk bercakap-cakap. Kenyataannya kita lihat ketika mereka bermain di halaman bersama teman, di sana mereka saling berkomunikasi secara lisan dengan lancar tanpa hambatan. Mereka begitu mudah menuturkan isi hati, ide, gagasan dan pengalaman kepada teman sepermainan. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tindakan kelas dengan judul meningkatkan semangat belajar siswa melalui metode bermain peran pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan materi percakapan sederhana di kelas II SDK Viktor Bulude. Apakah dengan Metode Bermain Peran dapat meningkatkan semangat belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas II SDK Viktor Bulude ? Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan semangat belajar siswa, melalui Metode Bermain Peran pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas II SDK Viktor Bulude. Manfaat bagi siswa adalah melalui Metode Bermain Peran, semangat belajar siswa sangat meningkat, manfaat bagi guru adalah melalui metode bermain peran, guru lebih kreatif menerapkan materi di dalam proses belajar mengajar, manfaat bagi sekolah adalah melalui metode bermain peran, dapat ditingkatkan mutu pendidikannya. Dengan menggunakan Metode Bermain Peran dapat meningkatkan semangat belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan materi percakapan sederhana di kelas II SDK Viktor Bulude. TINJAUAN PUSTAKA Semangat atau motivasi bersumber dari dalam atau dari luar diri anak, dalam belajar bahasa, anak tidak melakukannya demi bahasa itu sendiri. Anak belajar bahasa karena adanya kebutuhan dasar yang bersifat praktis, seperti lapar, haus, sakit serta perhatian kasih sayang, itulah yang disebut motivasi intrisik yang berasal dari diri anak itu sendiri. Sedangkan yang berasal dari luar, biasanya dorongan suami, anak-anak, dan orang di sekitar yaitu : mendorong seseorang untuk bertindak, menentukan arah tindakan, menyelesaikan tindakan. Motivasi dapat di kelompokkan seperti misalnya, motif fisik dan sosial, motif dalam dan luar, motif bawaan dan dipelajari juga motif fisik, sosial dan ibadah menurut Tompkin,1995. Belajar adalah perubahan tingkah laku siswa secara relatif tetap melalui pengalaman, pengamatan dan bahasa yang dilakukan secara aktif. Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dibangun siswa berdasarkan apa yang telah di pahami atau dikuasai sebelumnya. Belajar adalah melalui pengamatan dan pengalaman berbahasa menurut Glover dan Law, 2002. Belajar adalah suatu proses usah yang di lakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalaman menurut M.Sobry.Sutikno,2004. Bermain peran hampir sama dengan percakapan, hanya saja dalam perakapan seseorang memerankan diri sendiri atau masing-masing, sedangkan dalam bermain peran seseorang memerankan orang lain menurut Leo Dkk,2002. Langkah-langkah Pembelajaran Bermain Peran menurut Rahmat Widodo (2009) sebagai berikut : (1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran; (2) Siswa dapat dibagi dalam beberapa kelompok pasangan; (3) Guru menyiapkan skenario atau teks naskah,dengan tema yangg menarik; (4) Ketua kelompok membagi peran masing-maing; (5) Setiap kelompok menghafal peran masing-masing; (6) Guru menunjuk kelompok yang siap tampil; (7) Evaluasi; (8) Kesimpulan. Percakapan merupakan pertukaran pikiran atau pendapat tentang suatu masalah atau topik antara dua orang atau lebih. Pada umumnya suasana dalam percakapan adalah suasana akrab dan sopan. Dalam penggunaan metode ini dapat kita menanyakan apa yang siswa bicarakan atau mereka terima sebelumnya menurut Indra Dkk 2002. Bahasa Indonesia adalah sistem lambang bunyi yang digunakan para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunkasi dan mengidentifikasi diri. Bahasa sebagai sebuah 715
ISBN :978-602-17187-2-8
sistim artinya, bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang secara tak beraturan melainkan sebalikya. Bahasa sebagai lambang bunyi, bermakna, konfensional, menggidentiikasikan diri menurut Harimurti Kridalaksana 1997. Fungsi bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Sebagai bahasa Negara yaitu sebagai bahasa resmi kenegaraan, sebagai pengantar dalam dunia pendidikan, alat perhubungan, alat pengembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai bahasa nasional yaitu sebagai lambang kebanggaan , lambang identitas nasional, alat mempersatukan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya, alat perhubungan antar daerah dan antar budaya menurut Chaer Abdul 2002. METODE PENELITIAN Desaian yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada desain Penelitian Tindakan Kelas menurut Kemmis dan Mc Taggart (depdikbud,1999). Kegiatan penelitian direncanakan berlangsung dalam dua siklus yaitu masing-masing terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi dan alurnya dapat di lihat sebagai berikut : SIKLUS I Perencanaan Pada tahap ini diawali dengan observasi langsung pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas II untuk memperoleh gambaran awal pelaksanaan pengajaran Bahasa Indonesia khususnya materi percakapan sederhana di kelas II. Dengan memperhatikan kondisi awal pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas II SDK Viktor Bulude maka dalam tahap ini perencanaan dilakukan : (a) Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berdasarkan metode pembelajaran yang telah ditetapkan; (b) membuat lembar kerja siswa (LKS); (c) membuat lembar observasi; (d) mendesaian alat evaluasi untuk melihat dan mengukur ketuntasan belajar siswa; (e) menyiapkan media teks percakapan sederhana. Pelaksanaan Setelah selesai dilakukan perencanaan dan semua hal yang direncakanan telah disiapkan, maka langkah selanjutnya yaitu implementasi tindakan dengan langkah-langkah sebagai berikut : (a) Apersepsi mengingat kembali materi yang lalu; (b) Menjelaskan langkahlangkah dalam pembelajaran; (c) Melaksanakan pembelajaran; (d) Membahas materi pembelajaran dengan pokok bahasan percakapan sederhana menggunakan metode bermain peran; (e) Memberikan evaluasi tentang pokok bahasan yang dipelajari. Observasi Guru sebagai peneliti, sedang teman sejawat bertindak sebagai pengamat selama proses belajar mengajar dengan menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan. Dimanfaatkan untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar. Refleksi Guru melakukan refleksi hasil kegiatan akhir materi pembelajaran diberi evaluasi dan memperoleh nilai rata-rata, secara klasikal siswa bersemangat untuk belajar artinya telah berhasil. Namun masih ada siswa yang kurang bersemangat artinya memperoleh nilai dibawah, degan demikian perlu langkah selanjutnya. Untuk memperbaiki kelemahan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai pada siklus I, maka siklus II dapat dibuat perencanaan sebagai berikut : (a) Memberi motovasi kepada siswa agar lebih aktif dalam pembelajaran ; (b) Lebih meningkatkan bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar (c) Memberikan penguatan dan penghargaan. SIKLUS II Perencanaan Perencanaan siklus II berdasarkan Perencanaan ulang siklus I yaitu : (a) Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berdasarkan metode pembelajaran yang telah ditetapkan.; (b) Membuat lembar kerja siswa (LKS); (c) Membuat lembar observasi ; (d) alat evaluasi untuk melihat dan mengukur ketuntasan belajar siswa; (d) Menyiapkan media teks percakapan sederhana. Pelaksanaan. a. Apersepsi mengungat kembali materi yang lalu. b. Menjelaskan langkah-langkah dalam pembelajaran. c. Melaksanakan pembelajaran. 716
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
d. Membahas materi pembelajaran dengan pokok bahasan percakapan sederhana menggunakan metode bermain peran. Observasi Guru sebagai peneliti sedangkan teman sejawat bertindak sebagai pengamat selama proses belajar mengajar dengan menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan. Dimanfaatkan untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar. Refleksi. Pada tahap ini peneliti melakukan analisis data, untuk menentukan apakah tindakan yang telah dilakukan berhasil atau belum berhasil. Apabila jumlah siswa 21 orang yang mengikuti kegitan belajar mengajar secara klasikal dan individu telah mencapai ketuntasan 100% artinya telah tercapai peningkatan semangat belajar siswa dengan hasil yang baik dan memuaskan. Tempat penelitian dilaksanakan pada siswa kelas II pembelajaran percakapan sederhana dengan metode bermain peran dengan jumlah siswa 21 orang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berupa teknik observasi untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan semangat belajar siswa, data hasil observasi diperoleh akan diolah dan dianalisa yaitu: (1) Data hasil observasi dianalisa dengan menilai kegiatan siswa dan semnagat belajar selama kegiatan pembelajaran berlangsung; (2) data hasil tes akhir tindakan menyangkut tingkat pemahaman siswa ditentukan dengan menggunakan kriteria penilaian sebagai berikut. Standar ketuntasan siswa minimal (SKM) adalah 60. 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙
Rumus Penilaian : Jumlah = 𝑠𝑘𝑜𝑟
x 100%
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN SIKLUS I Kegiatan dilakukan pada siklus I meliputi : perencanaan, pelaksanaan, observasi, refelksi, masing-masing kegiatan dijelaskan sebagai berikut : Perencanaan Kegiatan perencanaan yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) berdasarkan metode pembelajaran yang telah ditetapkan. b. Membuat lembar kerja siswa (LKS). c. Membuat lembar observasi. d. Mendesaian alat evluasi untuk melihat dan mengukur ketuntasan belajaar siswa. e. Menyiapkan media teks percakapan sederhana. Pelaksanaan Pelaksanaan siklus I yakni pembelajaran percakapan sederhana pada minggu kedua, hari senin, 10 Agustus 2015. Peneliti bertindak sebagai guru, sedangkan teman sejawat bertindak sebagai pengamat. Sebelum pembelajaran dimulai,siswa telah menempati posisi masing-masing sesuai dengan tempat duduk. Proses pembelajaran percakapan sederhana terdiri atas tiga tahap yaitu; tahap awal, tahap inti, tahap akhir. Pada tahap awal guru membuka dengan salam dan doa bersama. Mengisi daftar kelas, absen siswa, menyiapkan materi ajar, alat peraga, memperingatkan cara duduk siswa ketika belajar, mengumpulkan pr/tugas. Memberikan apersepsi tentang materi yang lalu, menjelaskan langkahlangkah dalam pembelajaran, memberikan motivasi kepada siswa tentang pentingnya materi. Mengkaitkan materi dengan kehidupan sehari - hari, membangkitkan pengetahuan siswa. Beberapa siswa diminta secara berpasangan melakukan percakapan sederhana didepan kelas, naskah atau teks dengan tema‖Teman Baru.‖ Pada tahap ini diakhiri dengan menyerahkan lembar kerja siswa (LKS) berupa teks percakapan, yang akan diperagakan secara berpasangan didepan kelas. Tahap ini membutuhkan ±15 menit sesuai dengan rencana. Tahap ini terdiri dari beberapa kegiatan sebagai berikut : (a) Apersepsi mengingat kembali materi yang lalu; (b) Menjelaskan langkah-langkah dalam pembelajaran; (c) Melaksanakan pembelajaran; (d) Membahas materi pelajaran dengan pokok bahasan percakapan sederhana menggunakan metode bermain peran; (e) Memberikan evaluasi tentang pokok bahasan yang dipelajari. Pada tahap akhir guru di bantu dengan teman sejawat membagikan lembar tes akhir tidakan satu. Tes ini di ikuti oleh seluruh siswa yang hadir. Usai tes guru 717
ISBN :978-602-17187-2-8
meminta sisiwa untuk mengumpulkan hasil pekerjaannya. Sebelum mengakhiri proses pembelajaran guru memberikan motivasi dan semangat belajar pada siswa. Observasi Hasil observasi pengamat terhadap kegiatan peneliti dan aktivitas selama kegiatan pembelajaran memberikan gambaran bahwa pembelajaran sudah berlangsung dengan baik. Berdasarkan data observasi pengamat terhadap aktivitas peneliti, skor maksimal yang diperoleh pengamat adalah 60 dari skor maksimal 65. Dengan demikian maka nilai prosentase dari pengamat adalah 92%. Hal ini berarti taraf keberhasilan aktivitas peneliti berdasarkan observasi pengamat termasuk dalam kategori sangat baik. Hasil observasi pengamat terhadap aktivitas siswa dalam proses pembelajaran sangat memuaskan. Berdasarkan data observasi pengamat terhadap aktifitas siswa, skor maksimal yang diperoleh 50 dari 60 skor maksimal. Dengan demikian prosentase pengamat 83%. Hal ini berarti taraf keberhasilan akivitas siswa dalam proses pembelajaran berdasarkan observasi pengamat termasuk dalam kategori baik. Refleksi Refleksi dilakukan untuk menentukan apakah siklus I yakni pembelajaran percakapan sederhana harus diulang atau sudah berhasil. Berdasarkan hasil pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung pada tindakan siklus I dapat dipaparkan sebagai berikut : (a) Ratarata pencapaian pada tes akhir siklus I adalah 60%, kriteria keberhasilan siklus I tercapai artinya semangat belajar siswa meningkat; (b) Pembelajaran yang dilaksanakan telah mencerminkan pembelajaran menggunakan metode bermain peran tentang percakapan sederhana karena secara umum proses pembelajaran yang berlangsung sesuai dengan rencana yang disusun sebelumnya; (c) Hasil pengamatan terhadap aktivitas peneliti melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi yang dilakukan oleh teman sejawat selaku pengamat adalah skor prosentase pengamat 92%; (d) Hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi yang dilakukan oleh pengamat adalah 83%. Jadi aktifitas siswa pada siklus I belum tercapai. Berdasarkan hasil data diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran pada siklus I telah mencapai kriteria keberhasilan dari segi proses, akan tetapi hasil tes akhir tindakan belum memenuhi kriteria ketuntasan, artinya kurang semangat, dengan demikian dilanjutkan. SIKLUS II Kegiatan yang dilakukan pada siklus II meliputi : Perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Masing-masing kegiatan dapat dijelaskan sebagai berikut : Perencanaan Kegiatan perencanaan yang dilakukan adalah sebagai berikut berdasarkan erencanaan ulang siklus I yaitu : a. Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berdasarkan metod pembelajaran yang telah ditetapkan. b. Membuat lembar kerja siswa (LKS). c. Membuat lembar observasi. d. Mendesain alat evaluasi untuk melihat dan mengukur ketuntasan belajar siswa. e. Menyiapkan media teks percakapan sederhana. Pelaksanaan Pada Pelaksanaan siklus II yaitu pembelajaran percakapan sederhana dilaksanakan pada pertemuan kedua Senin, 24 Agustus 2015. Peneliti bertindak sebagai guru, sedangkan teman sejawat bertindak sebagai pengamat. Sebelum pembelajaran dimulai, siswa telah menempati posisi masing-masing sesuai dengan pasangannya.Proses pembelajaran percakapan sederhana terdiri atas tiga tahap yaitu : tahap awal, tahap inti, tahap akhir. Pada tahap awal guru membuka dengan salam dan doa bersama.Selanjutnya guru menyiapkan tujuan pembelajaran, menyampaikan langkah-langkah pembelajaran, menyampaikan pentingnya materi dengan kehidupan sehari-hari, membangkitkan semangat siswa dalam belajar. Memfasilitasi aktivitas siswa berpasangan, menjelaskan kerja dan tanggung jawab, menyediakan sarana yang dibutuhkan. Guru menanyakan pemahaman materi pada siswa.Guru meminta pada siswa secara berpasangan mempraktekkan teks percakapan dengan tema ―Teman Baru‖ di depan kelas secara 718
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
bergantian. Guru bersama siswa menyimpulkan materi secara bersama-sama tahap ini membutuhkan waktu ± 15 menit, sesuai waktu yang di tentukan. Tahap ini terdiri dari beberapa kegiatan sebagai berikut ; (a) Melaksanakan pembelajaran dengan metode bermain peran; (b) Siswa dan guru menyimpulkan materi (c) Memberikan evaluasi tentang pokok bahasan yang telah dipelajari. Pada tahap ini guru dibantu dengan teman sejawat membagikan lembar soal tes akhir siklus ll. Tes ini diikuti oleh selutuh siswa dan berlangsung sesuai dengan waktu yang di tentukan. Sebelum mengakhiri proses pembelajaran guru memberikan motivasi, penguatan dan semangat belajar serta penghargaan pada siswa siklus II dengan melakukan perbaikan berdasarkan hasil siklus I. Observasi Hasil observasi terhadap peneliti dan aktivitas selama kegiatan pembelajaran memberikan gambaran bahwa pembelajaran sudah belangsung dengan baik, artinya siswa lebih bersemangat untuk belajar. Berdasarkan data observasi pengamatan terhadap aktivitas peneliti, skor maksimal yang diperoleh pengamatan adalah 64 dari skor maksimal 65. Dengan demikian maka nilai prosentase dari pengamat adalah 98%. Hal ini berarti taraf keberhasilan aktivitas peneliti berdasarkan observasi pengamat termasuk dalam kategori sangat baik. Berdasarkan data observasi pengamat terhadap aktifitas siswa, skor maksimal yang diperoleh adalah 55 dari 60. Dengan demikian prosentase pengamat 91%. Hal ini berarti taraf keberhasilan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran berdasarkan observasi pengamat termasuk dalam kategori sangat baik. Refleksi Refleksi dilakukan untuk menentukan apakah siklus II yaitu pembelajaran percakapan sederhana harus diulang atau sudah berhasil. Berdasarkan hasil pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung pada tindakan siklus II dapat dipaparkan sebagai berikut : (a) Ratarata pencapaian tes akhir siklus II adalah 60%. Jadi kriteria keberhasilan siklus II tercapai; (b) Pembelajaran yang dilaksanakan telah mencerminkan pembelajaran menggunakan metode bermain peran tentang percakapan sederhana karena secara umum proses pembelajaran yang berlangsung sesuai dengan rencana yang disusun sebelumnya; (c) Hasil pengamatan terhadap aktivitas peneliti melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi yang dilakukan oleh teman sejawat selaku pengamat adalah skor prosentase pengamat 98%. Hal ini berarti kriteria keberhasilan aktivitas peneliti pada siklus II telah tercapai; (d) Hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi yang dilakukan oleh pengamat adalah 91%. Jadi aktivitas siswa pada siklus II telah tercapai. Berdasarkan hasil data diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran pada siklus II telah mencapai kriteria keberhasilan dari segi proses maupun hasil yaitu siswa lebih bersemangat dalam belajar. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil data dan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : (a) Metode Bermain Peran dapat meningkatkan semangat belajar siswa dalam proses belajar mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang percakapan sederhana siswa Kelas II SDK Viktor Bulude; (b) Respon siswa terhadap pembelajaran percakapan sederhana dengan Metode Bermain Peran sangat positif; (c) Penggunaan media teks percakapan sangat membantu siswa dalam memahami materi percakapan sederhana. Saran Guru perlu membiasakan diri untuk menerapkan Metode Bermain Peran dengan menggunakan media teks percakapan dalam membantu siswa meningkatkan semangat belajar melalui penguasaan pemahaman konsep percakapan sederhana terutama pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Siswa perlu keberanian untuk tampil dan memperagakan langsung materi pembelajaran percakapan sederhana didepan kelas dengan semangat. Guru perlu mengupayakan untuk menyiapkan media teks yang cukup memadai dan tepat sesuai dengan kebutuhan dan materi pembelajaran.
719
ISBN :978-602-17187-2-8
DAFTAR RUJUKAN Tompkinn. 1995. Metode Pembelajaran. Boston: Allyn & Bacon Glover dan Law. 2002. Bahasa Indonesia Bahasaku 2a. Semarang: Aneka Ilmu Harimurti Kridalaksana 1997. Kapita Selekta Metode-metode Mengajar. Jakarta: Depdikbud. Kemmis dan Mc Taggart (dalam depdikbud,1999) M.Sobry Sutikno. 2004. Pemahaman Konsep. Boston: Allyn & Bacon. Tim Komunikatif. 2002. Aku Bangga Bahasa Indonesia 2a. Semarang:Aneka Ilmu.
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENCERITAKAN KEMBALI CERITA ANAK YANG DIBACA MELALUI METODE INKUIRI PADA SISWA KELAS VII A SMP SUGIYOPRANOTO SANGGAU TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Regina Emiliati SMP Sugiyopranoto Sanggau Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca menggunakan metode inkuiri. Penerapan metode inkuiri merupakan tindakan untuk mengatasi rendahnya hasil belajar peserta didik dalam menceritakan kembali cerita anak yang dibaca di kelas VII A SMP Sugiyopranoto Sanggau Tahun Pelajaran 2015/2016. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yang dilakukan dalam dua siklus. Tahap-tahap yang dilewati dalam setiap siklus adalah perencanaan, pelaksanaan tindakan, pemantauan, dan refleksi. Subjek penelitian sebanyak 36 peserta didik kelas VII A SMP Sugiyopranoto Sanggau Tahun pelajaran 2015/2016. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi oleh guru. Analisis data dilakukan dengan menggunakan persentase. Kriteria untuk melihat tingkat partisipasi siswa dinyatakan dengan kategori aktif,cukup aktif, kurang aktif, dan tidak aktif. Keberhasilan penerapan metode pembelajarannya dinyatakan dengan tuntas dan tidak tuntas. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik dalam menceritakan kembali cerita anak yang dibaca dengan menggunakan metode inkuiri. Kata Kunci : menceritakan kembali, cerita anak, metode inkuiri
Menceritakan kembali cerita anak yang dibaca merupakan salah satu KD dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VII semester ganjil. Kompetensi Dasar (KD) ini merupakan satu bagian dari Standar Kompetensi (SK) Memahami Isi Berbagai Teks Bacaan Sastra dengan membaca. Melalui kegiatan menceritakan kembali cerita anak yang dibaca, peserta didik dibelajarkan untuk memahami isi berbagai teks bacaan sastra dengan membaca. Cerita anak merupakan sebuah cerita yang menceritakan tentang kehidupan anak. Cerita anak adalah salah satu karya sastra. Bentuk cerita anak misalnya dongeng. Cerita anak memang berfungsi sebagai penghantar tidur bagi anak-anak dan mengajarkan sesuatu. Di dalam cerita anak mengandung pesan-pesan moral. Cerita anak dapat membantu pembentukan akhlak dan karakter peserta didik menjadi lebih baik.Serta mempersiapkan masa depan para peserta didik karena di dalam cerita anak terdapat pesan moral dan agama yang sangat berguna bagi para peserta didik. Penguasaan bahasa dan sastra indonesia juga dapat berkembang ketika para peserta didik belajar membaca cerita anak dan menceritakan kembali cerita anak yang dibacanya. Menceritakan kembali cerita anak yang dibaca merupakan kegiatan merangkai pokokpokok cerita anak yang dibaca secara runtut. Dalam kegiatan ini peserta didik dapat dilatih untuk lebih teliti saat membaca agar ketika membaca peserta didik dapat menemukan pokokpokok cerita anak yang kemudian menyusunnya menjadi sebuah cerita yang runtut dan 720
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
pendek.Dan peserta didik dapat menceritakan kembali cerita anak dengan bahasanya sendiri berdasarkan pokok-pokok cerita yang ditemukan. Selain itu melalui cerita anak, mengikuti pandangan Marres, peserta didik diharapkan dapat melatih keterampilan membaca,karena membaca merupakan hal penting dalam kegiatan belajar, dengan membaca dapat diperoleh banyak informasi yang luas, tidak terbatas hal-hal yang terjadi dewasa ini,tetapi menjangkau masa depan yang akan datang (dalam Shaffat 2009;98). Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran para peserta didik untuk menceritakan kembali cerita anak yang dibaca bukanlah pekerjaan yang mudah. Hal ini dapat dilihat dari cara para peserta didik menemukan dan merangkaikan pokok-pokok cerita tersebut menjadi sebuah cerita yang runtut dengan menggunakan bahasanya sendiri. Berdasarkan pengalaman penulis dalam membina pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca, ada beberapa kesulitan yang dialami oleh peserta didik. Kesulitan yang teridentifikasi adalah menentukan pokok-pokok cerita anak dengan tepat, dan merangkaikan pokok-pokok cerita anak yang dibaca menjadi sebuah cerita yang runtut dengan menggunakan bahasanya sendiri. Kesulitan-kesulitan tersebut yang akhirnya menyebabkan kualitas peserta didik dalam menceritakan kembali cerita anak yang dibaca menjadi berkurang bahkan ada peserta didik saat menceritakan kembali cerita anak yang dibaca tidak sesuai dengan cerita yang sebenarnya.Hal ini disebabkan karena selama ini guru menggunakan metode yang kurang tepat, guru selalu menggunakan cara ceramah yang menyebabkan peluang para peserta didik untuk berkomunikasi lisan lebih kecil, siswa larut dalam suasana pembelajaran yang kaku, monoton, dan membosankan. Berdasarkan refleksi dan hasil observasi awal diketahui bahwa nilai rata-rata terendah berada di kelas VII A yaitu 72,69. Hal ini dapat dilihat 50% (16 peserta didik) dari 36 yang dinilai sudah terampil menceritakan kembali cerita anak yang dibaca sesuai dengan pokokpokok cerita. Sementara itu, 50% (16 peserta didik) dari 36 dinilai belum mencapai hasil yang maksimal, artinya hasil belajar para peserta didik masih banyak yang memperoleh nilai di bawah KKM, yaitu kurang dari 75 atau dilihat dari hasil rata-rata kelasnya hasil belajar kelas VII A tahun pelajaran 2015/2016 pada materi menceritakan kembali cerita anak yang dibaca hanya mencapai 72,69 dan dikategorikan nilai yang kurang.Oleh karena itu, tindakan perbaikan yang telah dirancang dengan menggunakan metode inkuiri diterapkan di kelas VII A agar terjadi perbaikan hasil belajar. Menyadari fungsi dan peran penting cerita anak bagi perkembangan peserta didik dan kesulitan-kesulitan yang dialami peserta didik dalam pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca, penulis merasa perlu untuk mencari jalan keluar agar tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat terwujud. Solusi yang dipilih oleh penulis adalah dengan menggunakan metode inkuiri. Dalam metode ini siswa dituntut untuk berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran, sehingga siswa tidak hanya dapat mencari dan menemukan satu permasalahan tetapi juga mampu menggali permasalahan yang harus dipecahkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanjaya (2008:96) ―metode inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berfikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menentukan sendiri jawaban dari masalah yang dipertanyakan. Pendapat Sanjaya senada dengan pendapat Herbrank (dalam Scifan dan Lif, 2010:85) ―Inkuiri sebenarnya merupakan prosedur yang dapat dilakukan oleh ilmuan dan orang dewasa yang memiliki motivasi tinggi dalam upaya memahami fenomena, memperjelas pemahaman, dan menerapkannya dalam kehidupan seharihari.‖ Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan metode inkuiri adalah metode yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri perumusannya dengan penuh percaya diri. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca menggunakan metode inkuiri pada peserta didik kelas VII A SMP Sugiyopranoto Sanggau Tahun Pelajaran 2015/2016. Diharapkan dengan menggunakan metode inkuiri, peserta didik yang belum mampu menceritakan kembali cerita anak yang dibaca sesuai dengan pokok-pokok cerita yang ditemukan, menjadi mampu dan peserta didik yang sudah mampu menceritakan kembali cerita anak yang dibaca sesuai dengan pokok-pokok cerita yang ditemukan, menjadi lebih mampu.
721
ISBN :978-602-17187-2-8
METODE Jenis penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK), yaitu penelitian yang dikembangkan bersama-sama untuk peneliti dan decision maker tentang variable yang dimanipulasikan dan dapat digunakan untuk melakukan perbaikan. Penelitian ini menitikberatkan pada adanya proses perbaikan dan perubahan secara terus menerus, yang dilaksanakan secara bersiklus (Sanjaya, 2009). Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, setiap siklus terdri dari sekali pertemuan tatap muka (tindakan). Langkah-langkah yang dilewati dalam setiap siklus adalah (1) permasalahan, (2) perencanaan, (3) pelaksanaan/tindakan, pemantauan, dan penilaian. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Sugiyopranoto Sanggau (Kalbar) yang beralamat di jalan jenderal Sudirman, komplek Laverna, Bunut, kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, pada kelas VII A semester ganjil tahun pelajaran 2015/2016. Kelas VII A tersebut terdiri dari 36 peserta dengan rincian 16 peserta didik perempuan dan 16 peserta didik laki-laki. Guru bertindak sebagai pengajar, pengamat, penganalisis data, sekaligus melaporkan hasil penelitian. Bertindak sebagai kolaborator adalah bapak Anselmus Acang, S.Pd. guru Bahasa Indonesia SMP Sugiyopranoto Sanggau. Sumber data dalam penelitian ini adalah 36 orang peserta didik. Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah lembar observasi proses guru melaksanakan pembelajaran, lembar observasi tentang keaktivan peserta didik, dan tes. Lembar observasi guru digunakan untuk memantau proses pembelajaran yang dilaksanakan guru. Tes digunakan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar peserta didik dalam menceritakan kembali cerita anak yang dibaca sesuai dengan pokokpokok cerita yang ditemukan. Teknik pengumpulan data proses belajar dilakukan dengan pengamatan yang dilakukan teman sejawat terhadap guru, dan pengamatan oleh guru terhadap keaktivan peserta didik dalam proses pembelajaran. Teknik analisis data dilakukan dengan pengelompokkan aspek yang diamati meliputi pelaksanaan yang direncanakan dalam pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca, data hasil pengamatan terhadap aktivitas peserta didik serta data tes di setiap akhir pertemuan dan di awal serta akhir siklus. Untuk menentukan hasil belajar peserta didik, hasil tes di koreksi berdasarkan rubrik penskoran yang telah ditetapkan. Penyajian data dilakukan cara memaparkan rencana tindakan dan perlakuan tindakan serta kendalanya, memaparkan hasil observasi keaktivan peserta didik selama proses pembelajaran, serta menyajikan data hasil tes kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal tes ke dalam bentuk tabel. Penarikan kesimpulan merupakan proses penyimpulan data yang telah dihasilkan sehingga diperoleh pernyataan mengenai dampak tindakan. Penarikan kesimpulan dilakukan untuk mencari jawaban akhir permasalahan penelitian berdasarkan data yang disajikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan tindakan dilakukan sebanyak 2 siklus, yaitu disemester satu tahun pelajaran 2015/2016, mulai akhir Juli sampai akhir Agustus. Sebelum melakukan tindakan, peneliti melewati tahap-tahap PTK, yang pertama yaitu pra PTK, yang dilakukan pada hari Senin, Rabu, Kamis, tanggal 27, 28, dan 29 Juli 2015, dilanjutkan pada hari Sabtu, tanggal 1 Agustus 2015, selama tiga kali pertemuan (3 x 40 menit). Dalam pelaksanaan pra PTK tersebut diperoleh nilai rata-rata peserta didik kelas VII A adalah 72,69 dan nilai ketuntasannya adalah 50%. Rendahnya nilai peserta didik sebelum tindakan disebabkan oleh 16 peserta didik yang dinilai belum mencapai hasil yang maksimal artinya kurang dari 75 atau tidak memenuhi KKM. Untuk menindak lanjuti permasalahan tersebut, peneliti selaku guru bidang studi mencoba untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK dilakukan mengikuti tahaptahap perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi di setiap siklus. Berikut pembahasan hasil dan proses belajar peserta didik dalam pembelajaran ―Menceritakan Kembali Cerita Anak yang dibaca‖. Siklus I Pada pelaksanaan siklus 1, guru bersama kolaborator menyusun RPP yang menerapkan metode inkuiri dalam proses pembelajaran ―Menceritakan Kembali Cerita Anak yang dibaca‖, menetapkan alokasi waktu, dan menyiapkan pedoman-pedoman observasi. Berikut adalah pelaksanaan pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca dengan menggunakan metode inkuiri. 1. Orientasi 722
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Dalam tahap ini guru melakukan pendahuluan yang bertujuan untuk memotivasi dan menyiapkan siswa sebelum pembahasan lebih lanjut, di antaranya melakukan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran, mengondisikan siswa agar siap belajar dengan memberikan pertanyaan pancingan dan ilustrasi mengenai hal-hal yang harus dilakukan dalam menceritakan kembali cerita anak yang dibaca, menjelaskan materi serta penanaman konsepnya melalui pemberian contoh cerita anak dan contoh cara menemukan pokok-pokok cerita anak. 2. Merumuskan masalah Pada tahap ini guru membimbing siswa mengidentifikasikan masalah yaitu mengenai apa yang dimaksud pokok-pokok cerita anak dan cara menemukannya dan menuliskannya di papan tulis, membimbing siswa dengan berkeliling dari satu anak ke anak yang lain untuk menyatakan masalah yang spesifik dan menegaskan kembali bila terjadi kesulitan, dan menentukan jawaban yang relevan dengan bacaan, serta menetapkan jawaban yang tepat. 3. Mengajukan hipotesis Pada tahap ini guru mengajak siswa untuk masing-masing mengemukakan pendapatnya tentang pokok-pokok cerita anak yang telah ditemukan. Guru bersama-sama merumuskan dugaan-dugaan yang akan membimbing siswa dalam memahami cerita. 4. Mengumpulkan data Pada tahap ini guru membimbing siswa untuk mengurutkan jawaban-jawaban yang sudah ditemukan, membimbing siswa untuk merangkaikan pokok-pokok cerita anak yang sudah ditemukan menjadi sebuah cerita yang singkat dan runtut. 5. Menguji hipotesis Pada tahap ini guru memberi kesempatan pada siswa menyampaikan hasil atau temuannya. Siswa mengurutkan dan merangkaikan pokok-pokok cerita anak menjadi sebuah cerita yang singkat dan runtut. 6. Merumuskan kesimpulan Pada tahap ini guru bersama siswa membuat rangkuman secara jelas dan singkat tentang cara menentukan pokok-pokok cerita anak serta merangkaikannya menjadi sebuah cerita singkat dan runtut dan mengadakan refleksi. Dari refleksi yang dilakukan guru bersama kolaborator terlihat bahwa hasil yang diperoleh peserta didik dalam pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca masih belum memuaskan. Berikut uraian hasil belajar menceritakan kembali cerita anak yang dibaca melalui metode inkuiri pada siklus I. Rata-rata hasil belajar menceritakan kembali cerita anak yang dibaca pada siklus I mencapai nilai rata-rata 73,58. Nilai ini belum memenuhi KKM yaitu 75. Peneliti bersama kolaborator menemukan 53% (19 peserta didik) dari 36 pada siklus I yang dinilai sudah mampu menceritakan kembali cerita anak yang dibaca dengan baik, sedangkan 47,22% (17 peserta didik) dari 36 yang nilainya kurang dari 75. Jika dilihat dari hasil pra-PTK, hasil belajar menceritakan kembali cerita anak yang dibaca pada siklus I mengalami peningkatan nilai ratarata sebesar 0,9 dan nilai ketuntasannya mengalami peningkatan sebesar 3%. Dari 36 siswa kelas VII A ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 50, ada 9 peserta didik (25%) yang mendapat nilai 60, ada 3 (8,33%) yang mendapat nilai 65, ada 4 peserta didik (11,11%) yang mendapat nilai 70, ada 5 pesrta didik (13,88%) yang mendapat nilai 75, ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 78, ada 3 peserta didik (8,33%) yang mendapat nilai 80, ada 3 peserta didik (8,33%) yang mendapat nilai 85,ada 4 peserta didik (11,11%) yang mendapat nilai 90, ada 2 peserta didik (5,55%) yang mendapat nilai 98, dan ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 100. Dengan hasil ini membuktikan bahwa latihan-latihan soal untuk menceritakan kembali cerita anak yang dibaca melalui metode inquiri pada siklus I belum menunjukkan nilai yang maksimal. Selain itu, dari pengamatan peneliti terlihat peserta didik kurang bersemangat mengerjakan sendiri menjawab soal dan tidak berkesempatan bertanya kepada teman. Dari 36 siswa yang memperoleh nilai dari rentang nilai 50-59 berjumlah satu orang dengan nilai 50 (2,77%), rentang nilai 60-69 berjumlah 12 orang (33,33%), nilai dari rentang 70-79 berjumlah 10 orang (27,77%), nilai dari rentang 80-89 berjumlah 6 orang (16,66%), nilai dari rentang 9099 berjumlah 6 orang (16,66%), dan nilai 100 berjumlah satu orang (2,77%). 723
ISBN :978-602-17187-2-8
SIKLUS II Siklus II dilaksanakan berdasarkan hasil refleksi pembelajaran siklus I yang dirasakan masih belum memuaskan. Siklus II yang dilakukan terdiri atas empat tahapan yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Dalam perencanaan, peneliti membuat RPP yang menerapkan metode inkuiri dengan kegiatan yang berbeda dari siklus I agar peserta didik tidak hanya mengulang kegiatan yang sama dalam proses pembelajaran, menyiapkan alokasi waktu, dan menyiapkan pedoman observasi. Dari kegiatan akhir (refleksi) yang dilakukan peneliti pada siklus II terlihat hasil yang diperoleh peserta didik dalam pembelajaran ―Menceritakan Kembali Cerita Anak yang dibaca.‖ Berikut uraian hasil belajar menceritakan kembali cerita anak dengan menggunakan metode inkuiri pada siklus II. Rata-rata hasil peserta didik dalam pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca pada siklus II mengalami peningkatan. Rata-rata hasil peserta didik pada siklus II adalah 82,25. Peneliti bersama kolaborator menemukan bahwa 80,55% (29 peserta didik) dari 36 peserta didik sudah dinilai mampu menceritakan kembali cerita anak yang dibaca dengan baik sedangkan 19,44% (7 peserta didik) dari 36 peserta didik yang nilainya kurang dari 75 atau belum mencapai KKM. Jika dilihat dari hasil siklus II, hasil belajar ―Menceritakan Kembali Cerita Anak yang dibaca,‖ pada siklus II mengalami peningkatan nilai rata-rata 8,67 dan nilai ketuntasannya 28%. Berikut uraian pada siklus II. Dari 36 peserta didik kelas VII A ada 3 peserta didik (8,33%) yang mendapat nilai 60, ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 68, ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 70, ada 2 peserta didik (5,55%) yang mendapat nilai 73, ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 75, ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 76, ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 77, dan 2 siswa (5,55%) yang mendapat nilai 78, ada 5 peserta didik (13,88%) yang mendapat nilai 80, ada 1 peserta didik (2,77%) mendapat nilai 82, ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 83, ada 5 peserta didik (13,88%) yang mendapat nilai 85, ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 88, ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 90, ada 2 peserta didik (5,55%) yang mendapat nilai 93, ada 3 peserta didik (8,33%) yang mendapat nilai 95, ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 98, ada 2 peserta didik (5,55%) yang mendapat nilai 99, ada 1 peserta didik (2,77%) yang mendapat nilai 100. Dengan hasil ini membuktikan latihan-latihan soal menceritakan kembali cerita anak yang dibaca siklus II melalui metode inquiri sudah menunjukkan nilai yang baik dan sudah memenuhi KKM 75. Dari 36 siswa yang memperoleh nilai dari rentang 60-69 berjumlah 4 orang ( 11,11% ), rentang nilai 70-79 berjumlah 8 orang ( 22,22% ), rentang nilai 80-89 berjumlah 13 orang ( 36,11% ), rentang nilai 90-99 berjumlah 9 orang ( 25% ), dan mendapat nilai 100 berjumlah 1 orang ( 2,77% ). Pada siklus II ini terlihat siswa bersemangat mengerjakan soal karena bisa berdiskusi menanyakan pembahasan soal kepada teman. Siswa yang tidak bisa menjawab soal bisa bertanya dan mendapat penejelasan langsung dari teman sehingga bisa membantu dalam memahami materi. Dengan demikian pada akhir siklus II ini, hasil pembelajaran sudah memenuhi harapan dan tujuan pembelajaran. Respons Siswa terhadap Pembelajaran Pengamatan peneliti bersama kolaborator terhadap respon siswa mengikuti pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca melaui metode inquiri dilakukan dengan melihat sikap siswa dengan kategori siswa sangat aktif, siswa aktif, siswa cukup aktif, siswa kurang aktif, dan siswa tidak aktif . Hasil pengamatan peneliti bersama kolaborator terhadap respon siswa mengikuti pembelajaran pada setiap siklus, dapat dilihat pada Tabel (1) berikut ini. Tabel 1:
Persentase Rata-rata Sikap Siswa dalam Mengikuti Pembelajaran pada Siklus I
Kategori Sikap siswa Jumlah Siswa
36
Sangat Aktif
Aktif
Cukup Aktif
7 Siswa 6 Siswa 6 Siswa (19,44%) (16,66%) (16,66%)
Kurang Aktif
Tidak Aktif
17 Siswa (47,22%)
-
724
Kategori Siswa yang Mengikuti Pelajaran dengan Baik 19 Siswa (52,77%)
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Tabel 1 menyatakan persentase respons siswa yang mengikuti pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca melalui metode inkuiri pada siklus I sebesar 52,77%. Hal ini menunjukkan bahwa pada siklus I siswa belum termotivasi untuk mengikuti pembelajaran. Tabel 2:
Jumlah Siswa
36
Persentase Rata-rata Sikap Siswa dalam Mengikuti Pembelajaran pada Siklus II
Kategori Sikap siswa Sangat Aktif
Aktif
10 siswa 13 siswa (27,77%) (36,11%)
Cukup Aktif
Kurang Aktif
Tidak Aktif
6 Siswa (16,66%)
7 Siswa (19,44%)
-
Kategori Siswa yang Mengikuti Pelajaran dengan Baik 29 siswa (80,55%)
Tabel 2 menyatakan persentase respon siswa yang mengikuti pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yan dibaca melalui metode inkuiri pada siklus II sebesar 80,55% Hal ini menunjukkan bahwa pada siklus II siswa sudah termotivikasi untuk mengikuti pembelajaran. PENUTUP Kesimpulan Dari hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru dalam upaya meningkatkan kemampuan menceritakan kembali cerita anak yang dibaca melalui metode inkuiri, peningkatan hasil siswa dalam pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca, dan peningkatan respon siswa dalam mengikuti proses pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca. Untuk lebih jelasnya secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Perencanaan yang dibuat guru dalam upaya meningkatkan kemampuan menceritakan kembali cerita anak yang dibaca melalui metode inkuiri pada siswa kelas VII A SMP Sugiyopranoto Sanggau Tahun Pelajaran 2015/2016 adalah dengan menerapkan langkah-langkah metode inkuiri yaitu orientasi, merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan merumuskan kesimpulan. Langkah-langkah pembelajaran ini dilakukan dengan cara sebagai berikut. Peneliti dan kolaborator membuat perencanaan dan menyiapkan perangkat mengajar yaitu rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja siswa(LKS), menyusun evaluasi berupa tugas untuk dikerjakan oleh siswa, dan menyiapkan pedoman-pedoman observasi. 2. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam upaya meningkatkan kemampuan menceritakan kembali cerita anak yang dibaca melalui metode inkuiri pada siswa kelas VII A SMP Sugiyopranoto Sanggau Semester Satu Tahun Pelajaran 2015/2016 adalah peneliti (guru) melaksanakan perencanaan yang telah dibuat dan didukung oleh kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Dengan menggunakan metode inkuiri pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca pada siswa kelas VII A SMP Sugiyopranoto Sanggau Semester Satu Tahun Pelajaran 2015/2016 mengalami peningkatan. 3. Kemampuan hasil siswa dalam pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca juga mengalami peningkatan dari rata-rata nilai siswa 73,58 pada siklus I meningkat menjadi rata-rata 82,25 pada siklus II. Atau 52,77% (19 peserta didik) dari 36 peserta didik dinilai dapat menceritakan kembali cerita anak yang dibaca dengan baik sedangkan 47,22% (17 peserta didik ) dari 36 peserta didik dinilai belum mampu menceritakan kembali cerita anak yang dibaca dengan baik., dan meningkat di siklus II yaitu 80,55% (29 peserta didik) dari 36 peserta didik sudah dinilai mampu menceritakan kembali cerita anak yang dibaca dengan baik sedangkan 19,44% (7 peserta didik) dari 36 peserta didik yang dinilai belum mencapai nilai 75 atau belum mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 27,78% 4. Respons siswa dalam mengikuti pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca melalui metode inkuiri pada siklus I sebesar 52,77% (19 peserta didik) yang terlihat aktif sedangkan respon siswa pada siklus II menjadi 80,55% (29 peserta didik) 725
ISBN :978-602-17187-2-8
yang aktif. Hal ini menunjukkan bahwa pada siklus II siswa sudah termotivasi dan antusias mengikuti pembelajaran menceritakan kembali cerita anak yang dibaca. Saran Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat dikemukakan saran sebagai berikut: 1. Diharapkan guru mengetahui permasalahan yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas dan mencari jalan keluar pemecahannya. Misalnya dengan melaksanakan penelitian tindakan kelas seperti yang telah peneliti lakukan. Karena dengan penelitian tindakan kelas ini sangat bermanfaat bagi guru dan siswa, maka diharapkan kegiatan ini dapat dilakukan secara berkesinambungan dalam pembelajaran bahasa Indonesia maupun pembelajaran yang lain. 2. Diharapkan metode inkuiri tidak hanya diterapkan pada materi pembelajaran membaca saja, tetapi bisa diterapkan juga pada materi ajar yang lain. 3. Penelitian tindakan kelas yang sudah dilakukan supaya bisa menjadi masukan bagi sekolah dan guru yang mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia dan diharapkan ke depannya sekolah yang bersangkutan bisa lebih baik. DAFTAR RUJUKAN Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Petunjuk Pengembangan Minat dan Kegemaran Membaca Siswa. Jakarta: Pusat Pembukuan Depdikbud. Parera, Jos Daniel. 2000. Keberbahasaan dan Penulisan Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Sofan Andri dan Lif Khairu Ahmadi. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas. Jakarta: PT. Prestasi Pustaka. Saffat Idri. 2009. Optimixed Liearning Strategy. Jakarta: PT. Prestasi Pustaka. Sanjaya, Wina. H. 2009a. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Rencana Prenada Meida. Group. Sanjaya, Wina. H. 2009b. Srategi Pembelajaran. Jakarta: Rencana Prenada Meida. Group. Soedarso. 2006. Speed Reading (Sistem Membaca Cepat dan Efektif). Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama Tarigan, Henry Guntur. 1983. Membaca Ekspresif. Bandung : Angkasa. Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: PT Prestasi Pustaka. Usman, Moh. Uzer 1995. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR-UNSUR SYAIR MELALUI PEMBELAJARAN DI LABORATORIUM BAHASA SISWA KELAS IXE SMP NEGERI 2 SANGGAU DALAM TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Nurhayati SMP Negeri 2 Sanggau
[email protected] Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik dalam menganalisis unsur-unsur syair melalui pembelajaran di laboratorium bahasa. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dalam dua siklus yang meliputi perencanaan, pelaksanaan tindakan, pemantauan, dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas IX E SMP Negeri 2 Sanggau Tahun pelajaran 2015/2016 sebanyak 32 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan proses dan hasil belajar peserta didik dalam menganalisis unsur-unsur melalui pembelajaran di laboratorium bahasa. Kata kunci : unsur-unsur syair, laboratorium bahasa
726
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Pembelajaran syair pada level SMP dalam Kurikulum 2006 (K-06) dilaksanakan di kelas IX semester 1 (ganjil). Standar kompetensinya adalah memahami wacana sastra jenis syair melalui kegiatan mendengarkan syair. Sebagai warisan budaya bangsa, syair hendaknya dilestarikan dan diterapkan pada kehidupan saat ini. Dahulu masyarakat menggunakan syair dalam menyampaikan suatu pesan baik berupa nasihat atau petuah-petuah yang erat kaitannya dengan nilai budaya dan agama. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan syair pada saat ini sudah mulai dilupakan oleh masyarakat. Sama seperti halnya dengan pantun, syair pun sudah jarang digunakan masyarakat. Apalagi dengan kemajuan teknologi saat ini, kegiatan membuat syair dan pantun semakin hilang di kalangan masyarakat modern. Sebagai sebuah wacana sastra, syair tentu tidak terlepas dari penggunaan bahasa masyarakat sekitarnya. Kehidupan sastra tidak dapat dipisahkan dari penggunaan bahasa masyarakat pendukungnya (Dendy Sugono dalam Baksin, 2008:31). Penggunaan syair pada masa lampau sangat erat dengan kehidupan masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat istiadat dalam lingkungannya. Dari kehidupan masyarakat tersebut, syair dapat memberikan pelajaran tentang sikap dan kepribadian yang mengandung nilai-nilai kehidupan khususnya nilai budaya dan agama. Begitu banyak manfaat yang diperoleh dari mempelajari syair, sehingga dalam pelajaran bahasa Indonesia, pembelajaran syair ini diberikan kepada peserta didik khususnya pada kelas IX. Namun, tidak dipungkiri bahwa pembelajaran syair bagi peserta didik merupakan materi yang membosankan. Apalagi syair dianggap karya sastra lama yang tidak memiliki keindahan. Padahal di dalam syair banyak terdapat pesan dan nasehat yang baik bagi peserta didik. Pembelajaran syair hakikatnya adalah belajar mengapresiasi sebuah karya sastra yang mengandung unsur-unsur keindahan baik dari segi fisiknya maupun dari unsur nilai yang terkandung dalam syair tersebut. Baksin (2008:7), menyatakan bahwa belajar apresiasi sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Melalui karya sastra, manusia akan memperoleh gizi batin. Oleh karena itu, diharapkan dengan mempelajari syair peserta didik dapat memiliki rasa cinta kasih dan menumbuhkan perilaku yang positif bagi kehidupan peserta didik. Syair merupakan jenis puisi lama. Kata syair berasal dari bahasa Arab syu'ur yang berarti perasaan. Kata syu'ur berkembang menjadi kata syi'ru yang berarti puisi dalam pengertian umum (Anindyarini, dkk, 2008:20). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, syair adalah puisi lama yang tiap-tiap bait terdiri empat larik (baris) yang berakhir dengan bunyi yang sama. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa syair termasuk jenis puisi lama yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Menurut Muniarsih dan Sunardi (2008:70), sebagai sebuah puisi, syair adalah sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur itu bersifat padu karena tidak dapat dipisah-pisahkan tanpa mengartikan dengan unsur yang lain. Unsur syair terdiri atas unsur fisik dan unsur batin. Dengan memperhatikan unsur-unsur yang ada di dalam syair dan banyaknya pesan dan manfaat yang dapat diperoleh dalam memahami syair, maka penulis mempunyai keinginan untuk memberikan pembelajaran syair kepada peserta didik kelas IX, khususnya pada kompetensi dasar menganalisis unsur-unsur syair yang diperdengarkan. Dalam pembelajaran menganalisis unsur-unsur syair yang diperdengarkan, penulis menggunakan sarana yang ada di sekolah yaitu laboratorium bahasa. Laboratorium bahasa adalah suatu tempat yang didalamnya terdapat seperangkat alat berbasis multimedia yang saling berkaitan yang digunakan pada pembelajaran bahasa. Dalam pengoperasiannya, media komputer merupakan alat utama yang dihubungan dengan media lain. Adapun media penunjang lainnya: televisi, tape, headset, microphone, DVD, dan speaker. Penggunaan laboratorium bahasa dalam pembelajaran syair khususnya menganalisis unsur-unsur yang diperdengarkan sangatlah tepat. Hal ini dikarenakan dalam laboratorium bahasa terdapat media penunjang yang dapat membantu peserta didik lebih aktif dan serius dalam mendengarkan syair sehingga peserta didik akan lebih fokus dalam memahami syair. Sebelum pelaksanaan pembelajaran di laboratorium bahasa, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, guru mempersiapkan terlebih dahulu ruangan dan peralatan yang akan digunakan dalam pembelajaran. Misalnya, komputer, televisi, speaker dan sebagainya. Hal ini perlu dilakukan karena proses pembelajaran di laboratorium bahasa banyak menggunakan 727
ISBN :978-602-17187-2-8
media yang saling berhubungan. Kedua, guru menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran yang akan dilakukan di laboratorium bahasa. Dengan perencanaan yang baik diharapkan dapat tercapai tujuan pembelajaran. Ketiga, guru menentukan peserta didik yang akan dijadikan subjek penelitian. Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas IX E. Sebelum melaksanakan penelitian, guru melakukan pembelajaran tentang menganalisis unsur-unsur syair di dalam kelas. Setelah proses pembelajaran, peserta didik diberikan penilaian dengan mengerjakan soal-soal yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Dari hasil penilaian tersebut, diketahui bahwa nilai rata-rata peserta didik kelas IX E adalah 69,52. Hal ini berarti tidak mencapai nilai rata-rata kelas yaitu 75,00. Selain itu, jika dilihat dari persentase kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditentukan oleh sekolah, peserta didik yang tidak tuntas mencapai 53,12% artinya ada 17 orang yang tidak tuntas dan 15 orang yang tuntas. Dari hasil paparan di atas, maka penulis merencanakan untuk melakukan penelitian kepada peserta didik kelas IX E dalam menganalisis unsur-unsur syair melalui pembelajaran di laboratorium bahasa, sehingga mendapatkan perbaikan baik dalam proses pembelajaran maupun dalam hasil belajar peserta didik. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan peserta didik kelas IX E SMP Negeri 2 Sanggau dalam menganalisis unsur-unsur syair melalui pembelajaran di laboratorium bahasa. Dengan menggunakan laboratorium bahasa dalam pembelajaran syair khususnya menganalisis unsur-unsur syair, peserta didik diharapkan dapat meningkatkan pemahamannya dalam menganalisis unsur-unsur syair dengan benar serta mendorong peserta didik untuk lebih tertarik mempelajari syair sebagai warisan budaya bangsa. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi pembelajaran yang menggunakan sarana dan prasarana sekolah yang sudah disediakan. METODE Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam dua siklus. Langkah-langkah yang dilewati dalam setiap siklus adalah permasalahan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian. PTK ini dilakukan dalam dua siklus. Peneliti adalah perancang dan pelaksana perbaikan pembelajaran. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX E SMP Negeri 2 Sanggau Jalan Dewi Sartika No.8, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat tahun pelajaran 2015/2016 yang berjumlah 32 orang terdiri dari 14 orang peserta didik perempuan dan 18 orang peserta didik laki-laki. Penelitian ini dilakukan pada semester ganjil tahun pelajaran 2015/2016. Dalam peneltian ini, guru dibantu oleh rekan sejawat sebagai kolaborator yaitu ibu Utin Emma Dafiana Erta, S.Pd., M.Pd. Beliau adalah guru mata pelajaran matematika SMP Negeri 2 Sanggau. Sumber data dalam penelitian ini adalah 32 orang peserta didik kelas IX E SMP Negeri 2 Sanggau Tahun Pelajaran 2015/2016. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu instrumen proses pembelajaran dan instrumen hasil pembelajaran. Pada instrumen proses pembelajaran digunakan lembar observasi dan angket peserta didik. Lembar observasi digunakan untuk menilai keaktifan dan keseriusan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran. Angket peserta didik berisikan pernyataan atau tanggapan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran. Angket peserta didik diberikan dan diisi oleh peserta didik pada kedua akhir siklus. Instrumen untuk melihat hasil pembelajaran adalah tes. Tes digunakan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar peserta didik dalam menganalisis unsur-unsur syair. Tes ini diberikan kepada peserta didik pada setiap akhir pertemuan. Teknik pengumpulan data pada proses pembelajaran dilakukan dengan pengamatan oleh rekan sejawat dengan menggunakan lembar observasi dan angket yang dijawab oleh peserta didik. Teknik pengumpulan data hasil pembelajaran adalah hasil belajar peserta didik dalam menganalisis unsur-unsur syair yaitu tes menganalisis unsur-unsur syair. Teknik analisis data dilakukan dengan mereduksi data, paparan data, dan penyimpulan hasil analisis. Tahap reduksi data dilakukan dengan cara menyederhanakan data melalui seleksi, pengelompokan, dan pengorganisasian data mentah menjadi sebuah informasi bermakna. Data yang akan direduksi mencakup data hasil pengamatan aktivitas peserta didik dan data tes hasil belajar. Untuk menentukan hasil belajar peserta didik, hasil tes dikoreksi berdasarkan rubrik penskoran yang telah ditetapkan. Paparan data merupakan suatu upaya menampilkan data secara jelas dan mudah dipahami dalam bentuk paparan naratif, tabel, grafik, atau perwujudan lainnya 728
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
yang dapat memberikan gambaran jelas tentang proses dan hasil tindakan yang dilakukan. Dalam penelitian ini, memaparkan tindakan yang dilakukan, data hasil observasi, dan hasil angket yang diperoleh selama proses pembelajaran, serta menyajikan data hasil tes kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal tes ke dalam bentuk tabel. Penyimpulan merupakan pengambilan intisari dari sajian data yang telah terorganisasikan dalam bentuk pernyataan atau kalimat singkat, padat dan bermakna. HASIL PENELITIAN Kualitas Proses Pembelajaran Menganalisis Unsur-Unsur Syair Proses pembelajaran peserta didik yang diamati pada penelitian ini meliputi keaktifan dan keseriusan. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh rekan sejawat, hasil proses pembelajaran peserta didik sebagai berikut. Aspek Keaktifan Pada siklus I peserta didik yang keaktifannya tinggi berjumlah 13 orang dan peserta didik yang keaktifannya rendah berjumlah 19 orang. Peserta didik yang keaktifannya sangat tinggi dan sangat rendah tidak ada. Selanjutnya pada siklus II, peserta didik yang keaktifannya sangat tinggi berjumlah 10 orang, keaktifannya tinggi berjumlah 20 orang, keaktifannya rendah berjumlah 2 orang, dan keaktifan sangat rendah tidak ada. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disampaikan bahwa keaktifan peserta didik pada siklus II mengalami peningkatan dalam mengikuti proses pembelajaran menganalisis unsur-unsur syair di laboratorium bahasa. Aspek Keseriusan Pada siklus I peserta didik yang keseriusannya tinggi berjumlah 16 orang dan peserta didik yang keseriusannya rendah 16 orang. Peserta didik yang keseriusannya sangat tinggi dan sangat rendah tidak ada. Pada siklus II, peserta didik yang keseriusannya sangat tinggi berjumlah 15 orang, keseriusannya tinggi berjumlah 14 orang, keseriusannya rendah berjumlah 3 orang, dan keseriusannya sangat rendah tidak ada. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disampaikan bahwa keseriusan peserta didik pada siklus II mengalami peningkatan dalam mengikuti proses pembelajaran menganalisis unsur-unsur syair di laboratorium bahasa. Selain itu, dari hasil angket yang diisi oleh peserta didik diketahui bahwa 100% peserta didik merasa senang mengikuti pembelajaran menganalisis unsur-unsur syair di laboratorium bahasa, 94% peserta didik menyatakan bahwa selama mengikuti pembelajaran menganalisis unsur-unsur syair di laboratorium bahasa lebih fokus dan menarik, serta 91% peserta didik mempunyai keinginan untuk mempelajari syair lebih dalam. Hasil Belajar Peserta Didik dalam Menganalisis Unsur-Unsur Syair Hasil belajar peserta didik diperoleh dari kemampuannya dalam mengerjakan tes menganalisis unsur-unsur yang ada pada syair. Tes yang telah dikerjakan peserta didik dinilai dengan menggunakan rumus dalam rubrik penilaian yang telah ditentukan. Dalam menganalisis unsur-unsur syair, peserta didik diharapkan dapat menemukan (1) ciri-ciri syair, (2) tema syair, dan (3) pesan syair. Hasil belajar peserta didik dapat dilihat pada uraian berikut ini. Pertama, ketepatan dalam menemukan ciri-ciri syair. Pada siklus I, hasil belajar peserta didik dalam menemukan 4 ciri syair dengan tepat berjumlah 12 orang, menemukan 3 ciri syair dengan tepat berjumlah 16 orang, menemukan 2 ciri syair dengan tepat berjumlah 4 orang, dan tidak ada peserta didik yang menemukan 1 ciri syair. Pada siklus II terjadi peningkatan yang signifikan, karena 32 orang peserta didik telah dapat menemukan 4 ciri syair dengan tepat. Kedua, ketepatan dalam menemukan tema syair. Pada siklus I, hasil belajar peserta didik dalam menemukan tema syair dengan tepat berjumlah 23 orang, 7 orang kurang tepat dan 2 orang tidak tepat. Pada siklus II terjadi peningkatan yaitu 29 orang peserta didik telah dapat menemukan tema syair dengan tepat, 2 orang peserta didik yang kurang tepat dan 1 orang peserta didik yang tidak tepat. Ketiga, ketepatan dalam menemukan pesan syair. Pada siklus I, hasil belajar peserta didik dalam menemukan pesan syair dengan tepat berjumlah 6 orang, 16 orang kurang tepat dan 10 orang tidak tepat. Pada siklus II, terjadi peningkatan yang signifikan yaitu 29 orang peserta didik dapat menemukan pesan syair dengan tepat, 3 orang peserta didik yang kurang tepat dan tidak ada lagi peserta didik yang menemukan pesan syair tidak tepat.
729
ISBN :978-602-17187-2-8
PEMBAHASAN Kualitas Proses Pembelajaran Menganalisis Unsur-Unsur Syair Dalam pembelajaran, keaktifan dan keseriusan peserta didik sangat mempengaruhi hasil belajar yang akan dicapai. Keaktifan peserta didik tidak hanya dilihat dari fisiknya saja, namun juga keaktifan dalam hal nonfisiknya dalam mengikuti proses pembelajaran sehingga mampu menangkap dan memahami materi yang disampaikan. Selain keaktifan peserta didik, keseriusan dalam mengikuti proses pembelajaran dapat menimbulkan dorongan untuk mengetahui materi pembelajaran lebih dalam. Keseriusan merupakan konsentrasi penuh yang dilakukan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran. Peserta didik yang memiliki keseriusan yang tinggi tentu akan memperoleh pemahaman yang lebih cepat dan tepat. Keseriusan bukanlah suatu kondisi yang tegang atau kaku dan membuat peserta didik merasa tidak bebas dalam berpikir maupun bertindak. Keseriusan perlu diimbangi dengan suasana santai yang membuat situasi pembelajaran lebih nyaman dan menarik. Pembelajaran yang dilakukan di laboratorium bahasa diharapkan dapat mendorong peserta didik untuk lebih aktif dan serius dalam memahami materi pembelajaran. Penggunaan beragam media di laboratorium bahasa tidak hanya membantu pendidik dalam proses pembelajaran, tetapi juga dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Asyhar (2011:94) yang menyatakan bahwa ketersediaan akan aneka ragam media dan teknologi pembelajaran bermakna bukan hanya bagi pendidik, tetapi juga bagi peserta didik, karena media dan teknologi pembelajaran dapat membantu peserta didik secara luwes untuk mencapai tujuan belajarnya. Dari kedua aspek, yaitu keaktifan dan keseriusan yang diamati ternyata mengalami peningkatan. Dalam siklus I keaktifan peserta didik hanya mencapai 41% dan keseriusan 50%, sedangkan pada siklus II keaktifan peserta didik mencapai 94% dan keseriusan 91%. Peningkatan keaktifan dan keseriusan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran disebabkan karena pembelajaran dilakukan di laboratorium bahasa. Di dalam laboratorium bahasa, peserta didik diajak untuk menyaksikan pembelajaran syair melalui media audio visual yang membuat peserta didik terdorong untuk ikut secara aktif dan serius dalam mengikuti proses pembelajaran. Selain itu, peserta didik akan diberikan tes yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Peserta didik tentu mempunyai keinginan untuk mendapatkan hasil tes yang terbaik. Keaktifan dan keseriusan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran tentu akan mempengaruhi hasil pembelajaran yang dicapai. Kualitas Hasil Pembelajaran Menganalisis Unsur-Unsur Syair Pertama, peningkatan kualitas hasil pembelajaran peserta didik dalam menemukan ciriciri syair dengan tepat. Ciri-ciri syair adalah (1) tiap bait terdiri atas empat baris, (2) pola rima akhir setiap bait syair adalah a a a a, (3) jumlah suku kata setiap barisnya antara delapan sampai dua belas suku kata, (4) semua baris merupakan sampiran, (5) tiap bait mengandung arti. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa 32 orang peserta didik telah dapat menemukan ciri-ciri syair dengan tepat. Keberhasilan yang dicapai ini disebabkan karena dalam pembelajaran syair menggunakan laboratorium bahasa yang didalamnya terdapat multimedia yang mampu merangsang semua pancaindra dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Asyhar (2011:76) yang menyatakan bahwa keuntungan penggunaan multimedia dalam pembelajaran diantaranya dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami suatu konsep abstrak dengan lebih mudah, selain itu juga penggunaan media komputer dalam bentuk multimedia dapat meberikan kesan yang positif kepada guru karena dapat membantu guru menjelaskan isi pelajaran kepada pelajar, menghemat waktu dan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Kedua, peningkatan hasil pembelajaran peserta didik dalam menemukan tema syair. Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Tema merupakan landasan utama dalam mengekspresikan gagasan atau pikiran melalui kata-kata (Muniarsih dan Sunardi, 2008:70). Berdasarkan hasil penelitian ini, terjadi peningkatan kemampuan peserta didik dalam menemukan tema syair. Data pada siklus I menyatakan 72% peserta didik telah dapat menemukan tema syair dengan tepat, sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 91% peserta didik telah dapat menemukan tema syair dengan tepat. 730
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Ketiga, peningkatan hasil pembelajaran peserta didik dalam menemukan pesan syair. Dalam setiap baris syair mengandung makna yang akan disampaikan oleh penyair. Pesan atau amanat adalah tujuan yang hendak dimaksud penyair dalam menciptakan syairnya. Pesan penyair dapat ditelaah setelah memahami tema, nada, dan suasana syair dengan membaca keseluruhan syair. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun dan berada di balik tema yang diungkapkan (Suwandi dan Sutarmo, 2008: 80-81). Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada siklus I, 19% peserta didik telah tepat menemukan pesan syair, sedangkan pada siklus II terjadi peningkatan menjadi 91% peserta didik yang telah tepat menemukan pesan syair dan tidak ada lagi peserta didik yang tidak tepat dalam menemukan pesan syair. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan kualitas proses pembelajaran menganalisis unsur-unsur syair di laboratorium bahasa. Aspek yang diamati dalam kualitas proses adalah keaktifan dan keseriusan. Pembelajaran yang dilakukan di laboratorium bahasa dapat meningkatkan keaktifan peserta didik sebanyak 94% pada siklus II. Aspek keseriusan peserta didik pada siklus II juga mengalami peningkatan menjadi 91%. Peningkatan kualitas hasil pembelajaran menganalisis unsur-unsur syair di laboratorium bahasa dapat dilihat dari peningkatan hasil pembelajaran peserta didik dalam menganalisis unsur-unsur syair sebagai berikut. Pertama, peserta didik yang dapat menemukan ciri-ciri syair dengan tepat mencapai 100%. Kedua, peserta didik yang dapat menemukan tema syair dengan tepat 91%, kurang tepat 6%, dan tidak tepat 3%. Ketiga, peserta didik yang dapat menemukan pesan syair dengan tepat mencapai 91%, kurang tepat 9%, dan tidak tepat tidak ada lagi. Saran Guru hendaknya dapat memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada di sekolah dalam meningkatkan pembelajaran. Penggunaan laboratorium bahasa merupakan satu alternatif yang dapat digunakan oleh guru dalam meningkatkan proses pembelajaran peserta didik yang lebih aktif dan menarik. Selain itu, diharapkan dengan pembelajaran menganalisis unsur-unsur syair di laboratorium bahasa dapat mendorong guru untuk lebih meningkatkan kemampuan IT dalam pembelajaran. Selanjutnya, bagi peserta didik diharapkan dapat meningkatkan apresiasi terhadap syair yang perlu dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa. DAFTAR RUJUKAN Asyhar, H.R. 2011. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada. Anindyarini, A., Yuwono, & Suhartanto. 2008. Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas IX. Jakarta: Depdiknas. Baksin, A.. 2008. Aplikasi Praktis Pengajaran Sastra. Bandung: Pribumi Mekar Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Murniasih, T.R. & Sunardi. 2008. Pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas IX. Jakarta: Depdiknas. Suwandi, S. & Sutarmo. 2008. Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas IX. Jakarta: Depdiknas.
731
ISBN :978-602-17187-2-8
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS CERPEN SISWA KELAS IXE SMP NEGERI 1 SANGGAU DENGAN METODE EXPLICIT INTRUCTION TAHUN PEMBELAJARAN 2015/2016 Sri Haryanti SMP Negeri 1 Sanggau, Jalan Ki Hadjar Dewantara, No.4 Sanggau
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan proses pembelajaran dan hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran menulis cerpen menggunakan metode Explicit Intruction. Penelitian yang dilakukan adalah Penelitian Tindakan Kelas dalam dua siklus. Tahap-tahap yang dilewati dalam setiap siklus adalah perencanaan, pelaksanaan tindakan, pemantauan dan refleksi. Subjek penelitian adalah peserta didik adalh peserta didik kelas IXE SMP Negeri 1 Sanggau Tahun Pelajaran 2015/2016. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik dalam menulis cerpen dengan menggunakan metode Explicit Intruction. Kata kunci: Menulis Cerpen, Metode Explicit Intruction, Penelitian Tindakan Kelas.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi bahwa ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia meliputi empat aspek (aspek mendengarkan/menyimak, aspek berbicara, membaca dan menulis). Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang mutlak harus dikuasai oleh peserta didik sekolah menengah pertama (SMP). Menulis adalah sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya (Dalman, 2009:8). Seperti halnya kemampuan berbicara, kemampuan menulis mengandalkan kemampuan berbahasa yang bersifat aktif dan produktif. Menulis membutuhkan proses berfikir untuk menuangkan ide-ide atau gagasan. Dalam membuat tulisan yang bersifat fiksi, tentunya penulis mengetahui terlebih dahulu teori atau cara membuat karya fiksi. Jenis fiksi ini pun terbagi menjadi beberapa macam, novel dan cerita pendek (cerpen) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi (Nurgiyantoro, 2007:9). Keterampilan menulis mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan para peserta didik. Dengan menulis peserta didik dapat menuangkan ide dan perasaannya untuk dibaca oleh orang lain. Menurut Tarigan (2008:22), ―menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambanglambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipakai oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran.‖ Kegiatan menulis erat kaitannya dengan kegiatan menyimak. ―Menyimak bermakna mendengarkan dengan penuh pemahaman dan perhatian serta apresiasi. ―(Russel dan Russell, 1959; Anderson, 1972: 69). Menulis cerpen bertolak dari peristiwa yang pernah dialami merupakan salah satu Kompetensi Dasar (KD) dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas IX semester ganjil. KD ini merupakan satu bagian dari Standar Kompetensi Dasar (SK) mengungkapkan kembali pikiran, perasaan dan pengalaman dalam cerita pendek. Cerpen dibangun dari dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Cerpen juga dituntut mempunyai jiwa yang membuat cerpen itu mempunyai daya pikat. Salah satu teknis menulis cerpen adalah merekayasa rangkaian cerita menjadi unik, baru, dan tentu saja tidak ada duanya. ―Esensi cerita pendek yang baik bukan soal pendek panjangnya, akan tetapi bagaimana dalam dan lewat suatu pengisahan peristiwa kecil yang kompak dapat bercahaya suatu pijar pamor kemanusiawian yang menyentuh, yang mengharukan, yang menghimbau pembaca mencicipi setetes madu manis atau racun pahit kemanusiawian‖. (Mangunwijaya, 1995:7 dalam kumpulan cerpen pilihan KOMPAS 1995). Menulis cerpen tidak bisa lepas dari pengaruh sosial budaya karya tersebut. Tema yang diangkat dalam cerpen bisa menyangkut segala persoalan dalam kehidupan atau peristiwa yang dialami seperti masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan dan sebagainya. Kiat menulis cerpen menurut Tahar, 2008:23 sebagai berikut: 1) Paragraf pertama, paragraf pertama adalah etalase sebuah cerpen mestinya paragraf pertama langsung masuk ke 732
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
pokok persoalan. 2) Mempertimbangkan pembaca, pengarang harus senantiasa mempertimbangkan mutu produknya untuk dipasarkan. 3) Menggali suasana, melukiskan suasana suatu latar kadang-kadang memerlukan detail yang jelimet. 4) Kalimat efektif, kalimatkalimat dalam sebuah cerpen adalah kalimat berkategori kalimat efektif. Kalimat efektif adalah kalimat yang berdaya guna yang langsung memberikan kesan kepada pembaca. Fungsi kalimat tidak hanya memberitahukan sesuatu atau menanyakan sesuatu, tetapi mencakup semua aspek ekspresi kejiwaan manusia. Hanya kalimatlah yang mampu mengekspresikan kejiwaan manusia dan mampu mempengaruhi kejiwaan manusia lainnya (Razak, dalam Tahar 2008:23). 5) Cerpen perlu ditambah bumbu sebagai penghidup suasana. 6) Menggerakkan tokoh (karakter), di dalam sebuah cerpen dituntut adanya jiwa (kehidupan) yang dimanifestasikan dalam karakter tokoh. (7) Fokus, persoalan cerita terfokus ke dalam satu persoalan pokok atau masalah pokok. 8) Cerpen harus diakhiri ketika persoalan sudah dianggap selesai. 9) Tahap penyuntingan, berarti proses membenahi, memeriksa kesalahan ejaan, kata, kalimat, dan paragraf. 10) Pemberian judul yang menarik karena judul merupakan daya tarik bagi pembaca. Berdasarkan pengalaman sebagai guru yang mengajar di kelas IX E menunjukkan bahwa di kelas IXE SMP Negeri 1 Sanggau peserta didik kurang aktif dalam pembelajaran menulis cerpen. Peserta didik belum paham betul cara menulis cerpen. Peserta didik kurang respon terhadap pembelajaran dan lebih mementingkan menyelesaikan tugas dengan cepat daripada mementingkan faktor ketepatan. Peserta didik belum mampu menuangkan ide-idenya, perasaannya ke dalam bentuk tulisan cerpen, dan masih merasa kesulitan dalam menentukan tema, penokohan, latar, dan alur bahasa yang menarik. Metode yang digunakan belum efektif dan tidak tepat guna sehingga peserta didik tidak dapat mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka. Hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Oleh karena itu diperlukan metode pengajaran yang dapat mengatasi kesulitan-kesulitan peserta didik sebagai upaya tindak lanjut pengajaran keterampilan menulis yang dilaksanakan selama ini. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan peserta didik, faktor penyebab kesulitan tersebut antara lain adalah kesulitan memilih tema yang tepat serta keterbatasan peserta didik dalam menuangkan perasaannya dengan pilihan kata yang tepat, menentukan penokohan, latar dan alur. Penerapan metode yang dilakukan guru sangat menetukan keberhasilan peserta didik. Upaya yang dapat dilkukan antara lain, menyiapkan skenario pembelajaran yang menarik minat peserta didik dengan pemilihan tema yang sederhana, sedang dan akhirnya tema-tema yang update (kekinian). Hendaklah tema-tema yang dipilih tersebut dekat dengan dunia anak sesuai dengan karakter kultur sosial budaya masyarakat lingkungan peserta didik. Dengan demikian menurut hemat penulis, pemilihan metode sangat menentukan keberhasilan peserta didik. Penentuan metode yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh pendekatan dan strategi yang dipilih. Pendekatan dan strategi yang akan digunakan dalam pembelajaran harus mempertimbangkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, materi ajar yang diberikan, kondisi peserta didik, serta beberapa pertimbangan lainnya. Berdasarkan pendapat tersebut, penulis memperkenalkan suatu metode yang diberi nama Explicit Intruction ( Pembelajaran Langsung ). Menulis cerpen dengan metode Explisit Intruction diharapkan dapat mengatasi masalah peserta didik dalam menulis cerpen bertolak dari peristiwa yang pernah dialami. Pembelajaran langsung khusus dirancang untuk mengembangkan belajar peserta didik tentang pengetahuan prosedur dan pengetahuan deklaratif yang dapat diajarkan dengan pola selangkah demi selangkah. Sebagai landasan penerapan metode Explicit Intruction dalam pembelajaran di kelas, maka penulis menyusun sintaks metode Explicit Intruction yang dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Sintaks Metode Explicit Intruction Fase Peran Guru Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan Guru memnjelaskan tujuan pembelajaran, informasi latar peserta didik belakang pelajaran, manfaat pembelajaran, dan mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pembelajaran. Mendemonstrasikan pengetahuan dan Guru mendemonstrasikan sebuah cerita yang menyentuh keterampilan perasaan sehingga dapat membangkitkan emosional peserta didik. Membimbing pelatihan Guru membimbing dan mendorong peserta didik untuk
733
ISBN :978-602-17187-2-8
Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
Memberi kesempatan untuk latihan lanjutan Melakukan penyuntingan hasil tulisan
menulis langsung apa yang dirasakannya pada saat ilustrasi disampaikan. Guru mengecek pemahaman peserta didik dalam menulis cerpen dan membantu peserta didik untuk mengetahui unsur-unsur yang membangun cerpen (intrinsik dan ekstrinsik) sehingga tulisan menjadi sebuah cerpen. Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk latihan menulis kembali cerpen Guru membimbing peserta didik dalam penyuntingan hasil tulisannya.
Sumber: Suyatno, 2009 Adapun tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah untuk meningkatkan proses pembelajaran dan hasil pembelajaran peserta didik kelas IXE SMP Negeri 1 Sanggau dalam menulis cerpen dengan menggunakan metode Explicit Intruction.` Tindakan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan dalam penelitian ini untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran peserta didik dalam menulis cerpen adalah metode Explicit Intruction. Metode Explicit Intruction dipilih dengan pertimbangan bahwa pada masa sekarang peserta didik jarang melakukan kegiatan menulis. Dengan menulis, peserta didik mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat untuk motivasi diri. Pertimbangan lain mengenai metode Explicit Intruction yang digunakan dalam penelitian ini adalah karakter tekun dan berani. Metode Explicit Intruction diharapkan dapat menumbuhkan kembali sikap tekun dan berani. Penyuntingan tulisan merupakan bagian akhir dari metode Explicit Intruction yang merupakan bagian yang memerlukan bimbingan dari guru agar cerpen yang ditulis peserta didik menjadi utuh sesuai dengan unsur-unsur yang membangun cerpen. Dengan bimbingan guru, cerpen yang ditulis peserta didik diharapkan menjadi menarik dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Sebelum dilakukan penelitian, para peserta didik melakukan tes awal dengan menulis cerpen berdasarkan pengalaman sendiri tanpa adanya bimbingan langsung. Tujuan tes ini adalah untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam menulis cerpen. Berdasarkan data-data tes awal diketahui bahwa peserta didik belum mampu mengidentifikasi tema, penokohan, latar dan alur untuk dikembangkan menjadi sebuah cerpen. Dalam mengembangkan alur peserta didik belum menggunakan bahasa yang menarik. Dari 32 orang peserta didik di kelas IXE, hanya sepuluh (10) orang saja yang sudah mampu mengidentifikasi tema, latar, penokohan dan alur yang baik dan dua puluh dua (22) orang lainnya masih kurang baik dan tidak baik. Begitu juga peserta didik yang sudah mampu mengembangkan tema, latar, penokohan, alur dengan baik dalam menulis cerpen ada 7 orang peserta didik dan yang 15 orang masih kurang baik, dan yang 10 orang masih tidak baik dalam mengembangkan tema, latar, penokohan, alur dalam menulis cerpen. Oleh karena itu diperlukan metode pengajaran yang dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi peserta didik sebagai upaya tindak lanjut pengajaran keterampilan menulis yang dilaksanakan selama ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan proses dan hasil pembelajaran peserta didik dalam pembelajaran menulis cerpen dengan menggunakan metode Explicit Intruction pada peserta didik kelas IXE SMP Negeri 1 Sanggau tahun pelajaran 2015/2016. Diharapkan dengan menggunakan metode ini terjadi perbaikan proses pembelajaran dan hasil belajar di kelas tersebut. METODE Desain penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas dengan tahapan penelitian model Kemmis dan MC Taggart yang terdiri atas beberapa pertemuan melalui tahap perencanaan tindakan (Planning), pelaksanaan tindakan (Action), dan observasi (Observation), dan refleksi (Reflection) (Kusumah dan Dwitagama, 2010:20). Jenis penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam dua siklus. Langkah-langkah yang dilewati dalam setiap siklus adalah permasalahan (problem), perencanaan (planning), pelaksanaan (acting), pemantauan (observing atau monitoring), dan penilaian (reflecting atau evaluating). Dalam penelitian ini, siklus Penelitian Tindakan Kelas yang dilakukan dihentikan setelah siklus kedua selesai dilaksanakan karena hasil yang dicapai telah tercapai. 734
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas adalah (1) menyusun sitaks metode Explicit Intruction, (2) menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), (3) menentukan ilustrasi cerita dan gambar yang dapat membangkitkan emosional peserta didik, dan (4) menyusun perangkat evaluasi untuk mengetahui keterampilan peserta didik dalam menulis cerpen. Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 1 Sanggau yang beralamat di Jalan Ki Hadjar Dewantara No 4, Ilir Kota, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, pada kelas IXE semester ganjil tahun pelajaran 2015/2016. Dengan peserta didik terdiri dari 14 orang laki-laki, 18 orang perempuan. Guru bertindak sebagai pengajar, pengamat, penganalisis data, sekaligus melaporkan hasil penelitian. Sumber data dalam penelitian ini adalah 32 orang peserta didik kelas IX E SMP Negeri 1 Sanggau tahun pelajaran 2015/2016 yang terdiri atas 32 orang peserta didik yaitu 14 orang laki-laki dan 18 orang perempuan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu catatan observasi selama proses pembelajaran, angket dan tes. Angket peserta didik berisi pernyataanpernyataan yang diisi oleh peserta didik dalam rangka menjaring data tanggapan peserta didik terhadap kegiatan pembelajaran. Angket peserta didik diberikan pada akhir siklus kedua. Tes digunakan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar peserta didik dalam menulis cerpen bertolak dari peristiwa yang dialami. Tes diberikan pada setiap akhir pertemuan. Teknik pengumpulan data hasil belajar menulis cerpen bertolak dari peristiwa yang dialami adalah tes menulis cerpen. Teknik pengumpulan data proses belajar (aktivitas peserta didik) dilakukan dengan pengamatan langsung oleh guru saat proses pembelajaran di kelas. Analisis data dilakukan setiap kali pemberian tindakan berakhir. Analisis data proses dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif. Model ini terdiri atas 3 (tiga) komponen yang dilakukan secara berurutan yaitu kegiatan reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan. Analisis data hasil belajar yang berupa skor dilakukan dengan statistik sederhana meliputi rata-rata kelas dan persentase keberhasilan yang diperoleh peserta didik menggambarkan peningkatan hasil pembelajaran dengan memperhatikan rubrik penilaian penulisan cerpen yang meliputi tiga aspek yaitu (1) mengidentifikasi tema, penokohan, latar, alur untuk pedoman menyusun cerpen dengan memerhatikan keaslian ide dan kreativitas, (2) mengembangkan tema, penokohan, latar, alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik, (3) menulis cerpen dengan memerhatikan keruntutan cerita. Indikator keberhasilan tindakan terhadap proses dan kemampuan menulis cerpen peserta didik kelas IXE SMP Negeri 1 Sanggau adalah apabila lebih dari 60% peserta didik dapat menulis cerpen dengan kriteria tiga aspek yaitu (1) dapat mengidentifikasi tema, penokohan, latar, dan alur, (2) dapat mengembangkan tema, penokohan, latar, dan alur, (3) dapat menulis cerpen dengan memrhatikan keruntutan cerita. HASIL Peningkatan Kualitas Proses Pembelajaran Peserta Didik dalam Menulis Cerpen Melalui Metode Explicit Intruction. Pada siklus I, perencanaan yang dipersiapkan adalah menyusun ilustrasi yang dapat membangkitkan emosional peserta didik berkenaan dengan peristiwa yang pernah dialami oleh peserta didik. Dalam penyusunan ilustrasi, penulis mengangkat tema yang berkenaan dengan cinta kasih kepada gurunya. Pada siklus I ini, peserta didik meresapi apa yang telah diilustrasikan kepada mereka. Setelah peserta didik mendengarkan ilustrasi tersebut, peserta didik dibimbing untuk mengaitkan ilustrasi dengan peristiwa nyata yang pernah dialami oleh peserta didik di saat seorang gurunya ulang tahun. Jika peserta didik telah dapat mengaitkan ilustrasi dengan peristiwa nyata yang dialaminya, peserta didik menulis langsung apa yang dirasakan dan dialaminya dalam bentuk cerpen. Pada sikius II, penulis menggunakan media gambar untuk lebih meningkatkan kegiatan atau proses pembelajaran agar peserta didik menjadi lebih berminat, lebih memerhatikan dan lebih aktif dari siklus I. Dengan bantuan media gambar ini dapat meningkatkan proses pembelajaran serta hasil belajar menulis cerpen yang bertolak dari peristiwa yang pernah dialami peserta didik. Peningkatan hasil belajar menulis cerpen peserta didik kelas IXE SMP Negeri 1 Sanggau pada tahap prasiklus, siklus I dan II dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek mengidentifikasi tema, penokohan, latar, dan alur untuk pedoman menyusun cerpen dengan memerhatikan keaslian ide dan kreativitas, mengembangkan tema, 735
ISBN :978-602-17187-2-8
penokohan, latar, dan alur dengan memrhatikan gaya bahasa yang menarik, penulisan cerpen dengan memerhatikan keruntutan cerita. Hasil belajar pada tindakan di setiap siklus ini diperoleh dari penyekoran yang didasarkan pada kemampuan peserta didik dalam menulis cerpen. Kualitas proses belajar yang diamati oleh penulis selama proses pembelajaran dalam penelitian ini meliputi keaktifan, kreativitas, keseriusan peserta didik selama mengikuti pembelajaran. Peningkatan aktifitas belajar peserta didik dapat dilihat dalam uraian berikut: Pertama, aspek keaktifan. Kriteria aspek keaktifan meliputi sering bertanya, memberi pendapat, dan aktif dalam kegiatan belajar.Pada akhir siklus I peserta didik yang aktif mencapai 31,25% (10 orang peserta didik) dan pada akhir siklus II mencapai 71,9% (23 orang peserta didik). Pada dasarnya peserta didik cenderung bercanda dan melakukan aktivitas di luar konteks pembelajaran. Kedua, aspek kreativitas. Kriteria aspek kreativitas adalah peserta didik mengikuti instruksi kerja secara mandiri. Pada akhir siklus I peserta didik yang memiliki kreativitas tinggi adalah 15,6% (5 peserta didik) dan pada akhir siklus II peserta didik yang memiliki kreativitas tinggi adalah 75% (24 orang peserta didik). Ketiga, aspek keseriusan. Kriteria aspek ini adalah mengikuti kegiatan pembelajaran dengan sungguh-sungguh. Pada akhir siklus I peserta didik yang mengikuti pembelajaran dengan sungguh-sungguh adalah sebanyak 18,8% (6 orang peserta didik) dan pada akhir siklus II mencapai 84,5%) 27 orang peserta didik). Minat dan keaktifan peserta didik dalam pembelajaran ini sangat berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pembelajaran. Dari angket yang diisi oleh peserta didik diketahui bahwa 81% peserta didik merasa tertarik dengan pembelajaran menulis cerpen dengan metode Explicit Intruction, merasa senang dengan pembelajaran menulis cerpen yang bertolak dari peristiwa yang dialami dengan metode Explicit Intruction adalah 87,5%. Peningkatan Kemampuan Peserta Didik dalam Menulis Cerpen dengan Metode Explicit Intruction Peningkatan hasil belajar menulis cerpen bertolak dari peristiwa yang dialami dipusatkan pada tiga aspek yaitu mengidentifikasi tema, penokohan, latar, alur untuk pedoman menyusun cerpen dengan memerhatikan keaslian ide dan kreativitas, mengembangkan tema, penokohan, latar, dan alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik, menulis cerpen dengan memerhatikan keruntutan cerita. Untuk mendapatkan hasil kemampuan menulis cerpen dilakukan tes menulis cerpen yang diberikan kepada peserta didik. Penskoran hasil tes dilakukan dengan menggunakan rumus yang telah ditentukan dalam rubrik penilaian. Pencapaian keberhasilan hasil belajar dapat dilihat dalam pemaparan data siklus I dan siklus II. Peningkatan kemampuan peserta didik dalam menulis cerpen untuk setiap aspeknya dapat dilihat dari uraian berikut. Pertama, ketepatan dalam mengidentifikasi tema, penokohan, latar, alur untuk pedoman menyusun cerpen dengan memerhatikan keaslian ide dan kreativitas dapat dilihat pada tabel 2. Tabel.2. Mengidentifikasi tema, penokohan, latar, dan alur untuk pedoman menyusun cerpen dengan memerhatikan keaslian ide dan kreativitas
No Skor Perolehan
Kriteria
Siklus I
Siklus II
1 2 3
Baik Kurang baik Tidak baik
32 _
32 _
3 2 1
Dari tabel 2 diketahui bahwa dalam siklus I dan siklus II seluruh peserta didik yaitu sejumlah 32 orang telah dapat mengidentifikasi tema, penokohan, latar, dan alur untuk pedoman menyusun cerpen dengan memerhatikan keaslian ide dan kreativitas. Kedua, mengembangkan tema, penokohan, latar, alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik.
736
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Tabel.3
Mengembangkan tema, penokohan, latar, alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik
No 1 2 3
Skor Perolehan Kriteria Siklus I Siklus II 3 Baik 15 30 2 Kurang baik 10 2 1 Tidak baik 7 _ Dari tabel 3 diketahui bahwa dalam siklus I sebanyak 15 orang peserta didik sudah mampu mengembangkan tema, penokohan, latar, alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik dengan baik. Namun masih ada 7 orang yang kurang baik dalam mengembangkan tema, penokohan, latar, alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik. Dan ada 10 orang memperoleh kriteria tidak baik dalam mengembangkan tema, penokohan, latar, alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik. Peningkatan hasil yang sehubungan dengan mengembangkan tema, penokohan, latar dan alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik terjadi pada siklus II yaitu sebanyak 30 orang peserta didik yang memperoleh skor baik dan kurang baik sebanyak 2 orang dan tidak ada lagi yang tidak baik dalam mengembangkan tema, penokohan, latar, dan alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik. Ketiga, menulis cerpen dengan memperhatikan keruntutan cerita atau alur yang tepat. Tabel .4 Menulis cerpen dengan memerhatikan keruntutan cerita atau alur.
No 1 2 3
Skor Perolehan 3 2 1
Kriteria Runtut Kurang runtut Tidak runtut
Siklus I 20 8 4
Siklus II 28 3 1
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada siklus I peserta didik yang telah dapat menulis cerpen dengan runtut atau alur yang tepat adalah 20 orang peserta didik dan yang menulis cerpen dengan alur kurang runtut masih ada 8 orang peserta didik. Peserta didik yang dalam menulis cerpen masih tidak runtut cerita atau alurnya ada 4 orang peserta didik. Terjadi peningkatan hasil belajar menulis cerpen yang bertolak dari peristiwa yang dialami yaitu pada siklus II peserta didik yang dapat menulis dengan runtut ada 28 orang, yang kurang runtut 3 orang peserta didik, dan masih ada yang menulis cerpen dengan alur yang tidak runtut yaitu 1 orang peserta didik. PEMBAHASAN Proses Pembelajaran Menulis Cerpen Pertama, aspek keaktifan. Menurut Triandita (1984) hal yang paling mendasar yang dituntut dalam proses pembelajaran adalah keaktifan siswa. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun dengan siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan kondusif, dimana masing-masing siswa dapat melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari siswa akan mengakibatkan pula terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada peningkatan prestasi. Dalam penelitian ini siklus I dan siklus II telah tampak adanya peningkatan keaktifan peserta didik. Dengan media gambar peserta didik mampu mengembangkan tema, penokohan, latar dan alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik. Kedua, aspek kreativitas. Kreativitas belajar adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada (Supriyadi dalam Yeni Rachmawati dan Euis Kurniati 2005:15). Dalam penelitian siklus II sudah menunjukkan adanya peningkatan kreativitas peserta didik. Ketiga, aspek keseriusan. Aspek keseriusan sangat diperlukan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik. Keseriusan akan mendukung peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Dalam siklus I keseriusan peserta didk baru mencapai 18,8% dan dalam siklus II ada peningkatan menjadi 84,5%. Ini berarti ada keseriusan dari peserta didik dalam proses pembelajaran menulis cerpen. Peningkatan kemampuan peserta didik dalam menulis cerpen tampak setelah diadakan tindakan pada setiap siklus. 737
ISBN :978-602-17187-2-8
Kemampuan mengidentifikasi tema, penokohan, latar, dan alur sebagai pedoman menyusun cerpen dengan memerhatikan keaslian ide dan kreativitas. Aspek pertama dari peningkatan hasil pembelajaran menulis cerpen adalah mengidentifikasi tema, penokohan, latar, dan alur. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada siklus I dan siklus II seluruh peserta didik (32 Orang) telah mampu mengidentifikasi tema, penokohan, latar, dan alur sebagai pedoman menyusun cerpen dengan memerhatikan keaslian ide dan kreativitas. Keberhasilan ini disebabkan karena adanya keaktifan dan keseriusan peserta didik. Aspek kedua, yaitu mengembangkan tema, penokohan, latar, dan alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik. Kualitas hasil pembelajaran juga menunjukkan adanya peningkatan di siklus II. Dari data siklus I dan siklus II peserta didik telah dapat mengembangkan tema, penokohan, latar dan alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik. Keberhasilan ini juga disebabkan adanya kreativitas dan keseriusan peserta didik dalam menulis cerpen. Menurut Imam Musbikin (2006:6) kreativitas adalah kemampuan memulai ide, melihat hubungan yang baru, atau tak diduga sebelumnya, kemampuan memformulasikan konsep yang tak sekedar menghafal, menciptakan jawaban baru untuk soal-soal yang ada, dan mendapatkan pertanyaan baru yang perlu dijawab. Aspek ketiga, yaitu menulis cerpen dengan memerhatikan keruntutan cerita. Berdasarkan hasil peneitian, telah terjadi peningkatan kemampuan peserta didik dalm menulis cerpen dengan memerhatikan keruntutan cerita. Pada siklus I peserta didik yang dapat menulis cerpen dengan memerhatikan keruntutan cerita dengan runtut sebanyak 62,5% dan meningkat pada siklus II menacapai 87,5%, kurang runtut dari 25% menajadi 9,4%, tidak runtut dari 12,5% menjadi 3,2%. Dengan membandingkan sebelum hingga akhir penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa metode Explicit Intruction dapat meningkatkan proses pembelajaran dan kemampuan peserta didik dalam menulis cerpen bertolak dari peristiwa yang pernah dialami. Pernyataan tersebut didasari kenyataan di lapangan bahwa sintaks metode Explicit Intruction yang merupakan pedoman penerapan metode mampu meningkatkan keterampilan peserta didik dalam menulis cerpen bertolak dari peristiwa yang telah dialami oleh peserta didik baik dari segi proses pembelajaran maupun hasil skor peserta didik setelah menulis cerpen. Metode Explicit Intruction dirasakan sangat relevan pada saat sekarang karena mendukung program pemerintah dalam menumbuhkan dan meningkatkan karakter kebangsaan terutama karakter tekun dan bertanggungjawab. Dengan demikian, metode Explicit Intruction mampu menjawab tuntutan kurilkulum baik pada saat sekarang maupun pada saat yang akan datang. Metode Explicit Intruction baik digunakan karena (1) pembelajaran lebih menyenangkan bagi peserta didik dan guru, (2) peserta didik lebih aktif dan kreatif, (3) emosional peserta didik lebih tergali, (4) mengurangi hal-hal yang bersifat verbalistik dan abstrak, (5) menimbulkan respon positif dan peserta didik yang lamban atau kurang cakap, dan (6) guru lebih dimudahkan dengan pemilihan bahan ajar seperti gambar dan ilustrasi yang dekat dengan kehidupan peserta didik. Walaupun metode Explicit Intruction baik digunakan, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan. Kelemahan tersebut adalah (1) tidak semua peserta didik memiliki kesiapan mental untuk mengungkapkan ide yang sesuai dengan ilustrasi yang diberikan guru, (2) tidak semua guru bersedia mengenali rninat dan emosional peserta didik, dan (3) tidak ada interaksi antar peserta didik karena peserta didik disibukkan untuk menulis cerpen. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada kualitas proses dan kualitas hasil pembelajaran dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kualitas proses dan kualitas hasil pembelajaran menulis cerpen dengan menggunakan metode Explicit Intruction. Penggunaan metode Explicit Intruction dapat meningkatkan keaktifan, kreativitas, dan keseriusan peserta didik dalam menulis cerpen. Keaktifan peserta didik pada siklus I 31,3% dan pada siklus II mencapai 71,9%. Kreativitas peserta didik dari 15,6% dan pada siklus II mencapai 75%. Keseriusan peserta didik dari 18,8% menjadi 84,5% pada siklus II. Peningkatan kualitas hasil pembelajarn menulis cerpen dapat diketahui dengan melihat peningkatan kemampuan peserta didik dalam menulis cerpen yang bertolak dari peristiwa yang 738
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
dialami yang meliputi tiga aspek. (1) Pada siklus I dan siklus II peserta didik yang dapat mengidentifikasikan tema, penokohan, latar, dan alur sebagai pedoman menyusun cerpen dengan memerhatikan keaslian ide dan kreativitas sebanyak 100%. (2) Peserta didik yang telah dapat mengembangkan tema, penokohan, latar, dan alur dalam sebuah cerpen dengan memerhatikan gaya bahasa yang menarik dengan baik sebanyak 46,9% pada siklus I dan mencapai 93,,8% pada siklus II. Dan peserta didik yang dapat mengembangkan tema, penokohan, latar, dan alur dengan kurang baik di siklus I sebanyak 31,3% dan pada siklus II tinggal 6,3% serta yang tidak baik dalam mengembangkan tema, penokohan, latar, alur pada siklus I sebanyak 21,9%. (3) Aspek ketiga yaitu kemampuan menulis cerpen dengan memerhatikan keruntutan cerita dengan runtut siklus I 62,5% di siklus II mencapai 87,5%, yang kurang runtut sebanyak 25% di siklus I dan pada siklus II tinggal 9,4%. Peserta didik yang menulis cerpen dengan tidak runtut ada 12,5% dan di siklus II tinggal 3,0 %. Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan di atas, simpulan penelitian ini adalah, (1) metode Explicit Intruction terbukti dapat meningkatkan proses pembelajaran peserta didik dalam menulis cerpen bertolak dan peristiwa yang pernah dialami. Peningkatan proses tersebut meliputi keaktifan, kreativitas, dan keseriusan peserta didik dalam pembelajaran. (2) metode Explicit Intruction terbukti dapat meningkatkan hasil pembelajaran peserta didk dalam menulis cerpen bertolak dan peristiwa yang pernah dialami. Saran Berdasarkan simpulan di atas, disarankan kepada guru mata pelajaran bahasa Indonesia tingkat SMP, agar dalam pembelajaran menulis cerpen bertolak dan peristiwa yang dialami dengan menggunakan metode Explicit Intruction karena telah terbukti dapat meningkatkan proses dan hasil kemampuan peserta didik dalam menulis cerpen bertolak dan peristiwa yang pernah dialami. DAFTAR RUJUKAN Agung. Teori Mengenai Prosa Fiksi (Novel dan Cerpen). https://agungimam.wordpress.com. (online) diakses tanggal 8 Agustus 2015 Aryani, Cucu, Laelasari dan Nurlailah. 2012. Bahasa Indonesia Jilid IX. Bandung: Yrama Widya. Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Kompasiana. (online) http://edukasi.kompasiana.com/2010/04/11/aktivitas-belajar diakses pada tanggal 20 Oktober 2012. Kusumah, Wijaya dan Dedi Dwitagama. 2010. Mengenal Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Indeks. Rahman, Auliaur. 2013. Peningkatan Kemampuan Menulis Cerpen Siswa Kelas IX SMP Negeri 34 Muaro Jambi. www.academia.edu/8181723/. Suyati, Yohana L.A. 2013. Peningkatan Kemampuan Siswa Kelas VII SMP Negeri 4 Sanggau dalam Menulis Pantun dengan Menggunakan Bursa Larik Pantun dan Lagu Daerah Kayu Ara. Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka. Thahar, Haris Effendi. 2008. Kiat menulis Cerita Pendek. Bandung: PT Angkasa. Wirajaya, Asep Yudha dan Sudarmawarti. 2008. Berbahasa dan Bersastra Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan.
739
ISBN :978-602-17187-2-8
PEMBELAJARAN MUSIKALISASI PUISI DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA VIDEO MUSIKALISASI PUISI PADA SISWA KELAS IX E SMP NEGERI 2 LANGKE REMBONG KABUPATEN MANGGARAI TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Kresensia Misalin SMP Negeri 2 Langke Rembong
[email protected] Abstrak :Tulisan ini membahas tentang pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media video musikalisasi puisi pada SMP Negeri 2 Langke Rembong.Kegiatan pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media video musikalisasi puisi dikuti oleh enam guru bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Langke Rembong sebagai observer dan penulis sebagai guru model.Tulisan ini mau menjelaskan bagaimana pelaksanaan pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media video musikalisasi puisi dan bagaimana hasil pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media video musikalisasi puisi. Tahapan pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media viedo adalah plan, do, se..Pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media video musikalisasi memperoleh nilai memuaskan meliputi aspek kekompakan anggota kelompok, kesesuaian suasana puisi, kesesuaian musik dengan suasana puisi, pelafalan yang tepat, ekspresi, dan penghayatan puisi. Hal ini terbukti dua kelompok mendapat nilai 90 dan tiga kelompok mendapat nilai 80. Kata kunci: pembelajaran,musikalisasi puisi,media video Proses belajar yang diselenggarakan di sekolah bertujuan untuk menguasai sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik,baik kognitif,afektif,maupun psikomotor.Untuk itu,peserta didik diarahkan pada kegiatan pembelajaran yang bisa membawa perubahan pada peserta didik secara terencana.Interaksi yang terjadi dipengaruhi oleh lingkungan,antara lain pendidik,bahan/materi,berbagai sumber belajar,dan media pembelajaran. Pembelajaran (instruction) adalah suatu usaha untuk membuat peserta didik belajar atau suatu kegiatan untuk membelajarkan peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran merupakan upaya menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar (Bambang Warsita, 2008: 85). Proses pembelajaran memang sangat kompleks karena ada beberapa faktor yang berpengaruh di dalamnya. Dalam hal ini, salah satunya adalah proses transfer ilmu kepada peserta didik yang menjadi bahan pembaharuan secara kontinu. Suatu materi tidak dapat diserap secara sempurna oleh peserta didik apabila pesan yang disampaikan tidak dapat disajikan secara baik. Guru atau pendidik merupakan unsur pendidikan yang memegang peranan penting dalam keberhasilan proses pendidikan. Berbagai kegiatan peserta didik hanya akan berhasil apabila dikelola dengan sebaik-baiknya. Pendidik berperan sebagai motivator, dinamisator, fasilitator, dan penangung jawab terhadap berbagai kegiatan di dalam maupun di luar kelas dalam bentuk pembelajaran. Selain itu, dalam prosesnya pendidik yang merancang, mengatur strategi, dan mengendalikannya sehingga arah, sasaran, serta tujuan pembelajaran akan tercapai. Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasi semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya (Waluyo,1995:25).Slamet Mulyana menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara (baca irama) sebagai ciri khasnya (Waluyo,1995,1995:23).S.Effendi menyatakan bahawa dalam puisi terdapat bentuk-bentuk permukaan yang berupa larik, bait, dan pertautan makna antara larik dan bait.Kemudian berusaha mengkonkretkan pengertian-pengertian dan konsep abstrak denganmenggunakan pengimajian,pengiasan, dan perlambangan (Waluyo,1995: 213). 740
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Menurut Andayani, musikalisasi puisi adalah membaca puisi dengan diiringi musik yang sesuai dengan tema dan suasana yang tergambar dalam puisi tersebut. Musikalisasi puisi adalah bentuk penyampaian puisi dengan diringi irama musik. Sebagai fasilitator dalam pembelajaran di kelas, guru harus memperhatikan komponen komponen pembelajaran, yaitu merumuskan tujuan pengajaran yang ingin dicapai, materi yang sesuai yang diajarkan, pemilihan media pembelajaran,metode yang digunakan, serta prosedur evaluasi yang digunakan.Guru dituntut kreatif, termasuk kreatif dalam memilih dan mengembangkan media pembelajaran. Kaitan dengan pembelajaran musikalisasi puisi, media alternatif yang dapat dimanfaatkan adalah rekaman video musikalisasi puisi. Media adalah sebuah alat yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan (Bovee,1997).Media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran.Pembelajaran adalah sebuah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar, dan bahan ajar.Komunikasi tidak akan berjalan tanpa bantuan sarana penyampaian pesan atau media. Menurut Brigg,seperti dikutip Arsyad (2002:6), bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar.Sedangkan menurut AECT ( The Associations for Educational Communications and Technology) seperti dikutip Miarso (2004:457) dijelaskan, bahwa media sebagai segala bentuk dan saluran untuk proses transmisi informasi.Berdasarkan kedua pendapat tersebut, keduanya sepakat bahwasannya media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian,dan minat siswa sedemikian rupa sehingga terjadi proses belajar. Media audiovisual adalah jenis media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang dapat dilihat, misalnya rekaman video. Kelebihan media video adalah dapat menstimulasi efek gerak, dapat diberi suara ataupun warna, tidak memerlukan keahlian khusus dalam penyajiannya, tidak memerlukan ruangan gelap dalam penyajiannya. Hamalik, (1986: 43) mengemukakan bahwa pemakaian media pengajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan stimulan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Penggunaan media pengajaran pada tahap orientasi pengajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu (Azhar Arsyad, 2003: 15-16). Retno Dwi Suyanti mengemukakan bahwa pengalaman belajar yang diperoleh siswa dapat melalui proses perbuatan atau mengalami sendiri apa yang dipelajari, proses mengamati dan mendengarkan melalui media tertentu dan mendengarkan melalui bahasa. Semakin konkret siswa mempelajari bahan pengajaran, maka semakin banyak pengalaman yang diperoleh siswa. Sebaliknya, semakin abstrak siswa memperoleh pengalaman, maka semakin sedikit pengalaman yang akan diperoleh siswa. Pada kelas eksperimen yang mana memanfaatkan media video sebagai media pembelajaran sebelum praktikum dilakukan, membuat kegiatan praktikum siswa lebih terarah (Dimyati dan Mujiono, 2006: 9). Setiap pembelajaran selalu dihadapkan pada masalah dalam penerapannya. Selama ini pembelajaran musikalisasi puisi di SMP Negeri 2 Langke Rembong mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena pertama, guru hanya menyampaikan teori saja tentang musikalisai puisi tanpa menampilkan praktik musikalisasi puisi. Kedua, tidak memiliki media yang tepat untuk dipergunakan dalam pembelajaran musikalisasi puisi. Ketiga, tidak semua guru bisa membaca melodi.Kempat, pembelajaran musikalisasi puisi ini kurang mendapatkan perhatian dari para guru bahasa mengingat tidak semua guru bahasa mempunyai minat dan perhatian kepada seni musik.Melihat fakta tersebut,tergugah hati penulis untuk mencari media yang tepat untuk pembelajaran musikalisasi puisi.Penulis menggunakan rekaman video musikalisasi puisi yang didapat dari internet.Dengan menggunakan media video musikalisasi puisi, para siswa teransang,termotivasi untuk mengikuti pembelajaran musikalisasi.Dengan menggunakan media video,para siswa bisa mendengar rekaman pelafalan yang tepat dalam pembacaan puisi, kesesuaian musik dengan suasana puisi,memperhatikan ekspresi, dan penghayatan dalam musikalisasi puisi.Melalui media video musikalisasi puisi, para siswa dapat belajar musikalisasi puisi dengan mudah dan cepat karena belajar langsung dari model yang ditayangkan.Dengan menggunakan media video dalam pembelajaran musikalisasi puisi,suasana kelas tidak monoton dan para siswa dapat bermusikalisasi puisi dengan bagus. 741
ISBN :978-602-17187-2-8
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis menulis tentang pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media video musikalisasi puisi pada siswa kelas IXE SMP Negeri 2 Langke Rembong kabupaten manggarai HASIL DAN PEMBAHASAN Pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media video musikalisasi puisi pada Siswa Kelas IX E SMP Negeri 2 Langke Rembong dapat membantu tenaga pengajar dalam mencapai efektifitas pembelajaran, memaksimalkan pencapaian tujuan pembelajaran dalam waktu yang singkat, dapat merangsang minat belajar peserta didik untuk lebih mandiri, peserta didik dapat belajar untuk lebih berkonsentrasi, suasana kelas sangat menyenangkan baik bagi guru maupun bagi siswa, siswa lebih berperan secara aktif baik secara kognitif,psikomotor,maupun afektif, peserta didik menjadi aktif dan termotivasi untuk mempraktikan musikalisasi puisi,dan nilai yang diperoleh memuaskan,baiik dalam penilaian proses maupun penilaian hasil, dimana dua kelompok mendapat sangat bagus dengan skor ratarata 90 dan tiga kelompok mendapat nilai bagus dengan skor rata-rata 80. Pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media video musikalisasi puisi pada siswa kelas IX E SMP Negeri 2 Langke Rembong melalui tahapan plan(perencanaan), do(pelaksanaan),dan see (refleksi) Perencanaan Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, dinyatakan bahwa Rencana Pelaksaan Pembelajaran (RPP) dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media video hal pertama yang dilakukan adalah perencanaan (plan).Pada kegiatan plan penulis bersama enam teman guru serumpun di SMP Negeri 2 Langke Rembong menyusun RPP bersama dengan langkah ,pertama, menentukan Kompetensi Dasar Menyanyikan Puisi yang sudah Dimusikalisasi. Kedua, menjabarkan indikator keberhasilan dari kompetensi dasarnya, antara lain pertama setelah mengamati pemodelan pada media video musikalisasi puisi, siswa dapat menentukan hal-hal yang perlu dilakukan dalam kegiatan musikalisasi puisi.Kedua, melalui pemodelan pada video yang disaksikan siswa, para siswa dapat melakukan kegiatan musikalisasi puisi dengan tahapan menentukan suasana puisi,menentukan musik yang sesuai dengan suasana puisi, mampu melafalkan puisi dengan baik,berintonasi yang tepat,serta mengekspresikan sesuai dengan suasana puisi. Setelah menyusun indikator, menentukan materi,langkah-langkah pembelajaran, menentukan materi, menentukan media pembelajaran berupa media video musikalisasi puisi ―Aku‖ karya Chairil Anwar. menentukan materi ,menyusun ,langkah-langkah pembelajaran,dan penilaian. Pelaksanaan Setelah perencanaan disusun, Penulis menerapkan RPP yang telah dibuat dalam pembelajaran di kelas. Tahapan do dilaksanakan di Kelas IX E SMP Negeri 2 Langke Rembong.Open Class dihadiri oleh enam guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Langke Rembong dengan penulis sebagai guru model.Mengingat materi luas dan membutuhkan praktik musikalisasi puisi maka dibutuhkan waktu 4 x 40 menit atau dua kali pertemuan.Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Senin,tanggal 3 Agustus 2015 di Kelas IX E dengan alokasi waktu 2 kali 40 menit dengan tahapan kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegitatan akhir. Pada kegiatan awal guru membuka dengan mengucapkan salam, guru mengecek kehadiran siswa, guru menugaskan salah seorang siswa untuk memimpin doa, guru menanyakan kesiapan siswa menerima pelajaran. guru menjelaskan kompetensi dasar yang akan dibahas,dan guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai setelah pembelajaran. Setelah kegiatan awal disampaikan, guru model melanjutkan kegiatan inti pembelajaran. Pada kegiatan inti , Guru menayangkan rekaman video musikalisasi puisi ―Kerawang Bekasi" karya Chairil Anwar dengan menggunakan LCD. Selanjutnya para siswa mengamati, 742
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
mendengarkan rekaman video musikalisasi puisi. Setelah mengamati video, guru dan siswa bertanya jawab tentang unsur-unsur yang ada dalam musikalisasi puisi antara lain cara membacakan puisi(pelafalan,intonasi,ekspresi,penghayatan), penentuan suasana puisi, penentuan musik yang sesuai dengan suasana puisi, kekompakan anggota kelompok dalam bermusikalisasi puisi. Selanjutnya guru menjelaskan tahapan-tahapan atau langkah- langkah yang dilakukan dalam kegiatan musikalisasi puisi adalah: pertama, menentukan puisi yang akan dimusikalisasi. Kedua, membaca puisi.Pada tahap pembacaan puisi ini, guru menjelaskan halhal yang perlu diperhatikan dalam membaca puisi antara lain intonasi, pelafalan yang tepat,ekprsesi ,dan penghayatan kemudian siswa diajak membaca puisi secara keseluruhan dengan memperhatikan teknik membaca puisi. Ketiga, mengapresiasi puisi yang telah ditentukan.Mengapresiasi puisi artinya mencermati dengan sungguh-sungguh sebuah puisi hingga penuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta rasa.Keempat, menentukan suasana yang terkandung dalam puisi, memerhatikan kesesuaian isi puisi dengan suasana yang dibangun.Kelima, menentukan alat musik yang sesuai untuk mengiringi puisi.Alat yang digunakan dapat berupa gitar, gendang, suling, keyboard, dsbnya.Keenam, menentukan lagu, musik, atau notasi nada yang akan digunakan untuk mengiringi puisi. Pada kegiatan akhir hal yang dilakukan sebagai berikut pertama, guru dan siswa menyimpulkan kembali tentang materi musikalisasi puisi. Kedua, guru mengelompokkan siswa dalam lima kelompok yang beranggotakan 5-6 orang. Ketiga, guru membagikan LKS (Lembar Kegiatan Siswa) dalam kelompok yaitu menugaskan siswa secara berkelompok mencari sebuah puisi atau menyusun di dalam kelompok kemudian menentukan lagu atau musik yang cocok untuk mengiringi puisi yang dipilih dalam kelompok.Lalu berlatih di luar jam sekolah,dan akan dipraktikkan pada pertemuan kedua. Mengingat waktu pada pertemuan pertama tidak mencukupi maka dilanjutkan praktiknya pada pertemuan kedua.Pertemuan kedua dilaksanakan pada hari Kamis, 10 Agustus 2015, dengan alokasi waktu 2 x 40 menit. Pada pertemuan kedua,kegiatan awal yang dilakukan adalah guru membuka dengan mengucapkan salam, guru mengecek kehadiran siswa, guru menugaskan salah seorang siswa untuk memimpin doa, guru menanyakan kesiapan siswa menerima pelajaran. guru menjelaskan kembali kompetensi dasar yang akan dibahas,dan guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai setelah pembelajaran. Guru menanyakan tugas kelompok yang diberikan pada pertemuan pertama. Pada kegiatan inti,para siswa kembali duduk dalam kelompok masing-masing. Guru kembali menanyakan hal-hal yang berkaiatan dengan musikalisasi puisi.Guru memutar kembali video musikalisasi puisi Kerawang Bekasi yang pernah ditayangkan pada pertemuan pertama untuk menggugah kembali ingatan siswa terhadap pembelajaran musikalisasi puisi. Dalam kelompok siswa berlatih bermusikalisasi puisi yang telah ditugaskan pada pertemuan pertama. Setiap ketua kelompok mengambil nomor undian urutan praktik musikalisasi puisi yang telah disiapkan guru Selanjutnya, berdasarkan nomor undian para siswa bergiliran mempraktikan musikalisasi puisi.Sambil mengamati penampilan dari setiap kelompok,guru merekam praktik musikalisasi puisi dari semua kelompok dengan menggunakan video, kelompok lain juga mengamati penampilan setiap kelompok dengan berpedoman pada lembaran penilaian yang meliputi aspek (1) kekompakan kelompok, (2) Kesesuaian suasana puisi, (3) kesesuaian musik pengiring dengan suasana puisi,(3) Lafal,(4) Ekspresi,(5) penghayatan isi puisi , dengan rentangan nilai: 4 (sangat kompak/ sangat sesuai/sangat tepat), 3 (kompak,sesuai/tepat), 2 (kurang kompak/sesuai/kurangtepat), 1 (tidak kompak/tidak sesuai tepat/tidak tepat). Pada kegiatan akhir,hal yang dilakukan adalah pertama,guru menayangkan kembali rekaman video musikalisasi dari semua kelompok sehingga setiap siswa dapat menilai penampilan masing –masing siswa dalam kelompok.Kedua,Guru bersama siswa menyimpulkan kembali materi yang telah dibelajarkan.Ketiga,merefleksi kegiatan pembelajaran dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan kebermaknaan pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media video musikalisasi puisi. Setelah melakukan kegiatan open class, kegiatan berikutnya adalah tahapan see untuk merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan.Kegiatan see dilaksanakan oleh guru model dan enam guru observer di ruangan guru SMP Negeri 2 Langke Rembong. 743
ISBN :978-602-17187-2-8
Beberapa hal yang menjadi hasil pengamatan para observer pada open class adalah sebagai berikut: pada saat pembelajaran siswa bersemangat mengamati model musikalisasi puisi, kondisi kelas sangat kondusif , kekompakkan anggota kelompok dalam berlatih, tercipta suasana belajar yang menyenangkan dan dapat menggali potensi siswa dalam membaca puisi maupun musik. Penggunaan media video musikalisasi puisi dalam pembelaran musikalisasi puisi sangat membantu tenaga pengajar dalam mencapai efektifitas pembelajaran dan memaksimalkan pencapaian tujuan pembelajaran dalam waktu yang singkat. Para observer juga mengungkapkan kejujuran bahwa kompetensi ini sering dilewatkan atau tidak diajarkan karena dianggap materi terlalu sulit untuk dibelajarkan karena kemampuan guru dalam musik kurang memadai, ternyata melalui media video musikalisasi puisi membantu guru dalam melaksanakan pembelajaran musikalisasi puisi. Hal yang mengesankan pada saat refleksi di kelas, lima orang siswa berani mengungkapkan kebermaknaan pembelajaran musikalisasi dengan menggunakan media video pembelajaran musikalisasi puisi di mana dengan menggunakan video musikalisasi puisi, para siswa dengan cepat memahami materi musikalisasi puisi dan dapat mempraktikannya sehingga dapat memperoleh nilai yang memuaskan dan berjanji akan mempraktikan musikalisasi puisi pada saat pementasan seni di sekolah. Penilaian Penilaian yang digunakan dalam pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media video musikalisasi puisi adalah penilaian proses dan penilaian hasil.Penilaian proses meliputi kekompakan anggota kelompok. Hasil dari penilaian proses para siswa telah menunjukkan kekompakaan anggota kelompok dalam praktik musikalisasi puisi. Penilaian hasil untuk menilai kemampuan musikalisasi puisi meliputi kesesuaian suasana puisi, kesesuaian irama musik dengan suasana puisi, pelafalan, intonasi, ekspresi, dan penghayatan. Hasil yang diperoleh siswa sangat memuaskan .Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian dimana dua kelompok mendapat nilai 90 dan tiga kelompok lainnya medapat nilai 80. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan apa yang diuraikan pada pembahasan dapat disimpulkan bahwa pertama, pembelajaran musikalisasi puisi menggunakan media video musikalisasi puisi yang telah dilaksanakan pada Siswa Kelas IX E SMPN 2 Langke Rembong memperoleh hasil yang memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari nilai yang diperoleh dua kelompok memperoleh nilai 90 dan tiga kelompok memperoleh nilai 80.kedua, pembelajaran musikalisasi puisi dengan menggunakan media video melalui tahapan perencanaan (plan), pelaksanaan(do), refleksi(see). Penilaian bukan lagi pembelajaran yang membebani atau yang menjemukan tetapi menjadi sebuah pembelajaran yang bermakna,yang menyenangkan baik bagi guru maupun bagi siswa. Akhirnya, penulis berharap agar tulisan ini dapat memberikan sumbangan yang berarti pada pembelajaran musikalisasi yang selama ini dianggap sebagai sesuatu beban. Bagi guru bahasa Indonesia disarankan dapat menggunakan media video musikalisasi puisi pada pembelajaran musikalisasi puisi. DAFTAR RUJUKAN Andayani, Kusubakti & Pratiwi, Yuni. 2013. Pembelajaran Bahasa Indonesia Kreatif dan Inovatif. Malang: Universitas Malang Anindyana, Atikah, dkk. 2008. Bahasa Indonesia untuk SMP Kelas IX. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional Burhanudin, Elita,d kk .2012. Media. Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
744
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA DAN MENEMUKAN REALITAS KEHIDUPAN DALAM CERITA ANAK MELALUI METODE KOOPERATIF JIGSAW PADA SISWA KELAS VII C SMP NEGERI 3 TANJAB TIMUR TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Sulaiwati SMPN 3 Tanjab Timur
[email protected] Abstrak: Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk melihat peningkatanketerampilan membaca dan menemukan realitas kehidupan dalam cerita anak melalui metode kooperatif zigsaw. Subyek penelitian adalah siswa kelas VII c SMP NEGERI 3 Tanjung Jabung Timur sebanyak 31siswa, yang terdiri dari 13 orang laki-laki dan 18 orang perempuan. Metode yang diterapkan adalah metode kooperatif Zigsaw yang dirancang 2 siklus, pada tiap siklus terdapat perencanaan, tindakan, serta observasi dan refleksi. Hasil penelitian siklus 1 mengalami peningkatan di siklus 2. Pada siklus 1 keberhasilan tindakan sebesar 76,03%, di siklus 2 mengalami peningkatan menjadi 86,90%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran melalui metode kooperatif Zigsaw dapat meningkatkan keterampilan membaca dan menemukan realitas hidup dalam cerita anak. Kata kunci: cerita anak, metode kooperatif Zigsaw Pembelajaran bahasa Indonesia mencakup empat keterampilan berbahasa yaitu, menyimak, membaca, berbicara dan menulis. Membaca merupakan salah satu dari keempat keterampilan yang harus dikuasai oleh siswa. Hal pertama yang diajarkan pada anak pada awal masa-masa persekolahan itu adalah kemampuan membaca dan menulis. Kedua kemampuan ini akan menjadi landasan dasar bagi pemerolehan bidang ilmu lainnya di sekolah. Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang menduduki posisi dan peranan yang sangat penting dalam konteks kehidupan manusia (Rohim,2005). Membaca sebagai pembelajaran merupakan sarana pengembangan bagi keterampilan berbahasa lainnya. Dalam proses pembelajaran, membaca dapat dijadikan sebagai modal awal setiap siswa untuk melakukan apresiasi, sehingga kegiatan membaca sangat diperlukan oleh siapa pun dengan membaca kita dapat menambah wawasan dan pengetahuan. Menumbuhkan minat baca sejak dini sangat diperlukan agar generasi penerus kita gemar membaca, terutama membaca karya sastra. Karya sastra merupakan sarana untuk mengungkapkan masalah manusia dan kemanusiaan. Sastra merupakan hasil cipta kreatif dari seorang pengarang, lahir melalui proses perenungan dan penggambaran yang muncul dari realitas kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang berusaha untuk mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Pengarang dari sebagian masyarakat menangkap realitas nilai-nilai masyarakatnya, kemudian mengolah secra kreatif,mengidentifikasi dan mendeskripsikan dan mengekspresikan dalam bentuk karya sastra. Dengan demikian melalui karya sastra dilakukan suatu proses terhadap ketimpangan-ketimpangan keyakinan serta sebagai persoalan hidup di dalam masyarakat Karya sastra terutama cerita sebagai hasil cipta seni pengarang menggambarkan peristiwa-peristiwa, baik tersurat maupun tersirat dari kehidupan nyata dalam masyarakat. Karya sastra dicipta untuk dinikmati, dihayati, dan dimanfaatkan oleh pembaca. Sebuah karya sastra berisi tentang permasalahan kehidupan manusia, yakni gambaran manusia dan kehidupannya. Oleh karena itu, karya sastra berhubungan dengan budi pekerti, kecintaan terhadap orang tua, keluarga, tanah air ataupun keyakinan hidup, kasih sayang, penghargaan, martabat dan kewajiban, kebenciaan, penghianatan termasuk manusia dan manusia lain. Karya sastra terutama cerita dapat memberikan hiburan karena keindahan bahasa dan masalah yang disajikan mampu memberi nilai hiburan pada pembaca. Kehidupan yang 745
ISBN :978-602-17187-2-8
digambarkan dalam cerita adalah kehidupan rekaan sastrawan, meskipun tampak seperti realita hidup, cerita menggambarkan kehidupan nyata, akan tetapi, kehidupan itu telah diwarnai dengan pandangan dan sikap pengarangnya, latar belakang pendidikannya, keyakinannya, dan sebagainya (Suharyanto,1982:11) Nurhadi (1987:127) mengemukakan bahwa membaca dan memahami karya sastra bukanlah pekerjaan mudah karena kita berhadapan dengan sebuah teks tertentu yang harus diberi makna atau nilai. Dalam lingkup sastra hasil-hasil karya sastra secara umum dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu prosa, puisi, dan drama. Masing-masing bentuk tersebut memiliki ciri yang dibedakan berdasarkan periode sastra Indonesia ( Somarjo,1981). Dalam tulisan ini hanya memfokuskan bahasan tentang bentuk prosa lama, terutama yang berkaitan dengan masalah apresiasi cerita anak. Pembelajaran apresiasi cerita anak sangat penting dalam realitas kehidupan karena banyak hal yang sudah lari dari nilai-nilai moral pada anak terutama anak SMP. Sebagai salah satu contoh bahwa nilai sopan santun anak kepada guru sudah berkurang, oleh karena itu untuk mengantisipasi diberikan cerita anak yang bernilai, karena cerita merupakan sarana yang tepat untuk mengajarkan nilai-nilai moral yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui cerita, siswa dapat diajak berpetualang dan menyelami kehiduapan pada masa lalu sehingga mereka lebih memahami budaya dan karakter masyarakat Indonesia, yang saat ini mulai bercampur dengan budaya dan karakter bangsa lain. Cerita rakyat atau cerita anak adalah cerita yang berkembang pada masyarakat tertentu yang perkembangannya secara lisan dari mulut kemulut dan dianggap sebagai milik bersama. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh (Djamaris 1993:15), bahwa certa rakyat adalah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Diikatakan sebagai cerita rakyat karena cerita ini hidup dikalangan masyarakat dan semua lapisan masyarakat mengenal cerita ini. Cerita anak adalah cerita yang ditulis untuk anak, yang berbicara mengenai kehidupan anak dan sekitarnya, yang mempengaruhi anak. Tulisan itu hanyalah dapat dinikmati oleh anak dengan bantuan dan pengarahan orang dewasa. Lukens (2003:8) cerita anak adalah cerita yang menceritakan tentang gambar-gambar, binatang-binatang, maupun manusia dengan lingkungannya. Dalam cerita anak tergambar peristiwa kehidupan, karakter tokoh dalam menjalani kehidupan sebagaimana diungkapkan dalam alur cerita, dengan demikian cerita anak adalah subyek yang menjadi fokus perhatian. Sejalan dengan pendapat tersebut Endoswara mendefinisikan crita anak adalah cerita yang mencerminkan liku-liku kehidupan yang dapat dipahami oleh anak, melukiskan persaan, dan menggambarkan pemikiran-pemikiran anak. Pada dasarnya cerita anak merupakan cerita sederhana yang kompleks. Kesederhanaan ini ditandai oleh wacana yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak sulit, sehingga komunikatif. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan yaitu Cerita anak adalah cerita yang ditulis untuk anak, mengenai kehidupan anak, lingkungan yang mempengaruhinya dan melukiskan perasaan dan pemikiran-pemikiran anak. Kehidupan anak sering kali digambarkan lewat sebuah cerita, melalui cerita anak akan lebih mudah menemukan dan memahami pesan yang ingin disampaikan. Pada umumnya, cerita selalu mengambil tema tentang kehidupan anak sehari-hari. Dalam ceria tersebut selalu ditanamkan nilai-nilai kebaikan yang ditujukan kepada anak-anak. Cerita anak adalah cerita yang dikemas untuk diCerita anak merupakan media yang sangat penting dan efisien dalam proses kegiatan pembelajaran berbicara anak sekolah. Cerita yang dikisahkan dengan baik dapat menginspirasi satu tindakan, membantu perkembangan, apresiasi budaya, dan memperluas pengetahuan anak. Selain itu, cerita dapat menimbulkan kesenangan ketika mendengar cerita, membantu anak-anak dalam memahami dunia mereka dan bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain. Pembelajaran cerita anak di sekolah bertujuan agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra yang berharga sehingga merasa terdorong dan tertarik membaca dan mengapresiasi. Dari kemampuan siswa mengapresiasi cerita anak dapat diketahui betapa pentingnya sastra anak. Sastra juga memiliki peranan dalam pembentukan jiwa anak, contohnya anak akan meniru tingkah laku tokoh cerita yang dibaca atau didengarkannya kemudian akan menirunya dalam kehidupan nyata. Dan ternyata sastra anak dapat juga menyikapi berbagai persoalan hidup manusia. 746
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Pembelajaran cerita anak masih dijumpai kualitas yang terlihat dari aktivitas siswa di kelas, siswa merasa jenuh, siswa kurang aktif dalam mengikuti pelajaran, tidak memperhatikan, cenderung meremehkan pembelajaran yang berlansung, karena cerita anak belum dianggap penting untuk dijadikan sebuah mata pelajaran yang disenangi siswa. Hal itu diduga disebabkan oleh metode yang digunakan oleh guru. Guru memulai pelajaran dengan memberikan ceramah tentang cara memahami isi cerita tanpa memberikan contoh aplikasinya secara langsung. Setelah itu, siswa ditugasi membaca cerita dan memahami isinya. Dari permasalahan diatas muncul asumsi akan pentingnya peningkatan keterampilan siwa khususnya dalam membaca dan menemukan realitas kehidupan anak yang terefleksi dalam cerita anak dan bagaimana menemukan unsur cerita anak( tema,amanat,alur, latar). Realitas kehidupan anak yaitu kenyataan hidup secara nyata dalam cerita. Realitas yang dibahas dalam cerita anak yaitu mengidentifikasi realitas hubungan anak dan orang tua, teman, guru, lingkungan, tuhan dan cita-citanya yang terefleksi dalam buku cerita anak. Dengan melihat kenyataan diatas maka peneliti mencari solusi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif Zigsaw. Model pembelajaran kooperatif Zigsaw adalah sebuah model belajar kooperatif yang menitik beratkan pada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil. Seperti yang diungkapkan Lie (1993:73) bahwa pembelajaran dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri atas empat samapai enam orang secara heterogen dan siswa bekerja sama saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara mandiri.Menurut Slavin (2007) pembelajaran kooperatif Zigsaw menggalakkan siswa berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok. Ini membolehkan pertukaran ide dan pemeriksaan ide sendiri dalam suasana yang tidak terancam sesuai dengan falsafah kontruvisme. Dengan demikian, pendidikan hendaknya mampu megkondisikan dan memberikan dorongan untuk dapat mengoptimalkan dan membangkitkan potensi siswa, menumbuhkan aktivitas dan daya kreatifitas sehingga akan menjamin terjadinya dinamika di dalam proses pembelajaran. Dalam model pembelajaran kooperatif Zigsaw siswa memiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mengelola informasi yang di dapat dan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi, anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang dipelajari, dan dapat disampaikan kepada kelompoknya (Rusman, 2008;203) Model pembelajaran kooperatif Zigsaw merupakan strategi yang menerik untuk digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaikan. Kelebihan strategi ini adalah dapat melibatkan seluruh peserta didik dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada orang lain(Zaini,2008:56). Pada model pembelajaran kooperatif Zigsaw para siswa bekerja dalam tim yang heterogen. Para siswa tersebut diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit,, dan diberikan lembar lembar ahli yang terdiri atas topik-topik yang berbeda yang harus menjadi fokus perhatian masing-masing anggota tim saat mereka membaca, siswa dari tim berbeda yang mempunyai topik sama bertemu dalam kelompok ahli untuk menentukan topik mereka. Para ahli tersebut kemudian kembali kepada tim mereka dan secara bergantian mempelajari teman satu timnya mengenai topik mereka. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif zigsaw menurut Rusman(2008:205) model pembelajaran ini dikenal juga kooperatif para ahli, karena anggota kelompok dihadapkan pada permasalahan yang berbeda. Namun, permasalahan yang dihadapi setiap kelompok sama. Kita sebagai tim ahli yang bertugas membahas permasalahan yang dihadapi. Selanjutnya, hasil pembahasan itu dibawah ke kelompok asal dan disampaikan pada anggota kelompoknya. Kegiatan yang dilakukan pada model pembelajaran kooperatif zigsawbsebagai berikut: 1. Melakukan menbaca untuk menggali informasi, siswa memperoleh topik-topik permasalahan untuk dibaca sehingga mendapatkan informasi dari permasalahan tersebut. 2. Diskusi kelompok ahli, siswa yang telah mendapatkan topik permasalahan yang sama bertemu dalam satu kelompok atau kita sebut dengan kelompok ahli untuk membicarakan topik permasalahan itu. 3. Lporan kelompok, kelompok ahli kembali ke kelompok asal dan menjelaskan dari hasil yang didapat dari diskusi tim ahli. 4. Kuis dilakukan mencakup topik permasalahan yang dibicarakan tadi 747
ISBN :978-602-17187-2-8
5. Perhitungan sekor kelompok dan menentukan penghargaan kelompok. Sedangkan menurut Stepen, Stikes and Snapp(1978) yang dikutif Rusman (200), mengemukakan langkah-langkah model pembelajaran kooperatif jigsaw sebagai berikut: 1. Siswa dikelompokkan sebanyak 1 sampai 5 orang siswa 2. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi berbeda 3. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan 4. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian sub bagian yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka 5. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap kelompok kembali ke dalam kelompok asli dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan seksama 6. Tiap ahli mempersentasikan hasil diskusi 7. Guru memberi penilaian hasil diskusi 8. Penutup Tujuan metode Zigsaw metode yang dikembangkan oleh Elliot Aronson dkk dari Universita Texas yang kemudian diadaptasi oleh Slavin dkk ini mempunyai tujuan (1) Mengembangkan kerja sama tim (kelompok), (2) Mengasah keterampilan belajar kooperatif, (3) Mengetahui pengetahuan secara mendalam yang tidak bisa diperoleh jika mempelajarinya sendirian. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi bahwa keberhasilan individual dipengaruhi oleh keberhasilan kelompok METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan pada saat proses belajar mengajar berlangsung yaitu dari bulan Maret-Mei 2013, tempat penelitian di lakukan di SMP Negeri 3 Tanjung Jabung Timur yakni berlokasi di Nipah Panjang, Tanjung Jabung Timur Jambi, prosedur penelitian ini merupakan kerja berulang (siklus), sehingga memperoleh pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan membaca dan menemukan realitas kehidupan dalam cerita anak. Pada tiap siklus terdapat perencanaan(planning), pelaksanaan(acting), pengamatan(observing), refleksi(reflecting). HASIL PENELITIAN Selama proses pembelajaran berlangsung guru dan teman sejawat melakukan penilaian proses dan pengamatan terhadap kinerja dengan menggunakan lembar observasi yang telah disediakan. Aspek yang akan diamati dalam proses pembelajaran membaca dan menemukan realitas hidup dalam cerita anak meliputi menemukan unsur instrinsik dongeng dan realitas kehidupan dalam cerita anak (dongeng),yaitu mengidentifikasi hubungan anak dengan orang tua,teman,guru, lingkungan, tuhan, dan cita-citanya yang terefleksi dalam cerita anak, sedangkan aktivitas siswa yang diamati meliputi antusias siswa dalam mengikuti pembelajaran, interasi siswa dan guru serta kerjasama dalam kelompok. Data hasil pengamatan dan penelitian secara umum terhadap proses pembelajaran melalui metode kooperatif Zigsaw dapat meningkatkan kemampuan membaca dan menemukan realitas kehidupan dalam cerita anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil tindakan yang ada pada siklus 1 dan siklus 2. Tabel Hasil Penelitian Siklus 1
No Nilai
Jumlah siswa
Persentase
Predikat
1 2 3 4 5
2 orang 9 orang 13 orang 7 orang -
6,45% 29,03% 41,93% 22,58% -
Sangat baik Baik Cukup baik Kurang -
90-100 80-89 70-79 40-69 0-39
Dalam pelaksanaan penelitian pada siklus 1 sebelum dilakukan tindakan terlebih dahulu peneliti melakukan persiapan dan tahapan-tahapan tertentu antara lain: 748
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
1. Perencanaan tindakan (planning) Menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (rpp) untuk satu kali pertemuan pada Standar Kompetensi (SK) 15 membaca , memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan buku cerita anak dan Kompetensi Dasar (KD) 15.2 Menemukan realitas kehidupan anak yang terefleksi dalam buku cerita anak baik asli maupun terjemahan, persiapan mengajar, menyiapkan alat evaluasi, buku paket bahasa Indonesia, dan dongeng. 2. Pelaksanaan tindakan (acting) Pada pelaksanaan yakni guru berupaya mengelola kelas menjadi kondusif agar siswa lebih siap menerima materi pembelajaran, menyampaikan informasi pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran, menyelenggarakan pembelajaran dengan metode kooperatif Zigsaw yang meliputi (a) persiapan, (b) kegiatan inti, (c) tindak lanjut. Tahap persiapan menyiapkan dongeng yang berjudul ―PANJI KELARAS‖. Pada kegiatan inti siswa diminta untuk mencari tema, latar, alur, amanat, realitas kehidupan dalam dongeng yakni realitas hubungan anak dengan orang tua, teman, guru, lingkungan, tuhan, dan cita-citanya yang terefleksi dalam cerita anak. Selanjutnya pada tahap tindak lanjut siswa dan guru melakukan refleksi terhadap hasil pembelajaran. 3. Pengamatan (observing) Berdasarkan pengamatan dalam proses belajar mengajar masih ada siswa yang kurang memperhatikan saat guru menyampaikan materi pembelajaran sehingga dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru kurang antusias sehingga hasilnya belum maksimal, namun ada juga yang dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada tabel hasil penelitian siklus 1, di mana siswa yang mendapat nilai sangat baik sebanyak 2 orang atau 6,45%, nilai baik 9 orang atau 29,03%, nilai cukup 13 orang atau 41,93%, nilai kurang sebanyak 7 orang atau 22,58%. 4. Refleksi (reflection) Berdasarkan pengamatan, ternyata tindakan melalui metode kooperati Zigsaw belum begitu memuaskan. Bertolak dari hal tersebut pada siklus 2 tindakan yang diberikan tetap memakai tindakan melalui metode kooperatif Zigsaw. Penjelasan materi hanya ditekankan pada butirbutir yang penting saja. Pada siklus 1 pemerolehan hasilnya masih rendah yakni 78,54% siswa yang mampu menemukan realitas kehidupan dalam cerita anak, hal ini menunjukkan bahwa masih diperlukan tindakan yang lebih efektif. SIKLUS II Hasil penelitian PTK pada pelaksanaan siklus II ada kemajuan, siswa yang mendapat nilai sangat baik sebanyak 17 orang atau 54,83%, siswa yang mendapat nilai baik sebanyak 5 orang atau 16,12%, siswa yang mendapat nilai cukup baik 9 orang atau 29,03%. Hasil penelitian pada siklus II dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel Hasil Penelitian Siklus 11
No
Nilai
Jumlah Siswa
Persentase
Predikat
1 2 3 4
90-100 80-89 70-79 40-69
17 Orang 5 Orang 9 Orang -
54,83 16,12 29,03 -
Sangat baik Baik Cukup baik -
Berdasarkan hasil penelitian siklus 11, guru mencoba melakukan perbaikan tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran. Ada pun tahap-tahap yang penulis lakukan adalah: 1. Perencanaan Tindakan (Planning) Sebelum melaksanakan siklus 11 guru terlebih dahulu melakukan berbagai persiapan agar proses pembelajaran berjalan lebih kondisif dan memotivasi siswa. Persiapan tersebut adalah menyiapkan buku paket bahasa Indonesia dan dongeng yang berbeda dari siklus 1. 2. Pelaksanaan Tindakan (Acting) Pelaksanaan tindakan siklus 11, proses pembelajarannya sesuai dengan rancangan yang ada dalam rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah dipersiapkan sebelumnya. 749
ISBN :978-602-17187-2-8
Guru memulai pelajaran terlebih dahulu mengucapkan salam dan mengecek kehadiran siswa, guru berupaya mengelola kelas lebih kondusif agar siswa lebih siap menerima materi pembelajaran, dan memberikan motivasi yang berhubungan dengan materi pelajaran guna memfokuskan perhatian siswa pada materi yang diberikan,dan membagikan dongeng yang akan dibaca oleh siswa yang berjudul ―Ande-ande Lumut‖. Pada kegiatan inti siswa diminta untuk mencari tema, latar, alur, amanat,dan realitas kehidupan dalam cerita anak yang meliputi hubungan anak dengan orang tua, lingkungan,teman,guru, alam, tuhan dan cita-cita yang terefleksi dalam cerita anak. pembelajaran materi yang disampaikan tanya jawab dan inkuiri. Selanjutnya pada tahap tindak lanjut siswa dan guru melakukan refleksi untuk mengetahui hasil pembelajaran. 3. Pengamatan (Observing) Setelah dilakukan siklus 11 ini, terlihat perkembangan dan ada kemajuan siswa dalam membaca dan menemukan realitas kehidupan yang terefleksi dalam cerita anak, setelah di evaluasi ternyata hasilnya meningkat. Saat melakukan tindakan, peneliti minta bantuan teman sejawat untuk menjadi observer. Selama pembelajaran berlangsung observer melalukan pengamatan terhadap semua kegiatan siswa dan guru. 4. Refleksi (Reflection) Berdasarkan catatan dan pengamatan siklus II ternyata metode Zigsaw berhasil dan menunjukkan adanya peningkatan. Tindakan yang diambil ternyata hasilnya sangat positif terhadap kemampuan siswa. Hal ini dapat dilihat dari siklus 1 rata-rata mengalami peningkatan pada siklus II. Pada siklus 1 keberhasilan tindakan 76,03%, di siklus II mengalami peningkatan menjadi 86,90%, jadi jelaslah melalui metode kooperatif Zigsaw dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca dan menemukan realitas kehidupan yang terefleksi dalam cerita anak. Dengan metode kooperatif Zigsaw membuat proses belajar mengajar lebih menyenangkan selain siswanya aktif juga terinspirasi untuk lebih aktif dalam belajar. PEMBAHASAN Pembelajaran bahasa Indonesia pada materi membaca menemukan realitas kehidupan anak yang terefleksi dalam buku cerita anak baik asli maupun terjemahan dengan metode kooperatif Zigsaw ternyata menyenangkan baik bagi siswa maupun bagi guru. Dari komentar observer siswa yang awalnya pasif,diam, kemudian menjadi aktif dan mampu berinteraksi dan bekerja sama antar siswa dan kelompok. Setelah dilakukan pengamatan dari siklus 1 dan siklus II ternyata ada kemajuan belajar siswa pada siklus II. Hal ini terlihat dari hasil observasi dan evaluasi setiap siklus. Perkembangan dan kemajuan siswa di dalam membaca dan menemukan realitas hidup yang terefleksi dalam cerita anak menunjukkan kemajuan positif. Dari siklus 1 rata-rata kelas mengalami peningkatan di siklus II. Padas siklus 1 keberhasilan tindakan sebesar 76,03%, di siklus II mengalami peningkatan 86,90%. Jadi jelaslah melalui metode kooperatif Zigsaw dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam membaca dan menemukan realitas kehidupan dalam cerita anak PENUTUP Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilaksanakan dalam dua siklus dan berdasarkan pembahasan dan analisis siklus 1 dan siklus II dapat disimpulkan bahwa penerapan metode kooperatif Zigsaw dapat meningkatkan hasil belajar membaca dan menemukan realitas kehidupan dalam cerita anak kelas VII C SMP Negeri 3 Tanjung Jabung Timur. Siklus 1 nilai rata-rata 76,03% di siklus II mengalami peningkatan menjadi 86,90%. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, disarankan agar para guru khususnya guru bahasa Indonesia dapat menggunakan metode kooperatif Zigsaw sebagai upaya meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca dan menemukan realitas kehidupan dalam cerita anak. Diharapkan kepada guru mata pelajaran selain bahasa Indonesia untuk mencoba metode kooperatif Zigsaw untuk meningkatkan kompetensi belajar siswa.
750
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
DAFTAR RUJUKAN Andayani, Kusubakti & Pratiwi Yuni. 2013. Pembelajaran Bahasa Indonesia Kreatif Inovatif. Cetakan 1, Malang: Universiata Negeri Malang Santoso, Anang, 2013.Pendalaman Materi Bahasa Indonesia. Cetakan 1. Malang: Universitas Negeri Malang Dewi blog jurnal sastra blogspot.com2001 Roekhan. Media pembelajaran Bahasa Indonesia. Kerja Sama PT Pertamina (Persero) dengan Universitas Negeri Malang (UM) http://edukasi kompasiana.com/2013/o..ak-567744.html Model Zigsaw 1 pdf Sumsel, Kemenag.go.id diakses pada tgl 22 Oktober 2014 pukul 11.47 Prosiding Seminar Nasional EXCHANGE OF EXPERIENCES Teachers Quality Improment Program (TEQIP) 2013. PT Pertamina (Persero) bekerjasama dengan Universitas Negeri Malang. Rini, Atikah Anindya, Sri Ningsi,2008. Bahasa Indonesia. Kurikulum: GBPP Bidang Studi bahasa Indonesia SLTP. Jakarta. Supardi.2006. Metedologi Penelitian Mataram: Yayasan Cerdas Press. Tarigan, Hendri Guntur. 1987. Menulis sebagai sesuatu keterampilan berbahasa. Bandung: Angkasa. www. Kajian Pustaka. Com metode pembelajaran,Model pembelajaran Zigsaw. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2014 pukul 10.00 Wib.
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENCERITAKAN TOKOH IDOLA MELALUI PETA PIKIRAN PADA PESERTA DIDIK KELAS VII E SMP NEGERI 2 SANGGAU Tauhidah SMP Negeri 2 Sanggau
[email protected] Abstrak: Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis merupakan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia. Penelitian ini bertujuan meningkatan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran menceritakan tokoh idola melalui peta pikiran. Subjek penelitian sebanyak 32 orang peserta didik kelas VII E SMP Negeri 2 Sanggau Tahun Pelajaran 2014/2015. Teknik pencatatan dengan peta pikiran menggunakan pengingat-pengingat visual dan sensorik sehingga dapat membantu peserta didik mengingat informasiinformasi penting dari profil tokoh idola yang dibaca. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan proses dan hasil belajar peserta didik dalam menceritakan tokoh idola dengan menggunakan Peta Pikiran. Kata kunci: kemampuan berbicara, bercerita, tokoh idola, peta pikiran
Mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis merupakan salah satu tujuan pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam pembelajaran bahasa salah satu keterampilan yang harus dikuasai peserta didik adalah keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara menempati kedudukan yang sangat penting karena merupakan ciri kemampuan komunikatif peserta didik. Keterampilan berbicara yang diharapkan sesuai dengan kompetensi dasar adalah kemampuan peserta didik menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh, serta alasan mengidolakannya dengan pilihan kata yang sesuai. Pembelajaran keterampilan berbicara menjadi sangat penting karena peserta didik diharapkan mampu bercerita sesuai dengan kompetensi dasar menceritakan tokoh idola. Kemampuan menceritakan tokoh idola masih kurang berhasil, baik pada kegiatan proses 751
ISBN :978-602-17187-2-8
pembelajaran maupun hasil tes unjuk kerja karena kemampuan peserta didik masih di bawah rata-rata ketuntasan minimal. Berdasarkan hasil pengamatan selama pembelajaran dapat disimpulkan bahwa peserta didik kurang berminat dalam kegiatan bercerita karena tidak terbiasa bercerita di depan umum. Peserta didik mengalami kesulitan mengingat hal-hal penting yang akan diceritakan karena data-data tokoh yang terlalu panjang dan belum ditemukan teknik pencatatan yang tepat sehingga terjadi kekakuan saat bercerita. Kesulitan ini menyebabkan peserta didik menjadi kurang percaya diri karena tidak menguasai isi pembicaraan sehingga tampil monoton. Permasalahan yang ada berdasarkan pengamatan dan penilaian selama kegiatan pembelajaran perlu dilakukan suatu tindakan yang dapat meningkatkan kemampuan peserta didik kelas VII E SMP Negeri 2 Sanggau dalam menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh, serta alasan mengidolakan tokoh tersebut. Penelitian dirancang dengan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebagai upaya meningkatkan kemampuan menceritakan tokoh idola untuk mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh, serta alasan mengidolakannya dengan menggunakan teknik pencatatan melalui peta pikiran. Tarigan (1981:35) menyatakan bahwa bercerita merupakan salah satu keterampilan berbicara yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada orang lain. Dikatakan demikian karena bercerita termasuk dalam situasi informatif yang ingin membuat pengertian-pengertian atau makna-makna menjadi jelas. Dengan bercerita, seseorang dapat menyampaikan berbagai macam cerita, ungkapan berbagai perasaan sesuai dengan apa yang dialami, dirasakan, dilihat, dibaca dan ungkapan kemauan dan keinginan membagikan pengalaman yang diperolehnya. Dengan kata lain, bercerita adalah salah satu keterampilan berbicara yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada orang lain dengan cara menyampaikan berbagai macam ungkapan, berbagai perasaan sesuai dengan apa yang dialami, dirasakan, dilihat, dan dibaca. Arsjad dan Mukti (1993:17-22) mengemukakan faktor-faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. yang dapat menunjang keefektifan bercerita. Yang termasuk faktor kebahasaan adalah ketepatan ucapan, penekanan tekanan nada, sendi dan durasi, pilihan kata, ketepatan penggunaan kalimat, dan ketepatan sasaran pembicaraan. Sedangkan faktor nonkebahasaan meliputi: (1) sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku, (2) pandangan harus diarahkan pada lawan bicara, (3) kesediaan menghargai pendapat orang lain, (4) gerak-gerik dan mimik yang tepat, (5) kenyaringan suara, (6) relevansi/penalaran, (7) penguasaan topik. Sementara itu faktor yang menghambat dalam keefektifan keterampilan bercerita yaitu: (a) faktor fisik, merupakan faktor yang ada dalam partisipan sendiri dan faktor yang berasal dari luar partisipan, (b) faktor media, terdiri dari faktor linguistik dan faktor nonlinguistik (misalnya tekanan, lagu, irama, ucapan dan isyarat gerak tubuh), (c) faktor psikologis, merupakan kondisi kejiwaan partisipan dalam keadaan marah, menangis, dan sakit. Pembelajaran berbicara harus dilakukan berdasarkan tahap berbicara yang secara natural dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Proses tersebut meliputi tahapan penangkapan ide, pengembangan ide, pengemasan ide, dan hingga tahap penyampaian ide. Menurut Luoma dalam Abidin (2013:136) bahwa pembelajaran berbicara hendaknya dilakukan dengan orientasi terhadap perkembangan kemampuan individual. Pembelajaran berbicara dilaksanakan untuk mencapai berbagai tujuan. Tujuan pembelajaran tersebut adalah membentuk kepekaan peserta didik terhadap sumber ide, kemampuan menghasilkan ide, dan melatih peserta didik agar memiliki kemampuan berbicara untuk berbagai tujuan, serta menjadikan peserta didik kreatif berbicara. Untuk mengetahui kemampuan peserta didik menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh serta alasan mengidolakannya dilaksanakan penilaian terhadap hasil belajar peserta didik dengan menggunakan penilaian keterampilan berbicara. Peneliti sependapat dengan Sapani (1990: 12-16) bahwa penilaian keterampilan bercerita meliputi tiga aspek keterampilan berbicara. Tiga aspek keterampilan berbicara tersebut adalah sebagai berikut. 1) Bahasa lisan yang digunakan, meliputi: lafal dan intonasi, pilihan kata, struktur bahasa, serta gaya bahasa dan pragmatik, 2) Isi pembicaraa meliputi: hubungan isi topik, struktur isi, kuantitas isi, serta kualitas isi, 3) Teknik dan penampilan meliputi: gerak-gerik dan mimik, hubungan dengan pendengar, volume suara, serta jalannya pembicaraan 752
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Penilaian yang dilakukan dalam menceritakan tokoh idola mencakup aspek: (1) bahasa lisan meliputi lafal, intonasi, dan pilihan kata, (2) isi pembicaraan meliputi hubungan isi topik berupa identitas tokoh, keunggulan tokoh, serta alasan mengidolakannya, (3) teknik dan penampilan meliputi gerak-gerik, mimik, dan volume suara. Kemampuan peserta didik dalam menceritakan tokoh idola belum mencapai hasil yang memuaskan padahal tujuan pembelajaran berbicara menurut Abidin (2013:131) adalah membentuk kepekaan peserta didik terhadap sumber ide, kemampuan menghasilkan ide, dan melatih peserta didik memiliki kemampuan berbicara untuk berbagai tujuan, serta menjadikan peserta didik agar kreatif berbicara. Kemampuan menceritakan tokoh idola baik pada proses pembelajaran maupun hasil belajar belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Secara umum penilaian hasil tes unjuk kerja terhadap kegiatan menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh serta alasan mengidolakannya, yang diperoleh peserta didik menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik yang mencapai nilai 75 sesuai kriteria ketuntasan minimal baru mencapai 41%. Dari 32 peserta didik, dua peserta didik mendapat nilai sangat baik atau 6%, empat peserta didik mendapat nilai baik atau 13%, tujuh peserta didik mendapat nilai cukup atau 22%, dan sembilan belas peserta didik mendapat nilai kurang atau 59%. Kemampuan peserta didik dalam menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh, serta alasan mengidolakannya masih belum maksimal. Peserta didik mengalami kesulitan saat mengidentifikasi data-data yang berhubungan dengan identitas, keunggulan dan alasan mengidolakannya. Menurut KBBI (1991:1064) tokoh adalah orang yang terkemuka dan kenamaan (dalam lapangan politik, kebudayaan, dsb). Tokoh menurut Nurgiyantoro (2009:165) merujuk pada orangnya, atau pelaku cerita. Sedangkan Idola menurut KBBI (1991: 366) yaitu orang, gambar, patung, dsb yang menjadi pujaan. Pujaan berarti sesuatu atau orang yang dipuja-puja. Tokoh idola adalah orang yang dianggap istimewa karena kelebihan atau prestasi yang dimilikinya sehingga menimbulkan perasaan pada diri seseorang untuk meniru cara dan gaya tokoh idola dalam mencapai prestasinya. Tokoh yang dapat dijadikan idola adalah orang yang berperan dalam bidang pendidikan, sejarah, politik, agama, kebudayaan, ekonomi, hukum dan seni, serta olahraga . Tokoh tersebut dipuja dan disukai karena mempunyai jasa tertentu yang akan dikenang oleh sekelompok orang dalam waktu tertentu. Tokoh idola biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, seperti banyak dikagumi masyarakat, ahli dalam bidangnya, mempunyai prestasi yang menonjol, dan dapat menjadi panutan atau teladan. Penceritaan tokoh idola meliputi identitas tokoh, keunggulan dan alasan mengidolakan tokoh. Identitas tokoh meliputi nama lengkapnya, tempat tanggal lahir, nama orang tua, nama istri, dan nama anak, pendidikan yang ditempuh. Keunggulan tokoh dapat dilihat dari prestasi yang pernah diraihnya. Alasan mengidolakan tokoh diungkapkan untuk menyakinkan pendengar agar menyetujui pendapat pencerita mengenai tokoh idolanya. Argumen yang dikemukakan harus masuk akal dan sesuai dengan fakta. Pentingnya pengembangan kemampuan berpikir anak sebagai bekal hidup untuk melatih berpikir anak berpikir kritis terhadap setiap fakta yang ditemukan. Orang tua dan guru diharapkan memberikan stimulasi pada anak sehingga terjadi proses pembelajaran yang terpusat pada anak. Stimulasi dapat diberikan dengan cara memberikan kesempatan pada anak untuk menjadi kreatif. Bebaskan daya kreatif peserta didik untuk menuangkan imajinasinya sehingga dapat menghasilkan ide-ide yang inovatif dan jalan keluar dalam menyelesaikan masalah serta meningkatkan kemampuan dalam mengingat sesuatu. Menurut Henry (2013:6) membuat catatan serta bagan atau rangkaian ide-ide yang akan disampaikan pada suatu pembicaraan akan menolong murid untuk mengutarakan ide-ide tersebut kepada pendengar. Peserta didik akan berbicara dari catatan-catatan, dan mereka membutuhkan banyak latihan berbicara dari catatan agar penyajiannya jangan terputus-putus dan tertegun-tegun. Untuk mempermudah peserta didik mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh serta alasan mengidolakannya digunakan teknik pencatatan dengan peta pikiran. Peta pikiran menurut De Potter, dkk (1999:152) sangat baik untuk merencanakan dan mengatur pelbagai hal. Tujuan mencatat adalah mendapatkan poin-poin kunci dari buku-buku, laporan, dan sebagainya. Catatan yang baik dan efektif akan membantu untuk mengingat detail-detail tentang poin-poin kunci, memahami konsep-konsep utama, dan melihat kaitannya. Karena manusia berkomunikasi 753
ISBN :978-602-17187-2-8
dengan kata-kata, otak pada saat yang sama harus mencari, memilah, memilih, merumuskan, merapikan, mengatur, menghubungkan, dan menjadikan campuran antara gagasan-gagasan dengan kata-kata yang sudah mempunyai arti untuk dipahami. Teknik Pencatatan ini dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Tony Buzan dan didasarkan pada riset tentang bagaimana cara kerja otak yang sebenarnya. Otak sering kali mengingat informasi dalam bentuk gambar, simbol, suara, bentuk-bentuk, dan perasaan. Peta ini dapat membangkitkan ide-ide orisinal dan memicu ingatan yang mudah. Cara ini juga menenangkan, menyenangkan, dan kreatif. Peta pikiran bermanfaat dalam memusatkan perhatian, meningkatkan pemahaman, fleksibel, dan menyenangkan. Peta pikiran dapat mengubah informasi menjadi pengetahuanpengetahuan, wawasan dan tindakan, informasi yang disajikan fokus pada bagian-bagian penting dan dapat mendorong orang untuk mengorganisasikan dan menyajikan konsep, ide, tugas atau infromasi lainnya dalam bentuk diagram. Penyajian informasi yang terhubung dengan topik sentral dalam bentuk kata kunci, gambar (simbol), dan warna sehingga suatu informasi dapat dipelajari dan diingat secara cepat dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh serta alasan mengidolakan tokoh melalui peta pikiran. Secara khusus penelitian ini bertujuan mendeskripsikan: 1. Proses peningkatkan kemampuan berbicara dalam menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh serta alasannya mengidolakan tokoh melalui peta pikiran pada peserta didik kelas VII E SMP Negeri 2 Sanggau. 2. Hasil peningkatkan kemampuan berbicara dengan mengemukakan identitas tokoh dan keunggulan serta alasannya mengidolakan tokoh melalui peta pikiran pada peserta didik kelas VII E SMP Negeri 2 Sanggau METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) dengan dua siklus yang dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Pada setiap siklus dilakukan 4 tahap kegiatan, yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. Penelitian dilakukan selama tiga minggu yang dilaksanakan sejak tanggal 26 Januari sampai dengan 14 Februari 2015. Penelitian dilakukan oleh peneliti selaku guru mata pelajaran bahasa Indonesia sekaligus pengajar, pengamat, penganalisa data di SMP Negeri 2 Sanggau pada semester genap tahun pelajaran 2014/2015. Subjek penelitian adalah kelas VII E dengan jumlah peserta didik sebanyak 32 orang terdiri dari 16 peserta didik laki-laki dan 16 peserta didik perempuan. SMP Negeri 2 Sanggau terletak di Jalan Dewi Sartika Sanggau, kelurahan Ilir Kota, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau. Sekolah ini merupakan salah satu dari empat belas SMP Negeri di Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau. Untuk memperoleh data tentang informasi dalam kegiatan penelitian dilakukan pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara, tes unjuk kerja dan dokumentasi. Instrumen pengumpul data dilakukan dengan menggunakan lembar observasi, pedoman wawancara, dan tes unjuk kerja. Lembar observasi digunakan untuk menilai aktivitas peserta didik selama kegiatan penelitian dilakukan. Wawancara dilakukan sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran untuk mengetahui alasan kegagalan dan keberhasilan peserta didik saat pembelajaran. Tes unjuk kerja digunakan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar peserta didik saat menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh, serta alasan mengidolakannya dengan pilihan kata yang sesuai. Kegiatan penelitian dilaksanakan karena rendahnya minat peserta didik pada kegiatan pembelajaran menceritakan tokoh idola pada proses pembelajaran. Selain itu peserta didik mengalami kesulitan saat menceritakan tokoh idolanya dengan mengemukakan identitas dan keunggulan, serta alasan mengidolakannya dengan pilihan kata yang sesuai. Dalam penelitian ini dilakukan analisis data berdasarkan hasil observasi dan hasil tes unjuk kerja. Data-data tersebut dianalisis untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Kelemahan yang ditemukan dicari solusi untuk mengatasi masalah tersebut, kemudian diambil langkah-langkah yang perlu dilakukan pada siklus berikutnya. Setiap siklus terdiri dari dua pertemuan. Hasil refleksi siklus I dipakai sebagai dasar 754
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
untuk pelaksanaan siklus II. Pemberian tindakan pada siklus II didasarkan pada upaya untuk dapat melaksanakan penggunaan peta pikiran dalam peningkatan keterampilan menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh serta alasan mengidolakannya dengan pilihan kata yang sesuai. Untuk memperjelas analisis, data akan ditampilkan dalam bentuk tabel. Untuk mengukur keberhasilan dalam penelitian ini adalah keberhasilan memotivasi peserta didik dalam kegiatan proses pembelajaran dengan mencapai nilai ketuntasan minimal ≥ 75 dan persentase ≥ 75 % ketuntasan. HASIL Peningkatan Kualitas Proses Pembelajaran Peserta Didik Menceritakan Tokoh Idola Melalui Peta Pikiran Kualitas proses belajar yang diamati dalam penelitian ini meliputi keaktifan, kreativitas, dan motivasi peserta didik selama mengikuti pembelajaran. Peningkatan keaktifan belajar peserta didik dapat dilihat dalam uraian berikut. Aspek pertama adalah keaktifan. Kriteria aspek keaktifan meliputi sering bertanya, memberi pendapat, dan aktif dalam kegiatan belajar. Pada akhir siklus I peserta didik yang aktif mencapai 30% dan pada akhir siklus II mencapai 75%. Aspek kedua adalah kreativitas peserta didik dalam menentukan tokoh idola yang dipilih dan membuat gambar peta pikiran. Pada siklus I hanya 20% peserta didik yang memenuhi kriteria yang ditentukan dan pada akhir siklus II mencapai 75%. Aspek ketiga yang diamati adalah motivasi peserta didik mengikuti kegiatan pembelajaran dengan keinginan untuk tampil menceritakan tokoh yang diidolakannya . Pada akhir siklus I peserta didik yang memenuhi kriteria ini sebanyak 21% dan pada akhir siklus II mencapai 85%. Selain itu, dari angket yang diisi oleh peserta didik diketahui bahwa penggunaan Peta Pikiran membuat peserta didik lebih tertarik dan bersemangat selama pembelajaran menceritakan tokoh idola. Peningkatan Kualitas Hasil Pembelajaran Peserta Didik Menceritakan Tokoh Idola Peningkatan hasil belajar menceritakan tokoh idola dilakukan pada tiga aspek yaitu (1) bahasa lisan meliputi kesesuaian artikulasi, intonasi, dan pilihan kata dalam menceritakan tokoh idola, (2) isi pembicaraan meliputi kesesuaian identitas dan keunggulan tokoh, serta alasan mengidolakannya, (3) penampilan yang meliputi kesesuaian gerak-gerik, mimik, dan volume suara saat bercerita. Untuk mengetahui hasil kemampuan menceritakan tokoh idola dilakukan tes unjuk kerja terhadap pesrta didik. Penskoran hasil tes unjuk kerja dilakukan dengan menggunakan kriteria penilain yang telah ditentukan dalam rubrik penilaian. Peningkatan hasil unjuk kerja pada siklus I dan siklus II terjadi pada semua aspek,namun peningkatan terbesar terjadi pada aspek kesesuaian isi pembicaraan yang meliputi identitas tokoh, keunggulan, serta alasan mengidolakannya. Berdasarkan data yang ada, diketahui bahwa terjadi peningkatan ketuntasan dalam dua siklus penelitian yang dijalankan. Pada akhir siklus I sudah terjadi peningkatan dari nilai rata-rata dari 59% pada pratindakan menjadi 70%, meskipun belum sesuai dengan kriteria ketuntasan minimal yaitu nilai ≥ 75. Peningkatan pada akhir siklus II dari 70% peserta didik yang tuntas menjadi 82%. Peningkatan ini terjadi karena peserta didik sudah memahami cara membuat penulisan konsep-konsep yang akan dituangkan melalui peta pikiran. Dari nilai ratarata tersebut terjadi peningkatan yang sangat mengembirakan karena indikator keberhasilan belajar peserta didik yaitu jika dari 32 peserta didik yang mendapat nilai ketuntasan minimal ≥ 75, persentasenya ≥ 75 %. Pada akhir siklus II, 82% peserta didik telah mencapai ketuntasan, sehingga indikator keberhasilan telah tercapai. Peningkatan kemampuan peserta didik dalam menceritakan tokoh idola untuk setiap aspek dapat dilihat dari uraian berikut. Pertama, peningkatan ketepatan bahasa lisan meliputi lafal, intonasi, dan pilihan kata saat peserta didik menceritakan tokoh idolanya. Peningkatan kemampuan peserta didik pada aspek ketepatan bahasa lisan diketahui bahwa dari 32 peserta didik 69% pada siklus menjadi 81% peserta didik yang berhasil mencapai nilai ≥ 75. Kedua, peningkatan ketepatan isi pembicaraan berupa identitas, keunggulan, serta alasan mengidolakan tokoh merupakan peningkatan terbesar karena dari 32 peserta didik 64% tuntas pada siklus I menjadi 86% pada siklus II. Ketiga, peningkatan kesesuaian penampilan yang meliputi kesesuaian gerak-gerik, mimik, dan volume suara saat bercerita. Aspek penampilan tidak menunjukan peningkatan yang 755
ISBN :978-602-17187-2-8
signifikan karena ketidaktuntasan peserta didik pada siklus I sebesar 70% menjadi 80% pada siklus II. PEMBAHASAN Kualitas Proses Pembelajaran Menceritakan Tokoh Idola Menurut Dasim dkk (2010:70) belajar merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuan. Keaktifan peserta didik mengajukan pertanyaan, mengemukakan gagasan, dan mencari data dan informasi yang mereka perlukan untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi selama proses pembelajaran berlangsung. Dalam siklus I dan siklus II, keaktifan peserta didik telah menunjukkan peningkatan. Peserta didik aktif bertanya, memberi pendapat, dan aktif dalam kegiatan belajar. Semiawan (1987) dalam Restianti (2009:9) menyebutkan bahwa kreativitas merupakan proses pemikiran berbagai gagasan dalam menghasilkan suatu persoalan atau masalah. Peserta didik memiliki daya imajinasi yang kuat,bersifat ingin tahu, selalu ingin mendapat berbagai pengalaman baru, dan berani dalam pendapat dan keyakinan dalam proses pembelajaran. Dari siklus I hingga siklus II terjadi peningkatan jumlah peserta didik yang memiliki daya imajnasi yang kuat saat membuat gambar peta pikiran. Peserta didik menunjukan keingintahuan yang tinggi untuk mengidentifikasi identitas dan keunggulan tokoh, serta alasan mengidolakanya. Peningkatan yang signifikan pada aspek ketepatan isi pembicaraan disebabkan dalam pembelajaran peserta didik mampu menampilkan penceritaan tokoh idola sesuai dengan tujuan pembelajaran pada kompetensi dasar. Penggunaan peta pikiran merupakan satu faktor yang meningkatkan kemampuan peserta didik. Motivasi menurut Pupuh (2010:19) merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi sebagai keseluruhan daya pengerak di dalam diri peserta didik yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan yang ada dapat tercapai. Dalam siklus I dan siklus II, motivasi peserta didik telah menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat terjadi karena dalam kegiatan pembelajaran peserta didik dimotivasi untuk berani bercerita karena bermanfaat untuk meningkatkan rasa percaya diri dan memperlancar komunikasi. Penelitian dilakukan pada proses maupun hasil belajar dalam menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh, serta alasan mengidolakannya dengan pilihan kata yang sesuai. Berdasarkan data yang ada maka dilakukan perbaikan pada rencana pelaksanan pembelajaran. Kegiatan perencanaan dilaksanakan dengan merencanakan media dan metode pembelajaran yang akan digunakan. Saat proses pembelajaran pada pertemuan pertama, guru membagi peserta didik dalam kelompok-kelompok. Peserta didik diminta mengambil gambar tokoh yang telah dipersiapkan oleh guru. Gambar tokoh tersebut diamati peserta didik dalam kelompok, kemudian peserta didik mencari amplop yang sesuai dengan nama tokoh. Amplop tersebut berisi profil tokoh. Peserta didik diminta mengisi data-data tokoh melalui diskusi kelompok. Salah seorang peserta didik akan menceritakan tokoh tersebut berdasarkan data-data yang telah diisi. Setelah kegiatan refleksi dilaksanakan, diketahui bahwa kemampuan menceritakan tokoh idola belum memuaskan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan perbaikan pada rencana pembelajaran. Rencana pembelajaran pada siklus 1 direncanakan menggunakan satu cara untuk menyimpan dan mengingat informasi mengenai tokoh idola melalui teknik-teknik mencatat yang baru. Menurut penelitian yang dikutip Bobbi, dkk (2005: 150) keterbatasan fisik yang mensyaratkan bahwa mulut hanya membentuk satu kata tiap satu waktu. Jika kita menginginkan orang lain untuk memahami kita, maka kata-kata tersebut harus dalam aturan tertentu, bukan sekadar bunyi-bunyian tanpa arti.
Gambar 1: Contoh peta pikiran tokoh idola “B.J. Habibie”
756
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Karena manusia berkomunikasi dengan kata-kata, pada saat yang sama otak harus mencari, memilah, memilih, merumuskan dan merapikan, mengatur, menghubungkan, dan menjadikan campuran antara gagasan-gagasan dengan kata-kata yang sudah mempunyai arti untuk dapat dipahami. Penggunaan teknik pencatatan yang dikembangkan oleh Tony Buzan pada tahun 1970-an didasarkan pada riset tentang bagaimana cara kerja otak. Peta dapat membangkitkan ide-ide orisinal dan memicu ingatan dengan mudah. Penggunaan peta pikiran pada siklus 1 membantu peserta didik mengingat hal-hal penting yang akan diceritakan untuk mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh, serta alasan mengidolakannya dengan pilihan kata yang sesuai. Kegiatan diawali dengan dengan penjelasan guru mengenai penggunaan peta pikiran yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Peserta didik mendiskusikan identitas, keunggulan, dan alasan mengidolakan tokoh. Peserta didik membuat lingkaran tengah untuk menulis nama tokoh idola sesuai dengan tokoh yang mereka dapatkan. Peserta didik menambah cabang dari pusatnya untuk tiap-tiap poin kunci dengan menggunakan pulpen warna-warni. Tiap-tiap cabang dikembangkan untuk menambah detail-detail dan menambahkan simbol atau ilustrasi. Rata-rata hasil belajar saat menceritakan tokoh idola baru mencapai nilai rata-rata 70%, dengan rincian: 72% untuk aspek bahasa lisan, 67% untuk aspek isi pembicaraan, dan 71% untuk aspek teknik dan penampilan. Aspek isi pembicaraan merupakan pencapaian nilai terendah namun sudah menunjukkan adanya peningkatan dengan penggunaan teknik mencatat ―peta pikiran‖. Pencapaian nilai yang ada belum menunjukkan ketuntasan pada setiap kriteria penilaian. Sebelum siklus 2 dilaksanakan, berdasarkan proses dan hasil belajar pada siklus 1 setelah dilakukan refleksi kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada penggunaan peta pikiran dan meminta peserta didik mencari tokoh yang mereka idolakan, kemudian peserta didik membuat catatan dengan menggunakan peta pikiran. Pemusatan peta pikiran dijadikan sebagai kunci untuk menceritakan tokoh idola. Kata kunci yang terdapat pada peta pikiran akan dirangkai menjadi sebuah cerita yang menarik mengenai tokoh idola. Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan peta pikiran membuat peserta didik termotivasi sehingga menimbulkan kreativitas. Peserta didik dapat membawa gambar atau poster tokoh idola pada saat menceritakan tokoh idola. Dengan demikian peserta didik merasa bangga terhadap tokoh yang diidolakannya dan menambah rasa percaya diri saat tampil di depan kelas. Berdasarkan data dalam tabel diketahui bahwa pada akhir siklus II pembelajaran menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh, serta alasan mengidolakannya dengan pilihan kata yang sesuai, terjadi peningkatan pada setiap aspek penilaian. Rata-rata hasil belajar saat menceritakan tokoh idola sudah mencapai 82%, dengan rincian: 81% untuk aspek bahasa lisan, 86% untuk aspek isi pembicaraan, dan 81% untuk aspek teknik dan penampilan. Keberhasilan pembelajaran dengan menggunakan peta pikiran baik pada proses maupun hasil belajar disebabkan oleh: (1) menggunakan peta pikiran menimbulkan semangat dan keingintahuan peserta didik saat diskusi untuk meletakan data-data yang diperlukan saat menceritakan tokoh idola; (2) peta pikiran yang telah dirancang dengan menggunakan gambar atau simbol-simbol mempermudah peserta didik untuk mengingat kejadian atau hal-hal penting yang berhubungan dengan tokoh idola. Keaktifan peserta selama proses pembelajaran terlihat saat berdiskusi untuk menentukan identitas dan keunggulan tokoh serta alasan mengidolakannya dengan pilihan kata yang sesuai. Keseriusan dalam berdiskusi membuktikan bahwa peserta didik menjadi tertarik untuk menemukan identitas dan keunggulan tokoh dengan menggunakan peta pikiran. Ketidaklancaran peserta didik saat bercerita membuat peserta didik yang lain tidak memperhatikan penampilan temannya di depan kelas. Peserta didik merasa bosan atau kurang tertarik sehingga mereka lebih cenderung untuk menghapal hal-hal yang akan dikemukakan nanti. Penggunaan peta pikiran dapat membantu peserta didik berkomunikasi secara lisan atau bercerita dengan lancar dan percaya diri karena peserta didik sudah mengetahui apa yang akan diceritakan. Poster atau gambar tokoh memberikan rasa bangga terhadap tokoh yang diidolakannya. Sebagai pendengar peserta didik yang semula tidak memperhatikan temannya saat bercerita menjadi tertarik karena kelancaran bercerita.
757
ISBN :978-602-17187-2-8
PENUTUP Kesimpulan Tujuan kegiatan pembelajaran merupakan tujuan yang harus dicapai sesuai dengan kompetensi dasar. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada kegiatan menceritakan tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh serta alasan mengidolakannya baik pada proses dan hasil kegiatan terjadi peningkatan yang signifikan. Aspek yang dinilai meliputi bahasa lisan, isi pembicaraan, teknik dan penampilan saat bercerita menunjukkan peningkatan yang terjadi dari siklus I ke siklus II. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan teknik pencatatan dengan peta pikiran dapat membantu dan permudah peserta didik mengungkapkan identitas dan keunggulan tokoh serta alasan mengidolakannya. Peningkatan hasil mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh serta alasan mengidolakannya dari siklus I (70,44 %), dan siklus II (82,33%) membuktikan bahwa penerapan teknik pencatatan dengan peta pikiran dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menceritakan tokoh idola. Peserta didik lebih kreatif dalam menentukan hal-hal yang menarik dari tokoh idola saat bercerita. Pendengar menjadi tertarik karena penceritaan tokoh idola lebih bervariasi dan memuncul rasa senang serta penasaran untuk mengetahui tokoh yang akan diceritakan. Saran Kegiatan pembelajaran saat ini menuntut guru lebih kreatif dan bervariasi dalam melaksanakan pembelajaran . Dengan menggunakan teknik yang bervariasi akan menumbuhkan motivasi belajar bagi siswa. Guru dapat menggunakan teknik pencatatan dengan peta pikiran karena dapat membantu guru untuk meningkatkan kemampuan memceritakan tokoh idola. Guru harus lebih kreatif dan bervariasi dalam menggunakan strategi sesuai dengan tujuan pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Abidin, Yunus. 2013. Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Refika Aditama. Budimansyah, Dasim, dan Supartan, Meirawan, Danny. 2008. Pakem: Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Bandung: Genesindo. Depdiknas.2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia PustakaUtama. DePorter, Bobbi, dan Hernacki, Mike. 2005. Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa. Fathurrohman, Pupuh, dan Sutikon, Sobry.2010. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islam. Bandung: PT Refika Aditama. Harsiati, Titik. 2013. Modul Asesmen Pembelajaran Bahasa Indonesia TEQIP. Malang: IKIP Malang. Musaba, Zulkifli.2012. Terampil Berbicara Teori dan Pedoman Penerapannya. Yogyakarta: CV Aswaja Pressindo. Restianti, H.2009. Peningkatan Mutu Pendidikan dalam Mengajarkan Bahasa Indonesia. Bandung: CV Citra Praya. Sukmadinata, Nana Syaodith. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tarigan, Henry Guntur dan Tarigan, Djago. 1980. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 2013. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Nurhayati, L. 2009. Penggunaan Lagu dalam Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Siswa SD: Mengapa dan Bagaimana? Majalah Ilmiah Pembelajaran. (Online), Nomor 1, Vol. 5 Mei 2009. (http://www. staff.uny.ac.id, diakses 10 September 2013)
758
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN BERBASIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER PADA SISWA SMP SEBAGAI IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN BERMAKNA Firmansyah Pendidikan Bahasa Indonesia-Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Pembelajaran sastra sangat penting bagi tumbuhnya nilai-nilai kemanusian dan karakter positif siswa. Salah satu bentuk pembelajaran menulis kreatif sastra di SMP adalah pembelajaran menulis cerita pendek berbasis nilai-nilai pendidikan karakter. Pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter merupakan salah satu konsep pembelajaran bermakna (meaningful learning). Pembelajaran ini melalui 3 (tiga) kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian otentik evaluasi pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter. Kata Kunci: pembelajaran bermakna, pembelajaran menulis cerpen, nilai-nilai pendidikan karakter
Pembelajaran sastra sangat penting bagi tumbuhnya nilai-nilai kemanusian dan karakter positif siswa. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang tertuang dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Dalam karya sastra terkandung nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat dipelajari dan diteladani. Pembelajaran sastra tidak hanya mengenai pembelajaran membaca sastra, tetapi juga pembelajaran menulis kreatif sastra. Salah satu bentuk pembelajaran menulis kreatif sastra di SMP adalah pembelajaran menulis cerita pendek. Dalam KTSP, salah satu kompetensi dasar yang diharapkan dapat dicapai siswa kelas IX adalah siswa mampu menyusun teks cerita pendek berdasarkan pengalaman yang pernah dialami (Depdiknas, 2006:17). Menulis cerpen sebagai bagian dari menulis kreatif sastra mempunyai banyak manfaat. Seseorang yang menulis kreatif sastra akan mendapatkan manfaat, antara lain (1) meningkatkan kemampuan apresiasi dan memberikan tambahan pengetahuan sastra, (2) memperlancar penulis dalam mengungkapkan ide, (3) memberikan pengalaman yang lengkap terhadap penulis, yakni mempelajari teori sastra, mengapresiasi sastra, dan menuliskan ide (Roekhan, 1991:63). Dengan pembelajaran menulis cerpen, siswa akan lebih memahami proses kreatif menulis cerpen dan nilai-nilai budi pekerti yang terkandung di dalamnya, serta mendapatkan pengalaman yang lengkap tentang menulis cerpen. Dewasa ini, pembahasan mengenai pendidikan yang berbasis pada pembangunan karakter (character building) siswa menjadi wacana yang ramai dibicarakan di dunia pendidikan maupun di kalangan masyarakat umumnya. Pendidikan yang dapat melahirkan manusia berkarakter sangat dibutuhkan untuk melawan dekadensi moral yang terjadi pada generasi bangsa saat ini, misalnya di kalangan pelajar penurunan moral mulai memprihatinkan, kebiasaan mencontek pada saat ulangan atau ujian, tawuran, pergaulan bebas dan kenakalan remaja yang lain juga semakin sering terjadi. Perilaku yang penuh sopan santun dan tata krama mulai pudar. Kejahatan dan pelanggaran norma semakin sering banyak terjadi di kalangan pelajar. Siswa mulai mulai biasa berperilaku kurang sopan pada gurunya, teman-temanya, bahkan orang tuanya sendiri. Menyadari pentingnya pendidikan karakter, maka pendidikan karakter harus terus menerus dilaksanakan dan menjadi satu kesatuan dengan setiap mata pelajaran di sekolah. Pendidikan karakter harus diimplementasikan dan diintegrasikan dalam pembelajaran, termasuk dalam pembelajaran menulis cerpen. Dalam gamitan pendidikan karakter, pembelajaran menulis cerpen harus dilaksanakan dengan berorientasi pada peningkatan kemampuan menulis cerpen sekaligus mengembangkan pendidikan karakter siswa.
759
ISBN :978-602-17187-2-8
Pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter merupakan salah satu konsep pembelajaran bermakna (meaningful learning). Proses belajar tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubung- kan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Salah satu konsep pembelajaran bermakna adalah pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter. Untuk itu perlu dilakukan serangkaian upaya guru untuk menciptakan proses pembelajaran menulis cerpen berbasis pendidikan karakter yang bermakna dan berkarakter. Melalui sebuah artikel berjudul ―Pembelajaran Menulis Cerpen Berbasis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Siswa SMP sebagai Implementasi Pembelajaran Bermakna‖ akan diuraikan mengenai (1) hakikat pembelajaran bermakna, (2) hakikat pendidikan karakter, (3) konsep dasar menulis cerpen, (4) perencanaan pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter, (5) pelaksanaan pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter, dan (6) penilaian otentik pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter. HAKIKAT PEMBELAJARAN BERMAKNA Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antara anak dengan lingkungannnya baik antaranak dengan anak, anak dengan sumber belajar, maupun anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi ber-makna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak. Ausubel (1963) seorang ahli psikologi pendidikan menyatakan bahwa bahan pelajaran yang dipelajari seharusnya ―bermakna‘ (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengkaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif yang telah dipelajari dan dingat siswa. Belajar bermakna menurut Ausubel (1963) merupakan proses mengaitkan informasi atau materi baru dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Ada tiga faktor yang mempengaruhi kebermaknaan dalam suatu pembelajaran, yaitu struktur kognitif yang ada, stabilitas kognitif dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Pembelajaran bermakna terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimilki siswa, sehingga faktor intelektual emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Proses belajar tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Salah satu konsep pembelajaran bermakna adalah pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter. HAKIKAT PENDIDIKAN KARAKTER Karakter berasal dari bahasa Yunani kasairo yang berarti cetak biru atau format dasar. Berdasarkan asal katanya karakter dianggap sebagai sekumpulan kondisi yang dimiliki seseorang. Kondisi ini bisa saja bersifat bawaan ataupun bentukan. Kondisi yang bersifat bentukan inilah yang melandasi pemikiran bahwa karakter dapat dibentuk yang salah satu caranya melalui pendidikan (Abidin, 2012:53). Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2003:501) merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Menurut Abidin (2012:53) karakter adalah nilai-nilai yang unik, baik yang terpatri dalam diri maupun tergambar dalam perilaku seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang berusaha menanamkan dan mengembangkan berbagai karakter luhur kepada siswa, menginternalisasikannya dalam berbagai sisi, sehingga siswa mampu meng-implementasikannya dalam berbagai sisi kehidupannya. Pendidikan karakter dapat diterapkan di berbagai lingkungan pendidikan kehidupan siswa, salah satunya melalui pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter. Pendidikan karakter sangat dibutuhkan, apalagi pada masa remaja, masa ketika remaja sedang berusaha mencari jati diri. Pendidikan karakter dibutuhkan menjadi landasan, cara pandang berpikir, bersikap dan bertindak dalam kehidupannya. Dalam pendidikan karakter di 760
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
sekolah, melibatkan seluruh stakeholders, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, pengelolaan aktivitas sekolah, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan dan etos kerja warga sekolah atau lingkungan (Wibowo, 2012:36). Berdasarkan keberagaman nilai budaya yang berorientasi karakter di Indonesia, secara umum Puskur Balitbang Kemdiknas (2010) merumuskan 18 nilai karakter yang harus dikembangkan pada diri siswa. Kedelapan belas nilai karakter tersebut yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab. KONSEP DASAR MENULIS CERPEN BERBASIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER Menulis merupakan proses kreatif menuangkan gagasan, yang dilakukan secara bertahap. Menulis, menurut Sumardjo dalam Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen (2007), merupakan suatu proses melahirkan tulisan yang berisi gagasan. Pendapat yang sama dikemukakan Akhadiah (dalam Abidin, 2012:181), yang memandang kegiatan menulis sebagai sebuah proses penuangan gagasan atau ide ke dalam bahasa tulis, yang dalam praktiknya proses menulis diwujudkan dalam beberapa tahapan yang merupakan satu sistem yang utuh. Cerpen sebagai bagian dari karya sastra prosa fiksi dibangun dari unsur instrinsik dan ekstrinsik. Pada pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter, unsur instrinsik selalu dipahami sebagai pondasi untuk mengembangkan ide penulisan cerpen, yakni meliputi tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan amanat dan mengaitkannya dengan nilai-nilai karakter. Unsur ekstrinsik pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor, (1) latar belakang kehidupan pengarang, (2) keyakinan pandangan hidup pengarang, (3) adatistiadat yang berlaku ketika cerpen ditulis, (4) situasi politik-sosial-budaya, (5) persoalan sejarah, (6) ekonomi, (7) pengetahuan agama (Editorial Padi, 2013:9). Pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya sastra dapat membantu dalam pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter. Siswa akan mengaitkan unsur-unsur ekstrinsik dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang bekembang di lingkungan masyarakat. PERENCANAAN PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN BERBASIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER Perencanaan pembelajaran dijabarkan dalam sebuah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dalam Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses disebutkan bahwa komponen RPP meliputi identitas sekolah, identitas mata pelajaran, kelas/semester, materi pokok, alokasi waktu, tujuan pembelajaran, KD dan indikator pencapaian kompetensi, materi, metode, media, sumber, langkah-langkah dan penilaian pembelajaran. Terkait perencanaan pembelajaran, Dick dan Carey (1978:13) mengajukan sebuah model perancangan yang terdiri dari beberapa komponen yang berupa urutan langkah. Langkahlangkah tersebut, yakni (1) mengidentifikasi tujuan pembelajaran, (2) melakukan analisis instruksional, (3) mengidentifikasi kemampuan awal dan karakteristik siswa, (4) merumuskan tujuan kinerja, (5) mengembangkan tes acuan/patokan, (6) mengembangkan strategi pembelajaran, (7) mengembangkan bahan ajar, (8) merancang dan mengembangkan evaluasi formatif, (9) melakukan revisi terhadap program pembelajaran, serta (10) melakukan evaluasi sumatif dan pentahapan. Berdasarkan pendapat Dick dan Carey tersebut, maka perencanaan pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter, tampak pada tahap kegiatan (1) merumuskan tujuan pembelajaran dan nilai-nilai pendidikan karakter yang ingin dicapai, (2) me-rancang tes awal berbasis nilai-nilai pendidikan karakter, (3) mengembangkan strategi pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter, (4) mengembangkan materi pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter, (5) merancang dan mengembangkan penilaian otentik dalam pembelajaran menulis ceren berbasis nilai-nilai pendidikan karakter, (6) me-lakukan penyuntingan, penilaian dan publikasi terhadap cerpen yang ditulis dan direvisi.
761
ISBN :978-602-17187-2-8
TAHAPAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN BERBASIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER Pembelajaran menulis cerpen merupakan pembelajaran yang berada di ranah keterampilan. Oleh karena itu, seluruh isi materi pembelajaran menulis cerpen harus mendorong siswa melakukan proses pembelajaran menulis cerpen dari tahap reseptif hingga tahap produktif . Kegiatan pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter meliputi kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup. Kegiatan pendahuluan bertujuan untuk menciptakan suasana awal pembelajaran menulis cerpen yang efektif yang memungkinkan siswa dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Berdasarkan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan menengah, kegiatan pendahuluan yang dilakukan guru meliputi (1) menyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran, (2) member motivasi belajar siswa, (3) mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi akan dipelajari, (4) menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang dicapai, (5) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus . Kegiatan inti merupakan kegiatan utama dalam proses pembelajaran. Kegiatan inti ditujukan untuk terkonstruksinya konsep, hukum, atau prinsip oleh siswa dengan bantuan guru melalui langkah-langkah kegiatan tertentu. Kegiatan inti pada pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter terbagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap pramenulis, tahap menulis dan tahap pascamenulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter. Brown (dalam Abidin, 2012:194-195) mengemukakan bahwa pada tahap pramenulis (termasuk pada kegiatan pramenulis cerpen), siswa dapat melakukan berbagai aktivitas (1) membaca dan menyimak beberapa cerpen yang mengandung nilai-nilai pendidikan karakter untuk memperoleh ide menulis cerpen, (2) curah pendapat, (3) mendiskusikan ide, (4) penulis menjawab pertanyaan pancingan sebagai dasar menulis cerpen, (5) melaksanakan observasi ke luar ruangan di luar kelas untuk menemukan sumber ide, (6) penulis membuat beberapa kata kunci sebagai bahan dasar menulis. Sejalan dengan apa yang dikemukakan Brown, Sorenson (dalam Abidin, 2012:195) mengemukakan beberapa aktivitas pramenulis yaitu (1) mengumpulkan informasi, (2) menentukan dan menamakan topik, (3) membatasi subjek atau topik, (4) menentukan tujuan dan maksud penulisan, (5) menentukan pembaca/sasaran dan bentuk cerpen, (6) membuat kerangka karangan cerpen. Pada tahap menulis cerpen, aktivitas penulis adalah mengembangkan kerangka karangan yang telah dibuatnya (Abidin, 2012:1960. Dalam praktiknya, tahap menulis dapat dilakukan secara individu atau berkelompok. Secara lebih mendetail, kegiatan praktik menulis pada tahap ini adalah (1) mempersiapkan diri, (2) mengikuti kerangka cerpen yang telah dibuat, (3) menulis cerpen sambil sesekali melihat kegiatan pada tahap pramenulis, (4) membiarkan arus pikiran, jangan memedulikan penggunaan ejaan, kesalahan kata, kalimat, atau paragraf, (5)engembangkan paragraf dengan teknik yang baik, (6) tetap pada satu tema cerpen untuk menjaga kesatuan tulisan, (7) mengabaikan sementara kesalahan-kesalahan rincian, dan (8) menulis draf cerpen sekali jadi. Tahap pascamenulis cerpen dapat dilakukan dengan berbagai aktivitas. Brown (dalam Abidin, 2012:196) mengemukakan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan penulis pada tahap pascamenulis adalah (1) merevisi dan mengedit cerpen sendiri, (2) merevisi dan mengedit cerpen atas masukan guru atau teman, (3) menilai cerpen secara mandiri, (4) membacakan dan mempublikasikan cerpen yang ditulis. Setelah kegiatan inti selesai, pembelajaran diakhiri dengan kegiatan penutup. Dalam kegiatan penutup, guru bersama siswa melakukan refleksi untuk (1) meninjau kembali penguasaan kompetensi pembelajaran dengan merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, serta nilai-nilai pendidikan karakter yang ditanamkan, (2) memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran, (3) melakukan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pemberian tugas, baik tugas individual maupun kelompok, dan (4) menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk pertemuan berikutnya dan nilai-nilai pendidikan karakter yang akan ditanamkan (Abidin, 2012:93).
762
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PENILAIAN PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN BERBASIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER Harsiati (2013:151) menyatakan bahwa sasaran penilaian menulis kreatif termasuk menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter mencakup penilaian proses dan hasil. Pendapat Harsiati tersebut sesuai pendapat Nurgiantoro (2011:4) yang menyatakan bahwa pada hakikatnya penilaian otentik merupakan kegiatan penilaian yang dilakukan tidak semata-mata untuk menilai hasil belajar siswa, tetapi juga proses kegiatan pembelajaran. Penilaian yang dimaksud mengacu pada aspek kognitif (pemahaman tentang seluk-beluk cerpen), psikomotorik (keterampilan menulis cerpen), dan afektif (sikap siswa selama pembelajaran). Evaluasi pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter yang menggunakan penilaian otentik dilaksanakan melalui angket, observasi, catatan lapangan, catatan anekdot, dan refleksi. Dalam Permendikbud nomor 66 tentang Standar Penilaian Pendidikan dikemukakan bahwa penilaian aspek keterampilan dilakukan melalui penilaian kinerja dengan tes praktik, proyek, dan penilaian portofolio. Hasil penilaian otentik dapat digunakan guru untuk merencanakan program perbaikan (remedial), pengayaan (enrichment), atau pelayanan konseling guna peningkatan hasil pembelajaran dan umpan balik bagi siswa, maupun guru (Harsiati, 2014:1). Instrumen penilaian dikembangkan sesuai dengan indikator pembelajaran. Dalam hal ini, indikator terbagi menjadi dua, yakni indikator pembelajaran menulis cerpen dan indikator dalam ranah sikap/nilai-nilai pendidikan karakter. Penilaian otentik dalam pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter dapat dilakukan dalam berbagai cara yaitu (1) penentuan standar, (2) tugas otentik, (3) pembuatan kriteria, dan (4) pembuatan rubrik (periksa Abidin, 2012). PENUTUP Pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter merupakan implementasi konsep pembelajaran bermakna. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna apabila proses belajar tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubung-kan konsep-konsep, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan.Pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter melalui 3 (tiga) kegiatan yaitu: (1) perencanaan pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter, (2) pelaksanaan pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai-nilai pendidikan karakter, dan (3) penilaian otentik evaluasi pembelajaran menulis cerpen berbasis nilai pen-didikan karakter. DAFTAR RUJUKAN Abidin, Yunus. 2012. Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: PT Refika Aditama. Alwi, Hasan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ausubel, D. P. 1963. The Psychology of Meaningful Verbal Learning. New York: Grune and Stratton. Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22, No.23, dan No.24 Tahun 2006: Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan Tingkat SMP dan MTs. Jakarta: Binatama Raya. Dick, Walter dan Carey, Lou. 1978. The Systematic Design of Instruction. United Stated of America: Scott, Foresman and Company. Editorial Padi. 2013. Kumpulan Super Lengkap Sastra Indonesia, Puisi, Peribahasa, Pantun, Majas, Profil Sastrawan. Jakarta: CV. Ilmu Padi Infra Pustaka Makmur. Harsiati, Titik. 2013. Asessmen Pembelajaran Bahasa Indonesia. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Kemdikbud. Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses. Jakarta: Kemdikbud. Kemdikbud. Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian. Jakarta: Kemdikbud. Nurgiyantoro, Burhan. 2011. Penilaian Otentik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Puskur Balitbang Kemdiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Puskur Balitbang Kemdiknas. 763
ISBN :978-602-17187-2-8
Roekhan. 1991. Menulis Kreatif: Dasar-Dasar dan Petunjuk Penerapannya. Malang: YA3 Malang. Sumardjo, Jakob. 2007. Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wibowo, A. 2012. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PENINGKATAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MENEMUKAN INFORMASI DARI TABEL ATAU DIAGRAM YANG DIBACA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY (TSTS) PADA PESERTA DIDIK KELAS VII A SMP NEGERI 4 SANGGAU Yohana L. A. Suyati SMP Negeri 4 Sanggau, Jalan Embaong 55, Kabupaten Sanggau
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada materi menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca. Subjek penelitian tindakan kelas dalam dua siklus ini adalah 28 orang peserta didik kelas VII A SMP Negeri 4 Sanggau Tahun Pelajaran 2014/2015. Inti langkah pembelajaran TSTS adalah peserta didik memecahkan masalah bersama kelompoknya, kemudian dua peserta didik dari kelompok tersebut bertukar informasi ke dua anggota kelompok lain yang tinggal. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan jumlah peserta didik dengan motivasi tinggi menjadi 89% dan tuntas belajar menjadi 86%. Kata Kunci: menemukan informasi, tabel, diagram, model pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray (TSTS)
Menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca merupakan salah satu Kompetensi Dasar (KD) dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VII semester genap. KD ini merupakan satu bagian dari Standar Kompetensi (SK) memahami wacana tulis melalui kegiatan membaca intensif dan membaca memindai (Depdikbud, 2006:235). KD tersebut merupakan bagian dari penguasaan keterampilan membaca. Sebagaimana diungkapkan oleh Tarigan (2013:9) tujuan utama membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan. Dalam sebuah teks, informasi yang dicari oleh pembaca dapat ditemukan di dalam ide-ide pokok paragraf dan didukung oleh ide-ide penjelas. Dengan menemukan ide-ide pokok dan penjelas, informasi bisa ditentukan Meskipun tersirat maupun tersurat di dalam teks, informasi atau gagasan bacaan tidak jarang menjadi hal yang sulit ditemukan oleh para peserta didik. Kemampuan para peserta didik dalam memahami bacaan kurang menggembirakan. Informasi-informasi penting dari sebuah bacaan ternyata sulit ditemukan oleh para peserta didik. Itu sebabnya, setelah membaca sebuah teks, para peserta didik tidak dapat memahami isi bacaan karena mereka tidak menemukan informasi atau gagasan penting yang terkandung di dalam bacaan tersebut. Kesulitan menemukan informasi penting itu menjadi bertambah ketika para peserta didik dihadapkan pada data-data yang disajikan dengan menggunakan simbol-simbol, angkaangka, atau bentuk-bentuk lainnya yang tidak berupa narasi. Data-data yang dimaksud adalah data-data yang biasa disajikan dalam bentuk tabel atau diagram. Grafik, diagram, tabel, dan alatalat bantu visual lainnya menyajikan informasi dalam bentuk garis, gambar, angka, imajinasi, dan mini kata (Soedarso, 1988:102). Pembaca dituntut untuk mampu menghubungkan data satu dengan data lainnya dan menarik kesimpulan sendiri atas informasi penting yang disampaikan. Tentu, keterampilan ini memerlukan latihan yang cukup intensif. Oleh karena itu, pembelajaran menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca menjadi satu kegiatan yang tidak boleh dilewatkan oleh peserta didik. 764
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Tabel merupakan daftar berisi ikhtisar data atau informasi yang tersusun urut ke bawah dalam lajur dan deret tertentu dengan garis pembatas sehingga mudah dibaca dan dipahami. Diagram adalah Diagram merupakan sketsa untuk menunjukkan atau menerangkan sesuatu. Data disampaikan melalui gambar. Diagram memiliki bentuk yang beraneka ragam. Bentuk diagram, antara lain diagram gambar, diagram lingkaran, diagram batang, diagram garis, dan diagram pohon (Hariningsih, D, dkk, 2008:107). Cara membaca grafik, tabel, diagram, dan alat bantu visual lainnya adalah (1) baca judulnya karena judul adalah ringkasan padat tentang informasi yang akan disampaikan, (2) baca informasi yang ada di atas, di bawah, atau di sisinya karena informasi tersebut merupakan kunci penjelasan tentang materi yang disajikan, (3) ajukan pertanyaan tentang tujuan grafik, peta, tabel, atau diagram tersebut sebagai panduan untuk menemukan informasi, dan (4) baca grafik, tabel, diagram, atau peta itu untuk mendapatkan keterangan dalam informasi yang disajikan (Soedarso, 1988:103). Dengan menguasai keterampilan membaca tabel atau diagram, peserta didik dapat memperoleh informasi yang penting dari setiap tabel atau diagram yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh adalah membaca jadwal pelajaran, jadwal piket, atau jadwal penerbangan pesawat di bandar udara yang sering disajikan dalam bentuk tabel. Jika tidak memahami cara membaca tabel atau diagram, tidak menutup kemungkinan para peserta didik akan mengalami kebingungan atau bahkan kesalahan informasi. Mengingat pentingnya keterampilan ini, pembelajaran menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca perlu lebih diintensifkan agar mencapai hasil yang maksimal. Berdasarkan hal itu, penulis tertarik untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan motivasi dan hasil belajar peserta didik pada materi menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca. Penulis tertarik untuk mengembangkan metode pembelajaran kooperatif tipe TSTS dalam pembelajaran menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca ini. Melalui metode kooperatif teknik TSTS diharapkan peserta didik akan berani mengungkapkan pendapatnya dalam kelompoknya sendiri dan dalam kelompok lain. Dalam struktur TSTS diberi kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain. Berdasarkan www.opheaprograms.net tahapan TSTS yang dikembangkan oleh Spencer Kagan ini adalah peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok heterogen, masing-masing kelompok terdiri dari empat orang. Mereka berdiskusi atau bekerja sama membahas tabel atau diagram tertentu yang disiapkan oleh guru. Setelah selesai, dua peserta didik dari masingmasing kelompok akan bertamu ke kelompok lain. Dua peserta didik yang tinggal dikelompoknya bertugas membagi hasil kerja atau menyampaikan informasi kepada tamu mereka. Peserta didik yang menjadi tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri. Mereka melaporkan hal yang didapat dari kelompok lain. Kemudian, peserta didik membuat laporan tentang hasil diskusi tersebut dan menyajikannya di depan kelas. Sejalan dengan hal tersebut, Giantika dkk telah melakukan penelitian dengan menggunakan metode pembelajaran TSTS kelas IX D di SMP Negeri 2 Kubu. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui peningkatan keterampilan peserta didik dalam berdiskusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) aktivitas belajar peserta didik dalam berdiskusi dengan penerapan metode pembelajaran TSTS mengalami peningkatan, (2) penerapan metode pembelajaran TSTS mampu meningkatkan peserta didik dalam keterampilan berdiskusi dengan rata-rata skor 85,65, dan (3) respons peserta didik terhadap penerapan metode pembelajaran TSTS dalam pembelajaran berdiskusi tergolong sangat positif (Giantika dkk, 2015:11). Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan motivasi dan hasil pembelajaran menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada peserta didik kelas VII A SMP Negeri 4 Sanggau Tahun Pelajaran 2014/2015. Diharapkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS, peserta didik mampu menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca dan motivasi belajar peserta didik juga meningkat. METODE Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam dua siklus. Langkah-langkah yang dilewati dalam setiap siklus adalah 1. permasalahan (problem), 2. perencanaan (planning), 3. pelaksanaan (acting), 4. pemantauan (observing atau monitoring), dan 5. penilaian (reflecting atau evaluating). Dalam penelitian ini, 765
ISBN :978-602-17187-2-8
siklus penelitian tindakan kelas yang dilakukan dihentikan setelah siklus kedua selesai dilaksanakan karena hasil yang diharapkan telah tercapai. Tempat penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 4 Sanggau yang beralamat di Jalan Embaong 55, Bunut, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, pada kelas VII A semester genap tahun pelajaran 2014/2015. Penelitian dilakukan pada semester genap tahun pelajaran 2014/2015 tepatnya dari bulan Maret hingga Mei 2015. Kelas VII A tersebut terdiri dari 28 peserta didik dengan rincian 16 peserta didik perempuan dan 12 peserta didik laki-laki. Guru bertindak sebagai pengajar, pengamat, penganalisis data, dan sekaligus melaporkan hasil penelitian. Instrumen penelitian yang digunakan untuk menjaring data dalam penelitian ini adalah lembar observasi, angket peserta didik, tes, dan kuis. Lembar observasi digunakan untuk menilai aktivitas peserta didik selama penelitian ini dilakukan. Aktivitas yang diamati menjadi dasar untuk mengelompokkan peserta didik dalam kategori peserta didik dengan motivasi rendah, motivasi sedang, dan motivasi tinggi. Angket peserta didik berisi pernyataan-pernyataan yang harus diisi oleh peserta didik dalam rangka menjaring data tanggapan peserta didik terhadap tahapan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Angket peserta didik diberikan dan diisi oleh peserta didik pada akhir siklus kedua. Tes digunakan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca. Tes diberikan pada setiap akhir pertemuan. Selain itu, diberikan juga tes akhir siklus pada akhir siklus I dan akhir siklus II. Kuis diberikan pada setiap akhir pertemuan. Kuis berisi satu soal yang diambil dari kumpulan soal-soal ujian nasional yang berhubungan dengan materi yang dipelajari pada setiap pertemuan. Tujuan pemberian kuis adalah untuk mengetahui perkembangan kemampuan peserta didik dalam setiap pertemuannya dan untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Teknik pengumpulan data hasil belajar menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca dilakukan dengan mengerjakan soal-soal pilihan ganda yang berhubungan dengan tabel atau diagram. Teknik pengumpulan data motivasi belajar dilakukan dengan pengamatan dan angket yang dijawab oleh peserta didik. Teknik analisis data dilakukan dengan mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan. Reduksi data dilakukan melalui pemisahan data yang diperlukan dengan data yang tidak diperlukan dengan menyederhanakan, mengklasifikasi, dan mengabstraksi data. Dalam penelitian ini reduksi data dilakukan melalui penyeleksian data, pemfokusan data mentah menjadi informasi yang bermakna. Data yang akan direduksi mencakup data hasil pengamatan terhadap aktivitas peserta didik serta data tes di setiap akhir pertemuan dan di awal serta akhir siklus. Untuk menentukan hasil belajar peserta didik, hasil tes dikoreksi berdasarkan rubrik penskoran yang telah ditetapkan. Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel dan diagram agar data lebih mudah dipahami oleh orang lain. Dalam penelitian ini pengkategorian data dilakukan dengan cara memaparkan rencana tindakan dan perlakuan tindakan serta kendalanya, memaparkan hasil observasi, hasil angket yang diperoleh selama proses pembelajaran serta menyajikan data hasil tes kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal tes ke dalam bentuk tabel. Penarikan kesimpulan merupakan proses penyimpulan data yang telah dihasilkan sehingga diperoleh pernyataan mengenai dampak tindakan. Indikator untuk mengukur keberhasilan dalam penelitian ini adalah: 1. Indikator keberhasilan untuk motivasi peserta didik dengan kriteria ketuntasan motivasi minimal masuk ke dalam kategori motivasi tinggi jika diperoleh dengan persentase ≥ 80 %. 2. Indikator keberhasilan belajar peserta didik terjadi jika dari 28 peserta didik yang mendapat nilai tuntas ≥ 70, persentasenya ≥ 75 %. 3. HASIL Peningkatan Motivasi Belajar Peserta Didik Dalam penelitian ini, motivasi belajar peserta didik dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu motivasi rendah, sedang, dan tinggi. Perkembangan motivasi belajar peserta didik dapat diliat dalam Grafik 1 berikut ini.
766
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
89% 79% 64%
61%
Motivasi Rendah 25% 14%
21% 14%
Motivasi Sedang
21% 11% 0%
0%
Motivasi Tinggi
Pertemuan Pertemuan Pertemuan Pertemuan I Siklus I II Siklus I I Siklus II II Siklus II Grafik 1. Perkembangan Motivasi Belajar Peserta Didik dalam Siklus I dan Siklus II
Dari Grafik 1 dapat diketahui bahwa jumlah peserta didik dengan motivasi tinggi dalam mengikuti pembelajaran menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS selalu mendominasi setiap pertemuan, baik dalam siklus I maupun siklus II. Secara berturut-turut, persentase dari pertemuan I dan II di siklus I serta pertemuan I dan II di siklus II adalah 61%, 64%, 79%, dan 89%. Sebagaimana ditetapkan pada awal penelitian, indikator keberhasilan untuk motivasi peserta didik adalah jika ≥ 80 %. peserta didik masuk ke dalam kategori motivasi tinggi. Pada pertemuan II siklus II, jumlah tersebut dapat dicapai yaitu dengan jumlah sebesar 89%. Sementara itu, peserta didik dengan motivasi rendah masih ditemukan pada siklus I dengan persentase 25% pada pertemuan I dan 14% pada pertemuan II. Pada siklus II, tidak lagi ditemukan peserta didik dengan motivasi belajar yang rendah, baik pada pertemuan I maupun pertemuan II. Untuk mengetahui tahapan mana dari model pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini yang paling disenangi peserta didik, disebarkanlah angket kepada seluruh peserta didik. Hasil angket tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1. Tahapan yang Paling Disukai Peserta Didik dalam Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS
No. Nama Tahapan 1. Diskusi Kelompok 2. Menerima Tamu 3. Mengunjungi Tetangga 4. Presentasi Jumlah
Peserta Didik yang Memilih Jumlah Persentase 13 46% 9 32% 5 18% 1 4% 28 100%
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa peserta didik lebih banyak yang menyenangi tahapan diskusi kelompok yaitu sebanyak 46%. Kemudian, tahapan yang menjadi ciri khas pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS yaitu menerima tamu dan mengunjungi tetangga dipilih masing-masing secara berturut-turut oleh peserta didik sebanyak 32% dan 18%. Dan, tahapan yang tidak banyak peminatnya adalah tahapan presentasi yang hanya dipilih oleh 4% peserta didik. Peningkatan Hasil Belajar Menemukan Informasi dari Tabel atau Diagram yang Dibaca Perkembangan hasil belajar menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca dapat dilihat dari hasil kuis dan tes akhir setiap siklus. Berikut adalah hasil jawaban peserta didik atas kuis-kuis yang diberikan selama penelitian ini berlangsung.
767
ISBN :978-602-17187-2-8
100% 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
93% 71% 57% 43% 29%
Tuntas Tidak Tuntas
7% 0 Pertemuan I Siklus II
Pertemuan II Siklus I
Pertemuan I Siklus II
Pertemuan II Siklus II
Grafik 2. Persentase Ketuntasan Peserta Didik dalam Menjawab Kuis Akhir Pertemuan
Berdasarkan data yang ditampilkan dalam Grafik 2 diketahui bahwa pada pertemuan I siklus I, jumlah peserta didik yang mencapai ketuntasan adalah 71% dan yang tidak tuntas mencapai 57%. Jumlah peserta didik yang tuntas mengalami penurunan pada pertemuan II siklus I yaitu hanya menjadi 29% dan yang tidak tuntas meningkat menjadi 43%. Kemunduran ini diperkirakan karena peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami tabel yang menjadi bahasan utama dalam pertemuan II siklus I ini. Tingkat kesulitan tabel yang digunakan dalam pertemuan II ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertemuan terdahulu yang membahas materi membaca diagram batang. Pada siklus kedua terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Dalam pertemuan pertama siklus kedua persentase ketuntasan mencapai 93% dan ketidaktuntasan hanya 7%. Pencapaian ini semakin bertambah pada pertemuan kedua siklus kedua yaitu seluruh peserta didik dapat tuntas dalam menjawab pertanyaan kuis atau ketuntasan mencapai 100%. Peningkatan ini terjadi karena soal kuis pada pertemuan pertama dan kedua dalam siklus kedua ini dapat dikuasai dengan baik oleh peserta didik. Adapun materi pada kedua pertemuan tersebut secara berturut-turut adalah membaca denah dan membaca bagan. Sementara itu, untuk mengevaluasi peningkatan hasil belajar, diberikan sejumlah soal yang berhubungan dengan materi-materi yang telah dipelajari. Soal-soal itu diberikan kepada peserta didik pada akhir setiap siklus. Soal-soal yang diberikan berbentuk pilihan ganda dengan fokus pada materi membaca diagram batang dan membaca tabel pada akhir siklus I dan membaca denah serta membaca bagan pada akhir siklus II. Peningkatan hasil belajar tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut. Pada akhir siklus I nilai rata-rata yang dicapai adalah 67 dan pada akhir siklus II meningkat menjadi 85. Jumlah peserta didik yang tuntas pada akhir siklus I berjumlah 12 orang atau 43%, sedangkan pada akhir siklus II meningkat menjadi 24 orang atau 86%. Sementara itu, terjadi penurunan jumlah peserta didik yang tidak tuntas yaitu pada akhir siklus I sebanyak 16 orang atau 57% dan pada akhir siklus II menjadi 4 orang atau 14%. Dari data tersebut diketahui bahwa terjadi peningkatan ketuntasan dalam dua siklus penelitian. Pada akhir siklus I jumlah peserta didik yang tuntas baru mencapai 43% dan masih 57% peserta didik tidak tuntas. Setelah melalui siklus II diperoleh hasil yaitu jumlah peserta didik yang telah tuntas mencapai 86% dan yang tidak tuntas menjadi 14%. Nilai rata-rata juga mengalami peningkatan. Pada akhir siklus I nilai rata-rata baru mencapai 67 dan pada akhir siklus II nilai rata-rata mencapai 85. Di awal penelitian telah ditetapkan indikator keberhasilan belajar peserta didik yaitu jika dari 28 peserta didik yang mendapat nilai tuntas ≥ 70, persentasenya ≥ 75 %. Pada akhir siklus II, 86% peserta didik telah mencapai ketuntasan, sehingga indikator keberhasilan yang ditentukan berarti telah tercapai.
768
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PEMBAHASAN Kualitas Motivasi Pembelajaran Menemukan Informasi dari Tabel atau Diagram yang Dibaca Berdasarkan data sebagaimana yang ada di dalam Grafik 1 diketahui bahwa jumlah peserta didik dengan motivasi tinggi selalu muncul dengan jumlah tertinggi dalam setiap pertemuan, baik di dalam siklus I maupun siklus II. Target jumlah peserta didik dengan motivasi tinggi seperti yang ditetapkan dalam indikator keberhasilan penelitian yaitu ≥ 80 % dapat tercapai pada pertemuan kedua siklus II dengan capaian sebesar 86%. Peningkatan tersebut sejalan dengan pendapat Sumiati dan Asra (2007:30) yang menyatakan bahwa motivasi belajar muncul karena adanya kebutuhan atau keinginan untuk mencapai sesuatu. Kebutuhan atau keinginan untuk mencapai sesuatu dalam pembelajaran kooperatif tipe TSTS dikondisikan dengan tugas mendalami materi dengan merumuskan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tabel atau diagram yang telah ditentukan. Keinginan untuk membuat pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab oleh kelompok lain ketika mereka berkunjung ke kelompok lain dan keinginan untuk menjawab semua pertanyaan dari kelompok lain dengan benar sebanyak mungkin ketika mereka menerima tamu dari kelompok lain telah dapat memacu motivasi para peserta didik karena mereka ingin kelompok mereka menjadi kelompok yang terbaik. Kondisi lain yang diatur untuk membangkitkan motivasi belajar peserta didik adalah dengan pemberian kuis pada setiap akhir pertemuan. Keinginan untuk mendapatkan penghargaan sebagai peserta didik dengan jawaban kuis yang benar membuat peserta didik merasa harus memahami materi yang dibahas dalam setiap tahapan pembelajaran karena pertanyaan yang diberikan dalam kuis berkaitan dengan materi tersebut. Hal ini membuat peserta didik mengikuti pembelajaran dengan motivasi belajar yang tinggi. Masih sejalan dengan pendapat Sumiati dan Asra (2007:30) motivasi belajar memerlukan rangsangan dari luar, melalui upaya yang dilakukan oleh guru. Pembelajaran kooperatif tipe TSTS memberikan kesempatan pada guru untuk memunculkan rangsangan guna meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Rangsangan pertama berbentuk data-data yang harus dipahami dengan cara penyajian yang berbeda yaitu diagram batang, tabel, denah, dan bagan. Variasi cara penyajian data ini menimbulkan daya tarik sendiri dan memunculkan rasa ingin tahu peserta didik, sehingga motivasi belajar mereka meningkat. Rangsangan kedua adalah adanya variasi langkah pembelajaran yaitu diskusi kelompok, melakukan kunjungan ke kelompok lain atau menerima kedatangan tamu dari kelompok lain daripada sebelumnya yang hanya berupa ceramah secara klasikal. Persentase peserta didik yang menjadikan tahap-tahap tersebut sebagai tahap yang paling disenangi (tertinggi) dalam kegiatan pembelajaran seperti yang tercantum dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa peserta didik menyenangi variasi pembelajaran dalam tahap-tahap pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Peningkatan motivasi karena variasi dalam kegiatan pembelajaran ini memperkuat pendapat Djamarah dan Zain (2010:162) yang menyatakan bahwa variasi dalam kegiatan pembelajaran bertujuan untuk memberikan kesempatan kemungkinan berfungsinya motivasi. Bentuk kegiatan diskusi kelompok membuat mereka berinteraksi dengan anggota kelompok mereka dalam membahas tabel atau diagram yang diberikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Wardoyo (2013:49) yang mengatakan bahwa interaksi yang mendorong (promotive interaction) merupakan prinsip pembelajaran kooperatif. Artinya, dalam pembelajaran yang dilaksanakan, peranan masing-masing peserta didik dalam memberikan motivasi dan tindakan yang mendukung proses pembelajaran menjadi sangat penting agar kelompok mereka menjadi kelompok yang terbaik. Rangsangan ketiga berupa penghargaan kepada individu dan kelompok dengan nilai tertinggi atau terbaik. Hal ini memperkuat pendapat Rusman dalam Wardoyo (2013:53) yang menyatakan bahwa penetapan kelompok atau tim yang paling menonjol atau berprestasi dalam proses pembelajaran atau yang disebut juga tahap pengakuan tim merupakan tahap terakhir dalam prosedur atau sintaks pembelajaran kooperatif. Dalam tahap ini, pemberian penghargaan atau hadiah atau pengakuan kelompok terbaik dapat memotivasi peserta didik untuk terus meningkatkan prestasinya dalam kegiatan pembelajaran. Dengan rangsangan ini, peserta didik termotivasi untuk tidak melewatkan materi pelajaran begitu saja tanpa memahaminya.
769
ISBN :978-602-17187-2-8
Kualitas Hasil Pembelajaran Menemukan Informasi dari Tabel atau Diagram yang Dibaca Berdasarkan data hasil tes akhir siklus diketahui bahwa pada akhir siklus II pembelajaran menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini, jumlah peserta didik yang tuntas belajar adalah 86%. Jumlah ini melebihi indikator keberhasilan penelitian yang ditetapkan yaitu ≥ 75 % peserta didik mencapai nilai tuntas. Ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, peserta didik berlatih mendalami materi secara berkelompok. Sebagaimana yang dikatakan oleh Slavin (2005:8) dalam pembelajaran kooperatif, para peserta didik akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakaan empat orang untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Langkah ini memberikan keuntungan bagi peserta didik. Rasa malu, takut, atau canggung mereka dapat dikurangi karena dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini, mereka terbiasa dengan interaksi di dalam atau di antara kelompok. Selain itu, hal tersebut sejalan dengan pendapat Slavin (2005:9) yang menyatakan seringkali para peserta didik mampu melakukan pekerjaan luar biasa dalam menjelaskan gagasan-gagasan yang sulit satu sama lain dengan menerjemahkan bahasa yang digunakan guru ke dalam bahasa anak-anak. Oleh karena itu, materi yang dirasakan sulit oleh peserta didik yang kurang mampu memahami bahasa guru yang terlalu tinggi, dapat dimudahkan oleh sesama anggota kelompok. Seiring dengan peningkatan kemampuan penguasaan materi karena faktor ini, peningkatan hasil belajar dalam penelitian ini juga terjadi. Kedua, semua peserta didik mempunyai tanggung jawab karena mereka harus berkunjung atau menerima tamu. Hal ini memperkuat pendapat Wardoyo (2013:45) yang menyatakan bahwa dalam setiap kelompok, masing-masing anggota memiliki tanggung jawab dan tugas masing-masing untuk mewujudkan tercapainya tujuan pembelajaran. Setiap peserta didik memiliki peran dan tanggung jawab untuk mempelajari bahan tersebut bersama kelompok ketika menjadi ‗tamu‘ maupun ‗tuan rumah‘. Dengan demikian, pengetahuan dan wawasan para peserta didik berkembang. Peserta didik lebih menguasai topik diskusi itu, sehingga hasil belajar mereka dapat ditingkatkan. Tanggung jawab ini membuat mereka harus menguasai materi pembelajaran yang telah didiskusikan agar pada tahap kunjungan mereka dapat melaksanakan tugas mereka. Selain itu, hal tersebut sejalan dengan pendapat Slavin (2005:12) yang menyatakan bahwa tanggung jawab difokuskan pada kegiatan anggota tim dalam membantu satu sama lain untuk belajar dan memastikan bahwa tiap orang dalam tim siap untuk mengerjakan kuis atau bentuk penilaian lainnya yang dilakukan peserta didik tanpa bantuan teman satu timnya. Berarti, dengan melakukan tanggung jawabnya, para peserta didik mengalami proses peningkatan kemampuan yang berhubungan dengan materi yang telah disampaikan. Ketiga, suasana pembelajaran yang menyenangkan. Temuan ini menambah kuat pendapat Deporter (2007:14) yang menyatakan bahwa pembelajaran yang menggembirakan akan menghasilkan pengalaman belajar yang efektif. Kondisi yang menyenangkan merupakan dasar yang baik untuk menciptakan pembelajaran yang efektif. Tanpa adanya kesenangan dalam belajar, para peserta cenderung akan merasa tertekan. Jika suasana belajar dalam keadaan tertekan, pembelajaran yang berkualitas akan sulit dicapai. Selama kegiatan pembelajaran dalam penelitian ini dilakukan, suasana pembelajaran dapat dilihat selama kegiatan diskusi dan kunjungan antar kelompok. Suasana menyenangkan dalam kegiatan pembelajaran selama penelitian ini dilaksanakan tergambar dalam Tabel 1. Data tersebut diperoleh dari jawaban peserta didik terhadap angket yang telah disebarkan kepada mereka. Seluruh peserta didik memilih satu dari keempat tahap dalam pembelajaran. Artinya, semua tahapan dalam pembelajaran menggunakan tipe TSTS ini disenangi para peserta didik. Tidak ada tahapan yang tidak disenangi oleh mereka, meskipun dengan persentase yang berbeda-beda. Peningkatan hasil pembelajaran pun dapat terjadi karena semua peserta didik melewati tahap-tahap yang menyenangkan bagi mereka, Keempat, kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. Artinya, materi yang dipelajari dan cara mempelajarinya bukan hanya ditentukan oleh guru, tetapi peserta didik juga berperan dalam menentukannya sebagaimana dinyatakan oleh Wardhana (2010:19). Selama kegiatan pembelajaran dalam penelitian ini, para peserta didik melakukan aktivitas diskusi 770
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
kelompok, kunjungan antarkelompok, dan presentasi yang berpusat pada peserta didik. Belajar dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti mengalami, mengerjakan, dan memahami belajar melalui proses, sehingga seluruh peserta didik menjadi aktif. Seperti yang dikatakan oleh Sumiati dan Asra (2007: 84), hasil belajar dapat diperoleh jika peserta didik aktif. Karena semua peserta didik melakukan aktivitas pembelajaran, mereka mengalami pemahaman materi pembelajaran, sehingga ketika mendapatkan soal dengan materi yang sama, mereka dapat mengerjakannya. Kelima, adanya penghargaan hasil belajar. Penghargaan diberikan jika peserta didik berhasil melampaui kriteria yang telah ditetapkan (Slavin, 2005:10). Penghargaan yang diberikan dalam penelitian ini berbentuk penyebutan nilai tertinggi atau pencapaian terbaik di depan kelas, pemberian pujian oleh guru, dan tepuk tangan oleh para peserta didik yang lain. Penghargaan yang diberikan, meskipun dengan cara yang sederhana, telah mampu memacu para peserta didik untuk meraih pencapaian terbaik. Faktor ini akhirnya juga menjadi penentu dalam peningkatan hasil belajar para peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat Wardoyo (2013:53) bahwa penghargaan atau hadiah atau pengakuan akan dapat memotivasi peserta didik untuk terus meningkatkan prestasinya dalam kegiatan pembelajaran. Keenam, adanya tambahan kegiatan menjawab kuis pada setiap akhir pertemuan. Kegiatan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS didominasi oleh kegiatan diskusi kelompok. Pendalaman materi dilakukan oleh peserta didik secara berkelompok melalui diskusi kelompok. Untuk memastikan bahwa secara individual peserta didik telah menguasai materi pembelajaran yang didiskusikan bersama, mereka diberi kuis pada setiap akhir pertemuan. Kuis yang diberikan merupakan pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang telah diberikan dalam diskusi kelompok. Kuis dikerjakan secara individual. Para peserta didik tidak diperbolehkan untuk saling membantu dalam mengerjakan kuis. Dengan demikian, setiap peserta didik bertanggung jawab secara indiviual untuk mendalami materi pembelajaran seperti yang dinyatakan oleh Slavin (2005:144). Karena menyadari akan hal ini, para peserta didik mengikuti kegiatan pembelajaran dengan serius. Keseriusan ini memberikan dampak pada peningkatan hasil belajar. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada motivasi dan hasil belajar dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan motivasi dan hasil belajar dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada materi menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca. Peserta didik dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu peserta didik dengan motivasi belajar rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan diketahui bahwa jumlah peserta didik dengan motivasi belajar tinggi selalu terbanyak dalam setiap pertemuan dan jumlah tersebut pada pertemuan kedua siklus II mencapai 89%. Jumlah ini melewati indikator keberhasilan yang telah ditetapkan untuk penelitian ini yaitu ≥ 80 % berada dalam kategori motivasi tinggi. Hasil belajar dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tes akhir siklus I dan siklus II. Dari hasil tes tersebut, diketahui bahwa 86% peserta didik tuntas belajar. Hal ini menunjukkan bahwa indikator keberhasilan belajar yang telah ditentukan pada awal penelitian ini yaitu ≥ 75 % peserta didik tuntas belajar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TSTS merupakan metode yang baik untuk digunakan dalam pembelajaran menemukan informasi dari tabel atau diagram yang dibaca. Saran Guru hendaknya berkreasi dan berinovasi mencari model pembelajaran yang kreatif dan menarik, sehingga proses dan hasil pembelajaran dapat meningkat. Satu cara yang dapat dijadikan alternatif adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Peneliti berikutnya yang ingin melakukan penelitian sejenis dapat mengembangkan penelitian ini dapat mempertimbangkan hal-hal berikut ini. Pertama, guru hendaknya memperhatikan pengaturan waktu. Pengaturan waktu sangat diperlukan terutama pada saat kunjungan antarkelompok. Dengan pengaturan waktu, kegiatan pembelajaran dapat terkontrol sesuai dengan alokasi waktu yang sudah direncanakan. Jika diperlukan, guru dapat menggunakan pengatur waktu (timer). 771
ISBN :978-602-17187-2-8
Kedua, guru hendaknya memperhatikan tingkat kesukaran materi pembelajaran berbentuk tabel atau diagram. Pengaturan sebaiknya diawali dengan mengidentifikasi materi apakah akan dimulai dari diagram batang, tabel, denah, dan bagan. Penyaijian materi sebaiknya dilakukan mulai dari materi yang paling mudah hingga materi yang paling sulit. DAFTAR RUJUKAN Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Deporter, B, dan Hernacki, M. 2007. Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Terjemahan oleh Alwiyah Abdurrahman. Bandung: Mizan Pustaka Djamarah, S.B, dan Zain, A. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Giantika, G. D. A, Putrayasa, I. D, & Gunatarna, G. Penerapan Metode Pembelajaran Two Stay Two Stray untuk Meningkatkan Keterampilan Berdiskusi Siswa Kelas IX D SMP Negeri 2 Kubu. e-Journal Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. (Online), Volume 3, No. 1, Tahun 2015. (http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPBS/article/view/4775 diakses tanggal 27 April 2015). Hariningsih, D, Wisnu, B, & Lestari, S. 2008. Bahasa dan Sastra Indonesia 1: untuk SMP/MTs kelas VII. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional Slavin, R. E. 2005. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Terjemahan oleh Nurulita Yusron. Bandung: Penerbit Nusa Media. Soedarso. 1988. Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sumiati dan Asra. 2007. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima. Tarigan, H. G. 2013. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Wardhana, Y. 2010. Teori Belajar dan Mengajar. Bandung: PT Pribumi Mekar. Wardoyo, S.M. 2013. Pembelajaran Konstruktivisme. Bandung: Penerbit Alfabeta. www.opheaprograms.net/.../Appendix_8. Stay and Stray Strategy. (Online). Diakses tanggal 27 April 2015.
KEMAMPUAN BERPIDATO TANPA TEKS SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 SINJAI SELATAN KABUPATEN SINJAI Erniati Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak. keterampilan berbicara adalah bagian dari empat aspek keterampilan pelajaran bahasa yang harus diajarkan kepada siswa. Jadi bukan hanya teori yang harus dikuasai, namun kemampuan praktik berbahasa pun harus dikuasai. Dalam pembelajaran pidato, guru hanya menggunakan metode ceramah , siswa kurang mendapat kesempatan melakukan praktik berbicara di depan orang lain, karena lebih banyak bersifat teori. Maka dapat diartikan kemampuan berpidato siswa sebatas teori.Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kemampuan berpidato tanpa teks siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan rancangan analisis statistik deskripsi persentase. Penentuan sampel dilakukan dengan cara acak (random sampling). Hasil analisis data menunjukkan bahwa diantara 42 siswa sampel, hanya 13 orang (30,95%) memperoleh nilai 6,5 keatas, dan 29 orang (69,04%) yang memperoleh di bawah nilai 6,5 Berdasarkan hasil analisis data dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Sinjai Selatan dalam berpidato tanpa teks belum memadai. Kata Kunci: kemampuan, berpidato tanpa teks
772
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Keterampilan berbicara merupakan salah satu komponen berbahasa yang penting. Keterampilan berbicara membantu manusia saling berkomunikasi secara langsung untuk menyampaikan gagasan atau pendapat. Keterampilan ini juga merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai siswa dalam proses pembelajaran. Guru sebagai pendidik harus dapat memilih materi belajar yang tepat dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Salah satu materi belajar keterampilan berbicara yang dapat dilakukan antarpribadi adalah pidato. Kegiatan berpidato merupakan kegiatan komunikasi secara langsung dengan kata lain pidato bukan sekedar berbicara akan tetapi pidato adalah suatu bentuk perbuaatan berbicara dalam situasi tertentu, untuk tujuan tertentu, dan kepada pendengar tertentu pula. Menurut Arsyad dan Mukti (1991;53) adalah penyampaian dan penanaman pikiran, informasi atau gagasan dari pembicara kepada khalayak ramai. Setiap pidato, pembicara harus menyesuaikan diri kepada semua unsur tersebut. Telah diketahuai bahwa dalam pidato yang tujuannya untuk memberitahukan sesuatu kepada pendengarnya, pembicara perlu mengetahui pengalam yang telah dipunyai oleh para pendengar agar pembicara dapat menyampaikan pidatonya itu dengan bahasa yang tepat untuk memperoleh reaksi yang diinginkan. Menurut Lagousi (1989:61) tujuan pidato biasanya ditentukan oleh pemesan atau yang melaksanakan acara, tetapi dapat juga dibuat oleh pembicara itu sendiri. Adapun tujuan khusus berpidato yaitu berupa tanggapan khusus yang diharapkan dari pendengar setelah pembicara menyelesaikan uraiannya. . Pembicara yang baik memiliki keberanian, ketenangan sikap di depan massa, sanggup mengadakan reaksi yang cepat dan tepat, mampu menampilkan gagasan-gagasannya secara lancar dan teratur, serta memperlihatkan sikap dan gerak-gerik yang tidak canggung (Keraf, 1984: 315) Pembelajaran pidato merupakan salah satu keterampilan berbicara yang diajarkan di sekolah. Kegiatan pidato seringkali ditemui dalam masyarakat kita, karena pidato adalah salah satu cara untuk menyampaikan sesuatu yang penting pada khalayak dalam situasi formal dan nonformal. Ada pidato yang bersifat informatif, rekreatif, dan persuasi (Rakhmat, 2009: 89). Pidato yang dilakukan siswa SMP seringkali tidak berjalan lancar. Begitu pula pembelajaran pidato tanpa teks di SMP Negeri 1 Sinjai Selatan. Berdasarkan observasi awal pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas VIII , ditemukan keterampilan berpidato tanpa teks siswa rendah. Sebagian besar siswa kelas VIII masih merasa kesulitan dalam mencari, mengemukakan, dan mengembangkan gagasan saat kegiatan pidato di kelas. Seringkali pidato dilaksanakan dengan teknik membaca teks sehingga timbul kekurang-seriusan dalam pembelajaran ini. Pelaksanaan kegiatan pidato tanpa teks harus menguasai materi agar mampu dengan terampil dalam melaksanakannya. Keterampilan pidato tanpa teks membutuhkan latihan dan pengetahuan yang cukup sebelum mempresentasikannya. Hal ini bisa diperoleh dengan mempelajari bagaimana cara berpidato yang baik dan langkah apa yang harus dilakukan pada saat berpidato tanpa teks. Oleh karena itu, siswa perlu mendapatkan pengetahuan mengenai pembelajaran pidato tanpa teks di sekolah. Keterampilan berpidato merupakan salah satu cara untuk melatih kemampuan seseorang berbicara dan menggunakan bahasa. Keterampilan berpidato bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan, karena di dalam berpidato dibutuhkan kemauan, pengetahuan, dan rasapercaya diri. Banyak orang yang mampu berbicara, tetapi pada saat berpidato tersebut sering mengalami kesalahan-kesalahan baik itu kesalahan berbahasa maupun kesalahan dalam bentuk tingkah laku. Ketertarikan penulis mengangkat masalah pidato, khususnya pidato tanpa teks, pada siswa SMP karena penulis melihat kemampuan berpidato, khususnya berpidato tanpa teks pada siswa, masih kurang. Mungkin disebabkan oleh kurangnya minat siswa dalam mempelajarai teknik berpidato disekolah atau dirumah, sehingga dalam berpidato mereka menggunakan naskah atau teks yang dibaca langsung. Akibat cara membaca terlalu cepat atau tersendat-sendat dalam berbicara, dan sebagainya. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis perlu merumuskan masalah yang perlu diteliti, yaitu sebagai berikut : Bagaimana kemampuan berpidato tanpa teks siswa kelas VIII SMP Negeri I Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai?. Tujuan penelitian pada hakikatnya adalah menemukan jawaban atas rumusan masalah yang dikemukakan, tujuan yang 773
ISBN :978-602-17187-2-8
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang kemampuan berpidato tanpa teks kelas II SMP Negeri 1 Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai. METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif kuantitatif, karena bertujuan menggambarkan kemampuan berpidato tanpa teks siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai. Oleh karena itu, penelitian ini dirancang sedemikian rupa agar variable tersebut dapat dijadikan kerangka acauan dalam mewujudkan data yang akurat. Melihat keadaaan populasi cukup besar maka dilakukan pengambilan sampel secara acak (random sampling),yaitu dengan mengambil beberapa siswa dari tiap kelas. Hal ini dilakukan atas dasar bahwa jumlah siswa sampel mewakili populasi. Dengan mengacu pada kriteria yang dikemukakan oleh Arikunto (1992:107) yang mengatakan bahwa jika jumlah subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Jika subjeknya besar dapat diambil 10%-15% atau 20%-25% atau lebih bergantung pada penelitiandilihat dari segi waktu, tenaga, dan dana. Nurgiantoro (1988:265) mengemukakan bahwa model lain yang digunakan dalam penelitian berbicara adalah (khususnya dalam pidato dan cerita adalah sebagai berikut ;(1) keakuratan informasi (sangat buruk-akurat sepenuhnya) dengan skor 0-15, (2) hubungan antar informasi (sangat sedikit-berhubungan sepenuhnya) dengan skor 0-15, (3) ketepatan struktur dan kosakata (tidak tepat-tepat sekali) dengan skor 0-20, (4) kewajaran urutan wacana (tidak normal-normal) dengan skor 0-15, (5) gaya pengucapan (kaku-tidak kaku atau wajar) dengan skor 0-15. Hasil penelitian berupa data mentah yang diperoleh adalah dengan teknik statistik deskripsi persentase. HASIL Pada bagian ini akan disajikan hasil penelitian tentang kemampuan berpidato tanpa teks siswa kelas VIII SMP Negeri I Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai. Penentuan tentang mampu tidaknya siswa berpidato tanpa teks didasarkan pada hasil tes kemampuan siswa berpidato yang telah ditetapkan temannya. Table 1. Skor Kemampuan Siswa Berpidato Tanpa Teks Kode Siswa 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Aspek yang dinilai
Total Skor
1
2
3
4
5
6
14 10 8 8 10 8 10 9 10 14 12 10 12 10 13 12 12 9 10 10 10
14 10 10 9 10 9 10 9 9 12 12 10 12 9 12 13 12 9 10 11 10
15 10 10 9 12 12 13 9 9 17 15 10 16 10 16 17 17 9 10 11 10
18 12 10 10 10 8 14 8 10 17 15 9 15 9 18 17 17 10 10 10 10
14 10 10 8 9 9 10 9 10 12 12 9 12 9 12 12 12 9 10 11 10
14 8 8 10 10 10 10 10 12 14 12 8 12 9 13 12 14 10 10 10 10
774
89 60 56 54 61 56 67 54 60 86 78 56 79 56 84 83 84 56 60 63 60
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 Jumlah
14 12 12 10 12 10 12 12 10 10 12 9 12 10 8 10 13 12 9 10 10 452 X:10.76
14 10 12 10 11 9 12 12 10 10 12 10 10 10 10 10 12 12 10 10 10 446 X:10.61
19 15 17 10 10 9 13 12 12 12 10 9 10 8 9 9 12 15 8 10 10 496 X:11.80
19 10 17 10 10 10 14 14 12 12 12 9 8 9 8 10 10 12 10 10 10 497 X:11.83
14 12 12 10 10 8 12 12 10 10 10 8 12 10 9 10 12 12 9 10 9 440 X:10.47
14 12 12 10 10 10 12 10 10 10 12 9 12 10 10 10 10 12 10 10 10 451 X= 10.73
94 71 82 60 63 56 75 72 64 64 68 54 68 57 54 59 69 75 56 60 59 2782
X: Rata-rata Pada tabel 1 jelas terlihat bahwa untuk aspek keakuratan informasi dengan rentang skor 0-15, skor tertinggi diperoleh siswa adalah skor 14, sedangkan skor terendah adalah skor 8, diperoleh siswa sampel kode 03, 04, 06, 36. Secara umum, untuk skor ke-akuratan informasi ini skor rata-rata yang diperoleh siswa adalah 10,76. Untuk aspek hubungan antara informasi dengan rentang skor 0-15 nilai atau skor teringgi diperoleh siswa adalah skor 14. Skor terendah untuk aspek ini adalah 9 yang diperoleh siswa kode 04, 08, 14, 18, dan 27. Rata-rata skor yang diperoleh siswa untuk aspek ini adalah 10,6 1. Untuk aspek ketepatan struktur dan kosa kata dengan rentang skor 0-20. skor teringgi diperoleh siswa adalah skor 19. Skor tersebut diperoleh 1 orang siswa, sedangkan skor terendah adalah skor 8. Skor tersebut diperoleh siswa kode 35 dan 40. Adapun rata-rata skor yang diperoleh siswa untuk aspek ini ialah 11,80. Untuk aspek kelancaran atau kefasihan dengan rentang skor 0-20 nilai atau skor teringgi yang diperoleh siswa adalah skor adalah skor 19, sedangkan skor terendah untuk aspek ini adalah skor 8 yang diperoleh siswa kode 06, 08, dan 36. Rata-rata skor yang diperoleh siswa untuk aspek ini ialah 11,83. Untuk aspek kewajaran urutan wacana dengan rentang skor 0-15 nilai atau skor teringgi yang dapat dicapai siswa adalah skor 14. Skor terendah untuk aspek ini adalah skor 8 yang diperoleh siswa kode 04, 27, dan 33. Rata-rata skor yang diperoleh siswa untuk aspek ini ialah 10,42. Aspek terakhir yang dinilai dalam berpidato tanpa teks adalah aspek gaya pengucapan. Untuk aspek ini digunakan rentangan skor 0-15. Skor teringgi diperoleh siswa untuk aspek ini adalah skor 14. Skor tersebut diperoleh 4 orang siswa, sedangkan skor terendah adalah skor 8. Skor tersebut diperoleh siswa kode 02,03, dan 12. Adapun rata-rata skor yang diperoleh siswa untuk aspek ini ialah 10,73. Memperhatikan tabel 1 di atas, maka dapat diketahui bahwa dari keseluruhan siswa tidak ada seorang pun yang memperoleh skor 100 sebagai skor tertinggi. Skor tertinggi yang dapat dicapai siswa adalah skor 94 yang diperoleh 1 orang siswa berkode 22, sedangkan skor terendah adalah 54. Skor tersebut diperoleh 4 orang siswa dengan kode 04, 08, 33, dan 36. Tabel 2. Frekuensi dan Persentase Nilai Siswa Skala Nilai
Frekuensi
Persentase (%)
10
0
0% 775
ISBN :978-602-17187-2-8
9
1
2,38%
8
2
4,76%
7
6
14,28%
6
4
9,52%
5
8
19,04&
4
17
40,47%
3
4
9,52%
2
0
0%
1
0
0%
Jumlah
42
100%
Tabel 2 di atas memperlihatkan bahwa tidak seorang pun mendapat nilai 10, siswa yang mendapat nilai 9 sebanyak 1 orang siswa atau 2,38%, mendapat, nilai 8 sebanyak 2 prang siswa atau 4,76%, mendapat nilai 7 sebanyak 6 orang siswa atau 14,28%, mendapat nilai 5 se banyak 8 orang siswa atau 19,04%, mendapat nilai 4 sebanyak 17 orang siswa atau 40,47%, mendapat nilai 3 sebanyak 4 orang siswa atau 9,52%, dan yang mendapat nilai 2 dan 1 tidak ada (0%). Pengolahan data secara kuantitatif diketahui bahwa siswa yang mendapat nilai 6,5 ke atas sebanyak 13 orang atau 30,95%, dan siswa yang mendapat nilai di bawah 6,5 sebanyak 29 orang atau 69,04%. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil tes berpidato untuk aspek keakuratan informasi tingkat kemampuan siswa masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya skor rata-rata yang diperoleh siswa. Rentang skor yang ditetapkan untuk aspek ini ialah 0-15, sedangkan rata-rata skor yang diperoleh siswa baru mencapai 10,76 atau rata-rata tingkat pen-guasaan siswa baru mencapai 71,73%. Aspek hubungan antar informasi tingkat kemampuan siswa juga masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya skor rata-rata yang Rentang skor yang ditetapkan untuk aspek ini ialah 0-15, sedangkan rata-rata skor yang diperoleh siswa baru mencapai 10,61 atau rata-rata tingkat penguasaan siswa baru mencapai 70,73%. Aspek ketepatan struktur dan kosa kata tingkat kemampuan siswa masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan rendah-nya skor rata-rata yang di-peroleh siswa. Rentang skor yang ditetapkan aspek ini adalah 0-20, se-dangkan rata-rata skor yang diperoleh siswa baru mencapai 11,80 atau rata-rata tingkat penguasaan siswa baru mencapai 59%. Aspek kelancaran atau kefasihan tingkat kemampuan siswa juga masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya skor rata-rata yang di-peroleh siswa. Rentang skor yang ditetapkan untuk aspek ini adalah 0-20, sedangkan skor yang diperoleh siswa baru mencapai 11,83 atau rata-rata tingkat penguasaan siswa baru mencapai 59,11%. Aspek kewajaran urutan wacana tingkat kemampuan siswa masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya skor rata-rata yang diperoleh oleh siswa. Rentang skor yang ditetapkan untuk aspek, ini ialah 0-15, sedangkan rata-rata skor yang diperoleh siswa baru mencapai 10,47 atau rata-rata tingkat penguasaan siswa baru mencapai 69,8%. Kemudian untuk aspek gaya pengucapan tingkat kemampuan siswa juga masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya skor rata-rata yang diperoleh siswa. Rentang skor yang ditetapkan untuk aspek ini adalah 0-15, sedangkan rata-rata skor yang diperoleh siswa baru mencapai 10,73 atau rata-rata tingkat pengusaan siswa baru mencapai 71,53%. Dengan demikian, jika diperhatikan hasil pengolahan data yang diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam berpidato tanpa teks masih kurang. Berdasarkan kriteria yang ditentukan, siswa dikatakan mampu apabila 85% mendapat nilai 6,5 ke atas. Sedangkan kenyataan yang diperoleh berdasarkan hasil pengolahan data, siswa yang mendapat nilai 6,5 ke atas sebanyak 13 orang siswa atau 30,95% dari jurnlah keseluruhan siswa, 776
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
dan siswa yang mendapat nilai di bawah 6,5 sebanyak 29 orang siswa atau 69,04% dari. seluruh jumlah siswa. Melihat temuan tersebut atau basil di atas sudah jelas bahwa pencapaian siswa masih kurang atau perbandingan masih jauh dari kriteria pencapaian yang telah ditentukan yaitu 85%. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tingkat kemampuan siswa berpidato tanpa teks siswa kelas VIII SMP Negeri I Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai belum memadai KESIMPULAN Hasil analisis data di atas menunjukkan bahwa kemampuan berpidato tanpa teks siswa, kelas VIII SMP Negeri I Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai menunjukkan hasil yang kurang memadai. Di antara 42 orang siswa dalam penelitian ini, skor tertinggi yang diperoleh siswa, adalah skor 94 dan skor terendah yang diperoleh siswa adalah skor 54. Siswa, yang memperoleh nilai 6,5 ke atas sebanyak 13 orang (30,95%) dan siswa yang memperoleh nilai di bawah 6,5 sebanyak 29 orang (69,04%). SARAN 1. Untuk meningkatkan kemampuan siswa, berpidato tanpa teks maka, guru perlu meningkatkan lagi kemampuan siswa dalam hal keakuratan informasi, hubungan antara informasi ketepatan struktur dan kosa kata, kelancaran atau kefasihan, kewajaran urutan wacana, dan gaya pengucapan. 2. Guru perlu lebih sering memberikan latihan berpidato. 3. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai kemampuan berpidato tanpa teks dengan jumlah populasi yang banyak dan pada sekolah-sekolah yang lain. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian, suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta. Arsjad, Maidar G. dan Mukti U.S. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Modern English Press. Keraf, Gorys.1988.Komposisi.Flores: Nusa Indah. Lagousi, Kulla. 1989. Berbicara. Ujung Pandang: FPBS IKIP Ujung Pandang. Nurgiyantoro, Burhan.1988.Penilaian dalamPengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Rahmat, Jalaluddin.2009.Retorika Modern (Pendekatan Praktis).Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
FUNGSI TUTURAN GURU DALAM INTERAKSI PEMBELAJARAN DI SMP NEGERI 1 PALIPI KABUPATEN SAMOSIR SUMATRA UTARA Rissa Beatrik S Pascasarjana Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak : Penelitian Ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan (1) tuturan guru untuk pengembangan pengetahuan dalam interaksi pembelajaran (2) tuturan guru untuk pengembangan sikap dalam interaksi pembelajaran (3) tuturan guru untuk pengembangan keterampilan dalam interaksi pembelajaran. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analitis yang bersifat kualitatif. Data penelitian ini dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini dilakukan pada guru SMP Negeri 1 Palipi Kabupaten samosir Sumatra Utara. Sampel penelitian dipilih secara purposif meliputi guru kelas VII, VIII. IX Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan bahwa tuturan guru untuk pengembangan pengetahuan
777
ISBN :978-602-17187-2-8
terealisasi dalam tuturan menjelaskan, bertanya dan memerintah. Kuantitas tuturan yang paling banyak ditemukan dalam penelitian ini adalah dalam kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan dan evaluasi sedangkan untuk kategori analisis dan sintesis belum ditemukan. Tuturan guru untuk pengembangan sikap terealisasi dalam tuturan memberikan salam, tuturan penghargaan, tuturan untuk menciptakan suasana yang demokratis. Tendensi tuturan guru untuk pembentukan sikap berada pada lingkup nilai kejujuran, disiplin, kerja keras, mandiri dan tanggung jawab. Tuturan untuk pengembangan keterampilan terealisasi dalam tuturan menyampaikan tugas, dan mendemonstrasikan contoh. Tendensi tuturan guru berada pada tuturan imperative dan argumentative. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan bahwa untuk pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa dalam interaksi pembelajaran guru harus memancing inisiatif siswa dalam bentuk pertanyaan. Guru mengembangkan strategi pembelajaran mandiri dan kooperatif dalam mengembangkan keterampilan siswa. Fungsi dan peranan Tuturan guru menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran Kata kunci : Tindak Tutur, interaksi pembelajaran, fungsi bahasa.
Untuk mewujudkan fungsi bahasa Indonesia dalam rangka mencapai tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran pada khususnya dibutuhkan kualifikasi guru yang berkompeten dan profesional. Kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Standar kompetensi guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan berperilaku layaknya seorang guru untuk menduduki jabatan fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang pendidikan. (Majid, Abdul 2012 :6). Profil guru yang profesional diharapkan untuk menciptakan siswa yang memiliki kecerdasan dalam bidang pengetahuan, sikap dan keterampilan. Guru merupakan agen pembelajaran yang sangat penting. Pada dasarnya fungsi dan peranan guru dalam pembelajaran adalah sebagai manajer. Artinya guru diharapkan pandai mengarahkan kegiatan belajar siswa agar mencapai keberhasilan belajar sebagaimana yang telah ditargetkan. Salah satu kualitas guru bisa dilihat dari bentuk tuturannya. Perencanaan tindak tutur bahasa guru sangat penting sebagai usaha bukan saja untuk melestarikan pengarahan bahasa, tetapi juga untuk meluruskan pemahaman yang kurang tepat dalam interaksi pembelajaran. Perencanaan bahasa memuat kebijaksanaan, pengarahan, dan dampak perencanaan itu sendiri. Proses komunikasi yang efektif pada dasarnya melibatkan dua pihak yaitu penutur dan lawan tutur sedangkan lawan tutur menerima informasi tersebut. Oleh karena itu apa yang ada dalam pikiran penutur dapat tersampaikan dengan baik, sehingga komunikasi dikatakan berhasil. Tetapi dalam kenyataannya seringkali guru secara tidak sadar menggunakan tuturan yang sulit dipahami oleh siswa. Tidak jarang kita dapati suatu gejala tindak tutur guru menggunakan metafora-metafora, istilah-istilah asing yang tidak dipahami siswa yang dikomunikasikan secara monoton dan monolog yang menyebabkan proses belajar mengajar berlangsung membosankan dan menjengkelkan. Gejala ini disatu sisi menyebabkan kualitas, kuantitas dan relevansi tujuan pembelajaran tidak tercapai yang menyebabkan gagalnya proses belajar mengajar. Bahasa yang digunakan oleh guru dalam bertindak tutur hendaklah sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Kemampuan berbahasa anak berkembang bersama-sama pertumbuhan usianya, masalahnya adalah bagaimana cara guru menyesuaikan bahasa dalam interaksi pembelajaran. tindak tutur dikatakan berhasil membawakan misinya, jika kelak dikemudian hari terjadi perubahan tingkah laku belajar pada diri siswa. Itulah sebabnya sebagai pengajar dan pendidik seorang guru tidak hanya bertugas sebagai pemberi materi belaka, namun harus dapat juga berperan sebagai perangsang pikiran siswa, penarik perhatian, pemberi motivasi, menjelaskan konsep-konsep abstrak, memahamkan sesuatu yang sulit supaya lebih mudah dipahami, serta memberi pengalaman yang nyata kepada siswa. Untuk itu cara bertindak tutur sebaiknya cocok dengan kebutuhan dan benar-benar menilai orang seperti apakah sebenarnya (Sarnoff, 1997 :7) Pragmatik lebih menekankan penggunaan tindak tutur dilihat dari konteksnya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Levinson (dalam Suyono, 1990) bahwa pragmatik ialah kajian hubungan antara bahasa dan konteksnya yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. 778
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Batasan ini mengandung makna bahwa untuk memahami penggunaan bahasa penutur dituntut memahami pula konteks yang mewadahinya. Pragmatik adalah kemampuan penutur untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks. Pragmatik secara khusus memperhatikan hubungan antara struktur bahasa dengan prinsip-prinsip penggunaannya. Searle (1969) menggolongkan tindak tutur ilokusi ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan itu dapat dirangkum sebagai berikut : (1) asertif adalah bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya : menyatakan, menyarankan, membuat, mengeluh, dan mengklaim. (2) direktif adalah bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindak, misalnya : memesan, memerintah, memohon, menasihati, dan merekomendasi. (3) ekspresif adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya : berterima kasih, memberi semangat, meminta maaf, menyalahkan, memuji, dan berbelasungkawa. (4) komisif adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya : berjanji, bersumpah, dan menawarkan sesuatu. (5) deklaratif adalah bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataanya, misalnya ; berpasrah, memecat, membaptis, memberi nama, mengangkat, mengucilkan, dan menghukum. Ranah pengetahuan adalah aspek yang berkaitan dengan kemampuan berpikir; kemampuan memperoleh pengetahuan; kemampuan yang berkaitan dengan pemerolehan pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, penentuan, dan penalaran. Interaksi Menunjukkan aktivitas belajar yang dilakukan guru dan siswa dalam pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dapat dipilih sesuai dengan tujuan pembelajarannya. Tuturan guru dalam interaksi ini bisa berupa kegiatan mendemonstrasikan, mempraktikkan, mensimulasikan, mengadakan eksperimen, menganalisis, mengaplikasikan, menemukan, mengamati, meneliti, menelaah, dll., Leech (1993 : 104) didasarkan pada tujuan-tujuan sosial yang berupa pemeliharaan perilaku sopan dan terhormat. Bertolak dari dasar itu, ia mengklasifikasi fungsi ilokusi menjadi empat macam yakni : (1) kompetitif yakni bentuk tuturan yang tujuan ilokusinya bersaing dengan tujuan sosial, misalnya memerintah, meminta, menuntut, dan mengemis, (2) menyenangkan yakni bentuk tuturan yang tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan social, misalnya : menawarkan, mengundang/mengajak, menyapa, mengucapkan terima kasih, dan mengucapkan selamat, (3) kerja sama yakni bentuk tuturan yang tujuan ilokusinya tidak menghiraukan tujuan sosial misalnya : menyatakan, melapor, mengumumkan, dan mengajarkan, dan (4) bertentangan yakni bentuk tuturan yang tujuan ilokusinya bertentangan dengan tujuan sosial misalnya : mengancam, menuduh, menyumpahi, dan memarahi. Keberhasilan guru dalam interaksi pembelajaran juga ditentukan oleh pemahaman tentang perkembangan aspek sikap siswa. Dalam pembelajaran tuturan guru untuk menanamkan nilai-nilai sikap sangat penting diperhatikan, karena melalui sikap ini adalah salah satu tujuan dari pendidikan dalam membentuk karakter bangsa. Ranah sikap tersebut mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Bloom (Brown, 2000) memberikan definisi tentang ranah sikap yang terbagi atas lima tataran sikap yang implikasinya dalam siswa SMP lebih kurang sebagai berikut: (1) sadar akan situasi, fenomena, masyarakat, dan objek di sekitar; (2) responsif terhadap stimulus-stimulus yang ada di lingkungan mereka; (3) bisa menilai; (4) sudah mulai bisa mengorganisir nilai-nilai dalam suatu sistem, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai yang ada; (5) sudah mulai memiliki karakteristik dan mengetahui karakteristik tersebut dalam bentuk sistem nilai. Ranah keterampilan : aspek yang berkaitan dengan kemampuan melakukan pekerjaan dengan melibatkan anggota badan; kemampuan yang berkaitan dengan gerak fisik. Aspek keterampilan merupakan salah satu aspek yang penting untuk diketahui oleh guru Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 3 juni 2015 di sekolah SMP Negeri 1 Palipi menunjukkan bahwa masih banyak tuturan guru yang kurang dipahami siswa, penggunaan bahasanya kurang lancar dan bahasa yang keliru karena guru kurang memperhatikan tuturannya secara baik dan efektif saat menjelaskan materi pembelajaran kepada siswa. Adanya kecenderungan guru yang terlalu fokus kepada materi dan mengabaikan tuturan yang mengarahkan siswa pada pembentukan sikap sehingga diindikasikan menyulitkan siswa untuk sampai ke tahap yang terampil. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya tuturan guru untuk pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam interaksi pembelajaran 779
ISBN :978-602-17187-2-8
sangat perlu dipertimbangkan karena tuturan tersebutlah yang membawa siswa pada esensi tujuan pembelajaran. Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskanlah permasalahan umum penelitian ini, yaitu bagaimana tindak tutur guru dalam interaksi belajar mengajar di SMP Negeri 1 Palipi. Masalah-masalah tersebut dapat dirinci sebagai berikut : 1). bagaimana tuturan guru untuk pengembangan pengetahuan dalam interaksi pembelajaran di SMP N 1 Palipi, 2) bagaimana tuturan guru untuk sikap dalam interaksi pembelajaran di SMP N 1 Palipi, 3) bagaimana tuturan guru untuk keterampilan dalam interaksi pembelajaran di SMP N 1 Palipi. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, yakni penelitian yang berusaha untuk melihat permasalahan yang ada dilapangan secara lebih terperinci untuk menjelaskan fungsi tuturan guru dalam interaksi pembelajaran. Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, dokumentasi dan wawancara. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah guru-guru yang ada di SMP Negeri 1 Palipi kabupaten Samosir Sumatra Utara. Sampel penelitian dipilih secara purposif, artinya sampel dipilih berdasarkan tujuan dan pertimbangan yang akan dicapai oleh peneliti berdasarkan tujuan dan esensi penelitian. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah peneliti terjun ke lapangan untuk mencari dan mengumpulkan bahan sebagai data yang diperlukan. Kemudian oleh peneliti sendiri data yang ada tersebut diuraikan dan dilakukan analisis sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Peneliti mengumpulkan teori-teori penunjang yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang menjadi fokus penelitiannya sehingga sampai pada kesimpulan yang didapat untuk menjawab fokus permasalahan yang ada. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia dalam tuturan guru pada interaksi belajar mengajar di SMP Negeri 1 Palipi. Untuk mengumpulkan data dibutuhkan sumber data. Sumber data dalam penelitian ini adalah 4 orang guru bahasa Indonesia yang mengajar di kelas VII,VIII, IX. HASIL DAN PEMBAHASAN Tuturan guru untuk pengembangan pengetahuan terealisasi dalam berbagai ragam wujud naratif, deskriptif dan argumentasi hal ini terlihat dalam tuturan menjelaskan, bertanya dan memerintah. Untuk membantu guru memahami secara lebih baik perbedaan-perbedaan dalam pengetahuan, Benjamin Bloom pada 1956 memandu sekelompok psikolog pendidikan yang mengembangkan satu sistem untuk mengklasifikasikan tingkat-tingkat perilaku intelektual yang penting bagi pembelajaran (Bloom, Englehart, Furst, Hill, & Krathwohl, 1956 : 56) hasilnya adalah taksonomi Bloom yang terkenal dan menonjol dalam pendidikan sampai sekarang. Taksonomi tersebut mengklasifikasikan berpikir dalam enam tingkat : Pengetahuan : mengetahui fakta dan definisi, seperti mengetahui ibukota Negara-negara bagian, Pemahaman : memahami makna dan penafsiran, seperti mampu mengidentifikasi contoh-contoh simile dan metafora dalam kutipan-kutipan tertulis. Penerapan : menerapkan pemahaman yang didapatkan dalam satu konteks ke konteks khusus, seperti memecahkan sebuah soal cerita unik dalam bahasa Indonesia, Analisis : memisahkan ide-ide menjadi bagian-bagian komponen untuk memahami struktur ide-ide tersebut, seperti mencari kesesatan logika dalam penalaran. Sintesis : membangun struktur atau pola dari berbagai elemen, seperti membuat esai persuasive yang orisinal. Evaluasi : menilai nilai dari ide-ide atau materi-materi, seperti memilih strategi paling efisien untuk memecahkan masalah. Tujuan pembelajaran semestinya menuntut siswa untuk sesegera mungkin berpikir pada tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat pengetahuan. Sejarah penelitian yang panjang secara konsisten menunjukkan bahwa mayoritas mencengangkan dari pertanyaan-pertanyaan tes yang ditemui siswa, hanya menuntut mereka berpikir pada tingkat paling rendah (Miller, Linn, & Gronlund, 2009) Tuturan yang ditemukan dalam penelitian ini berdasarkan klasifikasi berpikir Bloom adalah dalam kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan dan evaluasi sedangkan untuk kategori analisis dan sintesis belum ditemukan. 780
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Tuturan guru untuk pengembangan sikap terealisasi dalam wujud ekspresif yang terlihat dalam tuturan memberikan salam, tuturan memberikan penghargaan, tuturan dalam memberi harapan, mengucapkan terima kasih, tuturan dalam mengkritik dan tuturan dalam memotivasiRanah sikap mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Bloom (Brown, 2000) memberikan definisi tentang ranah sikap yang terbagi atas lima tataran sikap yang implikasinya dalam siswa SMP lebih kurang sebagai berikut: (1) sadar akan situasi, fenomena, masyarakat, dan objek di sekitar; (2) responsif terhadap stimulus-stimulus yang ada di lingkungan mereka; (3) bisa menilai; (4) sudah mulai bisa mengorganisir nilai-nilai dalam suatu sistem, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai yang ada; (5) sudah mulai memiliki karakteristik dan mengetahui karakteristik tersebut dalam bentuk sistem nilai. Nilai-nilai karakter yang ditargetkan dalam kurikulum KTSP terangkum dalam 18 nilai karakter yang diprioritaskan. Tuturan guru di SMP Negeri 1 Palipi merupakan bentuk kebahasaan yang sangat informatif isinya namun dikatakan demikian dari 18 nilai karakter yang diprioritaskan belum teridentifikasi sepenuhnya dalam interaksi pembelajaran. Tendensi tuturan guru untuk pembentukan sikap berada pada lingkup nilai kejujuran, disiplin, kerja keras, mandiri dan tanggung jawab. Tuturan untuk pengembangan keterampilan terealisasi dalam wujud argumentasi, imperatif yang terlihat dari tuturan menyampaikan tugas, dan mendemonstrasikan contoh. Ranah keterampilan : aspek yang berkaitan dengan kemampuan melakukan pekerjaan dengan melibatkan anggota badan; kemampuan yang berkaitan dengan gerak fisik. Guru tidak hanya sekedar menyampaikan sesuatu kepada siswa, tetapi guru juga bermaksud agar siswa melakukan sesuatu seperti yang diinginkan oleh guru dan tindakan itu dilakukan oleh mitra tutur untuk pengembangan keterampilannya. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan bahwa masing-masing guru dari berbagai tingkatan kelas pengajarannya memiliki wujud dan ciri yang berbeda. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa tuturan guru dalam interaksi belajar mengajar untuk mengembangkan pengetahuan Untuk mengembangkan sikap dan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam interaksi pembelajaran guru harus memancing inisiatif siswa dalam bentuk pertanyaan, hal ini dilakukan karena adanya kecenderungan siswa yang pasif dalam pembelajaran. Guru mengembangkan strategi pembelajaran mandiri dan kooperatif dalam mengembangkan keterampilan siswa dengan tuturan yang komunikatif dan bisa dipahami siswa, hal ini dimaksudkan setelah siswa menerima pengembangan pengetahuan juga semakin terampil dalam mengaplikasikan ilmu yang diserap dalam berbagai kegiatan, termasuk dalam memberikan solusi atas masalah yang dihadapi contohnya dalam pemberian latihan dan tugas Tuturan guru menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pembelajaran, dalam interaksi pembelajaran. Dalam interaksi pembelajaran sering terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan intruksi guru baik dalam mengembangkan pengetahuan maupun dalam mengembangkan keterampilan. Hal ini membuktikan bahwa peranan dan fungsi tuturan guru sangat penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Alchaidir, Alwasilah. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung : Angkasa. Azies, Furcanul dan Chaedar Alwasilah. 1996. Pengajaran Bahasa Komunikatif Teori dan Praktek. Bandung : Remaja Rosdakarya. Brown, Douglas.2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta : ISBN. Eggen, Paul dan Don Kauchak. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran mengajar konten dan keterampilan berpikir. Jakarta : Indeks Kartomihardjo, Seoseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta : Depdikbud Dirjen Dikti P2LPTK. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahkan oleh MDD. Oka. Jakarta : UIPress. Ibrahim, Abd. Syukur. 1989. Kajian Tindak Tutur. Surabaya : Usaha Nasional. Hasan, Alwi. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 781
ISBN :978-602-17187-2-8
Hymes, D. 1975. Fondation in Sociolinguistic : An Etnographic Approach. Philadelfia : University of Pennyslvan Press, Inc. Majid, Abdul. 2012. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Majid, Abdul. 2014. Strategi Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Leech, Geoffrey.1988. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh M.D.D. Oka. 1993. Jakarta : UI Press. Pangaribuan, Tagor. 2008. Paradigma Bahasa. Yogyakarta : Graha Ilmu Rohmadi, M.2011. Analisis Wacana Pragmatik. Surakarta : Yuma Pusktaka Sagala, S. 2007. Konsep dan Makna pembelajaran. Bandung : Alfabeta. Sanjaya, W. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada media Group Sarnoff, Doroty. 1997. Bicara Dapat mengubah Hidup Anda. Diterjemahkan oleh Sumarjinah. Jakarta : Delapratasa. Searle, Jhon R. 1969. Speech Acts An Essay in The Philosophy of Language. Cambrigde : University Press. Subagyo, Ari dan Sudartomo Macaryus. 2009. Peneroka Hakikat Bahasa. Yogyakarta : USD. Sugono, Dendy. 2009. Mahir berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Surbakti, Bujur. 1997. ―Peluang dan Tantangan dalam Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia dan Kaitannya dengan Ketahanan Nasional dalam Era Pasar Bebas ‖. Makalah Seminar Nasional XII Bahasa Indonesia dan Pengajarannya. Medan : FPBS IKIP Medan. Suyono. 1990. Pragmatik Dasar-Dasar dan Pengajarannya. Malang : FPBS-IKIP Malang. Suyono dan Imam Basuki. 1992. Peningkatan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (Sebuah Pemikiran). Malang : Proyek OPF IKIP Malang. Wijana, I Dewa putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta : Andi. Permendiknas No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesiahttp://www.slideshare.net/w2snu/sejarah-bahasaindonesia.pdf) Hidayati, Wachit Nur. (http://blog-kuliah.blogspot.com/2012/12/fungsi-bahasa-indonesia.html) diakses 20 agustus 2015
PROBLEMATIK PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERKAITAN DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SMP Shinta Aulia Fannies
[email protected] Abstrak : Pendidikan karakter sejak dicetuskan dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) 2010 belum terlaksana dengan baik. Hal ini menyebabkan degradasi moral di kalangan siswa. Pendidikan karakter memerlukan usaha yang terus-menerus dan terkait antara pihak keluarga, sekolah dan masyarakat. Problema yang muncul dalam melaksanakan pendidikan karakter pada intinya didasarkan ketidakpahaman terhadap pedidikan dan nilai karakter. Solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut dengan memantapkan pemahaman terhadap pendidikan dan nilai karakter melalui sosialisasi yang merata dan berkelanjutan. Kata kunci: karakter, pendidikan, problematik pembelajaran
Pembahasan mengenai pendidikan yang berbasis pada pembangunan karakter siswa menjadi wacana yang ramai dibicarakan di dunia pendidikan maupun di kalangan masyarakat umumnya. Pendidikan karakter sangat dibutuhkan karena degradasi moral yang terus menerus terjadi pada generasi bangsa. Degradasi moral ini nyaris membawa bangsa pada kehancuran. 782
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Sejak Indonesia berdiri, pendidikan karakter terus dikumandangkan. Sebagai bukti adalah Presiden Soekarno mencanangkan nation and character building dalam rangka membangun dan mengembangkan karakter bangsa Indonesia guna mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Puskur, 2010 : 1). Dilanjutkan pada masa orde baru, Presiden Soeharto mencanangkan pelatihan atau penataran Pedoman Pengamalan dan Pelaksanaan Pancasila (P4). Pada masa kini, pendidikan karakter juga menjadi prioritas hal ini tampak dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Berdasar UU No.20 Tahun 2003 pasal 3 bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, manusia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini mengisyaratkan bahwa siswa selain disiapkan untuk memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan juga dituntut memiliki mutu kehidupan dan menjaga martabat bangsa, beriman, berbudi pekerti luhur. Menyadari pentingnya pendidikan karakter yang merupakan suatu nilai yang menjadi satu kesatuan dengan setiap mata pelajaran di sekolah maka pendidikan karakter harus terusmenerus dilaksanakan . Diperlukan pemahaman mendalam untuk melaksanakan pendidikan karakter. Oleh karena itu, pada artikel ini akan dibahas pengertian pendidikan karakter, nilainilai pendidikan karakter, problematika dan solusi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia terkait pendidikan karakter serta kendala dalam mewujudkan solusi tersebut. KARAKTER DAN PENDIDKAN KARAKTER Istilah karakter tidak bisa dipisahkan dengan istilah pendidikan sebab mewujudkan karakter ideal selalu memerlukan usaha membelajarkan atau mendidik siswa. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Samani dan Hariayanto, 2013:41). Pengertian pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan mulia (Puskur, 2010 : 5). Pengertian ini memiliki dua kata kunci. Kata kunci yang pertama adalah isi pendidikan karakter. Kata kunci yang kedua adalah pelaksanaan pendidikan karakter. Pengertian pendidikan karakter juga dikemukakan oleh Kesuma, dkk (2012:5) yaitu pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah. Pengertian ini mengandung makna bahwa pendidikan karakter terintegrasi dalam pembelajaran dan diarahkan pada pengembangan nilai perilaku anak didik. NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH Nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan di sekolah berlaku universal, karena dapat digunakan oleh seluruh siswa di Indonesia tanpa adanya diskriminasi terhadap pihakpihak tertentu. Nilai-nilai pendidikan karakter perlu dijabarkan sehingga diperoleh deskripsinya sebagai batasan atau tolok ukur ketercapaian pelaksanaan nilai pendidikan karakter di sekolah. Adapun deskripsi nilai-nilai pendidikan karakter adalah sebagai berikut. Tabel 1 Deskripsi Nilai Pendidikan Karakter Nilai Deskripsi 1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinyasebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,suku, etnis,
783
ISBN :978-602-17187-2-8
4. Disiplin 5. Kerja Keras
6. Kreatif 7. Mandiri 8. Demokratis 9. Rasa Ingin Tahu
10. Semangat Kebangsaan 11. Cinta Tanah Air
12.Menghargai Prestasi
13.Bersahabat/ Komuniktif 14. Cinta Damai 15. Gemar Membaca 16. Peduli Lingkungan
17. Peduli Sosial 18. Tanggung jawab
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung padaorang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai samahak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untukmengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yangmenempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkankesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untukmenghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan oranglain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagaibacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegahkerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuanpada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugasdan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Deskripsi tersebut dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Gerakan Nasional Pendidikan Karakter. Rencana tersebut dicetuskan sewaktu Kurikulum Tingkat Satuan Pendididkan (KTSP) namun dalam pelaksanaannya dianggap kurang berhasil. Pada Kurikulum 2013, pendidikan karakter dituangkan dalam Kompetensi Inti (KI) dan dijabarkan pada tiap Kompetensi Dasar (KD). KI dan KD sebagai sarana untuk mencapai kompetensi lulusan. Adapun isi dari karakter siswa yang tercantum dalam kompetensi lulusan, KI dan KD Kurikulum 2013 tertuang dalam tabel sebagai berikut. Tabel 2 Kompetensi Lulusan SMP/MTs/SMPLB/ PAKET B
DIMENSI SIKAP
KOMPETENSI LULUSAN Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
784
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMP diperinci dalam tabel sebagai berikut. Tabel 3 Kompetensi Inti Dan Kompetensi Dasar Bahasa Indonesia SMP
KOMPETENSI INTI
KOMPETENSI DASAR
1. Menghargai dan 1.1 Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia menghayati ajaran agama sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk yang dianutnya mempersatukan bangsa Indonesia di tengah keberagaman bahasa dan budaya 1.2 Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana memahami informasi lisan dan tulis 1.3 Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana menyajikan informasi lisan dan tulis 2. Menghargai dan 2.1 Memiliki perilaku jujur, tanggung jawab, dan santun dalam menghayati perilaku menanggapi secara pribadi hal-hal atau kejadian jujur, disiplin, berdasarkan hasil observasi. tanggungjawab, peduli 2.2 Memiliki perilaku percaya diri dan tanggung jawab dalam (toleransi, gotong membuat tanggapan pribadi atas karya budaya masyarakat royong), santun, Indonesia yang penuh makna percaya diri, dalam 2.3 Memiliki perlaku kreatif, tanggung jawab, dan santun dalam berinteraksi secara mendebatkan sudut pandang tertentu tentang suatu masalah efektif dengan yang terjadi pada masyarakat lingkungan sosial dan 2.4 Memiliki perilaku jujur dan kreatif dalam memaparkan alam dalam jangkauan langkah-langkah suatu proses berbentuk linear pergaulan dan 2.5 Memiliki perilaku percaya diri, peduli, dan santun dalam keberadaannya merespon secara pribadi peristiwa jangka pendek PROLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA TERKAIT PENDIDIKAN KARAKTER SISWA Problema atau permasalahan yang muncul dalam pembelajaran Bahasa Indonesia terkait pendidikan karakter siswa adalah sebagai berikut. 1) Sikap guru terhadap Bahasa Indonesia. Guru harus memberikan teladan atau contoh yang baik pada siswanya terkait penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pembelajaran maupun siswa diluar pembelajaran. 2) Nilai religi hanya digunakan pada awal membuka pelajaran bahasa Indonesia saja dan tidak diulas dalam materi pembelajaran. Seperti yang dicontohkan pada pelatihan kurikulum 2013, guru biasanya mengucapkan ― Marilah kita menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa”. Pada intinya nilai religi hanya disampaikan sekilas pada awal pelajaran. 3) Guru bahasa Indonesia tanpa sengaja memberi peluang siswa melakukan ketidakjujuran dalam mengerjakan tugas karena tidak ada batasan tema maupun waktu dalam pengerjaan tugas. Sebagai contoh, siswa diberikan tugas mengarang atau menulis puisi tapi dengan tema bebas dan tugas yang diberikan boleh dikerjakan di rumah. Hal ini memudahkan siswa dalam mengambil karangan atau puisi dari majalah maupun internet dan mengumpulkannya tanpa ada proses mengubah ide atau gagasan serta unsur-unsur lainnya. 4) Nilai karakter tidak nyata diterapkan dalam kegiatan belajar. Nilai karakter dianggap sesuatu yang abstrak sehingga orientasinya hanya pada siswa sekedar tahu dan tidak dipraktekkan secara nyata dalam kegiatan belajar bahasa Indonesia. 5) Guru kesulitan membuat indikator penilaian sikap yang digunakan menilai karakter. Deskriptor yang merujuk pada karakter sulit dirumuskan guru. Dalam rubrik penilaian sikap, untuk mengukur cinta tanah air biasanya guru hanya menuliskan apakah siswa memiliki perasaan cinta pada air?. Padahal banyak indikator yang dapat digunakan misalnya, apakah siswa bangga terhadap bahasa Indonesia, dan lain sebagainya.
785
ISBN :978-602-17187-2-8
6)
7)
8)
9)
10)
Sanksi secara tegas terhadap pelanggaran nilai karakter tertentu sulit diterapkan. Pelanggaran terhadap kurang bersyukur atau kurang bangganya siswa terhadap bahasa Indonesia, serta ketidakjujuran siswa dalam mengambil karya sastra di internet sulit diterapkan Pesatnya perkembangan teknologi informasi sehingga melunturkan nilai jujur dan cinta tanah air. Lunturnya nilai kejujuran yaitu dengan mudahnya siswa mengunduh karya dari internet.Selain itu nilai dan norma serta budaya bangsa mulai terkikis tampak dari kurang antusias siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia dan lebih menyukai pelajaran bahasa asing, misalnya bahasa Inggris. Kompetensi Inti 1 dan 2 pada Kurikulum 2013 kurang diajarkan oleh guru. Umumnya KI 1 dan KI 2 yang mencakup ranah sikap hanya diajarkan sepintas. KI 1 dan 2 dianggap tidak penting dibanding KI 3 dan 4 yang merupakan ranah pengetahuan dan keterampilan. Guru Bahasa Indonesia kesulitan mengintegrasikan pendidikan karakter dengan materi pembelajaran. Padahal dengan membaca dan memahami karya sastra, berarti siswa mencoba memperoleh nilai-nilai positif dan luhur dari kehidupan, dan pada akhirnya memperkaya batinnya. Pendidikan karakter dianggap sekedar pengetahuan semata sehingga tidak perlu usaha yang khusus dan terencana dalam membelajarkannya.
SOLUSI PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN KARAKTER SISWA Solusi yang diawarkan untuk mengatasi permasalahan terkait pembelajaran Bahasa Indonesia yang berhubungan dengan karakter siswa sebagai berikut. 1) Guru harus memiliki sikap positif terhadap Bahasa Indonesia. Guru harus bangga berbahasa Indonesia sehingga dapat menanamkan nilai positif tersebut pada siswanya. 2) Nilai religi harus dibelajarkan dari awal hingga akhir menutup pelajaran bahasa Indonesia bahkan terintegrasi dalam materi pembelajaran bahasa Indonesia. Sebagai contoh, guru dapat menarik pesan atau amanat dari cerpen yang dibaca siswa dan dikaitkan dengan nilai religi. 3) Guru bahasa Indonesia harus memberikan batasan topik, tema maupun waktu pengumpulan tugas-tugas. Sebagai contoh, siswa diberikan tugas mengarang atau menulis puisi tapi dengan tema kebersihan. Seandainya siswa belum selesai dan tugas tersebut harus dilanjutkan di rumah maka guru memiliki catatan sampai sejauhmana pekerjaan siswa. 4) Nilai karakter harus secara nyata dipraktekkan dalam kegiatan belajar. Misalnya, siswa juga diharuskan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pembelajaran sebagai wujud syukur memiliki bahasa Indonesia dan cinta terhadap bahasa Indonesia. 5) Adanya panduan evaluasi nilai karakter, bertujuan agar guru mampu menyusun indikator penilaian sikap yang digunakan menilai karakter. 6) Harus ada ragam atau varian sanksi terhadap pelanggaran nilai karakter tertentu. Contoh, jika dalam pembelajaran terdapat siswa yang tidak mempergunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar maka guru memberikan sanksi tegas misalnya memimpin diskusi dengan bahasa yang baik dan benar. 7) Guru banyak memberikan pemahaman kepada siswa untuk menyeleksi arus informasi yang masuk sehingga siswa mampu membedakan mana yang sesuai atau tidak sesuai untuk mereka konsumsi maupun dijadikan contoh. 8) Perlu diadakan pelatihan bagi guru tentang pendidikan karakter sehingga guru memahami pentingnya pendidikan karakter, metode dan strategi dalam membelajarkan, bagaimana mengintegrasikan dalam pembelajaran, hingga bagaimana cara mengukur atau menilai ketercapaian karakter siswa. 9) Terkait dengan pembahasan pada point 8 di atas, perlu digalakkan sosialisasi di sekolah tentang pentingnya pendidikan karakter. 10) Perlu adanya perubahan pola pikir (mainset) bahwa pendidikan karakter bukanlah sekedar pengetahuan seperti mapel-mapel yang lain.
786
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
KENDALA DALAM MEWUJUDKAN SOLUSI PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN KARAKTER SISWA Kendala dalam mewujudkan solusi problematika pembelajaran Bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan karakter siswa diantaranya sebagai berikut. 1) Guru menggunakan Bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah dengan dalih memudahkan berkomunikasi dengan siswa. 2) Guru kehabisan waktu dalam membelajarkan materi kebahasaan sehingga terkadang tidak menyentuh nilai religi yang sebenarnya bisa diintegrasikan dengan materi pembelajaran. 3) Kesibukan guru menyusun perangkat pembelajaran serta berbagai administrasi lainnya sehingga banyak meninggalkan kegiatan belajar dan sekedar memberikan tugas yang tidak jelas tentang cara mengerjakan, contoh, topik, tema dan bagaimana bentuk yang diharapkan guru. 4) Guru menganggap nilai-nilai karakter hanyalah sekedar ‗istilah‘ yang sekilas diketahui siswa saja, tidak dianggap penting seperti ilmu pengetahuan. Nilai karakter dianggap tidak memiliki bobot seperti ilmu pengetahuan. 5) Belum ada panduan tentang evaluasi nilai karakter karena guru selama ini mementingkan evaluasi terkait mata pelajaran saja. 6) Tidak konsistennya pemberian sanksi terhadap penyimpangan nilai karakter oleh guru pada akhirnya siswa melakukan pelanggaran lagi. Terkadang guru menerapkan menggunakan bahasa yang baik dan benar di kelas akan tetapi di lain hari memberikan kelonggaran pada siswa. 7) Kurangnya kerjasama antara pihak sekolah, lingkungan keluarga dan masyarakat untuk memberikan pengawasan atau kontrol terhadap derasnya arus teknologi informasi dari luar. 8) Keterbatasan biaya penyelenggaran pelatihan dan biasanya pelatihan yang diadakan hanyalah terkait pembuatan perangkat pembelajaran saja. 9) Sosialisasi pendidikan karakter yang diberikan pada waktu KTSP hanya pada guru dan sekolah sasaran saja. Pada Kurikulum 2013, pelatihan pendidikan karakter dijadikan satu paket dengan diklat Kurikulum 2013 10) Perubahan pola pikir tidak bisa dilaksanakan secara instan. KESIMPULAN Pendidikan yang dapat melahirkan manusia Indonesia berkarakter sangat dibutuhkan karena degradasi moral yang terjadi pada generasi bangsa nyaris membawa bangsa pada kehancuran. Dalam mewujudkan pendidikan karakter banyak permasalahan yang terjadi bersumber dari kekurangpahaman terhadap konsep pendidikan karakter serta kurangnya sosialisasi terkait pendidikan karakter. Dalam mengatasi permasalahan terkait pendidikan karakter memang membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak diantaranya keluarga, lingkungan, dan sekolah, sebab pendidikan karakter merupakan usaha yang berkelanjutan, tidak bisa dijalankan hanya di sekolah. Jika usaha tersebut dilaksanakan maka akan melahirkan perubahan pola pikir tentang pentingnya pendidikan karakter. DAFTAR RUJUKAN Kesuma, dkk. 2012. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2013. Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Tim penyusun. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk daya Saing Dan karakter Bangsa : Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter bangsa. Jakarta : Pusat Kurikulum Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional. Tim Penyusun. 2010. Rencana Aksi Nasional (RAN) Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional 2010–2014
787
ISBN :978-602-17187-2-8
PEMBELAJARAN MENULIS PUISI DENGAN MODEL SINEKTIK BERBANTUAN MEDIA BENDA KONKRET Romelah Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Setiap pembelajaran diharapkan dapat memberi kesan yang menarik dan bermakna bagi siswa khususnya siswa SMP. Salah satu pembelajaran bersastra yang harus dikemas secara menarik adalah keterampilan menulis puisi. Keterampilan menulis puisi adalah proses kegiatan menuangkan gagasan melalui tulisan yang terikat oleh bentuk, nada, dan makna kias dengan menggunakan bahasa yang indah dan menarik. Keberhasilan tujuan pembelajaran menulis puisi dipengaruhi oleh faktor internal siswa dan guru. Yang sangat membutuhkan perhatian khusus adalah faktor internal guru agar mampu menentukan strategi pembelajaran yang mampu menimb ulkan kesan yang menarik. Agar pembelajaran menulis puisi berkesan menarik dan bermakna bagi siswa maka diperlukan model pembelajaran yang tepat. Alternatif pilihan model tersebut salah satunya adalah model pembelajaran sinektik berbantuan media benda konkret. Kata kunci: menulis puisi, model sinektik, media benda konkret
Salah satu keterampilan bersastra yang bersifat produktif adalah keterampilan menulis puisi. Keterampilan menulis adalah keterampilan berkomunikasi menuangkan, mengungkapkan pikiran, gagasan, perasaan dan kehendak untuk melahirkan ide yang hendak disampaikan kepada orang lain secara tertulis. Sumardjo (2007: 75) mengemukakan, menulis adalah suatu proses melahirkan tulisan yang berisi gagasan. Selanjutnya diperjelas oleh Nurhadi (2010: 20), menulis adalah kegiatan melahirkan ide dan mengemas ide tersebut ke dalam bentuk lambang-lambang grafis berupa tulisan yang bisa dipahami orang lain. Sedangkan puisi adalah jenis karya sastra yang diungkapkan dengan bahasa yang dipadatkan menggunakan kata kias dan berkesan indah. Menurut Maryati (2006:37), puisi merupakan hasil karya sastra yang mempunyai ciri-ciri yang sangat khusus. Kekhususan ini terletak pada pemilihan kata, penggunaan bahasa, dan rima (perulangan bunyi). Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) keterampilan menulis puisi diajarkan pada siswa kelas VII dan siswa kelas VIII. Salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa kelas VIII yaitu menulis puisi bebas dengan memperhatikan diksi (Depdiknas, 2006). Implikasinya ialah bahwa siswa SMP/MTs harus mampu menulis puisi. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran menulis puisi ditentukan oleh faktor internal siswa dan faktor guru. Masing-masing faktor saling terkait dan secara bersama-sama akan berkolaborasi dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Oleh karena itu guru dituntut untuk melaksanakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan sehingga guru harus mampu mengembangkan model pembelajaran yang bermakna. Model tersebut harus mampu mendorong peserta didik untuk menguasai kompetensi yang akan dicapai melalui pengalaman belajar secara mandiri. Agar pengalaman belajar dapat mencapai kompetensi yang diharapkan maka kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarsiswa, siswa dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian KD. Salah satu model pembelajaran yang terpusat pada siswa adalah model pembelajaran sinektik. Sinektik kependekan dari seni meningkatkan pemikiran kreatif. Model sinektik adalah model menggabungkan gagasan-gagasan yang berbeda dan terlihat tidak relevan dengan menggunakan kiasan secara ekspresif dan kreatif, untuk memperoleh gagasan atau ide baru (Joyce, dkk, 2011: 252). Tujuan model sinektik yang dirancang oleh Gordon sebagai rangsangan langsung untuk berfikir kritis. Model Sinektik menekankan pada kekuatan pola berpikir analogi dan metaforik. Joyce, dkk. (2011: 249) menjelaskan sinektik dirancang untuk meningkatkan 788
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah, mengekspresikan sesuatu secara kreatif, menunjukkan empati, dan memiliki wawasan sosial, meningkatkan kreativitas, menyajikan perbedaan konseptual antara siswa dengan objek yang dihadapi atau materi yang dipelajari melalui aktivitas metafora dengan analogi langsung, analogi persoanal, dan konflik padat. Untuk mempermudah membuat analogi-analogi, model sinektik memerlukan bantuan media benda konkret. Media benda konkret adalah media yang menyajikan sesuatu yang nyata atau menghadirkan objek yang sebenarnya. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis membahas ―Pembelajaran Menulis Puisi dengan Model Sinektik Berbantuan Media Benda Konkret‖ Makalah ini ditulis dengan tujuan mendeskripsikan prosedur model pembelajaran sinektik dengan harapan model ini dapat menciptakan pembelajran yang bermakna bagi siswa. KETERAMPILAN MENULIS PUISI Secara etimologis puisi berasal dari bahasa Yunani poima yang bermakna membuat, poiesis yang berarti pembuatan atau poietes yang berarti pembangun atau pembentuk. Di Inggris puisi lazim disebut poem atau poetry yang identik dengan makna to create atau to make. “Diartikan sebagai pembangun, pembentuk atau pembuat karena pada dasarnya menulis sebuah puisi berati membangun, membuat atau membentuk sebuah dunia baru secara lahir maupun batin‖ (Widijanto, 2014: 29). Menulis puisi adalah proses menuangkan, mengungkapkan gagasan untuk disampaikan kepada orang lain melalui tulisan yang terikat oleh bentuk, larik, dan dan kata kias dengan bahasa yang padat. Menurut Maryati (2006: 37), puisi merupakan hasil karya sastra yang mempunyai ciri-ciri yang sangat khusus. Kekhususan ini terletak pada pemilihan kata, penggunaan bahasa, dan rima (perulangan bunyi). Selanjutnya Wendi (2009: 2) menyatakan bahwa puisi merupakan karya sastra yang terikat oleh larik dan bait, menggunakan kata-kata singkat, padat, dan menarik. Sedangkan Kurniawan dan Sutardji (2012: 26) ―puisi adalah ketidaklangsungan ekspresi, yang mengungkapkan sesuatu yang berarti sesuatu yang lain atau puisi adalah ekspresi diri yang diungkapkan dalam bahasa yang semantik ritmik. Jadi keterampilan menulis puisi adalah kegiatan menuangkan gagasan secara tertulis yang terikat oleh larik dan bait dengan kata-kata singkat, padat, dan menarik untuk mengekspresikan diri. Unsur Pembangun Puisi Struktur puisi terdiri atas struktur fisik dan struktur batin. Menurut Kartini (2011: 4), struktur fisik puisi dibangun oleh (1) diksi, (2) bahasa kias (figurative language), (3) pencitraan (imagery), dan (4) persajakan. Sedangkan struktur batin puisi dibangun oleh pokok pikiran, tema, nada (tone), suasana (atmosphere), dan amanat (message). Selanjutnya Achmad (2015: 122-124) menyebutkan struktur fisik puisi meliputi, (1) tipografi, (2) dikasi, (3) gaya bahasa, (4) kata konkret, (5) rima, dan (6) imaji, sedangkan struktur batin meliputi, (1) nada, (2) rasa, (3) makna, dan (4) intention. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa struktur fisik meliputi, diksi, gaya bahasa, pencitraan atau imaji, persajakan/ rima, dan tipografi sedangkan struktur batin puisi meliputi, tema, nada, rasa, makna, dan amanat. Kurniawan dan Sutardji (2011: 27 ) menjelaskan, diksi adalah kata yang dipilih, dipilah dan ditentukan yang akan digunakan untuk mengungkapkan perasaan. Selanjutnya Achmad (2015: 122) menyampaikan, kata-kata yang dipilih dapat bersifat simbolik dan metaforik, sehingga puisi akan bermakna kias serta bersifat konkret sehingga puisi bermakna transparan. Jadi diksi adalah kata yang dipilih, dipilah dan ditentukan yang bersifat simbolik dan metoforik untuk makna kias, dan bersifat konkret untuk makna yang sebenarnya. Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang merupakan cerminan jiwa dan kepribadian penulis. Menurut Sudjiman (via Widijanto, 2014: 76) gaya bahasa menurut Kamus Istilah Sastra adalah peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang arti harfiahnya. Ruang lingkup kajian gaya bahasa meliputi identifikasi bentuk, ciri, unsur, hubungan antar unsur dalam teks puisi. Pencitraan/imaji merupakan hasil dari pengolahan imajinasi atau pengimajian. Achmad (2015: 123) mengungkapkan imaji adalah kata-kata yang mewakili untuk mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti perasaan, penglihatan, penciuman, perabaan, dan pendengaran. Fungsi utama imaji dalam sastra adalah untuk merangsang imajinasi menggugah perasaan dan pikiran-pikiran pembaca sastra. 789
ISBN :978-602-17187-2-8
Rima adalah persamaan bunyi dalam sebuah puisi yang letaknya bisa di awal, di tengah, dan di akhir baris (Widijanto, 2014: 76). Rima atau irama merupakan unsur kesamaan bunyi baik di bagian awal, tengah, maupun akhir puisi. Tipografi merupakan segala bentuk tampilan pada sebuah puisi baik rata kiri, bentuk bagian kanan atau bentuk baris. Kurniawan dan Sutardji (2011: 36) menjelaskan, tipografi adalah sesuatu yang berkaitan dengan bentuk penulisan puisi yang menyangkut pembaitanenjambemen, penggunaaan huruf, dan tanda baca serta bentuk bait. Hal itu diperjelas oleh Achmad (2015: 122) bahwa tipografi merupakan bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan kiri, pengaturan baris puisi yang tidak selalu diawali dan diakhiri dengan tanda titik. Struktur batin menurut Achmad (2015: 122-124) dijelaskan sebagai berikut. Tema adalah gagasan pokok yang dijadikan dasar pemikiran dalam menulis sebuah puisi. Selanjutnya nada atau tone merupakan sikap penyair terhadap pembacanya. Melalui nada, penyair dapat menyampaikan tema dan rasa kepada pembaca. Sementara suasana adalah keadaan yang menggambarkan batin pengarang. Sedangkan makna merupakan arti dari setiap kata, baris, dan keseluruhan puisi. Yang terakhir amanat adalah pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca oleh pengarang. Pada dasarnya keterampilan menulis puisi dapat dipelajari melalui latihan secara terus menerus. Artinya keterampilan menulis puisi tidak hanya mengandalkan bakat semata melainkan harus banyak berlatih. Achmad (2015: 120) menyatakan bahwa menulis puisi sangat mudah selama tidak hanya mengandalkan bakat semata, melainkan harus bekerja keras untuk menciptakan puisi dengan baik. Latihan secara terus menerus itulah yang disebut dengan proses kreatif. Proses kreatif menulis puisi menurut Kurniawan & Sutardji (2012: 39), yaitu (1) pencarian ide, (2) pengendapan, (3) penulisan, (4) serta editing dan revisi. Masing-masing tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut. Ide disebut pula inspirasi, yaitu sesuatu yang menyentuh rasa atau jiwa yang membuat seseorang ingin mengabadikan dan mengekspresikannya dalam puisi. Ide atau inspirasi berupa pengalaman yang ditangkap panca indera kita, yang kemudian menimbulkan efek-efek rasa, sedih, senang, bahagia, marah, dan sebagainya. Ide adalah bahan mentah, sebelum ditulis perlu dimatangkan, dan caranya adalah dengan diendapkan dalam perenungan atau kontemplasi. Proses pengendapan ide umumnya bersifat respon spontan. Artinya ketika kita mendapatkan ide maka perasaan dan pikiran kita langsung berimajinasi ke mana-mana. Setelah proses pengendapan atau pertemuan ide sudah matang maka segera dituliskan. Tulis apa yang ingin ditulis dengan segera. Kalau bisa tulis sampai selesai, jangan berhenti kalau memang tidak benar-benar buntu. Prinsip menulisnya adalah ungkapkan segala hal yang ada dalam otak, tentang ide yang sudah didapat dan diendapkan. Setelah selesai menulis maka kegiatan selanjutnyan adalah editing dan revisi. Editing ini berkaitan dengan pembetulan pada puisi yang diciptakan pada aspek bahasa, baik, salah ketik, pergantian kata, samapai kalimat, bahkan tata tulis; sedangkan revisi berkaitan engan pergantian isi atau subtansi. Wididjanto (2014: 40) mengemukan bahwa menulis puisi memiki manfaat umum dan manfaat khusus. Adapun manfaat umum menulis puisi meliputi, (1) memberikan kepada banyak orang media hiburan rohani, (2) memperluas dan memperkaya wawasan bahasa dan kebahasaan, (3) memberi bahan dan media bagi orang lain untuk berkompetensi dan insprospeksi (perenungan dan mawas diri), (4) memperluas wawasan dan pengalaman kemanusiaan, dan (5) memahami dan dapat menanamkan nilai-nilai kehidupan, baik nilai moral, etika, nilai sosial, pedagogik, dan sebagainya. Secara khusus menulis puisi juga dapat memberikan kepada orang lain hal-hal sebagai berikut: (pengalaman), (2) pengetahuan, (3) kesadaran, dan (4) hiburan. MODEL SINEKTIK (SENI MENINGKATKAN PEMIKIRAN KREATIF) Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang tersusun secara sistematis yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan serta melaksanakan aktivitas pembelajaran . Hal ini didukung oleh pendapat Hermawan (2006: 3), model pembelajaran 790
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Sinektik merupakan seni meningkatkan pemikiran kreatif. Istilah sinektik berasal dari bahasa Yunani yang berarti penggabungan unsur-unsur atau gagasan-gagasan yang berbedabeda yang tampaknya tidak relevan. Sinektik berarti strategi mempertemukan berbagai macam unsur dengan menggunakan kiasan untuk memperoleh satu gagasan baru. Model sinektik juga berorientasi meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, ekspresi kreatif, empati dan wawasan dalam hubungan sosial (Joyce, dkk, 2011: 252). Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan model sinektik adalah model yang menggabungkan/ mempertemukan bermacam-macam unsur dengan menggunakan kiasan untuk memperoleh gagasan baru secara ekspresif dan kreatif. Gordon (via Joyce,dkk., 2011: 252) menggagas model sinektik berdasarkan empat gagasan tentang kreativitas. Pertama, Kreativitas sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap orang berhubungan dengan masalah yang menuntut kreativitas dalam berbagai bidang kehidupan (Hermawan, 2006: 19). Kedua, proses kreatif bukanlah sesuatu yang misterius tetapi dapat dipelajari, Ketiga, Penemuan hal kreatif pada hakikatnya sama dalam berbagai bidang dan ditandai oleh proses intelektual yang melatarbelakanginya. Keempat, Penemuan yang kreatif dari individu dan kelompok pada dasarnya serupa. Tujuan model sinektik yang dirancang oleh Gordon sebagai rangsangan langsung untuk berfikir kritis. Model Sinektik menekankan pada kekuatan pola berpikir analogi dan metaforik. Joyce, dkk. (2011: 249) menjelaskan sinektik dirancang untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah, mengekspresikan sesuatu secara kreatif, menunjukkan empati, dan memiliki wawasan sosial, meningkatkan kreativitas, menyajikan perbedaan konseptual antara siswa dengan objek yang dihadapi atau materi yang dipelajari melalui aktivitas metafora dengan analogi langsung, analogi personal, dan konflik padat. Analogi langsung merupakan perbandingan sederhana antara dua objek atau konsep untuk mengalihkan suatu keadaan nyata pada keadaan yang lain dalam rangka memperoleh gagasan baru, ide, atau masalah baru. Analogi personal dilakukan dengan cara siswa memposisikan diri pada objek yang sedang dibandingkan. Misalnya dengan cara mengandaikan dirinya sebuah sepeda motor. Hermawan (2006: 20) menegaskan, ada empat tahap dalam analogi personal, yakni (1) mendeskripsikan fakta mengenai orang pertama, (2) mengidentifikasi orang pertama dengan perasaan, (3) mengidentifikasikan diri pada objek hidup, dan (4) mengidentifikasikan diri pada objek yang tidak hidup. Adapun yang dimaksud dengan konflik padat ialah cara mengkontraskan dua ide dengan memberi label singkat (Hermawan, 2006: 20). Biasanya hanya dua kata, misalnya ―sangat galak‖ atau ―sangat ramah‖ Atas dasar kerangka konseptual tersebut sintakmatik dari model ini dikembangkan. Sintakmatik Mengadaptasi Joice, dkk., (2011: 258) tahap pengajaran strategi pertama model pembelajaran sinektik dapat dilihat pada tabel berikut. Strategi Sinektik 1: Menciptakan sesuatu yang baru Tahap pertama: Mendeskripsikan kondisi saat ini Guru meminta siswa untuk mendeskripsikan situasi suatu topik yang mereka lihat saat itu Tahap ketiga: Analogi personal Para siswa menganalogikan sesuatu yang diseleksinya pada fase kedua. Tahap kelima: Analogi langsung Para siswa mengembangkan dan menyeleksi analogi langsung lainnya berdasarkan konflik tadi.
Tahap kedua: Analogi lansung Siswa mengemukakan analogi lansung, salah satu diseleksinya dan selanjutnya dikembangkan Tahap keempat Konflik kempaan Berdasarkan fase kedua dan ketiga, para siswa mengemukakan beberapa konflik dan dipilih salah satunya. Tahap keenam: Meninjau tugas yang sebenarnya Guru meminta para siswa meninjau kembali tugas atau masalah yang sebenarnya dan menggunakan analogi yang terakhir atau masuk pada pengalaman sinektik
791
ISBN :978-602-17187-2-8
Sistem Sosial Model ini terstruktur sedang, pengajar mengambil inisiatif menetapkan urutan dan membimbing mekanisme interaksi balajar. Pengajar juga membantu siswa untuk mengonseptualisasikan proses mental. Meski demikian, saat kegiatan metaforis para siswa tetap memiliki kebebasan dalam diskusi yang terbuka dan tanpa akhir (open-ended). Prinsip Pengelolaan/ Reaksi Pengajar mencatat seberapa jauh siswa terikat oleh pola berpikir yang reguler dan ia mencoba menciptakan psikologis yang dapat membangkitkan respon secara individual. Dalam proses pembelajaran seorang pengajar harus dapat menerima respon siswa secara terbuka agar mereka merasa bahwa dalam kegiatan metoforis tidak ada yang turut campur. Dengan demikian, keseluruhan proses sinektik itu akan dapat berjalan sesuai dengan jalan pikiran dan ide yang melatarbelakanginya. Sistem pendukung Sarana yang diperlukan untuk melaksanakan model ini adalah adanya pengajar yang kompeten menjadi pemimpin dalam proses sinektik. Kadang-kadang diperlukan sejumlah alat dan bahan atau tempat untuk membuat model analogi yang bersifat fisik. Kelas yang diperlukan berupa ruangan yang lebih besar yang memungkinkan terciptanya lingkungan yang kreatif melalui aktivitas yang bervariasi. Dampak Intruksional dan Pengiring Dampak intruksional dan dampak pengiring dari model sinektik dapat dilukiskan dalam gambar 1 berikut ini. Menurut Joyce, dkk. (2011: 272) model sinektik memiliki dampak instruksional dan pengiring seperti dalam gambar 1. Kapasitas Kreatif Umum
Model Sinektik
Kapasitas Kreatif dalam Bidang Studi Pencapaian Belajar dalam Bidang Studi Keutuhan dan Produktivitas Kelompok Dampak Instruksional Dampak Pengiring Gambar 1. Dampak Instruksional dan Pengiring model Sinektik (Joyce, dkk. via Hermawan 2006: 22)
MEDIA BENDA KONKRET Untuk mempermudah siswa dalam menentukan suatu objek dapat menggunakan rangsangan dengan bantuan media benda konkret. Media adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan perantara atau pengantar untuk menyampaikan pesan-pesan pengajaran (Arsyad, 2011: 4). Sedangkan benda konkret adalah segala sesuatu yang terdapat dalam alam dan berwujud secara nyata (KBI, 2008: 171). Jadi media benda konkret adalah segala sesuatu alat bantu yang berwujud nyata atau realita yang dapat dijadikan pengantar untuk menyampaikan pesan-pesan pembelajaran. Oleh karena itu pembelajaran menulis puisi dengan model sinektik berbantuan media benda konkret dapat menjadi pengalaman bermakna bagi siswa sehingga diharapkan dapat meransang ide, serta imajinasi siswa. Media benda konkret dapat dihadirkan secara langsung ke dalam kelas atau siswa dapat diajak untuk mendatangi objek tertentu, misalnya siswa diajak ke taman untuk melihat bunga, atau diajak ke suatu gedung yang sekiranya dapat mempermudah
792
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran menulis puisi dengan model sinektik berbantuan media benda konkret dapat dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas. PROSEDUR PENERAPAN MODEL SINEKTIK Ada dua strategi pengajaran dari model sinektik, yaitu pertama strategi pembelajaran untuk menciptakan sesuatu yang baru (creating something new), dan kedua strategi pembelajaran untuk mengakrabkan terhadap sesuatu yang masih asing (making the strange familiar) (Joice, dkk., 2011: 257). Namun, dalam pengajaran menulis puisi sering menggunakan strategi yang pertama karena sesuai dengan kriteri kompetensi dasar yaitu menulis puisi bebas. Mengadaptasi Joice, dkk., (2011: 258) tahap pengajaran strategi pertama model pembelajaran sinektik dapat dilihat pada tabel berikut. Kegiatan Pembelajaran Menulis Puisi dengan Model Sinektik Berbantuan Media Benda Konkret Strategi Sinektik 1: Menciptakan sesuatu yang baru Tahap pertama: Mendeskripsikan kondisi saat ini Guru meminta siswa untuk mendeskripsikan situasi suatu topik yang mereka lihat saat itu
1. 2. 3. 4.
Siswa mendengarkan puisi yang dibacakan guru ―Dengan Puisi, Aku‖ karya Taufik Ismail. Siswa mendata kata-kata yang mirip dalam puisi Siswa menyebutkan kata yang bermakna kias. Siswa disuruh membuat kata-kata yang bermakna kias sebanyak-banyaknya dalam waktu 2 menit.
Tahap kedua: Analogi lansung Siswa mengemukakan analogi lansung, kemudian memilih salah satu untuk dikembangkan
5. Siswa diajak mengamati benda-benda yang ada di sekelilingnya. 6. Siswa memilih salah satu objek kemudian membuat analogi langsung dengan cara menggabungkan dua objek yang berbeda tetapi memiliki satu makna. Contoh: meja pembaringan, jendela warna, pintu kebahagiaan. 7. Siswa memilih salah satu analogi langsung yang paling menarik. 8. Siswa mendeskripsikan objek yang telah dipilihnya melalui analogi langsung
Tahap ketiga: Analogi personal Para siswa menganalogikan sesuatu yang diseleksinya pada fase kedua.
9. Guru meminta siswa agar menjadi objek analogi yang dipilihnya. 10. Siswa membuat analogi sesuai dengan objek yang dipilihnya. 10. Siswa membacakan hasil analoginya 11. Guru membimbing siswa yang belum membuat analogi dengan cara menyuruh teman yang sudah membuat analogi banyak untuk menyumbangnya. 12. Siswa membandingkan dirinya sebagai benda dengan cara menjawab pertanyaan dari guru yaitu: (1) Bagaimana perasaan kalian jika mendapat musibah?, (2) Apa reaksi kalian jika teman kita berkhianat? (3) Apa yang kalian lakukan jika melihat teman yang dipercaya justru berkhianat?, (4) Bagaimana perasaan kalian jika mendapat hadiah dari orang tua?
Tahap keempat Konflik yang dipadatkan/ kempaan Berdasarkan fase kedua dan ketiga, para siswa mengemukakan beberapa konflik dan dipilih salah satunya.
13. Siswa menggabungkan dua analogi yang yang telah dipilih pada analogi langsung dan personal. 13. Siswa menentukan topik/tema berdasarkan hasil penggabungan analogi sebagai landasan menulis puisi .
793
ISBN :978-602-17187-2-8
14. Siswa mengembangkan analogi langsung yang Tahap kelima: telah dipilihnya. Analogi langsung 15. Siswa mendata kata-kata yang menarik untuk Para siswa mengembangkan dan memilih untuk menulis puisi. analogi langsung lainnya berdasarkan konflik 16. Siswa mengembangkan kata-kata menjadi kalimat tadi. Tahap keenam: Meninjau tugas yang sebenarnya Guru meminta para siswa meninjau kembali tugas atau masalah yang sebenarnya dan menggunakan analogi yang terakhir atau masuk pada pengalaman sinektik
17. Siswa mengembangkan kalimat menjadi baris-baris puisi . 18. Siswa menentukan judul puisi 19. Siswa mennyunting puisi tulisan teman 20. Siswa merevisi puisi yang telah disunting oleh teman
PENUTUP Keterampilan menulis puisi adalah proses kegiatan menuangkan, mengungkapkan gagasan untuk disampaikan kepada orang lain melalui tulisan yang terikat oleh bentuk, larik, dan dan kata kias dengan bahasa yang padat. Model sinektik (seni meningkatkan pemikiran kreatif) adalah model pembelajaran yang menggabungkan/ mempertemukan bermacam-macam unsur dengan menggunakan kiasan untuk memperoleh gagasan baru secara ekspresif dan kreatif. Media benda konkret adalah segala sesuatu alat bantu yang berwujud nyata atau realita yang dapat dijadikan pengantar untuk menyampaikan pesan-pesan pembelajaran. Pembelajaran menulis puisi dengan model sinektik berbantuan media benda konkret dapat menjadi pengalaman bermakna bagi siswa sehingga diharapkan dapat meransang ide, serta imajinasi siswa. Pembelajaran harus mampu menciptakan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa agar materi selalu diingat. Untuk mencapai tujuan pembelajaran menulis puisi yang bermakna bagi siswa sebaiknya menggunakan model sinektik dengan berbantuan media benda konkret. Selain praktis dan mudah diterapkan model sinektik dapat memberikan kesan yang mendalam terhadap pembelajaran menulis puisi karena pembelajaran terfokus pada siswa. DAFTAR RUJUKAN Achmad, Sri Wintala. 2015. Panduan Lengkap Menjadi Penulis Handal. Yogyakarta: Araska. Depdiknas. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Kartini. 2011. Peningkatan Kemampuan Menulis Bebas. Jurnal Pendidikan Dompet Dhuafa. Vol.1. Online. Purwoudiutomo.com/...Peningkatan-Kemampuan-Menulis-Puisi-Bebas. Diakses tanggal 10 Oktober 2015. Kurniawan, Heru & Sutardji. 2012. Penulisan Sastra kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Nurhadi. 2010. Bagamana Menulis: Handbook of Writing. Bandung: Penerbit Kaifa. Pradopo, Rachmad D. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjahmada University Press. Sumardjo, Jakob. 2004. Seluk-Beluk & Petunjuk Menulis Cerita Pendek. Bandung: Pustaka Latifah. Trimo, Lavyanto. 2006. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Bandung: CV Citra Praya Waluyo. Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi PUISI. Jakarta: Erlangga Widijanto, Tjahjono. 2014. Menulis Sastra Siapa takut!. Yogyakarta: Pustaka Puitika.
794
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PROBLEMATIKA MINAT BERSASTRA SISWA PADA PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI TINGKAT SMP Wahyu Puji Hanggoro Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia terus berubah. Namun, Selama ini pengajaran bahasa indonesia khususnya pada pembelajaran sastra di sekolah cenderung konvensional, anak menjadi tidak berminat dengan pelajaran sastra yang mengakibatkan minat bersastra siswa rendah. Minat bersastra yang dimaksud berupa minat membaca, mendengarkan, sampai pada minat apresiasi sastra. Problematika pembelajaran sastra terutama dalam kaitannya dengan minat bersastra pada siswa diantaranya adalah, (1) Pelajaran membaca sastra hanya diajarkan dalam bentuk skimming dan scanning, (2) Pembelajaran bersastra hanya sebatas kuncup bunga yang akan mekar dan menampakkan keindahannya, (3) Kurangnya membaca karya sastra dan wawasan kepenyairan, (4) Guru tertutup dan acuh terhadap siswa dalam hal minat bersastra. Kata Kunci: Pembelajaran Sastra Indonesia, Problematika, Minat Bersastra
Keberhasilan suatu pembelajaran di sekolah, tidak dapat digantungkan pada satu faktor saja. Namun berbagai faktor yang saling terkait dan mendukung satu sama lain. Faktor-faktor itu adalah, guru, siswa, kurikulum, bahan pembelajaran dan teknik atau metode pembelajaran. Seperti yang disampaikan Badudu (1993) bahwa pembicaraan mengenai pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, sebaiknya didasarkan pada beberapa pikiran yang bertalian erat dengan hal-hal tersebut. Guru pada dasarnya merupakan tenaga kependidikan yang memikul berat tanggung jawab kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan proses pembelajaran yang bertujuan untuk membebaskan bangsa dari kebodohan. Tujuan tersebut dapat tercapai jika guru dapat memberikan pembelajaran pada siswanya untuk menjadi insan yang berguna bagi bangsa dan negaranya. Selain guru, faktor lain yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran adalah kurikulum. Kurikulum yang berlaku mempengaruhi guru untuk menerapkan metode pembelajaran dan menggunakan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum. Hal itu juga berlaku pada pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya di tingkat SMP. Sebagai contoh, kurikulum 2013 yang berlaku saat ini, mengajarkan siswa untuk memahami berbagai macam teks. Hal itu sangat mempengaruhi guru dalam memberikan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Khusus pada pembelajaran Sastra, guru dituntut untuk pandai memasukan pembelajaran sastra pada setiap teks yang diajarkan kepada siswa. Namun pada kenyataannya, pembelajaran sastra di sekolah, khususnya SMP bagaikan ―anak tiri‖ bila dibandingkan dengan pembelajaran bahasa. Kenyataan ini terjadi karena guru dan siswa beranggapan bahwa pembelajaran sastra hanyalah pelajaran untuk kesenangan dan sebagai pendamping pembelajaran bahasa. Pengajaran sastra selama ini dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi guru yang pengetahuan dan apresiasinya rendah. Hakikat dari tujuan pengajaran sastra yaitu untuk menumbuhkan keterampilan, rasa cinta dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai budaya warisan leluhur. Pada pengajarannya pula sastra memiliki problematika yang mempengaruhi minat dan keinginan siswa untuk mengikuti pengajaran dengan baik. Problematika pengajaran sastra di sekolah khususnya SMP dikaitkan pada sebagian besar guru bahasa dan sastra kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Sebenarnya guru dapat mengusahakan karya sastra yang dimuat di media massa dalam bentuk buku sastra, atau melalui media elektronik seperti internet. Beberapa hal lain pula adanya anggapan gagalnya pengajaran sastra di sekolah lebih banyak terjadi akibat kesalahan guru di sekolah yang telah mengingkari hakikat yang melandasi lahirnya pengajaran sastra itu. Buruknya mutu pembelajaran apresiasi sastra di SMP juga tak lepas dari minimnya guru sastra yang memiliki ―talenta‖ dan minat serius terhadap sastra. Apalagi, sastra hanya merupakan mata pelajaran yang digabungkan pada pelajaran bahasa lantaran statusnya yang 795
ISBN :978-602-17187-2-8
hanya sekedar gabungan tidak mengherankan jika apresiasi sastra hanya disajikan sambil lalu. Meskipun sastra erat kaitannya dengan bahasa, tetapi proses penyajiannya perlu kreativitas dan model penyajian tersendiri. Menyajikan puisi, misalnya, selain digabungkan menguasai materi ajar guru juga harus mampu memberi contoh yang memikat dan sugestif saat membaca puisi. Hal ini sulit dilakukan oleh guru bahasa yang kurang memiliki minat serius dan talenta yang cukup mengenai sastra yang dianggap sulit lebih nyaman untuk tidak disajikan atau dihindari. Di samping itu, sistem pendidikan di Indonesia acapkali memaksa sekolah sebagai penyelenggara pendidikan dan guru sebagai ujung tombak mengingkari hakikat pendidikan. Target perolehan nilai tertentu harus dicapai dengan standar penilaian ujian nasional, memicu pengingkaran tujuan pendidikan yang sebenarnya sehingga tidak urung memaksa guru bahasa menomorduakan sastra. Faktor rendahnya apresiasi dan minat baca rata-rata siswa dan lulusan SMP memiliki pengaruh terhadap karya sastra. Pengetahuan sastra yang kurang menjadi faktor lain, hal ini sangat tidak setara jika dibandingkan dengan pengetahuan siswa tentang dunia hiburan atau selebriti. Permasalahan lain, kurikulum pendidikan yang saat ini digunakan tidak pernah memberikan ruang gerak pada pembelajaran sastra. Orientasi pemerintah dalam pembangunan bidang pendidikan masih melenceng jauh dari hakikat dan tujuan itu sendiri. Pada kenyataan guru pun masih dihadapkan dengan seperangkat silabus dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang telah dipatenkan dan menghambat kreativitas guru dan dengan sendirinya pembelajaran sastra menjadi terpinggirkan. Dari berbagai masalah yang telah dipaparkan di atas, maka makalah ini akan berusaha untuk memberikan solusi dari berbagai problematika minat bersastra siswa dalam pengajaran sastra di sekolah, khususnya tingkat SMP. Selain itu, sebagai pemicu semangat bagi guru Bahasa dan Sastra Indonesia, dalam makalah ini juga akan disebutkan berbagai kendala yang berkaitan dengan solusi tersebut. Hal itu dimaksudkan agar para guru dapat berusaha untuk menghindari atau menghilangkan kendala-kendala tersebut. Jika dirumuskan dalam sebuah rumusan masalah, pertanyaan-pertanyaan itu adalah: (1) apa sajakah yang menjadi problematika dalam hal minat bersastra siswa pada pembelajaran sastra Indonesia?, (2) bagaimanakah solusi dari problematika permasalahan tersebut?, dan (3) Apa sajakah yang menjadi kendala dari solusi problematika dalam hal minat bersastra siswa pada pembelajaran sastra Indonesia? HAKIKAT PEMBELAJARAN SASTRA Moody (1996: 15-24) menyebutkan bahwa pembelajaran sastra dapat membantu keterampilan berbahasa anak, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, menunjang pembentukan watak. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa sastra merupakan sumber berbagai cita rasa di antaranya cita rasa moral dan sosial. Oleh karena itu, sastra sangat layak untuk menjadi sumber pembelajaran bagi para siswa. Siswa yang belajar sastra diharapkan mempunyai tingkat moral dan sosial yang tinggi. Hai itu merupakan keinginan dunia pendidikan. Berbagai kajian telah dilakukan berkaitan dengan perlunya sastra menjadi bahan pembelajaran bagi siswa. Darma (1993) menyatakan bahwa sastra adalah penghayatan dan juga metafora realitas. Untuk itu menghubungkan pengalaman batin dengan karya sastra sebagai dunia metafora merupakan pemercepatan proses menuju ke ranah afeksi. Kern (2000: 16-17) memberikan tujuh prinsip berkaitan dengan penerapan pembelajaran sastra. Ketujuh prinsip itu meliputi (1) interpretasi, (2) kolaborasi, (3) konvensi, (4) pengetahuan budaya, (5) pemecahan masalah, (6) refleksi, dan (7) penggunaan bahasa. Prinsip tersebut dalam penerapannya terintegrasi ke dalam menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, serta ke dalam komunikasi secara umum. Prinsip Kern tersebut sangat jelas mengisyaratkan bahwa pembelajaran sastra dilakukan dalam bentuk aktivitas nyata yang dilakukan secara langsung oleh siswa dan bukan pemindahan isi semata. Oemarjati (2005) menegaskan bahwa jika siswa kita hadapkan sebagai subyek pengajaran, kita harus menyadari bahwa setiap siswa merupakan individu, sekaligus sesuatu totalitas yamg kompleks, yang menyimpan sejumlah kecakapan. Dalam kegiatan belajar mengajar, kecakapan itulah yang perlu dikenali, ditumbuh kembangkan. Berkaitan dengan pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan itu adalah yang bersifat (1) indrawi, (2) nalar, (3) afektif, (4) sosial, dan (5) religius. 796
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Dari pernyataan di atas, teramat jelas bahwa sastra sangat dibutuhkan bagi pengembangan generasi muda dalam menjalani kehidupan kelak. Satra menjadi teramat penting. Untuk memenuhi kebutuhan itu, sastra haruslah dikemas dengan daya implementasi yang mengedepankan konteks pembelajar. Namum penganggapan teramat penting itu hanya sebatas memasukkan sastra dalam pelengkap pembelajaran bahasa dikelas. Maka pembelajaran sastra tidak berdiri sendiri. Padahal dari waktu ke waktu semua orang mengatakan bahwa sastra teramat penting diajarkan di sekolah. Jalan yang dapat ditempuh, meskipun sastra melekat dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah dengan mendesain pembelajaran sasta menjadi bermakna dan berkesan. PROBLEMATIKA MINAT BERSASTRA ANAK PADA PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia terus berubah di setiap kurikulumnya. Namun, Selama ini pengajaran bahasa indonesia khususnya pada pembelajaran sastra di sekolah cenderung konvesional dan tak lagi dapat diandalkan untuk pembelajaran pada anak. Hal itu mengakibatkan anak tidak berminat dengan pelajaran sastra yang mengakibatkan minat bersastra siswa rendah. Minat bersasstra yang dimaksud berupa minat membaca, mendengarkan, sampai pada minat apresiasi sastra. Berikut diuraikan problematika pembelajaran sastra terutama dalam kaitannya dengan minat bersastra pada siswa. 1. Pelajaran membaca sastra hanya diajarkan dalam bentuk skimming dan scanning Pelajaran membaca sastra hanya diajarkan dalam bentuk skimming dan scanning sehingga pemahaman membaca anak sangat buruk dan sering lupa akan bacaan yang telah dibacanya. Padahal penerapan membaca cepat dan sepintas tersebut disinyalir tidak efektif diajarkan pada anak. Jika pengajaran membaca cepat dan sepintas tersebut terus diajarkan ke siswa, akan berdampak lebih buruk lagi. Pengajaran membaca anak seharusnya diajarkan dengan penuh riang dan tidak ada unsur pemaksaan, karena sastra itu bersitat fleksibel / santai sehingga membuat anak merasa tertarik untuk lebih mendalami sastra kelak dikemudian hari. Pola semacam itu jika diterapkan terus saat proses belajar mengajar hanya membuat siswa merasa jenuh untuk belajar bahasa dan sastra Indonesia. Pada umumnya para siswa menempatkan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada urutan buncit dalam pilihan para siswa. Yaitu setelah pelajaran-pelajaran eksakta dan beberapa ilmu sosial lain. Jarang siswa yang menempatkan pelajaran ini sebagai favorit. Hal ini semakin terlihat dengan rendahnya minat siswa untuk mempelajarinya dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Peneliti menyoroti masalah ini bahwa adanya metode pengajaran bahasa dan sastra Indonesia yang telah gagal mengembangkan keterampilan dan kreativitas para siswa dalam berbahasa dan membaca. Hal ini disebabkan karena pengajarannya yang bersifat formal akademis, dan bukan untuk melatih kebiasaan berbahasa dan membaca para siswa itu sendiri. 2. Pembelajaran bersastra hanya sebatas kuncup bunga yang akan mekar dan menampakkan keindahannya Pembelajaran bersastra hanya sebatas kuncup bunga yang akan mekar dan menampakkan keindahannya. Pelajaran Bahasa Indonesia mulai dikenalkan di tingkat Sekolah Dasar sejak kelas 1. Bagaikan kuncup bunga yang akan mekar dan menampakkan keindahannya. Mereka memulai dari awal dan masih apa adanya. Pada fase tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia dan sastra hanya mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat. Baik berupa karangan bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar dan ilustrasi yang nampak disekelilingnya. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan.Tidak ada hasil yang nyata dan relevan dalam pembelajaran. Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang monoton telah membuat para siswanya mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar dan mendalami dunia sastra Indonesia. Setelah lulus SD dan melanjutkan ke SMP, ternyata proses pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia masih tidak kunjung menunjukan perubahan yang berarti. Bunga pun masih menjadi kuncup. Kelemahan proses KBM yang mulai muncul di SD ternyata masih dijumpai di SMP. Hal itu menjadikan anak semakin menjauh dari pembelajaran sastra. Minat mereka dalam pemelajaran sastra bagai kuncup bunga yang layu sebelum berkembang. 3. Kurangnya membaca karya sastra dan wawasan kepenyairan Hal terpokok dari sebuah pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia disertai kepenyairannya akan terlihat dari aspek yang diajarkan oleh gurunya. Sastra yang lebih 797
ISBN :978-602-17187-2-8
digemari siswa adalah dongeng dan puisi. Mereka lebih memilih dongeng dan puisi dikarenakan lebih menarik untuk dibaca dan membuat mereka bisa merasa senang dan tidak membuat mereka tertekan. Menurut Andre Hardjana (1981: 45) proses penciptaan sebuah sajak dalam puisi pada hakikatnya adalah proses penyempurnaan pengalaman puitik penyairnya. Keterkaitan antara membaca karya sastra dan wawasan kepenyairan adalah dari sudut pandang nuansa yang fleksibel dan tidak ada unsur pemaksaan serta bertujuan untuk menghibur dan menciptakan suasana hidup di dalam pembelajaran. Jika kepenyairan itu sendiri dijabarkan pada sastra anak, maka pengetahuan anak terhadap penyair-penyair Indonesia semakin paham, pada masa apakah penyair tersebut terkenal dan tahun berapakah puisinya dapat terkenal. Anak akan lebih tahu akan pentingnya belajar bersastra sejak masih anak-anak. 4. Guru tertutup dan acuh terhadap siswa dalam hal minat bersastra Sikap guru yang acuh terhadap minat siswa pada pembelajaran sastra, akan mengerdilkan kemampuan siswa dalam hal bersastra. Guru tidak mengajarkan kepada siswa untuk mengapresiasi (memahami dan menikmati sastra) teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi hanya sekedar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pembelajaran sastra baru pada tingkat kulitnya saja, sehingga siswa gagal menikmati kandungan nilai dalam karya sastra yang dipelajarinya. Proses pembelajaran sastra semacam itu tidak hanya memprihatinkan, namun juga telah mematikan proses pencerdasan emosional dan spiritual siswa khususnya dalam hal minat bersastra. SOLUSI DARI PROBLEMATIKA MINAT BERSASTRA SISWA PADA PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA Apabila berbagai permasalahan tersebut dianalisis maka dapat ditarik benang merah bahwa permasalan minat bersastra pada siswa disebabkan oleh faktor seputar guru, yang membuat para siswa menjadi bosan saat pembelajaran karena pembelajarannya monoton dan tidak efektif. Maka, dari berbagai masalah tesebut penulis memberikan beberapa solusi antara lain: 1. Memberikan motivasi dan budaya bersastra Tidak adanya antusiasme yang tinggi, telah membuat pelajaran ini menjadi pelajaran yang kalah penting dibanding dengan pelajaran lain. Minat siswa baik yang menyangkut minat baca, maupun minat untuk berkarya sastra, bahkan minat untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia semakin tampak menurun. Padahal, bila kebiasaan membaca sukses diterapkan sejak awal maka seharusnya saat melangkah ke jenjang selanjutnya, siswa telah dapat mengungkapkan gagasan dan dasar pemikiran dalam bersastra. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi jelas tampak prakteknya dalam kehidupasn sehari-hari. Khusus mengenai pembelajaran bersastra, guru terlebih dahulu harus mengetahui prinsip-prinsip dasar sastra, agar dia dapat memberi bimbingan yang tepat guna; antara lain: a. tujuan pengajaran sastra, b. pengembangan apresiasi sastra, c. kriteria kualitas sastra anak-anak. 2. Siswa memilih sendiri bahan bacaannya Dari segi siswa, pemilihan sendiri bahan bacaan ini sampai batas tertentu secara apriori dibatasi oleh kenyataan bahwa sang guru atau beberapa ahli sebelumnya telah memiliki beberapa buah buku dari sejumlah buku yang tersedia. Banyak siswa yang menganggap bahwa pemilihan sendiri bahan bacaan adalah solusi jitu untuk mengurangi kejenuhan saat berada di dalam kelas melalui media bacaan. (Spache 1969). Jika kejenuhan siswa dalam hal membaca sastra sudah teratasi, maka akan menjadi hal yang mudah untuk menumbuhkan minat siswa dalam mengapresiasi karya sastra, khususnya dalam hal membuat karya sastra. 3. Materi pelajaran disajikan melalui permainan Paradigma ini akan memadukan anatara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan Kecerdasan spiritual (SQ). Dari perpaduan kecerdasan tersebut, siswa akan menjadi lebih berkembang dalam berpikir. Dengan menyajikan pembelajaran sastra dalam sebuah permainan kreatif, diharapkan siswa dapat menikmati pembelajaran sastra Indonesia. Ketika siswa dapat menikmati pembelajaran sasgtra Indonesia dengan perpaduan berbagai kecerdasan pada dirinya, maka dimungkinkan siswa akan dapat menangkap pembelajaran dengan baik, bahkan mereka dapat membuat karya sastra yang diharapkan oleh guru. 4. Mengenal siswa dan mengajarkan sastra pada siswa secara terbuka 798
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Anak bukanlah bejana yang serba sama yang harus diisi dengan minuman atau zat lain. Agar pelajaran berhasil dengan baik tiap anak harus mendapat perhatian dan bantuan (Nasution 1997 : 122-123). Guru harus mampu mengenal siswanya. Dengan mengenal siswa maka guru akan lebih memahami latar belakang dan kesulitan yang dihadapi oleh siswa sehubungan pemberian solusi sesuai dengan kebutuhannya. Tujuan mengajarkan sastra pada anak antara lain adalah untuk meningkatkan apresiasi sastra. Dengan demikian memungkinkan para siswa menikmatinya dengan lebih mantap dan lebih mesra. Apresiasi sastra dapat dikembangkan melalui membaca nyaring dan membaca dalam hati, menyimak serta mendiskusikan cerita-cerita dan buku-buku. Agar tujuan pengajaran sastra tercapai maka sang guru harus membimbing para siswa memilih serta membaca bukubuku yang bernilai serta sesuai dengan tingkat kemampuan membaca mereka. 5. Memberi makna terhadap setiap pelajaran yang berlangsung Merencanakan dengan jelas apa yang akan dilakukan oleh guru sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar. Tetapi bukan berarti guru menjadi kaku dalam pelaksanaanya (Underwood 2000:39). Adanya perencanaan membantu guru untuk mempermudah dalam mengarahkan kegiatan pembelajaran. Seorang guru harus dapat meyakinkan siswa apa manfaat yang dapat mereka peroleh setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. Jadi siswa mengetahui tujuan yang jelas dalam pembelajaran sastra yang didapatkannya. 6. Penumbuhan kecerdasan ganda (Multiple Intelligences) pada diri guru Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru bahasa Indonesia adalah dengan cara mengembangkan kecerdasan ganda yang telah dicetuskan Howard Gardner. Gardner mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan memecahkan persoalan dan menghasilkan produk baru dalam suatu latar yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata (1983;1993). Kualitas guru dapat ditinjau dari dua segi, dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses guru dikatakan berhasil apabila mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial daam proses pembelajaran. Di samping itu, dapat dilihat dari gairah dan semangat mengajarnya, serta adanya percaya diri. Adapun dari segi hasil, guru dikatakan berhasil apabila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku sebagian besar peserta didik ke arah penguasaan kompetensi dasar yang lebih baik (Usman, 2006). Hal itu sesuai dengan UU Guru dan Dosen Bab IV Pasal 8 yang menyatakan bahwa ―Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional‖. KENDALA PENERAPAN SOLUSI DARI PROBLEMATIKA MINAT BERSASTRA SISWA PADA PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA Setiap solusi yang ditawarkan pada sebuah permasalahan, selalu ada kendala dalam pelaksanaannya. Berikut disampaikan kendala yang mungkin terjadi dalam penerapan solusi dari problematika pembelajaran sastra dalam kaitannya dengan minat bersastra siswa. 1. Arus kemajuan tehnologi komunikasi menyulitkan guru dalam mengembangkan motivasi bersastra pada anak khususnya membaca sastra. Hal itu dikarenakan anak lebih suka membaca berita maupun hal-hal di luar sastra yang mereka akses melalui internet maupun perangkat teknologi yang lain. 2. Guru kurang memperhatikan model pembelajaran sastra yang seharusnya disesuaikan dengan dunia anak yang merupakan dunia bermain dengan alasan materi yang disampaikan harus sesuai buku. 3. Kurangnya bacaan sastra di sekolah. Keberadaan perpustakaan tidak mencukupi adanya buku bacaan sastra yang dibutuhkan siswa. 4. Guru malas mengembangkan pembelajaran sastra di sekolah. 5. Tidak ada dukungan dari pihak luar dalam pembelajaran sastra. Masyarakat, khususnya Penyair dan sastrawan kurang beraksi dalam hal pengembangan minat bersastra pada anak. Mereka lebih cenderung memasarkan hasil karya mereka di luar dunia pendidikan. KESIMPULAN Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mulai dikenalkan di tingkat Sekolah Dasar dan berlanjut pada tingkat SMP. Seperti diibaratkan bagaikan kuncup bunga yang akan mekar dan menampakkan keindahannya. Mereka memulai dari awal dan masih apa adanya. Pada fase 799
ISBN :978-602-17187-2-8
tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia dan sastra anak hanya mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan.Tidak ada hasil yang nyata dan relevan dalam pembelajaran. Pengajaran Bahasa Indonesia yang monoton telah membuat para siswa mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar Bahasa dan Sastra Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan adanya buku LKS yang menjadi buku wajib bagi siswa. Sementara isi dari materinya terlalu singkat dan juga tidak mengena dalam pelajaran berbahasa dan sastra Indonesia. LKS lebih cenderung bersifat mengerjakan soal-soal saja yang membuat bosan siswanya. Inilah yang kemudian akan memupuk sifat menganggap remeh pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia karena materi yang diajarkan hanya itu-itu saja. Setelah lulus SD dan melanjutkan ke SMP, ternyata proses pengajaran Bahasa Indonesia dan pengajaran membaca sastra masih tidak kunjung menunjukan perubahan yang berarti. Maka dari itu, dibutuhkan banyak perubahan untuk itu, baik dari aspek guru, siswa, dan sarana penunjang lainnya yang berkaitan dengan sastra dan buku pedoman sastra bagi tenaga pengajar yang akan mendidik dan mengentaskan siswa dari masalah bersastra yang kurang. Solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi problematika minat bersastra siswa dalam pembelajaran sastra antara lain adalah, (1) memberikan motivasi dan budaya bersastra, (2) siswa memilih sendiri bahan bacaannya, (3) materi pelajaran disajikan melalui permainan, (4) mengenal siswa dan mengajarkan sastra pada siswa secara terbuka, (5) memberi makna terhadap setiap pelajaran yang berlangsung, (6) penumbuhan kecerdasan ganda (multiple intelligences) pada diri guru. DAFTAR RUJUKAN Abrams, M.H.1971. A Glossary of Literary Terms. New York: Rinehart and Winston. Badudu, J.S. 1993. Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Brouwer, M.A.W. 1984. Psikologi Fenomenologis.Jakarta: Gramedia. Darma, Budi. 1993. Apresiasi Sastra: Apresiasi Terhadap Metafora. Dalam seminar Nasional Bahasa dan sastra Indonesia III. Kerja sama HPBI dengan Universitas Jember. 2-4 Desember 1993 Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Jaya. Hoerip, Satyagraha (ed). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan. Kern, Richard.2000. Literacy and language Teaching. Oxford University Press. Luxemburg, Jan Van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Moody H.L.B. 989. Metode Pengajaran Sastra. (Saduran B. Rahmanto). Jogjakarta: Kanisius Oemarjati, Boen S. 2005. Pengajaran Sastra Pada Pendidikan Menengah di Indonesia: Quo Vadis?. Dalam Konverensi Internasional Kesusastraan XVI-HISKI Palembang, 1821 2005 Tarigan; Henry Guntur. 1978b. Prinsip-prinsip Dasar Fiksi. Bandung: FKSS – IKIP. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. http://burahkencana.blogspot.com/2013/11/problematika-pembelajaran-bahasa-dan.html
PEMBELAJARAN MENULIS PANTUN MENGGUNAKAN KARTU RUMPANG DENGAN MODEL THINK PAIR SHARE DI KELAS XI IPS 2 SMA NEGERI 15 BATAM Annis Wahyu Karina Dewi SMA Negeri 15 Batam Abstrak: Kegiatan pembelajaran menulis pantun dalam Kurikulum 2013 dilaksanakan pada semester gasal di kelas XI. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran menulis pantun dengan metode pemodelan kartu rumpang. Pembelajaran menulis pantun dilaksanakan dalam tiga langkah kegiatan: (1)
800
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) evaluasi. Hasil observasi menunjukkan sebagai berikut. Pertama, sejumlah kegiatan dilaksanakan, yakni menyusun RPP, mengembangkan media, mengembangkan lembaran observasi dan mengembangkan alat evaluasi. Kedua, hasil pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa (a) siswa begitu antusias mengikuti pembelajaran, (2) siswa mudah cepat menguasai menulis pantun dengan tema pantun berhubungan dengan lingkungan kota Batam seperti, kuliner, tempat wisata, dan budayanya dengan kartu rumpang yang diberikan. Ketiga, dari tahap evaluasi dapat diperoleh informasi bahwa lebih dari 80 % siswa dapat menulis pantun sesuai kaidah-kaidah penulisan pantun dengan menggunakan rubrik penilaian (1) kesesuaian dengan tema, (2) diksi dalam sampiran,(3) diksi dalam isi dan,(4) ketepatan rima. Pantun memiliki beberapa peran, antara lain memelihara bahasa, menjaga fungsi kata, menjaga alur berpikir, melatih seseorang berpikir secara logis tentang makna kata, serta menunjukkan kecepatan seseorang dalam berpikir dan memainkan kata. Kata kunci: pembelajaran menulis pantun, kartu rumpang, model think pair share
Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks Kurikulum 2013 sangat menarik. Sebagai sumber aktualisasi diri, bahasa Indonesia yang diajarkan dengan berbasis teks baik lisan maupun tulis menguatkan jati diri peserta didik untuk bersikap spiritual menerima, menghargai, dan menghayati keberadaan bahasa kebangsaan Indonesia yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Pembelajaran Materi pantun diajarkan di kelas XI semester ganjil. Materi pantun merupakan materi yang mudah, namun siswa menganggap sulit karena harus menyusun kata yang tepat dan memiliki makna. Kesulitan siswa dalam menulis pantun ini dimungkinkan cara pengajarannya yang bersifat teoretis. Materi ini diajarkan dengan metode biasa atau bisa jadi siswa memang belum paham. Padahal ditinjau dari sejarah, Provinsi Kepulauan Riau tepatnya Batam merupakan tempat lahirnya pantun. Pantun adalah karya sastra lama khas Indonesia, bagian dari puisi lama. seharusnya siswa memiliki kemahiran dalam menulis pantun. Untuk menghindari hal itu KD menulis pantun harus diajarkan dengan kreatif dan inovatif. Berdasarkan kenyataan tersebut penulis mencoba menggunakan cara lain dalam mengajarkan pantun. Cara yang penulis pilih adalah mengajarkan pantun dengan menggunakan permainan menggunakan media kartun rumpang. Penulis terinspirasi oleh permainan kartu remi yang dimainkan dengan cara bersama-sama. Jika dalam kartu remi yang ada hanya tanda dan gambar, dalam kartu pantun rumpang ini ada satu kalimat dan kata kunci. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015) kata pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Tarigan (1993:3) mengatakan bahwa menulis merupakan kegiatan yang produktif dan ekspresif. Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipakai untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menyempurnakan pendapatnya terdahulu, Tarigan mengatakan bahwa menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang-orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik tersebut. Contoh 1 Pantun dengan tema kuliner Batam Negeri melayu negeri bertahta Bertahta raja, Raja Melayu Makanan lakse enak rasanya Tidak akan lupa sepanjang waktu Contoh 2 Pantun dengan tema wisata Batam Profesor Habibie pintar orangnya Membuat karya sungguh menakjubkan Merancang jembatan Barelang sungguh menawan Untuk Batam yang istimewa
801
ISBN :978-602-17187-2-8
Sastra Melayu Lama atau sastra Melayu Klasik merupakan salah satu khazanah kebudayaan Indonesia yang kini hampir dilupakan oleh generasi muda. Faktor tersebut dikarenakan sebagian besar karya sastra Melayu lama berupa sastra lisan sehingga upaya pewarisan sastra jenis ini relatif lebih sulit dibanding karya sastra tertulis atau tercetak. Oleh karena itu, upaya menjaga warisan budaya karya sastra Melayu klasik agar tidak hilang dari masyarakat harus dilakukan. Salah satunya dengan mempelajari teks pantun karena pantun merupakan salah satu jenis sastra Melayu lama atau klasik. Pantun memiliki peran penting. Pantun juga dijadikan alat pemelihara bahasa. Pantun juga berperan sebagai penjaga fungsi kata. Dengan pantun pula orang mampu menjaga alur berpikir. Pantun melatih seseorang berpikir makna kata sebelum berujar. Pantun melatih orang berpikir secara teratur untuk menggunakan kata berirama. Dengan kata lain, pantun membuat orang memiliki kemampuan menggunakan kata dan kalimat dengan baik. Selain itu, pantun membuat orang menjadi bijaksana. Mereka akan lebih banyak berpikir terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Tidak semua puisi lama yang mempunyai empat larik disebut pantun. Puisi yang dapat disebut pantun harus memenuhi ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri pantun tersebut pada akhirnya menjadi syarat-syarat pantun. Berdasarkan contoh pantun tersebut dapat ditarik simpulan tentang ciri-ciri pantun. Setiap pantun memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) tiap bait terdiri atas empat larik, (2) tiap larik terdiri atas empat sampai enam kata, (3) tiap larik terdiri atas delapan sampai dua belas suku kata, (4) larik pertama dan kedua merupakan sampiran, (5) larik ketiga dan keempat merupakan isi, (6) rima akhir larik bersajak a-b-a-b, (7) bunyi akhir larik pertama dan ketiga harus sama. Bunyi akhir kedua dan keempat juga harus sama, (8) isi pantun mengungkapkan perasaan. Perlu ketahui ada beberapa jenis puisi lama yang bentuknya mirip dengan pantun, seperti pantun kilat (karmina), pantun terkait, seloka, dan talibun. Ketiga jenis puisi lama tersebut juga mempunyai sampiran dan isi. Bedanya, puisi-puisi tersebut mempunyai jumlah larik berbeda dengan pantun. Teks pantun terdiri atas dua struktur: (1) sampiran merupakan pengantar agar pembaca mau membaca larik ketiga dan keempat pantun, (2) isi merupakan maksud atau tujuan pantun. Isi pantun biasanya berupa pikiran, perasaan, nasihat, kebenaran, pertanyaan, atau teka-teki. Isi pantun juga mengandung pesan yang disampaikan pemantun kepada orang lain. Pantun berdasarkan jenisnya dibagi menjadi lima, yaitu (1) pantun anak-anak, (2) pantun remaja, (3) pantun dewasa, (4) pantun teka-teki, dan (5) pantun jenaka. Pembelajaran pantun dapat diajarkan dengan menggunakan kartu rumpang. Menurut Syarifudin (2007) dalam penelitiannya yang berjudul penggunaan Media gambar untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan prosa mengungkapkan bahwa: (a) media kartu rumpang dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis pantun, (b) penggunaan media kartu rumpang dalam pembelajaran lebih menarik perhatian siswa sehingga untuk berpikir cepat dalam menyusun kata-kata yang tepat menjadi pantun, (3) penggunaan media kartu rumpang meningkatkan penguasaan diksi dengan fenomena yang terjadi di sekitar tempat tinggal. Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk menulis pantun dengan media rumpang adalah metode think pair share (TPS). Strategi TPS ini berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu. Pertama kali dikembangkan oleh Frank Lyman dan koleganya di Universitas Maryland sesuai yang dikutip Arends (1997), menyatakan bahwa TPS merupakan cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam TPS dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir untuk merespons, dan saling membantu. Guru memperkirakan hanya melengkapi penyajian singkat atau siswa membaca tugas, atau situasi yang menjadi tanda tanya. Sekarang guru menginginkan siswa mempertimbangkan lebih banyak apa yang telah dijelaskan dan dialami. Guru memilih menggunakan TPS untuk membandingkan tanya jawab kelompok keseluruhan. Hal ini diharapkan siswa mampu menulis pantun. Penggunaan media kartu rumpang dengan metode TPS dapat merangsang siswa SMA Negeri 15 Batam menulis pantun dengan tema-tema terkait kota Batam seperti kuliner khas Batam, tempat wisata, bencana kabut asap dan kriminalitas. 802
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
METODE Penelitian ini dilakukan dalam kegiatan lesson study yang pelaksanaannya mencakup perencanaan (plan), pelaksanaan (do), dan pengamatan dan refleksi (see), yang bertempat SMA Negeri 15 Batam, tepatnya hari Rabu, 30 September 2015. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini ialah model TPS. Penggunaan metode ini mengharuskan siswa untuk terlibat langsung dengan teman berpasangan. Penelitian ini bertujuan memerikan atau mendeskripsikan yang terjadi di dalam kelas. Metode deskriptif merupakan menganalisis data atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiyono, 2009:147). Yang menjadi subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X1 SMA Negeri 15 Batam semua jurusan yang tersebar di tujuh kelas. Pengambilan sampel penelitian terfokus pada satu kelas saja, yaitu siswa kelas X1 IPS 2 tahun pelajaran 2015/2016 yang berjumlah 38 orang siswa. Dengan jumlah anak laki-laki 25 orang, dan anak perempuan berjumlah 13 orang. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan keterampilan menulis. Jenis tes yang digunakan adalah kemampuan menulis pantun. Pelaksanaan metode ini ialah dengan memberikan tugas untuk mengamati objek dengan tema sebagai berikut. Pertama, siswa mengamati makanan khas Batam, dua tempat wisata di Batam, tiga fenomena alam yang terjadi di Batam contohnya bencana kabut asap dan kriminalitas. Siswa dibagi menjadi empat kelompok, dan masing-masing kelompok berdiskusi tema yang telah ditentukan. Setelah masing-masing peserta didik dengan teman pasangannya melakukan diskusi, siswa diminta untuk menuliskan hasil pantun ke dalam bentuk kartu rumpang yang telah diberikan oleh guru. Hasil pantun yang telah dibuat, setiap siswa berpasangan diminta untuk menempelkan di papan tulis. Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin memotret pelaksanaan pembelajaran memproduksi teks pantun menggunakan kartu rumpang dengan metode TPS. HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam kegiatan lesson study, dengan tahapan PLAN— perencanaan, DO—pelaksanaan pembelajaran, dan SEE—pengamatan dan refleksi pelaksanaan pembelajaran. Pada tahap plan (perencanaan) peneliti mempersiapkan beberapa hal, yaitu (1) memilih standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD), (2) menjabarkan indikator, (3) mempersiapkan dan mengembangkan media berupa ―kartu rumpang‖, dan (4) memilih metode pembelajaran yang hendak diterapkan. Pada tahap do, real teaching dilaksanakan pada hari Rabu, 30 September 2015 dengan waktu 4x45 menit dengan materi ―memproduksi teks pantun‖ dengan menggunakan kartu rumpang. Peneliti memberikan pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran. Pada awal pembelajaran guru memberikan pengetahuan mengenai teks pantun. Setelah itu guru meminta siswa untuk berdiskusi dengan teman pasangannya. Kemudian peneliti membagikan setiap kelompok satu tema untuk diskusi. Tema tersebut di antaranya ialah (1) makanan khas Batam, (2) tempat wisata di Batam, (3) fenomena alam yang terjadi di Batam contohnya bencana kabut asap dan kriminalitas. Setelah masing-masing siswa mengetahui tema pantun yang akan diproduksi, siswa mulai melengkapi kartu rumpang yang telah diberikan oleh guru. Pantun dengan tema makanan khas Batam
.................................................... .................................................... Kalaulah tuan singgah ke Batam .....................................................
Pergi ke laut mencari ketam Mencari ketam ketemu bencong Kalaulah tuan singgah ke Batam Bolehlah tuan menyantap gong-gong Pantun dengan tema tempat wisata Batam
...................................................... ...................................................... ...................................................... jembatan megah untuk kota Batam
Pergi ke pantai Nongsa mencari kerang Mencari kerang dapatnya ketam pak Habibie arsitek Barelang jembatan megah untuk kota Batam Pantun dengan tema kriminalitas 803
ISBN :978-602-17187-2-8
........................................................ ......................................................... ......................................................... Karena di Batam rawan pembunuhan
Pergi kelaut mencari ikan teri Mencari teri memakai sampan Jangan berani jalan-jalan sendiri Karena di Batam rawan pembunuhan
Pantun dengan tema bencana kabut asap di Batam ...................................................... ...................................................... Kabut asap menggangu pandangan ........................................................
Merantau ke Batam mencari ikan Sampai di Batam jumpa teman sekelas Kabut asap menggangu pandangan Menyusahkan orang beraktifitas
Berdasarkan pantun pertama, kedua, ketiga dan keempat yang telah diproduksi oleh siswa di atas, dapat diketahui bahwa dengan menggunakan kartu rumpang dapat memicu kreativitas peserta didik dalam menulis pantun. Terlihat pantun yang dibuat oleh siswa merupakan pantun dengan tema makanan khas Batam. Pada kartu rumpang yang diberikan oleh guru memberikan kalimat kunci yaitu pada bagian isi ―kalau tuan singgah ke Batam‖ pada pantun pertama dan ―Jembatan megah untuk kota Batam‖ untuk pantun kedua. Untuk pantun dengan tema bencana kabut asap guru memberikan kalimat kunci pada isi yaitu ―kabut asap mengganggu pandangan‖, dan untuk pantun ke empat kalimat kuncinya adalah ―karena di Batam rawan pembunuhan‖. Sesuai dengan tahapan selanjutnya pantun yang telah diproduksi diperbaiki secara bersama-sama di dalam kelas. Kriteria penilaian menulis pantun meliputi aspek-aspek (1) kesesuaian dengan tema, (2) ketepatan kata dalam sampiran, (3) ketepatan kata dalam isi, dan (4) ketepatan bunyi rima. Setiap aspek dijabarkan ke dalam beberapa deskriptor, misalnya skor 4 yang berati ‗sangat sesuai‘, skor 3 berarti ‗sesuai‘, skor 2 berarti ‗kurang sesuai‘, dan skor 1 berarti ‗tidak sesuai‘. Demikian juga, untuk aspek yang lain juga dikembangkan deskriptor serupa. Berdasarkan pedoman penilaian pantun di atas guru selanjutnya menilai pantun anak secara bersama-sama. Berikut ini hasil penilaian pantun anak dengan kartu rumpang. Berikut dikemukakan proses perbaikan pantun dari pantun asli buatan siswa (kolom kiri) menjadi pantun yang diperbaiki bersama-sama (kolom kanan). Pada contoh (1), (2), (3), dan (4) berikut ditampilkan pantun (asli dan perbaikan) dengan tema-tema terkait dengan kota Batam. (1) Pantun dengan tema ―makanan khas Batam‖ Pergi ke laut mencari ketam Mencari ketam ketemu bencong Kalaulah tuan singgah ke Batam Bolehlah tuan menyantap gong-gong
Pergi ke laut mencari ketam Mencari ketam dapatnya kepiting Kalaulah tuan singgah ke Batam Habiskan gong-gong satu piring.
(2) Pantun dengan tema ―wisata Batam‖ Pergi ke pantai Nongsa mencari kerang Mencari kerang dapatnya ketam pak Habibie arsitek Barelang jembatan megah untuk kota Batam
Pergi ke pantai Nongsa mencari kerang Mencari kerang dapatnya ketam Bapak Habibie arsitek Barelang Jembatan megah untuk kota Batam
(3) Pantun dengan tema ―bencana kabut asap‖ Merantau ke Batam mencari ikan Sampai di Batam jumpa teman sekelas Kabut asap menggangu pandangan Membuat orang susah beraktifitas
Merantau ke Batam mencari ikan Sampai di Batam jumpa teman sekelas Kabut asap menggangu pandangan Menyusahkan orang beraktifitas 804
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
(4) Pantun dengan tema ―kriminalitas di Batam‖ Pergi kelaut mencari ikan teri Mencari ikan teri memakai sampan Jangan berani jalan-jalan sendiri Karena di Batam rawan pembunuhan
Pergi kelaut mencari ikan teri Mencari ikan teri memakai sampan Hati-hati ketika jalan sendiri Karena di Batam rawan pembunuhan
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa penggunaan media kartu rumpang untuk menulis pantun, dengan metode TPS menunjukkan motivasi siswa telah terlihat dengan memperhatikan struktur pantun. Dengan memperhatikan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa siswa telah menguasai tema, rima pantun yang diberikan oleh guru sangat baik. Untuk ketepatan kata dalam sampiran dan ketepatan dalam isi siswa telah menguasai dengan baik, namun ada beberapa pantun siswa yang harus diperbaiki, yaitu berhubungan dengan diksi. Contohnya dalam sampiran terdapat kata ―bencong‖ pada (1) diubah menjadi kata‖ kepiting‖. Terdapat juga kesalahan diksi pada isi pantun ―Jangan berani jalan-jalan sendiri‖ diubah menjadi ‖Hati-hati ketika jalan sendiri‖. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian siswa merasa senang mengikuti pelajaran dengan permainan media kartu rumpang. Hal ini karena antarsiswa merasa tertantang untuk berlomba memenangkan permainan. Siswa menjadi lebih antusias dan bersemangat dalam mengikuti pembelajaran menulis pantun. Pada tahap see, peneliti bersama dengan pengamat melakukan refleksi dengan cara mendiskusikan hasil pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran menulis pantun. Pengamat menyebutkan bahwa model pembelajaran pantun dengan media kartu rumpang menarik dan membuat siswa senang. Sementara itu, guru lain yang terlibat dalam pembelajaran menantikan lahirannya pemantun dari tingkat sekolah untuk dibawa ke perlombaan berbalas pantun pada level yang lebih tinggi. Kutipan (5) dan (6) berikut adalah komentar tertulis dari siswa setelah mengikuti pembelajaran. (5) Siswa-1 : Saya merasa belajar bahasa Indonesia dengan Ibu Anis sangat menyenangkan karena banyak dengan hal-hal yang bisa membuat tertawa, orangnya juga baik, pengetahuan tentang sesuatu yang belum saya ketahui, dan hal yang paling penting yaitu dibalik candaan-candaannya kalau sedang menyampaikan materi pelajaran sangat mudah dimengerti, dipahami. Oleh karena itulah, kalau sedang ujian dan ulangan materi yang disampaikan dapat diingat. (6) Siswa-2
:
Materi pantun mudah dipahami dengan cara pembawaannya yang khas ala Bu Annis, materi yang disampaikan dengan mudah dipahami, apalagi kalau cerita seru aja lain dari guru yang lain.
Kutipan (5) dan (6) di atas menjadi cermin atau refleksi tentang bagaimana pelaksanaan pembelajaran menulis pantun dengan media kartu rumpang. Kata atau frase, seperti ―sangat menyenangkan‖, ―membuat tertawa‖, ―mudah dimengerti‖, ―mudah dipahami‖, dan ―mudah diingat‖ menjadi apresiasi spontan tentang kondisi kelas. Siswa merasa nyaman berada di dalam kelas karena pembelajaran berlangsung dalam suasana yang mengaktifkan, membuat siswa menjadi kreatif, dan menyenangkan siswa. PENUTUP Berdasarkan hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan oleh penulis maka ada beberapa kesimpulan yang penulis dapat rumuskan yaitu: penggunaan media kartu rumpang dalam proses belajar mengajar menulis pantun dapat meningkatkan keterampilan menulis siswa kelas XI IPS 2 SMA Negeri 15 Batam. Dalam pembelajaran hendaknya selalu menggunakan media agar pemahaman siswa terhadap materi pelajaran dapat lebih baik. Kepada semua pihak yang 805
ISBN :978-602-17187-2-8
berkepentingan terhadap kemajuan pendidikan hendaknya lebih memperhatikan segala sesuatu yang berhubungan dengan perbaikan pembelajaran demi meningkatkan kemajuan anak didik. Di samping itu, berdasarkan pengalaman melaksanakan pembelajaran menggunakan kartu rumpang kiranya perlu ada kelompok kerja antara guru untuk selalu bertukar pikiran dan pengalaman berkenaan dengan masalah dan tugas-tugas mengajar sehari-hari. DAFTAR RUJUKAN Akhadiah, Sabarti. 1997. Keterampilan Menulis. Jakarta: Depdikbud Annisyah, Nur. 2012. Keefektifan Penggunaan Media Gambar dalam Pembelajaran Keterampilan Menulis Puisi pada Siswa Kelas VII Sekolah Menengah Pertama Negeri 01 Banguntapan Bantul Tahun Pelajaran 2011/2012. http://eprints.uny.ac.id/8387/1/106201244038.pdf.( 16-09-2015, Pukul 15.45 wib) Badan Bahasa. 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia (off line). Jakarta: Balitbang Kemendikbud Kemendikbud. 2014. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta: Balitbang Kemendikbud Muthohar, A. 2011. Penggunaan Media Kartu Pantun untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Pantun Siswa Kbelas VII A SMPN 2 Limbanga.JP3, 1(2): hlm. 88—96, diunduh 19 September 2015, pukul 09.50 WIB Sahril, O.K. 2012. Pantun dan Adat Perkawinan Masyarakat Melayu. Medan: Penerbit Mitra
PROBLEMATIK PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA KETERAMPILAN MENULIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN Henika Ratna Sari
[email protected];
[email protected] Abstrak: Menulis merupakan keterampilan kompleks yang tidak hanya melibatkan penciptaan ide, tetapi juga penguasaan kaidah bahasa. Hal ini menyebabkan siswa tidak mudah dalam menguasai kompetensi menulis. Oleh sebab itu, dibutuhkan media pembelajaran untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun, kerap kali media yang digunakan dinilai belum efektif meningkatkan kemampuan menulis siswa sehingga menimbulkan problematik dalam pembelajaran menulis. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan solusi yang tepat. Akan tetapi, solusi yang ditawarkan tidak mudah begitu saja diaplikasikan dalam pembelajaran sehingga menimbulkan beberapa kendala. Kata kunci: keterampilan menulis, media pembelajaran, problematika pembelajaran.
Keterampilan menulis merupakan kemampuan kompleks yang melibatkan tidak hanya kemampuan kongnitif tetapi juga psikomotorik. Oleh sebab itu, pembelajaran menulis bukanlah pembelajaran yang mudah karena dalam prosesnya tidak hanya menuntut anak untuk dapat memunculkan gagasan dan menuangkannya dalam bentuk tulisan, tetapi juga perlu diperhatikan pula kemampuan kebahasaannya. Kemampuan kebahasaan tersebut meliputi organisasi gagasan dan tata bahasa. Kemampuan yang demikian tidaklah mudah diajarkan kepada siswa mengingat produk tulisan siswa saat ini masih dapat dikatakan kurang produktif. Untuk mengatasi fenomena tersebut maka perlu dilakukan sebuah upaya meningkatkan produktifitas tulisan siswa dengan cara salah satunya yakni penggunaan media yang tepat untuk pembelajaran menulis. Media pembelajaran untuk mengajarkan keterampilan menulis diharapkan tidak hanya memudahkan siswa menangkap, mencerna dan memahami informasi yang disampaikan oleh guru, tetapi juga mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis. Melalui pembelajaran yang berbantukan media diharapkan produk tulisan siswa tidak hanya menarik tetapi juga benar dalam penataan gagasan maupun tata bahasanya. Pemilihan dan penggunaan media dalam hal ini menjadi faktor penentu ketercapaian tujuan pembelajaran. Namun, kegiatan tersebut tidaklah 806
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
mudah. Kenyataannya, masih ditemukan beberapa masalah yang terjadi dalam pembelajaran menulis terkait dengan pemilihan dan penggunaan media yang tepat untuk pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, dalam artikel ini akan diuraikan permasalahan yang dihadapi guru bahasa Indonesia terkait dengan penggunaan media pembelajaran bahasa Indonesia untuk keterampilan menulis, solusi terhadap permasalahan pemilihan atau penggunaan media, dan kendala yang dihadapi dalam implementasi media pembelajaran. KETERAMPILAN MENULIS Menurut Lado (dalam Akhmadi, 1990:28) menulis adalah meletakkan atau mengatur simbol-simbol grafis yang menyatakan pemahaman suatu bahasa sedemikian rupa sehingga orang lain dapat membaca simbol-simbol grafis itu sebagai bagian penyajian satuan-satuan ekspresi bahasa. Sedangkan Nurchasanah dan Widodo (1993:2) berpendapat bahwa menulis adalah proses menuangkan dan memaparkan informasi yang berupa pikiran, perasaan, atau kemauan dengan mengunakan wahana bahasa tulis berdasarkan tataan tertentu sesuai dengan kaidah bahasa yang digunakan penulis. Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan yakni menulis adalah suatu kegiatan yang menyampaikan gagasan, perasaan, kemauan penulis kepada pembaca melalui simbol-simbol bahasa tulis dengan aturan tertentu sesuai dengan kaidah bahasa agar mudah dipahami. Dari pengertian menulis tersebut dapat dipahami bahwa menulis merupakan suatu keterampilan yang kompleks, karena selain menuntut pengusaan kaidah-kaidah penulisan juga menuntut bakat penulisan. Adanya bakat penulisan akan menyebabkan suatu tulisan tidak hanya sekedar sistem yang membawa makna atau maksud tetapi juga membuat penyampaian makna tersebut menjadi unik, menarik, dan menyenangkan bagi pembacanya. MEDIA UNTUK KETERAMPILAN MENULIS Media pembelajaran adalah alat atau sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan dan mengandung intruksional. Segala yang ada disekitar peserta didik atau wahana fisik yang mengandung materi intruksional yang dapat merangsang siswa untuk belajar dapat dikatakan pula sebagai media (Arsyad, 2011: 4). Media pembelajaran digunakan agar tujuan pengajaran dapat tercapai. Seperti halnya yang dikemukan oleh Sanaky (2013: 4) bahwa media adalah sarana atau alat bantu pendidikan yang dapat digunakan sebagai perantara dalam proses pembelajaran untuk mempertinggi efektifitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan pengajaran. Berdasarkan kedua pendapat ahli di atas mengenai hakikat media dapat disimpulkan bahwa media adalah alat atau sarana penyampai pesan yang mengandung intruksional untuk mempertinggi efektifitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan pengajaran. Peranan media khususnya dalam pembelajaran menulis seyogyanya memenuhi prinsip media pembelajaran yang telah dijelaskan pada paragraf di atas. Media yang digunakan untuk keterampilan menulis harus dapat menunjang pembelajaran agar tercapai tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Adapun tujuan dari pembelajaran menulis yakni mengarahkan siswa agar mampu mengembangkan gagasan pikirannya kedalam tulisan dengan baik dilihat dari segi kebahasaannya. Kemampuan menulis dari segi kebahasaan tersebut meliputi: organisasi gagasan, pengembangan kosakata, ejaan, dan penggunaan tanda baca (Jacob, dkk dalam Rofi‘uddin, 1996:149). Sementara itu, alasan pertama penggunaan media dalam pembelajaran menulis berkenaan dengan manfaat media itu sendiri meliputi: (1) pembelajaran lebih menarik perhatian siswa sehingga menumbuhkan motivasi belajar untuk menulis, (2) bahan pembelajaran lebih jelas maknanya sehingga siswa dapat menguasainya keterampilan menulis dengan baik, (3) metode pembelajaran akan bervariasi, (4) siswa dapat lebih banyak belajar seperti mengamati, menulis, dan mendemonstrasikan hasil tulisannya. Alasan kedua, penggunaan media pembelajaran menulis menyesuaikan dengan taraf berpikir siswa. Taraf berpikir itu dimulai dari taraf konkret menuju abstrak, dimulai dari yang sederhana menuju kompleks. Dengan adanya media, siswa tidak serta merta diminta untuk langsung menulis apa yang diinstruksikan oleh guru. Siswa diajak untuk berpikir konkret dengan cara melihat, mendengar, dan merasakan melalui media yang diberikan oleh guru. Selanjutnya, siswa diarahkan kedalam taraf berpikir abstrak yakni menuliskan apa yang siswa pikirkan dan rasakan dalam bentuk sesuai dengan materi pembelajaran (berita, surat dinas, puisi, drama, laporan, ataukah karangan). 807
ISBN :978-602-17187-2-8
Dalam pembelajaran menulis, terdapat media yang dapat digunakan, mulai dari yang paling sederhana sampai kepada yang canggih. Danim (2008: 23) membagi media pembelajaran menjadi 13 jenis. Namun, dalam makalah ini penulis menyederhanakannya menjadi 8 jenis dengan berdasar pada kesamaan karakteristiknya. Adapun delapan jenis media pembelajaran sebagai berikut. 1) Benda sebenarnya, meliputi orang, benda peristiwa, dan benda alamiah lainnya. 2) Simbol verbal, meliputi bahan cetak seperti buku, LKS, surat kabar, proyeksi melalui slide, film, transparansi, film strip, dan buku kerja. 3) Grafik, meliputi grafik, denah, peta, tabel, dan diagram yang dibuat untuk mengomunikasikan ide. 4) Gambar diam, meliputi foto benda atau peristiwa. 5) Gambar bergerak, meliputi gambar bergerak atau animasi, rekaman video, dan televisi. 6) Suara atau rekaman suara, meliputi suara atau rekaman yang dibuat di pita magnetik atau piringan hitam atau suara film, tape recorder, dan radio. 7) Program, meliputi media berbasis perangkat lunak komputer yang berisi urutan informasi (verbal, visual, audio). 8) Simulasi, meliputi tiruan situasi nyata yang telah dirancang mendekati sedekat mungkin peristiwa atau proses yang nyata. Pemilihan media pembelajaran menulis sangat penting diketahui para guru karena media yang tepat dapat merangsang siswa melakukan aktivitas belajar menulis dengan baik. Pemilihan media pembelajaran menulis perlu mempertimbangkan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, ketersediaan alat yang dibutuhkan, proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, kemampuan pengajar minat dan karakteristik siswa, dan situasi pembelajaran yang sedang berlangsung (Sanaky, 2013: 4). Pemilihan salah satu media sangat menentukan keefektifan proses pembelajaran karena banyak faktor yang harus yang perlu diperhatikan, seperti minat, bakat, biaya pengadaan media, dan hambatan sosiokultural yang melatarbelakangi peserta didik yang begitu beragam. PROBLEMATIK PEMANFAATAN MEDIA UNTUK KETERAMPILAN MENULIS Berdasarkan analisis secara teoritis maupun praktis, problematik pembelajaran bahasa Indonesia dapat dikaji dari berbagai bidang kajian. Namun, sajian problematik pembelajaran bahasa Indonesia dalam artikel ini dibatasi pada kajian penggunaan media pembelajaran dalam keterampilan menulis. Hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran komprehensif permasalahan-permasalahan penggunaan media sehingga dapat diberikan solusi yang tepat. Adapun problematik penggunaan media pembelajaran untuk keterampilan menulis di SMP sebagai berikut. 1. Sebagian guru belum menggunakan media yang tepat, inovatif dan kreatif dalam membelajarkan keterampilan menulis. Kenyataannya, masih ada sebagaian guru yang hanya menggunakan buku paket atau LKS untuk meminta siswa menulis sesuai dengan materi yang diberikan. Siswa diminta mengamati contoh kemudian diminta untuk menulis. Hal ini tidak akan merangsang ide-ide siswa yang kemungkinan jauh lebih menarik dari pada contoh yang ada dalam buku. Kreatifitas siswa dalam memuculkan ide serta pengembangan kosakata semakin tidak akan mengalami keberkembangan jika guru tidak memanfaatkan media yang tepat, inovatif, dan kreatif. 2. Pemilihan media menulis yang kurang sesuai dengan kondisi lingkungan siswa. Misalnya, siswa diminta untuk melihat gambar-gambar mengenai laut dan kehidupan didalamnya kemudian menuliskan tentang biota laut, akan tetapi siswa tinggal di daerah pegunungan. 3. Media yang digunakan selama ini hanya merangsang ide atau gagasan siswa untuk menuliskan sesuatu tetapi masih belum mengarahkan siswa pada pengembangan kosakata, dan tata bahasa yang baik. Misalnya, media rangsang gambar, media audio, media visual, media audio visual, dan media puzzle. Media tersebut hanya menggarahkan siswa pada penggalian ide sebelum menulis. Hal ini terjadi karena instruksi di dalam media tersebut hanya meminta siswa untuk mengamati, mendengarkan ataupun menyusun. Selanjutnya, siswa diminta untuk memunculkan ide atau berbagai pertanyaan yang mengarahkannya pada keterampilan menulis pada tahap berikutnya. Media yang digunakan oleh guru selama ini belum menyertakan pula rangsangan untuk menggali pengembangan kosakata dan tata bahasa tulis siswa. 808
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
4. Belum adanya media pembelajaran menulis yang secara kesatuan mengintegrasikan tahapan menulis mulai dari pra penulisan, proses penulisan, sampai pada pasca penulisan sehingga memudahkan siswa. Media yang digunakan selama ini oleh guru terpisah-pisah antara media untuk tahap pra menulis, proses menulis, dan pasca menulis. Bahkan terkesan media untuk keterampilan menulis hanya pada tahap pra penulisan saja, pada tahap proses penulisan dan pasca menulis belum diberikan atau belum dibuat. 5. Kurangnya kreasi dan inovasi (riset dan pengembangan) media pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya untuk keterampilan menulis. 6. Belum ada media untuk latihan menulis yang praktis, menyenangkan, dan dikemas dalam bentuk permainan yang dapat diakses siswa setiap waktu. Siswa sudah tidak asing lagi dengan dunia IT di era modern ini. Siswa sudah mengenal komputer, laptop, internet, dan smart phone dengan segala fasilitas didalamnya. Kecanggihan IT itulah yang terkadang disalahgunakan oleh siswa hanya untuk mencari kesenangan, misalnya kecanduan game online yang tidak memberikan wawasan pengetahuan bagi siswa. Untuk mengatasi permasalahan yang demikian, seharusnya di dalam fasilitas smart phone atau jejaring internet disediakan sebuah permainan yang bermuatkan pendidikan, salah satu permainan untuk mengembangkan kosakata siswa seperti Sudoku atau Brain Champ yang dikemas dalam bentuk kata-kata atau kalimat. SOLUSI UNTUK PROBLEMATIK PEMANFAATAN MEDIA UNTUK KETERAMPILAN MENULIS Tuntutan masyarakat yang semakin besar terhadap pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengharuskan penyelenggaraan pendidikan yang efektif dan efisien (Danim, 2008: 2). Revolusi pengetahuan dan teknologi, perubahan masyarakat, pemahaman cara belajar anak, kemajuan media komunikasi membuat kebijaksanaan untuk memanfaatkan media pendidikan dan pendekatan teknologis dalam pengelolaan pendidikan pendidikan merupakan kebutuhan yang mendesak (Asmani, 2011: 218). Oleh karena itu, problematik pembelajaran bahasa Indonesia terkait penggunaan media pembelajaran untuk keterampilan menulis perlu dicari solusinya. Adapun solusi terhadap problematik terkait penggunaan media dalam pembelajaran menulis sebagai berikut. 1. Pembinaan pola pikir guru terhadap media pembelajaran. Pendidikan guru merupakan landasan dalam ruang kelas yang nyata bahkan merupakan bagian esensial usaha melatih guru menghadapi problematik dalam pembelajaran khususnya penggunaan media pendidikan. Pelatihan media pembelajaran bagi guru harus dilakukan secara berkesinambungan. Guru yang dilatih harus mampu menciptakan media pembelaran menulis dan terus dipantau perkembangannya oleh pejabat pendidikan dengan meminta laporan hasil media yang dibuat oleh guru dan hasil kemajuan siswa dalam menulis. Guru yang berhasil akan mendapatkan penghargaan dari instansi pendidikan. 2. Penyediaan media baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang disesuaikan oleh kondisi wilayah masing-masing peserta didik. Penyediaan media ini dapat pula dilakukan dengan jalan lain yakni menyediakan dana untuk dialokasikan kepada masingmasing sekolah agar mengadakan media pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekolah dan karakteristik peserta didik. 3. Para pakar pendidikan bekerjasama dengan guru menciptakan media pembelajaran menulis yang menarik, praktis, dan juga mengintegrasikan antar tahapan penulisan. 4. Menggunakan media tidak harus mahal ataupun canggih tetapi media yang dapat mencakup keseluruhan proses penulisan baik dari pra menulis hingga pasca menulis. Dalam hal ini, guru bisa membuat sendiri. Misalnya, untuk membelajarkan menulis puisi pada tahap pra penulis, guru dapat menggunakan media alam atau rangsang gambar untuk memunculkan ide siswa, selanjutnya guru menyajikan media kertas permainan pilihan kata (diksi) untuk mengembangkan kosakata siswa, dan media yang digunakan untuk proses penyuntingan hasil karya. 5. Para pakar IT bekerjasama dengan para pakar pendidikan untuk menciptakan game online ataupun game offline yang bermuatkan pendidikan. Permainan ini dapat diakses siswa dengan mudah. Sehingga, dampak negatif dari media elektronik atau internet dapat dikurangi. 809
ISBN :978-602-17187-2-8
KENDALA DALAM PENERAPAN SOLUSI Kondisi pemanfaatan media pembelajaran bahasa Indonesia pada saat ini memasuki tahap mempelajari untuk pengembangan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Secara teori, terdapat banyak manfaat dan kemudahan yang dapat dirasakan dengan pemanfaatan media pembelajaran. Namun, dalam kondisi nyata terdapat beberapa kendala penerapan solusi yang ditawarkan. Kendala-kendala penerapan solusi sebagaimana sebagai berikut. 1. Persepsi yang salah terhadap media pembelajaran. Alasan yang sering didengar tentang mengapa guru enggan memanfaatkan media pembelajaran, yaitu pemanfaatan media tersebut dapat mengganggu jam pelajaran siswa. Kondisi tersebut cukup memprihatinkan. Persepsi guru terhadap media pembelajaran masih salah. Seharusnya media dapat membantu guru karena materi yang disampaikan lebih jelas dan komprehensif sehingga pemahaman semua siswa terhadap materi hampir sama. Akan tetapi, hal tersebut mengakibatkan guru merasa terbebani karena dituntut harus lebih kreatif dan memiliki persiapan pengajaran yang lebih matang. 2. Adanya pandangan bahwa permainan yang bermuatkan pendidikan kurang memiliki nilai jual sehingga sampai saat ini permainan edukasi masih belum begitu marak selayaknya permainan yang sudah dikenal oleh masyarakat khususnya para pelajar. 3. Kurang adanya motivasi dari kepala sekolah, kepala dinas, dan pemerintah untuk guru supaya menggunakan media yang inovatif. Seharusnya diadakan perlombaan penciptaan media pembelajaran yang kreatif pada bulan tertentu atau pada waktu hari guru, supaya meningkatkan antusias guru dalam menciptakan media pembelajaran yang menarik. 4. Alokasi pembelajaran keterampilan menulis yang kurang sehingga tidak memungkinkan bagi guru memberikan varisi media untuk benar-benar menuntun siswa mampu menulis dengan baik. 5. Kegiatan ektrakurikuler penulisan karya ilmiah belum dijadikan kegiatan ekstra yang wajib dan tidak banyak siswa yang minat dalam ektra ini. Padahal, melalui kegiatan ini siswa mampu mengasah keterampilan menulisnya dengan baik. PENUTUP Keterampilan menulis merupakan keterampilan kompleks yang melibatkan tidak hanya kemampuan kognitif tetapi juga psikomotorik. Pembelajaran ini tidaklah mudah oleh sebab itu guru maupun siswa memerlukan sarana penunjang untuk mencapai tujuan dari pembelajaran yakni dapat menghasilkan produk tulisan yang baik dan menarik. Sarana penunjang yang dimaksud adalah media. Media pembelajaran dapat menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima pesan sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa sehingga terjadi proses belajar yang efektif. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin canggih, banyak media pembelajaran yang dapat digunakan untuk kegiatan pembelajaran khususnya dalam hal ini adalah pembelajaran menulis. Namun, ada beberapa faktor yang menjadi problematik pembelajaran bahasa Indonesia dalam pemanfaatan media untuk keterampilan menulis. Faktor itu meliputi faktor intern dan ekstern. Faktor intern bersumber pada diri pendidik itu sendiri, seperti guru masih belum menggunakan media yang tepat dan kreatif, serta pemilihan media yang tidak diperhatikan kepraktisan dan kesesuaian dengan kondisi siswa baik kondisi psikologis maupun lingkungan tempat tinggal. Adapun faktor ekstern bersumber di luar diri pendidik, seperti ketersediaan media yang tepat untuk pembelajaran menulis yang kurang, belum adanya media untuk pembelajaran menulis yang menarik yang dikemas seperti permainan, belum ada media yang mengintegrasikan tahapan-tahapan menulis sehingga dapat memudahkan siswa untuk belajar menulis. Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan penggunaan media pembelajaran bahasa Indonesia yaitu pembinaan pola pikir guru akan pentingnya media dalam pembelajaran khususnya pembelajaran menulis, pengadaan media yang inovatif dan kreatif untuk pembelajaran menulis, kerjasama antara pakar IT dan pendidikan untuk menciptakan permainan bermuatkan edukasi untuk mengalihkan kebiasaan buruk siswa yakni kecanduan game yang tidak menambah wawasan pengetahuan ke dalam game yang mengahasilkan produktivitas tulisan siswa, dan penciptaan media yang mengintegrasikan tahapan-tahapan menulis. Kendala 810
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
yang dihadapi dalam implementasi solusi tersebut berupa: (1) persepsi yang salah terhadap media pembelajaran, (2) adanya pandangan bahwa permainan edukasi kurang memiliki nilai jual, (3) kurang adanya motivasi bagi guru untuk menciptakan; memanfaatkan; dan menggunakan media pembelajaran untuk keterampilan menulis, (4) alokasi pembelajaran keterampilan menulis yang kurang, dan (5) sarana pengembangan kemampuan menulis yakni ektrakulikuler karya ilmiah remaja (KIR) belum dijadikan sebagai ektra yang wajib serta tidak banyak siswa yang berminat. Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan kepada pihak-pihak yang terikait dengan problematik media pembelajaran pada keterampilan menulis. Pertama, para guru sebaiknya memperhatikan penggunaan media yang cocok dalam proses pembelajaran menulis sehingga peserta didik lebih mudah memahami materi yang disampaikan dan meningkatkan produksi tulisannya. Kedua, kepala sekolah hendaknya juga aktif memberikan stimulus kepada guru untuk menggunakan media yang tepat dalam pembelajaran menulis. Ketiga, pemerintah hendaknya memperhatikan pengembangan media pembelajaran yang diselaraskan dengan kemajuan jaman, mengontrol pemerataan pemanfaatan media di seluruh Indonesia, memberikan alokasi waktu tertentu untuk mengasah kemampuan menulis baik guru maupun siswa, dan memberikan penghargaan terhadap prestasi guru maupun siswa yang berkaitan dengan produk tulisan. DAFTAR RUJUKAN Akhmadi, Mukhsin. 1990. Strategi Belajar-Mengajar Ketrampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang:YA3 Malang. Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Asmani, Jamal Ma‘mur. 2011. Tips Efektif Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Dunia Pendidikan: Buku Panduan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Modern. Yogyakarta: Diva Press. Danim, Sudarwan. 2011. Media Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Nurchasanah&Widodo. 1993. Ketrampilan Menulis dan Pengajarannya. Malang: IKIP Malang. Rofi‘uddin, Ahmad. 1996. Pengembangan Tes Menulis dalam Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Penggunaannya. Dalam Imam Agus Basuki (ed), Evaluasi Pengajaran Bahasa Indonesia (hlm. 140-168). Malang: IKIP Malang. Sanaky, Hujair A. H. 2013. Media Pembelajaran Interaktif-Inovatif. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.
PEMBELAJARAN MENULIS PANTUN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL RANGSANG LAGU Noorhana
[email protected] Abstrak: Kegiatan menulis merupakan bagian yang perlu dicapai dari pembelajaran sastra, diantaranya adalah sastra lama seperti pantun. Menulis pantun sekilas tampak mudah tetapi pelaksanaannya tidak semudah seperti kelihatannya karena menulis pantun membutuhkan daya imajinasi dan kreativitas siswa. Agar siswa lebih terampil dalam menulis pantun, guru hendaknya memilih model pembelajaran yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pendekatan kontekstual. Model ini dinamakan model rangsang lagu. Sasaran dari model rangsang lagu ini adalah keterampilan menulis kreatif berdasarkan karya yang sudah ada yakni lirik lagu. Model ini digunakan pada pembelajaran bahasa Indonesia materi pembelajaran menulis pantun pada kelas V SD. Kompetensi Inti (KI) yang 811
ISBN :978-602-17187-2-8
dituntut yakni KI 4, dengan kompetensi dasar melantunkan dan menyajikan teks pantun dan syair tentang bencana alam serta kehidupan berbangsa dan bernegara secara mandiri dalam bahasa indonesia lisan dan tulis dengan memilih dan memilah kosakata baru . Tujuan dari pembelajaran ini adalah mengukur keterampilan menulis, yaitu penyajian teks pantun secara tulisan. Kata kunci: menulis pantun, pendekatan kontekstual, model rangsang lagu Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, ada empat keterampilan berbahasa yang dipelajari dan harus dikembangkan. Keterampilan tersebut saling berkaitan dan melengkapi. Keterampilan berbahasa tersebut adalah keterampilan menyimak (listeningskills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills), dan keterampilan menulis (writing skills). Keterampilan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Melalui keterampilan menulis, siswa dapat mengungkapkan ide maupun gagasannya dalam bentuk teks. Keterampilan menulis ini tidak datang secara otomatis, tetapi harus melalui latihan dan praktik yang teratur. Kegiatan menulis juga merupakan bagian yang perlu dicapai dari pembelajaran sastra. pembelajaran sastra bertujuan memberikan pengalaman dan meningkatkan daya apresiasi siswa terhadap karya sastra. Bahan kesusastraan yang perlu disampaikan dalam pembelajaran sastra diantaranya adalah sastra lama seperti pantun. Fang (1993:195) mendefinisikan pantun sebagai senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan. Sedangkan menurut Wahyudi (2008), pantun pada hakikatnya merepresentasikan yang saling berbalas atau bersahut, atau juga mengarah kepada suatu penerusan ujaran yang manasuka tetapi berjalinan. Dengan pengertian lain, pantun yang mewadahi suatu komunikasi bersahutan atau berbalasan akan mengekspresikan suatu pola yang mengulang beberapa larik, dari pantun yang sudah diujarkan terlebih dahulu. Ciri utama dari pantun adalah bersajak a-b-ab. Setiap baitnya terdiri dari empat baris (larik). Baris yang pertama dan kedua dinamakan sampiran, dan baris ketiga dan keempat disebut isi. Pantun adalah salah satu karya sastra yang dipelajari di sekolah dasar dan mulai diajarkan di kelas V. Tujuan yang harus dicapai dari pembelajaran pantun adalah siswa memahami teori tentang pantun. Tahap ini disebut tahap apresiasi. Selain itu, siswa juga diharapkan dapat menulis pantun. Tahap ini disebut disebut tahap ekspresi. Tujuan-tujuan yang sudah dijelaskan ini tidak terlepas dari tujuan pembelajaran sastra umumnya. Menulis pantun sekilas tampak mudah tetapi pada pelaksanaan pembelajaran siswa masih kesulitan ketika diminta menuliskan pantun. Keterampilan menulis pantun dapat mencerminkan kecerdasan dari penulis karena menulis pantun membutuhkan daya imajinasi dan kreativitas penulisnya. Untuk membuat pantun, pertama harus membuat isi dahulu, kemudian membuat sampiran yang tidak berkaitan sama sekali maknanya dengan isi. Tetapi harus memperhatikan sajak atau rima terakhir dari sampiran maupun isinya yang saling berkaitan. Berhasil tidaknya tujuan pengajaran sastra, khususnya pantun, dipengaruhi oleh beberapa hal. Diantaranya adalah guru sebagai fasilitator atau orang yang membantu peserta didik memperoleh keterampilan untuk mencapai tujuan belajar. Agar siswa lebih terampil dalam menulis pantun, guru hendaknya memilih model pembelajaran yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Selama ini pembelajaran pantun yang ditemukan cenderung menggunakan model yang bersifat monoton sehingga hasil yang dicapai tidak maksimal. Arends dalam Shoimin (2014) mengemukakan bahwa istilah model pengajaran mengacu pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuan, sintaks, lingkungan serta sistem pengelolaannya. Dengan demikian penerapannya model pembelajaran harus sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa. Makalah ini membahas mengenai pembelajaran dengan menggunakan satu model yang dikembangkan dan diadaptasi dari pembelajaran aktif dengan pendekatan kontekstual untuk mencapai tujuan yakni kompetensi menulis pantun. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning- CTL) menurut Nurhadi (2003) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang 812
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Definisi ini menekankan pentingnya pengaitan antara bahan ajar dengan kehidupan nyata siswa. Bahan ajar harus bermanfaat bagi siswa dan bermakna dalam arti dapat menambah pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan awal siswa (priorknowledge) melalui pengalamanpengalaman belajar yang diperoleh dari proses mengalami, menemukan, memperluas, dan memperkuat (constructivism). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam proses belajar di kelas, siswa dibiasakan untuk saling membantu dan berbagi pengalaman dalam kelompok masyarakat belajar (learning community) . Dalam proses belajar, guru perlu membiasakan anak untuk mengalami proses belajar dengan melakukan penemuan dengan melakukan pengamatan, bertanya, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, analisis data, dan menarik kesimpulan (inquiry). Seluruh proses dan hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan diamati dengan indikator yang jelas (Outhentic assessment). Setiap selesai pembelajaran guru wajib melakukan refleksi terhadap proses dan hasil pembelajaran (Reflection). Meski pembelajaran kontekstual diakui memiliki keseuaian dengan kurikulum berbasis kompetensi, tidak berarti bahwa pembelajaran kontekstual tidak sesuai dengan kurikulum 2013. Kurikulum 2013 menghendaki keaktifan siswa dan karakter pembelajaran kontekstual dinilai pas untuk menggiring siswa dalam kegiatan belajar. Pembelajaran kontekstual dilaksanakan dalam konteks yang otentik, artinya pembelajaran diarahkan agar siswa memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah dalam konteks nyata atau pembelajaran diupayakan dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (Learning in real life setting). Pembelajaran kontekstual juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (Meaningful learning). Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa melalui proses mengalami (Learning by doing). Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi (Learning in a group). Kebersamaan, kerja sama, dan saling memahami secara mendalam merupakan aspek penting untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan(Learning to know each other deeply). Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerja sama (learning to ask, to inquiry, to work together) Pembelajaran dilaksanakan dengan cara yang menyenangkan. (Learning as an enjoy activity). PEMBELAJARAN MENULIS PANTUN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL RANGSANG LAGU Model Rangsang Lagu adalah salah satu model yang menerapkan prinsip pembelajaran kontekstual, yakni kontruktivisme, inkuiri, mengajukan pertanyaan, masyarakat belajar, pemodelan, dan penilaian otentik. Pelaksanaan model pembelajaran Rangsang Lagu Pelaksanaan pembelajaran menggunakan model rangsang lagu dengan kompetensi menulis pantun dibagi dalam dua kegiatan. Pada kegiatan pertama, guru menjelaskan ciri-ciri pantun dan siswa menyusun pantun yang diacak. Kegiatan kedua, siswa melengkapi pantun yang dirumpangkan dan menulis pantun. Adapun langkah-langkah pembelajaran dalam kegiatan pertama adalah sebagai berikut. Pendahuluan (10 menit ) 1) Apersepsi untuk menggali pengetahuan siswa. Guru memutarkan sebuah lagu anak-anak yang berisi pantun berjudul ―Pantun Ria‖. 2) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya jawab berkaitan dengan lirik lagu yang telah diperdengarkan dan mengarahkan siswa terhadap pembelajaran yang akan dilakukan yakni mengenai pantun. 3) Siswa diminta mengamati sebuah pantun dan puisi, selanjutnya anak diminta membandingkan mana yang pantun dan mana yang puisi. (inquiri dan mengonstruksikan); 4) Guru membimbing siswa dalam menentukan perbedaan antara pantun dan puisi, dengan ciri-ciri penulisannya (pemodelan). Guru menanyakan nama atau sebutan baris kesatu dan kedua serta sebutan baris ketiga dan keempat. Kalau memang tidak ada anak yang dapat menjawab pertanyaan tersebut, guru menjelaskan bahwa nama baris kesatu dan kedua 813
ISBN :978-602-17187-2-8
adalah sampiran sedangkan nama baris ketiga dan keempat adalah isi. Untuk memperjelas hal ini guru dapat menambah contoh pantun lagi. Selanjutnya guru menanyakan tentang rima atau persamaan bunyi akhir baris-baris pantun tersebut. Guru melanjutkan pertanyaan dengan bagian bunyi mana yang memiliki persamaan. Hal ini dapat diperjelas dengan menunjukkan atau menanyakan persamaan bunyi contoh pantun yang lain; 5) Siswa dengan dibimbing guru diminta menyimpulkan ciri-ciri pantun untuk memantapkan pemahaman siswa tentang ciri-ciri pantun; 6) Guru memotivasi/ mendorong siswa dengan latihan untuk memahami ciri-ciri pantun (rasa ingin tahu dan bertanya); 7) Siswa membentuk kelompok berpasangan. Dengan berdua, anak akan lebih percaya diri dan mengurangi tingkat kecemasannya. 8) Guru memberikan lembar kerja siswa yang berisi empat bait pantun yang susunannya diacak kepada tiap kelompok; 9) Tiap kelompok menyusun kembali empat bait pantun yang diacak dengan susunan pantun yang tepat; 10) Pada saat tiap kelompok berdiskusi, guru berkeliling melihat aktivitas tiap kelompok. Selain untuk memberi motivasi kepada anak dan mengamati aktivitasnya, guru juga harus melihat hasil pekerjaan tiap kelompok untuk memastikan bahwa tidak akan terjadi hasil pekerjaan semua kelompok salah. Atau dengan kata lain, ada beberapa kelompok yang mengerjakannya dengan tepat sebagian atau keseluruhan. (masyarakat belajar); 11) Secara bergantian kelompok menyajikan pantunnya; 12) Untuk pemantapan, dilanjutkan dengan tanggapan dan penegasan oleh guru bersama dengan siswa. Sedangkan langkah-langkah pembelajaran kegiatan kedua adalah sebagai berikut. 1) Siswa bertanya jawab bersama guru tentang cara menulis pantun; 2) Guru menegaskan pada siswa bahwa isi pantun dapat berisi tentang budi pekerti, nasehat, persahabatan, atau hal-hal yang lucu berdasarkan lagu yang pernah di dengarkan. sedangkan sampiran pantun dapat dirangkai dari nama buah-buahan, nama binatang, dan nama benda-benda lainnya; 3) Guru menanyakan pada siswa mengenai lagu anak yang pernah mereka dengar. Siswa diminta mengingat liriknya. Berdasarkan lirik lagu tersebut, guru menerangkan bagaimana menulis pantun dengan mengubah lirik lagu menjadi isi pantun, dan menuliskan sampiran dengan menggunakan nama buah-buahan, atau bunga-bungaan, yang memiliki rima sama dengan isi yang telah dibuat; 4) Guru membagikan lembar kerja siswa yang berisi lirik lagu anak bertema kebangsaan dan kenegaraan, kemudian meminta siswa mengubah lirik lagu tersebut menjadi pesan dalam pantun kemudian menambahkan sampiran dengan nama buah-buahan atau bungabungaan; 5) Guru berkeliling ke seluruh sudut kelas untuk melihat aktivitas mereka dalam mengerjakan lembar kerja; 6) Secara bergantian siswa membacakan pantunnya, kemudian menempelkan hasil pekerjaannya pada karton yang telah disediakan oleh guru; 7) Guru bersama siswa melakukan refleksi pembahasan mengenai kegiatan menulis pantun (refleksi); 8) Guru melakukan evaluasi dengan prosedur yang telah dibuat sesuai dengan yang direncanakan (penilaian). Penilaian (sikap, keterampilan, dan pengetahuan) No 1
Aspek yang Dinilai Sikap
2
Pengetahuan
Teknik Penilaian Pengamatan/penilaian diri/penilaian antar teman Jurnal Tulis
Bentuk Penilaian Lembar pengamatan
Waktu Penilaian Proses
Uraian
Proses
814
Keterangan
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
3
Keterampilan
Tugas Praktik
dan hasil Proses dan hasil
Unjuk kerja
Pengamatan Sikap Pengamatan sikap berupa observasi dengan panduan sebagai berikut. Berikan skor pada kolomkolom sesuai hasil pengamatan terhadap peserta didik selama kegiatan. No Nama Peserta Percaya diri Peduli Santun Jumlah Didik skor 1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
2. 3. 4. …
Keterangan: Skor 1 jika tidak pernah berprilaku dalam kegiatan Skor 2 jika kadang-kadang berprilaku dalam kegiatan Skor 3 jika sering berprilaku dalam kegiatan Skor 4 jika selalu berprilaku dalam kegiatan
Aspek Penilaian Kelengkapan pantun
Rima pantun
Kriteria Aspek Apakah pantun terdiri atas 4 larik pantun dengan 2 larik pertama sampiran dan 2 larik isi? Apakah pantun bersajak silang (a-b-a-b) bunyi akhir larik 1 sama dengan larik 3, bunyi
1 Belum 4 larik dengan 2 sampiran dan 2 isi
Belum silang
815
2 4 larik tetapi tidak sesuai dengan sampiran dan isi
3 4 larik dengan 2 larik sampiran dan dua larik isi
ISBN :978-602-17187-2-8
akhir larik 2 sama dengan larik 4? Bersajak
Jumlah suku
Orisinalitas
Bersajak tapi belum semua silang Apakah pantun memiliki jumlah kata yang harmoni antarlarik (antara 8-12 suku kata) Apakah pantun yang dibuat berbeda dari contoh yang ada dan karya sendiri?
silang
Semua bersajak silang
Larik
Kurang harmoni dan kurang tepat jumlah suku kata pada semua larik
Ada satu larik yang kurang harmoni, kurang tepat jumlah suku kata nya
Jumlah suku kata tepat dan harmoni
Semua bagian mencontoh sudah ada
Sebagian mencontoh
Karya sendiri yang berbeda dengan contoh sebelumnya
KESIMPULAN Model rangsang lagu dikembangkan dan diadaptasi dari pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Rangsang lagu dimaksudkan sebagai pemicu kreatifitas siswa untuk menulis pantun dengan mengubah lirik lagu menjadi pantun. Model ini digunakan pada pembelajaran bahasa Indonesia materi pembelajaran menulis pantun. Kompetensi Inti (KI) yang dituntut yakni KI 4, menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia. Kompetensi dasar melantunkan dan menyajikan teks pantun dan syair tentang bencana alam serta kehidupan berbangsa dan bernegara secara mandiri dalam bahasa indonesia lisan dan tulis dengan memilih dan memilah kosakata baru . Tujuan dari pembelajaran ini adalah mengukur keterampilan menulis, yaitu penyajian teks pantun secara tulisan. DAFTAR PUSTAKA Fang, Liaw Yock. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga. Joyce, Bruce., Weil, Marsha. 2011. Model of Teaching: Model-Model Pembelajaran. Jogjakarta: Pustaka Belajar. Nurhadi, dkk. 2003. Pembelajaran Kontekstual (Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia Widiasarana. Sani, Ridwan Abdullah. 2013. Inovasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Shoimin, Aris. 2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta:ArRuzz Media. Subana, M. Sunarti. 2011. Strategi Belajar Mengajar Bahasa: berbagai Pendekatan Teknik dan Media Pengajaran. Bandung: Pustaka Setia. Trianto. 2011. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivisme. Jakarta: Prestasi Pustaka. Uno, Hamzah.B. Mohammad, Nurdin. 2013. Belajar dengan Pendekatan Paikem: Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menarik. Jakarta: Bumi Aksara. Warsono dan Hariyanto. 2013. Pembelajaran Aktif Teori dan Assesmen. Bandung: PT Remaja Rosdakarya set.
816
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
LAMPIRAN Dokumentasi Kegiatan
817
ISBN :978-602-17187-2-8
INOVASI MODEL PEMBELAJARAN IMPROVISASI IMAJINATIF Dian Risdiawati
[email protected] Abstrak: Model pembelajaran Improvisasi Imajinatif adalah cara pembelajaran yang direncanakan untuk mempermudah siswa dalam mengubah teks cerita pendek ke dalam bermain peran sehingga pembelajaran dapat berlangsung aktif, efektif, dan kreatif. Langkah-langkah model pembelajaran Improvisasi Imajinatif, yaitu (1) menyusun kerangka, (2) improvisasi dialog, (3) improvisasi lakuan, dan (4) penilaian. Model pembelajaran Improvisasi Imajinatif merupakan model mengonversi ke dalam bermain peran dengan cara membangun daya imajinasi dan spontanitas siswa. Kata kunci: model pembelajaran, improvisasi imajinatif, mengonversi
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah meliputi dua macam kemampuan, yaitu kemampuan berbahasa dan bersastra. Kemampuan berbahasa berkaitan dengan peningkatan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara tulis maupun lisan. Kemudian, kemampuan bersastra berkaitan dengan peningkatan kemampuan peserta didik untuk mengapresiasi hasil karya sastra manusia Indonesia. Kedua kemampuan tersebut mencakup empat aspek keterampilan yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Dari kedua kemampuan dalam pembelajaran bahasa Indonesia tersebut, pembelajaran bersastra memiliki peranan yang sangat penting. Pembelajaran bersastra meliputi empat kegiatan yaitu apresiasi, kritik, penulisan kreatif, dan performansi seni sastra. Demikian pula dengan pembelajaran drama yang mencakup empat aspek tersebut. Pengalaman bersastra bagi siswa dapat dibangun melalui pembelajaran drama. Kurikulum yang sekarang tengah dijalankan adalah kurikulum 2013 berbasis teks. Problematika yang banyak terjadi adalah guru terpacu pada teks-teks kebahasaan saja, sehingga aspek sastra semakin dikucilkan. Sebenarnya dalam kurikulm 2013, guru dituntut untuk aktif dan kreatif dalam melaksanakan pembelajaran. Misalnya saja dalam hal mengonversi teks. Dalam kegiatan mengonversi, guru dapat menyisipkan pembelajaran sastra seperti bermain peran. Sehingga pembelajaran tidak terkesan monoton dan membosankan. Model pembelajaran yang dikembangkan dalam makalah ini adalah model pembelajaran Improvisasi Imajinatif. Model tersebut merupakan model yang dikembangkan untuk pembelajaran mengonversi teks cerita pendek ke dalam bermain peran. Secara umum definisi model pembelajaran Improvisasi Imajinatif adalah cara pembelajaran yang direncanakan untuk mempermudah siswa dalam mengubah teks cerita pendek ke dalam bermain peran sehingga pembelajaran dapat berlangsung aktif, efektif, dan kreatif. Model tersebut dikembangkan didasarkan pada kurikulum 2013 Bahasa Indonesia kelas XI SMA/SMK. Kompetensi dasar yang digunakan adalah KD. mengonversi teks cerita pendek ke dalam bentuk yang lain sesuai dengan struktur dan kaidah baik secara lisan maupun tulisan. Bermain peran merupakan unsur penting dalam drama yang menunjukkan kemampuan siswa dalam berekspresi. Bermain peran sering disebut dengan akting. Menurut Padmodarmaya (1990:219), akting adalah seni atau proses berperan di atas radio, televisi atau film, gambaran perwatakan dramatik, baik bersifat emosional maupun intelektual yang dinyatakan dengan suara dan laku; gerak dan mimik di atas pentas. Siswa memerankan seorang tokoh dalam lakon dengan berbicara dan berlakuan sesuai dengan karakter tokoh tersebut. Saat memerankan tokoh tersebut siswa dapat menunjukkan keberanian dan kesigapannya untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Siswa juga dapat memahami pentingnya kejelasan dan kepercayaan dirinya dalam berbicara. Hal tersebut mendorong keterlibatan intelektual-emosional siswa untuk mengolah keterampilan berbicara. Menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2008:244), keterlibatan intelektual-emosional peserta didik dapat dilatihkan dalam kegiatan berbicara, antara lain: (a) bermain peran; (b) berbagai bentuk diskusi; (c) wawancara; (d) bercerita (pengalaman diri: pengalama hidup, pengalaman membaca); (e) pidato; (f) laporan lisan; (g) membaca nyaring; (h) merekam bicara; (i) bermain drama. 818
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Diantara kegiatan tersebut, bermain peran dapat mewujudkan tujuan peningkatan keterampilan berbicara yaitu pencapaian kemudahan berbicara, kejelasan, dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, bermain peran dengan cara improvisasi adalah salah satu sarana mengembangkan keterampilan tersebut. Tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah membuat inovasi model pembelajaran Improvisasi Imajinatif untuk pembelajaran mengonversi teks cerita pendek ke dalam bermain peran. Sedangkan tujuan khusus penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan landasan teori, konsep dasar, karakteristik dan langkah-langkah model pembelajaran Improvisasi Imajinatif. PEMBAHASAN Konsep Dasar Model Pembelajaran Improvisasi Imajinatif Model pembelajaran Improvisasi Imajinatif merupakan model yang berdasar pada Contextual Teaching Learning (CTL). CTL adalah proses pembelajaran holistik yang bertujuan untuk membelajarkan peserta didik dalam bahan ajar secara bermakna (meaningful) yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata (Hanifiah dan Suhana, 2012:67). Pendekatan tersebut digunakan sebagai acuan dan dimodifikasi dalam model pembelajaran Improvisasi Imajinatif. Model pembelajaran Improvisasi Imajinatif berusaha mengaplikasikan langkah-langkah pembelajaran dengan segenap komponen yang berkaitan, untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan tersebut adalah melatihkan keterampilan berbicara ekspresif melalui kegiatan mengonversi teks cerita pendek ke dalam bermain peran. Selain itu, model pembelajaran Improvisasi Imajinatif memerhatikan proses dan pendekatan individu siswa. tujuannya agar kesempatan mengembangkan keterampilan berbicara siswa lebih merata. Sejalan dengan tujuan tersebut, Wardani (2011:66) mengungkapkan bahwa pola pembelajaran aktif dan pelaksanaan pembelajaran yang inovatif dan kreatif dibutuhkan oleh seorang guru. Aktif berarti melibatkan siswa secara intelektual dan emosional dalam kegiatan pembelajaran. Kemudian, pelaksanaan pembelajaran yang inovatif dan kreatif berarti memanfaatkan seluruh potensi yang ada untuk mendorong siswa mengalami sendiri pemerolehan pengetahuan dengan cara yang menyenangkan. Model pembelajaran Improvisasi Imajinatif merupakan langkah yang dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran mengonversi teks cerita pendek ke dalam bermain peran dengan cara improvisasi, yaitu (1) menyusun kerangka, (2) improvisasi dialog, (3) improvisasi lakuan, dan (4) penilaian. Model pembelajaran ini muncul dari sebuah pemahaman bahwa mengonversi ke dalam bermain peran merupan sebuah proses kreatif. Kreatif yang menyangkut tahapan pemikiran imajinatif, yaitu merasakan, menghayati, menghayalkan, dan menemukan kebenaran. Tahapan-tahapan akan mewujudkan penciptaan yang bisa dirumuskan dalam kegiatan menulis dan memerankan. Proses kreatif menulis kerangka cerita dari teks scerita pendekyang dibuat siswa dan memerankan diambil dari teori dasar-dasar pemeranan oleh Richard Boleslavsky dan metode bermain peran oleh W.S. Rendra. Konsep dan metode tersebut dimodifikasi, dirancang, dan disesuaikan sebaik mungkin untuk pembeajaran mengonversi teks cerita pendek siswa SMA/SMK kelas XI. Model pembelajaran Improvisasi Imajinatif merupakan model yang dterapkan secara sistematis dalam pembelajaran mengonversi teks cerita pendek ke dalam bermain peran. Model tersebut diharapkan mampu menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan inovatif. Kemudian, tujuan akhir pembelajaran diharapkan pula dapat membelajarkan keterampilan bermain peran secara merata meskipun bukan menciptakan pemain yang andal berakting. Sejalan dengan hal tersebut, model pembelajaran Improvisasi Imajinatif dapat dilaksanakan dengan peran serta guru sebagai pendorong dan pemodelan terhadap siswa. Berikut adalah prasyarat yang perlu dimiliki guru untuk mendukung penggunaan model pembelajaran Improvisasi Imajinatif. a. Memahami konsep dan unsur-unsur pementasan drama kelas. b. Memahami konsep dan cara menulis kerangka naskah drama. c. Memahami konsep pemeranan dan metode bermain peran dengan cara improvisasi. d. Membuat contoh pemeranan sesuai karakter tokoh secara kreatif.
819
ISBN :978-602-17187-2-8
e.
Memahami pentingnya dan cara melakukan apresiasi pementasan drama kelas.
Karakteristik Model Pembelajaran Improvisasi Imajinatif Model pembelajaran Improvisasi Imajinatif merupakan model pembelajaran mengonversi teks cerita pendek ke dalam bermain peran yang melalui tahap-tahap kegiatan. Karakteristik penerapan model tersebut adalah (1) siswa dibagi kelompok kemudian siswa memilih salah satu cerita pendek teman kelompok yang akan dikembangkan menjadi kerangka naskah, (2) siswa dipandu guru menyarikan alur cerpen yang nantinya menjadi dasar plot dramatik naskah, (3) siswa menetapakan pemain dan peran dalam satu kelompok, (4) melatih improvisasi dialog, (5) melatih improvisasi lakuan, (6) mencatat dialoag dan lakuan yang muncul saat atihan, (7) mementaskan kerangka cerita hasil latihan, serta (8) mengomentari kesesuaian improvisasi yang dilakukan teman sejawat dengan unsur-unsur bermain peran yang ditentukan oleh guru. Pembelajaran mengonversi teks cerita pendek dengan model Improvisasi Imajinatif ini berawal dari kegiatan menulis (menyarikan) alur cerita. Menulis adalah penuangan pikiran terbaik kita dalam proses berpikir di atas kertas mengenai suatu gagasan (Endraswara, 2003:237). Menulis dengan menyususun gagasan-gagasan peristiwa berdasarkan cerpen karya siswa dapat membantu siswa menentukan bentuk improvisasi seperti apa yang sesuai. Kegiatan menyusun kerangka naskah (urutan peristiwa dalam cerita) dalam model ini tidak hanya mementingkan wujud kerangka, tetapi proses penciptaan ide dalam bentuk jalianan peristiwa (plot). Oleh karena itu, pendekatan proses sangat diutamakan dalam model ini. Model pembelajaran Improvisasi Imajinatif merupakan model mengonversi ke dalam bermain peran dengan cara membangun daya imajinasi dan spontanitas siswa. Praktik dasar imajinasi terletak pada ―kreatif andai‖, yaitu tindakan yang dilakukan melalui penciptaan yang tiada menjadi ada. Penciptaan tersebut bisa bersumber dari pengalaman-pengalaman pribadi yang disimpan dalam ingatan, dari pengalaman orang lain, dan dari kemampuan mengkhayal yang didukung oleh kemauan melakukannya. Imajinasi tidak hanya menjadi usaha pemain, tetapi juga usaha penulis cerita. Sebelum cerita dipentaskan, penulis cerita telah lebih dahulu melakukan imajinasi dalam pikirannya untuk menyususun rangkaian peristiwa dengan segala konflik yang menyertainya. Penulis juga menciptakan tokoh imajinasinya dengan karakter yang berbeda. Kemudian, imajinasi tersebut diwujudkan dalam keberanian dan ketepatan pemain menciptakan diaog dan lakuan. Tahapan-Tahapan Model Pembelajaran Improvisasi Imajinatif Model pembelajaran disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan pembelajran yang efektif dan efisien. Tahapan model pembelajaran Improvisasi Imajinatif adalah sebagai berikut. 1. Menyusun Kerangka Tahap ini merupakan tahap awal dari model pembelajaran Improvisasi Imajinatif. Langkah dalam tahap ini adalah sebagai berikut. a. Siswa memilih salah satu cerpen teman kelompok yang akan dikembangkan menjadi kerangka naskah oleh siswa dalam tiap kelompok (5 orang). b. Siswa mensarikan alur cerpen yang nantinya menjadi dasar plot dramatik naskah c. Siswa menulis kerangka naskah sesuai dengan plot dramatik yang meliputi eksposisi (terdapat inciting moment dan konflik sebelum menuju komplikasi), komplikasi, klimaks, dan penyelesaian. d. Siswa melakukan casting pemain sesuai dengan karakter tokoh yang dibutuhkan. e. Siswa berkonsultasi dengan guru tentang kerangka cerita yang disusun. Kegiatan ini diakhiri dengan mengumpulkan hasil kerangka cerita dan menyiapkan diri untuk berlatih improvisasi pada pertemuan selanjutnya. Selain itu, guru mendorong siswa untuk lebih percaya diri saat melatih improvisasinya dalam kelompok. Siswa diharapkan tidak ragu dan mau bertanya apabila ada yang kurang dipahami. 2. Improvisasi Dialog Pada tahap ini siswa melatih improvisasi dialog dengan memperkaya perbendaharaan akata yang sesuai dengan naskah cerita. Siswa diarahkan untuk melakukan pendapatan kata secara spontan dan sesuai konteks. Hal tersebut dilakukan agar siswa cepat merespon saat diajak berdialog. Selain itu siswa dibimbing untuk tidak ragu dalam menyampaikan imajinasinya
820
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
melalui kata-kata yang terlintas dalam pikirannya. Latihan-latihan improvisasi dialog adalah sebagai berikut. a. Latihan memperbanyak perbendaharaan kata dalam waktu tertentu (spontan) Latihan ini dilakukan dengan menyebutkan kata sebanyak-banyaknya dalam hitungan waktu 1 menit. Kata yang disebutkan harus berkaitan dengan kata utama. Misalnya: Malang (kata utama) Apel, UM, Brawijaya, macet, dingin, dan seterusnya. Satu siswa bertugas menyebutkan kata utama dan menghitung jumlah kata yang disebutkan. Kemudian satu siswa lagi bertugas sebagai penghitung waktu. b. Latihan memunculkan kata dengan berpikir cepat dan sesuai Latihan ini dilakukan dengan menyebutkan satu kata dengan dua suku kata secara bergantian. Satu siswa meyebutkan satu kata, lalu siswa selanjutnya menyebutkan kata baru dengan suku kata awal sama dengan suku kata terakhir yang disebutkan siswa sebeumnya. Contoh: Baju (kata pertama) Juru, Rusa, Sapi, Pilu, Lupa, dan seterusnya. c. Latihan mengeksplorasi dialog yang relevan Latihan ini dilakukan dengan mendeskripsikan sebuah benda dalam waktu 1 menit. Deskripsi benda tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga bisa fungsi, kelebihan, atau kekurangan benda tersebut. Contoh: Melon (nama benda) bentuknya bulat. Warnanya ada yang hijau,ada yang sedikit kuning. Rasanya manis dan segar. Biasanya digunakan sebagai ampuran es teler atau es buah. Buah ini bisa dimanfaatkan sebagai obat penurun darah tinggi. Cara memaknnya bisa langsung atau dihaluskan menjadi jus buah. 3. Improvisasi Lakuan Pada tahap ini siswa mulai diarahkan untuk mengatur lakuan dalam kelompok. Siswa dalam kelompok diminta untuk aktif dan bekerja sama untuk berlatih mimik, gerak-gerik, dan gestur melalui beberapa kegiatan. Kegiatan tersebut mengacu pada kegiatan merespon, berimajinasi, dan berkespresi. Latihan-latihan yang dilakukan adalah sebagi berikut. a. Latihan mengeksplorasi gestur dan gerak-gerik Latihan ini dilakukan dengan membuat gestur (sikap tubuh) dari kegiatan menirukan. Kegiatan menirukan tidak menggunakan benda nyata, tetapi menggunakan imajinasi yang berkaitan dengan lakuan tertentu, seperti berjalan tergesa-gesa, memasak sayur, bersembunyi dibawah meja, dan lain-lain. b. Latihan merespon benda Latihan ini dilakukan dengan merespon sebuah benda yang dilihatnya. Respon tersebut berbentuk tindakan berdasarkan motivasi tertentu. Motivasi tersebut adalah suasan atau perasaan lelah, marah, kecewa, sedih, dan lain-lain. Contoh: Motivasi seorang siswa sedih karena ditinggal orang tuanya ke luar kota, ia sendiri dan hanya melamun. Benda yang direspon kursi c. Latihan merespon pemain lain Latihan ini dilakukan dengan menggunakan kerangka cerita yang telah disusun. Siswa dapat melatih setiap adegan dengan menciptakan lakuannya dengan merespon lakuan pemain lain. Contoh: Seorang siswa berperan sebagai siswa SMP yang terlambat masuk sekolah. Kemudian ia berlari dengan tergesa-gesa untuk segera masuk ke dalam kelas. Sesampainya di kelas, siswa tersebut kelelahan. Pemain lain yang berperan sebagai temannya merespon dengan menertawakan temannya yang terenga-engah karena kelelahan tadi. 4. Penilaian Tahap ini merupakan tahap terakhir model pembelajaran Improvisasi Imajinatif. Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut. a. Setiap kelompok menampilkan permainan peran sesuai kerangka naskahnya. b. Kelompok pengamat/observer memberikan penilaian terhadap kelompok yang tampil pada rubrik penilaian c. Kelompok observer memberikan komentar secara keseluruhan tentang improvisasi pemeranan dengan cara yang santun. 821
ISBN :978-602-17187-2-8
d.
Refleksi.
Kekurangan dan Kelebihan Model Pembelajaran Improvisasi Imajinatif Kelemahan model pembelajaran Improvisasi Imajinatif dalam pembelajaran mengonversi teks cerita pendek ke dalam bermain peran adalah (1) latihan improvisasi dialog dan lakuan tidak dapat dikontrol oleh guru secara intensif karena jumlah kelompok bergantung jumlah siswa dalam satu kelas dan (2) durasi penampilan drama improvisasi berpotensi bertambah lama karena kerangka cerita bisa berkembang saat bermain. Sedangkan kelebihan dari model pembelajaran Improvisasi Imajinatif adalah (1) pembelajaran menjadi aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan inovatif, (2) dapat membelajarkan sastra di tengah pembelajaran bahasa, dan (3) dapat mengembangkan kompetensi bahasa (ketika menulis kerangka dan berdialog), penalaran (ketika menyarikan teks cerpen ke dalam kerangka naskah dan latihan improvisasi), dan estetika (ketika tampil bermain peran). PENUTUP Kesimpulan Dari pemaparan mengenai inovasi model pembelajaran di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, model pembelajaran yang dibuat dalam makalah ini berjudul model pembelajaran Improvisasi Imajinatif. Model pembelajaran Improvisasi Imajinatif adalah cara pembelajaran yang direncanakan untuk mempermudah siswa dalam mengubah teks cerita pendek ke dalam bermain peran sehingga pembelajaran dapat berlangsung aktif, efektif, dan kreatif. Kedua, langkah-langkah model pembelajaran Improvisasi Imajinatif, yaitu (1) menyusun kerangka, (2) improvisasi dialog, (3) improvisasi lakuan, dan (4) penilaian. Ketiga, model pembelajaran Improvisasi Imajinatif merupakan model mengonversi ke dalam bermain peran dengan cara membangun daya imajinasi dan spontanitas siswa. Saran Dalam penulisan makalah dan penyusunan model pembelajaran ini tentu ada kekurangannya. Oleh karena itu dapat diberikan saran secara umum dan secara khusus. Secara umum, disarankan pada pembaca ataupun pihak akademisi untuk selalu mengembangkan dan memberikan inovasi pembelajaran, terutama dalam pelajaran Bahasa Indonesia karena mengingat sifat pembelajaran dalam pendidikan bersifat dinamis. Secara khusus, disarankan pada pengembang selanjutnya, untuk lebih menginovasikan model pembelajaran Improvisasi Imajinatif ini agar sesuai untuk semua kompetensi maupun semua mata pelajaran. DAFTAR RUJUKAN Endraswara, S. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan Sastra: Sastra Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: Kota Kembang. Endraswara, S. 2011. Metode Pembelajaran Drama (Apresiasi, Ekspresi, dan Pengkajian). Yogyakarta: Caps. Ghazali, A. S. 1985. Pembimbing Apresiasi Drama. Malang: Pelaksana Kegiatan Penulisan Buku/Diktat Perkuliahan Sub Proyek Pengembang Sistem Pendidikan Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi, IKIP Malang. Iskandarwassid dan Sunendar, D. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidika Indonesia dengan Remaja Rosdakarya. Padmodarmaya, P. 1990. Pendidikan Seni Teater: Buku Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Dapartemen Pendidikan dan Budaya. Rendra. 2007. Seni Drama untuk Remaja. Jakarta: Burungmerak Press. Wardani, N. E. 2011. ―Strategi dalam Pembelajaran Apresiasi Drama‖ Dalam Subiyantoro, Slamet dan Rohmadi, Muhammad (Ed). Bunga Rampai: model-model Pembelajaran Bahasa, Sastra dan Seni (halaman 63-80). Surakarta: Yuma Pressindo.
822
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PARENTING DI SEKOLAH ARBORETUM Heri Susanto Pascasarjana Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Artikel ini bertujuan mengtehui implementasi parenting yang dielaborasi dengan hasil observasi di PG dan TK Ramadhani Mojoroto, Kediri, Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, simpulan penelitian ini sebagai berikut (1) sekolah berperan dalam melestarikan lingkungan melalui sekolah arboretum, (2) impelementasi parenting melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan dan memberikan edukasi kepada orang tua, (3) parenting sebagai sarana edukasi, dan (4) parenting sebagai saluran komunikasi. Parenting orang tua dan sekolah berperan dalam keberhasilan belajar peserta didik. Kata Kunci: parenting, arboretum, pembelajaran bermakna, mitigasi
Sekolah menjalankan edukasi melalui aktivitas pembelajaran kurikuler dan ko-kurikuler kepada peserta didik. Pendidikan di sekolah menurut Solihin (2015: 1) merupakan kelanjutan pendidikan keluarga yang memengaruhi pribadi anak dan perkembangan sosialnya. Sosialisasi nilai-nilai dan karakter di sekolah berperan penting karena berkaitan dengan internalisasi nilainilai budi pekerti luhur dan kompetensi tertentu. Sebagaimana diperikan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sebagai lingkungan sosialisasi setelah keluarga, sekolah diupayakan juga menjalin hubungan harmonis dengan orang tua/wali peserta didik. Bagaimanapun juga, keluarga adalah lingkungan pertama peserta didik menjalani tahun awal pergaulan sosialnya. Karakter peserta didik dan pola belajar ditentukan oleh pola asuh keluarga sehingga ketika peserta didik datang ke sekolah, sebenarnya peserta didik dihadapkan pada lingkungan yang sama sekali berbeda dengan keluarga. Ketika datang ke sekolah, peserta didik memiliki beragam cara beradaptasi sehingga menurut Holt (2012: vi), tidak jarang jarang peserta didik memiliki kemampuan belajar yang lebih baik sebelum memasuki sekolah. Lingkungan sekolah memberikan pajanan cara belajar yang tidak alamiah. Bahkan lebih ekstrem, dikatakan banyak peserta didik gagal ketika di sekolah. Dalam upaya mengatasi ketimpangan itu, orang tua juga harus berperan mendukung putra/putrinya dalam program pembelajaran. Pihak yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan peserta didik secara akademik maupun non-akademik tidak semata dibebankan kepada guru sebagai tuan rumah. Sekolah memberikan edukasi pada orang tua/wali peserta didik sehingga visi dan misi sekolah dapat terkomunikasikan dengan baik. Sekolah yang berwawasan pendidikan karakter dan memiliki kedekatan emosional dengan peserta didik juga harus memiliki kedekatan emosional dengan para orang tua/wali. Pertemuan dengan stakeholder seperti mereka idealnya tidak hanya bermaterikan sosialisasi pembangunan sekolah, kebutuhan pendanaan, dan prestasi sekolah melainkan juga diupayakan untuk membina kedekatan interpersonal antar-orang tua/wali dan tukar ‗kawruh‟ pendidikan anak di rumah/keluarga. Parenting dapat menjadi jembatan yang mempertemukan sekolah dan orang tua. Anggapan yang salah selama ini adalah parenting adalah aktivitas yang dilakukan secara naluriah yang otomatis tanpa direncanakan sehingga tugas mereka berhenti ketika anak memasuki usia sekolah. Akibatnya, mereka tidak pernah mempelajari parenting secara berkelanjutan. Padahal, parenting merupakan tanggung jawab utama orang tua. Parenting juga berfungsi sebagai sarana penyatuan perspektif pola didik antara sekolah dan orang tua. Bentuk parenting yang mengesankan misalnya, dalam pertemuan orang tua/wali, tiba-tiba peserta didik memberikan hadiah kepada orang tua/wali masing-masing, penampilan sosiodrama, game orang tua/wali dan peserta didik, dan pendampingan praktik pembelajaran bersama orang tua. 823
ISBN :978-602-17187-2-8
Selanjutnya, sekolah mengolaborasikan nilai-nilai sosial dengan semua elemennya. Kolaborasi nilai-nilai tersebut menurut Davis (2012: 131) adalah dengan menjalin hubungan komunikasi antara sekolah, orang tua, pengawas, dan keluarga. Orang tua perlu dilibatkan dalam struktur organisasis sekolah. Lebih lanjut, dalam hubungannya dengan pembelajaran siswa, davis (2012: 131) menyebut parenting dengan istilah ―family center‖. Pelembagaan itu urgen dilakukan karena untuk beberapa alasan, orang tua malas datang ke sekolah yang berimbas pada ketidaknyamanan hubungan antara para pendidik (orang tua dan sekolah) tersebut. Kolaborasi orang tua dan sekolah akan memberikan kemungkinan lebih besar bagi peserta didik untuk berprestasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, sekolah adalah institusi legal yang memiliki wewenang mendidik peserta didik dengan standar yang ditetapkan pemerintah. Padahal, orang tua adalah pendidik pertama bagi peserta didik yang berpengaruh pada karakter dan gaya belajarnya. Selama masa perkembangan anak, sekolah tidak boleh menjadi aktor tunggal mendidik anak dan orang tua tidak boleh begitu saja mempercayakan pendidikan anaknya kepada sekolah. Pertemuan antar pendidik, orang tua dan sekolah, melalui parenting perlu dilakukan demi keberhasilan belajar peserta didik. Oleh karena itu, artikel ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui implementasi parenting dan implikasinya bagi keberhasilan belajar peserta didik yang dielaborasi dengan hasil observasi di sekolah alam PG dan TK Ramadhani Mojoroto, Kediri, Jawa Timur. METODE Penelitian dilakukan di Play Grop (PG) dan Taman Kanak-Kanak (TK) Ramadhani pada bulan Januari 2015. Sumber primer kepala sekolah, guru, dan orang tua/wali melalui wawancara. Sumber data sekunder diperoleh dari ulasan kegiatan parenting di laman blog Zulvia (2015). Observasi dilakukan untuk mengetahui implementasi kegiatan parenting di sekolah. Analisis data dilakukan secara deskriptif sebagaimana Sugiyono (2008:15) yaitu mengungkapkan topik di Play Grop (PG) dan Taman Kanak-Kanak (TK) Ramadhani, mengolah data, menganalisis, meneliti, dan menginterprestasikan serta menyimpulkan dan memberi saran yang kemudian disusun pembahasannya secara sistematis sehingga dapat dipahami HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian diuraikan dalam empat bahasan yaitu (1) sekolah alam sebagi sekolah arboretum, (2) implementasi parenting di sekolah arboretum, (3) parenting sebagai sarana edukasi, dan (4) parenting sebagai sarana komunikasi. Sekolah Arboretum Play Group (PG) dan Taman Kanak-kanak (TK) Ramadhani, Mojoroto, Kediri merupakan sekolah baru dan terus berusaha memperbaiki layanan pembelajaran, penambahan sarana dan prasarana, pengelolaan sekolah, dan promosi ke masyarakat melalui kegiatankegiatan yang rekreatif dan edukatif. PG dan TK Ramadhani memiliki kelas untuk kelompok bermain dan taman kanak-kanak yang setiap kelas diasuh oleh tiga orang guru. Sekolah tersebut didirikan berdasarkan kebutuhan akan sekolah alternatif di lingkungan setempat dan urgensi penyediaan lahan hijau bagi masyarakat. PG dan TK Ramadhani tidak mendeklarasikan diri sebagai sekolah arboretum namun dengan melihat lingkungan sekolah yang memiliki beragam koleksi tanaman dan mempertahankan lingkungan ‗kebun‘ sebagai basisnya dapat dikatakan bahwa sekolah ini memiliki sukma arboretum. Hal itu sesuai dengan definisi arboretum yang diperkenalkan oleh John Claudius pada tahun 1833 (Riskawati, 2015: 1) yaitu tempat mengkoleksi berbagai jenis pohon. Sekolah arboretum menurut Pennine Edge Forest (2015: 2) adalah ruang terbuka di sekitar sekolah yang ditanami bermacam-macam tumbuhan untuk mendiversifikasi dan menghijaukan lingkungan sekolah serta sebagai objek penelitian sehingga peserta didik mampu belajar mengeksplorasi dan melestarikan alam. Meskipun tidak lagi berpandangan akan mainstream kelas, sekolah tetap menjalankan fungsinya sebagai pusat studi. Sekolah diupayakan menjadi tempat yang menyenangkan, ramah, dan berfungsi sebagai tempat rekreasi akademik. Sekolah harus mendidik semua elemennya untuk melestarikan alam sebagaimana yang dikemukakan University of Oxford Harcourt Arboretum (2015: 1) pengenalan terhadap dunia botani memberikan kesempatan kepada anakanak untuk memberikan pengalaman belajar tentang pohon dan tanaman sehingga berguna bagi pelestarian alam pada masa mendatang. Pengalaman belajar berbasis alam tersebut sangat 824
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
penting di era simptom pemanasan global dan perubahan iklim saat ini. Tumbuhan merupakan penyerap emisi karbon terbaik dan mampu berperan dalam mitigasi perubahan iklim dan memperbanyak area resapan air. Dengan demikian, sekolah alam dapat dikatakan sebagai sekolah yang secara eksplisit menjadi sekolah arboretum. Sekolah arboretum membantu menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) akibat berkurangnya lahan hijau untuk pembangunan perumahan dan sarana lainnya, khususnya di daerah perkotaan. Tanaman dalam kerangka arboretum dapat digali dari lingkungan sekitar peserta didik, seperti tanaman bunga, tanaman buah, tanaman yang hanya tumbuh di lingkungan setempat, dan tanaman yang mulai langka. Sekolah adalah tempat pemeliharaan dan perlindungan ekologi secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan lingkungan sekitar dengan pelestarian atau konservasi. Fungsi ekologi mengajarkan peserta didik berinteraksi langsung dengan alam sekitar sehingga pemahaman dampak perilaku manusia berpengaruh terhadap perilaku alam dapat diperoleh secara konkret. Sekolah juga diharapkan mendokumentasikan beragam fenomena ilmiah dan kreativitas peserta didik dengan materi bersumber dari alam sekitar. Implementasi Parenting di Sekolah Arboretum Konsistensi penggunaan istilah parenting dalam artikel ini dikarenakan belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia yang mampu mewadahi definisi aktivitas orang tua dan anak dalam kaitannya dengan pembelajaran di sekolah. Parenting menurut Barbieri (2008: 1) adalah pekerjaan subjektif yang paling menantang, stressfull, dan paling berharga di planet bumi. Parenting di PG dan TK Ramadhani dilaksanakan (1) akhir semester, (2) insidental terjadwal, dan (3) insidental tak terjadwal. Berdasarkan observasi, parenting di PG dan TK Ramadhani merupakan rencana kerja tahunan. Parenting terdiri dari dari rangkaian kegiatan dalam rangka melibatkan orang tua dalam kegiatan sekolah. Manifestasi parenting yaitu (1) pertemuan dengan orang tua, (2) seminar parenting, (3) konsultasi hasil belajar, (4) pengenalan lingkungan, dan (5) sekolah bersama orang tua. Perian tiap kegiatannya sebagai berikut. 1. Pertemuan dengan Orang Tua Pengakraban antar-orang tua dilakukan dalam dua sesi acara (1) seremonial dan (2) non-seremonial. Kegiatan seremonial dilakukan sebagaimana di sekolah pada umumnya, PG dan TK Ramadhani mengundang orang tua/wali ke sekolah di awal tahun pelajaran untuk sosialisasi program sekolah dan laporan statistik sekolah. Sekolah memperkenalkan struktur organisasi dan guru-guru kepada orang tua. Sekolah juga menjelaskan rancana kerja, rancana pembelajaran, rencana anggaran dana, dan keperluan peserta didik selama pembelajaran. Sekolah melaporkan kemajuannya berdasarkan data dari tahun pelajaran sebelumnya. Dalam pertemuan ini, orang tua dapat menyampaikan aspirasinya terkait dengan kemajuan sekolah dan memberikan evaluasi program-program sekolah. Setelah rangkaian seremonial tersebut, PG dan TK ramadhani mengajak para orang tua/wali bermain dengan tujuan mengakrabkan antar-orang tua. Kepala sekolah memimpin langsung sehingga acara yang semula ‗formal‘ berubah menjadi ‗non-formal‘ dan dipenuhi gelak tawa. Game yang dilakukan pertama adalah menghapal nama sesama orang tua. Para orang tua diberikan waktu lima menit untuk saling berkenalan, kemudian atas instruksi kepala sekolah, para orang tua membentuk lingkaran besar dan meng-estafetkan spidol yang setelah beberapa detik, kepala sekolah menghentikan spidol tersebut. Orang tua yang pada saat spidol dihentikan dan memegangnya harus menyebutkan menunjuk nama lima orang di sebelah kirinya. Apabila gagal, dipersilakan menghibur para orang tua lainnya. 2. Seminar Parenting Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala PG dan TK Ramadhani, ide seminar parenting dilatarbelakangi oleh banyaknya orang tua, khususnya ibu yang mengantar dan menunggui putra-putrinya saat ke sekolah. Mayoritas ibu yang mengantar adalah usia produktif sehingga kekosongan waktu menunggu belajar putra-putrinya dapat diisi dengan kegiatan diskusi atau seminar tingkat sekolah. Berdasarkan pertimbangan waktu dan pendanaan, seminar parenting dilaksanakan setahun sekali bersamaan dengan penyerahan rapor semester gasal. Seminar parenting yang pernah dilaksanakan bertema ―Bertutur santun pada anak‖ dengan penulis sebagai pembicaranya. Seminar parenting tidak dikemas secara formal. Pembicara dan para orang tua duduk ‗lesehan‘ dengan pembicara memulai menyampaikan materi terlebih dahulu seputar cara
825
ISBN :978-602-17187-2-8
bertutur dengan anak-anak. Kemudian dengan dipimpin oleh kepala sekolah, para orang tua diberikan kesempatan untuk berdiskusi dengan pembicara dan para orang tua lainnya. Dalam seminar tersebut, antuasiasme orang tua begitu tinggi. Mereka tidak segan untuk bertanya dan menceritakan pengalamannya mengasuh putra-putrinya di rumah. 3. Konfirmasi Hasil Belajar Dokumen hasil belajar atau lebih dikenal dengan sebutan rapor merupakan catatan yang menggambarkan kemampuan peserta didik dalam kurun waktu tertentu berdasarkan kurikulum yang ditetapkan. Rapor juga menjadi saluran komunikasi antara sekolah dengan orang tua/wali maupun dengan pihak-pihak lain yang ingin mengetahui tentang hasil belajar anak. Rapor dibuat untuk mendeskripsikan ketercapaian perkembangan peserta didik yang mencakup perkembangan nilai-nilai agama dan moral, fisik , kognitif, bahasa, dan sosial emosional. Karena itu, raport harus komunikatif, informatif, dan komprehensif (menyeluruh) memberikan gambaran tentang hasil belajar peserta didik. Rapor di PG dan TK Ramadhani diberikan dengan cara deskriptif (narasi), bukan dengan angka atau skor. Seluruh kegiatan peserta didik selama satu semester direkam dalam rapor dalam bentuk catatan-catatan termasuk catatan perilaku peserta didik. Hasil karya unik peserta didik dilampirkan dalam rapor sehingga isi rapor antara peserta didik satu dengan lain berbeda. Rapor peserta didik dilengkapi dengan foto-foto kegiatan-kegiatan rekreatif peserta didik. Pada waktu penyerahan rapor, para guru menyampaikan gambaran isi rapor kepada setiap orang tua. Para guru menyampaikan prestasi peserta didik, catatan perilaku peserta didik, dan tindak lanjut yang harus dilakukan orang tua. Para orang tua diberikan kesempatan untuk mengonfirmasi deskripsi rapor tersebut, misalnya apabila ada perbedaan perilaku peserta didik di rumah dan di sekolah. Para guru mengakomodasi pendapat orang tua dalam catatan khusus. 4. Pengenalan Lingkungan Pengenalan lingkungan dalam konteks PG dan TK Ramadhani adalah mengunjungi tempat-tempat di lingkungan sekitar yang bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Tempat yang pernah dikunjungi oleh peserta didik adalah pasar unggas dengan alat transportasi umum untuk mengajarkan peserta didik berperilaku yang benar di kendaraan umum. Peserta didik diberi tugas untuk menggambar hewan-hewan yang dijual di pasar unggas. Peserta didik juga diberi kebebasan untuk berinteraksi dengan penjual unggas secara langsung. Berdasarkan hasil wawancara, para penjual sangat antusias dengan kehadiran peserta didik karena belum pernah ada sekolah yang mengunjungi mereka. Setelah kunjungan selesai, peserta didik mengumpulkan hasil observasinya. Kegiatan pengenalan lingkungan yang lain adalah car free day di Jalan Dhoho Kediri dengan kegiatan memperkenalkan permainan tradisional yang boleh diikuti oleh masyarakat. Permainan yang diperkenalkan adalah "gejlig" yang merupakan permainan dengan membuat beberapa persegi yang bersambung satu sama lain yang biasanya disebut "sawah", lalu untuk bermainnya pemain harus punya "gacho" yang bisa terbuat dari pecahan genting. Pertama lempar "gacho" tersebut ke salah satu petak sawah. Ketika pemain melewati sawah vertikal, harus melompat dengan satu kaki. Jika pemain melewati sawah horizontal, melompat dengan dua kaki dan seterusnya. Jika "gacho" yang pemain lemparkan keluar garis maka disebut ‗mati‘ atau digantikan pemain selanjutnya. Permainan berikutnya yaitu "sempreng" atau lompat tali. Tali terbuat dari gelang karet yang dirangkai. Permainan ini bisa dimainkan 3 orang lebih. Dua orang memutar tali tali dan yang lainnya bisa bermain dengan melompati tali yang sedang diputar. Kalau kaki terjerat tari, maka pemain akan mati. Selain itu, ada permainan "selebor" atau yang disebut ular naga. Permainan ini dapat dimainkan banyak orang. Dua orang menangkat kedua tangan membentuk terowongan. yang lain berbari saling memegang pundak dan berjalan melalui terowongan. Jika salah satu pemain terjebak di dalam terowongan maka pemain harus memilih salah satu dari dua pilihan yang disediakan, misalnya pilih anggur atau apel. Pilihan terbanyaklah yang akan menjadi ular naga sedangkan penjaga terowongan yang satunya akan menjadi pemangsa. PG dan TK Ramadhani juga memperkenalkan permainan untuk mengetes daya ingat yaitu tebak nama yang bisa dimainkan dengan jumlah orang yang banyak. Permainan ini dimainkan dengan duduk melingkar sambil bernyanyi "polisi, polisi numpang tanya sebentar atas nama buah-buahan, dimulai dari kamu!" lalu pemain yang ditunjuk akan menyebutkan salah satu nama buah-buahan dan akan berlanjut bergantian memutar. Jika ada salah satu kontestan yang lupa maka akan dihukum dengan cara dicoret bedak. Ada juga permainan ular 826
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
tangga raksasa yang dimainkan dengan cara memutar dadunya. Lalu bidak akan digeser sesuai dengan jumlah mata dadu yang berhenti. Pemain sendirilah yang menjadi bidaknya. 5. Sekolah Bersama Orang Tua Keterlibatan orang tua, bukan sekadar mengantar atau menunggui peserta didik dari awal hingga pulang sekolah. PG dan TK Ramadhani menganggap bahwa tidak ada salahnya orang tua sekali waktu juga masuk kelas dan diperlihatkan kegiatan pembelajaran. Setiap setahun dua kali, orang tua diajak melihat langsung pembelajaran di kelas. Orang tua disediakan tempat khusus di belakang tempat duduk peserta didik. Selama pembelajaran, orang tua tidak diperkenankan membuat keributan atau melakukan hal-hal yang memicu perhatian peserta didik. Orang tua/wali hanya menonton langsung peserta didik yang belajar dengan para guru kemudian dilakukan diskusi dengan orang tua terkait cara pembelajaran yang dilakukan. Parenting sebagai Sarana Edukasi Parenting merupakan tindak edukasi pertama yang dilakukan orang tua terhadap anak melalui perlakuan tertentu. Wonohadidjojo (2001: 22) dan Solihin (2013: 1) menyatakan bahwa parenting sebagai proses interaksi berkelanjutan antara orang tua dan anak-anak yang meliputi aktivitas memberi makan, memberi petunjuk, dan melindungi anak-anak ketika mereka tumbuh berkembang. Dengan aktivitas tersebut, Darling (2000: 1) menyatakan bahwa pola pendidikan keluarga berpengaruh pada perkembangan anak. Anak yang dilahirkan di dunia memiliki persamaan fisiologis namun perkembangannya berbeda menyesuaikan dengan ‗parenting style‘. Bailey et.al. (1995: 2) menyatakan bahwa orang tua adalah guru utama sehingga anak-anak belajar informasi penting dari orang tua mereka. Orang tua berpengaruh kuat terhadap karakter dan idealisme anak. Ketika orang tua percaya kepada anak, anak akan memiliki rasa percaya diri yang baik. Dalam masa pertumbuhan, kebutuhan mereka akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat pertumbuhan mereka. Kebutuhan anak mulai beragam, seperti kebutuhan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral bahkan ada pula kebutuhan rohani. Orang tua harus mengenal kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan tersebut karena apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, pertumbuhan anak akan terganggu. Di sinilah, sekolah berperan dalam memfasilitasi kebutuhan perkembangan yang tidak mampu dipenuhi di lingkungan keluarga. Sekolah tidak mengambil alih peran orang tua, namun menyediakan kesempatan bagi para orang tua untuk memperoleh pengetahuan dan mempelajari keterampilan perenting yang dibutuhkan. Adanya pertemuan, diskusi, atau sejenisnya untuk orang tua akan membantu memaksimalkan pertumbuhan anak sehingga orang tua tetap sebagai pendidik utama yang tidak akan melewatkan momentum perkembangan anak-anak mereka. Parenting Sebagai Sarana Komunikasi Secara alamiah, dalam perspektif edukasi, menurut National Association of School Psychologists (2006: 1) orang tua adalah guru sedangkan anak adalah peserta didik. Meskipun hubungan tersebut bersifat instruktif, namun pendekatannya adalah pendekatan emosional yang nyaman dan nurture. Efektivitas hubungan yang demikian menempatkan anak sebagai subjek yang dihargai dalam upaya membina keterampilan berpikir dan kemandirian, menghargai potensi diri, mendidik untuk peduli dengan orang lain, dan perilaku positif lainnya. Hal itu diperkuat oleh Mullally (2007: 4-6), anak memerlukan kepercayaan untuk menghadapi tantangan kehidupannya tanpa harus dikekang. Apabila anak diberikan kepercayaan untuk menyelesaikan tugas secara mandiri, mereka akan menguasai keterampilan sehingga level kemampuan mereka meningkat. Namun, National Association of School Psychologists (2006: 1) dan Mullally (2007: 4-6) menegaskan bahwa pada era gadget saat ini pengawasan diperlukan sehingga orang tua juga harus memahami interaksi anak dengan peralatan digital. Anak memasuki lingkungan baru ketika memasuki usia sekolah. Di sekolah, anak-anak bertemu dengan orang-orang yang memiliki perbedaan karakter dan gaya belajar. Anak-anak kemudian menghabiskan waktu pembelajarannya di sekolah yang kemudian proses pembelajaran yang diterima di sekolah dihadapkan dengan proses belajar di rumah. Dalam banyak kasus, proses belajar di sekolah dan di rumah bertolak belakang yang berakibat pada tidak efektifnya proses pembelajaran. Ada pula, orang tua tidak lagi menjadi pendidik utama dan menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada sekolah. Dalam kondisi seperti itu, terjadi chaos pada peserta didik sehingga perilaku menyimpang atau kenakalan anak terjadi.
827
ISBN :978-602-17187-2-8
Pola asuh yang tidak kompatibel antara orang tua dan sekolah mengakibatkan disorientasi tujuan belajar. Sekolah sebagai institusi legal dalam pendidikan anak harus aktif menjalin komunikasi dengan orang tua. Sekolah memiliki standar-standar pendidikan anak, orang tua juga perlu memahami standar-standar tersebut sehingga ‗petaka komunikasi‘ antara pola asuh orang tua dan sekolah tidak mengakibatkan standar ganda pada anak. Sekolah yang mapan dapat menyediakan program-program edukasi untuk orang tua. Orang tua diberikan bekal pengetahuan praktis berkenaan dengan PR dari sekolah, teman-teman sekelas, pengaturan waktu belajar, dan evaluasi diri yang dalam konteks ini National Association of School Psychologists (2006: 4) menyebut parent on school. Akar dari parenting adalah komunikasi dengan anak yang sebelumnya hanya dilakukan orang tua, setelah anak memasuki usia sekolah komunikasi tidak hanya dilakukan oleh orang tua tetapi juga dilakukan oleh sekolah. Berikut digambarkan hubungan komunikasi antara peserta didik, orang tua, dan sekolah.
PARENTING Sekolah
Orang tua
Peserta didik Gambar 1. Hubungan Komunikasi antara Peserta Didik, Orang Tua, dan Sekolah
Parenting menjadi saluran komunikasi orang tua dan antarorang tua dengan sekolah. Solihin (2013: 1) menyatakan bahwa tujuan parenting adalah mengajak para orang tua untuk bersama-sama memberikan yang pendidikan terbaik terbaik yang sesuai untuk anak-anak melalui (1) peningkatan pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam melaksanakan perawatan, pengasuhan dan pendidikan anak di dalam keluarga sendiri dengan landasan dasardasar karakter yang baik dan (2) sinkronisasi kepentingan dan keinginan orang tua dan sekolah sehingga pendidikan karakter yang dikembangkan di sekolah dapat ditindak lanjuti di lingkungan keluarga. Dengan demikian, pendidikan keluarga tidak dapat tergantikan oleh sekolah. Sekolah memberikan edukasi melalui parenting sebagai saluran edukasi dan komunikasi agar (1) sekolah memiliki profil peserta didik yang komprehensif karena data yang dimiliki sekolah dilengkapi dengan data dari orang tua, (2) sekolah dan orang tua memiliki persepsi yang sama terhadap proses pembelajaran dan deteksi dini permasalahan yang dihadapi peserta didik, dan (3) peserta didik mendapatkan lingkungan belajar yang tepat dan meminimalkan gap pola asuh orang tua dan sekolah. Implikasi parenting bagi keberhasilan belajar peserta didik sebagaimana yang dikemukakan Jacobsen et. al. (2009: 171) agar tidak ada siswa yang gagal di sekolah (no child left behind). SIMPULAN Sekolah arboretum berperan dalam menyediakan ruang terbuka hijau akibat berkurangnya lahan hijau untuk pembangunan perumahan dan sarana lainnya, khususnya di daerah perkotaan. Sekolah adalah tempat pemeliharaan dan perlindungan ekologi secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan lingkungan sekitar dengan pelestarian atau konservasi. Fungsi ekologi mengajarkan peserta didik berinteraksi langsung dengan alam sekitar sehingga pemahaman dampak perilaku manusia berpengaruh terhadap perilaku alam dapat diperoleh secara konkret. Dengan demikian, sekolah menjadi tempat yang menyenangkan, ramah, dan berfungsi sebagai tempat rekreasi peserta didik. Pendidik utama adalah orang tua, sekolah bersifat membantu dan melengkapi peran orang tua tersebut. Kerjasama orang tua sangat diperlukan agar terjadi kesesuaian tujuan dan kesepahaman nilai-nilai yang dihidupi di sekolah dengan di rumah. Akar dari parenting adalah komunikasi dengan anak yang sebelumnya hanya dilakukan orang tua, setelah anak memasuki usia sekolah komunikasi tidak hanya dilakukan oleh orang tua tetapi juga dilakukan oleh sekolah. Implementasi dari parenting di sekolah berdasarkan hasil penelitian yaitu (1) pertemuan dengan orang tua, (2) seminar parenting, (3) konsultasi hasil belajar, (4) pengenalan lingkungan, dan (5) sekolah bersama orang tua. Parenting adalah sarana edukasi dan komunikasi orang tua dan sekolah. Implikasi parenting bagi keberhasilan belajar peserta didik 828
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
yaitu (1) sekolah memiliki profil peserta didik yang komprehensif, (2) persepsi yang sama terhadap proses pembelajaran dan deteksi dini permasalahan yang dihadapi peserta didik, dan (3) peserta didik mendapatkan dukungan belajar dari orang tua dan sekolah. DAFTAR RUJUKAN Bailey, John, Perkins, Susan, & Wilkins, Sandra. 1995. Parenting Skills Workshopseries: A Manual for Parent Educators. Ithaca: Cornell Cooperative Extension. Barbieri, Chuck. 2008. Seven Important Aspects of Mindful Parenting. (Online). (http://www.waldorfearlychildhood.org/uploads/GW53barbieri.pdf), diakses 8 Oktober 2015. Darling, Nancy. 2000. Parenting Style and Its Correlates. (Online). (http://www.kidneeds.com/diagnostic_categories/articles/parentcorrelates.pdf), diakses 8 Oktober 2015. Davis, Bonnie M. 2012. How to Teach Students Who Don‟t Look Like You. California: Corwin (A Sage Company). Holt, John. 2012. Bagaimana Siswa Belajar (Terjemahan Fransiska Wahyu Ari Susilowati). Jakarta: Erlangga. Jacobsen, David A., Eggen, Paul, & Kauchak, Donald. 2009. Methods for Teaching: Promoting Student Learning in K-12 Classroom (Terjemahan Achmad Fawaid dan Khoirul Anam). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mullally, Val. 2007. Parenting Skills for Parents of Children Between 6 and 12. (Online). (http://www.tusla.ie/uploads/content/FSA_Parenting_Skills_-(For_Parents).pdf), diakses 7 Oktober 2015. National Association of School Psychologists. 2006. Effective Parenting: Positive Support for Families (Position Statement). (Online). (http://www.nasponline.org/about_nasp/positionpapers/EffectiveParenting.pdf), diakses 7 Oktober 2015. Pennine Edge Forest. 2015. School Arboretum. (Online). (http://www.pennineedgeforest.org.uk/file_download/12/schools+arb.pdf), diakses 7 Oktober 2015. Riskawati, Tristia. 2015. Arboretum yang Bukan Sekedar Arboretum. (Online). (http://www.kompasiana.com/tristia/arboretumyangbukansekedararboretum_54ffbdcea3 3311b45e51016e), diakses 7 Oktober 2015. Solihin, Akhmad. 2013. Pengertian dan Jenis-Jenis Program Parenting. (Online). (http://paudanakbermainbelajar.blogspot.co.id/2013/12/pengertiandanjenisjenisprogram. html), diakses 7 Oktober 2015. Solihin, Akhmad. 2015. Penumbuhan Budi Pekerti, Alur Pembudayaan, dan Kegiatan Seharihari di Sekolah. (Online). (http://paudanakbermainbelajar.blogspot.co.id/2015/08/penumbuhanbudipekertialur.html), diakses 7 Oktober 2015. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. The University of Oxford Harcourt Arboretum. 2015. The Arboretum Comes to School! (Online). (http://www.harcourt-arboretum.ox.ac.uk/sites/botanic/files/images/Harcourt%20Arboretum%20Outreach%20Programme%202016.pdf), diakses 7 Oktober 2015. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (Online). (http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU20-2003Sisdiknas.pdf), diakses 7 Oktober 2015. Wonohadidjojo, Ishak S. 2001. Analisa S.W.O.T. untuk Parenting: Beberapa Parameter Kurikuler Untuk Pelayanan Keluarga. Veritas 2 (1): 21-35. Zulvia, Aminatus. 2015. Dolanan Ra_Madhani. (Online). (http://supiturangtelulas.blogspot.co.id/2015/01/dolanan-ramadhani.html), diakses 7 Oktober 2015.
829
ISBN :978-602-17187-2-8
PEMBELAJARAN LITERASI KRITIS SEBAGAI SARANA MEMBENTUK ASPEK KONATIF SISWA Anang Shalih Pendidikan Bahasa Indonesia-Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: kemampuan berliterasi penting dan perlu menjadi perhatian serius. Untuk itulah pembelajaran literasi kritis penting ditanamkan sejak dini di sekolah-sekolah. Tidak hanya tiga ranah aspek saja (kognitif,afektif, dan psikomotor) yang disasar, namun aspek konatif siswa semakin terasah. Aspek konatif adalah kesadaran internal dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Siswa tidak perlu menunggu untuk melakukan hal-hal yang baik. Namun karena kesadaran mereka sudah tumbuh, mereka langsung bertindak sesuai kadar kemampuan yang mereka miliki. Pembelajaran literasi kritis akan menumbuhkan kesadaran, jiwa sosial dan rasa empati dalam diri siswa. Kata kunci: pembelajaran literasi kritis, aspek konatif, siswa
Literasi dalam kamus ilmiah populer diartikan sebagai kesanggupan membaca dan menulis (Partanto dan Al-Barry, 2001:415). Dalam era teknologi informasi saat ini, penguasaan literasi sangat penting dalam kehidupan sehari-haari. Tentu dengan penguasaan literasi yang bagus, seseorang tidak ketinggalan dan gagap dengan perubahan zaman. Literasi pada dasarnya mengacu pada kemampuan membaca dan menulis (Tilaar, 2011:196). Kemampuan ini juga tidak terlepas dari kemampuan menyimak dan berbicara. Dengan demikian literasi mencakup kemampuan menyeluruh berbahasa yang terdiri dari menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah literasi sudah menjadi budaya di negeri ini? Makin berkembangnya komik dan dunia animasi berpengaruh besar dalam perkembangan budaya visual. Masyarakat Indonesia kini semakin akrab dengan hal-hal yang berbau visual atau visual digital (Saryono, 2015). Budaya mendengar dan menonton semakin berkembang pesat seiring dengan berkembangnya pertelevisian nasional baik televisi pemerintah maupun televisi swasta yang banyak berisi acara-acara hiburan. Manusia Indonesia lebih terbiasa mendengar dan menonton, bukan lagi membaca dan menulis sesuatu yang bermutu. Bagaimana dengan kemampuan literasi guru-guru dan siswa kita? Jawabnya setali tiga uang. Kondisinya pun tidak lebih baik. Guru-guru dan siswa kita meminjam istilah Taufik Ismail yaitu sedang mengalami penyakit ―rabun membaca dan lumpuh menulis‖. Sungguh ironis, sebuah lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi agent of change ternyata bernasib sama dengan sebagian besar masyarakat kita. Lalu bagaimana? Inilah tentunya yang akan kita diskusikan dalam tulisan ini. KONSEP LITERASI KRITIS Priyatni (2010:27), mengemukakan bahwasannya istilah literasi kritis berkaitan dengan berpikir kritis dan kesadaran kritis. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir logis dengan cara bertanya, menganalisis, membandingkan, mengontraskan, dan mengevaluasi. Sedangkan kesadaran kritis adalah kemampuan mengenali kondisi yang menghasilkan ide-ide istimewa melebihi yang lain dalam suatu budaya atau masyarakat tertentu. Literasi kritis adalah perpaduan antara keterampilan berpikir kritis dan perhatian pada keadilan sosial, politik, bahasa, dan kekuasaan dalam teks (Johnson dan Freedman dalam Priyatni, 2010:28). Senada dengan Priyatni, Tilaar (2011:200) mengungkapkan bahwa teks dalam literasi kritis didefinisikan sebagai sebuah kendaraan bagi individu-individu untuk berkomunikasi dengan menggunakan kode-kode konvensi yang diterima suatu masyarakat. Oleh karena itu lagu, dialog, gambar film, internet dan sebagainya dipandang sebagai teks. Literasi kritis berkembang dari pedagogic kritis yang dipelopori oleh Paulo Freire yang muncul dalam bukunya Pedagogik Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed). Ada empat karakteristik literasi kritis yang diidentifikasi oleh Knobel dan Healy (via Tilaar, 2011:202), 1) pendidikan bahasa dapat membuat kehidupan berbeda dari para siswa; 2) makna kata-kata dan teks tidak bisa dipisahkan dari paraktik budaya maupun sosial di mana dan dengan mana makna itu dikonstruksi; 3) analisis dan evaluasi; 4) kesadaran sosial. 830
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Pandangan literasi kritis seperti ini harus digaungkan di sekolah-sekolah. Siswa perlu dirangsang dan diasah daya kritisnya dengan terus menanyakan tentang berbagai hal dalam kehidupannya. Mengapa bisa sampai seperti ini? Bagaimana bisa terjadi? Seandainya aku menjadi si X, apa yang akan kulakukan? Pertanyaan-pertanyaan kritis semacam ini sangat membantu siswa dalam berpikir kritis dan memulai berliterasi kritis. Jika hal-hal semacam ini terus diupayakan, maka suatu saat akan tumbuh kesadaran baru dalam diri siswa untuk tahu lebih dalam tentang sesuatu, sehingga muncullah rasa simpati dan empati dalam diri siswa tersebut. PRAKTIK PEMBELAJARAN LITERASI KRITIS DALAM MEMBENTUK ASPEK KONATIF SISWA Seperti yang sudah disinggung dalam tulisan sebelumnya, bahwa teks bukanlah sesuatu yang tertulis atau bacaan semata, teks bisa muncul dari berbagai media seperti lagu, film, video, dialog, berita televisi atau internet dan lain-lain. Hadirnya kolaborasi berbagai teks akan membuat pembelajaran semakin menarik dan mengasyikkan bagi siswa. Empat kemampuan berbahasa siswa mulai dari menyimak, berbicara, membaca, dan menulis semakin terasah dengan baik karena semua indra mereka bekerja. Siklus penting dalam pembelajaran literasi bisa berjalan sepenuhnya. Berikut ini adalah salah satu contoh konkrit praktik pembelajaran literasi kritis di kelas IX mata pelajaran bahasa Indonesia. Standar kompetensi mendengarkan, 1. Mendengarkan dialog interaktif pada tayangan televisi atau siaran radio. Kompetensi dasar 1.1 menyimpulkan isi dialog interaktif beberapa narasumber pada tayangan televisi/siaran radio. Berita aktual dari media massa seperti televisi maupun siaran radio diharapkan menjadi media pembelajaran yang menarik bagi siswa. Pilih berita lokal yang tengah jadi sorotan. Ambillah contoh berita tentang kabut asap di lahan gambut (kebetulan mungkin sekolahnhya ada di wilayah yang terkena dampak langsung dengan kabut asap) untuk diangkat dalam pembelajaran literasi kritis di kelas. Bahan-bahan tentang informasi seputar kabut asap sangat melimpah di dunia maya, baik berupa video berita di televisi, feature, citizen jurnalism atau kita bisa mengambil dari siaran radio. Pembahasan tentang kabut asap ini bisa dirancang untuk satu atau dua kali pertemuan. Diskusi tentang masalah tentang kabut asap yang melanda lahan gambut ini bisa diawali dengan menonton dan membaca kembali berita tentang dampak kabut asap. Setelah itu guru melontarkan sejumlah pertanyaan untuk merangsang diskusi, seperti ― mengapa kabut asap tiap tahun terus terjadi? Apa yang menyebabkan bencana ini terus meluas? Apa yang bisa kalian lakukan untuk membantu meringankan beban sesama?‖ dan lain sebagainya. Dari data yang diperoleh media, siswa disuruh untuk menganalisis dampak apa saja yang ditimbulkan dari bencana kabut asap. Mulai dampak bagi kesehatan, sosial masyarakat dan ekonomi. Lalu pertanyaan penting yang perlu dilontarkan juga adalah apakah tidak ada cara lain bagi petani atau perusahaan dalam membuka lahan pertanian tanpa harus membakar lahan. Tahapan terakhir dari pembelajaran ini adalah adalah dengan meminta siswa untuk membuat sebuah esai sederhana berdasarkan berita tersebut dan merancang sebuah aksi untuk meringankan warga sekitar yang terkena dampak langsung kabut asap. Aksi nyata yang bisa dilakukan yaitu dengan cara menggalang dana dari siswa untuk membeli masker dan dibagikan pada pengendara roda dua atau untuk warga yang terkena dampak langsung kabut asap. Dengan demikian literasi kritis sangat terkait erat dengan aspek konatif siswa. Konatif adalah kemauan untuk bertindak (Partanto dan Al-Barry,2001: 356). Bermula dari sebuah pengenalan masalah (problem posing) terkini yang ada di sekitar siswa. Guru lantas menggugah perasaan siswa dengan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang masalah tersebut agar siswa mampu berpikir lebih mendalam. Ketika rasa simpati dan empati siswa sudah berjalan, lalu ditingkatkan lagi daya kekritisan siswa dalam menyikapi permasalahan tersebut dari berbagai lintas sudut pandang. Setelah itu maka muncullah apa yang disebut dengan kesadaran sosial. Kesadaran sosial banyak macamnya. Kesadaran sosial siswa dibuktikan dengan ide-ide segar mengenai sebuah rancangan mengenai aksi nyata yang akan mereka lakukan. Aksi nyata yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan membuat sebuah petisi, mengirim surat pembaca, menyurati instansi-instansi terkait dan lain-lain. Memang secara umum literasi kritis sudah diperkenalkan pada jenjang SMA dan Perguruan Tinggi. Akan tetapi, hemat penulis alangkah lebih baiknya pendekatan literasi kritis
831
ISBN :978-602-17187-2-8
ini sudah mulai diperkenalkan pada tingkat rendah yaitu di bangku SD dan SMP. Namun harus disesuaikan dengan tingkat kerumitan masalah pada tiap jenjang pendidikan. Tidak mudah memang mengubah gaya mengajar guru. Mindset guru dan siswa pun mesti diubah. Bahwa belajar tidak semata transfer ilmu. Belajar tidak mesti hanya duduk, dengar, dan diam, akan tetatpi jika kita sebagai guru bisa memberikan sesuatu yang lebih kepada siswa, why not? Mengapa tidak? Tantangan zaman ke depan semakin kompleks. Siswa perlu dibekali pemikiranpemikiran kritis untuk bisa memahami persoalan agar kelak mereka bisa survive dalam hidupnya. Mendidik pada dasarnya bukanlah mempersiapkan generasi masa kini semata, namun lebih dari itu mendidik adalah mempersiapkan generasi yang akan datang. KESIMPULAN Pendidikan literasi kritis akan mengubah perspektif pendidikan dari semata-mata sebagai proses mempersiapkan anak menjadi individu yang siap berkompetisi dalam pasar terbuka, tetapi juga untuk mempersiapkan para siswa agar menjadi bagian dari warga negara yang berani memulai perubahan (Tilaar, 2011:203). Aspek konatif yang diharapkan dari pembelajaran literasi kritis ini akan menumbuhkan kesadaran sosial dari siswa. Siswa bukan hanya individu semata. Mereka adalah bagian dari masyarakat. Mereka menjadi bagian dari solusi, bisa memberikan sumbangsih pemikiran, ide, gagasan maupun perbuatan. Ini merupakan bekal yang sangat berharga bagi siswa. DAFTAR RUJUKAN Partanto, Pius A & Al Barry, M Dahlan. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola Priyatni, Endah Tri. 2010. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara Saryono, Joko. 2015. Literasi Sebagai Episentrum Kemajuan dan Peradaban. (Makalah tidak diterbitkan) Tilaar, H.A.R dkk. 2011. Pedagogik Kritis. Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
PROBLEMATIK PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERKAITAN DENGAN KOMPETENSI GURU DALAM EVALUASI PEMBELAJARAN SASTRA Diah Erna Triningsih
[email protected] Abstrak: Evaluasi pembelajaran sastra baik menyimak, berbicara, membaca, maupun menulis belum diterapkan dengan baik. Hal ini dikarenakan guru lebih mementingkan angka (evaluasi hasil) daripada evaluasi proses. Problematik ini menyebabkan keterampilan siswa dalam bersastra kurang optimal. Padahal, kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial menjabarkan dengan jelas bahwa guru harus menguasai kompetensi tersebut. Namun, ada beberapa kendala dalam evaluasi pembelajaran sastra berkaitan dengan kompetensi guru. Salah satu kendala tersebut mengarah pada kemampuan guru dalam membuat rubrik penilaian. Oleh karena itu, perlu adanya pelatihan khusus bagi guru dalam mengevaluasi pembelajaran sastra baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Kata Kunci: evaluasi, kompetensi guru, problematik pembelajaran
Pembelajaran sastra memiliki peran penting karena berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Apalagi di era globalisasi saat ini, budaya Barat telah menggerus nilai budaya dan karakter bangsa sehingga perlu adanya pembaruan dalam bidang pembelajaran sastra karena sastra memiliki peran penting dalam pembentukan karakter siswa yang bermoral
832
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
dan berbudaya. Sastra merupakan ejawantah budaya masyarakat yang berkembang dari waktu ke waktu. Selain itu, sastra dapat digunakan untuk membentuk mentalitas siswa karena di dalam sastra terkandung nilai-nilai budaya yang berpijak pada moral dan budi pekerti (Koentjaraningrat, 2002:74). Oleh karena itu, ada beberapa cara untuk mewujudkan mental siswa yang berkarakter pembangunan antara lain memberi teladan yang baik, rangsangan yang tepat, adanya persuasi dan informasi yang benar, serta pemberian pembimbingan siswa untuk masa yang akan datang. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Republik Indonesia No 58 tahun 2014 menjelaskan bahwa budaya dijadikan sebagai landasan filosofis. ―... Kurikulum 2013 memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk menimbulkan rasa bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa kini.‖ Berdasarkan kajian Kurikulum 2013 tersebut pembelajaran sastra berperan penting dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk manusia seutuhnya. Pembelajaran sastra di lapangan masih banyak mengalami masalah. Berdasarkan penelitian Swastika (2015) terhadap telaah model pembelajaran dalam penelitian mahasiswa UM tahun 1990-2010 diperoleh data bahwa permasalahan pembelajaran sastra antara lain (1) pembelajaran monoton dan kurang menarik karena berpusat kepada guru (ceramah) tentang definisi, ciri, contoh dan mengerjakan soal dalam buku teks/LKS; (2) kemampuan membaca, mengapresiasi karya sastra, dan minat belajar siswa terhadap sastra masih rendah; (3) penerapan model-model pembelajaran yang bervariatif hanya dilakukan ketika penelitian selanjutnya kembali pada metode lama (ceramah-tugas); (4) apresiasi sastra hanya terbatas pada tema, tokoh dan penokohan, serta alur; (5) media pembelajaran sastra kurang bervariasi; dan (6) evaluasi proses tidak dilakukan. Penelitian Widijanto (2007) juga menjabarkan beberapa permasalahan pembelajaran sastra di lapangan meliputi (1) kurangnya guru bahasa yang benar-benar memiliki kompetensi penguasaan sastra baik dalam proses pembelajaran maupun evaluasi; (2) jarang sekali guru mengajarkan secara intens dan memberikan pengalaman kepada siswa untuk berproses kreatif menulis karya sastra; (3) pengajaran sastra masih sering terjebak dalam pencapaian kognisi bahkan hafalan seperangkat teori sastra dan unsur intrinsik sastra; (4) pengajaran sastra cenderung diajarkan sepintas lalu. Berkaitan dengan masalah evaluasi, guru masih kesulitan melakukan evaluasi sesuai dengan karakterisik kompetensi yang dapat mengukur tingkat pencapaian yang sebenarnya (Ismani, 2010). Guru belum memahami apa dan bagaimana teknik evaluasi yang dijadikan pedoman dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan. Penyusunan alat evaluasi yang benar dengan menguji validitas dan reliabilitas instrumen juga belum banyak dilakukan oleh guru. Sedikitnya pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan evaluasi masih menjadi permasalahan bagi guru-guru yang hendak meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, artikel ini membahas problematik evaluasi pembelajaran sastra dikaitkan dengan kompetensi guru. Dengan mengetahui problematik tersebut, diharapkan solusi yang ditawarkan penulis dapat dikaji ulang dan digunakan sebagai bahan perbaikan evaluasi pembelajaran sastra. KOMPETENSI GURU Guru harus memiliki kompetensi untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan sesuai dengan standar kompetensi lulusan (SKL), mutu kehidupan dan menjaga martabat bangsa, beriman, berbudi pekerti luhur, berketerampilan, berkepribadian serta bertanggung jawab. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, guru profesional dituntut untuk memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, dijelaskan bahwa guru harus memiliki kompetensi antara lain kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial.
833
ISBN :978-602-17187-2-8
Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman guru terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya. Keempat kompetensi tersebut bersifat holistik dan integratif dalam kinerja guru. Oleh karena itu, secara utuh sosok kompetensi guru meliputi (a) pengenalan peserta didik secara mendalam; (b) penguasaan bidang studi baik disiplin ilmu (disciplinary content) maupun bahan ajar dalam kurikulum sekolah (c) penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi proses dan hasil belajar, serta tindak lanjut untuk perbaikan dan pengayaan; dan (d) pengembangan kepribadian dan profesionalitas secara berkelanjutan. Guru yang memiliki kompetensi dapat melaksanakan tugasnya secara profesional. PEMBELAJARAN SASTRA Pembelajaran sastra terangkum dalam matapelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan pada tingkat SD, SMP, sampai SMA/SMK. Pembelajarannya meliputi empat kegiatan yaitu menulis, membaca, mendengarkan, dan berbicara. Selama ini, pembelajaran sastra di sekolah belum berjalan secara optimal sehingga evaluasi proses maupun hasil pembelajaran tidak relevan. Rusyana (2003:3) menjelaskan bahwa terdapat tiga kompetensi dalam pembelajaran sastra antara lain (1) kemampuan mengapresiasi sastra dengan kegiatan mendengarkan, menonton, membaca hasil sastra; (2) kemampuan berekspresi sastra meliputi kegiatan melisankan hasil karya sastra dan menulis karya sastra; (3) kemampuan menelaah hasil karya sastra meliputi kegiatan menilai, meresensi, menganalisis hasil karya sastra. Dalam pembelajaran-pengajaran apresiasi sastra perlu penumbuhan sikap positif siswa sebagai calon apresiator. Penumbuhan sikap tersebut dilakukan dengan menghilangkan kesan dan suasana yang terlampau kaku; menunjukkan dan memberikan contoh manfaat dan nilai guna karya sastra; memberikan pengalaman-pengalaman berkesan, menyegarkan, memikat, dan menyenangkan. Selain itu, guru harus berani memilih bahkan menyediakan bahan ajar sastra yang fokus pada latihan-latihan yang merujuk pada keterampilan bersastra bukan hanya fokus pada pengetahuan. Dengan demikian, proses kreatif sastra dapat tercapai dengan proses evaluasi yang tepat bukan hanya fokus angka-angka dalam tes. EVALUASI PEMBELAJARAN SASTRA Pembelajaran sastra memerlukan evaluasi yang tepat agar landasan filosofis pendidikan dapat tercakup. Selain itu, penanaman nilai-nilai budaya bangsa dapat terealisasi dalam pembelajaran. Hal ini sangat penting karena evaluasi pembelajaran bukan hanya fokus pada nilai yang tertera dalam rapor, tetapi juga penilaian proses selama pembelajaran berlangsung. Menurut Afdhee (2007) selama ini guru mengadakan penilaian hanya untuk mencari angka atau nilai untuk anak didik. Sementara Ismani (2010) menjelaskan bahwa penyebab guru tidak melaksanakan evaluasi pembelajaran dengan baik dikarenakan (1) guru kurang menguasai materi dan kelas, (2) guru menyamaratakan kemampuan anak di dalam menyerap pelajaran, (3) guru kurang memotivasi anak dalam belajar, (4) guru enggan membuat langkah-langkah pembelajaran secara rinci, (5) guru kurang disiplin dalam mengatur waktu, dan (6) guru selalu mengutamakan pencapaian target kurikulum. Evaluasi merupakan kegiatan mengumpulkan data/informasi secara akurat baik kuantitatif maupun kualitatif, menganalisis atau mengolahnya, membandingkan dengan kriteria tertentu dan diakhiri dengan pengambilan keputusan (Harsiati, 2011: 6). Pengambilan keputusan tersebut didasarkan pada tes dan pengukuran yang telah dilakukan sebelumnya berdasarkan evaluasi pembelajaran dan hasil. 834
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Evaluasi mencakup evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran. Evaluasi hasil belajar menekankan kepada informasi tentang seberapa perolehan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan. Berbeda dengan evaluasi hasil belajar, evaluasi pembelajaran merupakan proses penilaian sistematis dalam membantu siswa mencapai tujuan pengajaran secara optimal. Dengan demikian, evaluasi hasil belajar menetapkan baik buruknya hasil dari kegiatan pembelajaran, sedangkan evaluasi pembelajaran menetapkan baik buruknya proses kegiatan pembelajaran. KOMPETENSI GURU DALAM MENGEVALUASI PEMBELAJARAN SASTRA Kompetensi guru dalam mengevaluasi mencakup kemampuan guru dalam merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran memiliki indikator esensial: merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery learning); dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum. Kemampuan guru dalam penguasaan teknik evaluasi ditunjukkan dari kemampuannya mendesain pola evaluasi, menyusun instrumen, menetapkan sasaran, melihat hasil yang diperoleh siswa, serta pemilihan tindakan yang tepat sebagai upaya untuk menindaklanjuti hasil penilaian/pengukuran. Tindakan tersebut dapat berupa perbaikan dan pengayaan sesuai dengan variasi yang dimiliki oleh siswa secara individual. Evaluasi merupakan kegiatan yang harus dilakukan oleh guru untuk mengetahui tingkat pencapaian materi yang diberikan dalam kegiatan belajar mengajar serta memberikan feedback dan feed forward. Oleh karena itu, evaluasi mempunyai posisi strategis karena dapat dijadikan sebagai dasar dalam penentuan tujuan pembelajaran. Evaluasi dapat dijadikan alat untuk mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran telah tercapai. Dalam hal ini penilaian juga dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan kemajuan hasil belajar. Evaluasi dalam pembelajaran sastra dilakukan melalui evaluasi hasil dan proses. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, penilaian yang digunakan dapat berbentuk tes maupun nontes (Harsiati, 2013:128). Selain itu, pengembangan alat penilaian pembelajaran apresiasi sastra juga digunakan penilaian proses dan penilaian hasil. Menurut Harsiati (2013) sasaran penilaian apresiasi sastra dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu responsi reseptif dan responsi ekspresif. Indikator kemampuan responsi reseptif mencakup kemampuan (a) menentukan unsur intrinsik, (b) menganalisis segmen, hubungan, dan organisasi keseluruhan karya sastra (baik isi maupun bentuk), (c) merefleksikan secara personai, (d) menilai karya sastra. Berdasarkan rincian tersebut, kemampuan responsi reseptif terdiri atas kegiatan mengenal, memahami, menganalisis, membandingkan, menggeneralisasi, merefleksi, dan menilai bentuk maupun isi karya sastra. Kemampuan responsi ekspresif menuntut siswa melakukan rekreasi sastra (Harsiati, 2013:129). Rekreasi sastra merupakan kemampuan musikalisasi puisi, teaterikal cerpen, dramatisasi hasil apresiasi terhadap naskah drama. Penilaian proses dilaksanakan dengan menggunakan alat penilaian mencakup portofolio, lembar pengamatan, dan jurnal refleksi. Portofolio apresiasi dan proses kreatif sastra memberikan informasi tentang perkembangan apresiasi sastra dalam kurun waktu tertentu. Sementara lembar pengamatan digunakan untuk mengetahui keterlibatan siswa dalam pembelajaran, sikap yang muncul, kesulitan yang dialami pada waktu pembelajaran. Jurnal refleksi memberikan informasi tentang langkah yang dilakukan siswa untuk mencapai hasil, kesulitan yang dirasakan, dan kekuatan yang dirasakan siswa dari sudut pandang siswa. Berkaitan dengan kompetensi kepribadian, guru harus berwibawa dengan memiliki indikator esensial: memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani. Dalam pembelajaran sastra perilaku tersebut tercermin pada motivasi guru untuk membimbing siswa melakukan apresiasi sastra dan proses kreatif. Selain itu, guru dapat memberikan contoh keikutsertaan dalam proses kreatif dengan turut andil dalam menulis sastra atau mengekspresikan sastra. Berkaitan dengan kompetensi profesional, guru harus memiliki penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya. Dalam pembelajaran sastra, guru harus
835
ISBN :978-602-17187-2-8
menguasai konsep sastra, apresiasi sastra, dan proses kreatif sastra sehingga mampu memberikan wawasan dan pengetahuan yang jelas dan terarah kepada siswa dengan cara yang mudah dipahami. Dengan cara yang tepat dalam menjelaskan materi sastra, siswa termotivasi untuk mengikuti pembelajaran sehingga pembelajaran dapat berjalan secara komunikatif dan interaktif. Berkaitan dengan kompetensi sosial, guru harus memiliki bekal dalam bersosialisasi yang baik dengan siswa. Sosialisasi tersebut diarahkan pada penilaian proses yang dilakukan guru sehingga guru memiliki catatan yang benar tiap-tiap siswa yang diajar. Dengan catatan yang benar, lengkap, dan bertanggung jawab mampu memberikan solusi tersendiri jika siswa mengalami kesulitan belajar sastra. PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN SASTRA BERKAITAN DENGAN KOMPETENSI GURU DALAM MENGEVALUASI PEMBELAJARAN SASTRA Keprofesionalan guru menjadi perhatian masyarakat terkait dengan kompetensi lulusan dan fasilitas materi yang diberikan pemerintah kepada guru. Kompetensi lulusan dapat diketahui berdasarkan hasil evaluasi yang selama ini dilaporkan guru kepada orang tua siswa. Akan tetapi, evaluasi tersebut hanya merujuk pada angka sehingga orang tua dan siswa belum memahami deskripsi angka-angka tersebut. Namun, terdapat beberapa problematik yang perlu diselesaikan dalam evaluasi pembelajaran sastra. Permasalahan pembelajaran bahasa Indonesia terkait kompetensi guru dalam mengevaluasi pembelajaran sastra antara lain (1) guru belum menerapkan evaluasi proses pembelajaran sastra; (2) guru kurang tepat dalam menentukan rubrik penilaian yang sesuai dengan kompetensi dasar; (3) alat evaluasi pembelajaran sastra belum relevan; (4) evaluasi hanya didasarkan pada hasil tes pembelajaran sastra yang berupa angka dan belum terdapat deskripsi yang jelas terhadap angka tersebut; (5) guru belum dapat membelajarkan apresiasi sastra dan proses kreatif sastra secara komunikatif dan kurangnya metode pembelajaran sastra sehingga evaluasi pembelajaran sastra kurang maksimal. SOLUSI Berdasarkan problematik pembelajaran bahasa Indonesia berkaitan dengan kompetensi guru dalam mengevaluasi pembelajaran sastra yang dikemukakan sebelumnya, dirumuskan beberapa solusi untuk mengatasinya. Solusi terhadap permasalahan tersebut antara lain (1) Guru harus mengubah mindset mengenai evaluasi pembelajaran sastra bahwa penilaian berupa hasil dan proses; (2) Guru harus menerapkan evaluasi proses pembelajaran sastra; (3) Guru membuat rancangan rubrik penilaian kompetensi bersastra, diuji dan ditelaah terlebih dahulu kepada ahli (pengawas, rekan kerja, bahkan siswa) sebelum digunakan untuk menilai; (4) Alat evaluasi apresiasi sastra dan proses kreatif sastra perlu dibuat secara paten dan direvisi secara berkelanjutan sehingga pengukuran dan penilaian valid dan reliabel untuk masing-masing KD; (5) Evaluasi menunjukkan hasil tes apresiasi dan proses kreatif sastra berupa angka dan dideskripsikan secara rinci untuk menjelaskan kriteria masing-masing angka pencapaian hasil tes sastra; dan (6) Pemerintah menyelenggarakan pelatihan untuk peningkatan kompetensi guru dalam evaluasi pembelajaran. KENDALA Sejumlah problematik dan solusi dalam pembelajaran bahasa Indonesia berkaitan dengan kompetensi guru dalam mengevaluasi pembelajaran sastra seperti yang dikemukakan sebelumnya masih menghadapi sejumlah kendala dalam penerapannya. Kendala-kendala yang dihadapi antara lain (1) sebagian guru masih menggunakan pola pikir lama yang menjadikan angka sebagai alat evaluasi utama; (2) guru belum dapat mengubah dan menerjemahkan secara tepat angka-angka yang diperoleh siswa ketika unjuk kerja sehingga belum ada deskripsi terhadap hasil evaluasi; (3) rancangan rubrik penilaian kompetensi bersastra hanya dibuat ala kadarnya dan belum pernah diuji kevalidan dan kereliabelan instrumen; (4) sebagian guru enggan belajar kembali teori dan konsep evaluasi pembelajaran secara maksimal sehingga evaluasi proses dan evaluasi hasil belum terarah; dan (5) pemerintah belum menyelenggarakan pelatihan peningkatan kompetensi guru dalam evaluasi pembelajaran. SIMPULAN 836
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Kemampuan guru dalam penguasaan teknik evaluasi ditunjukkan dari kemampuannya mendesain pola evaluasi, menyusun instrumen, menetapkan sasaran, melihat hasil yang diperoleh siswa, serta pemilihan tindakan yang tepat sebagai upaya untuk menindaklanjuti hasil penilaian/pengukuran. Tindakan tersebut dapat berupa perbaikan dan pengayaan sesuai dengan variasi yang dimiliki oleh siswa secara individual. Problematik pembelajaran bahasa Indonesia berkaitan dengan kompetensi guru dalam mengevaluasi pembelajaran apresiasi dan proses kreatif sastra antara lain 1) guru belum menerapkan evaluasi proses pembelajaran, 2) guru kurang tepat dalam menentukan rubrik penilaian yang sesuai dengan kompetensi dasar, 3) alat evaluasi apresiasi dan proses kreatif sastra belum relevan, 4) evaluasi hanya didasarkan pada hasil tes yang berupa angka. Solusi terhadap permasalahan evaluasi pembelajaran apresiasi dan proses kreatif sastra berkaitan dengan kompetensi guru dapat dilakukan jika terdapat kerjasama yang baik antara guru dan siswa, guru dan lembaga, guru dan orang tua siswa. Solusi tersebut dapat terealisasi dengan memperbaiki terlebih dahulu kompetensi guru baik kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional. Namun, solusi tersebut menghadapi beberapa kendala yang perlu dikaji agar evaluasi pembelajaran sastra dapat diterapkan dengan baik. DAFTAR RUJUKAN Afdhee. 2007. Kegagalan Guru dalam Melakukan Evauasi. (Online), Diakses dari Homepage pendidikan Network pada tanggal 13 April 2015. Endraswara, Suwardi. 2005. Metode & Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka. Harsiati, Titik. 2011. Penilaian dalam Pembelajaran (Aplikasi pada Pembelajaran Membaca dan Menulis). Malang: UM Press. Harsiati, Titik. 2013. Asesmen Pembelajaran Bahasa Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang Press. Ismani, dkk. 2010. Laporan Penelitian: Analisis Kinerja Guru Akuntansi dalam Melaksanakan Evaluasi Pembelajaran. (Online), (http://www.uny.ac.id), diakses 11 April 2015. Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Swastika, Ika Afika Aria, Wahyudi Siswanto dan Ida Lestari. Tren Pembelajaran Sastra: Telaah Model Pembelajaran dalam Penelitian Mahasiswa Universitas Negeri Malang Tahun 1990-2010. Jurnal-online.um.ac.id diakses 10 Oktober 2015 Undang-undang. (2003). Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dambil pada tanggal 10 Juli 2006, dari http://www.depdiknas.go.id Wahyuni, Sri dan Ibrahim, Abd. Syukur. 2012. Asesmen Pembelajaran Bahasa. Bandung: Refika Aditama. Widijanto, Tjahjono. 2007. Pengajaran Sastra yang Menyenangkan. Bandung: Pribumi Mekar.
MENULIS TEKS CERITA MORAL/FABEL DENGAN TEKNIK COPY THE MASTER Ahmad Fadilahtur Rahman Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Pembelajaran menulis sangat penting bagi siswa menengah pertama. Menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa yang digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Menulis merupakan suatu proses yang dilakukan oleh penulis untuk menyampaikan gagasannya melalui media tulisan. Menyusun teks cerita moral/fabel merupakan salah satu materi pelajaran pada kurikulum 2013 yang diajarkan di kelas VIII. Fabel adalah cerita binatang yang mempunyai prilaku seperti manusia. Fabel berguna untuk menanamkan nilai-nilai moral pada anak. Teknik copy the master adalah
837
ISBN :978-602-17187-2-8
suatu teknik atau cara yang digunakan untuk meniru ahlinya/master yang dihadirkan. Langkah-langkah pembelajaran menulis fabel dengan teknik copy the master: (1) siswa diberi contoh model fabel dari tulisan para ahli. (2) siswa diminta menganalisis tema, tokoh, latar, alur, dan amanat yang ada dalam fabel. (3) siswa diminta menentukan perubahan tokoh, latar, dan isinya hingga menjadi fabel yang baru yang berbeda dengan aslinya. Kata kunci: menulis fabel, copy the master.
Pembelajaran keterampilan menulis penting dilatih oleh siswa sekolah menengah pertama, karena keterampilan menulis menjadi tujuan dalam setiap pembelajaran bahasa. Salah satu indikator keberhasilan siswa di sekolah ditentukan dengan keterampilan menulis. Keterampilan menulis akan berdampak pada jenjang pendidikan setelahnya. Menurut Tarigan (1982:3) mengatakan bahwa menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa yang digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak bertatap muka dengan orang lain. Keterampilan menulis adalah kemampuan mengungkapkan gagasan, pendapat, dan perasaan kepada pihak lain melalui bahasa tulis. Menurut, Parera (1993: 3) menyatakan menulis merupakan suatu proses. Oleh karena itu, menulis harus mengalami tahap prakarsa, tahap pelanjutan, tahap revisi, dan tahap pengakhiran. Sejalan dengan pendapat tersebut Akhadiah (1986: 11) menulis merupakan suatu proses yang dilakukan oleh penulis untuk menyampaikan gagasannya melalui media tulisan. Menulis atau sering juga disebut mengarang merupakan kegiatan yang menuntut beberapa kemampuan sekaligus. Artinya, ketika menulis, kita harus memiliki pengetahuan tentang apa yang akan ditulis. Kita juga harus tahu bagaimana cara menuliskannya. Pertama, pengetahuan tentang isi karangan, sedangkan yang kedua, menyangkut aspek-aspek kebahasaan dan teknik penulisan. Contohnya, menulis buku nonfiksi berbeda aspek kebahasaannya dengan menulis cerita fiksi. Menulis cerpen pun berbeda dengan menulis cerita binatang atau fabel. Teks cerita moral/fabel merupakan salah satu materi pelajaran pada kurikulum 2013yang diajarkan di kelas VIII. Fabel adalah cerita binatang yang mempunyai prilaku seperti manusia. Fabel berguna untuk menanamkan nilai-nilai moral pada anak. Pembelajaran cerita moral/fabel yang diterapkan sangat bermanfaat bagi siswa. Banyak pakar yang menyatakan betapa pentingnya mendongeng bagi anak di antaranya: Chatt and Shaw (1988) menyatakan ada hubungan antara kegiatan mendongeng dengan kesuksesan anak mengembangkan kemampuan bahasa dan keterampilan berfikir logis anak. selanjutnya Coles (1989) menyatakan dongeng dapat meningkatkan daya ingat, kemampuan mengingat kembali, aplikasi konsep pada situasi baru, pemahaman, semangat belajar pada topik pelajaran. Pendapat lain Eagle (1995) menyatakan anak-anak dapat belajar memahami dongeng sebelum mereka mampu berpikir logis, sebelum dapat menulis dan membaca. Mendongeng merupakan kegiatan penting sebagai jembatan sampai anak dapat memahami cerita dan berpikir logis. Begitu juga dengan Hanson (2004) menyatakan mendongeng merupakan kegiatan yang paling efektif bagi pengembangan kemampuan berbahasa. selanjutnya Taylor (2001) menyatakan mendongeng merupakan sumber belajar untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis (kompasiana.com : 2013). Dari pendapat para pakar di atas, manfaat dongeng dalam pembelajaran sangat beragam. Mendongeng membuat siswa dapat berpikir logis dan berpikir kritis. Selain itu fabel atau dongeng dapat meningkatkan keterampilan -keterampilan kebahasaan yang lain yaitu berbicara, mendengar, membaca dan menulis. Saat pembelajaran Bahasa Indonesia kelas VIII pada teks cerita moral/fabel, khususnya kompetensi dasar 4.2 Menyusun teks cerita moral/fabel, guru merasa kesulitan dalam mengajarkan menulis teks cerita/fabel. Guru hanya mengajarkan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh, setting, alur, amanat) teks cerita moral/fabel dan pengenalan struktur teks cerita moral/fabel yaitu (orientasi, komplikasi, resolusi, dan koda). Siswa diminta membaca teks fabel, menganalisis struktur fabel lalu diperintah untuk menulis fabel tanpa bimbingan bagaimana cara menulis teks cerita fabel. Pembelajaran menulis fabel seperti di atas kurang menarik siswa. Ide siswa untuk menulis fabel masih belum tergambar dengan jelas. Terkadang juga isi cerita fabel yang ditulis oleh siswa tidak relevan dengan judul. Ditambah lagi minat siswa dalam pelajaran menulis sangatlah lemah. Hal ini diperkuat dengan pendapat Badudu (1985) bahwa keterampilan 838
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
menulis siswa masih rendah ditandai dengan (1) frekuensi kegiatan menulis siswa yang dilakukan siswa masih rendah, (2) kualitas karya tulis siswa masih buruk, (3) rendahnya antusiasme dalam mengikuti pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya dan pembelajaran menulis pada khususnya, dan (4) rendahnya kreativitas siswa pada saat belajar- mengajar. Masalah-masalah tersebut harus diupayakan untuk diatasi. Guru diharapkan dapat memilih metode yang lebih menekankan pada pembelajaran langsung dan kongkrit, sehingga kemampuan menulis siswa lebih meningkat. Guru dapat menerapkan teknik-teknik pembelajaran yang dapat memberikan peluang kepada siswa lebih aktif, kreatif, dan inovatif. Teknik tersebut diharapkan dapat membuat siswa mempunyai keyakinan bahwa dirinya mampu belajar dan mampu memanfaatkan potensi-potensi yang dimilikinya. Salah satu alternatif teknik pembelajaran yang mengacu pada pembelajaran menulis kreatif adalah teknik copy the master. Ide ini diperkuat pendapat bahwa teknik copy the master adalah teknik pemodelan yang dekat dengan calon penulis. Dengan modal model yang dekat dengan penulis berarti memudahkan penulis untuk menulis. Dengan menggunakan teknik ini siswa mendapat pengalaman langsung karena mendapat kesempatan mengamati atau mencermati model tulisan, sehingga pemahaman siswa tentang konsep lebih kongkrit. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa teknik copy the master dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa. penelitian-penelitian tersebut antara lain sebagai berikut. Ari (2012) dalam tesisnya yang berjudul Upaya Meningkatkan Pembelajaran Menulis Pantun Melalui Teknik Copy The Master Siswa Kelas VII SMP Darul Falah Tahun 2012/2013. Terbukti dalam penelitian tersebut teknik Copy The Master dapat meningkatkan kemampuan menulis pantun. Kurnianingtyas ( 2015) dalam artikelnya yang berjudul Penerapan Teknik Copy The Master untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Cerpen Siswa Kelas VII-B MTs. Darun Najah Petahunan Lumajang. Terbukti dalam penelitian tersebut teknik Copy The Master dapat meningkatkan keterampilan menulis cerpen pada siswa kelas VII. TEKS CERITA MORAL/ FABEL Fabel adalah cerita yang menggambarkan watak dan prilaku manusia yang diperankan oleh binatang. Fabel digunakan sebagai cerita dalam rangka mendidik masyarakat. Cerita fabel biasanya dijadikan sebagai cerita pengantar tidur anak-anak. Cerita fabel ini terutama ditujukan untuk mendidik anak-anak yang berada dalam masa-masa emas umur 4-7 tahun sehingga, sangat berperan penting untuk menanamkan karakter melalui bacaan yang berisi moral dan budi pekerti. Fabel merupakan cerita rakyat kategori dongeng. Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan tidak terikat oleh waktu maupun tempat, biasanya dilakukan dengan cara lisan. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran moral atau bahkan sindiran (Danandjaja, 2000:83). Hal tersebut menunjukkan bahwa dongeng merupakan cerita yang fiktif khayalan, namun memiliki nilai-nilai moral ajaran kebaikan universal bagi manusia. Secara etimologi kata ―moral” berasal dari bahasa Latin Mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral yang demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan (Salam, 2000:2). Menurut kamus Bahasa Indonesia untuk pelajar (2011:331) mengartikan moral sebagai ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan dan kelakuan (akhlak, kewajiban dan sebagainya). Semua nilai moral tersebut tentu tercermin pada tokoh cerita dalam teks fabel yang diperankan oleh binatang yang berperilaku seperti manusia. TEKNIK COPY THE MASTER Menurut Ismail (2005: 11) teknik copy the master adalah suatu teknik atau cara yang digunakan untuk meniru ahlinya/master yang dihadirkan, yang dimaksud dengan meniru bukan meniru sama persis sesuai master yang diberikan, akan tetapi cara, teknik, atau metode yang ditiru. Menurut Alwasilah (2005: 43) mengungkapkan bahwa kemampuan meniru bias dikembangkan melalui metode latihan. Metode latihan yang dimaksud yaitu teknik copy the
839
ISBN :978-602-17187-2-8
master. teknik copy the master merupakan salah satu cara berlatih menulis dengan cara yang menyenangkan. teknik ini sama dengan membuat imitasi ragam tulisan seorang ahli. Imitasi atau membuat tiruan merupakan salah satu metode pengajaran retorika yang fundamental pada zaman Romawai Kuno dan Renaissance. Imitasi pada zaman itu yaitu menyalin master yang disediakan. Ketika menyalin, mereka diajari untuk menguraikan dan menemukan sarana-sarana dari bagian-bagian master, yang membawa kepada bermacam jenis analisis retorika dari model-model mereka. Dari model itu dapat diambil dan dikembangkan kerangka, strartegi, dan pola susunannya. Teknik copy the master adalah suatu teknik dalam pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk meniru atau mencontoh master atau model dari seorang ahli. Dalam pembelajaran, siswa langsung disajikan sebuah contoh tulisan yang baik (master) kemudian siswa meniru bentuk master tersebut (Marahimin, 2005:20). Teknik ini merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam proses belajar mengajar yang menuntut siswa meniru sebuah model/ master dan mengembangkannya berdasarkan ide kreatif masing-masing siswa. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik copy the master adalah teknik yang menghadirkan contoh master atau tulisan orang yang sudah ahli dibidangnya, kemudian meniru ide, cara, atau teknik dari master yang sudah ada. Meniru bukan berarti menjiplak dari sebuah master, melainkan master tersebut sebagai contoh untuk memberi pengalaman dan imajinasi kepada siswa secara nyata atau konkret. Teknik ini tidak selamanya digunakan sebagai sarana menulis. Namun teknik ini hanya untuk ―merangsang‖ latihan dari menulis. Dengan teknik ini diharapkan siswa menjadi semangat berlatih dan berlatih mengolah dan mengembangkan ide dalam menulis. Langkah-langkah Latihan Menulis Teks Moral/Fabel dengan Teknik Copy The Master 1) Siswa diminta membaca, menikmati, dan menghayati sebuah fabel yang menarik sebagai master. Fabel yang dibaca siswa diharapkan banyak mengandung nilai-nilai moral. (seperti persahabatan, kejujuran, ketertiban, tanggung jawab, saling menolong). Fabel yang akan dijadikan model diharapkan ditulis oleh penulis profesional, dan sebaiknya tulisan yang telah dipublikasikan, supaya kualitasnya terjamin. Dengan begitu, siswa akan memiliki model tulisan yang akan menjadi ukuran tulisan yang akan mereka buat. 2) Usahakan suasana dapat membuat siswa asyik menikmati membaca. 3) Pelajari fabel yang sudah dibaca tadi dengan seksama, lalu diskusikan fabel itu bersamasama. 4) Berdasarkan teks fabel tersebut buat analisis dan kerangkanya berdasarkan unsur-unsur intrinsik (tema, amanat, alur, tokoh dan penokohan, tempat, bahasa, dan sudut pandang. 5) Berdasarkan hasil analisis teks fabel tersebut, siswa diminta menentukan perubahan imitasi fabel secara bertahap yang akan dibuat, dimulai dari yang mudah yaitu: (1) mengubah nama tokoh fabel (2) mengubah nama latar tempat dan waktu (3) mengubah alur (4) mengubah isi dan mengembangkan cerita fabel sehingga menjadi fabel yang baru yang berbeda dengan aslinya. Contoh Pembelajaran Menulis Fabel dengan Teknik Copy The Master Berikut contoh tahapan-tahapan aktivitas siswa dalam menulis fabel dengan teknik copy the Master. Fabel Master Latihan menulis Teknik Unsur yang Copy The Master diubah Mengubah Kelinci dan Kura-Kura Anjing dan Siput Di sebuah hutan kecil Di sebuah hutan kecil di nama tokoh di pinggir desa ada seekor pinggir desa ada seekor Anjing fabel kelinci yang sombong. Dia yang sombong. Dia suka mengejek suka mengejek hewan-hewan hewan-hewan lain yang lebih lain yang lebih lemah. Hewan- lemah. Hewan-hewan lain seperti hewan lain seperti kura kura, kura kura, siput, semut, dan hewansiput, semut, dan hewan- hewan kecil lain tidak ada yang hewan kecil lain tidak ada suka pada kelinci yang sombong 840
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
yang suka pada kelinci yang itu. sombong itu. Di sebuah hutan kecil di pinggir desa ada seekor kelinci yang sombong. Dia suka mengejek hewan-hewan lain yang lebih lemah. Hewanhewan lain seperti kura kura, siput, semut, dan hewanhewan kecil lain tidak ada yang suka pada kelinci yang sombong itu. (sumber:http://ceritaanakblog. wordpress.com).
Suatu hari di tengah Mengubah hutan ada seekor anjing yang nama latar sombong. Dia suka mengejek tempat hewan-hewan lain yang lebih lemah. Hewan-hewan lain seperti, siput, semut, kura-kura dan hewanhewan kecil lain tidak ada yang suka pada Anjing yang sombong itu. (sumber:http://ceritaanakblog.word press.com).
Demikianlah contoh sebagian tahapan-tahapan pembelajaran copy the master. Hal tersebut terus dilakukan oleh siswa hingga fabel master berubah menjadi fabel baru yang berbeda sama sekali dengan aslinya. SIMPULAN Pembelajaran keterampilan menulis sangat penting dalam kehidupan siswa menengah pertama. Keterampilan menulis harus dilatih dengan sungguh-sungguh melalui teknik-teknik pembelajaran yang aktif, kreatif, dan inovatif apalagi menulis kreatif sastra seperti menulis cerita moral/fabel. Salah satu alternatif dari teknik pembelajaran kreatif adalah tehnik copy the master. Teknik copy the master ini adalah teknik meniru dari tulisan yang menjadi model/masternya, namun peniruan tersebut bukanlah menjiplak atau plagiasi. Tetapi meniru yang dimaksud dengan cara mengubah, memodifikasi, dan mengembangkan ide-ide, kerangka yang ada pada master sehingga menghasilkan tulisan yang berbeda dengan aslinya. Disarankan untuk para guru dalam mengajarkan menulis khususnya menulis cerita moral/fabel dengan menggunakan teknik copy the master. Teknik ini dapat dijadikan alternatif melatih dan merangsang siswa menulis cerita moral/fabel. DAFTAR RUJUKAN Akhadiah, Sabarti. 1986. Modul Menulis 1. Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan Universitas Terbuka Alwasilah, A.C.2005. Pokoknya Menulis. Bandung : PT Kiblat Buku Utama Badudu. J.S. 1985. Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta. Gramedia Danandjaja, James. 2000. Folklor Indonesia Ilmu Gosip dan Dongeng. Jakarta: Graffit. Press. Kamus Bahasa Indonesia (2011:331) Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pelajar. Pusat Pengembangan Bahasa. http://edukasi.kompasiana.com/2013/06/11/fabel-dongeng-hewan-menanamkan-nilai-nilaipada-anak-567744.html. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2015 Marahimin, Ismail. 2005. Menulis Secara Populer. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya Parera, Daniel Jos. 1993. Menulis Tertib dan Sistematik. Jakarta: Erlangga. Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial: Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta:Rineka Cipta. (http//ceritaanakterbaru.blog.wordpress.co.id-10-2014), diakses tanggal 23 Oktober 2015. Tarigan, Henry Guntur. 1982. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
841
ISBN :978-602-17187-2-8
MENUMBUHKAN JIWA JURNALISTIK SISWA MELALUI PEMBELAJARAN BERMAKNA BAHASA INDONESIA Muzakkir Munzir Mahasiswa S2 Pendidikan bahasa Indonesia P2TK UM
[email protected]
Abstrak: jiwa jurnalistik diupayakan dapat ditumbuhkan melalui pembelajaran bahasa Indonesia yang bermakna. Pembelajaran bermakna merupakan kegiatan belajar yang di dalamnya mengkaji konsep-konsep yang susuai dengan kebutuhan belajar siswa. Hal tersebut ditempuh dengan metode, strategi dan materi sebagai berikut: a) membiasakan membaca kritis, b) menulis berita dengan pengamatan langsung, c) mengobtimalkan pembelajaran menulis laporan hasil observasi dan laporan perjalanan, d) kreatif menulis dan berlatih mengembangkan paragraf, e) melibatkan media, f) menumbuhkan sikap gemar membaca, dan, g) menanamkan karakter. Kata kunci: jiwa jurnalistik, pembelajaran bermakna Pembelajaran bermakna (meaningful learning) merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Menurut Davis (1993), pembelajaran adalah kegiatan aktif proses membangun fenomena yang ada di lingkungan, menghubungkan pengetahuan yang dikuasai dengan pengetahuan yang baru, pengetahuan akan menjadi bermakna ketika ditampilkan dalam beberapa kerangka kerja. Menurut Ausebel (1978), faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna ialah struktur kognitif, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi yang baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif tersebut stabil, jelas, dan teratur dengan baik maka arti-arti yang sahih (valid) dan jelas akan timbul, dan cenderung bertahan. Syarat terwujudnya pembelajaran bermakna adalah materi yang dipelajari harus bermakna secara potensial, memiliki kebermaknaan logis selain itu syarat lainnya adalah siswa yang akan belajar harus mempunyai niat/tujuan dan kesiapan untuk melaksanakan belajar bermakna. Tujuan belajar siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna. Banyak siswa yang mengikuti pembelajaran nampaknya tidak relevan dengan kebutuhan mereka pada saat itu. Dalam pembelajaran yang demikian, materi dipelajari secara hafalan (Roser, 1984). Kondisi pembelajaran bahasa Indonesia memungkinkan terjadinya penciptaan makna secara kontekstual berdasarkan pada pengalaman awal siswa sebagai anggota suatu masyarakat. Konstruktivisme merupakan teori tentang belajar dan teori tentang penciptaan makna. Piaget (1970) yang menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara pengetahuan yang telah dimiliki, diketahui, dan dipercayai, dengan fenomena, ide, atau informasi baru yang dipelajari. Setiap siswa membawa pengertian dan pengetahuan awal yang sudah dimilikinya ke dalam setiap proses belajar, yang harus ditambahkan, dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh informasi baru yang dijumpai dalam proses belajar. Pembelajaran bermanakna bahasa Indonesia memiliki potensi untuk menumbuhkan jiwa jurnalistik pada siswa. Melalui pembelajaran yang berkesan diharapkan siswa dapat menggemari dunia jurnalisitik lalu timbul minat untuk mempelajari lebih dalam. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan pikiran dan angan angan. Jiwa menurut penulis dalam makalah ini perasan batin akan kecintaan dan kemampuan terhadap sesuatu yakni terhadap dunia jurnalistik. Jurnalistik itu sendiri merupakan kegiatan untuk menyampaikan pesan/berita kepada khalayak ramai (massa), melalui saluran media, entah media tadi media cetak maupun elektronika (Assegaff, 1982). Menurut Mursito jurnalistik kegiatan mencari, mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menyiarkan informasi.
842
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Mengingat kemajuan dunia informasi, teknologi dan jurnalistik dan saat ini yang sangat pesat dan terbuka luas dianggap perlu menumbuhkan jiwa jurnalistik pada siswa sejak dini melalui pembelajaran. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang diakses di www.apjii.or.id pengguna internet di indonesia pada tahun 2015 mencapai 63 juta pengguna. Berdasarkan angka tersebut 64 % diantaranya berusia 12-34 tahun. Berdasarkan data tersebut menumbuhkan jiwa jurnalistik penting bukan hanya sebagai literasi media pada siswa tapi juga diharapkan dapat memunculkan sumber daya jurnalis yang unggul kelak dari kalangan siswa . Pembelajaran hendaknya menumbuhkan kesadaran bahwa bahasa Indonesia merupakan kebutuhan hidup untuk dapat hidup dalam masyarakat global (Suyitno, 2011) Menumbuhkan jiwa jurnalistik pada anak melalui pembelajaran bermakna bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai model dan strategi. Cakupan tersebut dikemukakan dalam makalah ini. Nilai - Nilai Jurnalistik yang Patut Ditanamkan pada Jiwa Siswa Dalam menyeberluaskan informasi kepada publik, jurnalis memegang sembilain eleman menjadi tugas jurnalistik; a) menyampaikan kebenaran, b) memiliki loyalitas kepada masyarakat, c) memiliki disiplin untuk melakukan verivikasi, d) memiliki kemandirian terhadap apa yang diliputnya, e) memiliki kemandirian untuk memantau kekuasaaan, f) menjadi forum bagi kritik dan kesepakatan publik, g) menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik, h) membuat berita secara komprehensif dan proporsional, dan, i) memberi keleluasaan wartawan untuk mengikuti nurani mereka. Berdasarkan buku Panduang Kerja Jurnalistik yang diterbitkan Berita Satu Media Holding pada tahun 2011, nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam pemberitaan adalah: a. Pro-NKRI, Pancasila, UUD, dan Pluralisme menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mengawal pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD), serta meningkatkan penghargaan terhadap perbedaan. Keempat pilar bangsa ini menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia. Mendorong terwujudnya bangsa yang berdaulat di bidang politik, sejahtera di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. b. Pro-demokrasi Mendorong kehidupan yang lebih demokratis, yang mewujudkan keterlibatan masyarakat secara luas dalam berbangsa dan bernegara. c. Pro-kebenaran dan keadilan. Menjunjung tinggi objektivitas. Kebenaran hanya bisa diraih apabila media massa objektif. Keadilan yang dijunjung tinggi bukanlah sekadar kesamarataan, melainkan proporsionalitas. d. Pro-supermasi hukum Menjunjung tinggi rule of law dan penegakan hukum demi terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat serta keadilan. e. Pro-perubahan Mendorong upaya menuju perubahan yang memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia. f. Pro-bisnis Mendorong kegiatan usaha masyarakat dalam perekonomian. g. Pro-pertumbuhan Mendorong kegiatan usaha yang menopang pertumbuhan ekonomi. h. Pro-meritokrasi Mendorong suatu proses seleksi pemimpin dengan memberikan kesempatan dan penghargaan kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan secara fair. i. Pro-lingkungan Mendorong upaya-upaya penghargaan terhadap lingkungan yang merupakan unsur penopang utama bagi kehidupan umat manusia. j. Pro-konservatisme Menjunjung tinggi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya secara universal, seperti menolak perceraian, perkawinan sejenis, pornografi, dan narkoba. Pembelajaran Menumbuhkan Jiwa Jurnalistik Pendidikan merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang menuju kepribadian mandiri untuk dapat membangun dirinya sendiri dan
843
ISBN :978-602-17187-2-8
masyarakat. Konsekuensinya proses pendidikan harus mampu menyentuh dan mengendalikan berbagai aspek perkembangan manusia. Di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, yang menyebutkan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berimandan bertakwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berikut dikemukakan sejumlah metode, teknik dan materi yang dapat dilakukan guru dalam pembelajaran bermakna bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tersebut diharapkan mampu menumbuhkan jiwa jurnalistik siswa. Membiasakan Membaca Kritis Membaca kritis (critical reading) adalah sejenis membaca yang dilakukan secara bijaksana, penuh tenggang hati, mendalam, evaluatif, serta analitis, dan bukan hanya mencari kesalahan (Albert dalam Tarigan 1979). Kemampuan membaca dan berpikir secara kritis juga menuntut agar kita sadar akan sikap-sikap serta prasangka-prasangka kita sendiri dan unsurunsur lain dalam latar belakang pribadi kita yang mungkin mempengaruhi kegiatan membaca dan berpikir kita. Adapun teknik-teknik yang digunakan untuk meningkatkan setiap kritis adalah a. Kemampuan mengingat dan mengenali misalnya mengenali ide pokok paragraf, mengenali tokoh-tokoh cerita dan sifat-sifatnya, menyatakan kembali fakta-fakta atau detil bacaan. b. Kemampuan memahami/menginterpretasi makna tersirat. Tidak semua gagasan yang terdapat dalam teks bacaan itu dinyatakan secara tersurat. c. Kemampuan menganalisis. Kemampuan menganalisis ialah kemampuan pembaca melihat komponen-komponen atau unsur-unsur yang membentuk sebuah kesatuan. d. Kemampuan menilai isi bacaan. Kemampuan menilai isi dan penataan bacaan secara kritis dilakukan melalui aktifitas-aktifitas mempertimbangkan, menilai, dan menentukan keputusan. e. Kemampuan meng-create isi bacaan atau kemampuan mencipta bacaan (menulis). kemampuan meng-create isi bacaan adalah kemampuan menyerap inti bacaan, membuat rangkuman lalu mengembangkan. Dalam pembelajaran bermakna Bahasa Indonesia hendaknya siswa dibiasakan membaca kritis. Pembiasaan membaca kritis ini dapat dilakukan dengan berbagai hal diantaranya dengan mengembangkan asesmen penilaian yang menuntut siswa berfikir kritis. Bentuk-bentuk pertanyaan sebagai latihan dalam kegiatan pembelajaran hendaknya mengarah pada pembiasan berfikir tingkat tinggi siswa. Salah satu metode pembelajaran yang dapat mendukung pembiasaan membaca kritis adalah metode SQ3R. Metode ini terdiri atas lima langkah, yaitu: Survey (penelaahan pendahuluan), Question (bertanya), Read (membaca), Recife (mengutarakan kembali), dan Review (mengulang kembali). Kelima langkah tersebut masing-masing mempunyai manfaat yang saling mendukung. Manfaat secara umum metode ini adalah membantu siswa untuk mengambil sikap, bahwa buku yang akan dibaca tersebut sesuai keperluan/kebutuhan atau tidak. Membiasakan siswa membaca kritis berarti juga melatih sikap kemandirian siswa, sikap untuk mengambil keputusan terbaik bagi dirinya. Menulis Berita dengan Pengamatan Langsung Pada pembelajaran menulis berita siswa dapat diminta langsung melakukan observasi pada sumber berita. Pada sekolah yang lokasinya berdekatan dengan pos polisi misalnya. Proses pemerolehan data dapat dilakukan dengan langsung mendatangi pos polisi dan melakukan wawancara langsung dengan petugas. Siswa dapat bertanya langsung peristiwa keriminal apa yang aktual terjadi. Siswa juga dapat mengamati langsung objek berita yang akan dituliskan. Contoh pengamatan langsung lain dalam materi menulis berita adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian terhadap kekurangan yang ditemui di lingkungan sekolahnya. Selanjutnya siswa diminta menuliskan hasil pengamatannya dalam bentuk tulisan berita yang mematuhi unsur 5W+1H. Hal ini baik untuk melatih kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah sekaligus sikap kritis siswa terhadap lingkungan sekitarnya.
844
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Melalui pembelajaran metode ini, siswa secara langsung mendapatkan pengalaman sehingga memudahkan siswa untuk menunangkan tulisannya. Pembelajaran langsung ini juga memberikan kesan yang mendalam terhadap siswa. Mengobtimalkan Pembelajaran Menulis LHO dan Laporan Perjalanan Pembelajaran menulis laporan hasil observasi (LHO) atau menulis laporan perjalanan memiliki kemiripan karakter dengan pembelajran menulis berita. Jenis pembelajaran ini menuntut penulisan / publikasi temuan fakta. Siswa dituntut menuliskan atau melaporkan hasil pengamatan berdasarkan fakta dan pengalaman yang ada. Pembelajaran ini jika dilakukan dengan prosedur dan metode yang tepat akan memberi pengalaman belajar yang baik dan menyenangkan bagi siswa sehingga pembelajaran dapat diserap dan memberi kesan yang baik bagi siswa. Contoh pengobtimalan pembelajaran menulis laporan hasil observasi atau menulis laporan perjalanan dapat dilakukan dengan memberikan pengalaman petualangan bagi siswa. Siswa diminta untuk melakukan petualangan yang cukup menantang, lalu siswa melaporkan/menuliskan hasil petualangannya terebut. Contoh pembelajaran lainnya adalah mengobservasi barang/objek langka. Dengan demikian akan menuntut rasa penasaran siswa. Siswa akan terpacu mengetahui lebih dalam tentang objek yang diobservasinya. Pengalaman belajar semacam ini akan menuntut kecakapan siswa untuk menggali informasi. Kemampuan menggali berita berkait dengan kemampuan analisis. Artinya, kemampuan menyelidiki suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya: duduk perkaranya, sebab-sebabnya, akibat-akibatnya, baik analisis deduktif maupun analisis induktif. Kreatifitas Menulis dan Mengembangkan Paragraf Menumbuhkan jiwa jurnalistik pada siswa tentunya tidak terlepas dari kemampuan menulis. Menulis merupakan kegiatan untuk melatih kemampuan berfikir menjadi lebih kreatif, produktif dan ekspresif. Menulis membutuhkan ketekunan agar dapat mengembangkan suatu kerangka karangan yang baik. Menulis harus dilatih secara berkelanjutan karena keterampilan menulis tidak dapat diperoleh dengan instans. Pembelajaran bermakna bahasa Indonesia untuk melatih keterampilan menulis tentu sangat banyak metode yang dapat diaplikasikan. Contoh sederhana misalnya anak diminta untuk latihan menuliskan pengalaman pribadi, menulis rangkuman atau diminta untuk menuliskan tokoh idola. Dengan latihan menulis siswa akan belajar mengembangkan paragraf dan mengemukakan gagasannya. Pada tahap yang lebih tinggi, siswa dapat dilatih menulis pidato atau membuat surat dinas. Kesemua latihan ini dilalui siswa sebagai jalan untuk mengembangkan keterampilan menulis dengan mengemukakan dan mengembangkan gagasan. Melibatkan Media Pada pembelajaran bermakna bahasa Indonesia guru hendaknya menggunakan media yang berhubungan langsung dengan media massa. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati siswa sekaligus memberi pengetahuan awal pada siswa yang berhubungan dengan jurnalistik. Pembelajaran yang dimaksud adalah; a) menulis iklan dengan media mengamati iklan di radio, televisi atau surat kabar, b) membaca berita, c) mengamati opini atau tajuk pada media masa, atau pembelajaran lainnya yang dapat menggunakan media masa sebagai sarana belajar. Membelajaran ini akan membangan kedekatan antara siswa dengan media masa, siswa secara tidak langsung akan memperoleh banyak pengetahuan melalui pembelajaran bermakna ini. Pada akhir pembelajaran siswa hendaknya diminta untuk menjeaskan hubungan antara media yang digunakan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Menumbuhkan Kebiasaan Gemar Membaca Membiasakan siswa dalam prilaku gemar membaca menjadi faktor penunjang dalam penanaman jiwa jurnalistik pada siswa. Seorang jurnalis harus sering dan banyak membaca untuk memenuhi kebutuhan akan informasi. Pengetahuan yang diperoleh melalui bahan bacaan akan sangat menunjang proses jurnalistik yang dijalani. Siswa yang di dalam dirinya tertanam kebiasaan membaca memiliki kecendrungan rasa ingin tahun yang tinggi. Hal ini dengan sesuai dengan ciri jurnalis yang selalui ingin mengatahui berbagai hal dari perspektif informasi. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia pembiasaan pembaca terhadap dapat dilakukan oleh guru misalnya dengan memberi target bacaan pada
845
ISBN :978-602-17187-2-8
siswa. Contoh konkritnya, siswa dibebankan membaca minimal dua buku dalam sebulan. Cara semacam ini cukup efektif untuk menumbuhkan minat baca siswa. Selain contoh tersebut, guru juga dapat menerapkan berbagai metode membaca lainnya yang dapat memicu minat baca anak. Metode power reading misalnya dapat diterapkan bagi siswa kelas bawah. Selain untuk melatih keterampilan membaca cepat, juga untuk melalukan pembiasaan membaca bagi siswa. Menanamkan karakter Menanamkan karakter yang sesuai nilai – nilai ideal seorang jurnalis dapat dilakukan oleh guru baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dilakukan dengan memberi penguatan kepada siswa saat membuka atau menutup pembelajaran. Penanaman nilai karakter secara langsung juga dapat dilakukan saat memberi nguatan atau saat menjabarkan hubungan materi pelajaran dengan nirai karakter yang ada dalam masyarakat. Sedangkan penanaman karakter secara tidak langsung adalah dengan memilih bahan ajar yang di dalamnya mengandung nilai-nilai karakter. Siswa tidak secara langsung ditunjukkan nilai karakter, melainkan diserap melalui pelajaran. Pembekalan nilai karakter menjadi modal penting dalam penanaman jiwa jurnalistik bagi siswa. PENUTUP Penanaman jiwa jurnalistik pada siswa dapat dilakukan melalui pembelajaran bermakna bahasa Indonesia. Hal tersebut ditempuh dengan metode, strategi dan materi sebagai berikut: a) membiasakan membaca kritis, b) menulis berita dengan pengamatan langsung, c) mengobtimalkan pembelajaran menulis laporan hasil observasi dan laporan perjalanan, d) kreatif menulis dan berlatih mengembangkan paragraf, e) melibatkan media, f) menumbuhkan sikap gemar membaca, dan, g) menanamkan karakter. Dikemukakan saran agar pembelajaran bahasa Indonesia dapat bermakna dan diserapi dengan baik oleh siswa; a) guru harus melakukan inovasi pembelajaran yang kreatif , b) menyelenggarakan pembelajaran yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengasah bakat dan kemampuan, dan, c) perlunya lingkungan belajar yang positif dan saling mendukung yang dapat menopang percepatan pencapaian tujuan pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Assegaff, D.H. (1982). Jurnalistik Masa Kini. Jakarta: Ghalia Indonesia. Ausubel, D., Novak, J., & Hanesian, H. (1978). Educational Psychology: A Cognitive View (2nd Ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston Davis, B.G. 1993. Tools for Teaching. San Fransisco: Jossey-Bass Inc. Publisshers. Mursito, B.M. (1999). Penulisan Jurnalistik: Konsep dan Teknik Penulisan Berita. Surakarta: Spikom. Piaget, Jean. 1970. Science of Education and the Psychology of the Child. New York: Viking Roser, R. A and Nicholson, G. L. (1984). Educational Psychology, Principles and Practice. Boston: Little Brown. Suyitno, Imam. 2012. Membangun Karakter Peserta Didik Melalui Pembelajaran Bahasa Indonesia (makalah) . Tarigan, Henry Gunrur. 1979. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
846
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KAITANNYA DENGAN PELAFALAN DALAM TUTURAN GURU DAN SISWA Nurul Haeniah Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak : Tujuan manusia berkomunikasi lewat bahasa adalah agar saling memahami antara pembicara dan pendengar atau antara penulis dan pembaca. Fonem sebagai salah satu unsur terkecil dalam berbahasa merupakan bunyi yang tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari satuan bunyi yang lebih besar. Pelafalan fonem yang tepat menjadi syarat utama agar apa yang ingin disampaikan penutur bermakna sama kepada lawan tutur. sehingga suatu kesalahan besar jika kita menganggap bahwa persoalan dalam hal pelafalan suatu fonem tertentu adalah suatu persoalan yang sederhana. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pelafalan suatu fonem tertentu dapat membedakan makna suatu kata yang akan disampaikan. Hal tersebut seringkali menjadi problematika selama proses komunikasi dalam tuturan ataupun proses pembelajaran. Kata kunci : lafal, fonem, problematika
Tujuan manusia berkomunikasi lewat bahasa adalah agar saling memahami antara pembicara dan pendengar, atau antara penulis dan pembaca. Dalam berkomunikasi, fonem yang dilafalkan merupakan salah satu unsur terkecil dalam bahasa. Kata-kata yang mengandung fonem-fonem tertentu dengan pelafalan-pelafalan yang telah diatur dalam bahasa disatupadukan dalam suatu konstruksi yang lebih besar berdasarkan kaidah-kaidah sintaksis yang ada dalam suatu bahasa. Suatu kesalahan besar jika kita menganggap bahwa persoalan dalam pemilihan kata adalah suatu persoalan yang sederhana, tidak perlu dibicarakan atau dipelajari karena akan terjadi dengan sendirinya secara wajar pada diri manusia. Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita menjumpai orang-orang yang sangat sulit mengungkapkan maksud atau segala sesuatu yang ada dalam pikirannya dan sedikit sekali variasi bahasanya. Kita pun juga menjumpai orang-orang yang boros sekali dalam memakai perbendaharaan katanya, namun tidak memiliki makna yang begitu berarti.Oleh karena itu agar tidak terseret ke dalam dua hal tersebut, kita harus mengetahui betapa pentingnya peranan kata dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian yang tersirat dalam sebuah kata mengandung makna bahwa setiap kata mengungkapkan sebuah gagasan. Kata-kata merupakan alat penyalur gagasan yang akan disampaikan kepada orang lain. Jika kita sadar akan hal itu, berarti semakin banyak kata yang kita kuasai, semakin banyak pula ide atau gagasan yang kita kuasai dan sanggup kita ungkapkan. Hal tersebut menjadi sangat penting dimiliki oleh setiap orang, terutama seorang guru yang tidak hanya berkewajiban memyampaikan informasi kepada siswa, tetapi dituntut untuk mampu menjadi teladan dalam ucapan atau pelafalan yang tepat maupun perbuatan yang mencerminkan sosok yang patut diteladani. Pelafalan yang tepat menjadi syarat utama sehingga apa yang ingin disampaikan penutur bermakna sama kepada lawan tutur, sehingga pemilihan pelafalan bunyi bahasa yang tepat menjadi salah satu faktor penentu dalam komunikasi. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan pelafalan suatu fonem tertentu dapat membedakan makna suatu kata yang akan disampaikan. Makalah ini disusun dengan maksud memaparkan berbagai problematika problematika pembelajaran bahasa Indonesia kaitannya dengan pelafalan dalam tuturan guru dan siswa, apa saja solusi yang bisa dilakukan dan juga berbagai kendala terkait upaya perwujudan solusi yang ditawarkan. EJAAN Ejaan ialah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang distandardisasikan. Lazimnya, ejaan mempunyai tiga aspek, yakni aspek fonologis yang menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan penyusunan abjad, aspek morfologi yang 847
ISBN :978-602-17187-2-8
menyangkut penggambaran satuan-satuan morfemis dan aspek sintaksis yang menyangkut penanda ujaran tanda baca (Badudu, 1984:7). Keraf (1988:51) mengatakan bahwa ejaan ialah keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi ujaran dan bagaimana interrelasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa. Adapun menurut KBBI (1993:250) ejaan ialah kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (hurufhuruf) serta penggunaan tanda baca. Dengan demikian,secara sederhana dapat dikatakan bahwa ejaan adalah seperangkat kaidah tulis-menulis yang meliputi kaidah penulisan huruf, kata, dan tanda baca. Seperangkat kaidah tersebut kemudian tertuang dalam bentuk EYD (Ejaan yang Disempurnakan). EYD disini diartikan sebagai tata bahasa yang disempurnakan yang merupakan tata bahasa dalam Bahasa Indonesia yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia dalam tulisan, mulai dari pemakaian dan penulisan huruf capital dan huruf miring, serta penulisan unsur serapan. PELAFALAN BAHASA INDONESIA Salah satu hal yang diatur dalam ejaan ialah cara pelafalan atau cara pengucapan dalam bahasa Indonesia. Lafal sendiri diartikan sebagai cara seseorang atau sekelompok penutur bahasa dalam mengucapkan lambang-lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucapnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kaidah pelafalan bunyi bahasa Indonesia berbeda dengan kaidah bunyi bahasa lain, terutama bahasa asing, seperti bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman. Dalam bahasa tersebut, satu bunyi yang dilambangkan dengan satu huruf, misalnya /a/ atau /g/, dapat diucapkan dengan berbagai wujud bunyi bergantung pada bunyi atau fonem yang ada di sekitarnya. Lain halnya dengan bahasa Indonesia, ketentuan pelafalan yang berlaku dalam bahasa Indonesia cukup sederhana, yaitu bunyi-bunyi dalam bahasa Indonesia harus dilafalkan sesuai dengan apa yang tertulis. Tegasnya, lafal dalam bahasa Indonesia disesuaikan dengan tulisan. Hal yang perlu mendapat perhatian ialah mengenai pemakaian dan pelafalan huruf pada penulisan dan pelafalan nama diri. Di dalam kaidah ejaan dikatakan bahwa penulisan dan pelafalan nama diri, yaitu nama orang, badan hukum, lembaga, jalan, kota, sungai, gunung, dan sebagainya disesuaikan dengan kaidah ejaan yang berlaku, kecuali kalau ada pertimbangan lain. Pertimbangan yang dimaksud ialah pertimbangan adat, hukum, agama, atau kesejahteraan, dengan kebebasan memilih apakah mengikuti Ejaan Republik (Soewandi) atau Ejaan yang Disempurnakan. Dengan demikian pelafalan nama orang dapat saja diucapkan tidak sesuai dengan yang tertulis, bergantung pada pemilik nama tersebut. Demikian pula halnya dengan pelafalan unsur kimia, nama minuman, atau nama obatobatan, bergantung pada kebiasaan yang berlaku untuk nama tersebut. Jadi, pemakai bahasa dapat saja melafalkan unsur tersebut tidak sesuai dengan yang tertulis. Hal tersebut memerlukan kesepakatan lebih lanjut dari pakar yang bersangkutan. LAFAL FONEM BAHASA INDONESIA Perkembangan bahasa Indonesia tidak berpengaruh terhadap jumlah huruf abjad yang ada dan cara melafalkannya dalam bahasa Indonesia. Huruf abjad merupakan lambang satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan makna. Huruf disebut juga sebagai lambang fonem. Bahasa Indonesia memiliki 26 huruf abjad yang menggambarkan 26 fonem, yaitu 5 buah fonem vokal /a, e, i, o, u/ dan 21 fonem konsonan /b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, o, p, q, r, t, v, w, x, y, z/. Dalam komunikasi bahasa, fonem-fonem itu tidak merupakan bunyi yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari satuan bunyi yang lebih besar, seperti di dalam satuan suku kata atau kata. Oleh karena itu, bunyi fonem-fonem yang terdapat di dalam satuan yang lebih besar itu dapat saling mempengaruhi sehingga bunyinya dapat berbeda menurut posisinya dalam sebuah kata. Misalnya, bunyi /a/ pada posisi akhir lebih terbuka, seperti pada kata guna daripada bunyi /a/ yang diapit konsonan, seperti pada kata bantu. Fonem bahasa Indonesia dilafalkan sesuai dengan bunyi atau nama setiap hurufnya. Berdasarkan nama huruf abjad bahasa Indonesia, lafal berikut ini dianggap benar. (kecap) ABC [a bé cé] (radio) BBC [bé bé cé] (rumus) PQ [pé ki] 848
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
x+y
[èks + yé] Lafal vokal /o/ pada kata toko, misalnya, berbeda dari lafal vokal /o/ pada kata bodoh. Namun, karena pengaruh bahasa daerah, misalnya, lafal untuk kedua kata tersebut sering dipertukarkan. Lafal [toko] menjadi [tэkэ], sedangkan lafal [bэdэh] menjadi [bodo]. Walaupun begitu, perbedaan pelafalan tersebut tidak sampai mengganggu kelancaran komunikasi bahasa. Lain halnya dengan perbedaan lafal vokal /ê/ dan /é/ karena kedua lafal tersebut memang dapat membedakan makna, seperti pada lafal kata [têras] (inti) dan [téras] (serambi). Setakat ‗sejauh‘ ini, sebagian orang, terutama pembelajar asing bahasa Indonesia, masih sering mengalami kesukaran dalam mengenali perbedaan antara lafal [é] dan [ê] pada sebuah kata. Di dalam bahasa Indonesia terdapat vokal yang dikenal dengan sebutan diftong, yang dalam pengujarannya vokal tersebut berubah kualitas. Pada sistem tulisan, diftong dilambangkan oleh dua huruf vokal yang tak terpisahkan, yaitu (ai), (au) dan (oi), yang pelafalannya diikuti oleh konsonan luncuran w atau y. Misalnya, bunyi {aw} pada kata harimau adalah diftong sehingga (au) pada suku kata –mau tidak dapat dipisahkan menjadi ma-u. Begitu pula dengan bunyi [ay] pada kata sampai. Diftong (oi) ditemukan pada kata-kata serapan bahasa asing dalam jumlah yang sangat terbatas. Dalam ujaran sehari-hari, diftong sering kali dilafalkan sebagai satu vokal, misalnya cabai dilafalkan [cabé]. Daftar berikut adalah contoh kata-kata yang memiliki diftong. Lampau [lam paw] Pandai [pan day] Santai [sa tay] Bandingkan dengan pelafalan kata-kata yang tidak mengandung diftong berikut. Bait [ba yit] Laut [la wut] Kain [ka yin] Di dalam bahasa Indonesia juga dikenal dua buah konsonan yang melambangkan satu fonem, yaitu /kh/, /ng/, /ny/, dan /sy/. Keempat konsonan ganda itu, masing-masing dilafalkan dalam satu bunyi, [kh], [ng], [ny], dan [sy]. Akhir [a khir] Nyata [nya ta] Syarat [sya rat] PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KAITANNYA DENGAN PELAFALAN DALAM TUTURAN GURU DAN SISWA Terdapat beberapa permasalahan bahasa terkait pelafalan bahasa dalam tuturan guru dan siswa yang terjadi dalam proses pembelajaran antara lain: 1. Cara pelafalan yang berbeda-beda disebabkan adanya interferensi pada tataran bunyi/pelafalan bunyi bahasa dari siswa yang dipengaruhi bahasa daerah/ bahasa ibu. Contohnya pelafalan kata yaitu : 1) Kata ―apa‖ diucapkan oleh orang Betawi menjadi ―ape‖, ―pohon‖ diucapkan ―pu‘un‖. 2) Pada bahasa Tapanuli (Batak), pengucapan e umumnya menjadi ε, seperti kata ―benar‖ menjadi ―bεnar‖. 3) Pada bahasa daerah Bali dan Aceh pengucapan huruf t dan d terasa kental sekali, misalnya ucapan kata ―teman‖ seperti terdengar ―deman‖. 4) Di Jawa khusunya daerah Jawa Tengah pengucapan huruf b sering diiringi dengan bunyi /m / misalnya, ―bali‖ menjadi ―mBali‖, ―besok‖ menjadi ―mbesok‖. 2. Selama proses pembelajaran, pelafalan kata juga sering dipengaruhi oleh bahasa sehari-hari yang tidak baku dalam tuturan guru dan siswa, sebagai contoh kata ‗efek‘ dilafalkan dengan ‗epek‘. 3. Dalam proses pembelajaran, timbulnya pelafalan yang tidak tepat juga dipengaruhi oleh idiolek masing-masing individu, baik guru maupun siswa. 4. Pengajaran bahasa yang kurang tepat atau kurang sempurna. Guru hanya memperhatikan aspek yang dibelajarkan saja akan tetapi aspek-aspek lain seperti pelafalan kurang diperhatikan pada siswa. Contohnya dalam berbicara, siswa tahu Seperti bagaimana tulisan kata tapi tidak melafalkannya dengan tepat. kata aktif di lafalkan aktip, dan hal tersebut tidak menjadi bahan koreksi lebih lanjut dari guru maupun siswa. 5. Terjadi kesalahan penulisan kata/ huruf yang kadang tidak langsung dikoreksi oleh guru bahasa.
849
ISBN :978-602-17187-2-8
SOLUSI PROBLEMATIKA PEMBELAJAJARAN BAHASA INDONESIA KAITANNYA DENGAN PELAFALAN DALAM TUTURAN GURU DAN SISWA Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan terkait pembelajaran Bahasa Indonnesia yang dikaitkan dengan pelafalan dalam tuturan guru dan siswa adalah sebagai berikut. 1. Guru harus selalu mengoreksi pelafalan siswa serta memberikan contoh pelafalan yang sesuai dalam bahasa Indonesia dalam setiap kesempatan. 2. Membiasakan penggunaan lafal yang baku di dalam kelas dengan menjadikan guru sebagai teladan utama dalam berbicara ataupun melafalkan bunyi bahasa. 3. Menanamkan sikap positif dalam bahasa Indonesia, pemakai bahasa yang memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia tentu tidak akan mengikuti cara pelafalan yang tidak tepat. Sebaliknya akan terus berusaha meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa Indonesia, termasuk dalam pelafalannya. 4. Diperlukan sebuah kamus standar pelafalan bunyi bahasa karena dalam bahasa Indonesia tidak semua abjad mewakili satu bunyi pelafalan contohnya : pelafalan ‗e‘ benar dan ‗e‘ pepet 5. Guru perlu membelajarkan pelafalan bunyi bahasa yang sesuai dalam ejaan yang telah diatur dalam EYD. KENDALA TERHADAP SOLUSI PROBLEMATIKA PEMBELAJAJARAN BAHASA INDONESIA KAITANNYA DENGAN PELAFALAN DALAM TUTURAN GURU DAN SISWA Kendala dalam mewujudkan solusi problematika pembelajaran dikaitan dengan pelafalan dalam tuturan guru dan siswa antara lain sebagai berikut. 1. Guru kurang kompeten karena bahasanya sendiri terpengaruh bahasa daerah sehingga tidak peka terhadap pelafalan bahasa Indonesia yang salah dari diri maupun siswa. 2. Sebagai teladan utama, guru maupun siswa mengalami kesulitan merubah cara pelafalan bahasa yang ada dan sudah menjadi ciri khas maupun dialek daerah. 3. Pengaruh global seringkali membuat masyarakat memiliki sikap negative terhadap bahasa Indonesia yang ada dengan menganggap bahasa asing lebih bermartabat dari bahasa Indonesia sendiri sehingga kurang tertarik mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia dengan benar. 4. Sulitnya membuat standarisasi pelafalan bunyi bahasa disebabkan bahasa Indonesia telah menyerap banyak kosakata dari bahasa daerah lain, selain itu karena kondisi kebahasaan masyarakat yang multilingual menyebabkan sulitnya standarisasi bunyi bahasa. 5. Adanya tuntutan dalam penyelesaian materi ajar sehingga guru tidak selalu bisa membenahi pelafalan siswa maupun mengajarkan pelafalan yang benar karena tentu akan mengambil jatah waktu pembelajaran yang diberikan. SIMPULAN Dalam pembelajaran bahasa Indonesia masih banyak terdapat problematika yang terjadi, salah satunya jika dikaitkan dengan pelafalan bunyi bahsa. Problematikan yang kemudian timbul dalam proses pembelajaran tersebut antara lain terkait siswa sebagai objek didik maupun guru sebagai subjek didik. Selain itu problema yang paling mendasar yakni tidak adanya rujukan yang jelas dalam hal penentuan bagaimana pelafalan bunyi bahasa sebab satu fonem bisa mewakili lebih dari satu cara pelafalan, sehingga tugas seorang pendidik untuk bisa membelajarkan bahasa Indonesia yang benar terkait pelafalan kepada peserta didik sehingga pelafalan yang ada tidak menimbulkan multitafsir di kalangan pendengar maupun pembaca. DAFTAR PUSTAKA Badudu, J.S. 1984. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima. http://afirmanto.blogspot.com/2010/04/ejaan-yang-isempurnakan-eyd.html (diakses 22 Mei 2015) http://istiqomahqoe.multiply.com/journal/item/8 (diakses 22 Mei 2015) Keraf, Gorys. 1988.Tata Bahasa Indonesia.Ende. Nusa Indah 850
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Mustakim. 1996. Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia untuk Umum Pustaka Utama. Nazar, Noerzisri. 2004. Bahasa Indonesia dalam Karangan Ilmiah. Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 2004. Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnan.Jakarta: Pusat Bahasa. Pusat Bahasa. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Jakarta:
Gramedia
Bandung: Humaniora. Bahasa Indonesia Pustaka
PEMBELAJARAN MEMAHAMI TEKS EKSPLANASI DENGAN MODEL LABIRIN (LABELI, BICARAKAN, DAN RINGKAS) Nike Kusumawati Universitas Negeri Malang
[email protected]
Abstrak:Proses pembelajaran di kelas sering membuat jenuh siswa jika hanya satu model pembeljaran saja. Maka perlu adanya model pembelajaran yang bervariasi. Berdasarkan makna dari model pembelajaran adalah seperangkat lengkap komponen strategi yang dapat memberikan hasil lebih baik di bawah kondisi tertentu. Model Labirin (labeli, bicarakan, dan ringkas) adalah model baru yang dikembangkan. Model ini menggabungkan 2 model pembelajaran yaitu model pembelajaran Quantum dan Picture and Picture dalam memahami teks eksplanasi. Guru menampilan model pembelajaran Labirin (labeli, bicarakan, dan ringkas) untuk menarik siswa agar paham struktur deretan penjelas. Stelah deretan penjelas dalam sebuah peristiwa dilabeli, siswa membicarakannya dengan kelompok, kemudian diringkas dan dipresentasikan pada kelompok lain. Kata-kata kunci: pembelajaran, teks eksplanasi, model pembelajaran, labirin
Proses pembelajaran tidak dapat lepas dengan model pembelajaran. Hanya saja model pembelajaran seperti apa yang sesuai dan bisa diterapkan dalam kelas, itulah yang menjadi masalah. Proses pembelajaran khususnya tingkat sekolah hendaknya mampu mengembangkan potensi kecerdasan serta bakat yang dimiliki peserta didik secara optimal. Dalam upaya mengarahkan proses pendidikan yang sesuai bagi siswa SMP, perlu suatu alat atau media yang sesuai pula. Alat atau media ini hendaknya alat atau media yang bisa digunakan. Salah satu pemikiran yang dikemukakan adalah: alat atau media tersebut merupakan alat atau media yang berbentuk permainan. Oleh karena itu perlu tindakan mengembangkan alat atau media permainan, yang bertujuan untuk menghindari mind in chaos terhadap pelajaran bahasa Indonesia. Joyce & Weil (1982) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Definisi model pembelajaran dikemukakan oleh Zainsyah, A.E., dkk. (1984) yaitu suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur pengajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya. Dari pendapat para ahli dapat diambil kesimpulan model pembelajaran adalah seperangkat lengkap komponen strategi yang dapat memberikan hasil lebih baik di bawah kondisi tertentu. LABIRIN (LABELI, BICARAKAN, DAN RINGKAS) Dalam artikel ini akan dibahas model Labirin (labeli, bicarakan, dan ringkas). Model ini menggabungkan 2 model pembelajaran yaitu model pembelajaran Quantum dan Picture and Picture dalam memahami teks eksplanasi. Teks eksplanasi merupakan salah satu teks yang diajarkan pada pelajarn bahasa Indonesia siswa kelas 7. Teks ini baru dikenal pada kurikulum 2013. Maka guru masih mencaricari model pembelajaran seperti apa yang bisa digunakan agar dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap teks eksplansi.
851
ISBN :978-602-17187-2-8
Model pembelajaran labirin merupakan singkatan dari labeli, bicarakan, dan ringkas. Model pembelajaran Labirin (labeli, bicarakan, dan ringkas) yaitu gabungan dari model pembelajaran Quantum dan Picture and Picture. QUANTUM TEACHING Quantum teaching adalah pengubahan belajar yang meriah, dengan segala nuansanya. Quantum teaching juga menyertakan segala kaitan antara interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Quantum teaching berfokus pada hubungan dinamis pada lingkungan kelas, interaksi yang mendirikan landasan dan kerangka untuk belajar. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu sedikit. Dalam praktik Quantum teaching bersandar pada asas utama ―Bawalah dunia mereka ke dalam dunia kita dan antarkan dunia kita ke dalam dunia mereka.” Setiap bentuk interaksi dengan pembelajar, setiap rancangan kurikulum, dan setiap metode pembelajaran harus dibangun prinsip utama tersebut. Quantum teaching mempunyai kerangka rancangan belajar yang dikenal TANDUR; Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasi, Ulangi, dan Rayakan (DePorter, 2004:8-9). Langkahlangkah model pembelajaran Quantum teaching sebagai berikut 1) guru wajib memberikan teladan, 2)guru harus membuat suasana belajar yang menyenangkan, 3)lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan bisa membawa kegembiraan, 4)guru harus memahami perasaan siswa. 5) sikap guru harus baik kepada siswa, dan 6)memiliki karakter yang baik dalam berkomunikasi. PICTURE AND PICTURE Picture and picture adalah suatu model belajar menggunakan gambar dan dipasangkan atau diurutkan menjadi urutan logis. Langkah-langkah model pembelajaran Picture and picture sebagai berikut 1)guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai, 2)menyajikan materi sebagai pengantar, 3)guru menunjukkan atau memperlihatkan gambar-gambar kegiatan berkaitan dengan materi, 4)guru menunjuk atau memanggil siswa secara bergantian, 5)guru menanyakan alasan atau dasar pemikiran urutan gambar tersebut, 6)dari alasan urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep atau materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai., dan 7)Kesimpulan dan rangkuman. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN MEMAHAMI TEKS EKSPLANASI DENGAN MODEL PEMBELAJARAN LABIRIN. Kegiatan pendahuluan dilakukan selama 10 menit dengan urutan kegiatan sebagai berikut. Peserta didik merespon salam dan pertanyaan dari guru berhubungan dengan kondisi dan pembelajaran sebelumnya. Guru mengingatkan tentang penilaian sikap dalam setiap pembelajaran bahasa Indonesia. Peserta didik menerima informasi tentang keterkaitan pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Untuk menarik minat dan menggugah kesadaran peserta didik agar memahami alam sekitar/ lingkungan dan konsentrasi, peserta didik diajak mendengarkan cerita dari guru dan melakukan permainan tentang konsentrasi pada kata yang diminta guru. Pendidik dan peserta didik bertanya jawab tentang fenomena alam yang ada di sekitar peserta didik. Guru dan peserta didik bertanya jawab tentang sifat baik orang yang gemar menghargai fenomena alam/sosial bentuk tulisan maupun gambar. Peserta didik menerima informasi kompetensi, meteri, tujuan, pembelajaran yang akan dilakukan Pendidik dan peserta didik menyepakati langkah-langkah kegiatan yang akan ditempuh untuk mencapai kompetensi. Kegiatan inti dilakukan selama 60 menit dengan urutan kegiatan sebagai berikut. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan/membangun konteks) Guru membacakan atau memperdengarkan lirik lagu ―Berita Kepada Kawan‖ Karya Ebiet G.Ade berikut ini.
852
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya berkaitan dengan lirik lagu yang telah diperdengarkan untuk mendorong eksplorasi terhadap pemahaman teks eksplanasi. Guru mengarahkan jawaban siswa terhadap pembelajaran yang akan dilakukan Siswa dalam kelas dibagi menjadi 3 kelompok dan ditentukan ketua masing-masing kelompok. Labirin o Bergantian tiap anggota kelompok untuk memilih kartu yang ada di labirin, jika ada gambar senyum berarti bisa lanjut ke permainan selanjutnya. o Tetapi jika gambar sedih, maka siswa tidak dapat melanjutkan ke permainan selanjutnya dan diganti dengan anggota kelompok yang lain.
Menyatukan urutan gambar o Permainan ini lanjutan dari permainan labirin. Pada permainan ini, setiap siswa yang menemukan gambar senyum bisa mengambil 1 potong bagian gambar yang diacak. o Dilanjutkan dengan anggota kelompok yang lain, hingga utuh gambar yang diminta. o Setiap anggota kelompok menentukan judul gambar
853
ISBN :978-602-17187-2-8
Guru menyajikan video proses terjadinya hujan.
Menentukan kalimat-kalimat inti pernyataan umum, deretan penjelas, dan interpretasi. (Struktur teks eksplanasi)
o o o
Setiap anggota kelompok bergantian membuat 1 kalimat pendek menurut bagianbagian teks eksplanasi. Ketua kelompok yang mengatur anggotanya yang maju menuliskan di papan tulis. Menyatukan kalimat-kalimat pendek tadi menjadi sebuah teks ekspalanasi yang utuh.
854
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Tiga kelompok besar bertukar tempat memeriksa hasil teks kelompok lain. Adapun penilaiannya meliputi kelengkapan struktur teks eksplanasi dan ciri-ciri bahasa teks eksplanasi. Kegiatan penutup dilakukan selama 10 menit dengan urutan kegiatan sebagai berikut. Peserta didik mengemukakan kesulitan dan kemanfaatan selama pembelajaran berlangsung. Peserta didik menyampaikan usulan untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Peserta didik dan Pendidik menyepakati tentang isi dan struktur teks eksplanasi Penilaian (sikap, keterampilan, dan pengetahuan) Aspek yang Teknik Bentuk Penilaian No dinilai Penilaian 1. Sikap Pengamatan/ Lembar Penilaian diri/ Pengamatan Penilaian antarteman Jurnal 2. Pengetahuan Tulis Uraian Tugas 3.
Ketrampilan
Praktik
Waktu Penilaian Proses
Proses Hasil
Unjuk kerja
Keterangan
dan
Proses dan Hasil Instrumen penelitian yang digunakan dalam pembelajaran memahami teks eksplanasi dengan model labirin (labeli, bicarakan, dan ringkas) antara lain sebagai berikut Pengamatan Sikap o Observasi Berikan skor pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan terhadap peserta didik selama kegiatan 1. jika tidak pernah berperilaku dalam kegiatan 2. jika kadang-kadang berperilaku dalam kegiatan 3. jika sering berperilaku dalam kegiatan 4. jika selalu berperilaku dalam kegiatan Nama Percaya diri Peduli Santun Jumlah Skor No. Peserta 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 didik 1. 2. 3. …. Penilaian sikap untuk setiap peserta didik dapat menggunakan rumus berikut 𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡𝐬𝐤𝐨𝐫 𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊 = 𝐱𝟏𝟎𝟎 𝟏𝟐 Dengan predikat: PREDIKAT SangatBaik SB) Baik (B)
NILAI (
80 ≤ AB ≤ 100 70 ≤ B ≤ 79
Cukup (C)
60 ≤ C ≤ 69
Kurang (K)
<60
855
ISBN :978-602-17187-2-8
KESIMPULAN Proses pembelajaran tidak dapat lepas dengan model pembelajaran. Model pembelajaran adalah seperangkat lengkap komponen strategi yang dapat memberikan hasil lebih baik di bawah kondisi tertentu. Model pembelajaran labirin merupakan singkatan dari labeli, bicarakan, dan ringkas. Pada model pembelajaran ini menggunakan gabungan 2 model pembelajaran yaitu model pembelajaran Quantum Teaching dan Picture and Picture. Sesuai dengan struktur teks eksplanasi 1) Pernyataan umum 2) Deretan penjelas 3) Interpretasi. Guru menampilan model pembelajaran Labirin (labeli, bicarakan, dan ringkas) untuk menarik siswa agar paham struktur deretan penjelas. Stelah deretan penjelas dalam sebuah peristiwa dilabeli, siswa membicarakannya dengan kelompok, kemudian diringkas dan dipresentasikan pada kelompok lain. DAFTAR RUJUKAN -.2014. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013.Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Contoh teks eksplanasi dari internet DePorter, Bobby. 2000. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di RuangRuang Kelas. Bandung: Kaifa Priyatni, Endah Tri. 2014. Desain Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013. Jakarta:PT Bumi Aksara Syafi‘ie, Imam. 2011. Dasar-dasar Pembelajaran Bahasa Indonesia. Malang: UM Press. Youtube powtoon struktur teks eksplanasi Youtube. video teks eksplanasi
KEMAHIRAN MENGONVERSI TEKS CERITA SEJARAH MENJADI PANTUN DENGAN MEMANFAATKAN MEDIA GAMBAR PESERTA DIDIK KELAS XII SOSIAL SMAN 13 BATAM TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Indriyati Boimin SMA Negeri 13 Batam, Teluk Kangkung, Pulau Terong, Batam
[email protected] Abstrak: Penelitan ini bertujuan mendeskripsikan kemahiran mengonversi teks cerita sejarah menjadi pantun dengan memanfaatkan media gambar. Dalam pembelajaran mengonversi teks, siswa banyak mengalami kesulitan, media dan metode guru juga kurang menarik, tentu akan mempengaruhi minat belajar, sehingga kemahiran yang dicapai tidak maksimal. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Subjek penelitian 40 orang, 18 laki-laki dan 22 perempuan. Hasil penelitian sebagai berikut. Pertama, indikator kesesuaian tema,kategori tepat dari 38 siswa menjadi 39. Kategori kurang dari 2 menjadi 1, kategori tidak dari 0 menjadi 1. Kedua, indikator ketepatan sampiran, kategori tepat dari 26 menjadi 29, kategori kurang dari 14 menjadi 11, kategori tidak dari 0 tetap 0. Ketiga, Indikator ketepatan isi, kategori tepat dari 30 menjadi 37, kategori kurang dari 10 menjadi 2, kategori tidak dari 0 tetap 0. Keempat, Indikator ketepatan rima, kategori tepat dari 32 tetap 32, kategori kurang dari 11 menjadi 8, kategori tidak dari 0 tetap 0. Kelima, Indikator penggunaan ejaan, kategori tidak ada salah dari 8 menjadi 21, kategori salah kata 1—3 dari 26 menjadi 15, kategori salah kata 4—6 dari 6 menjadi 4, kategori salah kata 7 –10 tidak ada. Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa kemahiran siswa mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Kata kunci: mengonversi, kemahiran, pantun, media gambar
Pembelajaran dalam kurikulum 2013 mengajak peserta didik mengasah dan mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi pesatnya perkembangan era globalisasi dan canggihnya teknologi informasi. Selain itu, dalam kurikulum 2013 ada pembelajaran aktif, 856
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
di mana berarti peserta didik harus menggunakan otak, mengkaji gagasan, memecahkan masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Belajar aktif harus gesit, menyenangkan, bersemangat dan penuh gairah, bahkan melibatkan moral dan spiritual. Selain pembelajaran aktif, peserta didik diajak mengenal lebih dekat peristiwa sejarah yang merupakan peristiwa masa lalu dan mempunyai berbagai nilai dan kearifan serta sumber kekayaan serta dapat diterapkan dalam mengatasi secara bijak persoalan yang dihadapi bangsa sekarang ini demi mempersiapkan masa depan generasi muda. Pantun merupakan bagian dari sejarah kebudayaan yang memuat nilai kearifan, kebiasaan sekaligus pendukung jati diri masyarakat Melayu ini digunakan dalam berbagai peristiwa penting, yakni upacara penobatan raja, pernikahan, khitanan, merisik, meminang, menyambut tamu, penabalan nama anak dan akikah, bahkan saat ini pantun digunakan pada hari besar nasional. Pantun digunakan oleh masyarakat Melayu dari strata kelas bawah, menengah, maupun atas. Mempelajari seni berpantun, diharapkan dapat menambah cita rasa peserta didik dalam berbahasa. Peserta didik diharapkan dapat mengambil hikmahnya sebagai motivasi dalam meraih cita-cita dan memperkuat kepribadiannya. Salah satu kompetensi dasar yang terdapat dalam pelajaran bahasa Indonesia peserta didik diajarkan mengonversi teks cerita sejarah ke dalam bentuk yang lain sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan. Sementara itu, kegiatan mengonversi erat kaitan dengan kemampuan menulis sebagai kegiatan yang dapat mengungkapkan ide atau pikiran melalui proses, imajinatif, kreatif dan produktif. Berdasarkan fakta di SMAN 13 Batam, kegiatan menulis merupakan pelajaran yang sulit bagi peserta didik. Peserta didik sulit menuangkan ide atau gagasan yang dimiliki dalam bentuk pantun yang akan mengasah rasa karsa. Ide-ide kadang juga masih tidak terstruktur dan terinci dengan baik sehingga pengungkapannya pun kurang runtut, menghasilkan karya tidak maksimal, selain itu kurang percaya diri menunjukkan kepada orang lain. Hambatan lain, kurangnya semangat akibat metode pembelajaran yang digunakan guru menarik dan kurang varatif, guru masih sering menggunakan metode ceramah teoritis. Penelitian yang relevan pernah dilakukan Sri Rahmawati (2014) dengan judul Pengaruh Media Audio Visual ( Gambar ) terhadap Keterampilan Bercerita pada Siswa Kelas III MI Tarbiyatul Islamiyah Kembangan, Jakarta Barat Tahun 2014/2015 Masehi, menjelaskan bahawa terdapat peningkatan yang signifikan sebesar 13% dikelas eksperimen dan sebesar 8,2% dikelas kontrol. Begitu juga dalam penelitian yang dilakukan oleh Suryani ( 2012) tentang Kemahiran Menulis Pantun dengan Menggunakan Media Gambar Siswa Kelas VII Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Bintan Tahun Pelajaran 2012/2013 menyimpulkan bahwa media gambar dapat dijadikan pertimbangan untuk meningkatkan kemahiran menulis pantun karena gambar adalah media yang menarik dan komunikatif bagi peserta didik. Diikuti penelitian Ayu Nurhayati dengan judul Upaya Peningkatan Keterampilan Menulis Pantun Melalui Media Gambar pada Siswa Kelas VII D SMPN 2 Banyudono Tahun Pelajaran 2011/2012, hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi pembelajaran dengan menggunakan media gambar dapat meningkatkan keterampilan menulis pantun pada siswa kelas VII D SMP N 2 Banyudono. Ini terlihat dari peningkatan siklus I dari 68,91 menjadi 76,5 dan pada siklus II terjadi peningkatan yang signifikan mencapai 81,54. Selain itu, melalui media gambar dapat meningkatkan keaktifan dan motivasi belajar siswa. Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana kemahiran peserta didik untuk mengonversi teks cerita sejarah menjadi pantun dengan memanfaatkan media gambar di kelas XII sosial SMA Negeri 13 Desa Teluk Kangkung, Kelurahan Pulau Terong, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Sedangkan tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan kemahiran peserta didik dalam mengonversi teks cerita sejarah menjadi pantun di kelas XII Sosial SMA Negeri 13 Batam. Kegiatan mengonversi tidak mudah, salah satu kompetensi peserta didik harus mampu mengonversi teks sejarah menjadi struktur teks lainnya seperti pantun, puisi, eksposisi, cerita pendek dan naskah film, hal ini menjadi kesulitan tersendiri bagi peserta didik. Satu diantara tugas mengonversi teks cerita sejarah ini yakni menjadi teks pantun yang merupakan kompetensi dasar 4.5 ketika berada di kelas XII. Proses kreatif tentunya diperlukan dalam menulis pantun. Proses kreatif itu dapat dilakukan dengan cara banyak berlatih, karena semakin sering seseorang berlatih menulis, maka ia semakin terampil, ide dan gagasannya pun semakin
857
ISBN :978-602-17187-2-8
banyak. Semakin sering peserta didik berlatih untuk menulis pantun, maka kreativitasnya juga akan semakin terasah. Menurut Zuhdi (1996:62) Kemampuan menulis merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa tulis yang bersifat produktif. Keterampilan menulis ini dapat mendorong peserta didik untuk menghasilkan hasil karya sastra. Karya sastra secara garis besar berupa prosa, drama, dan puisi. Salah satu bentuk puisi adalah pantun. Salah satu kompetensi dasar menulis yang terdapat pada kurikulum adalah menulis pantun sesuai dengan syarat-syarat pantun. Melalui pelajaran tersebut dapat diketahui tentang kecermatan peserta didik dalam menyusun kalimat pantun sesuai dengan syarat-syarat pantun. Melalui pembelajaran ini peserta didik dilatih untuk menyusun pantun sesuai tema yang ditentukan sekaligus mendorong dan mengembangkan daya imajinasi dan kreatifitas peserta didik dalam menyusun pantun secara benar. Pantun merupakan salah satu hasil karya bangsa Indonesia sendiri yang berisi perumpamaan atau ibarat. Pantun dapat untuk menyatakan segala macam perasaan atau curahan hati, baik menyatakan perasaan senang, sedih, cinta, benci, jenaka, ataupun nasihat agama, adat dan sebagainya. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas empat baris yg bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pengertian ini juga dipaparkan Djuanda dan Iswara (2006:14) bahwa Pantun adalah sejenis puisi lama yang terikat bait dan baris. Sedangkan menurut Abbas (2006:29) pantun ialah puisi lama yang terikat oleh syaratsyarat tertentu (jumlah baris, jumlah suku kata, kata, persajakan, dan isi). Pantun terbagi dalam beberapa jenis, Hidayat (2004:130) menyatakan bahwa pantun menurut isinya yaitu pantun nasehat atau pantun orang tua, pantun jenaka, dan pantun teka teki. Sejalan dengan pendapat ahli dalam buku Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik semester satu (2014) dijelaskan bahwa klasifikasi teks pantun yang bervariasi berdasarkan isinya: pantun suka cita; pantun duka cita; pantun nasib; pantun perkenalan; pantun berkasihkasihan; pantun perpisahan; pantun beriba hati; pantun jenaka; pantun teka teki; pantun nasihat; pantun adat; serta pantun agama. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan mengenai struktur menulis pantun adalah (1) tiap bait terdiri dari 4 baris, (2) tiap baris terdiri atas 8 sampai 12 suku kata, (3) sajaknya merupakan sajak berirama, berumus a-b-a-b atau bunyi akhir baris pertama sama dengan bunyi akhir baris ketiga, dan bunyi akhir baris kedua sama dengan bunyi akhir baris keempat, dan (4) kedua baris pertama merupakan sampiran, sedangkan isinya terdapat pada kedua baris terakhir. Jadi menulis pantun adalah serangkaian kegiatan peserta didik menyampaikan pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki ke dalam bentuk tulisan yang ditandai oleh adanya bagian sampiran dan bagian isi. Sedangkan media merupakan alat bantu dalam pembelajaran yang akan menciptakan kedinamisan di dalam kelas. Munadi mengutip bahwa media berasal dari bahasa Latin, yakni ―medius‖ (2008:6) yang artinya tengah, pengantar, atau perantara. Istilah media sering dikaitkan dengan teknologi yang berasal dari kata Latin ―tekne‖ ( bahasa Inggris art ) dan ―logos‖ ( bahasa Indonesia ―ilmu‖ ). Bahkan Arsyad (2010:3) mengatakan bahwa media merupakan peralatan yang digunakan untuk menyalurkan pesan atau informasi dari pengirim kepada penerima pesan. Media juga digunakan sebagai penghubung untuk menyalurkan kepada sesuatu yang ingin disalurkan. Media pembelajaran bisa dikatakan sebagai salah satu komponen penting pendukung dan penentu keberhasilan pembelajaran, media mempermudah guru dalam menyalurkan materi yang ingin disampaikan dan memudahkan peserta didik memahami tujuan yang ingin disalurkan guru. Gambar merupakan salah satu media visual yang bisa dikembangkan untuk membantu peserta didik dalam pembelajaran. Media visual seperti gambar , kartun atau pamplet bisa lebih menarik perhatian audience/siswa. Sedangkan artikel atau tulisan dalam buku tidak selalu lebih menarik perhatian karena memerlukan waktu untuk membaca, selain itu bahasa verbal (penjelasan lisan) memerlukan waktu atau energi untuk mendengarkan. Gambar sebagai bahasa visual juga dapat menyampaikan pesan budaya, sosial dan politis, juga dapat mengembangkan imajinasi peserta didik.
858
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Media gambar dapat dipakai dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan alasan gambar memiliki pengaruh visual langsung, gambar digemari oleh kalangan usia, pesan atau isi gambar dapat segera direspons oleh setiap orang menurut interpretasi pribadi, dapat mengembangkan beragam interpretasi untuk memperkaya materi pembelajaran. Dalam pembelajaran teks cerita sejarah, gambar dapat difungsikan untuk mengembangkan penguasaan fakta, pemahaman teks cerita sejarah, interpretasi dan analisis teks cerita sejarah, kemampuan melakukan penelitian terhadap teks cerita sejarah, dan kemampuan mengambil keputusan serta menganalisis isi teks cerita sejarah. Melalui media gambar, guru juga dapat mengembangkan berbagai ragam pertanyaan yang berkaitan tentang fakta, contoh apa yang kamu lihat?, pertanyaan untuk menggali opini peserta didik, seperti apa yang kamu pikirkan?, dan pertanyaan yang dapat mengembangkan ranah afektif peserta didik, seperti apa yang kamu rasakan?. Jadi, media gambar dapat mempermudah peserta didik dalam merangkai kata-kata serta mengolah kata-kata sesuai gambar, karena melalui media gambar dapat membatasi kosakata dan pemilihan kata peserta didik akan lebih terarah. Selain itu, media gambar mudah didapat, murah,menarik juga mampu membantu mengeksplorasi peserta didik dalam menentukan berbagai kosakata dalam membuat pantun sesuai gambar. METODE Lokasi penelitian ini dilaksanakan di SMAN 13 Batam, sekolah yang terletak di Desa Teluk Kangkung, Kelurahan Pulau Terong, Kecamatan Belakang Padang. Penelitian dilakukan sesuai jadwal pelajaran karena keterbatasan waktu, yakni dua kali, Selasa, tanggal 06 Oktober 2015 dan Senin, tanggal 10 Oktober 2015. Populasi peserta didik kelas XII Sosial yakni 40 peserta didik dengan rincian 18 Laki – laki dan 22 perempuan, sehingga seluruh siswa diambil sebagai sampel, karena jumlah peserta didik kurang dari seratus siswa (sampel jenuh). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2006:72) penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang paling dasar, tujuannya untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia. Dalam penelitian deskriptif, peneliti tidak melakukan manipulasi atau memberikan perlakuan – perlakuan tertentu terhadap variabel atau merancang sesuatu yang diharapkan teradi pada variabel, tetapi semua kegiatan, keadaan, kejadian, aspek, komponen atau variabel berjalan sebagaimana mestinya. Metode deskriptif sangat berguna untuk mendeskripsikan data yang faktual dan apa adanya. Sedangkan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka (Sugiyono, 2007:23). Jadi, penelitian deskriptif dalam pendidikan menggambarkan keadaan ketika proses pembelajaran berlangsung di kelas, semua hal yang berkaitan dengan kejadian didalam kelas, digambarkan secara rinci dan detail untuk mempermudah pembaca memahami kondisi saat pembelajaran dilaksanakan. Tehnik analisis data penelitian ini yakni teknik analisis Deskriptif Kuantitatif. Tehnik analisis deskriptif kuantitatif merupakan teknik analisis data untuk menggambarkan suatu keadaan atau fenomena. Teknik ini digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari hasil kemahiran mengonversi teks cerita sejarah menjadi pantun dengan media gambar. Tindakan yang dilakukan adalah pembelajaran di kelas. Perlakuan pertama diberikan dengan cara menuliskan teks dipapan tulis pada kelas XII Sosial pelajaran bahasa Indonesia dengan kompetensi dasar mengonversi teks cerita sejarah menjadi struktur teks pantun (KD.4.5) Setelah dianalisa, kelas kembali mendapat perlakuan dengan menggunakan media gambar untuk kompetensi dasar yang sama. Instrumen penelitian berupa tabel rubrik penilaian mengonversi teks cerita sejarah menjadi pantun dengan menggunakan media gambar yang dilihat dari struktur pantun. HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN Hari pertama penelitian dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 06 Oktober 2015 dalam keadaan kelas yang sempit dengan jumlah peserta didik 40 membuat suasana belajar tidak kondusif, apalagi pembelajaran di siang hari. Kondisi ini terjadi disebabkan sekolah sedang merenovasi ruang kelas baru, sehingga kelas Sosial yang awalnya terdiri dari XIIA dan XIIB ditempati 20 peserta didik, sekarang dikumpulkan dalam satu ruang majelis guru yang dijadikan
859
ISBN :978-602-17187-2-8
tempat belajar. Sempitnya ruangan ukuran 4x6 yang diisi 40 peserta didik membuat guru tidak memiliki meja dan kursi, bahkan tidak bisa duduk. Jumlah kelas yang awalnya enam lokal, dipadatkan menjadi tiga lokal karena tiga lokal lagi sedang persiapan renovasi menjadi ruang kelas baru dari dana alokasi khusus 2015. Peneliti dibantu teman sejawat, bapak Hanafi, S.Pd, beliau merupakan guru Bahasa Indonesia kelas X untuk memperhatikan kondisi kelas dan aktivitas yang peneliti lakukan selama proses pembelajaran. Begitu juga bapak Aluddin, S.Ag yang membantu peneliti mendokumentasikan kedalam foto dan video dengan kamera handphone Samsung Galaxy Note 2. Rencana awalnya setelah peneliti menjelaskan tujuan pembelajaran, peneliti akan menggunakan notebook dan infocus untuk menjelaskan materi, karena listrik tidak menyala dan solar cell rusak komponennya, rencana berubah dengan membagikan fotocopy lembar kertas yang berisi teks cerita sejarah RA Kartini,tetapi rencana itu juga terkendala maka peneliti sekaligus guru bahasa indonesia tidak bisa mencopy teks cerita sejarah, sehingga peneliti menulis di papan tulis teks cerita sejarah RA Kartini tersebut. Efek dari hal ini, banyak waktu terpakai untuk menulis di papan, peserta didik juga mencatat di buku dalam keadaan berdesakan. Selesai menyalin cerita teks sejarah tersebut, peneliti memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengonversi tugas tersebut di luar kelas karena suasana di dalam kelas yang padat dan cuaca yang panas. Beberapa peserta didik duduk berkelompok di teras kantor yang dijadikan kelas, sebagian lagi mencari tempat yang bisa nyaman mereka rasakan, tapi sebagian lagi tetap berada di dalam kelas. Peneliti berkeliling mengamati peserta didik dan menanyakan jika ada kesulitan, selain itu juga mengingatkan peserta didik agar bekerja mandiri tanpa perlu menyontek pekerjaan teman atau meminta bantuan teman lainnya. Keterbatasan waktu yang ada, guru memutuskan melanjutkan kegiatan mempraktekan atau membacakan hasil karya pantun peserta didik di depan kelas keesokan hari. Observasi yang dilakukan peneliti selama proses pembelajaran di kelas terhadap peserta didik secara individu baik pengamatan langsung maupun melalui video, ditemui peserta didik yang bernama Marsidi dan Setia Leon kurang fokus mengerjakan tugas dan selalu sibuk bertanya kekanan dan kekiri sehingga mengganggu konsentrasi peserta didik lainnya. Mengatasi masalah ini, peneliti segara menuju bangku kedua peserta didik tersebut, dan menanyakan kesulitan yang mereka temui. Setelah mendengarkan masalah keduanya yakni kesulitan menentukan isi pantun. Lalu peneliti meminta perhatian kepada seluruh peserta didik, dan menjelaskan bahwa peserta didik boleh menulis isi pantun dengan mengambil ide paragraf secara keseluruhan, boleh juga mengambil ide beberapa paragraf saja, yang penting peserta didik menulis pantun minimal empat bait dan maksimal delapan bait. Peneliti juga mengingatkan untuk konsentrasi dengan ide masing-masing karena judul, tema bahkan isi teks cerita sejarah boleh berasal dari sumber yang sama, tetapi tentu ide pantun yang muncul akan berbeda tiap kepala. Ketika menyajikan pantun hasil mengonversi dari teks cerita sejarah, peneliti menemukan hipotesa sementara beberapa hal diantaranya 1) peserta didik sudah cukup mampu membuat pantun sesuai tema, 2) peserta didik masih banyak menggunakan kata ―jalan-jalan”, 3) ada lima dari 40 peserta didik yang belum memahami maksud sampiran pantun, mereka mengambil cuplikan isi paragraf menjadi sampiran, 4) kemahiran membuat pantun belum sejalan dengan kemampuan melagukan pantun. Rubrik Penilaian Mengonversi Teks Cerita Sejarah Menjadi Teks Pantun (Raden Ajeng Kartini ) Model Konvensional No Indikator Deskriptor Skor a. Sesuai 1. Kesesuaian isi dengan teks sejarah 4 b. Kurang 2 c. Tidak 1 Ketepatan kata dalam sampiran a. Tepat (ada 4—8 kata) 2. 4 b. Kurang ( ada 3 kata ) 2 c. Tidak ( 1—2 kata ) 1 Tidak
860
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
3.
Ketepatan kata dalam isi
a. Tepat (ada 4—8 kata) b. Kurang ( ada 3 kata ) c. Tidak ( 1—2 kata )
4.
Ketepatan rima
a. Tepat ( a-b, a-b ) b. Kurang ( a-a, b-b ) c. Tidak ( diluar dari ciri pantun)
5
Penggunaan ejaan
a. b. c. d. e.
Tidak ada kesalahan Ada kesalahan 1—3 Ada kesalahan 4—6 Ada kesalahan 7—10 Ada kesalahan lebih dari 10
4 2 1 4 2 1 6 4 3 2 1
Penilaian dalam penelitian ini melihat dari dua aspek, yakni aspek indikator, ada lima indikator yang dijadikan fokus penilaian berdasarkan struktur pantun dan aspek kriteria ketuntasan maksimal. Setelah dilaksanakan pertemuan awal, maka di dapat hasilnya sebagai berikut. Indikator pertama tentang kesesuaian isi dengan teks cerita sejarah, ada 38 atau 95% dari 40 peserta didik yang sudah sesuai, hanya 5% atau 2 orang peserta didik yang kurang sesuai, dan 0% atau tidak ada peserta didik yang tidak sesuai dengan teks cerita sejarah ketika membuat isi pantun. Indikator kedua, ketepatan dalam sampiran, sebanyak 26 peserta didik atau 65% telah tepat membuat sampiran, sisanya 35% atau 14 peserta didik kurang tepat menulis sampiran. Indikator ketiga berkaitan dengan ketepatan dalam isi, hanya 10 peserta didik atau 25% kurang tepat membuat isi pantun, mayoritas 30 peserta didik atau 75% sudah tepat merangkai isi pantun. Secara umum kemampuan peserta didik dalam menuangkan sampiran dan isi pantun tidak ada yang tidak tepat alias 0%. Indikator keempat mengenai ketepatan rima, secara persentase 80% atau 32 peserta didik yang sudah tepat rima dalam pantun, hanya 11 peserta didik atau 28% kurang tepat, dan tidak ada yang tidak tepat membuat rima pantun. Indikator kelima yaitu penggunaan ejaan yang disempurnakan, hanya 20% atau 8 dari 40 peserta didik yang tidak ada kesalahan menggunakan ejaan, sebanyak 26 peserta didik ata 65 % masih melakukan kesalahan dengan kadar 1-3 kata, sedangkan kadar kesalahan 4-6 ejaan ada 15% atau 6 peserta didik, dan tidak ada yang menulis ejaan yang salah lebih dari 7 kata. Kesimpulan untuk pertemuan pertama, masih banyak peserta didik yang harus dikoreksi dan diperbaiki penggunaan ejaan yang disempurnakan dalam mengonversi pantun dari teks cerita sejarah. Diharapkan pada pertemuan kedua, indikator kelima ini akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Penilaian selanjutnya dari aspek kriteria ketuntasan maksimal ( KKM ). Berdasarkan rapat majelis guru dengan mempertimbangkan input, output, kompleksitas dan intake, maka kriteria ketuntasan maksimal mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas XII ditentukan 70. Sehingga hasilnya dari seluruh peserta didik yang berjumah 40, sebanyak 30 peserta didik atau 75% mendapat kategori tuntas, dengan rincian 11 orang mendapat nilai 72, 11 orang memperoleh nilai 80, dan 8 orang memperoleh nilai 88. Sisanya 25% atau 10 peserta didik mendapat kategori tidak tuntas mendapat nilai antara 44—64 . Hasil observasi secara langsung didalam kelas ketika proses pembelajaran berlangsung, serta berdasarkan rubrik penilaian, peneliti menemukan hal yang diluar dugaan. Dugaan awal peneliti peserta didik bernama Ismail yang selama ini dianggap mahir berbalas pantun terbukti dalam lomba antar kelas ketika perayaan 17an, namun ketika dituangkan dalam bentuk tulisan, kemampuan pantun secara spontan tidak bisa dilakukan sebaik peserta didik tersebut ketika berpantun langsung. Kenyataan dilapangan ini berbanding terbalik dengan peserta didik yang bernama M. Safik Ikmal, kemampuan pantun secara spontan tidak bagus, tapi secara tulisan nilainya lebih bagus daripada Ismail yang hanya mendapat nilai 72, selisih dua angka dari M. Safik Ikmal dengan nilai 80. Pertemuan kedua, pada hari kamis, tanggal 08 Oktober 2015, peneliti melanjutkan mengajar dikelas XII Sosial, kompetensi dasar yang sama dengan pertemuan pertama yakni mengonversi teks cerita sejarah menjadi teks pantun. Perbedaan terletak pada penggunaan media gambar. Sebelum memulai materi, peneliti menjelaskan tujuan pembelajaran dan media yang digunakan. Sengaja peneliti menyiapkan dua judul yang berbeda tentang sejarah Kota
861
ISBN :978-602-17187-2-8
Batam dan Laksamana Hang Nadim, untuk memberikan keluasan dan keragaman ide pada peserta didik. Langkah selanjutnya, mengolah nilai setelah mengoreksi dan menganalisa hasil unjuk kerja peserta didik, maka didapat penilaian mengenai aspek indikator yaitu Indikator pertama yaitu kesesuaian isi dengan teks cerita sejarah sebanyak 38 peserta didik setara dengan 95% kategori sesuai, lalu kategori kurang sesuai hanya 5% setara 2 peserta didik. Indikator kedua ketepatan dalam sampiran, ada 29 peserta didik kategori tepat setara 73%, kategori kurang 28% atau setara 11 peserta didik, sedangkan kategori kurang tidak ada. Indikator ketiga ketepatan dalam isi, untuk kategori tepat dimiliki 37 peserta didik setara dengan 93%, kategori kurang ada 7% setara 3 peserta didik, serta kategori kurang tidak ada atau 0%. Indikator keempat ketepatan dalam rima, kategori tepat ada 32 peserta didik setara dengan 80%, kategori kurang sebanyak 20% atau 8 peserta didik, 0% untuk kategori tidak tepat. Indikator kelima penggunaan ejaan, kategori tidak ada salah 53% setara 21 peserta didik, kategori salah antara 1—3 kata sebanyak 15 peserta didik atau 37%, kategori salah ejaan antara 4—6 kata hanya 4 peserta didik setara 10%, sedangkan kategori salah ejaan di atas 7 kata tidak ada atau 0%. Aspek berikutnya kriteria ketuntasan minimal, peserta didik yang mendapat kategori tuntas dengan nilai 72 sebanyak 6 orang, mendapat nilai 76 ada 3 orang, mendapat nilai 80 ada 11 orang dan nilai tertinggi 88 sebanyak 18 orang. Walau telah dilaksanakan dua kali pertemuan, namun ternyata masih ada peserta didik yang belum tuntas sebanyak 2 orang dengan nilai di bawah KKM yaitu 52 dan 56, sehingga harus dilakukan remedial berupa pendampingan di luar jam pembelajaran, selain itu guru juga melakukan pendekatan secara personal untuk memahami permasalahan yang dihadapi peserta didik tersebut. Peneliti juga membandingkan antara perolehan nilai ketika pembelajaran konvensional hanya menggunakan teks tulis dengan nilai ketika diberikan media gambar, baik dari aspek indikator maupun aspek ketuntasan belajar, agar peneliti bisa menjadikan rujukan untuk penelitian perbaikan yang akan datang. Dari aspek penilaian ketuntasan belajar, hanya ada 2 peserta didik dari 10 orang yang tidak tuntas pada pertemuan awal. Sementara itu, dari aspek penilaian indikator dipaparkan sebagai berikut. Pertama, indikator kesesuaian tema,kategori tepat dari 38 siswa menjadi 39. Kategori kurang dari 2 menjadi 1, kategori tidak dari 0 menjadi 1. Indikator ketepatan sampiran, kategori tepat dari 26 menjadi 29, kategori kurang dari 14 menjadi 11, kategori tidak dari 0 tetap 0. Indikator ketepatan isi, kategori tepat dari 30 menjadi 37, kategori kurang dari 10 menjadi 2, kategori tidak dari 0 tetap 0. Indikator ketepatan rima, kategori tepat dari 32 tetap 32, kategori kurang dari 11 menjadi 8, kategori tidak dari 0 tetap 0. Indikator penggunaan ejaan, kategori tidak ada salah dari 8 menjadi 21, kategori salah kata 1—3 dari 26 menjadi 15, kategori salah kata 4—6 dari 6 menjadi 4, kategori salah kata 7 –10 tidak ada. SIMPULAN Berdasarkan data, informasi, pengolahan data, hasil analisis dan pembahasan pada uraian hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Kemahiran Mengonversi Teks Cerita Sejarah Menjadi Pantun dengan Memanfaatkan Media Gambar Peserta Didik Kelas XII Sosial SMAN 13 Batam Tahun Pelajaran 2015/2016 mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, ini terlihat dari kemampuan peserta didik menulis pantun seiring perjalanan waktu semakin membaik, walau selisih nilai hanya sedikit. Kemampuan peserta didik ini karena terbiasa mendengar dan membawakan pantun dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang perlu diperbaiki lagi untuk peserta didik di SMA Negeri 13 lebih difokuskan pada penggunaan ejaan dalam tulisan. DAFTAR RUJUKAN Alfan, Suheiri. (2013) Mozaik Batam di Bumi Segantang Lada. Batam: Focus Abbas, S. 2006. Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Efektif di Sekolah Dasar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Arsyad. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press. Djuanda dan Iswara, 2006. Bunga Rampai Peribahasa dan Pantun. Penerbit Apollo, Surabaya Hidayat, 2004. Media Pembelajaran , Malang: Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Negeri Malang, FIP
862
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
Kristantohadi. 2010. Pribahasa Lengakap dan Kesustraan Melayu Lama. Yogyakarta: Tobara Media Kemendikbud. 2014. Buku Guru Bahasa Indonesia Ekpresi Diri dan Akademik, Kelas XI. Sem 1. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemendikbud. 2014. Bahasa Indonesia Ekpresi Diri dan Akademik, Kelas XII. Sem. 1. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Munadi. 2008, Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press. Nurhayati. Ayu. 2012. Upaya Peningkatan Keterampilan Menulis Pantun Melalui Media Gambar Pada Siswa Kelas VII D SMP N 2 Banyudono Tahun Ajaran 2011/2012. FKIP: UMS Skripsi tidak diterbitkan. Supriatna. 2008. Penggunaan Bahasa Visual dalam Pembelajaran Bersejarah. Makalah Seminar IKA-HIMSI. Bandung: UPI Sukmadinata.2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Sri Rahmawati (2014). Pengaruh Media Audi Visual ( Kartun ) Terhadap Kemampuan Bercerita Pada Siswa MI kelas III Tarbiyatul Islamiyah, Kembangan Jakarta. FKIP UIN Jakarta: http://www. repository.uinjkt.ac.id diunduh tanggal 15/10/2015, pukul 21.30 wib. Suryani .2012. Kemahiran Menulis Pantun dengan Menggunakan Media Gambar Siswa Kelas VII SMP Negeri 6 Bintan Tahun Pelajaran 2012/2013. http://www. Jurnal.umrah.ac.id. diunduh tanggal 16/10/2015, pukul 13.30 wib Zuhdi, Dimyati. 1996. Media dan Metode Pembelajaran Bahasa. Malang: IKIP Malang Alisjahbana, S.T.1986. Struktur Pantun (online). http://saipwtr.blogspot. Com/strukturpantun.html diakses tanggal 17 Oktober 2015 http://rumah-blog-baca.blogspot.com/2011/12/efektifitas-pembelajaran-melaluimedia. Html. Diunduh tanggal 17/10/2015, pukul 09.33 wib
PEMBELAJARAN MEMPRODUKSI TEKS LAPORAN HASIL OBSERVASI DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PENGAMATAN OBJEK LANGSUNG SISWA KELAS X SMK NEGERI 7 BATAM Lila Maryola SMK Negeri 7 Batam
[email protected] Abstrak: Pembelajaran memproduksi teks laporan hasil observasi dalam Kurikulum 2013 dilaksanakan pada semester gasal. Pembelajaran ini mengharuskan siswa melaksanakan observasi terhadap suatu objek yang akan dituangkan ke dalam bentuk laporan. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran memproduksi teks laporan hasil observasi dengan menggunakan teknik pengamatan objek langsung. Pembelajaran memproduksi teks laporan hasil observasi dilaksanakan dalam kegiatan lesson study dengan tahapan: perencanaan, pelaksanaan, dan refleksi. Penelitian kualitatif ini melibatkan subjek siswa kelas X SMK Negeri 7 Batam sebanyak 38 siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan teknik pengamatan objek langsung siswa mampu memproduksi teks laporan hasil observasi. Secara khusus siswa baik dalam memahami konsep dasar, menuliskan struktur teks, dan menulis kalimat dengan efektif. Beberapa kesalahan muncul dalam hal: penulisan ejaan dan huruf kapital, dan pemilihan kata. Kata kunci: memproduksi, teks laporan hasil observasi, teknik pengamatan objek langsung.
863
ISBN :978-602-17187-2-8
Sebagai makhluk sosial manusia akan selalu terlibat dengan lingkungannya, baik fisik maupun sosial. Dalam lingkungan tempat manusia hidup, manusia selalu berusaha mengenali lingkungan itu. Untuk mengenali lingkungan manusia melakukan pengamatan /observasi. Dengan pancaindera yang diberikan oleh Allah, manusia akan terus melakukan pengamatan dalam rangka memahami lingkungan sekitar itu. Secara akademik kegiatan pengamatan memperoleh perhatian yang sangat besar. Bahkan, dalam Kurikulum 2013 (K-13) kompetensi dasar (KD) ―menulis laporan hasil observasi‖ secara eksplisit dilatihkan melalui pembelajaran bahasa Indonesia. Peserta didik diharapkan dapat memahami, membandingkan, menganalisis, mengeva-luasi, mengkonversi, memproduksi, dan menyunting teks laporan hasil observasi. Jika memperhatikan pelbagai aktivitas yang harus dilakukan siswa di sekolah, sejumlah bekal kehidupan sudah ditanamkan kepada siswa, yakni berbagai pengetahuan, keterampilan, keahlian, sikap-sikap positif, sosial, religius dan sebagainya. Hal-hal inilah sejumlah nilai yang ditanamkan kepada peserta didik, seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Nasional Pendidikan. Karakteristik pembelajaran bahasa Indonesia dalam K-13 lebih ditekankan pada pembelajaran yang berbasis teks. Proses pembelajaran harus menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Salah satu pembelajaran yang harus dikuasai oleh siswa ialah pembelajaran memproduksi sebuah teks. Jenis teks yang mampu memicu cara berpikir siswa dalam menuangkan ide adalah teks laporan observasi. Pembelajaran teks laporan hasil observasi ini dipelajari pada kelas X semester ganjil terdapat pada KD 3.3. Aktivitas menulis merupakan suatu bentuk manifestasi kemampuan (dan keterampilan) berbahasa paling akhir dikuasai pelajar bahasa setelah kemampuan mendengar, berbicara, dan membaca. Dibanding tiga kemampuan berbahasa yang lain, kemampuan menulis lebih sulit dikuasai bahkan oleh penutur asli bahasa yang bersangkutan sekalipun (Nurgiantoro, 1988: 270—271). Hal itu disebabkan kemampuan menulis menghendaki penguasaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi karangan. Baik unsur bahasa maupun unsur isi haruslah terjalin menyatu sedemikian rupa sehingga menghasilkan karangan yang runtut dan padu. Tarigan (1993:3) mengatakan bahwa menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekpresif. Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipakai untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Tarigan mengatakan bahwa menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang-orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik tersebut. Sementara itu, Akhadiah (1998:3) menyatakan bahwa menulis me-rupakan suatu rangkaian kegiatan mulai dari menemukan gagasan sampai menghasilkan tulisan. Kata ―menulis‖ memunyai dua arti. Pertama, menulis berarti ‗mengubah bunyi yang dapat didengar menjadi tanda-tanda yang dapat dilihat‘. Kedua, kata menulis memunyai arti ‗kegiatan mengungkapkan gagasan secara tertulis‘. Laporan merupakan suatu bentuk pemberian informasi secara tulis. Menurut Keraf (2001: 284) laporan adalah suatu cara komunikasi di mana penulis menyampaikan informasi kepada seseorang atau suatu badan karena tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Karena laporan sering dalam bentuk tertulis maka dapat pula dikatakan bahwa laporan merupakan suatu macam dokumen yang menyampaikan informasi mengenai sebuah masalah yang telah diselidiki, dalam bentuk fakta-fakta yang diarahkan kepada pemikiran dan tindakan yang akan diambil. Menurut Warsidi (2015) laporan adalah tulisan yang berisi hasil pengamatan terhadap sebuah tempat atau suatu pekerjaan. Sementara itu, tujuan pembelajaran menulis laporan menurut Suyatno (2004:91) adalah agar siswa dapat menulis laporan yang mereka lakukan melalui pengamatan, pengalaman, maupun hasil bacaan. Teks laporan hasil observasi meru-pakan tulisan yang menjelaskan sebuah hasil pengamatan dari suatu objek. Peserta didik diminta untuk mengamati beberapa objek yang telah ditentukan oleh guru. Proses pengamatan dilakukan melalui kegiatan pengamatan objek, melukiskan objek tersebut ke dalam bentuk gambar, menentukan ide pokok, dan mengembangkan ide pokok ke dalam bentuk teks laporan hasil observasi. Dalam materi menulis teks laporan observasi siswa diharapkan memahami konsep teks laporan observasi dengan
864
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
struktur pembentuknya yaitu definisi umum, definii bagian, dan definisi manfaat. Selain itu, siswa juga diharapkan memahami unsur-unsur kebahasaan yang ada di dalam teks. Pembelajaran Bahasa Indonesia (BI) ini memanfaatkan lingkungan sekitar sekolah. Peserta didik mengamati fenomena lingkungan yang sedang terjadi. Pengamatan dilakukan secara berkelompok, akan tetapi penulisan teks laporan hasil observasi dilakukan secara mandiri. Pemanfaatan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar mengarahkan anak pada peristiwa atau keadaan yang sebenarnya atau keadaan yang alami sehingga kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Manfaat yang dapat diperoleh dengan pemanfaatan lingkungan sekolah ialah (1) memberikan berbagai hal yang dapat dipelajari anak; (2) memungkinkan terjadi-nya proses pembelajaran yang lebih bermakna; (3) memungkinkan terjadinya proses pembetukan kepribadian anak; (4) kegiatan belajar akan lebih baik bagi anak; (5) menumbuhkan aktifitas belajar anak (Zaman, 2014). Pemanfaatan lingkungan sekolah akan menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Dengan demikian akan meningkatkan kreatifitas anak dalam berpikir, dan memicu anak untuk lebih mudah mengembangkan pokok pikiran ke dalam tulisan. Penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini dipaparkan berikut Dini dkk. (2015) dengan judul ―Kemampuan Menulis Teks Laporan Hasil Observasi Siswa Kelas VII SMPN 13 Bandar Lampung‖. Penelitian ini menemukan hasil bahwa kemampuan menulis petunjuk pada siswa kelas X SMPN 13 Bandarlampung tergolong dalam kategori baik sekali. Hal ini dapat dilihat dari penguasaan rata-rata siswa secara keseluruhan pada indikator pengorganisasian unsur teks laporan hasil observasi menunjukkan nominal 93 yang tergolong dalam kategori baik sekali. Bila dilihat per indikator, pada aspek struktur kalimat rata-rata 75 tergolong pada kategori baik. Indikator kosakata rata-rata 68 tergolong dalam kategori cukup. Indikator penggunaan ejaan rata-rata 73 tergolong pada kategori cukup. Selanjutnya Utami (2014) dalam penelitiannya yang berjudul ―Peningkatan Kemampuan Menyusun Teks Laporan Hasil Observasi melalui Model Pembelajaran Apik Plusplus pada Siswa SMPN 1 Pacitan‖. Penelitian ini menyimpulkan bahwa proses dan hasil belajar serta sikap peduli lingkungan siswa meningkat melalui penerapan model pembelajaran APIK PLUS-PLUS. Berdasarkan penilaian catatan hasil kegiatan siklus I, terdapat 10 siswa (31%) yang mendapat nilai di bawah 75 (belum tuntas) dan 22 siswa (69%) yang mendapat nilai 75 atau lebih (tuntas). Selanjutnya hasil penilaian dalam presentasi terdapat 12 siswa (37%) yang mendapat nilai di bawah 75 (belum tuntas) dan 20 siswa (63%) yang mendapat nilai 75 atau lebih (tuntas). Hasil penilaian siklus II mempresentasikan me-nunjukkan bahwa 4 siswa (12%) mendapat nilai di bawah 75 (belum tuntas) dan 28 siswa (88%) yang mendapat nilai 75 atau lebih (tuntas). Oleh karena lebih 85% siswa yang telah mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) 75 pada tindakan kedua siklus II ini, baik kemampuan menyusun teks laporan hasil observasi (91%) maupun kemampuan mempresentasikan hasil (88%), hal itu berarti indikator keberhasilan yang diterapkan dalam penelitian ini telah tercapai. Penelitian ini menggunakan teknik pengamatan objek langsung. Siswa terlibat langsung dalam proses pengamatan me-ngenai kejadian alam semesta. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X SMK Negeri 7 Batam. Pada penelitian ini diharapkan siswa baik dalam memahami konsep dasar laporan hasil observasi. Baik dalam memahami struktur teks laporan hasil observasi. Baik dalam memahami unsur-unsur kebahasaan dalam teks. Pada akhirnya siswa dituntut untuk mampu memproduksi teks laporan hasil observasi dengan menggunakan teknik pengamatan objek langsung secara baik. Namun, pembelajaran bahasa Indonesia selama ini kurang diminati siswa. Hal ini terjadi karena kurangnya pemanfaatan media atau teknik pembelajaran. Sebelumnya, guru lebih sering berceramah tanpa menggunakan media atau teknik sehingga proses pembelajaran menjadi kaku. Alangkah baiknya jika guru memberikan teknik yang bervariasi sehingga suasana dalam proses pembelajaran menjadi lebih hidup dan aktif. Selain kurangnya pemanfaatan media atau teknik dalam proses pembelajaran juga terdapat permasalahan lain, yakni susahnya peserta didik dalam menuangkan ide atau gagasan ke dalam bentuk tulisan. Siswa hanya mampu menentukan pokok pikiran saja, akan tetapi kurang mampu untuk mengembangkan pokok pikiran tersebut. Dengan demikian, penulis melakukan penelitian tentang memproduksi teks laporan hasil observasi dengan menggunakan teknik pengamatan objek langsung. Dengan teknik ini, siswa terlibat langsung dalam proses
865
ISBN :978-602-17187-2-8
pengamatan mengenai suatu objek yang akan dituangkan ke dalam bentuk teks laporan hasil observasi. Maka dari itu, siswa akan lebih mudah untuk mengembangkan ide ke dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, siswa akan mampu memproduksi teks laporan hasil observasi dengan baik. Secara leksikal, memproduksi ialah menghasilkan atau mengeluarkan hasil. Maksudnya, siswa dituntut untuk meng-hasilkan sesuatu dari pembelajaran yang diasumsinya. Misalnya menulis sebuah teks. Menulis merupakan sebuah keterampilan berbahasa yang padu dan ditujukan untuk menghasilkan sesuatu yang disebut tulisan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diharapkan siswa kelas X SMK Negeri 7 Batam mampu memproduksi teks laporan hasil observasi berdasarkan pengamatan objek langsung. Pemilihan SMK Negeri 7 Batam sebagai tempat penelitian didasari oleh dua pertimbangan berikut. Pertama, siswa kelas X SMK Negeri 7 Batam telah mempelajari menulis teks laporan hasil observasi sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Kedua, SMK Negeri 7 Batam salah satu sekolah yang telah menerapkan Kurikulum 2013. Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah yang dikemukakan adalah ―bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran memproduksi teks laporan hasil observasi dengan menggunakan teknik pengamatan objek langsung di Kelas X SMK Negeri 7 Batam‖. METODE Pembelajaran ini dilakukan dalam rangka kegiatan lesson study (plan, do, dan see), bertempat di SMK Negeri 7 Batam, pada Kamis, 1 Oktober 2015. Metode/teknik pembelajaran yang digunakan ialah teknik pengamatan objek langsung. Penggunaan teknik ini mengharuskan siswa untuk terlibat langsung dalam proses pengamatan. Yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas X SMK Negeri 7 Batam jurusan administrasi perkantoran. Jumlah siswa pada tahun pelajaran 2015/2016 ini adalah 38 orang siswa. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan tes. Jenis tes yang digunakan adalah tes kemampuan menulis. Pelaksanaan teknik ini dilakukan dengan memberikan tugas untuk mengamati objek dengan tema sebagai berikut: (1) pemanasan global, (2) polusi udara, (3) penghijauan lingkungan, (4) pembakaran hutan, (5) hutan di belakang sekolah, dan (6) pencemaran lingkungan. Siswa dibagi menjadi enam kelompok, dan setiap kelompok mengamati tema yang telah ditentukan. Setelah melakukan pengamatan dalam kelompoknya, siswa diminta untuk melukiskan hasil pengamatannya ke dalam bentuk gambar. Selanjutnya, dari hasil gambar yang dibuat, setiap siswa diminta untuk menulis teks laporan hasil observasi. HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam kegiatan lesson study, dengan tahapan PLAN— perencanaan, DO—pelaksanaan pembelajaran, dan SEE—refleksi pelaksanaan pembelajaran. Pada tahap plan (perencanaan) peneliti mempersiapkan beberapa hal yaitu, (1) memilih standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD), (2) membuat RPP, (3) merancang teknik pembelajaran yang hendak diterapkan, (4) mengembangkan lembar observasi, dan (5) menentukan siapa guru ―observer‖ dalam penelitian. Pada penelitian ini, peneliti memilih salah seorang rekan kerja untuk penjadi guru ―observer‖ yaitu Ari Iswanto, S.Pd. Pada tahap do, real teaching dilaksanakan pada Kamis, 1 Oktober 2015 dengan waktu 4x45 menit dengan materi memproduksi teks laporan hasil observasi dengan menggunakan teknik objek langsung. Peneliti memberikan pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah atau skenario pembelajaran. Pada awal pembelajaran guru memberingan pengetahuan mengenai teks laporan observasi. Setelah itu guru meminta siswa untuk duduk di masing-masing kelompok. Kemudian peneliti membagikan masing-masing kelompok satu tema untuk diamati. Tema tersebut diantaranya ialah, 1) pemanasan global, (2) polusi udara, (3) penghijauan lingkungan, (4) pembakaran hutan, (5) hutan di belakang sekolah, dan (6) pencemaran lingkungan. Setelah masing-masing mengetahui tema pengamatannya, mereka mendengarkan secara saksama penjelasan guru mengenai tugas yang akan dilakukan. Guru menjelaskan tugas siswa dalam melaksanakan proses pengamatan. Setelah melaksanakan pengamatan mengenai tema masing-masing, siswa diminta untuk melukiskan
866
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
hasil pengamatannya tersebut ke dalam bentuk gambar. Maka, diperoleh Gambar 1 dan 2 sebagai berikut.
Gambar 1: Contoh gambar dari hasil observasi karya Marcelina (Tema pemanasan global)
Gambar 2: Contoh gambar dari hasil observasi karya Wiwit Mey Wulandari (Tema penghijauan)
Berdasarkan Gambar 1 dan 2 di atas, dapat diketahui bahwa dengan menggunakan teknik pengamatan objek langsung dapat memicu kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Hal tersebut terlihat pada Gambar 1. Tema pada gambar tersebut adalah pemanasan global. Peserta didik tersebut ingin melukiskan keadaan bumi yang lesu dan manusianya yang beraneka ragam ekspresi menerima akibat dari pemanasan global tersebut. Hal serupa dapat juga dilihat pada Gambar 2, yakni penghijauan. Peserta didik ingin melukiskan betapa nyamannya manusia yang berada di sekitar area penghijauan. Manusia dapat tertawa, bahagia, tidur dengan nyaman, dan bernapas dengan segar. Setelah peserta didik melukiskan hasil pengamatan) nya ke dalam bentuk gambar, selanjutnya peserta didik diminta untuk menuliskan hal tersebut ke dalam bentuk teks laporan hasil observasi. Dari hasil pengamatan, diperoleh hasil seperti dalam Gambar 3 berikut.
Gambar 3: Contoh teks laporan hasil observasi karya Vieta Maulidia
Pada Gambar 3 Maulidia sudah menjabarkan tema pemanasan global menjadi (1) pengertian pemanasan global, (2) dampak pemanasan global, (3) upaya pencegahan terhadap pemanasan global, (4) jenis-jenis pemanasan global, (5) ..... Hal senada dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
867
ISBN :978-602-17187-2-8
Gambar 4: Contoh teks laporan hasil observasi karya Deri Ramadhana
Pada Gambar 4, Ramadhana memaparkan pembakaran hutan menjadi (1) ...
Gambar 5 Berdasarkan tulisan siswa dapat disimpulkan bahwa peserta didik telah menguasai konsep dasar teks laporan observasi. Penulisan teks laporan hasil observasi telah mengarah kepada struktur teks yakni definisi umum, definisi bagian, dan definisi manfaat. Demikian juga halnya dengan penulisan unsur-unsur kebahasaan dalam teks. Peserta didik telah mampu menulis teks laporan hasil observasi dengan kaidah kebahasaan yang benar. Hanya saja ada beberapa faktor yang masih ditemui kesalahan ejaan. Penulisan ejaan yang salah banyak dijumpai pada pengulangan kata. Peserta didik lebih cenderung menuliskan angka ―2‖ pada kata yang diulang. Misalnya: rata-rata ditulis rata2, akibat-akibat ditulis akibat2 perubahan-perubahan ditulis perubahan2 Selain kesalah pengulangan kata juga ditemui kesalahan dalam penggunaan huruf kapital. Ada beberapa tulisan yang tidak memberikan huruf kapital setelah tanda titik, dan juga tidak membubuhkan huruf kapital pada penulisan awal paragraf. Berdasarkan hasil penilaian terhadap tugas siswa mengenai menulis teks laporan hasil observasi berdasarkan teknik pengamatan objek langsung dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan siswa sudah mampu menulis teks laporan hasil observasi dengan menggunakan teknik pengamatan objek langsung dengan baik. Penulisan unsur-unsur kebahasaan dalam teks laporan sudah tergolong cukup baik. Selama proses belajar mengajar berlangsung, guru sudah mencatat hal-hal yang perlu ditindaklanjuti untuk kemajuan belajar siswa. Sebelum mengakhiri pembelajaran, guru memberikan penjelasan secara singkat dan menyimpulkan hasil belajar siswa. Pada tahap see (refleksi), refleksi dilakukan di ruangan guru. Peneliti beserta observer mendiskusikan hasil kerja siswa yang telah diperoleh. Dari hasil diskusi, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, secara keseluruhan siswa sudah baik dalam memahami konsep dasar penulisan teks laporan hasil observasi. Kedua, secara keseluruhan siswa sudah baik dalam memahami dan mengelompokkan struktur dari teks laporan hasil observasi, yaitu berupa definisi umum, definisi bagian, dan definisi manfaat. Ketiga, sebagian kecil siswa masih belum memahami dalam penulisan unsur-unsur kebahasaan dalam sebuah teks, di antaranya ialah 868
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
penulisan ejaan untuk pengulangan kata dan penempatan huruf kapital. Oleh karena itu, hal ini akan ditindaklanjuti oleh guru dalam pembelajaran berikutnya. SIMPULAN Pembelajaran memproduksi teks laporan hasil observasi dengan menggunakan teknik pengamatan langsung siswa kelas X SMK Negeri 7 Batam dapat meningkatkan kreativitas peserta didik. Dengan adanya teknik pengamatan langsung siswa terlibat langsung dalam lingkungan sekolah. Hal ini dapat memicu semangat belajar siswa sehingga lebih mudah bagi siswa untuk mengembangkan ide pokok ke dalam bentuk tulisan. Untuk pemahaman konsep dan struktur teks laporan observasi ketercapaian siswa sudah tergolong baik. Untuk pemahaman unsur-unsur kebahasaan dalam teks ketercapaian siswa tergolong cukup baik. DAFTAR RUJUKAN Akhadiah, S. 1997. Keterampilan Menulis. Jakarta: Depdikbud. Dini, M., Widodo, M., & Suliani, IN.W. 2015. Kemampuan Menulis Teks Laporan Hasil Observasi Siswa Kelas VII SMPN 13 Bandarlampung. Jurnal Kata (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya), 1(1): hlm. 1—8 Nurgiyantoro, B. 1987. Penelitian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE. Tarigan, D. 2008. Membina Keterampilan Menulis Paragraf dan Pengembang-annya. Bandung: Angkasa. Utami, S. 2014. Peningkatan Kemampuan Menyusun Teks Laporan Hasil Observasi melalui Model Pembela-jaran Apik Plus-plus pada Siswa SMPN 1 Pacitan. Jurnal Humaniora, 2(1): hlm. 156—160 Keraf, G. 2001. Komposisi. Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah
PEMBELAJARAN MEMAHAMI STRUKTUR PANTUN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL DISCOVERY LEARNING DI KELAS XI IPA 1 SMAN 3 BATAM Nova Suryani SMAN 3 Batam
[email protected] Abstrak: Permasalahan penelitian ini adalah pembelajaran pemahaman struktur dan kaidah teks pantun dengan menggunakan model discovery learning (DL) pada kelas XI MIPA 1 SMA Negeri 3 Batam tahun pelajaran 2015/2016. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pembelajaran memahami struktur pantun. Objek penelitiannya aktivitas yang ada dalam pembelajaran. Metode penelitiannya, deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik observasi dalam pengumpulan datanya. Hasil penelitian menunjukkan, perencanaan pembelajaran telah selaras dengan 25 indikator dari 30 indikator yang ada. Selanjutnya pelaksanaan pembelajaran, guru dan peserta didik telah melaksanakan 38 indikator dari 44 indikator yang ada. Penilaian yang dilakukan guru meliputi penilaian proses dan hasil. Simpulan penelitian ini adalah pembelajaran pemahaman struktur dan kaidah teks pantun pada kelas XI MIPA 1 SMA Negeri 3 Batam tahun pelajaran 2015/2016 sudah baik. Kata-kata kunci : struktur teks pantun, model discovery learning.
Kurikulum 2013 (K-13) menempatkan pembelajaran bahasa Indonesia menjadi sentral dari semua mata pelajaran. Maksudnya, ketika guru mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka akan terjadi pengintegrasian pada mata pelajaran lainnya. Pembelajaran bahasa Indonesia pada K-13 ini menggunakan pendekatan dengan berbasis teks. Teks tersebut dapat berupa lisan ataupun tulisan. Pembelajaran berbasis teks ini membawa dan melatih mental anak sesuai dengan perkembangannya. Pembelajaran ini juga melatih anak untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan melatih anak untuk berpikir kritis sesuai dengan apa yang ada dalam kehidupan nyata. Berdasarkan pada tujuan K-13 ini, aktivitas peserta didik yang harus ada pada saat melaksanakan pembelajaran adalah aktivitas mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan 869
ISBN :978-602-17187-2-8
mengomunikasikan. Pemerintah melakukan pengembangan terhadap kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP 2006) menjadi K-13 yang merupakan kurikulum berbasis karakter dan berbasis kompetensi. Implementasi K-13 bertujuan menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang terpadu. Elemen perubahan K-13 meliputi perubahan standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Perbedaan signifikan antara K-2006 dengan K-13 adalah pada proses pembelajaran dan penilaian. Pada proses pembelajaran mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan tindak lanjut, sedangkan pada penilaian menggunakan penilaian autentik. Menurut Ausubel (dalam Syakur, 2009:69), DL dapat menjadi model dengan mempunyai enam langkah atau sintak dalam pembelajarannya: (1) stimulation (pemberian rangsangan), (2) problem statement (pernyataan/identifikasi masalah), (3) data collection (pengumpulan data), (4) data processing (pengolahan data), (5) verification (pembuktian), dan (6) generalization (menarik kesimpulan/generalisasi). Dalam DL bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, peserta didik dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan, serta membuat kesimpulankesimpulan. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai di dalam kehidupannya (Kemala, 2015:25—26). Kemudian kalau kita hubungkan dengan materi pelajaran dalam penelitian ini adalah pantun. Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam daerah Nusantara dengan berbagai-bagai nama yang berbeda. Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai ―parikan‖ dan dalam bahasa Sunda dikenal sebagai ―paparikan‖. Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), bersajak akhir dengan pola a-b-a-b atau a-b-b-a. Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan, namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis. Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang berupa tujuan dari pantun tersebut. (Agni, 2010:6). Meskipun berasal dari Tanah Nusantara, perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa banyak anak-anak muda yang tidak terlalu akrab dengan pantun. Begitu juga dengan peserta didik di SMA Negeri 3 Batam masih banyak siswa kelas XI yang kurang menguasai pantun sampai bisa membuat pantun terutama pada kelas XI MIPA 1. Masalah yang ditemui pada kelas ini antara lain adalah kurang seriusnya mereka dalam belajar, peserta didik yang aktif dalam pembelajaran hanya sekitar 30%. Berdasarkan pengalaman penulis sudah banyak cara yang dilakukan mulai dengan metode ceramah, diskusi kelompok, dan studi literatur untuk melaksanakan pembelajaran dengan materi pantun. Oleh karena itu, penulis mencoba mengatasinya dengan menerapkan model DL yang menggunakan amplop yang berisikan potongan-potongan pantun sebagai medianya. Satu catatan penting dapat dikemukakan terkait dengan pelaksanaan pembelajaran adalah masih banyaknya kendala dalam menerapkan K-13. Kendala tersebut berupa pemahaman guru yang belum utuh terhadap pembelajaran saintifik dan penilaian autentik yang menjadi ciri khas dari K-13. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran secara deskriptif kualitatif tentang kesesuaian pembelajaran pemahaman struktur dan kaidah teks pantun dengan menggunakan model DL pada kelas XI MIPA 1 SMA Negeri 3 Batam dengan pembelajaran berdasarkan K-13. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 3 Batam pada kelas XI MIPA 1 dengan subjek penelitian 40 siswa. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan September sampai Oktober 2015 semester genap tahun pelajaran 2015/2016. Rancangan penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah rancangan deskriptif kualitatif. Sumber data pada penelitian ini adalah aktivitas pembelajaran pemahaman 870
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
struktur dan kaidah teks pantun pada kelas XI MIPA 1 SMA Negeri 3 Batam tahun pelajaran 2015-2016. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi. Pengumpulan data pada penelitian ini dipandu dengan instrumen observasi yang dijadikan acuan pengamatan oleh penulis selama kegiatan pembelajaran pemahaman struktur dan kaidah teks pantun. Instrumen observasi itu adalah instrumen pengamatan perencanaan pembelajaran, instrumen pelaksanaan pembelajaran oleh guru, dan instrumen aktivitas siswa. Teknik yang digunakan penulis dalam menganalisis data penelitian ini adalah teknik analisis data oleh Spradley dalam (Sugiyono, 2013:100) yang telah dimodifikasi. Teknik ini meliputi kegiatan-kegiatan (1) memilih situasi sosial, (2) melaksanakan observasi partisipan, (3) mencatat hasil observasi dan wawancara dengan guru sebelum guru melakukan pembelajaran, (4) mencatat hasil RPP yang dibuat dengan menggunakan instrumen validasi RPP sesuai K-13, (5) mencatat seluruh aktivitas belajar mengajar antara guru dengan peserta didik di kelas dengan menggunakan instrumen aktivitas guru dan peserta didik, (6) mencatat hasil belajar peserta didik, (7) melakukan pemeriksaan keabsahan data dengan melakukan wawancara terhadap sumber data penelitian, (8) membuat deskripsi berdasarkan data yang diperoleh, dan (9) menulis laporan penelitian kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan yang dilakukan oleh guru lain terhadap penulis dan peserta didik dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran pemahaman tentang struktur dan kaidah teks pantun masih terdapat beberapa indikator yang tidak cocok dengan apa yang diharapkan dalam instrumen pengamatan pembelajaran. Ketidakcocokan ini ada pada bagian perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran. Pada bagian perencanaan ada 5 indikator dari 30 indikator yang tidak cocok dengan instrumen perencanaan pembelajaran yang telah disesuaikan dengan K-13. Kelima indikator itu meliputi (1) kesesuaian pemilihan materi ajar dengan alokasi waktu, (2) kesesuaian alokasi waktu skenario pembelajaran dengan cakupan materi, (3) kesesuaian kata kerja operasional indikator kompetensi dengan kompetensi yang diukur, (4) kesesuaian dalam kegiatan inti dengan model yang digunakan, dan (5) kesesuaian instrumen penilaian dengan indikator penilaiannya. Setelah pengamat melakukan diskusi dengan penulis sebagai guru yang diamati tentang perencanaan pembelajaran yang berupa RPP memang masih ada beberapa kelemahankelemahan. Hal ini penulis akui karena belum memiliki pemahaman yang memadai terkait penyusunan perencanaan pembelajaran berdasarkan K-13. Sejauh ini penulis masih jarang mengikuti pelatihan tentang penyusunan perencanaan pembelajaran yang sesuai dengan K-13. Lebih lanjut bisa dilihat pada Diagram 1 berikut komponen-komponen RPP yang masih perlu diperbaiki.
Identitas
Alokasi Waktu
KI/KD/IPK
Materi Pembelajaran
Kegiatan Pembelajaran
Penilaian
Media/Alat/Bahan dan Sumber Belajar
120 100 80 60 40 20 0
1
2
3
4
5
6
7
Series1
Diagram 1: Skor Pencapaian dalam Komponen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Sesuai dengan data yang terdapat pada diagram penilaian terhadap RPP yang 871
ISBN :978-602-17187-2-8
berdasarkan komponen RPP yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 103 tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Menengah terdapat beberapa kelemahan. Kelemahan yang pertama adalah pada komponen alokasi waktu yang tidak sesuai dengan materi yang akan dibahas. Kemudian dilanjutkan lagi pada komponen kegiatan pembelajaran yang berkaitan dengan model atau metode yang digunakan kurang sesuai dengan materi dan tujuan pembelajaran. Pada awalnya belum terlihat model yang akan digunakan hanya metode yang baru terlihat. Dalam pemilihan model guru kurang bisa menentukan model yang sesuai dengan jenis materi yang akan dibahas. Sehingga perlu pemahaman guru lebih lanjut untuk menentukan model yang digunakan. Model yang digunakan harus sesuai dengan jenis materinya, seperti model DL cocok untuk materi faktual dan konsep, model problem base learning cocok untuk konsep dan prosedural, sedangkan model project base learning lebih cocok untuk materi prosedural dan metakognitif. Namun secara umum rencana pelaksanaan pembelajaran yang penulis buat sudah baik. Selanjutnya ketidakcocokan ditemukan kembali oleh penulis pada bagian pelaksanaan pembelajaran. Ketidakcocokan ini terdapat pada 6 indikator dari 44 indikator yang ada dalam pelaksanaan pembelajaran oleh guru yang telah disesuaikan dengan kurikulum 2013. Keenam indikator itu antara lain, melaksanakan pembelajaran sesuai dengan alokasi waktu yang direncanakan, memancing peserta didik untuk bertanya, memfasilitasi dan menyajikan kegiatan bagi peserta didik untuk mengumpulkan informasi, melaksanakan penilaian keterampilan, mengumpulkan hasil kerja sebagai bahan portofolio,dan melaksanakan tindak lanjut dengan memberikan arahan kegiatan berikutnya serta tugas pengayaan pada bagian penutup. Untuk ketidakcocokan pada alokasi waktu, jika dikorelasikan dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang sudah dibuat oleh guru pasti ada hubungannya. Bila pada perencanaan pelaksanaan alokasi waktu yang dibuat oleh guru kurang tepat atau tidak jelas, maka sudah dapat dipastikan bahwa pelaksanaan pembelajaran yang akan dilakukan oleh guru pun pasti akan kacau, tidak jelas, dan kurang tepat. Indikator memancing peserta didik untuk bertanya juga tidak terlihat dengan lebih cenderung guru tersebut bertanya sendiri dan jawab sendiri. Indikator memfasilitasi dan menyajikan kegiatan bagi peserta didik untuk mengumpulkan informasi juga kurang terlihat dengan guru yang lebih dominan memberikan informasi. Demikian juga dengan indikator melaksanakan penilaian keterampilan belum terlihat dilaksanakan guru biarpun dalam RPP sudah direncanakan. Selanjutnya ketidakcocokan yang terakhir ada pada bagian penutup yang terdiri dari indikator mengumpulkan hasil kerja sebagai bahan portofolio dan melaksanakan tindak lanjut dengan memberikan arahan kegiatan berikutnya serta tugas pengayaan. Kedua indikator ini tidak terlihat dilakukan oleh guru walau pun sebenarnya sudah dirancang di dalam RPP. Lebih lengkap mengenai deskripsi pelaksanaan pembelajaran dapat dilihat dari Diagram (2) berikut.
SKOR 120 100 80 60 40
SKOR
20 0 Pendahuluan
Kegiatan Inti
Penutup
1
2
3
Diagram 2: Skor Pencapaian Pelaksanaan Pembelajaran
Diagram (2) menggambarkan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran masih terdapat
872
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Generasi Kreatif melalui Pembelajaran Bermakna” pada 31 Oktober 2015 di Hotel Purnama, Batu
kekurangan pada kegiatan penutup. Penulis atau guru tidak mengumpulkan hasil kerja peserta didik sebagai bahan untuk penilaian portofolio. Hal ini terjadi karena dalam pelaksanaan pembelajaran guru kurang fokus pada bagian penutup ketika waktu pembelajaran tinggal sedikit. Kemudian indikator lain yang tidak terlaksana pada bagian penutup ini adalah melaksanakan tindak lanjut dengan memberikan arahan kegiatan berikutnya dan tugas pengayaan. Pada hal kegiatan tindak lanjut ini termasuk salah satu pada kegiatan penutup yang penting dilakukan oleh guru. Kegiatan tindak lanjut ini akan membantu peserta didik dalam mendalami materi yang dibahas dalam pembelajaran. Kegiatan ini juga terlupakan karena guru terlalu terfokus dengan alokasi waktu yang tinggal sedikit. Setelah penulis melakukan diskusi dengan guru pengamat dan mencocokkan hasil analisis pengamatannya dengan memang benar terdapat ketidakcocokan rencana pelaksanaan pembelajaran yang penulis buat. Hal ini terjadi karena format rencana pelaksanaan pembelajaran ini merupakan format yang baru sesuai dengan Permendikbud No. 103 tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai dengan K-13. Penulis juga merasa kesulitan dalam menilai kompetensi sikap dan keterampilan peserta didik dikarenakan guru atau penulis hanya sendiri yang menilai 40 orang peserta didik. Guru merasa perlunya guru pendamping pada saat pembelajaran atau jumlah peserta didik disesuaikan dengan standar yakni sebanyak 32 peserta didik dalam satu kelas. Selain itu juga hal ini terjadi karena pemahaman guru terhadap penilaian autentik belum memadai dan selalu ada perubahan yang baru terhadap penilaian K-13 walaupun penulis sudah dilatih tentang penilaian K-13. Selanjutnya untuk beberapa komponen dalam pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh penulis terdapat yang tidak cocok dengan instrumen pengamatan pelaksanaan pembelajaran yang didasarkan pada K-13 yang dianalisis oleh guru pengamat juga menunjukkan kebenaran. Dari diskusi muncul pengakuan adanya ketidaksiapan melaksanakan pembelajaran sesuai dengan K-13 dengan menggunakan model discovery learning. Alasan-alasan yang telah penulis klarifikasi dengan guru observer di atas itu juga yang membuat penilaian pembelajaran yang penulis lakukan tidak sesuai terutama penilaian keterampilan. Meskipun begitu, pada pembelajaran pemahaman struktur dan kaidah teks pantun, guru telah berhasil melakukan langkah-langkah sesuai dengan model discovery learning yang sejalan dengan pembelajaran saintifik pada K-13. Pada pembelajaran pemahaman struktur dan kaidah teks pantun peserta didik sudah dapat memahaminya dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan nilai pada proses pembelajaran dan hasil pembelajaran yang sudah tuntas secara klasikal (tuntas 75%) dan hanya 4 peserta didik yang belum tuntas. Peserta didik sudah dapat memahami struktur pantun yang terdiri dari sampiran dan isi dengan membedakan sampiran dan isi dari contoh pantun yang diberikan dalam pembelajaran. Keaktifan siswa juga terjadi peningkatan, pada awal penelitian hanya 30% peserta didik yang aktif dalam pembelajaran. Metode potongan kartu yang digunakan memberikan dampak terhadap keaktifan peserta didik dalam pembelajaran. Peserta didik yang aktif dalam pembelajaran meningkat menjadi 60%. Aktivitas yang bisa terlihat antara lain adalah aktif dalam menyusun kartu menjadi pantun yang lengkap, aktif dalam mendiskusikan urutan pantun, aktif dalam bertanya terhadap kelompok lain, dan aktif dalam bertanya. Model DL ini juga membuat peserta didik terbiasa berpikir secara ilmiah yang sesuai dengan pembelajaran saintifik dalam Kurikulum 2013. Dimulai dari langkah stimulus atau memberikan rangsangan yang berupa tayangan video tentang pantun sampai peserta didik dapat menyusun pantun yang sesuai dengan struktur dan kaidah teks pantun. Namun pada langkah pernyataan atau identifikasi masalah, peserta didik agak kesulitan memberikan pernyataan atau pertanyaan tentang tayangan video yang diberikan. Hal ini menurut penulis terjadi karena peserta didik terbiasa dengan pembelajaran yang lebih didominasi oleh guru. Peserta didik susah untuk mengungkapkan pertanyaan atau tanggapannya terhadap permasalahan yang diberikan. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis penulis di kelas XI MIPA 1 SMA Negeri 3 Batam tahun pelajaran 2015/2016 dapat disimpulkan bahwa pembelajaran pemahaman struktur dan kaidah teks pantun sudah memenuhi tuntutan yang ada dalam kurikulum 2013. Hal ini
873
ISBN :978-602-17187-2-8
didasarkan pada temuan berikut: 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh penulis sudah dapat dikatakan memenuhi kriteria instrumen rencana pelaksanaan pembelajaran yang terdapat pada K-13. 2. Aktivitas guru dan peserta didik dalam pembelajaran pemahaman struktur dan kaidah teks pantun pada kelas XI MIPA 1 SMA Negeri 3 Batam sudah dapat dikatakan memenuhi kriteria instrumen pelaksanaan pembelajaran. 3. Aktivitas peserta didik dalam pembelajaran pemahaman struktur dan kaidah teks pantun pada kelas XI MIPA 1 SMA Negeri 3 Batam sudah memenuhi kriteria yang dituntut oleh K13. Saran-saran Berdasarkan simpulan yang dikemukakan di atas, empat saran dikemukakan berikut. 1. Guru harus lebih memperhatikan dan mempertimbangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), terutama pada aspek alokasi waktu yang akan digunakan dalam pembelajaran sudah sesuai dengan materi yang akan diajarkan atau belum. 2. Alokasi waktu pada setiap aktivitas yang akan dilakukan pada saat pembelajaran nanti sudah dirinci atau belum. 3. Perlu diperhatikan pula pada aspek penilaian yang direncanakan oleh guru, sudah tepat dan sudah lengkap instrumen penilaiannya atau belum. 4. Pada pelaksanaan pembelajaran guru harus memanfaatkan media pembelajaran. Semuanya harus didesain seefektif dan seefisien mungkin sehingga waktu belajar tidak terbuang dengan percuma. DAFTAR RUJUKAN Binar, A. 2010. Sastra Indonesia Lengkap. Pantun Puisi Majas Peribahasa Kata Mutiara. Jakarta: Nazri, S, 2009. Kognitivisme dalam Metodologi Pembelajaran Bahasa.Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Kemdikbud,2015. Model-Model Pembelajaran Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Poppy, K.D,2015. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Tahun 2015, SMA/SMK Mata Pelajaran Kimia. Jakarta:Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sudjana, S. 2010. Metode & Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production. Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit: Alfabeta.
874