PEMBELAJARAN DENGAN METODE STAD PADA MATA KULIAH PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA MATERI “TRANSFORMASI LAPLACE” DI S1 MATEMATIKA FMIPA UM MALANG Akhmad Agung Wicaksono ABSTRACT: This research should intend to describe STAD learning method that could help students of Mathematics Graduate Program of The Faculty of Mathematics and Science at Malang State University who joined “Ordinary Differential Equations” lecture taught by Mr. Sudirman on Even Semester of the teaching year 2006/2007’s comprehension with Chapter “Laplace Transform” of the Course “Ordinary Differential Equations”. This research uses qualitatif approach, and involved cycle of research of Classroom Action Research. In this research, the observations are done toward learning activities, and toward students’s answers for Final Test. At the Close Book Final Test, most students were not successful in solving ordinary differential equations by the use of Laplace Transform or all students have close book Final Test score under 6.5. Thus, learning with STAD method we applied has not successful yet at the first cycle of research. Key words: lecture, learning, STAD, Final Test
PENDAHULUAN Pendidikan matematika sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional memegang peranan penting bagi pengembangan IPTEK. Sesuai dengan pendapat dari Hudojo (2005: 37) bahwa Matematika merupakan pengetahuan yang esensial sebagai dasar untuk bekerja seumur hidup dalam abad globalisasi. Oleh karena itu, penguasaan tingkat tertentu terhadap matematika diperlukan bagi seluruh siswa agar kelak dalam hidupnya memungkinkan mendapat pekerjaan yang layak. Hudojo (1990: 1) mengatakan bahwa matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas dibandingkan disiplin ilmu yang lain. Kekhasan tersebut yakni: (1) memiliki obyek yang abstrak dan (2) bersifat deduktif dan
1
konsisten. Untuk memahami suatu materi matematika diperlukan dua pengetahuan yang seharusnya dikuasai mahasiswa yaitu pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan konseptual yaitu pengetahuan yang berkaitan dengan konsep-konsep atau prinsip-prinsip. Pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu (Dahar, 1988: 49). Seorang pengajar yang profesional harus memperhatikan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan yang dia miliki. Soal bagaimana dia harus mengajar seringkali tidak dianggap sebagai hal yang penting. Pemikiran tentang hal itu sering ditunda-tunda sehingga suatu ketika dia harus berdiri di depan kelas. Biasanya orang mulai memberikan pelajaran atau kuliah secara begitu saja dan cara kerja yang diperlukan dengan sendirinya akan timbul selama mengajar. Jika timbul masalah yang sekiranya sangat mengganggu, biasanya pengajar akan berusaha mengatasi sedapat-dapatnya. (Asmarani, 2006: 3) Strategi-strategi pembelajaran yang digunakan sebagian besar pengajar yang mungkin telah berlangsung dengan baik pada masa lalu belum tentu sesuai digunakan untuk masa sekarang (Abri, 2005: 17). Penyebabnya, diantaranya adalah: Kemungkinan perbedaan motivasi, semangat belajar dari para pebelajar masa lalu dengan pebelajar masa sekarang; semangat, motivasi belajar dari para pebelajar masa lalu dapat lebih tinggi daripada pebelajar masa kini antara lain karena pada masa lalu belum begitu banyak pengaruh yang dapat membuat malas belajar. Penyebab yang lain: perbedaan teknologi antara masa lalu dengan masa sekarang, misalnya pada masa lalu pengajar dalam menyampaikan pelajarannya melakukan ceramah, memakai papan tulis, OHP dan dengan kewibawaanya dapat saja sudah memotivasi para pebelajar masa itu untuk belajar tekun, dan bila ini
2
diterapkan pada masa sekarang dapat saja membuat banyak pebelajar jenuh, kurang semangat belajar. Pebelajar masa sekarang banyak yang lebih senang belajar dengan dibantu media-media yang dapat membantu belajar, dibantu teknologi yang lebih canggih misalnya: program komputer, alat peraga yang bisa membuat pebelajar tertarik untuk belajar, dan lain-lain. Pengajar boleh mengubah strategi-strategi pembelajaran untuk mencapai hasil yang lebih baik dan tempat untuk memulainya adalah di dalam kelas. Menurut Crawford (2001: 1), kelas merupakan tempat paling efektif untuk perubahan dan inti perubahan untuk mencapai hasil yang lebih baik adalah strategi mengajar itu sendiri. Salah satu strategi pembelajaran di kelas adalah metode belajar STAD. Metode STAD dikembangkan oleh Slavin dan kawan-kawan dari Universitas John Hopkins. Metode ini merupakan salah satu metode cooperatif learning yang paling sederhana dan merupakan metode yang baik untuk pebelajar yang baru mengenal cooperatif learning (Slavin, 1995: 71). Cooperative learning diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai belajar kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang di dalamnya terdapat belajar kooperatif. Johnson dan Johnson (dalam Rusyidah, 2005: 12) menyatakan, ”Cooperatif learning adalah pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil yang pebelajarnya bekerja bersama-sama untuk memaksimalkan belajar mereka sehingga prestasi akademik meningkat.” Metode STAD mempunyai 5 komponen utama, yaitu: (1) presentasi di kelas (Class Presentations), (2) kelompok-kelompok, (3) kuis-kuis, (4) skor peningkatan individu (individual improvement scores), (5) penghargaan kelompok (Slavin, 1995: 71-73). Berhubungan dengan hal itu, metode belajar
3
STAD terdiri dari seri kegiatan pembelajaran yang teratur sebagai berikut: (I) Pengajaran, (II) Belajar kelompok, (III) Tes, (IV) Penghargaan kelompok (Slavin, 1995: 75-76). Pada metode STAD, terjadi belajar kelompok. Belajar kelompok memiliki kelebihan-kelebihan. Antara lain: dengan belajar kelompok para pebelajar dapat saling bertukar informasi jadi seorang pebelajar dapat tahu hal-hal yang belum dia ketahui, pekerjaan juga dapat dipermudah dan cepat selesai karena dikerjakan bersama-sama (selpan.wordpress.com/2008/04/17/belajar-kelompok/). Kagan (dalam Rusyidah, 2005: 5) menjelaskan bahwa ada tiga keuntungan penggunaan metode STAD, yaitu (1) semua pebelajar memiliki kesempatan untuk menerima reward (hadiah/ganjaran) setelah menyelesaikan suatu materi pelajaran, (2) semua pebelajar mempunyai kemungkinan untuk mencapai hasil belajar yang tinggi, dan (3) reward yang diberikan kepada kelompok dapat digunakan untuk memotivasi kepada semua pebelajar. Peneliti meyakini bahwa metode belajar STAD pernah berhasil untuk diterapkan pada pembelajaran beberapa materi dari Mata Kuliah P.D. Biasa seperti pada pengalaman penerapan metode STAD untuk pembelajaran materi Persamaan Diferensial Tingkat I di Politeknik Negeri Unibraw pada tahun ajaran 2005/2006 dan pengembangan metode STAD tersebut oleh senior peneliti, Bapak Mudjiono, mahasiswa Pasca Sarjana UM angkatan 2004. Dan setelah peneliti membaca tesis dari Bapak Mudjiono tersebut, terdapat peningkatan mutu pembelajaran, prestasi mahasiswa yang diasuh oleh Bapak Mudjiono sesuai dengan tesis yang ditulis beliau.
4
Pembelajaran di kelas yang diajar oleh dosen mata kuliah Persamaan Diferensial Biasa yang bersangkutan tempat penelitian ini dilakukan selama ini menggunakan metode ceramah-investigasi atau ceramah yang disertai dengan tanya-jawab. Informasi ini diperoleh dari wawancara yang dilakukan peneliti terhadap dosen mata kuliah yang bersangkutan pada waktu studi pendahuluan. Dengan metode ceramah seperti ini, dosen akan lebih banyak berbicara maupun menulis di papan tulis, sementara pada saat itu mahasiswa harus menyesuaikan diri dengan penyampaian dosen. Bagi mahasiswa yang siap untuk menyesuaikan diri, hal itu tak menjadi soal. Namun bagi mahasiswa yang belum siap lebih-lebih yang sama sekali tidak siap, hal itu bisa menjadi masalah bagi mereka untuk belajar di kelas. Berdasarkan latar belakang dan untuk mempermudah operasional dalam penelitian ini, penelitian difokuskan pada “Bagaimanakah metode belajar STAD dioperasionalkan untuk dapat membantu pemahaman mahasiswa S1 Matematika FMIPA UM peserta Mata Kuliah P. D. Biasa pada Semester Genap 2006/2007 yang diajar Bapak Sudirman terhadap materi ”Transformasi Laplace”?”. Berhubungan dengan fokus penelitian, penelitian ini bertujuan: Mendeskripsikan metode belajar STAD yang dapat membantu pemahaman mahasiswa S1 Matematika FMIPA UM peserta Mata Kuliah P.D. Biasa pada Semester Genap 2006/2007 yang diajar Bapak Sudirman terhadap materi ”Transformasi Laplace”.
METODE
5
Penelitian ini termasuk jenis Penelitian Tindakan Kelas dan menggunakan pendekatan kualitatif. Sesuai dengan jenis dan pendekatan yang digunakan untuk penelitian ini, yang mengutamakan terwujudnya ide dan pikiran peneliti, dan karena peneliti bertindak sebagai perencana, pelaksana tindakan, pewawancara, pembuat laporan, maka kehadiran peneliti di lapangan sangat diperlukan. Rancangan penelitian untuk penelitian ini mengikuti model Kurt Lewin. Menurut model Kurt Lewin, satu siklus penelitian terdiri dari 4 langkah kegiatan yang secara berurutan meliputi: (I) perencanaan, (II)pelaksanaan tindakan, (III)observasi, (IV)refleksi (Wibawa, 2004: 13-14). Bila keberhasilan penelitian belum tercapai pada siklus penelitian yang pertama, seharusnya dilanjutkan ke siklus penelitian berikutnya, sampai keberhasilan penelitian tercapai. Subyek penelitian yaitu satu kelas yang berisi 27 mahasiswa S1 Matematika UM Malang non-kependidikan reguler dari Offering G-G dan H-H yang mengikuti Mata Kuliah Persamaan Diferensial Biasa yang diajar oleh Bapak Sudirman pada Semester Genap 2006/2007. Subyek penelitian tersebut sekaligus sebagai sumber data untuk penelitian ini. Penelitian ini melibatkan satu mahasiswa yang mewakili kategori lemah/kurang, satu mahasiswa yang mewakili kategori sedang, dan satu mahasiswa yang mewakili kategori pandai sebagai subyek wawancara. Pengategorian mahasiswa tersebut berdasarkan peringkat dari kemampuan akademik. Data yang akan dikumpulkan berupa data kualitatif, lebih banyak berbentuk kata-kata dan akan dipaparkan sesuai dengan kejadian yang terjadi di
6
lapangan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi: 1) hasil pekerjaan siswa dalam mengerjakan tes awal dan tes akhir tindakan, 2) hasil observasi, 3) hasil wawancara, 4) hasil angket, dan 5) catatan lapangan. Dengan demikian, prosedur yang digunakan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini antara lain: 1) tes tertulis, 2) observasi, 3) wawancara, 4) penyebaran angket, dan 5) catatan lapangan. Data yang sudah terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif maupun kuantitatif. Penganalisisan data dilakukan pada saat tindakan dan setelah tindakan. Data penelitian terdiri dari hasil observasi, hasil tes, hasil wawancara, hasil angket tentang respon mahasiswa, catatan lapangan. Analisis data kualitatif yang digunakan dalam penelitian mengacu pada model alir Miles dan Huberman (1992: 16), yang meliputi tiga tahap, yaitu: (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) penarikan kesimpulan dan verifikasi. Untuk menjamin keabsahan data, digunakan teknik pemeriksaan untuk kriteria derajad kepercayaan (kredibilitas). Teknik pemeriksaan yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga dari tujuh teknik yang dikembangkan Moleong (1994: 175), yaitu: (1) ketekunan pengamatan yang dilakukan dengan cara peneliti mengadakan pengamatan secara terus-menerus selama proses penelitian maupun aktif dalam kegiatan belajar-mengajar, (2) triangulasi (dalam penelitian ini, triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber dan triangulasi metode), dan (3) pemeriksaan teman sejawat. Penelitian ini meliputi tahap refleksi awal dan tahap pelaksanaan penelitian. Kegiatan-kegiatan pada tahap refleksi awal diantaranya: (1) menentukan sumber data, (2) menyusun kelompok belajar STAD, (3)
7
melaksanakan tes awal, (4) memilih subyek wawancara. Pada tahap pelaksanaan penelitian, pelaksanaan penelitian dalam penelitian ini dilakukan mengikuti model penelitian tindakan kelas yang disampaikan oleh Kurt Lewin (dalam Wibawa, 2004: 13-14). Model ini terdiri atas tahap-tahap: (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi, (4) refleksi. Dimana, keempat tahapan ini membentuk suatu siklus penelitian. Termasuk dalam kegiatan perencanaan tindakan yaitu menyiapkan LKM (Lembar Kerja Mahasiswa). Dalam pelaksanaan tindakan, masing-masing kelompok belajar STAD disediakan dua LKM. Penelitian ini dilaksanakan di gedung S1 Matematika FMIPA UM Malang pada waktu perkuliahan Persamaan Diferensial Biasa membahas materi ”Transformasi Laplace” yaitu pada: 24 April 2007, 27 April 2007, dan 2 Mei 2007. Sedangkan, pelaksanaan Tes Awal pada tanggal 20 April 2007 pada jam perkuliahan Persamaan Diferensial Biasa. Tindakan pada siklus dinyatakan berhasil atau proses pembelajaran pada siklus dikatakan sukses bila NR (Nilai Rata-Rata) > 50 % untuk masing-masing Kegiatan: Pengajar, Mahasiswa, Kelompok pada observasi terhadap masingmasing hari penelitian: 24 April 2007, 27 April 2007, dan 2 Mei 2007. Sedangkan hasil belajar mahasiswa dikatakan sukses jika 85% mahasiswa dalam satu kelas sukses dalam tes akhir tindakan.
HASIL Dalam pembagian kelompok belajar STAD, 27 mahasiswa dibagi menjadi 6 kelompok belajar STAD dimana 3 kelompok beranggotakan 4 orang, 3
8
kelompok beranggotakan 5 orang. Masing-masing kelompok berisi mahasiswa dari kategori kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Pengategorian mahasiswa yang demikian berdasarkan peringkat dari kemampuan akademik. Yang dipakai sebagai kemampuan akademik pada penelitian ini yaitu skor rata-rata dari tiga kali kuis / tes sebelum Tes Awal. Tes Awal dan kegiatan pembelajaran / penelitian dilaksanakan pada jam perkuliahan P. D. Biasa yaitu jam 7/8 (pukul 13.10 sampai dengan 14.50) di ruang perkuliahan pada gedung O7 FMIPA UM Malang yaitu: (-) Ruang M.304 untuk perkuliahan tanggal 24 April 2007 dan 1 Mei 2007; (-) Ruang M.207 untuk Tes Awal 20 April 2007 dan perkuliahan 27 April 2007. Ada satu mahasiswa yang tidak pernah hadir pada tiga hari perkuliahan yang diisi pembelajaran dengan metode STAD / penelitian pada tanggal 24, 27 April 2007 dan 1 Mei 2007. Mahasiswa ini tidak akan diteliti oleh peneliti. Berikut ini catatan tentang kejadian-kejadian pada perkuliahan yang diisi pembelajaran dengan metode STAD. Selasa, 24 April 2007: Perkuliahan diawali dengan pengajar membagikan daftar keanggotaan kelompok. Setelah setiap mahasiswa berkumpul ke kelompoknya masing-masing, untuk tiap kelompok dibagikan dua LKM dan satu LKM bagi kelompok yang dihadiri kurang dari empat mahasiswa. Lalu masing-masing kelompok melakukan diskusi untuk memahami LKM, menjawab soal-soal yang ada di LKM. Ada 5 mahasiswa yang absen. Akibatnya untuk kelompok A, D dan E, masingmasing hanya dihadiri tiga mahasiswa namun kelompok A, D, dan E masih dihadiri anggota kelompoknya dari Kategori Kemampuan Tinggi.
9
Pada hari tersebut, ada tiga presentasi di depan kelas dari tiga kelompok berbeda. Kelompok A diwakili presenternya menulis di papan tulis jawaban atas soal LKM 1 tentang pembuktian persamaan Transformasi Laplace dari penjumlahan fungsi. Kelompok D menulis di papan tulis jawaban atas soal LKM 1 tentang pembuktian persamaan invers Transformasi Laplace dari penjumlahan fungsi. Kelompok F menulis jawaban di papan tulis atas soal LKM 1 tentang pembuktian fungsi
F (t ) t
1 2
tak kontinyu sepotong-sepotong pada interval 0 t 5.
Setelah presenter dari kelompok A dan D menulis jawaban kelompoknya di papan tulis, tidak ada pertanyaan, tanggapan dari mahasiswa lain maupun pengajar. Menurut peneliti, hal ini karena jawaban mereka di papan tulis tidak terlalu panjang dan masih jelas. Setelah tidak ada pertanyaan, mahasiswa kembali ke kelompoknya masing-masing untuk belajar kelompok. Presentasi dari kelompok F dilakukan menjelang akhir pembelajaran. Agar tidak terjadi kebingungan, pengajar menambah penjelasan bahwa salah satu syarat fungsi yang kontinyu sepotong-sepotong adalah limit dari fungsi F(t) saat t menuju titik akhir subinterval adalah berupa bilangan real. Sebelum pembelajaran diakhiri, pengajar tidak meminta jawaban dari hasil diskusi dari setiap kelompok.
Jum’at, 27 April 2007: Di awal perkuliahan, pengajar memberi tahu mahasiswa bahwa perkuliahan hari tersebut diisi dengan cara belajar seperti pada hari perkuliahan P. D. Biasa pada tanggal 24 April 2007, menjawab soal-soal di LKM 1 yang belum dibahas di hari perkuliahan P.D. Biasa sebelumnya dan memperhatikan perintah di Tambahan
10
LKM 1 yang tertanggal 27 April 2007. Kemudian pengajar meminta setiap mahasiswa berkumpul ke kelompoknya yang sudah ditentukan. Pembagian Tambahan LKM 1 yang tertanggal 27 April 2007 seperti pembagian LKM 1. Pada perkuliahan 27 April 2007, terdapat 4 mahasiswa yang absen. Akibatnya, kelompok E hanya dihadiri 2 mahasiswi, dimana 2 anggota kelompok E dari Kategori Kemampuan Tinggi dan Kategori Kemampuan Sedang tidak hadir sehingga kerja kelompok E dapat terganggu dan tidak maksimal. Kelompok D hanya dihadiri 3 mahasiswa namun dihadiri anggota kelompoknya dari Kategori Kemampuan Tinggi. Ada tiga presentasi di depan kelas oleh tiga kelompok berbeda yang belum maju di depan kelas pada perkuliahan 24 April 2007. Ketiga kelompok ini menjawab soal pada Tambahan LKM 1 yang tertanggal 27 April 2007 tentang mencari Transformasi Laplace dari suatu fungsi. Hingga mendekati akhir pembelajaran, tidak ada lagi kelompok yang maju ke depan kelas untuk menulis jawaban atas soal-soal LKM 1 yang belum dibahas di kelas. Berkaitan dengan pentingnya materi, pengajar langsung menjawab soal di LKM 1 tentang pembuktian fungsi yang berorder eksponensial dan pembuktian Transformasi Laplace dari turunan kedua fungsi, disertai pembahasan di kelas. Di akhir pembelajaran, pengajar meminta jawaban kelompok dari setiap kelompok dikumpulkan ke pengajar.
Selasa, 1 Mei 2007: Di awal perkuliahan, pengajar mempersilakan mahasiswa berkumpul ke kelompoknya masing-masing yang sudah ditentukan karena perkuliahan hari
11
tersebut diisi dengan cara belajar seperti pada dua perkuliahan/pembelajaran sebelumnya. Kemudian pengajar membagikan Tambahan LKM 1 yang tertanggal 1 Mei 2007 dengan cara seperti membagi LKM 1. Untuk pembelajaran/perkuliahan pada 1 Mei 2007, mahasiswa diminta membahas materi di LKM 1 dan menjawab soal-soal di sana yang belum dibahas pada dua perkuliahan/pembelajaran sebelumnya maupun mencoba menjawab soal-soal yang terdapat di Tambahan LKM 1 yang tertanggal 1 Mei 2007. Di awal perkuliahan hari itu, pengajar menyampaikan bahwa soal tentang P. D. Biasa yang linear dapat diselesaikan dengan Transformasi Laplace dengan memakai konsep, rumus yang sudah dibahas di dua perkuliahan sebelumnya. Ada 5 mahasiswa yang absen. Sehingga, kelompok C hanya dihadiri 2 mahasiswi, dan tidak semua anggota dari kelompok-kelompok A, B, D hadir. Di tengah diskusi kelompok, pengajar sedikit menerangkan tentang pemakaian tabel Transformasi Laplace. Pada perkuliahan 1 Mei 2007, ada lima presentasi di depan kelas oleh lima kelompok berbeda. Semua kelompok yang melakukan presentasi di depan kelas tersebut mengerjakan soal-soal yang ada di LKM 1 tentang mencari solusi P.D. Biasa yang linear dengan bantuan Transformasi Laplace. Setelah pembahasan secara bersama oleh pengajar dan mahasiswa satu kelas atas jawaban di papan tulis selesai dengan tidak ada lagi pertanyaan dan tanggapan dari mahasiswa, presenter kelompok kembali ke kelompoknya dan diskusi kelompok dilanjutkan. Pembelajaran/perkuliahan diakhiri pada 14.50 WIB, sesuai jadwal.
12
Berdasarkan perhitungan terhadap Lembar Observasi-Lembar Observasi Kegiatan: Pengajar, Mahasiswa, dan Kelompok, diperoleh hasil bahwa NR (Nilai Rata-Rata) > 50 % untuk masing-masing Kegiatan: Pengajar, Mahasiswa, Kelompok pada observasi terhadap masing-masing hari penelitian: 24 April 2007, 27 April 2007, dan 2 Mei 2007. Sehingga, proses pembelajaran pada siklus penelitian yang pertama dapat dikatakan sukses. Pada peneliti ini, yang dimaksud tes akhir tindakan yaitu Tes Akhir Close Book. Pelaksanaan Tes Akhir Close Book dilaksanakan pada hari Jum’at, 4 Mei 2007 pada jam perkuliahan P.D. Biasa. Berikut ini skor Tes Akhir Close Book: Offering G-G: NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
NIM 3053124 79077 3053124 79081 3053124 79083 3053124 79084 3053124 81332 3053124 81333 3053124 81335 3053124 81336 3053124 81337 3053124 81338 3053124 81339 3053124 81340 3053124 81341
NAMA MAHASISWA IKA RAHMAWATI DEVIE AYU RUSMAWANTY ELLI PURNAMASARI DWI WALIDATUL ATTIQOH DIAZ VINANCYA AYUANDARI FETTY YUDHA WINATA SEKT FITRYA CANDRA DEWI ABDUL MALIK HADI SURAHMAN M. LATIF FAHRUDIN INDAH TRIWAHYUNI MAYA PRAMITASARI SOFIE MARWIA
SKOR 4,6 2,3 0,1 4,5 2,9 2 4 2,4 4,4 1,2 4,6 4,3 3,2
Offering H-H: NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
NIM 3053124 81343 3053124 81344 3053124 81345 3053124 81346 3053124 81347 3053124 81348 3053124 81349 3053124 81350 3053124 81351 3053124 81352 3053124 81354 3053124 81355 3053124 81358 3053124 81360
NAMA MAHASISWA ANDINI EKA IRLIANTI MOTASTAS M BILAM WARSI ZEMMY INDRA KUMALA DEWI MUHAMMAD TOBIB MUHYIDIN MARTHA YULIAN SITAWATI MUHAMMAD AMINULLAH ERLINDA DWI TUGAS RANIF ERMAWATI RIZA SARIFAH NAMIRAH VRIDA KRISDANAR WIDOREK THEREZIEA LORENTZ MUHAMMAD IZZUDDIN DEWI SOLIKHAH
SKOR 2 1,5 1,7 1,2 1,8 3,2 1,5 2,9 2,2 2,6 3,9 2,2 1,2 5,4
Dari tabel di atas, tampak bahwa skor Tes Akhir Close Book semua mahasiswa kurang dari 6,5. Selain itu, berdasarkan penilaian dari peneliti hanya 5 mahasiswa yang sukses menjawab soal nomor 1 dan salah satu soal Tes Akhir Close Book tentang mencari solusi persamaan diferensial dengan Transformasi Laplace.
13
Sehingga kurang dari 85% mahasiswa dalam satu kelas sukses dalam tes akhir tindakan. Ini mengakibatkan indikator hasil belajar mahasiswa melalui tes akhir tindakan belum tercapai pada siklus penelitian yang pertama. Maka, pembelajaran dengan metode STAD yang peneliti terapkan belum berhasil pada siklus penelitian yang pertama. Berdasarkan perhitungan terhadap Angket Tentang Respon Mahasiswa, diperoleh hasil perhitungan masuk dalam kriteria Respon Mahasiswa yang Positif, dimana 6 mahasiswa bosan terhadap suasana belajar dengan diskusi, namun 17 mahasiswa tidak bosan terhadap suasana belajar dengan diskusi. Berarti, sebagian besar mahasiswa di kelas tempat peneliti melakukan penelitian tidak menolak pembelajaran dengan metode STAD yang peneliti terapkan. Dari hasil wawancara terhadap 3 mahasiswa yang masing-masing mewakili kategori pandai, kategori sedang, kategori lemah, 2 dari 3 mahasiswa tersebut menyatakan tertarik dengan metode belajar STAD yang peneliti terapkan dan 1 mahasiswa yang mewakili kategori pandai mengatakan bahwa metode STAD yang peneliti terapkan masih kurang efisien dalam pelaksanaannya.
PEMBAHASAN Hasil Tes Akhir close book yang ternyata masih mengecewakan tidak dapat dilepaskan dari dampak kegiatan pembelajaran sebelum tes tersebut. Diantaranya: perencanaan pembelajaran, skenario dan pelaksanaan pembelajaran, dan materi pembelajaran-materi tes. Dalam perencanaan pembelajaran, peneliti masih belum mengikuti saran dari Slavin (1995: 95-96) dalam menyusun lembar kerja-lembar kerja untuk
14
metode belajar STAD. Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) yang disusun peneliti ternyata masih belum secara langsung menolong mahasiswa untuk mempersiapkan kuis, yang dalam penelitian ini adalah Tes Akhir yang bersifat Close Book, sebab di LKM itu terdapat teori dan uraian yang terlalu panjang namun masih kurang untuk panduan bagi mahasiswa dalam menjawab latihanlatihan soal di LKM itu. Dalam menyusun perencanaan pembelajaran, peneliti juga belum memperhatikan kemungkinan adanya mahasiswa yang absen selama hari-hari perkuliahan yang diisi pembelajaran dengan metode STAD. Peneliti baru menyadari bahwa absensi mahasiswa dapat mengganggu belajar kelompok STAD, karena dapat mengganggu heterogenitas dari kelompok belajar yang tidak dihadiri sehingga dapat menyebabkan kerja kelompok tersebut belum maksimal. Pada praktiknya, peneliti tetap membiarkan suatu kelompok terdiri dari kurang dari empat mahasiswa. Berkaitan dengan skenario dan pelaksanaan pembelajaran, pengajar kurang dalam menyampaikan pengantar untuk perkuliahan hari itu, seperti jarang mengaitkan materi kuliah untuk hari itu dengan pengetahuan mahasiswa sebelumnya. Dalam pelaksanaan pembelajaran, peneliti kurang mengikuti langkah-langkah menerapkan pembelajaran dengan metode STAD, misalnya peneliti sampai mencoba menjawab beberapa soal yang seharusnya menjadi pekerjaan mahasiswa karena hingga akhir waktu perkuliahan di hari itu, tak ada satu pun kelompok yang maju untuk mencoba menjawab soal itu dan menurut peneliti pada waktu itu, materi dalam soal itu sangat penting bagi mahasiswa.
15
Pembelajaran dengan metode STAD yang diterapkan peneliti belum berhasil mungkin juga disebabkan waktu yang masih kurang untuk pembelajaran dengan metode STAD. Latihan soal tentang mencari solusi P.D. Biasa dengan bantuan Transformasi Laplace hanya dilakukan pada satu kali pertemuan perkuliahan yang diisi pembelajaran dengan metode STAD dan pada pertemuan perkuliahan tersebut pun, tidak semua mahasiswa hadir. Sebagian besar mahasiswa tidak sukses mengerjakan soal Tes Akhir close book tentang mencari solusi persamaan diferensial memakai Transformasi Laplace kemungkinan disebabkan masih kurangnya latihan soal tentang mencari solusi P.D. Biasa dengan bantuan Transformasi Laplace. Dalam hal materi pembelajaran-materi tes, peneliti masih belum mengikuti saran-saran dari metode belajar STAD dari Slavin (1995: 95-96) dalam menyusun soal-soal Tes Akhir sebagai kuis pada pembelajaran dengan metode STAD. Sebagian besar soal Tes Akhir Close Book, tidak mengetes konsep atau keterampilan yang sama / sejajar dengan materi pada soal-soal di LKM yang jawabannya pernah dipresentasikan mahasiswa sendiri di depan kelas. Hasil Tes Akhir Close Book yang tidak sesuai dengan harapan peneliti atau masih mengecewakan menunjukkan bahwa pembelajaran dengan metode STAD yang diterapkan peneliti masih belum membantu pemahaman mahasiswa atas materi “Transformasi Laplace untuk Menyelesaikan P.D.” dari Mata Kuliah P.D. Biasa pada siklus penelitian yang pertama. Peneliti mengakui masih belum mengikuti metodologi dari Penelitian Tindakan Kelas dimana: bila pada siklus penelitian yang pertama belum tercapai keberhasilan penelitian/pembelajaran, perlu dilanjutkan ke siklus penelitian yang
16
kedua, dan seterusnya hingga mencapai kriteria keberhasilan penelitian. Kelemahan penelitian ini yaitu siklus penelitian hanya sekali. Peneliti tidak berlanjut ke siklus penelitian berikutnya. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu yang tersedia bagi peneliti untuk melakukan penelitian dalam menerapkan atau mengembangkan metode belajar STAD.
KESIMPULAN Berdasarkan data dari 23 Angket Tentang Respon Mahasiswa beserta perhitungan terhadap angket tersebut, sebagian besar mahasiswa dari Jurusan Matematika FMIPA UM peserta Mata Kuliah P. D. Biasa yang diajar Bapak Sudirman pada Semester Genap 2006/2007 tertarik dengan metode belajar STAD yang peneliti terapkan. Dari hasil wawancara terhadap tiga mahasiswa yang masing-masing mewakili kategori pandai, kategori sedang, kategori lemah, ketiga mahasiswa yang diwawancarai tersebut telah menyampaikan manfaat belajar kelompok STAD. Hasil Tes Akhir close book dimana skor Tes Akhir Close Book semua mahasiswa kurang dari 6,5 dan sebagian besar mahasiswa tidak sukses dalam menjawab soal-soal Tes Akhir Close Book tentang mencari solusi persamaan diferensial memakai Transformasi Laplace menunjukkan bahwa pembelajaran dengan metode belajar STAD yang diterapkan peneliti belum berhasil untuk membantu pemahaman mahasiswa atas materi “Transformasi Laplace” dari Mata Kuliah P. D. Biasa pada siklus penelitian yang pertama. Peneliti tidak berlanjut ke siklus penelitian berikutnya. Sehingga, penelitian ini belum dapat mendeskripsikan metode belajar STAD yang dapat membantu pemahaman
17
mahasiswa dari Jurusan Matematika FMIPA UM Malang peserta Mata Kuliah P.D. Biasa yang diajar Bapak Sudirman tahun ajaran 2006/2007 atas materi “Transformasi Laplace” dari Mata Kuliah P.D. Biasa. Kelemahan penelitian yang dilakukan peneliti ini yaitu hanya melibatkan satu kali siklus penelitian. Menurut metodologi tentang Penelitan Tindakan Kelas, untuk mencapai target keberhasilan penelitian / pembelajaran, Penelitian Tindakan Kelas dapat melibatkan lebih dari satu kali siklus penelitian. Sementara, Berkaitan dengan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan (PAKEM), maka pembelajaran dengan metode STAD yang diterapkan peneliti pada penelitian ini masih tidak efektif.
SARAN Kegagalan penelitian / pembelajaran ini dikarenakan faktor pengajarnya, yang dalam hal ini adalah peneliti sendiri. Seharusnya, peristiwa pembelajaran / penelitian belum berhasil kemudian penelitian tersebut dihentikan tidak boleh terjadi pada Penelitian Tindakan Kelas. Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti memberi saran bagi para pengajar maupun para peneliti lain yang akan mengembangkan metode belajar STAD pada perkuliahan atau pembelajaran di kelas agar melakukan persiapan lebih baik daripada yang peneliti lakukan, menyarankan agar mengikuti saran-saran, langkah-langkah yang penting dalam metode belajar STAD. Diantaranya: 1. Bagi pengajar yang mengalami ketidakhadiran beberapa mahasiswa, maka dia perlu melakukan regrouping dimana anggota-anggota dari kelompok yang dihadiri kurang dari empat pebelajar seharusnya disebarkan secara merata ke
18
kelompok-kelompok lain yang anggotanya masih lengkap sehingga mereka bisa menjadi anggota kelima atau keenam dari kelompok yang didatanginya. 2. Pengajar tidak sekedar berkeliling mengunjungi tiap kelompok, melainkan seharusnya menyempatkan diri untuk duduk dekat tiap kelompok, diantaranya untuk mendengarkan bagaimana anggota-anggota kelompok tersebut bekerja, kemudian memuji kelompok-kelompok yang bekerja dengan baik. 3. Seharusnya pada tiap permulaan dari pembelajaran/perkuliahan dengan metode STAD, pengajar menyampaikan pengantar untuk dapat membimbing maupun memudahkan para pebelajar dalam belajar materi kuliah hari itu. 4. Mungkin pengajar seharusnya juga mempertimbangkan absensi mahasiswa dalam penyusunan soal-soal tes, sebab jika bertepatan seorang mahasiswa diberikan soal tes tentang materi kuliah yang disampaikan pada waktu mahasiswa itu tidak hadir pada perkuliahan yang membahas materi itu, maka itu dapat menjadi kurang adil. 5. Pengajar seharusnya dapat lebih komunikatif dengan mahasiswa. 6. Latihan-latihan soal perlu lebih sering dilakukan dalam pembelajaran. Mengingat dalam Mata Kuliah P.D. Biasa, mahasiswa menggunakan teknikteknik yang diaketahui dalam mencari solusi suatu persamaan diferensial. 7. Dalam menyusun materi pembelajaran dan bahan untuk tes / kuis, seharusnya pengajar mengikuti langkah-langkah menurut metode belajar STAD: (-) Materi pembelajaran disampaikan dalam lembar kerja-lembar kerja, termasuk soal-soal atau tugas-tugas di dalamnya, dan disusun untuk membantu para pebelajar mempersiapkan dengan sebaik-baiknya untuk mengikuti tes / kuis.
19
(-) Bahan untuk tes/kuis sejajar dengan bahan pada soal-soal di lembar kerja yang pernah dikerjakan mahasiswa yang kemudian dipresentasikan mahasiswa sendiri di depan kelas untuk dibahas bersama antara pengajar dengan semua mahasiswa satu kelas pada waktu pembelajaran. Misalnya: NO. 1.
LEMBAR KERJA (LKM)
KUIS / TES STAD
Buktikan bahwa jika c1, c2 adalah konstanta-
Buktikan: Jika c, d adalah konstanta-
konstanta, maka:
konstanta, maka:
L1{c1 f1 (s) c 2 f 2 (s)} = c1 L1{ f 1 (s)}
L1{cf 1 (s) df 2 (s)} =
1
+ c2 L 2.
cL1{ f 1 (s)} + dL1{ f 2 (s)} .
{ f 2 (s)} .
Contoh fungs yang kontinyu sepotong-
Kuis / tes tak seharusnya memuat soal
sepotong hanya dalam uraian materi, bukan
yang menyuruh menyebutkan contoh
dinyatakan sebagai salah satu soal LKM.
fungsi kontinyu sepotong- sepotong.
3. Jelaskan mengapa F(t) =
t
1 ( ) 2
tak kontinyu
sepotong-sepotong pada interval 0 t 4.
5?
Carilah Transformasi Laplace dari f(t) = 1.
Jelaskan mengapa F(t) =
t 1 tak
kontinyu sepotong-sepotong pada interval 0 t 5. Hitung Transformasi Laplace dari
f (t ) 4 . 5.
Tunjukkan bahwa t3 berorder eksponensial saat
6.
t !
Soal seperti ini tidak seharusnya dimuat dalam penyusunan kuis / tes
(namun tidak dikerjakan mahasiswa)
STAD.
Yang dikerjakan mahasiswa:
Dalam menyusun tes STAD tak
1.
y' 2et , y(0) 1
seharusnya memuat soal
2.
y' y e2t; y(0) 0
d2y dy 3 2 y 2x 2 1 ; dengan dx dx 2
3.
y' y e t ; y(0) 1
y(0) = y’(0) = 0 karena tidak sejajar
4.
y' ' y e t ; y(0) y' (0) 0
dengan soal LKM yang dikerjakan
5.
y' 'a 2 y 0; y(0) 1, y' (0) 0
mahasiswa dan tidak memakai variabel bebas yang sama dengan soal LKM yang dikerjakan mahasiswa.
20
DAFTAR RUJUKAN Abri. 2005. Pembelajaran Luas Jajargenjang dan Trapesium melalui Strategi REACT pada Siswa Kelas VII SMP Laboratorium Universitas Negeri Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM. Anonymous. 2008. Belajar Kelompok. selpan.wordpress.com/2008/04/17/belajarkelompok/. Asmarani, Dewi. 2006. Cara Memberikan Contoh Mengajukan Soal dalam Pembelajaran Teori Graph melalui Pendekatan Problem Posing pada Mahasiswa Universitas Kanjuruhan Malang Angkatan 2003. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM. Crawford, M.L. 2001. Teaching Contextually. Research, Rationale, and Techniques for Improving Student Motivation and Achievement in Mathematics and Science. Waco, Texas: CCI Publishing, Inc. Dahar, Ratna Wilis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hudojo, Herman. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang. Hudojo, Herman. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Edisi Pertama. Malang: Universitas Negeri Malang. Miles, M.B. dan Huberman, A.M.. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia press. Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. Mudjiono. 2006. Pembelajaran Kooperatif Model STAD untuk Membantu Mahasiswa Memahami Persamaan Diferensial Tingkat I di Politeknik Negeri Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM. Rusyidah. 2005. Pembelajaran Kooperatif Model STAD untuk Membantu Siswa Memahami Pokok Bahasan Lingkaran di Kelas II SMPN 4 Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM. Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Edisi II. Massachusetts: Allyn and Bacon. Wibawa, Basuki. 2004. Penelitan Tindakan Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
21
1
PEMBELAJARAN BANGUN KERUCUT DENGAN PENDEKATAN INITIATING DAN ELICITING UNTUK MEMBANTU PEMAHAMAN SISWA KELAS VIII SMP 06 DIPONEGORO WULUHAN KABUPATEN JEMBER
Indah Wahyuni Abstract: Cone Learning use Initiating and Eliciting Approach to Help Students’s Understanding for eighth years students of state Junior High School 06 Diponegoro Wuluhan Jember. Geometry is elementary knowledge for learn another branch of mathematics and also usefull for daily living. The fact in the field show that students’s understanding about geometry still low.That is also were felt by eighth years students of State Junior High School 06 Diponegoro Wuluhan Jember. The purpose of this research is to describe Cone learning use Initiating and Eliciting Approach for eighth years students of state Junior High School 06 Diponegoro Wuluhan Jember. This research use qualitatif approach with classroom action research. Result of the students’s test on the first action and second action show that all students who were reach score ≥ 65 are 100%. The result of angket, interview and observation in the research show that respon of the students toward cone learning use initiating and eliciting are very positive. Kata Kunci: Pembelajaran, Bangun Kerucut, Pendekatan Initiating dan Eliciting
Sebagai salah satu cabang matematika, geometri menempati posisi yang cukup penting untuk dipelajari. Geometri merupakan ilmu dasar yang digunakan sebagai ilmu bantu dalam mempelajari cabang matematika yang lain. Selain itu geometri menyediakan sarana yang dapat digunakan untuk mempermudah memecahkan masalah-masalah dalam cabang matematika yang lain (Zulkarnaini, 2004:2). Sebagai contoh konsep pecahan dapat dikonkretkan dengan penggunaan bentuk-bentuk atau bagian-bagian geometri. Pada dasarnya geometri bukan sesuatu yang asing bagi kita. Anak-anak sudah mengenal bangun-bangun geometri melalui bidang-bidang sederhana yang berada di lingkungan sekitar, misalnya almari, pintu, jendela. Menurut Suhartati (2003:2) hal ini menunjukkan bahwa geometri merupakan cabang matematika yang sudah diakrabi anak usia sekolah dan mempunyai peluang lebih besar untuk mudah dipahami siswa dibandingkan dengan cabang matematika yang lain. Namun kenyataan yang terjadi dewasa ini, geometri bukanlah sesuatu yang mudah untuk dimengerti dan dipahami oleh siswa. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran geometri sangat sulit diterima dan masih kurang efektif pelaksanaannya. Susanto (Budiarto, 2000:3) menyatakan bahwa geometri masih dianggap momok bagi peserta didik, bahkan bagi guru-guru.
2
Dalam penelitiannya Susanto (Hindraini, 2006:2) menemukan bahwa di lapangan siswa cenderung menghafal atau mengingat sifat-sifat bangun persegi dan persegi panjang. Kesulitan mempelajari geometri ternyata terjadi pada setiap jenjang pendidikan dan berlangsung dari waktu ke waktu. Kesulitan mempelajari geometri dikarenakan pembelajaran geometri pada saat ini cenderung berorientasi pada guru dan pelaksanaannyapun cenderung dilakukan secara konvensional, sehingga kurang menumbuhkembangkan kemampuan berfikir siswa (Sunardi, 2001:1). Schoenfeld (Hindraini, 2006:3) menyatakan bahwa pembelajaran matematika secara konvensional mengakibatkan siswa hanya menghafal dan bekerja secara prosedural dan memahami matematika tanpa penalaran. Berdasarkan hasil studi awal dan dialog penulis dengan guru matematika kelas VIII SMP 06 Diponegoro Wuluhan Kabupaten Jember, penulis juga memperoleh gambaran bahwa masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami konsep bangun kerucut. Berdasarkan fenomena tentang masalah pembelajaran geometri, maka peneliti perlu melakukan suatu upaya untuk mengatasi masalah pembelajaran geometri khususnya materi bangun ruang sisi lengkung kerucut. Menurut teori konstruktivis guru yang efektif tidak lagi berdiri di depan kelas dan memberitahu fakta-fakta dan prosedur-prosedur (Richardson, 2001: Wood, Cobb & Yackel, 1995 dalam Hindraini, 2006:4). Dalam teori konstruktivis siswa dituntut untuk membangun pengetahuannya sendiri yakni dapat membangun konsep-konsep dan prinsip-prinsip dari apa yang diajarkan. Senada dengan hal itu Nelson (Lobato dkk, 2005:104) mengatakan bahwa siswa mengkonstruksi pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan lama ketika mengorganisasikan pengalaman mereka, mendorong tindakan pengajaran berpusat pada mendengarkan penjelasan siswa dan memperhatikan alasan yang diungkapkan. Dilihat dari sudut pandang aktivitas pembelajaran menurut pandangan konstruktivis ini, maka salah satu model pendekatan yang sesuai sebagai salah satu alternatif solusi yang bisa mengatasi masalah tersebut adalah pembelajaran melalui pendekatan initiating dan eliciting. Pendekatan Initiating menurut Lobato dkk (2005: 102) adalah memikirkan kembali bercerita dalam tiga cara, yaitu: (a) dalam hal fungsi dan bukan dalam
3
bentuk tindakan komunikasi guru, (b) dalam hal konseptual dan bukan isi prosedural dari informasi baru, (c) dalam hal hubungannya dengan tindakan lain dan bukan sebagai tindakan yang terisolasi. Dalam pendekatan initiating dan eliciting, dilakukan melalui 3 episode, yaitu 1) Menggambarkan sebuah konsep baru (meliputi suatu ide, makna yang diasosiasikan dengan suatu simbol matematika, mengapa sesuatu bekerja, suatu imajinasi, suatu hubungan, atau hubungan di dalam ide-ide atau representasi-representasi), (2) Memberikan tugas kepada siswa sehingga informasi baru dimasukkan ke dalam percakapan, (3) Menyediakan informasi yang dibutuhkan siswa untuk menguji ide-ide mereka atau membangkitkan sebuah contoh penyangkal. Dengan menganalisis tiga episode instruksional tersebut kami mengembangkan suatu variasi pendekatan initiating dengan pendekatan eliciting dan menunjukkan bagaimana kedua pendekatan itu dapat membantu perkembangan konseptual siswa dalam matematika. Pendekatan eliciting diperlukan ketika guru berfungsi menggambarkan imajinasi, ide-ide, strategi-strategi, hubungan-hubungan, konsepsi-konsepsi dan cara melihat situasi matematika oleh siswa (Lobato dkk, 2005:102). Dalam pelaksanaannya, pendekatan eliciting ini dilakukan oleh guru dengan cara mengurangi tindakan ketika siswa mengartikulasi, membagi, berdiskusi, membuktikan, merefleksikan dan memurnikan pemahaman mereka tentang matematika. Guru melakukan eliciting dengan mengemukakan suatu tugas yang dirancang dengan hati-hati atau dengan menanyakan kepada siswa reaksi terhadap ide-ide dari siswa yang lain. Sehingga peran guru dalam pembelajaran ini adalah bertindak sebagai fasilitator dan mediator. Dewey (Lobato dkk, 2005:107) menyatakan bahwa guru harus menyediakan informasi jika diperlukan oleh siswa untuk meneruskan usaha pemecahan masalah mereka dan jika mereka tidak siap menemukannya sendiri. Lobato dkk (2005:104) mengatakan bahwa melalui pendekatan initiating dan eliciting, belajar dapat dipicu dengan suatu pengalaman ketidakseimbangan (disequilibrum) siswa melalui tindakan mengajar yang diasosiasikan dari menciptakan provokasi yang dapat mengarahkan siswa untuk membuat akomodasi dalam pengetahuan mereka. Lebih lanjut Simon (Lobato dkk, 2005:
4
104) mengatakan bahwa dalam model pembelajaran siswa melalui pengakomodasian tersebut guru harus berfokus pada pembentukan kemajuan siswa dengan memilih pertanyaan, soal dan tantangan yang baik. Senada dengan hal itu Wood (Lobato dkk, 2005:110) mengatakan bahwa guru harus menciptakan situasi yang merangsang aktivitas matematika anak-anak, dan harus menyadari bahwa pembelajaran substantif muncul melalui interaksi, konflik, dan kejutan. Pendekatan initiating dan eliciting dalam bentuk menanyakan kepada siswa, apa yang mereka pikirkan tentang sebuah ide baru dari hipotesis siswa atau mempresentasikan contoh penyangkal yang tidak disebutkan dapat menciptakan ketidakseimbangan (disequilibrum) bagi siswa. Dengan demikian pendekatan initiating dan eliciting dianggap dapat memfasilitasi pertumbuhan konseptual siswa. Pendekatan initiating dan eliciting terbukti dapat memahamkan konsep suatu materi bagi siswa karena dapat memfasilitasi pertumbuhan konseptual. Pendekatan initiating dan eliciting ini pernah diuji cobakan pada Sekolah Dasar di Melbourne dan hasilnya dapat membantu pemahaman konsep pembagian. Berdasarkan studi yang dilakukan Schwartz dan Bransford (Lobato dkk, 2005:114) terhadap mahasiswa di Cambridge dengan menggunakan pendekatan initiating dan eliciting dan hasilnya mengatakan bahwa mahasiswa sangat menghargai karena merasa terbantu dalam berfikir dengan adanya pendekatan tersebut. Menurut Munoz (Lobato dkk, 2005.114) pendekatan initiating sebagai pemusatan yang menggantikan agen ganda dalam lingkungan pengajaran yang mengkonstribusikan aktivitas mengarahkan tujuan siswa menuju aspek tertentu dari aktivitas matematika dan jauh dari yang lainnya. Mengingat pentingnya mempelajari konsep bangun kerucut dalam matematika dan dalam kehidupan sehari-hari serta berdasarkan uraian di atas, maka penulis berkeinginan untuk mencari solusi dan mengkaji lebih dalam tentang pemahaman konsep bangun kerucut melalui penelitian yang berjudul “Pembelajaran bangun kerucut dengan pendekatan initiating dan eliciting untuk membantu pemahaman siswa kelas VIII SMP 06 Diponegoro Wuluhan Kabupaten Jember”. Adapun fokus penelitiannya adalah “Bagaimanakah membelajarkan bangun kerucut dengan pendekatan initiating dan eliciting untuk
5
membantu pemahaman siswa kelas VIII SMP 06 Diponegoro Wuluhan Kabupaten Jember.”
METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian tindakan kelas (PTK). Untuk melengkapi analisis kualitatif, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kuantitatif yang sifatnya melengkapi. Sesuai dengan pendekatan dan jenis penelitian, maka kehadiran peneliti di lapangan mutlak diperlukan. Peneliti sebagai pemberi tindakan, pewawancara, pengumpul data, penganalisis data, serta sebagai pelapor hasil penelitian.
Waktu pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel Waktu Pelaksanaan Penelitian No
Hari/tanggal
09:00-09:30
- Melakukan Observasi Awal
09:30-11:00
Jum’at/18 Mei 2007
- Menyerahkan surat ijin penelitian
09:00-09:30
Sabtu/19 Mei 2007
- Memberikan Tes Awal
09:15-10:00
- Pembelajaran Tindakan I
09:15-10:45
- Memberikan Tes Akhir Tindakan I
10:45-11:05
- Melakukan Wawancara
11:05-11:15
- Pembelajaran Tindakan II
11:00-12:30
- Memberikan Tes Akhir Tindakan II
09:15-09:35
- Memberikan Angket siswa
09:35-09:45
- Melakukan Wawancara
09:45-10:00
Selasa/17 April 2007
2. 3.
6.
7.
Waktu
- Melapor kepada Kepala Sekolah
1.
4.
Kegiatan Peneliti
Sabtu/26 Mei 2007
Selasa/29 Mei 2007
Rabu/30 Mei 2007
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIIIA Sekolah Menengah Pertama (SMP) 06 Diponegoro Wuluhan Kabupaten Jember. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi (1) hasil pekerjaan siswa yang diberikan oleh peneliti dalam menyelesaikan masalah-masalah tentang bangun kerucut yang meliputi tes awal, latihan-latihan yang diberikan pada saat kegiatan pembelajaran dalam bentuk LKS dan tes akhir setelah tindakan, (2) hasil pengamatan terhadap pembelajaran dan suasana kelas pada saat pembelajaran
6
berlangsung, (3) hasil catatan lapangan, (4) hasil wawancara dengan subjek wawancara pada setiap selesai mengerjakan tes, dan (5) hasil angket respon siswa. Sumber data dalam penelitian ini adalah satu kelas dari kelas VIIIA SMP 06 Diponegoro Wuluhan Kabupaten Jember tahun pelajaran 2006/2007 yang mengikuti pembelajaran bangun kerucut dengan menggunakan pendekatan initiating dan eliciting. Sedangkan yang menjadi subjek wawancara (responden) diambil 4 siswa yang terdiri dari 1 siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan sedang, dan 1 siswa berkemampuan rendah. Prosedur yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini meliputi (1)Tes, (2) Observasi, (3) Wawancara, (4) Catatan Lapangan dan (5) Angket. Data yang terkumpul dianalisis secara bersamaan dengan menelaah seluruh data yang ada yaitu tes, wawancara, observasi, angket, catatan lapangan, foto dan sebagainya. Analisis data dilakukan setiap kali setelah pemberian suatu tindakan. Teknik analisis data yang digunakan adalah model alir (flow model) yang dikemukakan oleh Milles dan Huberman (1992:16) yang meliputi kegiatan (1) reduksi data, (2) menyajikan data, dan (3) menarik kesimpulan serta verifikasi. Keabsahan data merupakan hal yang penting dalam penelitian. Untuk mengecek keabsahan data digunakan teknik kriteria derajat kepercayaan yang dikembangkan oleh Moloeng (2002:175) yaitu: (1) Triangulasi (triangulasi sumber dan triangulasi metode), (2) Ketekunan pengamatan, dan (3) Pemeriksaan sejawat. Tahap-tahap yang dilaksanakan dalam penelitian ini mengikuti alur tindakan yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart (dalam Hopkins, 1985:34) yaitu (a) perencanaan (plan), (b) pelaksanaan (act), (c) pengamatan (observe), dan (d) refleksi (reflect) yang akan membentuk suatu siklus.
HASIL Hasil observasi dua pengamat terhadap pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa pembelajaran telah berlangsung dengan baik. Hasil observasi kedua pengamat meliputi kegiatan peneliti dan kegiatan siswa. Berdasarkan pengamatan peneliti dan 2 orang pengamat selama proses pembelajaran berlangsung terlihat bahwa siswa sangat senang dalam belajar. Sosialisasi siswa
7
dalam diskusi sudah baik. Siswa antusias dalam mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan, siswa aktif bekerja dan berdiskusi. Masing-masing siswa sudah berani untuk mengungkapkan ide-idenya pada teman sekelompok, demikian juga pada diskusi kelas. Semua kelompok mengumpulkan hasil diskusi kelompok dengan lengkap. Pada tes akhir tindakan juga tidak dijumpai siswa yang bertanya pada temannya. Hasil observasi kedua pengamat pada tindakan I dan II, taraf keberhasilan kegiatan peneliti termasuk dalam kategori sangat baik, sedangkan taraf keberhasilan kegiatan siswa termasuk dalam kategori baik. Ini menunjukkan bahwa dari segi proses pembelajaran sudah berhasil. Hasil wawancara terhadap subjek wawancara menujukkan bahwa respon terhadap pembelajaran sangat positif. Keempat subjek wawancara menyatakan senang mengikuti pembelajaran, dapat menjelaskan hasil kerja kelompok mereka, serta dapat menggunakan pengetahuan dalam konteks baru atau situasi baru. Mereka sangat senang dan suka belajar dengan pendekatan Initiating dan Eliciting karena mereka dapat bekerja sama menyelesaikan tugas serta menimbulkan rasa percaya diri yang lebih tinggi dan LKS membantu mereka dalam memahami bangun kerucut. Kemudian jika mereka belum dapat menjawab pertanyaan atau mengalami jalan buntu, maka guru membantunya dengan menyediakan informasi baru yang dibutuhkan sehingga mereka dapat menguji ide-idenya serta tidak merasa “tertekan” dalam mengemukakan ide-ide dalam pembelajaran. Sedangkan untuk melihat hasil dilakukan tes akhir tindakan. Hasil tes akhir tindakan I dan II adalah 100% dari jumlah siswa mencapai skor ≥ 65. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran sudah memenuhi keriteria keberhasilan. Ini berarti dari segi hasil pembelajaran sudah berhasil.
PEMBAHASAN Pada tahap awal pelaksanaan pembelajaran ditemukan bahwa terjadi sedikit kegaduan saat siswa bergabung dalam kelompok yang telah ditentukan. Untuk mengatasi masalah tersebut guru memberi nasehat kepada siswa supaya tertib sehingga tidak mengganggu proses belajar mengajar di kelas lain. Usaha yang dilakukan guru merupakan salah satu cara menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Hal ini sesuai dengan NCTM (1991:57) yang menyatakan bahwa
8
guru harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dengan menggunakan ruang kelas yang dapat memfasilitasi siswa dalam belajar matematika. Selanjutnya pada saat diskusi kelompok pada pembelajaran tindakan I berlangsung, ditemukan bahwa siswa kurang efektif dalam berdiskusi. Namun setelah guru memberi bimbingan dan arahan siswa sudah dapat bersosialisasi, aktif dan sudah mau bekerja sama dalam kelompok. Guru berusaha agar siswa dapat membentuk sendiri pengetahuannya melalui diskusi dengan teman sekelompok. Hal ini didukung oleh pendapat Hudojo (1988:67) bahwa peran guru sebagai pemberi ilmu sudah saatnya berubah menjadi fasilitator dan motivator sehingga siswa dapat mengkonstrusi sendiri pengetahuannya. Apabila diskusi kelas terjadi kebuntuan maka guru melakukan pendekatan eliciting dengan menyediakan informasi yang dibutuhkan siswa sehingga siswa akan dapat menguji ide-ide mereka. Pendekatan yang dilakukan guru sesuai dengan pendapat Dewey (Lobato dkk, 2005:106) bahwa guru harus menyediakan informasi jika diperlukan oleh siswa untuk meneruskan usaha pemecahan masalah mereka dan jika mereka tidak siap menemukannya sendiri. Informasi baru dari guru merupakan arahan dan bimbingan yang diberikan guru sehingga dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Siswa yang termotivasi akan lebih siap untuk belajar dan akan mencapai hasil belajar yang lebih baik. Siswa yang siap untuk belajar akan belajar lebih banyak dari pada siswa yang tidak siap. Hal ini sesuai dengan pendapat Orton (1992:9-10) bahwa siswa yang termotivasi, tertarik dan mempunyai keinginan untuk belajar akan belajar lebih banyak. Dalam diskusi kelompok siswa saling bertanya kepada teman kelompoknya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Dengan aktif bertanya, siswa dapat menggali inforamsi dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Hal ini sesuai pendapat Nurhadi (2003:46) bahwa bertanya adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk mendapatkan informasi. Siswa menggunakan bahasa mereka sendiri saat diskusi kelompok. Dengan bahasa yang sesuai, siswa mampu mengkomunikasikan ide-idenya. Hal ini sesuai dengan pendapat Skemp (1987:13) yang mengatakan bahwa bahasa dapat digunakan untuk mempercepat pembentukan konsep. Pada saat kerja sama dalam
9
kelompok, semua kelompok berusaha untuk menyampaikan pendapatnya secara lisan ataupun tulisan. Kondisi kerja sama yang semakin baik karena didorong oleh tanggung jawab individu untuk memahami hasil kerja kelompok. Setiap individu mendapat kesempatan yang sama untuk melaporkan jawaban kelompoknya kepada kelompok lain di depan kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Slavin (1995:42) bahwa tanggung jawab individual akan membangkitkan kerja sama siswa terutama antar siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Siswa tampak aktif saat presentasi hasil diskusi kelompok (diskusi kelas). Dengan aktif bertanya, siswa dapat mengklarifikasikan dengan apa yang telah diketahui atau menyakinkan informasi yang telah diperolehnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutawidjaja (2002:358) yang menyatakan bahwa ketika kelompok menyajikan laporannya (benar atau salah), kelompok akan mempunyai kesempatan berharga untuk memperbaiki laporan mereka. Pada pelaksanaan tindakan I juga ditemukan bahwa penggunaan waktu tidak sesuai dengan yang direncanakan. Selanjutnya pada pelaksanaan tindakan II, guru mengatur waktu sesuai dengan yang ditetapkan. Saat diskusi kelas juga diberikan waktu sesuai dengan rencana, guru memberikan tugas yang berupa LKS sesuai dengan waktu yang disediakan. NCTM (1991:57) mengungkapkan bahwa usaha yang perlu dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan matematika siswa yaitu menyediakan dan mengatur waktu yang dibutuhkan untuk menyelidiki cara berpikir matematika siswa. Dalam pelaksanaan pembelajaran guru mampu memberikan tugas yang mendukung tercapainya indikator yang diharapkan. Tugas yang dikerjakan siswa disajikan dalam bentuk LKS. LKS merupakan salah satu sumber belajar yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Eggen dan Kauchak (1996:305) bahwa siswa perlu diberi sumbersumber belajar yang mendukung pelaksanaan kerja kelompok. Berdasarkan evaluasi pada pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan initiating dan eliciting, ditemukan bahwa pada dasarnya penerapannya memiliki potensi yang cukup baik untuk membantu pemahaman siswa terhadap materi bangun kerucut. Hal ini ditunjukkan oleh penilaian terhadap proses dan hasil tes
10
subjek penelitian yang dilaksanakan pada setiap akhir pembelajaran mengalami peningkatan. Penilaian proses yang telah dilakukan adalah kegiatan observasi terhadap aktivitas siswa dan aktivitas guru dalam pembelajaran. Penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan belajar siswa dan keberhasilan guru selama proses pembelajaran berlangsung. Observasi terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran berdasarkan pada indikator yang telah ditentukan pada lembar observasi. Kegiatan observasi ini tidak dilakukan oleh guru tetapi dilakukan oleh 2 orang pengamat. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Nurhadi (2003:53) penilaian tidak hanya guru, tetapi bisa juga dilakukan oleh teman atau orang lain. Pada tindakan I persentase nilai rata-rata aktivitas guru adalah 92,5% dan persentase nilai rata-rata aktivitas siswa adalah 89,5% Jadi, taraf keberhasilan aktivitas guru termasuk kategori sangat baik dan aktivitas siswa termasuk kategori baik. Sedangkan pada tindakan II persentase nilai rata-rata aktivitas guru adalah 96,5% Dan persentase nilai ratarata aktivitas siswa adalah 94%. Dengan demikian taraf keberhasilan aktivitas guru dan siswa termasuk kategori sangat baik. Adapun penilaian hasil dalam penelitian ini adalah pemberian tes kepada siswa yang dilaksanakan pada akhir pembelajaran yang dimaksudkan untuk mengetahui pemahaman terhadap hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran. Berdasarkan hasil tes yang dilakukan pada tindakan I dan II, hasil belajar siswa terjadi peningkatan dan sudah selesai sebagaimana yang diharapkan. Pemahaman siswa terhadap materi bangun kerucut sangat baik. Kriteria berhasil yang ditetapkan adalah apabila 85% dari jumlah siswa memperoleh skor tes ≥ 65. Pada tindakan I dan tindakan II siswa yang memperoleh skor tes ≥ 65 mencapai 100% dari jumlah siswa. Tercapainya dua indikator asesmen otentik (authentic assessment) dalam penelitian ini yang terdiri dari penilaian proses dan penilaian hasil, dipengaruhi beberapa hal berikut. 1. Motivasi yang ditunjukkan siswa dalam proses pembelajaran sangat baik, sehingga hal ini membantu dalam meningkatkan aktivitas belajar.
11
2. Upaya guru yang maksimal dalam pembelajaran dengan merancang pembelajaran yang melibatkan tiga episode dalam pembelajaran dengan pendekatan initiating dan eliciting. 3. Dalam pelaksanaan, guru selalu berdiskusi dengan pengamat, sebagai bahan masukan serta melakukan refleksi demi perbaikan pada pelaksanaan pembelajaran berikutnya. Berdasarkan hasil penilaian terhadap proses dan hasil belajar yang diperoleh siswa setiap akhir pembelajaran tersebut, menunjukkan peningkatan yang baik. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa proses dan hasil belajar siswa sudah mengalami peningkatan dalam mempelajari materi bangun kerucut mengindikasikan bahwa pembelajaran dengan pendekatan initiating dan eliciting memungkinkan untuk dijadikan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat membantu pemahaman siswa sehingga prestasi siswa dalam belajar matematika meningkat khususnya untuk siswa SMP/MTs. Hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan pendekatan initiating dan eliciting dapat diketahui berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan hasil tes akhir setiap tindakan yang diperoleh siswa. Hasil belajar siswa merupakan gambaran pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Berdasarkan data observasi dua orang pengamat terhadap kegiatan siswa selama proses pembelajaran, siswa dapat mengenal sifat-sifat kerucut, dapat melukis jaring-jaring kerucut, dapat menemukan rumus luas permukaan kerucut dan juga menghitungnya. Berdasarkan hasil pengamatan ketika pembelajaran berlangsung dan hasil analisis angket siswa diperoleh informasi bahwa pembelajaran bangun kerucut dengan pendekatan initiating dan eliciting mendapat respon yang sangat positif dari siswa. Siswa nampak antusias dalam belajar. Kesenangan siswa terlihat saat diskusi kelompok, meski pada tindakan I ada siswa yang berkemampuan rendah yang malu-malu untuk mengeluarkan pendapatnya. Namun pada tindakan II hal ini tidak terjadi lagi. Ini disebabkan peneliti memberi motivasi dan selalu menyampaikan bahwa mereka masih belajar. Kesalahan masih bisa saja terjadi. Rasa senang juga disebabkan adanya kerjasama dalam kelompok. Dalam kelompok mereka saling menghargai. Penghargaan yang diberikan oleh siswa lain
12
dapat menimbulkan perasaan senang pada diri siswa. Siswa menyatakan senang bekerja secara kelompok karena adanya kerjasama mereka saling menghargai dan saling menghormati. Perasaan senang ini akan menimbulkan motivasi belajar siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Eggen dan Kauchak (1996:281) bahwa kerjasama dapat menimbulkan motivasi instrinsik pada siswa, bahkan tidak perlu dengan motivasi ekstrinsik. Siswa senang mengikuti pembelajaran bangun kerucut dengan pendekatan initiating dan eliciting, karena guru tidak langsung memberikan materi pelajaran. Guru hanya memberikan bimbingan dan arahan yang menuntun siswa untuk dapat memahami dan menyelesaikan tugas-tugas dalam kelompok, kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelas. Hal ini didukung pendapat Hamzah (2003) yang mengatakan bahwa guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri siswa.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Pembelajaran dengan pendekatan initiating dan eliciting dalam penelitian ini dilakukan tiga tahap yaitu tahap awal, tahap inti dan tahap akhir.
a) Tahap Awal aktivitas yang dilakukan guru sebagai berikut. 1) Menyampaikan tujuan yang akan dicapai setelah pembelajaran dilaksanakan yaitu siswa dapat memahami pengertian dan unsur-unsur kerucut, melukis jaring-jaring kerucut, menemukan rumus permukaan kerucut dan menghitungnya. 2) Membentuk kelompok belajar siswa secara heterogen berdasarkan hasil tes awal dan musyawarah dengan guru matematika. 3) Membagikan alat peraga yang berupa topi ulang tahun yang berbentuk bangun kerucut dari kertas karton.
13
b) Tahap Inti Tahap inti dilaksanakan melalui tiga episode pengajaran yang disingkat dengan K-T-I, yaitu: (1) Initiating dengan menggambarkan suatu konsep baru (K), (2) Initiating dengan memberikan tugas kepada siswa sehingga informasi baru dimasukkan ke dalam percakapan (T), (3) Initiating dengan menyediakan informasi baru sehingga siswa dapat menguji ide-idenya (I).
a. Initiating dengan menggambarkan konsep baru (K), waktu yang dibutuhkan kurang lebih 15 menit. Beberapa kegiatan dalam episode ini antara lain: Guru mengajukan pertanyaan deklaratif secara lesan untuk menggambarkan konsep baru tentang bangun kerucut dalam wawancara semi terstruktur. Siswa menanggapi pertanyaan guru dengan bahasa matematika siswa sendiri berdasarkan alat peraga. Guru mengajak siswa untuk memperhatikan alat peraga yang berupa bangun kerucut dari kertas karton
b. Initiating dengan memberikan tugas kepada siswa (T) ), waktu yang dibutuhkan kurang lebih 30 menit. Beberapa kegiatan dalam episode ini antara lain: Guru membagikan lembar kerja siswa (LKS) yang isinya pada tindakan I tentang pengertian dan jaring-jaring kerucut serta pada tindakan II tentang Luas Permukaan kerucut. Siswa memahami serta mengerjakan tugas dalam LKS secara kelompok sesuai waktu yang telah ditentukan dengan bantuan alat peraga. Guru membimbing siswa dalam menyelesaikan tugas. Setiap kelompok mengumpulkan tugas dalam LKS sesuai hasil kerja kelompoknya masing-masing. Siswa mengklarifikasi idenya dalam bentuk lisan dan tulisan / Mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas
14
Guru dan siswa yang lain mendengarkan ide-ide siswa yang presentasi secara teliti yang berhubungan dengan tugas dalam LKS . Guru meminta siswa dari kelompok lain untuk menanggapi ide siswa yang dipresentasikan di depan kelas sehingga terjadi diskusi kelas.
c. Initiating dengan menyediakan Informasi baru sehingga Siswa dapat menguji ide-idenya (I), waktu yang dibutuhkan kurang lebih 30 menit. Beberapa kegiatan dalam episode ini antara lain: Guru mengemukakan kembali ide siswa yang perlu dikaji secara mendalam dan memasukkan bahasa matematika ke dalam ide-ide siswa. Guru memberikan informasi baru di saat siswa membutuhkan serta membimbing siswa di saat diskusi. Guru membiarkan siswa berjuang/berpikir dalam menghadapi kesulitan. Guru memonitor dan mengarahkan partisipasi siswa dalam diskusi kelompok maupun diskusi kelas. Guru meminta siswa untuk menguji ide-idenya.
c) Tahap Akhir Pada tahap akhir, waktu yang dibutuhkan kurang lebih 30 menit. Beberapa kegiatan pembelajaran dalam tahap ini sebagai berikut. Guru mengarahkan siswa untuk memberikan kesimpulan tentang materi yang baru dipelajari. Guru meminta setiap kelompok untuk membuat rangkuman tentang materi saat terjadi diskusi kelas serta meminta untuk dikumpulkan. Guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang terbaik Guru memberikan tes akhir tindakan pada siswa dan memintanya mengerjakan secara individu. Di samping itu pembelajaran dengan pendekatan initiating dan eliciting telah memenuhi kriteria PAKEM (pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) dengan kategori pembelajaran aktif ,kreatif, efektif termasuk sangat tinggi dan cukup menyenangkan.
15
2. Berdasarkan penilaian proses dan penilaian hasil belajar pada setiap tindakan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa pembelajaran bangun kerucut yang dilaksanakan dengan pendekatan initiating dan eliciting dapat membantu pemahaman siswa kelas VIII SMP 06 Diponegoro Wuluhan Kabupaten Jember. 3. Dari hasil wawancara diakhir tindakan I dan II menunjukkan bahwa keempat subjek wawancara dapat menjelaskan jawaban soal tes akhir tindakan dengan benar dan menyadari kesalahan yang dilakukan pada tes akhir, walaupun pada pelaksanaan tes akhir keempat subjek wawancara itu melakukan kesulitan. Hal tersebut menunjukkan bahawa keempat subjek telah memahami materi pelajaran dengan baik. 4. Berdasarkan hasil angket bahwa respon siswa terhadap pembelajaran bangun kerucut dengan pendekatan initiating dan eliciting pada siswa kelas VIII SMP 06 Diponegoro Wuluhan Kabupaten Jember sangat positif. Siswa menyatakan senang mengikuti pembelajaran dan merasa terbantu sehingga menjadi lebih mudah dalam memahami materi pelajaran. 5. Dari hasil tes akhir setiap tindakan, pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran dikatakan baik jika siswa telah mencapai kriteria keberhasilan yang ditetapkan yaitu 85% dari keseluruhan siswa di kelas telah mencapai skor ≥ 65. Hasil tes siswa pada tindakan I menunjukkan prosentase jumlah siswa yang mencapai nilai ≥ 65 adalah 100% dengan nilai rata-rata secara klasikal mencapai 90,49 dalam rentang (0-100). Sedangkan hasil tes siswa yang diperoleh pada tindakan II menunjukkan bahwa persentase jumlah siswa yang mencapai nilai ≥ 65 adalah 95,81 dalam rentang (0-100). Hasil yang diperoleh siswa pada setiap pelaksanaan wawancara dan tes menunjukkan bahwa kriteria keberhasilan yang ditetapkan pada setiap tindakan tercapai, artinya penerapan pendekatan initiating dan eliciting dapat meningkatkan hasil pembelajaran baik dari segi proses maupun hasil. Dengan demikian pembelajaran dengan pendekatan initiating dan eliciting dapat membantu pemahaman siswa. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disebutkan beberapa saran, yaitu (1) bagi Guru (2) bagi peneliti lain.
16
(1) Bagi Guru Tabel Saran-saran bagi Guru Aspek
Pendekatan
Sarana Persiapan Alat Peraga
Ruang kelas
Waktu
Pengelompokan
Saran Guru hendaknya mengutamakan pembelajaran dengan pendekatan initiating dan eliciting sebagai salah satu bentuk pembelajaran alternatif dalam pembelajaran matematika, karena dapat melibatkan siswa secara aktif dalam aktivitas pembelajaran serta dapat meningkatkan daya kreatifitas dan mengembangkan nalar siswa dalam mengeluarkan ide-ide untuk penyelesaian suatu tugas rumus untuk menghitung luas kerucut Dalam melakukan pembelajaran, guru supaya berpedoman pada pembelajaran aktif, kreatif , efektif dan menyenangkan (PAKEM) Guru harus menjalankan perannya sebagai fasiltator, yaitu memfasilitasi siswa supaya mudah dalam belajar dengan menyediakan sarana belajar Guru juga harus menyiapkan tugas yang akan diberikan kepada siswa dengan baik menggunakan bahasa yang mudah dipahami, terutama bagi siswa yang berkemampuan rendah. Guru hendaknya menyiapkan alat peraga sesuai dengan jumlah siswa. Dalam pengelolaan kelas guru harus menciptakan suasana yang kondusif sehingga tidak ada siswa yang pasif dan bermain dari pada diskusi. Sehingga tidak menghambat proses belajar dan penyelesaian tugas. Dalam diskusi kelas, Guru harus memotivasi siswa supaya tidak boleh malu-malu dan melarang siswa untuk tidak menertawakan temannya. Guru harus mengalokasikan waktu dengan benar agar belajar menjadi efektif Guru harus membentuk kelompok yang heterogen dan membimbing dan siswa dalam pembentukan kelompok agar tidak terjadi kegaduhan sehingga tidak mengganggu kelas lain. Guru harus memberi arahan dan bimbingan sehingga siswa dapat bersosialisasi, aktif dan bekerjasama dalam kelompok dan tidak ada lagi siswa yang bekerja secara individu.
(2) Bagi Peneliti Lain Dapat melaksanakan penelitian yang serupa dengan lebih bersemangat dalam memicu siswa, menyiapkan tugas yang lebih menantang, membuat diskusi aktif serta memberikan informasi baru untuk menguji ide-ide siswa.
17
DAFTAR RUJUKAN Bogdan, R. C. & Biklen, S. K. 1998. Qualitatif Rresearch in Introduction: An Introduction to Theory and methods (Third Edition) Boston: Allyn and Bacon. Budiarto, M. T. 2000. Miskonsepsi dalam geometri dan pembelajaran geometri yang berpandu pada pendekatan konstruktivis. Makalah dismapaikan pada seminar Nasional geometri Perkembangan dan prospek geometri dan pendidikan di abad XXI. FPMIPA UNESA. Surabaya: 2 Maret. Eggen, P. D. & Kauchak, P.P. 1996. Strategies for Teacher: Teaching Content and Thinking Skill. Boston: Allyn and Bacon Handraini, D. 2006. Pemahaman konsep Keliling dan Luas Daerah Persegi Panjang dan Persegi melalui pembelajaran Strategi REACT pada siswa kelas I SMPN 13 Malang. Tesis tidak diterbitkan. PPS Universitas Negeri Malang (UM) Hopskin, D. 1985. A Teacher’s Guide to Classroom Researc. London: Open University Press. Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta:P2PLTK Hudojo, H. 1998.Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Kontekstual. Makalah disajikan pada seminar nasional upaya-upaya menyatakan peran pendidikan Matematika dalam Era Globalisasi, Perspektif Pembelajaran Alternatif-Kompetitif. PPS UM. Malang: 4 April. Kahfi, M.S. 1999. Analisis Geometri dalam Buku Paket dari Teori Van Hille. Tesis tidak diterbitkan. PPS Universitas Negeri Malang (UM) Lobato, J., Clarke, D., Ellis, A. B. 2005. Initiating and Eliciting in Teaching: A reformulation of Telling. Journal for Research in Mathematics Education, 36(3), 101-136 Milles, M. B. & Huberman, A.M. 1992.Analisa Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjejep Rohedi. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Moleong, L. J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. NCTM. 2003. Principles and Standars for school Mathematics. Reston: National Council of Teacher of Mathematics Nurhadi, Yasin, B., dan Senduk, G. A. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM Press
18
Orton, A. 1992. Learning Mathematics: Issue, Theory and Classroom Practice. Second Edition. New York: Cassel Skemp, R. 1987. The Psychology of Learning Mathematics: Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Assosiates, Publisher. Suhartati. 2003. Membantu siswa memahami konsep Diagonal ruang dan bidang Diagonal melalui model pembelajaran Advance Organizer di kelas I SMUN 01 Lhoksumawe. Tesis ini tidak diterbitkan. PPS UM. Sunardi. 2001. Pembelajaran geometri dengan pendekatan Realistik. Makalah disampaikan pada Seminar Realistik Mathematics Education (RME). Di Jurusan Matematika FPMIPA UNESA. Surabaya: 24 Februari. Sutawidjaja. A. 2002. Konstruktivisme Konsep dan Implikasinya pada pembelajaran Matematika. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. VII (Edisi Khusus): 355-359. Universitas Negeri Malang. 2000.Pedoman penulisan karya Ilmiah (Edisi Keempat). Malang: Universitas Negeri Malang Zulkarnaini. 2004. Pembelajaran Volume limas dan kerucut melalui pemecahan masalah Realistik pada siswa kelas III SMPN 01 Lhoksukon. Tesis tidak diterbitkan. PPS Universitas Negeri Malang (UM).
Pengembangan Buku Siswa Dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) Pada Topik Garis Dan Sudut Di SMP INDAH Latar Belakang Banyak orang mengatakan “Mutu pendidikan Indonesia”, terutama dalam mata pelajaran matematika, masih rendah. Sejak lama dalam setiap perdebatan tentang matematika, selalu diakhiri dengan kesimpulan yang sangat memprihatinkan. Matematika selalu diidentikkan sebagai momok yang sangat menakutkan dan memusingkan kepala (Sudiwinoto, 1999:3). Matematika dirasa sangat sulit untuk dipahami, apalagi jika diterapkan dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Seperti contohnya topik garis dan sudut yang dianggap sulit untuk dipelajari siswa. Berdasarkan diskusi pengembang dengan salah seorang guru di SMP, diketahui bahwa materi garis dan sudut ini hanya berisikan pengertian dan definisi. Dalam ujian, baik ujian semester maupun ujian nasional, tidak pernah ada soal tentang pengertian yang berhubungan dengan garis dan sudut tersebut. Padahal hasil penelitian Junaidah (2001), menyatakan bahwa letak kesalahan yang biasa ditemukan dalam pembelajaran materi garis dan sudut salah satunya disebabkan oleh ketidaksanggupan siswa dalam memahami konsep garis dan sudut. Ketidaksanggupan siswa dalam menguasai konsep garis dan sudut tidak sepenuhnya menjadi kesalahan siswa. Menurut Soedjadi (2000:1), pembelajaran matematika di sekolah masih mengikuti kebiasaan dengan urutan sebagai berikut. 1) Diterangkan teori/definisi/teorema, 2) Diberikan contoh-contoh. 3) Diberikan
1
latihan-latihan soal. Dalam pembelajaran seperti ini, guru aktif menerangkan sedangkan siswa pasif mengikuti apa yang disampaikan oleh guru. Perlu diketahui bahwa kreatifitas dalam proses pembelajaran tidak hanya bertumpu pada guru artinya pembelajaran tidak harus berpusat pada guru. Menanggapi fenomena tentang kesulitan siswa mempelajari matematika tersebut, dibagian awal bab ini perlu diadakannya beberapa perubahan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran matematika selama ini. Salah satunya yaitu dengan menerapkan KTSP (Kurukulum Tingkat Satuan Pendidikan) sebagai penyempurna kurikulum sebelumnya. Seiring dengan diberlakukannya KTSP yang merupakan bentuk terbaru dari pengembangan dan penyempurnaan kurikulum di Indonesia, para pendidik semakin gencar berupaya menggairahkan kembali dunia pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan proses pembelajaran matematika.
Dalam rangka ikut menerapkan KTSP, pengembang ingin mengembangkan suatu instrumen pembelajaran yang berupa buku siswa dengan pendekatan PMR. Produk yang akan disusun, diharapkan dapat digunakan sebagai sarana dalam pembelajaran yang dapat mendorong dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara mandiri tanpa tergantung pada guru. Pendekatan PMR ini berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari (Hadi, 2007). Selain itu, dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui pengalaman dengan berbagai situasi dalam dunia nyata (realistik). Dunia realistik dalam hal ini adalah segala sesuatu di luar matematika yang dapat berupa mata pelajaran lain
2
selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Realistik dalam hal ini tidak hanya mengacu pada realita tetapi juga pada sesuatu yang dapat dibayangkan siswa (Nurhakiki dan Tedjo D. C., 2004:3). Ada beberapa hal yang mendasari mengapa pengembangan buku siswa melalui pendekatan PMR begitu tepat diterapkan menyongsong diberlakukannya KTSP. Pertama, kurang diperhatikannya kemampuan berpikir dan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika. Menurut Sutrisno (1998), pembelajaran konsep dan prosedur dalam matematika yang dipraktekkan di sekolah selama ini pada umumnya kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-ide kreatif, kemampuan berpikir strategis, dan menemukan berbagai alternatif pemecaham masalah. Siswa menjadi sangat tergantung pada guru, tidak terbiasa melihat alternatif lain yang mungkin dapat dipakai menyelesaikan suatu masalah secara efektif dan efisien. Akhirnya, mereka hanya menghafalkan saja semua rumus atau konsep tanpa memahami maknanya dan karena itu tidak mampu menerapkannya dalam berbagai situasi aplikatif. Kedua, selama ini pembelajaran selalu berpusat pada guru. Sudah saatnya siswa dipercaya untuk mengembangkan sendiri pengetahuannya dengan tanpa menghilangkan peranan seorang guru sebagai fasilitator dan klarifikator. Ketiga, adanya tuntutan masa depan di mana diperlukan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang dapat menghasilkan output pendidikan yang berkualitas sehingga mampu berkompetisi positif dalam menghadapi tuntutan masa depan. Keempat, adanya kecenderungan berubahnya pendekatan dalam pembelajaran matematika dari behaviorisme ke konstruktivisme. KTSP merupakan bagian penting dari upaya peremajaan sistem
3
pendidikan nasional dimana KTSP yang lebih banyak memuat unsur konstruktivisme berhasil mengubah haluan kiblat pendidikan Indonesia selama ini dari behaviorisme ke arah konstruktivisme. Pendekatan PMR merupakan salah satu pendekatan yang diilhami dari pendekatan konstruktivisme. Kelima, adanya hasil-hasil penelitian mengenai PMR yang telah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi perkembangan pembelajaran matematika. PMR telah lama diujicobakan dan diimplementasikan di Belanda. Hasil implementasi tersebut ternyata membawa perubahan yang signifikan pada pemahaman siswa terhadap matematika (Marpaung dalam Inganah, 2003:6). Laporan dari TIMSS (Third International Mathematics and Science Study) menyebutkan bahwa siswa di Belanda yang pembelajaran matematikanya menggunakan PMR memperoleh hasil yang memuaskan dalam keterampilan komputasi maupun kemampuan pemecahan masalah (Yuwono, 2001:24). Ternyata, gagasan matematika dengan PMR tidak hanya di Belanda saja, melainkan juga telah diterapkan di berbagai negara. Suatu studi yang dilakukan di suatu sekolah di Puerto Rico terhadap 570 siswa, secara dramastis dan mengagumkan, menunjukkan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PMR mengalami peningkatan yang tajam dalam prestasi belajarnya (Suherman,2003:144). Di Indonesia, uji coba pembelajaran PMR telah diterapkan di beberapa sekolah. Berikut beberapa hasil penelitian pembelajaran matematika menggunakan PMR. 1. Hasil penelitian yang dilakukan Zulkardi (2003) menunjukkan bahwa siswasiswa SLTP di sekolah percobaan kota Bandung yang menggunakan pendekatan PMR menunjukkan sikap yang positif terhadap matematika. Hal
4
ini dipandang sebagai permulaan yang baik dalam pengembangan pendidikan matematika di Indonesia. 2. Saleh (2003) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam pembelajaran materi peluang siswa merasa senang dengan cara pendekatan realistik karena mereka langsung dihadapkan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari. 3. Megawati (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dengan menggunakan PMR pemahaman siswa setelah mengikuti pembelajaran sistem persamaan liniar dua peubah cukup baik. Hal ini ditandai oleh skor yang diperolah siswa pada tes akhir tindakan rata-rata 75,16. 4. Kadarwati (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pembelajaran pada pendekatan PMR mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi perkalian dan pembagian bilangan cacah. Selain itu, pengembang mengumpulkan dan mempelajari buku siswa matematika SMP yang beredar di pasaran yang banyak dipakai dalam proses pembelajaran matematika di SMP saat ini, Dalam buku-buku tersebut ternyata penyampaian materi dalam buku siswa yang berupa LKS, hanya memberikan konsep pada siswa dan bukan membantu siswa membangun konsep matematika dalam pikirannya. Berdasarkan hasil kajian, dan bertolak dari penyebab kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep garis dan sudut, pengembang mengembangkan buku siswa yang dapat membantu siswa membangun konsep matematika dengan menggunakan pendekatan PMR. Buku siswa dengan menggunakan PMR ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman siswa khusus dalam topik garis dan sudut di sekolah.
5
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, rumusan masalah dalam pengembangan ini adalah: ”Bagaimanakah dan apakah hasil menyusun buku siswa yang menggunakan pendekatan PMR pada topik garis dan sudut di SMP?” Tujuan Pengembangan Tujuan yang hendak dicapai melalui pengembangan ini adalah tersusunnya buku siswa yang menggunakan pendekatan PMR pada topik garis dan sudut di SMP.
METODE PENGEMBANGAN Model Pengembangan Pengembangan buku siswa yang menggunakan pendekatan PMR pada topik garis dan sudut di SMP ini menggunakan langkah-langkah yang dikembangkan Suhartono. Langkah-langkah pokok pengembangan menurut Suhartono ada 4 yaitu sebagai berikut. 1) Tahap analisis situasi. 2) Tahap pengembangan rancangan buku siswa. 3) Tahap pengembangan buku siswa. 4) Tahap penilaian buku siswa. Dengan berpedoman pada langkah-langkah pokok pengembangan diatas, pengembang mengembangkan buku siswa yang menggunakan pendekatan PMR pada topik garis dan sudut untuk siswa SMP. Prosedur Pengembangan Prosedur dalam pengembangan buku siswa yang menggunakan pendekatan PMR pada topik garis dan sudut di SMP ini terbagi dalam 4 tahap. Penjelasan dari tiap-tiap tahap pengembangan diuraikan sebagai berikut. 1. Tahap pertama: Analisis Situasi
6
Analisis situasi ini bertujuan untuk mengenali pokok bahasan yang dikembangkan. Ada dua kejadian yang dilakukan dalam analisis situasi awal yaitu analisis kebutuhan dan analisis materi. 1) Analisis kebutuhan Pada tahap ini penulis akan mengumpulkan buku siswa matematika SMP yang beredar di pasaran yang banyak dipakai dalam proses pembelajaran matematika di SMP. 2) Kajian materi Kegiatan ini bertujuan untuk mengenali materi pokok SMP serta kemampuan awal yang harus dimiliki siswa sebelum mempelajari pokok bahasan yang ada di kelas 2 SMP. 2. Tahap kedua: pengembangan rancangan buku siswa Tahap pengembangan buku siswa meliputi sebagai berikut. 1) Kajian pendekatan pembelajaran PMR Kegiatan pada langkah ini bertujuan untuk mengetahui prinsip-prinsip pembelajaran yang berorientasi PMR. 2) Menganalisis reverensi Kegiatan pada langkah ini bertujuan untuk mencari literatur atau referensi tentang materi yang akan digunakan untuk menyusun buku siswa. 3. Tahap ketiga: penulisan buku siswa 4. Tahap keempat: penilaian buku siswa Buku siswa yang telah ditulis selanjutnya harus dinilai. Penilaian dilakukan oleh ahli matematika dan ahli pendidikan matematika. Penulis akan memberikan waktu antara 1-2 minggu kepada masing-masing ahli untuk menilai
7
buku siswa. Pemberian waktu yang cukup ini dimaksudkan agar ahli dapat menilai pembelajaran secara maksimal. Hasil penilaian ini digunakan sebagai pertimbangan untuk melakukan revisi.
8
Untuk lebih jelasnya, tahapan-tahapan prosedur pengembangan yang dikembangkan oleh Suhartono tersebut dapat dilihat pada bagan 3.1 berikut.
Analisis Situasi Tahap Pertama
Analisis Kebutuhan
Kajian Materi
Pengembangan Rancangan Buku Siswa PPPePPPembelajaranPembelajaran Tahap Kedua
1.
Kajian Pendekatan analisis kegiatan RME
2. Analisis referensi
Penulisan Buku Siswa
Buku Siswa
Tahap Ketiga
Berisikan : 1. Penyusunan kerangka Buku siswa 2. Penyusunan Buku siswa
Uji Coba Produk Tahap Keempat
Revisi
9
PRODUK AKHIR
A. Uji Coba Produk Uji coba produk bertujuan untuk mendapatkan data yang akurat yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam melakukan revisi (perbaikan), menetapkan tingkat kevalidan, efisiensi dan atau daya tarik dari produk yang akan dihasilkan. Uji coba akan diawali dengan uji coba ahli. Uji coba ahli dari ahli pendidikan matematika. Ahli dalam hal ini terdiri dari ahli materi dan ahli media. Tinjauan ahli materi bertujuan untuk mendapatkan penilaian, pendapat dan saran terhadap keseluruhan isi yang terdapat dalam buku siswa. Tinjauan ahli media bertujuan untuk mendapatkan penilaian, pendapat dan saran terhadap kesesuaian media yang terdapat dalam buku siswa. Hasil revisi dari uji coba ahli sebagai bahan untuk melakukan uji coba lapangan. Uji coba lapangan ini dilakukan terhadap 2 kelas dari siswa SMP. Pengambilan 2 kelas dari siswa SMP ini dimaksudkan agar peserta dari uji coba lapangan lebih banyak. Hasil revisi dari uji ahli dan uji lapangan kemudian dianalisis dan selanjutnya direvisi untuk mendapatkan produk buku siswa. 1) Desain Uji Coba Desain uji coba pengembangan dapat dilihat pada diagram berikut. Desain dikembangkan oleh pengembang.
10
Desain Uji Coba Tahap Pengembangan Draf Produk Pengembangan Uji Coba ahli
Uji Coba Lapangan
Analisis
Revisi
Produk Buku Siswa
Penyebaran 2) Subjek Uji Coba Subjek uji coba untuk buku siswa ini terdiri dari 2 kelas siswa SMP (masing-masing siswa dalam setiap kelasnya terdiri dari 35 siswa), dua orang ahli, dua orang praktisi SMP, dua orang teman sejawat. a) 2 kelas siswa SMP dipilih dengan spesifikasi sebagai berikut. Siswa SMPN kelas VII Sedang melaksanakan pembelajaran garis dan sudut. b) Dua orang ahli dipilih dengan spesifikasi sebagai berikut. Sebagai dosen pendidikan matematika di perguruan tinggi Telah menyelesaikan pendidikan pada minimal S2 c) Dua orang praktisi dipilih dengan spesifikasi sebagai berikut. Sebagai guru matematika di SMP Telah menyelesaikan pendidikan minimal S1
11
d) Dua orang teman sejawat dipilih dengan spesifikasi sebagai berikut. Sebagai mahasiswa S2 pendidikan Matematika/ Pendidikan Matematika SD. 3) Jenis Data Data yang diperoleh dari subjek uji coba berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif berupa prosentase penilaian baik dalam uji ahli maupun uji lapangan. Data kualitatif berupa tanggapan, saran, dan kritikan. 4) Instrumen Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes dan angket. Tes digunakan untuk menyimpulkan hasil penilaian dari uji lapangan. Angket digunakan untuk menyimpulkan hasil penilaian dari uji ahli. 5) Teknik Analisis Data Memperhatikan jenis data yang dikumpulkan, ada dua teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan terhadap hasil tes dari uji coba lapangan, serta hasil prosentase dari angket. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data kualitatif yang diperoleh dari saran, pendapat, dan komentar dari subjek uji coba. Uji coba lapangan terhadap buku siswa yang dikembangkan oleh pengembang dikatakan berhasil jika siswa mengalami ketuntasan belajar. Ketuntasan belajar adalah hasil pengajaran yang dicapai siswa/kelompok siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Seorang siswa dianggap tuntas kegiatan belajarnya jika siswa tersebut telah menyelesaikan sekurang-kurangnya 75% dari tujuan pembelajaran yang harus dicapai dan secara klasikal jika 85% dari banyaknya siswa tersebut telah menyelesaikan sekurang-kurangnya 75% dari tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika siswa dalam uji coba buku siswa tersebut tidak mengalami ketuntasan belajar, maka perlu adanya revisi terhadap
12
buku siswa yang dikembangkan. Hasil revisi tidak diujicobakan lagi. Hasil revisi hanya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Sedangkan untuk menentukan kevalidan produk pembelajaran yang diperoleh dari angket dalam uji ahli, digunakan teknik analisis prosentase. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
P Keterangan:
x 100 % x i
P menyatakan prosentase penilaian
x
i
menyatakan jumlah penilaian dari validator
x menyatakan jumlah jawaban tertinggi Untuk menentukan tingkat kevalidan produk pembelajaran digunakan rentangan nilai yang diambil dari pedoman pendidikan (2001:62) sebagai berikut. Rentangan Nilai 85 – 100 70 – 84 55 – 69 50 – 54 0 - 49
Kreteria Kevalidan Sangat valid Valid Cukup valid Kurang valid Sangat kurang valid
Keterangan Tanpa revisi Tanpa revisi Revisi kecil Revisi besar Revisi besar
HASIL PENGEMBANGAN Penyajian data uji coba ahli Sajian data uji coba ahli diperoleh dari hasil penilaian terhadap buku siswa yang telah disusun oleh pengembang. Penilaian dilakukan oleh subjek uji coba. Subjek uji coba untuk buku siswa ini terdiri dua orang ahli, dua orang praktisi SMP, dua orang teman sejawat. Data kuantitatif dari uji ahli yang terdiri dari dua orang dosen sebagai ahli I dan ahli II, dua orang guru SMP sebagai praktisi I dan praktisi II, teman sejawat I dan teman sejawat II. dapat dilihat dalam tabel 4.3. Penentuan tingkat kevalidan produk dapat dilihat dalam tabel 4.4.
13
data dari uji ahli Nilai dari No 1.
2.
3.
4. 5. 6.
Aspek yang dinilai Halaman judul a. kemenarikan judul b. kejelasan makna dalam judul c. ketepatan pemakaian gambar dalam judul d. ketepatan ukuran huruf Daftar isi a. kemudahan dalam memahami daftar isi b. kesesuain daftar isi dengan isi buku siswa c. kejelasan daftar isi Kata Pengantar a. kemudahan memahami kata pengantar b. kejelasan isi kata pengantar c. kejelasan susunan kata pengantar Sandart kompetensi dan kompetensi dasar a. kesesuaian dengan KTSP Indikator a. kesesuaian dengan KTSP Materi a. Kesesuaian dengan KTSP b. kemudahan memahami isi materi c. kejelasan isi materi d. ketepatan kontruksi konsep e kejelasan susunan kalimat f. kesesuaian dengan indikator g. kesesuaian dengan kompetensi dasar
Ahli I
Ahli II
Praktisi I
Praktisi II
Teman sejawat I
Teman Sejawat II
4 3 3 3
4 3 3 3
4 4 3 4
4 4 4 4
3 3 3 3
4 3 3 3
4 4 4
4 4 4
4 4 4
4 4 4
4 4 4
4 4 4
3 3 3
3 3 3
3 3 3
4 4 4
3 3 3
3 3 3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4 3 3 3 3 4 2
4 3 3 3 3 3 3
4 4 4 3 3 4 3
4 3 3 3 3 3 3
4 3 3 3 3 3 3
4 3 3 3 3 3 3
14
Nilai dari No 7.
8.
9.
10.
11.
Aspek yang dinilai Kegiatan belajar siswa a. Kesesuaian kegiatan belajar dengan KTSP b. kesesuaian alat dan bahan dengan pokok bahasan c. ketepatan soal evaluasi dengan materi Gambar a. kesesuaian gambar dengan topik bahasan b. kemenarikan gambar untuk mengilustrasikan konsep c. kelengkapan keterangan pada gambar Soal latihan a. ketepatan soal latihan dengan materi b. kejelasan soal latihan c. ketepatan bahasa dalam soal latihan Soal Evaluasi a. kesesuaian soal evaluasi dengan materi b. kejelasan soal evaluasi c. kelengkapan soal evaluasi d. ketepatan bahasa dalam soal evaluasi Daftar Pustaka a. Kemudahan membaca daftar pustaka b. kesesuaian daftar pustaka denganmateri c. kemutahiran (uo to date) daftar pustaka
Ahli I
Ahli II
Praktisi I
Praktisi II
Teman sejawat I
Teman Sejawat II
4 3 2
4 3 3
4 4 3
4 3 3
4 4 4
4 4 3
3 3 3
3 3 3
4 4 4
4 4 4
4 4 4
4 4 4
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3 3
3 3 3 3
3 3 3 3
3 3 3 3
3 3 3 3
3 3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
15
Penentuan tingkat kevalidan No
Validator Aspek yang dinilai
1
Halaman judul a. kemenarikan judul b. kejelasan makna dalam judul c. ketepatan pemakaian gambar dalam judul d. ketepatan ukuran huruf
x x
Daftar isi a. kemudahan dalam memahami daftar isi b. kesesuain daftar isi dengan isi buku siswa c. kejelasan daftar isi
83.33 83.33 75.00 79.17 80.21
valid valid valid valid valid
Tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi
24 24 24
87.50 87.50 87.50 87.50
sangat valid sangat valid sangat valid sangat valid
tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi
18 18 18
24 24 24
75.00 75.00 75.00 75.00
valid valid valid valid
tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi
4
24
24
100.00
sangat valid sangat valid
tanpa revisi tanpa revisi
4
4
24
24
100.00
sangat valid sangat valid
tanpa revisi tanpa revisi
4 3 3 3 3 3 3
4 3 3 3 3 2 3
24 18 18 17 17 17 16
24 24 24 24 24 24 24
100.00 75.00 75.00 70.83 70.83 70.83 66.67 75.60
sangat valid valid valid valid valid valid cukup valid valid
tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi revisi kecil tanpa revisi
x3
x4
x5
x6
4 3 3 3
3 3 3 3
3 4 3 4
3 4 3 3
3 3 3 3
4 3 3 3
20 20 18 19
24 24 24 24
4 4 4
3 3 3
4 4 4
3 3 3
3 3 3
4 4 4
21 21 21
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4 3 3 3 3 4 2
4 3 3 3 3 3 3
4 3 3 2 2 2 2
4 3 3 3 3 3 3
1
1
Rata-rata 3
Kata Pengantar a. kemudahan memahami kata pengantar b. kejelasan isi kata pengantar c. kejelasan susunan kata pengantar Rata-rata
4
Sandart kompetensi dan kompetensi dasar a. kesesuaian dengan KTSP
x x100% x
Keterangan
x2
Rata-rata 2
P
Kriteria Kevalidan
x1
Rata-rata 5
Indikator a. kesesuaian dengan KTSP Rata-rata
6
Materi a. Kesesuaian dengan KTSP b. kemudahan memahami isi materi c. kejelasan isi materi d. ketepatan kontruksi konsep e kejelasan susunan kalimat f. kesesuaian dengan indikator g. keluasan materi Rata-rata
16
Validator No 7
8
9
10
11
Aspek yang dinilai Kegiatan belajar siswa a. Kesesuaian kegiatan belajar dengan KTSP b. kesesuaian alat dan bahan dengan pokok bahasan c. ketepatan soal evaluasi dengan materi Rata-rata Gambar a. kesesuaian gambar dengan topik bahasan b. kemenarikan gambar untuk mengilustrasikan konsep c. kelengkapan keterangan pada gambar Rata-rata Soal latihan a. ketepatan soal latihan dengan materi b. kejelasan soal latihan c. ketepatan bahasa dalam soal latihan Rata-rata Soal Evaluasi a. kesesuaian soal evaluasi dengan materi b. kejelasan soal evaluasi c. kelengkapan soal evaluasi d. ketepatan bahasa dalam soal evaluasi Rata-rata Daftar Pustaka a. Kemudahan membaca daftar pustaka b. kesesuaian daftar pustaka denganmateri c. kemutahiran (up to date) daftar pustaka Rata-rata
x x
P
x x100% x
Kriteria Kevalidan
Keterangan
x1
x2
x3
x4
x5
x6
4
4
4
4
4
4
24
24
100.00
sangat valid
tanpa revisi
3
3
3
3
3
3
18
24
75.00
sangat valid
tanpa revisi
2
3
3
3
3
3
17
24
70.83 81.94
valid sangat valid
tanpa revisi tanpa revisi
3
3
3
3
3
3
18
24
75.00
sangat valid
tanpa revisi
3
3
3
4
3
4
20
24
83.33
sangat valid
tanpa revisi
3
3
3
4
3
3
19
24
79.17 79.17
sangat valid sangat valid
tanpa revisi tanpa revisi
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
18 18 18
24 24 24
75.00 75.00 75.00 75.00
valid valid valid valid
tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi
3 3 3 3
3 3 3 3
3 3 3 3
3 3 3 3
3 3 3 3
3 3 3 3
18 18 18 18
24 24 24 24
75.00 75.00 75.00 75.00 75.00
valid valid valid valid valid
tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
18 18 18
24 24 24
75.00 75.00 75.00 75.00
valid valid valid valid
tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi tanpa revisi
17
1
1
Data kuantitatif yang berupa tanggapan, saran, dan kritikan dari ahli dapat dilihat dapat tabel 4.5 berikut. Tanggapan, Saran, Kritikan dari Ahli Ahli I Tanggapan Saran Kritikan
Tanggapan Saran Kritikan
Tanggapan Saran Kritikan
Tanggapan Saran Kritikan
Tanggapan Saran Kritikan
Tanggapan Saran Kritikan
Membuat buku siswa lagi dengan topik lain Kalian, kamu, anda, supaya diubah menjadi sama yaitu memakai kata Kalian Warna judul supaya diganti yang lebih cerah. Terlalu mahal Ahli II Bagus dan lanjutkan karena sudah mengacu pada KTSP Kalian, kamu, anda, supaya diubah menjadi sama. Keterangan dalam gambar diperjelas Perintah dalam soal latihan supaya diperjelas. Praktisi I Bagus dan dicoba dikembangkan untuk pokok bahasan yang lain. Kalian, kamu, anda, supaya diubah menjadi sama. Tiap-tiap sub pokok bahasan diberi indikator yang akan dicapai. Tampilannya terlalu mewah Praktisi II buku siswa pembelajaran ini telah mengacu pada KTSP Kalian, kamu, anda, supaya diubah menjadi sama Teman sejawat I buku siswa pembelajaran ini telah mengacu pada KTSP dan pendekatannya sudah menggunakan pendekatan PMR Kalian, kamu, anda, supaya diubah menjadi sama. Keterangan dalam gambar diperjelas Teman sejawat II buku siswa pembelajaran ini memiliki tampilan gambar yang menarik. Sampulnya warnamya biru, supaya siswa lebih tertarik -
2. Penyajian Data Uji Coba Lapangan Data uji coba lapangan terhadap buku siswa yang dikembangkan oleh pengembang dikatakan berhasil jika siswa mengalami ketuntasan belajar khususnya dalam pembelajaran garis dan sudut. Data nilai uji coba lapangan berupa nilai hasil evaluasi. Nilai hasil evaluasi terdiri dari dua yaitu:
1
data nilai evaluasi 1 Uji Coba Lapangan Nama Nama Siswa Siswa No Nilai No Kelas Kelas VIII A VIII B 1 ATY 75 1 ERW 2 CL P 78 2 EMa 3 DML 78 3 FHa 4 DRa 75 4 FNL 5 DAK 80 5 HYS 6 ESa 6 HCM 80 7 HSe 80 7 KFS 8 INi 90 8 LAl 9 LIL 77 9 Mar 10 MRo 10 MFD 77 11 NFi 88 11 NMS 12 NAp 78 12 NNi 13 NMu 77 13 NMu 14 RSe 79 14 PJP 15 RTW 15 RAF 85 16 RFi 85 16 RSa 17 RLa 80 17 SFN 18 Sas 70 18 SAm 19 SAN 70 19 TLi 20 TPL 20 UMa 65 21 ACh 77 21 AWi 22 ASu 80 22 ANS 23 AMN 85 23 CWa 24 BDP 88 24 CAv 25 DFe 25 DWi 90 26 FFa 70 26 EAL 27 GSP 75 27 GDN 28 GAW 73 28 JDL 29 Gun 75 29 LHa 30 HIP 77 30 LAr 31 IEB 74 31 MEk 32 PAP 82 32 MIA 33 RAF 88 33 PAN 34 SNa 85 34 RRh 35 TSa 75 35 VDJ Jumlah 2761 Rata-Rata 78.89 Jumlah keseluruhan 5504 Rata-rata Keseluruhan 78.63
data nilai evaluasi 2 Uji Coba Lapangan Nama Nama Siswa Siswa No Nilai No Kelas Kelas VIII A VIII B 1 ATY 78 1 ERW 2 CL P 80 2 EMa 3 DML 75 3 FHa 4 DRa 75 4 FNL 5 DAK 80 5 HYS 6 ESa 6 HCM 80 7 HSe 80 7 KFS 8 INi 85 8 LAl 9 LIL 85 9 Mar 10 MRo 10 MFD 77 11 NFi 80 11 NMS 12 NAp 78 12 NNi 13 NMu 77 13 NMu 14 RSe 79 14 PJP 15 RTW 15 RAF 83 16 RFi 83 16 RSa 17 RLa 80 17 SFN 18 Sas 75 18 SAm 19 SAN 75 19 TLi 20 TPL 20 UMa 70 21 ACh 77 21 AWi 22 ASu 80 22 ANS 23 AMN 85 23 CWa 24 BDP 80 24 CAv 25 DFe 25 DWi 90 26 FFa 80 26 EAL 27 GSP 90 27 GDN 28 GAW 80 28 JDL 29 Gun 80 29 LHa 30 HIP 80 30 LAr 31 IEB 78 31 MEk 32 PAP 82 32 MIA 33 RAF 88 33 PAN 34 SNa 85 34 RRh 35 TSa 75 35 VDJ Jumlah 2805 Rata-Rata 80.14 Jumlah keseluruhan 5597 Rata-rata Keseluruhan 79,96
Nilai 77 65 75 75 75 75 80 78 85 85 82 79 80 80 73 86 83 90 88 75 75 75 78 78 77 79 82 65 80 78 78 85 75 77 75 2743 78.37
Nilai 77 80 80 80 80 75 80 78 85 85 82 79 80 80 72 86 83 90 88 78 78 80 78 78 77 80 82 70 80 78 78 85 75 80 75 2792 79.7714
Data kuantitatif yang berupa tanggapan, saran, dan kritikan dari siswa dapat dilihat dapat tabel berikut. Tanggapan, Kritikan, Saran dari Siswa
Siswa
Komentar Siswa Siswa senang dengan tampilan bukunya Siswa senang dengan gambar yang ditampilkan dalam buku siswa Siswa senang karena belajar tidak membosankan Siswa senang karena mempunyai alternatif buku siswa
1
Revisi Produk Berdasarkan hasil analisa data, dapat disimpulkan bahwa buku siswa pembelajaran perlu direvisi. Menindaklanjuti tanggapan yang berupa komentar, saran, dan kritik dari validator yang membangun dan demi penyempurnaan buku siswa pembelajaran serta menindaklanjuti hasil nilai siswa dimana terdapat 9 orang siswa yang tidak tuntas dalam belajarnya, maka perlu dilakukan revisi pada beberapa bagian buku siswa. 1.
Adanya saran pada aspek ”cover” bahwa kombinasi warna pada judul kurang sesuai. Pengembang setuju untuk melakukan revisi. Agar kombinasi warna pada buku siswa terlihat tampak jelas dan menarik, maka kombinasi warna pada cover perlu diganti.
2.
Adanya saran pada aspek ”gambar” bahwa keterangan pada gambar kurang. Pengembang setuju untuk melakukan revisi. Agar keterangan pada gambar lebih jelas, maka pada gambar perlu ditambahkan keterangan.
3.
Adanya saran pada aspek ”soal latihan” bahwa bahasa yang digunakan agar lebih mudah dipahami oleh siswa dan perintah soal lebih diperjelas. Pengembang setuju untuk merevisi. Agar bahasa mudah dipahami dan perintah soal lebih jelas, maka bahasa yang digunakan perlu direvisi.
4.
Adanya saran penggunaan panggilan ”Anda”, ”Kalian”, ”Kamu” supaya dibuat sama dan diganti dengan ”Kalian”. Pengembang setuju untuk melakukan revisi. Agar penggunaan panggilan kepada siswa lebih sesuai dan terkesan lebih dekat dengan siswa maka untuk selanjutnya digunakan panggilan ”Kalian”.
2
KAJIAN PRODUK YANG TELAH DIREVISI Menentukan buku atau bahan ajar yang digunakan di dalam kelas sangtlah penting bagi seorang guru agar dalam mengajar tidak keluar terlalu jauh dari yang diharapkan. Selain itu, buku atau bahan ajar, dalam hal ini dalam bentuk buku siswa, juga sangat diperlukan untuk meningkatkan kualiatas pembelajaran. Draf buku siswa pembelajaran tentang topik garis dengan menggunakan PMR juga mampu memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan kualitas pembelajaran. Buku siswa pembelajaran ini telah dinilai oleh ahli-ahli yang telah berkompeten dibidangnya disamping juga diujicobakan terhadap siswa. Tanggapan, saran, kritik, serta hasil belajar dari siswa digunakan untuk menyempurnakan produk pengembangan yang ada sehingga menjadi lebih baik. Dengan menggunakan buku siswa ini diharapkan pembelajaran akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa karena pembelajaran lebih ditekankan pada pemberian masalah-masalah riil yang ada disekitar siswa. Selain itu pembelajaran ini juga dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dituntut untuk lebih aktif dan guru hanya berperan sebagai pembimbing. Buku siswa dengan pendekatan PMR ini mempunyai beberapa kelebihan, antara lain: 1.
menurut subjek ahli, buku siswa pembelajaran ini telah mengacu pada KTSP
2.
menurut subjek ahli, buku siswa pembelajaran ini memiliki tampilan gambar yang menarik.
3.
dengan buku siswa pembelajaran ini siswa diprediksi menjadi aktif dalam mengkontruksi pengetahuannya tentang topik garis (berdasarkan hasil analisis prosentase pada bab IV) 3
Buku siswa pembelajaran ini juga tidak luput dari beberapa kelemahan selain kelebihan yang telah disampaikan diatas. Salah satu kelemahannya adalah membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menerapkan buku siswa pembelajaran ini karena tidak semua siswa cepat dalam belajar dengan mengkontruksi sendiri pengetahuan mereka.
SARAN PEMANFATAN DAN PENGEMBANGAN PRODUK LEBIH LANJUT
Buku siswa pembelajaran ini dapat diterapkan pada pembelajaran matematika kelas VIII dengan subpokok bahasan garis. Namun perlu ditekankan, walaupun buku siswa ini menurut subjek ahli telah mengarah pada KTSP, akan tetapi buku siswa ini hanya sebagai salah satu alternatif yang bisa dipakai dan bukan satu-satunya bahan ajar yang dapat dimanfaatkan. Guru dapat memadukan buku siswa ini dengan bahan ajar yang lain dan dapat mengembangkan yang telah ada didalamnya sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Buku siswa pembelajaran ini telah dinilai oleh subjek. Tanggapan, saran, dan kritik dari mereka digunakan untuk merevisi dan menyempurnakan buku siswa pembelajaran ini sehingga produk pembelajaran ini menjadi lebih baik.
4
DAFTAR PUSTAKA Askury.1998. Pemanfaatan Alat Peraga Dalam Pembelajaran Bilangan Pecahan Bagi Siswa Kelas IV SD. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika yang diselenggarakan di IKIP Malang, Malang 8 April 1998 Degeng, Dr. I Nyoman Sudana.1989.Ilmu Pengajaran:Taksonomi Variabel.Jakarta:Dirjen Dikti Depdiknas Gravemeijer, Koeno.1994.Developing Realistic Mathematics Education Utrecht:Freudenthal Inntitute,Netherland Hudojo, Herman.1998.Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika yang diselenggarakan di IKIP Malang, Malang, 8 April Inganah, Siti.2003.Model Pembelajaran Segiempat dengan Pedekatan Realistik pada siswa kelas dua SLTPN 3 Batu. TESIS tidak diterbitkan: Malang. Program Pasca Sarjana. Kahfi, M. Sohibul.Pandangan Konstruktifisme dalam Pembelajaran Matematika.Malang:Jurusan Matematika FMIPA UM Lipschutz, Seymour & Hall, George G.1998. Diterjemahkan oleh Margha.Matematika Hingga Edisi SI (Metriks).Jakarta:Erlangga Mulyati, Sri.2000.Geometri Euclid.Malang:FMIPA UM Noormandiri & Sucipto,1997.Matematika Untuk SMU Kelas I.Jakarta:Erlangga Novak S.D.Gowin, D.B.1985. Learning How to Learn.New York:Glenco mc Millan/MCc Graw Hill Nurhadi & Senduk.2003.Pembelajaran Kontektual dan Penerapannya dalam KBK.Malang:UM Press Nurhakiki, Rini & Tedjo, Ety.2004.Implementasi Pendidikan Matematika Realistik Pada Pokok Bahasan Pecahan Bagi Siswa Kelas IV SD Laboratorium UM.Malang:FMIPA UM Pannen, Paulina.2001.Konstruktivisme dalam Pembelajaran.Jakarta:Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional 5
Setyosari, Punaji. 2005. Rancangan Pembelajaran.Malang: FIP UM Soedjadi, 2000.Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia:Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan.Jakarta:Dikti Sudiwinoto.1998.Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika.Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika yang diselenggarakan di IKIP Malang, Malang, 8 April 1998 Suherman, H. Erman,dkk.2003.Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung:Universitas Pendidikan Indonesia. Suhartono. 1997. Suplemen Pengembangan Bahan Pembelajaran Individual. Malang: FIP IKIP Malang Suryanto.1998.Pembentukan Soa; dalam Pembelajaran Matematika.Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika yang diselenggarakan di IKIP Malang, Malang, 8 April 1998 Suparman, 2001.Desain Instruksional.Jakarta:Dirjen Dikto Depdiknas Suparno,P. 2001.Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.Yogyakarta: Kanicius Sutrisno,Tri.2003.Peningkatan Pemahaman Konsep Fisika Melalui Model Pembelajaran Fenomenologis dengan Pendekatan Konstruktivisme Siswa Kelas I SLTPN 5 Malang. Skripsi tidak diterbitkan: Malang. FMIPA UM Sutawidjaja, Akbar.2004. Memanfaatkan KBK (Kelompok Bidang Keahlian) Untuk Mempercepat Pengembangan Skripsi Matematika.Makalah disajikan pada Lokakarya Peran KBK dalam Meningkatkan Efisiensi dan Produktifitas Penyusunan Skripsi Mahasiswa, Malang, 20 Agustus 2004. Suyanto.1996/1997.Pedoman Pelaksanaan Pengembangan PTK. Bagian kesatu: Pengenalan PTK.Yogyakarta:IKIP Yogyakarta Universitas Negeri Malang.2000.Pedoman Pengembangan Karya Ilmiah.Malang:UM Press Yuwono,Ipung.2001.Pendidikan Matematika Realistik Untuk Mengimplementasikan Kurikulum 2004 dalam Pembelajaran Matematika.Makalah disajikan pada Workshop kegiatan Piloting JICA IMSTEP FMIPA UM, Malang Zuenurie.2007.Menjadikan Pelajaran Matematika Lebih Bermakna Bagi Siswa,(Online), (http:/zainurie.wordpress.com/2007/) 6
Zulkardi.2003.Pendidikan Matematika Republik Indonesia,(Online), (http://www.pmri.or.id/)
7
Eksplorasi Pemahaman Mahasiswa Mengenai Konsep Keterbagian Bilangan Bulat Oleh: Maryono PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu faktor yang mempengaruhi proses belajar mengajar matematika adalah mahasiswa/siswa (peserta didik) (Hudojo, 1988:6). Siswa seringkali kurang mampu membaca serta memahami buku teks matematika (Bell, 1981:517). Misalnya, mereka belum dapat memahami definisi suatu konsep dengan baik. Padahal, memahami definisi suatu konsep dalam matematika diperlukan untuk mempelajari matematika dan menulis tentang matematika (Purwanto, 2006:1). Pemahaman sangat penting dalam belajar matematika (As’ari, 1998:2). Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa memahami suatu konsep dengan baik seringkali dilewatkan oleh mahasiswa. Mereka cenderung membaca definisi begitu cepat dan terburu-buru dalam menyelesaikan masalah matematika (Fu’ad, 1993:43). Bila keadaan ini terus berlanjut, tentu mengakibatkan dangkalnya pengetahuan yang diperoleh mahasiswa karena kurangnya pemahaman. Padahal, dari sudut pandang psikologi, khususnya psikologi kognitif yang berkembang akhir-akhir ini, belajar matematika haruslah dengan pemahaman (Hiebert dan Carpenter, 1992:65). Pemahaman terhadap konsep matematika merupakan hasil konstruksi atau rekonstruksi terhadap objek-objek matematika. Konstruksi atau rekonstruksi tersebut dilakukan melalui aktifitas berupa aksi-aksi matematika, proses-proses, objek-objek yang diorganisasikan dalam suatu skema untuk memecahkan suatu permasalahan (Dubinsky, 2000; De Vries:2001). Hal ini dapat dianalisis melalui suatu analisis dekomposisi genetik sebagai operasionalisasi dari Teori APOS (Action, Processes,
1
Object, and Schema). Selanjutnya Piaget dan Garcia (dalam Baker, et al, 2000) menyatakan bahwa perkembangan skema merupakan suatu proses yang dinamis dan selalu berubah, sedangkan pengetahuan tumbuh berdasarkan mekanisme tertentu yang meliputi tiga tahap (tahap intra, tahap inter, dan tahap trans) yang terjadi pada urutan tetap dan disebut triad. Apabila seseorang dihadapkan pada suatu permasalahan dari suatu topik matematika, maka skema yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut akan dapat dipetakan ke salah satu level dari triad. Teori APOS yang dikaitkan dengan Teori Triad dari Piaget dan Garcia telah digunakan dalam beberapa penelitian mengenai pemahaman mahasiswa dan siswa tentang berbagai topik matematika, misalnya penelitian pemahaman mahasiswa tentang konsep dalil rantai yang dilakukan oleh Clark, et al (1997), penelitian tentang konsep kalkulus yang digunakan dalam pemecahan masalah sketsa grafik dari suatu fungsi (Baker, et al, 2000) dan penelitian McDonald (dalam Weller, et al, 2000) tentang konsep barisan. Dari analisis tersebut ternyata Teori APOS dapat digunakan untuk menginvestigasi perkembangan pemahaman matematika secara umum termasuk matakuliah Teori Bilangan. Menurut pengamatan penulis, analisis tingkat pemahaman konsep-konsep dasar dalam Teori Bilangan yang mana merupakan hal yang sangat penting dalam matematika kurang mendapat perhatian dalam penelitian pendidikan matematika. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Eksplorasi Pemahaman Mahasiswa Mengenai Konsep Keterbagian Bilangan Bulat” dengan menggunakan kerangka Teori APOS dari Dubinsky yang dikaitkan dengan Teori Triad dari Piaget dan Garcia pada mahasiswa Program Studi Tadris Matematika Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Tulungagung Tahun Akademik 2007/2008.
2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) bagaimanakah tingkat pemahaman mahasiswa tentang konsep keterbagian bilangan bulat?, (2) sejauh manakah mahasiswa mengembangkan strategi kognitifnya dalam menyelesaikan soal-soal Teori Bilangan yang berkaitan dengan keterbagian bilangan bulat? Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari dua rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) mendeskripsikan tingkat pemahaman mahasiswa tentang konsep keterbagian bilangan bulat, (2) mendeskripsikan strategi kognitif mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal Teori Bilangan yang berkaitan dengan keterbagian bilangan bulat.
METODE PENELITIAN Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena karakteristik penelitian ini sama dengan karakteristik penelitian kualitatif seperti yang diungkapkan Moleong (2002: 4-8) bahwa penelitian kualitatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) mempunyai latar alami; (2) peneliti sebagai instrumen utama; (3) menggunakan metode kualitatif; (4) analisis data secara induktif; (5) teori dari dasar (grounded theory); (6) bersifat deskriptif; (7) lebih mementingkan proses dari pada hasil; (8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus penelitian; (9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data; (10) desain penelitian bersifat sementara; dan (11) hasil
3
penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. Adapun jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di semester II (dua) tahun akademik 2007/2008 pada program studi (prodi) Tadris Matematika (TMT) jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung, yang beralamatkan di Jalan Mayor Sujadi Timur Nomor 46 Tulungagung. Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ini berupa: (1) jawaban tertulis dari mahasiswa pada saat mengikuti tes tertulis; (2) kumpulan data atau pernyataan verbal dari mahasiswa yang diperoleh dari hasil wawancara antara peneliti dengan subjek penelitian; (3) hasil pengamatan (observasi) terhadap mahasiswa selama penelitian berlangsung; dan (4) catatan lapangan atau jurnal dalam rangkaian kegiatan penelitian. Sumber data dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester II kelas A pada prodi TMT jurusan Tarbiyah STAIN Tulungagung tahun akademik 2007/2008 sebanyak 51 orang yang terdiri atas 17 laki-laki dan 34 perempuan. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data saat pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut: (1) Tes Tertulis, (2) Wawancara, (3) Pengamatan/Observasi, dan (4) Pencatatan Lapangan/Jurnal Analisis Data Data penelitian yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan alur kegiatan analisis data yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992), yaitu reduksi
4
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Analisis data dilakukan terbatas pada apa yang didemonstrasikan siswa (baik lisan maupun tulisan). Berdasarkan alur analisis data yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, maka analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) menelaah semua data yang terkumpul dari data dan sumber data, (2) membuat klasifikasi dari hasil tes tertulis menurut konstruksi mental tertentu yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaiakan soal tes, yaitu konstruksi mental aksi, proses, objek, dan skema dari kerangka Teori APOS, (3) mendeskripsikan data hasil wawancara yang dibuat menurut urutan pemahaman mahasiswa, (4) melakukan verifikasi (penarikan kesimpulan) dari data dan sumber data yang sudah diklasifikasikan dan ditranskripkan pada penyajian/paparan data. Pengecekan Keabsahan Data Untuk menjamin keabsahan data dalam penelitian ini, digunakan teknik kriteria derajat kepercayaan, yaitu: (1) ketekunan pengamatan, (2) triangulasi, dan (3) pengecekan teman sejawat (Moleong: 2002:177-179). Tahap-tahap Penelitian Secara umum tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) melihat latar subjek, (2) menyiapkan soal-soal tes tertulis dan wawancara, (3) pelaksanaan tes tertulis, (4) pelaksanaan wawancara pada subjek terpilih, (5) pendeskripsian pemahaman subjek berdasarkan hasil tes tertulis dan wawancara menurut kerangka Teori APOS dan Triad, (6) pembahasan, dan (7) penarikan kesimpulan.
5
HASIL PENELITIAN Berdasarkan kriteria teori APOS, hasil tes tertulis, dan hasil wawancara dengan mahasiswa maka ada empat konstruksi mental tertentu yaitu aksi, proses, objek dan skema. Tabel 1 berikut menunjukkan tingkat pemahaman mahasiswa mengenai konsep keterbagian bilangan bulat berdasarkan kerangka teori APOS. Tabel 1 Tingkat Pemahaman Mahasiswa Mengenai Konsep Keterbagian Bilangan Bulat Berdasarkan Kerangka Teori APOS No. Urut 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47.
Nama Mahasiswa Abdul Rahman T. Agustianingsih O. Ahmad Asroji Anis Istiqomah Apri Muntohar Arini Zahrotul L. Astutik Mutoharoh Bahrun Tantowi Binti Sholihah Bisri Saekhoni Candra Kurniawan Deni Diantoro Devita Mayasari Dewi Umayah Dinik Putri Susanti Dwi Andri Setiani Edi Triono Edi Widodo Elin Nurhidayati Endang Puji R Endrik Pajar P. Faridatul Wasimah Fendi Asrivin Fitri Yulaikhah Fuadiatun Nikmah Hari Satyawan Hariratuz Zulfa Hendra Adi K. Hidayatus Sholihah Husna Hidayati Husna Mar’atus S. Indah Hergianasari Isnatul Kusna Iva Hidayatun N. Lia Ruth Selvia D. Luluk Fitriana Luvy Adhitama Ahyat Syaifun N. Chusnul Kotimah F Dewi Ariyani S. Femi Indrawati Infirul Tati’ah Siti Nur Asiyah Syaiful Anhar Syukrul Muntamah Eka Vivin Indriani Hanik Nasidah
Keterangan: A : Aksi
1a A O S A P O A A O A A A A O O A S S O O A P O * A A A S A O O A * A A P A S O O O S S S S O O
1b A O S A P O A A A A A A A O A A S S O O A P O * A S A S A O O A * A A A A S O * O * S S A * *
P : Proses
1c A O S A P O A A O A A A A O O A S S O O A P O A A S A S A O O A * A A P A S O O O O S S O O O
1d A O S A P O A A O A A A A O O A S S O O A P O A A S A S A O O A * A A A A S O O O O S S O O O
2a O O O * O O * * O P O A O P P O P A P O P O O O A A P * A O P * A P P P O P P A P P O O A A A
2b * * * * * * * * * * * A * * O * P A O * P * P * O A * P P * O O * O P P * P P O O * O * A O P
O : Objek
6
Nomor soal 2c 2d O O O O A A * P O O * * P P P A O O O O * * * * * * * O P P O O * * P A P P O O * * O O O O * * A A * A * P * * A A O O O O * P A A P P * P O O O O * P * O * A * * O O O O O O O O A A A A
3a * P * * P * * * * * * O * * * * * * * A * A O * * * * * * * O * * S * S * A * P * * O P O * *
S : Skema
3b O S * O O O O * O O O S O S S O * A S O S S S S O S O S S S S * * A O S O A S O S O S O S * S
3c O S O O O O * * O O O S O S S O * A S S S S S S O * O S O S S S * A O S O A S O S O S O S A A
3d O S O O O * O * O O O S O S S O * * * * S * S S O * O * O S S S * S O * O * S * S * S * S * *
4 O S * O S S * * S * O S * S S S * A S O A O O S S O * S S S S * O S * S O S S O S S S O O S S
* : diluar APOS
5 O O * O O O O * O O O O O O S O O * O O * S O O O P O O O * S O O O O O O O O * S * S O * O O
Adapun jumlah dan prosentase tingkat pemahaman mahasiswa mengenai konsep keterbagian bilangan bulat berdasarkan kerangka teori APOS untuk masingmasing butir soal disajikan dalam Tabel 2 Berikut. Tabel 2 Jumlah dan Prosentase Tingkat Pemahaman Mahasiswa Mengenai Konsep Keterbagian Bilangan Bulat Berdasarkan Kerangka Teori APOS No. Jumlah/ Tingkat Pemahaman Mahasiswa Total Prosentase Soal Aksi Proses Objek Skema Lain-lain Jumlah 18 3 15 9 2 47 1a Prosentase 38,30 % 6,38 % 31,91 % 19,15 % 4,26 % 100% Jumlah 21 2 10 8 6 47 1b Prosentase 44,68 % 4,26 % 21,28 % 17,02 % 12,77 % 100% Jumlah 18 3 17 8 1 47 1c Prosentase 38,30 % 6,38 % 36,17 % 17,02 % 2,13 % 100% Jumlah 19 2 17 8 1 47 1d Prosentase 40,42 % 4,26 % 36,17 % 17,02 % 2,13 % 100% Jumlah 10 15 17 0 5 47 2a Prosentase 21,27 % 31,91 % 36,17 % 0% 10,64 % 100% Jumlah 4 10 10 0 23 47 2b Prosentase 8,51 % 21,28 % 21,28 % 0% 48,93 % 100% Jumlah 6 6 17 0 18 47 2c Prosentase 12,76 % 12,76 % 36,17 % 0% 38,30 % 100% Jumlah 10 8 20 0 9 47 2d Prosentase 21,28 % 17,02 % 42,55 % 0% 19,15 % 100% Jumlah 3 4 5 2 33 47 3a Prosentase 6,39 % 8,51 % 10,64 % 4,26 % 61,70 % 100% Jumlah 3 0 18 20 6 47 3b Prosentase 6,38 % 0% 38,30 % 42,55 % 12,77 % 100% Jumlah 5 0 18 19 5 47 3c Prosentase 10,64 % 0% 38,30 % 40,42 % 10,64 % 100% Jumlah 0 0 15 15 17 47 3d Prosentase 0% 0% 31,91 % 31,91 % 36,17 % 100% Jumlah 2 0 12 24 9 47 4 Prosentase 4,26 % 0% 25,53 % 51,06 % 19,15 % 100% Jumlah 0 1 33 5 8 47 5 Prosentase 0% 2,13 % 70,21 % 10,64 % 17,02 % 100% RataJumlah 8,50 3,86 16,00 8,43 10,21 47 Prosentase 18,09 % rata 8,21 % 34,04 % 17,93 % 21,73 % 100 % Total 119 54 224 118 143 658
Berikut ini akan diuraikan garis besar data yang telah dikumpulkan berkaitan dengan berbagai tingkat pemahaman mahasiswa pada saat menyelesaikan soal-soal keterbagian bilangan bulat dalam kerangka teori APOS. a. Soal Nomor 1 1) Aksi Jawaban mahasiswa yang menunjukkan tingkat pemahaman pada tahap aksi adalah seperti berikut.
7
B = 23.34.52.72 B = 793800 793800 66150 sisa 0 12 disimpulkan 12 membagi B.
Dari jawaban tersebut terlihat bahwa mereka menghitung dulu nilai B dengan cara mengalikan semua faktor-faktornya, kemudian baru dibagi dengan 12. Karena sisa pembagiannya 0, maka disimpulkan bahwa 12 membagi B. 2) Interiorisasi: dari Aksi ke Proses Jawaban tertulis mahasiswa yang tingkat pemahamannya sampai pada tahap interiorisasi sama dengan jawaban mahasiswa yang pemahamannya masih pada tahap aksi, tetapi pada waktu wawancara mereka dapat menjelaskan bagaimana mereka dapat mementukan 12 membagi B. Berikut ini petikan wawancara peneliti dengan mahasiswa nomor urut 5 (AM) P : Untuk yang pertama tentang nomor 1a. Coba Kamu jelaskan bagaimana kemarin Kamu menjawab seperti itu! M : Langkah pertama B = 23.34.52.72 saya kalikan dan dihitung hasilnya B = 793.800, kemudian 793.800 saya bagi dengan 12 ternyata hasilnya 66.150 sisanya 0. Maka saya simpulkan 12 membagi B.
3) Enkapasulasi: dari Proses ke Objek Berikut ini salah satu jawaban mahasiswa yang sudah mampu mengenkapsulasi proses ke objek. B = 23.34.52.72 B = 793800 12 I B artinya 12 I 793800 793800 = 12.x, x Z 793800 = 12.66150 disimpulkan 12 membagi B.
atau B = 12.x, x Z B = 23.34.52.72 B = (22.3). 2.33.52.72 Karena 2.33.52.72 Z , maka 12 membagi B.
Dari jawaban di atas terlihat bahwa mahasiswa tersebut menghitung dulu nilai B, kemudian disajikan dalam bentuk definisi keterbagian yaitu 793800 = 12.66150, dengan 66150 Z . Selain itu untuk jawaban yang lain terlihat bahwa mereka tidak
8
memakai hitungan sama sekali. Mereka hanya mencari faktor prima dari B yang apabila dikalikan menghasilkan 12, yaitu 22.3, sehingga B bisa dinyatakan dalam bentuk B = (22.3). 2.33.52.72. Karena 2.33.52.72 Z , maka menurut definisi keterbagian disimpulkan 12 membagi B. 4) Tematisasi: dari Objek ke Skema Berikut ini jawaban mahasiswa yang sudah sampai pada tahap ini. 12 membagi B, maka B dibagi 12 sebagai berikut: 3 B 2 3.34.5 2.7 2 2.33.5 2 7 2 sisa 0. 12 2 2.3 Karena sisa 0 maka disimpulkan 12 membagi B adalah benar. Dari jawaban di atas dapat dilihat bahwa mereka sama sekali tidak menggunakan hitungan untuk menentukan 12 membagi B atau tidak. Mereka hanya menggunakan faktorisasi prima dari B dan 12, dan mencoret faktor yang sama dari keduanya. b. Soal Nomor 2 1) Aksi Jawaban mahasiswa yang masih pada tahap aksi adalah sebagai berikut. 1 I x, x Z artinya 1 membagi x misal untuk x = 1,2,3 x = 1 maka x/1 = 1/1 = 1 sisa 0 x = 2 maka x/1 = 2/1 = 2 sisa 0 x = 3 maka x/1 = 3/1 = 3 sisa 0 jadi terbukti 1 I x, x Z
Dari jawaban tersebut terlihat bahwa mereka menggunakan cara coba-coba untuk beberapa nilai x Z , karena memenuhi syarat keterbagian yaitu sisa pembagiannya 0, maka disimpulkan 1 I x, x. Hal ini diperjelas dengan hasil wawancara dengan HS seperti berikut. P M
: Nah, sekarang kita lanjutkan yang nomor 2. Coba Kamu jelaskan yang nomor 2a, apakah 1 membagi x untuk setiap x Z ! : Kemarin untuk soal ini saya sama sekali tidak mengerti Pak.
29
2) Interiorisasi: dari Aksi ke Proses Pola jawaban mahasiswa pada tahap ini adalah sebagai berikut. 1 I x maka x = 1.p, p Z dan untuk hasilnya adalah bilangan itu sendiri karena berapapun bilangan jika dibagi 1 hasilnya bilangan itu sendiri. atau 1 I x karena ada x Z yang memenuhi x = 1.x atau 1 I x karena bilangan 1 membagi atau mengelompokkan bilangan bulat ke dalam satu kelompok yaitu 1.p
Mereka dapat membayangkan (menggunakan imajinasinya) untuk menentukan pola pada soal, apakah 1 I x jika x diganti dengan bilangan-bilangan bulat. 3) Enkapsulasi: dari Proses ke Objek Jawaban mahasiawa pada tahap ini secara umum adalah sebagai berikut. 1 I x, karena ada x Z sehingga x = 1.x Jawaban tersebut cukup singkat, tapi sudah sesuai dengan definisi keterbagian bilangan bulat. Berikut beberapa petikan wawancara yang memperjelas hal tersebut. Petikan wawancara peneliti dengan FW: P : OK, sekarang kita lihat yang nomor 2a, apakah 1 membagi x untuk setiap x Z ? Apa definisi 1 membagi x? M : Artinya x = 1.a, a Z . P : Berapa nilai a? M : a = x Pak. P : Jadi lengkapnya bagaimana jawabannya? M : 1 membagi x, adalah benar karena ada x Z sehingga x = 1.x.
4) Tematisasi: dari Objek ke Skema Untuk nomor 2 tidak ada mahasiswa yang pemahamannya sampai pada tahap skema. c. Soal Nomor 3 1) Aksi Berikut jawaban subjek pada tahap ini.
3 10
p I r misalnya 2 I 6 p I s misalnya 2 I 4 Sehingga 2 I 6+4 Disimpulkan p I r+s
Dari jawaban tersebut terlihat bahwa aksi mahasiswa untuk menyelesaikan soal nomor 3b adalah memisalkan p, r, dan s dengan bilangan bulat. Hal ini menunjukkan bahwa subjek masih megandalkan aktifitas prosedural saja. Hal ini diperjelas dengan kutipan wawancara peneliti dengan subjek ASN sebagai berikut. P : OK, begitu ya caranya dan untuk lebih lengkapnya dalam menjawab x membagi x karena ada 1 Z sehingga x = x.1. Kemudian sekarang kita menuju nomor 3, disitu tidak ada satupun soal yang Kamu jawab. Tidak apa-apa karena memang tujuan kegiatan ini selain untuk wawancara juga untuk meningkatkan pemahaman Kamu tentang keterbagian bilangan bulat. Nah pada nomor 3 diketahui seperti tertera pada soal, yang 3b, apakah p membagi r+s? M : Kemarin itu saya awalnya mau memakai pemisalan seperti ini Pak, p = 2, q = 1, r = 4, s = 6, t = 8. Tapi saya ragu-ragu boleh apa tidak menjawab memakai pemisalan? P : Kalau menjawab tidak, memang cukup mengambil contoh (pemisalan) tetapi tidak memenuhi seperti yang dimaui soal, contohnya ya yang nomor 3a. Jadi dalam menjawab 3a, kita cukup menulis p+q membagi r adalah salah, karena ada 2 membagi 4 dan 1 membagi 4 tetapi 2+1 tidak membagi 4. Sedangkan kalau menjawab iya harus kita buktikan dengan deduktif tidak boleh dengan contoh. Misalnya seperti 3b ini. 3b pernyataannya sudah benar, jadi kita tidak boleh memakai contoh.
2) Interiorisasi: dari Aksi ke Proses Untuk nomor 3 ini tidak ada subjek yang tingkat pemahamannya sampai pada tahap ini. 3) Enkapsulasi: dari Proses ke Objek Berikut jawaban dari subjek untuk soal nomor 3 secara umum. Diketahui p I r maka r = p.x dan p I s maka s = p.y p.x + p.y = p(x+y) disimpulkan p I r+s
Jawaban di atas menunjukkan bahwa subjek sebenarnya sudah menggunakan definisi untuk menjawab soal, artinya mereka sudah memiliki pemahaman konseptual. Tetapi pada jawaban mereka belum nampak adanya hubungan antara yang diketahui dengan langkah selanjutnya. Disitu kelihatan ada langkah yang terkesan “dilompati” oleh mereka.
4 11
4) Tematisasi: dari Objek ke Skema Jwaban subjek untuk nomor 3 secara umum adalah sebagai berikut. p I r maka r = p.x, x Z p I s maka s = p.y, y Z r + s = p.x + p.y = p(x+y) karena r+s Z , maka disimpulkan p I r+s Diketahui dan
+
Dari jawaban tersebut terlihat bahwa subjek sudah menggunakan definisi keterbagian dan objek lain yaitu menjumlahkan 2 persamaan dan menggunakan sifat tertutup pada penjumlahan untuk menyelesaikan soal. Berikut ini petikan wawancara yang memperjelas hal tersebut. Petikan wawancara peneliti dengan FW: P : baiklah selanjutnya kita lanjutkan yang nomor 3b, disitu jawabanmu sudah tepat, cuma saya ingin tahu, mengapa kamu menuliskan x+y Z ? M : Karena x Z dan y Z . P : Lho yang Z kan x dan y, bukan x+y, berarti kalau menyimpulkan x dan b Z maka x+y juga Z alasannya sifat apa? M : Tertutup Pak. P : Bagus, lengkapnya sifat tetutup pada penjumlahan.
d. Soal Nomor 4 1) Aksi Berikut jawaban subjek pada tahap ini. Apakah 3 I n3 – n? Iya, contohnya
12 1 0 0 sisa 0 3 3 3 2 2 6 untuk n = 1 maka 3 sisa 0 3 2 untuk n = 0 maka
Dari jawaban tersebut terlihat bahwa aksi kedua subjek terhadap soal adalah mencoba-coba beberapa nilai n, yaitu untuk n = 1 dan n = 2. Setelah diperiksa ternyata keduanya memenuhi, maka disimpulkan 3 I n3 – n adalah benar. Hal ini menunjukkan bahwa subjek hanya melakukan aktifitas prosedural saja, yaitu mensubstitusi nilai n = 1 dan n = 2 ke n3 – n /3.
5 12
2) Interiorisasi: dari Aksi ke Proses Untuk soal nomor 4 ternyata tidak ada subjek yang tingkat pemahamannya pada tahap proses. 3) Enkapsulasi: dari Proses ke Objek Secara umum jawaban dari subjek pada tahap ini adalah sebagai berikut. Apakah 3 I n3 – n, n Z 3 I n3 – n maka n3 – n = 3r n = 3r, 3r+1, 3r+2 misal n = 3r maka n3 – n misal n = 3r + 1 maka
n3 – n
Jadi 3 I n3 – n.
= (3r)3 – (3r) = 27r3 – 3r = 3(9r3 –r) = (3r + 1)3 – (3r + 1) = 27r3 + 27r2 + 9r + 1 – 3r – 1 = 27r3 + 27r2 + 6r = 3 (9r3 + 9r2 + 2r)
Dari jawaban tersebut terlihat bahwa subjek sebenarnya sudah menggunakan definisi keterbagian dan dalil algoritma pembagian untuk menjawab soal akan tetapi jawaban subjek masih kurang, yaitu mensubstitusikan nilai n = 3r + 2. Karena menurut dalil algoritma pembagian, jika bilangan bulat dibagi 3, maka ada 3 kemungkinannya ada 3 macam yaitu 3r, 3r + 1, dan 3r + 2. 4) Tematisasi: dari Objek ke Skema Secara umum jawaban subjek adalah sebagai berikut. Apakah 3 I n3 – n, n Z 3 I n3 – n maka n3 – n = 3r karena dibagi 3, maka n dibagi menjadi 3 kelompok yaitu n= 3r, n = 3r+1, dan n = 3r+2 untuk n = 3r maka n3 – n = (3r)3 – (3r) = 27r3 – 3r = 3(9r3 –r) 3 karena (9r –r) Z maka untuk n = 3r memenuhi untuk n = 3r + 1 maka n3 – n = (3r + 1)3 – (3r + 1) = 27r3 + 27r2 + 9r + 1 – 3r – 1 = 27r3 + 27r2 + 6r
= 3 (9r3 + 9r2 + 2r) karena (9r3 + 9r2 + 2r) Z maka untuk n = 3r + 1 memenuhi untuk n = 3r + 2 maka n3 – n = (3r + 2)3 – (3r + 2) = 27r3 + 54r2 + 36r + 8 – 3r – 2 = 27r3 + 54r2 + 33r + 6 = 3 (9r3 + 18r2 + 11r + 2) 3 2 karena (9r + 18r + 11r + 2) Z maka untuk n = 3r + 2 memenuhi Jadi 3 I n3 – n n Z .
Dari jawaban tersebut terlihat bahwa subjek dalam menjawab soal menggunakan dalil algoritma pembagian, definisi keterbagian, sifat tertutup pada perkalian dan
6 13
penjumlahan, serta substitusi persamaan ke persamaan yang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa subjek sudah menggunakan objek matematika lain dalam menjawab soal. e. Soal Nomor 5 1) Aksi Untuk soal nomor 5 ini ternyata tidak ada mahasiswa yang tingkat pemahamannya berada pada tahap aksi. 2) Interiorisasi: dari Aksi ke Proses Berdasarkan Tabel 4.1 dan 4.2 mahasiswa yang pemahamannya sampai pada tahap proses untuk soal nomor 5 hanya ada 1 mahasiswa yaitu nomor urut 26 (HS). Pada lembar jawaban HS hanya menuliskan bahwa bilangan yang dimaksud adalah 7832. Adapun cara mendapatkan jawaban tersebut dijelaskan subjek pada saat wawancara sebagai berikut. P M P M
: : : :
P : M : P : M :
OK sekarang kita lanjutkan yang nomor 5. Bagaimana kamu menjelaskan jawabanmu? Begini Pak, kemarin saya memakai cara dihitung langsung. Maksudnya? Saya mulai dari 7825 dibagi 8 ternyata tidak bisa, kemudian saya coba 7826 dibagi 8 ternyata juga tidak bisa. Terus saya coba langsung 7830, karena kayaknya yang awal-awal tidak bisa. Akhirnya sampai 7832 saya bagi 8 hasilnya bulat, maka saya simpulkan ada yang habis dibagi 8? Wah, untungnya dengan coba-coba ketemu ya, coba kalau tidak ketemu bagaimana? Saya yakin ketemu karena selisih bilangan 7834 dan 7825 kan 9, jadi pasti ada, walaupun belum tahu tempatnya. Dengan dasar itu mengapa Kamu begitu yakin ada yang habis dibagi 8? Ya yakin aja Pak.
3) Enkapsulasi: dari Proses ke Objek Jawaban tertulis dari subjek secara umum adalah sebagai berikut. Bilangan bulat jika dibagi 8, maka akan ada 8 bentuk (kemungkinan) yaitu 8a, 8a+1, 8a+2, 8a+3, 8a+4, 8a+5, 8a+6, dan 8a+7 Karena 7834 – 7825 = 9, dan 9 > 8, maka disimpulkan ada bilangan antara 7825 sampai 7834 yang habis dibagi 8.
2 14
Dari jawaban tersebut terlihat bahwa sebenarnya subjek sudah menggunakan dalil algoritma pembagian untuk menjawab soal, tetapi subjek belum bisa menjelaskan hubungan 8 kemungkinan dengan selisisih bilangan 7834 – 7825 = 9. Berikut petikan wawancara yang menguatkan atau memperjelas hal tersebut. Petikan wawancara peneliti dengan EPR: P : Iya karena prinsip induksi hanya berlaku pada himpunan bilangan asli atau himpunan bagiannya. Nah, nanti silahkan dilanjutkan saja cara yang pertama di rumah, sekarang kita lanjutkan saja yang nomor 5. Apakah ada bilangan antara 7825 sampai 7834 yang habis dibagi 8? M : Ada Pak, karena selisih kedua bilangan itu adalah 9 dan bentuk dari bilangan bulat jika dibagi 8 ada 8 bentuk, maka pastilah ada diantara 2 bilangan yang selisihnya 9 itu yang habis dibagi 8.
4) Tematisasi: dari Objek ke Skema Berikut ini jawaban dari subjek pada tahap ini. Diantara 7825 dan 7834 terdapat 8 bilangan 7825 = 8.978 + 1 = 8.p + 1, p = 978 7834 = 8.979 + 2 = 8(p+1) + 2 8 bilangan yang ada diantara 7825 dan 7834 mempunyai bentuk 8p+2, 8p+3, 8p+4, 8p+5, 8p+6, 8p+7, 8(p+1), dan 8(p+1) + 1. Dari 8 bentuk tersebut terdapat bentuk 8(p+1) maka disimpulkan antara bilanganan 7825 sampai 7834 ada yang habis dibagi 8.
Jawaban tersebut menunjukkan bahwa subjek sudah bisa mengaitkan antara definisi keterbagian dan dalil algoritma pembagian. Selain itu pada saat menuliskan 8(p+1) subjek sudah menggunakan objek matematika lain yaitu sifat distributif, karena bentuk awal dari 8(p+1) adalah 8p+8. Karena dalam dalil algortima pembagian sisa pembagian tidak boleh sama dengan bilangan pembagi, maka 8p+8 diubah ke bentuk 8(p+1) dengan sifat disitributif perkalian terhadap penjumlahan. Berikut ini petikan wawancara yang memperjelasnya. P : kemarin saya ngitung begini Pak, 7825 saya bagi 8 kan sisa 1, maka bentuknya adalah 8q. Bilangan selanjutnya pasti bentuknya 8q+2. nah kalau dilanjutkan pasti nanti akan dijumpai bentuk 8 kali sesuatu, berarti kan ada yang habis dibagi 8. M : Bisa begitu lho menjawab nomor 5, kok kemarin tidak dituliskan saja pada lembar jawabnya? Baik, jadi jawabanmu tadi sudah benar, jadi kita hitung suku pertama dibagi 8 sisanya berapa, kemudian secara berurutan kita nyatakan bilangan tersebut ke dalam 8q+r dengan r<8. Karena banyaknya bilangan antara 7825 sampai 7834 ada 9 bilangan, maka pasti nanti dijumpai bentu 8 kali sesuatu itu tadi, jadi alasannya jangan hanya karena selisihnya adalah 9.
3 15
PEMBAHASAN Pembahasan merupakan upaya untuk menjelaskan temuan penelitian dari berbagai pandangan atau teori yang ada. Adapun uraian dari pembahasan temuan penelitian tersebut disajikan sebagai berikut. 1. Pemahaman Mahasiswa tentang Keterbagian Bilangan Bulat Menurut Kerangka Teori APOS pada Umumnya Berada pada Tahap Objek Pemahaman mahasiswa tentang keterbagian bilangan bulat pada tahap objek menurut Teori APOS ditunjukkan pada saat ada soal apakah 1 I x untuk semua x anggota himpunan bilangan bulat mahasiswa menjawab berdasarkan definisi keterbagian yaitu karena ada x anggota himpunan bilangan bulat sehingga x = 1.x maka disimpulkan 1 I x untuk semua x anggota himpunan bilangan bulat adalah benar. Demikian juga ketika ada soal apakah 12 membagi B = 23.34.52.72 maka mahasiswa menjawab “iya” karena ada (2.33.52.72) anggota himpunan bilangan bulat sehingga B = 22.3. (2.33.52.72) = 12. (2.33.52.72), sehingga dapat dikatakan bahwa mahasiswa sudah memiliki pemahaman konseptual. Hal ini sesuai dengan pendapat Zazkis & Campbell (1996) bahwa jika pemahaman mahasiswa menurut kerangka Teori APOS berada pada tahap Objek maka mahasiswa tersebut telah memiliki pemahaman secara konseptual. Mahasiswa yang telah mampu menggunakan definisi, dalil atau sifat dalam keterbagian untuk menyelesaikan soal menurut DeVries (2001) dikatakan telah mampu mengenkapsulasikan proses ke objek. Sedangkan menurut Dubinsky (dalam Zazkis & Campbell, 1996) jika mahasiswa telah mampu mengenkapsulasikan suatu proses ke objek maka berdasarkan Teori Triad dikatakan bahwa perkembangan skema mahasiswa tersebut sudah sampai pada tahap inter.
4 16
2. Sebagian Besar Mahasiswa Masih Merasa Kesulitan untuk Menjawab Soal tentang Pembuktian Pernyataan yang Salah Berdasarkan Tabel 4.2 ternyata jawaban tertulis mahasiswa yang salah sebagian besar adalah soal nomor 2b dan soal nomor 3a. Kedua soal ini adalah membuktikan atau menunjukkan pernyataan yang salah. Untuk nomor 2b soalnya adalah “ Apakah x I 1, x Z ?” Ternyata masih banyak mahasiswa yang bingung untuk menentukan apakah pernyataan tersebut benar atau salah. Hal tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa belum memahami prinsip membuktikan suatu pernyataan terutama pernyataan yang salah dengan kuantor umum. Seharusnya untuk menjawab soal ini mereka cukup menunjukkan bahwa ada x Z yang tidak memenuhi x I 1, misalnya x = 2. Salah satu penyebab kesulitan mahasiswa dalam menjawab soal khususnya membuktikan atau menunjukkan pernyataan yang salah adalah kurangnya latihan soal-soal tentang pembuktian dalam keterbagian bilangan bulat dan kurangnya varisasi soal yang diberikan. Oleh karena itu Salah satu alternatif cara yang bisa diterapkan untuk mengatasi masalah ini adalah mahasiswa sering diberi latihan soal-soal pembuktian yang bervariasi. Hal ini sesuai dengan hukum latihan dari Thorndike yaitu prinsip utama dalam belajar adalah pengulangan (Hudojo, 1988:17). 3. Beberapa Mahasiswa Menganggap Sama Dua Soal yang Sejenis padahal Cara Menjawabnya Berbeda Beberapa mahasiswa ternyata ada yang menganggap sama dua kondisi soal yang memang mirip tetapi jawabannya sebenarnya tidak sama. Misalnya ketika
5 17
mereka diberikan soal nomor 4 “Apakah 3 I n3 – n n Z”. Ternyata beberapa mahasiswa menjawab dengan menggunakan dalil algoritma pembagian, tetapi memisalkan n dengan 3p dan 3p + 1 saja. Seharusnya mereka juga memisalkan n dengan 3p + 2 juga, karena menurut dalil algoritma pembagian, jika bilangan bulat dibagi dengan 3, maka bentuk umumnya adalah 3p + r, dengan 0 r < 3. Beberapa mahasiswa ini menganggap sama soal tersebut dengan soal “apakah 2 membagi sesuatu?”. Selain itu ada juga beberapa subjek yang menjawab soal nomor 4 ini dengan menggunakan induksi matematika. Mereka menganggap sama dengan membuktikan soal yang berkaitan dengan bilangan asli. Padahal soal nomor 4 ini berkaitan dengan bilangan bulat. Jadi seharusnya jika menjawab dengan induksi matematika, maka harus ditunjukkan juga untuk n = 0 dan n Z-. 4. Tingkat Pemahaman Menurut Kerangka Teori APOS Ada yang Tidak Ditemukan pada Nomor Soal Tertentu Untuk nomor-nomor tertentu ada kriteria tingkat pemahaman menurut Teori APOS tidak dipenuhi. Misalnya soal nomor 5 tidak ada satupun mahasiswa yang tingkat pemahamannya berada pada tahap aksi. Hal ini disebabkan karena soal nomor 5 dikondisikan untuk menunjukkan pemahaman mahasiswa pada tahap objek dan skema, walaupun tidak menutup kemungkinan ada mahasiswa yang masih menunjukkan tingkat pemahaman aksi dan proses untuk nomor ini. Soal nomor 5 menunutut selain memiliki pemahaman prosedural mahasiwa juga harus memiliki pemahaman konseptual yang baik untuk menjawab soal. Menurut Eisenhart (1993) pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural merupakan aspek penting pada pemahaman matematika dan untuk memahami matematika harus menerapkan kedua
6 18
pengetahuan tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh Sfard (dalam Zazkis, 1996) bahwa pengetahuan prosedural dan pengetahuan konseptual keduanya merupakan pengetahuan yang saling melengkapi. 5. Jawaban Mahasiswa yang Berada di Luar Kerangka Teori APOS Dari jawaban tertulis mahasiswa ternyata masih banyak yaitu rata-rata 21,73 % yang tidak bisa dianalisis menurut kriteria Teori APOS. Hal ini disebabkan mereka tidak menjawab soal atau jawabannya salah, sehingga peneliti tidak bisa menganalisis tingkat pemahaman mereka berdasarkan Teori APOS. Banyaknya mahasiswa yang tidak menjawab atau menjawab tetapi salah menunjukkan bahwa pemahaman mereka tentang Teori Bilangan khususnya keterbagian bilangan bulat masih belum baik. Jika hal ini terus dibiarkan maka akan menyebabkan dangkalnya pengetahuan pengetahuan yang diperoleh mahasiswa. Padahal menurut Hiebert dan Carpenter (1992:65) dari sudut pandang psikologi khususnya psikologi kognitif yang berkembang akhir-akhir ini, belajar matematika haruslah dengan pemahaman. Salah satu alternatif cara yang bisa ditempuh untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa pada materi keterbagian bilangan bulat adalah dengan memberikan pengajaran remidi. Dalam penelitian ini peneliti menerapkan salah satu dari enam macam metode pengajaran remidi, yaitu pengajaran individual yang dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan wawancara. 6. Kegiatan Wawancara dapat Membantu Meningkatkan Pemahaman Mahasiswa Selama pelaksanaan wawancara selain peneliti berusaha mengecek kesesuaian data pada lembar jawaban dengan apa yang dipikirkan mahasiswa selama menjawab soal ujian, peneliti juga memberikan bimbingan kepada subjek wawancara yang
7 19
pemahamannya kurang baik dengan cara memberikan pertanyaan yang bersifat “mengarahkan” supaya subjek tersebut bisa meningkat pemahamannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hudojo (1988:136) yang menyebutkan bahwa pertanyaan yang tepat dapat mengarahkan mahasiswa untuk menyelesaikan masalah dan dapat memberikan motivasi untuk berpikir. Kegiatan wawancara yang bersifat membimbing, mengarahkan dan memberi motivasi kepada mahasiswa untuk berfikir juga sesuai dengan Teori Intervensi yang dikemukakan oleh Vygotsky. KESIMPULAN 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemahaman mahasiswa mengenai keterbagian bilangan bulat berada pada empat tahap tertentu dari kerangka Teori APOS, yaitu aksi (rata-rata 18, 09 %), proses (rata-rata 8, 21 %), objek (rata-rata 34, 04 %), dan skema (rata-rata 17, 93 %). 2. Strategi kognitif yang digunakan mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal keterbagian bilangan bulat untuk masing-masing nomor adalah sebagai berikut: soal nomor 1: menghitung langsung, menggunakan definisi keterbagian, menggunakan sifat kanselasi (pencoretan), dan menggunakan faktorisasi prima; soal nomor 2: menggunakan cara coba-coba (trial and error), menggunakan definisi keterbagian, dan menggunakan contoh kontra; soal nomor 3: menggunakan cara coba-coba (trial and error), menggunakan definisi keterbagian, menggunakan sifat penjumlahan dua persamaan, menggunakan substitusi, dan menggunakan contoh kontra; soal nomor 4: menggunakan dalil algoritma pembagian dan menggunakan induksi matematika; dan Soal nomor 5: menghitung langsung dan menggunakan dalil algoritma pembagian.
8 20
SARAN Berdasarkan kesimpulan di atas, maka ada beberapa saran yang diajukan peneliti sebagai berikut. 1. Bagi dosen pengampu matakuliah Teori Bilangan hendaknya berusaha meningkatkan pemahaman mahasiswa dengan menempuh beberapa cara sebagai berikut: (1) memberikan latihan soal yang lebih banyak dan bervariasi, (2) sebelum suatu materi dipahami oleh mahasiswa maka jangan melangkah ke materi selanjutnya, (3) memberikan layanan pengajaran remidi, terutama kepada mahasiswa yang pemahamannya belum sampai pada tahap skema. 2. Bagi mahasiswa hendaknya lebih aktif dan lebih banyak berlatih soal-soal keterbagian bilangan bulat serta sering-sering bertanya atau berdiskusi baik dengan dosen pengampu atau dengan teman sejawatnya yang lebih paham. 3. Bagi Jurusan Tarbiyah STAIN Tulungagung hendaknya didalam menyusun kurikulum selain memperhatikan kuantitas materi juga memperhatikan kualitasnya. 4. Bagi peneliti lain hendaknya dijadikan acuan untuk meneliti di tempat dan subjek lain dengan catatan kekurangan-kekurangan yang ada dalam penelitian ini hendaknya direfleksikan untuk diperbaiki.
9 21
DAFTAR RUJUKAN As’ari, A.R. 1988. Penggunaan Alat Peraga Manipulatif dalam Menanamkan Konsep Matematika. MIPA: Jurnal Matematika, IPA & Pembelajarannya, 27(5):1-13. Baker, B., Cooley, L., & Trigueros, M. 2000. A Calculus Graphing Schema. Journal for Research in Mathematis Education, 31(5):557-578. Bell, F., 1978. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School ). Iowa: wim. C:Brown Company Publisher. Clark, J.M., Cordero, F., Cottril, J., Czarnocha, B., DeVries, D.J., John, D.St., Tolias, G., & Vidacovic, D. 1997. Constructing A Schema: The Case of The Chain Rule, (Online), (http://math.ilstu.edu/jtcottr/chnrl.pdf, diakses 10 Desember 2007). DeVries, D.J. 2001. RUMEC/APOS Theory Glossary, (Online), (http://www.cs.gsu.edu/~rumec/Papers/glossary.html, diakses 15 Desember 2007). Dubinsky, Ed. 2000. Using A Theory of Learning in College Mathematics Couarse, (Online), (http://www.bham.ac.uk./ctimath/talum12.htm or http://www.telri.ac.uk/, diakses 15 Desember 2007). Dubinsky, Ed. & Mc Donald, M.A. 2001. APOS : A Constructivist Theory of Learning in Undrgraduate Mathematics Education Research , (Online), (http://trident.msc.kent.edu/~edd/ICMIPaper.pdf, diakses 6 Nopember 2007). Eisenhart, Margaret. 1993. Conceptual Knowledge Falls Through The Cracks: Complexities of Learning to Teach Mathematics for Understanding. Journal for Research in Mathematis Education, (24):8-40. Fu’ad, Y. 1993. Profil Kelemahan Mahasiswa dalam Menerapkan Sistem DeduktikAksiomatik (dalam Upaya Pengembangan Paket Belajar Matakuliah Analisis Real I). Surabaya: Pusat Penelitian IKIP Surabaya. Hiebert, J. & Carpenter, P. 1992. Learning and Teaching with Understanding. Dalam Douglas A Grows (Ed.). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (hal. 65-67). New York: Mc Millian Publishing Company. Hudojo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti PPLPTK. Hudojo, Herman. 2005a. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press. Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1992. Analisa Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep R.Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
10 22
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muhsetyo, Gatot. 1997. Dasar-dasar Teori Bilangan. Jakarta: Proyek PGSM Ditjen Dikti Depdikbud. Niven, Ivan; Zuckerman, Herbert&Mentgomery, Hugh L. 1991. An Introduction to The Theory of Numbers. New York: John Wiley & Sons inc. Purwanto. 2006. Pengantar Dasar Matematika. Malang: Program Pascasarjana. Tim Penyusun. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Edisi Keempat). Malang: UM Press. Weller, K., Clark, J.M., Dubinsky, E., Loch, S., McDonald, M.A., Merkovsky, R. 2000. An Examination of Student Performance Data in Recent RUMEC Studies, (Online), (http://www.math.kent.edu%7Eedd/Performance.pdf, diakses 23 Desember 2007). Zazkis, R. & Cambell, S. 1996. Divisibility and Multiplicative Structure of Natural Numbers: Preservice Teachers Understanding. Journal for Research in Mathematis Education, 27(5):540-563.
11 23
PENERAPAN PEMBELAJARAN MODEL STAD UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN FUNGSI LINIER SISWA KELAS X SMK SINGHASARI KOTA MALANG Sumadji Abstrak: Pembelajaran konvensional tidak mengajak siswanya terlibat membangun pengetahuan. Beberapa penelitian sudah melihat dampak negatif yang ditimbulkannya. Pembelajaran moderl STAD adalah pembelajaran kooperatif dalam kelompokkelompok kecil terdiri atas 4 orang yang heterogen dalam kemampuan akademik. Banyak penelitian yang telah membuktikan keefektifan model ini. Dalam penelitian ini, seluruh siswa (8 orang semua perempuan) dibagi ke dalam 2 kelompok sama besar yang heterogen dalam kemampuan akademik. Materi ajar yang dibahas meliputi penerapan (1) fungsi permintaan dan penawaran, (2) keseimbangan pasar, dan (3) impas, sehingga terdapat 3 siklus tindakan. Penelitian ini mendapatkan rerata skor proses pembelajaran 89,76% dan rerata skor hasil belajar siswa 83,29. Selama penelitian, diperoleh peningkatan pemahaman siswa sebesar 18,78%. Di samping itu umumnya siswa kurang teliti dalam membaca/bekerja, dan sebagian kecil membawa kesulitan matematika sejak dari sekolah dasar. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan pembelajaran model STAD dapat diterapkan untuk meningkatkan pemahaman fungsi linier siswa kelas X SMK Singhasari Kota Malang. Kata-kata Kunci: STAD, Pemahaman, Fungsi Linier
Pendahuluan Dalam pembelajaran konvensional, siswa tidak terlibat aktif membangun pengetahuan yang dipelajarnya. Dampaknya, banyak siswa hanya bekerja mengikuti guru secara prosedural. Pengetahuan prosedural seharusnya diberikan setelah siswa memahami pengetahuan konseptual dengan baik, Dalam pembelajaran yang baik siswa akan mendapatkan pemahaman yang bermakna, yaitu selain siswa mendapatkan pengetahuan konseptual, mereka juga mendapatkan pengetahuan prosedural. Pembelajaran model Student Teams-Achievement Divisions (STAD) adalah pembelajaran kooperatif yang paling tua dan sederhana (Slavin,
1
1995:71). Model ini telah banyak memberi hasil positif terhadap hasil belajar siswa. Dengan model ini, siswa mendapatkan banyak keuntungan seperti mendapatkan ilmu dari kawan, dapat mengembangkan rasa saling membantu,
saling
menghormati
sesama
anggota
kelompok,
rasa
bertanggungjawab, sikap sosial, dan lain-lain. Menurut pandangan kaum konstruktivis, dalam belajar siswa harus mengkonstruk/membangun
pengetahuan
yang
dipelajari
meskipun
pengetahuan itu pada dasarnya telah terbangun. Pembelajaran matematika adalah usaha membantu siswa untuk membangun konsep atau prinsip dengan kemampuan sendiri. Dalam belajar yang terpenting adalah bagaimana siswa dapat memahami materi ajar yang dipelajari. Pembelajaran merupakan pengelolaan pe-mrosesan ide dalam benak siswa. Pengetahuan dibangun siswa berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Kondisi seperti diutarakan di atas akan terwujud dalam pembelajaran kooperatif model STAD. Model STAD dengan inti pada belajar kelompok atau
berdiskusi,
mengungkapkan
memberikan gagasan,
kesempatan
pengetahuan,
dan
kepada
siswa
kesulitannya
untuk berdasar
pengalaman sendiri. Berdasarkan uraian di atas penulis melakukan penelitian pada siswa kelas X SMK yang fokus masalahnya adalah bagaimana penerapan
2
pembelajaran model STAD dapat meningkatkan pemahaman fungsi linier siswa kelas X SMK Singhasari Kota Malang. Landasan Teori Sutawidjaja (1997) mengatakan bahwa matematika mengkaji bendabenda abstrak (benda pikiran) yang disusun dalam suatu system aksiomatis menggunakan simbol (lambang) dan penalaran deduktif. Hudojo (1990:3) menambahkan bahwa matematika berkenaan dengan ide-ide (gagasan), aturan-aturan dan hubungan-hubungan yang diatur secara logis sehingga matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Matematika timbul karena hasil pikiran manusia yang berkaitan dengan konsep, proses dan penalaran.
Oleh
karena
itu,
umumnya
banyak
siswa
menganggap
matematika itu pelajaran abstrak yang sulit dipahami. Obyek-obyek matematika adalah fakta, konsep, operasi dan prinsip. Fakta adalah konvensi atau kesepakanan dalam matematika. Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan seseorang dapat menggolongkan apakah sesuatu akan termasuk atau tidak ke dalam ide itu. Operasi adalah aturan untuk mendapatkan hasil dari satu atau lebih unsur yang diketahui. Pembelajaran matematika bermaksud menata nalar, membentuk sikap, dan menumbuhkan pengetahuan menggunakan matematika. Oleh kare-na itu, di sekolah siswa perlu dilatih berfikir menggunakan dan menerapkan sistematika dalam matematika.
3
Pandangan
kaum
konstruktivis
menganggap
bahwa
semua
pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi diri kita sendiri. bukan sekedar transfer atau pemindahan pengetahuan. Belajar akan lebih efektif bila siswa berinteraksi dengan orang lain dalam melakukan aktivitas. Dalam belajar guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan mediator. Ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik adalah (1) siswa terlibat aktif bekerja dan berfikir dalam belajarnya, (2) informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga membentuk skemata yang kuat, dan (3) belajar berorientasi pada pemecahan masalah. Dubinsky (2000), mengatakan bahwa pemahaman tentang konsep matematika merupakan masalah konstruksi dan rekonstruksi dari obyekobyek matematika yang dilakukan melalui aktivitas aksi, proses dan obyekobyek yang dikoordinasikan dalam suatu skema. Sedangkan skema merupakan struktur kognitif (kategori) yang menuntun intelektual individu me-nyesuaikan dan mengorganisasikan informasi (pengetahuan) yang masuk ke dalam system memori. Hudojo (2005) menambahkan bahwa penyesuaian (adaptasi) meliputi 2 proses yang disebut asimilasi dan akomodasi yang sering berlawanan namun kedua proses itu tidak dapat dipisahkan. Asimilasi adalah proses meng-absorbsi pengalaman baru ke dalam skema yang sudah dimiliki. Akomodasi adalah proses mengabsorbsi pengalaman baru dengan jalan
4
mengadakan modifikasi skema yang ada atau bahkan membentuk pengalaman yang benar-benar baru. Dalam matematika ada 2 pengetahuan yaitu pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural. Hiebert dan Lafevre (1986) mengatakan bahwa pengetahuan konseptual adalah pengetahuan yang meliputi hubungan fakta dan sifat sehingga informasi terkait pada satu jaringan pengetahuan yang lebih luas. Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang urutan kaidah, algoritma atau prosedur yang dipergunakan untuk menyelasaikan soal matematika. Pengetahuan ini ada 2 yaitu, (1) pengetahuan mengenai simbol tanpa mengikuti maknanya, dan (2) sekelompok aturan atau langkahlangkah yang membentuk suatu algoritma atau prosedur. Jacobs
(2008)
menyatakan
bahwa
belajar
kooperatif
adalah
pembelajaran yang menggunakan kelompok-kelompok kecil sehingga siswa bekerja-sama untuk memaksimalkan belajarnya sendiri dan kawan-kawan lainnya. Belajar kooperatif menurutnya diketahui juga sebagai belajar kolaboratif. Ada 3 konsep dalam metode belajar kelompok yaitu penghargaan kelompok, tanggungjawab individual, dan kesempatan yang sama untuk berhasil (Slavin, 1995:5). Kelompok boleh mendapat penghargaan jika mereka dapat berada di atas kriteria yang direncanakan. Tanggungjawab individual berarti
keberhasilan
kelompok
tergantung
atas
belajar
individual
anggotanya. Kesempatan yang sama untuk berhasil berarti sumbangan siswa
5
terhadap kelompoknya ditunjukkan dengan meningkatnya kemampuan yang lalu mereka sendiri. Landasan pembelajaran kooperatif adalah teori konstruktivistik yang mengatakan bahwa pengetahuan yang kita peroleh merupakan konstruksi diri kita sendiri. Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari pikiran yang bisa ke pikiran yang tidak bisa. Kalaupun bisa, maka efisiensinya sangat rendah. Di samping siswa aktif mengkonstruksi pengetahuan secara individual seperti pandangan konstruktivistik personalnya Piaget, siswa juga membangun pengetahuannya di bawah pengaruh interaksi sosial meliputi bahasa dan budaya sebagaimana pandangan kontruktivistik sosialnya Vygotsky. Vygotsky mendefinisikan daerah perkembangan terdekat (zone of proximal development, ZPD) sebagai jarak antara taraf perkembangan aktual/sekarang yang ditentukan oleh pemecahan masalah bebas dengan taraf perkembangan potensial yang ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah pembimbing orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu (Slavin, 1995:17). Dalam
konsep
ZPDnya
Vygotsky,
guru
mempunyai
tugas
menggerakkan taraf perkembangan aktual ke taraf perkembangan potensial. Siswa yang mempunyai daerah perkembangan terdekat lebar memerlukan banyak bantuan dari kawan yang mampu atau guru, siswa yang mempunyai daerah perkembangan terdekat sempit membutuhkan sedikit bantuan.
6
Vygotsky menambahkan bahwa aktivitas kolaboratif pada anak akan mendukung pertumbuhan mereka karena anak-anak yang seusia lebih senang bekerja dengan orang yang satu ZPD. Penampilan anak pada kelompok kolaboratif lebih maju daripada penampilannya sebagai individu. Landasan pembelajaran kooperatif yang lainnya adalah teori motivasi. Orton (1992) menyampaikan bahwa siswa yang termotivasi, tertarik mempunyai keinginan untuk belajar lebih banyak. Menurut teori motivasi kebutuhan manusia yang bersifat hierarkhis, antara lain manusia mempunyai kebutuhan dicelai dan diakui kelompoknya, kebutuhan harga diri dan berprestasi, dan kebutuhan mengetahui dan memahami (Maslow, 1970). Dalam pembelajaran kooperatif terdapat 5 prinsip, yaitu (1) belajar siswa aktif; pusat kegiatan terletak pada siswa, (2) belajar bekerjasama; pengetahuan harus dibangun bersama oleh anggota-anggota kelompok dengan aktif berdiskusi memecahkan masalah, (3) belajar partisipatorik; siswa melakukan sesuatu membangun dan menemukan pengetahuan baru sebagai tujuan, (4) reactive teaching; bila suasana membosankan, guru harus mencari cara lain agar pembelajarannya menarik, dan (5) belajar menyenangkan; suasana ini dimulai dari sikap dan perilaku guru. Pembelajaran kooperatif model STAD dikembangkan oleh Slavin dan sudah diaplikasikan secara meluas dari kelas 2 sampai kelas 12 dalam pelajaran matematika, seni bahasa, studi sosial sampai sain.
7
Dalam model STAD, siswa diletakkan dalam kelompok-kelompok kecil beranggotanak 4 orang. Setiap kelompok menrupakan kumpulan anak berkemampuan akademik berbeda. Dengan demikian, tiap kelompok terdapat siswa berkemampuan akademik tinggi, sedang, dan rendah atau bervariTabel 1 Komparasi Kelompok Belajar pada Belajar Kooperatif versus Kelompok Belajar Konvensional (Diadopsi dari Asma, 2006:22) Kelompok Belajar pada Belajar
Kelompok Belajar pada Belajar
Kooperatif
Konvensional
o Kepemimpinan bersama o Saling ketergantungan yang positif o Keanggotaan yang heterogen o Mempelajari ketrampilan ketrampilan kooperatif o Tanggungjawab terhadap hasil belajar seluruh anggota kelompok o Menekankan pada tugas dan hubungan kooperatif o Ditunjang oleh guru o Satu hasil kelompok o Evaluasi kelompok
o Satu pemimpin o Tidak saling tergantung o Keanggotaan yang homogen o Asumsi adanya ketrampilan sosial o Tanggungjawab terhadap hasil belajar sendiri o Hanya menekankan pada tugas o Diarahkan oleh guru o Beberapa hasil individual o Evaluasi individual
asi dalam jenis kelamin, kelompok ras dan etnik atau kelompok sosial lain. Perbandingan
kelompok
dalam
belajar
kelompok
dengan
belajar
konvensional dapat dilihat pada tabel 1. Dalam pembelajaran kooperatif, guru lebih dulu menyajikan materi baru dalam kelas kemudian anggota kelompok mempelajari dan berlatih untuk materi tersebut dalam kelompok mereka yang biasanya bekerja
8
berpasangan. Mereka melengkapi lembar kerja, bertanya satu sama lain, membahas masalah dan mengerjakan latihan. Semua tugas harus dikuasai oleh setiap anggota kelompok. Pada akhirnya guru memberikan kuis yang harus dikerjakan siswa secara individual di tiap-tiap akhir pertemuan. Setiap akhir pertemuan dumumkan skor tertinggi atau skor sempurna pada kuiskuis itu. Dalam kuis, siswa menjawab kuis secara individual. Butir-butir tes seharusnya berbentuk tes obyektif paper-and-pencil sehingga dapat diskor di kelas atau segera setelah tes selesai dikerjakan. Tahap-tahap dalam model STAD meliputi (1) persiapan (materi, membentuk kelompok, menentukan skor dasar), (2) penyajian materi (pembukaan, pengembangan, latihan terbimbing), (3) belajar kelompok, (4) pemeriksaan hasil belajar kelompok, (5) tes akhir individual (kuis), (6) pemeriksaan hasil tes, dan (7) penghargaan kelompok. Setelah diperoleh hasil kuis, kemudian dihitung skor peningkatan individual. Kemudian dihitung poin peningkatan kelompok menggunakan pedoman berikut (Slavin, 1995:80). Tabel 2 Skor Kuis dan Poin Peningkatan Skor Kuis Lebih dari 10 poin di bawah skor dasar
Poin Peningkatan 5
10 poin di bawah sampai 1 poin di bawah skor dasar Skor dasar sampai 10 poin di atas skor dasar Lebih dari 10 poin di atas skor dasar Pekerjaan sempurna (tanpa melihat skor dasar)
9
10 20 30 30
Pemberian penghargaan kepada kelompok yang memperoleh poin peningkataan tertinggi ditentukan dengan rumus berikut in i: N
Jumlah poin peningka tan anggota Jumlah anggota kelompok yang ada
Berdasarkan poin perkembangan yang diperoleh, terdapat 3 tingkatan penghargaan yang diberikan (Slavin, 1995: 80) seperti: Tabel 3 Kriteria Penghargaan Kelompok Kriteria (Rerata Kelompok) 15 20 25
Penghargaan Kelompok Baik Kelompok Hebat Kelompok Super
Materi ajar yang dibahas adalah penerapan fungsi linier meliputi (1) fungsi permintaan dan penawaran, (2) keseimbangan pasar, dan (3) impas.
Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan & Biklen (1998:4-7) menuliskan 5 ciri, yaitu (1) memiliki latar alamiah, (2) bersifat deskriptif, (3) mementingkan proses daripada hasil, (4) analisis data cenderung induktif, dan (5) makna merupakan hal yang perlu diperhatikan. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, karena pada hakekatnya penelitian ingin meningkatkan pemahaman siswa. Sehubungan dengan ini Wiriaatmadja (2005:13) mengatakan bahwa penelitian tindakan kelas adalah bagaimana sekelompok guru dapat mengorganisasikan kondisi
10
praktek pembelajaran mereka, dan belajar dari pengalaman mereka sendiri. Mereka mencobakan suatu gagasan perbaikan dalam praktek pembelajaran mereka, dan melihat pengaruh nyata dari upaya itu. Rancangan penelitian ini mengacu kepada model yang dikembangkan oleh Kemmis dan McTaggart, yaitu terdiri atas empat langkah kegiatan meliputi perencanaan (Planning), pelaksanaan tindakan (Action), observasi (Observation), dan refleksi (Reflection). Keempat langkah itu membentuk siklus dan siklus dapat lebih dari satu bila tindakan tidak berhasil. Agar hasil penelitian ini lebih lengkap dan akurat, maka diambil sampel secara purposif 4 orang yang dapat berkomunikasi dengan baik sehingga mereka akan memberikan data yang diinginkan. Semua sampel terpilih dari kelompok Challenger. Data dikumpulkan dengan prosedur-prosedur (1) tes (untuk data pemahaman siswa), (2) observasi (untuk data proses pembelajaran dan sikap siswa), dan (3) wawancara (untuk melihat kesulitan yang dialami siswa). Data dianalisis mengikuti alur dari Miles dan Huberman (1992) meliputi tahap (1) reduksi data, menyeleksi, memfokus, menyederhanakan, dan menggolongkan, (2) penyajian data, data yang direduksi disajikan secara naratif untuk memudahkan menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan, (3) penarik kesimpulan dan melakukan verifikasi, pemberian penjelasan dan mengkaji kebenaran, keakuratan dan kecocokan makna yang muncul.
11
Mulyasa (2002:101) mengatakan bahwa proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas bila seluruh atau setidak-tidaknya sebagian besar ( 75%) mahasiswa terlibat secara aktif baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, kriteria keberhasilan penelitian ini adalah: 1. Proses pembelajaran dikatakan berhasil bila skor rerata proses pembelajaran (NR) mencapai 75% NR 100% . 2. Belajar siswa dikatakan berhasil bila 85% dari seluruh siswa telah mencapai skor sekurang-kurangnya 65. 3. Selama penelitian dilaksanakan harus terjadi peningkatan pemahaman siswa terhadap materi ajar.
Hasil Dalam Pratindakan Dalam
pratindakan,
dilakukan
observasi
pendahuluan
untuk
membicarakan rencana penelitian dengan sekolah di mana penelitian akan dilaksanakan. Selain itu juga dilakukan tes pratindakan, hasilnya diberikan seperti pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Skor Hasil Tes Pratindakan dan Nama Kelompok Soal Nomer No.
Nama LR
Jumlah 1 10
2 20
3 20
4 25
5 25
12
100
Tingkat Kemamp. Akad. Tinggi
Nama Kelompok Challenger
1 2 3 4
AM AN VR
10 10 10
17 12 11
18 15 11
20 18 9
25 5 7
90 60 48
Sedang Rendah Rendah
5 6 7 8
RF AS VS ZU
10 10 0 0
20 10 13 12
10 20 13 15
25 13 19 15
25 25 25 13
90 78 70 55
Tinggi Sedang Sedang Rendah
Pink
Dalam Tindakan I Siswa berkemampuan tinggi tidak mengalami kesulitan. Siswa berkemampuan sedang mempunyai sedikit kesalahan, karena sering bekerja tidak teliti. Siswa berkemampuan rendah membawa kesulitan sejak sekolah dasar. Skor observasi terhadap proses pembelajaran adalah 90%, sudah termasuk pada interval kriteria keberhasilan. Skor kuis seluruh siswa dalam tindakan I minimal 65, juga termasuk dalam interval kriteria keberhasilan. Rerata skor tes pratindakan adalah 73,875 dan skor tindakan I adalah 82,75. Dengan demikian terjadi peningkatan 12,01%. Hasil tes, besarnya poin peningkatan baik individual maupun kelompok, dan predikat yang diperoleh tiap kelompok diberikan seperti pada table 5 berikut ini. Tabel 5 Skor Tes Tindakan I dan Skor Perkembangan Individual Nama
Skor
Skor
Poin
13
Poin
Predikat
Kelompok
Dasar
Tindaka nI
Peningkt. Individual
1. RF
90
100
20
2. VS
70
83
30
3. AS
78
80
20
4. ZU
55
70
30
Challenger 1. LR 2. AM 3. ANA 4. VR
100 90 60 48
98 85 76 70
10 10 30 30
Peningkt. Kelompok
Pink
25
Super
20
Hebat
Dalam Tindakan II Selama tindakan II, skor tes, poin peningkatan baik individual maupun kelompok, serta predikat yang diraih tiap kelompok diberikan pada tabel 6 berikut ini. Tabel 6 Skor Tes Tindakan II dan Poin Peningkatan Individual Skor Dasar
Skor Tindakan II
Poin Peningkt. Individual
1. RF
100
95
10
2. VS
83
85
20
3. AS
80
80
20
4. ZU
70
78
20
Challenger 1. LR
98
100
20
2. AM
85
90
20
3. ANA
76
80
20
4. VR
70
65
10
Nama Kelompok
Poin Peningkt. Kelompok
Predikat
17,5
Baik
17,5
Baik
Pink
14
Siswa berkemampuan tinggi tidak mengalami kesulitan. Siswa berkemampuan sedang mempunyai sedikit kesalahan, karena sering bekerja tidak teliti. Siswa berkemampuan rendah membawa kesulitan sejak sekolah dasar. Rerata skor hasil observasi terhadap proses pembelajaran adalah 92,9%, termasuk dalam interval kriteria keberhasilan. Skor kuis seluruh siswa dalam tindakan II minimal 65, termasuk dalam kriteria keberha-silan. Rerata skor tes tindakan I adalah 82,75 dan rerata skor tes tindakan II adalah 84,125. Dengan demikian telah terjadi peningkatan 1,66%. Dalam Tindakan III Skor tes, poin peningkatan individual maupun kelompok serta predikat yang diraih tiap kelompok diberikan pada tabel 7. Tabel 7 Skor Tes Tindakan III dan Poin Peningkatan Individual
Skor Dasar
Skor Tindaka n III
Poin Peningkt. Individual
1. RF
95
98
10
2. VS
85
87
20
3. AS 4. ZU
80 78
91 83
30 20
1. LR
100
100
30
2. AM
90
93
20
3. ANA
80
80
20
4. VR
65
70
20
Nama Kelompok
Poin Peningkt. Kelompok
Predikat
20
Hebat
20
Hebat
Pink
Challenger
15
Siswa berkemampuan tinggi tidak mengalami kesulitan. Siswa berkemampuan sedang mempunyai sedikit kesalahan, karena sering bekerja tidak teliti. Sedangkan siswa berkemampuan rendah sudah membawa kesulitan sejak sekolah dasar. Rerata skor hasil observasi terhadap proses pembelajaran adalah 87,1%, termasuk dalam interval kriteria keberhasilan. Skor hasil kuis semua siswa pada tindakan III adalah paling sedikit 65, termasuk dalam kriteria keberhasilan. Rerata skor tes tindakan II adalah 84,125 dan rerata skor tes tindakan III adalah 87,75. Dengan demikian terjadi peningkatan 4,31%. Pembahasan Dalam setiap penyajian materi selalu disampaikan tujuan belajar sesuai dengan indikator. Pemberitahuan tujuan ini penting seperti dikatakan Dahar (1988:74) bahwa memberitahukan tujuan pembelajaran dapat membentuk siswa untuk mengaktifkan motivasi dan memusatkan perhatian terhadap aspek-aspek yang relevan terhadap pembelajaran. Di samping itu, pembelajar perlu membangkitkan pengetahuan awal dan memberikan penjelasan pentingnya memahami materi dalam kehidupan nyata. Pengetahuan awal siswa sangat berpengaruh pada perolehan hasil belajar selanjutnya. Pengetahuan awal menjadi pondasi materi selanjutnya. Pengetahuan yang diperoleh siswa akan menjadi satu kesatuan yang utuh dalam benak siswa, bukan disimpan dalam satuan-satuan terpisah.
16
Teori belajar kooperatif didukung oleh teori belajar konstruktivistik dan teori motivasi. Dengan penjelasan seperti di atas diharapkan muncul motivasi dalam diri siswa untuk belajar. Pada kenyataannya, penyajian materi selalu memakan waktu lebih panjang dari jadwal yang direncanakan semula untuk memenuhi permintaan hampir semua siswa. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Orton (1992) bahwa siswa yang termotivasi, tertarik mempunyai keinginan untuk belajar akan belajar lebih banyak. Di samping itu menurut teori motivasi, siswa mempunyai kebutuhan untuk mengaktualisasi diri, untuk diakui kelompoknya, dan untuk mengetahui dan memahami (Maslow, 1970). Masih berhubungan dengan hal di atas, Slavin (1995) menambahkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat menimbulkan motivasi sosial siswa karena adanya tuntutan untuk menyelesaikan tugas. Di samping itu, seperti diketahui bahwa manusia adalah makhluk sosial, sehingga beberapa motivasi yang menyebabkan seseorang belajar lebih baik adalah adanya kebutuhan untuk diterima dalam suatu masyarakat atau kelompok (Maslow, 1970:84). Karena siswa bertujuan ingin diterima kelompoknya sebagaimana kawan lainnya, maka mereka belajar keras agar keberhasilannya dapat memberikan sumbangan berarti bagi kelompoknya. Mereka sudah memahami makna dan keuntungan belajar kelompok. Keberhasilan seorang siswa akan membawa keberhasilan siswa lainnya yang selanjutnya akan membawa keberhasilan semua siswa dalam kelompok yang
17
akan ditunjukkan dalam menyelesaikan tugas. Sementara keberhasilan kelompok dapat memotivasi seluruh anggota untuk bekerja lebih keras agar pada akhirnya dapat memberikan sumbangan poin peningkatan sebanyakbanyaknya. Ini sesuai dengan yang dikatakan Slavin (1995) bahwa perilaku satu atau lebih anggota (kelompok kecil) membawa berkah untuk kelompok. Slavin (1995:16) mengatakan bahwa motivasi pada pembelajaran kooperatif menekankan pada penghargaan (incentives) di mana siswa berbuat secara akademik. Oleh karena itu keadaan di atas benar sesuai dengan apa yang dikatakan Slavin bahwa penghargaan diberikan untuk merangsang emosi (perasaan) dan kognisi (pikiran). Slavin menambahkan bahwa menurut pandangan teori motivasi, pemberian penghargaan kelompok, berdasarkan penampilan kelompok akan menciptakan struktur penghargaan antara perorangan dalam suatu kelompok sehingga masingmasing anggota dalam kelompok itu saling memberikan penguatan sosial sebagai respon terhadap tugas kelompok.
Kesimpulan Berdasarkan paparan data, temuan penelitian, dan pembahasan dapat disimpulkan: 1. Selama penerapan pembelajaran model STAD pada siswa kelas X SMK Singhasari Kota Malang dapat diperoleh peningkatan pemahaman fungsi linier 18,78%.
18
2. Pembelajaran model STAD dapat diterapkan untuk meningkatkan pemahaman fungsi linier siswa kelas X SMK Singhasari Kota Malang meliputi: 1). Tahap Persiapan Pembelajaran a. Materi Sebelum pembelajaran dimulai perlu dipersiapkan rencana pembelajaran, lembar observasi, lembar wawancara, lembar informasi, lembar latihan terbimbing, lembar tugas dan kunci jawaban yang divalidasi. b. Menempatkan siswa dalam kelompok Siswa dibagi ke dalam 2 kelompok kecil, tiap kelompok terdiri atas 4 orang siswa yang bersifat heterogen dalam kemampuan akademik. c. Menentukan skor dasar Sebagai pijakan awal penelitian ini adalah skor tes pratindakan yang mencerminkan kemampuan atau pemahaman siswa sebelum penelitian. Tes ini berbentuk subyektif dengan durasi 60 menit. 2). Tahap Penyajian Materi Dalam penyajianm materi, pembelajar selalu memberikan pertanyaanpertanyaan, dan melemparkan kembali pertanyaan yang muncul agar akhirnya ditemukan jawabnya oleh siswa sendiri. Selain menyajikan latihan terbimbing, pembelajar juga memberikan tugas di rumah. 3). Tahap Belajar Kelompok
19
Setiap 2 siswa memegang selembar tugas untuk didiskusikan bersama kawan-kawan dalam kelompoknya. Lembar tugas tidak diberikan secara individual untuk mengkondisikan agar siswa bekerja secara kelompok. 4). Pemeriksaan Hasil Belajar Kelompok Pemeriksaan hasil belajar kelompok dilakukan dengan menukar silang 2 pekerjaan mereka. Kemudian salah satu kelompok mempresentasikan ke depan kelas. Dalam presentasi terjadi interaksi aktif antara penyaji dan siswa lain dalam kelas. Setelah mereka selesai berdiskusi, pembelajar dan siswa menyimpulkan materi yang dipelajari.
5). Mengerjakan Tes Individual Dari penyajian materi oleh pembelajar, latihan terbimbing dan belajar kelompok
siswa telah mempunyai
keyakinan memahami
materi
pembelajaran. Oleh karena itu tahap berikutnya setiap siswa mengerjakan tes individu untuk mengetahui tingkat pemahamannya sekaligus sebagai wahana untuk dapat menyumbang kelompoknya. Bentuk tes yang digunakan adalah subyektif. 6). Pemeriksaan Hasil Tes Jawaban siswa sebagai hasil tes akhir/kuis diperiksa segera setelah tes selesai. Hasil pemeriksaan tes akan dibandingkan dengan hasil tes pratindakan/skor dasar tindakan sebelumnya. Dari sini akan diketahui skor
20
peningkatan setiap individu berdasarkan pedoman penentuan poin peningkatan. Dengan demikian, rerata skor peningkatan setiap kelompok dapat ditentukan. 7). Penghargaan Kelompok Setelah
setiap
kelompok
memiliki
poin
peningkatan,
dengan
memperbandingkan poin peningkatan seluruh kelompok akan dapat diketahui kelompok mana yang memiliki poin peningkatan tertinggi. Kelompok itulah yang mendapatkan penghargaan.
Saran-saran 1. Guru hendaknya dapat mengembangkan penelitian ini di kelas atau jenjang lainnya dengan mengambil materi yang lebih luas lagi agar hasil penelitian ini lebih lengkap dan mendalam. 2. Peneliti yang ingin melakukan penelitian sejenis, hendaknya mengkaji kembali instrument (terutama Lembar Tugas, kurang mengembangkan wacana bagi siswa). 3. Karena model STAD memakan lebih banyak waktu, disarankan kepada guru untuk menjadwal dengan baik atas peneraan model ini di SMK.
DAFTAR RUJUKAN
21
Asma, Nur. 2006. Metode Pembelajaran Kooperatif. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Ketenagaan. Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. 1998. Qualitative Research in Introduction: An Introduction to Theory and Methods. Third Edition. Boston. Dubinsky, Ed. 2000. Using A Theory of Learning in College Mathematics Course, (Online), http://www.bham.ac.uk./ctimath/tahun12.htm or http://www .telri .ac.uk/, diakses 15 Desember 2007). Hiebert, James and Lafevre. 1986. Conceptual and Procedural Knowledge in Mathematics: An Introduction to Analysis. Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, Hillsdale, New Jersey. Hudojo, Herman. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. IKIP Malang. Jacobs, George. 2008. Cooperative Learning. http://www.cambridge.org/catalo- gue. (diakses 20 Juni 2008). Maslow, A. H. 1970. Motivation and Personality. 2nd edition. Harper & Row. New York. Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Miles, M. B. & Hubermen, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif (terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: Universitas Indonesia Press Orton, Anthony. 1992. Learning Mathematics (Issues, Theory, and Classroom Practice). London: British Library Cataloguing in Publication Data. Sutawidjaja, Akbar. 1998. Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional: Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Menghadapi Era Globalisasi. PPS IKIP Malang. Vygotsky, Lev. 1978. Mind Society. The Development of Higher Psicological Process. Harvard University Press. Cambridge. Wiriaatmadja, R. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
22
23
Belajar Kooperatif Model Jigsaw untuk Memahami Sistem Persamaan Linear di STMIK Pradnya Paramita Malang Timbul Yuwono Abstract: One topic of Linear Algebra is Linear Equation System. When studying Linear Equation System in STMIK Pradnya Paramitha Malang, students’ activity tends to be passive because they just wait what will be taught and instructed by the instructor. When there is a question, they generally keep silent. They are inactive in the teaching and learning process. According to this matter, we need to do some efforts to increase students’ role and activity in the learning process. So, it will make students’ understanding about Linear Equation System increase. To overcome students’ difficulties in understanding Linear Equation System, we have to create a learning condition in which the students can participate actively in the learning process, so that they can comprehend the material well. Way of which is assumed precisely is with cooperative learning, jigsaw model. Cooperative learning, jigsaw model is learning model that gives opportunity to the students to be active in learning process assisting each other in mastering Linear Equation System to reach maximal achievement. Target of research are describing cooperative learning, Jigsaw model to understand Linear Equation System, describing students’ cooperation in learning Linear Equation System by using cooperative learning Jigsaw model, and describing students’ response to cooperative learning, Jigsaw model in learning Linear Equation System. Results of research obtained that (1) students can understand Linear Equation System by using cooperative learning, Jigsaw model, (2) students’ cooperation in cooperative learning, jigsaw model is very good, (3) students’ response to cooperative learning, jigsaw model is very positive
Kata-kata Kunci : Belajar Kooperatif, Model Jigsaw, Sitem Persamaan Linear
Sistem Persamaan Linear (SPL) merupakan salah satu topik penting dalam mata kuliah Aljabar Linear. Topik ini merupakan materi yang mendasar untuk mempelajari topik-topik selanjutnya. Penguasaan topik Sistem Persamaan Linear (SPL) akan membatu peserta didik untuk memahami topik-topik berikutnya dalam mata kuliah Aljabar Linear Mengingat pentingnya peranan materi Sistem Persamaan Linear sebagai pengetahuan awal dalam belajar Aljabar Linear mahasiswa perlu memahami materi tersebut. Pemahaman materi Sistem Persamaan Linear akan membantu mahasiswa dalam memecahkan masalah matematika maupun masalah non matematika dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman konsep ini sangat perlu mendapatkan penekanan dalam proses pembelajarannya sehingga mahasiswa tidak mendapatkan kesulitan dalam materi-materi berikutnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemahaman peserta didik terhadap SPL dua peubah masih rendah. Badu (dalam Muslimin, 2004) dalam 1
penelitiannya menyimpulkan bahwa peserta didik di SMU 3 Gorontalo kurang mampu membuat model matematika. Mereka kurang mampu memahami soal bentuk cerita. Nandang (1998) dalam studi awalnya mengungkapkan bahwa penyebab kesalahan peserta didik dalam menyelesaikan Sistem Persamaan Linear dua peubah adalah kurangnya pemahaman mengubah soal cerita ke model matematika Hasil penelitian di atas menunjukan adanya kesulitan peserta didik dalam melihat konsep SPL yang terbenam dalam bentuk cerita. Peserta didik belum terbiasa di dalam proses membangun SPL yang ada dalam soal cerita. Pengalaman mengubah soal cerita ke dalam SPL sangat dibutuhkan, karena pengalaman tersebut akan membantu peserta didik dalam memahami dan memecahkan SPL. Tugas pembelajar adalah memilih bahan kuliah yang tepat dengan deskripsi yang berlaku, mempersiapkan bentuk penyajian yang memungkinkan seorang mahasiswa berfikir, mempersiapkan modus-modus representasi yang dapat dipilih mahasiswa untuk mempresentasikan pikirannya, menjelaskan idenya, mengembangkan strategi sendiri. Pembelajar dapat menerima strategi yang dipilih mahasiswa, membimbing mahasiswa memperbaiki kesalahan yang dilakukan, memberi bantuan mahasiswa sesuai dengan alur pikiran mahasiswa (Andaini,1998:3) Berdasarkan pengamatan selama ini, mata kuliah Aljabar Linear masih dianggap sulit bagi mahasiswa STMIK Pradnya Paramita. Anggapan ini akan berdampak pada rendahnya motivasi belajar mahasiswa terhadap mata kuliah Aljabar Linear. Persepsi tersebut juga akan berdampak terhadap prestasi akademik mahasiswa. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan pembelajaran Sistem Persamaan Linear di STMIK Pradnya Paramita, mahasiswa cenderung pasif. Mahasiswa menunggu apa yang akan diajarkan dan diinstruksikan pembelajar. Jika ada pertanyaan dari pembelajar umumnya mahasiswa diam. Mereka tidak aktif dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan peran dan aktifitas mahasiswa dalam pembelajaran, sehingga diharapkan pemahaman mahasiswa dalam bidang Sistem Persamaan Linear akan meningkat. Usaha-usaha yang pernah ditempuh untuk membantu mahasiswa agar memahami Sistem Persamaan Linear antara lain dengan memberikan modul 2
sebelum pelaksanaan kuliah dilaksanakan. Namun demikian hasil yang diperoleh masih jauh dengan apa yang diharapkan pembelajar. Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya nilai pada ujian akhir semester. Sebagai dimaklumi bahwa mahasiswa STMIK Pradnya Paramita dipersiapkan untuk menjadi tenaga ahli dalam bidang ilmu komputer yang banyak menggunakan konsep dasar matematika dalam menggunakan bahasa pemprograman. Pembelajar mempunyai tanggung jawab untuk mengoptimalkan kemampuan mahasiswa melalui metode pembelajaran yang sesuai. Karena itu, peneliti tertarik untuk menggunakan metode pembelajaran kooperatif dalam mengoptimalkan kemampuan mahasiswa. Menurut Von Glaserfeld (dalam Panen dkk, 2001) pembelajaran adalah “membantu seorang berfikir secara benar dengan membiarkan berfikir sendiri”. Berfikir lebih baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar terhadap persoalan. Seorang mempunyai cara berfikir yang baik berarti cara berfikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomena baru. Sementara siswa yang sekedar menemukan jawaban yang benar belum pasti dapat memecahkan persoalan baru karena siswa tersebut tidak tahu bagaimana menemukan jawaban itu. Dalam pandangan konstruktivisme, pembelajaran bukan pemindahan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun pengetahuannya. Pembelajaran berarti partisipasi siswa bersama guru membentuk pengertian, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi Bettencourt (dalam Panen dkk, 2001). Disadari bahwa salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi belajar adalah apa yang telah diketahui dan dialaminya (Simon, 1995). Pendidik perlu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk membangun pengetahuannya secara aktif dengan memperhatikan pengetahuan awal yang dimiliki sebelumnya. Selama ini pembelajar dalam pembelajaran Sistem Persamaan Linear cenderung dominan untuk metransfer materi tersebut. Sedikit sekali pembelajar yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri tentang materi tersebut. Peran pembelajar sebagai pemberi ilmu, sudah saatnya berubah menjadi mediator dan fasilitator yang memediasi dan memfasilitasi peserta didik untuk dapat belajar dan mengkonstruksi sendiri (Hudojo,1998). Hal ini relevan dengan pandangan 3
konstruktivisme bahwa peserta didik sendirilah yang harus secara aktif membangun pengetahuan mereka. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi focus penelitian sebagai berikut. (1) Apa rancangan dan bagaimana penerapan belajar kooperatif model Jigsaw untuk memahami Sistem Persamaan Linear di STMIK Pradnya Paramita Malang? (2) Bagaimana kerjasama mahasiswa dalam pembelajaran Sistem Persamaan Linear dengan belajar kooperatif model jigsaw? (3) Apa respon mahasiswa dalam belajar kooperatif model jigsaw untuk memahami Sistem Persamaan Linear?
METODE Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah jenis penelitian tindakan partisipan. Pengambilan jenis penelitian ini didasarkan juga pada alasan bahwa peneliti berpartisipasi langsung dalam pembelajaran mulai awal sampai akhir. Yang bertindak sebagai pemberi tindakan dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Peneliti bertindak sebagai perencana, perancang, pelaksana, pengumpul data, penganalisis data dan pelapor penelitian Sumber data dalam penelitian ini adalah satu kelas jurusan Teknik informatika dan Sistem Informasi semester dua 2006/2007. Sumber data ini langsung menjadi subyek penelitian. Berhubung penelitian ini mengacu pada belajar kooperatif maka mahasiswa dibagi atas kelompok-kelompok kecil. Masing-masing kelompok terdiri dari mahasiswa yang kemampuannya heterogen yang memuat mahasiswa dengan kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Dari subyek penelitian ini diambil 4 orang mahasiswa yang terdiri dari 1 mahasiswa berkemampuan tinggi, 2 mahasiswa berkemampuan sedang dan 1 orang berkemampuan rendah untuk diwawancarai. Pengambilan sampel tersebut diharapkan representasi dari mahasiswa kemampuan tinggi, kemampuan sedang dan kemampuan rendah. Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data saat pelaksanaan tindakan adalah (1) tes, (2) wawancara, (3) observasi, (4) angket dan (5) catatan lapangan Data yang diperoleh dari tes, wawancara, observasi, angket, catatan lapangan dan foto. Analisis data dilakukan dengan mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (1992) yang meliputi tahap (1) mereduksi data, (2) menyajikan data, (3) menarik kesimpulan serta verifikasi. Teknis analisis data kuantitatif: (1) 4
Untuk mengukur Pemahaman mahasiswa terhadap pembelajaran Sistem Persamaan Linear dengan belajar kooperatif model jigsaw. Peneliti membandingkan hasil rata-rata pada tes awal dengan hasil rata-rata kuis akhir tindakan I dan tindakan II. (2) Peneliti mengukur keberhasilan tindakan, keberhasilan kerjasama mahasiswa menggunakan lembar observasi kegiatan peneliti dan mahasiswa. Analisis data hasil observasi menggunakan analisis presentase, yaitu skor yang diperoleh dari masing-masing indikator dijumlahkan dan hasilnya disebut jumlah skor. Selanjutnya dihitung presentase nilai rata-rata dengan cara membagi jumlah skor dengan skor maksimal yang kemudian dikalikan 100. Respon mahasiswa dapat diukur dengan masing-masing pernyataaan dari angket respon. Jumlah masing-masing bobot pernyataan mahasiswa dikalikan jumlah mahasiswa dibagi 40. Dalam penelitian, keabsahan data merupakan hal yang penting. Untuk mengecek keabsahan data digunakan teknik kriteria derajat kepercayaan (Moleong, 2001). Derajat kepercayaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) triangulasi, (2) ketekunan pengamatan dan (3) pemeriksaan teman sejawat. Pelaksanaan setiap tindakan menggunakan model yang dikembangkan oleh Kemmis (dalam Hopkins, 1985). Model ini meliputi tahap (1) merencanakan, (2) melaksanakan, (3) mengamati, dan (4) merefleksi yang membentuk suatu siklus. Siklus dalam suatu tindakan akan diulang sampai kriteria yang ditetapkan dalam setiap tindakan tercapai. Kriteria keberhasilan yang ditetapkan untuk tindakan I dan tindakan II adalah jika 80% siswa memperoleh nilai 65
HASIL Menurut pengamatan peneliti selama kegiatan pembelajaran berlangsung kelihatan bahwa mahasiswa sangat senang dalam belajar. Mahasiswa senang bekerja dalam kelompok, baik dalam kelompok ahli, maupun dalam kelompok asal. Mereka sangat aktif berdiskusi dalam kelompoknya masing-masing Wawancara hanya dilakukan pada subyek penelitian setelah pembelajaran berlangsung. Untuk kriteria pemahaman, pertanyaannya dihubungkan dengan proses pembelajaran yang telah mereka lakukan dan hasil tes akhir pembelajaran tindakan I dan II. Keempat subyek menyatakan bahwa 5
pemahaman mereka semakin baik dan bermakna karena belajarnya saling memberi dan menerima, aktif berbuat dapat berkreatif membangun dan menemukan sendiri pengetahuan dengan tanpa tertekan oleh aturan, tetapi tetap efektif sehingga lebih mudah memahami materi tersebut. Mereka senang dan setuju bila sering diberi kesempatan belajar seperti ini, tetapi dosen harus berusaha membuat lembar kegiatan belajar atau modul sedemikian rupa sehingga mereka mudah memahami keperluan belajar seperti ini. Untuk kriteria kerjasama, hasil wawancara menunjukkan bahwa semua subyek merasa senang bekerjasama dalam kelompok daripada belajar secara individu. Karena mereka berpendapat bahwa dengan bekerja kelompok pekerjaan bisa lebih cepat dan mudah. Selain itu, dapat saling membantu memecahkan atau menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kelompok. Sehubungan dengan respon mahasiswa terhadap pembelajaran tindakan I dan II, semua subyek menyatakan bahwa mereka menyukai dan senang belajar kooperatif model jigsaw. Karena dengan pembelajaran yang demikian, dilatih untuk terbiasa akif, kreatif dan inovatif.
PEMBAHASAN Pembelajaran Matematika dengan pengajar sebagai pusat dan sumber belajar, merupakan salah satu proses pembelajaran yang digunakan selama ini di Sekolah Tinggi Manajemen dan Informatika Pradnya Paramitha Malang. Proses pembelajaran yang demikian akan membatasi kreatifitas mahasiswa, karena aktivitasnya tidak dilibatkan secara maksimal dalam proses pembelajaran tesebut. Maka ketika mahasiswa menghadapi suasana dan lingkungan belajar yang baru (belajar model jigsaw), yaitu suasana dan lingkungan yang tidak lazim bagi subyek sebelumnya, ternyata mempengaruhi aktivitas diskusi kelompok.pada tindakan I siklus 1. Pada awal pelaksanaan pengkajian lembar kegiatan belajar, yaitu ketika mereka menuju kelompok asal, situasi ini sedikit ramai. Hal ini terjadi, karena mereka masih ada yang belum mengetahui teman sekelompoknya walaupun kelompok sudah terbentuk sebelum pelaksanaan pembelajaran berlangsung. Pada saat diskusi kelompok ahli, sempat beberapa saat semua subyek masih canggung dalam menyesuaikan diri dengan suasana dan lingkungan belajar dengan menggunakan belajar kooperatif model jigsaw. Kurang antusiasnya diskusi 6
kelompok ahli disebabkan adanya satu kelompok yang memiliki kategori kemampuan rendah. Peneliti pada tindakan II berusaha untuk menukar anggota kelompok sehinggga anggota kelompok ahli tidak semuanya dalam kategori kemampuan rendah. Adanya perbedaan etnis/suku ternyata membuat diskusi kurang antusias. Peneliti berusaha memotivasi dengan kata-kata yang membuat mereka lebih antusias untuk berdiskusi misalnya “Belajarlah berkomunikasi dengan orang yang berbeda suku mungkin suatu saat kita akan hidup di dalam masyarakat yang mayoritas bukan suku kita, maka kita harus pandai menyesuiakan diri “. Setelah lebih kurang 15 menit berlalu, nampak diskusi kelompok ahli tersebut sudah berjalan dengan baik. Walaupun aktivitas diskusi masih dalam intensitas yang belum maksimal karena mahasiswa dalam kategori kemampuan tinggi masih mendominasi jalannya diskusi. Untuk itu peneliti berusaha mengarahkan jalannya diskusi dengan meminta mahasiswa untuk bergiliran menerangkan semampunya kepada teman anggota kelompoknya. Selanjutnya begitu memasuki diskusi kelompok asal, aktivitas diskusi mereka telah menunjukkan kemajuan yang ditandai dengan suasana diskusi yang lebih dinamis dibandingkan di awal diskusi kelompok ahli. Aktivitas diskusi dalam kelompok ini dilakukan secara berpasangan dan bergantian menjelaskan materi yang menjadi tanggungjawabnya kepada sepasang temannya yang lain dalam kelompok asal tersebut. Aktivitas diskusi mereka lebih dinamis dan maksimal bahkan terdengar ramai di dalam kelas. Namun masih baik, karena hal ini tidak mengganggu ketertiban dan jalannya diskusi masing-masing kelompok secara keseluruhan. Aktivitas yang demikian dimungkinkan karena terjadinya kerjasama dalam kelompok untuk menyelesaikan tugas kelompok, mereka saling membantu satu sama lain dalam usaha memahami materi yang tertuang dalam lembar kegiatan belajar. Semua subyek di dalam kelompok masing-masing, saling bertanya bila tidak mengerti, saling menjelaskan bila memahami, saling mengingatkan bila lupa /keliru dan saling membantu bila kesulitan mengerjakan atau menyelesaikan tugas kelompok. Suasana yang demikian menciptakan rasa keinginan belajar seperti itu, berulang mereka alami. Antusias yang demikian, lebih nampak pada aktivitas diskusi kelompok pada tindakan II, karena mereka telah merasakan suasana belajar berdiskusi dalam kelompok yang diatur sesuai dengan belajar kooperatif model jigsaw pada 7
tindakan I, yaitu adanya keakraban, saling memberi dan menerima diantara anggota kelompok adalah merupakan faktor pendukung terbentuknya suasana diskusi kelompok dan kerjasama yang dinamis dalam kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat McLeod, Otega (dalam Usman, 2001) suasana belajar matematika yang efektif ditandai oleh dukungan lingkungan dimana norma-norma sosial diikuti oleh mahasiswa dengan antusias dan rasa senang dalam memecahkan berbagai masalah. Antusias mahasiswa selain karena kerjasama dalam kelompok, juga karena materi baru dan menarik. Materi sistem persamaan linear adalah salah satu topik penting dalam mata kuliah Aljabar Linear dan merupakan materi baru bagi mahasiswa. Dari uraian di atas, ternyata kerjasama mahasiswa dalam belajar model jigsaw berlangsung dengan baik. Mahasiswa yang berkemampuan tinggi membantu mahasiswa yang berkemampuan tinggi membantu mahasiswa yang berkemampuan rendah untuk memahami tugas kelompok. Mahasiswa yang berkemampuan rendah tidak segan atau malu untuk bertanya pada temannya yang telah mengerti. Hal tersebut sesuai dengan hirarki kebutuhan ke 2 menurut Maslow yaitu mahasiswa merasa aman dengan kekurangannya. Mahasiswa sering merasa segan dan malu bertanya kepada pengajar, tetapi tidak segan dan malu bertanya kepada temannya karena sudah merasa dekat sehingga mereka dapat bertanya sesukanya. Penjelasan teman seringkali lebih mudah dimengerti daripada penjelasan pengajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibrahim (dalam Muslimin 2004) bahwa dalam belajar kooperatif mahasiswa akan lebih banyak belajar dari temannya daripada pengajar. Perasaan dilibatkan sebagai anggota, mahasiswa pada umumnya merasa senang dilibatkan di dalam kelompoknya. Hal tersebut sesuai dengan hirarki kebutuhan ke 3 menurut Maslow yaitu mahasiswa merasa dicintai dan diakui dalam kelompok. Oleh sebab itu, perasaan konstruktif dari masing-masing individu perlu dikembangkan dalam belajar Sistem Persamaan Linear berkelompok dengan belajar kooperatif model Jigsaw. Jadi penghargaan dan persetujuan yang dikembangkan oleh mahasiswa dalam berdiskusi pada pembelajaran ini, sudah sewajarnya mereka lakukan karena ternyata memang efektif membangkitkan perasaaa harga diri sesama temannya untuk lebih berusaha lagi dalam belajarnya. Perasaan mahasiswa mendapat persetujuan ini penghargaan 8
dapat menjadi motivasi belajar bagi mahasiswa. Hal tersebut sesuai dengan hirarki kebutuhan ke 4 menurut Maslow yaitu mahasiswa memerlukan kebutuhan harga diri dan berprestasi, sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hudojo (1988) bahwa perasaan mendapat persetujuan, dapat menjadi motivasi yang sangat kuat dalam belajar Matematika. Kondisi belajar kooperatif termasuk model jigsaw memberikan kesempatan kepada mahasiswa seluas-luasnya untuk berdiskusi, berdebat, mengkritik, menyetujui pendapat, mengemukakan pendapat, bertanya dan mendengarkan pendapat temannya sehingga memungkinkan mereka menemukan cara dan teknik memproses informasi dalam membangun suatu gagasan baru. Pemikiran yang demikian dilandasi oleh pernyataan Slavin (1995) bahwa pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi subyek untuk terlibat aktif sehingga memberikan lebih banyak lebih banyak kesempatan bagi subyek untuk berfikir kritis dan mengembangkan rasa percaya diri terhadap upaya belajar individu dan kelompok. Mahasiswa aktif mendapatkan pengalaman untuk belajar dari sesamanya. Sebagaimana yang terjadi pada tindakan I, yaitu disaat diskusi kelompok ahli dengan anggota berinisial DI dan AY. Ketika mereka menemukan solusinya, akan menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi karena ternyata mereka bisa, padahal bisa jadi sebelum pengalaman belajar seperti ini rasa percaya diri tidak ada. Pada kelompok Ahli A no 3 dan 4 dan kelompok ahli B no 4 dan 5 peneliti melakukan scaffolding dengan melakukan dorongan dengan kata-kata yang membuat mereka aktif untuk melakukan diskusi kelompok A no 3 dan kelompok ahli B no 5 mulai aktif untuk diskusi. Kelompok A no 4 dan kelompok ahli B no 5 masih kurang aktif untuk diskusi. Peneliti memberikan peringatan akhirnya Kelompok A no 4 dan kelompok ahli B no 5 aktif berdiskusi Pencapaian kemampuan kelompok ahli A no 5 dengan anggota AJ, TL dan AY berada pada taraf perkembangan yang optimal. Dengan kata lain AJ, TL, dan AY memperoleh keuntungan yang banyak melalui pembelajaran model jigsaw. Sebaliknya, DI hanya mendapat keuntungan sedikit melalui pembelajaran model jigsaw dan memerlukan bantuan lebih banyak lagi dari pengajar atau teman sejawat. Keadaan ini sesuai dengan Vigotsky (dalam Dworetzky, 1990) bahwa Zone of Proximal Development (ZPD) bersifat individual atau khas untuk tiap-tiap siswa 9
Pada saat pemantapan tindakan I keberanian mahasiswa untuk bertanya dan mengemukan pendapat sudah mulai tampak seperti yang dilakukan oleh VC dan JA. Belajar kooperatif model jigsaw oleh subyek, tidak hanya berfikir kritis, aktif dan percaya diri, tetapi juga sudah mulai dapat menghargai kontribusi, kesepakatan, mengambil giliran dan berbagi tugas. Hal ini sejalan dengan pendapat Lundgren (dalam Nur, 1996) bahwa pembelajaran dengan kooperatif merupakan bentuk-bentuk penerapan dari keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif tersebut diantaranya menghargai kontribusi, mengambil giliran, berbagi tugas, bertanya, memeriksa ketepatan dan menjelaskan. Sebagai suatu keterampilan, maka keterampilan kooperatif yang ada dalam pembelajaran kooperatif tidak cukup hanya dipahami, tetapi harus dilatihkan. Tanpa bermaksud mengesampingkan faktor-faktor lain, perilaku individu ternyata juga menentukan aktivitas belajar kelompok. Anggota kelompok yang mempunyai sifat pendiam akan menjadikan diskusi kelompok berjalan tidak dinamis. Keadaan ini sempat terjadi pada tindakan I, yaitu beberapa menit saat berlangsungnya diskusi kelompok ahli. Namun setelah 15 menit berlalu, karena dorongan dari teman dalam kelompok yang bersangkutan untuk aktif bertanya dan tidak perlu malu-malu, kemudian karena temannya juga mengerti akan keberadaannya, sehingga selanjutnya diskusi kelompok secara keseluruhan berjalan baik dan sudah terlihat lebih baik lagi pada kegiatan diskusi tindakan II. Suasana diskusi yang begitu hidup dan saling memberi kontribusi, saling memotivasi dan saling memahami satu dengan yang lain diantara anggota dalam kelompok, ternyata cukup efektif menimbulkan respon yang tinggi terhadap pembelajaran Sistem Persamaan Linear. Respon mahasiswa terhadap pembelajaran Sistem Persamaan Linear sangat positif, karena seperti yang telah diuraikan pada alinea sebelumnya bahwa mahasiswa sangat antusias melakukan kerjasama ketika diskusi, baik itu diskusi kelompok ahli, diskusi kelompok asal dan bahkan diskusi paripurna kelas dalam rangka pemantapan. Mahasiswa kelihatan menikmati kegiatan belajar yang demikian, karena mereka dapat saling memberi pertanyaan dan saling memberi penjelasan. Pengertian yang diberikan oleh mahasiswa kepada temannya ketika melakukan diskusi merupakan penghargaan yang sangat berharga bagi teman yang berkemampuan rendah, karena yang demikian akan menimbulkan perasaan 10
senang dan akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi. Penghargaan diri, seseorang biasanya cenderung berbuat untuk mempertahankan harga diri, ingin selalu dihargai, ingin dikatakan dapat melakukan sesuatu yang tidak kalah dengan orang lain. Ini berarti kegiatan yang dilakukan mahasiswa dalam pembelajaran ini sangat positif. Kondisi belajar kooperatif termasuk model jigsaw memberikan kesempatan kepada mahasiswa seluas-luasnya untuk berdiskusi, berdebat, mengkritik,menyetujui pendapat. mengemukakan pendapat, bertanya dan mendengarkan pendapat temannya sehingga memungkinkan mereka menemukan cara dan teknik memproses informasi dalam membangun suatu gagasan baru. Hal tersebut sesuai dengan hirarki kebutuhan ke 5 menurut Maslow yaitu mahasiswa memerlukan kebutuhan aktualisasi diri. Mahasiswa memerlukan kebutuhan ke 6 yaitu mengetahui dan mengerti, ketika mahasiswa mengemukakan pendapatnya. Pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi subyek untuk terlibat aktif sehingga memberikan lebih banyak lebih banyak kesempatan bagi subyek untuk berfikir kritis dan mengembangkan rasa percaya diri terhadap upaya belajar individu dan kelompok.(Slavin,1995) Berdasarkan data observasi kedua pengamat terhadap kegiatan peneliti dan mahasiswa pada tindakan I dan II , jumlah skor yang diperoleh adalah 74 dan skor maksimal 75. Dengan demikian, presentase nilai rata-rata diatas 90%. Berarti taraf keberhasilan kegiatan peneliti berdasarkan observasi kedua pengamat, termasuk dalam kategori sangat baik. Hal ini juga dapat dilihat dari keaktifan mahasiswa dalam berdiskusi baik pada kelompok ahli maupun kelompok asal dan berkerja sama dengan teman sekelompok. Mereka saling bertukar pendapat, saling bertanya dan saling membantu dalam menyelesaikan masalah yang ada dalam lembar kegiatan belajar. Mereka sudah memiliki kepercayaan diri yang tinggi atas kemampuannya , tidak lagi malu dan takut dalam menjelaskan materi yang menjadi keahliannya. Berdasarkan data observasi kedua pengamat pada tindakan I dan II, jumlah skor yang diperoleh adalah 75 dan skor maksimal 75. Dengan demikian, presentase nilai rata-rata adalah 90 % . Berarti taraf keberhasilan kegiatan mahasiswa berdasarkan observasi kedua pengamat termasuk dalam kategori sangat baik Jadi berdasarkan hasil analisis data observasi terhadap kegiatan 11
peneliti dan mahasiswa dapat disimpulkan bahwa kegiatan peneliti dan mahasiswa dalam pembelajaran Definisi dan solusi Sistem Persamaan Linear dengan metode eliminasi dan substitusi.sudah baik dan sesuai dengan yang direncanakan. Selanjutnya hasil analisis observasi mutu kerjasama mahasiswa dalam pembelajaran tindakan I dan II ini juga menggunakan analisis dan kritiria yang sama dengan analisis dan kriteria yang digunakan dalam analisis dan kriteria keberhasilan untuk kegiatan peneliti dan mahasiswa. Jumlah skor yang diperoleh diatas 90 dan skor maksimal 100. Dengan demikian persentase nilai rata-rata diatas 90% . Berarti taraf keberhasilan mutu kerjasama mahasiswa dalam belajar kooperatif model jigsaw pada pembelajaran tindakan I dan II adalah termasuk dalam kategori sangat baik Dengan proses pembelajara model Jigsaw, terlihat bahwa pemahaman mahasiswa terhadap “Sistem Persamaan Linear” sangat baik. Hal ini diperkuat pula oleh hasil kuis/tes akhir setiap tindakan. Hasil tindakan I, diperoleh bahwa presentase nilai rata-rata subyek penelitian adalah 69.87 % yang berarti kriteria keberhasilan adalah diatas 68 % dan hasil tindakan II, diperoleh presentase nilai rata-rata adalah.72.12 %, yang berarti kriteria keberhasilan adalah diatas 68,87 % juga. Bahkan terlihat bahwa presentase nilai rata-rata pada tindakan I menunjukkan ada peningkatan yang dicapai pada tindakan II.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Belajar kooperatif model Jigsaw yang dilaksanakan dalam penelitian ini ternyata efektif, yaitu dapat memahamkan Sistem Persamaan Linear pada mahasiswa Jurusan Informatika, Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STIMIK) Pradnya Paramita Malang. 2. Belajar kooperatif model Jigsaw tersebut memiliki langkah-langkah sebagai berikut. (1) pembentukan kelompok asal, (2) diskusi kelompok ahli, (3) diskusi kelompok asal, (4) tes/kuis dan (5) pemantapan. Secara garis besar, kelima langkah tersebut disusun dalam rencana pembelajaran menjadi tiga tahap kegiatan, yaitu sebagai berikut. a. Tahap awal: Pengajar membentuk kelompok asal terdiri dari empat orang. Masing-masing kelompok dengan komposisi satu orang berkemampuan tinggi, dua orang berkemampuan sedang dan satu 12
orang berkemampuan rendah. Selanjutnya pengajar membagikan lembar kegiatan belajar yang akan didiskusikan pada masing-masing kelompok. Setiap kelompok mendapatkan dua lembar kegiatan belajar yang berbeda A dan B. b. Tahap inti: Setelah membagikan lembar kegiatan belajar pada masingmasing kelompok, pengajar meminta mahasiswa untuk mengkaji terlebih dahulu lembar kegiatan belajar yang sudah diterima. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok ahli yang beranggotakan 4 orang dari masing-masing kelompok asal yang medapatkan lembar kegiatan belajar yang sama A atau B. Sehingga dalam diskusi kelompok ini ada dua kelompok ahli A dan B sesuai dengan lembar kegiatan belajar yang mereka terima. Tahap ini diakhiri dengan diskusi kelompok asal, yaitu masing-masing kelompok ahli kembali ke kelompok asalnya semula untuk saling menjelaskan hasil diskusi di kelompok asal masing-masing. c. Tahap akhir: Pengajar memberikan tes/kuis akhir tindakan dan dilanjutkan dengan langkah kelima pemantapan dengan kegiatan diskusi kelas dengan bahasan materi yang muncul pada soal tes. Tindak lanjut merupakan kegiatan selanjutnya yang harus dilakukan bagi mahasiswa yang mendapat skor kurang, terutama pada materi yang belum dipahami. 3. Kerjasama mahasiswa dalam kegiatan belajar kelompok adalah sangat baik. 4. Respon mahasiswa terhadap pembelajaran Sistem Persamaan Linear dengan belajar kooperatif model Jigsaw sangat positif.
SARAN Dari pelaksanaan penelitian pembelajaran Sistem Persamaan Linear dengan belajar kooperatif model Jigsaw, diperoleh banyak kejadian yang dapat dijadikan masukan bagi penyempurnaan pelaksanaan pembelajaran tersebut. Saran-saran berikut akan berguna bagi pembaca yang tertarik untuk (1) menerapkan pembelajaran ini dengan materi lain atau dengan memperhatikan melakukan penelitian lebih lanjut.
13
1. Agar efektif dalam pelaksanaan dengan pembelajaran ini, materi yang disusun berupa modul, kegiatan belajar, pokok bahasan, atau subpokok bahasan hendaknya mempertimbangkan tujuan yang akan dicapai, materi prasyarat yang harus dimiliki oleh peserta didik, kesiapan dan kegunaan bagi peserta didik. Kemudian materi yang sudah disusun tersebut harus diserahkan kepada mahasiswa sekurang-kurangnya sehari sebelum kegiatan pembelajaran berlangsung. 2. Pembentukan kelompok, agar dilakukan sebelum pelaksanaan pembelajaran, hal ini juga dimaksudkan untuk mengurangi pemakaian waktu yang berlebihan. 3. Untuk meningkatkan keaktifan diskusi mahasiswa perlu adanya penghargaan berupa tambahan nilai mata kuliah tersebut. 4. Pembentukan kelompok belajar hendaknya tidak hanya memperhatikan heterogensi dari kemampuan akademik, tetapi juga memperhatikan karakter pribadi setiap individu misalnya mahasiswa pendiam dikelompokan dengan mahasiswa yang aktif berdiskusi. 5. Belajar kooperatif model Jigsaw tersebut dapat pula dijadikan salah satu alternatif pembelajaran bagi dosen Matematika, karena ternyata mahasiswa merespon dengan sangat positif dan ditunjukkan pula oleh pemahaman yang baik pula.
14
DAFTAR RUJUKAN Andaini, S.K 1998 Problematika Penerapan Algoritma pada Mata Kuliah Numerik. Jurnal Matematika dan Pembelajaran: FMIPA IKIP Malang IV: 15 As’ari, A.R. 2001. SekilasTentang Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning). Makalah disampaikan pada Seminar Jurusan Matematika FMIPA UM. Malang, 15 Maret . As’ari, A.R. 2002. Beberapa Hal Penting tentang Pembelajaran Matematika dengan Cooperative learning. Makalah disajikan pada simposium guru matematika V di Yogyakarta. Clements, DH & Battista,M.T. 2001. Contructivist Learning and Teaching. (online)(Http.//www.terc.edu/investigation/relevant/html/contructivistlearn ing.html, diakses tanggal 02 Februari 2002 ). Dees, R. L. 1991. The Role of Cooperative learning in Increasing Problem Solving Ability on College Remedial Course. Journal for Research in Mathematics Education. 22 (5): 409-421 Depdiknas, 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika. Jakarta: Depdiknas Dworetzky, P. 1990. Introduction to Child Development. New York West: Publishing Company. Eggen, P. D. & Kauchak D. P. 1998. Learning and Teaching Research-Based Methods. Boston: Allyn and Bacon.. Goble, F.G. 1987 Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Terjemahan oleh Supratiknya: Kanisius Hill, S & Hill. 1993. The Collaborative Classroom: A Guide to Cooperative Learning. Victoria : Eleanor Curtain Publishing. Hopkins, D. 1985. A Teacher’s Guide to Classroom Research. England: Open University Press. Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud LPTK. Hudojo, H. 1989. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional. Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah disajikan pada Seminar Nasional “ Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Era Globalisasi” Program Pascasarjana IKIP Malang. Malang: 4 April.
15
Johnson, D.W. & Johnson, R.T. 1994. Learning Together and Alone: Cooperative and Individualistic Learning. Fourth Edition Massachusets : Allyn & Bacon. Lundgren, L. 1994. Cooperative Learning in the Science Classroom. Glencoe: Mc Graw-Hill. Marpaung, Y. 1999. Mengejar Ketinggalan Kita Dalam Pendidikan Matematika, Mengutamakan Proses Berpikir Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Upacara Pembukaan Program S3 Pendidikan Matematika UNESA. Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Oleh Tjetjep R. Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). Moleong, L.J. 2001. Metodologi Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muslimin, 2004. Belajar Kooperatif Model Jigsaw Untuk Memahami Sistem Kongruensi Linear Dua Peubah. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Nandang. 1998. Pembelajaran dalam Upaya Membantu Mengatasi Kesalahan Menyelesaikan Soal Matematika Bentuk Cerita pada Siswa Madrasah Aliyah Negeri Malang. Tesis tidak dipublikasikan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Niniwati. 2005 Pembelajaran Pemecahan Masalah Persamaan Kuadrat dengan Kooperatif Model Jigsaw pada Siswa Kelas I SMA Negeri 1 Padang. Tesis tidak dipublikasikan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Nur, M., Wikandri, P.R & Sugiarto, B 1999. Teori Belajar. Surabaya: UNESA University Press Panen, P, Mustafa, D dan Sekarwiyu, M.2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Departemen pendidikan Nasional. Roestiyah. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Ruseffendi, E.T. 1991. Pengantar Membantu Guru Mengembangkan Kompetensi dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Simon, M.A.1995. Reconstructing Mathematics Pedagogy From A Constructivist Perspective. Journal for Research in Mathematics Education. 26(2), 114145 Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research and Practice. Massachussetts: Allyn & Bacon. Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Depdiknas. 16
Stahl, R.J. 1994. Cooperative Learning in Social Studies: Handbook for Teachers. USA: Kane Publishing Service, Inc. Sutawidjaya, A. 2002. Konstuktivisme Konsep dan Implikasinya pada Pembelajaran Matematika. Jurnal Matematika dan Pembelajaran. VIII (Edisi Khusus) 355-359 Usman. H.B. 2001. Aplikasi Belajar Kooperatif Untuk Memahami Konsep Limit Fungsi satu Varibel Real. Tesis tidak diterbitkan. Malang. Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang Yuwono, I. 2001. Pembelajaran Matematika Secara Membumi. Malang: FMIPA UM Malang.
17
PEMBELAJARAN KUBUS DAN BALOK DENGAN PENERAPAN PENGGUNAAN MODEL DAN KONTRIBUSI SISWA DI KELAS VIII SMP ISLAM AL-MA’ARIF 01 SINGOSARI Ukhti Raudhatul Jannah Abstract: To improve students’ mastery or understanding about cubes and blocks subject, this study formulates the problem into “How the learning using the application of the use of model and students’ contribution as one of the effort in improving students’ mastery or understanding concept cubes and blocks subject for the eight graders of SMP Islam Al –Ma’arif 01 Singosari?”.The learning using model and students’ contribution can make the students happy and active in joining the class so that they can construct their own knowledge. Therefore students will find the concept by themselves. The learning stage or phase consists of three, namely the beginning phase, the main phase, and the closing phase. The result of the study is gained from the observation, students’ test result, and interview. The observation shows that the learning of the research are categorized as good and very good respectively. Key words: learning, the use of model, students’ contribution, cubes and blocks PENDAHULUAN Pengembangan kemampuan bernalar adalah satu dari beberapa tujuan pembelajaran matematika. Sebagai salah satu cabang matematika, geometri menempati posisi strategis untuk mengembangkan kemampuan tersebut. Di samping berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar, geometri penting bagi siswa untuk meningkatkan wawasan keruangan. Karena itu, argumentasi tersebut mendasari pemikiran bahwa geometri perlu diajarkan sejak di sekolah dasar (SD). Kesulitan memahami konsep-konsep geometri ternyata masih banyak ditemui di lapangan. Sebagaimana yang ditemukan oleh Sunardi (2000:2) bahwa secara umum pemahaman siswa SMP masih kurang pada
1
konsep geometri, unsur-unsur geometri, struktur geometri, dan logika penalarannya.
Sunardi
(2006:71)
juga
mengatakan
bahwa
hasil
pembelajaran di SMP, baik dalam penguasaan bahan pembelajaran geometri maupun kecakapan berpikir dalam geometri masih kurang memuaskan. Battista (1999) melaporkan hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematics in Science Study) tentang geometri, bahwa hasil belajar geometri anak-anak kelas VIII masih rendah, yaitu rata-rata skornya dibawah 50%. Purnomo (1996:6) mengatakan bahwa sebagian besar siswa kesulitan memahami konsep geometri pada bangun ruang. Kesulitan memahami bangun ruang ini juga terjadi pada siswa SMP Islam AlMa’arif 01 Singosari, yaitu tentang konsep kubus dan balok. Informasi ini diperoleh dari hasil wawancara peneliti dengan guru matematika kelas VIII SMP Islam Al-Ma’arif 01 Singosari pada tanggal 6 Desember 2007. Siswa
mengalami
kesulitan
memecahkan
masalah
tentang
luas
permukaan dan volume kubus dan balok yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari atau diberi masalah yang lebih kompleks. Hal ini disebabkan karena kurangnya siswa memahami konsep luas permukaan dan volume kubus dan balok yang biasanya diajarkan secara abstrak. Berdasarkan wawancara dengan guru matematika SMP Islam AlMa’arif 01 Singosari tanggal 6 Desember 2007 diketahui bahwa guru dan siswa belum pernah mengenal pembelajaran matematikan realistik (PMR), prestasi belajar siswa sangat rendah terutama terhadap pelajaran
2
matematika. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata rapor pelajaran matematika siswa masih di bawah 60 yaitu 43,04. Di samping itu pula, kegiatan
belajar
mengajar
yang
dilakukan
guru
masih
bersifat
konvensional. Kegiatannya adalah guru menjelaskan, memberikan contoh, dan memberikan latihan soal. Selama pembelajaran yang dilakukan tentang kubus dan balok, guru tidak menggunakan alat peraga. Rendahnya
motivasi
siswa
untuk
belajar
mengakibatkan
guru
berpendapat “siswa sudah mau belajar saja, itu sudah cukup”. Karena itu, siswa kurang aktif mengikuti pembelajaran, siswa hanya menerima begitu saja yang telah diberikan guru dan tidak berani untuk mengemukakan ide-idenya. Berdasarkan hal di atas, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi di kehidupan siswa atau masalah yang bisa diimajinasikan oleh siswa (realistic problem). Dengan mengajukan masalah realistik, siswa secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada
pematematisasian
pengalaman
sehari-hari
dan
menerapkan
matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah Realistic Mathematic Education (RME). Selanjutnya, di dalam penelitian ini RME diistilahkan dengan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).
3
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan suatu sistem yang berisi tentang prinsip-prinsip dan karakteristik-karakteristik dari PMR tersebut. Karakteristik-karakteristik PMR
(Yuwono, 2005:10-12)
adalah: (1) penggunaan konteks (Use of Context), (2) penggunaan model (Use of Models), (3) kontribusi siswa (Student Contribution), (4) interaktivitas (Interactivity), dan (5) keterkaitan dengan materi yang lain (Intertwining). Salah satu cara agar siswa aktif dalam mengikuti pembelajaran dan “menemukan kembali” konsep-konsep, matematika khususnya konsep kubus dan balok dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa karakteristik PMR. Merancang pembelajaran dengan memperhatikan semua karakteristik PMR sangat kompleks. Oleh karena itu, hanya dua dari lima karakteristik PMR yang akan diterapkan pada penelitian ini, yaitu penggunaan model dan kontribusi siswa. Masalah pada penelitian ini adalah bagaimana pembelajaran dengan penerapan penggunaan model dan kontribusi siswa sebagai upaya meningkatkan pemahaman kubus dan balok bagi siswa kelas VIII SMP Islam Al-Ma’arif 01 Singosari?. METODE Pendekatan di dalam penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif. Sedangkan jenis penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan ini merupakan penelitian tindakan partisipan, karena peneliti terlibat langsung dalam penelitian
4
mulai dari awal sampai pada akhir proses penelitian, yaitu sebagai guru atau pelaksana pembelajaran. Data yang diambil dalam penelitian ini adalah: (1) hasil tes akhir tindakan, (2) hasil validitas terhadap perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian dari validator, (3) hasil pengamatan (observasi) terhadap proses pembelajaran, (4) hasil wawancara terhadap subjek penelitian, dan (5) hasil observasi terhadap subjek penelitian tentang keaktifan siswa dan pembelajaran dengan penggunaan alat peraga dan kontribusi siswa. Sumber data dalam penelitian ini adalah (1) semua siswa kelas VIIIB SMP Islam Al-Ma’arif 01 Singosari, (2) 3 validator, (3) 2 observer yang mengamati seluruh kegiatan pembelajaran, dan (4) 3 subjek penelitian. Siswa yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah 3 orang siswa dengan kriteria 1 orang siswa berkemampuan tinggi, 1 orang siswa berkemampuan sedang, dan 1 orang siswa berkemampuan rendah. Pemilihan subjek penelitian berdasarkan hasil tes yang dilakukan guru tentang bagian-bagian kubus dan balok, masukan dari guru, dan kemampuan siswa dalam berkomunikasi artinya siswa cukup terbuka ketika dilakukan wawancara. Prosedur yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah: lembar validasi perangkat pembelajaran, tes, wawancara, dan lembar observasi.
5
PAPARAN DATA Berdasarkan penilaian dari para validator, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), lembar tes, lembar observasi, lembar wawancara telah memenuhi kriteria valid. Selanjutnya dilakukan uji coba di lapangan. Pembelajaran yang akan dilakukan di dalam penelitian ini menggunakan penggunaan model dan kontribusi siswa. Oleh karena itu, peneliti bertindak sebagai pelaksana tindakan, bukan hanya sebagai guru kelas, dengan harapan peneliti dapat menerapkan penggunaan model dan kontribusi siswa secara maksimal. Untuk membantu observasi tindakan yang dilakukan oleh peneliti dibutuhkan observer dalam mengamati setiap kegiatan pembelajaran. Observer terdiri dari 2 orang yaitu guru bidang studi matematika dan seorang teman sejawat PPS UM. Sebelum
melaksanakan
tindakan,
peneliti
terlebih
dahulu
mengadakan diskusi dengan guru bidang studi matematika dan teman sejawat
tentang
rencana
pembelajaran
yang
akan
dilaksanakan.
Pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini dilakukan dengan setting kooperatif. Tindakan di dalam penelitian ini terdiri dari 2 tindakan yaitu tindakan I tentang luas permukaan kubus dan balok. Tindakan II tentang volume kubus dan balok. Kegiatan pembelajaran pada tindakan I dan tindakan II dibagi menjadi 3 tahap yaitu tahap awal meliputi apersepsi.
6
Kegiatan inti meliputi diskusi kelompok dan tes. Kegiatan akhir meliputi refleksi terhadap hasil pembelajaran. Berdasarkan kegiatan diskusi yang
telah dilakukan siswa,
kemudian guru meminta menyimpulkan tentang rumus luas permukaan kubus dan balok. Secara serempak siswa menyimpulkan bahwa luas permukaan kubus = 6s2 dan luas permukaan balok = 2 (p.l + p.t + l.t). Sedangkan pada tindakan II secara serempak siswa menyebutkan bahwa rumus volume kubus adalah s3, dan rumus volume balok adalah p x l x t. Setelah melakukan diskusi kelompok, masing-masing siswa melakukan tes akhir. Hasil tes akhir pada tindakan I menunjukkan 69% dari
keseluruhan siswa memperoleh skor ≥65. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran sesuai yang direncanakan. Hasil tes akhir pada tindakan II adalah terdapat 71% dari keseluruhan siswa memperoleh skor ≥ 65. Pada tahap akhir, guru melakukan refleksi terhadap hasil pembelajaran yang telah dilakukan siswa. Observasi yang dilakukan pada pembelajaran ini adalah observasi terhadap aktivitas guru, aktivitas siswa, dan aktivitas subjek penelitian. a. Aktivitas Guru (Peneliti) Berdasarkan data observasi dari kedua observer diperoleh bahwa pembelajaran pada tindakan I dan tindakan II berada pada kategori sangat baik. b. Aktivitas Siswa
7
Berdasarkan data observasi dari kedua observer diperoleh bahwa pada pembelajaran tindakan I dan tindakan II berada pada kategori sangat baik. c.
Aktivitas belajar subjek penelitian melalui pembelajaran dengan penggunaan model Observasi yag dilakukan pada subjek penelitian berada pada satu
kelompok yaitu kelompok I. Yang akan di observasi dari kegiatan siswa adalah keaktifan siswa dalam penggunaan model berupa alat peraga manipulatif. Persentase keberhasilan aktivitas belajar subjek penelitian melalui pembelajaran tindakan I dengan penggunaan model sebesar 83,33% berada pada kategori baik. Sedangkan pembelajaran tindakan II persentasenya adalah 91,67% sehingga berada pada kategori sangat baik d. Aktivitas belajar subjek penelitian melalui pembelajaran dengan kontribusi siswa Yang akan di observasi dari kegiatan siswa adalah kontribusi siswa yaitu keaktifan siswa dalam mengemukakan ide-idenya di dalam pembelajaran. Persentase keberhasilan aktivitas belajar siswa melalui pembelajaran tindakan I dengan kontribusi siswa adalah 80% sehingga berada pada kategori baik. Sedangkan pembelajaran tindakan II 80% dan berada pada kategori baik. Hasil wawancara dari tindakan I dan tindakan II menunjukkan respon yang positif terhadap pembelajaran.
8
Temuan Penelitian Beberapa temuan penelitian pada guru dan siswa selama pelaksanaan Tindakan I dan Tindakan II adalah sebagai berikut. a.
Dari pembelajaran yang telah diterapkan, penelitian ini telah menghasilkan langkah-langkah pembelajaran dengan menerapkan penggunaan
model
dan
kontribusi
siswa
sehingga
mampu
meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep kubus dan balok. Langkah pembelajarannya terdiri dari tiga tahap yaitu tahap awal, tahap inti, dan tahap akhir. Adapun langkah pembelajaran yang diperoleh adalah sebagai berikut. Tabel 4.14 Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Penggunaan Model dan Kontribusi Siswa No
Langkah
Kegiatan Pembelajaran
Pembelajaran
TAHAP AWAL 1.
Pertama
2.
Kedua
3.
Ketiga
4.
Keempat
Mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa a. Mengaitkan pembelajaran dengan situasi yang sesuai dengan lingkungan siswa b. Memotivasi siswa dengan menyediakan kegiatan matematika yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari siswa
Kontribusi siswa
TAHAP INTI a. Mendorong penggunaan media b. Mengarahkan siswa agar siswa memperoleh konsep matematika melalui berbagai media a. Mendorong terjadinya interaksi dan kerja sama dengan orang lain atau lingkungannya b. Mendorong terjadinya diskusi terhadap pengetahuan baru yang dipelajari c. Meminta siswa untuk memberi tanggapan atas jawaban temannya d. Memberi pancingan kepada siswa agar
Penggunaan model Kontribusi siswa Penggunaan model
9
5.
Kelima
siswa mengemukakan pendapat e. Memberi pancingan kepada siswa apabila siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah f. Menghargai jawaban siswa meskipun jawaban siswa belum benar g. Memberi kesempatan kepada satu atau beberapa kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok dalam diskusi kelas h. Mendorong terjadinya pertukaan ide/gagasan di dalam diskusi kelas i. Mengarahkan siswa untuk menyimpulkan hasil diskusi a. Menyediakan masalah yang dapat diselesaikan b. Meminta siswa memahami masalah yang telah diberikan c. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang masalah yang belum dipahami d. Memberikan bantuan seperlunya kepada siswa e. Meminta siswa menyelesaikan masalah yang telah diberikan
Kontribusi siswa
TAHAP AKHIR 6.
Keenam
Mendorong peningkatan kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan melalui refleksi diri, misalnya dengan meminta siswa untuk mengemukakan tentang apa yang belum atau yang sudah dipahami
Kontribusi siswa
b. Hasil tes akhir tindakan yang diperoleh siswa dari Tindakan I dan Tindakan
II
mengalami
peningkatan
cukup
baik.
Hal
ini
menunjukkan bahwa pemahaman siswa tentang materi kubus dan balok telah meningkat. Pada Tindakan I, 69% dari keseluruhan siswa telah memperoleh skor ≥ 65. Sedangkan pada Tindakan II, 71% dari keseluruhan siswa telah memperoleh ≥ 65.
10
c.
Dari hasil observasi guru terhadap subjek penelitian di dalam satu kelompok bahwa dalam pembelajaran dengan penggunaan model dan kontribusi siswa menunjukkan pada kategori baik dan sangat baik. Hanya saja pada Tindakan I, MT kurang bisa memberikan ideidenya pada kelompok karena mungkin tidak terbiasa dengan pembelajaran seperti ini. Tetapi pada Tindakan II, MT mulai terlihat aktif.
d. Berdasarkan hasil wawancara, respon siswa terhadap pembelajaran sangat positif dan tingkat pemahaman siswa terhadap materi juga sangat baik.
PEMBAHASAN 1.
Motivasi belajar Motivasi yang dibangkitkan dengan cara melakukan tanya jawab
tentang pentingnya materi kubus dan balok dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menyadari pentingnya kubus dan balok di kehidupan, diharapkan mampu menimbulkan minat siswa mengikuti semua proses pembelajaran. Motivasi yang dilakukan guru pada saat proses pembelajaran, memberikan kesempatan bagi siswa untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya. Siswa terlihat lebih siap mengikuti pembelajaran sehingga siswa telah terlibat secara aktif di dalam pembelajaran. Walaupun ada beberapa siswa di dalam pembelajaran ini yang tidak dapat menjawab
11
pertanyaan guru ketika memberikan motivasi. Memotivasi siswa dalam belajar juga sebagai pendorong bagi siswa untuk mempelajari materi kubus dan balok. Berdasarkan teori motivasi yang dikemukakan oleh Maslow bahwa siswa telah memenuhi 6 hirarki kebutuhan dari 8 kebutuhan. Diantaranya adalah kebutuhan rasa aman, kebutuhan rasa memiliki di dalam kelompok, kebutuhan penghargaan, kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti,
dan
kebutuhan
aktualisasi
diri.
Dengan
pembelajaran
penggunaan alat peraga dan kontribusi siswa dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan memenuhi kebutuhannya tersebut, maka pembelajaran dan prestasi siswa akan meningkat. 2.
Pembentukan kelompok Pembentukan kelompok – kelompok kecil yang heterogen bertujuan
untuk membantu siswa dalam memahami konsep melalui bantuan anggota kelompoknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Vygotsky (1986) anak berada pada zona perkembangan proximal bahwa selain guru, teman sebaya yang lebih pintar juga akan memberikan bantuan kepada siswa yang berkemampuan dibawahnya. Pada pembelajaran ini, masing– masing anggota kelompok saling memberikan bantuan dan masukan dalam meningkatkan pemahamannya tentang suatu konsep. Anggota kelompok yang kurang mampu bertanya kepada anggota kelompok yang lebih mampu mengenai hal-hal yang belum dipahami. Sedangkan siswa
12
yang lebih mampu telah bertambah pemahamannya melalui proses menjelaskan kepada anggota yang kurang mampu. Hal ini sesuai dengan pendapat Kennedy & Tipps (dalam Djuita, 2005:94) bahwa kelompok yang terdiri dari siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah akan memaksimalkan proses belajar karena masing-masing siswa mempunyai kemampuan awal yang berbeda. Hal ini didukung pula oleh pendapat Vygotsky
(Cobb,
1996)
bahwa
menekankan
pembelajaran
pada
pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang lain yang punya pengetahuan lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik. Oleh karena itu, pembelajaran ini dapat berjalan dengan baik dan lancar karena siswa telah saling memberikan ide-idenya sesuai dengan kemampuannya. 3.
Penggunaan LKS
Penggunaan LKS terbukti efektif di dalam pembelajaran. LKS berisi langkah-langkah dalam menemukan konsep kubus dan balok, dan pertanyaan-pertanyaan agar siswa memahami materi pelajaran. LKS yang telah dibuat oleh peneliti bertujuan untuk menuntun siswa menemukan sendiri konsepnya dengan bekerja sama dengan anggota kelompoknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Machmud (2001:7) menyatakan bahwa LKS dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja secara mandiri dan bekerja sama, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan penemuan.
13
Pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam LKS dapat juga disebut latihan soal. Hudojo (1988:135) menyatakan bahwa pembentukan konsep atau generalisasi harus diikuti latihan soal agar peserta didik yakin bahwa konsep atau generalisasi yang dipelajari itu benar-benar telah dimengerti sebelum mempelajari konsep atau generalisasi konsep berikutnya. Berdasarkan kegiatan diskusi dengan menggunakan LKS, siswa aktif dalam menyampaikan pendapatnya. 4. 1)
Aktivitas guru dan siswa di dalam pembelajaran Aktivitas guru Peran guru sangatlah penting di dalam proses pembelajaran. Pada
pembelajaran ini, guru lebih berperan di dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, guru perlahan-lahan mengurangi perannya agar siswa mampu belajar secara mandiri. Selanjutnya guru memfungsikan dirinya sebagai mediator, inovator, dan fasilitator. Oleh karena itu, tugas seorang guru pada pembelajaran ini adalah memandu, membimbing, dan membantu siswa jika dibutuhkan. Guru membimbing dan membantu siswa melalui pertanyaan-pertanyaan arahan yang nantinya akan dikembangkan sendiri oleh siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Vygotsky (Slavin,1997) tentang Scaffolding bahwa pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
14
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. 2)
Aktivitas siswa Peran siswa di dalam pembelajaran ini adalah saling bekerja sama
dalam
memanipulasi
alat
peraga
dan
memberikan
ide
untuk
menyelesaikan setiap soal yang terdapat pada Lembar Kerja Siswa (LKS). Siswa yang berkemampuan tinggi memberikan bantuan kepada siswa yang memiliki kemampuan dibawahnya sehingga terjadi pertukaran ide sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan siswa yang berkemampuan rendah mencoba untuk mengetahui dan bertanya pada temannya yang berkemampuan di atasnya karena komunikasi antar siswa akan memudahkan siswa memahami materi kubus dan balok. Hal tersebut sesuai dengan konsep Vygotsky (Slavin, 1997) tentang Zone of Proximal Development (ZPD) bahwa jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
15
Berdasarkan hal di atas, kerja sama dan interaksi sosial yang baik akan tercipta diantara mereka. Kerjasama yang baik antar siswa di dalam proses pembelajaran ini ditunjukkan dengan saling memanfaatkan alat peraga yang telah disediakan untuk menemukan suatu konsep. Sedangkan interaksi sosial yang baik antar siswa dapat menimbulkan pertukaran ide sehingga siswa mampu memahami suatu konsep dengan baik. PENUTUP 1.
Kesimpulan Berdasarkan paparan data dan pembahasan, dapat disimpulkan
bahwa: a.
Setelah melalui proses pengujian, pembelajaran dengan penggunaan model dan kontribusi siswa terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap inti, dan tahap penutup. Berikut penjelasan dari masing-masing tahap. 1) Tahap awal Kegiatan pada tahap ini adalah memberikan motivasi kepada siswa melalui pengetahuan awal siswa tentang materi kubus dan balok. Guru juga menanyakan pada siswa tentang manfaat dari kubus dan balok di kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai pada materi kubus dan balok. 2) Tahap inti
16
Kegiatan pada tahap ini adalah proses siswa menemukan dan memahami rumus kubus dan balok. Guru membantu siswa memahami materi kubus
dan balok dengan cara memahami
berbagai masalah yang ada di LKS. Masalah yang ada di LKS disusun melalui pembelajaran dengan penggunaan model dan kontribusi siswa, serta dikaitkan144dengan kehidupan sehari-hari siswa. Di dalam LKS berisi petunjuk-petunjuk agar siswa dapat menemukan rumus luas dan volume kubus dan balok secara mandiri melalui diskusi dengan anggota kelompoknya. Pada saat 121 siswa memanfaatkan alat peraga melakukan diskusi kelompok, yang tersedia untuk menemukan rumus kubus dan balok. Pada saat itu juga,
siswa memberikan ide-idenya sehingga proses
pembelajaran berjalan secara aktif dan lancar. Di dalam diskusi kelas, diberikan kesempatan kepada perwakilan dari kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Hal ini dimaksudkan untuk memantapkan pemahaman siswa tentang materi kubus dan balok.
Jawaban
dari
hasil
diskusi
kelompok
kemudian
dikonfrontasikan dengan semua kelompok di dalam kelas. Pada tahap ini juga dilakukan tes akhir untuk mengukur sejauhmana pemahaman siswa tentang materi kubus dan balok. Masalah yang ada di soal tes ini juga dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. 3) Tahap penutup
17
Kegiatan pada tahap ini adalah melakukan refleksi dengan menyimpulkan secara generalisasi dari masalah-masalah yang telah diselesaikan oleh siswa. Selanjutnya, guru menanyakan kesulitan siswa selama pembelajaran. Hal ini dimaksudkan sebagai umpan balik bagi guru untuk pembelajaran selanjutnya. b. Pembelajaran dengan penggunaan model dan kontribusi siswa mampu meningkatkan pemahaman siswa tentang materi kubus dan balok pada siswa kelas VIII SMP Islam Al-Ma’arif 01 Singosari Malang. Selain itu, siswa juga dapat mengetahui aplikasi dan pentingnya materi kubus dan balok di kehidupan sehari-hari. c.
Penggunaan model berupa alat peraga menimbulkan keaktifan siswa untuk memanipulasi alat peraga sehingga siswa merasa senang, membantu siswa menemukan rumus kubus dan balok, dan membantu siswa menyelesaikan masalah.
d. Kontribusi siswa terjadi ketika terjalin kerja sama dalam kelompok sehingga siswa mampu mengeluarkan ide-idenya dan menghormati pemikiran orang lain. Siswa aktif menyampaikan ide-idenya tanpa takut jawabannya benar atau salah sehingga pembelajaran terlihat berhasil. e.
Siswa merasa senang mengikuti pembelajaran dengan penggunaan alat peraga dan kontribusi siswa. Hal ini ditunjukkan oleh hasil pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung dan hasil wawancara dengan ketiga subjek penelitian.
18
2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disampaikan beberapa saran berikut.
a.
Guru matematika SMP sebaiknya menerapkan pembelajaran dengan penggunaan alat peraga dan kontribusi siswa.
b. Guru sebaiknya melatih siswa menemukan sendiri konsep kubus dan balok sehingga pembelajaran akan lebih berarti bagi siswa dan konsep yang diperoleh dapat melekat di pemikirannya. Hal ini bertujuan agar siswa mampu memecahkan masalah yang dihadapi di kehidupannya. c.
Di dalam pembelajaran matematika, guru sebaiknya menggunakan alat peraga yang berada di lingkungan siswa sehingga siswa mengerti dan paham manfaat dari matematika di kehidupan sehari-hari. Alat peraga ini juga digunakan sebagai sarana bagi siswa untuk menemukan konsep matematika.
d. Guru sebaiknya selalu memotivasi siswa untuk menyampaikan ideide yang di keluarkan siswa sehingga pembelajaran lebih aktif. Guru juga jangan langsung memvonis siswa jika jawabannya salah, namun diberi bimbingan agar siswa menemukan kesalahannya sendiri dan mencoba kembali.
19
PEMBELAJARAN PEMECAHAN MASALAH ALJABAR LINIER DENGAN PENDEKATAN SHARE AND COMPARE
Welas Listiani
Abstrak: Penelitian ini bertujuan menghasilkan langkah-langkah pembelajaran pemecahan masalah Aljabar Linier dengan pendekatan share and compare untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika angkatan 2005 di IKIP Budi Utomo Malang. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah mahasiswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran pemecahan masalah dengan pendekatan share and compare meningkat cukup tinggi. Selain itu, mahasiswa sangat aktif dalam pembelajaran, memiliki kreatiftas yang sangat tinggi dan menunjukkan kesenangan yang tinggi dalam pembelajaran karena bisa berbagi dengan teman dan dosen tanpa ada rasa takut.
Kata kunci: share and compare, Aljabar Linier.
Mahasiswa calon guru diharapkan menjadi guru yang memiliki kompetensi kepribadian, pedagogis, profesional, dan sosial (Tuhusetya, 2007). Oleh karena itu, aktivitas mahasiswa calon guru harus ditingkatkan dalam pembelajaran melalui diskusi kelompok kecil untuk memecahkan suatu masalah matematika dengan cara menjelaskan ide kepada orang lain (Hartoyo, 2000:24). Dengan kata lain, pembelajaran harus berorientasi pada mahasiswa.
Namun, hasil pengamatan peneliti terhadap proses pembelajaran pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika angkatan 2005 Fakultas Ilmu Eksakta dan Keolahragaan (FPIEK) IKIP Budi Utomo Malang menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran masih berorientasi pada dosen dan mahasiswa cenderung individualis dan kurang bisa bekerjasama dengan temannya dalam memecahkan masalah. Padahal dalam dunia sekarang ini hendaknya diutamakan kerja sama dan bukan persaingan (Nasution, 2000:79). Begitupula dalam proses pembelajaran harus ada kerjasama antar mahasiswa. Vigostky juga mengemukakan bahwa mahasiswa memerlukan bantuan orang lain untuk memecahkan masalah yaitu bantuan dosen atau mahasiswa lainnya (Sutherland, 1992:44). Jadi mahasiswa harus dapat bekerjasama dengan orang lain untuk mencapai tujuan hidupnya. Selanjutnya, tes awal kemampuan pemecahan masalah Aljabar Linier menunjukkan hasil yang rendah yaitu 44,75%. Padahal Aljabar Linier merupakan mata kuliah yang harus dikuasai oleh mahasiswa calon guru karena sebagai dasar untuk belajar mata kuliah Program Linier yang dikembangkan dari konsep-konsep Aljabar Linier (Dumairy, 1999:343). Hal tersebut terjadi karena mahasiswa calon guru kurang memiliki kemampuan dan ketelitian dalam menyimak atau mengenali suatu persoalan, kurang memiliki kemampuan menyimak kembali sebuah jawaban yang diperoleh, dan kurang memiliki kemampuan nalar yang logis dalam menyelesaikan persoalan matematika atau cara berpikir deduktifnya masih kurang (Wahyudin, 2003:180-181).
Oleh karena itu, perlu ada suatu pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas mahasiswa dan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran pemecahan masalah Aljabar Linier dengan pendekatan share and compare. Buschman (2003) mengemukakan bahwa pendekatan share and compare merupakan suatu metode mengajar yang memfokuskan kegiatan belajar pada mahasiswa, bukan lagi pada dosen. Pendekatan ini membantu mahasiswa memahami matematika, menggunakan alasan ketika memecahkan masalah, belajar berkomunikasi dengan jelas dan lengkap, dan menjadi pemecah masalah yang percaya diri dan cakap dengan cara memecahkan masalah sesuai dengan pemahaman mahasiswa, berbagi hasil dengan teman, dan menerima umpan balik dari teman atau dosen. Selanjutnya Buschman (2003) juga menyatakan bahwa pendekatan share and compare menempatkan pemecahan masalah sebagai pusat kegiatan matematika di kelas. Dengan kata lain pendekatan share and compare merupakan salah satu pembelajaran pemecahan masalah. Pernyataan tersebut sesuai dengan gagasan Kennedy dan Tipps (1994:138) yaitu pendekatan pemecahan masalah dapat dilakukan dengan cara mengajar melalui pemecahan masalah, maksudnya yaitu masalah tidak hanya dinilai sebagai tujuan pengajaran tetapi juga cara dasar mengerjakan pemecahan masalah.
Sependapat dengan pernyataan tersebut, Sa’dijah (2000:62) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan keterampilan yang perlu untuk diajarkan dan guru hendaknya berusaha untuk menerapkannya. Jadi pendekatan share and compare perlu dilaksanakan pada mahasiswa calon guru matematika untuk melatih keterampilan pemecahan masalahnya secara individu dan kelompok. Dalam penelitian ini, pendekatan share and compare dilaksanakan melalui enam langkah yaitu warm up, problem for the day, mathematician’s chair, compare, tes, dan refleksi. Langkah-langkah tersebut dilaksanakan dalam dua kegiatan pembelajaran yaitu pembelajaran I dan pembelajaran II berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) I dan II. RPP I merupakan rencana pelaksanaan pembelajaran materi ruang vektor. Sedangkan RPP II merupakan rencana pelaksanaan pembelajaran materi ruang bagian. Sebelum pembelajaran dilaksanakan, dosen terlebih dahulu meminta mahasiswa untuk belajar materi yang akan dipelajari dalam pembelajaran yaitu ruang vektor dan ruang bagian agar mahasiswa memiliki tanggungjawab pribadi untuk menyiapkan dirinya dalam menghadapi pembelajaran (MKPBM, 2001). Mahasiswa juga diberitahu bahwa pada akhir pembelajaran akan diadakan kuis tentang materi yang baru saja dipelajari. Hal ini dilakukan dosen agar mahasiswa giat belajar (Nasution, 2000:169).
Warm up merupakan suatu tahap yang menghendaki mahasiswa untuk menjawab pertanyaan dosen tentang materi yang akan dibahas yaitu tentang ruang vektor atau ruang bagian dan selanjutnya jawaban tersebut didiskusikan dengan teman didekatnya kemudian didiskusikan dengan teman satu kelas dan dosen untuk mendapat solusi akhir. Selain itu, mahasiswa juga diminta mendiskusikan soal pada lembar soal yang berupa soal aplikasi. Problem for the day merupakan tahap yang meminta mahasiswa untuk memecahkan masalah dalam kartu soal secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri atas tiga mahasiswa yang memiliki kemampuan heterogen. Masalah yang tertuang dalam kartu soal merupakan masalah yang memerlukan sintesis dan analisis dari mahasiswa. Selain itu, dosen memantau pelaksanaan diskusi dan memberikan bantuan secukupnya pada mahasiswa dalam memecahkan masalah atau bertanya tentang solusi yang telah dihasilkan oleh mahasiswa agar mahasiswa semakin memahami masalah dan solusinya. Mathematician’s chair menghendaki setiap kelompok untuk mengajukan solusi kelompoknya atau memberikan umpan balik terhadap solusi kelompok lain. Dosen berperan sebagai mediator diskusi agar pembelajaran berlangsung dengan aktif. Selanjutnya compare meminta mahasiswa untuk membandingkan semua solusi yang diperoleh mahasiswa dalam tahap mathematician’s chair untuk mencapai solusi akhir dalam satu kelas. Dosen memberikan pertanyaan atau kritikan untuk memperkuat jawaban mahasiswa dalam mencapai solusi akhir.
Langkah selanjutnya mahasiswa diminta mengerjakan soal tes (kuis) secara mandiri dan bersifat tutup buku. Soal kuis merupakan soal essay buatan dosen. Jenis soal ini menyediakan kesempatan kepada mahasiswa untuk bisa mengutarakan ideidenya secara teratur dan jelas (Nasution, 2000:173). Langkah terakhir dari pembelajaran pemecahan masalah Aljabar Linier dengan pendekatan share and compare adalah dosen mengadakan refleksi dengan mahasiswa terhadap pembelajaran yang telah berlangsung. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan kepada pebelajar mengungkpakan pengalamannya ketika memecahkan masalah Aljabar Linier (Sa’dijah, 2005:13). Adapun masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masalah untuk menemukan dan masalah untuk membuktikan (Polya, 1962) yang memerlukan sintesis, analisis, atau aplikasi dari pengetahuan yang sudah dimiliki oleh mahasiswa (Hudojo, 2003). Masalah tersebut dapat dikerjakan dengan strategi pemecahan masalah sebagai berikut: memahami masalah, menentukan strategi pemecahan masalah, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan refleksi solusi masalah. Berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana langkah-langkah pembelajaran pemecahan masalah Aljabar Linier dengan pendekatan share and compare untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah Program Studi Pendidikan Matematika angkatan 2005 di IKIP Budi Utomo Malang?
Tujuan penelitian adalah untuk menghasilkan langkah-langkah pembelajaran pemecahan masalah Aljabar Linier dengan pendekatan share and compare untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah Program Studi Pendidikan Matematika angkatan 2005 di IKIP Budi Utomo Malang.
Metode Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika angkatan 2005 IKIP Budi Utomo Malang sebanyak 18 mahasiswa. Sedangkan subyek wawancara dalam penelitian ini adalah satu mahasiswa berkemampuan tinggi, satu mahasiswa berkemampuan sedang, dan satu mahasiswa berkemampuan rendah. Dalam penelitian ini kehadiran peneliti mutlak diperlukan karena peneliti bertindak sebagai perencana dan pelaksana penelitian (dosen). Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah soal-soal tes, lembar observasi, pedoman wawancara, dan inventori. Selanjutnya data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan analisis data kualitatif.
Hasil Sebelum pembelajaran dilaksanakan, peneliti yang dalam hal ini sebagai dosen menyampaikan kepada mahasiswa bahwa peneliti akan menentukan kelompok belajar yang anggotanyan ditentukan oleh dosen. Namun, mahasiswa menolak kalau kelompok dibuat oleh dosen. Mahasiswa meminta agar kelompok ditentukan oleh mahasiswa sendiri. Akhirnya, disetujui kalau kelompok dibuat oleh mahasiswa. Setiap anggota kelompok terdiri atas tiga mahasiswa. Berdasarkan pengamatan dua pengamat terhadap pembelajaran I diperoleh hasil bahwa aktivitas dosen mencapai 90%. Sedangkan aktivitas mahasiswa mencapai 72,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa dosen berhasil menciptakan suasana belajar yang aktif dengan sangat tinggi dan mahasiswa juga menunjukkan keaktifan yang tinggi dalam pembelajaran serta kreatifitas yang tinggi untuk mencapai solusi akhir pemecahan masalah. Meskipun demikian, ada sebagaian RPP I yang tidak terlaksana yaitu pada tahap warm up dosen tidak memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mendiskusikan solusi lembar soal 2. Solusi langsung dibenarkan oleh dosen. Perhatian dosen tidak tertuju pada semua mahasiswa. Mahasiswa juga tidak segera mengemukakan jawaban jika dosen tidak menunjuk salah satu mahasiswa untuk memulai diskusi.
Di samping itu, pada tahap problem for the day mahasiswa mengatur tempat diskusi sendiri sehingga dosen mengalami kesulitan memantau pelaksanaan diskusi setiap kelompok. Compare juga dilaksanakan setelah semua kelompok menyelesaikan diskusinya padahal sudah ada kelompok yang selesai terlebih dahulu. Pada tahap compare dan mathematician’s chair, dosen menempatkan dirinya sebagai mediator untuk mempermudah mahasiswa dalam mencapai solusi akhir suatu masalah. Sementara itu, waktu yang digunakan untuk pembelajaran I adalah 200 menit atau 50 menit lebih lama dari waktu yang telah direncanakan. Selanjutnya dari kuis 1 diperoleh bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa terhadap kuis 1 mencapai 65,75%. Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa berada pada kategori antara cukup baik dan baik. Hasil wawancara menunjukkan bahwa tidak semua mahasiswa dapat menggunakan strategi pemecahan masalah. Hasil refleksi antara dosen dengan mahasiswa dan hasil wawancara menunjukkan bahwa mahasiswa senang terhadap pembelajaran I karena dapat berbagi ide dengan teman dan dosen tanpa ada rasa takut meskipun dosen tidak segera membenarkan jawaban mahasiswa tetapi berbalik bertanya pada mahasiswa tentang solusinya. Lebih lanjut, hasil pengamatan terhadap pembelajaran II menunjukkan bahwa aktivitas dosen sudah mencapai 100%. Sedangkan aktivitas mahasiswa mencapai 90%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dosen sudah sangat berhasil menciptakan
suasana belajar yang aktif. Mahasiswa juga sudah sangat aktif dan kreatif terlibat dalam pembelajaran. RPP II sudah terlaksana dengan baik.
Rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa terhadap kuis 2 mencapai 64% atau berada pada kategori antara cukup baik dan baik. Hasil wawancara menunjukkan bahwa mahasiswa mengalami kekeliruan dalam menggunakan strategi pemecahan masalah. Hasil refleksi antara dosen dengan mahasiswa dan hasil wawancara menunjukkan bahwa mahasiswa senang terhadap pembelajaran II karena dapat berbagi ide dengan teman dan dosen tanpa ada rasa takut meskipun dosen tidak segera membenarkan jawaban mahasiswa tetapi berbalik bertanya pada mahasiswa tentang solusinya. Mahasiswa juga merasa lebih dapat memahami materi dengan cara berdiskusi daripada hanya dijelaskan oleh dosen. Di samping itu, hasil tes awal menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa mencapai 44,75% sehingga kemampuan tersebut berada pada daerah antara kurang baik dan cukup baik. Sedangkan hasil tes akhir atau tes sesudah pelaksanaan pembelajaran pemecahan masalah dengan pendekatan share and compare menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa mencapai 67% atau berada pada daerah antara cukup baik dan baik. Rata-rata tes awal dan tes akhir menunjukkan adanya peningkatan rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran pemecahan masalah dengan pendekatan share and compare sebesar
49,75% dari rata-rata tes awal. Hasil tersebut menunjukkan peningkatan rata-rata kemampuan pemecahan masalah yang cukup tinggi. Kuis 1, kuis 2, dan tes akhir dilaksanakan dengan tutup buku tetapi mahasiswa diberi kesempatan membuat rangkuman materi yang dibuat untuk tes sebanyak satu halaman folio. Pada akhirnya hasil inventori mahasiswa menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki sikap pemecahan masalah yang tinggi yang ditunjukkan dengan adanya motivasi belajar yang sangat tinggi, ketekunan yang tinggi, dan kepercayaan diri yang tinggi.
Pembahasan Kelompok yang dibentuk oleh mahasiswa merupakan kelompok yang heterogen dan homogen karena dari 18 mahasiswa hanya ada tiga mahasiswa berkemampuan tinggi dan tiga mahasiswa berkemampuan rendah. Mahasiswa lainnya berkemampuan sedang. Mahasiswa diizinkan membentuk kelompok sendiri karena peneliti tidak menginginkan mahasiswa merasa keberatan mengikuti pembelajaran karena kelompok ditentukan oleh dosen sehingga hasilnya tidak akan natural. Selanjutnya, hasil observasi pada pembelajaran I dan II menunjukkan bahwa dosen sudah menciptakan suasana belajar yang aktif sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) I dan II meskipun pada pembelajaran I tidak semua rencana terlaksana. Oleh karena itu, dosen berusaha memperbaiki kekurangan-
kekurangan yang ada dalam pembelajaran I sehingga RPP II dapat terlaksana dengan baik.
Adapun hal-hal yang diperbaiki dalam pembelajaran diantaranya dosen mengurangi jumlah soal pada tahap warm up dan problem for the day. Membuat soal yang segera dapat diselesaikan pada tahap warm up sehingga tidak banyak menyita waktu pembelajaran. Kondisi tersebut sesuai dengan gagasan Buschman (2003) yang menjelaskan bahwa soal pada tahap warm up merupakan soal yang harus cepat terlihat jawabannya sehingga tidak memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. Dosen juga menunjuk mahasiswa untuk mengemukakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh dosen agar diskusi dapat berlangsung. Hal ini harus dilakukan dosen karena mahasiswa masih takut atau malu mengemukakan pendapat pada awal pembelajaran. MKPBM (2001) menyatakan bahwa murid yang pemalu biasanya cenderung segan menampilkan jawaban secara sukarela, maka sebaiknya pertanyaan itu jangan dilepas begitu saja, melainkan langsung ditujukan kepada salah satu/seorang murid. Selain itu, dosen mengatur tempat diskusi agar dosen dapat memantau setiap kelompok dengan lebih mudah dan kelompok tidak saling terganggu. MKPBM (2001) juga mengemukakan bahwa jarak antara kelompok yang satu dan yang lain diusahakan sedemikian rupa sehingga mereka merasa tidak saling terganggu sau dengan lainnya.
Kecuali itu, dosen meminta kelompok yang sudah menyelesaikan diskusi untuk mempresentasikan solusi kelompoknya untuk mendapat umpan balik dari kelompok lain agar waktu dapat terpakai secara maksimal. Dosen juga lebih memperhatikan semua mahasiswa dan tidak terfokus pada mahasiswa tertentu. Namun dosen tidak segera membenarkan atau menyalahkan solusi mahasiswa agar mahasiswa lebih percaya diri terhadap solusinya. Hal ini dilakukan karena dosen ingin memfasilitasi diskusi dan membantu mahasiswa memahami setiap solusi (Buschman, 2003). Apalagi Vigotsky mengemukakan bahwa mahasiswa akan dapat memecahkan masalah dalam zona perkembangan terdekat dengan bantuan teman atau dosen (Sutherland, 1992:44). Jadi dosen perlu memperlancar tugas-tugas mahasiswa dengan cara mengusahakan terjadinya kerjasama dan memantapkan standar serta prosedur kerja, serta memelihara kegiatan kelompok dengan cara memelihara dan memulihkan semangat, menangani konflik yang timbul, serta memperkecil masalah yang timbul (MKPBM, 2001). Sedangkan tes (kuis) dilaksanakan pada keesokan harinya karena mahasiswa menolak kalau kuis dilaksanakan langsung setelah pembelajaran dan waktu pembelajaran sudah selesai. Mahasiswa meminta kalau kuis diadakan dengan cara membuka buku tetapi dosen tidak menghendakinya. Setelah berdiskusi akhirnya disepakati jika kuis dilaksanakan dengan tutup buku tetapi mahasiswa diberi kesempatan membuat rangkuman materi untuk kuis sebanyak satu halaman folio. Kondisi tersebut sesuai dengan pendapat Johnson (2004) yang menjelaskan bahaw sebelum melaksanaka tes, mahasiswa diharuskan meninjau kembali dan
menyatukan catatan kelasnya dalam satu lembar catatan yang bermanfaat karena hal itu menunjukkan bahwa tes tidak selalu menekankan pada ingatan tetapi menekankan pada aplikasi dari suatu informasi. Hasil kuis 1 dan kuis 2 menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah mahasiswa sudah berada pada kategori antara cukup baik dan baik. Namun, hasil kuis 2 menunjukkan hasil yang lebih rendah dari kuis 1 karena berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa mahasiswa merasa lebih sulit memecahkan masalah kuis 2 dari pada kuis 1. Hasil refleksi dan hasil wawancara menunjukkan bahwa mahasiswa merasa puas dengan pembelajaran pemecahan masalah Aljabar Linier dengan pendekatan share and compare karena bisa memecahkan masalah sesuai dengan pemahamannya meskipun tidak semua jawabannya benar. Mahasiswa belajar dari kesalahankesalahannya untuk mencapai suatu solusi yang benar dengan jelas dan lengkap dengan cara berbagi dengan teman dan dosen. Hudojo (2003) menegaskan bahwa menyelesaikan masalah yang dimulai dengan suatu kegagalan tidaklah jelek, karena melalui kegagalan, siswa menghargai kemajuan-kemajuan yang sedikit sambil menantikan gagasan yang lebih cemerlang itu muncul. Mahasiswa juga merasa senang karena bisa berbagi dengan teman dan dosen tanpa ada rasa takut. Hasil inventori juga menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki sikap pemecahan masalah yang tinggi diantaranya memiliki motivasi yang sangat tinggi dalam pembelajaran pemecahan masalah dengan pendekatan share and
compare, memiliki ketekunan yang tinggi dalam memecahkan masalah, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam mengemukakan solusi secara jelas dan lengkap. Hal tersebut sesuai dengan gagasan Buschman (2003) bahwa pembelajaran pemecahan masalah Aljabar Linier dengan pendekatan share and compare dapat membuat mahasiswa percaya diri dan memahami matematika dengan lebih baik. Sementara itu, hasil tes awal dan tes akhir manghasilkan rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa mencapai 44,75% dan 67%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadi rata-rata peningkatan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa sebesar 49,75% dari rata-rata tes awal. Kemampuan pemecahan masalah mahasiswa meningkat dari antara kurang baik dan cukup baik menjadi antara cukup baik dan baik. Peningkatan tersebut merupakan peningkatan yang cukup tinggi. Di sampin itu, setiap mahasiswa juga mengalami peningkatan kemampuan pemecahan masalah. Pembelajaran pemecahan masalah Aljabar Linier dengan pendekatan share and compare juga menunjukkan suatu pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM) karena pembelajaran tersebut dilakukan dengan pemecahan masalah, curah pendapat, belajar dengan melakukan (learning by doing), menggunakan banyak metode yang disesuaikan dengan konteks, kerja kelompok (Taslimuharom, 2008).
Simpulan Kemampuan pemecahan masalah Aljabar Linier mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika angkatan 2005 di IKIP Budi Utomo Malang dapat ditingkatkan melalui pembelajaran pemecahan masalah Aljabar Linier dengan pendekatan share and compare melalui langkah-langkah yaitu warm up, problem for the day, mathematician’s chair, compare, tes, dan refleksi. Pembelajaran tersebut menghasilkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa yang cukup tinggi. Selain itu, mahasiswa memiliki motivasi yang sangat tinggi selama berlangsungnya pembelajaran pemecahan masalah Aljabar Linier dengan pendekatan share and compare, memiliki ketekunan yang tinggi dalam memecahkan masalah Aljabar Linier, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi sehingga pembelajaran berlangsung sangat aktif. Mahasiswa selalu berdiskusi untuk mencapai solusi akhir suatu masalah.
Saran Pembelajaran pemecahan masalah Aljabar Linier dengan pendekatan share and compare untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dapat melalui langkah-langkah yaitu warm up, problem for the day, mathematician’s chair, compare, tes, dan refleksi. Dosen perlu menciptakan suasana belajar yang dapat menumbuhkan motivasi, ketekunan, dan kepercayaan diri mahasiswa dalam belajar.
Daftar Rujukan Buschman,L. 2003. Share & Compare. USA: NCTM. Dumairy. 1999. Matematika Terapan untuk Bisnis dan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE. Hartoyo, A. 2000. Matematika dalam Lingkungan Masyarakat. Makalah disajikan dalam seminar nasional pengembangan pendidikan MIPA di Era Globalisasi. FMIPA UNY, Dirjen Dikti Depdiknas dan JICA IMSTEP. FMIPA UNY. Yogyakarta, 22 Agustus. Hudojo,H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika (edisi revisi). Malang: JICA IMSTEP. Johnson,T. 2004. Using Notes During Tests. Dalam Chappel (Eds.), Empowering the Beginning Tacher of Mathematics in High School (hal. 34). USA: NCTM. Kennedy dan Tipps. 1994. Guiding Children’s Learning of Mathematics. USA: International Thomson Publishing. MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI. Polya,G. 1962. Mathematical Discovery. USA: John Wikey & Sons, Inc. Sa’dijah,C. 2000.Upaya Mengembangkan Sikap Kritis Siswa Melalui Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika. MIPA. 29(1):60-74. Sa’dijah,C. Mengajar dan Belajar Matematika. Makalah disajikan dalam diklat peningkatan kompetensi guru pemerintah kabupaten malang tahun 2005. Pemkab Malang dan LP3 UM. LP3 UM. Malang, 26-31 Desember. Sutherland,P. 1992. Cognitif Development Todays Piaget and His Critics. London: Paul Chapman Publishing Ltd. Taslimuharom,T. 2008. Metodologi PAKEM (Online), (http://gurupkn.wordpress.com/2008/04/26/metodologi_pakem/, diakses 20 Juni 2008). Tuhusetya,S. 2007. Sertifikasi Guru (Online), (http://pelangi_pendidikan.blogspot.com/2007/07/sertifikasi_guru.html, diakses 15 Juli 2007). Wahyudin. 2003. Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Metalogika 6(2): 167-184.
Prosedur Pembelajaran Hubungan Sudut Pusat dan Sudut Keliling yang Menghadap Busur yang Sama Melalui Peran Siswa dalam Wacana Bagi Siswa Kelas VIII MTs Al-Ma’arif 01 Singosari-Malang (Oleh: Yuli Fitrianti) Abstract: This research is based on the problems faced by Students of MTs Al Ma’arif 01 Singosari Malang to recognize and apply the relation of central angle and inscribed angle that face equal arc. Students do not have opportunities to build their own concept. It therefore makes serious effort to build students’ comprehension of the relation of central angle and inscribed angle that face equal arc through students’ role in discourse. This research aims at producing learning procedure that can establish students’ comprehension on the relation of central angle and inscribed angle that face equal arc. This study is a Classroom Action Research that designed by using qualitative research. It is conducted to Eight Year Junior High School Students of MTs Al Ma’arif 01 Singosari Malang. The implementation of learning activities is exactly done as learning design that consists of five discourses. Each discourse has its own theme and purpose so they have different themes and purposes. All the themes are delivered in a cycle activity. The result is that the strategy developed in this study succeeds as a learning procedure to establish students’ comprehension of the relation of central angle and inscribed angle that face equal arc on eighth year junior high school students of MTs al Ma’arif 01 Singosari Malang. Key words: Students’ role through discourse, central angle and inscribed angle. Dalam matematika, geometri menempati bagian esensial dalam kurikulum. Hal ini terbukti dari banyaknya standar kompetensi yang berisi materi tentang geometri. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan standar isi 2006, peneliti menghitung ada sekitar 56% materi yang dipelajari siswa di kelas VIII SMP adalah geometri. Berdasarkan standar geometri, siswa kelas VIII diharapkan dapat menganalisis karakteristik-karekteristik dan sifat-sifat bangun geometri dimensi dua dan tiga dan mengembangkan argumen matematika tentang hubungan geometri (NCTM, 2000:232). Salah satu materi yang dibahas dalam geometri adalah sudut. Menurut Clements (2003:162-164) sudut adalah bahasan utama dalam geometri yang harus dikuasai siswa sehingga mereka dapat merefleksikan konsep dan pengukuran sudut dalam memahami beragam aspek sudut.
1
Dalam buku yang sama Clements menyatakan bahwa siswa banyak melakukan kesalahan dalam memahami konsep sudut. Hal ini dipertegas oleh pendapat Lehrer (2003:187) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa kesalahan yang sering dilakukan siswa adalah kesalahan persepsi dalam pengukuran sudut yang dipengaruhi oleh panjang garis yang berpotongan atau oleh arah sudutnya. Berdasarkan informasi yang didapatkan peneliti melalui diskusi dengan beberapa teman sejawat yang menjadi guru SMP atau MTs di Malang ternyata siswa mengalami kesulitan dalam memahami hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Informasi ini didukung oleh fakta yang ditemukan peneliti pada saat peneliti melakukan tes pada 6 orang siswa kelas IX MTs Al-Ma’arif 01 Singosari-Malang. Berdasarkan hasil tes tersebut, ditemukan beberapa kesalahan yang dilakukan sebagian besar siswa dalam menyelesaikan soal-soal tentang hubungan sudut pusat dan sudut keliling lingkaran yang menghadap busur yang sama. Kesalahan-kesalahan siswa tersebut adalah: (1) tidak dapat menyatakan simbol sudut dengan benar, (2) tidak dapat menentukan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama, (3) tidak dapat menjelaskan alasan mengapa sudut yang dibentuk dari diameter lingkaran disebut sudut pusat, (4) tidak dapat menyatakan hubungan antara sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama, dan (5) tidak dapat menerapkan hubungan sudut pusat dan sudut keliling dalam pemecahan masalah. Selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan guru yang mengajar siswa tersebut, didapatkan informasi bahwa pembelajaran matematika yang dilakukan
2
guru di MTs Al Ma’arif 01 Singosari-Malang masih berpusat pada guru. Umumnya guru mendominasi aktifitas pembelajaran di kelas, akibatnya siswa menjadi pasif. Ada kecenderungan guru hanya menjelaskan materi pelajaran, mencatatkan materi dan memberi contoh soal dan latihan, sedangkan siswa hanya memperhatikan penjelasan guru, mencatat materi pelajaran dan mengerjakan latihan. Hal ini menyebabkan pembelajaran yang dialami siswa kurang bermakna. Agar pembelajaran yang dialami siswa bermakna, guru harus dapat memberikan pengalaman yang beragam pada siswa. Jenis pengalaman yang guru berikan sejak awal memainkan peranan penting dalam menentukan kedalaman dan kualitas belajar siswa. Pemahaman siswa tentang matematika dapat dibangun jika mereka terlibat secara aktif dalam tugas-tugas dan praktek-praktek yang didesain untuk memperdalam dan menghubungkan pemahaman mereka. Dengan demikian aktivitas matematika siswa dapat dipekuat. Aktivitas matematika siswa dapat diperkuat dan dikembangkan melalui wacana yang didesain dan disajikan guru dalam bentuk pertanyaan lisan atau tugas. Tugas tersebut diharapkan dapat digunakan untuk memperkenalkan materi matematika dan menghubungkan serta menantang intelektualitas siswa. Pilihan tugas yang tepat dapat menstimulus keingintahuan siswa dan menarik mereka untuk mempelajari matematika. Tugas yang baik diharapkan dapat memunculkan spekulasi dan kerja keras sehingga dapat dikerjakan oleh siswa dengan pengetahuan dan pengalaman yang beragam. Wacana memiliki tema atau ide pokok dan guru memilki peran utama dalam mengatur wacana lisan dan verbal agar dapat berkontribusi dalam pemahaman matematika siswa (NCTM, 1991:35). Melalui wacana yang diberikan guru, maka peran siswa
yang diharapkan dari wacana tersebut adalah (1)
mendengarkan, merespon dan bertanya kepada guru dan siswa yang lain, (2)
3
menggunakan berbagai macam alat utuk merespon, membuat hubunganhubungan, menyelesaikan masalah, dan berkomunikasi, (3) mengajukan masalah dan pertanyaan, (4) membuat konjektur dan menyampaikan solusinya, (5) menggali contoh dan bukan contoh untuk menyelidiki konjektur, (6) berargumentasi untuk meyakinkan diri sendiri, guru dan siswa lain tentang validitas dari suatu representasi, solusi, konjektur dan jawaban, dan (7) mengandalkan bukti dan argumen dalam menentukan validitas suatu jawaban. (NCTM,1991:45). Selain dapat membantu siswa dalam mengembangkan dan memperkuat aktivitas matematika, wacana juga dapat membantu siswa membangun pemahaman matematikanya jika mereka terlibat secara aktif dalam tugas-tugas yang telah didesain guru. Jika wacana yang dikembangkan dapat menstimulus keingintahuan siswa dan membuat mereka tertantang untuk mempelajari matematika maka motivasi mereka untuk mempelajari matematika akan lebih besar. Berdasarkan beberapa paparan di atas, maka diperlukan usaha yang serius dalam membangun pemahaman siswa terhadap hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama melalui peran siswa dalam wacana bagi siswa kelas VIII MTs Al-Ma’arif 01 Singosari-Malang, sehingga masalah dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana prosedur pembelajaran yang dapat membangun pemahaman siswa terhadap hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama melalui peran siswa dalam wacana bagi siswa kelas VIII MTs Al-Ma’arif 01 Singosari-Malang?”
4
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menghasilkan prosedur pembelajaran yang dapat membangun pemahaman siswa terhadap hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama melalui peran siswa dalam wacana bagi siswa kelas VIII MTs Al-Ma’arif 01 Singosari-Malang. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru, khususnya bagi guru yang terlibat langsung dalam penelitian ini yaitu sebagai pengalaman dalam mengembangkan suatu prosedur pembelajaran di kelas. Bagi guru lain secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam mengembangkan suatu prosedur pembelajaran di kelas. Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan jika ingin melakukan penelitian. Bagi mahasiswa pendidikan matematika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam mengembangkan suatu prosedur pembelajaran dan dapat dijadikan sebagai referensi dalam membuat karya ilmiah.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan secara jelas prosedur pembelajaran hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama melalui peran siswa dalam wacana bagi siswa kelas VIII MTs AlMa’arif 01 Singosari-Malang. Penelitian dilakukan dalam setting kelas reguler. Pendekatan penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang menjelaskan prosedur pembelajaran hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama melalui peran siswa dalam wacana. Analisis data dilakukan secara induktif. Peneliti bertindak sebagai instrumen kunci karena
5
peneliti yang akan melaksanakan, merancang, mengumpulkan data, menganalisis data, menarik kesimpulan, dan membuat laporan. Dalam penelitian ini, peneliti lebih mengutamakan bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan daripada hasil belajarnya. Desain penelitian dapat disempurnakan selama penelitian berlangsung sesuai dengan kenyataan dilapangan. Dengan melihat karakteristik penelitian ini, maka pendekatan yang sesuai dengan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Ditinjau dari bagaimana penelitian dilakukan, maka penelitian ini termasuk ke dalam penelitian tindakan kelas (PTK). Hal ini sesuai pendapat yang dikemukakan oleh Arikunto (2002:2) bahwa bila penelitian tindakan yang berkaitan dengan bidang pendidikan dan dilaksanakan dalam kawasan suatu kelas, maka penelitian ini dinamakan penelitian tindakan kelas. Pemilihan jenis PTK karena permasalahan yang diteliti berawal dari permasalahan yang terjadi di kelas. Selain itu peneliti terlibat langsung dan sudah merupakan tugas peneliti sebagai pendidik yang harus selalu berusaha meningkatkan mutu pendidikan. PTK merupakan kajian tentang situasi sosial dan pandangan untuk meningkatkan mutu tindakan yang ada di dalamnya (Elliott dalam Wiriaatmadja, 2006:12) Siswa dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIIID MTs Al-Ma’arif 01 Singosari-Malang tahun ajaran 2007/2008 yang mengikuti pembelajaran hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama melalui peran siswa dalam wacana. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan lembar kerja siswa (LKS). Instrumen penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah lembar observasi kegiatan guru dan siswa, angket, tes, dan lembar validasi perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian.
6
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data hasil validasi terhadap perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, data hasil observasi terhadap aktivitas guru dan siswa, data hasil tes dan data hasil angket. Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis data kualitatif dan kuantitatif. Data tersebut dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) mereduksi data, (2) menyajikan data, dan (3) menyimpulkan data.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penerapan Guru mengawali pembelajaran dengan menggunakan jam tiruan berbentuk lingkaran yang terbuat dari styrofoam untuk membangkitkan pengetahuan awal siswa yaitu konsep sudut dan unsur unsur lingkaran, kemudian mengaitkan pengetahuan awal tersebut dengan materi pembelajaran yaitu hubungan sudut pusat dan sudut keliling lingkaran yang menghadap busur yang sama. Selanjutnya guru mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok dan memberikan LKS pada mereka. LKS berisi langkah-langkah kerja yang harus dilakukan siswa dalam memahami dan menerapkan materi tersebut. Tujuan masing-masing LKS adalah 1) menemukan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama, 2) menguraikan pembuktian tentang hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama, 3) Menentukan besar sudut keliling keliling yang menghadap diameter, dan 4) menerapkan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama dalam pemecahan masalah. Setelah siswa menyelesaikan LKS, kemudian mereka mempresentasikan hasil LKS mereka di depan kelas, dan dilanjutkan dengan pelaksanaan diskusi
7
kelas. Pembelajaran dikhiri dengan penarikan kesimpulan oleh siswa dengan bimbingan guru.
Hasil Pada
siklus
I,
pelaksanaan
pembelajaran
menunjukkan
bahwa
pembelajaran telah berlangsung kurang baik karena tidak semua tahapan-tahapan yang direncanakan dalam RPP dapat terlaksana. Berdasarkan pengamatan peneliti dan 2 orang pengamat selama proses pembelajaran berlangsung terlihat bahwa siswa dapat merespon pembelajaran dengan baik. Sosialisasi siswa dalam diskusi sudah cukup baik. Mereka cukup antusias dalam mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan, dan cukup aktif berdiskusi. Namun hanya sebagian siswa yang berani untuk mengungkapkan ide-idenya pada teman sekelompok, demikian juga saat diskusi kelas pada pertemuan pertama. Analisis hasil observasi kedua pengamat (P.1 dan P.2) terhadap aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran yang terdiri dari skor maksimal ( S M ), skor total ( ST ), skor rata-rata ( S R ), dan kriteria skor rata-rata hasil observasi yang diperoleh oleh masing-masing pengamat dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel Analisis Hasil Observasi terhadap Aktivitas Guru Siklus I
ST N O
Kriteria Peran Siswa dalam Wacana yang Dimunculkan
SM
1
Mendengarkan, merespon dan bertanya kepada guru dan siswa yang lain.
2
Menggunakan berbagai macam alat utuk merespon,
SR
Kriteria
P.1
P.2
P.1
P.2
P.1
P.2
144
120
135
83%
94%
Baik
Sangat Baik
36
32
33
89%
92%
Sangat Baik
Sangat Baik
8
membuat hubungan, menyelesaikan masalah, dan mengkomunikasikan. 3
Mengajukan masalah dan pertanyaan.
32
22
20
69%
62%
Cukup
Kurang
4
Membuat konjektur dan menyampaikan solusinya.
112
74
79
66%
71%
Kurang
Cukup
5
Menggali contoh dan bukan contoh untuk menyelidiki konjektur.
32
18
18
56%
56%
Sangat Kurang
Sangat Kurang
6
Mencoba untuk meyakinkan diri sendiri, siswa lain, dan guru tentang validitas dari suatu representasi, solusi, konjektur dan jawaban.
104
67
72
64%
69%
Kurang
Cukup
7
Mengandalkan bukti dan argumen untuk menentukan validitas suatu jawaban.
104
67
72
64%
69%
Kurang
Cukup
Tabel Hasil Observasi terhadap Aktivitas Siswa Siklus I
ST N O
Kriteria Peran Siswa dalam Wacana yang Muncul
SM
1
Mendengarkan, merespon dan bertanya kepada guru dan siswa yang lain.
2
SR
Kriteria
P.1
P.2
P.1
P.2
P.1
P.2
160
135
136
84%
85%
Baik
Baik
Menggunakan berbagai macam alat utuk merespon, membuat hubungan, menyelesaikan masalah, dan mengkomunikasikan.
36
34
32
94%
89%
Sangat Baik
Sangat Baik
3
Mengajukan pertanyaan.
dan
36
24
28
67%
78%
Cukup
Baik
4
Membuat konjektur dan menyampaikan solusinya.
92
67
69
73%
75%
Cukup
Baik
5
Menggali contoh dan bukan contoh untuk menyelidiki konjektur.
8
4
4
50%
50%
Sangat Kurang
Sangat Kurang
6
Mencoba untuk meyakinkan diri sendiri, siswa lain, dan guru tentang validitas dari
80
51
51
64%
64%
Kurang
Kurang
masalah
9
suatu representasi, solusi, konjektur dan jawaban. 7
Mengandalkan bukti dan argumen untuk menentukan validitas suatu jawaban.
80
51
48
64%
60%
Kurang
Kurang
Berdasarkan pengamatan terhadap aktivitas siswa yang dilakukan oleh pengamat 1 dan 2, konsentrasi belajar siswa kurang karena waktu mulai jam pelajaran sudah sore dan saat pelaksanaan diskusi kelompok pada pertemuan pertama dan kedua siswa banyak bertanya. Siswa kurang berani dalam mengungkapkan ide-ide mereka dan kurang dapat memberikan contoh atau bukan contoh sudut pusat dan sudut keliling lingkaran dengan tepat. Pada pertemuan ketiga siswa mulai terbiasa mengungkapkan ide-ide yang mereka miliki. Mereka lebih mandiri dalam menyelesaikan tugas dan berargumentasi dalam diskusi. Siswa dapat merespon pembelajaran dengan baik dan cukup terampil dalam menggunakan jangka, mistar dan busur derajat walaupun mereka kurang teliti dalam melakukan pengukuran. Secara umum, berdasarkan analisis data hasil observasi dari 2 orang pengamat terhadap aktivitas guru dan siswa disimpulkan bahwa aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran masih kurang baik. Walaupun dari hasil angket respon siswa terhadap pembelajaran positif, namun hasil tes siswa menunjukkan bahwa ketuntasan kelas hanya 8,8%. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam penelitian ini, tindakan dinyatakan berhasil jika semua kesimpulan hasil observasi dari 2 orang pengamat menyatakan kriteria keberhasilan kegiatan penelitian berdasarkan analisis
10
terhadap hasil observasi termasuk dalam kriteria baik, analisis hasil angket menyatakan kriteria respon siswa positif, dan analisis hasil tes menyatakan bahwa keberhasilan kelas 85% . Karena analisis hasil tes siswa dan hasil observasi aktivitas guru dan siswa tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam penelitian, peneliti bersama 2 orang pengamat memutuskan untuk melakukan siklus II karena tindakan pada siklus I dinyatakan belum berhasil. Pada siklus II, pembelajaran difokuskan pada presentasi LKS hasil diskusi kelompok siswa pada siklus I. Pelaksanaan pembelajaran berlangsung baik. Berdasarkan pengamatan peneliti dan 2 orang pengamat selama proses pembelajaran berlangsung terlihat bahwa siswa aktif dalam belajar. Sosialisasi siswa dalam diskusi kelas dan kelompok sudah baik. Sebagian besar siswa sudah mulai mandiri dalam belajar dan berani untuk mengungkapkan ide-idenya pada teman sekelompok atau pada forum diskusi kelas. Disamping itu, siswa dapat mempresentasikan laporan LKS mereka di depan kelas dengan baik. Kerjasama kelompok penyaji dalam presentasi juga sudah baik. Semua kelompok mengumpulkan hasil diskusi kelompok dengan lengkap. Analisis data observasi kedua pengamat (P.1 dan P.2) terhadap aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran yang terdiri dari skor maksimal ( S M ), skor total ( ST ), skor rata-rata ( S R ), dan kriteria skor rata-rata hasil observasi yang diperoleh oleh masing-masing pengamat pada tiap pertemuan dapat dilihat pada tabel berikut.
11
Tabel Analisis Hasil Observasi terhadap Aktivitas Guru Siklus II
ST N O
Kriteria Peran Siswa dalam Wacana yang Dimunculkan
SM
1
Mendengarkan, merespon dan bertanya kepada guru dan siswa yang lain.
2
SR
Kriteria
P.1
P.2
P.1
P.2
P.1
P.2
112
101
103
90%
92%
Sangat Baik
Sangat Baik
Menggunakan berbagai macam alat utuk merespon, membuat hubungan, menyelesaikan masalah, dan mengkomunikasikan.
8
8
8
100%
100%
Sangat Baik
Sangat Baik
3
Mengajukan masalah dan pertanyaan.
24
20
21
83%
88%
Baik
Sangat Baik
4
Membuat konjektur dan menyampaikan solusinya.
68
53
58
78%
85%
Baik
Baik
5
Menggali contoh dan bukan contoh untuk menyelidiki konjektur.
24
18
19
75%
79%
Baik
Baik
6
Mencoba untuk meyakinkan diri sendiri, siswa lain, dan guru tentang validitas dari suatu representasi, solusi, konjektur dan jawaban.
60
45
50
75%
83%
Baik
Baik
7
Mengandalkan bukti dan argumen untuk menentukan validitas suatu jawaban.
60
45
50
75%
83%
Baik
Baik
Tabel Hasil Observasi terhadap Aktivitas Siswa Siklus II
ST N O
Kriteria Peran Siswa dalam Wacana yang Muncul
SM
1
Mendengarkan, merespon dan bertanya kepada guru dan siswa yang lain.
2
Menggunakan berbagai macam alat utuk merespon, membuat hubungan, menyelesaikan masalah, dan mengkomunikasikan.
SR
Kriteria
P.1
P.2
P.1
P.2
P.1
P.2
96
86
87
89%
91%
Sangat Baik
Sangat Baik
8
8
8
100%
100%
Sangat Baik
Sangat Baik
12
3
Mengajukan masalah dan pertanyaan.
28
23
22
82%
78%
Baik
Baik
4
Membuat konjektur dan menyampaikan solusinya.
52
42
44
81%
85%
Baik
Baik
5
Menggali contoh dan bukan contoh untuk menyelidiki konjektur.
12
10
9
83%
75%
Baik
Baik
6
Mencoba untuk meyakinkan diri sendiri, siswa lain, dan guru tentang validitas dari suatu representasi, solusi, konjektur dan jawaban.
48
38
39
79%
81%
Baik
Baik
7
Mengandalkan bukti dan argumen untuk menentukan validitas suatu jawaban.
48
38
36
79%
75%
Baik
Baik
Dari analisis hasil observasi, kemunculan aktivitas siswa termasuk dalam kriteria baik. Skor rata-rata semua peran siswa yang diharapkan muncul dalam pembelajaran meningkat menjadi lebih baik. Dari hasil diskusi antara peneliti dan 2 orang pengamat terungkap bahwa siswa sudah terbiasa mengungkapkan ide-ide dan berargumentasi dalam belajar. Mereka tidak ragu-ragu dalam memberikan alasan atau menyampaikan pendapat mereka dalam diskusi. Siswa juga menjadi lebih mandiri dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru. Kemampuan siswa dalam berkomunikasi juga lebih baik. Sebagian siswa yang sebelumnya pasif dan kurang dapat mengemukakan pendapatnya di kelas menjadi lebih percaya diri. Analisis data hasil observasi dari 2 orang pengamat terhadap aktivitas guru dan siswa menyimpulkan bahwa aktivitas guru dan siswa termasuk dalam kriteria baik. Berdasarkan hasil tes siswa siklus II, ketuntasan kelas adalah 90%. Hasil
13
angket respon siswa diperoleh informasi bahwa kriteria respon siswa terhadap pembelajaran positif. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam penelitian ini, maka peneliti bersama 2 orang pengamat memutuskan bahwa tindakan pada siklus II dinyatakan berhasil dan tidak perlu dilakukan siklus III. Beberapa temuan penelitian yang diperoleh pada pelaksanaan penelitian ini adalah: 1. Format gambar pada soal-soal yang terdapat pada LKS yang tidak dilengkapi dengan ukuran sudutnya dapat menyebabkan siswa kesulitan dalam menyelesaikan soal tersebut. Mereka bingung dalam meletakkan ukuran sudut yang terdapat pada teks soal ke gambar. Kesulitan tersebut berkaitan dengan kemampuan representasi yang mereka miliki. 2.
Diskusi kelompok yang dilakukan siswa memberikan kesempatan pada mereka untuk berperan aktif dalam mengembangkan pemahaman mereka terhadap hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Presentasi hasil LKS yang dilaksanakan setelah diskusi kelompok sangat membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman mereka terhadap hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama.
3. Berdasarkan pengamatan peneliti, respon positif siswa yang didapat berupa ketertarikan siswa terhadap sarana belajar yang diberikan guru. Aktivitas belajar siswa yang didukung oleh pengguanaan sarana belajar seperti LKS, jangka, mistar dan busur derajat ternyata membantu siswa dalam menemukan
14
dan menerapkan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. 4. Variasi kesimpulan pada hasil LKS berhubungan dengan perbedaan penyelesaian langkah kerja yang dilakukan oleh masing-masing kelompok, tingkat ketelitian, pemahaman masing-masing kelompok dalam mengerjakan LKS, dan kemampuan mengeneralisasikan pola-pola yang mereka temukan dari langah-langkah kerja pada LKS. 5. Dari keseluruhan proses pembelajaran tampak bahwa guru telah melaksanakan PAKEM di kelas. Berdasarkan hasil penelitian, aspek-aspek PAKEM tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel Aspek-aspek PAKEM dalam Pembelajaran No
PAKEM Aktif
1
Kreatif
2
Efektif
3
Menyenangkan
4
Instrumen
Hasil
Observasi
Sangat aktif
Observasi
Kreatif
Tes
90% siswa tuntas belajar
Angket
Sangat positif
Pembahasan Secara umum pelaksanaan pembelajaran disesuaikan dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang terdiri dari 5 wacana. Masing-masing wacana memiliki tema dan tujuan yang berbeda namun saling terkait. Pertama, Pendefinisian Sudut Pusat dan Sudut Keliling bertujuan agar siswa dapat mendefinisikan sudut pusat dan sudut keliling lingkaran yang menghadap busur yang sama. Kedua, Pengenalan Hubungan Sudut Pusat dan Sudut Keliling yang
15
Menghadap Busur yang Sama I bertujuan agar siswa dapat menemukan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Ketiga, Pengenalan Hubungan Sudut Pusat dan Sudut Keliling yang Menghadap Busur yang Sama II bertujuan agar siswa dapat menguraikan pembuktian tentang hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Keempat, Penentuan Besar Sudut Keliling yang Menghadap Diameter Lingkaran bertujuan agar siswa dapat menggunakan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama dalam menentukan besar sudut keliling yang menghadap diameter lingkaran, Kelima, Pemecahan Masalah bertujuan agar siswa dapat menerapkan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama dalam pemecahan masalah. Kelima wacana ini didesain guru dalam bentuk pertanyaanpertanyaan lisan dan tugas. Pertanyaan-pertanyaan lisan disajikan guru dalam diskusi kelas, sedangkan tugas disajikan guru dalam diskusi kelompok. Tugas tersebut berupa LKS yang berisi langkah -langkah kerja atau soal-soal latihan. Dengan menggunakan wacana yang telah didesain guru tersebut ternyata dapat membangun pemahaman siswa terhadap hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama pada siswa MTs Al Ma’arif 01 Singosari Malang. Selain itu kemandirian siswa dalam belajar, kemampuan berkomunikasi dan rasa percaya diri dalam mengemukakan pendapat menjadi lebih baik.
16
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa prosedur pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini berhasil sebagai suatu prosedur pembelajaran yang dapat membangun pemahaman siswa terhadap hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama pada siswa MTs Al Ma’arif 01 Singosari Malang. Prosedur pembelajaran tersebut memuat 3 tahap kegiatan pembelajaran yaitu: 1. Kegiatan pendahuluan bertujuan untuk mempersiapkan kondisi siswa agar siap menerima materi pelajaran, memotivasi siswa dengan menyampaikan tujuan pembelajaran, dan membangkitkan pengetahuan prasyarat siswa. Pengetahuan prasyarat ini penting sebagai pondasi bagi siswa dalam mempelajari materi selanjutnya. 2. Kegiatan inti bertujuan untuk membantu siswa mengenal dan menerapkan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Secara garis besar, kegiatan inti termuat dalam 5 wacana, yaitu: a. Wacana yang bertema Pendefinisian Sudut Pusat dan Sudut Keliling membantu siswa dalam mengenal dan mendefinisikan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Pada wacana ini, siswa menghubungkan pengetahuannya tentang sudut, busur pada lingkaran, dan titik pusat lingkaran dengan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Ketika siswa dapat mendefinisikan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama, mereka
17
menjadi lebih mudah dalam mengenal dan menerapkan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. b. Wacana yang bertema Pengenalan Hubungan Sudut Pusat dan Sudut Keliling yang Menghadap Busur yang Sama I memberikan petunjuk pada siswa dalam menemukan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Pada wacana ini, siswa mendapatkan pengalaman dalam menemukan hubungan tersebut melalui pengukuran sudut pusat dan sudut-sudut keliling yang menghadap busur yang sama menggunakan busur derajat. Tahap ini merupakan langkah awal siswa dalam mengenal hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. c. Wacana bertema Pengenalan Hubungan Sudut Pusat dan Sudut Keliling yang Menghadap Busur yang Sama II membimbing siswa agar mereka dapat menguraikan bukti dalam mengenal hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Wacana ini dapat memperkuat penanaman hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama bagi siswa karena setelah mereka mendapatkan pengalaman nyata dengan melakukan pengukuran sudut-sudut dan menemukan hubungan sudut-sudut tersebut, kemudian mereka menguraikan pembuktian hubungan tersebut secara abstrak. d. Wacana bertema Penentuan Besar Sudut Keliling yang Menghadap Diameter Lingkaran membantu siswa dalam menerapkan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama yang telah
18
mereka pelajari. Pada wacana ini, siswa melakukan langkah-langkah dalam menemukan besar sudut keliling yang menghadap diameter lingkaran menggunaka hubungan tersebut. e. Wacana yang bertema Pemecahan Masalah membantu siswa dalam menerapkan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama dalam pemecahan masalah. Pada wacana ini, siswa diberikan soal-soal sehingga mereka dapat mengembangkan pemahaman mereka. Wacana-wacana ini didukung oleh sarana lain yaitu: jam tiruan dari styrofoam, jangka, mistar dan busur derajat. Kegiatan inti terdiri dari diskusi kelompok dalam menyelesaikan LKS, presentasi hasil LKS, dan diskusi kelas. Dengan peran aktif siswa dalam diskusi kelompok, mereka dapat membangun pemahaman mereka tentang hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama bersama teman sekelompoknya. Dengan peran aktif siswa dalam presentasi hasil LKS dan diskusi kelas, mereka dapat mencek hasil diskusi kelompok, meningkatkan rasa percaya diri jika jawabannya benar, dan sebagai penguatan bagi mereka. 3. Kegiatan penutup bertujuan untuk memantapkan pemahaman siswa terhadap hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Melalui kegiatan ini siswa dibimbing untuk menyimpulkan materi pelajaran dengan bahasa dan pemahamannya sendiri. Selain itu guru memberikan penekanan-penekanan pada konsep-konsep penting.
19
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan kepada guru untuk menggunakan pembelajaran hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama melalui peran siswa dalam wacana di sekolah dengan memperhatikan beberapa hal berikut.
Tabel Saran-saran Aspek Pendekatan
Bahan Ajar
Sarana/Alat Bantu Belajar
Lingkungan
Waktu Pelayanan Siswa
Aktivitas belajar
Saran Menggunakan pembelajarana melalui peran siswa dalam wacana dalam membangun pemahaman siswa terhadap hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Menggunakan wacana-wacana yang disusun saling berhubungan dan terurut antara wacana. Wacana disajikan dalam bentuk LKS yang berisi langkah-langkah kerja yang membimbing siswa dalam mengenal dan menerapkan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Dalam pembuatan format gambar pada LKS guru harus mengetahui kemampuan representasi eksternal siswa terhadap gambar yang dibuat Menggunakan jangka, mistar dan busur derajat dalam membantu siswa mengenal dan menerapkan hubungan sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang sama. Memperhatikan keterampilan siswa dalam menggunakan jangka, mistar dan busur derajat. Menpersiapkan kondisi siswa terlebih dahulu sebelum menyampaikan materi pelajaran. Menciptakan lingkungan yang kondusif yaitu lingkungan yang dapat mendukung kenyamanan fisik, saling menghargai, saling membantu, dan mendukung kebebasan siswa dalam berekspresi. Memperhitungkan waktu yang digunakan dalam pembelajaran agar semua aktivtas yang telah direncanakan dapat berjalan dengan baik. Memperhatikan kebutuhan siswa selama pembelajaran berlangsung. Memberikan bimbingan sesuai kebutuhan dan selalu memotivasi siswa agar mereka dapat mandiri dalam belajar. Setelah diskusi kelompok dilakukan presentasi hasil diskusi agar pemahaman siswa menjadi lebih kuat.