TRANSFORMASI LAPLACE DARI MASALAH NILAI BATAS PADA PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL
SKRIPSI Diajukan dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata I Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains
Oleh: Nama
: Meyriska Aulia Harini
NIM
: 4150401028
Jurusan
: Matematika
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2005
ABSTRAK
Transformasi Laplace merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial parsial. Dengan mentransformasikan persamaan diferensial parsial menjadi persamaan diferensial biasa kemudian mentransformasikan balik akan memperoleh penyelesaian dari persamaan diferensial parsial tersebut. Permasalahan yang muncul adalah “Bagaimana menyelesaikan bentuk transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial?”. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bentuk transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial. Metode penulisan yang digunakan adalah pemilihan masalah, merumuskan masalah, studi pustaka, memecahkan masalah, dan menarik kesimpulan. Pemodelan matematika untuk masalah konduksi panas menghasilkan persamaan konduksi panas u t = kutt . Penyelesaian bentuk transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan konduksi panas dimensi satu untuk interval tak terbatas pada kasus parabolik adalah ⎧ ⎫ s ⎛ s s s ⎪ − sx ⎞ ⎞⎪⎪ x − x − x⎛ x 1 1 ⎪ u ( x, t ) = L1 ⎨c 2 e k − e k ⎜ ∫ f ( x)e k dx ⎟ + e k ⎜ ∫ f ( x)e k dx ⎟⎬ ⎜ ⎜ ⎟⎪ ⎟ s ⎪ ⎝ ⎝ ⎠ 2k s ⎠ 2k ⎪⎩ ⎪⎭ k k sedangkan penyelesaian bentuk transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan konduksi panas dimensi satu untuk interval terbatas pada kasus ⎧⎛ ⎞ ⎟ s s ⎞ ⎪⎜ ⎛ x − x 1 s -1 ⎪⎜ k k ⎟ ⎜ f ( x) − e +e dx ⎟ cosh x parabolik adalah u ( x, t ) = L ⎨ c1 − ∫ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ k s ⎪⎜ ⎝ ⎠ ⎟ 2k ⎪⎩⎝ k ⎠ ⎫ ⎛ ⎞ ⎜ ⎟ s ⎞ s ⎪ ⎛ x − x 1 s ⎪ ⎜ ⎟ k k ⎟ ⎜ + c2 − ∫ f ( x)⎜ e + e ⎟dx ⎟ sinh k x⎬ . ⎜ s ⎪ ⎝ ⎠ ⎟ ⎜ 2k ⎪⎭ k ⎝ ⎠ Saran yang dapat disampaikan adalah perlunya penelitian lebih lanjut dalam hal yang sama pada kasus-kasus lain dengan menggunakan metode yang sama maupun dengan metode lainnya.
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang, pada: Hari
: Senin
Tanggal
: 24 Oktober 2005 Panitia Ujian
Ketua
Sekretaris
Drs. Kasmadi Imam S., M.S. NIP. 130781011
Drs. Supriyono, M.Si. NIP. 130815345
Pembimbing I
Anggota Penguji
Drs. M. Chotim, M.S. NIP. 130781008
1. Drs. Khaerun, M.Si NIP. 131813671
Pembimbing II 2. Drs. M. Chotim, M.S. NIP. 130781008
Dr. St. Budi Waluya NIP. 132046848 3. Dr. St. Budi Waluya NIP. 132046848
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto : “Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang lurus.” Thomas Carlyle
Persembahan : 1. Alloh Sesembahanku 2. Mama tercinta dan Alm. Papa tersayang 3. Mas Novi, Mas Roni, Mbak Acik, Daru 4.
‘Seroja’ yang selalu memberi motivasi, mendukung, mendampingi, mendoakan, dan menyayangi
5. Sahabat-sahabat yang selalu mendukung, mendoakan, dan menyayangi
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Transformasi Laplace dari Masalah Nilai Batas pada Persamaan Diferensial Parsial”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada. 1. Drs. H.A.T. Soegito, SH.,MM., Rektor Universitas Negeri Semarang. 2. Drs. Kasmadi Imam S., M.S., Dekan FMIPA UNNES. 3. Drs. Supriyono, M.Si., Ketua Jurusan Matematika FMIPA UNNES. 4. Drs. M. Chotim, M.S., Dosen Pembimbing I. 5. Dr. St. Budi Waluya, Dosen Pembimbing II. 6. Alm. Ayah, Ibu, kakak-kakak, dan adikku yang selalu mendoakan, mendukung, dan menyayangi. 7. Rina, Woro, Dwi, Lidia, Puput, Nanny, Eli, Taufik, Sigit, Bowo, Ardi, dan teman-teman Math’01 yang selalu mendukung dan membantu. 8. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu semua kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Semarang, Oktober 2005 Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………
i
Abstrak ………………………………………………………………………...
ii
Halaman Pengesahan ………………………………………………………….
iii
Motto dan Persembahan ………………………………………………………. iv Kata Pengantar …………………………………………………………………
v
Daftar Isi ………………………………………………………………………. vi Daftar Lampiran ……………………………………………………………….. viii BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang ………………………………………………………...
1
B. Permasalahan ………………………………………………………….
4
C. Batasan Masalah ……………………………………………………....
4
D. Tujuan Penelitian ……………………………………………………...
4
E. Manfaat Penelitian …………………………………………………….
5
F. Sistematika Penulisan Skripsi …………………………………………
5
BAB II Landasan Teori A. Persamaan Diferensial Biasa ………………………………………….
7
B. Persamaan Diferensial Parsial ………………………………………... 14 C. Transformasi Laplace ……………………………………………….... 17 D. Maple …………………………………………………………………. 20 BAB III Metode Penelitian ………………………………………………….... 22 BAB IV Pembahasan
vi
A. Pemodelan Persamaan Konduksi Panas Dimensi Satu ………………. 24 B. Penyelesaian
Persamaan
Diferensial
Parsial
dengan
Transformasi Laplace ………………………………………..………. 28 C. Penyelesaian Umum …………………………………………………. 30 D. Pemrograman Komputer Persamaan Konduksi Panas Dimensi Satu .. 38 BAB V Penutup A. Simpulan …………………………………………………………….. 53 B. Saran ………………………………………………………………… 54 Daftar Pustaka ………………………………………………………………. 56 Lampiran ......................................................................................................... 57
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Tabel 1. Sifat-sifat Umum Transformasi Laplace
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan suatu ilmu pengetahuan banyak memegang peranan penting dalam perkembangan suatu teknologi. Tanpa ilmu pengetahuan, teknologi akan sulit bisa berkembang dengan cepat. Matematika sebagai bahasa simbol yang bersifat universal sangat erat hubungannya dengan kehidupan nyata. Kenyataan membuktikan bahwa untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan nyata dibutuhkan metodemetode matematika. Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai ciri berbeda dengan disiplin yang dimiliki oleh ilmu pengetahuan lain. Hal-hal yang dipelajari dalam matematika terdiri atas beberapa kelompok ilmu, seperti: aljabar, geometri, analisis, dan matematika terapan. Persamaan diferensial merupakan salah satu cabang matematika yang termasuk dalam kelompok analisis. Di dalam dunia nyata kadang terdapat masalah-masalah yang sukar diselesaikan dalam sistemnya. Untuk menyelesaikan masalah tersebut perlu disusun suatu pemodelan matematika yang mirip dengan keadaan sistemnya. Masalah nyata harus dikenali terlebih dahulu melalui beberapa tahapan. Pertama, mengidentifikasi semua besaran yang terlibat. Kedua, memberi lambang pada setiap besaran yang teridentifikasi. Ketiga, menentukan satuan
1
2
setiap lambang yang ada dengan menganut suatu sistem satuan. Keempat, memilah-milah dari setiap lambang tersebut, mana yang konstanta dan mana yang variabel. Dan kelima, menentukan hukum yang mengendalikan pada masalah nyata tersebut. Dengan hukum yang mengendalikan masalah nyata tersebut menentukan hubungan antara variabel dan konstanta, yang disebut dengan model matematika. Model matematika dapat berupa persamaan, pertidaksamaan, persamaan diferensial, dan sebagainya. Kemudian dengan memanfaatkan teori-teori dalam matematika diperoleh solusi model. Dengan menginterpretasikan solusi model ditentukan solusi masalah. Pada proses ini satuan muncul kembali. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan di gambar 1. HUKUM YANG MENGENDALIKAN
MASALAH NYATA
penerjemahan
? SOLUSI MASALAH NYATA
Identifikasi besaran Lambang Satuan Pilah variabel/konstanta MODEL MATEMATIKA
teori matematika
interpretasi
SOLUSI MODEL
Gambar 1. Langkah-langkah mencari solusi masalah Persamaan Diferensial dibedakan menjadi dua yaitu Persamaan Diferensial Biasa (ordinary differential equation) dan Persamaan Diferensial
3
Parsial
(partial
differential
equation).
Persamaan
Diferensial
Biasa
didefinisikan sebagai suatu persamaan yang mengandung satu atau lebih turunan biasa suatu fungsi yang tidak diketahui dengan dua atau lebih peubah bebas. Sedangkan Persamaan Diferensial Parsial didefinisikan sebagai suatu persamaan yang mengandung satu atau lebih turunan parsial suatu fungsi yang tidak diketahui dengan dua atau lebih peubah bebas. Setelah suatu model matematika diubah dalam bentuk persamaan diferensial, langkah selanjutnya adalah menyelesaikan persamaan diferensial tersebut dengan menentukan solusinya. Solusi persamaan diferensial adalah suatu fungsi yang memenuhi persamaan diferensial tersebut. Artinya, jika fungsi itu dan turunan-turunannya disubtitusikan ke dalam persamaan diferensial tersebut, diperoleh suatu pernyataan yang benar. Dikatakan solusi umum jika persamaan fungsi masih memuat konstanta, dan disebut solusi khusus jika tidak terdapat konstanta yang didapatkan dengan menggantikan nilai-nilai awal dan syarat batas yang diketahui. Metode
Transformasi
Laplace
(Laplace
Transformation)
merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial parsial. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Pierre Simon Marquas De Laplace seorang matematikawan Perancis dan seorang guru besar di Paris. Bentuk umum Transformasi Laplace dapat dituliskan dalam bentuk: ∞
F(s)=L{f} = ∫ e − st f (t )dt , 0
4
dimana f(t) adalah suatu fungsi yang terdefinisi untuk 0 ≤ t < ∞ . Dalam penulisan ini akan dibahas solusi persamaan diferensial parsial dengan menggunakan metode transformasi Laplace. Transformasi Laplace adalah operasi matematika yang dapat mentransformasikan persamaan diferensial parsial menjadi persamaan diferensial biasa. Kemudian mentransformasikan balik untuk memperoleh penyelesaian dari persamaan diferensial parsial tersebut.
B. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang timbul adalah “Bagaimana menentukan bentuk transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial?”
C. Batasan Masalah Untuk membatasi ruang lingkup penulisan skripsi ini, diberikan batasan-batasan, yaitu menyelesaikan masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial linear orde dua dengan kasus parabolik pada persamaan konduksi panas dimensi satu.
D. Tujuan Penulisan
skripsi
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
bentuk
transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial.
5
E. Manfaat Manfaat yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini adalah: (1) setelah mengetahui metode transformasi Laplace diharapkan pembaca dapat menyelesaikan persamaan diferensial parsial dengan menggunakan transformasi Laplace; (2) pembaca diharapkan dapat menentukan bentuk transformasi Laplace dari setiap masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial yang diberikan.
F. Sistematika Penulisan Skripsi Penulisan sistematika dimaksudkan untuk memberikan arah yang lebih jelas dan lebih memudahkan dalam mempelajari dan memahami isi skripsi. Adapun sistematika penulisan skripsi yang penulis susun ini terdiri dari 3 (tiga) bagian besar yang merupakan rangkaian dari bab-bab. Dan setiap bab terdiri dari sub bab-sub bab sebagai berikut. I.
Bagian Awal Skripsi 1.
Halaman Sampul
2.
Halaman Judul
3.
Abstraksi
4.
Lembar Pengesahan
5.
Motto dan Persembahan
6.
Kata Pengantar
6
II.
7.
Daftar Isi
8.
Daftar Lambang
9.
Daftar Gambar
Bagian Isi Skripsi BAB I
: Pendahuluan 1. Latar Belakang 2. Permasalahan 3. Tujuan 4. Batasan Masalah 5. Sistematika Skripsi
BAB II
: Landasan Teori
BAB III
: Metode Penelitian
BAB IV
: Pembahasan
BAB V
: Simpulan dan Saran
III. Bagian Akhir Skripsi 1.
Daftar Pustaka
2.
Lampiran-lampiran
BAB II LANDASAN TEORI
A. Persamaan Diferensial Biasa Persamaan diferensial adalah persamaan yang mengandung turunan-turunan dari suatu fungsi yang tidak diketahui, yang dinamakan y (x) dan yang akan ditentukan persamaan tersebut (Hutahean, 1993). Sebagai contoh, jika laju pertumbuhan suatu populasi (manusia, hewan, bakteri, dan sebagainya) y ' =
dy ( x = waktu) sama dengan populasi dx
y (x) , maka model populasi tersebut adalah
y ' = y , yaitu persamaan
diferensial. Persamaan diferensial biasa diartikan sebagai suatu persamaan yang melibatkan turunan pertama atau lebih dari fungsi sembarang y terhadap peubah x; persamaan ini dapat pula melibatkan y itu sendiri, fungsi x yang diberikan dan konstanta. Contoh: 1. y ' = cos x , 2. y ' '+4 y = 0 , 3. x 2 y" ' y '+2e x y ' ' = ( x 2 + 2) y 2 . Persamaan diferensial biasa dibagi menjadi dua bagian, yakni persamaan diferensial linear orde satu dan persamaan diferensial linear orde
7
8
dua. Persamaan diferensial banyak sekali dikembangkan dalam matematika teknik. 1.
Persamaan Diferensial Linear Orde Satu Definisi 1. Persamaan Diferensial Orde Satu secara umum dinyatakan sebagai F ( x, y , y ' ) = 0 . Jika y ' =
F ( x, y ,
dy , maka F ( x, y , y ' ) = 0 dapat ditulis dx
dy ) = 0. dx
(1)
Persamaan (1) merupakan persamaan dari persamaan diferensial yang dinyatakan secara implisit. Persamaan (1) dapat dinyatakan secara eksplisit sebagai dy = f ( x, y ) . dx
(2)
Contoh: Persamaan diferensial implisit: y + y '−2e x = 0 . Persamaan diferensial eksplisit: y
2.
dy = x. dx
Solusi Persamaan Diferensial Linear Orde Satu Suatu fungsi y = y (x ) dinyatakan solusi persamaan diferensial F ( x, y , y ' ) = 0 apabila y = y (x ) atau turunannya yakni y ' memenuhi
persamaan diferensial tersebut.
Contoh:
9
y = x 2 + 1 adalah solusi persamaan diferensial y ' = 2 x . Demikian pula y = x 2 + c untuk c adalah konstanta, merupakan solusi persamaan diferensial y ' = 2 x . Solusi y = x 2 + 1 disebut solusi khusus dan y = x 2 + c disebut solusi umum.
3.
Persamaan Diferensial Linear Orde Dua Definisi 2. Persamaan diferensial berbentuk persamaan diferensial orde dua, dimana
f ( x, y , y ' , y" ) = 0
y' =
dy dx
dan
disebut d2y dx 2
y" =
(Hutahean, 1993). Contoh: 1. ( x + 1) 2 y"+ y ' tan x − y sin x = 0 merupakan persamaan diferensial orde dua, 2. xy" '+ xy"− xy '+ y sin x + 2 = 0 bukan merupakan persamaan diferensial orde dua. Definisi 3. Bila f ( x, y , y ' , y" ) = 0 linear dalam
y,
y’, dan
y”
maka
persamaan diferensial f ( x, y , y ' , y" ) = 0 disebut persamaan diferensial linear orde dua. Secara umum persamaan diferensial orde dua berbentuk: a ( x ) y"+b( x) y '+ c ( x) y = g ( x ) ;
(3)
10
dimana koefisien-koefisien a (x), b(x ), c (x ), dan fungsi g (x ) merupakan fungsi-fungsi yang kontinu di dalam selang a ≤ x ≤ b dengan a ( x) ≠ 0 di dalam selang ini (Hutahean, 1993). Definisi 4. Persamaan diferensial linear orde dua (3) disebut homogen g ( x) = 0
apabila
dan disebut tidak homogen apabila
g ( x) ≠ 0
(Hutahean, 1993). Contoh: 1. Persamaan
diferensial
xy"+ y ' sin x + 3 y = 0
adalah
persamaan
diferensial linear orde dua homogen karena g ( x ) = 0 . 2. Persamaan
diferensial
xy"+ x 2 y '+4 y = sin x
adalah
persamaan
diferensial linear orde dua tak homogen karena g ( x ) ≠ 0 .
4.
Solusi Persamaan Diferensial Linear Orde Dua Fungsi ϕ (x ) dikatakan solusi persamaan diferensial (3) pada selang I, apabila ϕ (x ) mempunyai turunan kedua dan memenuhi hubungan
(3)
pada
selang
I,
yakni
a ( x)ϕ " ( x ) + b( x )ϕ ' ( x ) + c ( x )ϕ ( x ) = g ( x ) untuk setiap x ∈ I .
Sekarang perhatikan persamaan diferensial linear orde dua homogen a ( x ) y"+b( x ) y '+ c ( x ) y = 0 .
(4)
11
Teorema 1. Misalkan ϕ (x ) solusi persamaan diferensial (4) pada selang I maka
αϕ (x ) juga merupakan solusi persamaan diferensial (4) untuk setiap
α ∈ℜ . Bukti: Tulis y = αϕ (x ) dimana α suatu konstanta. Jelas y ' = αϕ ' ( x ) dan y" = αϕ " ( x ) . Jelas a ( x )(αϕ " ( x )) + b( x )(αϕ ' ( x)) + c ( x )(αϕ ( x )) . Jelas α [( a ( x )ϕ " ( x )) + (b( x)ϕ ' ( x)) + (c ( x )ϕ ( x ))] = α (0) = 0 . Jadi αϕ (x ) juga solusi persamaan diferensial (4).
5.
Persamaan Diferensial Linear Orde Dua Homogen dengan Koefisien Konstanta Perhatikan persamaan diferensial yang berbentuk y"+ py '+ qy = 0 ,
(5)
dimana p dan q konstanta-konstanta. Intuisi y = e mx merupakan solusi persamaan diferensial (5) dengan m memenuhi persamaan tersebut. Untuk itu akan dicari m agar y = e mx merupakan solusi persamaan diferensial (5). Dari y = e mx diperoleh
y ' = me mx dan
y"= m 2 e mx
sehingga jika y, y ' , dan y" disubstitusikan ke persamaan (5) didapat persamaan m 2 e mx + mpe mx + qe mx = 0 ⇔ (m 2 + pm + q )e mx = 0 .
12
Dengan demikian y = e mx dikatakan suatu solusi dari persamaan diferensial (5), jika m merupakan penyelesaian dari persamaan kuadrat m 2 + pm + q = 0 . Dan karena e mx ≠ 0 , untuk setiap m dan x, maka m 2 + pm + q = 0 .
(6)
Persamaan m 2 + pm + q = 0 disebut persamaan karakteristik dari persamaan
diferensial
karakteristik.
m2 =
(5)
dan
Akar-akarnya
akar-akarnya
adalah
m1 =
disebut
akar-akar
1 (− a + a 2 − 4b ) 2
dan
1 (− a − a 2 − 4b ) . 2
Dari perhitungan di atas jelas bahwa y1 = e m1x dan y 2 = e m2 x merupakan solusi dari persamaan diferensial y"+ py '+ qy = 0 . Dari aljabar matematika dapat diketahui bahwa, karena a dan b merupakan bilangan real, maka akar-akar dari persamaan karakteristik m 2 + pm + q = 0 terbagi dalam tiga kasus, yaitu: dua akar berbeda, dua akar sama, dan dua akar kompleks. 1.
Akar real berlainan berbeda Bila m1 dan m2 dua akar real berbeda maka e m1 x dan e m2 x adalah solusi yang bebas linear sehingga y = Ae m1 x + Be m2 x merupakan solusi umum persamaan diferensial (5). Contoh: Perhatikan
persamaan
karakteristiknya
adalah
diferensial
y"−3 y '+2 y = 0 .
m 2 − 3m + 2 = 0
dan
Persamaan akar-akarnya
13
( m − 2)( m − 1) = 0 . Jadi m1 = 1 dan m2 = 2 merupakan akar real
berbeda maka solusi umumnya adalah y = Ae x + Be 2 x . 2.
Kedua akar sama Misalkan kedua akar persamaan m 2 + pm + q = 0 sama, yakni
m1 = m2 = a , maka φ1 ( x) = e ax adalah salah satu solusi persamaan diferensial (5). Bila φ 2 ( x) = W ( x)φ1 ( x) solusi lainnya, maka ⎡⎛ 1 ⎞ 2 − ∫ pxdx ⎤ W ( x) = ∫ ⎢⎜ ax ⎟ e ⎥dx ⎢⎣⎝ e ⎠ ⎥⎦ ⎛ 1 ⎞ = ∫ ⎜ 2 ax e − px ⎟dx . ⎝e ⎠
Karena m1 = m2 = a adalah akar persamaan m 2 + pm + q = 0 , maka
m1 + m2 = 2a = − p . ⎛ 1 ⎞ Jadi W ( x) = ∫ ⎜ 2 ax e 2 ax ⎟dx = ∫ dx = x . ⎝e ⎠
Hal tersebut memberikan φ 2 ( x) = xφ1 ( x) ⇒ φ 2 ( x) = xe ax dimana φ1 dan φ 2 bebas linear. Jadi solusi umum persamaan diferensial y"+ py '+ qy = 0 adalah y = Ae ax + Bxe ax = ( A + Bx)e ax .
Contoh: Misalkan persamaan diferensial y"−4 y '+4 y = 0 . Tentukan solusi persamaan diferensial di atas. Penyelesaian: Jelas m 2 − 4m + 4 = 0 merupakan persamaan karakteristik.
14
Jelas ( m − 2) = 0 . Jelas m1 = m2 = 2 . Jadi y = ( A + Bx)e 2 x suatu solusi umum persamaan diferensial y"−4 y '+4 y = 0 .
3.
Akar kompleks Misalkan salah satu akar persamaan m 2 + pm + q = 0 adalah
m1 = α + β i, maka akar yang lain yakni m1 = α − β i, sehingga
φ1 ( x) = e m x = e (α + βi ) x dan φ 2 ( x) = e m x = e (α − βi ) x adalah solusi basis 1
2
untuk persamaan diferensial y"+ py '+ qy = 0 . Jadi solusi umum persamaan diferensial tersebut adalah: y = c1e (α + βi ) x + c 2 e (α − βi ) x = c1eαx e βxi + c 2 eαx e − βxi = c1eαx (cos βx + i sin βx) + c 2 eαx (cos βx − i sin βx) = eαx {(c1 + c 2 ) cos βx + (c1 − c 2 )i sin βx} . Dengan mengambil c1 + c 2 = A dan i(c1 − c 2 ) = B maka solusi umum
persamaan
y = e αx { A cos β x + B sin β x} .
diferensial
tersebut
adalah
15
B. Persamaan Diferensial Parsial Persamaan diferensial parsial adalah suatu persamaan yang mengandung satu atau lebih turunan parsial suatu fungsi (yang tidak diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas. Tingkat (order) persamaan diferensial parsial adalah pangkat tertinggi dari turunan yang termuat dalam persamaan diferensial parsial. Dan derajat (degree) persamaan diferensial parsial adalah pangkat tertinggi dari turunan tingkat tertinggi yang termuat dalam persamaan diferensial parsial. Persamaan diferensial parsial linier adalah suatu bentuk persamaan diferensial parsial
yang berderajat satu dalam peubah tak bebasnya dan
turunan parsialnya (Hutahean, 1993). Beberapa persamaan diferensial parsial linier orde-2 yang penting. 2 ∂2u 2 ∂ u = c , disebut persamaan gelombang dimensi satu; ∂t 2 ∂x 2
(7)
2 ∂u 2 ∂ u =c , disebut persamaan konduksi panas dimensi satu; ∂t ∂x 2
(8)
∂2u ∂2u + = 0 , disebut persamaan laplace dimensi satu; ∂x 2 ∂y 2
(9)
∂2u ∂2u + = f ( x, y ) , disebut persamaan poisson dimensi satu; ∂x 2 ∂y 2
(10)
∂2u ∂2u ∂2u + + = 0 ,disebut persamaan laplace dimensi tiga. ∂x 2 ∂y 2 ∂z 2
(11)
16
Dalam hal ini c adalah konstanta, t adalah waktu dan x, y, z adalah peubah bebas. Untuk memudahkan notasi maka digunakan indeks untuk ∂2u ∂u menotasikan turunan parsial, seperti u x = , u xx = 2 dan sebagainya. ∂x ∂x Adapun bentuk umum persamaan diferensial parsial linier orde-2 diberikan dengan Au xx + Bu xy + Cu yy + Du x + Eu y + Fu = G ,
(12)
dimana A, B, C, D,E, F, dan G adalah fungsi-fungsi yang bergantung pada x dan y. Terdapat 3 jenis persamaan diferensial parsial linier yang penting, yaitu parabolik, hiperbolik dan elliptik. Persamaan diferensial parsial orde dua dalam persamaan (12); jika B 2 − 4 AC = 0 , disebut persamaan parabolik, jika B 2 − 4 AC > 0 , disebut persamaan hiperbolik, jika B 2 − 4 AC < 0 , disebut persamaan elliptik (Pinsky, 1998). Sedangkan persamaan (8) merupakan persamaan parabolik, persamaan (7) merupakan persamaan hiperbolik dan persamaan (9) merupakan persamaan elliptik.
Syarat Batas Syarat batas adalah syarat-syarat tertentu atau kondisi-kondisi tertentu yang terlibat dalam persamaan diferensial parsial untuk membantu mencari solusi persamaan diferensial parsial tersebut. Ada tiga kemungkinan,
17
yaitu interval terbatas, interval setengah terbatas, dan interval tak terbatas. Untuk interval terbatas, besarnya interval I adalah 0 < x < L sehingga mempunyai dua syarat batas yaitu pada x = 0 dan x = L . Untuk interval setengah tak terbatas, besarnya I adalah 0 < x < ∞ biasa ditulis x > 0 , syarat batasnya hanya pada x = 0 . Dan untuk interval tak terbatas, besarnya interval I adalah − ∞ < x < ∞ sehingga tidak punya syarat batas. Bentuk persamaan syarat batas diberikan dengan ⎡ ∂u ⎤ ⎢⎣αu + β ∂n ⎥⎦ = f (x) ,
dimana α , β
adalah suatu konstanta dan
(13) ∂u ∂n
didefinisikan sebagai
⎛ ∂u ∂u ⎞ ⎟.n . Terdapat tiga jenis syarat batas yaitu: ,..., grad u.n = ⎜ ∂x n ⎠ ⎝ ∂x1 (a)
persamaan (13) disebut dengan kondisi Dirichlet jika α ≠ 0 dan
β = 0; (b)
persamaan (13) disebut dengan kondisi Neumann jika α = 0 dan
β ≠ 0; (c)
persamaan (13) disebut dengan kondisi campuran jika α ≠ 0 dan
β ≠ 0 (Pinsky, 1998).
18
C. Transformasi Laplace Definisi 5. Misalkan f (t ) adalah suatu fungsi yang terdefinisi pada interval [0,∞). Transformasi Laplace dari f adalah suatu fungsi F(s) yang didefinisikan dengan integral ∞
F (s) =
∫e
− st
f ( t ) dt ,
(14)
0
dengan daerah asal F adalah semua nilai dari s sedemikian hingga integral dari (14) ada. Fungsi asal dinyatakan dengan huruf kecil dan transformasi Laplacenya dengan huruf yang sama tetapi huruf besar. Transformasi Laplace dari f dinotasikan dengan F atau L{f}. Selanjutnya fungsi asal f(t) adalah invers dari F(s) dan dinotasikan dengan f (t ) = L-1{F(s)} (Hutahean, 1993). Jika L{f}=F(s) maka f(t) disebut invers transformasi Laplace dari F(s) dan secara simbolis ditulis: f(t)= L-1{F(s)}, dengan L-1 disebut operator invers transformasi Laplace. Definisi 6. Suatu fungsi f(t) dikatakan kontinu bagian demi bagian pada suatu selang jika
f
kontinu di sejumlah hingga titik pada selang tersebut
(Hutahean, 1993). Dari pengertian tersebut berarti selang yang dimaksud dapat dibagi menjadi sejumlah hingga sub selang sehingga f kontinu pada setiap sub
19
selang yang terjadi, jadi suatu fungsi f(t) kontinu pada [0,∞) jika f kontinu pada selang [0,N) untuk semua N > 0 . Definisi 7. Suatu fungsi f(t) dikatakan berorde eksponensial t → ∞ jika terdapat konstanta tak negatif M dan T sehingga f (t ) ≤ Meαt untuk semua
t ≥ T (Hutahean, 1993). Teorema 2. Diketahui f1 dan f2 suatu fungsi-fungsi. Jika transformasi Laplace dari f1 dan f2 ada dan c merupakan suatu konstanta maka: (i) L { f1 + f 2 } = L { f1} + L { f 2 } ; (ii) L {cf1 } = c L { f 1 } . Bukti: ∞
(i) Jelas L { f1 + f 2 } = ∫ e − st ( f1 + f 2 )(t )dt . 0
∞
⇔ L { f1 + f 2 } = ∫ ( f1 (t )e − st + f 2 (t )e − st )dt 0
⇔ L { f1 + f 2 } =
∞
∫ f (t )e 1
0
− st
∞
dt + ∫ f 2 (t )e − st dt 0
⇔ L { f1 + f 2 } = L { f1 } + L { f 2 } . ∞
(ii) Jelas L {cf1 } = ∫ e − st (cf1 )(t )dt . 0
∞
⇔ L {cf1 } = ∫ e − st c( f1 )(t )dt 0
20
∞
⇔ L {cf1 } = c ∫ e − st ( f 1 )(t )dt 0
⇔ L {cf1 } = c L { f 1 } . Akibatnya, invers transformasi Laplace jika ada adalah linier. Bukti: Tulis f1 (t ) = L-1 {F1 ( s)} dan f 2 (t ) = L-1 {F2 ( s)} . (a) Jelas L-1 {F1 ( s) + F2 ( s)} = f1 (t ) + f 2 (t ) . ⇔ L-1 {F1 ( s) + F2 ( s)} = L-1 {F1 ( s)} + L-1 {F2 ( s)} . (b) Jelas L-1 {cF1 ( s)} = cf1 (t ) . ⇔ L-1 {cF1 ( s)} = c L-1 {F1 ( s)} . Jadi L-1 adalah linier.
D. Maple Maple merupakan salah satu perangkat lunak yang dikembangkan oleh Waterloo Inc. Kanada untuk keperluan Computer Algebraic System (CAS). Maple sering digunakan untuk keperluan penyelesaian permasalahan persamaan diferensial dan visualisasinya, karena mudah untuk digunakan. Maple memiliki kemampuan menyederhanakan persamaan, hingga suatu solusi persamaan diferensial dapat dipahami dengan baik. Keunggulan dari Maple untuk aplikasi persamaan diferensial adalah kemampuan melakukan gerakan/animasi grafik dari suatu fenomena yang dimodelkan ke dalam
21
persamaan diferensial yang memiliki nilai awal dan syarat batas (Kartono, 2001). Untuk memulai Maple pada Windows, cukup dengan klik pada icon Maple yang akan langsung memberikan respon dengan menampilkan worksheet “>”. Menu-menu yang terdapat pada tampilan Maple terdiri dari File, Edit, View, Insert, Format, Spreadsheet, Option, Windows, dan Help. Sebagian besar menu di atas merupakan menu standar yang dikembangkan untuk program aplikasi pada sistem operasi Windows. Bahasa yang digunakan pada Maple merupakan bahasa pemrograman yang sekaligus sebagai bahasa aplikasi, sebab pernyataan atau statement yang merupakan input (masukan) pada Maple berupa deklarasi pada bahasa program dan command (perintah) yang sering digunakan pada aplikasi. Simbol “>” ini otomatis dan sebagai tanda bahwa Maple telah siap untuk dioperasikan. Perintah ke komputer diberikan dengan mengetikkan pada papan ketik setelah simbol “>”. Perintah ini dicetak dalam warna merah, sedangkan hasilnya dicetak dalam warna biru. Setiap perintah Maple jika ingin ditampilkan harus diakhiri dengan simbol titik koma (;) dan simbol titik dua (:) jika respon tidak ingin ditampilkan.
BAB III METODE PENELITIAN
Peranan metode penelitian dalam suatu penelitian sangat penting. Sehingga dengan metode penelitian dapat mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan agar penelitian yang telah dilakukan berjalan dengan lancar. Melalui metode penelitian, masalah yang dihadapi dapat diatasi dan dipecahkan dari perolehan data yang telah dikumpulkan. Langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian ini meliputi beberapa hal yaitu. A. Pemilihan Masalah Dalam perkuliahan yang diperoleh penulis, banyak masalah yang perlu dikaji lebih lanjut. Dari beberapa masalah tersebut dihadapkan pada persoalan untuk memilih masalah yang kemudian dijadikan bahan dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut. B. Merumuskan Masalah Perumusan masalah diperlukan untuk membatasi permasalahan sehingga diperoleh bahan kajian yang jelas. Sehingga akan lebih mudah untuk menentukan langkah dalam memecahkan masalah tersebut. C. Studi Pustaka Setelah diperoleh masalah untuk diteliti, peneliti mengadakan studi pustaka. Studi pustaka adalah penelaahan sumber pustaka yang relevan, digunakan untuk mengumpulkan data informasi yang diperlukan dalam penelitian. Studi pustaka diawali dengan mengumpulkan sumber pustaka yang berupa buku
22
23
atau literatur, jurnal, skripsi dan sebagainya. Setelah pustaka terkumpul dilanjutkan dengan pemahaman isi sumber pustaka tersebut yang pada akhirnya sumber pustaka ini dijadikan landasan untuk menganalisis permasalahan. D. Memecahkan Masalah Setelah permasalahan dirumuskan dan sumber pustaka terkumpul, langkah selanjutnya adalah pemecahan masalah melalui pengkajian secara teoritis yang selanjutnya disususn secara rinci dalam bentuk pembahasan. Dalam pembahasan masalah dilakukan beberapa langkah pokok yaitu: 1. memberikan masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial; 2. mentransformasikan masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial dengan menggunakan metode transformasi Laplace; 3. menyelesaikan masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial yang telah ditransformasikan dengan metode transformasi Laplace dengan menggunakan invers transformasi Laplace. E.
Menarik Kesimpulan Langkah terakhir dalam kegiatan penelitian ini adalah menarik kesimpulan dari keseluruhan permasalahan yang telah dirumuskan dengan berdasarkan pada landasan teori dan hasil pemecahan masalah.
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pemodelan Persamaan Konduksi Panas Dimensi Satu Perhatikan suatu batang kawat tipis dengan ukuran panjang hingga yang diisolasi dengan irisan melintangnya diasumsikan konstan dan terbuat dari bahan homogen serta terletak pada sumbu X. Didefinisikan u ( x, t ) adalah suhu pada titik x dan waktu t dalam batang kawat tersebut. Ujung-ujung kawat x 0 dan x1 (lihat gambar 1).
u(x,t) isolator
xo
x1
X
t Gambar 1. Sketsa Batang Kawat pada Sumbu X
1. Identifikasi Besaran yang Terlibat Identifikasi besaran yang terlibat pada pemodelan di atas dapat dilihat dalam tabel 1.
24
25
Tabel 1. Identifikasi Besaran yang Terlibat Besaran yang terlibat
Lambang
Satuan
Var/Kons
Waktu
t
det
Var
Panjang kawat
x
m
Var
o
C
Var
Suhu kawat
u ( x, t )
Aliran panas
q(x,t)
Kg.m.s-3
Var
Energi masuk
q(x,t).Δt
Kg.m.s-2
Var
Energi keluar
q(x+Δx,t+Δt)Δt
Kg.m.s-2
Var
k[u(x+Δx,t+Δt)-u(x,t)]Δx
Kg.m.s −2
Var
Energi yang diserap
2. Hukum yang Mengendalikan Persamaan konduksi panas sederhana dikarakterisasikan oleh hukum di bawah ini. 1.
Panas mengalir dari tempat yang lebih panas ke tempat yang lebih dingin.
2.
Energi yang masuk sama dengan energi keluar ditambah dengan energi yang diserap.
3.
Energi berbanding lurus dengan laju perubahan suhu persatuan panjang (Hukum Fourier pada hantaran panas).
3. Model Matematika Jelas energi masuk: q ( x, t ) Δt ; energi keluar: q ( x + Δx, t + Δt ) Δt ;
26
energi yang diserap: k [u ( x + Δx, t + Δt ) − u ( x, t )]Δx . Jadi q ( x, t ) Δt = q ( x + Δx, t + Δt ) Δt + k [u ( x + Δx, t + Δt ) − u ( x, t )]Δx ⇔ ( q ( x, t ) − q ( x + Δx, t + Δt )) Δt = k1[u ( x + Δx, t + Δt ) − u ( x, t )]Δx
⇔
q( x, t ) − q( x + Δx, t + Δt ) k1 [u ( x + Δx, t + Δt ) − u ( x, t )] = Δx Δt k [u ( x + Δx, t + Δt ) − u ( x, t )] q( x, t ) − q( x + Δx, t + Δt ) = lim 1 Δx →0 Δt →0 Δx Δt
⇔ lim ⇔−
∂q ∂u . = k1 ∂x ∂t
Sesuai dengan hukum Fourier yang menyatakan bahwa energi berbanding lurus dengan laju perubahan panas terhadap x, maka diperoleh q ( x, t ) = −α
∂u , α >0 ∂x
tanda negatif pada hukum Fourier menunjukkan bahwa panas mengalir dari tempat yang lebih panas ke tempat yang lebih dingin. Jadi −
∂ ⎛ ∂u ⎞ ∂u ⎜−α ⎟ = k1 ∂x ⎠ ∂x ⎝ ∂t
∂ 2u ∂u ⇔ α 2 = k1 ∂t ∂x ⇔
∂ 2 u k1 ∂u = ∂x 2 α ∂t
⇔
∂u ∂ 2u α =k 2 , =k ∂t k1 ∂x
⇔
∂u ∂ 2u = c2 2 , k = c2 . ∂t ∂x
(1)
27
Persamaan ini disebut dengan persamaan konduksi panas dimensi satu. Konstanta k dinamakan difusitas yang sama dengan
K
σρ
dengan
konduktifitas termal K, panas jenis σ, dan kerapatan ρ diandaikan konstan. Distribusi temperatur pada saat awal, yaitu saat t = 0 , u ( x ,0 ) = f ( x ) , x ∈ I
Syarat batas dapat ditentukan
pada kedua ujung batang kawat
yaitu x = 0 dan x = l . Misalnya temperatur pada ujung-ujungnya adalah f (t ) , diperoleh syarat batas Dirichlet: ⎧u (0, t ) = f (t ), t > 0 . ⎨ ⎩u (l , t ) = f (t ), t > 0 Jika ujung batang kawat diisolasi, maka
∂u ( x, t ) = 0 . Dan jika ∂x
panas yang mengalir q ( x, t ) proporsional terhadap pergantian temperatur pada ujung batang kawat
∂u ( x, t ) , maka menurut hukum Fourier konduksi panas ∂x
dimensi satu q ( x, t ) = − k
∂u ( x, t ) , sehingga diperoleh syarat batas Neumann: ∂x
q (0, t ) ⎧ ∂u (0, t ) ⎪⎪ ∂x = − k t > 0 . ⎨ ⎪ ∂u (l , t ) = − q(l , t ) , t > 0 ⎪⎩ ∂x k Jika pergantian temperatur pada ujung batang kawat
∂u ( x, t ) ∂x
proporsional terhadap temperatur u ( x, t ) , maka diperoleh syarat batas Campuran:
28
⎧ ∂u (0, t ) ⎪⎪ ∂x + αu (0, t ) = f 1 ( x), t > 0 , ⎨ ⎪ ∂u (l , t ) + βu (l , t ) = f ( x), t > 0 2 ⎩⎪ ∂x dimana α, β adalah suatu konstanta yang diberikan.
B. Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial dengan Transformasi Laplace Interval setengah tak terbatas pada kasus parabolik 2 ∂u 2 ∂ u Diketahui persamaan konduksi panas . =c ∂t ∂x 2
Pada kondisi awal u ( x,0) = f ( x ) , x > 0 diketahui syarat batasnya adalah:
αu (0, t ) + β
∂u (0, t ) = g (t ) ; t > 0 ∂x
dengan α,β suatu konstanta yang diberikan. Diketahui
∂u ∂ 2u = c2 2 ∂t ∂x
⎧ ∂ 2u ⎫ ⎧ ∂u ⎫ ⇔ L ⎨ ( x, t )⎬ = L ⎨c 2 2 ( x, t )⎬ , c 2 = k ⎩ ∂t ⎭ ⎩ ∂x ⎭ ⎧ ∂ 2u ⎫ ⎧ ∂u ⎫ ⇔ L ⎨ ( x, t )⎬ = kL ⎨ 2 ( x, t )⎬ ⎩ ∂t ⎭ ⎩ ∂x ⎭ d 2 u~ ( x, s ) ~ ⇔ su ( x, s ) − u ( x,0) = k dx 2 ⇔
d 2 u~ ( x, s ) s ~ u ( x,0) − u ( x, s ) = − . 2 k k dx
Substitusikan kondisi awal ke persamaan (2), sehingga diperoleh:
(2)
29
d 2 u~( x, s ) s ~ f ( x) − u ( x, s ) = − , 2 k k dx
(3)
dengan syarat batas:
αu (0, t ) + β
∂u (0, t ) = g (t ) ∂x
∂u (0, t ) ⎫ ⎧ ⇔ L ⎨αu (0, t ) + β ⎬ = L {g (t )} ∂x ⎭ ⎩ ⎧ ∂u (0, t ) ⎫ ⇔ L {αu (0, t )} + L ⎨ β ⎬ = L {g (t )} ∂x ⎭ ⎩ ⎧ ∂u (0, t ) ⎫ ⇔ αL {u (0, t )} + βL ⎨ ⎬ = L {g (t )} ⎩ ∂x ⎭ du~ (0, s ) ~ ⇔ αu~ (0, s ) + β = g (s) . dx
(4)
Interval terbatas pada kasus parabolik Persamaan konduksi panas dimensi satu: ∂u ∂ 2u ( x, t ) = k 2 ( x, t ) , 0 < x < l , t > 0 ∂t ∂x
(5)
pada kondisi awal u ( x,0) = f ( x ) , 0 < x < l diketahui syarat batasnya adalah:
αu (0, t ) + β
∂u (0, t ) = g 1 (t ) ; t > 0 ; α,β konstanta, ∂x
(6)
αu (l , t ) + β
∂u (l , t ) = g 2 (t ) ; t > 0 ; α,β konstanta. ∂x
(7)
Dengan mentransformasi persamaan (5) diperoleh persamaan yang sama dengan persamaan (2). Dan dengan substitusi dari kondisi awal ke persamaan
30
(2) diperoleh persamaan yang sama dengan persamaan (3), dengan syarat batas:
αu (0, t ) + β
∂u (0, t ) = g1 (t ) ∂x
∂u (0, t ) ⎫ ⎧ ⇔ L ⎨αu (0, t ) + β ⎬ = L {g1 (t )} ∂x ⎭ ⎩ ⎧ ∂u (0, t ) ⎫ ⇔ L {αu (0, t )} + L ⎨ β ⎬ = L {g1 (t )} ∂x ⎭ ⎩ ⎧ ∂u (0, t ) ⎫ ⇔ αL {u (0, t )} + βL ⎨ ⎬ = L {g1 (t )} ⎩ ∂x ⎭ du~ (0, s ) ~ ⇔ αu~ (0, s ) + β = g1 ( s ) , dan dx
αu (l , t ) + β
(8)
∂u (l , t ) = g 2 (t ) ∂x
∂u (l , t ) ⎫ ⎧ ⇔ L ⎨αu (l , t ) + β ⎬ = L {g 2 (t )} ∂x ⎭ ⎩ ⎧ ∂u (l , t ) ⎫ ⇔ L {αu (l , t )} + L ⎨ β ⎬ = L {g 2 (t )} ∂x ⎭ ⎩ ⎧ ∂u (l , t ) ⎫ ⇔ αL {u (l , t )} + βL ⎨ ⎬ = L {g 2 (t )} ⎩ ∂x ⎭ du~ (l , s ) ~ ⇔ αu~ (l , s ) + β = g 2 (s) . dx
(9)
C. Penyelesaian Umum Dengan menggunakan transformasi Laplace (terhadap t atau x) dalam masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial, maka
31
persamaan-persamaan diferensial parsial tersebut dapat ditransformasikan menjadi persamaan diferensial biasa berbentuk: y ' '+ y = f ( x ) .
(10)
Sebagai contoh perhatikan persamaan diferensial y ' '+ y = 0 . Tulis y1 ( x) dan y 2 ( x) suatu selesaian.
⎧ A' ( x) y1 ( x) + B' ( x) y 2 ( x) = 0 Jadi ⎨ . ⎩ A' ( x) y1 ' ( x) + B' ( x) y 2 ' ( x) = f ( x) Dengan menyelesaikan A’(x) dan B’(x), diperoleh A(x) dan B(x) maka penyelesaian persamaan (10) di atas adalah:
y ( x) = A( x) y1 ( x) + B( x) y 2 ( x) . Jika f (x ) pada persamaan (10) tersebut berbentuk eksponensial, polinomial dan trigonometri (terbatas pada sin α dan cosα ), maka A(x) dan B(x) berupa suatu konstanta.
Interval setengah tak terbatas pada kasus parabolik Diasumsikan bahwa solusi umum dari persamaan (10) adalah: y ( x) = A( x)e m1x + B( x)e m2 x .
(11)
Dengan mengambil persamaan: A' ( x)e m1x + B' ( x)e m2 x = 0 dan
(12)
t1 A' ( x)e m1 x + t 2 B' ( x)e m2 x = f ( x) ,
(13)
diperoleh: A' ( x ) = −
1 f ( x )e − m1x m 2 − m1
32
⇔ A( x ) = −
B' ( x) =
1 m2 − m1
∫ f ( x )e
− m1 x
dx + c1 , dan
(14)
1 f ( x ) e − m2 x m2 − m1 1 m 2 − m1
⇔ B( x) =
∫ f ( x )e
− m2 x
dx + c 2 .
(15)
Jika A(x) dan B(x) dari (14) dan (15) disubstitusikan ke persamaan (11), diperoleh:
⎧ 1 y ( x) = ⎨c1 − m2 − m1 ⎩ Dari
persamaan
⎫ ⎧ 1 dx ⎬e m1x + ⎨c 2 + m2 − m1 ⎭ ⎩
∫ f ( x )e
− m2 x
(3),
akar-akar
d 2 u~( x, s ) s ~ − u ( x, s ) = 0 adalah t1 = k dx 2
karakteristik
∫ f ( x )e dari
− m2 x
⎫ dx ⎬e m2 x . ⎭
persamaan
s s ; t2 = − . k k
Diasumsikan bahwa solusi umum dari persamaan (3) tersebut adalah:
u~( x, s ) = A( x)e
s x k
+ B ( x )e
−
s x k
.
(16)
Dengan mengambil persamaan:
A`( x)e
s x k
+ B`( x)e
s A`( x)e k
s x k
−
s x k
− s B`( x)e − k
Diperoleh: A`( x) = −
f ( x) 2k
= 0 dan
s k
−
e
s x k
s x k
=−
f ( x) . k
33
1
⇔ A( x) = −
B`( x) =
s 2k k
f ( x) s 2k k
⇔ B( x) =
e
1 s 2k k
∫ f ( x )e
−
s x k
dx + c1 .
(17)
s x k
s x k
∫ f ( x )e
dx + c 2 .
(18)
Jika A(x) dan B(x) dari (17) dan (18) disubstitusikan ke persamaan (16) sehingga diperoleh: ⎧ ⎪ 1 ⎪ ~ u ( x, s ) = ⎨c1 − s ⎪ 2k ⎪⎩ k
= c1e
s x k
+ c2 e
−
s x k
∫ f ( x )e 1
−
s k
2k
e
s − x k
s x k
⎧ ⎫ ⎪ s ⎪ − sx x 1 ⎪ ⎪ k f ( x)e dx ⎬e k + ⎨c 2 + ∫ s ⎪ ⎪ 2k ⎪⎩ ⎪⎭ k s s ⎛ s ⎞ ⎞ − x − x 1 f ( x)e k dx ⎟ + e k ⎜ ∫ f ( x)e k dx ⎟ ⎟ ⎜ ⎟ ⎠ 2k s ⎝ ⎠ k
⎫ ⎪ ⎪ dx ⎬e ⎪ ⎪⎭
⎛ ⎜ ⎜∫ ⎝
s x k
karena u ( x, t ) haruslah terbatas bila x → ∞ maka u~ ( x, s ) = L {u ( x, t )} harus pula terbatas bila x → ∞ , maka harus diperoleh c1 = 0 , sehingga − u~ ( x, s) = c 2 e
s x k
1
− 2k
s k
e
s x k
⎛ − ⎜ f ( x )e ∫ ⎜ ⎝
s x k
⎞ − 1 dx ⎟ + e ⎟ ⎠ 2k s k
s x k
⎛ ⎜ f ( x)e ⎜∫ ⎝
s x k
⎞ dx ⎟ . ⎟ ⎠
Untuk mendapatkan penyelesaian persamaan di atas dengan invers transformasi Laplace, sehingga diperoleh:
34
⎧ ⎪ − ⎪ u ( x, t ) = L-1 ⎨c 2 e ⎪ ⎩⎪
1 s 2k k
s x k
1
− 2k
e
s − x k
s k
e
⎛ ⎜ f ( x)e ⎜∫ ⎝
s x k
⎛ − ⎜ f ( x )e ∫ ⎜ ⎝
s x k
s x k
⎞ dx ⎟ + ⎟ ⎠
⎫ ⎞⎪⎪ dx ⎟⎬ . ⎟⎪ ⎠ ⎪⎭
(19)
Interval terbatas pada kasus parabolik
Diasumsikan bahwa solusi umum dari persamaan (10) tersebut adalah: y ( x ) = A( x) cosh x + B ( x ) sinh x .
(20)
Dengan mengambil persamaan: A`( x ) cosh x + B`( x) sinh x = 0 dan A`( x ) sinh x + B`( x ) cosh x = f ( x ) ,
diperoleh: A`( x ) = − f ( x ) sinh x
⇔ A`( x) = − ⇔ A( x) = ∫
1 f ( x)((e x ) 2 − 1) 2 ex
1 f ( x)(−e x + e − x )dx + c1 2
(21)
B`= f ( x ) cosh x
⇔ B`=
1 f ( x)((e x ) 2 + 1) 2 ex
⇔ B ( x) = ∫
1 f ( x)(e x + e − x )dx + c 2 2
(22)
35
Jika A(x) dan B(x) dari (21) dan (22) disubstitusikan ke persamaan (20), diperoleh:
⎧ 1 ⎧ 1 ⎫ ⎫ y ( x) = ⎨∫ f ( x)(−e x + e − x )dx + c1 ⎬ cosh x + ⎨∫ f ( x)(e x + e − x )dx + c 2 ⎬ sinh x . ⎭ ⎭ ⎩ 2 ⎩ 2 Diasumsikan bahwa solusi umum dari persamaan (3) adalah : s s u~ ( x, s ) = A( x) cosh x + B( x) sinh x. k k
(23)
Dengan mengambil persamaan: s
A`( x) cosh
s k
k
x + B`( x) sinh
s
A`( x) sinh
k
s
x+
k
s k
x = 0 dan
B`( x) cosh
s k
x = −
f ( x) k
,
sehingga diperoleh:
A`( x) =
f ( x) s k
k
⇔ A`( x) =
s x k
sinh
⎛⎛ ⎜ f ( x)⎜ ⎜ e ⎜ ⎜⎝ ⎝
s x k
s 2k e k ⇔ A( x) = −
B`( x) = −
1 s 2k k
f ( x) k
s k
∫
cosh
2 ⎞ ⎞ ⎟ − 1⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎠ s x k
⎛ f ( x)⎜ − e ⎜ ⎝
s x k
s x k
+e
−
s x k
⎞ ⎟dx + c . 1 ⎟ ⎠
(24)
36
⇔ B`( x) = −
⎛⎛ ⎜ f ( x)⎜ ⎜ e ⎜ ⎜⎝ ⎝
s e k
2k
⇔ B ( x) = −
1 s 2k k
∫
s x k
2 ⎞ ⎞ ⎟ + 1⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎠ s x k
⎛ f ( x)⎜ e ⎜ ⎝
s x k
+e
s x k
−
⎞ ⎟dx + c . 2 ⎟ ⎠
(25)
Jika A(x) dan B(x) dari (24) dan (25) disubstitusikan ke persamaan (23), diperoleh: ⎛ ⎜ 1 ~ u ( x, s ) = ⎜ c1 − ⎜ s ⎜ 2k k ⎝ ⎛ ⎜ 1 + ⎜ c2 − ⎜ s ⎜ 2k k ⎝
∫
⎛ f ( x)⎜ − e ⎜ ⎝
⎛
∫ f ( x)⎜⎜ e
s x k
s x k
+e
+e
s − x k
s − x k
⎝
⎞ ⎞ ⎟⎟ ⎟dx cosh s x ⎟ ⎟ k ⎠ ⎟ ⎠
⎞ ⎞ ⎟⎟ ⎟dx sinh s x . ⎟ ⎟ k ⎠ ⎟ ⎠
Untuk mendapatkan penyelesaian persamaan di atas dengan invers transformasi Laplace, sehingga diperoleh: ⎧⎛ ⎪⎜ 1 -1 ⎪⎜ u ( x, t ) = L ⎨ c1 − ⎜ s ⎪⎜ 2k ⎪⎩⎝ k ⎛ ⎜ 1 + ⎜ c2 − ⎜ s ⎜ 2k k ⎝
⎛
∫ f ( x)⎜⎜ − e
s x k
+e
s − x k
⎝
∫
⎛ f ( x)⎜ e ⎜ ⎝
s x k
+e
s − x k
⎞ ⎞ ⎟⎟ ⎟dx cosh s x ⎟ ⎟ k ⎠ ⎟ ⎠
⎫ ⎞ ⎟ ⎪ ⎞ ⎟ ⎟dx sinh s x ⎪⎬ . ⎟ ⎟ k ⎪ ⎠ ⎟ ⎪⎭ ⎠
(26)
37
Contoh 1. Selesaikan masalah nilai batas persamaan konduksi panas pada suatu batang kawat tipis semi infinite dengan temperatur awal 0 o C dan ujung kawat pada
x = 0 mempunyai temperatur konstan t o . Penyelesaian: Diketahui
∂u ∂ 2u = c2 2 , x > 0, t > 0 . ∂t ∂x
Dipunyai u ( x,0) = 0 , x > 0 . Jelas
d 2 u~ ( x, s ) s ~ u ( x,0) − u ( x, s ) = − 2 k k dx ⇔
d 2 u~ ( x, s ) s ~ − u ( x, s ) = 0 . k dx 2
Dipunyai u (0, t ) = t o , t > 0 . Jelas L {u (0, t )} = L {t o }
t ⇔ u~ (0, s ) = o . s Jadi u~ ( x, s ) = c1e
s x k
+ c2 e
Tulis c1 = 0 . − Jelas u~ ( x, s) = c 2 e
s x k
t Jadi u~ (0, s) = o s ⇔ u~ (0, s ) = c 2 e 0
.
−
s x k
.
38
⇔ c2 =
to . s
t − Jadi u~ ( x, s) = o e s
s x k
.
Jadi u ( x, t ) = L-1 {u~ ( x, s )}
⎧ − ⇔ u( x, t ) = L ⎨ e ⎪⎩ s -1 ⎪ t o
s x k
⎫⎪ ⎬ ⎪⎭
⎧ − ⇔ u ( x, t ) = t o L ⎨ e ⎪⎩ s -1 ⎪ 1
s x k
⎫⎪ ⎬ ⎪⎭
⎛ x ⎞ ⎟⎟ . ⇔ u ( x, t ) = t o erfc⎜⎜ ⎝ 2 kt ⎠ ⎛ x ⎞ Jadi u ( x, t ) = t o erfc⎜⎜ ⎟⎟ . ⎝ 2 kt ⎠
D. Pemrograman Komputer Persamaan Konduksi Panas Dimensi Satu
Berikut ini adalah pemrograman Maple untuk persamaan konduksi panas dimensi satu. Interval setengah tak terbatas pada kasus parabolik
> restart;with(PDEtools): > p1:=(D@@2)(y)(x)+y(x)=f(x); p1 := ( D
(2)
)( y )( x ) + y( x ) = f( x )
> p2:=y(x)=A(x)*exp(m[1]*x)+B(x)*exp(m[2]*x); p2 := y( x ) = A( x ) e
(m x) 1
+ B( x ) e
(m x) 2
39
> s1:=D(A)(x)*exp(m[1]*x)+D(B)(x)*exp(m[2]*x)=0; s1 := D( A )( x ) e
(m x) 1
+ D( B )( x ) e
(m x) 2
=0
>s2:=m[1]*D(A)(x)*exp(m[1]*x)+m[2]*D(B)(x)*exp(m[2]* x)=f(x); s2 := m1 D( A )( x ) e
(m x) 1
+ m2 D( B )( x ) e
(m x) 2
= f( x )
> sol1:=solve({s1,s2},{D(A)(x),D(B)(x)}); f( x ) f( x ) ⎫ sol1 := ⎧⎪ D( A )( x ) = ( m x ) , D( B )( x ) = − ( m x ) ⎪ ⎪⎨⎪ ⎪⎬ 1 2 e ( −m2 + m1 ) e ( −m2 + m1 ) ⎪⎪ ⎪ ⎩ ⎭
> sol2:=sol1[1]; f( x )
sol2 := D( A )( x ) = e
(m x) 1
( −m2 + m1 )
> sol3:=sol1[2]; f( x )
sol3 := D( B )( x ) = − e
(m x) 2
( −m2 + m1 )
> solu1:=dsolve({sol2},A(x)); ⌠ ( −m1 x ) ⎮e f( x ) ⎮ solu1 := A( x ) = ⎮ d x + _C1 ⎮ ⎮ −m2 + m1 ⎮ ⌡
> solu2:=dsolve({sol3},B(x)); ( −m x ) ⌠ ⎮ f( x ) e 2 ⎮ solu2 := B( x ) = ⎮ ⎮− −m + m d x + _C1 ⎮ 2 1 ⎮ ⌡
> solu3:=subs(_C1=_C2,solu2);
40
( −m x ) ⌠ ⎮ f( x ) e 2 ⎮ − solu3 := B( x ) = ⎮ d x + _C2 ⎮ ⎮ −m2 + m1 ⎮ ⌡
> pers1:=subs(solu1,solu3,p2); ( −m x ) ( −m x ) ⎛⌠ ⎞ (m x) ⎛ ⌠ ⎞ (m x) 1 ⎜⎮ ⎟ ⎜ ⎮ f( x ) e 2 ⎟ 1 2 e f( x ) ⎮ ⎜⎜ ⎮ ⎟ ⎜ ⎟⎟ ⎮ ⎟ ⎜ − d + d + pers1 := y( x ) = ⎜ ⎮ x _C1 e + x _C2 e ⎮ ⎮ ⎟ ⎜ ⎟ −m2 + m1 ⎜⎮ ⎟ ⎜ ⎮ −m2 + m1 ⎟ ⎜⎮ ⎟ ⎜⎮ ⎟ ⎝⌡ ⎠ ⎝⌡ ⎠
> simplify(pers1); ( −m x ) (m x) (m x) (m x) ( −m x ) ⎛ ( m1 x ) ⌠ ⌠ 1 1 1 2 2 ⎮ ⎮ y( x ) = ⎜⎜ e e f ( x ) d x − e _C1 m + e _C1 m − e f ( x ) e dx ⎮ ⎮ 2 1 ⎜⎝ ⎮ ⎮ ⌡ ⌡ (m x) (m x) ⎞ 2 2 −e _C2 m2 + e _C2 m1 ⎟⎟ ( −m2 + m1 ) ⎟⎠
> restart;with(inttrans): > p:=diff(u(x,s),x$2)-s/k*(u(x,s))=0; ⎛ ∂2 ⎞ s u( x, s ) p := ⎜⎜ 2 u( x, s ) ⎟⎟ − =0 ⎜ ∂x ⎟ k ⎝ ⎠
> p1:=dsolve(p,u(x,s)); p1 := u( x, s ) = _F1( s ) e
⎛ sk x⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ k ⎠
+ _F2( s ) e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
> p2:=subs(_F1(s)=A(x),_F2(s)=B(x),p1); p2 := u( x, s ) = A( x ) e
⎛ sk x⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ k ⎠
+ B( x ) e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
> s1:=D(A)(x)*exp(sqrt(s/k)*x)+D(B)(x)*exp(sqrt(s/k)*x)=0;
s1 := D( A )( x ) e
⎛ ⎜⎜ ⎝
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
+ D( B )( x ) e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
=0
41
> s2:=sqrt(s/k)*D(A)(x)*exp(sqrt(s/k)*x)sqrt(s/k)*D(B)(x)*exp(-sqrt(s/k)*x)=-f(x)/k; ⎛
s2 :=
⎜⎜ s ⎝ D( A )( x ) e k
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
⎛
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
⎜⎜ − s ⎝ D( B )( x ) e k
−
=−
f( x ) k
> s3:=solve({s1,s2},{D(A)(x),D(B)(x)}); ⎧ ⎪ ⎪ 1 s3 := ⎪⎪ D( A )( x ) = − ⎨⎪ 2 ⎪ ⎪⎪ ⎪ ⎩
⎛ ⎜⎜ ⎝
f( x ) ⎛
s ⎜⎜⎝ e k
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
, D( B )( x ) = k
1 f( x ) e 2 s k k
> sol1:=s3[1]; sol1 := D( A )( x ) = −
1 2
f( x ) ⎛
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
s ⎜⎜⎝ e k
k
> sol2:=s3[2]; ⎛ ⎜⎜ ⎝
sol2 := D( B )( x ) =
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
1 f( x ) e 2 s k k
> so1:=dsolve({sol1},A(x)); ⌠ s ⎛ ⎮ ⎜⎜ − ⎮ k ⎝ ⎮ 1 f( x ) e − so1 := A( x ) = ⎮ ⎮ 2 ⎮ s ⎮ k ⎮ k ⎮ ⌡
> so2:=dsolve({sol2},B(x));
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
⎞ x ⎟⎟ ⎠
d x + _C1
⎫ ⎪ ⎪ ⎪⎪ ⎬⎪ ⎪ ⎪⎪ ⎪ ⎭
42
⌠ s ⎛ ⎮ ⎜⎜ ⎮ k ⎝ ⎮1 f( x ) e so2 := B( x ) = ⎮ ⎮ 2 ⎮ s ⎮ k ⎮ k ⎮ ⌡
⎞ x ⎟⎟ ⎠
d x + _C1
> so3:=subs(_C1=_C2,so2); ⌠ s ⎛ ⎮ ⎜⎜ ⎮ k ⎝ ⎮1 f( x ) e so3 := B( x ) = ⎮ ⎮ 2 ⎮ s ⎮ k ⎮ k ⎮ ⌡
⎞ x ⎟⎟ ⎠
d x + _C2
> pers1:=subs(so1,so3,p2);
pers1 := u( x, s ) = ⎛⌠ s ⎛ ⎜⎜ ⎮ ⎜⎜ − ⎮ k ⎝ ⎜⎜ ⎮ 1 f( x ) e ⎮ ⎜⎜ ⎮− 2 s ⎜⎜ ⎮ ⎮ k ⎮ k ⎜⎝ ⎮ ⌡
⎞ x ⎟⎟ ⎠
⎞ ⎟⎟ ⎛ ⎟ ⎜⎜⎝ d x + _C1 ⎟⎟ e ⎟⎟ ⎟ ⎟ ⎠
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
⎛⌠ s ⎛ ⎜⎜ ⎮ ⎜⎜ ⎮ k ⎝ ⎜ ⎮1 f( x ) e + ⎜⎜ ⎮ ⎜⎜ ⎮ ⎮2 s k ⎜⎮ ⎮ k ⎜⎮ ⎝⌡
⎞ x ⎟⎟ ⎠
⎞ ⎟⎟ ⎛ ⎟ ⎜⎜⎝ − d x + _C2 ⎟⎟ e ⎟⎟ ⎟ ⎟ ⎠
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
> pers2:=simplify(pers1); s ⎞ ⎛ ⎛ sk x⎞ ⎛ ⎛ sk x⎞ ⎜⎜ − ⎜⎜ ⎟⎟ x⎟ k ⎟⎠ 1 ⎜⎜ ⎜⎜⎝ k ⎟⎟⎠ ⌠ s ⎝ ⎝ k ⎠ ⎮ pers2 := u( x, s ) = ⎜ −e dx + 2 e _C1 k f( x ) e ⎮ ⎮ 2 ⎜⎜ k ⎮ ⌡ ⎝ sk x⎞ s ⎞ sk x⎞ ⎛ ⎛ ⎛ ⎞ ⎜⎜ − ⎟⎟ ⌠ ⎜⎜ ⎜⎜ − ⎟ x ⎟⎟ k k k ⎟⎠ s ⎟⎟ s ⎞ ⎛⎜ ⎝ ⎠⎮ ⎝ ⎠ ⎝ dx + 2 e _C2 +e k⎟ k⎟ f( x ) e ⎮ ⎜ ⎮ k ⎟⎟ k ⎟⎠ ⎝ ⎮ ⎠ ⌡
> per1:=subs(_C1=0,pers2);
per1 := u( x, s ) = −e 1 2
⎛ sk x⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ k ⎠
⌠ ⎮ ⎮f( x ) e ⎮ ⎮ ⌡
⎛ ⎜⎜ − ⎝
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
dx + e
> invlaplace(per1,x,s);
⎛ ⎜⎜ − ⎝
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
⎛
⎜⎜ ⌠ ⎝ ⎮ ⎮f( x ) e ⎮ ⎮ ⌡ s k k
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
dx + 2 e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
_C2
s k k
43
s ⎞ ⎛ ⎞⎟ ⎛ ⎛⎜ ⎛⎜⎜ s k x ⎞⎟⎟ ⌠ ⎜⎜ − x⎟ k ⎠⎮ k ⎟⎠ 1 ⎜⎜ ⎝ ⎝ invlaplace( u( x, s ), x, s ) = ⎜ −invlaplace⎜⎜ e d x, x, s ⎟⎟ f( x ) e ⎮ ⎮ 2 ⎜⎜ ⎟⎟ ⎜⎜ ⎮ ⎠ ⎝ ⌡ ⎝ s ⎞ ⎛ ⎛⎜ ⎛⎜⎜ − s k x ⎞⎟⎟ ⌠ ⎞ ⎜⎜ ⎟ x ⎟ k ⎠⎮ k ⎟⎠ s sk ⎛ ⎝ d x, x, s ⎟⎟ + 2 _C2 + invlaplace⎜⎜ e ⎝ k Dirac⎜⎜ s − ⎮f( x ) e ⎮ k k ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ ⎮ ⌡ ⎝ ⎠ s ⎞ ⎛⎜ k⎟ ⎜ k ⎟⎠ ⎝
Interval terbatas pada kasus parabolik
> restart;with(PDEtools): > (D@@2)(y)(x)+y(x)=f(x); (D
(2)
)( y )( x ) + y( x ) = f( x )
> p:=A(x)*cosh(x)+B(x)*sinh(x);
p := A( x ) cosh( x ) + B( x ) sinh( x ) > p1:=D(A)(x)*cosh(x)+D(B)(x)*sinh(x)=0;
p1 := D( A )( x ) cosh( x ) + D( B )( x ) sinh( x ) = 0 > p2:=D(A)(x)*sinh(x)+D(B)(x)*cosh(x)=f(x);
p2 := D( A )( x ) sinh( x ) + D( B )( x ) cosh( x ) = f( x ) > p3:=solve({p1,p2},{D(A)(x),D(B)(x)}); 2 2 ⎧⎪ 1 f( x ) ( ( e x ) − 1 ) 1 ( ( e x ) + 1 ) f( x ) ⎫⎪ , D( B )( x ) = ⎬⎪⎪ p3 := ⎨⎪ D( A )( x ) = − ⎪⎩ 2 2 ex ex ⎭
> s1:=p3[1]; 2
1 f( x ) ( ( e x ) − 1 ) s1 := D( A )( x ) = − 2 ex
> s2:=p3[2];
⎞ ⎞ ⎟⎟ ⎟⎟ ⎟ ⎠ ⎟⎟ ⎠
44
2
1 ( ( e x ) + 1 ) f( x ) s2 := D( B )( x ) = 2 ex
> sol1:=dsolve({s1},A(x)); ⌠1 ( −x ) x sol1 := A( x ) = ⎮ ⎮ f( x ) ( −e + e ) d x + _C1 ⎮ ⎮2 ⌡
> sol2:=dsolve({s2},B(x)); ⌠1 ( −x ) x sol2 := B( x ) = ⎮ ⎮ f( x ) ( e + e ) d x + _C1 ⎮ ⎮2 ⌡
> sol3:=subs(_C1=_C2,sol2); ⌠1 ( −x ) x sol3 := B( x ) = ⎮ ⎮ f( x ) ( e + e ) d x + _C2 ⎮ ⎮2 ⌡
> pers1:=subs(sol1,sol3,p); pers1 := ⎞ ⎞ ⎛ ⌠1 ⎛ ⌠1 ( −x ) ( −x ) x x ⎜⎜ ⎮ ⎮ f( x ) ( −e + e ) d x + _C1 ⎟⎟ cosh( x ) + ⎜⎜ ⎮ ⎮ f( x ) ( e + e ) d x + _C2 ⎟⎟ sinh( x ) ⎜⎜ ⎮ ⎟⎟ ⎜⎜ ⎮ ⎟⎟ ⎮2 ⎮2 ⎝⌡ ⎠ ⎝⌡ ⎠
> pers2:=simplify(pers1); ( −x ) ( −x ) 1 1 cosh( x ) ⌠ f( x ) ( −e x + e ) d x + cosh( x ) _C1 + sinh( x ) ⌠ f( x ) ( e x + e ) d x ⎮ ⎮ ⎮ ⎮ 2 2 ⌡ ⌡ + sinh( x ) _C2
pers2 :=
> restart;with(PDEtools):with(inttrans): > p:=diff(u(x,s),x$2)-s/k*(u(x,s))=-f(x)/k; f( x ) ⎛ ∂2 ⎞ s u( x, s ) p := ⎜⎜ 2 u( x, s ) ⎟⎟ − =− ⎜ ∂x ⎟ k k ⎝ ⎠
> p1:=dsolve(p,u(x,s));
45
⎛ ⎜⎜ − ⌠ ⎮ ⎮ 1 e⎝ p1 := u( x, s ) = ⎮ ⎮− 2 ⎮ ⎮ ⎮ ⌡
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
f( x )
sk
+ _F1( s ) e
dx e
⎛ sk x⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ k ⎠
⎛ sk x⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ k ⎠
⎛ ⎜ ⌠ ⎮ ⎜⎝ ⎮1 e +⎮ ⎮2 ⎮ ⎮ ⎮ ⌡
+ _F2( s ) e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
f( x )
sk
dx e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
> pp1:=subs(_F1=A(x),_F2=B(x),p1); ⎛ ⎜⎜ − ⌠ ⎮ ⎮ 1 e⎝ pp1 := u( x, s ) = ⎮ ⎮− 2 ⎮ ⎮ ⎮ ⌡
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
sk
+ A( x )( s ) e
f( x )
dx e
⎛ sk x⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ k ⎠
⎛ sk x⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ k ⎠
⎛ ⎜ ⌠ ⎮ ⎜⎝ ⎮1 e +⎮ ⎮2 ⎮ ⎮ ⎮ ⌡
+ B( x )( s ) e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
f( x )
sk
dx e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
>p2:=D(A)(x)*cosh((sqrt(s/k))*x)+D(B)(x)*sinh((sqrt( s/k))*x)=0; ⎛ p2 := D( A )( x ) cosh⎜⎜ ⎝
s ⎞ ⎛ x ⎟⎟ + D( B )( x ) sinh ⎜⎜ k ⎠ ⎝
s ⎞ x⎟ = 0 k ⎟⎠
>p3:=sqrt(s/k)*D(A)(x)*sinh((sqrt(s/k))*x)+sqrt(s/k) *D(B)(x)*cosh((sqrt(s/k))*x)=-f(x)/k; p3 :=
s ⎛ D( A )( x ) sinh⎜⎜ k ⎝
s ⎞ x⎟ + k ⎟⎠
s ⎛ D( B )( x ) cosh⎜⎜ k ⎝
s ⎞ f( x ) x ⎟⎟ = − k ⎠ k
> s1:=solve({p2,p3},{D(A)(x),D(B)(x)}); ⎧⎪ ⎛⎜ ⎛ ⎛ s ⎞ ⎞ 2 ⎞⎟ ⎛⎜ ⎛ ⎛ s ⎞ ⎞ 2 ⎞⎟ ⎫⎪ ⎜⎜ x ⎟⎟ ⎪⎪ ⎜⎜ ⎜⎜ ⎝ k ⎠ ⎟⎟ ⎟⎟ ⎜⎜ ⎜⎜ ⎜⎜⎝ k x ⎟⎟⎠ ⎟⎟ ⎟⎪ 1 f( x ) ⎝ ⎝ e 1 f( x ) ⎝ ⎝ e − 1⎠ + 1 ⎟⎠ ⎪⎪ ⎠ ⎠ ⎪ , D( B )( x ) = − s1 := ⎨⎪ D( A )( x ) = ⎬⎪⎪ s ⎞ s ⎞ ⎛ ⎛ 2 2 ⎪⎪ ⎜⎜ ⎜⎜ x ⎟⎟ x ⎟⎟ ⎪ k k s s ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎪⎪ ⎪⎪ k e k e ⎪⎭ ⎪⎩ k k
> s2:=s1[1]; ⎛⎜ ⎛ ⎛ s ⎞ ⎞ 2 ⎞⎟ ⎜⎜ ⎜⎜ ⎜⎜⎝ k x ⎟⎟⎠ ⎟⎟ ⎟ 1 f( x ) ⎝ ⎝ e − 1 ⎟⎠ ⎠ s2 := D( A )( x ) = s ⎞ ⎛ 2 ⎜⎜ x⎟ k ⎟⎠ s ⎝ ke k
46
> s3:=s1[2]; ⎛⎜ ⎛ ⎛ s ⎞ ⎞ 2 ⎞⎟ ⎜⎜ ⎜⎜ ⎜⎜⎝ k x ⎟⎟⎠ ⎟⎟ ⎟ 1 f( x ) ⎝ ⎝ e + 1 ⎟⎠ ⎠ s3 := D( B )( x ) = − s ⎞ ⎛ 2 ⎜⎜ x ⎟⎟ k s ⎠ k e⎝ k
> sol1:=dsolve(s2,A(x)); ⌠ ⎛⎜ ⎛⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎮ 1 f( x ) ⎜⎝ −e ⎝ − sol1 := A( x ) = ⎮ ⎮ 2 ⎮ ⎮ ⎮ ⎮ ⌡
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
+e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
s k k
s ⎞ x⎟ ⎞ k ⎟⎠ ⎟ ⎟
⎠ d x + _C1
> sol2:=dsolve(s3,B(x)); ⌠ ⎛⎜ ⎛⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎮ 1 f( x ) ⎜⎝ e ⎝ ⎮ sol2 := B( x ) = ⎮− 2 ⎮ ⎮ ⎮ ⎮ ⌡
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
+e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
s ⎞ x⎟ ⎞ k ⎟⎠ ⎟ ⎟
⎛ ⎜⎜ − ⎝
s ⎞ x⎟ ⎞ k ⎟⎠ ⎟ ⎟
s k k
⎠ d x + _C1
> sol3:=subs(_C1=_C2,sol2); ⌠ ⎛⎜ ⎛⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎮ 1 f( x ) ⎜⎝ e ⎝ ⎮ sol3 := B( x ) = ⎮− 2 ⎮ ⎮ ⎮ ⎮ ⌡
s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
> solu1:=subs(sol1,sol3,pp1);
+e
s k k
⎠ d x + _C2
47
⎛ ⎜⎜ − ⌠ ⎮ ⎮ 1 e⎝ solu1 := u( x, s ) = ⎮ ⎮− 2 ⎮ ⎮ ⎮ ⌡
⎛⌠ ⎜⎜ ⎮ ⎮ 1 ⎜⎜ ⎮ − + ⎜⎮ 2 ⎮ ⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎜⎮ ⎜⎮ ⎝⌡ ⎛⎜ ⌠ ⎮ ⎜⎜ ⎮ ⎮ 1 − + ⎜⎜ ⎮ 2 ⎮ ⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎜⎮ ⎜⎝ ⎮ ⌡
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
⎛ ⎜ ⌠ ⎮ ⎜⎝ ⎮1 e f( x ) dx e +⎮ ⎮2 sk ⎮ ⎮ ⎮ ⌡ ⎞ s ⎞ ⎛ ⎛⎜ ⎛⎜⎜ s x ⎞⎟⎟ ⎟⎟ ⎜⎜ − x ⎟⎟ ⎞ ⎛ ⎟ k k ⎠ ⎠⎟ ⎜ f( x ) ⎜⎝ −e ⎝ + e⎝ ⎠ d x + _C1 ⎟⎟( s ) e ⎜⎝ ⎟⎟ s ⎟⎟ k k ⎟ ⎠ ⎞ s ⎞ ⎛ ⎛⎜ ⎛⎜⎜ s x ⎞⎟⎟ ⎟ ⎜⎜ − x⎟ ⎞ ⎛ ⎟ k ⎠ k ⎟⎠ ⎟ ⎝ ⎝ ⎜− ⎟ f( x ) ⎜⎝ e +e ⎠ d x + _C2 ⎟⎟( s ) e ⎜⎝ ⎟⎟ s ⎟ k ⎟⎟ k ⎠ ⎛ sk x⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ k ⎠
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
f( x )
sk
dx e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
> solu2:=simplify(solu1); sk x⎞ ⎛ ⎛ sk x⎞ ⎛ ⎜⎜ − ⎟ ⎜⎜ ⎟⎟ k ⎟⎠ 1 ⎜⎜ ⌠ s( s ) ⎝ ⎝ k ⎠ ⎮ solu2 := u( x, s ) = ⎜ −⎮e f( x ) d x e k( s ) ⎮ 2 ⎜⎜ ⎮ k( s ) ⎝ ⌡ sk x⎞ ⎛ sk x⎞ ⎛ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎜⎜ − ⎟ ⌠ k k ⎟⎠ s( s ) ⎠ e⎝ f( x ) d x e ⎝ +⎮ k( s ) ⎮ ⎮ k( s ) ⎮ ⌡ s ⎞ ⎛ sk x⎞ ⎛ ⎛ ⎛⎜ ⎛⎜⎜ s x ⎞⎟⎟ ⎞⎟ ⎜⎜ ⎟⎟ ⌠ ⎜⎜ − x⎟ ⎞ k ⎠ k ⎟⎠ ⎟ ⎝ k ⎠⎜ ⎝ ⎝ ⎮ ⎜ ⎟ ⎜ f( x ) ⎝ −e +e − sk e ⎠ d x ⎟⎟( s ) ⎜⎜ ⎮ ⎟⎟ ⎮ ⎜⎝ ⎮ ⌡ ⎠
+2 sk e −e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
+2e
⎛ sk x⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ k ⎠
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
⎛ ⎜⎜ − ⎝
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
_C1( s )
⎛⎜ ⎛⎜⎜ ⎛⎜ ⌠ ⎮ s k ⎜⎜ ⎮f( x ) ⎜⎝ e ⎝ ⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎝⌡ s k _C2 ( s )
s( s ) k( s ) k( s ) s ⎞ x⎟ k ⎟⎠
+e
⎛ ⎜⎜ − ⎝
⎞⎟ s( s ) k( s ) ⎟⎟ k( s ) ⎟⎟ ⎠
> solu3:=invlaplace(solu2,x,s);
s ⎞ x⎟ ⎞ k ⎟⎠ ⎟ ⎟
⎞⎟ ⎠ d x ⎟⎟( s ) ⎟⎟ ⎠ ⎛⎜ ⎜⎝ s k
s( s ) ⎞ k( s ) ⎟⎟ k( s ) ⎠
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
48
solu3 := invlaplace( u( x, s ), x, s ) =
⎛ 1 ⎜⎜ 2 ⎜⎜⎜ ⎝
⎛ sk x⎞ ⎞⎟ ⎛ ⌠ ⎛⎜⎜ − s k x ⎞⎟⎟ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎜⎜ ⎮ ⎝ k ⎠ s( s ) ⎝ k ⎠ , x, s ⎟⎟ − f( x ) d x e k( s ) invlaplace⎜ ⎮e k( s ) ⎟⎟ ⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎠ ⎝⌡ sk x⎞ sk x⎞ ⎛ ⎛ ⎞⎟ ⎛ ⌠ ⎜⎜ ⎜⎜ − ⎟ ⎜ ⎝ k ⎟⎟⎠ k ⎟⎠ s( s ) e , x, s ⎟⎟ + f( x ) d x e ⎝ k( s ) invlaplace⎜⎜ ⎮ ⎮ k( s ) ⎟⎟ ⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎠ ⎝⌡ s ⎞ ⎛ ⎛⌠ ⎛⎜ ⎛⎜⎜ s x ⎞⎟⎟ ⎞ ⎜⎜ − x ⎟⎟ ⎞ ⎜ k ⎠ k ⎠⎟ ⎝ ⎟ d x ⎟⎟( s ) Dirac⎛⎜ s + s k ⎞⎟ + e⎝ − s k ⎜⎜ ⎮ ⎮f( x ) ⎜⎝ −e ⎠ ⎟ ⎜⎝ ⎮ k ⎟⎠ ⎜⎜ ⎮ ⎟⎟ ⎝⌡ ⎠ s( s ) sk ⎞ ⎛ ⎟ + 2 s k _C1( s ) k( s ) Dirac⎜⎜ s + k( s ) k ⎟⎠ ⎝ s ⎞ ⎛ ⎛⎜ ⎛⎜⎜ s x ⎞⎟⎟ ⎞⎟ ⎛⎜ ⌠ ⎜⎜ − x⎟ ⎞ k ⎠ k ⎟⎠ ⎟ sk ⎞ ⎛ ⎝ ⎝ ⎮ ⎜ ⎟ ⎜ +e − s k ⎜ ⎮f( x ) ⎝ e ⎠ d x ⎟⎟( s ) Dirac⎜⎜ −s + k ⎟⎟ ⎮ ⎟⎟ ⎜⎜ ⎮ ⎝ ⎠ ⎠ ⎝⌡ ⎞ s( s ) s k ⎞ ⎟⎟ ⎛⎜ ⎛⎜ ⎟⎟ ⎟ + 2 s k _C2( s ) k( s ) Dirac⎜ −s + ⎜⎝ s k k( s ) k ⎠ ⎟⎟ ⎝ ⎠
s( s ) ⎞ k( s ) ⎟⎟ k( s ) ⎠
> simplify(solu3); ⎛ 1⎜ invlaplace( u( x, s ), x, s ) = − ⎜⎜ 2 ⎜⎜ ⎝
⎛⎜ ⌠ ⎜⎜ − s( s ) e⎝ k( s ) invlaplace⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎮ k( s ) ⎜⎜ ⎮ ⎝⌡ ⎛
sk x⎞ ⎟ k ⎟⎠
f( x ) d x e
sk x⎞ ⎛ ⎞⎟ ⎛⎜ ⌠ ⎛⎜⎜ s k x ⎞⎟⎟ ⎟ ⎜⎜ − k ⎠ k ⎟⎠ s( s ) ⎝ ⎝ ⎮ ⎜ , x, s ⎟⎟ − f( x ) d x e k( s ) invlaplace⎜ ⎮e k( s ) ⎟⎟ ⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎠ ⎝⌡ s ⎞ s ⎞ ⎛ ⎛ ⎛⌠ ⎛⎜ ⎜⎜ ⎞ ⎜⎜ − x⎟ x⎟ ⎞ ⎜ k ⎟⎠ k ⎟⎠ ⎟ ⎟ d x ⎟⎟( s ) Dirac⎛⎜ s k + s k ⎞⎟ f( x ) ⎜⎝ −e ⎝ + e⎝ + s k ⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎠ ⎟ ⎜⎝ ⎟⎠ k ⎜⎜ ⎮ ⎟⎟ ⎮ ⎝⌡ ⎠ s( s ) s k + sk ⎞ ⎛ ⎟⎟ − 2 s k _C1( s ) k( s ) Dirac⎜⎜ k( s ) k ⎝ ⎠ s ⎞ ⎛ ⎛⎜ ⎛⎜⎜ s x ⎞⎟⎟ ⎞ ⎞ ⎛⎜ ⌠ ⎜⎜ − x⎟ k ⎠ k ⎟⎠ ⎟ ⎟⎠ d x ⎟⎟( s ) Dirac⎛⎜ −s k + s k ⎞⎟ f( x ) ⎜⎝ e ⎝ + e⎝ + s k ⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎟⎟ ⎜⎝ ⎟⎠ k ⎜⎜ ⎮ ⎮ ⎟⎠ ⎝⌡ ⎞ s( s ) ⎛⎜ ⎛⎜ −s k + s k ⎞ ⎟⎟ ⎟ − 2 s k _C2( s ) k( s ) Dirac⎜ ⎟⎟ ⎜⎝ s k ⎟ k( s ) k ⎝ ⎠⎟ ⎠
Contoh 2.
⎞⎟ , x, s ⎟⎟ ⎟⎟ ⎠
⎛ sk x⎞ ⎟⎟ ⎜⎜ ⎝ k ⎠
s( s ) ⎞ k( s ) ⎟⎟ k( s ) ⎠
49
Gambarlah u pada contoh 1 sebagai sebuah permukaan dalam ruang yang mempuyai temperatur
t o = 27 o C
dan persamaan konduksi panasnya
∂u ∂ 2u = 2 2 untuk 0 ≤ t ≤ 2 dengan panjang 0 ≤ x ≤ L , L = 0,2 . ∂t ∂x Penyelesaian: > with(plots): Warning, the name changecoords has been redefined
> u1:=u(x,t)=gamma*erf(x/(2*sqrt(k*t))); 1 u1 := u( x, t ) = γ erf⎛⎜ ⎜⎝ 2
x kt
⎞⎟ ⎟⎠
> u2:=subs(gamma=27,k=2,u1); ⎛ 1 x 2 ⎞⎟ u2 := u( x, t ) = 27 erf⎜ ⎜⎝ 4 t ⎟⎠
>plot3d(rhs(u2),x=0..0.4,t=0..2,style=hidden,orienta tion=[25,30],title="Gambar 2");
Contoh 3.
50
Gambarlah u pada contoh 1 sebagai sebuah permukaan dalam ruang yang mempuyai temperatur
t o = 35 o C
dan persamaan konduksi panasnya
∂u ∂ 2u = 8 2 untuk 0 ≤ t ≤ 0,8 dengan panjang 0 ≤ x ≤ L , L = 1 . ∂t ∂x Penyelesaian: > with(plots): Warning, the name changecoords has been redefined
> p1:=u(x,t)=gamma*erf(x/(2*sqrt(k*t))); 1 p1 := u( x, t ) = γ erf⎛⎜ ⎜⎝ 2
x kt
⎞⎟ ⎟⎠
> p2:=subs(gamma=35,k=8,p1); ⎛ 1 x 8 ⎞⎟ p2 := u( x, t ) = 35 erf⎜ ⎜⎝ 16 t ⎟⎠
>plot3d(rhs(p2),x=0..1,t=0..0.8,style=hidden,orienta tion=[35,40],title="Gambar 3");
Contoh 4.
51
Gambarlah u pada contoh 1 sebagai sebuah permukaan dalam ruang yang mempuyai temperatur t o = 37 o C dan t o = 38 o C pada persamaan konduksi panas
∂u ∂ 2u = 8 2 untuk 0 ≤ t ≤ 0,8 dengan panjang 0 ≤ x ≤ L , L = 1 . ∂t ∂x
Penyelesaian: > with(plots): Warning, the name changecoords has been redefined
> p:=u(x,t)=gamma*erf(x/(2*sqrt(k*t))); 1 p := u( x, t ) = γ erf⎛⎜ ⎜⎝ 2
x kt
⎞⎟ ⎟⎠
> p1:=subs(gamma=37,k=8,p); ⎛ 1 x 8 ⎞⎟ p1 := u( x, t ) = 37 erf⎜⎜ ⎟ ⎝ 16 t ⎠
> p1:=subs(gamma=38,k=8,p); ⎛1 x 8 p1 := u( x, t ) = 38 erf⎜ ⎜⎝ 16 t
⎞⎟ ⎟ ⎠
>plot3d({rhs(p1),rhs(p2)},x=0..1,t=0..0.8,style=hidd en,orientation=[35,40],axes=FRAMED,title="Gambar 4");
52
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Pemodelan persamaan konduksi panas dimensi satu adalah u t = kutt , dimana k adalah konstan. Bentuk transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan konduksi panas dimensi satu adalah. 1.
Interval setengah tak terbatas pada kasus parabolik − u~ ( x, s) = c 2 e
s x k
1
−
s k
2k
e
s x k
⎛ − ⎜ f ( x )e ∫ ⎜ ⎝
s x k
⎞ − 1 dx ⎟ + e ⎟ ⎠ 2k s k
dengan syarat batas:
αu~ (0, s ) + β 2.
du~ (0, s ) ~ = g ( s) . dx
Interval terbatas pada kasus parabolik ⎛ ⎜ 1 ~ u ( x, s ) = ⎜ c1 − ⎜ s ⎜ 2k k ⎝
∫
⎛ ⎜ 1 + ⎜ c2 − ⎜ s ⎜ 2k k ⎝
⎛ f ( x)⎜ − e ⎜ ⎝
s x k
⎛
∫ f ( x)⎜⎜ e
+e
s x k
⎝
dengan syarat batas:
αu~ (0, s ) + β
du~ (0, s ) ~ = g1 ( s ) , dan dx
53
s − x k
+e
s − x k
⎞ ⎞ ⎟⎟ ⎟dx cosh s x ⎟ ⎟ k ⎠ ⎟ ⎠ ⎞ ⎞ ⎟⎟ ⎟dx sinh s x , ⎟ ⎟ k ⎠ ⎟ ⎠
s x k
⎛ ⎜ f ( x)e ⎜∫ ⎝
s x k
⎞ dx ⎟ ⎟ ⎠
54
αu~ (l , s ) + β
du~ (l , s ) ~ = g 2 (s) . dx
Sedangkan penyelesaian bentuk transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan konduksi panas dimensi satu adalah. 1.
Interval setengah tak terbatas pada kasus parabolik ⎧ ⎪ − ⎪ u ( x, t ) = L-1 ⎨c 2 e ⎪ ⎪⎩
1 s 2k k
2.
−
e
s x k
1
−
s k
2k
s x k
s x k
e
⎛ ⎜ f ( x)e ⎜∫ ⎝
s x k
⎛ − ⎜ f ( x )e ∫ ⎜ ⎝
s x k
⎞ dx ⎟ + ⎟ ⎠
⎫ ⎞⎪⎪ dx ⎟⎬ ⎟⎪ ⎠ ⎪⎭
Interval terbatas pada kasus parabolik ⎧⎛ ⎪⎜ 1 -1 ⎪⎜ u ( x, t ) = L ⎨ c1 − ⎜ s ⎪⎜ 2k ⎪⎩⎝ k ⎛ ⎜ 1 + ⎜ c2 − ⎜ s ⎜ 2k k ⎝
∫
⎛ f ( x)⎜ − e ⎜ ⎝
⎛
∫ f ( x)⎜⎜ e
s x k
s x k
+e
⎝
+e
s − x k
s − x k
⎞ ⎞ ⎟⎟ ⎟dx cosh s x ⎟ ⎟ k ⎠ ⎟ ⎠
⎫ ⎞ ⎟ ⎪ ⎞ ⎟ ⎟dx sinh s x ⎪⎬ ⎟ ⎟ k ⎪ ⎠ ⎟ ⎪⎭ ⎠
B. Saran
Pada
penulisan
skripsi
ini,
permasalahan
hanya
dibatasi
penyelesaian masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial linear orde dua dengan kasus parabolik pada persamaan konduksi panas dimensi satu
55
dengan transformasi Laplace. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut dalam hal yang sama pada kasus-kasus lain dengan menggunakan metode yang sama maupun dengan metode lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hutahean, E. 1993. Matematika Teknik Lanjutan. Jakarta: Erlangga. Kartono. 2001. Maple untuk Persamaan Diferensial. Yogyakarta: J&J Learning. Pinsky, M. A. 1998. Partial Differential Equations and Boundary-Value Problems with Applications, Third Edition. Singapore: McGraw-Hill Inc. Pipes, L. A. 1988. Matematika Terapan: untuk Para Insinyur dan Fisikawan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Strauss, W. A. 1992. Partial Differential Equations an Introduction. New York: John Wiley & Sons Inc.
56
LAMPIRAN Tabel 1. Sifat-sifat Umum Transformasi Laplace f(s)
F(t)
1 s
1
1 s2
t
1 sn
n = 1,2,3,...
1 sn
n>0
t n −1 , 0!= 1 (n − 1)! t n −1 Γ ( n)
1 s−a
e at
1 s + a2
sin at a
s s + a2
cos at
1 s − a2
sinh at a
s s − a2
cosh at
2
2
2
2
e −a s
⎛ a erf ⎜⎜ ⎝2 t
s
⎞ ⎟⎟ ⎠
su~ ( x, s ) − u ( x,0)
∂u ( x, t ) ∂t
d 2 u~ ( x, s ) dx 2
∂ 2u ( x, t ) ∂x 2
57