PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN DI PROVINSI JAMBI DAN IMPLIKASI MODEL JAMRUD
NOVITA ERLINDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Pembangunan Wilayah Berkelanjutan di Provinsi Jambi dan Implikasi Model JAMRUD” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor,
April
2016
Novita Erlinda NIM H162110071
RINGKASAN
NOVITA ERLINDA. Pembangunan Wilayah Berkelanjutan di Provinsi Jambi dan Implikasi Model JAMRUD. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI (Ketua), SLAMET SUTOMO (Anggota), dan EKA INTAN KUMALA PUTRI (Anggota)
Pembangunan berkelanjutan telah menjadi konsen nasional dan wilayah. Pencapaian pembangunan yang seimbang antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan telah menjadi perhatian pengambil kebijakan yakni bagaimana mencapai pembangunan berkelanjutan tersebut secara terukur dan layak. Belakangan konsern pembangunan berkelanjutan juga telah bergeser dari sekeder konsern global atau internasional ke lebih lokal atau regional (Giaoutzi dan Nijkamp 1993, Nijkamp dan Vreeker 2000, Clement, Hansen, dan Bradley 2003, Patterson dan Theobold 1995). Nijkamp dan Vreeker (2000) menyatakan bahwa pergeseran ini diperkuat dengan fakta bahwa wilayah lebih memiliki demarkasi yang jelas sehingga pengukuran empiris pembangunan berkelanjutan lebih mudah dilakukan dan lebih relevan pada tinggat wilayah. Perhatian pada integrasi pembanguann berkelanjutan pada tingkat regional telah memicu perkembangan kaidah pembangunan yang disebut sebagai Sustainable Regional Development atau SRD. Dengan demikian SRD pada prinsipnya adalah sebuah konsep yang mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam praktek pengembangan wilayah (Clement et al. 2003). Clement et al (2003) lebih jauh menyatakan bahwa SRD melibatkan berbagai aktivitas dan instrumen yang mendukung pembangunan berkelanjutan di tingkat wilayah. Sehingga integrasi pembangunan berkelanjutan ke pembangunan wilayah merupakan unsur yang penting dalam pembangunan wilayah secara keseluruhan. Schleicher-Tappeser and Lukesch (1999), menyatakan bahwa pembangunan wilayah bukanlah konsep singular yakni bukan hanya mementingkan aspek spasial semata, namun juga kebutuhan akan penilaian kualitatif dan kuantitatif dalam pembangunan wilayah. Dengan demikian SRD mengacu pada aspek konsep dan instrumen integrasi pembangunan (Haughton dan Councel 2004). Situasi seperti ini dihadapi oleh Provinsi Jambi saat ini. Dengan penduduk lebih kurang 3 juta jiwa dan sebagian besar wilayahnya adalah wilayah konservasi, Provinsi Jambi memiliki target pembangunan yang cukup ambisius melalui agenda JAMBI EMAS (Ekonomi Maju Adil dan Sejahtera) dengan target pertumbuhan ekonomi sekitar 8% per tahun. Namun dalam agenda pembangunan ini, konsern lingkungan dan aspek pembangunan berkelanjutan belum sepenuhnya diakomodasi dalam agenda pembangunan. Jambi EMAS sendiri sudah berakhir pada tahun 2015 dan pada awal 2016, agenda pembangunan Jambi menuju pembangunan baru dengan pemerintahan yang baru. Dengan demikian menjadi penting dalam konteks ini bukan hanya untuk mengevaluasi pembangunan berkelanjutan yang sudah berjalan namun juga bagaimana menawarkan skenario pembangunan berkelanjutan di masa mendatang. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan evaluasi pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi melalui dua pendekatan yang
belum pernah digunakan di Indonesia yakni pendekatan bendera atau FLAG (Nijkamp dan Ouwersloot 1996), dan pendekatan Imprecise Decision Model atau IDM yang dikembangkan oleh Danielson et al (2003). Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk 1) mengevaluasi tingkat keberlanjutan pembangunan di Provinsi Jambi melalui kerangka SRD, 2) mengembangkan model skenario pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi dengan mempertimbangkan aspek risiko dan ketidakpastian, dan 3) Memberikan rekomendasi model dan implikasi kebijakan SRD di Provinsi Jambi bagi pembangunan di masa mendatang. Evaluasi keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan tiga belas indikator yang meliputi aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Ketiga belas indikator ini kemudian dievaluasi melalui tiga rejim pembangunan berkelanjutan yakni strong, moderate dan weak serta empat skenario kebijakan pembanguann yakni Business as Ususal (BAU), Peningkatan Daya Saing (PDS), Memanfaatkan Sumber Daya Lokal (MSDL), dan pengembangan Ekonomi Non-Ekstraktif (ENE). Hasil studi menunjukkan bawah pembangunan di Provinsi Jambi dengan skenario business as usual cenderung tidak akan berkelanjutan baik dengan menggunakan basis data perencanaan maupun basis data capaian pembangunan saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya frekuensi bendera kuning dan merah, bahkan hitam pada skenario BAU. Pembangunan berkelanjutan dengan banyaknya bendera hijau dicapai pada skenario strong progression yang mengindikasikan kuatnya pengendalian lingkungan. Hasil ini juga diperkuat dengan hasil analisis IDM yang menunjukkan bahwa skenario BAU cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi, sementara risiko yang lebih kecil akan diperoleh pada skenario pembangunan dengan MSDL dan ENE. Hasil analisis tornado pada IDM juga menunjukkan bahwa beberapa variabel seperti pertumbuhan ekonomi, lahan kritis, hot spot dan kemiskinan cenderung mempengaruhi cukup penting bagi capaian pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi. Penelitian ini menawarkan paradigma pembangunan baru bagi pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi dengan menawarkan model pembangunan yang disebut sebagai model JAMRUD (Jambi Regional sUstainable Development). Paradigma pembangunan ini didasarkan pada pertumbuhan inklusif yang bersifat pro poor dan sektor yang lebih luas serta didukung oleh basis ekonomi hijau. Studi ini menawarkan pula beberapa strategi pembangunan dengan model JAMRUD untuk mendukung skenario pembangunan PDS, MSDL dan ENE. Beberapa diantara skenario tersebut antara lain pengembangan skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL), penguatan UMKM yang mendorong pengembangan sumber daya lokal dan ekonomi non-ekstraktif, pengembangan eko-wisata. Selain itu di sektor primer perlu juga dikembangkan pertanian yang berkelanjutan, pengembangan solidarity alternative dan berbagai kebijakan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Paradigma pembangunan yang ditawarakan dari hasil studi ini juga sejalan dengan beberapa agenda pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah baru Provinsi Jambi yakni Jambi TUNTAS, dan juga mendukung beberapa tujuan dari agenda global terkait dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Keywords: Imprecise Decision Model, Model FLAG, Model JAMRUD, Pembangunan Wilayah Berkelanjutan.
SUMMARY
NOVITA ERLINDA. Sustainable Regional Development in Jambi Province and Implication JAMRUD Model. Supervised by AKHMAD FAUZI (Chair of Committee), SLAMET SUTOMO (member), and EKA INTAN KUMALA PUTRI (member)
Sustainability has been the major concern of development at both the national and regional level. Achieving balanced economic, social and environmental goals has prompted policy makers to pursue measurable and feasible sustainable indicators of sustainable development. In recent years, concern regarding sustainability has also shifted from mostly national and international agendas to more local or regional development (Giaoutzi and Nijkamp 1993, Nijkamp and Vreeker 2000, Clement, Hansen, and Bradley 2003, Patterson & Theobold 1995). Nijkamp and Vreeker (2000) argue that the shift to a more regional development notion of sustainability is due to the fact that the region is properly demarcated: therefore, an empirical or operational measure of sustainability could be performed. In addition, in a region, control and administrative competence are usually regulated, making it more relevant to assess the sustainability of the policy delivered in the region. Concern about integrating sustainable development into regional development has raised a new notion: Sustainable Regional Development or SRD. Therefore, SRD is the concept of development that integrates sustainable development principles into regional development practice (Celement et al. 2003). Clement et al (2003) state that SRD encompasses all activities and instruments that promote sustainable development within regional economic activities. The integration of sustainable development into regional development is arguably important for regional development as a whole. Schleicher-Tappeser & Lukesch (1999), for example, argue that regional development is not a singular concept. While regional development works at the spatial level, it needs qualitative assessment that can be filled with sustainable development concepts. Therefore, in essence, SRD encompasses both integrative concepts and integrative devices (Haughton and Councel 2004). Such a situation is faced by the Province of Jambi. Home to 3 million people and a large proportion of its areas are conservation areas, the provincial government of Jambi has set an ambitious target of economic development aiming at an 8% growth rate per year. Such a high target of economic growth might not be feasible to achieve, but also comes at the cost of environmental degradation, especially if the local government is also aiming at the conservation areas as a target for economic growth. During the last five years, the local government of Jambi has set out a development paradigm, which emphasizes the economic pillar of sustainable development: Jambi EMAS. The name “Jambi EMAS” literally means “Jambi Gold,” and it is an acronym for economic prosperity and social welfare. As implied by such a development jargon, nothing in this paradigm contains the environmental aspect of sustainability. Jambi EMAS expired at the end of 2015, and the new provincial administration will take place from March
2016 on ward. Therefore, it is important to not only evaluate the current (existing) development paradigm, but also to set out several alternative development agendas that are sustanaible for Jambi Province by taking into account several constraints of achieving the development targets. In this context, the sustainability regional development assessment approach is deemed sustainable for regional development in Jambi Province. It is the objective of this paper to address such an assessment. This study aims to assess sustainable regional development in Jambi Province using two novel approaches i.e FLAG method (Nijkamp and Ouwersloot 1996) and Imprecise Decision Model (IDM) developed by Danielson et al. (2003). Specifically the study is aimed 1) to assess the state of sustainability, 2) to development policy scenarios for sustainable regional development in Jambi Province, and 3) to provide policy recommendation for suatainable development. Thirteen indicators which encompass economic, social and environmental dimensions were evaluated. The assessment was carried using three different sustainable regime namely strong, moderate and weak, and four policy scenarios i.e, Business as Usual (BAU), Increase competitiveness (PDS), utilizing local resources (MSDL), and development based on non-extractive activities (ENE). Results from study indicate that existing development in Jambi Province both using planning based data and actual achievement data raised more yellow and red flags. It indicates that existing development will not be sustainable. The green flag, which indicates sustainability will be achieved under strong progression development and this can be achieved if Jambi adopts MSDL and ENE scenarios. These findings are also strengthened by IDM approach where risk and uncertainties were incorporated. The development policy using MSDL and ENE tend to be less riskier than business as usual. Results from Tornado analysis also indicates that certain economic variables such as economic growth and some environmental variables such critical land and hot spot are sensitive to the level of sustainability for Jambi Province. The study offers new development scenario named as JAMRUD (Jambi Regional sUstainable Development) as a new development paradigm for Jambi Province. This paradigm is based on inclusive growth, green economy and low emission strategies supported by regulation, fiscal and community development. Several strategies are developed among four priority sectors such as developing Payment for Environmental Services (PES), developing small-holder enterprises, eco-tourism, efficient practice of agriculture, sustainable mining, solidarity alternatives for primary sectors, and many others. This paradigm offered from this study is also in line with new development paradigm set by the new provincial government namely, JAMBI TUNTAS and also in line with seventeen goals of Sustainable Development Goals (SDGs). Keywords: Imprecise Decision Model, JAMRUD model, FLAG approach, Sustainable Regional Development.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN DI PROVINSI JAMBI DAN IMPLIKASI MODEL JAMRUD
NOVITA ERLINDA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Henry Bastaman, MES Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Henry Bastaman, MES Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Keberlanjutan Pembangunan Wilayah, dengan judul Pembangunam Wilayah Berkelanjutan di Provinsi Jambi dan Implikasi Model JAMRUD. Penelitian ini terlaksana dengan baik berkat dukungan dari berbagai pihak, terutama dari komisi pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc, Bapak Dr. Ir. Slamet Sutomo, MSi, dan Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS, selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan sejak pembentukan ide, perumusan masalah, membangun pola pikir, mengarahkan dalam menentukan metode analisis hingga proses sintesis dan analisis, serta dukungan dan dorongan selama penelitian. Ucapan terima kasih juga di sampaikan kepada: 1. Prof Dr Ir Bambang Juanda MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD). 2. Gubernur Jambi, atas kesempatan tugas belajar yang diberikan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan doktor. 3. Kepala Biro Administrasi Pembangunan dan Kerjasama, yang telah memberi izin untuk mengajukan tugas belajar. 4. Ketua Bappeda Provinsi Jambi, yang telah memfasilitasi pelaksanakan FGD di Kantor Bappeda Provinsi Jambi. Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jambi, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Jambi, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, yang membantu penulis dalam melengkapi data, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mensukseskan FGD penelitian penulis di Jambi. 5. Rekan-rekan mahasiswa PWD, khususnya angkatan 2011 atas kerjasama, kebersamaan dan persahabatan yang terjalin. 6. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai selesainya disertasi ini. 7. Orang tuaku terkasih, ayahanda A. Karim, ibunda (Almarhumah) Rosmidar, dan Ibunda Rosmawati atas segala do’a terbaik, kasih sayang, dan dorongan semangat yang selalu menguatkan langkahku. 10.Adik-adikku terkasih Hendriyanto, SH, Santi Kartika, dan Norvatika, S,kom, atas pengertian, do’a yang tiada habisnya. 11.Anak-anakku tersayang M. Affif Muttaqin, dan Fajar Khairullah atas segala doa, pengertian dan kasih yang selalu menjadi penyemangat dan pendorong penulis dalam menjalani studi ini. Karya ini didedikasikan untuk ananda, semoga menjadi motivasi dalam menuntut ilmu. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas ide-ide para ahli yang tercantum di dalam daftar pustaka, karena tanpa mereka barangkali ide dan tulisan ini tidak akan ada. Penulis menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, namun penulis tetap berharap semoga karya ini bermanfaat dan menjadi amal baik. Bogor,
April 2016 Novita Erlinda Novita Erlinda
i
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan Berkelanjutan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Regional Multicriteria Analysis Multi Criteria Analysis dengan Imprecise Decision Modeling (IDM) Penelitian Terdahulu Penelitian Sustainable Regional Development dan Multi Criteria Analysis Kebaharuan Penelitian Kerangka Pemikiran Hipotesis 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Rancangan Penelitian Metode Analisis Data Analisis FLAG Analisis TOPSIS normalisasi Data Analisis Imprecise Decision Modeling (IDM) 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografi Provinsi Jambi Isu-isu Strategis Pembangunan di Provinsi Jambi Pembangunan Ekonomi Regional Provinsi Jambi Kondisi Sosial Provinsi Jambi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Provinsi Jambi 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Keberlanjutan dengan Pendekatan FLAG Baseline Aktual Baseline Perencanaan Analisis Imprecise Decision Modeling (IDM) Sensitivity Analysis Diagram Tornado Analisis Ambang Batas Keamanan (Security Threshold) Urutan Prioritas Sensitifitas Skenario Kebijakan Analisis Risiko Diagram Tornado
i iii iv v 1 1 4 8 8 8 9 9 12 14 17 18 18 20 20 24 25 25 25 25 28 28 34 35 37 37 38 41 43 44 48 48 49 55 63 67 69 71 71 73 76 77
ii
6 IMPLIKASI DAN ARAH KEBIJAKAN SUSTAINABLE REGIONAL DEVELOPMENT (SRD) DI PROVINSI JAMBI 7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
82 90 90 91 93 97 186
iii
DAFTAR TABEL 1 Matriks keputusan 2 Matrik penelitian 3 Deskripsi world cafe pembangunan wilayah Provinsi Jambi 4 Matriks analisis model FLAG 5 Matrik dampak kualitatif 6 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Aktual skenario keberlanjutan kuat 7 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Aktual skenario keberlanjutan sedang 8 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Aktual skenario keberlanjutan lemah 9 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Perencanaan skenario keberlanjutan kuat 10 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Perencanaan skenario keberlanjutan sedang 11 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Perencanaan skenario keberlanjutan lemah 12 FLAG capaian perencanaan dan capaian aktual 13 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan kuat baseline aktual 14 Perbandingan skenario kebijakan strong pada pada baseline aktual 15 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan sedang baseline aktual 16 Perbandingan skenario kebijakan moderate pada baseline Aktual 17 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan lemah baseline aktual 18 Perbandingan skenario kebijakan weak pada baseline aktual 19 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan kuat baseline pencanaan 20 Perbandingan skenario kebijakan strong pada baseline perencanaan 21 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan sedang baseline perencanaan 22 Perbandingan skenario kebijakan moderat pada baseline perencanaan 23 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan lemah baseline perencanaan 24 Perbandingan skenario kebijakan weak pada baseline perencanaan 25 Data normalisasi TOPSIS 26 Arahan strategi kebijakan SRD di Provinsi Jambi
14 26 27 30 30 31 32 32 33 33 34 48 50 51 52 53 54 55 56 58 59 60 61 63 64 83
iv
DAFTAR GAMBAR 1 Definisi pembangunan berkelanjutan 2 Tujuan SDGs 3 Tahapan MCA 4 Kerangka pikir penelitian 5 Struktur model penelitian 6 CTVs Model FLAG (Nijkamp dan Vreeker 2000) 7 Peta wilayah administratif Provinsi Jambi 8 Laju pertumbuhan ekonomi Jambi dibandingkan dengan rataan nasional 9 Sebaran FLAG perencanaan (plan) dan aktual (ak) 10 Visualisasi Total FLAG skenario strong dengan baseline aktual 11 Visualisasi sebaran FLAG skenario strong dengan baseline aktual 12 Visualisasi Total FLAG skenario moderat baseline aktual 13 Visualisasi sebaran FLAG skenario moderat baseline aktual aktual 14 Visualisasi Total FLAG skenario weak baseline aktual 15 Visualisasi sebaran FLAG skenario lemah (weak) baseline aktual 16 Visualisasi Total FLAG skenario srtong baseline perencanaan 17 Visualisasi sebaran FLAG skenario strong baseline perencanaan 18 Visualisasi Total FLAG skenario mederat baseline perencanaan 19 Visualisasi sebaran FLAG skenario moderate baseline perencanaan 20 Visualisasi Total FLAG skenario weak baseline perencanaan 21 Visualisasi sebaran FLAG skenario weak baseline perencanaan 22 Struktur model IDM SRD Provinsi Jambi skenario moderate 23 Perbandingan nilai harapan (expected valued) Alt 1 vs Alt 2, Alt 3, Alt 4 24 Perbandingan nilai harapan (expected valued) Alt 2 vs Alt 3, Alt 4, dan Alt 3 vs Alt 4 25 Sensitifitas pengambilan keputusan pada skenario moderate 26 Profil risiko penuh pada skenario moderate sustainablity 27 Profil risiko alternatif kebijakan (middle graph) 28 Probability Tornado diagram SRD Jambi pada strong skenario 29 Tornado value diagram SRD Jambi pada strong skenario 30 Analisis security threshold SRD Jambi pada strong skenario 31 Rangking ordinal alternatif kebijakan 32 Rangking kardinal alternatif kebijakan SRD Jambi 33 Urutan preferensi dari alternatif dan kriteria kebijakan SRD Jambi 34 Struktur model IDM SRD Jambi skenario keberlanjutan kuat 35 Perbandingan nilai harapan pada strong sustainability (Alt1 vs Alt 2, Alt 3 & Alt 4) 36 Perbandiangan nilai harapan pada strong sustainability (Alt 1 vs lainnya) 37 Sensitivitas pengambilan keputusan pada skenario strong sustainability 38 Profil risiko penuh pada skenario keberlanjutan kuat (strong sustainablity) 39 Profil risiko tengah pada skenario keberlanjutan kuat 40 Tornado peluang sensitivitas alternatif kebijakan pada skenario 41 Tornado nilai sensitivitas alternatif kebijakan pada skenario 42 Security threshold alternatif kebijakan pada skenario keberlanjutan kuat 43 Ranking kardinal Alternatif Kebijakan pada tingkat kepercayaan
10 11 16 23 28 29 37 42 48 50 50 52 52 54 54 56 57 59 59 61 62 65 66 67 67 68 68 69 70 71 71 72 73 74 75 75 76 76 77 78 79 80 80
v
44 Urutan Ordinal hasil sensitivitas alternatif kebijakan pada skenario 45 Urutan preferensi dari alternatif dan kriteria kebijakan SRD 46 Model Jambi Regional sUstainable Development (JAMRUD) 47 Hubungan strategi kebijakan JAMRUD, Jambi TUNTAS, dan SDGs
81 81 85 89
DAFTAR LAMPIRAN 1 Indikator makro pembangunan berkelanjutan 2 Output Multicriteria Analysis : Tools TOPSIS 3 Output tools samisoft Model FLAG 4 Daftar singkatan
98 100 102 185
0
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses menuju ke arah perubahan yang lebih baik, dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang terdistribusi secara adil dan merata. Paradigma pembangunan saat ini diarahkan kepada tercapainya pemerataan (equity), pertumbuhan yang efisien (growth eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) yang berimbang dalam pembangunan ekonomi. Diantara ketiga aspek di atas, aspek keberlanjutan seringkali menjadi tujuan jangka panjang karena menyangkut aspek antar generasi. Sebagaimana dicetuskan oleh World Comission on Economic and Development (WCED) pada tahun 1987, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Hersh (2006) pengertian pembangunan berkelanjutan di atas menyatukan tiga faktor utama yakni : 1) Pembangunan yang memenuhi kebutuhan manusia; 2) Perlindungan dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan; 3) Pemeliharaan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sejak dideklarasikannya konsep pembangunan berkelanjutan melalui Rio Declaration pada tahun 1992, berbagai negara kemudian mengadopsi kerangka pembangunan berkelanjutan tersebut dalam agenda pembangunan jangka panjang mereka, melalui agenda pembangunan yang disepakati secara global yakni Millenium Development Goals (MDGs) yang merupakan agenda pembanguan lima belas tahun sejak tahun 2000 sampai tahun 2015. Banyak hal yang telah dicapai dalam agenda MDGs tersebut namun tidak seluruh negara mampu mencapai target MDGs tersebut termasuk Indonesia, dimana hanya sebagian dari tujuan MDGs tersebut dapat dicapai. Dari laporan yang dipublikasi oleh Bappenas terkait dengan capaian Millenieum Development di Indonesia hanya tujuan 1 (pengurangan separuh bagi porsi penduduk berpendapatan kurang dari $1 per kapita per hari), tujuan 3 (rasio APM perempuan terhadap laki-laki) dan tujuan 6 (pengendalian penyebaran dan penurunan penyakit tuberkolosis) dimana Indonesia sudah mencapai target, selebihnya merupakan progres yang signifikan dan bahkan belum tercapai khususnya yang berkaitan dengan aspek lingkungan (Bappenas 2012). Dengan berakhirnya agenda Millenium Development Goals (MDGs), maka konsep pembangunan berkelanjutan kini memasuki agenda baru dengan dideklarasikannya agenda pembangunan baru yakni Sustainable Development Goals atau SDGs melalui resolusi PBB nomor A/Res/70/1. Agenda pembangunan yang berlaku sejak 2015 sampai dengan 2030 yang akan datang ini mengedepankan faktor-faktor kritis dalam kemanusian dan planet yang dikenal dengan prinsip lima P yakni, People, Planet, Prosperity, Peace, dan Partnership. Agenda pembangunan yang menjawab aspek People merupakan upaya mengatasi kemiskinan dan kelaparan, sementara komponen Planet merupakan upaya melindungi planet bumi dari degradasi lingkungan melalui keberlanjutan konsumsi dan produksi. Di sisi lain komponen Prosperity merupakan upaya agar umat manusia menikmati kemakmuran dari kemajuan di bidang ekonomi, sosial dan teknologi, sementara komponen Peace mengupayakan agar umat manusia terlepas dari rasa ketakutan dan kekerasan.
2
Komponen Partnership merupakan upaya kerjasama global untuk mewujudkan agenda pembangunan berkelanjutan tersebut. Komponen lima P SDGs ini kemudian diterjemahkan secara rinci ke dalam 17 agenda pembangunan yang mewakili kelima aspek di atas. Agenda pembangunan baru yakni Sustainable Development Goals atau SDGs yang berlaku sejak 2015 sampai dengan 2030 yang akan datang ini jelas mengedepankan aspek keberlanjutan dari berbagai dimensi yakni ekonomi, sosial dan lingkungan. Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mencapai pembangunan berkelanjutan ini yang telah dituangkan dalam kerangka Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Indonesia (RPJPN) dimana salah satu tujuan pembangunan Indonesia adalah menuju Indonesia yang hijau dan lestari (UU 17/2007). Namun demikian tantangan menuju tujuan pembangunan berkelanjutan itu sendiri tidaklah mudah. Sebagaimana dirilis oleh laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI 2014), meski Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif, namun kerusakan lingkungan dan deplesi sumber daya alam masih cukup besar. Laporan SLHI 2014 misalnya menyebutkan bahwa degradasi lingkungan dan bencana alam menunjukkan kecenderungan yang meningkat belakangan ini. Pada tahun 2013, Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya 1.387 kejadian bencana di tahun 2013 dengan tidak kurang dari 800 jiwa meninggal. Sampai akhir Februari 2014 lalu sudah terjadi 372 kejadian bencana dengan 40 diantaranya merupakan bencana banjir. Dari laporan yang dirilis oleh Leitman et al. 2009 dalam Fauzi (2014) degradasi lingkungan dan kerusakan sumber daya alam Indonesia telah dan akan menggerus pendapatan nasional Indonesia antara 0.2% sampai 7% terhadap PDB. Dari beberapa catatan di atas nampak bahwa mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan pada tingkat nasional masih banyak menemui tantangan dan hambatan. Namun demikian komitmen ini tetap menjadi agenda nasional dan bahkan kini telah menjadi agenda pembangunan di daerah. Sebagaimana telah disebutkan di atas menerapkan kaidah pembangunan berkelanjutan adalah suatu keniscayaan dalam rangka mencapai pembangunan yang berkeadilan. Dalam konteks pembangunan wilayah, kaidah keberlanjutan selain penting dalam mencapai pembangunan daerah yang berkelanjutan juga telah menjadi komitmen pemerintah pusat maupun daerah. Sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 54 tahun 2010 tentang tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah, maka baik rencana pembangunan daerah jangka panjang maupun jangka menengah harus diarahkan untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur tanpa harus menimbulkan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan dalam mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia, dengan cara menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam yang menopangnya (Permendagri 54/2010 pasal 5 ayat 9). Dari konteks regulasi ini jelas bahwa pembangunan daerah bukan hanya harus sejalan dengan rencana pembangunan nasional namun juga tetap harus mengedepankan aspek keberlanjutan dengan berusaha mengurangi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari pembangunan daerah. Dengan demikian pembangunan daerah baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka menengah tetap harus mengedepankan aspek keberlanjutan. Dari aspek teoritis, konsep pembangunan berkelanjutan yang selama ini hanya menjadi isu global dan nasional, sebenarnya telah lama pula menjadi perhatian
3
pembangunan daerah dengan konsep yang disebut Sustainable Regional Development atau SRD (Giaoutzi dan Nijkamp 1993, Clement et al. 2003, Patterson dan Theobold 1995, Nijkamp dan Vreeker 2000). Penggerakan menuju SRD ini berdasarkan pertimbangan bahwa daerah atau wilayah memiliki demarkasi yang jelas dan kompetensi administrasi yang lebih terkelola, sehingga implementasi pembangunan berkelanjutan bisa lebih oprasional (Nijkamp 1999). SRD adalah konsep yang mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam praktek-praktek pembangunan dan perencanaan di daerah (Clement et al. 2003). Integrasi konsep pembanguanan berkelanjutan ke dalam pembangunan wiayah dan daerah ini sangat penting secara keseluruhan. Schleicher-Tappeser et al. (1999) menyatakan bahwa pembangunan daerah atau pembangunan wilayah bukanlah konsep tunggal, karena meski pembangunan wilayah sering bergerak pada dimensi spasial namun memerlukan assessment kualitatif dan kuantitatif yang dapat diisi dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian Sustainable Regional Development atau SRD pada hakekatnya merupakan konsep dan perangkat integratif (Haughton dan Councel 2004). Namun demikian salah satu tantangan dalam implementasi SRD adalah kompleksitas pengukuran pembangunan berkelanjutan yang bersifat multi dimensi dan multi atribut (Fauzi dan Oxtavianus 2014, Lancker dan Nijkamp 2000, Nijkamp 1999, Patterson dan Theobold 1995, Smelev dan Rodriquez-Labajos 2009). Meskipun berbagai penelitian terkait SRD telah banyak dilakukan, kompleksitas assessment keberlanjutan di daerah masih menjadi tantangan tersendiri karena tingkat heterogenitas dan kompleksitas indikator yang harus diukur (Fauzi dan Oxtavianus 2014, Lacker dan Nijkamp 2010, Nijkamp 2009, Patterson dan Theobald 1995, Smelev dan Rodriguez-Labajos 2009). Masalah seperti ini dihadapi oleh hampir semua provinsi di Indonesia. Setiap daerah mengahadapi berbagai pilihan kebijakan antara pertumbuhan ekonomi, pertimbangan sosial serta pertimbangan lingkungan. Demikian pula halnya dengan Provinsi Jambi. Sebagai salah satu provinsi yang memiliki lokasi strategis di Pulau Sumatera. Provinsi ini menghadapi trade off pambangunan wilayahnya antara tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan. Jika dilihat dari IKLH nasional pada posisi ranking yang menurun dari tahun 2009-2011, masing-masing rangking 7 untuk tahun 2009, ranking 17 untuk Tahun 2010, dan ranking 18 untuk Tahun 2011. IKLH Provinsi Jambi berfluktuatif, namun masih berada diatas rata-rata IKLH nasional. Masing-masing dengan indeks 75,04 (Tahun 2009), 62,82 (Tahun 2010), dan 64,92 (Tahun 2011). Bila mengamati kontradiksi indikator pembangunan parsial saat ini sebagaimana dijelaskan oleh Fauzi dan Oxtavianus 2014 (Lampiran 1), IPM Provinsi Jambi berada pada rangking 22 untuk skala nasional. Pada kasus ini, pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jambi baik, kualitas lingkungan masih relatif baik, dan kondisi sosial masih rendah. Jika dilihat dari tiga ndikator utama yang mewakili indikator ekonomi sosial dan lingkungan yakni laju pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Jambi terhadap rata-rata nasonal, maka posisi Jambi sebenarnya tidak terlalu buruk terhadap nasional. Sebagaimana terlihat pada Lampiran 2, rata-rata pertumbuhan ekonomi Jambi selama periode 2010 sampai 2014 berada sedikit di atas nasional,
4
bahkan pada tahun 2011 laju pertumbuhan ekonomi Jambi berada 2% di atas rata-rata nasional. Demikian juga halnya jika melihat posisi IPM Jambi terhadap rataan nasional, sebagaimana terlihat pada Lampiran 3 nampak bahwa IPM Jambi selalu berada di atas rataan IPM nasioanal. Namun demikian jika dilihat dari indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) posisi Jambi memang berfluktuasi terhadap rataan nasional, namun pada tahun 2013 IKLH Jambi kembali berada di atas nasional. Namun demikian perlu dicatat bahwa IKLH ini berfluktuasi karena ada perubahan metode perhitungan terkait dengan komponen IKLH nasional. Gambaran indikator parsial di atas belum sepenuhnya menggambarkan tingkat keberlanjutan pembangunan Provinsi Jambi karena sebagaiman terlihat bahwa meski laju pertumbuhan ekonomi relatif meningkat selama periode 2010-2014 misalnya, indeks kualitas lingkungan justru cenderung menurun pada periode yang sama. Demikian juga sebaliknya ketika pertumbuhan ekonomi menurun pada periode 2011-2012, indeks kualitas lingkungan Jambi justru meningkat pada periode tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa analisis parsial seperti di atas tidak sepenuhnya menggambarkan derajat keberlanjutan pembangunan di Provinsi Jambi. Gambaran ini kemudian diperkuat oleh studi yang dilakukan oleh Fauzi dan Oxtavianus (2014). Dengan menggunakan indeks komposit yakni menggabungkan ketiga indikator ekonomi, sosial dan lingkungan di atas melalui indeks yang disebut Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB) nampak bahwa Indeks Pembangunan Berkelanjutan Jambi berfluktuatif dari 66.94 pada tahun 2009 turun menjadi 63.31 pada tahun 2010, dan sedikit naik pada tahun 2011 menjadi 64.66. Dengan kata lain Indeks Pembangunan Jambi pada dua tahun terakhir berada dibawah rata-rata nasional yakni 68.09 pada tahun 2010 dan 68.81 pada tahun 2011 (Lampiran 5). Dari uraian di atas nampak bahwa penggunaan ukuran pembangunan berkelanjutan secara parsial memiliki kekurangan dan tidak sepenuhnya menggambarkan tingkat keberlanjutan pembangunan di Provinsi Jambi. Oleh karenanya analisis pembangunan berkelanjutan yang lebih komprehensif diperlukan untuk memotret pembangunan Jambi, bukan hanya pada kondisi eksiting namun juga skenario pembangunan Jambi yang berkelanjutan di masa mendatang.
Rumusan Masalah Pembangunan berkelanjutan menyangkut aspek multi dimensi dari sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan masing-masing ukuran atau indikator yang berbeda. Sebagaimana dikemukakan oleh Poveda dan Lipsett (2011) diperlukan unifikasi kriteria, definisi, dan pengukuran untuk berhasilnya implementasi pembangunan berkelanjutan. Selama tiga dasa warsa terakhir telah banyak upaya yang dilakukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Namun demikian sebagaimana telah dikemukakan oleh Shmelev dan Labajos (2009) sifat multi dimensi dari keberlanjutan tersebut memerlukan pertimbangan yang simultan dari berbagai aspek yang mewakili ukuran-ukuran atau indikator keberlanjutan. Lebih jauh Lancker dan Nijkamp (2000) menyatakan bahwa salah satu tantangan besar di bidang analisis keberlanjutan adalah bagaimana mengembangkan kerangka analisis keberlanjutan yang mampu menawarkan uji empiris apakah suatu pembangunan bisa mencapai keberlanjutan atau tidak.
5
Kompleksitas pengukuran tersebut akan dihadapi pula oleh pengambil kebijakan pada tingkat daerah. Sebagaimana dinyatakan oleh Nijkamp dan Vreeker (2000) pembangunan daerah sering menghadapi trade off yang tidak mudah antara fokus pembangunan ekonomi serta sosial dan lingkungan. Pada tatanan daerah, karakteristik wilayah seperti ketersediaan sumber daya alam, kapasitas sumber daya manusia dan pada modal sosial sering tidak menunjang satu sama lain dalam mencapai tujuan pembangunan daerah. Dengan demikian sebagaimana disampaikan oleh Lancker dan Nijkamp (2000) diperlukan suatu penilaian indikator keberlanjutan baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang mampu membantu pengambil keputusan tentang apa yang sudah dan sedang terjadi (revealed) dan kemungkinan skenario pembangunan ke depan yang lebih berkelanjutan. Analisis indikator keberlanjutan ini juga sejatinya dapat digunakan untuk meramal (forcasting) terkait dengan hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya dari asessment yang dilakukan. Situasi tersebut diatas kini dihadapi pula oleh Provinsi Jambi. Secara ekonomi struktur perekonomian Jambi memang lebih banyak ditunjang oleh sektor primer. Sebagaiman terlihat pada Lampiran 1, sektor primer berkontribusi antara 35% sampai 46% terhadap PDRB Jambi. Sektor ini lebih mengandalkan sumber daya alam melalui ekstraksi langsung maupun tidak langsung. Meski sebagian sumber daya alam ini bersifat dapat diperbaharui namun ekstraksi yang melebihi daya dukungnya akan mengancam keberlajutan sumber daya alam tersebut dan pada akhirnya akan berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi dan dampak sosial yang ditimbulkan. Di sisi lain, Jambi juga memiliki Taman Nasional yang merupakan kawasan strategis yang berfungsi menjadi ekosistem di Jambi itu sendiri namun juga ekosistim regional sumatera dan mungkin ekosistim kawasan Asia tenggara. Kawasan taman nasional ini merupakan kawasan konservasi yang nilai ekonominya sering tidak terlihat (intangible) sehingga rentan terhadap gangguan berupa illegal loging, pembakaran lahan dan berbagai gangguan ekosistem lainnya. Dengan demikian Provinsi Jambi juga selain penting menjaga pertumbuhan ekonominya, juga memiliki mandat yang cukup berat untuk menjaga kawasan konservasinya. Selain itu, Jambi memiliki posisi strategis dalam kawasan Sumatera dan kedekatannya dengan pusat pertumbuhan lain seperti Singapore dan Malaysia. Dengan berkembangnya pasar bebas ASEAN melalui MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), maka posisi Jambi tentu akan sangat berperan penting ke depan bukan hanya dalam konteks pembangunan Provinsi Jambi itu sendiri namun juga dalam konteks pembangunan nasional. Disamping itu Jambi juga harus berkompetisi terhadap povinsi di wilayah sumatera yang relatif lebih berkembang. Dari hasil studi Kementrian keuangan tentang indeks daya saing 13 provinsi di Indoensia, nampak bahwa Indeks Daya Saing Provinsi Jambi masih berada di bawah Riau dan Bangka belitung, namun sedikit di atas Provinsi Sumatera Utara dan Bengkulu. Dengan demikian menjadi tantangan tersendiri bagi Provinsi Jambi untuk meningkatkan daya saing secara ekonomi namun juga memiliki wilayah konservasi yang cukup luas di antara provinsi lain di wilayah Sumatera. Selain permasalahan diatas, masalah ekonomi dan lingkungan juga tidak sekedar yang tercatat dalam laporan Bappeda Jambi semata. Dari berbagai publikasi media, ada permasalahan-permasalahan sosial ekonomi dan lingkungan lain yang menyebabkan pembangunan di Jambi belum dikatakan mencapai keberlajutan.
6
Pertama yang menyangkut alih fungsi lahan. Dari sebuah situs lingkugan hidup , diketahui bahwa pengelolaan lingkungan di Provinsi Jambi masih dikalahkan oleh ekstraksi sumber daya alam khususnya yang berkaitan alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit. Masalah yang cukup dominan di bidang lingkungan misalnya terkait dengan pembalakan liar, kebakaran hutan, konflik manusia dengan satwa, hingga terganggunya hak-hak penduduk asli. Masalah ini terus berlanjut sepanjang tahun, bahkan sebagaimana diberitakan oleh harian Kompas2 pada tanggal 2 April 2016 lalu, pembukaan jalan yang menembus taman nasional dikhawatirkan akan menambah permasalahan lingkungan dengan makin terancamnya keaneka ragaman hayati serta fungsi hutan lindung sebagai penyangga ekosistim, ekonomi, dan lingkungan. Salah satu penyebab konlfik ekonomi dan lingkungan di Provinsi Jambi adalah terjadinya kesenjangan kepemilikan atau penguasaan lahan antara korporasi dengan masyarakat. Sebagaiamana disebutkan oleh LSM KKI Warsi di Jambi, pengusaaan lahan di Provinsi Jambi oleh HTI sudah mencapai 687.234 hektar dan HPH 72.095 hektar. HGU Untuk perkebunan kepala sawit mencapai 171.08,421 hektar. Sedangkan untuk pengakuan hak kelola masyarakat melalui skema hutan desa yang sudah disahkan menteri baru 54 ribu hektar. Kesenjangan ini yang kemudian memicu konflik lingkungan di Jambi selain dari berbagai aspek yang diantaranya seperti disebutkan di atas. Pembalakan liar misalnya, data yang tercatata sampai tahun 2012 mencapai 38 kasus dengan perkiraan kerugian mencapai Rp 12,1 milyar. Demikian juga halnya dengan kebakaran hutan dan lahan yang telah mencapai 2282 hotspot dengan luas kebakaran mencapai 1300 kawasan. Kebakaran hutan ini bukan saja merugikan ekosistim hutan itu sendiri namun juga menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial yang berdampak lebih luas. Kualitas udara yang buruk menyebabkan meningkatnya penderita ISPA hingga mencapai 1.685.126 kasus. Demikian juga kerugian ekonomi yang diderita akibat asap ini melebar ke sektor penerbangan dan kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan terjadinya shock pada laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi pada tahun 2015. Walaupun selama kurun waktu empat tahun terakhir (2011-2014), laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi berada rata-rata diatas 7%, dan mencapai puncaknya pada tahun 2011 lalu yakni 8.54%. Namun apa yang terjadi di tahun 2015, diluar dugaan capaian pertumbuhan ekonomi Jambi yang ditargetkan dalam RPJM 2010-2015 sebesar 8% hanya tercapai sebesar 4.21%. Hal ini diduga terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan nasional . Selain itu kemarau panjang dan bencana asap yang masif di tahun 2015 lalu diduga berpengaruh dalam memperlambat perputaran ekonomi di Provinsi Jambi. Kejadian ini menunjukkan bahwa perencanaan juga tidak luput dari risiko dan ketidakpastian (Erlinda, 2016b)3. Akibat dari permasalahan diatas, pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk menangani masalah gangguan terhadap lingkungan. Pada Tahun 2012 diperkirakan Pemda Jambi mengeluarkan lebih dari Rp 3 milyar untuk penebaran benih hujan. Dana ini merupakan biaya korbanan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif lainnya. Permasalah lingkungan lain juga 1
1
www.mongabay.co.id Arief Tongkagie, Harian Kompas 2 April 2016 3 Harian Jambi Ekspres 15 Maret 2016 2
7
muncul dengan meningkatnya bencana banjir dan longsor yang sampai tahun 2012 tercatat 23 kasus banjir dan 9 kasus losngsor. Sementara konflik manusia dengan satwa mencapai lebih dari 20 kasus (KK Warsi, 2012). Dari uraian di atas, nampak bahwa perencanaan yang mengedepankan aspek ekonomi semata dengan tidak memperhatikan aspek keberlanjutan akan menimbulkan ongkos pembangunan yang cukup mahal bagi Provinsi Jambi itu sendiri, yakni berupa ongkos sosial dan lingkungan yang harus dibayar dari uang pajak. Kesemuanya ini merupakan eksternalitas negatif dari perencanaan pembangunan yang terlalu mengedepankan aspek ekonomi. Pada kerangka pembangunan Jangka Menengah 2010-2015, Provinsi Jambi telah menggulirkan Slogan Pembangunan “JAMBI EMAS” (Ekonomi Maju Masyarakat Adil dan Sejahtera), namun demikian sampai berakhirnya agenda pembangunan tersebut, target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% sulit dicapai. Demikian juga dengan indikator sosial seperti tingkat kemiskinan yang masih relatif besar (7,92%) dan indeks kualitas lingkungan yang tidak tercapai sesuai dengan target yang diinginkan. Program JAMBI EMAS sendiri telah berakhir pada tahun 2015 dan agenda pembangunan baru untuk lima tahun ke depan terbingkai dalam visi Jambi TUNTAS. Agenda pembangunan baru ini selain harus lebih realistis harus pula mengacu pada kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan terutama adopsi konsep SRD ke dalam pembangunan Jambi di masa mendatang. Selain itu kepentingan pembangunan lima tahun ke depan juga harus didasarkan pada kepentingan stake holder dan indikator pembangunan berkelanjutan yang lebih komprehensif. Berdasarkan kerangka pikir tersebut maka analisis tentang pembangunan di Provinsi Jambi dilakukan. Selain itu meskipun analisis keberlanjutan yang menggunakan indeks komposit seperti yang telah dilakukan oleh Fauzi dan Oxtavianus (2014), indeks komposit ini baru menggambarkan tiga indikator utama pilar pembangunan berkelanjutan yakni pertumbuhan ekonomi, IPM dan IKLH. Dengan demikian diperlukan pengukuran pembangunan yang lebih komprehensif dengan menggunakan indikator pembangunan yang lebih luas. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jambi telah dicanangkan beberapa indikator yang ingin dicapai dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan serta tata kelola pemerintahan. Indikator-indikator ini perlu di analisis sejauh mana dapat dicapai dan apakah pencapaiannya (aktual) sesuai dengan apa yang direncanakan atau tidak. Penelitian semacam ini belum pernah dilakukan baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat regional dan khususnya untuk Provinsi Jambi sendiri. Disertasi ini mencoba menjawab permasalah di atas dengan terlebih dahulu menguji tingkat keberlanjutan dan menawarakan opsi-opsi kebijakan baru yang lebih berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan selain untuk mengetahui tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah di Provinsi Jambi dengan mengunakan indikator dari pembangunan berkelanjutan juga diharapkan dapat membantu pengambil keputusan di tingkat provinsi untuk mengembangkan skenario kebijakan pembangunan yang lebih berkelanjutan di masa mendatang. Berdasarkan uraian diatas, dilakukan penelitian dengan judul “PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN DI PROVINSI JAMBI DAN IMPLIKASI MODEL JAMRUD”. Selanjutnya dapat diidentifikasi permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini, dengan rumusan permasalahan :
8
1. Bagaimana tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah di Provinsi Jambi ditinjau dari Sustainable Regional Development (SRD) framework? 2. Bagaimana skenario pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi dengan mempertimbangkan aspek risiko dan ketidakpastian? 3. Bagaimana model dan implikasi kebijakan SRD di Provinsi Jambi bagi pembangunan di masa yang mendatang? Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah melakukan assessment pembangunan di Provinsi Jambi dalam kerangka pembangunan daerah berkelanjutan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan : 1. Mengevaluasi tingkat keberlanjutan pembangunan di Provinsi Jambi melalui Sustainable Regional Development (SRD) framework. 2. Mengembangkan model skenario pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi dengan mempertimbangkan aspek risiko dan ketidakpastian. 3. Memberikan rekomendasi model dan implikasi kebijakan SRD di Provinsi Jambi bagi pembangunan di masa yang mendatang. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam menentukan arah dan prioritas kebijakan ekonomi regional dalam Sustainable Regional Development (SRD) framework. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran kepada : 1. Ilmu Pengetahuan Sebagai referensi dalam melakukan assessment pembangunan wilayah berkelanjutan dengan pendekatan Model FLAG, khususnya tentang opsi kebijakan dalam implementasi Sustainable Regional Development (SRD) framework. Disamping itu juga perlunya mempertimbangkan risiko dan ketidakpastian dalam perencanaan dan existing pembangunan wilayah berkelanjutan dengan pendekatan Imprecise Dicition Modeling (IDM). 2. Praktisi Sebagai pertimbangan dalam menentukan prioritas aksi untuk memasukkan biaya kerusakan lingkungan dalam neraca ekonomi regional. 3. Stakeholders Sebagai sumber informasi dalam memilih kebijakan untuk pembangunan yang lebih berkelanjutan dimasa yang akan datang.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan di level regional Provinsi Jambi sebagai unit analisis. Cakupan aspek indikator yang diukur dibatasi pada indikator-indikator ekonomi, sosial dan lingkungan yang telah dicanangkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jambi selama periode llima tahun (2010-2015).
9
2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan sudah dikenalkan sejak abad 18 ketika Thomas Robert Malthus pada tahun 1798 mengajukan hipotesis antara pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan. Konsep ini kemudian mengemuka dengan terbitnya buku “The Limit to Growth” pada tahun 1972 (Meadows et al. 1972), kemudian mendorong perhatian lebih serius tentang adanya “batas dari pertumbuhan”. Respon terhadap Limit to Growth ini kemudian melahirkan teori pertumbuhan baru yang mengakomodasi keterbatasan sumber daya alam dan dampaknya terhadap lingkungan (Dasgupta dan Heal 1974). Pada saat yang sama terbit pula artikel tentang pertumbuhan dan keterbatasan sumber daya alam tidak punah beserta ekstraksi optimalnya (Stiglitz 1974). Paper Stiglitz ini kemudian disusul pula oleh paper “Intergenerational Equitty and Exhaustible Resources” (Solow 1974). Ketiga paper tersebut membentuk fondasi awal tentang keberlanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan telah menjadi agenda pembangunan global sejak dideklarasikan oleh Brundlandt Commision atau dikenal dengan dokumen Our Common Future yang diterbitkan pada tahun 1987. Defisini pembangunan berkelanjutan dalam dokumen ini diartikan sebagai “ development that meets the need of the present generation without compromising the ability of future generation to meets their own needs” (pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang). Dalam konteks ini pembangunan berkelanjutan memiliki dua dimensi yakni dimensi needs atau kebutuhan dan keterbatasan yang dihadapi baik secara teknologi maupun lingkungan. Kates et al. (2005) menjelaskan bahwa meski definisi Our Common Future tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan pembangunan dan keterbatasan lingkungan namun dalam dokumen diperjelas bahwa kebutuhan manusia adalah hal yang mendasar dan konsep pembangunan berkelanjutan berimplikasi adanya batasan (bukan batasan mutlak) namun batasan yang dihadapi berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial dan sumber daya alam dan lingkungan. Menurut Amekudzi et al. (2015) memenuhi mandat pembangunan berkelanjutan bukan hanya melibatkan sumber daya manusia namun juga sumber daya atau modal lainnya termasuk didalamnya modal lingkungan, modal ekonomi, teknologi, politik dan modal sosial. Dengan demikian dalam konteks kapital atau modal, pembangunan berkelanjutan dapat pula diartikan sebagai pembangunan sumber daya manusia dan modal lainnya termasuk kapasitas modal tersebut dalam menunjang pembangunan dengan dibatasi daya dukung yang ada. Amekudzi et al. (2015) kemudian menjelaskan pula bahwa pembangunan berkelanjutan dapat pula diartikan sebagai “seperangkat kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial dimana seluruh masyarakat memiliki kapasitas dan kesempatan untuk memelihara, memperbaiki kualitas hidupnya tanpa merusak (degradasi) kualitas sumber daya alam dan lingkungan”. Dengan demikian menurut Amekudzi et al. (2015) konsep pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan aspek kualitas dan kuantitas dari kehidupan manusia atau kesejahteraan manusia. Kates et al. (2005 ) lebih lanjut menjelaskan bahwa operasionalisasi konsep pembangunan berkelanjutan memerlukan berbagai jawaban atas pertanyaan apa yang
10
harus diberlanjutkan, untuk berapa lama dan apa yang harus dikembangkan. Dalam konteks ini yang harus diberlanjutkan bisa saja menyangkut sumber daya alam seperti ekosistim, keaneka ragaman hayati, masyarakat dan juga jasa pendukung kehidupan, sementara yang harus dikembangkan atau dibangun terkait dengan manusia, ekonomi dan masyarakat. Secara lebih rinci pertanyaan tersebut terlihat dalam Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1 Definisi pembangunan berkelanjutan Sebagaimana terlihat pada Gambar 1, dua pertanyaan pembangunan berkelanjutan menyangkut “apa yang harus diberlanjutkan?” (what is to be sustained) dan “apa yang akan dibangun” (what is to be developed). Keduanya kemudian dihubungkan dengan pertanyaan menyangkut dimensi waktu yang dihubungkan melalui kaidah “hanya”, “kemungkinan besar”, “tetapi”, “dan” dan “atau”. Jadi misalnya yang akan diberlanjutkan adalah keanekaragaman hayati apakah “hanya” melalui pembangunan ekonomi atau “kemungkinan besar” melalui pembangunan ekonomi dan sebagainya. Di sebelah kiri Gambar 1 menggambarkan komponen yang menjadi konsen untuk berkelanjutan yakni alam (nature), penunjang kehidupan (life support) seperti jasa lingkungan, sumber daya dan lingkungan, atau komunitas yang terdiri dari budaya kelompok dan tempat. Di sebelah kanan adalah aktifitas yang bisa dikebangkan seperti masyarakat melalui pendidikan atau kesehatan, kegiatan ekonomi seperti melalui konsumsi dan produksi atau masyarakat melalui kelembagaan, modal sosial , negara atau wilayah. Dengan demikian kerangka Kates et al. (2005) tersebut menyangkut aspek yang lebih luas dimana peran ekonomi dan wilayah cukup penting dalam menjalankan mandat pembangunan berkelanjutan.
11
Sejak dideklarasikan melalui WCED tahun 1987, konsep pembangunan berkelanjutan terus berkembang melalui implementasi agenda pembangunan global seperti Millenium Development Goals yang sudah berakhir tahun 2015 dan kini melalui Sustainable Development Goals atau SDGs. SDGs merupakan agenda yang telah disepakati oleh seluruh dunia melalui resolusi PBB Nomor A/Res/70/1 dimana lima pertimbangan utama yakni People, Planet, Proesperity, Peace dan Partnership menjadi pertimbangan utama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Kelima aspek di atas kemudian diterjemahkan ke dalam 17 tujuan atau Goals yang dikenal dengan penomoran dan ikon SDGs sebagaimana tertera pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2 Tujuan SDGs
Pertumbuhan Inklusif Konsep pembangunan berkelanjutan telah banyak berrkembang dengan berkembangnya konsep-konsep turunan. Salah satu konsep turunan ini adalah Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif atau sering dikenal dengan inclusive growth. Inklusif diartikan sebagai pertumbuhan yang bersifat inklusif yakni melibatkan peran masyarakat yang lebih luas dan harus bersifat broad based sector (sektor yang lebih luas) (Ianchovichina dan Lundstrom 2009). Pertumbuhan inklusif menjembatani antara variabel makro pertumbuhan dan variabel mikro petumbuhan. Konsep pertumbuhan inklusif menekankan pada aspek kesetaraan (equity), kesempatan kerja yang sama serta pada pasar dan tenaga kerja pada proses transisinya. Ianchovichina dan Lundstrum (2009) lebih jauh menjelaskan bahwa pertumbuhan inklusif juga fokus pada kecepatan (pace) dan pola dari pertumbuhan. Dengan kata lain pertumbuhan inklusif tidak hanya melihat besaran angka pertumbuhannya, namun lebih penting bagaimana pertumbuhan tersebut dibangkitkan. Oleh karenanya perrtumbuhsn inklusif harus disesuaikan dengan kondisi daerah dan kendala yang dihadapinya.
12
Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembanguan berkelanjutan selain mengandung kebutuhan dan keterbatasan juga mencakup tujuan (goals) dan value atau nilai (Kates et al. 2005). Untuk mencapai kedua hal tersebut yang menjadi tantangan adalah terkait dengan pengukuran. Kates et al. (2005) mengatakan bahwa meski konsep pembangunan berkelanjutan sering bersifat ambigu namun yang paling serius adalah mendefiniskan dan mengukur indikator pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Saat ini secara global ada berbagai pendekatan yang digunakan untuk mengukur pembangunan berkelanjutan tersebut diantaranya adalah Wellbeing Index, Environmental Sustainability Index, Ecological Footprint. Di sisi lain ada juga ukuran yang dikaitkan dengan indikator-indikator makro ekonomi seperti Genuine Progress Indikator, Genuine Saving dan berbagai indikator makro lainnya. Pengukuran indikator ini juga sering dikaitkan dengan tujuan pembangunan jangka menengah dan jangka panjang. Misalnya saja Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB terkait jangka waktu 15 tahun dan pengganti MDGs yang sudah berakhir tahun 2015 ini dengan konsep yang disebut Sustainable Development Goals atau SDGs yang merupakan agenda pembangunan sampai tahun 2030 mendatang. Menurut Amekudzi et al. (2015) banyaknya keragaman dalam mengukur pembangunan berkelanjutan tersebut karena setiap pendekatan mungkin lebih sesuai digunakan untuk tujuan tertentu dengan demikian tidak ada pendekatan yang sesuai untuk semua aspek. Namun demikian setiap pendekatan pengukuran pembangunan berkelanjutan yang efektif selayaknya memenuhi beberapa kaidah dari kaidah-kaidah berikut ini: 1. Memenuhi definisi keberlanjutan yang jelas dengan tujuan yang terukur. 2. Bersifat interdisiplin (ekonomi, sosial, lingkungan, dlsb). 3. Kemampuan membahas aspek jangka panjang atau konsern antar generasi. 4. Kemampuan untuk mengelola ketidakpastian. 5. Kemampuan untuk membahas interaksi lokal-global. 6. Kemampuan untuk mengakomodasi partisipasi stakeholder (pemangku kepentingan). 7. Kemampuan untuk mengadopsi baik process-based atau outome-based atau aspek statik dan aspek dinamik dari pembangunan berkelanjutan. Idealnya memang seluruh kaidah tersebut di atas dapat dipenuhi, namun kendala ruang dan waktu sulit memungkinkan terpenuhinya semua kaidah di atas, sehingga memenuhi beberapa kaidah dari tujuh kaidah di atas sudah mencukupi untuk mengukur pembangunan berkelanjutan.
Kebijakan Pembangunan Ekonomi Regional Kebijakan ekonomi secara umum bertujuan untuk mendapatkan sumber-sumber daya pembangunan, meningkatkan produktivitas nasional, dan memperbaiki taraf hidup individu dan sosial. Kerangka kebijakan makro ekonomi hendaknya berorientasi kepada perbaikan (transformasi) struktur ekonomi. Perlu disusun grand design dengan pilihan-pilihan kebijakan yang mendukung kaitan antar sektor jasa dan industri secara kontinyu, tetapi juga menciptakan multiplier effect dan
13
keterkaitan ekonomi antar sektor (Nugraha dan Dahuri 2012). Menurut Firdaus (2013), bahwa kerangka pembangunan wilayah merupakan proses pembangunan yang dapat mengidentifikasi berbagai faktor dalam meningkatkan kapasitas lokal. Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dan sektor non-basis. Sektor basis, dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan menyebabkan tersedianya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Intinya industri sektor basis akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar diluar wilayah. Sektor non-basis, adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang (Rustiadi et al. 2011). Lebih lanjut Rustiadi menjelaskan bahwa, kemampuan memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau negara tergantung dari daya saing sektor-sektor ekonomi wilayah dimaksud. Kemudian, nilai strategis setiap sektor menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda.
Pembangunan Regional Berkelanjutan Sebagaimana telah disebutkan di atas pembangunan berkelanjutan dan pembangunan regional yang bertumpu pada aspek kewilayahan dan aspek ekonomi harus dipadukan menjadi pembangunan wilayah yang berkelanjutan. Integrasi kedua konsep ini menghasilkan konsep pembangunan yang disebut sebagai Sustainable Regional Development atau SRD. Menurut Clement et al. (2003) konsep SRD mengacu pada penggabungan (integrasi) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam pembangunan wilayah. Dengan demikian menurut Clement et al. (2003) SRD melibatkan kegiatan dan instrumen yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan ke dalam inisiatif pembangunan wilayah. Fokus pembangunan berkelanjutan pada level wilayah ini didasarkan pada pentingnya peran wilayah sebagai perantara antara kepentingan nasional dan lokal dan berkembangnya konsensus bahwa keberlanjutan merupakan komponen esensial dari pembangunan wilayah di masa mendatang. Pentingnya perhatian terkait dengan pembangunan berkelanjutan juga didasarkan pada pemikiran bahwa pembangunan wilayah memberikan kontribusi yang cukup besar pada pembangunan nasional. Bahkan pembangunan nasional merupakan resultant atau agregasi dari pembangunan wilayah. Namun demikian pembangunan wilayah tidak semerta-merta kemudian harus dipicu pada aspek ekonomi semata tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan. Dengan demikian harapan pada pembangunan wilayah yang berkelanjutan juga menjadi penting dalam konteks pembangunan nasional secara keseluruhan (Hiding-Reydevik et al. 2004).
Pengukuran Keragaan Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu, salah satu tantangan terberat dalam mengukur pembangunan berkelanjutan atau pembangunan wilayah yang berkelajutan (SRD) adalah mengukur keragaan pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Ada beberapa metode yang digunakan sebagaimana telah dikemukakan di atas seperti pengukuran indikator biofisik (ecological footprint), pendekatan makro
14
ekonomi, pengguaan indeks komposit, dan penggunaan Dashboard Sustainability (Antunes et al. 2012). Setiap pendekatan ini tentu memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan. Namun satu hal yang penting adalah pengukuran tersebut didasarkan pada indikator-indikator yang relevan dengan konteks pembangunan wilayah. Untuk mengakomodasi kompleksitas pengukuran dan beragamnya indikator yang digunakan, maka pendekatan Multi Criteria Analasis (MCA) atau Multi Criteria Decision Making (MCDM) sering digunakan sebagai metode yang relatif sederhana namun cukup komprehensif dalam mengukur aspek keberlanjutan pembangunan daerah. Pendekatan MCA misalnya sudah digunakan secara komprehensif untuk mengukur pembangunan wilayah berkelanjutan di Eropa dan negara-negar Nordik (Antunes et al. 2012). Demikian juga dalam konteks evaluasi keberlanjutan di beberapa negara berkembang seperti Thailand dan Nepal, MCA telah digunakan sebagai instrumen untuk mengevaluasi keberlanjutan melalui pendekatan FLAG (Nijkamp dan Vreeker 2003). Di bawah ini diuraikan prinsip-prinsip pendekatan Multicriteria Analysis.
Multicriteria Analysis Multicriteria Analysis (MCA) adalah salah satu metode yang paling sering digunakan di bidang ekonomi ekologi (Huang et al. 2011). Pilihan untuk menggabungkan kriteria ekonomi, ekologis dan sosial yang cocok untuk menjawab permasalahan lingkungan interdisipliner dan kompleks. Teknik pengambilan keputusan multi-variabel berbasis non-parametrik yang melibatkan multi kriteria, maka pembobotan menjadi krusial dalam teknik MCA, selain kriteria juga melibatkan alternatif atau pilihan. MCA merupakan alat analisis kebijakan yang menyangkut berbagai aspek, khususnya untuk alaisis keberrlanjutan. Pendekatan MCA mengakomodasi berbagai kriteria yang dihadapi namun relevan dalam mengambil keputusan tanpa harus mengkonversi ke pengukuran moneter dan proses normalisasi. Sebuah fitur standar analisis multi-kriteria adalah matriks kinerja, atau matrik konsekuensi, di mana setiap baris menjelaskan pilihan dan masing-masing kolom menggambarkan kinerja dari opsi terhadap setiap kriteria. Penilaian kinerja individu secara numerik, tetapi juga mungkin dinyatakan sebagai poin-poin nilai atau kode warna (Joerin et al. 2000). Matrik kinerja dengan kriteria dan atribut, disajikan dalam matrik keputusan sebagaimana Tabel 1. Tabel 1 Matriks keputusan
15
Tahapan berikutnya dari MCA adalah menentukan preferensi atau urutan pilihan atau alternatif yang terbaik. Secara prinsip penentuan urutan ini didasarkan pada ketersediaan informasi akan kriteria atau atribut yang dinilai. Jika informasi tersebut tidak tersedia, maka penentun preferensi didasarkan oleh metode sederhana yakni teknik dominance. Teknik ini menilai secara sederhana kriteria yang dominan diantara kriteria-kriteria yang lain. Jika informasi terkait atribut tersedia, maka penentuan preferensi dilakukan dengan beberapa metode antara lain metode Weighted Sum Method (WSM), Weighted Product Method (WPM) atau metode yang lebih kompleks seperti TOPSIS (Technique of Ordering Preference Similarity Under Ideal Solution) atau ELECTRE (Gibson 2006, Shmelev dan Rodriguez-Labajos 2009, Cinelli et al. 2014). Metode WSM adalah metode yang paling sederhana dimana penentuan ranking atau preferensi merupakan penjumlahan linier antara multi atribut dan bobot dari kriteria atau secara matematik ditulis sebagai n
pi aij w j untuk i 1, 2...n i 1
(2.1)
dimana adalah nilai dan keputusan (atribut) dari pilihan atau alternatif dengan kriteria dan adalah bobot untuk setiap kriteria ke . Pendekatan MCA sederhana yang lain adalah dengan Weihgted Product Method (WPM) dimana penentuan ranking atau preferensi lebih didasarkan pada perkalian rasio antara alternatif dipangkatkan dengan bobot dari kriteria ke atau secara matematik ditulis n a Ap pj R j 1 aqj Aq
wj
(2.2)
dimana adalah alternatif p (misalnya alternatif 1) dan adalah alternatif q (misalnya alternatif 2 atau alternatif 3). Nilai dan menyatakan nilai dan matrik keputusan alternatif p dan q, sementara adalah bobot dari kriteria j. Selain kedua metode sederhana diatas, beberapa pendekatan penilaian preferensi telah banyak dikembangkan. Salah satu pendekatan ini adalah TOPSIS (Technique of Ordering Preference Similarity Under Ideal Solution). TOPSIS pertama kali dikembangkan oleh Hwang dan Yoon pada tahun 1981 merupakan metode MCA dengan cara memilih jarak terdekat terhadap solusi ideal yang positif dan jarak terjauh dari solusi ideal negatif. Solusi positif ideal adalah solusi yang memaksimumkan kriteria manfaat dan meminimumkan kriteria biaya. Sementara solusi ideal negatif adalah solusi sebaliknya yakni solusi yang memaksimumkan kriteria biaya dan meminimumkan kriteria manfat (Behzdian et al. 2012). Menurut Behzadian et al. (2012), penggunaan MCA dengan TOPSIS melibatkan lima tahapan yakni : 1. Konstruksi matrik keputusan yang sudah dinormalisasikan; 2. Konstruksi pembobotan matrik keputusan ternormalisasi; 3. Menentukan solusi ideal positif dan solusi ideal negatif; 4. Menghitung pemisalan positif dan negatif serta solusi ideal; 5. Menghitung jarak kedekatan relatif terhadap solusi ideal.
16
Studi dari Behzedian et al. (2012) menunjukan aplikasi yang beragam dalam penggunaan TOPSIS dari aspek tekhnik sampai sosial dan lingkungan termasuk aplikasi pada aspek pembangunan berkelanjutan. Multi Criteria Analysis (MCA) dan sustainable development Pencapaian pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pengambilan keputusan. Keberhasilan pengambilan keputusan akan sangat tergantung pada analisis keputusan atau instrumen pengambilan keputusan. Salah satu instrumen tersebut adalah multi criteria aalysis. Sutter (2003) mengklasifikasikan MCA pada dua kategori umum: 1) Multi-Criteria Attribute Decision Making (MADM), dan 2) Multi-Objective Decision Making (MODM). MCA memiliki karakteristik yang sesuai untuk analisis keberlanjutan karena mampu menangani aspek multi dimensi, ukuran kualitatif dan kumulatif, serta informasi yang tidak sempurna (Omann 2004). Didalam multi criteria analysis untuk analisis keberlanjutan mengandung unsur-unsur yang sesual dengan konteks pembangunan berkelanjutan yakni : 1. Opsi, yakni tujuan dari pembangunan berkelanjutan. Opsi ini tidak harus feasible karena MCA kemudian akan mencari opsi yang feasible. Terminologi lain dari opsi adalah alternatif, skenario atau alasan/penggunaan; 2. Aktor, yakni pengambil keputusan yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan seperti kepala daerah, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait; 3. Analisis, yakni fihak yang berkompeten terhadap analisis keberlanjutan seperti peneliti, perguruan tinggi dan sebagainya; 3. Kriteria, yakni kaidah-kaidah keberlanjutan seperti ambang batas, toleransi dan lain sebagainya; 4. Indikator, yakni instrumen yang mensintesis aspek kualitatif dan kuantitatif, serta tujuan pembangunan berkelanjutan. Lebih lanjut Omann (2004) mengutip pendapat Munda (1995) menyatakan bahwa analisi MCA pada hakekatnya melibatkan tujuh tahapan seperti terlihat pada gambar 3 berikut ini.
Gambar 3 Tahapan MCA
17
Sebagaimana terlihat pada Gambar 3 tahapan analisis MCA untuk pembangunan berkelanjutan tidak mengukur pola linier, namun kadang mengikuti pola paralel atau kembali ke langkah sebelumnya ketika kriteria baru timbul dan harus di integrasikan. Multi Criteria Analysis dengan Imprecise Decision Modeling (IDM) Pada bagian di atas telah diuraikan beberapa tinjauan pustaka terkait dengan teknik analisis multi kriteria. Salah satu yang menjadi kendala dalam analisis MCA adalah sebagian keputusan bersifat subjektif sehingga didalamnya terkandung aspek ketidakpastian dan ketidaksempurnaan informasi. Untuk mengatasi hal tersebut di atas sebagian teknik MCA mengadopsi teknik Fuzzy atau pendekatan Bayesian yang relative lebih kompleks. Salah satu pendekatan baru yang ditawarkan oleh Danielson dan Ekenberg (1998), Danielson (2004) serta Idefedlt dan Danielson (2006) adalah dengan mengembangkan model MCA yang disebut sebagai Imprecision Decision Model atau IDM yang mampu menangani aspek ketidakpastian dan ketidaksempurnaan informasi. Menurut Danielson (2004) ketidaksempurnan informasi ini bisa timbul dari berbagai hal. Pertama adalah ketidakpastian juga tergantung dan terkait dengan variabel yang tidak terukur. Ketidakpastian yang terukur sering disebut risiko (risk) dan dapat diwakili oleh peluang yang relatif lebih pasti (precise probability). Sementara ketidakpastian yang tidak terukur terjadi diantara situasi konsekuensi tinggi relatif terhadap frekwensi kemunculan yang rendah. Kedua ketidaksempurnaan informasi juga bisa muncul karena ketidaksempurnaan menghitung peluang (imprecise probability). Ketiga, ketidaksempurnan informasi bisa muncul karena faktor ketidaksempurnan mengukur utilitas atau manfaat (imprecise utility). Misalnya seorang perencana mengambil keputusan berdasarkan ramalan (forecast), namun nilai ramalan ini juga tergantung dari kesalahan dalam peramalan (forecast error). Disisi lain, pengambilan keputusan juga sering melibatkan pengukuran utility atau manfaat yang tidak termoneterkan sehingga sering harus di proxy dalam skala interval, alasannya akan menghasilkan pengukuran utilitas yang tidak sempurna (imprecise utility). Multi Criterian Analysis dengan IDM pada prinsipnya menghitung nilai harapan dari suatu tujuan dengan mengalikannya dengan peluang kejadian atau EV ( Ai ) k 1 wk s
m j 1
PijVij
(2.3)
Dimana vij adalah nilai dari atribut ke I dari alternatif j, pij adalah peluang dari atribut i dengan alternatif j dan wk adalah bobot untuk kriteria ke k . Perhitungan peringkat atau keputusna yang terbaik dari model IDM didasarkan pada metode delta atau Delta method yang merupakan selisih dari dua nilai harapan di atas yakni
ij EV ( Ai ) EV ( Aj )
(2.4)
Model IDM kemudian menganalisis kekuatan relatif dari nilai delta di atas dengan cara mencari rataan nilai maksimum dan minimum.
18
rel ( ij ) max( ij ) min( ij ) / 2 [max( ij ) max( ji )] / 2
(2.5)
Model analisis MCA dengan IDM telah banyak diterapkan di bidang teknik dan ekonomi seperti keputusan terkait dengan investasi (Danielson et al. 2003), analysis terkait dengan keberlanjutan usaha pertambangan di Rosia Montana di Romania (Mihai et al. 2015) dan di bidang kesehatan di Uganda oleh Kivunike et al. (2015). Untuk analisis keberlanjutan di bidang ekonomi regional sampai saat ini masih sedikit atau belum ditemukan, sehingga penelitian ini mungkin bisa dianggap yang pertama yang menggunakan teknik IDM untuk analisis keberlanjutan di bidang pembangunan wilayah.
Penelitian Terdahulu Penelitian Sustainable Regional Development dan Multi Criteria Analysis Peneltian-penelitian yang terkait dengan sustainable regional development memang selama ini tidak banyak. Bahkan untuk Indonesia sampai saat ini belum banyak ditemukan. Oxtavianus (2014) meneliti pembangunan berkelanjutan di Indonesia dalam kaitannya dengan modal sosial, dengan menggunakan data provinsi di Indonesia. Oxtavianus menganalisis tingkat keberlanjutan pembangunan daerah melalui pengukuran indeks komposit untuk 33 provinsi di Indonesia. Hasil analisis Oxtavianus (2014) menggunakan beberapa indikator yang signifikan terhadap capaian keberlanjutan antara lain PDRB perkapita, angka harapan hidup, dan IKLH (Indeks Kualitas Lingkungan Hidup). Selanjutnya Fauzi dan Oxtavianus meneliti tentang pembangunan berkelanjutan pada tingkat provinsi namun dengan kerangka nasional dalam konteks indeks pembangunan berkelanjutan. Fauzi dan Oxtavianus (2014) mengembangkan indeks komposit pembangunan berkelanjutan dengan unit analisis pada tingkat provinsi. Hasil yang ditemukan adalah perbedaan yang mendasar antara menggunakan pengukuran tunggal seperti IPM dan IKLH dengan pengukuran indeks komposit. Analisis Sustinable Regional Development atau SRD memang lebih banyak dilakukan di negara-negara maju sebagaimana dikompilasi oleh Hilding-Rydevik et al. (2004) yang mengkompilasi praktik-praktik sustainable regional development di negara-negara Nordik. Hilding-Rydevik lebih melihat pembelajaran terkait dengan SRD yang dilakukan oleh negara-negara Nordik kemudian mengembangkan instrument evaluasi SRD dengan berbagai metode dimana salah satu metode yang umum digunakan adalah pendekatan Multi Criteria Analisis (MCA). Penelitian terkait dengan pembangunan wilayah yang menggunakan MCA juga pernah dilakukan oleh Shmelev dan Rodriquez-Labajos (2009) untuk kasus Austria. Penelitian menggunakan data pada tingkat makro dan data antar waktu. Shmelev dan Rodriquez-Labajos (2009) menggunakan teknik NAIADE (Novel Approach to Imprecise and Decision Environment) yang hampir setara dengan teknik IDM, dimana data yang diperoleh bersifat tidak sempurna. Shmelev dan Rodriquez-Labajos menggunakan kriteria keberlanjutan dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan melihat dari aspek weak sustainaibility dan strong sustainability. Hasil analisis menyajikan rangking keberlanjutan selama periode
19
jangka panjang (1960-2003), jangka menengah (1970-1995), dan jangka pendek (1995-2003). Penelitian lain yang terkait dengan implementasi keberlanjutan dan Multi Criteria Analysis dilakukan Omann (2004), merupakan disertasi yang bersangkutan di Universitas Graz Austria. Omann (2004) menganalisis potensi dan pengembangan model MCA untuk mengevaluasi keberlanjutan pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan khusus yang berkaitan dengan sektor transportasi di Austria. Hasil analisis lebih diarahkan pada kebijakan untuk mencapai keberlanjutan seperti jalan berbayar (car road pricing) dan mekanisme insentif lainnya. Analisis SRD kemudian berkembang secara lebih spesifik dengan instrument analisis yang lebih terfokus seperti pendekatan FLAG. Pendekanan ini telah diterapkan di beberapa negara maju dan beberapa kasus di negara berkembang seperti Thailand dan Nepal. Hermanides dan Njikamp (1997) pertama kali menganalisis SRD dengan menggunakan model FLAG untuk pembangunan daerah di Lesvos, Yunani dengan fokus sektor pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pola pertanian seperti apa yang dapat menunjang pembangunan daerah yang lebih berkelanjutan dengan melihat frekuensi kemunculan bendera hijau dan kuning. Aplikasi FLAG ini kemudian dikembagkan untuk beberapa wilayah Eropa. Van Leuwen et al. (2003) kemudian menggunakan kerangka SRD dan FLAG untuk menganalisis kualitas lingkungan hidup dan daerah hijau perkotaan di Jerman. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas hidup berkaitan dengan kebijakan green area dan berbagai instrument opsi kebijakan di lakukan untuk melihat mana yang lebih memungkinkan berkelanjutan. Lancker dan Nijkamp (2012) kemudian mengembangkan modal MCA dan FLAG untuk SRD di Nepal dengan fokus pada pengembangan sektor pertanian. Tujuan dari penelitian ini adalah mencari skenario pengembangan regional berbasis sektor pertanian yang lebih feasible secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Untuk kasus Nepal pembangunan daerah yang berkelanjutan sulit dicapai karena banyak kepentingan yang saling bertentangan satu sama lain, namun hasil FLAG dan memberikan arahan kebijakan wilayah ke depan yang lebih berkelanjutan. Nijkamp dan Vreeker (2000), menggukur keberlanjutan pembangunan daerah di Thailand dengan Model FLAG. Tulisan ini bertujuan untuk menawarkan kerangka evaluasi yang berlaku untuk menilai strategi pembangunan berkelanjutan di tingkat regional, dengan pandangan khusus pada informasi tidak pasti. Pendekatan yang digunakan oleh Nijkamp dan Vreeker (2000), yaitu penggunaan nilai ambang kritis (critical threshold values), berdasarkan sistem indikator multidimensi, yaitu model multikriteria yang sistematis. Model FLAG mampu memperhitungkan berbagai level pertimbangan yang relevan sesuai dengan nilai-nilai ambang kritis. Model ini digunakan untuk studi kasus empiris daerah Songkhla atau Hat Yai di Thailand selatan. Tiga skenario kebijakan yang dikembangkan : desentralisasi, sektoral dan promosi regional, dan perlindungan lingkungan, yang secara sistematis dievaluasi menggunakan nilai ambang kritis dan pendekatan bendera. Kesimpulannya, bahwa secara umum kebijakan desentralisasi sedikit lebih disukai daripada skenario pembangunan sektoral dan regional dan secara signifikan lebih disukai daripada skenario perlindungan lingkungan untuk wilayah yang bersangkutan.
20
Kebaharuan Penelitian Secara umum penelitian ini memiliki kebaharuan dari sisi substansi yakni mengembangkan opsi-opsi atau pilihan kebijakan pembangunan daerah khususnya di Jambi. Opsi kebijakan ini kemudian diukur tingkat keberlanjutan serta risiko yang ditimbulkan jika harus dipilih oleh pengambil kebijakan. Secara substansi penelitian ini juga memberikan arahan kebijakan pembangunan Jambi yang berkelanjutan yang selanjutnya disebut sebagai model JAMRUD (Jambi Regional sUstainable Development). Secara khusus beberapa kebaruan penelitian ini juga terkait dengan pendekatan atau metode yang digunakan yakni : 1. Menggabungkan pendekatan model FLAG, Multi-Criteria Analysis (MCA) dengan TOPSIS untuk normalisasi data FLAG, dan Imprecise Dicition Modeling (IDM) dengan mempertimbangkan risiko dan ketidakpastian dalam melakukan assesmen pembangunan berkelanjutan dengan Sustanaible Regional Development (SRD) framework. Penelitian ini pertama menggunakan pendekatan FLAG dan teknik IDM untuk analisis keberlanjutan di bidang pembangunan wilayah di Indonesia. 2. Mengisi gap metode skenario MCA dari Model FLAG, dengan memodifikasi Model Nijkamp dan Vreeker, 2000, dengan MCA skenario dan Threshold value, sehingga dapat memilih opsi kebijakan yang feasible dalam menyelaraskan tujuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kondisi sosial yang kondusif, dan kondisi keberlanjutan pembangunan wilayah akan disimbolkan sesuai dengan warna FLAG, yaitu: Hijau, kuning, merah, dan hitam. 3. Critical Threshold Value (CTV) pada penelitian ini, menggunakan benchmark yang terukur yang terdiri dari dua basis. Pertama, basis perencanaan yang bersumber dari dokumen resmi, seperti : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jambi, Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI), Peraturan Menteri (Permen) dll. Kedua, basis aktual atau eksisting capaian pembangunan bersumber dari publikasi data resmi Provinsi Jambi dan Nasional. 4. Strategi yang digunakan dalam simulasi skenario pembangunan, merupakan hasil kristalisasi Focus Group Discussion (FGD) dengan format world cafe. Metode world cafe merupakan metode terkini dan paling efektif dan efisien dalam menampung informasi, dialog, saran dan pendapat dalam membahas permasalahan yang kompleks. FGD dilakukan dengan pengaturan seperti pertemuan di kafe, setiap peserta FGD mengeluarkan pendapatnya sesuai topik yang telah ditentukan, dan dipandu oleh seorang fasilitator di setiap meja cafe. FGD world cafe ini bertujuan untuk menemukan ide baru sebagai sisi lain dan masukan dari dokumen resmi yang telah dirumuskan dalam rencana pembangunan daerah.
Kerangka Pemikiran Pembangunan wilayah Provinsi Jambi dengan indikator PDRB yang konvensional, telah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sisi lain dari keberhasilan itu, tersisa suatu tantangan untuk mengelola sumber daya alam yang lebih bijaksana, guna pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
21
Data IKLH yang menggunakan indikator spasial berupa kualitas air, kualitas udara dan tutupan lahan secara agregat, menunjukkan bahwa kualitas lingkungan di Provinsi Jambi belum mengkhawatirkan. Guna mengakomodir perhitungan secara mikro yang tidak termasuk ke dalam perhitungan spasial dilakukan analisis risiko dan ketidakpastian atas pembangunan di Provinsi Jambi, dengan indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan. Beberapa ilmuwan menyatakan, telah terjadi trade off antara tujuan pertumbuhan ekonomi (growth) dan tujuan keberlanjutan (sustainabiity) Sumber Daya Alam dan Lingkungan (SDAL). Wright (2004 dalam Fauzi 2007) diantaranya, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak mengindahkan sumber daya alam dan lingkungan menjadi pisau bermata dua. Wright, dalam bukunya yang berjudul “A Short History of Progress”, menyebutkan bahwa peradaban modern telah membawa kita kepada “progres trapp” atau jebakan kemajuan. Pengelolaan sumberdaya hutan pada konteks pertumbuhan ekonomi, dapat memberikan sumbangsih produksi hasil hutan. Namun sebaliknya juga memberikan dampak degradasi dan deforestasi hutan. Secara umum dapat dikatakan bahwa sumber daya alam dan lingkungan membangkitkan nilai ekonomi bagi manusia melalui dua mekanisme dasar, yakni mekanisme langsung dan mekanisme tidak langsung (Hanley dan Barbier 2009 dalam Fauzi 2007). Trade off dari tujuan-tujuan pembangunan antara dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan, membutuhkan sebuah konsep yang dapat memberi intervensi kebijakan publik untuk tujuan pembangunan wilayah berkelanjutan dengan Ssustainable Regional Development (SRD) framework. Sehingga Perlu dilakukan assessment keberlanjutan pembangunan wilayah di Provinsi Jambi yang telah mengakhiri RPJMD tahap II pada tahun 2015. Pada RPJMD tahap 2 dikenal jargon pembangunan “Jambi EMAS” atau Jambi Ekonomi Maju Aman Sejahtera. Pemilihan opsi kebijakan yang tidak feasible dalam ekonomi regional akan mengakibatkan SDAL tidak berkelanjutan, pada akhirnya berdampak kepada bencana ekologis. Menurut Fauzi (2014), bahwa kurangnya informasi tentang nilai yang sebenarnya dihasilkan oleh SDAL, menyebabkan terjadinya kegagalan pasar. Hal ini terjadi karena jasa yang dihasilkan oleh SDAL tidak sepenuhnya terpasarkan (unpriced). Penelitian ini, secara umum mengembangkan strategi kebijakan pembangunan wilayah yang berkelanjutan dengan terlebih dahulu mengevaluasi kebijakan pembangunan eksisting dengan agenda JAMBI EMAS serta mengembangan skenario-skenario pembangunan berkelanjutan melalui berbagai alternatif kebijakan pembangunan dengan mengacu pada indikator ekonomi, sosial dan lingkungan. Penggunan kerangka SRD dilakukan dengan mengintegrasikan indikator pembanguan berkelanjutan tersebut dengan agenda pembangunan daerah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Dearah (RPJMD). Analisis dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan. Pertama, dengan pendekatan Model FLAG (Nijkamp dan Vreeker 2000), untuk mengukur keberlajutan strategi kebijakan yang menjadi opsi kebijakan baik kebijakan eksisting maupun skenario kebijakan yang diusulkan melalui kesepakatan FGD. Hasil tahap ini akan menghasilkan diagnostic tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah dalam bentuk FLAG atau bendera yang mengindikasikan tingkat keberlanjutan skenario kebijakan pembangunan. Pada tahap kedua dilakukan normalisasi data dari metode FLAG untuk keperluan analsisi tahap ketiga Normalisasi data ini diperlukan karena
22
pada tahap FLAG indikator yang digunakan memiliki unit yang beragam sehinga untuk keperluan analisis risiko dan ketidakpastian diperlukan standarisasi unit dengan metode TOPSIS seperti telah disebutkan di atas. Pada tahap ketiga dilakukan analisis risiko dan ketidakpastian dari setiap pilihan melalui pengembangan MCA dengan teknik Imprecise Decision Modeling (IDM) yang dikembangkan oleh Danielson et al. (2003). Hasil analisis ini akan menghasilkan profil risiko dan ketidakpastian serta pilihan-pilihan kebijakan yang terbaik yang telah memertimbangkan aspek risiko dan informasi yang tidak sempurna terkait dengan pembobotan indikator dan target yang ingin dicapai. Secara rinci kerangka pemikiran penelitian ini dijelaskan pada Gambar 4 berikut ini.
23
Gambar 4 Kerangka pikir penelitian
24
Hipotesis Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini : 1. Kondisi ekonomi regional Provinsi Jambi yang bertumpu pada struktur primer, dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi dalam jangka panjang dapat berpotensi terjadi ketidakberlanjutan lingkungan. 2. Pembangunan di Provinsi Jambi dengan eksisting kebijakan Business as usual kurang mendukung pembangunan wilayah berkelanjutan. 3. Skenario kebijakan yang berbasis kepada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan sumber daya lokal memiliki risiko tidak berlanjutnya pembangunan wilayah.
25
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan April 2015 sampai dengan Oktober 2015. Lokasi penelitian yaitu Provinsi Jambi dengan cakupan data pada tingkat provinsi. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer untuk analisis multi kriteria dari pembangunan berkelanjutan pada kebijakan ekonomi regional Provinsi Jambi, sebagaimana diuraikan berikut : 1. Data sekunder Data sekunder berupa berbagai literatur dan referensi yang terkait dengan tujuan dan sasaran penelitian. Pada penelitian ini, data sekunder diperoleh dari studi pustaka, data dari BPS, data dari Departemen Kehutanan RI, Kementrian Lingkungan Hidup, Bappenas, BPS Provinsi Jambi, Bappeda Provinsi Jambi, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan LSM yang bergerak dibidang Lingkungan. 2. Data primer Data primer berupa data dan informasi yang diperoleh langsung dari informan maupun responden di lapangan. Pada penelitian ini, untuk memperoleh informasi dari responden dilakukan Focus Group Discusion (FGD) di Provinsi Jambi sebagai lokus penelitian. Peserta FGD berjumlah 42 orang, yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat, pemerintahan, perguruan tinggi, dan unsur Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), serta unsur masyarakat yang konsen dengan pembangunan di Provinsi Jambi (sebagaimana diuraikan pada metode penelitian). FGD dilaksanakan dengan menggunakan World Café. Rancangan Penelitian Mengacu dari kerangka pemikiran, dan variable-variabel yang dikembangkan dalam penelitian ini (Tabel 2), maka dilakukan beberapa tahapan kajian penelitian sebagai berikut: Kajian 1. Analisis tingkat keberlanjutan pembangunan di Provinsi Jambi dengan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan melalui pendekatan Model FLAG. Kajian 2. Analisis derajat risiko dan ketidakpastian dari opsi kebijakan pembangunan di Provinsi Jambi dengan Pendekatan TOPSIS dan IDM. Kajian 3. Mengembangkan model dan menentukan implikasi kebijakan pembangunan wilayah berkelanjutan atau SRD di Provinsi Jambi.
26
Tabel 2 Matrik penelitian Masalah
Tujuan
Bagaimana tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah di Provinsi Jambi ditinjau dari Sustainable Regional Development (SRD) framework?
Menganalisis tingkat keberlanjutan pembangunan di Provinsi Jambi.
Bagaimana skenario pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi dengan mempertimbangkan aspek risiko dan ketidakpastian? Bagaimana model dan implikasi kebijakan SRD di Provinsi Jambi bagi pembangunan di masa yang mendatang?
Menganalisis derajat risiko dan ketidakpastian dari opsi kebijakan yang dipilih.
Mengembangkan model kebijakan pembangunan wilayah berkelanjutan atau SRD di Provinsi Jambi
Metode Analisis
Output Analisis
Teknik • Derajat analisis MCA- keberlanjutan FLAG skenario (Nijkamp dan pembangunan Vreeker, dengan kode 2003) bendera hijau, kuning, merah dan hitam berdasarkan baseline perencanaan dan data aktual Pendekatan • Opsi kebijakan TOPSIS yang reliable (Mahalaksmi, setelah melalui uji 2014) dan FLAG serta uji IDM (Idelfet risiko dan dan Danielson, ketidakpastian 2006) Deskriptif
• Model dan implikasi kebijakan SRD di Provinsi Jambi
Sebagaimana telah disebutkan di atas, Focus Group Discussion penelitian ini dilakukan dengan format world cafe yang terdiri dari tiga kelompok diskusi (Café) dimana setiap kelompok diskusi membahas satu masalah khusus yang dibahas secara bergantian dengan tiga kelompok yang berbeda. FGD dengan format world cafe menjadi pilihan, karena metode world cafe merupakan metode terkini dan paling efektif dan efisien dalam menampung informasi, dialog, saran dan pendapat dalam membahas permasalahan yang kompleks. Teknik world cafe mengandalkan dialog yang kolaboratif serta pentingnya peran aktif peserta. Selain itu world cafe juga merupakan teknik yang fleksibel dan adaptif, sehingga dapat digunakan dalam berbagai konteks FGD (The World Café Community Foundation, 2015). Tujuan dari format ini untuk memperoleh keragaman variasi jawaban dan pandangan tentang pembangunan di Jambi sekaligus untuk menghindari bias jika dilakukan hanya satu kelompok untuk satu topik diskusi saja. Peserta FGD berjumlah 42 orang, yang terdiri dari berbagai elemen masayarakat dan pemerintahan yakni dari pemerintah provinsi antara lain : Bappeda, Badan Lingkungan Hidup Daerah, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas ESDM, Dinas Sosial, unsur perguruan tinggi dari Universitas
27
Jambi dan Universitas Batanghari, unsur Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), dan unsur masyarakat yang konsern dengan pembangunan di Provinsi Jambi. Diskusi dilakukan secara bergantian dengan durasi antara 30–45 menit untuk setiap meja. Setiap meja dipimpin oleh seorang fasilitator yang telah dibekali terlebih dahulu tentang topik yang akan di bahas dan dibantu oleh seorang notulen yang mencatat jalannya diskusi. Pada akhir diskusi fasilitator akan menyampaikan konsensus atau kesepakan dari hasil diskusi dengan dipilihnya opis-opsi kebijakan yang kemudian akan menjadi pilihan yang disepakati dan digunakan dalam analisis data. Secara lebih rinci format FGD tersebut disajikan pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Deskripsi world cafe pembangunan wilayah Provinsi Jambi Fokus Pertanyaan Cafe 1 Skenario Pembangunan Apa yang ingin di capai di Jambi?
Format Tun over setiap 30 menit pada setiap cafe
Peserta Output Pemerintah, Kesepakatan LSM, skenario Universitas, pembangunan Swasta, dan Indikator Dan masyarakat (Gambar 5)
Cafe 2 Indikator-indikator Pembangunan apa yang relevan untuk Jambi?
Pembahasan topik dipimpin oleh seorang fasilitator
Setiap peserta Kesepakatan bergerak dan merupakan memilih topik hasil tiga kali di cafe secara turn over random pada setiap turn over
Cafe 3 Ukuran-ukuran apa yang sesuai bagi indikator keberlanjutan di Jambi? Bagaimana menentukan Threshold value?
Pada akhir turn over dilakukan diskusi untuk menghasilkan indikator yang disepakati
Dari FGD ini diperoleh empat alternatif kebijakan yakni : 1) Business as usual (BAU); 2) Peningkatan Daya Saing (PDS); 3) Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL); dan 4) Ekonomi Non-Ekstraktif (ENE). Empat alternatif kebijakan pembangunan ini diolah dengan menerapkan 13 indikator yang berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Data untuk indikator ini diperoleh dari RPJMD Provinsi Jambi dan data capaian aktual sampai tahun 2015 (BPS Provinsi Jambi 2014, Bappeda Provinsi Jambi 2004, Bappenas 2014, Bappeda Provinsi Jambi 2013, KLH 2014). Gambar 5 menjelaskan alternatif dan kriteria yang digunakan dalam penelitian ini.
28
Gambar 5 Struktur model penelitian
Metode Analisis Data Analisis FLAG Tahap awal penelitian ini dilakukan analisis ekonomi regional Provinsi Jambi dengan indikator pembangunan berkelanjutan, berdasarkan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Peneliti-peneliti terdahulu telah melakukan beberapa cara dalam mengukur keberlanjutan pembangunan suatu wilayah. Poveda dan Lipsett (2011) menyajikan secara komprehensif pendekatan analisis keberlanjutan baik pada tatanan makro maupun regional. Shmelev dan Labajos (2009) misalnya menggunakan pendekatan multicriteria analysis untuk pengukuran keberlanjutan pada tatanan makro di Austria. Dalam konteks Indonesia Fauzi dan Oxtavianus (2014) mengembangkan pengukuran Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB) untuk mengukur keberlanjutan pembangunan di Indonesia. Pada konteks pembangunan wilayah adalah Nijkamp dan Ouwersloot (1996) yang merintis pendekatan pembangunan berkelanjutan untuk pembangunan wilayah. Pendekatan yang digunakan berdasarkan dengan mengindikasikan nilai batas kritis (critical threshold value), yang disebut Model FLAG. Model FLAG dapat mendiagnosa skenario dan alternatif, misalnya melakukan tiga dimensi identifikasi seperti ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tiga langkah utama yang dapat diidentifikasi dalam analisis FLAG adalah : 1. Identifikasi opsi kebijakan dan indikator keberlanjutan; 2. Indikator pembangunan disertai nilai-nilai ambang batas; 3. Melakukan analisis keberlanjutan skenario. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada metode Nijkamp et al (1991), Nijkamp dan Ouwersloot (1996), Hernandes dan Nijkmap (1998), Nijkmap (1999), Nijkamp dan Vreeker (2000), Lancker dan Nijkamp (2000), Leeuwen et al (2003), Vreeker dan Rodenburg (2003). Model FLAG menggunakan indikator keberlanjutan yang disajikan dalam pita dengan label hijau, kuning, merah dan hitam dengan batas dari label warna tersebut ditentukan oleh nilai kritis atau crtitical threshold value minimum dan maksimum (Gambar 6).
29
Gambar 6 CTVs Model FLAG (Nijkamp dan Vreeker 2000) Pada pita hijau, keberlanjutan dapat di katakan tidak memiliki kekhawatiran khusus, sementara pita kuning menunjukkan tingkat waspada (peringatan). Pita merah mengindikasikan diperlukannya peninjauan kembali (reverse trend), sementara pita hitam mengindikasikan diperlukannya penghentian (stop). Model FLAG pada prinsipnya adalah metode multi criteria dengan menggunakan algoritma, maksimisasi dengan kendala, atau secara matematik ditulis sebagai :
Max w ( x1 , x2 , x2 ,...xn)
(3.1)
dengan
x1 K1 , x2 K2 , x3 K3 ...xn K n
(3.2)
dalam konteks model FLAG nilai K1 sampai Kn diwakili oleh nilai kritis (CTV), sehingga persamaan kendala menjadi:
x1 CTV1 , x2 CTV2 ...xn CTVn
(3.3)
oleh karena model FLAG adalah model multi-criteria, maka secara rinci model tersebut dapat di wakili oleh persamaan berikut : x1 a1 a2 a1n x1 1 x max x2 (3.4) 2 2 x3 an1 ann x3 n dimana Vektor kolom ... mewakili konstanta atau Critical Threshold Value (CTV). Pemenuhan skor keberlanjutan kemudian didasarkan Critical Threshold Value (CTV) dimana S x CTV x / CTVmin – CTV untuk x CTV (3.5)
S x
x
– CTV / CTVmax – CTV untuk x CTV (3.6)
Data dan nilai CTV yang digunakan untuk penelitian ini didasarkan pada data sekunder dengan mengacu pada dua baseline yakni data basis perencanaan daerah dan data dari hasil capaian pembangunan sampai tahun 2013. Analisis ini kemudian dikembangkan dengan mengacu pada tiga skenario keberlanjutan sebagaimana
30
dilakukan oleh Nijkamp dan Vreeker (2003) yakni keberlanjutan kuat (Strong progression), keberlanjutan sedang (moderate progression), dan keberlanjutan lemah (weak progression). Tabel 4 Matriks analisis model FLAG Opsi Kebijakan Alternative 1 Alternative 2 Alternative 3 Alternative 4
CTV Perencanaan Strong Moderate Weak
CTV Capaian Aktual Strong Moderate Weak
Matrik analisis model di atas memerlukan assessment kualitatif dalam bentuk matrik dampak yang digunakan oleh Nijkamp dan Ouwersloot (1996), maka matrik dampak kualitatif disusun sebagaimana Tabel 5. Tabel 5 Matrik dampak kualitatif Alternatif Kebijakan BAU PDS MSDL ENE
Ekonomi +/++ + +
Dimensi Sosial +/+/+ ++
Lingkungan -++ ++
Keterangan : = penurunan ringan -= penurunan signifikan +/= tidak ada perubahan + = peningkatan ringan ++ = peningkatan signifikan Matrik dampak kualitatif diatas menjelaskan, bahwa pada dimensi ekonomi dan sosial kebijakan BAU tidak ada perubahan (+/-), sementara untuk dimensi lingkungan mengalami penurunan ringan (-). Kebijakan PDS pada dimensi ekonomi terjadi peningkatan yang sangat signifikan (++), pada dimensi sosial tidak ada perubahan (+/-) , dan terjadi penuruan signifikan pada dimensi lingkungan (--). Sementara kebijakan MSDL pada dimensi ekonomi dan sosial terjdi peningkatan ringan (+), namun terjadi peningkatan signifikan (++) untuk dimensi lingkungan. Kebijakan terakhir adalah ENE, pada dimensi ekonomi hanya terjadi perubahan ringan (+), namun terjadi perubahan yang signifikan (++) untuk dimensi sosial dan lingkungan. Salah satu langkah penting dalam penggunaan metode FLAG adalah penentuan ambang batas minimum dan maksium dari Critical Threshold Value atau CTV sebagaimana tabel diatas. Menurut Hermanides dan Nijkamp (1996) dan Nijkamp dan Owersloot (2000), penentuan nilai CTVmin dan CTVmax memang
31
beragam tergantung ketersediaan data dan informasi. Jika ambang batas minimum dan maksimum dapat dketahui secara pasti dari hasi penelitian sebelumnya, maka nilai ini dapat digunakan dalam menentukan CTVmin dan CTVmax sebagaimana digunakan oleh Lancker dan Nijkamp (2000) dalam kasus analisis FLAG di Nepal. Sebaliknya jika nilai CTVmin dan CTVmax tidak diketahui dengan pasti, maka menurut Hermanides dan Nijkamp (1996) dapat diperoleh dari dua cara yakni pendapat stakeholder dan ketentuan yang telah diitetapkan dalam dokumen perencanaan. Dalam studi ini oleh karena nilai pasti tidak diketahui maka penentuan CTVmin dan CTVmax mengukuti metode yang dilakukan oleh Hermanides dan Nijkamp (1996) dan Nijkamp dan Owersloot (2000). Untuk indikator yang tidak diketahui nilainya dalam perencanaan, maka penentuan interval CTVmin dan CTVmax diperoleh dari hasil FGD sementara untuk indikator yang ada dalam perencaan maka digunakan data interval yang ada atau menggunakan teknik interval seperti yang dilakukan oleh Nijkamp dan Owersloot (2000) dan Leeuwen et al (2003) yakni menggunakan interval antara 20% sampai 80% dari nilai aktual untuk keberlajutan lemah, 30% sampai 70% untuk keberlanjutan moderat dan 40% sampai 60% untuk keberlanjuta kuat (strong). Selanjutnya tahap untuk menentukan nilai CTV dan indikator keberlanjutan dari penelitian, berdasarkan pada data sekunder yang dipublikasikan dari berbagai lembaga pemerintah di Provinsi Jambi. Indikator dan nilai CTV terdiri dari baseline Aktual dan perencanaan, dengan skenario keberlanjutan kuat (strong skenario), skenario keberlanjutan sedang (moderate skenario), dan skenario keberlanjutan lemah (weak skenario) sebagaimana Tabel 6 sampai Tabel 11 berikut. Tabel 6 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Aktual skenario keberlanjutan kuat Indikator Ekonomi 1. Laju pertumbuhan ekonomi 2. PDRB per kapita 3. Gini Rasio 4. Investasi 5. Nilai Tukar Petani (NTP)
Tipe CTV min
CTV
CTVmax
G G B G G
4 5 0.3 15 85
7.8 6 0.34 27 90
8 10 0.5 30 1.20
Sosial 1. Tingkat kemiskinan 2. Angka Partisipasi Angkatan Kerja 3. UMKM 4. IPM
B G G G
6 62 55 65
8 63 81 74
20 75 89 90
Lingkungan 1.Lahan Kritis 2. Hot Spot 3. Ruang Terbuka Hijau 4. IKLH
B B G G
0,8 600 25 60
1.4 1100 30 63
1.5 1200 35 100
Unit % per year Rp juta index Rp milyar index
% penduduk miskin per tahun % penduduk per tahun unit usaha index
juta ha jumlah hot spot % index
Sumber : FGD 9 April 2015 di Bappeda Provinsi Jambi, RPJMD, Data Statistik (diolah)
32
Tabel 7 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Aktual skenario keberlanjutan sedang Indikator Ekonomi 1. Laju pertumbuhan ekonomi 2. PDRB per kapita 3. Gini Rasio 4. Investasi 5. Nilai Tukar Petani (NTP)
Tipe CTV min
CTV
CTVmax
Unit
G G B G G
4 3 0.25 10 80
7.8 6 0.34 27 90
9 10 0.5 40 110
% per year Rp juta indeks Rp milyar indeks
Sosial 1. Tingkat kemiskinan 2. Angka Partisipasi Angkatan Kerja 3. UMKM 4. IPM
B G G G
5 60 50 60
8 63 81 74
20 80 90 100
% penduduk miskin per tahun % penduduk per tahun unit usaha (ribu) indeks
Lingkungan 1.Lahan Kritis 2. Hot Spot 3. Ruang Terbuka Hijau 4. IKLH
B B G G
0,5 500 20 60
1.4 1100 30 63
1.6 1500 40 100
juta ha jumlah hot spot % indeks
Sumber : FGD 9 April 2015 di Bappeda Provinsi Jambi, RPJMD, Data Statistik (diolah)
Tabel 8 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Aktual skenario keberlanjutan lemah Indikator Ekonomi 1. Laju pertumbuhan ekonomi 2. PDRB per kapita 3. Gini Rasio 4. Investasi 5. Nilai Tukar Petani (NTP)
Tipe CTV min
CTV
CTVmax
Unit
G G B G G
3 2 0.2 10 75
7.8 6 0.34 27 90
9 20 0.6 50 160
% per year Rp juta index Rp milyar index
Sosial 1. Tingkat kemiskinan 2. Angka Partisipasi Angkatan Kerja 3. UMKM 4. IPM
B G G G
5 55 45 50
8 63 81 74
20 95 95 100
% penduduk miskin per tahun % penduduk per tahun unit usaha index
Lingkungan 1.Lahan Kritis 2. Hot Spot 3. Ruang Terbuka Hijau 4. IKLH
B B G G
0,3 450 20 59
1.4 1100 30 63
1.8 1700 40 100
juta ha jumlah hot spot % index
Sumber : FGD 9 April 2015 di Bappeda Provinsi Jambi, RPJMD, Data Statistik (diolah)
33
Tabel 9 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Perencanaan skenario keberlanjutan kuat Indikator Ekonomi 1. Laju pertumbuhan ekonomi 2. PDRB per kapita 3. Gini Rasio 4. Investasi 5. Nilai Tukar Petani (NTP)
Tipe CTV min
CTV
CTVmax
Unit
G G B G G
4 5 0.3 15 95
5 6 0.4 20 110
7.5 10 0.5 30 120
% per year Rp juta index Rp milyar index
Sosial 1. Tingkat kemiskinan 2. Angka Partisipasi Angkatan Kerja 3. UMKM 4. IPM
B G G G
6 65 55 65
15 70 60 68
18 75 89 100
% penduduk miskin per tahun % penduduk per tahun unit usaha index
Lingkungan 1.Lahan Kritis 2. Hot Spot 3. Ruang Terbuka Hijau 4. IKLH
B B G G
0,8 600 25 60
1 1000 30 63
1.5 1200 35 100
juta ha jumlah hot spot % index
Sumber : FGD 9 April 2015 di Bappeda Provinsi Jambi, RPJMD, Data Statistik (diolah) Tabel 10 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Perencanaan skenario keberlanjutan sedang Indikator Ekonomi 1. Laju pertumbuhan ekonomi 2. PDRB per kapita 3. Gini Rasio 4. Investasi 5. Nilai Tukar Petani (NTP)
Tipe CTV min
CTV
CTVmax
Unit
G G B G G
4 3 0.25 10 90
5 6 0.4 20 110
9 15 0.5 40 115
% per year Rp juta index (0-1) Rp milyar index
Sosial 1. Tingkat kemiskinan 2. Angka Partisipasi Angkatan Kerja 3. UMKM 4. IPM
B G G G
5 60 50 60
15 70 60 70
20 80 90 100
% penduduk miskin per tahun % penduduk per tahun unit usaha index
Lingkungan 1.Lahan Kritis 2. Hot Spot 3. Ruang Terbuka Hijau 4. IKLH
B B G G
0,5 500 20 50
1 1000 30 60
1.6 1500 40 100
juta ha jumlah hot spot % index
Sumber : FGD 9 April 2015 di Bappeda Provinsi Jambi, RPJMD, Data Statistik (diolah)
34
Tabel 11 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Perencanaan skenario keberlanjutan lemah Indikator Ekonomi 1. Laju pertumbuhan ekonomi 2. PDRB per kapita 3. Gini Rasio 4. Investasi 5. Nilai Tukar Petani (NTP)
Tipe CTV min
CTV
CTVmax
Unit
G G B G G
3 2 0.2 10 80
5 6 0.4 20 110
9 20 0.6 45 155
% per year Rp juta index Rp milyar index
Sosial 1. Tingkat kemiskinan 2. Angka Partisipasi Angkatan Kerja 3. UMKM 4. IPM
B G G G
5 55 45 50
15 70 60 68
22 95 90 100
% penduduk miskin per tahun % penduduk per tahun unit usaha index
Lingkungan 1.Lahan Kritis 2. Hot Spot 3. Ruang Terbuka Hijau 4. IKLH
B B G G
0,3 450 20 59
1 1000 30 63
1.8 1700 45 100
juta ha jumlah hot spot % index
Sumber : FGD 9 April 2015 di Bappeda Provinsi Jambi, RPJMD, Data Statistik (diolah) Keterangan : G = good indikator (indikator baik) B = bad indikator (indikator buruk)
Langkah terakhir dari tahapan pengolahan data dengan model FLAG, yaitu melakukan overlay data dari CTV, CTVmin, dan CTVmax dengan software Samisoft4. Analisis TOPSIS normalisasi Data Untuk keperluan analisis IDM sebagaimana disampaikan pada bagian berikut, diperlukan data entri matrik keputusan yang tidak memiliki dimensi unit. Analisis FLAG menghasilkan matriks keputusan dengan unit yang berbeda-beda antara lain, hektar, rupiah, indeks persentase, dan sebagainya. Data ini kemudian harus dinormalisasi melalui pendekatan TOPSIS dimana setiap entri pada matriks keputusan nilianya kemudian dikonversin menjadi angka dengan unit netral. Prinsip normalisasi TOPSIS dilakukan dengan rumus aij (3.7) rij 2 a ij
4
software Samisoft bersifat deterministik, setiap overlay data harus dilakukan one way trip (tidak dapat diedit).
35
dimana aij adalah nilai pada matrk keputusan dengan atribut ke i dan alternatif ke
j dan rij adalah hasil nilai yang sudah dinormalisasi. Nilai rij ini yang kemudian dimasukan ke dalam model IDM dimana dalam model IDM nilai rij diberi notasi Vij
Analisis Imprecise Decision Modeling (IDM) Pada tahap kedua, penelitian ini menggunakan pendekatan Imprecise Decision Modeling atau IDM yang merupakan analisis MCA yang mampu mengakomodasi informasi yang tidak sempurna dan aspek ketidakpastian. IDM pada penelitian ini digunakan untuk memilih alternatif kebijakan yang menjadi rekomendasi kebijakan SRD. Pada hakekatnya IDM adalah teknik metode criteria dengan mengakomodasikan informasi yang tidak sempuran dan resiko kebijakan yang ditempuh. Teknik ini menyaring profil resiko dan security threshold, sehingga akan menghasilkan pilihan kebijakan yang terbaik. Prinsip IDM adalah teori nilai harapan atau expected value yang didasarkan pada peluang dari terjadinya nilai yang diingikan ( PV i i ) dikalikan dengan bobot ( wk ) dari alternatif yang dipilih. Secara matematis nilai harapan ini ditulis dalam bentuk: s m EV Ai wk Pij Vij (3.8) k 1 J 1 Setelah nilai harapan ini diperoleh IDM kemudian memilih perbedaan alternativ atau opsi dengan teknik yang disebut sebagai metode Delta yang merupaan selisih dari nilai harapan dari dua alternatif atau opsi kebijakan.
ij EV ( Ai ) EV ( Aj )
(3.9)
Untuk menentukan pilihan terbaik berdasarkan nilai harapan tersebut teknik IDM kemudian menghitung kekuatan relatif dari dua atau lebih alternatif yang dianalisis dengan formula sebagai berikut (
)
[ ( ) ] max ij max ji / 2
(3.10)
(3.11)
Sebagaimana telah disebutkan, salah satu kelebihan model IDM adalah dimungkinkannya dilakukan analisis risiko dan ketidakpastian. Analisis ketidakpastian dilakukan dengan memasukan aspek peluang dari teori nilai harapan seperti telah dijelaskan di atas sementara aspek risiko dilakukan dengan menghitung nilai ambang batas aman (security threshold) atau
S Ai , r , s
P s ij
Vij
r
(3.12)
36
Dimana S adalah nilai security threshold dan s adalah nilai ambang batas yang telah ditentukan di dalam model. Analisis IDM akan menghasilkan berbagai skenario opsi atau pilihan yang telah memasukan unsur risiko dan ketidakpastian. Selain itu profil risiko dan Tornado Diagram yang menggambarkan pengaruh positif dan negatif dari kriteria akan diperoleh dari model IDM.
37
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografi Provinsi Jambi Provinsi Jambi dengan luas wilayah 53.435 Km2 dan jumlah penduduk 3.317.034, hinga tahun 2015 ini masih bertumpu pada sektor primer sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonominya. Letak Provinsi Jambi ditengah pulau sumatera, berbatas dengan Provinsi Riau di sebelah utara, Provinsi Sumatera selatan disebelah selatan, Provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu disebelah barat, dan Laut Cina Selatan disebelah Timur. Provinsi Jambi terletak pada posisi cukup strategis, karena terkoneksi langsung dengan kawasan pertumbuhan ekonomi yaitu IMS-GT (Indonesia, Malaysia, Singapura Growth Triangle) sebagaimana Gambar 7 berikut.
Gambar 7 Peta wilayah administratif Provinsi Jambi Letak geografis ini sangat menguntungkan jika arah dan kebijakan pembangunan Provinsi Jambi mendukung dalam meningkatkan daya saing daerah dalam konteks ekonomi. Potensi alam Provinsi Jambi yang memiliki tutupan hutan seluas 4.882.741 Ha, menjadikan Jambi sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kawasan konservasi. Ada empat kawasan konservasi di Provinsi Jambi, yaitu : Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Bukit Dua Belas, dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Sebagian lahan di provinsi Jambi juga di dominasi oleh perkebunan kelapa sawit dan karet. Disamping itu, Jambi juga memiliki potensi tambang sepeti batu bara, minyak bumi, dan gas. Hal ini tentu saja menjadi dilema, satu sisi kekayaan alam Provinsi Jambi dapat dijadikan mesin pertumbuhan (engine of growth), namun disisi lain harus memperhatikan kaidah pembangunan yang berkelanjutan.
38
Isu-isu Strategis Pembangunan di Provinsi Jambi Provinsi Jambi dalam mencapai rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, tentu selain menghadapi peluang dan tantangan juga dihadapkan pada isu-isu strategis. Jika menilik dari tiga aspek pembangunan berkelanjutan yakni ekonomi, sosial dan sumber daya alam dan lingkungan, maka nampak bahwa tidak sedikit isu-isu strategi yang dihadapi Provinsi Jambi untuk mencapai tujuan pembangunan jangka menengah. Dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015, di bawah ini diuraikan beberapa isu strategis yang tercatat sebagai hal yang akan dan sedang dihadapi oleh Pemerintah daerah. Aspek Ekonomi Beberapa isu strategis terkait aspek ekonomi Provinsi Jambi melingkupi berbagai aspek. Pertama, menurunnya kinerja ekspor yang antara lain disebabkan biaya ekonomi tinggi, rendahnya infrastuktur ekspor seperti pelabuhan, peti kemas dan angkutan kapal laut serta rendahnya infrastruktur jalan ke pelabuhan. Ketergantungan pada produk primer (nilai tambah rendah), penurunan ekspor produk kayu olahan dan karena keterbatasan bahan baku, berpengaruh besar terhadap kinerja ekspor Jambi. Kemudian masih besarnya ketergantungan pasar ekspor pada negara tertentu seperti Singapura. Disamping itu juga keragaman ekspor yang masih rendah, dan lemahnya sistem jaringan informasi pasar ekspor terutama dalam mendukung peningkatan daya saing ekspor. Selain itu di Provinsi Jambi masih ditemukan belum berkembangnya sektor hilir (agroindustri) sehingga masih rendahnya nilai tambah sektor pertanian komoditas unggulan. Terkait dengan sektor ini kemudian tercermin dari rendahnya pendapatan petani yang tercermin dari Nilai Tukar Petani (NTP). NTP petani masih dibawah 100 (95,06) tahun 2014. Angka ini menunjukkan bahwa kemampuan daya beli petani di Jambi masih rendah karena rendahnya pendapatan. Isu strategis pangan dan pertanian juga terkait dengan masalah konversi lahan. Setiap tahun lahan–lahan potensi tanaman pangan dan hortikultura ada yang beralih (konversi) ke subsektor lain seperti perkebunan sawit, sehingga luas baku lahan pertanian pangan & hortikultura kecenderungan terjadi penurunan, jika tidak diikuti dengan pembukaan lahan–lahan baru. Aspek produktivitas juga terjadi pada daerah rawa/pasang surut dimana produktivitas pada daerah ini masih sangat rendah. Disamping itu terjadinya kesenjangan produktivitas karena belum optimalnya teknologi yang digunakan, ketersediaan dan kualitas air masih belum sesuai kebutuhan pertanaman. Rendahnya produktibitas pertanian ini juga berimplikasi pada masih tingginya desa rawan pangan di Provinsi Jambi. Di sisi lain masyarakat Jambi masih mengandalkan pola konsumsi masih banyak tergantung dengan padi-padian (beras), dengan demikian skor Pola Pangan Harapan (PPH) belum mencapai ideal. Di sektor perkanan dan kelautan, permasalah muncul yakni masih rendahnya tingkat kesejahteraan dan cukup tingginya angka kemiskinan nelayan. Hal ini berkaitan dengan rendahnya kualitas SDM nelayan dan penguasaan teknologi serta terbatasnya akses nelayan terhadap permodalan sehingga pembudidaya ikan belum mencapai skala usaha yang optimal dimana pengelolaan sumberdaya perikanan belum optimal dilakukan dibanding potensi lestarinya. Masalah perikanan juga
39
berkaitan dengan masih merebaknya pencurian ikan dan terjadinya over fishing, serta pola penangkapan yang merusak ekosistem pesisir dan laut. Selain itu masih ada oknum masyarakat yang menggunakan alat tangkap ikan terlarang seperti menggunakan tuba/setrum dan pencurian ikan di laut oleh Kapal Asing. Permasalah lain di sektor ini adalah tingginya tingkat kerusakan dari produksi perikanan, karena belum tersedianya coldstroge untuk penyimpanan dan angkutan perikanan tersebut ke daerah pemasaran. Di sektor perikanan budidaya isu strategis terkait dengan aplikasi teknologi budidaya ikan belum merata, sehingga produksi budidaya belum memenuhi standar ekspor dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Demikian juga pengembangan usaha budidaya sebagian masih berpencar, belum menerapkan konsep usaha kawasan sehingga sangat menyulitkan dalam pembinaan dan pengawasan. Disamping itu masih ada kendala lain yakni terbatasnya tenaga penyuluh teknologi perikanan, khususnya tenaga pendamping teknologi yang berada di lapangan. Permasalah lain yang ditemukan di perikanan budidaya adalah tingkat keterampilan dan pendidikan pembudidaya ikan masih rendah. Disamping itu transportasi jalan belum lancar menyebabkan pembudidaya kesulitan dalam mendapatkan saprodi dan memasarkan produk. Produksi dan kelestarian perikanan di perairan umum menghadapi tantangan adanya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan terutama untuk jenis-jenis ikan langka yang hampir punah. Isu strategis lainnya di bidang ekonomi adalah yang berkiatan dengan usaha kecil mikro dan menengah. Pada sektor ini masih ditemukan rendahnya produktivitas dan pendapatan usaha mikro, kecil dan menengah serta koperasi, terutama yang berkaitan dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia UMKM khususnya dalam bidang manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran; serta rendahnya kompetensi kewirausahaan UMKM. Disamping itu terbatasnya akses UMKM dan Koperasi kepada sumberdaya produktif serta tertinggalnya kinerja koperasi dalam memberikan kotribusi terhadap perekonomian dibandingkan dengan badan usaha lainnya yang disebabkan antara lain karena rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi. Aspek sosial budaya Jika melihat isu-isu dalam aspek sosial dan budaya di Provinsi Jambi, ada beberapa isu strategi antara lain: Masih banyak anak usia sekolah yang tidak sekolah serta kesadaran masyarakat untuk bersekolah yang masih relatif rendah. Masalah pendidikan ini berkaitan pula dengan belum meratanya sebaran pendidikan di kabupaten/kota yang menyebabkan perbedaan APK/APM yang mencolok antara kabupaten dan kota. Dari sisi infratuktur pendidikan, masih banyak jumlah sekolah yang rusak. Selain itu masih pula ditemukan belum optimalnya proses belajar mengajar sebagai akibat sarana dan prasarana seperti buku, alat-praktik, alat peraga dan alat-alat laboratorium yang belum memadai. Masalah pendidikan juga berkaitan dengan aspek sumber daya manusia dimana distribusi guru dan tenaga pendidik yang kurang merata antar satuan pendidikan dan antar wilayah termasuk terpenuhinya kebutuhan guru di daerah terpencil sesuai dengan standar pelayanan minimal. Sistim Informasi Manajemen yang menyajikan data dan informasi belum berjalan dengan baik serta belum mantapnya koordinasi antara dinas kabupaten/kota dengan dinas provinsi terhadap
40
perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi. Kemudian, pelaksanaan muatan lokal yang masih bersifat umum dan belum menyentuh langsung terhadap kepentingan daerah masing-masing. Isu lain yang berkaita dengan pendidikan adalah distribusi tenaga pendidik yang tidak proporsional antar daerah maupun antara sekolah pada daerah yang sama, terutama yang berhubungan dengan tenaga pendidik bagi bidang ilmu tertentu. Pada bidang ketenagakerjaan isu strategis yang ditemukan antara lain adalah masih rendahnya serapan dunia usaha dan industri untuk menerima tenaga kerja tingkat menengah karena dianggap masih kurang terampil dan kurang profesional. Bidang pariwisata dan kebudayaan, masih besarnya potensi kepariwisataan di Provinsi Jambi belum didukung oleh keterpaduan penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana, serta kesiapan masyarakat setempat dalam menerima kunjungan wisatawan. Permasalah dibidang budaya ini juga berkaitan dengan masih kurangnya penggalian, pelestarian dan pengembangan nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal yang luhur. Disamping itu ditemukan masih rendahnya penyerapan dan pengembangan nilai-nilai budaya nasional maupun budaya asing yang unggul dan dapat menunjang percepatan peningkatan pembangunan daerah, serta lemahnya peran serta seluruh elemen masyarakat dalam upaya menggali, mengembangkan, dan melestarikan nilai-nilai budaya, serta meningkatnya kegiatan masyarakat dalam upaya pengembangan dan pelestarian kawasan budaya dan benda cagar budaya yang terkoordinasi secara sinergis dengan pemerintah. Aspek Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Ada beberapa isu strategis yang terkait dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang menjadi tantangan pembangunan di Provinsi Jambi, diantaranya : Pertama adalah rendahnya nilai tambah sektor industri pengolahan berbasis komoditas unggulan. Hal ini berkaitan pula dengan belum optimumnya perhatian pada perkebunan rakyat. Selain itu kemampuan dan keberlanjutan produksi pangan, pertanian, dan perikanan yang akan menghadapi kendala dan keterbatasan dukungan kapasitas sumberdaya alam. Permasalah di bidang sumber daya alam juga berkaitan dengan dengan energi. Volume pemanfaatan energi dari tahun ke tahun masih bertambah, dan diperkirakan akan terus tumbuh dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Kesenjangan antara konsumsi dengan kemampuan memulihkan kembali, dan mengelola pemanfaatan tidak berimbang. Suatu saat jika pemanfaatan tidak dilakukan secara berimbang, dan subsitusi teknologi tidak dikembangkan. Permasalah energi juga berkaitan dengan kendala lain yakni keterbatasan permodalan nasional, sehingga ketergantungan terhadap investor, sehingga ketahanan energi akan terganggu. Hal ini terjadi karena sebagian besar (lebih dari 90%) lapangan minyak yang saat ini beroperasi merupakan lapangan minyak tua (mature), sedangkan penambahan lapangan minyak baru tidak dapat mengimbangi laju kebutuhan minyak mentah dalam negeri. Salah satu kendala utama pembukaan lapangan minyak baru adalah adanya konflik atau ketidakselarasan fungsi lahan, terutama dengan funr asing masih cukup tinggi. Disamping itu ditemukan pula masalah lain dibidang energi dan pertambangan dimana masih rendahnya minat berinvestasi untuk pengusahaan mineral dan batubara. Keadaan ini disebabkan masalah kepastian hukum dan belum
41
optimalnya sistem insentif untuk menarik masuknya investor baru dalam usaha pertambangan. Hal lain yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam adalah masih terbatasnya jumlah maupun kualitas sumberdaya manusia profesional dalam penguasaan teknologi tenaga-tenaga pertambangan, sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat; Pemanfaatan tambang telah menyisakan permasalahan lingkungan. Reklamasi tambang belum dikelola secara ekologis dan ekonomis, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup fisik meliputi air, udara, tanah, dan bentang alam, ataupun nonfisik seperti sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Persyaratan lingkungan yang ketat pada tingkat provinsi belum dipersiapkan secara optimal. Di samping itu, pembangunan pertambangan sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya alam belum dilaksanakan, ditata, dan dikembangkan secara terpadu dengan pembangunan wilayah dalam suatu kerangka tata ruang yang terintegrasi; Di bidang sumber daya terbarukan isu strategis antara lain masih tingginya kawasan hutan berstatus “open access” merupakan ancaman terhadap pengelolaan hutan. Belum jelasnya tata batas kawasan hutan menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Selain itu tekanan demografi kepada kawasan konservasi menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat satwa yang berdampak pada menurunnya atau terancam punahnya populasi tanaman dan satwa. Permasalahan di bidang lingkungan adalah ditemukannya ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan air yang tersedia pada musim hujan dan pada musim kemarau, menyebabkan ketersediaan air yang sangat melimpah pada musim hujan, yang selain menimbulkan manfaat, pada saat yang sama juga menimbulkan potensi bahaya kemanusiaan berupa banjir. Sedangkan pada musim kemarau, kelangkaan air telah menimbulkan potensi bahaya kemanusiaan lainnya berupa kekeringan yang berkepanjangan. Permasalahan lingkungan ini juga berkaitan dengan aspek pertanian dimana pola monokultur tanaman tertentu, berpeluang merubah keseimbangan alam dan perubahan ekosistem, berdampak pada bencana alam seperti banjir dan kekeringan. Pembangunan Ekonomi Regional Provinsi Jambi Arah kebijakan pembangunan Provinsi Jambi tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, dan saat ini hampir mengakhiri Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Jambi tahap ke II (2010-2015). Visi Pembangunan Provinsi Jambi Tahun 2005-2025 sebagaimana dijelaskan pada RPJP Jambi 2005-2025, dikenal dengan “JAMBI EMAS” atau Jambi Yang Maju, Mandiri, Adil dan Sejahtera. Kemudian misi pembangunan untuk mewujudkan visi tersebut adalah :1. Mewujudkan daerah yang memiliki keunggulan kompetitif; 2. Mewujudkan masyarakat beriman, bertaqwa dan berbudaya; 3. Mewujudkan masyarakat demokratis dan berbudaya hukum; 4. Mewujudkan kondisi yang aman, tentram dan tertib; 5. Mewujudkan pembangunan yang merata dan berkeadilan; 6. Mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Agenda pembangunan Provinsi Jambi yang dituangkan dalam program Jambi Emas tersebut memang secara indikator makro dapat dikatakan tercapai. Hal ini
42
dapat dibuktikan dari capaian laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi selama sepuluh tahun terakhir (periode 2006 sampai 2015) dimana laju pertumbuhan ekonomi Jambi pada periode tersebut cenderung berada di atas rata-rata nasional, kecuali tahun 2015 terjadi shock pada pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi. (Gambar 8).
Gambar 8 Laju pertumbuhan ekonomi Jambi dibandingkan dengan rataan nasional Tahun 2006-2015 (Sumber : BPS 2015, diolah) Dari grafik diatas terlihat bahwa dari Tahun 2006 sampai 2014, sisi dimensi ekonomi Provinsi Jambi mampu tumbuh di atas 5% per tahun bahkan ketika terjadi goncangan ekonomi global yang berimplikasi pada perlambatan ekonomi nasional pada tahun 2009. Ketika laju perekonomian di Indonesia turun menjadi 4.77% atau turun sebesar 1.43%, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi pada tahun yang sama hanya turun sebesar 0.8%. Namun terjadi shock yang sangat parah pada Tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Jambi turun drastis dari 7,93% (2014) menjadi 4,21% (2015) atau sebesar 3,72%. Hal ini terjadi karena perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan nasional. Selain itu kemarau panjang dan bencana asap yang masif pada tahun 2015 diduga berpengaruh dalam memperlambat perputaran ekonomi di Provinsi Jambi (Erlinda, 2016b)5. Selain penekanan pada pertumbuhan ekonomi, pembangunan Jambi juga telah diarahkan pada aspek wilayah, khususnya yang berkaitan dengan penataan ruang. Dalam aspek ini Provinsi Jambi telah memprioritaskan beberapa kawasan strategis provinsi karena mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam lingkup terhadap ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Namun demikian 5
Harian Jambi Ekspres 15 Maret 2016
43
penetapkan kawasan strategis Provinsi Jambi ini memang lebih didasari oleh aspek pertumbuhan ekonomi. Dengan pertimbangan tersebut maka telah ditetapkan beberapa kawasan strategis yakni: 1. Kawasan Muara Bulian-Jambi dan Sekitarnya; 2. Kawasan strategis Metropolitan Jambi dan sekitarnya; 3. Kawasan strategis Pantai Timur Provinsi Jambi-Kawasan Tungkal Ulu dan sekitarnya; 4. Kawasan strategis Muaro Bungo; 5. Kawasan strategis Tebo–Wiroto Agung; 6. Kawasan strategis Bangko-Sarolangun–Singkut; 7. Kawasan strategis Sungai Penuh dan sekitarnya (RTRW Provinsi Jambi 2013-2033, Bappeda Provinsi Jambi). Jika melihat dari capaian dan beberapa strategi kawasan di atas maka mungkin tidak ada kekhawatiran dalam mencapai pembangunan berkelanjutan Jambi di masa mendatang. Namun demikian salah satu ciri dalam perencanaan pembangunan wilayah maupun pembangunan daerah adalah adanya aspek ketidakpastian resiko yang dihadapi untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut. Dalam model pembangunan yang konvensional ketidakpastian dan resiko ini diwakili oleh asumsi-asumsi yang dibuat pada proses perencanaan. Asumsi ini tentu memiliki resiko yang berimplikasi pada beban finansial dan sumber daya lainnya. Dengan demikian, mengakhiri periode akhir Jambi Emas 2015 tersebut diperlukan instrumen evaluasi yang mampu mengakomodasi risiko asumsi-asumsi tersebut. Selain itu diperlukan pula pengembangan agenda pembangunan dengan mengembangkan skenario-skenario pembangunan yang didasarkan pada keinginan pemangku kepentingan.
Kondisi Sosial Provinsi Jambi Pembangunan pada bidang Pendidikan dan Kebudayaan, akan sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan, dimana secara implisit terkandung makna pentingnya memperhatikan aspek kualitas penduduk, SDA dan lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan. Kenyataan telah menunjukkan bahwa strategi peningkatan kualitas penduduk yang hanya bertumpu pada penekanan pertumbuhan penduduk, tidak dapat memberikan makna yang cukup berarti dalam pemecahan berbagai permasalahan. Oleh karena itu, penekanan pada pembangunan pendidikan dengan memperhatikan potensi penduduk serta kondisi SDA dan lingkungan yang ada, ternyata mampu mewujudkan keberlangsungan serta kesinambungan (sustained) pembangunan. Isu pembangunan pendidikan berwawasan kependudukan menjadi penting artinya, karena memiliki makna bahwa pembangunan harus disesuaikan dengan kemampuan penduduk dan potensi sumberdaya setempat. Dengan kata lain, pengaruh mutu SDM penduduk (Human Capital) merupakan modal penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai kesejahteraan masyarakat antara lain tingkat pendidikan, status kesehatan dan kesempatan kerja. Adapun gambaran umum mengenai aspek tersebut adalah : Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jambi, dari 72,74 di tahun 2010 meningkat menjadi 74, 35 pada tahun 2013 (LKPJ Gubernur, 2014). Angka melek huruf dapat dijadikan sebagai salah satu indikator taraf pendidikan masyarakat Jambi. Angka melek huruf masyarakat Jambi cukup tinggi yaitu mencapai 96,43 persen pada tahun 2013 (BPS 2014). Kemudian rata-rata lama sekolah penduduk Jambi yaitu 8,05 tahun pada tahun 2011. Angka rata-rata lama
44
sekolah ini walau berada diatas rataan nasional (7,94 pada tahun 2011), namun angka ini menunjukkan bahwa rata-rata penduduk Jambi masih berpendidikan rendah. Jika meninjau pada pelayanan kesehatan di Provinsi Jambi, bahwa persentase rata-rata kematian bayi waktu proses persalinan masih cukup tinggi yaitu hanya 0,34% atau 34 bayi meninggal dari 1000 persalinan pada Tahun 2013. Peningkatan pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan pada waktu proses persalinan perlu mendapat perhatian. Ditinjau dari program pangan dan perbaikan gizi, data tahun 2007 sampai dengan data tahun 2013 menunjukkan adanya peningkatan status gizi buruk dan gizi kurang. Jika pada tahun 2007 prevalensi gizi buruk-gizi kurang sebanyak 18,9% maka pada tahun 2013 prevalensi ini meningkat menjadi 19,7%. Angka ini sedikit lebih tinggi daripada rata-rata nasional yang sebesar 19,6%. Dari informasi di atas nampak bahwa pembangunan sumber daya manusia terutama aspek perbaikan pangan dan gizi di provinsi Jambi masih mengalami kendala, meski tidak terlalu signifikan.
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Provinsi Jambi Provinsi Jambi memiliki topografi wilayah yang bervariasi mulai dari ketinggian 0 m dpl di bagian timur sampai pada ketingian di atas 1.000 m dpl, ke arah barat morfologi lahannya semakin tinggi dimana di bagian barat merupakan kawasan pegunungan Bukit Barisan yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Sumatera Barat yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Keadaan tofologi dan morfologi ini, sangat menentukan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan Provinsi Jambi. Selanjutnya jika meninjau karakter komplek ekologinya, perkembangan kawasan budidaya khususnya untuk pertanian terbagi atas tiga daerah yaitu kelompok ekologi hulu, tengah dan hilir. Masing-masing memiliki karakter khusus, dimana pada komplek ekologi hulu merupakan daerah yang terdapat kawasan lindung, ekologi tengah merupakan kawasan budidaya dengan ragam kegiatan yang sangat bervariasi dan komplek ekologi hilir merupakan kawasan budidaya dengan penerapan teknologi tata air untuk perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Berdasarkan karakteristik ekosistem Jambi yang banyak memiliki kawasan hutan lindung, beberapa wilayah di Provinsi Jambi telah ditetapkan menjadi kawasan nasional strategis. Kawasan nasional strategis yang berada di Provinsi Jambi ditetapkan dengan pertimbangan dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Adapun Kawasan strategis Nasional yang termasuk dalam kawasan wilayah Provinsi Jambi meliputi : 1. Kawasan Lingkungan Hidup Taman Nasional Kerinci Seblat (Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan); 2. Kawasan Taman Nasional Berbak (Provinsi Jambi) ; 3. Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Provinsi Jambi dan Riau) ; 4. Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (Provinsi Jambi). Berdasarkan penunjukkan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan yang dituangkan dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 421/Kpts-II/1999, dimana kawasan hutan Provinsi Jambi meliputi luas ± 2.179.440,00 Ha atau 42,73% dari keseluruhan luas Provinsi Jambi. Adapun luasan tersebut sesuai dengan pemaduserasian antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
45
Provinsi Jambi berdasarkan fungsinya yang terdiri dari, Cagar Alam 30.400 ha (1,39%), Taman Nasional 608.630,00 Ha (27,92%), Taman Hutan Raya 36.660 ha (1,68%), Hutan Wisata Alam 430,00 Ha (0,02%), Hutan Lindung 191.130 ha (8,77%), Hutan Produksi Terbatas 340.700 ha (15,63%), Hutan Produksi Tetap 971.490 ha (44,57%). Masih luasnya kawasan hutan di Jambi, membuat Jambi dinobatkan sebagai salah satu dari sebelas provinsi yang dijadikan pilot project nasional dalam pelaksanaan SRAP REDD+ (Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Reducing Emission from Deforestration and Forest Degradation Plus). Penunjukan ini diperkuat dengan Keputusan Gubernur Jambi Nomor 352/KEPGUB/SETDA. EKBANG&SDA-4.2/2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ (Reducing Emission from Deforestration and Forest Degradation Plus). Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Jambi juga penting dalam menunjang ketahanan pangan. Sebagai provinsi yang memilki kondisi geografis daratan, 60% lahan di Provinsi Jambi merupakan kawasan perkebunan dan kehutanan. Dengan keunggulan ini Provinsi Jambi merupakan salah satu sentra perkebunan di wilyah Sumatera. Komoditi unggulan perkebunan di provinsi ini didominasi oleh kelapa sawit dan karet, degan luasan masing-masing sebesar 400.168 ha dan 595.473 ha. Prodksi perkebunan per tahun 2014 dari berbagai komoditi di Provinsi Jambi antara lain produksi kelapa sawit sebesar 898,24 ribu ton per tahun dan karet sebesar 240,146 ribu ton per tahun. Sementara komoditas lainnya adalah kelapa dalam (virgin coconut) 119,34 ribu ton per tahun, casiavera 69,65 ribu ton per tahun, serta teh 5,6 ribu ton per tahun. Konsekuensi pengembangan kelapa sawit dan karet sebagai komoditas unggulan Provinsi Jambi memang berimplikasi pada peningkatan luas areal perkebunan ini. Misalnya saja selama tahun 2010-2014 telah terjadi peningkatan luas areal perkebunan karet dari 649.400 ha pada tahun 2010 menjadi 662.200 ha di tahun 2014 atau dengan rata-rata persentase peningkatan luasan sebesar 1,97%. Pengembangan komoditas tanaman karet pada tahun 2014 seluas 3.465 ha dialokasikan pada delapan kabupaten di Provinsi Jambi. Pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Jambi juga berkaitan dengan aspek ketahanan pangan. Capaian ketahanan pangan yang diukur dari capaian energi per kapita dan protein per kapita memang mengalami fluktuasi sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2014. Jika pada tahun 2009 capaian energi per kapita sebesar 3.527 kkal/kapita/hari, pada tahun 2014 capaian energi per kapita menjadi 3.217 kkal/kap/hari. Demikian halnya juga dengan capaian protein per kapita. Jika pada tahun 2009 capaian protein Provinsi Jambi sebesar 82,19 gram/kapita/hari, maka pada tahun 2014 capaian tersebut adalah 75,59 gram/kapita/hari. Perbedaan capaian per kapita diantaranya dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, sehingga penambahan penduduk menyebabkan penurunan capaian indikator per kapita. Aspek pengelolaan sumber daya alam lainnya adalah berkaitan dengan tanaman pangan. Sub sektor tanaman pangan di Provinsi Jambi didominasi oleh tanaman padi dan jagung dengan angka produksi 45,94 kw/ha untuk padi dan 53,52 kw/ha untuk jagung. Sementara untuk kedelai, Provinsi Jambi menghasilkan produktivitas kedelai sebesar 13,57 kw/ha. Dalam upaya peningkatan produksi tanaman pangan, Pemerintah Provinsi Jambi mengupayakan pendekatan kewilayahan berupa penetapan Kawasan Kampung Pangan Terpadu (KPT). Untuk mendukung ketahanan pangan dan produktivitas pertanian, Pemerintah Provinsi Jambi telah
46
mampu memelihara daerah irigasi dan daerah rawa sebesar 34.485 ha dengan pemeliharaan jaringan irigasi. Dari sektor peternakan, adanya penurunan realisasi target kelahiran populasi ternak sejak tahun 2010 sampai tahun 2014. Jika pada tahun 2010 realisasi target kelahiran ternak adalah 5.500 ekor dari target 5.000 ekor (realisasi 110%), maka pada tahun 2011 realisasi tersebut turun menjadi 71%. Pada tahun 2014 dari target kelahiran sebesar 25.000 ekor hanya terealisasi sebesar 5.791 ekor (atau realisasi sebesar 23,16%). Jika dilihat dari produksi daging, produksi sementara daging ruminansia besar di Provinsi Jambi pada tahun 2015 mencapai 3.242 ton yang terdiri 2.164 ton daging sapi potong dan 1.078 ton daging kerbau. Dalam upaya peningkatan produksi pangan asal ternak, Pemerintah Provinsi Jambi melakukan berbagai program antara lain inseminasi buatan, integrasi ternak dan perkebunan serta peningkatan penerapan teknologi hasil riset. Pada sektor perikanan, Provinsi Jambi memiliki keunggulan di bidang perikanan budidaya, karena konsekuensi luas wilayah yang sebagian besar wilayah daratan dan memiliki perairan umum berupa sungai dan danau. Walau demikian perikanan tangkap juga memiliki peran penting dalam perekonomian Jambi. Sampai tahun 2014 total produksi perikanan baik dari tangkap maupun budidaya mencapai 51.770 ton. Angka ini meningkat cukup tajam dari tahun 2010 yang hanya mencapai 33.933 ton. Perkembangan produksi perikanan ini diikuti pula dengan peningkatan kosumsi ikan per kapita. Sampai tahun 2015 kosumsi ikan per kapita Provinsi Jambi mencapai 34,08 kg/kapita/tahun, angka ini meningkat sebesar 0,8% dari tahun sebelumnya. Perkembangan sektor perikanan di Provinsi Jambi juga diikuti dengan berbagai upaya peningkatan sentra-sentra produksi perikanan. Sampai tahun 2015, Provinsi Jambi telah memiliki tujuh Kawasan Minapolitan, 20 lokasi suaka perikanan dan 1.020 Unit Pengolahan Ikan (UPI). Pengembangan sentra-sentra produksi seperti Kawasan Minapolitan tersebut diharapkan mampu meningkatkan produksi perikanan Provinsi Jambi secara lebih baik lagi di masa mendatang. Pengelolaan sumber daya alam yang berkaitan dengan aspek energi khususnya energi terharukan telah banyak dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Selama kurun waktu 2010 sampai dengan 2014 misalnya, pemerintah provinsi telah membanguna 90 unit digester biogas yang sangat membantu memenuhi kebutuhan energi bagi masyarakat menengah kebawah. Selain itu pengembangan biogas juga merupakan upaya memanfaatkan limbah ternak, sehingga mengurangi dampak lingkungan dari limbah peternakan. Selain pengembangan biogas, pengembangan energi terbaharukan juga dilakukan melalui pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Sejak tahun 2014 pemerintah provinsi telah membangun 5 unit PLTMH yang tersebar di berbagai kabupaten. Dibidang lingkungan, salah satu aspek krusial yang ditangani Provinsi Jambi adalah penanganan kebakaran hutan melalui penurunan jumlah hot spot. Jumlah hot spot ini memang berfluktuasi sejak tahun 2010 sampai tahun 2014. Jika tahun 2010 terdapat 623 hot spot, tahun 2011 meningkat menjadi 1.433 hot spot dan mencapai puncaknya pada tahun 2012 sebanyak 2.414 hot spot. Jumlah ini kemudian menurun menjadi 1.152 hot spot pada tahun 2014, dan pada tahun 2015 terjadi penurunan yang signifikan menjadi 193 hot spot.
47
Provinsi Jambi sebagai salah satu provinsi di Sumatera yang kaya akan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati, namun juga tetap menjadi kerentanan terjadi perubahan iklim. Gejala perubahan iklim seperti kenaikan temperatur, perubahan intensitas dan periode hujan, pergeseran musim hujan/kemarau, dan kenaikan muka air laut, akan mengancam daya dukung lingkungan dan kegiatan seluruh sektor pembangunan. Dampak perubahan iklim global pada akhirnya akan berpengaruh signifikan terhadap ketersediaan sumber daya air, ketahanan pangan dan energi yang jika tidak diantisipasi akan memperburuk kinerja pembangunan khususnya sektor sumberdaya alam. Beberapa LSM lokal yang telah support terhadap pendampingan kesadaran lingkungan, yang merupakan kelompok bagi masyarakat untuk melindungi hutan adat, hutan desa. Pada wilayah barat terdapat REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia) dengan luas sekitar 48.000 hektar di wilayah Provinsi Jambi tepatnya di Kabupaten Batanghari.
48
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Keberlanjutan dengan Pendekatan FLAG Analisis keberlanjutan dengan pendekatan FLAG dilakukan dengan menggunakan dua basis (baseline) CTV yakni berdasarkan data yang ditentukan dalam perencanaan daerah melalui Rencana Pembanguann Jangka Menengan Daerah (RPJMD) dan basis data capaian aktual sampai periode 2014. Hasil assessment FLAG tersebut disajikan pada Tabel 12 dan Gambar 9 berikut ini. Tabel 12 FLAG capaian perencanaan dan capaian aktual BAUplan BAUak PDSplan PDSak MSDLplanMSDLak ENEplan ENEak Flag Green 1 1 2 4 3 3 5 5 Flag Yellow 7 11 4 4 6 7 5 6 Flag Red 2 0 3 3 3 2 2 0 Flag Black 3 1 4 2 1 1 1 2
Gambar 9 Sebaran FLAG perencanaan (plan) dan aktual (ak) Sebagaimana terlihat pada Gambar 9 dalam skenario Bussiness as usual, dengan menggunakan basis perencanaan, diperoleh frekuesni kemunculan bendera kuning, merah, dan hitam yang lebih banyak. Sementara jika menggunakan baseline data capaian aktual tidak ditemukan bendera hitam, namun frekuensi bendera kuning meningkat cukup tajam (57%), namun bendera merah cenderung menurun. Hasil analisis FLAG dengan data aktual juga menunjukkan ada indikasi ke arah ketidak berlanjutan karena meski bendera merah tidak ditemukan, meningkatnya bendera kuning yang sangat tajam menunjukkan bahwa capaian pembangunan di daerah yang terjadi pada saat ini memerlukan perhatian khusus terkait dengan aspek lingkungan. Paradigma mengejar petumbuhan ekonomi yang tinggi dengan target 8% saat ini bisa
49
berimplikasi pada tegerusnya sumber daya alam dengan meningkatnya deplesi dan degradasi lingkungan. Pada skenario atau alternatif kebijakan yang lain dapat dilihat bahwa skenario non-ekstraktif (ENE) cenderung memiliki bendera hijau yang lebih banyak, baik untuk baseline perencanaan maupun data capaian aktual. Pada sisi lain, kecenderungan bendera kuning diperoleh pada skenario kebijakan Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) baik dengan basis perencanaan maupun dengan basis capaian aktual. Bendera hijau juga meningkat pada skenario PDS dengan data aktual dibanding dengan skenario BAU. Selanjutnya pada skenario kebijakan Peningkatan Daya Saing (PDS), ada perbedaan yang besar untuk bendera hijau antara perencanaan dan aktual dimana skenario PDS berdasarkan data capaian bendera hijau meningkat hampir 100%, sementara bendera merah dan hitam cenderung menurun. Dari hasil di atas dapat dikatakan bahwa secara umum skenario kebijakan berbasis non ekstraktif dan pemanfaatan sumber daya lokal cenderung lebih berkelanjutan meski dalam kategori keberlanjutan lemah (weak sustainability), karena masih mungkin ditemukannya bendera kuning, merah, dan hitam. Skenario kebijakan meningkatkan daya saing dengan mengguakan baseline eksisting juga memungkinkan dicapainya tingkat keberlanjutan yang lebih baik, karena frekuesni bendera hijau ditemukan lebih banyak dari BAU. Hasil di atas juga menunjukkan bahwa jika perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jambi dengan target-target yang tinggi tanpa memperhatikan daya dukung ekonomi, sosial, dan lingkungan (yang dihitung dari CTVmin dan CTVmax) cenderung kurang berkelanjutan di masa mendatang (Erlinda et al. 2015). Dengan menggunakan basis data capaian yang cenderung lebih rendah dari target-target yang ditentukan dalam RPJMD, cenderung diperoleh bendera hijau yang lebih banyak yang menunjukkan kecenderungan pembangunan yang lebih berkelanjutan. Berikut ini disajikan hasil analisis FLAG untuk setiap skenario keberlanjutan berdasarkan data perencanaan dan data aktual dengan skenario keberlanjutan kuat (strong), skenario keberlanjutan sedang (moderate), dan skenario keberlanjutan lemah (weak). Baseline Aktual Baseline aktual dalam penelitian ini merupakan acuan dalam menentukan nilai CTV berdasarkan capaian atau eksisting pembangunan di Provinsi Jambi. 1. Skenario keberlanjutan kuat (strong) dengan baseline aktual Hasil analisis FLAG untuk skenario strong dapat dilihat melaui Tabel 13. Tabel 13 menyajikan hasil FLAG dengan data aktual untuk seluruh indikator. Sebagaimana terlihat pada Tabel 13 skenario BAU hanya memiliki satu bendera hijau dan hanya untuk dimensi ekonomi, sementara skenario BAU ini memiliki lebih banyak bendera kuning (7) daripada skenario lainnya. Bendera hijau dimiliki lebih banyak pada skenario MSDL dan ENE masing-masing sebanyak tiga dan lima. Pada skenario MSDL bendera hijau tersebar merata pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan masing-masing satu bendera. Selanjutnya pada skenario ENE bendera hijau lebih banyak (5) dan tersebar pada dimensi lingkungan (3) dan pada dimensi sosial (2). Sebaran hijau pada aspek ekonomi dan lingkungan ini karena skenario ENE mengandalkan aktifitas ekonomi yang berkontribusi terhadap indkator ekonomi seperti PDRB, nilai tukar petani, serta investasi namun karena sifatnya non ekstraktif sehingga lebih ramah terhadap lingkungan. Ketidakmunculan bendera
50
hijau pada aspek sosial mungkin karena bobot sosial pada skenario ENE yang lebih kecil daripada skenario MSDL. Pada skenario PDS menunjukkan adanya bendera hitam paling tinggi (4) yang tersebar pada indikator sosial dan lingkungan, hal ini disebabkan oleh sifat daya saing dan kombinasi sempitnya ambang batas pada skenario kuat sehingga sulit mencapai bendera hijau pada skenario ini. Tabel 13 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan kuat baseline aktual Alternatif Kebijakan Business As Usual (BAU) Peningkatan Daya Saing (PDS) Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) Ekonomi Non Ekstraktif (ENE)
G 1 2 3 5
Total Bendera Y R 7 2 4 3 6 3 5 2
B 3 4 1 1
Dimensi Ekonomi G Y R B 1 3 0 1 2 2 1 0 1 3 1 0 2 2 1 0
Dimensi Sosial G Y R B 0 2 0 2 0 2 0 2 1 1 1 1 0 2 1 1
Dimensi Lingkungan G Y R B 0 2 2 0 0 0 2 2 1 2 1 1 3 1 0 0
Tabel 13 diatas dapat dilihat juga melalui gambar visualisasi warna FLAG sebagaimana Gambar 10.
Gambar 10 Visualisasi Total FLAG skenario strong dengan baseline aktual Gambar 11 berikut memperlihatkan visualisasi sebaran bendera untuk skenario strong dengan baseline aktual pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagaimana penjelasan Tabel 14. Gambar 11 berikut memperlihatkan visualisasi sebaran bendera untuk skenario strong dengan baseline aktual pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagaimana penjelasan Tabel 14.
Gambar 11 Visualisasi sebaran FLAG skenario strong dengan baseline aktual
51
Tabel 14 berikut menyajikan tabulasi silang antara berbagai skenario kebijakan. Dari Tabel 14 terlihat bahwa antara PDS dan BAU, pilihan kebijakan PDS lebih baik dengan ditunjukkan oleh lebih banyak bendera hijau (2:1) dan relatif sedikit bendera kuning (4:7). Untuk skenario MSDL dengan BAU situasinya juga hampir serupa, dimana MSDL memiliki keunggulan dengan lebih banyak bendera hijau (3:1) dan lebih sedikit bendera hitam (1:3). Untuk perbandingan antara skenario MSDL dengan PDS, nampak bahwa skenario MSDL lebih baik daripada PDS dengan perbandingan bendera hijau 3:2 dan lebih sedikit bendera hitam (1:4). Demikian juga halnya dengan ENE dengan MSDL, nampak bahwa skenario ENE lebih baik dari MSDL dengan perbandingan bendera hijau 5:3, dan bendera kuning serta merah yang relatif lebih sedikit. Tabel 14 Perbandingan skenario kebijakan strong pada pada baseline aktual
Business As Usual (BAU)/ Konvensional/Eksisting
Business As Usual (BAU)/ Konvensional/Eksisting
Peningkatan Daya Saing (PDS) G Y R B G 1 0 0 0 Y 1 3 3 0 R 0 0 0 2 B 0 1 0 2 Total 2 4 3 4 Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B G 1 0 0 0 Y 2 5 0 0 R 2 0 0 0 B 0 0 2 1 Total 5 5 2 1
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Peningkatan Daya Saing (PDS) G 1 1 0 0 Y 0 3 1 0 R 2 1 0 0 B 2 0 1 1 Total 5 5 2 1
Total 1 7 2 3 13
Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) G Y R B Total Business As Usual (BAU)/ G 1 0 0 0 1 Konvensional/Eksisting Y 2 5 0 0 7 R 0 1 1 0 2 B 0 0 2 1 3 Total 3 6 3 1 13 Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) G Y R B Total Peningkatan Daya Saing (PDS) G 1 1 0 0 2 Y 1 2 1 0 4 R 1 2 0 0 3 B 0 1 2 1 4 Total 3 6 3 1 13
Total 2 4 3 4 13
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Mengelola Sumber Daya Lokal G 2 1 0 0 (MSDL) Y 2 4 0 0 R 1 0 2 0 B 0 0 0 1 Total 5 5 2 1
Total 1 7 2 3 13
Total 3 6 3 1 13
2. Skenario keberlanjutan sedang (moderate) dengan baseline aktual Berikutnya jika melihat Hasil tabulasi FLAG untuk skenario sedang (Tabel 15), kebijakan BAU dan ENE sama-sama memiliki total bendera dan sebaran yang sama dari dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sebaran bendara kebijakan BAU dan ENE terdiri dari satu bendera hijau, dua belas bendera kuning, dan tidak mempunyai bendera merah dan hitam. Kebijakan PDS tidak memiliki bendera hijau, mempunyai sembilan bendera kuning, dan empat bendera merah. Sebaran bendera pada kebijakan PDS bendera kuning sebanyak empat pada dimensi ekonomi dan sosial serta satu untuk dimensi lingkungan. Kebijakan PDS memiliki bendera merah yang tersebar pada dimensi ekonomi (1) dan dimensi lingkungan (3). Kebijakan PDS memiliki bendera merah yang tersebar pada dimensi ekonomi (1) dan dimensi
52
lingkungan (3). Bendera merah pada kebijakan ini, berarti bahwa PDS konsern pada dimensi ekonomi, sehingga melampau nilai ambang kritis keberlanjutan. Tabel 15 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan sedang baseline aktual Alternatif Kebijakan Business As Usual (BAU) Peningkatan Daya Saing (PDS) Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) Ekonomi Non Ekstraktif ENE)
G 1 0 1 1
Total Bendera Y R 12 0 9 4 11 1 12 0
B 0 0 0 0
Indikator Ekonomi G Y R B 0 5 0 0 0 4 1 0 0 4 1 0 0 5 0 0
Indikator Sosial G Y R B 0 4 0 0 0 4 0 0 1 3 0 0 0 4 0 0
Indikator Lingkungan G Y R B 1 3 0 0 0 1 3 0 0 4 0 0 1 3 0 0
Visualisasi Total FLAG untuk Tabel 15 dapat dilihat melalui gambar 12 sebagai berikut.
Gambar 12 Visualisasi Total FLAG skenario moderat baseline aktual Selanjutnya visualisasi sebaran bendera untuk skenario moderate dengan baseline aktual pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dijelasan Tabel 16 dapat dilihat pada Gambar 13 .
Gambar 13 Visualisasi sebaran FLAG skenario moderat baseline aktual aktual Tabel 16 berikut merupakan hasil tabulasi silang FLAG aktual moderat. Pada Tabel 16 dijelaskan bahwa perbandingan antara PDS dan BAU sama-sama tidak memiliki bendera hijau dan hitam, namun memiliki bendera kuning dengan
53
perbandingan 9:12, kemudian perbandingan bendera merah 4:0. Perbandingan skenario MSDL dan BAU, sama-sama memiliki satu bendera hijau, perbandingan bendera kuning 11:12, MSDL memiliki satu bendera merah namun BAU tidak, dan keduanya tidak memiliki bendera hitam. Kebijakan ENE dan BAU sama-sama memiliki 12 bendera kuning, dan tidak memiliki bendera merah dan hitam, namun kebijakan ENE lebih baik dari kebijakan BAU, karena memiliki satu bendera hijau sedangkan BAU tidak ada bendera hijau. Kemudian kebijakan MSDL lebih baik dari PDS, hal ini diperlihatkan oleh perbandingan bendera antara MSDL dan PDS yaitu bendera hijau dengan perbandingan 1:0, walaupun bendera kuning MSDL sedikit lebih banyak dengan perbandingan 11:9, bendera merah dengan perbandingan 1:4, dan sama-sama tidak memiliki bendera hitam. Kebijakan ENE lebih berkelanjutan dari kebijakan PDS, karena ENE memiliki satu bendera hijau, dua belas bendera kuning tanpa ada bendera merah dan hitam, namun PDS tidak memiliki bendera hijau tapi memiliki sembilan bendera kuning dan empat bendera merah. Terakhir pada tabel 16 bahwa kebijakan ENE dan MSDL sama-sama memiliki keberlanjutan dengan perbandingan sebaran bendera hijau 1:1, kuning 12:11 dan tanpa memiliki bendera merah serta hitam. Tabel 16 Perbandingan skenario kebijakan moderate pada baseline Aktual
Business As Usual (BAU)/ Konvensional/Eksisting
G Y R B Total
Business As Usual (BAU)/ Konvensional/Eksisting
G Y R B Total
Peningkatan Daya Saing (PDS) G Y R B Total 0 1 0 0 1 0 8 4 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 4 0 13 Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Total 0 1 0 0 1 1 11 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 12 0 0 13
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Peningkatan Daya Saing (PDS)G 0 0 0 0 Y 0 9 0 0 R 1 3 0 0 B 0 0 0 0 Total 1 12 0 0
Total 0 9 4 0 13
Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) G Y R B Total Business As Usual (BAU)/ G 0 1 0 0 1 Konvensional/Eksisting Y 1 10 1 0 12 R 0 0 0 0 0 B 0 0 0 0 0 Total 1 11 1 0 13 Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) G Y R B Total Peningkatan Daya Saing (PDS)G 0 0 0 0 0 Y 1 8 0 0 9 R 0 3 1 0 4 B 0 0 0 0 0 Total 1 11 1 0 13 Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Mengelola Sumber Daya LokalG 0 1 0 0 (MSDL) Y 1 10 0 0 R 0 1 0 0 B 0 0 0 0 Total 1 12 0 0
Total 1 11 1 0 13
3. Skenario keberlanjutan lemah (weak) dengan baseline aktual Pada skenario lemah (weak) dengan baseline aktual (Tabel 17), dapat dijelaskan bahwa hanya kebijakan PDS yang memiliki bendera hijau yang tersebar pada dimensi ekonomi, namun memiliki 6 bendera kuning yang tersebar pada dimensi ekonomi dan sosial masing-masing berjumlah 3, dan lima bendera merah (1) pada dimensi ekonomi dan 4 pada dimensi lingkungan), serta satu bendera hitam pada dimensi sosial. Kebijakan BAU dan ENE sama-sama memiliki dua belas bendera kuning dan satu bendera hitam, serta sebaran bendera yang sama yaitu
54
bendera kuning lima pada dimensi ekonomi dan tiga pada dimensi sosial. Kemudian sebaran bendera hitan untuk kebijakan BAU dan ENE sama-sama satu pada dimensi sosial. Kebijakan MSDL memiliki bendera kuning 11 yang tersebar pada ketiga dimensi (4 pada dimensi ekonomi dan lingkungn, serta 3 pada dimensi sosial). Tabel 17 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan lemah baseline aktual Alternatif Kebijakan
G Business As Usual (BAU)/Konvensional/Eksisting 0 Peningkatan Daya Saing 1 Mengelola Sumber Daya Lokal 0 Ekonomi Non Ekstraktif 0
Total Bendera Y R 12 0 6 5 11 1 12 0
B 1 1 1 1
Indikator Ekonomi G Y R B 0 5 0 0 1 3 1 0 0 4 1 0 0 5 0 0
Indikator Sosial G Y R B 0 3 0 1 0 3 0 1 0 3 0 1 0 3 0 1
Indikator Lingkungan G Y R B 0 4 0 0 0 0 4 0 0 4 0 0 0 4 0 0
Visualisasi Total FLAG untuk Tabel 17 dapat dilihat melalui gambar 14 sebagai berikut.
Gambar 14 Visualisasi Total FLAG skenario weak baseline aktual Visualisasi sebaran bendera untuk skenario lemah (weak) dengan baseline aktual pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dijelasan Tabel 17 dapat dilihat pada gambar 15 .
Gambar 15 Visualisasi sebaran FLAG skenario lemah (weak) baseline aktual
55
Berikut Tabel 18 memperlihatkan tabulasi silang FLAG pada skenario weak dengan baseline aktual. Kebijakan terlihat lebih baik dari kebijakan BAU, karena PDS memiliki satu bendera hijau, sementara BAU tidak memiliki bendera hijau. PDS juga memiliki lebih sedikit bendera kuning dibandingkan BAU yaitu 6:12, walaupun PDS tidak memiliki lima bendera merah yang tidak dimiliki oleh BAU, namun BAU memiliki satu bendera hitam dan sementara PDS tidak ada. Kebijakan MSDL dan BAU memiliki perbandingan tidak begitu berbeda, dimana masing-masing perbandingan bendera kuning 11:12, bendera merah 1:0, dan bendera hitam 1:1. Kebijakan ENE dengan BAU, mempunyai perbandingan bendera yang sama yaitu masing-masing 12 bendera kuning dan 1 bendera hitam. Kebijakan MSDL dengan PDS perbandingan bendera kuning sangat siknifikan 11:6, bendera merah 1:5, dan bendera sama-sama 1. Secara keseluruhan bendera PDS lebih baik dari MSDL, ditambah lagi PDS memiliki satu bendera hijau yang tidak dimiliki MSDL. Kebijakan selanjutnya ENE dengan PDS, dimana PDS sebaran benderanya lebih bervariasi dibandingkan ENE. Perbandingan sebaran bendera ENE dan PDS yaitu bendera hijau 0:1, berndera kuning 12:6, dan sama-sama memiliki jumlah bendera merah nol serta bendera hitam satu. Kebijakan terakhir yaitu ENE dan MSDL, kedua kebijakan ini tidak memiliki perbedaan yang jauh. Perbandingan bendera yang dimiliki ENE dengan MSDL yaitu 12:11 untuk bendera kuning, 0:1 untuk bendera merah, dan 1:1 untuk bendera hitam. Tabel 18 Perbandingan skenario kebijakan weak pada baseline aktual
Business As Usual (BAU)/ Konvensional/Eksisting
Peningkatan Daya Saing (PDS) G Y R B Total G 0 0 0 0 0 Y 1 6 5 0 12 R 0 0 0 0 0 B 0 0 0 1 1 Total 1 6 5 1 13
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Total Business As Usual (BAU)/ G 0 0 0 0 0 Konvensional/Eksisting Y 0 12 0 0 12 R 0 0 0 0 0 B 0 0 0 1 1 Total 0 12 0 1 13 Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Total Peningkatan Daya Saing (PDS) G 0 1 0 0 1 Y 0 6 0 0 6 R 0 5 0 0 5 B 0 0 0 1 1 Total 0 12 0 1 13
Business As Usual (BAU)/ Konvensional/Eksisting
Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) G Y R B Total G 0 0 0 0 0 Y 0 11 1 0 12 R 0 0 0 0 0 B 0 0 0 1 1 Total 0 11 1 1 13
Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) G Y R B Total Peningkatan Daya Saing (PDS) G 0 1 0 0 1 Y 0 6 0 0 6 R 0 4 1 0 5 B 0 0 0 1 1 Total 0 11 1 1 13 Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Total Mengelola Sumber Daya Lokal G 0 0 0 0 0 (MSDL) Y 0 11 0 0 11 R 0 1 0 0 1 B 0 0 0 1 1 Total 0 12 0 1 13
Baseline Perencanaan Penjelasan selanjutnya untuk skenario keberlanjutan kuat (strong sustainability), sedang (moderate) dan lemah (weak) baseline perencanaan. Baseline
56
perencanaan dalam penelitian ini merupakan acuan dalam menentukan nilai CTV berdasarkan target perencanaan yaitu : RPJMD Provinsi, IKLH, Permen, dan Pergub. 1. Skenario keberlanjutan kuat (strong) dengan baseline perencanaan Dimulai dengan Tabel 20 yang menerangkan jumlah sebaran FLAG pada masing-masing kebijakan. Kebijakan BAU hanya memiliki satu bendera hijau yang tersebar pada dimensi ekonomi, tujuh bendera kuning yang tersebar pada dimensi ekonomi sebanyak tiga, dimensi sosial dan lingkungan yang masing-masing sebanyak dua. Kebijakan PDS memiliki bendera yang cukup bervariasi, dua untuk bendera hijau yang tersebar pada dimensi ekonomi, empat bendera kuning yang tersebar pada dimensi ekonomi dan sosial masing-masing dua bendera, tiga bendera merah yang tersebar pada dimensi ekonomi sebanyak satu dan dua pada dimensi lingkungan, cukup banyak bendera hitam sebanyak empat yang tersebar pada dimensi sosial dan lingkungan masing-masing sebanyak dua. Kemudian kebijakan MSDL didominasi oleh bendera kuning sebanyak enam tersebar pada dimensi ekonomi (3), dimensi sosial (1), dan dimensi lingkungan (2). MSDL cukup baik dengan memiliki tiga bendera hijau pada dimensi ekonomi (3), walaupun mempunyai tiga bendera merah dan satu bendera hitam pada dimensi sosial. Diantara ke empat kebijkan ENE paling baik, karena memiliki lebih banyak bendera hijau (5) yang tersebar sebanyak dua pada dimensi ekonomi dan tiga pada dimensi lingkungan, sementara bendera kuning tersebar pada dimensi ekonomi (2), dimesi sosial (2), dan dimensi lingkungan (1). Tabel 19 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan kuat baseline pencanaan Alternatif Kebijakan
G Business As Usual (BAU)/Konvensional/Eksisting 1 Peningkatan Daya Saing 2 Mengelola Sumber Daya Lokal 3 Ekonomi Non Ekstraktif 5
Total Bendera Y R 7 2 4 3 6 3 5 2
B 3 4 1 1
Indikator Ekonomi G Y R B 1 3 0 1 2 2 1 0 1 3 1 0 2 2 1 0
Indikator Sosial G Y R B 0 2 0 2 0 2 0 2 1 1 1 1 0 2 1 1
Indikator Lingkungan G Y R B 0 2 2 0 0 0 2 2 1 2 1 0 3 1 0 0
Visualisasi Total FLAG untuk skenario strong dengan baseline perencanaan pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dijelasan Tabel 19 dapat dilihat pada gambar 16.
Gambar 16 Visualisasi Total FLAG skenario srtong baseline perencanaan
57
Visualisasi sebaran bendera untuk skenario srong dengan baseline perencanaan pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagaimana penjelasan Tabel 19 dapat dilihat pada gambar 17 berikut.
Gambar 17 Visualisasi sebaran FLAG skenario strong baseline perencanaan
Tabel 20 menjelaskan perbandingan dua kebijakan dalam skenario strong baseline perencanaan. Kebijakan PDS dengan BAU memiliki perbedaan yang tidak trlalu banyak, dengan perbandingan bendera hijau 2:1, bendera kuning 4:7, bendera merah 3:2, dan bendera hitam 4:3. Kebijakan MSDL dengan kebijakan BAU juga tidak mem[punyai perbandingan yg signifikan, dengan perbandingan bendera hijau 3:1, bendera kuning 6:7, bendera merah 3:2, dan bendera hitam 1:3. Kebijakan ENE lebih baik dari BAU karena memiliki bendera hijau lebih banyak, bendera kuning lebih sedikit dengan perbandingan 5:7, sementara bendera merah mempunyai perbandingan yang sama yaitu sebanyak dua, dan bendera hitam yang lebih sedikit dengan perbandingan 1:3. Kemudian untuk kebijakan MSDL dengan PDS perbandingannya tidak terlalu signifikan, dengan perbandingan bendera hijau 3:2, bendera kuning 6:4, bendera merah dengan perbandigan yang sama sebanyak tiga, dan bendera hitam 1:4. Berikutnya kebijakan ENE dan PDS, dimana kebijakan ENE lebih baik dari PDS karena memiliki bendera hijau (5:2) dan kuning (5:4) lebih banyak, serta memiliki bendera merah (2:3) dan hitam (1:4) lebih sedikit.Cross tabulasi terakhir yaitu antara kebijakan ENE dengan MSDL. Kebijakan ENE lebih baik dari MSDL, karena memiliki bendera hijau (5:3) lebih banyak, perbandingan bendera kuning 5:6, bendera merah 2:3, dan bendera hitam sama-sama satu.
58
Tabel 20 Perbandingan skenario kebijakan strong pada baseline perencanaan
Business As Usual (BAU)/ Konvensional/Eksisting
G Y R B Total
Peningkatan Daya Saing (PDS) G Y R B 1 0 0 0 1 3 3 0 0 0 0 2 0 1 0 2 2 4 3 4
Total 1 7 2 3 13
Business As Usual (BAU)/ Konvensional/Eksisting
Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) G Y R B Total G 1 0 0 0 1 Y 2 5 0 0 7 R 0 1 1 0 2 B 0 0 2 1 3 Total 3 6 3 1 13
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Total G 1 0 0 0 1 Y 2 5 0 0 7 R 2 0 0 0 2 B 0 0 2 1 3 Total 5 5 2 1 13
Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) G Y R B Total Peningkatan Daya Saing (PDS) G 1 1 0 0 2 Y 1 2 1 0 4 R 1 2 0 0 3 B 0 1 2 1 4 Total 3 6 3 1 13
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Total Peningkatan Daya Saing (PDS) G 1 1 0 0 2 Y 0 3 1 0 4 R 2 1 0 0 3 B 2 0 1 1 4 Total 5 5 2 1 13
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Total Mengelola Sumber Daya Lokal G 2 1 0 0 3 (MSDL) Y 2 4 0 0 6 R 1 0 2 0 3 B 0 0 0 1 1 Total 5 5 2 1 13
Business As Usual (BAU)/ Konvensional/Eksisting
2. Skenario keberlanjutan sedang (moderate) dengan baseline perencanaan Berikut ini Tabel 21 menjelaskan tabulasi FLAG skenario moderate untuk baseline perencanaan. Terlihat bahwa kebijakan BAU hanya memiliki bendera kuning (8), merah (4), dan hitan (1). Bendera kuning tersebar pada dimensi ekonomi (4), sosial dan lingkungan (masing-masing 2). Kemudian kebijakan PDS juga memiliki bendera kuning (7), merah (5), dan hitam (1). Sebaran bendera kuning pada dimensi ekonomi (4), pada dimensi sosial (2), dan dimensi lingkungan (1). Sebaran bendera merah pada masing-masing dimensi (ekonomi, sosial, dan lingkungan) sebanyak satu bendera. Kebijakan selanjutnya MSDL, juga memiliki 1 bendera hijau yang tersebar pada dimensi lingkungn, delapan bendera kuning tersebar pada dimensi ekonomi (4), dimensi sosial (1), dan dimensi lingkungan (3). Bendera merah untuk MSDL sejumlah tiga, yang tersebar pada dimensi masing-masing dimnsi sebanyak satu. Sedangkan bendera hitam hanya dimiliki satu oleh MSDL, dan tersebar pada dimensi lingkungan. Kebijakan terakhir adalah ENE, juga memiliki satu bendera hijau yang tersebar pada dimensi lingkungan, bendera kuning cukup banyak (9) yang tersebar pada dimensi ekonomi (4), pada dimensi sosial (2), dan diensi lingkungan (3), memiliki satu bendera hitam pada dimensi sosial.
59
Tabel 21 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan sedang baseline perencanaan Alternatif Kebijakan
G Business As Usual (BAU)/Konvensional/Eksisting 0 Peningkatan Daya Saing 0 Mengelola Sumber Daya Lokal 1 Ekonomi Non Ekstraktif 1
Total Bendera Y R 8 4 7 5 8 3 9 2
B 1 1 1 1
Indikator Ekonomi Indikator Sosial G Y R B G Y R B 0 4 1 0 0 2 1 1 0 4 1 0 0 2 1 1 0 4 1 0 1 1 1 1 0 4 1 0 0 2 1 1
Indikator Lingkungan G Y R B 0 2 2 0 0 1 3 0 0 3 1 0 1 3 0 0
Visualisasi Total FLAG untuk skenario moderate dengan baseline perencanaan sebagaimana yang dijelasan Tabel 21 dapat dilihat pada gambar 18.
Gambar 18 Visualisasi Total FLAG skenario mederat baseline perencanaan
Visualisasi sebaran bendera untuk skenario moderate dengan baseline perencanaan pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagaimana penjelasan Tabel 21 dapat dilihat pada gambar 19 berikut.
Gambar 19 Visualisasi sebaran FLAG skenario moderate baseline perencanaan Tabel 22 menjelaskan perbandingan sebaran bendera pada skenario moderat dengan baseline perencanaan. Melihat kebijakan PDS dengan BAU, sama-sama tidak memiliki bendera hijau dan memiliki bendera hitam yang sama (1), sebaran bendera
60
kuning (7:8) dan bendera merah (5:4) tidak memiliki perbedaan yang besar. Kemudian kebijakan MSDL dengan BAU, MSDL lebih baik dari BAU karena memiliki satu bendera hijau yang tidak dimiliki oleh skenario BAU. Sebaran bendera lainnya tidak jauh berbeda, bendera kuning (8) dan bendera hitam (1) sama jumlahnya untuk ke dua kebijakan, sedangkan bendera merah dengan perbandingan 3:4. Kebijakan ENE dan BAU pada skenario ini memiliki perbbedaan tidak begitu banyak, walaupun hanya ENE yang memiliki bendera hijau (1), namun perbandingan bendera lainnya sedikit. Pada kebijakan ENE dengan BAU , perbandingan bendera kuning 9:8, bendera merah 2:4, dan bendera hitam sama jumlahnya (1). Jika melihat kebijakan MSDL dengan PDS, MSDL memiliki satu bendera hijau yang tidak dimiliki PDS, namun bendera kuning MSDL lebih banyak dibanding PDS (8:7), untuk bendera merah MSDL lebih sedikit dibandingkan PDS (3:5), dan sama memiliki satu bendera hitam. Selanjutnya kebijakan ENE dengan PDS, terlihat ENE lebih baik dari PDS, karena memiliki satu bendera hijau, walaupun sebaran bendera kuning ENE lebih banyak dari PDS (9:7). Bendera merah untuk ENE dengan PDS, terlihat PDS lebih banyak memiliki (2:5), dan untuk bendera hitam jumlahnya sama (1). Perbandingan terakhir kebijakan ENE dengan MSDL, kedua kebijakan samasama lebih baikuntuk dipilih, dengan jumlah bendera hijau sama (1), bendera kuning dengan perbandingan 9:8, bendera merah 2:3, dan bendera hitam sama jumlahnya (1). Tabel 22 Perbandingan skenario kebijakan moderat pada baseline perencanaan G Y R B Total
G 0 0 0 0 0
Peningkatan Daya Saing (PDS) Y R B 0 0 0 6 2 0 1 3 0 0 0 1 7 5 1
Total 0 8 4 1 13
G Y R B Total
G 0 0 1 0 1
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) Y R B 0 0 0 8 0 0 1 2 0 0 0 1 9 2 1
Total 0 8 4 1 13
G Y R B Total
G 0 0 1 0 1
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) Y R B 0 0 0 6 1 0 3 1 0 0 0 1 9 2 1
Total 0 7 5 1 13
G Y R B Total
Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) G Y R B Total 0 0 0 0 0 1 7 0 0 8 0 1 3 0 4 0 0 0 1 1 1 8 3 1 13
G Y R B Total
Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) G Y R B Total 0 0 0 0 0 1 5 1 0 7 0 3 2 0 5 0 0 0 1 1 1 8 3 1 13
G Y R B Total
G 0 1 0 0 1
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) Y R B 1 0 0 7 0 0 1 2 0 0 0 1 9 2 1
Total 1 8 3 1 13
3. Skenario keberlanjutan lemah (weak) dengan baseline perencanaan Tabulasi FLAG untuk skenario weak dengan baseline perencanaan dapat dijelaskan oleh Tabel 23 berikut. Kebijakan BAU terlihat tidak memiliki bendera
61
hijau, sebaran terbesar pada bendera kuning (8) yaitu pada dimensi ekonomi (4), dimensi sosial dan dimensi lingkungan (msing-masing 2). BAU memiliki bendera merah empat yang tersebar pada dimensi ekonomi dan sosial (masing-masing 1), serta pada dimensi lingkungn (2). BAU hanya memiliki satu bendera hitam yang tersebar pada dimensi sosial. Selanjutnya kebijakan PDS lebih baik dengan memiliki satu bendera hijau yang tersebar pada dimensi ekonomi, lima bendera kuning tersebar pada dimensi ekonomi (3), dan dimensi sosial (2). Bendera merah dimiliki PDS sebanyak enam yaitu tersebar pada dimensi ekonomi dan sosial (masing-masing 1), serta pada dimensi lingkungan (4). Kemudian PDS mempunyai satu bendera hitam pada dimensi sosial. Kebijakan MSDL memiliki satu bendera hijau pada dimensi sosial, namun memiliki bendera kuning lebih banyak (8) yang tersebar pada dimensi ekonomi (4), sosial (1), dan lingkungan (3). Kemudian memiliki tiga bendera merah yang tersebar sama (1) pada masing-masing dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Bendera hitam hanya dimiliki pada dimensi sosial (1). Kebijakan terakhir pada weak tabulasi skenario yaitu ENE. Terlihat bahwa ENE memiliki sebaran bendera kuning yang cukup banyak (10) yang tersebar pada dimensi ekonomi dan lingkungan masing-masing empat, sedangkan pada dimensi sosial berjumlah dua. ENE memiliki dua bendera merah yang tersebar pada dimensi ekonomi dan sosial (masing-masing 1), serta memiliki satu bendera hitam pada dimensi sosial. Tabel 23 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan lemah baseline perencanaan Alternatif Kebijakan Business As Usual (BAU)/Konvensional/Eksisting Peningkatan Daya Saing Mengelola Sumber Daya Lokal Ekonomi Non Ekstraktif
G 0 1 1 0
Total Bendera Y R 8 4 5 6 8 3 10 2
Indikator Ekonomi Indikator Sosial B G Y R B G Y R B 1 0 4 1 0 0 2 1 1 1 1 3 1 0 0 2 1 1 1 0 4 1 0 1 1 1 1 1 0 4 1 0 0 2 1 1
Indikator Lingkungan G Y R B 0 2 2 0 0 0 4 0 0 3 1 0 0 4 0 0
Visualisasi Total FLAG untuk skenario weak dengan baseline perencanaan sebagaimana yang dijelasan Tabel 23 dapat dilihat pada gambar 20 berikut.
Gambar 20 Visualisasi Total FLAG skenario weak baseline perencanaan
62
Visualisasi sebaran bendera untuk skenario weak dengan baseline perencanaan pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagaimana penjelasan Tabel 23 dapat dilihat pada gambar 21 berikut.
Gambar 21 Visualisasi sebaran FLAG skenario weak baseline perencanaan Tabel 24 berikut menjelaskan cross tabulasi FLAG untuk skenario weak dengan baseline perencanaan. Terlihat antara kebijakan PDS dengan BAU, PDS lebih baik dengan memiliki bendera hijau (1) yang tidak dimiliki oleh BAU. Perbandingan bendera kuning antara PDS dengan BAU yaitu 5:8, kemudian bendera merah PDS mempunyai kelebihan dua bendera dibandingkan BAU (6:4), selanjutnya bendera hitam Tidak dimiliki PDS namun dimiliki BAU sebanyak satu. Membandingkan kebijakan MSDL dengan BAU, terlihat bahwa kedua kebijakan tidak memiliki bendera hijau, MSDL lebih banyak memiliki bendera kuning (9) dibandingkan BAU (8), bendera merah yang dimiliki MSDL (3) lebih sedikit dibandingkan yang dimiliki BAU (4), namun sama-sama memiliki satu bendera hitam. Perbandingan selanjutnya yaitu kebijakan ENE dan BAU, kedua kebijakan sama-sama tidak memiliki bendera hijau, ENE memiliki sebaran bendera kuning lebih banyak dengan perbandingan 10:8, kemudian ENE memiliki lebih sedikit bendera merah dibanding BAU yaitu 2:4, dan sama-sama memiliki satu bendera hitam. Perbandingan untuk kebijakan MSDL dengan PDS, terlihat bahwa MSDL memiliki satu bendera hijau yang tidak dimiliki oleh PDS. Kemudian MSDL memiliki bendera kuning lebih banyak dibandingkan PDS (9:5), untuk bendera merah MSDL memiliki 50% lebih sedikit dari yang dimiliki oleh PDS (3:6), sedangkan bendera hitam sama-sama memiliki satu. Membandingkan kebijakan ENE dan PDS, PDS memiliki satu bendera hijau yang tidak dimiliki oleh ENE, namun ENE memiliki kekuatan sebaran bendera kuning (10) dibandingkan PDS (5), untuk bendera merah ENE jauh lebih aman dibandingkan PDS (2:6), dan sama-sama memiliki satu bendera hitam. Terakhir untuk perbandingan kebijakan ENE dengan MSDL, terlihat tidak memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Dimana ENE dan MSDL hanya memiliki perbandingan bendera kuning (10:9), bendera merah (2:3), dan sama-sama memiliki satu bendera hitam.
63
Tabel 24 Perbandingan skenario kebijakan weak pada baseline perencanaan
Business As Usual (BAU)/ Konvensional/Eksisting
Peningkatan Daya Saing (PDS) G Y R B G 0 0 0 0 Y 1 4 3 0 R 0 1 3 0 B 0 0 0 0 Total 1 5 6 0
Total 0 8 4 1 13
Business As Usual (BAU)/ Konvensional/Eksisting
Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) G Y R B Total G 0 0 0 0 0 Y 0 8 0 0 8 R 0 1 3 0 4 B 0 0 0 1 1 Total 0 9 3 1 13
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Total G 0 0 0 0 0 Y 0 8 0 0 8 R 0 2 2 0 4 B 0 0 0 1 1 Total 0 10 2 1 13
Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL) G Y R B Total Peningkatan Daya Saing (PDS) G 0 1 0 0 1 Y 0 4 1 0 5 R 0 4 2 0 6 B 0 0 0 1 1 Total 0 9 3 1 13
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Total Peningkatan Daya Saing (PDS) G 0 1 0 0 1 Y 0 4 1 0 5 R 0 5 1 0 6 B 0 0 0 1 1 Total 0 10 2 1 13
Ekonomi Non Ekstraktif (ENE) G Y R B Total Mengelola Sumber Daya Lokal G 0 0 0 0 0 (MSDL) Y 0 9 0 0 9 R 0 1 2 0 3 B 0 0 0 1 1 Total 0 10 2 1 13
Business As Usual (BAU)/ Konvensional/Eksisting
Analisis Imprecise Decision Modeling (IDM) Sebagaimana disebutkan dalam bagian metode, pembangunan daerah menghadapi risiko dan ketidakpastian baik yang berasal dari internal maupun dari eksternal. Struktur model IDM skenario SRD Provinsi Jambi pada skenario moderate dengan aspek risiko dan ketidakpastian dari setiap alternatif skenario pembangunan. Sebagaimana terlihat pada Gambar 22 skenario business as usual dengan basis data perencanaan cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi jika dijalankan disbanding dengan skenario kebijakan lainnya. Skenario kebijakan yang memiliki risiko yang relatif lebih rendah diperoleh pada alternatif 3 dan alternatif 4 yakni pengembangan sumber daya lokal dan meningkatkan daya saing. Hasil analisis FLAG yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya menyajikan status keberlanjutan berbagai skenario kebijakan pembangunan daerah di Provinsi Jambi. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, penerapan skenario kebijakan pembangunan di daerah akan menghadapi berbagai risiko dan ketidak pastian yang disebabkan berbagai factor. Untuk menganalisis pengaruh risiko dan ketidakpastian ini, analisis lanjutan dengan model informasi tidak sempurna (Imprecise Decision Modeling) atau IDM dilakukan. Untuk keperluan analisis IDM Sembilan dari 13 indkator dari FLAG dipilih untuk mewakili dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Pemilihan 9 indikator ini selain untuk mengurangi indeks kompleksitas analisis IDM, 9 indikator ini diasumsikan mewakili indikator penting dari setiap dimensi keberlanjutan. Analisisi IDM diakukan dnegan terlebih dahulu melalukan normalisasi data indikator yang
64
terdapat pada FLAG. Normalisasi ini diperlukan karena pada model FLAG data dianalisis dengan berbagai unit ukuran yang berbeda (persen, hektar, juta rupiah, dan sebagainya) sementara untuk keperluan analisis IDM deiperlukan keseregaman unit analisis sehingga menghasilkan perbandingan yang setara antara satu skenario dengan skenario lainnya. Untuk itu normalisasi data telrebih dahulu dilakukan dengan mengggunakan metode TOPSIS sebagaiman telah dibahas pada Bab 3. Hasil normalisasi data disajikan pada Tabel 25 berikut. Tabel 25 Data normalisasi TOPSIS EKONOMI Skenario LPE PDRBP NTP TK BAU 0,500 0,466 0,480 PDS 0,531 0,532 0,503 MSDL 0,487 0,532 0,512 ENE 0,481 0,466 0,503
Sosial Lingkungan APA IPM LK HS 0,267 0,435 0,488 0,318 0,000 0,508 0,502 0,000 0,535 0,508 0,502 0,424 0,802 0,544 0,508 0,848
IKLH 0,169 0,468 0,000 0,501 0,507 0,508 0,845 0,521
Data normalisasi menunjukkan nilai minimum 0 dan nilai maksium sebesar 0.848. Nilai ini menjadi nilai minimum dan maksium dalam IDM dan kemudian dimasukan dalam software DecideIT dengan menggunakan struktur pohon keputusan berdasarkan empat alternatif kebijakan seperti yang dilakukan pada model FLAG dengan sembilan indikator seperti tertera di atas. Dalam model IDM, skenario kebijakan BAU disebut sebagai Alternatif 1 (Alt 1), skenaio PDS sebagai Alternatif 2 (Alt2), skenario MSDL sebagai Alternatif 3 (Alt3), dan skenario ENE sebagai Alternatif 4 (Alt4). Struktur model IDM dengan 4 skenario dan 9 indikator disajikan pada Gambar 22 berikut.
65
Gambar 22 Struktur model IDM SRD Provinsi Jambi skenario moderate
66
Gambar 23 menunjukan nilai harapan (Expected valued) antara tiga alternatif yakni Alternatif 1 vs Alternatif 2, Alternatif 1vs Alternatif 3, dan Alternatif 1 vs Alternatif 4. Sumbu horizontal menggambar nilai kontraksi yang menunjukkan derajat stabilitas keputusan sementara sumbu vertikal menggambar nilai harapan dari nilai-nilai yang diperoleh berdasarkan nilai yang sudah terstandarisasi. Sebagaimana terlihat pada Gambar 23 skenario kebijakan BAU (Alternatif 1) tidak lebih baik dari kebijakan alternatif lain. Hal ini ditunjukkan dengan porsi area Alteratif 1 yang relatif lebih kecil dari pada Alternatif lainnya. Jika dilihat lebih rinci perbedaan nilai Alternatif 1 (BAU ) dengan lainnya berkisar antara -0.56 sampai -0.64 (sumbu negative) dan antara +0.34 sampai dengan +0.45. Nilai ini dapat diartikan bahwa jika hal terburuk terjadi dalam perencanaan pembangunan maka perbedaan capaian target pembangunan antara -0.56 sampai -0.64 yang diartikan sebagai kerugian. Sementara jika hal terbaik terjadi dalam perencaan, maka manfaat tercapainya target antara 0.34 sampai 0.45. Nilai ini merupakan nilai komposit dari berbagai indikator dengan ukuran yang berbeda-beda sebagaimana disebutkan dalam model FLAG.
Gambar 23 Perbandingan nilai harapan (expected valued) Alt 1 vs Alt 2, Alt 3, Alt 4 Gambar 24 berikut ini menunjukan perbandiangan nilai harapan antara alternatif 2 dengan alternatif 3 dan 4 dan alternatif 3 dengan alternatif 4. Dari Gambar 24 dapat dilihat bagwa area alternatif 3 dan alternatif 4 lebih besar daripada area alternatif 2. Dengan kata lain skenario kebijakan yang berbasis MSDL dan ENE lebih baik daripada kebijakan PDS. Jika kemungkinan terburuk terjadi dalam perencanaan, maka nilai kerugian memilih alternatif 2 dibanding alternatif 3 dan 4 antara -050 sampai -0.61 satuan, sementara jika kemungkina terbaik yang terjadi dalam perencaan, nilai manfaat berkisar antara 0.37 sampai 0.44. Jika skenario kebijakan MSDL (alternatif 3) dibanding dengan alternatif 4 (ENE), maka nampak pada Gambar 24 bahwa area kebiajakn 3 (ENE) lebih besar dari area kebijakan 4 ( MSDL), dengan kata lain skenario ENE lebih baik daripada skenario MSDL. Jika dilihat dari manfaat dan biaya, jika kemungkinan terburuk terjadi dalam perencanaan, maka tidak memilih kebijakan ENE menghasilkan kerugian sebesar 0.50 point sementara manfaat yang diperoleh adalah sebesar 0.50 point.
67
Gambar 24 Perbandingan nilai harapan (expected valued) Alt 2 vs Alt 3, Alt 4, dan Alt 3 vs Alt 4
Sensitivity Analysis Model IDM juga menghasilkan gambaran mengenai sensitifitas pegambilan keputusan yang ditunjukan leh nilai ekstrim seperti tertera pada Gambar 25 di bawah ini. Grafik linier dengan label Alternatif 1 sampai dengan Alternatif 4 menunjukkan kisaran nilai ekstrim dari setiap skenario kebijakan. Alternatif 4 (ENE) misalnya memiliki nilai kisarana manfaat yang lebih tinggi dari 0.3 sampai 0.85 sementara alternatif 2 memiliki kisaran nilai ekstrim yang lebih rendah antara 0 sampai 0.8. Gambar 25 juga menujukkan bawah alternatif 4 memiliki peluang pilihan terbaik daripada altnernatif lainnya dengan berbagai skenario risiko. Nilai ini merupakan nilai rataan terbobot hasi perhitungan model dengan mempertimbangkan berbagai profil risiko.
Gambar 25 Sensitifitas pengambilan keputusan pada skenario moderate
68
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian metode, bahwa perencanaan pembangunan dan pencapaian pembangunan berkelanjutan memiliki berbagai risiko dari keterbatasan sumber daya di daerah maupun risiko yang disebabkan oleh faktorfaktor eksternal. Model IDM memungkinan menggambarkan profil risiko tersebut dengan menampilkan hasil analisis profil risiko sebagaimana terlihat pada Gambar 26 dan 27 berikut ini. Terlihat bahwa alternatif 1 dan alternatif 2 memiliki risiko kumulatif yang lebih besar dari pada alternatif lainnya, sementara alaternatif 4 (ENE) memiliki risiko kumulatif yang relatif lebih kecil dibanding dengan alternatif lainnya. Dengan kata lain skenario kebijakan alternatif 3 dan 4 memiliki risiko kumulatif yang relatif lebih kecil untuk dijalankan daripada skenario BAU dan PDS.
Gambar 26 Profil risiko penuh pada skenario moderate sustainablity
Jika melihat Gambar 27 atau nilai tengah (middle graph), maka alternatif alternatif 3 dan 4 tetap memiliki risiko kumulatif yang relatif lebih kecil untuk dijalankan daripada skenario BAU dan PDS .
Gambar 27 Profil risiko alternatif kebijakan (middle graph)
69
Diagram Tornado Cara lain untuk melihat profil risiko dan ketidakpastian dari implementasi kebijakan dengan capaian target-target pembangunan di daerah adalah dengan melihat diagram Tornado sebagaimana terlihat pada Gambar 28 berikut ini. Pada Diagram Tornado, warna merah menunjukkan pengaruh negatif terhadap nilai harapan sementara warna hijau menunjukkan sebaliknya yakni pengaruh positif terhadap nilai harapan. Pada Gambar 28 menunjukkan bahwa simpul E5 yakni dimensi ekonomi pada skenario kebijakan PDS memiliki pengaruh positif terhadap nilai harapan sementara simpul E8 yakni aspek lingkungan pada skenario PDS akan memiliki pengaruh negatif terhadap pencapai nilai harapan, namun untuk dimensi sosial di simpul E7 skenario PDS memiliki peluang positif yang signifikan terhadap pencapaian nilai harapan tanpa ada pengaruh negatif. Pada skenario BAU simpul E1 yani aspek ekonomi pada BAU memiliki pengaruh yang positif terhadap pencapaia nilai kebijakan BAU sementara aspek lingkungan memiliki peluang untuk mempengaruhi nilai negatif terhdap capaian skenario BAU. Sementara jika melihat skenario kebijakna ENE Nampak bahwa simpul E13 yakni aspek ekonomi akan mempengaruhi peluang secara negatif pada pencapaian indkator kebijakan ENE sementara simpul E16 yakni aspek lingkungan secara sigifikan akan mempengaruhi peluangan capaian indikator kebijakan ENE secara positif.
Gambar 28 Probability Tornado diagram SRD Jambi pada strong skenario Gambar 29 berikut ini menggambarkan analisis sensitivitas berdasarkan Value Tornado (Tornado Nilai). Tornado nilai menggambarkan menggambarkan kemungkinan ketidaksempurnaan dalam penilian (imprecisesness) yang berimplikasi
70
pada hasil nilai harapan (expected value). Sebagaimana terlihat pada Gambar 29 kriteri C2 yakni penilaian terhadap pdrb per kapita akan mempengaruhi nilai lebih siginikan dari pada kriteria lainnya. Hal ini dapat dimakkumi karena pdrb per kapita akan sangat tergantung dari pdrb yang dicapai serta jumlah penduduk. Kedua variabel ini tidak statis melainkan sangat berubah terhadap waktu. Demikian juga dengan variabel C1 yakni laju pertumbuhan ekonomi. Variabel ini cukup sensitif mempengaruhi nilai harapan dari model IDM karena laju pertumbuhan ekonomi juga sangat tergantung dari berbagai faktor. Asumsi yang dibangun pada saat perencanaan lima tahunan terkait dengan LPE sering tidak sesuai dengan capaian karena banyaknya variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian ketidak sempurnaan informasi pada LPE ini dapat dimaklumi akan mempengaruhi penilaian dari outcome yang ingin dicapai. Variabel lain yang juga berpengaruh terhadap capaian nilai harapan (expected value) adalah lahan kritis pada skenario ENE dan skenario MSDL. Variabel ini diduga berpengaruh pada kedua skenario di atas karena skenario ENE memang sangat tergantung pada ekosistem dan kelestarian lingkungan. Demikian juga halnya dengan MSDL dimana keunggulan sumber daya lokal akan berkurang jika lahan kritis meningkat. Oleh karenanya dapat difahami mengapa lahan kritis ini menjadi variabel yang sensitif pada kedua skenario kebijakan di atas. Untuk aspek sosial variable C24 dan C13 yakni indeks pembangunan manusia (IPM) dan Angka Partisipasi Murni (APM) cukup sensitif terhadap perubahan nilai harapan. IPM khususnya memang menjadi variabel yang krusial dalam aspek sosial seingga perubahan pada variabel ini akan berpengaruh nyata pada pilihan kebijakan dalam skenario IDM.
Gambar 29 Tornado value diagram SRD Jambi pada strong skenario
71
Analisis Ambang Batas Keamanan (Security Threshold) Sebagaimana disebutkan pada bagian metode, model IDM dapat menunjukan analisis keamanan atau security threshold yang menggambarkan keputusan yang relatif aman dengan menentukan peluang kejadian terburuk. Gambar 30 di bawah ini menggambarkan tingkat kemanana keputusan ketika nilai minimum diasumsikan paling tidak mencapai 0.2 (dari skala 0.0 sampai 0.85) dengan tingkat peluang kejadian antara 10% sampai 30%. Sebagaimana terlihat pada Gambar 30, hanya alternatif 3 (ENE) dan alternatif 4 (MSDL) yang berada pada zona hijau (zona OK) sementara alternatif 2 dan alternatif 2 berada pada zona merah (not OK). Alternatif 1 hanya berada pada zona hijau jika nilai kontraksi (tingkat kepercayaan) berada pada kisaran 73%. Dari hasil analisis ini dapat dikatakan bahwa tingkat keamanan kebijakan 1 dan 2 masih relatif kurang aman jika dibandingkan alternatif 3 dan 4 jika peluang kejadian terburuk atau ketidak pastian terjadi.
Gambar 30 Analisis security threshold SRD Jambi pada strong skenario Urutan Prioritas Selain menghasilkan analisi perbandingan setiap skenario kebijakan, model IDM juga menghasilkan urutan total dari seluruh analisis yang menunjukkan ranking atau urutan dari yang terbaik sampai yang terburuk. Gambar 31 di bawah ini menambpilkan uruan ordinal dari analisis dimana dapat dilihat bahwa alternatif 4 (ENE) ranking teratas. Alternatif 3 (MSDL) berada pada urutan kedua. Selanjutnta (alternatif 2) pada urutan ke tiga dan terakhir kebijakan yang berbasis busines as usual (BAU) atau Alternatif 1.
Gambar 31 Rangking ordinal alternatif kebijakan
72
Gambar 32 berikut ini menunjukkan ranking kardinal untuk setiap skenario kebijakan. Nampak bahwa skenario kebijakan ENE mendominasi nilai disusul kemudian dengan skenario MSDL, PDS dan BAU.
Gambar 32 Rangking kardinal alternatif kebijakan SRD Jambi pada kontraksi 0, 70, dan 100% Gambar 32 menampilkan hasil ranking kardinal dengan tiga level kontraksi yakni 0%, 70% dan 100%. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya level kontraksi menggambarkan derajat kepercayaan pada data yang dimasukan. Kontraksi 100% menggambarkan bahwa data pada kisaran dengan aspek ketidak pastian yang tinggi sementara sebaliknya pada kontraksi 0% tingkat kepercayaan dimana pada berada pada nilai yang sebenarnya. Sebaliknay kontraksi 70% merupakan nilai kontraksi yang disarankan oleh Idelfet dan Danielson (2003) sebagai “rule of thumbs” atau kesepakatakn umum dalam model IDM. Pada level kontraksi 0%, maka urutan ranking akan overlap dengan skenario alternatif 3 ungul pada skala nilai di atas 0.36 dibanding skenario atau alterntive 4 atau unggul pada nilai 0.35 dibanding skenario atau alternatif PDS. Sebalikya pada titik ekstrim yang lain yakni nilai kontraksi 100%, alternatif 3 yakni ENE unggul pada nilai 0.85 disusul kemudian dengan skenario atau alternatif 4 dengan nilai hampir mendekati 0.05 di urutan terbawah adalah skenario alternatif 1 atau BAU dengan nilai -0.091. Pad anilai kontraraksi 70% sebagamana disarankan oleh Idelftet dan Danielson (2003), alternatif 3 unggul pada kisaran 0.074 sampai 0.191 dibanding dengan skenario PDS atau antara 0.152 dengan 0191 dibanding dengan skenario MSDL. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa skenario atau alternati3 memiliki keunggunal dibanding dengan kebijakan lainnya. Gambar 33 di bawah ini menunjukkan urutan preferensi dari kriteria dan alternatif yang telah di bahas sebelumnya. Urutan prefrensi (Prefrence ordering) menunjukkan bahwa urutan yang berada pada baris atas menunjukkan urutan yang lebih dipilih daripada urutan yang di baris bawah. Gambar 33 menunjukkan bawah kriteria C2 pada alternatif 1 lebih dipilih dairpada kriteria C18 pada alternatif 2. Secara umum dapa dikatakan bahwa kriteria ke 5, 9, 14, 17 dan 18 pada struktur pohon keputusan sebagaimana tertera pada Gambar 33 didominasi atau tidak lebih baik dari pada kriteria-kriteria lainnya.
73
Gambar 33 Urutan preferensi dari alternatif dan kriteria kebijakan SRD Jambi
Sensitifitas Skenario Kebijakan Pada bagian ini disajikan analisis sensitivitas skenario kebijakan dengan mengubah skenario kebijakan mengikuti strng sustainabaility. Analisis ini dilakukan dengan mengubah bobot peluang dan interval nilai dari atribut sosial, ekonomi dan lingkungan. Perubahan nilai ini mengikuti pola yang telah dilakukan dengan FLAG dan juga mengikuti kaidah yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yakni Mihai et al (2015). Struktur pohon analisis sensitivitas kebijakan disajikan pada Gambar 34.
74
Gambar 34 Struktur model IDM SRD Jambi skenario keberlanjutan kuat (strong sustainability)
75
Gambar 35 di bawah in menyajikan nlai harapan antar alternatif 1 (BAU) dan alternatif lainnya. Dalam skenario ini Nampak bahwa BAU lebih baik daripada skenario PDS dengan kisaran nilai antara 0.075 dan 0.47, sementara jika BAU dibanding dengan alternatif 3 (MSDL) dan alternatif 4 (ENE), ENE dan MSDL jah lebih baik dari BAU. Dibanding dengan skenario baseline yang telah dilakukan sebelumnya pada analisis sensitivitas kebijakan ini PDS tidak lebih baik dari BAU karena aspek keberlanjutan kuat menunutut kriteria yang lebih ketat untuk aspek sosial dan lingkungan, sementara aspek ekonomi memang lebih unggul untuk skenario daya saing.
Gambar 35 Perbandingan nilai harapan pada strong sustainability (Alt1 vs Alt 2, Alt3 & Alt 4)
Gambar 36 berikut ini menyajikan perbandingan nilai harapan antara alternatif 2 (PDS) dan lainnya serta alternatif 3 (MSDL) dan alternatif 4 (ENE). Dari Gambar 36 nampak bahwa dibanding alternatif 2, alternatif 3 MSDL) memiliki keunggulan yang jah lebih dengan luasan area yang lebih besar dan pada nilai kontraksi (kepercayaan) yang lebih kecil sekitar 37%. Demikian juga jika dibandingkan dengan alternatif 4 (ENE), alternatif 4 jelas lebih baik dari pada alternatif PDS. Jika alternatif 3 dibandingkan dengan alternatif 4 maka Nampak bahwa luasan alternatif 3 sedikit lebih besar daripada alternatif 4 yang menunjukkan bahwa alternatif 3 (ENE) hanya sedikit lebih baik daripada alternatif 4.
Gambar 36 Perbandiangan nilai harapan pada strong sustainability (Alt1 vs lainnya) Alt 4; Alt 3 vs Alt 4)
76
Analisis Risiko Gambar 37 di bawah ini menjelaskan profil risiko dengan skenario kebijakan yang baru. Dibanding dengan hasil pada baseline, nampak pada skenario ini alternatif 3 mengungguli alternatif lainnya dengan nilai antara 0.4 sampai 0.85 dan tidak ada overlap dengan alternatif lainnya. Pada gambar 37 ini juga nampak bahwa alternatif 2 (PDS) memiliki nilai yang lebih rendah pada kisaran minimum 0 dan maksium 0.7 sementata alternatif 4 hampir mendekati alternatif 3 dengan kisaran nilai antara 0.35 (minimum) sampai 0.8 (maksimum).
Gambar 37 Sensitivitas pengambilan keputusan pada skenario strong sustainability
Analisis risiko ini juga bisa dilihat pada Gambar 38 dibawah ini dimana nilai kumulatif risiko yang rendah dimiliki oleh alternatif 3 sementara nilai kumulatif yang tinggi dimiliki oleh alternatif 1 (BAU).
Gambar 38 Profil risiko penuh pada skenario keberlanjutan kuat (strong sustainablity)
77
Jika melihat Gambar 39 atau dilihat hanya nlai tengah (middle graph), maka alternatif 3 tetap memiliki nilai kumulatif risiko yang paling rendah sementara alternatif PDS dan BAU keduanya hampir sama yakni memilki nilai risiko kumulatif yang lebih besar dengan alternatif 2 (PDS) yang lebih besar daripada alternatif 1 (BAU)
Gambar 39 Profil risiko tengah pada skenario keberlanjutan kuat (strong sustainability) Diagram Tornado Gambar 40 berikut menyajikan diagram tornado berdasarkan hasil sensitivitas skenario kebijakan yang baru. Dari Gambar 40 terlihat bahwa kriteria C16 yakni aspek IKLH dan C18 yakni aspek lahan kritis pada skenario PDS memiliki peangruh terhadap perubahan peluang pada nilai harapan pada aspek lingkungan sementara aspek sosial yakni tingkat kemiskinan (C14) memiliki pengaruh negative yanglebih besar terhadap nilai peluang pada alternatif PDS. Hasil ini relative berbeda dengan nilai pada analisis baseline yang menunjukkan bahwa skenario PDS lebih sensitive terhadap perubahan bobot dan nilai jika skeanrio keberlanjutan kuat (strong sustainability) diterapkan.
78
Gambar 40 Tornado peluang sensitivitas alternatif kebijakan pada skenario keberlanjutan kuat (strong sustainability) Jika dilihat dari Tornado nilai (Value Tornado) pada Gambar 41 berikut, hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa skenario C27 (aspek lahan kritis) pada kenario ENE dan aspek C6 (aspek IPM) pada skenario BAU cukup sensitive mengubah nilai harapan. Pengurangan lahan kritis aan memberikan kontribusi postif pada nilia harapan di aspek lingkungan pada alternatif ENE sementara aspek IPM memberikan kontribusi positif yang besar pada alternatif BAU. Kriteria lan yang juga berberan penting adalah C24 (IPM pada alternatif ENE) dan C13 (APA pada alternatif PDS berpangurh penting dalam mengubah nilai harapan yang dihasikan.
79
Dengan kata lain pada analisis sensitivitas kebijakan ini aspek sosial dan lingkungan berperan penting dalam mengubah nilia harapan alternatif yang ditawarakan.
Gambar 41 Tornado nilai sensitivitas alternatif kebijakan pada skenario keberlanjutan kuat (strong sustainability)
Gambar 42 Berikut ini menyajikan security threshold pada kisaran 10%, 30% dan 50% peluan maksimum dengan nilai minimum 0.2 sebagaimana dilakukan pada kasus baseline. Dari Gambar 42 terlihat bahwa Alternatif 2 PDS memliki tingkat keamanan (security threshold) yang rendah yang ditandai dengan pita warna merah pada hampir semua peluang kecuali pada peluang 50% dengan nilai kontraksi 30% baru alternatif ini dikatakan aman. Dengan kata lain jika peluang kejadian sukses lebih besar dan tingkat kepercayaan diperkecil mendekati nol persen (mendekati nilai interval dugaan) maka alternatif PDS bisa dikatakan aman. Untuk alternatif lainya, hasilnya menunjukkan warna hijau dan dikatakan OK untuk lulus uji keamanan.
80
Gambar 42 Security threshold alternatif kebijakan pada skenario keberlanjutan kuat (strong sustainbility) Ranking Kardinal dan Ordinal Gambar 43 menyajikan hasil ranking kardinal dengan skenario analisis sensitivitas kebijakan. Sebagaimana terlihat pada Gambar 43 pada kontraksi 0% alternatif 3 tetap unggul namun alternatif ini overlap dengan alternatif lainnya (1, 2, dan 4) sehingga sulit untuk mengambil kesimpulan yang meyakinkan. Pada nilai kontraksi 70% sebagai pendekatan kontraksi yang dihasikan dari nilai harapan, nampak bahwa alternatif 3 lebih unggul dan tidak overlap dengan alternatif 1 (BAU) dan alternatif 2 (PDS). Dengan kata lain pada nilai konraksi 70% dapat dikatakan dengan yakin bahwa alternatif ENE lebih baik daripada alternatif BAU dan PDS. Sementara jika dibanding dengan alternatif MSDL, alternatif 3 overlap dengan alternatif 4 artinya keduanya sama-sama lebih unggul dari BAU dan PDS namun alternatif ENE lebih baik dari MSDL. Pada nilai kntraksi 100% yang artinya jika nilai kriteria betul-betul tercapai maka alternatif 3 lebih unggul dari alternatif 4, dan alternatif 1 lebih baik dari alternatif 2
Gambar 43 Ranking kardinal Alternatif Kebijakan pada tingkat kepercayaan 0%, 70%, dan 100 % Hasil ranking kardinal ini juga terlihat pada ranking ordinal Gambar 44 di bawah ini, dimana alternatf 3 dan alternatve 4 menduduk posisi sejajar dan menunjukka bahwa alternatif 3 dan 4 lebih baik dari alternatif 1, dan pada urutan terendah adalah alternatif 2 (PDS).
81
Gambar 44 Urutan Ordinal hasil sensitivitas alternatif kebijakan pada skenario keberlanjutan kuat (strong sustainability) Gambar 45 menunjukkan urutan preferensi setelah dilakukan analisis sensitivitas kebijakan. Dari Gambar 45 terlihat bahwa preferensi urutan kriteria tidak banyak berubah dari kondisi awal kecuali krieria nomor C5 (tingkat kemiskinan) yang tidak lagi berada pada urutan preferensi rendah (didominasi). Dengan kata lain pada skenario ini tingkat kemiskinan menjadi salah variabel penting dalam mengubah nilai harapan dari skenario kebijakan.
Gambar 45 Urutan preferensi dari alternatif dan kriteria kebijakan SRD
82
6 IMPLIKASI DAN ARAH KEBIJAKAN SUSTAINABLE REGIONAL DEVELOPMENT (SRD) DI PROVINSI JAMBI Dari hasil analisis FLAG dan model IDM dapat ditarik beberapa implikasi kebijakan terkait dengan pembangunan wilayah di Provinsi Jambi. Implikasi kebijakan ini terkait dengan beberapa aspek yakni aspek oreintasi pembangunan, aspek sektoral, aspek pendanaan dan aspek politik kelembagaan. Pertama yang terkait dengan aspek orientasi kebijakan, hasil analisis FLAG dan IDM menunjukkan bahwa jika orientasi pembangunan didasarkan pada orientasi ekonomi seperti yang tercantum dalam program JAMBI EMAS dengan target pertumbuhan ekonomi di atas 8% akan cenderung tidak berkelanjutan, karena akan berimplikasi pada terlewatinya ambang batas sosial dan lingkungan dengan ditunjukan banyaknya bendera kuning dan merah. Demikian juga dengan hasil IDM yang cenderung lebih berisiko. Dengan demikian orientasi Jambi EMAS harus diubah untuk agenda pembangunan lima tahun ke depan. Orientasi JAMBI EMAS bisa saja kemudian diganti dengan orientasi “JAMRUD” yakni orientasi pembangunan yang berarti “Jambi Regional sUstainable Development”, yakni pembangunan Jambi berbasis kerangka SRD atau Sustainable Regional Development (Erlinda, 2016a)6. Perubahan orientasi ini bisa saja kemudian dikemas dalam paket ekonomi hijau atau Green Economy yang memprioritaskan ekonomi rendah karbon, efisiensi sumber daya dan pengembangan keaneka ragaman hayati. Perubahan orientasi ini berimplikasi pada pilihan-pilihan kebijakan dengan mengembangkan keunggulan sumber daya lokal dan mengembangakan potensi ekonomi berbasis non-ekstraktif. Potensi ekonomi lokal dengan keunggulan dibidang sumber daya terbarukan dan jasa ekosistem bisa saja dikembangkan untuk menunjang dua skenario kebijakan pembangunan tersebut. Sejalan dengan implikasi yang pertama tadi maka implikasi kedua berimplikasi pada pengembangan sektoral dengan mengembangkan sektor-sektror yang mendukung skenario kebijakan pengembangan sumber daya lokal seperti pengembangan UMKM, sektor pertanian dan sektor-sektor yang mendukung pengembangan skenario non-ekstraktif seperti pengembangan energi terbarukan melalui pengembangan energi biomassa dan pengembangan sektor pariwisata dengan memaanfaatkan jasa lingkungan. Selain itu pengembangan sektor jasa juga diarahkan untuk mendukung pemanfaatan sumber daya lokal melalui kerja sama dengan industri hotel dan restoran untuk mempromosikan sumber daya lokal Provinsi Jambi dengan keunggulan masing-masing kabupaten/kota. Posisi Jambi yang cukup strategis dengan wilayah Singapore dan provinsi sekitar dapat menjadi simpul ekonomi bagi pengembangan produk-produk lokal dengan pemasaran pada wilayah sekitar dan negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia. Terkait dengan arah kebijakan yang mendukung kebijakan pembangunan wilayah berkelanjutan, Tabel 26 berikut ini menyajikan indikasi atau arahan kebijakan sektor yang mungkin dapat dijadikan acuan.
6
Harian Jambi Ekspres 23 Pebruari 2016
83
Tabel 26 Arahan strategi kebijakan SRD di Provinsi Jambi Sektor Pertanian (S1)
Pertambangan/Migas (S2)
Perdagangan, hotel dan restoran (S3)
PDS (A1) Meningkatkan nilai tambah produk perkebunan (karet, kelapa sawit) melalui infrastruktur pengolahan dan efisiensi biaya (S1A1)
Meningkatkan infrastruktur yang mendukung sektor migas/pertambangan untuk menekan biaya dan meningkatkan daya saing (S2A1) Meningkatkan kapasitas SDM sektor jasa dengan memberikan ketrampilan menghadapi pasar MEA (S3A1)
Industri Pengolahan (S4)
Memberikan insentif untuk industri pengelolaan misalnya melalui subsidi bahan baku atau mekanisme lain yang rendah biaya (S4A1)
Jasa-jasa (S5)
Meningkatkan kapasitas SDM dan imprastuktur panjang (S5A1)
Skenario Kebijakan MSDL (A2) Memanfaatkan produk unggul lokal seperti karet, hasil hutan bukan kayu, budaya melalui UMKM (S1A2a) Pemberian insentif kepada UMKM untuk mengembangkan pasar produk lokal (S1A2b) Memberikan skema insentif untuk pengembangan pertambangan yang bertanggung jawab (S2A2) Menyebarkan promosi produkproduk lokal melalui sektor hotel dan restoran dengan meningkatkan nilai tambah produk lokal (S3A2) Mendorong industri rumah tangga untuk menyumbangkan produk ramah lingkungannya, produk daur ulang dan produk olahan berbasis hasil hutan bukan kayu (S4A2) Mendorong inovasi perdagangan jasa dari produk lokal (S5A2)
ENE (A3) Mengembangkan sektor jasa pertanian melalui festival seni dan budaya berbasis pertanian (S1A3a) Mengembangkan pasar jasa lingkungan kawasan konservasi (S1A3b)
Mengintegrasikan pertambangan dengan pariwisata sehingga memberikan nilai ekonomi nonekstraktif (S2A3) Mengembangkan ekowisata diwilayah konservasi sungai dan mengembangkan taman kota untuk membangkitkan ekonomi lokal (S3A3)
Mendorong pengembangan ekonomi kreatif melalui lomba, festival dan event regional dan nasional (S5A3)
84
Dari Tabel 26 diatas nampak bahwa sebagian strategi ada yang memang bersifat fokus pada skenario kebijakan tertentu namun juga ada yang bersifat overlapping artinya berada di beberapa sektor dan skenario kebijakan. Hal ini dapat dimaklumi karena mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan memerlukan upayaupaya atau program-program yang saling mendukung satu sama lain. Selain itu perlu pula dicatat bahwa arahan strategi kebijakan diatas sulit berjalan tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat melalui program-program pemberdayaan, khususnya untuk mendukung skenario kebijakan pembangunan sumber daya lokal dan pengembangan kebijakan non-ekstraktif yang sangat tergantung dari dukungan dan peran masyarakat. Pengembangan ekonomi kreatif adalah salah satu kegiatan ekonomi yang sangat mendukung ekonomi non-ekstraktif sehingga pengembangan mekanisme insentif kepada masyarakat sangat diperlukan dalam mendukung dihasilkan produk-produk unggulan prioritas Jambi yang juga akan meningkatkan daya saing ekonomi Provinsi Jambi menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2016 ke depan. Implikasi ketiga terkait dengan aspek pendanaan. Oleh karena hasil FLAG dan IDM menunjukan bahwa keberlanjutan dengan risiko yang lebih kecil dapat dicapai pada skenario sumber daya lokal dan non-ekstraktif, maka politik anggaran sebaiknya juga dialokasikan kepada kegiatan-kegiatan yang mendukug pengembangan sektor seperti disebutkan di atas. Dengan demikian investasi yang cukup besar diperlukan untuk pengembanan infrastuktr fisik yang mendukung pengembangan ekowisata serta pendanaan untuk restorasi ekosistim dan investasi ekologis untuk memicu pertumbuhan ekonomi berbasis non-ekstraktif. Pendanaan lingkungan saat ini telah memiliki kelembagaan di tingkat pusat yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dibawah Badan Layanan Umum Pendanaan Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Pemerntah Provinsi Jambi dapat memanfaatakan dana BLU ini untuk mengembangkan investasi di bidang lingkungan dan energi terbarukan yang lebih berkelajutan. Investasi lingkungan dengan dana BLU ini jauh lebih sederhana daripada menggunakan dana pinjaman dari perbankan. Dengan demikian kesungguhan pemerintah provinsi diperlukan untuk memetakan potensi-potensi sumber daya alam dan lingkungan yang dapat ditawarkan untuk memperoleh dana lingkungan melalui mekanisme BLU tersebut. Keempat menyangkut implikasi pada aspek politik kelembagaan. Hasil analisis FLAG dan IDM ini bagaimanapun memerlukan dukungan politik dari legislasi dan pengambil keputusan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Demikian juga dukungan kelembagaan dengan mengembangkan regulasi-regulasi yang mendukung pengembangan jasa lingkungan dan pengelolaan ekonomi hijau. Regulasi terkait dengan Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) misalnya harus dikembangkan, untuk mendukung mekanisme Pengelolaan Jasa Lingkungan (PJL), di wilayah konservasi misalnya saja terkait dengan PJL jasa air atau ekowisata antara wilayah hulu dan hilir. Tanpa dukungan regulasi dan kelembagaan pengembangan potensi ini sulit dilakukan. Pemerintah provinsi mungkin perlu memperkuat kelembagaan yang terkait dengan pengembangan ekonomi lokal dan non-eksraktif seperti dinas pertanian dan badan lingkungan hidup agar memiliki kewenanangn yang lebih untuk mengembangkan potensi ekonomi lokal dan pengembangan jasa lingkungan.
85
Kebijakan pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi, dapat dijabarkan dalam model JAMRUD (Jambi Regional sUstainable Development), Gambar 46 berikut.
Gambar 46 Model Jambi Regional sUstainable Development (JAMRUD) Gambar 46 menjelaskan alur arahan kebijakan pembangunan wilayah di Jambi yang mengadopsi prinsip-prinsip berkelanjutan dan dikenal dengan model JAMRUD (Jambi Regional sUstainable Development). Sebagai platform (dasar) model pembangunan daerah adalah prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Secara konseptual, prinsip ini diwakili oleh tiga platform utama yakni prinsip pembangunan berkelanjutan itu sendiri yang memperhatikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kemudian prinsip ekonomi hijau yang mengetengahkan prinsip ekonomi rendah karbon, penurunan degradasi lingkungan, dan pemanfaatan jasa lingkungan, serta efisiensi sumberdaya. Kedua platform tersebut, kemudian ditunjang oleh prinsip yang ketiga yakni ekonomi wilayah dan instrumen ekonomi pembangunan. Dalam ekonomi wilayah, kaidah-kaidah yang berkaitan dengan rencana tata ruang wilayah, ruang terbuka hijau, serta daya dukung wilayah harus menjadi perhatian para pengambil kebijakan. Di sisi lain instrumen ekonomi yang mendukung keberlanjutan seperti Payment for Environment Services (PES) atau pembayaran jasa lingkungan dapat digunakan untuk menunjang pembangunan daerah atau wilayah yang berkelanjutan. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian tinjauan pustaka bahwa pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan inklusif merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Dengan demikian pembangunan daerah di Jambi secara implementatif harus mencapai pertumbuhan yang inklusif yakni melibatkan peran serta pelaku ekonomi atau masyarakat yang lebih luas, dengan sektor ekonomi yang lebih bervariasi. Disamping itu pembangunan berkelanjutan secara implementatif dapat dilakukan dengan menerapkan LEDS (Low Emission Development Strategis) Sebagaimana dikemukakan oleh Fauzi (2016a) LEDS merupakan bagian yang tidak
86
terpisahkan dari pembangunan berkelanjutan, karena sudah diepakati oleh seluruh dunia pada pertemuan perubahan iklim ke 15 di Copenhagen Denmark. Strategi rendah emisi tidak selalu harus mengurangi kosumsi bahan bakar fosil, namun lebih mengembangkan pada energi alternatif dan pembangunan pertanian yang ramah lingkungan. Strategi ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Jambi yang akan mengembangkan pusat-pusat energi terbaharukan di masa mendatang. Strategi pembangunan Jambi dengan pendekatan LEDS juga pada hakekatnya memperkuat komitmen Jambi untuk menuju Pro Cipta Karbon 2032 yang telah dicanangkan melalui Keputusan Gubernur Jambi nomor 352/KepGub/ SetdaEkBang&SDA-4.2/2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ (SRAP REDD+). Sebagaiman disebutkan dalam SRAP REDD+ Provinsi Jambi memiliki peluang besar untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) lebih dari 55 Mega ton setara CO2 (atau CO2e) sampai tahun 2030 dengan rata-rata penurunan sebesar 1,59 Mega Ton CO2e per tahun. Potensi pengurangan ini sebagian besar (86%) dari konvervasi lahan gambut. Dokumen SRAP memang sebagian besar menekankan pada aspek mencegah kebakaran dan pembakaran hutan dan lahan gambut, mengurangi deforetasi hutan, merehabilitasi lahan gambut, mengelola hutan secara lestari dan reboisasi hutan. Kelima aspek tersebut tentu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan LEDS yag sejalan dengan Copenhagen Accord. Namun demikian LEDS mencakup aspek yang lebih luas lagi tidak sekedar pada aspek hutan dan lahan gambut. Salah satu hal yang menjadi penekanan penting dalam pengembangan LEDS di Jambi ini adalah karena belum terpenuhinya komitmen pembangunan rendah karbon tersebut. Sebagaimana tercantum dalam dokumen SRAP REDD+ Jambi, sejak tahun 2010 pemerintah Provinsi Jambi telah mendeklarasikan kebijakan “kesejahteraan rendah karbon”. Untuk mencapai kebijakan tersebut tentu tidakcukup dengan hanya menurunkan emisi dari hutan dan lahan gambut. Kesejahteraan rendah karbon merupakan kebijakan ekonomi yang secara menyeluruh meliputi berbagai sektor ekonomi. Hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa strategi MSDL dan ENE merupakan strategi yang cenderung lebih berkelanjutan (dengan kecenderungan bendera hijau yang banyak) dan cenderung rendah risiko sangat sejalan dengan kebijakan kesejahteraan rendah karbon tersebut. Namun demikian strategi MSDL dan ENE meliputi aspek ekonomi, sosial dan lingkungan sebagai unsur pembangunan berkelanjutan, sehingga strategi MSDL dan ENE yang mendukung kebijakan kesejahteraan rendah karbon bersifat multi sektor dan multi aspek (ekonomi, sosial dan lingkungan). Perlu pula menjadi catatan bahwa, sejak dicanangkan tahun 2010 tersebut, sampai periode akhir Jambi EMAS 2015, data indikator makro sebagaimana ditunjukkan pada Tabel lampiran masih berfokus pada tumpuan ekonomi non ekstraktif dan sektor primer sebagai penunjang utama. Dengan demikian kebijakan kesejahteraan rendah karbon yang telah dicanangkan sebalumnya masih dirasakan bersifat parsial dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Hasil penelitian menekankan pentingnya integrasi pembangunan berkelanjutan, salah satunya melalui strategi LEDS ke dalam pembangunan wilayah karena esensi atau nafas dari Sustainable Regional Development (SRD) dalam JAMRUD adalah mengintegrasikan instrument-instrumen pembangunan berkelanjutan tersebut ke dalam pembangunan wilayah.
87
Aspek lain yang perlu menjadi catatan penting adalah aspek investasi. Dokumen SRAP REDD+ Jambi memang menekankan pentingnya investasi rendah karbon sebagai strategi dasar dan rencana aksi menunju Jambi rendah karbon. Strategi yang ditawarkan dari studi ini pun memperkuat komitmen investasi rendah karbon tersebut. Secara lebih khusus investasi dibidang ekosistem seperti pengembangan PES merupakan salah satu investasi rendah karbon yang bukan hanya mendukung penurunan emisi namun juga memberikan peluang ekonomi kepada masyarakat di wilayah hulu dan sekaligus insentif untuk tidak melakukan deforestasi. Selain itu investasi pada energi terbarukan dan pengembangan ekonomi non ekstraktif seperti melalui pengembangan ekonomi kreatif, pengembangan UMKM yang mendukung energi bersih dan pemanfaatan sumber daya lokal dalam mengembangkan UMKM akan sangat membantu mempercepat investasi rendah karbon tersebut. Hal ini dilakukan untuk mempertegas kembali komitmen Jambi untuk meningkatkan investasi di provinsi. Dalam RPJMD Jambi investasi ini menjadi salah satu unsur penting dalam meningkatkan kesejahteraan dalam JAMBI EMAS dan JAMBI TUNTAS namun demikian dalam dokumen kedua program tersebut hanya ditekankan pada invesatsi PMA dan PMDM, tidak disentuh sama sekali bagaimana investasi rendah karbon dilakukan. Dengan demikian strategi yang ditawarkan dalam penelitian ini sejatinya dapat menjadi pelengkap dalam mengembangkan investasi rendah karbon di Provinsi Jambi. Pada bagian kedua model JAMRUD adalah platform pilihan kebijakan yang telah ditawarkan pada studi ini yakni Peningkatan Daya Saing (PDS), Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL), dan mengembangkan Ekonomi Non-Ekstraktif (ENE). Platform ini harus didukung oleh regulasi seperti Peraturan Daerah (PERDA) atau Pergub yang menjadi basis legal pelaksanaan kebijakan pembangunan tersebut. Alur selanjutnya adalah implementasi kebijakan yang dijabarkan pada program-program di sektor, seperti sektor pertanian, pertambangan, industri dan jasa. Rincian program-program ini telah dijabarkan pada Tabel 27 sebelumnya. Selain implementasi pada sektor, opsi kebijakan model JAMRUD dalam daerah program berbasis PDS, MSDL, dan ENE juga dapat diimplementasi dalam konteks kewilayahan. Pengembangan infrastruktur wilayah sebaiknya diarahkan pada infrastruktur yang mendukung pengembangan Ekonomi Non-Ekstraktif seperti infrastruktur eko-wisata, infrastruktur perdesaan untuk meningkatkan pengembangan sumber daya lokal dan infrastruktur yang tidak melampaui daya dukung dan tata ruang wilayah lainnya. Platform ini selain memerlukan dukungan sektor finansial, juga memerlukan dukungan politik dan regulasi. Hal lain yang perlu dicatat juga adalah bahwa kebijakan antar sektor dalam model JAMRUD memungkin adanya saling melengkapi atau komplementer. Model komplementer ini sering disebut sebagai model Solidartity Alternative (Fauzi, 2016b). Prinsip dari model solidarity alternative adalah distribusi penerimaan dari sektor yang cenderung memiliki penerimaan yang tinggi seperti tambang atau perkebunan ke sector yang cenderung memiliki pendapatan yang rendah namun penting dalam menjaga kehidupan masyarakat seperti pertanian skala kecil industri rumah tangga dan usaha kecil dan menengah. Dengan mekanisme solidarity alternative, penerimaan dari sektor yang pendapatan tinggi sebagian harus diperuntukan untuk pengembangan sektor yang cenderung berpendapatan rendah. Mekanisme ini bisa saja dilakukan melalui earmarking atau penandaan dimana sebagian kecil dana yang diperoleh dari sekor berpenghasilkan tinggi ditandai untuk
88
mengembangkan sektor dengan berpendapatan rendah. Mekanisme ini mirip dengan system Natural Resource Funds atau dana sumber daya alam yang telah dikembangkan di berbagai negara. Menurut Fauzi (2016b) NRF di beberapa negara yang bersumber dari sektor berpenerimaan tinggi seperti tambang dan migas sebagian disimpan sebagai dana tabungan (tidak seluruhnya masuk ke dalam APBD) yang kemudian peruntukannya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan sektor pertanian. Program-program yang berbasis tiga opsi kebijakan diatas, sebagaimana disampaikan sebelumnya sulit berjalan tanpa dukungan masyarakat. Oleh karenanya dukungan masyarakat melalui insentif pada usaha kecil dan menengah sangat penting. Hal ini, selain untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan yang berkelanjutan, juga untuk meningkatkan daya saing masyarakat dalam menghadapi pasar regional maupun Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Secara keseluruhan hasil analisis FLAG dan IDM yang diperoleh dari hasil disertasi ini berimplikasi pada perubahan yang penting bagi kebijakan pembangunan wilayah di Provinsi Jambi dan daerah di bawahnya yakni Kabupaten dan Kota. Hasil studi ini juga masih relevan jika disandingkan dengan kebijakan pembangunan daerah saat ini dengan terpilihnya pemerintahan yang baru. Visi pemerintahan Jambi saat ini telah mengganti dari Jambi Emas ke Jambi Tuntas, yakni singkatan dari Tertib Unggul Nyaman Tangguh Adil dan Sejahtera. Model JAMRUD dari studi ini masih sejalan dengan visi di atas terutama untuk mendukung komponen Unggul dan Tangguh melalui kebijakan PDS serta komponen Adil dan Sejahtera melalui kebijakan MSDL dan ENE. Dalam konteks ini adil merupakan implementasi kebijakan pertumbuhan inklusif yang mengetengahkan pro kemiskinan dan UMKM serta sejahtera yang tidak hanya diartikan pada pertumbuhan ekonomi semata, namun juga pada kelestarian ekosistim yang mendukung kesejahteraan manusia dan aspek sosial kehidupan. Ketersediaan udara yang bersih (dengan mengurangi hot spot), ketersidaan air yang bersih (dengan menjaga daerah aliran sungai dan wilayah konservasi) merupakan beberapa contoh kebijakan ENE yang mendukung aspek Adil dan Sejahtera dalam konteks TUNTAS. Selain itu implikasi bagi masyarakat juga diperlukan untuk mengubah paradigma mereka dengan cara memberikan insentif agar masyarakat terpacu untuk mengembangkan sumber daya lokal dan mengembangkan kegiatan ekonomi berbasis non-ekstraktif seperti pengembagan jasa lingkungan dan ekowisata. Dengan adanya insentif yang memadai maka pengembangan ekonomi akan lebih terarah karena akan memberikan sinyal manfaat yang lebih baik pada pelaku usaha dan masyatakat pada umumnya. Gambar 47 di bawah ini menunjukkan hubungan antara startegi kebijakan model JAMRUD dengan JAMBI TUNTAS dan tujuan SDGs. Sebagaimana terlihat pada Gambar 47 strategi yang dikembangkan pada model Jamrud ini banyak mendukung tujuan ekonomi, pengembangan SDM, infratuktur dan penguatan fundamental ekonomi pada model Tuntas (khususnya tujuan 2, 4, 6, 8 dan 9). Sementara jika dikaitkan dengan tujuan SDGs, strategi model Jamrud ini banyak mendukung tujuan 1, 2, 3, 4 terkait dengan komponen People, serta tujuan 10, 12 dan 13 yakni memperkecil ketimpangan, konsumsi dan produksi yang berkelanjutan serta perubahan iklim.
89
Gambar 47 Hubungan strategi kebijakan JAMRUD, Jambi TUNTAS, dan SDGs Dari Gambar 47 di atas nampak bahwa model JAMRUD selain mendukung kebijakan pembangunan yang sifatnya lokal dan regional, juga mampu mendukung kebijakan pembangunan berkelanjutan yang sifatnya global dan nasional. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model ini kompatibel atau dapat menyesuaikan dengan tujuan regional dan sekaligus membantu mencapai tujuan SDGs yang telah menjadi komitmen bersama.
90
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil analisis studi ini dapat ditarik beberapa kesimpulan baik yang terkait dengan tujuan penelitian maupun kesimpulan yang relevan dengan kebijakan pembangunan di Provinsi Jambi. Pertama, hasil analisis dengan menggunakan pendekatan FLAG dapat dikatakan bahwa secara umum tujuan pembangunan Jambi yang terlalu mengedepankan aspek ekonomi cendrung akan mengalami penurunan tingkat keberlanjutan. Skenario pembangunan dengan business as usual, baik dari data perencaan dan data aktual menunjukkan frekuensi bendera kuning yang lebih banyak dari bendera hijau. Khususnya jika penilaian FLAG dilakukan berdasarkan data aktual maka kecenderungan munculnya bendera kuning akan lebih tinggi dibanding data berbasis perencanaan. Kemudian jika analisis FLAG diuji pada skenario pembangunan lain di luar BAU seperti pengembangan sumber daya lokal dan ekonomi non ekstraktif, maka skenario menggunakan data aktual juga akan menghasilkan bendera kuning yang lebih banyak daripada skenario perencanaan. Hasil analisis menunjukkan bahwa jika kriteria keberlanjutan lemah dan moderat yang menjadi acuan, maka pembangunan di Jambi akan banyak melewati ambang batas dengan banyaknya bendera kuning, merah dan hitam. Jika keberlanjutan kuat yang menjadi tolak ukur skenario saat ini bisa saja dikatakan lolos uji keberlanjutan namun akan menghasilkan trade off yang lebih kuat antara ekonomi dan lingkungan. Skenario keberlanjutan kuat yang memberikan rentang CTV yang lebih sempit dan cenderung bersifat kehati-hatian akan menghasilkan kecenderungan bendera hijau yang artinya lebih sustainable dengan lebih memperhatikan pada aspek lingkungan yang lebih baik. Kedua, alternatif atau skenario kebijakan lainnya baik melalui Peningkatan Daya Saing (PDS), Mengelola Sumber Daya Lokal (MSDL), dan pengembangan Ekonomi Non-Ekstraktif dapat menjadi alternatif pembangunan Provinsi Jambi di masa mendatang. Ketiga skenario pembanguan tersebut cenderung lebih banyak memiliki bendera hijau dan lebih sedikit bendera kuning dibanding dengan skenario business as usual. Kebijakan PDS bisa diterima jika yang menjadi tolak ukur adalah keberlanjutan moderat. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan MSDL dan kebijakan ENE adalah kebijakan yang relatif lolos uji keberlanjutan, baik melalui analisis FLAG maupun analisis IDM. Ketiga, perancanaan pembangunan berkelanjutan memang tidak terlepas dari aspek risiko dan ketidakpastian. Hasil analisis IDM menunjukkan bahwa risiko yang relatif lebih besar akan diperoleh pada agenda pembangunan saat ini (business as usual) sementara risiko yang relatif lebih kecil akan diperoleh pada skenario kebijakan pengembangan sumber daya lokal dan non-ekstraktif. Hasil analisis IDM juga memberikan gambaran yang konsisten dengan analisis FLAG bahwa skenario pembangunan MSDL dan ENE merupakan skenario yang dapat diterima pada tingkat kontraksi di atas 70%, yang artinya dalam ketiadaan informasi dan ketidak pastian yang tinggi, kedua skenario tersebut masih relatif lebih baik dari sisi keberlajutan. Hasil analisis IDM juga menghasilkan analisis Torando yang menunjukkan beberapa indikator yang sensitif terhadap keberlanjutan. Kesimpulan umum dari hasil analisis
91
Tornado menjukkan bahwa variabel ekonomi seperti laju pertumbuhan yang tinggi dan variabel lingkungan seperti hot spot dan lahan kritis cenderung akan mengurangi nilai keberlajutan. Di sisi lain perbaikan pada variabel lingkungan ini (pengurangan hot spot dan lahan kritis, misalnya) akan berkontribusi positif terhadap keberlajutan pembangunan di Jambi untuk seluruh skenario pembangunan. Selain dari ketiga kesimpulan di atas, hasil analisis ini juga dapat disimpulkan sejalan dengan beberapa tujuan pembangunan sustainable development goals (SDGs) khususnya yang berkaitan dengan aspek People, Planet, Prosperity. Skenario pembangunan ENE dan MSDL akan memperkuat aspek kesejahteraan (People dan Prosperity) melalui pengembangan ekonomi lokal dan pertumbuhan inklusif sehingga dapat membantu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain skenario pembangunan ENE juga akan memperkuat aspek Planet dalam komponen SDGs . Saran Dari hasil analisis studi ini dapat disampaikan beberapa saran terkait dengan skenario pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi. Pertama, oleh karena aspek keberlanjutan akan dicapai pada kebijakan pengembangan sumber daya lokal dan non-ektraktif, maka pemerintah provinsi disarankan mengembangkan pola pembangunan ekonomi hijau dengan basis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan memperhatikan sumber daya lokal dan pasar yang lebih ramah lingkungan. Pengembanan ekonomi hijau juga dilengkapi dengan pertumbuhan inklusif yang lebih bersifat pro poor dan mengintegrasikan antar sektor sehingga lebih memperkuat pembangunan sosial ekonomi yang lebih luas. Kedua, Pemerintah Provinsi Jambi dapat menjadikan kawasan konservasi sebagai unggulan ekonomi berbasis jasa lingkungan oleh karenanya disarankan untuk mengembangkan mekanisme pembayaran jasa lingkungan atau Payment for Enviromental Services (PES) baik melalui ekowisata maupun integrasi sektor pertanian dengan jasa lingkungan. Selain itu PES dapat dikembangkan untuk sumber daya air melalui kerja sama kabupaten/kota dibawah kendala pemerintah provinsi. Ketiga, disarankan juga bahwa provinsi Jambi mulai mengembangkan skema solidarity alternatif yakni penandaan (earmarking) dari penerimaan sektor yang memiliki penerimaan yang tinggi seperti batu bara, pertambangan dan migas, ke sektor primer (pertanian dan perikanan). Solidarity alternative ini kemudian dapat dijadikan cikal bakal bagi pengembangan natural resource fund Provinsi Jambi di masa mendatang, di mana natural resource fund merupakan skema pendanaan pembangunan yang dapat mengurangi shock atau goncangan pada perekonomian di daerah. Pemanfaatan dana sumber daya alam untuk mengembangkan jasa lingkungan akan memberikan manfaat yang lebih banyak kepada masyarakat dan lingkungan. Keempat, diperlukan kebijakan dukungan berupa politik anggaran (pendanaaan) untuk merealisasikan ekonomi hijau berbasis non-ekstraktif melalui alokasi anggaran khusus dan investasi dibidang ekologi. Selain itu diperlukan perubahan paradigma pembangunan dan orientasi ekonomi seperti Jambi EMAS ke orientasi keberlanjutan misalnya melalui “JAMRUD” atau Jambi Regional sUstinaible Development.
92
Kelima, saat ini Jambi akan menjalankan agenda pembangunan baru yakni Jambi TUNTAS, hasil analisis model Jamrud ini sebagian telah selaras dengan agenda TUNTAS khususnya terkait dengan aspek Unggul dan Sejahtera karena beberap saran kebijakan dari model JAMRUD ini dapat diintegraskan ke dalam model TUNTAS melalui mekanisme pertumbuhan hijau dan pertumbuhan inklusif. Disarankan pula bahwa pengembangan Jambi TUNTAS ke depan hendaknya memperhatikan daya dukung lingkungan ekonomi, sosial dan lingkungan sebagaimana ditunjukkan dalam studi ini. Dengan mengintegrasikan daya dukung (critical threshold value) maka pencapaian agenda Jambi TUNTAS akan lebih berkelanjutan dan membantu dalam mencapai beberapa tujuan dari Sustainable Develoment Goals (SDGs).
93
DAFTAR PUSTAKA Amekudzi A, Khayesi M, Khisty CJ. 2015. Sustainable Development Footprint: A Framework for Assessing Sustainable Development Risk and Opportunities in Time and Space. International Journal of Sustainable Development Vol 18 (1/2). Pp 9-40. Antunes P, Santos R, Videina N, Colaco F, Szanto R, Dobos ER, Kovacs S, Vari A. 2012. Approaches to Integration in Sustainability Assessment Technologis. Report for EC 7 th Framework Project. European Union. Arief T. 2016. TN Kerinci Seblat: Zona Inti Semakin Terancam. Harian Kompas 2 April 2016. Behzadian M, Otaghsara SK, Yazdani M, Ignatius .J. 2012. A State of the Art Survey of TOPSIS Applications. Export System with Application, 39.p8: 13051-13069. BPS dan Bappeda Provinsi Jambi. 2014. Jambi dalam Angka. 2014. BPS Provinsi Jambi. 2014. Statistik Potensi Desa Provinsi Jambi 2014. Bappeda Provinsi Jambi. 2004. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Provinsi Jambi 2005-2025. Bappeda Provinsi Jambi. 2009. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Jambi 2010-2015. Bappenas.2014. Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2014. Memantapkan Perekonomian Nasional bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat yang Berkeadilan. Bappeda Provinsi Jambi. 2013. Peraturan Daerah Provinsi Jambi tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi 2013-2033. Bappeda Provinsi Jambi. 2014. Laporan Pertangungjawaban Gubernur Tahun 2014. Cinelli M, Coles SR, Kirwan K. 2014. Analysis of the Potentials of Multi Criteria Decision Analysis Methods to Conduct Sustainability Assessment. Ecological Indikators 46, 138-148. Clement K, Hansen M, Bradley K. 2003. Sustainable Regional Development: Learning from Nardic Experience. Nardregion 2003. Danielson M, Ekenberg L. 1996. A Framework for Analysing Decisions Under Risk. DECIDE Research Group, Department of Computer and Systems Sciences, Royal Institute of Technology and Stockholm University, Electrum 230, S-164 40 Kista, Sweden. Danielson M, Ekenberg L, Johansson J, Larsson M. 2003. The DecideIT Decision Tool, Proceedings of ISIPTA’03, Bernard, J-M, Seidenfelf, T, and Zaffalon, M. (eds), pp. 204-217, Carleton Scientific. Danielson M, Ekenberg L, Johansson J, Larsson M. 2003. Decision Evaluation of Three Flood Management Strategies. FLAIRS, 491-495. Dasgupta PS, Heal GM. 1974. The Optimal Deplation of Exhaustible Resources. Review of Economic Studies, Symposium on the Economics of Exhaustible Resources. Edinbugh, Scotland. Erlinda N, Fauzi A, Sutomo S, Putri EIK. 2015. Meassuring Regional Sustainable Development Using FLAG Model: A Case Study of Regional Development in Jambi Province, Indonesia. Paper Presented at the International Conference of Regional Studies Association, Hangzhou, China : 25-27 Nopember 2015.
94
Erlinda N. 2016a. Dari Jambi Emas ke JAMRUD : Menuju Pembangunan Jambi yang Inklusif dan Berkelanjutan. Harian Jambi Ekspres 23 Pebruari 2016. Erlinda N. 2016b. Paradoks Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi VS Kutukan Sumber Daya Alam (Mempertimbangkan Risiko dan Ketidakpastian mewujudkan Jambi TUNTAS yang Berkelanjutan). Harian Jambi Ekspres 15 Maret 2016. Fauzi A. 2007. Ekonomc of Nature’s Non Convexity : Reorientasi Pembangunan Ekonomi Sumber Daya Alam dan Implikasinya bagi Indonesia (Orasi Ilmiah). Disampaikan pada Orasi Ilmiah Guru Besar Ekonomi Sumber Days Alam dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, 10 Nopember 2007. Fauzi A, Oxtavianus A. 2014. The Measurement of Sustainable Development in Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol 15, Nomor 1, p 68-83, Juni 2014. Fauzi A 2014. Valuasi Ekonomi dan Penilaian Kerusakan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. IPB Press, Bogor. Fauzi A. 2016a. Landasan Konsepsi Low Emission Development Strategi di Wilayah Pesisir. Bahan Presentasi pada Lokakarya LEDS. Bandung, 12 Februari 2016. Fauzi A. 2016b. Natural Resources Fund: Alternatif Pendanaan Pembangunan. Bahan Presentasi pada Diskusi Dana Ketahanan Energi KAHMI, Jakarta 23 Pebruari 2016. Firdaus M. 2013. Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia : Fakta dan Strategi Inisiatif. Orasi Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Giaoutzi M, Nijkamp P. 1993. Decision Support Model for Regional Sustainable Development. Avebury, UK. Gibson RB. 2006. Sustainability Assessment: Basic Components of a Proctical Approach. Impact Assessment Project Appraisal, 24, 170-182. Haughton G, Councel D. 2004. Regions and Sustainable Development : Regional Planning Matters. The Geography Journal, 170 (2), 135-145. Hermanides G, Nijkamp P. 1998. Multi Criteria Evaluation of Sustainable Agriculture Land Use: A case Study of Lesvos. Multi Criteria Analysis for Land Use Management. Beinat, E., Nijkamp, P.(Eds), Kluwer, Dondrecht., 61-78. Hersh M. 2006. Mathematical Modelling for Sustainable Development. SpringerVerlag, Berlin. Huang IB, Keisler J, Lincov I. 2011. Multicriteria Analysis in environmental sciences : ten years of application and trends. Sci. Total Environ, vol 409, 3578-3594. Hwang YS, Yoon KP. 1981. Multiple Atribute Decision Making : Methods and Application. Springer-Verlag, New York. Ianchovichina E, Lundstrom S. 2009. What is Inclusive Growth? Paper for Diagnostic Facility for Shared Growth. Idefeldt J, Danielson M. 2006. Multi-Criteria Decision Analysis Software for Uncertain and Imprecise Information. Stockholm University & Royal Institute of Technology Forum 100, SE-164 40 Kista, Sweden. Idefeldt J. 2007. An Applied Approach to Numerically Imprecise Decision making. Thesis for the degree of Doctor in Computer Science Department of Information Technology and Media Mid Sweden University, SE-851 70 Sundsvall, Sweden
95
Joerin F, Riault M, Musy A. 2000. Using GIS and outranking multicriteria analysis for land-use suitability assessment Kates RW, Parris TM, Leiserowitz AA. 2005. What is Sustainable Development? Goals, Indikators, Values, and Practice. Issue Environment Science and Policy for Sustaibnable Development, 47 (3), 8-21. Diperoleh tanggal 8 Desember 2015, dari hhtp.//www.heldref.org/env.php Kementerian Lingkungan Hidup. 2014. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2014. Kementerian Dalam Negeri. 2010. Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Kivunike FN, Ekenberg L, Danielson M, Tusubira F. 2015. Using a Structured Approach to Evaluate ICT4D: Healtcare Delivery in Uganda. The Electronic Journal of Information Systems in Developing Countries. Kristorm B, Riera P. 1996. Is the Income Elasticity pf Environmental Improvement Lees Than One? Environmental and Resource Economics,7: 45-55. Kula E. 1992. Economics of Natural Resources and the Environment. Chapman dan Hall, London. Lancker E, Nijkamp P. 2000. A policy skenario analysis of sustainable agricultural development options: a case study for Nepal. Faculty of Economics and Econometrics, Free University of Amsterdam , De Boelelaan 1105, 1081 HV, Amsterdam , The Netherlands. Leeuwen E, Vreeker R, Rodenburg C. 2003. A Framework of Quality of life Assessment of Urban Green Areas in Europe : An Application of Disrict Park Reudnitz Leipzig. Paper Presented at 43 rd ERSA Crugress. Findland. August 27-30. Mahalakshmi P, Panigrahi A, Ravisankar T, Kumar JA, Shanthi B. 2014. Multi Criteria Decision Making for Identification of Optimal Location for Aquaculture Development. International Journal of Advances in Science Engineering and Technology, ISSN: 2321-9009. Vol 2, Issue 3, July 2014 Maltus TR. 1978. An Esray on the Principle of Population. New York: Norton. Meadows DH, Meadows DL, Randers J, Behrens III W. 1972. The limit to growth. New York. Mihai A, Marincea A, Ekenberg L. 2015. A Multicriteria Decision-Making Analysis of the Roșia Montană Gold Mining Project. Research undertaken by MRC–Median Research Centre, Bucharest, Romania eGovlab, Department of Computer and Systems Sciences, Stockholm University Mihai A, Marincea A, Ekenberg L. 2015. A MCDM Analysis of the Roșia Montană Gold Mining Project. Sustainability 7, 7261-7288. Musser G. 2005. The Cklimax of Humanity. In Scientific American, p Special Edition. Nijkamp P, Lasehait P, Soeteman F. 1991. Sustainable Development in a Regional System. Research Memorandum. 93, Vrije Universiteit, Amsterdam. Nijkamp P, Ouwersloot H. 1996. A Decision Support System for Regional Sustainable Development: The FLAG Model. Vreij University, Amsterdam. Nijkamp P. 1999. Environmental security and sustainability in natural resource management. In S Lonergan (editor), (Ed) Environmental Change, Adaptation and Security (pp. 377–395). Kluwer, Dordrecht.
96
Nijkamp P, Vreeker R. 2000. METHODS : Sustainability assessment of development skenarios: methodology and application to Thailand. Ecological Economics 33, 7–27, Elsevier. Omann. 2004. Multi-Criteri Decision AID as an Approach for Sustainable Development Analysis and Implementation. Dissertation zur Erlangung des akademischen Grades einer Doktorin der Sozial- und Wirtschaftswissenschaften an der Karl-Franzens Universität Graz. Oxtavianus A. 2014. Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan Modal Sosial di Indonesia. Disertasi Prodi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Institut Pertanian Bogor. Patterson A, Theobald KS. 1995. Sustainable Development, Agenda 21 and the New Lokal Goresnance in Britain. Regional Studis vol 29 (8) pp : 773-778. Poveda CA, Lipsett MG. 2011. A Review of Sustainability Assessment and Sustainability/Environmental Rating Systems and Credit Weighting Tools, Journal Sustainable Development 4(6) 36-52. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.Yayasan Pustaka Obor, Jakarta. Schleicher, Tappeser R., Lukesch R. 1999. Instrument for Sustainable Regional Development. EURTS Report 9 Freburg. Germany. Shmelev SE, Rodriquez-Labajos B. 2009. Dynamic Multidimensional Assessment of Sustainability at the Macro Level: The Case of Austrian. Ecological Economic 68 : 2560-2573. Solow RM. 1974. Intergenerational Equitty and Exhaustible Resources. Review of Economic Studies, Symposium on the Economics of Exhaustible Resources. Edinbugh, Scotland. Stiglitz JE. 1974. Growth With Edxhaustible Resources, Efficient and Optimal Growth Paths. Review of Economic Studies, Symposium on the Economics of Exhaustible Resources. Edinbugh, Scotland. Sutter CH. 2003. Sustainability Check-up for CDM Projects. Wissenschaft licher. Verlag, Berlin. The World Cafe Community Foundation. (2015). A Quick Reference Guide for Hosting World Café. http://www.theworldcafe.com, diakses 05/02/2016. [UN] United Nations. 1987. Bruntland Report of the World Commission on Environment and Development: Our Common Future. hhtp://www.un.org/documents/ga/res/42/ares42-187. htm, diakses 06/12/2012.
97
LAMPIRAN
98
Lampiran 1 Indikator makro pembangunan berkelanjutan 1.1 Rangking PDRB, IPM, dan IKLH di Indonesia
Sumber : Fauzi dan Oxtavianus 2014 1.2 Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Provinsi Jambi Tahun 2010-2014
Sumber :data BPS 2014, BPS Jambi 2014, laporan ADB 2015 (diolah)
1.3 IPM Jambi terhadap rataan nasional Tahun 2009-2013
Sumber: BPS Indonesia 2014 (diolah) 1.4 Indeks Kualitas Lingkugan Jambi terhadap rataan nasional Tahun 2010-2014
99
Sumber : KLH 2014 (diolah)
Indeks Pembangunan Berkelanjutan
1.5 IPB Jambi vs Nasional Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB) Jambi vs Nasional 70,00 69,00 68,00 67,00 66,00 65,00 64,00 63,00 62,00 61,00 60,00
IPB Jambi IPB Nasional
2009
2010
2011
Sumber : Fauzi dan Oxtavianus 2014 1.6 Struktur ekonomi Provinsi Jambi 1999-2013
Persentase
Srtuktur Ekonomi Jambi 1999-2013 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Primer Sekunder Tersier Jumlah
1999 35,75 20,85 43,4 100
2004 38,2 19,46 42,34 100
2009 44,66 16,05 39,29 100
2013 46,38 16,84 36,78 100
Sumber : RPJP Provinsi Jambi 2005-2025, BPS, dan BI Jambi (diolah)
100
1.7 Indeks daya saing 13 provinsi di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Provinsi Sumatera Utara Riau Jambi Bangka Belitung Bengkulu Jawa Barat Banten Jawa Tengah Jawa Timur Bali Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Papua Barat
Indeks Input 1,403 1,855 1,433 1,172 1,323 1,658 1,299 1,553 1,473 1,524 1,506 1,142 1,492
Indeks Output 1,171 1,561 1,166 1,612 1,129 1,014 1,193 0,094 1,214 1,744 1,024 1,167 0,929
Indeks Daya Saing 1,287 1,708 1,299 1,392 1,226 1,336 1,246 1,229 1,343 1,634 1,265 1,154 1,210
Maksimum
1,855 Riau
1,744 Provinsi Bali
1,708 Riau
Minimum
1,142 Sulawesi Barat
0,904 Jawa Tengah
1,154 Sulawesi Barat
Sumber : Kemenkeu 2014
Lampiran 2 Output Multicriteria Analysis : Tools TOPSIS
101
102
Lampiran 3 Output tools samisoft Model FLAG
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
Lampiran 4 Daftar singkatan
DAFTAR SINGKATAN APA BAU BNPB BLU CTV ENE EMAS FGD HS IDM IPM IPB IKLH IMP IMS-GT JAMRUD LPE LEDS LK MCA MCDM MODM MSDL MEA MDGs NTP PJL PES PDS PDRBP RPJMD RPJPN SRD SDGs SLHI SDAL TOPSIS TUNTAS TK UMKM WSM WPM WCED
: Angka Partisipasi Angkatan Kerja : Business as Usual : Badan Nasional Penanggulan Bencana : Badan Layanan Umum : Critical Threshold Value : Ekonomi Non-Ekstraktif : Ekonomi Maju Masyarakat Adil dan Sejahtera : Focus Group Discusion : Hot Spot : Imprecise Dicision Modeling : Indeks Pembangunan Manusia : Indeks Pembangunan Berkelanjutan : Indeks Kualitas Lingkungan Hidup : Institusi Multi Pihak : Indonesia, Malaysia, Singapura Growth Triangle : Jambi Regional sUstainable Development : Laju Pertumbuhan Ekonomi : Low Emission Development Strategis : Lahan Kritis : Multi Criteria Analysis : Multi-Criteria Decision Making : Multi-Objective Decision Making : Mengelola Sumber Daya Lokal : Masyarakat Ekonomi Asean : Millenium Development Goals : Nilai Tukar Petani : Pembayaran Jasa Lingkungan : Payment for Environment Services : Peningkatan Daya Saing : Produc Domestic Regional Bruto Percapita : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Indonesia : Sustainable Regional Development : Sustainable Development Goals : Status Lingkungan Hidup Indonesia : Sumber Daya Alam dan Lingkungan : Technique of Ordering Preference Similarity Under Ideal Solution : Tertib Unggul Nyaman Tertib Adil dan Sejahtera : Tingkat Kemiskinan : Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah : Weighted Sum Method : Weighted Product Method : World Comission on Economic and Development
186
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 15 November 1971, anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak A. Karim dan Ibu Rosmidar (Almarhumah).
N e
Pada tahun 1990 penulis lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Kota Jambi. Tahun 1992 diterima sebagai PNS Pemda Provinsi Jambi. Sembari bekerja sebagai PNS, pada Tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Kota Jambi dan meraih gelar SE pada tahun 2004.
Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Strata 2 di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara-Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) Bandung dengan sponsor dari Pemda Provinsi Jambi, dan meraih gelar MAP pada tahun 2008. Tahun 2008-2010, penulis mengabdi sebagai PNS kembali di Pemda Provinsi Jambi, dan terakhir menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Perencanaan dan Pengendalian Program pada Biro Ekonomi dan Pembangunan Setda Provinsi Jambi, atau sekarang menjadi Biro Administrasi Pembangunan dan Kerja Sama (2015-sekarang). Pada tahun 2011, dengan sponsor dari Pemda Provinsi Jambi, penulis melanjutkan pendidikan ke jengang S3 pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana IPB.