PEMBANGUNAN PELAYARAN PERINTIS SEBAGAI SABUK NUSANTARA 1974-2012 Effendi Wahyono
[email protected]
Abstrak Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki pulau-pulau yang berbatasan dengan negara-negara lain. Wilayah di kawasan perbatasan tersebut merupakan wilayah yang sulit dijangkau sehingga masyarakat atau warga negara Indonesia yang hidup di dalamnya cenderung terabaikan. Mayarakat yang yang menghuni daerah terpencil dan juga terluar menjadi tertinggal karena sulit dijangkau oleh programprogram pembangunan. Pembangunan yang beroriantasi pada capaian fisik tidak akan memberikan perhatian kepada masyarakat daerah tertinggal yang sulit dijangkau karena karena memerlukan biaya mahal sementara itu hasilnya tidak sebanding bila diukur dengan standar seperti hasil pembangunan pada daerah-daerah yang telah memiliki infrastruktur yang memadai seperti jalan, sarana transportasi, dan sebagainya. Daerah-daerah tersebut umumnya tidak dilalui oleh pelayaran komersial karena biayanya mahal. Biaya pelayaran di daerah terpencil dan tertinggal menjadi tinggi karena daerah tersebut tidak banyak penduduknya sehingga beban operasional tidak dapat ditutup oleh biaya tiket penumpang. Di pihak lain, karena karena biaya angkutan mahal, tidak banyak penduduk yang dapat memanfaatkan pelayaran komersial apalagi secara umum mereka termasuk kategori masyarakat yang tertinggal secara ekonomi. Kata kunci: Pelayaran perintis, daerah terpencil, angkutan laut
Pendahuluan Model pembanguna yang hanya memprioritaskan daerah-daerah perkotaan atau daerah-daerah yang secara infrastruktur sudah maju dengan menelantarkan program pembangunan untuk daerah-daerah terpencil sebenarnya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. UUD 1945 menjamin setiap warga mendapatkan perlindungan dari negara dan setiap warga negara memiliki hak hidup yang layak sehingga tidak ada perlakukan yang sifatnya diskriminatif. Selain itu, pembangunan di daerah-daerah terluar, dan terisolir harus didasarkan pada visi wawasan nusantara. Wawasan nusantara mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta ketahanan wilayah sehingga kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, serta kesatuan pertahanan dan keamanan. Dengan demikian, pembangunan dalam yang berfokus pada otonomi 1
daerah, harus dilihat dalam kerangka wawasan nusantara. Untuk membangun Indonesia dalam kontek negara kesatuan, pembangunan transportasi merupakan masalah yang strategis. Dalam kerangka wawasan nusantara tersebut, pembangunan sektor transportasi harus difokuskan pada terbangunnya jaringan infrastruktur transportasi yang mengikat kuat interkoneksi antara pedesaan, kawasan industri, perkotaan, antarpulau dengan transportasi air sebagai tulang punggungnya. Karena itu, program pembangunan harus dilakukan secara adil dan merata terhadap seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat di daerah terluar. Hingga saat ini, daerah-daerah tersebut secara umum masih tertinggal bila dibandingkan dengan daerah-daerah di wilayah Indonesia kedauatan Republik Indonesia lainnya. Masyarakat yang miskin di daerah perbatasan sangat rentan terhadap ketahanan negara. Karena itu pembangunan di daerah-daerah terluar memiliki nilai strategis berkaitan dengan ketahanan negara. Pembangunan di daerah terluar bukan pembangunan sarana pertahanan dan keamanan, tetapi yang lebih penting adalah peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Dalam konteks pertahanan rakyat semesta, setiap warga negara memiliki kewajiban untuk ikut serta dala mempertahankan negara. Pertahanan negara secara otomatis akan menguat sejalan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Masyarakat miskipin hanya berpikir bagaimana mereka dapat menyambung hidup setiap hari. Mereka tidak dapat berpikir bagaimana harus mempertahankan negara. Dengan demikian, semangat nasionalisme yang didasari oleh kebanggaan sebagai warga negara akan semakin rapuh jika pemerintah membiarkan mereka tetap miskin. Sementara itu masyarakat tetangga yang dihadapi adalah warga negara tetangga yang memiliki tingkat kehidupan yang jauh lebih baik, seperti Malaysia, Singapura, dan Australia.
Pembangunan daerah terluar Setelah
membiarkan
masyarakat
di
daerah
terluar
hidup
dalam
keterbelakangan dan ketertinggalan dengan daerah-daerah lainnya, sudah saatnya pemerintah membangun daerah-daerah tersebut. Agar mobilisasi hasil-hasil pembangunan dalam berjalan dengan cepat, pemerintah harus memberikan layanan angkutan yang murah dan terjangkau oleh masyarakat.
Masyarakat harus dapat
menjangkau biaya angkutan umum untuk mengangkut hasil-hasil alam di sekitarnya guna dijual di daerah-daerah lainnya dan sebaliknya mendatangkan produk-produk 2
dari daerah lainnya untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk itu pemerintah melakukan dua hal, yaitu pertama pemerintah meningkatkan kesejahteraan mereka agar memiliki daya beli yang tinggi termasuk dalam hal pembiayaan sarana transportasi, atau pemerintah memberikan subsidi pengangkutan sampai mereka mandiri dalam mengurus moda tranportasinya sendiri. Itulah
yang
menjadikan
dasar
pemikiran
mengapa
pemerintah
menyelenggarakan proyek pelayaran perintis. Pengembangan pelayaran perintis di Indonesia didasarkan atas UU Pelayaran dan Peraturan Pemerintah tentang angkutan perairan. Dalam aturan yang terbaru, pelayaran
perintis diatur dalam Peraturan
Pemerintah N0. 20 tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan. Aturan ini mengatur berbagai hal berkaitan dengan angkutan di perairan yang meliputi angkutan laut, sungai dan danau. Khusus untuk daerah tertinggal dan atau wilayah terpencil baik untuk
angkutan
laut,
perairan,
danau,
mapun
penyeberangan,
pemerintah
menyediakan moda pelayaran perintis. Penyelenggaraan pelayaran perintis diatur dalam UU tentang pelayaran No 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. UU No. 21 tahun 1992 tidak mengatur secara khusus tentang pelayaran perintis. Pelayaran perintis diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 33 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan laut. Keputusan tersebut mengatur jenis-jenis angkutan laut yang meliputi (a) angkutan laut dalam negeri, (b) angkutan laut luar negeri, (c) pelayaran rakyat, (d) angkutan laut khusus, dan (e) angkutan laut perintis. Angkutan laut perintis diatur dalam tiga pasal yaitu pasal 15, 16, dan 17. Dalam pasal 15 disebutkan bahwa: (1) penyelenggaraan angkutan laut perintis dilakukan untuk: a. menghubungkan daerah-daerah terpencil dan/atau daerah yang belum berkembang; b. menghubungkan daerah yang moda transportasi lainnya belum memadai; c. menghubungkan daerah yang secara komersial belum menguntungkan untuk dilayani oleh penyelenggara angkutan laut nasional (2) kriteria daerah terpencil dan atau tertinggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah meliputi: a. daerah yang belum dilayani oleh perusahaan angkutan laut nasional yang beroperasi tetap dan teratur (liner), atau;
3
b. daerah yang secara komersial belum menguntungkan untuk pelayanan angkutan laut, atau; c. daerah yang tingkat pendapatan perkapitanya masih sangat rendah. (3) Keguatan angkutan laut perintis sebagaimana dimaksudkan dalam ayat(1), ditetapkan oleh direktur jenderal dengan trayek tetap dan teratur, atau liner serta penempatan kapalnya untuk mendorong pengembangan daerah terpencil dan yang belum berkembang. Dalam pasal 16 peraturan tersebut, disebutkan bahwa menteri dapat menunjuk perusahaan angkutan laut swasta nasional melalui proses pelelangan umum atau pemilihan langsung. Pengadaan kapal peritis harus memperhatikan anggaran yang tersedia. Hal itu berkaitan dengan subsidi yang diberikan oleh negara kepada penyelenggara angkutan perintis sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (3).
Dalam UU, angkutan laut perintis baru diatur dalam UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Pelayaran yang diatur dalam UU tersebut menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan perlindungan lingkungan maritim. UU ini merupakan bagian dalam sistem transportasi nasional yang harus dikembangkan baik potensi maupun peranannya dalam rangka mewujudkan sistem transportasi nasional yang efektif, efisien sehingga terbentuk pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis. Atas dasar prinsip tersebut, maka dalam UU No. 17 tahun 2008 dinyatakan bahwa pelayaran nasional diselenggarakan dengan tujuan untuk: 1. memperlancar arus perpindahan orang atau barang melalui perairan dengan mengutamakan perlindungan terhadap angkutan di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional; 2. membina jiwa kebaharian; 3. menjunjung kedaulatan negara; 4. menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan nasional; 5. menunjang, menggerakan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional; 6. memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka mewujudkan wawasan nusantara; 7. meningkatkan ketahanan nasional. 4
Angkutan laut perintis dalam UU No. 17 tahun 2008 dicantumkan dalam bab 5 tentang angkutan di perairan daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil yang terdiri atas tiga pasal, yaitu pasal 24, 25, dan 26. Pasal 24 berbunyi sebagai berikut: (1) angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan atau wilayah terpencil wajib dilaksanakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah; (2) angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pelayaran perintis dan penugasan; (3) pelayaran perintis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan dengan biaya yang disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah; (4) penugasan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (2) diberikan kepada perusahaan angkutan laut nasional dengan mendapatkan kompensasi dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebesar selisih antara biaya produksi dan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai kewajiban pelayanan publik; (5) pelayaran perintis dan penugasan dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah; (6) angkutan perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dievaluasi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah setiap tahun. Untuk pengadaan kapal perintis, sebagaimana diatur dalam pasal 25 UU No. 17 tahun 2008, pemerintah dapat menunjuk perusahaan pelayaran swasta nasional melalui sistem kontrak jangka panjang. Kontrak operator pelayaran perintis harus dilakukan dengan perusahaan pelayaran nasional yang berbendera Indonesia yang memiliki persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh warga negara Indonesia. Pelayaran perintis kemudian diatur lebih rinci dalam Dalam PP No. 20 tahun 2010 pasal 70 (ayat 1) disebutkan bahwa Pelayaran perintis dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, guberbur, bupati, atau walikota. Kegiatan pelayaran perintis dilakukan untuk menghubungkan daerah yang masih dan terpincil yang belum berkembang dengan daerah lainnya yang sudah berkembang atau maju. Pelayaran perintis juga diberikan kepada daerah yang moda transportasi lainnya seperti angkutan darat dan udara belum memadai. Pelayaran perintis diselenggarakan juga untuk menghubungkan daerah yang secara komersial belum menguntungkan untuk dilayani oleh pelaksana kegiatan angkutan laut, sungai, danau, atau angkutan penyeberangan. Dengan tiga peruntukan tersebut, maka penyelenggaraan pelayaran perintis harus memenuhi kriteri: (a) belum dilayani oleh pelaksana kegiatan angkutan 5
laut, sungai, danau, dan peneberangan yang beroperasi secara tetap dan teratur, (b) secara komersial belum menguntungkan, dan (3) tingkat pendapatan per kapita penduduknya masih rendah. Jika pemerintah atau pemerintah daerah tidak memiliki kapal untuk melayani trayek pelayaran perintis yang mencukupi, pelayaran perintis dapat diselenggarakan melalui kontrak jangka panjang dengan perusahaan angkuta di perairan yang berbendera Indonesia dan memenuhi persataran kelaiklautan yang diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Biaya yang disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah untuk menjalankan proyek pelayaran perintis, merupakan subsidi sebesar selisih biaya pengoperasian kapal pelayaran perintis yang dikeluarkan oleh perusahaan yang menyelenggarakan pelayaran perintis dengan pendapatan dan/atau penghasilan uang tambang barang dan penumpang pada suatu trayek tertentu. Penyelenggaraan pelayaran perintis dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembanguna wilayah. Karena daerah-daerah terpencil di kepulauan Indonesia sulit dijangkau dengan pelayaran reguler, maka pelayaran di daerah-daerah tersebut bersifat penugasan. Dengan demikian, kebutuhan masyarakat di daerah terpencil terhadap angkutan laut menjadi terjamin. Dengan adanya jadwal pelayaran yang teratur maka mobilitas penumpang dan barang di daerah-daerah terpencil menjadi terjamin. Perusahaan angkutan kapal laut yang mendapat tugas untuk pengarungi jalur pelayaran perintis mendapatkan subsidi, berupa kompensasi selisih antara biaya produksi dan tarif yang ditetapkan pemerintah. Taris angkutan laut pelayaran perintis ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. Di samping itu, Menteri Perhubungan juga menetapkan trayek jalur pelayaran perintis sehingga frekuensi pelayaran perintis dapat berjalan secara tetap dan teratur. Dalam menentukan trayek tersebut, Menteri Perhubungan harus memperhatikan hal-hal berikut: (1) keterpaduan intramoda transportasi laut, dan antarmoda transportasi laut, darat, dan udara; (2) usul dan saran pemerintah setempat; (3) kesiapan fasilitas pelabuhan atau tempat lain yang ditunjuk; (4) kesiapan fasilitas keselamatan pelayaran; (5) keterpaduan dengan program pembangunan sektor lain; (6) keterpaduan dan keutuhan wilayah kegara kesatuan republik Indonesia. 6
Seperti telah disebutkan di atas, maksud diselenggarakan angkutan laut perintis adalah untuk melayani kebutuhan jasa layanan angkutan laut bagi daerahdaerah terpencil, terluar, dan belum berkembang ke daerah-daerah yang sudah lebih maju. Layanan angkutan pelayaran perintis juga dimaksudkan untuk menyediakaan angkutan air yang terjangkau masyarakat dan menjaga kedaulatan NKRI dengan kapal-kapal perintis yang menyinggahi kawasan perbatasan yang sulit atau tidak dijangkau oleh perusahaan pelayaran lainnya. Pelayaran perintis diselenggarakan dengan tujuan untuk mendorong pengembangan daerah, peningkatan dan pemerataan pertumbuhan ekonomi, serta stabilitas nasional yang dinamis. Sedangkan sasaran penyelenggaraan pelayaran perintis adalah tersedianya jasa pelayaran yang mantap dan teratur, aman, nyaman, memenuhi aspek keselamatan pelayaran dengan tarif yang dapat dijangkau masyarakat sehingga terjadi mobilitas penduduk, barang, administrasi pemerintah, pembangunan dan perdagangan yang pelaksanaannya dilakukan secara terpadu dengan moda transportasi lainnya (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, 2011). Pelayaran perintis adalah proyek pelayaran yang bersifat penugasan. Artinya pemerintah menugaskan institusi operator kapal baik milik BUMN maupun swasta untuk melayani angkutan laut bagi daerah-daerah yang tidak dilayani oleh angkutan laut komersial karena tidak memiliki nilai secara ekonomi. Karena itu layanan pelayaran perintis berbeda dengan layanan angkutan laut lainnya. Untuk membedakan layanan pelayaran perintis dengan angkutan laut komersial, maka layanan pelayaran perintis memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Pelayaran perintis diselenggarakan oleh pemerintah; 2. pelayaran perintis diselenggarakan secara tetap dan teratur; 3. Trayek operasi pelayaran perintis diperuntukan bagi daerah ekonomi lemah, terpencil, dan terluar, dan bukan jalur pelayaran komersial; 4. Kapal-kapal perintis dapat digunakan untuk mengangkut penumpang dan barang; 5. pengembangan pelayaran perintis bersifat lintas sektoral dan multi moda transpotasi, serta menghubungkan beberapa daerah atau antar wilayah; Kebijakan pelayaran perintis diarahkan untuk mewujudkan layanan angkutan laut nasional yang berkualitas, efisien, efektif pada wilayah terpencil dan terluar yang belum berkembang, yang berbatasan dengan negara tetangga. Pada akhirnya, layanan pelayaran perintis dapat merangsang pertumbuhan wilayah di kawasan tersebut dalam 7
rangka menciptakan pemerataan pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Dalam kontek otonomi daerah, pelayaran perintis dapat menjadi feeder angkutan laut antara daerah sehingga dapat dijadikan sarana pemersatu bangsa (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, 2011). Pelayaran perintis merupakan proyek pemerintah yang dalam hal ini adalah merupakan bagian dari tugas Kementerian Perhubungan. Dalam struktur Kementerian Perhubungan, penyelenggaraan layanan pelayaran perintis menjadi bagian tugas dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Sebagai penyelenggara pelayaran perintis, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut mamiliki target-target sasaran sehingga arah yang harus dicapai dalam menjalankan tugas tersebut harus terukur dan dapat dijalankan. Untuk itu Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menyusun master plan kebijakan pengembangkan pelayaran perintis yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Layanan perlayaran perintis dikembangkan untuk menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Pemekaran wilayah propinsi, kabupaten, atau kota perlu didukung sarana transportasi yang memadai sebagai alat moblitas penduduk dan pembangunan. Karena sebagian besar daerah-daerah tersebut merupakan wilayah kepulauan, maka perlu disiapkan transportasi laut yang memadai; 2. Layanan pelayaran perintis diselenggarakan dalam rangka pemberdayaan dan pembangunan pulau-pulau terpencil yang berbatasan dengan wilayah negara tetangga; 3. Layanan pelayaran perintis dikembangkan sebagai alat persatuan dan menjaga wilayah NKRI. Semakin sering pulau-pulau terluar dilalui kapal-kapal angkutan perintis maka akan tercipta keamanan di wilayah tersebut. Dengan demikian, secara politis, negara Indonesia terlihat eksis di wilayah perbatasan dengan negara tetangga; 4. Layanan pelayaran perintis
diselenggarakan untuk menunjang pertumbuhan
ekonomi kawasan perbatasan yang terpencil. Pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut dapat mengundang investor atau pelaku ekonomi lainnya ke daerahdaerah tersebut, sehingga akan terjadi bukan saja pemerataan pendapatan, tetapi juga distribusi penduduk; 5. Layanan
pelayaran
perintis
diselenggarakan
dalam
rangka
penyebaran
kebudayaan, pendidikan, dan layanan kesehatan antarwilayah yang telah berkembangkan dengan wilayah yang belum berkembang.
8
Perkembangan Pelayaran Perintis Pelayaran perintis adalah salah satu subsistem angkutan laut dalam negeri yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan subsidi operasional bagi kapal-kapal yang melayani proyek angkutan laut perintis. Pelayaran perintis diadakan karena adanya keinginan pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan demi terciptanya stabilitas nasional yang dinamis, sementara itu kemampuan kapal laut nasional komersial masih terbatas dan daya jangkau masyarakat masih rendah untuk menggunakan angkutan laut komersial. Proyek perintis dilakukan pada saat Menteri Perhubungan dijabat oleh Emil Salim. Pada tahun 1973, ia dipanggil oleh Presiden Suharto untuk diberi tugas baru sebagai Menteri Perhubungan, Komunikasi, dan Pariwisata. Fokus perhatian Presiden Suharto yang disampaikan kepada Emil Salim adalah pembangunan dengan bingkai wawasan nusantara. Satu hal yang Presiden rasakan dalam menyusun strategi pembangunan adalah sistem transportasi dan komunikasi yang menunjang kesatuan dan persatuan wawasan nusantara. Preisedn merasa prihatin menyaksikan sulita transportasi di daerah Indonesia bagian Timur, khususnya Irian Jaya (kini Papua). Karena terbatasnya anggaran, maka jaringan telekomunikasi merupakan alat yang relatif cepat untuk bisa menghubungkan Nusantara dari Sabang sampau Merauke. Pemerintah kemudian membangun proyek sistem kominikasi satelit domestik SKSD). Dalam perhubungan udara pemerintan
membangun proyek
penerbangan perintis dengan membeli 22 pesawat twin otter untuk menghubungkan daerah-daerah pedalaman Irian Jaya, Sulawesi, Nusa tenggara timur, dan kepulauan Maluku. Cita-cita Presiden Suharto waktu itu adalah bahwa semua ibu kota propinsi berada di jalur penerbangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga tersusun sistem angkutan udara yang mencakup jalur utama Ttrunk line) dan dirangkai dengan jalur penunjang (feeder line). Sedangkan untuk daerah-daerah kepulauan yang tidak dapat dijangkau dengan jalur penerbangan, Presiden menginstrusikan agar diadakan pelayaran perintis. Polanya sama dengan jalur penerbangan: jalur utama menghubungkan kota-kota besar di tepi pantai ditunjang oleh jalur penunjang yang memasok jalur utama. Untuk mengembangkan jalur penunjang dikembangkan armada perintis pelayaran dengan mengutamakan propinsipropinsi berkepulauan seperti Riau, Maluku, dan Irian Jaya (Emil Salim, “Menang tanpa Ngasorake” bagian 2, http://Soeharto.co/tag/) 9
Angkutan laut perintis (sebut pelayaran perintis) dicanangkan pada akhir Pelita (pembangunan lima tahun) pertama, tahun 1974. Proyek ini dimulai dengan mengoperasikan kapal milik pemerintah sebagnyak 9 unit untuk 15 trayek dan menyinggahi 79 pelabuhan. Pada tahun 1976, pemerintah meningkatkan jumlah kapal menjadi 12 unit yang beroperasi dengan melayani trayek sebanyak 22. pada tahun itu, jumlah penumpang yang diangkut mencapai 38.944 orang, dan 47.137 ton barang serta uang tambang yang diperoleh sebesar Rp 297 juta. Besar layanan meningkat lagi pada tahun 1977/1978 menjadi 76.280 orang dan barang 62.658 ton yang dilayani oleh 13 buah kapal. Pada tahun 1978/1979, hasil dari layanan perintis lebih meningkat lagi terutama yang berasal dari hasil tambang yang jumlahnya mencapai setengah milyar rupiah. Pada tahun itu, jumlah orang yang diangkut mencapai 104.531 orang sedangkan barang mencapai 52.661 ton. Kapal yang digunakan tetap 13 unit dengan trayek sebanyak 22. Kenaikan yang fantastis terjadi pada tahun 1979/1980. dengan jumlah kapal sebanyak 16 unit, proyek pelayaran perintis mampu mengangkut 129.034 orang, 57.951 ton barang, dan hasil uang tambang mencapai Rp 654 juta (Dunia Maritim, 4/xxx/April 1980). Dari data-data tersebut, Dirjen Perhubungan Laut Pongky Soepardjo dalam sambutannya pada Rapat Kerja Teknikal Proyek Armada Perintis, di Cisarua Bogor tanggal 20 Maret 1980 menyimpulkan bahwa fungsi armada perintis bukan hanya untuk menghubungkan daerah-daerah terpencil, tetapi juga menciptakan hal yang posistif terhadap perkembangan perekonomian daerah lemah itu sendiri, serta dapat menciptakan suatu pelayaran yang teratur, tetap, serta aman. Karena itu, ia berharap pelayaran perintis mampu menaikan tarag hidup
nasyarakat di daerah terpencil.
Sebab adanya distribusi bahan/barang yang teratur, akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan perdagangan (Dunia Maritim, 4/xxx/April 1980). Upaya untuk menambah jumlah kapal dan trayek peritis teus dilakukan sejakan dengan permintaan masyarakat. Pada tahun 1983 jumlah kapal bertambah menjadi 36 unit yang melayani 35 trayek dan menyinggahi 214 pelabuhan. Jumlah penumpang yang diangkut pada tahun 1981/1982 mencapai 168.183 orang sedangkan barang mencapai 97.048 ton. Hal itu menunjukkan bahwa pemanfaatan pelayaran perintis oleh masyarakat cukup tinggi. Tingginya pemanfaatan kapal perintis antara lain juga disebabkan karena keteraturan jadwal kunjungan pada setiap pelabuhan (Dunia Maritim, 1/xxxiii/Januari 1983).
10
Trayek pelayaran perintis sifatnya tidak permenen. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut setiap tahunnya mengevaluasi trayek yang dilalui kapal-kapal perintis. Daerah-daerah yang dianggap sudah mandiri dan mampu melaksanakan pelayaran dengan angkutan laut komersial, maka trayek angkutan perintis pada daerah tersebut dihapus dan dialihkan ke daerah lain yang membutuhkan. Hal itu terjadi pada tahun 1984. Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Laut No. AL 59/1/184 tanggal 7 April 1984 ada empat trayek yang dihapus pada tahun 1984 karena daerah pada keempat trayek tersebut dianggap sudah berkembang sehingga sudah dapat diisi dengan kapal-kapal niaga atau pelayaran lokal. Keempat trayek yang dihapus adalah dua trayek dihapus karena dianggap sudah tidak diperlukan, dan dua sisanya digabungkan dengan trayek lain. Kedua trayek yang dihapus adalah trayek R1 untuk daerah operasi Aceh pantai barat dengan pelabuhan singgah Kruengraya, Sabang-Sinabang, Tapak Tuan, Pulau Banyak, Singkel, Sibolga PP. Kemudian yang kedua adalah R-6 untuk daerah operasi Riau dengan pelabuhan singgah Tanjung Pinang, Senayang, Daik, Panuba, Dobo, Tarempa, Penuba, Dabo, Tarempa, Letung, PP. Satu trayek, yakni trayek R-13 untuk daerah Sulawesi Selatan, NTT, NTB dihapus dengan menggabungkannya dengan trayek lain yaitu dengan pelabuhan singgah Makassar, Selayar, Jampea, Bima, Labuhan Bajo, Reo, Maumere, Kalabahi. Trayek R-10 dan 11 dihapus dan digaung menjadi trayek R-8 dengan daerah operasi pulau Timor dan sekitarnya, dengan pelabuhan pangkalan Dili dan pelabuhan singgah Kolama (Dunia Maritim, 5-6/xxxiv/Mei-Juni 1984). Daerah yang tadinya dianggap sudah mampu menyelenggarakan pelayaran sendiri yang didukung oleh pelayaran swasta bisa kembali dilayari oleh kapal perintis karena permintaan masyarakat. Daerah seperti Kepulauan Riau misalnya pelayaran perintis R-6 yang dihapus trayeknya karena dianggap sudah maju dan dilayari oleh pelayaran swasta, ternyata kembali dilayari oleh trayek perintis karena pelayaran swasta tidak lagi mengunjungi daerah tersebut. Kepulauan Riau sebagian besar wilayahnya berupa kepulauan, dan sebagian di antara pulau-pulau tersebut berhadapan dengan negara tetangga. Beberapa pulau seperti Tarempa, tempatnya terpencil dan berbatasan dengan negara tetangga. Pulau yang berada di kepulauan Tujuh ini berada di Laut Cina Selatan. Daerah ini di samping ombak laut besar, terutama pada musim barat, lokasinya berada di paling utama sehingga tidak pernah didatangi kapal swasta nasional secara teratur. Kapal-kapal yang singgah di daerah ini 11
adalah kapal penangkap ikan berbendera asing. Daerah lain yang kondisinya seperti Tarempa adalah Serasan, Rinau, Sedanau, dan Midai. Karena tempatnya terasing dan tidak ada kapal swasta nasional yang mau mengambil rute ini, maka diperlukan kapal perintis yang melalui trayek ini secara teratur, yang dihubungkan dengan daerah terdekat yang lebih maju seperti pangkal pinang dan pontianak. Untuk mengangkut dan mendistribusikan barang dari dan ke pulau-pulau tersebut, pada tahun 1993/1994 pemerintah mengopersikan kembali dua kapal perintis yang masing-masing berpangkalan di Pangkal Pinang dan Pontianak. Pengoperasian armada perintis yang berpangkalan di Pangkal Pinang (trayek R-3) pada tahun 1994/1994 mampu mengangkut 20.745 orang penumpang. Pada tahun 1994/1995 kapal perintis pada trayek tersebut mengangkut 13.941 orang. Kapal perintis yang berpangkalan di Tanjung Pinang, lama pelayaran dalam satu round voyage 13 hari dan target frekuensi dalam satu tahun 28 voyage. Sedangkan yang berpangkalan di Pontianak satu round perjalanan ditempuh dalam waktu 13 hari dan 22 voyage dalam satu tahun (Dunia Maritim, 3/xlv/April-Mei 1995). Upaya untuk meningkatkan layanan kepal perintis terus dilakukan, selain menambah kapal untuk mengisi trayek-trayek baru, juga untuk memperpendek lama perjalanan. Pada tahun 1994 jumlah armada perintis mencapai 30 kapal untuk 30 trayek yang menyinggahi 195 pelabuhan dengan waktu tempuh rata-rata 21 hari. Pada tahun 2005, jumlah trayek menjadi 48, dan tahun 2010 bertambah menjadi 60 dan tahun 1012 bertambah menjadi 80 trayek. 85% dari trayek tersebut berada di kawasan Indonesia bagian Timur, dengan lama putaran sekitar 13-15 hari. Itu adalah hari yang cukup panjang. Pertanyaan yang selalu muncul adalah, proyek pelayaran sifatnya hanya sementara dalam rangka menjangkau keterisolasian kawasan tertentu di wilayah Indonesia baik secara ekonomi maupun secara geografis. Setelah daerah-daerah tersebut berkembang, maka proyek pelayaran perintis dicabut dan diganti oleh pelayaran komersial. Selama dalam kurun waktu hampir 40 tahun, jumlah pelayaran perintis terus bertambah yang berarti subsidi pemerintah untuk membiayai pelayaran perintis terus meningkat. Dengan terus bertambahnya kapal-kapal pelayaran perintis, maka ada dua kemungkinan,Dengan terus bertambahnya kapal-kapal pelayaran perintis, maka ada dua kemungkinan: pertama, daerah-daerah tersebut terus miskin
12
yang berarti pembangunan di daerah-daerah tersebut belum membuahkan hasil, atau memang pemerintah yang akan terus mensubsidi pelayaran perintis. 1 Dalam sebuah round table yang diselenggarakan oleh Kementerian Perhubungan Pelayanan angkutan laut perintis belum dapat mewujudkan konektivitas dan mendukung pengentasan kemiskinan di pulau-pulau kecil, terpencil dan perbatasan. Hal ini disebabkan karena lokasi yang terisolir sehingga mengakibatkan biaya pembangunan sarana dan prasarana sangat mahal. Akibatnya, saat ini, baru 70% pelabuhan singgah angkutan laut perintis dilengkapi dengan dermaga. Demikian antara lain kesimpulan roundtable discussion dengan tema "Kebijakan Pengembangan Angkutan Laut Perintis dalam Rangka Meningkatkan konektivitas dan Mendukung Pengentasan Kemiskinan pada Daerah Tertinggal" yang diselenggarakan Badan Litbang Perhubungan di Jakarta pada tanggal 24 November 2012. Dalam siaran persnya di Jakarta, Plt Kepala Badan Litbang Perhubungan Ir Denny L Siahaan mengemukakan, forum diskusi merekomendasikan perlunya peran pemerintah propinsi dan kabupaten untuk mewujudkan konektivitas, dan pengentasan kemiskinan masyarakat terpencil. Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Ditjen Perhubungan Laut, Ir. Adolf Tambunan, MSc, salah seorang pembicara dalam forum itu mengemukakan, permasalahan penyelenggaraan angkutan laut perintis antara lain, keterpaduan jaringan trayek pelayaran dengan kapal Pelni dan kapal lintas penyebrangan ASDP belum diwujudkan dalam jadwal pelayaran yang terpadu, waktu pengoperasian kapal perintis pada jaringan trayek yang ada dalam 1 round voyage umumnya masih di atas 14 hari, dan kapal yang digunakan sebagian masih menggunakan kapal cargo yang mendapat dispensasi untuk mengangkut penumpang dan berumur tua. "Pelabuhan singgah kapal perintis masih banyak yang belum dilengkapi dengan fasilitas pelabuhan dan SBNP yang memadai dan keterpaduan penyelenggaraan pelayaran perintis dengan sektor terkait masih belum efektif," ujar Adolf. Pembicara lainnya, Ir Imbang Danandjojo, MT, peneliti Madya Badan Litbang Perhubungan, mengatakan, dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Perhubungan Laut menyebutkan, kelemahan penyelenggaraan angkutan laut, antara lain jarak pelayanan sangat jauh, Waktu pelayaran dalam satu roundtrip cukup lama, 1
Subsidi untuk pelayaran perintis pertahun mencapai Rp 400 milyar pertahun (www.bumn.go.id) Subsidi untuk Pelayaran nasional tingkat ekonomi melalui PT. Pelni mencapai Rp 897 milyar (www. tempo.com).
13
sehingga penumpang yang akan kembali menuju asal keberangkatannya harus menunggu paling sedikit 2 minggu, dan masih ada trayek yang berhimpit dengan trayek
angkutan
komersial
(.http://ditlala.org/index.php?page=detail&id=379&t=ANGKUTAN%20%20LAUT% 20%20PERINTIS%20%20BELUM%20%20ATASI%20%20KEMISKINAN). Meskipun demikian, dalam kesempatan lain, diakui bahwa pelayaran pelayaran perintis dapat menggairahkan ekonomi rakyat. Pelayaran kapal perintis selama ini sudah ikut menggerakkan dan mendorong bangkitnya perekonomian dan berkembangnya kehidupan sosial masyarakat di daerah terpencil dan terisolir, terutama
daerah
terbelakang
dan
di
perbatasan.
Di masa depan, peran pelayaran perintis tersebut akan terus ditingkatkan oleh pemerintah, mengingat besarnya manfaat yang diperoleh masyarakat dalam pembangunan daerah terpencil, terutama peningkatan ekonomi masyarakat. Demikian antara lain kesimpulan Focus Group Discussion yang diselenggarakan Badan Litbang Kementerian Perhubungan seperti disampaikan Kepala Badan Litbang, Denny L Siahaan MsTr di Jakarta, senin, 4 November 2013. Diskusi berthema Penyusunan Kriteria di Bidang Trasportasi Laut Untuk Peningkatan Pelayanan, Keselamatan dan Keamanan itu, diikuti para pengusaha angkutan laut yang bergerak di pelayaran perintis, pejabat Ditjen Hubla Kementerian Perhubungan,
pengamat
angkutan
laut,
dan
stakeholder.
Adenan Suhalis, dosen Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti dalam paparannya menyampaikan, sumber daya manusia yang menjalankan pelayaran perintis harus profesional, dan daerah yang dilayani angkutan perintis harus layak, penempatan kapal harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Asril Siregar, dari Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub yang tampil sebagai pembahas menambahkan, supaya pelayaran perintis berjalan seseuai yang diharapkan, pelayanan trayeknya tidak tumpang tindih dengan pelayanan trayek komersil. Selanjutnya, kata Asril, setiap pelabuhan yang disinggahi kapal perintis mempunyai kegiatan bongkar/muat barang dan turun/naik penumpang dalam jumlah yang memadai. Pelayanan angkutan perintis harus juga bisa melayani wilayah perbatasan. Sementara AK Djaelani dari DPP Pelayarran Rakyat (Pelra) mengatakan, pelayanan angkutan perintis saat ini belum terlihat hasilnya secara signifikan. Kita harus sepakat, angkutan perintis dapat meningkatkan kesejahteraan di pulaupulau
dan
daerah
terpencil,
terbelakang,
dan
perbatasan,
ujar
Djaelani. 14
Focus Group Discussion juga berhasil menyimpulkan tentang pembentukan pangkalan dan kelas penjaga laut dan pantai (sea and coast guard), serta kompetensi SDM-nya
harus
kelembagaan,
memperhatikan dan
aspek
aspek
sarana,
aspek
kewenangan,
wilayah
kerja
aspek operasi
(http://www.pelita.or.id/baca.php?id=92031 26 November 2013). Penyediaan pelayaran perintis dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan jasa angkutan laut bagi daerah-daerah terpencil dan di pedalaman, untuk mendorong pengembangan,
peningkatan,
dan
pemerataan
pertumbuhan
ekonomi
serta
perwujudan stabilitas nasional yang dinamis. Target dari pelayaran perintis adalah tersedianya angkutan laut yang mantap, teratur, dan aman dalam rangkan peningkatan mobilitas dan arus barang serta administrasi pemerintahan di daerah terpencil yang dilakukan secara terpadu dengan berbagai subsistem pelayaran dan moda transportasi lainnya. Pelayaran ini awalnya dilakukan sendiri oleh pemerintah. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan dengan memanfaatkan kapal-kapal navigasi. Pada tahun 1981 sampai dengan tahun 1986 pengelolaan pelayaran perintis diserahkan kepada PT Pelni secara swakelola. Antara tahun 1987-1990 pengelolaan pelayaran perintis kembali dilakukan oleh pemerintah dengan menggandeng PT Pelni yang ditunjuk sebagai kontraktor tunggal. Sejak akhir tahun 1991 penujukkan operator/kontraktor pelayaran perintis dilakukan melalui pelelangan umum dengan mengikutsertakan perusahaan swasta. Pelayaran perintis pada awalnya diprioritaskan untuk kawasan Indonesia di bagian timur. Karena itu, pada lima tahun pertama sejak dicanangkan, 80 persen trayek pelayaran perintis lebih banyak dilakukan di wilayah Indonesia bagian Timur. Hal ini wajar karena wilayah Indonenesia bagian Barat, terutama Jawa dan Sumatra telah memiliki angkutan darat dan moda angkutan lainnya yang memadai. Sebaliknya kawasan Indonesia bagian Timur seperti Irian Jaya (kini Papua) misalnya, sarana transportasi darat belum berkembang seperti di Jawa dan Sumatra sehingga tramsportasi lebih banyak menggunakan sungai dan udara. Sementara itu dari segi angkutan laut kapal-kapal komersial hanya dapat menyinggahi beberapa kota besar saja. Hal ini disebabkan di samping secara komersial tidak menguntungkan, pelabuhan-pelabuhan yang ada secara teknis operasional belum dapat disinggahi oleh kapal-kapal niaga komersial.
15
Hal serupa terjadi di Maluku. Maluku adalah wilayah yang merupakan gugusan pulau-pulau besar dan kecil sehingga memerlukan angkutan laun sebagai sarana transportasi utama. Sebagai wilayah kepulauan, Maluku memiliki banyak pelabuhan, dari pelabuhan besar hingga kecil. Untuk pelabuhan besar yang berada di pulau-pulau besar, sudah banyak disinggahi kapal-kapal komersial, tetapi untuk pelabuhan di pulau-pulau kecil, kapal-kapal komersial tidak mau menyinggahinya karena tidak menguntungkan. Akibatnya daerah-daerah tersebut sulit menjadi terisolir dan sulita berhubungan dengan daerah-daerah lainnya. Karena sulitanya berhubungan dengan daerah-daerah yang lebuh maju, daerah-daerah di pulau-pulau kecil menjadi tertinggal dan tidak tersentuh oleh laju pembangunan. Tabel Perkembangan Armada Pelayaran Perintis pada Periode 1974-1994
No Uraian
satuan
1974
1984
1994
1
kapal
buah
9
30
30
2
trayek
buah
15
29
30
3
pelabuhan
buah
79
177
195
4
Frekwensi/penyinggahan Kali/th
30
17
21
5
penumpang
orang
13.858
124.505
241.596
6
muatan
ton
14.702
31.200
101.000
Sumber: Diolah dari Pidato Kenegaraan Presiden RI, Pelaksanaan Pelita IV dan V Perkembangan dukungan Pelayaran Perintis Tahun
Kawasan Barat
Kawasan Timur
Jumlah Trayek
2005
6
42
48
2006
11
41
52
2007
11
42
53
2008
11
45
56
2009
11
47
58
1010
11
49
60
1011
11
50
61
2012
11
69
80
Sumber; Dirjen Perhubungan laut
16
Konektivitas Pelayaran Perintis dengan modal Transportasi lain Pembangunan trayek pelayaran perintis bersifat terpadu dengan akngkutan yang lain sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap angkutan laut yang lain. Dengan demikian, proyek pelayaran perintis tidak
tidak mematikan
perusahaan angkutan laut lainnya. Dalam terminologi Rencana Pembangunan Lima Tahunan pada masa Orde baru, pemerintah mengembangkan kegiatan di bidang pelayaran bukan hanya pelayaran perintis, tetapi juga pelayaran lainnya. Pelayaran yang dikembangkan oleh pemerintah waktu itu meliputi pelayaran samudra, pelayaran nusantara, pelayaran lokal, pelayaran rakyat, dan pelayaran perintis. Pemerintah Orde baru telah mengembangkan rencana pengembangan angkutan laut secara sistematis danberkelanjutan sejak Repelita I melalui berbagai pengaturan mengenai penempatan armada pelayaran nasional dalam suatu sistem trayek sehingga tidak berbenturan satu sama lain. Dengan demikian, trayek angkutan kapal laut ditentukan oeh pemerintah. Melalui Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1988, yang dikenal dengan Paknov 88, pemerintah melepaskan kewenangannya untuk menentukan trayek angkutan laut. Melalui Paknov tersebut pemerintah memberikan kebebasan kepada perusahaan kapal untuk menentukan sendiri trayek kapal yang dilaluinya. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memberikan kebebasan dan kemudahan bagi perusahaan perkapalan untuk menentukan trayek yang dimitaninya. Kemudahan ini diharapkan dapat mendorong peningkatan peranan perusahaan pelayaran dan meningkatkan efisiensi dan keandalan kekuatan angkutan laut, terutama angkutan laut dalam negeri. Dengan adanya kebebasan tersebut, angkutan pelayaran komersial lebih memilih jalur-jalur gemuk. Mereka memberikan layanan yang kompetitif dengan jalur yang lebih cepat. Untuk lebih memenuhi kebutuhan pasar, perusahaan kapal komersial tersebut memberikan layanan “tree in one” dalam bentuk layanan penumpang, barang, dan kendaraan sekaligus. Moda transportasi laut seperti ini yang laku. 2 Meskipun jalur-jalur yang sepi tetap harus diadakan dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat terhadap angkutan laut. Karena perusahaan angkutan laut swasta enggan memesuki trayek yang sepi, maka trayek-trayek terbut diisi oleh jalur pelayaran PT. Pelni dan proyek pelayaran perintis yang mendapatkan subsidi dari pemerintah.
2 Pendapat ini disampaikan oleh salah satu pejabat Kementerian Perhubungan, Direktorat Perhubungan Laut dalam salah satu kesempatan ketika dikunjungi peneliti pada tanggal 25 Novermber 2013
17
Kebijakan pengembangan pelayaran perintis selain untuk menjangkau daerahdaerah terpencil juga dimaksudkan untuk dapat menunjang pemerataan pembangunan dan kelancaran tugas pemerintah. Trayek yang dilayari pelayaran perintis setiap tahun dievaluasi dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan daerah-daerah yang bersangkutan sehingga dapat mendorong peningkatan kelancaran angkutan hasil produksi wilayah yang masih terisolir. Dalam pidato kenegaraannya di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus 1989, Presiden Suharto menyampaikan bahwa penyelenggaraan jasa angkutan perintis telah banyak merangsang perdagangan antarpulau, sehingga beberapa trayek yang semula bersifat perintis, kini sudah dilayari oleh jasa pelayaran komersial secara teratur. Dengan demikian sejak tahun 1984/1985 sampai dengan 1988/1989 baik jumlah kapal yang dioperasikan oleh pelayaran perintis, jumlah trayek yang dilayari maupun jumlah pelabuhan yang disinggahi, semakin menurun. Sebaliknya kapal-kapal angkutan komersial mengarungi jalur trayek pelayaran perintis karena di daerah-daerah tersebut mulai banyak didatangi dan didiami warga. Pelayaran perintis menyinggahi pelabuhan-pelabuhan yang menjadi simpul pelayaran komersial lainnya seperti kapal-kapal pelayaran rakyat, pelayaran lokal, pelayaran rakyat, pelayaran khusus, pelayaran nusantara, dan pelayaran samudra. Selain pelayaran perintis, daerah-daerah yang terisolir dan terpencil umumnya juga dilalui oleh pelayaran rakyat. Kegiatan ini dilakukan terutama untuk mengangkut hasil-hasil produksi di daerah-daerah terpencil yang volumenya relatif terbatas dan kurang memiliki nilai ekonomi apabila dilayani oleh angkutan pelayaran lokal maupun pelayaran komersial lainnya. Armada pelayaran rakyat ini pada umumnya dikelola oleh pengusaha ekonomi lemah. Pembinaan dan pengembangnya umumnya berupa bantuan teknis dalam pembuatan prototip dan dalam bentuk motorisasi agar dapat dikembangkan armada yang efisien.
Pengelolaan Pelayaran Perintis Operator pelayaran perintis telah mengalami beberapa kali perubahan. Ketika proyek pelayaran perintis pertama kali dicanangkan pada tahun 1974, pelayaran perintis dilaksanakan oleh Direktorat Navigasi, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Direktorat Navigasi ditugaskan menjadi operator pelayaran perintis atas pertimbangan bahwa Direktorat ini mengelola kapal negara. Untuk memenuhi
18
kebutuhan trayek, selain menggunakan kapal sendiri, Direktorat Navigasi juga mencarter kapal swasta. Pada tahun 1981, pengelolaan proyek pelayaran perintis diserhterimakan dari Direktorat Navigasi kepada PT. Pelni berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 13/AL.3010/Phb-81. Pelaksanaannya dilakukan dengan sistem swakelola untuk 14 unit kapal negara yang khusus dibangun untuk pelayaran perintis. Untuk mengatasi kekurangan kapal, Pelni dapat mencarter kepal milik PT Pelni sendiri dan kapal milik perusahaan swasta (Direktorat Perhubungan Laut, 2011). Proses serah terima dilakukan mulai tanggal 1 Februari1981. Pimpinan proyek pelayaran perintis selaku penanggung jawab pelayaran perintis menyerahkan tanggung jawabnya kepada Direksi PT. Pelni. Selanjutnya bagian proyek perintis menyerahkan tanggung jawabnya kepada kepala cabang PT. Pelni setempat pada saat tibanya kapal di pangkalan/pelabuhan. Kapal-kapal perintis yang sifatnya carter dapat tetap melaksanakan tugasnya sampai masa konraknya berakhir. Sedangkan kepada nahkoda, perwira, dan anak buah kapal negara/Direktorat Navigasi diminta tetap melaksanakan tugas pelayaran perintis yang diselenggarakan oleh PT. Pelni. Semua agen pelayaran perintis dialihkan kepada PT. Pelni setempat. Di pelabuhan dimana belum ada cabang PT. Pelni, agen-agen yang telah ditunjuk pimpinan proyek pelayaran perintis Direktorat Navigasi dapat tetap melaksanakan tugasnya sampai ada penentuan lebih lanjut. Prasarana penunjang berupa tongkang (sebanyak 41 unit dan sedang dibangun sebanyak 11 unit) diserahkan kepada PT. Pelni. Selanjutnya PT. Pelni harus menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan perencanaan, persiapan, maupun pelaksanaan penyelenggaraan angkutan laut perintis untuk setiap tahun anggaran. Di samping itu, PT. Pelni juga diminta untuk membentuk organisasi tersendiri berkenaan dengan pengelolaan pelayaran perintis. Surat Keputusan Menteri Perhubungan juga mengatur Direktorat Lalulintas Angkutan Laut untuk melakukan pembinaan, monitoring, dan menghimpun data angkutan laut perintis. Pengoperasian kapal-kapal perintis harus memperhatikan efisiensi dan efektivitas sarana dan prasarana, tarif yang wajar, yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Pengaturan trayek angkutan laut perintis dan penempatan kapal-kapal perintis ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut secara terpadu dan menyeluruh dengan trayek angkutan laut lainnya yang dapat ditinjau kembali secara berkala. Peninjauan tersebut meliputi daerah, tempat atau pelabuhan yang disinggahi di luar 19
jalur reguler liner service (RLS) dan pertemuan dengan jalur RLS sebagai titik singgung. Frekwensi angkutan perintis disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan jasa angkutan laut. Di samping itu, evaluasi dilakukan pula terhadap produksi angkutan pada trayek-trayek yang telah berkembang atau minimal berimbang secara komersil, dialihkan menjadi trayek RLS atau trayek pelayaran lokal atau pelayaran rakyat (Dunia Maritim, 1/xxxi/Januari 1981). Pengelolaan trayek pelayaran perintis yang dilakukan oleh PT. Pelni tidak seperti yang diharapkan. Karena itu pada tahun 1987, pengelolaan angkutan pelayaran perintis diambil kembali oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melalui Proyek Armada Perintis. Pengelolaan proyek pelayaran perintis pada periode ini dilakukan dengan cara pemberian subsidi operasi kapal perintis berdasarkan kontrak murni antara pemerintah dengan PT. Pelni dan perusahaan pelayaran swasta (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, 2011). Kontrak yang dilakukan oleh pemerintah dengan perusahaan angkutan laut perintis baik BUMN maupun swasta dilakukan berdasarkan negosiasi kewajaran harga penunjukan langsung (Dunia Maritim, 11/xl/November 1990). Kontrak berdasarkan sistem penunjukan langsung berlangsung sampai tahun 1989. pada tahun 1990, pemerintah memberlakukan sistem pelelangan umum dalam penggunakan kapal swasta untuk pelayaran perintis. Pelelangan ini bersifat terbuka. Semua perusahaan angkutan pelayaran yang memenuhi syarat dapat mengikuti tender, baik dari kalangan BUMN maupun perusahaan pelayaran swasta. Pada awal pelelangan, tercata ada 10 perusahaan pelayaran swasta yang mengambil dokumen, masing-masing tiga perusahaan pelayaran yang berdomisili di Jakarta, tiga perusahaan pelayaran berdomisili di Surabaya, , dan yang lainnya dari Semarang, Pontianak, Kendari, dan Manado masing-masing satu perusahaan. Setelah melalui proses evaluasi, ada perusahaan yang memenuhi persyaratan sekaligus mememangkan tender. Perusahaan swasta yang memenangkan tender tersebut antara lain adalah PT. Rapita Lestari memenangkan satu kapal trayek R-4 berpangkalan di Pontianak. Ini adalah satu-satunya satu-satunya trayek yang memenuhi ketentuan Keppres No. 29 tahun 1984 dengan jumlah penawar tiga peserta. Sedangkan untuk trayek lainnya (25 kapal untuk 25 trayek) pelelangan dinyatakan gagal karena tidak ada penawar/peserta pada beberapa trayek, dan sebagian lainnya hanya diikuti oleh satu sampai 2 peserta. Dengan demikian, kalau pelelangan tetap harus mengikuti Keppres No. 29, maka 20
tidak ada kapal yang dapat melayari sebagian besar trayek pelayaran perintis. Karena itu, Pimpro mengusulkan kepada Menteri Perhubungan agar dapat ditempuh sistem penunjukan langsung dan yang menguntungkan kepentingan negara serta terkait biaya subsidi operasi kapal per hari melalui negosiasi harga. Usul tersebut disetujui Menteri sehingga trayek untuk R-5 – R-13 dilakukan penunjukan langsung berdasarkan kewajaran harga (Dunia Maritim, 11/xl/November 1990). Proses pelelangan untuk semua trayek dilakukan secara terpusat oleh proyek pengoperasian armada perintis di Jakarta. Pada periode ini dana subsidi kapal dialokasikan dari pusat ke daerah dan membentuk 13 bagian proyek pengoperasian armada perintis yang tersebar di tiap pangkalan kapal di seluruh Indonesia (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, 2011). Pengelolaan kapal perintis secara terpusat melalui proyek pengopersian armada perintis hanya berjalan sampai tahun 1994. pada tahun 1995, pengoperasian armada pelayaran perintis didistribusikan ke daerah. Pemerintah pusat membentuk tim pemantau yang melakukan monitoring terhadap pengoperasian armada. Tim tersebut mempunyai tugas dan fungsi pemantauan, pembinaan, dan analisa atas pelaksanaan proyek pengoperasian armada perintis di daerah. Dengan demikian pelelangan umum terhadap operator pelayaran perintis dilakukan di setiap daerah.
Masalah yang Dihadapi Jumlah trayek dan kapal pelayaran perintis bukannya semakin berkurang, tetapi justru terus bertambah. Dengan demikian subsidi untuk pelayaran perintis terus bertambah dari tahun ke tahun. Lama waktu pelayaran masih berkisar antara 13 sampai dengan 15 hari untuk satu kali perjalanan. Perusahaan konsultan dunia, Accenture, menilai minimnya ketersediaan barang yang diangkut kerap berkontribusi memicu tingginya biaya pengapalan di Indonesia. Managing Director Accenture Sooho Choi mengatakan operator harus jeli mengatur rute dan kapasitas kapal terkait dengan ketersediaan barang yang harus diangkut. Untuk itu, dia meminta para operator pelayaran harus memiliki sistem yang terstruktur dan mampu melihat peluang yang ada. Dia menilai keputtusan mengoperasikan kapal besar tidak semuanya bisa menghasilkan efisiensi. Kalau memang rute itu lebih membutuhkan dua kapal yang kecil yang kemudian dapat
21
melalui pelabuhan lain untuk mengangkut barang saat kembali, kenapa tidak. Karena itu dibutuhkan sistem pengaturan dan teknologi informasi yang baik,katanya, Selasa, 1 November 2013. Biaya pengiriman menggunakan kapal yang seharusnya bisa lebih murah, kerap menjadi lebih mahal karena dalam proses pengiriman sering terjadi kapal harus pergi atau pulang dalam keadaan kosong. Managing Director Accenture bagian Asean Business Process Services Julianto Sidarto juga membenarkan hal itu. Selain dukungan sistem, masing-masing operator juga perlu memiliki kerja sama yang baik untuk menghindari terjadinya kekosongan barang. Langkah itu bisa mempermudah rencana berbagi mengenai rute dan waktu yang tepat untuk berlayar. Jadi kapal tidak hanya berlayar di rute itu saja tapi dalam perjalanan kembali bisa melalui rute lain, mungkin perjalanan kapal akan lebih jauh, tapi itu lebih baik daripada pulang dengan keadaan kosong, ungkapnya. Dengan adanya sistem yang terintegrasi, proses pengangkutan barang dapat lebih mudah, harga yang harus dikeluarkan pemilik barang tidak lagi mahal karena biaya pengiriman yang selama ini dibebankan kepada satu pihak dapat dibagi (www.ditlala.org/index.php?page=detail&id=636&t=, 15 November 2013). Pelayaran perintis belum optimal digunakan. Penumpang tidak banyak. Jadwal perjalanan tidak pasti. Dalam kasus pelabuhan di Teluk Bayur Padang, misalnya, terpampang jadwal perjalanan kapal yang datang dan berangkat dari pelabuhan tersebut, tetapi anehnya, untuk kapal perintis tidak tercantum kapan kapal berangkat. Ketidak jelasan jadwal ini membuat animo masyarakat untuk menggunakan layanan angkutan kapal perintis berkurang. Mereka yang memiliki uang banyak lebih memilih mencarter atau naik kapal penumpang barang yang jadwal keberangkatannya sudah ditentukan.
22
Sistem kontrak tahunan berdasarkan tahun tunggal membuat ada waktu-waktu kapal yang tidak beroperasi karena proses lelang dan kontrak belum selesai. Perpres No. 53 tahun 2010 dan Perubahannya, Perpres No. 70 tahun 2012 mengatur mekanisme penujukkan langsung untuk pengadaan barang dan jasa yang menyangkut layanan umum. Kontraktor operator kapal angkutan pelayaran perintis menghendaki kontrak tahun jamak karena dibolehkan dalam UU No. 17 tahun 2008 tentang pelayaran dan PP No. 20 tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan. Atas dasar itu maka banyak operator pelayaran perintis meminta agar dibuat kontrak jangka panjang. Operator angkutan laut perintis mendesak pemerintah menerapkan sistem kontrak jangka panjang dalam penyelenggaraan angkutan laut perintis di seluruh Indonesia.Bulkiah, Koordinator Forum Operator Angkutan Laut Perintis Indonesia, mengatakan sistem kontrak jangka panjang (multiyear) akan merangsang pengusaha membangun kapal baru dan memperbaiki standar pelayanan angkutan perintis."Kami meminta pemerintah mengubah kontrak tahunan menjadi minimal 3 tahun untuk memudahkan kami membeli kapal dalam melayani angkutan laut perintis," ujarnya di
23
sela-sela Rakornas Angkutan Laut Perintis 2009 di Pacet Cianjur, Jawa Barat, 23 April 2009. Menurut dia, sistem kontrak jangka panjang akan meningkatkan kepercayaan perbankan dan lembaga pembiayaan nonbank terhadap operator angkutan laut perintis guna memperoleh kredit.Selain memudahkan pengadaan kapal, kata Bulkiah, sistem kontrak jangka panjang akan menjamin perawatan kapal perintis. "Ada jaminan perawatan yang lebih baik karena kami memiliki kontrak lebih banyak di satu trayek."Selama ini, lanjutnya, kontrak operasi angkutan laut perintis yang disubsidi pemerintah dilakukan setiap tahun anggaran. Dengan kontrak 1 tahun sekali, operator pelayaran kesulitan merawat kapal sesuai dengan jadwal dan meningkatkan pelayanan angkutan laut perintis kepada penumpang. "Untuk itu, kami meminta diterapkan kontrak jangka panjang. Usulan kami tidak 10 tahun, tapi 3 tahun saja," papar Bulkiah. Undang-Undang
No.17/2008
tentang
Pelayaran
mengamanatkan
pengangkutan laut yang dilayani secara rutin dilakukan kontrak jangka panjang. Saat ini terdapat 33 operator kapal swasta yang melayani 58 trayek angkutan laut perintis dengan 423 frekuensi pelayanan 1.302 voyage. Kontrak jangka panjang Dirjen Perhubungan
Laut
Dephub
Sunaryo
menyatakan
pihaknya
mendukung
penyelenggaraan angkutan perintis dengan sistem kontrak jangka panjang. "Hendaknya penyelenggaraan angkutan laut perintis dilaksanakan dengan multiyear contract sehingga operator dapat membangun kapal baru," papar Sunaryo.Dia juga menegaskan Inpres No. 5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional telah memberikan panduan angkutan laut yang dilayani perusahaan pelayaran menggunakan kontrak jangka panjang.Sunaryo juga meminta operator kapal perintis tetap mengedepankan keselamatan pelayaran kendati anggaran perbaikan dan perawatan kapal sangat kecil. Pada 2009, pelayaran angkutan laut perintis terdapat 58 trayek dengan 58 kapal. Sekitar 81% dari jumlah itu melayani kawasan timur Indonesia.Saat ini, terdapat 26 kapal negara yang dibangun oleh pemerintah dengan perincian 23 kapal dibangun Dephub dan tiga kapal dibangun pemda.Seluruh pengoperasian kapal perintis disubsidi pemerintah dengan alokasi pada tahun ini sebesar Rp266 miliar, sedangkan 2008 alokasi subsidi perintis hanya Rp206,74 miliar. Jamhari, Dirut PT Bimas Raya, salah satu operator kapal perintis, menyatakan pihaknya kesulitan memperoleh bahan bakar minyak (BBM) dari Pertamina kendati mengoperasikan kapal negara."Banyak sekali persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan 24
BBM, padahal kami melayani penumpang dan barang di rute perintis," ungkapnya.Sunaryo mengatakan kesulitan memperoleh BBM itu memang terjadi sesuai dengan hasil pengamatan yang dilaporkan tim Ditjen Perhubungan Laut. "Penyebabnya adalah kapal negara yang ada belum dilengkapi dokumen Gross Akta," ungkapnya.Untuk itu, menurut Sunaryo, 23 kapal perintis milik Departemen Perhubungan telah dilengkapi Gross Akta guna memperoleh kemudahan dalam operasional.
(
[email protected]
http://saifulanamfoundation.blogspot.com/2009/04/operator-minta-kontrak.html. Tetapi apa yang disampaikan Direktur Jenderal Perhubungan Laut tersebut berbeda dengan Menteri Perhubungan. Menteri menolak kontrak jangka panjang. Menhub Jusman Syafii Djamal mengancam mengalihkan subsidi angkutan laut perintis ke perusahaan BUMN jika operator pelayaran swasta enggan melayani rute itu mulai tahun depan.Ancaman itu merespons permintaan Forum Operator Angkutan Laut Perintis Indonesia kepada pemerintah untuk menerapkan kontrak jangka panjang atau multiyear dalam penyelenggaraan pelayaran perintis di Tanah Air."Kalau dipandang kurang menarik bagi swasta, nanti [subsidi pelayaran perintis] akan diberikan kepada BUMN," katanya, akhir pekan lalu.Menhub menilai operator pelayaran perintis seharusnya melihat subsidi pelayaran perintis yang dianggarkan dari APBN sebagai peluang, bukan sebagai hambatan.Jusman juga menegaskan menolak secara tegas permintaan operator pelayaran perintis agar menerapkan kontrak jangka panjang dalam penyelenggaraan angkutan laut perintis. Menurut dia, kontrak angkutan laut perintis dilaksanakan setiap tahun sesuai dengan mekanisme yang berlaku untuk subsidi pelayanan angkutan umum atau public service obligation."Artinya, tidak ada subsidi angkutan laut perintis yang hasilnya untuk membeli kapal dan tidak ada multiyear dalam kontraknya," ujar Menhub.Dia menegaskan pihaknya tetap akan menerapkan penyelenggaraan subsidi pelayaran perintis secara tahunan sesuai dengan mekanisme yang berjalan selama ini. "Mekanisme
multiyear
hanya
diterapkan
untuk
pembangunan
infrastruktur
pelabuhan."Data Ditjen Perhubungan Laut menyebutkan seluruh pengoperasian kapal perintis disubsidi oleh pemerintah dengan alokasi pada 2009 sebesar Rp266 miliar, sedangkan 2008 hanya Rp206,74 miliar.
25
Kesimpulan Pembangunan daerah terluar dan terdepan tidak lagi harus dengan pendekatan keamanan saja tetapi juga harus lebih mengedepankan pendekatan kesejahteraan. Masyarakat yang sejahtera akan secara otomatis memiliki kekuatan secara ideologis sebagai bangsa Indonesia. Jika masyarakat di daerah terluar sejahtera, mereka akan memiliki kebangganaan sebagai bangsa Indonesia. Hasil-hasil pembangunan di daerah terluar dan terdepan, bahkan juga terbelakang, harus dapat didistribusikan dengan mudah ke daerah-daerah lainnya di wilayah NKRI. Pemerintah harus dapat memberikan sarana transportasi murah yang terjangkau oleh masyarakat dalam mendistribusikan hasil-hasilnya untuk diperdagangkan antara pulau. Jalur trayek pelayaran perintis secara umum telah dapat menjangkau daerah-daerah terluar NKRI. Meskipun demikian, lama perjalanan untuk satu trayek kapal perintis masih terlalu panjang, berkitar sekitar 15 hari, sementara itu di daerah-daerah tertentu terjadi overlapping penyinggahan jalur pelayaran perintis. Di beberapa tempat masih terjadi kevakuman jalur pelayaran perintis yang disebabkan kapal rusak atau keterlambatan lelang. Subsidi trayek pelayaran perintis menurut peneliti masih terlalu tinggi karena masih rendahnya penumpang karena rendahnya populasi penduduk di beberapa daerah perbatasan. Pembangunan di daerah terpencil akan mengundang pendatang untuk mengadu nasib di daerah yang sedang dibangun. Mereka akan secara sukarela dapat digerakan menjadi transmigrasi mandiri. Di damping itu pemerintah juga masih perlu melakukan program-program transmigrasi ke daerah-daerah terluar sebagai penggerak pembangunan di daerahdaerah tersebut. Masalah mendasar seperti kelangkaan air bersih dan listrik harus segera diadakan oleh pemerintah. REFERENSI A. Buku dan Artikel Departemen Penerangan RI (1989), Pidato Kenegaraan Presiden RI Di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, 16 Agustus 1989. Jakarta: Departemen Penerangan. -------- (1994), Pidato Kenegaraan Presiden RI Di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, 16 Agustus 1994. Jakarta: Departemen Penerangan Dewan Kelautan Indonesia, (2009). “Analisa Kebijakan Pemberdayaan Pelayaran,” Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan Diamar, Son (2010) Pembangunan Perkotaan Berbatasan Maritim, dalam Seminar "Menggagas Format Ideal Pengelolaan Batas Wilayah dan Kawasan
26
Perbatasan Sebagai Halaman Depan Negara", Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Bappenas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, http://kawasan.bappenas.go.id/images/seminar/5.pdf Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (2011). “Data Distribusi Angkutan Laut Perintis 2011”. Jakarta: Kementerian Perhubungan. Hadi, Suprayoga (2013). “Program Pembangunan Kawasan Perbatasan”, Buletin Penata Ruang, Edisi 3 tahun 2013 Imron, Masyhuri (2011). “Otonomi daerah dan permasalahannya dalam pengelolaan kelautan”, dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 13 (1), 2011, halaman 97-115). Kemitraan, (2011). “Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Indonesia”, Partnership Policy Paper No. 2 tahun 2011. Latif, Yudi (2013). “nasionalisme masa kini dalam perspektif Pancasila”, dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik, Edisi 10, (Juni) 2013, halaman 1-15. Manurung, Krisman, (2011), “Strategi Pembangunan Kawasan Perbatasan”, dalam Tabloid Diplomasi, Edisi Oktober 2011 Matinda, R & Sutisna, S. (2006) “Kebijakan Dan Strategi Penataan Dan Pemeliharaan Batas Wilayah NKRI dan Pulau-Pulau Kecil Terluar”, disampaikan pada “Forum Koordinasi dan Konsultasi Pembangunan Wilayah Perbatasan danPulau-pulau Kecil TerluarKementerian Koordinator Bidang Polhukam”. Jakarta 18 Juli 2006 Moedoko (2011). “Komplesitas Wilayah Perbatasan: Tinjauan dari Perspektif Kebijakan Pengelolaan Perbatasan Indonesia”, paper tidak diterbitkan Nuryanto (2008). “Undang Undang Pelayaran: ‘Berkah’ atau ‘Musibah’ Tinjauan dari sisi Pelayaran dan Usaha Kepelabuhanan.” Jurnal Sain dan Teknologi Maritim, vol. VII, No. 1 ------- (2009). “Azas Cabotage: ‘Peluang dan Tantangan’”. Jurnal Sain dan Teknologi Maritim, vol. VIII, No. 1 Purwaka, Tommy H (1993). Pelayaran Antar Pulau Indonesia Suatu Kajian tentang Hubungan antara Kebijaksanaan Pemerintah dengan Kualitas Pelayanan Pelayaran. Jakarta: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan & Bumi Aksara Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, (1998). Strategi Dasar Pembangunan Kelautan di Indonesia. Jakarta: Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Puslitbang Oseanologi LIPI. Respationo, Soerya (2011) “ Kebijakan Pertahanan di Perbatsan Maritim: Isu strategis aspek pertahanan-keamanan wilayah perbatsan Propinsi Kepri, persoalan, tantangan, dan Peluang sebagai wilayah terdepan perbatasan Negara tetangga Singapura dan Malaysia” paper tidak diterbitkan Risadi, Aris Ahmad (2013), “Ketenagakerjaan dan Daerah Tertinggal,” dalam http://www.kemenegpdt.go.id/artikel/85/ketenagakerjaan-dan-daerah-tertinggal Strategi Dasar Pembangunan Kelautan di Indonesia. Jakarta: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB & Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Puslitbang Oseanologi LIPI, 1998.
27
Sulistiyono, Singgih T, (2004). Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, Jakarta: Program hibah Penulisan buku teks 2004, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Tim Penulis Puspindo (2001). Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia jilid II Seperempat Abad Pelayaran Nasional di Indonesia (1945-1970). Jakarta: Yayasan Pusat Studi Pelayaran Niaga di Indonesia Yani, Yanyan M. (2008). “Pengamanan Wilayah Perbatasan Darat Guna Mendukung Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia” Disampaikan pada acara Roundtable Discussion “Meningkatkan Pengamanan Wilayah Perbatasan Darat Guna Mendukung Pembangunan Nasional Dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI”, LEMHANNAS RI, Jakarta, 11 Nopember 2008 Wuisang, Edwin JH, (2013), “Komitmen Pemerintah Membangun Wilayah Perbatasan”, http://setkab.go.id/artikel-7605-.html www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/11640/3867/ www.setkab.go.id/nusantara-8873-pemerintah-naikkan-anggaran-angkutan-lautperintis.html B. Peraturan Perundangan Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil Undang-undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan Peraturan Presiden No. 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-1014 Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Peraturan Presiden No. 12 tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Peraturan Presiden No. 70 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. AL 59/1/2/-96 tentang jaringan trayek dan kebutuhan kapal angkutan laut perintis tahun 1996/97 dan ketentuan-ketentuan pelaksanaannya. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. AL 59/1/2-00 tentang jaringan trayek dan kebutuhan kapal angkutan laut perintis tahun 2000 dan ketentuanketentuan pelaksanaannya Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. AL 59/2/1-00 tentang jaringan trayek dan kebutuhan kapal angkutan laut perintis tahun 2005 dan ketentuanketentuan pelaksanaannya Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. AL 102/2/3/DJPL-11 tentang jaringan trayek dan kebutuhan kapal angkutan laut perintis tahun 2012 dan ketentuan-ketentuan pelaksanaannya c. Majalah dan Surat Kabar Dunia Maritim www. Koran-Jakarta.com www. Merdeka.com www. Pelita.or.id
28
29