PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENDAPATAN NASIONAL INDONESIA 1976-2006
Oleh : Amalia Dwi Syahputri Lubis H14104101
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI dan MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
AMALIA DWI S LUBIS. “Pembangunan Infrastruktur dan Pendapatan Nasional Indonesia 1976-2006” (dibimbing oleh D.S. Priyarsono).
Pembangunan nasional merupakan suatu program dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan juga selalu ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik dan merata. Pembangunan bukan hanya berarti penekanan pada akselerasi dan peningkatan pendapatan per kapita sebagai indeks dari pembangunan saja, akan tetapi pembangunan merupakan suatu proses multidimensi yang meliputi pula reorganisasi dan pembaharuan seluruh sistem dan aktivitas ekonomi dan sosial dalam mensejahterakan kehidupan masyarakat (Todaro,1983). Untuk itu diperlukan suatu penyediaan infrastruktur sebagai roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Kondisi infrastruktur di Indonesia dalam 10 tahun terakhir sejak terjadinya krisis ekonomi 1997/1998 tidak menunjukkan kondisi yang menggembirakan, sehingga menjadi salah satu kendala pertumbuhan investasi di tanah air, yang pada akhirnya juga menghambat pertumbuhan ekonomi. Dari segi investasi, adanya infrastruktur yang memadai akan meningkatkan daya saing, karena para investor baik di dalam atau luar negeri akan memilih daerah yang infrastrukturnya lengkap. Dampak dari kekurangan infrastruktur serta kualitasnya yang rendah menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. Dan pada akhirnya banyak perusahaan akan keluar dari bisnis atau membatalkan ekspansinya. Karena itulah infrastruktur sangat berperan dalam proses produksi dan merupakan prakondisi yang sangat diperlukan untuk menarik akumulasi modal sektor swasta. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis keterkaitan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dan pendapatan nasinonal dan menganalisis keterkaitan pendapatan nasional dengan beberapa variabel ekonomi lainnya. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi seperti BPS, Bank Indonesia, LIPI, dan Departemen Tenagakerja. Data yang digunakan berupa data tahunan mulai dari tahun 1976 sampai 2006. Data penelitian yang digunakan atas dasar harga konstan 1993 dan data riil yang telah dibagi dengan IHK 1993. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah Two Stage Least Square (TSLS). Peneliti memilih menggunakan metode ini karena taksiran yang
dihasilkan konsisten dan relatif lebih mudah diaplikasikan. Pengujian model terdiri dari Uji-F, Uji-t, dan Uji koefisien determinasi (R2). Perhitungannya menggunakan komputer dengan bantuan software E-views 4.1 Hasil penelitian menunjukkan bahwa Keterkaitan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dan pendapatan nasional adalah positif. Peningkatan (penurunan) pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur akan menyebabkan peningkatan (penurunan) pendapatan nasional. Namun, pembangunan infrastruktur di Indonesia belum menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor infarstruktur seperti hotel, perdangangan dan restoran yang mengalami penurunan pada tahun 2002-2005, dimana kontribusinya terhadap PDB menurun dari 16.9 persen menjadi 15.7 persen. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi, pendapatan nasional berkurang sehingga selama hampir satu dasawarsa Indonesia kurang menambah infrastruktur seperti transportasi, pertanian, dan jasa atau mengalokasikan anggaran untuk perawatan infrastruktur yang ada. Pembangunan infrastruktur dapat mengurangi pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja. Jika dilihat dari keadaan Indonesia, pembangunan infrastruktur belum mampu menyerap tenaga kerja, karena pertumbuhan angkatan kerja lebih besar jika dibandingkan dengan besarnya jumlah pembangunan infrastruktur. Hal ini diduga karena pembangunan infrastruktur belum menjadi fokus pembangunan. Titik berat pembangunan masih difokuskan pada investasi sektor-sektor yang dapat menghasilkan perputaran uang yang tinggi, karena diperlukan untuk memulihkan perekonomian nasional. Pada akhirnya akan menghambat akumulasi kapital dan menurunnya output nasional akibat dari pengangguran yang merupakan beban bagi perekonomian. Menyadari pentingnya sarana infrastruktur, pemerintah sebagai pemain utama dalam sektor infrastruktur selayaknya menjaga kesinambungan investasi pembangunan infrastruktur dan memprioritaskan infrastruktur dalam rencana pembangunan nasional, sehingga infrastruktur dapat dibenahi baik secara kuantitas maupun kualitas. Pemerintah perlu menyusun strategi pembangunan dan pembiayaan infrastruktur. Hal ini dianggap perlu dalam penetuan skala prioritas pembangunan dan alternartif pembiayaan infrastruktur serta identifikasi dan rekomendasi regulasi yang diperlukan untuk mendukung pembangunan infrastruktur.
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENDAPATAN NASIONAL INDONESIA 1976-2006
Oleh : Amalia Dwi Syahputri Lubis H14104101
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI dan MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Amalia Dwi S Lubis
Nomor Registrasi Pokok
: H14104101
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Pembangunan Infrastruktur dan Pendapatan Nasional Indonesia 1976-2006
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
D.S. Priyarsono, Ph.D NIP. 131.578.814
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131.846.872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2008
Amalia Dwi S Lubis H14104101
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Amalia Dwi S L lahir pada tanggal 13 Februari 1987 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Penulis merupakan putri kedua dari pasangan Ir. H. Akhmad Rifai Lubis dan Hj. Asni Marwati. Pendidikan formal penulis dari SD sampai SMU diselesaikan di Medan, Sumatera Utara. Tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Swasta Tunas Kartika 1-2 Medan dan melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 7 Medan. Tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN 3 Medan dan pada tahun yang sama penulis di terima di Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi, yaitu Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) periode 2004-2005 dan periode 2005-2006, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Study Economics Syariah Club (Ses-C), Organisasi Daerah „Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan (IMMAM).
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim… Assalamu’alaikum wr.wb Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala kekuatan, kemudahan dan atas izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW, atas segala perjuangan untuk mencapai sebuah kebenaran. Skripsi yang berjudul "Pembangunan Infrastruktur dan Pendapatan Nasional Indonesia 1976-2006 " merupakan bagian dari tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dapat diselesaikan berkat semangat, bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya. 2. Bapak. D.S.Priyarsono, Ph.D. yang telah memberikan bimbingan dan saran baik secara teknis maupun teoritis serta pembelajaran yang sangat berguna dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 3. Ibu Rina Oktaviani, Ph.D. selaku dosen penguji dan Bapak Syamsul Hidayat Pasaribu selaku komisi pendidikan, yang telah memberikan kritik dan saran demi menyempurnakan penulisan skripsi ini 4. Keluarga tercinta; mama, papa, kak afni, dini, nita buat cinta ,dukungan serta doanya yang tak pernah habis dan semua keluarga besar ku, terima kasih untuk segalanya. 5. Sahabat penulis ruli, coet, chifa, agung, hati-hati A4, della, dila, niken, fanya, heni, hana, mair, nisa, chai, rinda, rani, septi, dana, riri, dita, bayu,
IMMAMers, Griya Agriati makasih buat semuanya. Semua kisah kita selama 4 tahun ini. 6. Teman-teman penulis; liana, dawi, tika, ateu, komti ie 41, akbar, hardi, dani dan seluruh temen-temen ilmu ekonomi angkatan 41. 7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semua orang yang datang dan pergi. Terima Kasih. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca, baik dari segi materi maupun dari segi teknis penyajian. Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan
Bogor, Juli 2008
Amalia Dwi S L H14104101
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 3 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 6 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 7 1.5 Ruang Lingkup Penelitan ........................................................................ 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infrastruktur ............................................................................................ 8 2.2 Pendapatan Nasional ............................................................................... 9 2.3 Pengeluaran Pemerintah .......................................................................... 12 2.4 Angkatan Kerja ....................................................................................... 13 2.5 Inflasi ...................................................................................................... 13 2.6 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 15 2.7 Kerangka Pemikiran ................................................................................ 20 2.8 Hipotesis Penelitian ................................................................................ 22 III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data ............................................................................ 23 3.2 Model Analisis ........................................................................................ 23 3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian………………………………. 25 3.4 Identifikasi Model ................................................................................... 26 3.5 Pengujian Model dan Hipotesis .............................................................. 27 3.5.1 Uji Koefisien Determinasi (R2) ................................................ 27 3.5.2 Uji t-statistik............................................................................. 28 3.5.3 Uji F-statistik ........................................................................... 29
3.6 Uji Ekonometrika .................................................................................... 30 3.6.1 Uji Normalitas .......................................................................... 30 3.6.2 Uji Heterokedastisitas .............................................................. 31 3.6.3 Uji Autokorelasi ....................................................................... 32 3.7 Uji Ekonomi ............................................................................................ 33 IV GAMBARAN UMUM 4.1 Pendapatan Nasional ............................................................................... 34 4.2 Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur .......................................... 37 4.3 Angkatan Kerja ....................................................................................... 38 4.4 Inflasi ...................................................................................................... 40 4.5 Penerimaan Pemerintah........................................................................... 42 4.6 Pengangguran .......................................................................................... 43 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Model ................................................................................... 46 5.2 Hasil Estimasi Model dan Interprestasi Model ....................................... 46 5.2.1 Pendapatan Nasional ................................................................ 46 5.2.1.1 Uji Statistik ...................................................................... 48 5.2.1.2 Interpretasi Ekonomi ........................................................ 49 5.2.2 Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur ........................... 51 5.2.2.1 Uji Statistik ...................................................................... 52 5.2.2.2 Interpretasi Ekonomi ........................................................ 53 5.2.3 Angkatan Kerja ........................................................................ 55 5.2.3.1 Uji Statistik ...................................................................... 56 5.2.3.2 Interpretasi Ekonomi ........................................................ 57 5.2.4 Inflasi ....................................................................................... 58 5.2.4.1 Uji Statistik ...................................................................... 60 5.2.4.2 Interpretasi Ekonomi ........................................................ 60 5.3 Uji Ekonometrika .................................................................................... 61 5.4 Pembahasan ............................................................................................. 62
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 65 6.2 Saran ....................................................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 67 LAMPIRAN .................................................................................................. 69
DAFTAR TABEL
Nomor 1.1. Kontribusi sektor menurut lapangan usaha terhadap PDB atas dasar harga konstan 2000 (persen) 1.2. Identifikasi model 1.3. Hasil Estimasi Model Pendapatan Nasional 1.4. Hasil Estimasi Model Pengeluaran Pembangunan Untuk Infrastruktur 1.5. Hasil Estimasi Model Angkatan Kerja 1.6. Hasil Estimasi Model Inflasi
Halaman 3 46 47
51 55 59
DAFTAR GAMBAR Nomor 1. GDP sebagai Penyebab Inflasi
Halaman 15
2. Kerangka Pemikiran Penelitian
21
3. PDB Riil Berdasarkan Harga Konstan 1993
34
4. Pengeluaran Pembangunan Pemerintah
37
5. Perkembangan Angkatan Kerja dan Populasi
39
6. Perkembangan Inflasi
41
7. Penerimaan Pemerintah
42
8. Tingkat Pengangguran di Indonesia
44
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. Hubungan antar variabel penelitian 2. Data Penelitian 3. Hasil Estimasi Model
Halaman 70 71 72
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan suatu program dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan juga selalu ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik dan merata. Pembangunan bukan hanya berarti penekanan pada akselerasi dan peningkatan pendapatan per kapita sebagai indeks dari pembangunan saja, akan tetapi pembangunan merupakan suatu proses multidimensi yang meliputi pula reorganisasi dan pembaharuan seluruh sistem dan aktivitas ekonomi dan sosial dalam mensejahterakan kehidupan masyarakat (Todaro,1983).
Untuk itu diperlukan
suatu penyediaan infrastruktur sebagai roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi makro, ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi (Kwik, 2002).
Infrastruktur juga berpengaruh
penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, dan peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja.
Infrastruktur memiliki peranan positif terhadap pertumbuhan ekonomi baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek pertumbuhan infrastruktur dapat menciptakan lapangan kerja terutama sektor konstruksi, jangka menengah dan jangka panjang akan mendukung peningkatan efisiensi dan produktivitas sektor-sektor terkait. Infrastruktur sepertinya menjadi jawaban dari kebutuhan negara-negara yang ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan membantu penanggulangan kemiskinan, meningkatkan kualitas hidup, mendukung tumbuhnya pusat ekonomi dan meningkatkan mobilitas barang dan jasa serta merendahkan biaya aktifitas investor dalam dan luar negeri. Salah satu kebijakan pemerintah yang turut serta berperan dalam pembangunan infrastruktur dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah kebijakan fiskal, yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
APBN merinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang
diharapkan dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun (Suparmoko, 2000). Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor infrastruktur terhadap PDB Nasional yang meliputi sektor listrik, gas dan air minum, sektor bangunan dan sektor pengangkutan dan komunikasi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kontribusi sektor bangunan pada tahun 2002 sebesar 5.61 persen mengalami peningkatan sebesar 5.68 persen pada tahun 2003. Sektor pengangkutan dan komunikasi juga mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Pada tahun 2002
kontribusi sektor ini sebesar 5.06 persen meningkat pada tahun 2003 menjadi 5.42 persen. Sedangkan untuk sektor listrik, gas dan air minum kontribusinya dari
tahun 2002 sampai tahun 2006 tidak mengalami peningkatan ataupun penurunan, namun pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 0.03 persen (tabel 1.1). Tabel 1.1. Kontribusi sektor menurut lapangan usaha terhadap PDB atas dasar harga konstan 2000 (persen). Lapangan Usaha
Tahun 2002
2003
2004
2005
2006
2007
1 Pertanian
15.46
15.24
14.92
14.50
14.20
13.83
2 Pertambangan dan penggalian
11.28
10.63
9.66
9.44
9.09
8.73
- Minyak dan gas bumi(migas)
7.17
6.54
5.95
5.53
5.18
4.82
- Pertambangan tanpa migas
3.25
3.23
2.83
3.00
2.99
2.97
- Penggalian
0.85
0.86
0.88
0.89
0.92
0.94
27.85
28.01
28.37
28.07
27.83
27.40
3.46
3.34
3.11
2.78
2.59
2.44
24.38
24.67
25.26
25.29
25.24
24.96
4 Listrik, gas,dan air bersih
0.66
0.66
0.66
0.66
0.66
0.69
5 Bangunan
5.61
5.68
5.82
5.92
6.08
6.21
6 Perdagangan,hotel,dan restoran
16.16
16.26
16.37
1.68
16.92
17.26
7 Pengangkutan dan komunikasi
5.06
5.42
5.85
6.24
6.76
7.28
- Pengangkutan
3.48
3.64
3.77
3.79
3.83
3.71
- Komunikasi
1.58
1.78
2.08
2.45
2.93
3.57
8 Keuangan,persewaan,dan jasa
8.69
8.90
14.04
9.21
9.21
9.35
9 Jasa-jasa
9.23
9.20
9.23
9.18
9.24
9.27
3 Industri pengolahan - Industri migas - Industri tanpa migas
Sumber; BPS
1.2 Perumusan Masalah Pengeluaran pemerintah baik dalam bentuk konsumsi maupun investasi merupakan salah satu komponen dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Pengeluaran pemerintah yang memberikan kontribusi besar terhadap PDB adalah pengeluaran pembangunan.
Pengeluaran pembangunan pemerintah
merupakan pengeluaran untuk kegiatan (proyek) yang bersifat non recurring capital expenditures yang penyelesaiannya dalam periode waktu tertentu, biasanya sampai enam tahun (Currin dalam Elmi 2002). Salah satu contoh pengeluaran pembangunan pemerintah adalah pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur. Kondisi infrastruktur di Indonesia dalam 10 tahun terakhir sejak terjadinya krisis ekonomi 1997/1998 tidak menunjukkan kondisi yang menggembirakan, sehingga menjadi salah satu kendala pertumbuhan investasi di tanah air, yang pada akhirnya juga menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dari segi investasi,
adanya infrastruktur yang memadai akan meningkatkan daya saing, karena para investor baik di dalam atau luar negeri akan memilih daerah yang infrastrukturnya lengkap. Sejak krisis ekonomi 1997/1998, perhatian pemerintah dalam hal penyediaan infrastruktur berkurang, khususnya di wilayah luar Jawa, atau Indonesia kawasan timur. Hal ini dikarenakan pemerintah fokus pada hal-hal yang lebih mendesak seperti menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan ekonomi secara keseluruhan, mencegah pelarian modal, menanggulangi hutang luar negeri serta menstabilkan kembali kondisi politik dan sosial. Akibatnya, pembangunan infrastruktur di Indonesia terhambat. Tingkat inflasi yang meningkat tajam pada saat krisis yaitu mencapai 77.63 persen mendorong peningkatan pada harga bahan bakar minyak (BBM), kemudian diikuti dengan meningkatnya harga-harga barang dan jasa lainnya. Hal ini memicu peningkatan pada biaya operasional perusahaan, sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawan. Tingginya tingkat inflasi juga menyebabkan menurunnya
pengeluaran pembangunan infrastruktur, karena meningkatnya harga bahan-bahan untuk pembangunan infrastruktur.
Menurunnya pengeluaran pemerintah dan
meningkatnya pengangguran akan menyebabkan penurunan PDB nasional. Selain hal di atas, pembangunan infrastruktur di Indonesia juga mengalami permasalahan dalam hal pembiayaan.
Pada tahun 1998 pembangunan
infrastruktur terhambat dikarenakan ketidakmampuan APBN mengalokasikan dana investasi sebesar US$15 Juta atau sekitar Rp. 127.5 triliun (Bappenas, 2000). Ketidakmampuan ini diikuti kesalahan pemerintah dalam pengalokasian dana untuk infrastruktur.
Misalnya, pemerintah terus melakukan pembangunan
infrastruktur tanpa melakukan perawatan terhadap infrastruktur yang sudah ada. Dampak dari kekurangan infrastruktur serta kualitasnya yang rendah menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja.
Pada
akhirnya banyak perusahaan akan keluar dari bisnis atau membatalkan ekspansinya. Karena itulah infrastruktur sangat berperan dalam proses produksi dan merupakan prakondisi yang sangat diperlukan untuk menarik akumulasi modal sektor swasta. Besarnya peran infrastruktur juga dapat dilihat dalam sebuah studi yang dilakukan di Amerika Serikat (Aschauer, 1989 dan Munnell, 1990) yang menunjukkan bahwa tingkat pengembalian investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi, adalah sebesar 60% (Suyono, 2003). Bahkan studi dari World Bank (1994) disebutkan elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap infrastruktur di suatu negara adalah antara 0.07 sampai dengan 0.44. Hal ini berarti dengan kenaikan 1 (satu) persen saja ketersediaan infrastruktur akan
menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 0.07 persen sampai dengan 0.44 persen, variasi angka yang cukup signifikan.
Secara empiris jelas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pembangunan infrastruktur berpengaruh besar
terhadap
pertumbuhan ekonomi (secara makro dan mikro) serta perkembangan suatu negara atau wilayah. Akan tetapi, premis ini tidak mudah berlaku di Indonesia, apalagi sejak negara kita terkena krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang akhirnya melebar menjadi krisis multidimensi yang dampaknya masih bisa dirasakan sampai sekarang. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan dan keterkaitan antara pembangunan infrastruktur dan pendapatan nasional di Indonesia? 2. Bagaimana keterkaitan antara pendapatan nasional dengan beberapa variabel ekonomi lainnya?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah menganalisis peranan dan keterkaitan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dan pendapatan nasinonal dan menganalisis keterkaitan pendapatan nasional dengan beberapa variabel ekonomi lainnya.
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin diberikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan tambahan bagi masyarakat dan menjadi bahan informasi bagi penelitian mendatang pada bidang yang sama. 2. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan skala prioritas pembangunan dan alternatif pembiayaan infrastruktur serta identifikasi dan rekomendasi regulasi yang diperlukan untuk mendukung pembangunan infrastruktur.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini lebih difokuskan pada analisis pengeluaran pembangunan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur terhadap pendapatan nasional di Indonesia periode 1976 sampai 2006.
Penelitian ini menggunakan variabel
pendukung yaitu inflasi, angkatan kerja, dan pengangguran karena variabelvariabel tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nasional.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infrastruktur Investasi pemerintah pada umumnya berbentuk infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan listrik yang dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia usaha untuk melakukan kegiatan produksi dan investasi. Secara umum infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas fisik dalam mengembangkan atau membangun pelayanan publik melalui penyediaan barang dan jasa untuk umum. Menurut Jan Jacobs et. al dalam Sibarani (2002) infrastruktur dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu: 1. Infrastruktur dasar (basic infrastructure) mencakup sektor-sektor publik dan keperluan mendasar
untuk
sektor perekonomian,
yang tidak dapat
diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan secara teknis maupun spasial, contoh: jalan raya, kereta api, kanal, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. 2. Infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) seperti gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum. Adapun Basri (2002), menyatakan bahwa yang termasuk dalam kategori infrastruktur adalah jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, bandar udara, alat pengangkutan dan telekomunikasi. Selain itu, ada infrastruktur lain yaitu listrik, instalasi pipa air dan pipa gas.
Infrastruktur merupakan instrumen untuk
memperlancar roda perekonomian sehingga bisa mempercepat akselerasi pembangunan (Basri,2002).
Tersedianya infrastruktur yang memadai akan
menstimulasi pembangunan daerah. berjalan
cepat
mengindikasikan
Sebaliknya, pembangunan daerah yang perlunya
perbaikan
infrastruktur agar proses pembangunan tidak tersendat.
dan
pembangunan
Bappenas (2003)
menyatakan bahwa secara umum paling tidak terdapat tiga dimensi relasi antara ekonomi dan infrastruktur, yaitu: (a) kegiatan ekonomi, seperti halnya keberadaan jalan, jembatan, listrik dan telepon yang mendasari terciptanya transaksi dalam perekonomian; (b) infrastruktur juga merupakan input produksi, seperti halnya penggunaan listrik untuk proses produksi di semua industri; (c) akses terhadap infrastruktur menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini misalnya; peran air minum dan sanitasi yang baik, layanan transportasi dan listrik yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat modern.
2.2 Pendapatan Nasional Menurut Lipsey dan Steiner (1990), nilai dari total produksi barang dan jasa suatu negara dinyatakan sebagai produk nasional dan nilai total produksi tersebut juga menjadi pendapatan total negara yang bersangkutan atau dengan kata lain, produk nasional sama dengan pendapatan nasional. Produk nasional atau pendapatan nasional dapat diukur dalam bentuk Pendapatan Nasional Bruto (PNB) atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB). PDB dapat dihitung dengan memakai dua pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan.
Rumus umum untuk PDB dengan
pendekatan pengeluaran adalah: PDB = konsumsi + investasi + pengeluaran pemerintah + ekspor - impor
dimana konsumsi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, investasi oleh sektor usaha, pengeluaran pemerintah oleh pemerintah, dan ekspor dan impor melibatkan sektor luar negeri.
Sementara pendekatan pendapatan
menghitung pendapatan yang diterima faktor produksi: PDB = sewa + upah + bunga + laba dimana sewa adalah pendapatan pemilik faktor produksi tetap seperti tanah, upah untuk tenaga kerja, bunga untuk pemilik modal, dan laba untuk pengusaha. Secara teori, PDB dengan pendekatan pengeluaran dan pendapatan harus menghasilkan angka yang sama. Namun karena dalam praktek menghitung PDB dengan pendekatan pendapatan sulit dilakukan, maka yang sering digunakan adalah dengan pendekatan pengeluaran. Menurut Keynes pendapatan nasional dipengaruhi oleh investasi dan pengeluaran pemerintah. Hal ini dapat dinotasikan sebagai berikut: Yt = f (I, Gt)
(2.1)
Jika persamaan (2.1) dibentuk dalam model regresi maka akan menjadi: Yt = b0 + b1 It + b2 Gt + µit
(2.2)
Dalam model klasik, produksi merupakan fungsi dari jumlah barang yang tersedia (K) dan jumlah tenaga kerja (L). Y = f(K,L) di mana; Y = output atau produksi agregat K = Stok barang modal L = tenaga kerja
(2.3)
Dalam jangka pendek, stok barang modal dianggap tetap, sehingga fungsi produksi menjadi: Y = f( K, L)
(2.4)
Karena itu, tingkat produksi agregat semata-mata ditentukan oleh tenaga kerja yang digunakan: Y = f(L)
(2.5)
Jika persamaan 2.1 disubstitusikan ke persamaan 2.5 maka diperoleh persamaan 2.6 sebagai berikut: Y = f(I, G, L)
(2.6)
Bentuk regresi dari persamaan 2.6 adalah sebagai berikut: Yt = b0 + b1 It + b2 Gt +b3 Lt + µit
(2.7)
Dalam penelitian ini, variabel L (tenaga kerja) diwakili oleh variabel angkatan kerja (AK), sehingga persamaan 2.7 dapat ditulis sebagai berikut: Yt = b0 + b1 It + b2 Gt +b3 AKt + µit
(2.8)
Peneliti menambahkan variabel inflasi, karena perubahan pendapatan nasional tidak terlepas dari adanya pengaruh inflasi. Inflasi disebabkan oleh adanya interaksi permintaan dan penawaran di pasar yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap tingkat harga dan output. Peneliti juga tidak menggunakan variabel investasi, karena penelitian ini hanya ingin melihat pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional. Adapun persamaan pendapatan nasional yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut : Yt = b0 + b1 Gt +b2 AKt + b3 INFt + µit
(2.9)
2.3 Pengeluaran Pemerintah Identitas keseimbangan pendapatan nasional Y = C + I + G + X – M merupakan “sumber legimasi” pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa
kenaikan
(penurunan)
pengeluaran
pemerintah
akan
menaikkan
(menurunkan) pendapatan nasional. Model pengeluaran pemerintah pada penelitian ini berdasarkan model atau fungsi pengeluaran pemerintah Wagner. Fungsi pengeluaran pemerintah menurut Wagner adalah sebagai berikut: Gt = f (Yt)
(2.10)
Jika Persamaan (2.10) dibentuk dalam model regresi, sehingga menjadi bentuk fungsi sebagai berikut: Gt = a0 + a1Yt + µ1t
(2.11)
Beberapa faktor lain yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur adalah penerimaan pemerintah, inflasi, dan angkatan kerja. Jika variabel-variabel tersebut dimasukkan ke dalam persamaan 2.11, maka persamaan tersebut berubah menjadi: Gt = a0 + a1Yt +a2 RGt + a3 AKt + a4 INFt + µ1t
(2.11)
2.4 Angkatan Kerja Penduduk dalam usia kerja disebut tenaga kerja. Tenaga kerja terbagi menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja (Dumairy, 1996). Angkatan kerja adalah tenaga kerja yang bekerja, ataupun mempunyai pekerjaan namun
untuk sementara sedang tidak bekerja, dan yang mencari pekerjaan.
Bukan
angkatan kerja ialah tenaga kerja yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan, dan sedang tidak mencari pekerjaan; yakni orang-orang yang kegiatannya bersekolah (pelajar, mahasiswa), mengurus rumah tangga, serta menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya (pensiunan, penderitan cacat yang dependen).
2.5 Inflasi Inflasi merupakan gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara permintaan dan penawaran di pasar.
Interaksi tersebut akan menentukan
keseimbangan antara tingkat harga dan jumlah output yang diminta dan yang ditawarkan di pasar. Dalam perekonomian, inflasi dapat dilihat dari dua komponen, yaitu core inflation atau inflasi dari sisi permintaan (demand-pull inflation), dan noise inflation atau inflasi dari sisi penawaran (cost-push inflation).
Inflasi sisi
permintaan lebih mudah dikontrol bank sentral daripada inflasi sisi penawaran (Susanto, 2005). Dari sisi permintaan, biasanya digunakan persamaan kuantitas untuk mensubstitusi GDP dengan variabel T (jumlah transaksi dalam perekonomian). Variabel GDP dan T sangat berhubungan, karena jika semakin banyak perekonomian berproduksi, maka akan semakin banyak barang dan jasa yang
diperjualbelikan (Mankiw, 2003).
Hubungan antara GDP dan inflasi dapat
dijelaskan dalam gambar berikut:
P
LRAS
SRAS P2 P1 AD2 AD1
Y Y1
Y2
Gambar 1. GDP sebagai penyebab inflasi (sumber : Mankiw, 2003)
Jika pemerintah melakukan kebijakan ekspansi fiskal, maka output akan meningkat, kurva AD akan bergeser ke kanan dari AD1 ke AD2, GDP akan naik dari Y1 ke Y2. Akibatnya harga akan naik dari P1 ke P2 yang berarti inflasi. Inflasi juga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, mendistribusikan kembali pendapatan dan kekayaan, dan menurunkan aktivitas perekonomian. Dengan menggunakan pendekatan pengeluaran dalam perhitungan pendapatan nasional, inflasi akan mengurangi C (konsumsi) dan I (Investasi Bruto).
Pengurangan ini disebabkan karena ketidakpastian akan besarnya kenaikan harga sehingga masyarakat dan investor cenderung menyimpan uangnya untuk kepentingan yang lebih mendesak dan menunda keputusan bisnis.
Untuk
menstabilkan kondisi perekonomian, G (Pengeluaran Pemerintah)
akan
bertambah karena semakin besar yang akan digunakan untuk memicu perekonomian. Selain itu, upah juga akan mengalami penyesuaian, akan tetapi penyesuaian kenaikan upah tersebut akan menurunkan pendapatan dalam bentuk lain yaitu sewa, bunga dan keuntungan yang akan diperoleh para pemilik faktor produksi.
2.6 Penelitian Terdahulu Sutriono (2006), meneliti tentang hubungan timbal balik antara pengeluaran pemerintah dan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia periode 1970-2003.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan
kausalitas antara perubahan (peningkatan atau penurunan) total pengeluaran pemerintah dengan perubahan (peningkatan atau penurunan) PDB. Pengeluaran rutin tidak signifikan mempengaruhi perubahan PDB karena lebih bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti belanja pegawai dan untuk pembayaran bunga utang.
Sementara pengaruh
pengeluaran pembangunan memiliki hubungan kausal positif dan signifikan terhadap perubahan PDB.
Hal ini dapat dijelaskan oleh pengaruh positif
pengeluaran sektor pertanian, infrastruktur, dan transportasi serta pendidikan
terhadap PDB dan pengaruh positif perubahan PDB terhadap pengeluaran pemerintah di sektor infrastruktur dan transportasi. Penelitian secara khusus pada pengeluaran pemerintah di beberapa negara berkembang selama 1965-1986 yang dilakukan oleh Lindaeur dan Velenchik (1992) dalam “Government Spending in Developing Countries: Trends, Causes, and Consequences”. Penelitiannya dilakukan dengan mengumpulkan data-data pengeluaran total pemerintah dan dipersentasekan dengan pendapatan nasional dari masing-masing negara.
Berdasarkan data yang diperoleh, adanya
pertumbuhan pengeluaran pemerintah selanjutnya dianalisis dengan menggunakan empat penjelasan alternatif, yaitu Cost Accounting, Demand-Side Arguments, Supply- Side Factors, dan Developing Theorizing.
Hasil penelitiannya
menunjukkan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Secara rata-rata di beberapa negara berkembang, persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB menurun dibandingkan negara-negara maju. Hal ini terlihat jelas pada negara-negara dengan pendapatan ekonominya rendah. 2. Pemerintah dengan pendapatan rendah dan menengah akan mengkonsumsi lebih tinggi dari persentase PDB di dalam tahapan pembangunan negaranya. 3. Meskipun tingkat pertumbuhan pengeluaran pemerintah di negara-negara pendapatan ekonomi yang rendah dan menengah bervariasi, dan terlihat menurun di beberapa kasus, ekspansi yang berkelanjutan merupakan efek yang normal. Sihotang (2003), meneliti dampak kebijakan fiskal terhadap pendapatan nasional di Indonesia periode 1969-2000.
Peneliti menggunakan model
persamaan simultan dengan metode Two Stage Least Square (TSLS). Berdasarkan hasil estimasi dan validasi model ekonomi Indonesia dalam penelitiannya,
secara
umum
variabel-variabel
kebijakan
fiskal
kurang
berpengaruh terhadap pendapatan nasional, konsumsi, investasi, ekspor, impor, permintaan uang, permintaan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja, upah, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, dan pendapatan disposibel. Sedangkan berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan, kebijakan fiskal memiliki dampak terhadap pendapatan nasional, kesempatan kerja, dan inflasi di Indonesia.
Simulasi
kebijakan fiskal selama tahun 1969 sampai dengan tahun 2000 menunjukkan bahwa
kebijakan
pengeluaran
total
pemerintah
lebih
dominan
dalam
meningkatkan pendapatan nasional dibandingkan variabel-variabel kebijakan lain terutama kebijakan penerimaan pajak total. Penelitian Sihombing (2003) dengan menggunakan Error Correction Model, dan data time series sejak tahun 1969-2000. Menemukan bahwa dalam jangka pendek varibel arus modal masuk dan inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap besarnya pengeluaran. Sementara dalam jangka panjang, hasil estimasi memperlihatkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, arus modal masuk, inflasi, pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya, perubahan inflasi tahunan dan perubahan pengeluaran pemerintah tahunan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengeluaran pemerintah Indonesia. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur cenderung dipengaruhi oleh kemiskinan, penerimaan pemerintah, reformasi dan desentralisasi. Desentralisasi menurut Yudhoyono (2004) menyebabkan pengeluaran untuk infrastruktur
cenderung menurun. Simulasi model simultan yang digunakan oleh Yudhoyono (2004) menemukan bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja.
Namun, dampak
pengeluaran pemerintah dalam infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, relatif lebih besar di sektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian.
Demikian juga dengan pengeluaran pemerintah untuk
pendidikan dan kesehatan memberikan dampak yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan pada sektor non pertanian dibanding sektor pertanian. Studi lainnya yang berhubungan dengan pembangunan infrastruktur adalah penelitian oleh Sibarani (2002).
Dalam tesisnya mencoba melihat
kontribusi infrastruktur terhadap pertumbuhan di Indonesia dengan menggunakan data panel 26 propinsi di Indonesia dalam jangka waktu 1983-1997. Model yang digunakan didasarkan pada model Barro (1990) dengan infrastruktur sebagai input bagi agregat produksi (Canning dan Pedroni, 1999). Hasil dari penelitian Sibarani (2002) menyimpulkan bahwa infrastruktur, jalan, listrik, telepon memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap agregat output yang diwakili oleh variabel pendapatan per kapita. Terlihat perbedaan kontribusi dari setiap jenis infrastruktur untuk setiap wliayahnya.
Perbedaan juga terlihat saat regresi
dilakukan untuk wilayah yang tidak sama besarnya.
Kontribusi infrastruktur
untuk wilayah lebih kecil memperlihatkan nilai yang lebih besar dibandingkan wilayah yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh ketimpangan stok yang sangat besar pada semua jenis infrastruktur baik pembangunan jalan, listrik, dan telepon.
Supartinah (2000) dalam “Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Inflasi dan Pendapatan Nasional di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi”. Hasil penelitiannya menyimpulkan dampak kebijakan moneter lebih besar terhadap inflasi daripada dampak perubahan kebijakan fiskal, dan sebaliknya dampak perubahan kebijakan fiskal dan pengupahan lebih besar pengaruhnya terhadap pendapatan nasional daripada dampak perubahan kebijakan moneter. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah terletak pada periode penelitian dan variabel-variabel ekonomi pada persamaan yang digunakan. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan dari tahun 1976 sampai dengan 2006, yaitu selama kurun waktu 31 tahun.
Kemudian
variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendapatan nasional, pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, angkatan kerja, dan inflasi. Selain itu penelitian ini juga memasukkan variabel dummy krisis untuk menganalisis dampak yang ditimbulkan dari krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia.
2.6 Kerangka Pemikiran Peran pemerintah dalam perekonomian ditunjukkan dengan adanya kebijakan fiskal, yang bertujuan untuk mengatur kegiatan ekonomi masyarakat dan perusahaan sehingga perekonomian dalam kondisi yang baik. Pemerintah menggunakan APBN sebagai alat pembangunan dan dijadikan sebagai salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
Salah satunya melalui pengeluaran
pembangunan yang tertuang dalam APBN. Belanja pembangunan pemerintah
adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai proyek pembangunan fisik dan non fisik. Pengeluaran ini mencerminkan peranan pemerintah yang lebih mengarah kepada investasi seperti pembangunan infrastruktur. Infrastruktur
merupakan
roda
penggerak
pertumbuhan
ekonomi.
Pembangunan infrastruktur tidak saja merupakan penggerak investasi sehingga mampu
mendorong
pertumbuhan
ekonomi
yang
penting
bagi
upaya
penanggulangan kemiskinan, tetapi juga akan menjadi instrumen pemerintah untuk menciptakan kesempatan kerja dan perolehan pendapatan.
Relevansi
campur tangan pemerintah dalam perekonomian menurut pandangan kaum Keynesian dinotasikan pada identitas keseimbangan pendapatan nasional Y = C + I + G + (X-M). Dari
notasi sangat sederhana tersebut dapat dilihat bahwa
kenaikan (penurunan) pengeluaran pemerintah akan menaikkan (menurunkan) pendapatan nasional (Dumairy,1996). dapat dilihat pada Gambar 2.
Secara keseluruhan keterkaitan di atas
Pembangunan ekonomi
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan moneter;
Kebijakan fiskal, yaitu
- OPT - Tingkat suku bunga - Rasio Cadangan
-
Pajak
- Pengeluaran pemerintah
Minimum
Belanja Modal/Belanja Pembangunan dalam APBN
Menciptakan kesempatan kerja dan perolehan pendapatan
Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan
Pembangunan infrastruktur
Mengurangi pengangguran dengan menyerap angkatan kerja
Mendorong terciptanya investasi dan kegiatan-kegiatan sektor riil lainnya
Pendapatan Nasional
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Ket :
= Batas Penelitian
2.9 Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan beberapa hipotesis sebagai berikut : 1. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur akan meningkat seiring dengan peningkatan kegiatan ekonomi suatu negara dan mempunyai korelasi positif dengan pendapatan nasional. Pada akhirnya pengeluaran pemerintah akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan berkurangnya pengangguran. 2. Peningkatan
pengeluaran
pemerintah
untuk
infrastruktur
mengalami
kecenderungan yang semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena dari tahun ke tahun jumlah penduduk semakin meningkat dan aktivitas perekonomian juga semakin padat sehingga ketersediaan infrastruktur yang memadai sangat diperlukan. Tersedianya infrastruktur yang memadai juga akan memicu munculnya kegiatan-kegiatan ekonomi baru yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data time series dari tahun 1976 sampai dengan tahun 2006. Data sekunder tersebut berasal dari Badan Pusat Statistika (BPS), Bank Indonesia, dan Departemen Ketenagakerjaan.
3.2 Metode Analisis Penelitian ini menggunakan model persamaan simultan yang terdiri dari 4 persamaan struktural dimana hubungan antara variabelnya dapat dilihat pada lampiran dan dianalisis dengan menggunakan metode Two-Stage Least Square (TSLS). Semua variabel yang digunakan dalam model penelititan diubah ke dalam bentuk riil. Caranya adalah dengan membagi variabel dengan IHK dikali 100. Konversi ini dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel. Model persamaan simultan yang digunakan telah diubah ke dalam bentuk ln, dimana semua variabel, kecuali yang satuannya persen, ditransformasi ke dalam bentuk logaritma. Adapun model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Pendapatan Nasional Di dalam penelitian ini Produk Domestik Bruto (PDB) digunakan untuk menjelaskan pendapatan nasional dan berdasarkan harga dasar tahun 1993.
Merujuk kepada teori Keynes dan beberapa penelitian sebelumnya, maka persamaan pendapatan nasional dirumuskan sebagai berikut; LnGDPt = a0 + a1 LnGEIt + a2 LnAKt + a3 INFt + a4 DKt + μ1t
(3.1)
dimana: LnGDPt
= Produk domestik bruto (Milyar Rupiah)
LnGEIt
= Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur (Milyar Rupiah)
LnAKt
= Angkatan kerja (Juta Orang)
INFt
= Inflasi (Persen)
DKt
= Dummy krisis
µit
= Variabel Pengganggu
2. Pengeluaran Pembangunan untuk Infrastruktur Berdasarkan teori, konsep, dan penelitian terdahulu maka persamaan pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur dapat dirumuskan sebagai berikut; LnGEIt = b0 + b1 LnGDPt + b2 LnGRt + b3 INFt + b4 LnAKt + b5 INFt-1 + µ2t
(3.2)
dimana: LnGRt
= Penerimaan pemerintahan (Milyar Rupiah)
INFt-1
= Lag Inflasi (Persen)
3. Angkatan Kerja Berdasarkan teori ketenagakerjaan Don Belante (1983) dan penelitian terdahulu, persamaan angkatan kerja dapat dirumuskan sebagai berikut; LnAKt = c0 + c1 LnGDPt + c2 LnUt + c3 TPAKt + c4 LnGEIt + c5 LnAKt-1 + µ3t
(3.3)
dimana: LnUt
= Jumlah Pengangguran (Juta Orang)
TPAKt
= Tingkat partisipasi angkatan kerja (Persen)
LnAKt-1
= Lag Angkatan Kerja (Juta Orang)
4. Inflasi Persamaan inflasi dalam penelitian ini merujuk kepada penelitian Yudhoyono (2004) dan beberapa penelitian sebelumnya , persamaan inflasi dapat dirumuskan sebagai berikut: INFt
= e0 + e1 LnGDPt + e2 LnGRt + e3 EGt + e4 LnERt + µ5t
…(3.5)
dimana: EGt
= Pertumbuhan Ekonomi (Persen)
3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber. Data yang akan digunakan mencakup kurun waktu 1976-2006. Adapun data yang digunakan meliputi: 1. Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai pendekatan pengukuran pendapatan nasional. Data PDB yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan harga konstan tahun 1993 dengan sumber data yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS). 2. Pengeluaran Pemerintah untuk pembangunan infrastruktur yang digunakan diperoleh dari realisasi pengeluaran pembangunan yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan sumber data
berasal dari BPS. Data pengeluaran pembangunan untuk tahun 2005-2006 diperoleh dari pengeluaran pemerintah pusat berupa belanja modal dan belanja barang. 3. Inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah inflasi berdasarkan tahun kalender yang diperoleh dari laporan perekonomian Indonesia yang dilakukan oleh Bank Indonesia. 4. Angkatan kerja dan pengangguran diperoleh dari statistik Indonesia yang dilakukan oleh BPS. 5. Penerimaan pemerintah diperoleh dari Laporan Tahunan Perekonomian Indonesia yang dilakukan oleh Bank Indonesia. 6. Pertumbuhan ekonomi yang digunakan berdasarkan tahun dasar 1993 diperoleh dari Statistik Indonesia yang dilakukan oleh BPS
3.4 Identifikasi Model Sebelum melakukan pendugaan parameter fungsi-fungsi persamaan simultan maka perlu dilakukan identifikasi persamaan-persamaan dalam model. Suatu persamaan dapat teridentifikasi bila memenuhi syarat order condition dan rank condition. Dua kondisi ini dapat dianggap sebagai syarat perlu dan syarat cukup untuk identifikasi.
Rumus identifikasi model struktural menurut order
condition adalah: (K-M) ≥ (G-1) bila (K-M) > (G-1), maka persamaan tersebut over identified bila (K-M) = (G-1), maka persamaan tersebut exactly identified
(3.6)
bila (K-M) < (G-1), maka persamaan tersebut under identified dimana: K = Jumlah variabel dalam model M = Jumlah variabel dalam sebuah persamaan G = Jumlah variabel endogen dalam model Apabila hasil identifikasi menunjukkan kondisi over identified maka teknik ekonometrik yang dapat digunakan adalah metode pangkat dua terkecil dua tahap atau two stage least square (TSLS), atau bisa juga dengan menggunakan metode pangkat dua terkecil tiga tahap atau 3SLS. Jika kondisi yang terjadi menunjukkan exactly
identified maka metode yang digunakan adalah ILS
(indirect least square).
3.5 Pengujian Model dan Hipotesis 3.5.1 Uji Koefisien determinasi (R2) Koefisien determinasi menunjukkan besarnya pengaruh semua variabel eksogen terhadap variabel endogen. Koefisien deteminasi adalah proporsi variasi dalam Y yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelasnya.
Adapun
perhitungan untuk memperoleh R2 adalah sebagai berikut:
R2 =
dimana, ESS
= Jumlah kuadrat error,
(3.7)
TSS
= Jumlah kuadrat total. R2 berada di antara 0 dan 1. Jika bernilai 1 maka garis regresi menjelaskan
100% variasi dalam Y. Di lain pihak jika bernilai 0 maka garis regresi tidak menjelaskan variasi dalam Y. 3.5.2 Uji t-stastistik Uji parsial (uji t) bertujuan untuk mengetahui apakah variabel eksogen yang terdapat dalam model secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Adapun mekanisme uji statistik t ini adalah sebagai berikut: 1. Merumuskan hipotesis H0
: bi = 0
H1
: bi ≠ 0
2. Statistik uji t
t hitung = dimana, = Koefisien parameter dugaan, = Standar deviasi parameter dugaan. 3. Melakukan kriteria uji t hitung < t (α;n-k) : maka terima H0 t hitung > t (α;n-k) : maka tolak H0
(3.8)
Jika t hitung lebih besar dari t tabel, maka tolak H0 dan paremeter dugaan secara statistik berbeda nyata dari nol dan berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada tingkat signifkansi α persen, dan sebaliknya. Selain dengan melakukan uji-t, untuk mengetahui variabel eksogen mana yang secara parsial berpengaruh terhadap variabel endogen dapat dilakukan dengan melihat p-valuenya. P-value suatu variabel eksogen yang lebih kecil dari tingkat signifikannya menunjukkan bahwa variabel eksogen tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada tingkat signifikansi α persen, dan sebaliknya. 3.5.3 Uji F-statistik Untuk mengetahui apakah variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik uji F. Langkah awal dalam melakukan uji F ini adalah dengan menentukan hipotesis yaitu: H0
: ai = 0, dimana i = 1,2,3,…..,k
H1
: Minimal ada satu nilai ai yang tidak sama dengan nol
Setelah itu, dilakukan uji statistik
Fhit = dimana, RSS
= Jumlah Kuadrat Regresi
ESS
= Jumlah Kuadrat Error
n
= Jumlah pengamatan
(3.9)
k
= Jumlah variabel eksogen Kemudian dilakukan penerimaan atau penolakan H0 yaitu jika F hitung
lebih besar dari F (α/2; n-k-1) maka tolak H0, yang berarti bahwa secara simultan variabel-variabel eksogen dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada taraf nyata α persen, dan sebaliknya.
3.6 Uji Ekonometrika 3.6.1 Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak.
Jika asumsi ini tidak terpenuhi maka prosedur
pengujian menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term dilakukan dengan menggunakan uji Jarque-Bera. Uji ini didasarkan pada error penduga Least Squares. Prosedur pengujian adalah: a. H0 : Error term terdistribusi normal, H1 : Error term tidak terdistribusi normal. b. Statistik J-B dihitung melalui tahapan berikut: 1.
Hitung kecondongan (α3) dan ketinggian (α4) distribusi error term
2.
Hitung statistic J-B dengan rumus sebagai berikut:
J
B
n
2 3
24
3 24
4
2
(3.10)
Daerah kritis penolakan H0 adalah Jarque-Bera (J-B)>X2df-2 atau probabilitas (ρvalue)<α, yang mempunyai arti jika H0 ditolak maka error term tidak terdistribusi normal.
3.6.2 Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas menggambarkan bahwa pada suatu permodelan nilai varian dari variabel independen tidak memiliki nilai yang sama.
Hal ini
melanggar asumsi dasar dari regresi linear klasik yaitu varian setiap variabel bebas mempunyai nilai yang konstan atau memiliki varian yang sama (homoskedastisitas). Rumusan homoskedastisitas adalah sebagai berikut: 2
2
E (ui )
i=1,2,...,N
(3.11)
dimana: ui
= unsur disturbance
σ²
= nilai varians
Pengujian
heteroskedastisitas
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan uji White Heteroskedasticity Test pada software E-Views 4.1. Prosedur pengujian adalah: H0 : β0 = 0, tidak terdapat heteroskedastisitas H1: β0 # 0, terdapat heteroskedastisitas Jika Probability Obs*R-squared<α (taraf nyata yang digunakan), maka tolak H0. Sedangkan, jika Probability Obs* R-squared >α (taraf nyata yang digunakan), maka terima H0. Kesimpulannya, jika menolak H0, maka menunjukkan terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model. Sebaliknya, jika menerima H0, maka menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model.
3.6.3 Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi merupakan korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau ruang (Gujarati, 1978).
Model klasik
mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain.
Pada software E-Views 4.1 untuk mendeteksi adanya
autokorelasi (serial correlations) dapat dilakukan melalui uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Rumusan adanya autokorelasi dalam permodelan adalah sebagai berikut: E (ui u j )
0; i ≠j
(3.12)
ui
= disturbance pengamatan i,
uj
= disturbance pengamatan j.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa unsur gangguan (disturbance) yang berhubungan
dengan
observasi
(ui)
dipengaruhi
oleh
unsur
gangguan
(disturbance) yang berhubungan dengan pengamatan lain (uj). Prosedur pengujian adalah: H0 : β0 = 0, tidak terdapat autokorelasi H1: β0 # 0, terdapat autokorelasi Jika Probability Obs*R-squared<α (taraf nyata yang digunakan), maka tolak H0. Sedangkan, jika Probability Obs* R-squared >α(taraf nyata yang digunakan), maka terima H0. Kesimpulannya, jika menolak H0, maka menunjukkan terdapat
masalah autokorelasi dalam model.
Sebaliknya, jika menerima H0, maka
menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi dalam model. 3.7. Uji Ekonomi Setelah dilakukan estimasi, hasil estimasi yang dihasilkan tersebut perlu diuji secara ekonomi, apakah hasil estimasi yang dihasilkan telah sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku saat ini atau tidak. Jika tidak sesuai berarti ada dua kemungkinan, model yang digunakan salah satu teorinya salah. Tetapi jika diasumsikan teori yang ada adalah yang paling benar saat ini, maka model persamaan tersebut harus diganti.
1V.
GAMBARAN UMUM
4.1 Pendapatan Nasional Berdasarkan PDB riil tahun 1976 sampai 1997 terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik, dengan rata-rata pertumbuhan 7.26 persen per tahun. Pertumbuhan yang cukup tinggi ini membuat Indonesia disebutsebut sebagai salah satu Macan Asia.
Pada tahun 1997 Indonesia berhasil
mencapai PDB riil atas dasar harga konstan 1993 sebesar 433.24 milyar rupiah. Tetapi krisis ekonomi tahun 1998 telah berdampak serius pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. PDB riil turun drastis sebesar 13.13 persen menjadi 376.37 milyar rupiah (Gambar 3). 600000,00 500000,00 400000,00 300000,00 gdp 200000,00 100000,00
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
1976
0,00
Gambar 3. PDB Riil Berdasarkan Harga Konstan 1993 Sumber; BPS (diolah)
Dalam kondisi fundamental ekonomi yang lemah, tekanan-tekanan kenaikan harga justru semakin tinggi dan disertai pula oleh gejolak nilai tukar
yang tajam. Keadaan ini, bersama dengan ekspansi uang beredar yang naik pesat membuat laju inflasi melonjak lebih tinggi. Kepercayaan terhadap perbankan nasional terus memburuk, dan dalam kondisi ketidakpastian yang semakin meningkat menyebabkan kegiatan produksi dan investasi di hampir seluruh sektor ekonomi menurun drastis. Perekonomian Indonesia pada tahun 1999 berangsur-angsur pulih kembali. PDB riil tahun 1999 mengalami sedikit kenaikan sebesar 0.8 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan PDB terbesar disumbang oleh sektor pertanian dengan peningkatan sebesar 2.2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan PDB sektor lainnya termasuk infrastruktur hanya meningkat sebesar 0.5 persen. Stabilisasi dan pemulihan kegiatan ekonomi Indonesia berjalan relatif lambat dikarenakan struktur dan pondasi perekonomian Indonesia yang lemah. Kondisi sosial politik dan keamanan yang tidak stabil, dunia usaha yang ambruk, serta sistem perbankan yang lemah telah membuat kita terpuruk dalam krisis yang berkepanjangan. Pada awal tahun 2000, proses pemulihan ekonomi semakin membaik dengan pertumbuhan PDB riil mencapai 4.92 persen. Pertumbuhan ini didukung oleh faktor-faktor seperti situasi ekonomi dunia yang membaik dan membaiknya permintaan domestik. Namun kondisi pertumbuhan ekonomi yang membaik pada tahun ini ternyata tidak mampu dipertahankan pada tahun berikutnya. Pada tahun 2001, sejalan dengan keadaan ekonomi dunia dan keadaan sosial politik nasional yang memburuk, kondisi ekonomi dan moneter secara umum menunjukkan kecenderungan yang memburuk.
Pertumbuhan PDB riil pada tahun 2001 melambat dengan hanya tumbuh sebesar 3.3 persen.
Rupiah juga mengalami depresiasi sebesar 17.7 persen,
mencapai Rp 10.294 per dolar AS, dan inflasi meningkat sebesar 12.55 persen. Ekspor dan investasi yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan PDB ternyata masing-masing hanya tumbuh sekitar 3 persen dan 1.9 persen, jauh lebih lambat dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang mampu mencapai 21.9 persen dan 26.7 persen. Pada tahun 2002, kondisi makroekonomi secara umum membaik, namun perekonomian Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan struktural yang sulit diselesaikan seperti, ketidakpastian hukum, ketidakpastian peraturan mengenai investasi akibat otonomi daerah, kondisi perburuhan yang terus bergejolak, dan faktor keamanan yang belum sepenuhnya pulih. Semua faktor ketidakpastian ini membuat perekonomian Indonesia tidak terlalu responsif terhadap perbaikan makro yang telah dicapai. Investasi yang semula diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh sebesar 0.42 persen. Perekonomian Indonesia pada tahun 2002 hanya mampu tumbuh sebesar 4.4% dan masih bertumpu pada konsumsi. Perekonomian pada tahun 2003 cenderung stabil dan membaik sebagaimana tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar 4.7% persen sehingga PDB riil mencapai 449.4 milyar rupiah, laju inflasi dan suku bunga yang menurun tajam, dan nilai tukar rupiah yang menguat dan stabil. Melihat perkembangan perekonomian Indonesia selama ini, seharusnya strategi yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi krisis dan memulihkan
kegiatan ekonomi tidak hanya mengandalkan kepada kebijakan makroekonomi akan tetapi juga diimbangi oleh kebijakan mikroekonomi yang tepat dan perbaikan kelembagaan seperti memberikan jaminan kepastian dan penegakan hukum, penciptaan keadaan sosial politik dan keamanan yang stabil, serta memberikan stimulus fiskal yang tepat dan yang mampu menggerakkan sektor riil.
4.2 Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Pengeluaran
pembangunan
merupakan
pengeluaran
negara
yang
digunakan untuk membiayai proyek fisik maupun non fisik, misalnya pembangunan infrastruktur. Selama periode penelitian tahun 1976 sampai 2006 pengeluaran
pemerintah
untuk
infrastruktur
cenderung
berfluktuasi.
Perkembangan pengeluaran pembangunan pemerintah dapat dilihat pada Gambar 4. Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur 90000,00 80000,00
60000,00 50000,00 40000,00
GEI
30000,00 20000,00 10000,00 0,00 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Milyar Rp
70000,00
Sumber: BPS (1976-2006), diolah
Pengeluaran pembangunan infrastruktur pada tahun 1998 meningkat mencapai 295.10 milyar rupiah , kemudian pada tahun 1999 meningkat sebesar 104.42 milyar rupiah.
Meskipun pengeluaran pembangunan terus mengalami
peningkatan, akan tetapi peningkatannya ini lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Krisis ekonomi juga memberikan kontribusi terhadap penurunan pengeluaran pembangunan pemerintah. Semenjak krisis, pengeluaran pemerintah meningkat drastis karena terbebani oleh utang dalam dan luar negeri yang meningkat. Namun sebagian besar dari pengeluaran pemerintah masih dialokasikan untuk pengeluaran yang bersifat wajib, yaitu belanja pegawai pusat dan daerah, pembayaran bunga utang, dan subsidi. Pada tahun 2002, pengeluaran pembangunan juga mengalami penurunan mencapai 43.00 milyar rupiah.
Rendahnya tingkat realisasi pengeluaran
pembangunan tidak terlepas dari kendala teknis dan administratif dalam pencairan utang luar negeri serta rendahnya tingkat penyerapan pinjaman proyek. Pinjaman ini terutama dialokasikan untuk melanjutkan kembali proyek-proyek transportasi dan energi yang pelaksanaannya tertunda akibat krisis ekonomi sejak tahun anggaran 1997/1998.
4.3 Angkatan Kerja Jumlah angkatan kerja (labor force) di Indonesia setiap tahun bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk (Gambar 5). Dumairy (1993) mengungkapkan bahwa pertumbuhan angkatan kerja yang cepat akan membawa
beban bagi perekonomian, yakni penciptaan lapangan kerja. Jika lowongan kerja baru tidak mampu menampung semua angkatan kerja baru, maka sebagian angkatan kerja baru itu akan menambah jumlah pengangguran yang sudah ada. Setelah tahun 2000, jumlah angkatan kerja selalu meningkat lebih dari 1 juta jiwa setiap tahunnya. Pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia, terkecuali untuk tahun 1986 dan 1994, selalu di bawah 5 persen dan rataan sekitar 2.85 persen untuk periode 1986-2005. Angkatan Kerja dan Populasi 250000
Juta orang
200000 150000 angkatan kerja
100000
populasi 50000
1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005
0
Gambar 5. Perkembangan Angkatan Kerja dan Populasi Sumber; BPS (1985-2006), diolah
Angkatan kerja terbagi atas pekerja (work force) dan pengangguran (unemployment). Sejak tahun 1985 hingga tahun 2005, walaupun jumlah pekerja dan pengangguran sama-sama bertambah, namun rasio pekerja atas angkatan kerja semakin berkurang dan rasio pengangguran atas angkatan kerja semakin bertambah.
4.4 Inflasi Pertumbuhan laju inflasi dapat disebabkan dari sisi permintaan seperti jumlah uang beredar, GDP, suku bunga, pengeluaran pemerintah dan ekspektasi inflasi. Dari sisi penawaran dapat disebabkan oleh nilai tukar, harga pangan, harga BBM, dan tingkat upah. Laju inflasi pada tahun 1998 mencapai 77.63 persen (Gambar 6), di bawah sasaran pemerintah sebesar 80.0 persen. Meningkatnya tekanan harga terutama berasal dari sisi penawaran sebagai akibat depresiasi rupiah yang sangat tajam dan berkurangnya pasokan barang.
Melemahnya nilai tukar rupiah telah
mengakibatkan mahalnya barang impor yang pada gilirannya mendorong kenaikan harga secara umum. Pada tahun 1999 inflasi mengalami penurunan mencapai 21.50 persen. Hal ini disebabkan oleh perbaikan sisi penawaran jangka pendek dan sumbangan yang besar dari penurunan laju inflasi inti (sisi permintaan). Penurunan suku bunga modal kerja dan pergerakan nilai tukar yang cenderung stabil karena kondisi sosial politik yang lebih baik dari tahun lalu merupakan faktor-faktor yang berperan dalam peningkatan penawaran dalam jangka pendek.
Perkembangan inflasi 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00
inflasi
30,00 20,00 10,00 2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
1976
0,00
Gambar 6. Perkembangan Inflasi Sumber; BPS (1976-2006),diolah
Perkembangan harga-harga selama tahun 2000 mendapat tekanan yang berat sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi, adanya kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan, melemahnya nilai tukar rupiah, dan meningkatnya ekspektasi infalsi. Berbagai faktor tersebut yang menyebabkan inflasi pada tahun ini mencapai angka 9.35%. Kondisi di atas juga menyebabkan peningkatan inflasi pada tahun selanjutnya (tahun 2001) dengan tingkat inflasi sebesar 12.55%. Tingginya tekanan inflasi dari sisi biaya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan. Kebijakan pemerintah tersebut meliputi kenaikan beberapa harga barang dan tarif jasa seperti bahan bakar minyak (BBM), angkutan, listrik, air minum, serta kenaikan upah minimum tenaga kerja swasta dan gaji pegawai negeri. Pada tahun 2002, inflasi menunjukkan kecenderungan yang menurun mencapai 10.03 persen. Hal ini terutama disebabkan oleh menguatnya nilai tukar
rupiah dan membaiknya ekspektasi inflasi. Nilai tukar rupiah dalam periode ini mengalami apresiasi yang cukup besar sehingga menurunkan tekanan inflasi yang bersumber dari sisi eksternal.
Selain faktor menguatnya nilai tukar rupiah,
penurunan inflasi juga dipengaruhi oleh membaiknya ekspektasi inflasi dan terjaganya pasokan kebutuhan masyarakat khususnya beras.
4.5 Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah pada tahun 1998 mengalami kenaikan sebesar 69.8 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya (Gambar 7).
Peningkatan
penerimaan ini terutama diperoleh dari penerimaan pajak yang meningkat sebesar 31.2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penerimaan pajak yang mengalami peningkatan paling besar adalah PPh dan pajak ekspor. Penerimaan PPh yang meningkat di tengah penurunan pendapatan riil masyarakat terutama disebabkan oleh melambungnya suku bunga deposito dan SBI. Penerimaan Pemerintah 600000,00 500000,00 400000,00
300000,00
Grriil
200000,00 100000,00 0,00 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
GR dalam Milyar Rupiah
700000,00
Sumber; BPS (1985-2006), diolah
Penerimaan pemerintah pada tahun 2001 meningkat 46.7 persen, lebih kecil dibandingkan peningkatan tahun sebelumnya. Sumber pendapatan negara terbesar masih berasal dari kelompok penerimaan perpajakan sebesar 179.9 triliun rupiah atau 68.3 persen dari total penerimaan. Dengan pencapaian tersebut, tax ratio mencapai 12.5 persen dari PDB. Pencapaian penerimaan perpajakan antara lain didukung oleh kenaikan taraf pajak penghasilan atas bunga deposito, tabungan, dan diskonto SBI dari 15% menjadi 20%. Pada tahun 2003, penerimaan pemerintah meningkat 14.3 persen mencapai 341.4 milyar rupiah. Penerimaan pajak masih menjadi kontributor utama dalam penerimaan pemerintah dengan menyumbang sebesar 72.5 persen dari total penerimaan. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) juga meningkat dari 12.7 persen pada 2002 menjadi 13.8 persen pada 2003. Kenaikan rasio ini terkait dengan pelaksanaan berbagai strategi di bidang perpajakan antara lain (1) intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak, (2) peningkatan pengawasan, penagihan tunggakan dan penegakan hukum, (3) penyempurnaan peraturan perpajakan, modernisasi sistem administrasi perpajakan dan kepabeanan, (4) penerapan excise service system, (5) pembrantasan peredaran rokok polos dan pita palsu, serta (6) pemberantasan penyelundupan.
4.6 Pengangguran Tingkat pengangguran Indonesia memiliki trend yang meningkat selama periode 1985-2006 (Gambar 8). Pada periode 1985-1996, tingkat pengangguran
berada di bawah 5 persen. Pada periode 1998-2006 tingkat pengangguran berada di atas 5 persen. Tingkat Pengangguran di Indonesia 12,00 10,00
8,00 6,00 TkU
4,00 2,00
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
1976
0,00
Sumber; BPS (1985-2006), diolah
Seiring dengan kontraksi perekonomian yang sangat dalam, jumlah pengangguran meningkat sebagai akibat terus berlangsungnyaa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Tekanan yang berasal dari kenaikan biaya produksi di satu sisi, dan melemahnya daya serap pasar domestik di sisi lain, telah memaksa berbagai sektor mengurangi skala usaha. Stuktur pengangguran di Indonesia menurut tingkat pendidikan didominasi oleh pengangguran berpendidikan SMU ke bawah, yaitu lebih dari 90 persen jumlah pengangguran. Hal tersebut tidak menunjukkan bahwa angkatan kerja dengan tingkat pendidikan rendah lebih sulit memperoleh pekerjaan dibanding dengan angkatan kerja dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi dapat diduga berpengaruh terhadap jumlah pekerja yang lebih besar apabila rasio pekerja dibanding pengangguran dari setiap
klasifikasi tingkat pendidikan semakin besar, seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan yang dimiliki angkatan kerja. Persentase angkatan kerja yang menganggur dengan tingkat pendidikan universitas tidak lebih dari 4 persen dari total jumlah pengangguran. Namun data tersebut tidak menunjukkan bahwa lebih banyak yang menjadi pekerja dibanding menjadi pengangguran dari total angkatan kerja dengan tingkat pendidikan universitas.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Identifikasi Model Metode Two-Stage Least Squares (TSLS) atau Kuadrat Terkecil Dua Tahap dapat digunakan pada persamaan yang terlalu teridentifikasi (over identified). Adapun hasil dari identifikasi model yang digunakan adalah sebagai berikut: Tabel 1.2. Estimasi Model No. Persamaan
K
M
G
Hasil identifikasi
1.
Pendapatan Nasional
14
5
4
Over identified
2.
Pengeluaran
untuk 14
6
5
Over identified
pembangunan
infrastruktur 3.
Angkatan Kerja
14
6
5
Over identified
4.
Inflasi
14
5
4
Over identified
Berdasarkan hasil pada Tabel 1.2, maka dapat disimpulkan bahwa model analisis termasuk over identified, sehingga metode TSLS dapat digunakan.
5.2 Hasil Estimasi Model dan Interpretasi Model 5.2.1 Model Pendapatan Nasional Model pendapatan nasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : LnGDPt = a0 + a1 LnGEIt + a2 LnAKt + a3 INFt + a4 DKt + μ1t dimana: LnGDPt
= Produk domestik bruto (Milyar Rupiah)
LnGEI t
= Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur (Milyar Rupiah)
LnAKt
= Angkatan kerja (Juta Orang)
INFt
= Inflasi (Persen)
DKt
= Dummy krisis
µit
= Variabel pengganggu
Adapun hasil estimasi model dengan menggunakan metode TSLS disajikan pada Tabel 1.3, yaitu : Tabel 1.3. Hasil Estimasi Model Pendapatan Nasional Variabel C
Koefisien
Probabilitas -37.96107
0.0000
LNGEI
0.598157
0.0295
LNAK
4.013022
0.0000
INF
-0.007543
0.2917
DK
-0.771334
0.0598
Kriteria Statistik
Nilai
R-squared
0.864099
Adjusted R-squared
0.842355
F-Statistic
39.73930
Prob (F-Statistic)
0.000000
Durbin Watson
1.177390
Sumber : Lampiran 3
Hasil interpretasi untuk model pendapatan nasional adalah sebagai berikut : 1. Koefisien pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur (LNGEI) sebesar 0.598. Hal ini menunjukkan bahwa jika GEI meningkat sebesar satu persen, maka akan pendapatan nasional (GDP) akan meningkat sebesar 0.598 persen.
2. Koefisisen angkatan Kerja (LNAK) sebesar 4.013.
Hal ini menunjukkan
bahwa jika angkatan kerja meningkat sebesar satu persen, maka GDP akan meningkat sebesar 4.013 persen. 3. Koefisien inflasi (INF) sebesar -0.007.
Hal ini menunjukkan bahwa jika
tingkat inflasi meningkat sebesar satu persen, maka GDP akan menurun sebesar 0.007 persen. 4. Koefisien dummy krisis (DK) sebesar -0.771. Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi krisis ekonomi, pendapatan nasional akan turun sebesar 0.771 persen. 5.2.1.1. Uji Statistik Pada model ini, nilai R2 yang dihasilkan dari estimasi adalah 0.864 atau 86.8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variasi variabel dependen dalam model (GDP) dapat dijelaskan sebanyak 86.4 persen oleh keragaman variabel independen yang ada dalam model, sisanya sebesar 13.6 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Dari nilai probability yang dihasilkan pada Tabel 1.3 di atas terlihat bahwa hampir seluruh nilai probability lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 5 persen atau 0.05. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel independen dalam model pendapatan nasional tersebut berpengaruh nyata atau signifikan terhadap dependennya. Untuk uji F-statistik juga dapat dilihat dari nilai probability yang dihasilkan dalam proses estimasi. Pada tabel 1.3 di atas dihasilkan nilai probability yang dihasilkan sebesar 0.00. Karena nilai ini lebih kecil dari dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 5
persen atau 0.05, maka disimpulkan bahwa seluruh variabel independen dalam model
secara
bersamaan
berpengaruh
nyata
atau
signifikan
terhadap
dependennya. 5.2.1.2. Interpretasi Ekonomi Sebuah model harus diuji secara ekonomi apakah hasil estimasinya sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku saat ini atau tidak. Hasil uji ekonomi untuk model pendapatan nasional adalah sebagai berikut : 1. GEI dan Pendapatan Nasional Berdasarkan teori ekonomi yang telah dikemukakan sebelumnya, hubungan antara pendapatan nasional dengan GEI adalah positif. Dengan kata lain jika GEI meningkat maka pendapatan nasional pun akan meningkat. Berdasarkan hasil estimasi diatas, teori tersebut terbukti, dapat dilihat dari nilai koefisien GEI yang bernilai positif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur merupakan salah satu pendorong bagi timbulnya investasi dan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi bagi pembentukan PDB. Dengan semakin meningkatnya pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur akhirnya akan meningkatkan pendapatan nasional. Premis ini sulit berlaku di Indonesia, karena pembangunan infrastruktur belum dijadikan sebagai prioritas dalam pembangunan nasional, sehingga menjadi kendala bagi perkembangan investasi di tanah air yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan PDB.
2. Angkatan Kerja dan Pendapatan Nasional Pada hasil estimasi model di atas, terlihat bahwa angkatan kerja berhubungan positif dengan pendapatan nasional. Salah satu alasan yang dapat menjelaskan adalah bahwa jumlah angkatan kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga kerja produktif dan tenaga kerja ini merupakan salah satu faktor terpenting dalam pertumbuhan ekonomi. semakin banyak tenaga kerja yang digunakan maka akan semakin banyak juga output yang dihasilkan. 3. Inflasi dan Pendapatan Nasional Hasil estimasi menunjukkan koefisien inflasi yang negatif. Ketika terjadi inflasi, maka akan menurunkan GDP. Di sisi konsumen jelas kenaikan harga ini tidak menguntungkan karena pendapatan riil mereka berkurang. Hal ini akan menyebabkan mereka untuk mengurangi konsumsinya, sehingga permintaan agregat menurun.
Karena permintaan agregat menurun, pendapatan nasional
(GDP) akan menurun, dan pada akhirnya pendapatan nasional menurun dengan tingkat harga yang lebih tinggi. 4. Dummy Krisis dan Pendapatan Nasional Hasil estimasi menunjukkan dummy krisis tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nasional pada taraf nyata 5 persen. Hal ini dapat dilihat dari kondisi perekonomian Indonesia sebelum dan sesudah krisis.
Perekonomian
Indonesia sesudah krisis tidak menunjukkan keadaan yang lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis.
Hal ini dapat dilihat dari
pertumbuhan pendapatan nasional yang lebih kecil jika dibandingkan dengan sebelum krisis.
5.2.2. Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Model pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur (GEI) yang digunakan dalam penelitian ini adalah : LnGEIt = b0 + b1 LnGDPt + b2 LnGRt + b3 INFt + b4 LnAKt + b6 INFt-1 + µ2t dimana: LnGRt
= Penerimaan pemerintahan riil (Milyar Rupiah)
INFt-1
= Lag inflasi (Persen)
Hasil estimasi model yang diperoleh dengan menggunankan metode TSLS disajikan pada Tabel 1.4 : Tabel 1.4. Hasil Estimasi Model GEI
Variabel
Koefisien
Probabilitas
C
21.91662
0.0000
LNGDP
0.207700
0.0117
LNGR
1.534544
0.0000
LNAK
-2.835537
0.0000
INF
0.006058
0.0360
INF(-1)
0.006327
0.0305
Kriteria Statistik
Nilai
R-squared
0.813282
Adjusted R-squared
0.774383
F-Statistic
20.90726
Prob (F-Statistic)
0.000000
Durbin Watson
1.593955
Sumber : Lampiran 3
Hasil interpretasi untuk model GEI di atas sebagai berikut : 1. Koefisien pendapatan nasional (LNGDP) sebesar 0.208. Ini berarti jika terjadi peningkatan GDP sebesar satu persen, maka GEI akan meningkat sebesar 0.208 persen. 2. Koefisien penerimaan pemerintah (LNGR) sebesar 1.535. Ini berarti jika terjadi peningkatan penerimaan pemerintah sebesar satu persen, maka GEI akan meningkat sebesar 1.535 persen. 3. Koefisien angkatan kerja (LNAK) sebesar -2.836.
Ini berarti jika terjadi
peningkatan angkatan kerja sebesar satu persen, maka GEI akan menurun sebesar 2.836 persen. 4. Koefisien inflasi (INF) sebesar 0.006. Ini berarti jika terjadi peningkatan inflasi sebesar satu persen, maka GEI akan meningkat sebesar 0.006 persen. 5. Koefisien lag inflasi (INF-1) sebesar 0.006.
Ini berarti jika terjadi
peningkatan lang inflasi sebesar satu persen, maka GEI akan meningkat sebesar 0.006 persen. 5.2.2.1 Uji Statistik Nilai R2 yang dihasilkan pada model GEI ini sebesar 0.813 atau 81.3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variasi variabel dependen pada model dapat dijelaskan sebanyak 81.3 persen oleh keragaan variabel independennya, sisanya sebesar 18.7 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 1.4 di atas terlihat bahwa variabel LNGDP, LNGR, LNAK, INF, dan INF(-1) berpengaruh nyata atau signifikan
terhadap GEI. Hal ini bisa dilihat dari nilai probability yang dihasilkan, yaitu lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen atau 0.05. Kriteria uji F-Statistik dapat dilihat dari nilai probability yang dihasilkan dalam proses estimasi.
Pada Tabel 1.4 di atas dihasilkan nilai probability
F-statistik yang dihasilkan sebesar 0. Karena nilai ini lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen atau 0.05, maka disimpulkan bahwa seluruh variabel independen dalam model secara bersamaan berpengaruh nyata atau signifikan terhadap variabel dependennya. 5.2.2.2 Intrepretasi Ekonomi Hasil uji ekonomi untuk model GEI adalah sebagai berikut : 1. Pendapatan Nasional dan GEI Variabel GDP berhubungan positif dengan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur.
Bila produk domestik bruto meningkat maka akan berdampak
kepada peningkatan kegiatan ekonomi utamanya sektor riil dan dunia usaha pada umumnya. Peningkatan kegiatan ekonomi akan membawa pengaruh peningkatan penerimaan pemerintah melalui perpajakan.
Jika penerimaaan pemerintah
meningkat, maka pengeluaran pemerintah juga akan meningkat.
Peningkatan
pengeluaran pemerintah juga didasari alasan bahwa dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, maka menuntut peningkatan penyediaan barang publik oleh pemerintah.
Pemerintah bahkan pada tahun-tahun berikutnya akan
meningkatkan anggaran pembangunan khususnya untuk infrastruktur. Pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, pendapatan nasional berkurang sehingga selama hampir satu dasawarsa Indonesia kurang menambah
infrastruktur seperti transportasi, pertanian, dan jasa atau mengalokasikan anggaran untuk perawatan infrastruktur yang ada. 2. Penerimaan pemerintah dan GEI Hasil estimasi menunjukkan hubungan yang positif antara penerimaan pemerintah dengan GEI. Sesuai dengan logika ekonomi, adanya peningkatan penerimaan pemerintah akan menyebabkan pengeluaran pemerintah juga ikut meningkat, termasuk pengeluaran untuk infrastruktur. 3. Angkatan kerja dan GEI Pada hasil estimasi model di atas terlihat bahwa angkatan kerja berhubungan negatif dengan GEI. Hal ini diduga karena angkatan kerja yang meningkat setiap tahunnya didominasi oleh angkatan kerja yang tidak produktif, sehingga pendapatan per kapita menurun. Penurunan pendapatan per kapita ini akan diiringi dengan penurunan PDB dan penerimaan pemerintah. Penerimaan pemerintah
menurun
karena
keterbatasan
masyarakat
dalam
memenuhi
kewajibannya membayar pajak, pendapatan lebih banyak digunakan untuk konsumsi. Kondisi ini menyebabkan pengeluaran pemerintah baik rutin maupun pembangunan mengalami penurunan, karena pemerintah harus menyesuaikan antara penerimaan dan pengeluarannya agar tidak memperburuk kondisi APBN. 4. Inflasi dan GEI Inflasi dan tingkat inflasi sebelumnya berpengaruh positif terhadap pengeluaran pembangunan.
Sesuai dengan logika ekonomi, ketika terjadi
kenaikan harga secara umum maka pendapatan yang dialokasikan untuk
pengeluaran juga akan meningkat termasuk pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur. 5.2.3. Angkatan Kerja Model angkatan kerja yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut : LnAKt = c0 + c1 LnGDPt + c2 LnGEIt + c3 TPAKt + c4 LnUt + c5 LnAKt-1 + µ3t dimana: LnUt
= Jumlah Pengangguran (Juta Orang)
TPAKt
= Tingkat partisipasi angkatan kerja (Persen)
LnAKt-1
= Lag Angkatan Kerja (Juta Orang)
Tabel 1.5 menyajikan hasil estimasi dari model Angkatan kerja dengan menggunakan metode TSL sebagai berikut : Tabel 1.5. Hasil Estimasi Model Angkatan Kerja Variabel
Koefisien
Probabilitas
C
4.171812
0.0002
LNGDP
0.032257
0.0267
LNGEI
0.057888
0.0115
TPAK
0.012724
0.0005
LNU
0.102932
0.0122
LNAK(-1)
0.399641
0.0019
Kriteria Statistik
Nilai
R-squared
0.991334
Adjusted R-squared
0.989528
F-Statistic
550.3947
Prob (F-Statistic)
0.000000
Durbin Watson
2.032200
Sumber : Lampiran 3
Hasil interpretasi model di atas sebagai berikut : 1. Koefisien pendapatan nasional (LNGDP) sebesar 0.032. Hal ini menunjukkan bahwa jika GDP meningkat sebesar satu persen, maka angkatan kerja akan meningkat sebesar 0.032 persen. 2. Koefisien pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur (LNGEI) sebesar 0.058. Hal ini menunjukkan bahwa jika GEI meningkat sebesar satu persen, maka angkatan kerja akan meningkat sebesar 0.058 persen. 3. Koefisien tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebesar 0.012. Hal ini menunjukkan bahwa jika TPAK meningkat sebesar satu persen, maka angkatan kerja sebesar 0.012 persen. 4. Koefisien pengangguran (LNU) sebesar 0.400. Hal ini menunjukkan bahwa jika pengangguran meningkat sebesar satu persen, maka angkatan kerja akan meningkat sebesar 0.400 persen. 5. Koefisien lag angkatan kerja (LNAK-1) sebesar 0.519. Hal ini menunjukkan bahwa jika lag angkatan kerja meningkat sebesar satu persen, maka angkatan kerja sebesar 0.519 persen. 5.2.3.1 Uji Statistik Nilai R2 yang dihasilkan pada model angkatan kerja sebesar 0.991 atau 99.1 persen. Interpretasinya adalah, variasi variabel dependennya (AK) dapat dijelaskan sebanyak 99.2 persen oleh keragaan variabel independen yang ada di model, sisanya sebesar 0.9 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model.
Kriteria uji t-statistik dapat dilihat dari nilai probability yang dihasilkan dalam proses estimasi. Dari nilai probability yang dihasilkan pada Tabel 1.5 di atas terlihat bahwa seluruh nilai probability lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 5 persen atau 0.05. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel independen dalam model angkatan kerja tersebut berpengaruh nyata atau signifikan terhadap dependennya. Begitu pula halnya dengan uji F-statistik yang probabilitiy sebesar 0.00. Karena nilai ini lebih kecil dari dari taraf nyata yang digunakanm maka disimpulkan bahwa seluruh variabel independen dalam model secara bersamaan berpengaruh nyata atau signifikan terhadap dependennya. 5.2.3.2 Interpretasi Ekonomi Berdasarkan hasil pendugaan parameter di atas dapat dilihat bahwa pendapatan nasional
dan pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur
berpengaruh positif terhadap angkatan kerja. Hal ini tidak sesuai dengan logika ekonomi, penciptaan lapangan kerja sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari pendapatan nasional menyerap angkatan kerja, begitu juga dengan adanya pembangunan infrastruktur. Hal ini diduga karena pertumbuhan PDB setiap tahun tidak mampu menyerap angkatan kerja yang mengalami peningkatan tiap tahunnya, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur di Indonesia selain mendorong kegiatan investasi dan sektor lainnya, juga dijadikan instrumen bagi pemerintah dalam menciptakan kesempatan kerja. Lapangan kerja yang tersedia belum bisa menyerap angkatan kerja yang meningkat tiap tahunnya. Hal ini
dikarenakan pembangunan infrastruktur belum menjadi fokus pembangunan. Titik berat pembangunan masih difokuskan pada investasi sektor-sektor yang dapat menghasilkan perputaran uang yang tinggi, karena diperlukan untuk memulihkan perekonomian nasional. Tingkat partisipasi kerja, pengangguran dan angkatan kerja periode sebelumnya juga berpengaruh positif terhadap jumlah angkatan kerja. Peningkatan angkatan kerja menyebabkan tingkat pengangguran yang meningkat asumsi cateris paribus.
Gambaran angkatan kerja di Indonesia menunjukkan
bahwa pertumbuhan angkatan kerja yang terjadi selama periode 1985-2005 diikuti dengan rasio pengangguran yang semakin besar dibanding rasio pekerja terhadap angkatan kerja. Pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia lebih menjadi beban bagi perekonomian dalam menciptakan lapangan kerja dibanding menjadi potensi SDM yang dapat meningkatkan output nasional. Kemudian jika angkatan kerja pada periode sebelumnya belum dapat diserap, maka ini akan menambah jumlah angkatan kerja pada tahun berikutnya. 5.2.4 Inflasi Model inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : INFt
= e0 + e1 LnGDPt + e2 LnGRt + e3 LnERt + e4 EGt + µ5t
Tabel 1.6 menyajikan hasil estimasi model inflasi dengan menggunakan metode TSLS yaitu sebagai berikut :
Tabel 1.6. Hasil Estimasi Model Inflasi Variabel
Koefisien
Probabilitas
C
-142.8208
0.1775
LNGDP
-9.125590
0.0034
LNGR
14.00431
0.0421
LNER
16.46951
0.1146
EG
-2.329902
0.0000
Kriteria Statistik
Nilai
R-squared
0.782844
Adjusted R-squared
0.748099
F-Statistic
22.53110
Prob (F-Statistic)
0.000000
Durbin Watson
2.081167
Sumber : Lampiran 3
Hasil interpretasi untuk model inflasi adalah sebagai berikut : 1. Koefisien pendapatan nasional (LNGDP) sebesar -9.126. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pendapatan nasional meningkat sebesar satu persen, maka inflasi akan menurun sebesar 9.126 persen. 2. Koefisien penerimaan pemerintah (LNGR) sebesar 14.004. Ini berarti bahwa peningkatan penerimaan pemerintah sebesar satu persen, maka inflasi akan meningkat sebesar 14.004 persen. 3. Koefisien pertumbuhan ekonomi (EG) sebesar -2.330.
Ini berarti bahwa
peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen, maka inflasi akan menurun sebesar 2.330 persen. 4. Koefisien nilai tukar (LNER) sebesar 16.470. Ini berarti bahwa peningkatan nilai tukar sebesar satu persen, maka inflasi akan meningkat sebesar 16.470 persen.
5.2.4.1
Uji Statistik Nilai R2 yang dihasilkan pada model inflasi ini sebesar 0.783 atau 78.3
persen. Hal ini menunjukkan bahwa variasi variabel dependen pada model dapat dijelaskan sebanyak 78.3 persen oleh keragaan variabel independennya, sisanya sebesar 21.7 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 1.6 di atas terlihat bahwa variabel LNGDP, LNGR, dan EG berpengaruh nyata atau signifikan terhadap inflasi. Akan tetapi variabel nilai tukar tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan terhadap inflasi. Kriteria uji F-statistik dapat dilihat dari nilai probability yang dihasilkan dalam proses estimasi. Pada Tabel 1.6 di atas dihasilkan nilai probability yang dihasilkan sebesar 0. Karena nilai ini lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen atau 0.05, maka disimpulkan bahwa seluruh variabel independen dalam model secara bersamaan berpengaruh nyata atau signifikan terhadap variabel dependennya. 5.2.4.2
Interpretasi Ekonomi Hasil uji ekonomi untuk model inflasi adalah sebagai berikut :
1. Pendapatan nasional dan Inflasi Berdasarkan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, hubungan inflasi dengan GDP adalah positif. Dengan kata lain, jika GDP meningkat maka inflasi pun akan meningkat.
Berdasarkan hasil estimasi di atas, teori tersebut tidak
terbukti karena hubungan antara GDP dengan inflasi justru negatif. Indonesia
sebagai negara berkembang dengan pola hidup penduduknya yang konsumtif, terutama bagi golongan menengah ke atas. Ketika pendapatan mereka meningkat, mereka akan meningkatkan konsumsinya tetapi tidak di dalam negeri, melainkan di luar negeri atau melakukan impor.
Impor yang meningkat ini jelas akan
menurunkan permintaan barang domestik sehingga menyebabkan penurunan harga, jadi walaupun GDP meningkat, justru menyebabkan penurunan inflasi atau terjadi inflasi. 2. Penerimaan pemerintah dan Inflasi Penerimaan pemerintah berpengaruh positif terhadap inflasi.
Sesuai
dengan logika ekonomi, peningkatan penerimaan pemerintah menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah. permintaaan agregat.
Hal ini akan mengakibatkan naiknya
Apabila penawaran tidak segera bisa mengantisipasi
memenuhi kenaikan permintaan tersebut maka akan terjadi kelebihan permintaan. Sesuai dengan teori inflasi, kelebihan permintaan menyebabkan peningkatan inflasi. 5.3 Uji Ekonometrika Setelah melakukan estimasi, model persamaan tersebut juga perlu diuji kembali apakah secara ekonometrika model yang sudah dibuat sudah baik atau tidak, apakah model tersebut memenuhi asumsi klasik ekonometrika atau tidak. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya uji-uji yang dilakukan adalah uji autokorelasi, uji heterokedastisitas, dan uji normalitas.
Berdasarkan hasil uji , model-model yang digunakan dalam penelitian ini telah memenuhi asumsi klasik.
Hasil uji yang dimaksud dapat dilihat pada
Lampiran 3.
5.4 Pembahasan Pendapatan nasional di Indonesia setelah masa krisis menunjukkan keadaan yang cukup baik.
Pada akhir tahun 2004 pertumbuhan pendapatan
nasional mencapai 5.1% sedangkan pada saat krisis pertumbuhan pendapatan nasional sebesar 13.3%.
Pertumbuhan pendapatan nasional salah satunya
disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran pemerintah, terutama pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor infrastruktur terhadap PDB yang meningkat setiap tahunnya (Tabel 1.1). Dengan menggunakan analisa Two Stage Least Square (TSLS) dapat dilihat hubungan kausalitas yang positif antara pembangunan infrastruktur dan pendapatan nasional.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa secara signifikan
pembangunan infrastruktur berpengaruh positif terhadap pendapatan nasional dan begitu juga dengan pendapatan nasional secara signifikan berpengaruh positif terhadap pembangunan infrastruktur.
Hal ini sesuai dengan teori yang telah
dikemukakan
peningkatan
sebelumnya
bahwa
(penurunan)
pengeluaran
pemerintah untuk infrastruktur akan menyebabkan peningkatan (penurunan) pendapatan nasional.
Peningkatan produk domestik bruto akan berdampak
kepada peningkatan kegiatan ekonomi umumnya sektor riil dan dunia usaha pada
umumnya.
Peningkatan kegiatan ekonomi akan membawa pengaruh pada
peningkatan penerimaan pemerintah melalui perpajakan. Namun di sisi lain, di balik perkembangan perekonomian yang menggambarkan keadaan yang cukup baik, tingkat pengangguran pun terus meningkat. Pada Tahun 1998, tingkat pengangguran mencapai 5,5% dari total jumlah angkatan kerja menjadi 9,8% pada tahun 2004. Ada dua kemungkinan yang berkaitan dengan kenaikan tingkat pengangguran, yaitu kemungkinan pertama adalah semakin bertambahnya jumlah orang dalam kategori usia angkatan kerja sedangkan lapangan usaha untuk penyerapan tenaga kerja tidak semakin meningkat atau jumlah orang yang bekerja tidak mengalami peningkatan, sedangkan kemungkinan kedua adalah terjadinya penurunan daya serap tenaga kerja di beberapa lapangan usaha sehingga semakin mempertinggi tingkat pengangguran. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh bahwa pembangunan infrastruktur memiliki hubungan yang negatif dengan jumlah angkatan kerja di Indonesia. Hal ini diduga karena pembangunan infrastruktur yang ada belum mampu menyerap tenaga kerja, karena pertumbuhan angkatan kerja masih lebih besar jika dibandingkan dengan besarnya jumlah pembangunan infrastruktur.
Hal ini
dikarenakan pembangunan infrastruktur belum memperoleh proporsi yang cukup besar relatif terhadap pendapatan nasional. Titik berat kegiatan ekonomi masih berkisar pada investasi sektor-sektor yang dapat menghasilkan perputaran uang yang tinggi, karena diperlukan untuk memulihkan perekonomian nasional.
Jumlah pengangguran yang meningkat akan memberikan dampak pada penurunan output nasional pada akhirnya akan mengurangi pendapatan nasional. Jika dilihat dari nilai elastisitas angkatan kerja sebesar 4.01 yang lebih besar daripada elastisitas pembangunan infrastruktur sebesar 0.60 terhadap pendapatan nasional (Tabel 1.3), maka diperlukan suatu kebijakan pemerintah yang dapat menstimulus berkembangnya investasi dan kegiatan sektor riil lainnya yang pada akhirnya akan menciptakan lapangan usaha yang baru. Perkembangan kegiatan dunia usaha memerlukan ketersediaan infrastruktur yang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas. Untuk itu pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan pembangunan infrastruktur dan melakukan perawatan terhadap infrastruktur
yang ada, sehingga akan menciptakan kesempatan kerja.
Terciptanya kesempatan kerja akan mengurangi jumlah pengangguran yang akhirnya akan menstimulus pertumbuhan output nasional.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Dengan menggunakan analisis Two Stage Least Square (TSLS), maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Keterkaitan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dan pendapatan nasional adalah positif.
Peningkatan (penurunan) pengeluaran pemerintah
untuk infrastruktur akan menyebabkan peningkatan (penurunan) pendapatan nasional. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi, pendapatan nasional berkurang sehingga selama hampir satu dasawarsa Indonesia kurang menambah infrastruktur seperti transportasi, pertanian, dan jasa atau mengalokasikan anggaran untuk perawatan infrastruktur yang ada. 2. Angkatan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan nasional sedangkan inflasi dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tidak berpengaruh nyata pada taraf 5 persen terhadap pendapatan nasional. 3. Menurut teori, pembangunan infrastruktur dapat mengurangi pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja.
Jika dilihat dari keadaan Indonesia,
pembangunan infrastruktur belum mampu menyerap tenaga kerja, karena pertumbuhan angkatan kerja lebih besar jika dibandingkan dengan daya serap tenaga kerja dari kegiatan pembangunan infrastruktur. Hal ini dikarenakan pembangunan infrastruktur belum memperoleh proporsi yang cukup besar relatif terhadap pendapatan nasional. Titik berat kegiatan ekonomi masih
berkisar pada investasi sektor-sektor yang dapat menghasilkan perputaran uang yang tinggi, karena diperlukan untuk memulihkan perekonomian nasional. Pada akhirnya hal ini akan menghambat akumulasi kapital dan menurunnya output nasional akibat dari pengangguran yang merupakan beban bagi perekonomian.
6.2 Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai masukan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah, khususnya mengenai pembangunan infrastruktur, yaitu sebagai berikut: 1. Perlu dikaji jenis-jenis infrastruktur apa yang secara efektif mampu menyerap angkatan kerja yang meningkat setiap tahunnya. 2. Perlu dilakukan pembenahan infrastruktur baik secara kualitas maupun kunatitas sehingga dapat menarik perhatian investor yang pada akhirnya akan menciptakan kesempatan kerja. 3. Pemerintah perlu menyusun infrastruktur.
strategi
pembangunan dan pembiayaan
Hal ini dianggap perlu dalam penetuan skala prioritas
pembangunan dan alternatif pembiayaan infrastruktur serta identifikasi dan rekomendasi regulasi yang diperlukan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, serta mengikutsertakan pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur.
DAFTAR PUSTAKA
Ascheur, D. A. 1989.” Is Public Expenditure Productive?”. Journal of Monetary Economics, 23 : 177-200 Badan Pusat Statistik. 1995. Statistik Dalam 50 Tahun Indonesia Merdeka; Data dan Ulasan. Badan Pusat Statistik, Jakarta Badan Pusat Statistik. 1976-2006. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bank Indonesia. 1976-2006. Laporan Tahunan Perekonomian Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Basri, F. 2002. Perekonomian Indonesia : Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia. Penerbit Erlangga, Jakarta. Bellante, D. dan M. Jackson 1983. Ekonomi Ketenagakerjaan. Wimandjaja K. Liotohe dan M. Yasin [penerjemah]. FEUI, Jakarta. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Penerbit Erlangga, Jakarta. Kwik.K.G. 2004. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. Granit, Jakarta. Gujarati, D. 2001. “Basic Econometrics Analysis”. Fifth Ed. Pretince Hall, New Jersey Lindauer, David L. dan Ann D. Velenchik. 1992. “Government Spending in Developing Countries; Trends, Causes, and Consequences”. The World Bank Research Observer. Vol. 7 (1) : 59-78. Lipsey, R. G., P. N. Courant, D. D. Purvis, dan P. O. Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid 1. Bina Rupa Aksara, Jakarta. Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi ke-4. I. Nurmawan [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Nachrowi, D. dan H. Usman. 2006. Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. FEUI, Jakarta. Sibarani, M.H.M. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (26 Propinsi di Indonesia Tahun 1983-1997). Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.
Sihombing, T. 2003. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pemerintah dengan Pendekatan Error Correction Model. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara. Sihotang, D. 2003. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Pendapatan Nasional di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Supartinah, I. 2000. Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Inflasi dan Pendapatan Nasional di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. World Bank. 2004. “The Effects of Infrastructure Development on Growth and Income Distribution”. Washington, DC. Yudhoyono, S.B. 2003. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran : Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hubungan antar Variabel Penelitian
RG
GEI EG
AK
U
GDP
INF
ER TPAK DK
Keterangan
:
= Variabel Eksogen = Variabel Endongen
AK GDP GEI INF RG ER TPAK U EG DK
= Hubungan dua arah (saling mempengaruhi) = Angkatan kerja = Pendapatan nasional = Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur = Inflasi = Penerimaan pemerintah = Exchange rate = Tingkat partisipasi angkatan kerja = Jumlah pengangguran = Pertumbuhan Ekonomi = Dummy krisis
Lampiran 2. Data Penelitian
TAHUN 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
GDP GEIRIIL RGRIIL 20236.4 9877.4 17739.4 22009.4 9336.8 18652.8 23735.2 10222.4 21206.4 25219.9 13336.2 26836.9 27711.6 16571.7 32831.7 29908.4 17350.3 34804 30580.3 17235.6 33626 182849.4 20753 38396.4 193882.3 18884.1 36780.8 198264.8 19697.6 41350.4 223330.7 14242.7 37423.9 233971 14854.2 42258.6 248061.6 18149.6 48881.5 266772.3 19348.3 53383.2 285863 24716.6 62834.8 305731.2 25248.3 60317.9 325479.6 26668.5 64274 346624.1 28428 66866 354460.8 28106.2 69831.5 383792.3 25136.6 69159.4 413797.9 28465.6 78804.4 433245.9 27340.7 90278.7 376374.9 27234.8 86328.3 379352.5 25862.3 81018.8 398016.9 7792.2 62005.4 411132.1 11161.8 80788.8 429121.2 9095.3 72811.5 449363.7 16059.4 79229.5 471970.6 14918.2 88942.2 498792.5 9943 92270.4 526144.3 15042 115480.5
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah) Bank Indonesia Departemen Tenaga kerja
INF 19.8 11 8.1 20.6 18.5 12.2 9.5 11.8 10.5 4.7 5.9 9.1 5.8 6 10 9.5 5 10.5 9.2 8.6 6.5 11.1 77.6 21.5 9.4 12.6 10 5.1 6.4 17.1 2.9
EG 7 8.8 7.8 6.3 9.9 7.9 5.3 8.8 6 2.5 3.9 3.6 6 7.5 7.2 7 6.5 6.5 7.5 8.3 7.8 4.7 -13.1 0.8 4.9 3.8 4.4 4.7 5 5.7 5.5
AK TPAK DK 41210 54.9 0 42815 53.74 0 43789 56.7 0 44317 53.19 0 43437 50.23 0 44946 51.28 0 49663 53.96 0 50197 54.28 0 53225 56.08 0 51051 51.32 0 59149 57.28 0 60970 57.39 0 63092 57.65 0 63997 56.81 0 65482 57.33 0 66651 57.14 0 68793 57.33 0 69547 56.64 0 74222 58.03 0 72345 56.62 0 79110 58.34 0 78475 58.02 1 92735 66.93 1 94847 67.22 1 95651 67.76 1 98812 68.6 1 100779 67.76 1 100316 65.72 1 103973 67.54 1 105802 68.02 1 106389 66.16 1
ER U 2024 948 1796.5 976 2536 1086 2099.7 979 1775.9 721 1607.5 890 1620.6 1495 2083.9 1305 1948 1517 2011.1 1108 2203.2 1562 2577.2 1555 2499.6 1760 2477.8 1766 2348.5 1644 2263.5 1726 2244.6 1864 2085.4 1919 1979.5 3236 1896.6 5238 1854.8 3868 2043 3673 3934.3 5063 2602.9 6032 2448.5 5816 2762 8004 2279.9 9131 1994.2 9530 2026.2 10252 1831.1 10855 1628.6 10937
Lampiran 3. Hasil Estimasi Model 1. Pendapatan Nasional a. Pendugaan Parameter Dependent Variable: LNGDP Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/07/08 Time: 21:41 Sample(adjusted): 1977 2006 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNGDP LNGEIRIIL INF LNER LNRGRIIL EG LNAK TPAK LNPOP LNAK(-1) INF(-1) DK Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNGEIRIIL LNAK INF DK
-37.96107 0.598157 4.013022 -0.007543 -0.771334
-7.291882 2.309169 7.285926 -1.077086 -1.971925
0.0000 0.0295 0.0000 0.2917 0.0598
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.864099 0.842355 0.424786 39.73930 0.000000
5.205937 0.259036 0.550791 0.007003 0.391158
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
12.20655 1.069867 4.511083 1.177390
b. Uji Normalitas 10 Series: Residuals Sample 1977 2006 Observations 30
8
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
6
4
-2.36E-14 -0.026896 0.784769 -0.866881 0.394404 0.278756 2.678210
2 Jarque-Bera Probability
0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
0.517959 0.771839
c. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
5.810793
Probability
0.054727
d. Uji Heterokedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic
1.784277
Probability
0.141288
Obs*R-squared
10.86398
Probability
0.144663
2. Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur a. Pendugaan Parameter Dependent Variable: LNGEIRIIL Method: Two-Stage Least Squares Date: 06/19/08 Time: 14:59 Sample(adjusted): 1977 2006 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNGDP LNGEIRIIL INF LNU LNER LNRGRIIL EG LNAK TPAK LNPOP LNPP LNAK(-1) INF(-1) Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNGDP LNRGRIIL INF LNAK INF(-1)
21.91662 0.207700 1.534544 0.006058 -2.835537 0.006327
11.60557 2.729043 6.786694 2.221893 -9.449802 2.299913
0.0000 0.0117 0.0000 0.0360 0.0000 0.0305
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.813282 0.774383 0.184108 20.90726 0.000000
1.888458 0.076107 0.226111 0.002727 0.300063 0.002751
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
9.768633 0.387602 0.813495 1.593955
b. Uji Normalitas
6 Series: Residuals Sample 1977 2006 Observations 30
5 4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -0.2
0.0
0.2
c. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
1.902137
Probability
0.386328
d. Uji Heterokedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.794543 14.57184
Probability Probability
0.130906 0.148469
5.46E-15 -0.011286 0.314385 -0.319487 0.167486 -0.084170 2.084537 1.083014 0.581871
3. Angkatan Kerja a. Pendugaan Parameter Dependent Variable: LNAK Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/07/08 Time: 21:40 Sample(adjusted): 1977 2006 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNGDP LNGEIRIIL INF LNER LNRGRIIL EG LNAK TPAK LNPOP LNAK(-1) INF(-1) DK Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNGDP LNGEIRIIL TPAK LNAK(-1) LNU
4.171812 0.032257 0.057888 0.012724 0.399641 0.102932
4.477786 2.360178 2.736045 3.999647 3.494803 2.709627
0.0002 0.0267 0.0115 0.0005 0.0019 0.0122
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.991334 0.989528 0.031448 550.3947 0.000000
0.931668 0.013667 0.021158 0.003181 0.114353 0.037988
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
11.13220 0.307315 0.023736 2.032200
b. Uji Normalitas
8 Series: Residuals Sample 1977 2006 Observations 30
7 6
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
5 4 3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -0.06
-0.04
-0.02
0.00
0.02
0.04
1.37E-15 0.005902 0.046948 -0.067723 0.028609 -0.895369 3.117297 4.025625 0.133612
c. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
0.177632
Probability
0.915014
d. Uji Heterokedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic
2.190758
Probability
0.067799
Obs*R-squared
16.06615
Probability
0.097754
4. Inflasi a. Pendugaan Parameter Dependent Variable: INF Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/07/08 Time: 21:40 Sample(adjusted): 1977 2006 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNGDP LNGEIRIIL INF LNER LNRGRIIL EG LNAK TPAK LNPOP LNAK(-1) INF(-1) DK Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNGDP LNRGRIIL LNER EG
-142.8208 -9.125590 14.00431 16.46951 -2.329902
-1.387520 -3.240439 2.141951 1.634904 -5.042529
0.1775 0.0034 0.0421 0.1146 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.782844 0.748099 6.601655 22.53110 0.000000
102.9324 2.816159 6.538110 10.07368 0.462050
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
12.22333 13.15338 1089.546 2.081167
b. Uji Normalitas
7 Series: Residuals Sample 1977 2006 Observations 30
6 5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
4 3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -10
-5
0
5
10
c. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
1.142519
Probability
0.564814
d. Uji Heterokedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic
1.747659
Probability
0.145553
Obs*R-squared
11.99036
Probability
0.151634
-2.10E-14 -1.293896 12.00793 -9.484156 6.129483 0.389884 2.081972 1.813518 0.403831