PEMBAHASAN
Pengujian Aktivitas Rennet dalam Mengkoagulasikan Susu Uji aktivitas rennet menggunakan susu yang telah dipasteurisasi. Pasteurisasi susu digunakan untuk menstandardisasikan kualitas biologi susu dengan jalan membunuh bakteri yang tidak diinginkan atau bakteri yang berbahaya dan merusak beberapa enzim (Scott 1986). Susu didiamkan selama beberapa menit hingga suhu mencapai 35–40 oC setelah dipasteurisasi. Menurut Winarno (1983), suhu 40 oC merupakan suhu optimum susu agar terbentuk curd yang baik akibat penambahan khimosin. Jika suhu susu berkisar antara 40–60 oC, maka enzim khimosin akan inaktif. Penambahan rennet pada susu menyebabkan terbentuknya koagulan (curd) yang terpisah dari cairannya (whey). Uji koagulasi dilakukan dengan menggunakan rennet yang berasal dari domba dewasa muda (5–12 bulan). Hewan muda memiliki enzim khimosin yang dominan sehingga koagulasi susu terjadi secara spesifik dan memberikan cita rasa keju yang khas (Andren et al. 1982; Spreer 1998). Hasil pengujian koagulasi menunjukkan bahwa waktu koagulasi oleh ekstrak rennet yang telah disimpan selama 24 minggu relatif lebih lama dibandingkan dengan yang disimpan selama 2 minggu. Berdasarkan konsentrasi rennet yang ditambahkan memperlihatkan bahwa waktu koagulasi tercepat terjadi pada konsentrasi 5%, diikuti 4% dan terlama pada konsentrasi 3%. Berdasarkan curd yang terbentuk memperlihatkan hasil yang relatif sama pada konsentrasi 4% dan 5% yaitu padat dan terlihat kompak, sedangkan pada konsentrasi 3% memiliki konsistensi yang kurang kompak (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi enzim berpengaruh kepada kecepatan terjadinya koagulasi dan curd yang terbentuk. Menurut Goenardjoadi (1988), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi waktu koagulasi adalah pH, suhu, penambahan Ca 2+, dan pengenceran enzim. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kesempurnaan koagulasi yaitu jumlah rennet yang ditambahkan, temperatur, pelapisan k-kasein oleh protein terdenaturasi atau asam amino bebas yang terlepas oleh proteolisis dan lipolisis atau interaksi dengan asam-asam amino pada salah satu sisi ikatan ke-105 fenilalanina dan ke-106 metionina di dalam k-kasein (Daulay (1991).
27
Proses koagulasi susu terjadi melalui dua tahap, yaitu dengan reaksi enzimatis dan reaksi non-enzimatis. Proses koagulasi dengan reaksi enzimatis terjadi karena penambahan rennet yang bereaksi dengan k-kasein akan memecah ikatan fenilalanin-metionin menghasilkan para-kasein dan menghancurkan aktivitas penstabilannya terhadap α-kasein dan β-kasein. Pemecahan ikatan ini akan menyebabkan terpisahnya komponen yang bersifat hidrofilik dari parakasein dan terbentuknya ikatan dengan ion Ca 2+ yang melakukan penggabungan dengan komponen susu lainnya membentuk koagulan yang terpisah dari cairannya (Goenardjoadi 1988; Daulay 1991). Sedangkan proses koagulasi susu nonenzimatis terjadi karena asam. Menurut Widyowatie (1980) bahwa dengan bertambahnya kandungan asam pada susu, terjadi pembentukan asam laktat dari laktosa karena aktivitas bakteri. Asam laktat akan menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimia dari kasein susu. Netralisasi muatan negatif dari kasein oleh ion H+ dari asam laktat akan menyebabkan tercapainya pH isoelektrik kasein yang mengakibatkan protein terkoagulasi. Penggumpalan akan sempurna bila semua muatan kasein menjadi netral.
Pembuatan Keju Standardisasi susu merupakan hal penting dalam pembuatan keju. Salah satu proses standardisasi susu yaitu pemilihan variasi susu dalam pembuatan keju. Susu sapi Frisian Holstein digunakan dalam pembuatan keju ini karena memiliki rasio kasein/lemak yang baik untuk pembuatan keju (Scott 1986). Starter keju yang digunakan yaitu Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus dengan konsentrasi 2%. Menurut Walstra et al. (2006), konsentrasi starter yang digunakan dapat berkisar antara 0–5%. Variasi spesies dan strain yang digunakan sebagai starter berakibat pada perbedaan tipe keju yang dihasilkan (rasa, tekstur dan produksi gas). Proses pembuatan keju menggunakan konsentrasi ekstrak rennet sebesar 4%. Hal ini didasarkan kepada hasil pengujian awal yang menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut koagulasi terjadi relatif cepat dan hasil curd yang cukup baik. Menurut Sari (2009), uji koagulasi dengan konsentrasi 3% dapat membentuk curd yang terpisah dari cairannya (whey). Konsentrasi 3% tersebut kurang tepat jika diaplikasikan pada pembuatan keju karena konsistensi curd yang dihasilkan
28
kurang kompak. Pembuatan keju lunak komersial umumnya menggunakan konsentrasi rennet 0.015% (Wasltra et al. 2006). Konsentrasi rennet tersebut cukup sedikit karena telah mengalami pemurnian, sedangkan rennet yang digunakan dalam penelitian ini masih merupakan ekstrak kasar. Curd yang terbentuk dalam pembuatan keju, ditiriskan selama 15–17 jam agar pembentukan curd dan pemisahan whey terjadi dengan sempurna sebelum dilakukan tahap pengepresan. Menurut Daulay (1991), penirisan bertujuan untuk memisahkan whey, menyatukan curd dan memungkinkan bakteri yang tertinggal dalam curd untuk membentuk asam laktat yang dapat merubah curd secara kimiawi menjadi keju. Umumnya rennet yang bertahan dalam curd sebelum dilakukan pengepresan sekitar 30% namun jumlah ini hanya 5–8% setelah pengepresan (Daulay 1991). Tahap pemeraman dilakukan setelah tahap penggaraman dan pengepresan dengan menggunakan lilin lebah yang disimpan selama 20 hari pada suhu 12–14 oC. Waktu serta suhu pemeraman tersebut sesuai dengan tipe keju lunak tanpa flora permukaan yang dinyatakan oleh Walstra et al. (2006). Lilin lebah digunakan sabagai pembungkus keju selama pemeraman. Loveridge (2005) menyatakan bahwa lilin lebah merupakan produk dari sarang lebah yang dihasilkan oleh lebah madu dari segmen abdomen 4–7 pada usia tertentu. Warna lilin bervariasi dari putih kekuningan hingga kecoklatan tergantung pada kemurnian dan jenis bunga yang dikumpulkan oleh lebah. Komponen utama lilin lebah adalah palmitat, palmitoleate, hydroxypalmitate dan ester oleat berantai panjang. Lilin memiliki rentang titik lebur yang tinggi, dari 62–64 °C (144–147 °F), jika lebah dipanaskan di atas 85 °C (185 °F) terjadi perubahan warna. Lilin lebah banyak digunakan untuk menghindari rasa tidak menyenangkan yang mungkin timbul dari plastik sebagai pembungkus keju. Menurut Daulay (1991), lilin merupakan bahan yang umum digunakan sebagai bahan pembungkus keju. Selain itu syarat bahan pembungkus keju yaitu memiliki permeabilitas yang rendah terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air, terbuat dari selaput yang tebal dan kuat, stabil pada kondisi yang dingin dan hangat, tahan terhadap sinar khususnya ultraviolet, fleksibel dan elastis, tidak mengintroduksi bau pada keju, memenuhi persyaratan higienis dalam penggunaan dan penyimpanan. Karakteristik rasa dan tekstur keju berkembang selama pemeraman sebagai akibat perubahan fisika, kimia dan warna yang cukup kompleks dan sulit untuk
29
diamati (Farkye dan Fox 1990). Evaluasi sensoris keju pada atribut warna, rasa, tekstur dan penampilan umum memberikan hasil yang baik seiring dengan penambahan waktu pemeraman. Pemeraman selama 60 hari memberikan hasil yang paling baik dibandingkan dengan pemeraman 30 hari, 15 hari dan 0 hari untuk semua atribut sensoris tersebut (El-Nimr et al. 2010). Keju yang dihasilkan dari penambahan rennet yang disimpan selama 2 minggu dan 24 minggu berdasarkan penampilannya relatif sama yaitu memiliki warna agak kekuningan, kadang terlihat sedikit berlubang dan adanya gelembung gas pada permukaan keju (Gambar 5).
Penilaian Kualitas Keju Nilai rata-rata uji tekstur keju yang berasal dari RDB yaitu 0.074 kgf/cm2 sedangkan yang berasal dari RDL memiliki rata-rata 0.088 kgf/cm2. Nilai tekstur RDB tersebut mendekati nilai tekstur keju komersial yaitu 0.075 kgf/cm2 sedangkan nilai tekstur RDL cukup berbeda dengan nilai tekstur keju komersial. Berdasarkan uji rancangan acak lengkap pada tekstur keju diperoleh data bahwa P>0.05 yang berarti bahwa kondisi penyimpanan rennet selama 2 minggu dan 24 minggu tidak berpengaruh terhadap tekstur keju. Selain itu didapatkan data R-squared 45% yang berarti bahwa kedua kondisi penyimpanan tersebut tidak berbeda. Keju mengalami perubahan konsistensi selama pemeraman. Terjadinya perubahan karakteristik tersebut disebabkan oleh hidrolisa protein secara enzimatis yang menyebabkan kasein lebih mudah larut sehingga keju menjadi lunak (Daulay 1991). Menurut Walstra et al. (2006), perubahan tekstur pada keju lunak tidak terlihat nyata. Awal pemeraman, keju memiliki pH yang rendah, terlihat putih dan tidak mengkilap, namun seiring dengan proses pematangan keju akan berubah menjadi halus dan kekuningan. Evaluasi sensoris tekstur, warna, rasa dan penampilan umum memberikan hasil yang baik seiring dengan penambahan waktu pemeraman (El-Nimr et al. 2010). Penilaian terhadap kualitas organoleptik keju (warna, aroma, rasa asin, dan rasa pahit) pada taraf nyata 5% menunjukkan bahwa kombinasi RDB2 dengan RDL3 memberikan pengaruh yang berbeda terhadap warna dan rasa pahit keju. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh kombinasi RDB5 dan RDL5 yaitu pada perlakuan tersebut tidak berbeda nyata pada respon warna, aroma, rasa asin dan
30
rasa pahit. Hal ini menunjukkan bahwa kelima ekstrak rennet pada masing-masing waktu penyimpanan memiliki jumlah enzim khimosin dan pepsin yang berbedabeda sehingga menghasilkan karakteristik keju yang berbeda. Menurut Daulay (1991), rennet yang tertinggal dalam curd memungkinkan bakteri untuk membentuk asam laktat yang dapat merubah curd secara kimiawi menjadi keju. Persentase kesukaan panelis terhadap kualitas organoleptik keju diperoleh berdasarkan uji statistika deskriptif. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa warna sampel keju yang berasal dari RDB dan RDL didominasi oleh skor agak disukai dengan persentase yang berbeda. Perbedaan kesukaan panelis terhadap warna keju dapat disebabkan oleh subjektifitas panelis serta perbedaan karakteristik warna pada keju. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh enzimatik yang berasal dari mikroflora selama pemeraman serta ekstrak rennet. Aspek kimia selama pemeraman keju memberikan kontribusi yang nyata pada pembentukan fisika kimia, warna dan kualitas organoleptik (Vasterdis 1989 di dalam El-Nimr et al. 2010). Keju yang dibungkus dengan lilin lebah memiliki warna cukup kuning yang tidak jauh berbeda dengan warna keju komersial. Selain itu, warna pada makanan umumnya disebabkan oleh warna natural pada bahan makanan tersebut (El-Nimr et al. 2010). Menurut McSweeney (2004) dan Dufosse et al. (2005), warna pada keju dibentuk oleh berbagai faktor diantaranya pigmen susu (beta karoten). Perubahan warna keju dapat dikaitkan dengan aktivitas biokimia mikroflora natif, teknologi proses dan teknik pemeraman. Pemeraman dapat meningkatkan tingkat kekuningan keju (Dufosse et al. 2005; Pinho et al. 2005). Aroma sampel keju yang berasal dari RDB didominasi oleh skor agak disukai sedangkan sampel yang berasal dari RDL didominasi oleh skor yang lebih bervariasi yaitu agak disukai hingga sangat tidak disukai. Pembentukan aroma dan rasa pada keju merupakan fenomena yang kompleks. Komponen volatile penting dalam aroma keju yaitu asam asam lemak, aldehid, keton, alkohol, amine, ester, hidrogen sulfida, dan sulfida-sulfida (Daulay 1991). Hasil uji statistika deskriptif rasa asin menunjukkan bahwa sampel keju yang berasal dari RDB didominasi oleh skor agak disukai sedangkan sampel keju yang berasal dari RDL didominasi oleh skor agak disukai dan tidak disukai. Rasa asin pada keju dapat disebabkan oleh proses penggaraman. Garam merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembentukan rasa pada keju peram sedangkan starter bakteri berperan penting pada keju fresh (Wasltra et al. 2006).
31
Menurut Marth (1982), penambahan garam berfungsi untuk mempengaruhi cita rasa, tekstur, penampilan umum, kontrol produksi asam laktat, menahan pertumbuhan bakteri pembusuk dan mengurangi kadar air. Hal ini didukung oleh pernyataan Walstra et al. (2006) bahwa fungsi garam yaitu sebagai pengawet, mempengaruhi cita rasa, konsistensi dan berpengaruh selama proses pemeramam. Perubahan besar pada rasa keju terjadi selama pemeraman. Protein tidak memiliki rasa, namun produk hasil degradasi memiliknya. Asam amino bebas dan peptida rantai pendek berkontribusi pada rasa dasar yang dapat dirasakan pada berbagai varietas keju. Komponen ini memiliki rasa yang spesifik yaitu manis, pahit dan umumnya seperti kaldu. Tahap pematangan umumnya menentukan intensitas rasa dasar pada keju. Rasa pahit akan muncul pada keju jika protein didegradasi sehingga menghasilkan beberapa rantai pendek peptida hidrophobik (Wasltra et al. 2006). Lemak juga berperan penting pada pembentukan rasa keju. Komponen lemak yang paling penting yaitu asam lemak bebas yang terbentuk akibat lipolisis. Rasa pahit sampel keju yang berasal RDB didominasi oleh skor yang bervariasi yaitu amat sangat disukai, disukai dan tidak disukai sedangkan sampel keju RDL didominasi oleh skor disukai. Produk akhir reaksi enzimatis yang umum dihasilkan adalah asam amino. Beberapa asam amino berkontribusi terhadap pembentukan cita rasa dasar walaupun beberapa asam amino mempunyai cita rasa yang tidak enak. Menurut Daulay (1991), beberapa asam amino yang mempunyai rasa pahit adalah metionin, histidin, lisin, triptofan, leusin, isoleusin, arginin, fenilalanin dan triptamin. Rasa pahit muncul pada keju yang tahap pemeramanya belum selesai (keju setengah matang) dan akan hilang pada akhir pemeraman. Rasa pahit terbentuk jika protein didegradasi sehingga menghasilkan beberapa rantai pendek peptida hidrophobik (Wasltra et al. 2006).