30
PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam susu karena adanya infeksi pada ambing sehingga terjadi perpindahan leukosit ke jaringan ambing. Sel epitel merupakan bagian dari fungsi tubuh yang dilepaskan dan diperbaiki dalam proses tubuh yang normal sehingga keberadaan sel epitel pada susu tidak menunjukkan hal yang berarti (Lindmark-Mansson et al. 2006).
Leukosit
merupakan komponen kekebalan tubuh dan dikenal sebagai komposisi utama sel somatik bahkan identik dengan sel somatik. Pengujian sel somatik merupakan indikator yang baik dalam pemeriksaan mastitis subklinis (Sudarwanto et al. 2006). Pemeriksaan sel somatik dapat dilakukan secara tidak langsung dengan IPB-1 maupun secara langsung menggunakan metode Breed dengan pewarnaan methylen blue Löffler. Pada tahap awal penelitian ini ditentukan kontrol komposisi sel somatik dari sampel yang positif mengalami mastitis subklinis maupun yang negatif mastitis subklinis. Pengujian awal mastitis subklinis dilakukan dengan menggunakan IPB1 sebagai pereaksi dengan jumlah sampel masing-masing 20 kuartir. Pengujian menggunakan IPB-1 sangat mudah, cepat dan mempunyai ketepatan yang tinggi sehingga cocok diaplikasikan untuk pengujian awal. Sampel yang digunakan untuk kontrol adalah sampel dengan nilai (+) 3 dan (-) berdasar hasil uji menggunakan IPB-1. Kriteria tersebut dipilih agar terdapat perbedaan yang jelas antara jumlah dan komposisi sel somatik pada kelompok kontrol. Jumlah sapi yang diperlukan untuk memperoleh sampel sebagai kontrol positif (20 kuartir) adalah 6 ekor dan kontrol negatif (20 kuartir) adalah 12 ekor. Jumlah tersebut menunjukkan perbandingan sapi yang menderita mastitis subklinis dan tidak adalah 2:1. Hal tersebut menunjukkan masih tingginya kejadian mastitis subklinis dari sampel yang diambil.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya
kejadian mastitis subklinis adalah sanitasi lingkungan.
Jumlah sel somatik
kelompok kontrol sampel asal ambing yang mengalami mastitis subklinis dan tidak mengalami mastitis subklinis dihitung menggunakan metode Breed.
31
a
b
Gambar 11 Hasil uji sampel susu menggunakan pereaksi IPB-1 a: (-) mastitis subklinis dan b: (+) 3 mastitis subklinis. Hasil perhitungan jumlah sel somatik berdasar IPB-1 (Tabel 3) menunjukkan sampel (-) memiliki rataan 240 000 ± 106 227 sel somatik/ml dan sampel (+) 3 memiliki rataan sel somatik 1 812 000 ± 272 254 sel somatik/ml. Berdasarkan hasil pewarnaan Breed, maka jenis sel somatik yang dapat diamati dari sampel baik pada sampel positif maupun negatif adalah leukosit. Sel epitel tidak terlihat karena terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit.
Pewarnaan
dengan metode Breed bukan merupakan pewarnaan spesifik untuk melihat sel epitel. Keberadaan sel epitel juga bukan merupakan indikator kejadian mastitis subklinis.
a
b
Gambar 12 Sel somatik yang tampak dengan pewarnaan Breed a: (-) mastitis subklinis dan b: (+) 3 mastitis subklinis. Leukosit terdiri atas limfosit, monosit atau makrofag, neutrofil, eosinofil dan basofil. Untuk menentukan jenis leukosit yang terdapat dalam susu dapat
32
dilakukan dengan metode pewarnaan Giemsa.
Pewarnaan Giemsa memiliki
prinsip reaksi zat warna dengan sifat asam, basa atau netral berbagai jenis enzim yang terdapat pada granula azurofilik pada leukosit. Hasil pewarnaan Giemsa menunjukkan jenis leukosit yang dapat diamati pada kedua kelompok adalah neutrofil, limfosit dan makrofag. Basofil dan eosinofil tidak ditemukan karena jumlahnya sangat kecil dalam darah, apalagi dalam susu. Basofil ditemukan ketika terjadi peradangan akut dan eosinofil ditemukan ketika terjadi infeksi parasit (Ganong 1996), sehingga biasanya tidak ditemukan pada sampel mastitis subklinis yang terutama disebabkan mikroorganisme.
a
b
c
Gambar 13 Jenis sel somatik yang terdapat dalam sampel kolostrum dan susu (a): neutrofil; (b): limfosit dan (c): makrofag. Pengujian komposisi jumlah sel somatik (Tabel 4) pada sampel negatif menunjukkan jenis sel somatik yang paling banyak adalah makrofag (64%), limfosit (22%) dan neutrofil (14%). Hasil tersebut menunjukkan nilai yang masih sesuai dengan pernyataan Kelly et al. (2000). Komposisi jumlah sel somatik (Tabel 4) pada sampel positif didominasi oleh neutrofil (56%), makrofag (36%) dan limfosit (8%).
Hasil tersebut menunjukkan nilai yang sesuai dengan
pernyataan Gargouri et al. (2008). Pengujian mastitis subklinis dengan IPB-1, metode Breed dan diferensiasi leukosit menunjukkan hubungan yang positif. Peningkatan jumlah sel somatik berdasar uji IPB-1 diikuti dengan peningkatan jumlah sel somatik pada metode Breed dan peningkatan jumlah neutrofil.
Hal tersebut sesuai prinsip kerja
33
pereaksi IPB-1 yang bereaksi dengan inti sel somatik terutama neutrofil (Sudarwanto 2006). Peningkatan jumlah sel somatik dalam susu mengindikasikan terjadinya mobilisasi sel somatik dari jaringan karena adanya gangguan pada ambing. Neutrofil yang merupakan sistem pertahanan pertama merupakan komponen leukosit yang pertama mengalami peningkatan jumlah dalam jaringan ketika terjadi infeksi terutama oleh mikroorganisme. Tingginya jumlah sel somatik dalam susu akan diikuti peningkatan enzim proteolitik dan lipolitik (LindmarkMansson et al. 2006), sehingga mempengaruhi kualitas susu terutama jika diolah menjadi keju dan mentega. Penurunan produksi sapi yang mengalami mastitis subklinis terjadi karena kerusakan sel epitel oleh aktivitas mikroorganisme terutama bakteri sehingga kemampuan produksinya menurun. Berdasarkan komposisi sel somatik pada kelompok kontrol tersebut, maka dilakukan uji-t untuk menentukan kisaran atau range komposisi sel somatik. Selang kepercayaan 95% untuk kisaran komposisi sel somatik yang terdiri atas neutrofil, limfosit dan makrofag (Tabel 5) menunjukkan selang yang sesuai dengan pernyataan Kelly et al. (2000) dan Gargouri et al. (2008), kecuali kriteria untuk sampel negatif berdasar jumlah limfosit.
Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Laktasi Normal Kolostrum merupakan susu yang dihasilkan pada akhir masa kebuntingan sampai beberapa hari setelah kelahiran. Kolostrum mengandung berbagai bahan bioaktif yang berperan dalam memulihkan dan menjaga kesehatan tubuh hewan neonatal (Fuquray et al. 2002). Sel somatik yang berupa leukosit dapat ditemukan dalam kolostrum karena merupakan komponen sistem imun yang ditransfer dari induk ke anaknya (Reber et al. 2006). Kolostrum mempunyai jumlah sel somatik yang tinggi (>400 000 sel somatik/ml), sehingga berdasarkan standar IDF (1999) dan SNI Nomor 3141.1 Tahun 2011 tentang Susu Segar, termasuk susu yang mengalami mastitis subklinis. Tingginya jumlah sel somatik pada kolostrum disebabkan respon fisiologis sapi setelah mempersiapkan proses kelahiran dan memperbaiki kondisi tubuh setelah beranak, tidak selalu hanya karena kejadian mastitis subklinis. Hal tersebut membuat penghitungan komposisi sel somatik
34
pada kolostrum dinilai lebih efektif untuk menentukan kejadian mastitis subklinis daripada penghitungan jumlah sel somatik pada kolostrum. Dari sampel yang ada menunjukkan masa kolostrum belangsung 6-8 hari. Perbedaan masa kolostrum antar sapi dipengaruhi beberapa faktor antara lain karakteristik dan fisiologi individu, jenis pakan, jumlah laktasi dan lama masa kering kandang (Pritchett et al. 1991). Berakhirnya masa kolostrum ditandai dengan hasil uji alkohol yang negatif pada sampel susu. Tingginya kandungan protein terutama kasein, albumin dan imunoglobulin serta pH kolostrum yang lebih rendah daripada susu normal membuat hasil uji lakohol positif. Kandungan kalsium dan magnesium dalam jumlah tinggi, akan terkoagulasi dengan penambahan alkohol 70% (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Semakin betambah hari setelah melahirkan komposisi kolostrum akan berubah sesuai komposisi pada susu normal. Jenis sel somatik yang terdapat dalam kolostrum sama dengan jenis sel somatik pada susu laktasi normal yaitu neutrofil, limfosit dan makrofag. Selain secara alami jumlah sel somatik yang tinggi dalam kolostrum, komposisi sel somatik
yang tidak seimbang terutama jumlah neutrofil
yang tinggi,
mengindikasikan terjadinya mastitis subklinis pada masa kering kandang (Pantoja et al. 2009). Komposisi sel somatik pada masa kolostrum dikelompokkan berdasar jumlah sel somatik hasil konfirmasi mastitis subklinis pada laktasi normal atau 3 bulan setelah beranak. Berdasarkan Gambar 5, kelompok sapi yang mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal mengalami peningkatan jumlah neutrofil selama masa kolostrum.
Hasil tersebut menunjukkan berkembangnya infeksi
pada ambing yang masih terjadi sampai laktasi normal dan masih adanya mobilitas leukosit ke ambing. Komposisi limfosit dan makrofag menurun selama masa laktasi yang menunjukkan adanya infeksi oleh mikroorganisme dan dampak dari peningkatan neutrofil. Hasil tersebut sesuai pernyataan Reber et al. (2008a) dan Reber et al. (2008b) bahwa pada 10 hari setelah beranak, jumlah limfosit dan makrofag akan menurun, kemudian akan meningkat pada susu yang normal. Berdasarkan Gambar 6, kelompok sapi yang tidak mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal memiliki jumlah neutrofil yang relatif tetap bahkan
35
cenderung menurun
selama masa kolostrum dengan rataan 9 ± 1 %, sesuai
dengan pernyataan Hagemann et al. (2009).
Hasil konfirmasi neutrofil pada
laktasi normal menunjukkan terjadi peningkatan dibandingkan dengan pada akhir masa kolostrum, namun jumlah tersebut masih termasuk kriteria sampel yang tidak mengalami mastitis subklinis. Peningkatan jumlah neutrofil pada laktasi normal tersebut mengindikasikan kemungkinan dapat terjadi mastitis subklinis pada laktasi normal apabila prosedur sanitasi dan manajemen peternakan tidak dilaksanakan dengan baik. Berdasarkan komposisi neutrofil selama masa kolostrum, ambing yang mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal memiliki jumlah sel somatik yang lebih tinggi daripada ambing yang tidak mengalami mastitis subklinis. Peningkatan komposisi neutrofil pada akhir masa kolostrum pada ambing yang mengalami mastitis subklinis juga lebih tingi.
Korelasi Antara Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Jumlah Sel Somatik pada Laktasi Normal Hasil analisa korelasi menunjukkan terdapat hubungan antara komposisi sel somatik selama masa kolostrum dan jumlah sel somatik sebagai indikasi kejadian mastitis subklinis pada masa laktasi normal (Tabel 7), sehingga kejadian mastitis subklinis pada masa laktasi normal dapat diduga berdasar komposisi sel somatik pada masa kolostrum. Jika komposisi sel somatik pada masa kolostrum ada pada selang nilai yang menunjukkan positif mengalami mastitis subklinis, maka diduga akan terjadi mastitis subklinis pada laktasi normal. Menurut Gargouri et al. (2008) selang nilai standar yang digunakan untuk menunjukkan sampel berasal dari sapi yang positif mengalami mastitis subklinis adalah makrofag 32-36%, limfosit 20-40%, neutrofil (PMN) 30-90%. Hasil uji statistik dengan korelasi Pearson (Tabel 7) menunjukkan bahwa neutrofil mempunyai nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan limfosit dan makrofag.
Hasil tersebut menunjukkan neutrofil merupakan sel
somatik yang paling baik untuk menduga kejadian mastitis subklinis pada masa laktasi normal.
Hal tersebut disebabkan neutrofil merupakan sel pertahanan
pertama terhadap infeksi mikroorganisme (Jain 1993), yang merupakan penyebab
36
utama mastitis subklinis. Neutrofil mempunyai fungsi dalam memfagositosis dan membunuh organisme, melokalisasi dan membatasi penyebaran mikroorganisme sampai sel darah putih yang lain seperti limfosit dan makrofag, menghancurkan dan memindahkan agen asing tersebut (Dellman dan Eurell 1998). Limfosit juga dapat digunakan sebagai kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal, tetapi tidak sebaik neutrofil, karena berdasar uji statistik nilai korelasinya lebih rendah daripada neutrofil.
Limfosit lebih berperan dalam
pertahanan humoral dan pembetukan antibodi spesifik (Jain 1993) sehingga ketepatannya lebih rendah dibandingkan dengan neutrofil ketika digunakan untuk menduga jumlah sel somatik yang meningkat karena infeksi mikroorganisme. Limfosit jumlahnya akan menurun ketika terjadi infeksi mikroorganisme yang dapat ditanggulangi neutrofil. Makrofag tidak dapat digunakan sebagai penduga jumlah sel somatik karena nilai korelasinya tidak dapat ditentukan. Hal tersebut disebabkan semua sampel baik
kolostrum
komposisinya.
maupun
laktasi
normal
dikategorikan
positif
berdasar
Selain itu, presentase makrofag akan meningkat jika sistem
pertahanan netrofil gagal mengeliminasi infeksi atau netrofil banyak yang mati sehingga menghasilkan bahan yang bersifat kemotaktik bagi makrofag (Sladek et al. 2006). Selama neutrofil masih mampu mengatasi infeksi yang terjadi yang dimanifestasikan dengan peningkatan jumlahnya, maka jumlah makrofag maupun limfosit akan turun.
Hasil tersebut juga menunjukkan neutrofil merupakan
indikasi yang lebih baik daripada makrofag dalam kejadian infeksi yang disebabkan mikroorganisme. Pengamatan terhadap komposisi sel somatik selama masa kolostrum secara umum menunjukkan terjadi peningkatan neutrofil serta penurunan limfosit dan makrofag. Peningkatan jumlah neutrofil pada masa kolostrum diikuti dengan peningkatan jumlah neutrofil pada laktasi normal yaitu 90 hari setelah beranak, begitu pula dengan penurunan limfosit dan makrofag.
Dari jumlah sampel
kolostrum yang diperoleh dari 46 kuartir, 40 kuartir menunjukkan peningkatan neutrofil serta penurunan limfosit dan makrofag selama masa kolostrum. Pengujian kembali pada laktasi normal dari 40 sampel tersebut menunjukkan
37
kuartir mengalami mastitis subklinis dengan rata-rata sel somatik 1 134 634 ± 515 811 sel/ml. Gambar 10 menunjukkan korelasi yang positif antara jumlah neutrofil pada masa kolostrum dan jumlah sel somatik pada laktasi normal. Peningkatan jumlah neutrofil sebanding dengan peningkatan jumlah sel somatik. Komposisi neutrofil pada rentang 0-10% belum dapat mendeskripsikan dengan baik kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Presentase neutrofil >10% pada masa kolostrum dapat menunjukkan dengan jelas terjadinya mastitis subklinis pada laktasi normal. Hasil pengujian menunjukkan semua sampel dengan komposisi neurofil >10% atau
mengalami
peningkatan
jumlah
neutrofil
selama masa kolostrum
menunjukkan hasil positif mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal. Tingginya jumlah neutrofil pada awal laktasi dapat mengindikasikan terjadinya mastitis subklinis yang terjadi pada masa kering kandang. Kejadian mastitis subklinis pada masa kering kandang mencapai 63% dari kasus mastitis subklinis yang ada pada peternakan dengan sanitasi yang baik (Pantoja et al. 2009). Mastitis subklinis dapat terjadi pada masa kering kandang karena pada masa tersebut kondisi fisiologis sapi menurun dan lebih mudah stres terutama apabila komposisi pakan tidak diperhatikan dengan baik.
Pada masa kering
kandang terkadang masih terdapat sisa susu dalam ambing yang tidak dikeluarkan secara sempurna karena tatacara pemerahan yang kurang tepat. Sisa susu tersebut membuat kondisi ambing lebih lembab. Otot-otot sphincter pada ambing juga longgar dan kemampuan menutupnya juga berkurang karena aktivitas produksi dan pemerahan masa laktasi.
Hal tersebut membuat lubang puting terbuka
sehingga berbagai mikroorganisme dapat masuk ke dalam puting dan menimbulkan mastitis subklinis (Subronto 2003). Kejadian tersebut membuat berkembangnya berbagai studi dan upaya pencegahan mastitis subklinis melalui terapi antibiotik khusus pada masa kering kandang. Komposisi sel somatik pada sampel dengan hasil uji negatif mastitis subklinis selama masa kolostrum menunjukkan jumlah neutrofil, limfosit dan makrofag yang realatif sama atau tetap. Hasil pengujian sampel pada laktasi normal menunjukkan hasil yang negatif pula. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sampel dengan komposisi sel somatik yang normal dan relatif tetap tidak
38
mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal. Peningkatan jumlah neuterofil dan penurunan limfosit serta makrofag pada masa laktasi normal (90 hari) dapat dijadikan indikasi kemungkinan peningkatan neutrofil dan sel somatik setelah hari ke-90 atau indikasi kemungkinan kejadian mastitis subklinis, sehingga peternak harus tetap waspada untuk mencegah terjadinya mastitis subklinis. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa mastitis subklinis tidak hanya terjadi pada masa kering kandang maupun awal laktasi tetapi juga terjadi pada 90 hari pertama masa laktasi bahkan sepanjang waktu (Schrick et al. 2001). Hasil uji korelasi Pearson (Tabel 7) juga menunjukkan pendugaan mastitis subklinis dapat dilihat dari komposisi neutrofil dalam kolostrum mulai hari ke-4 sampai hari ke-8 (P<0.05). Nilai korelasi paling tinggi adalah pada hari ke-8, namun tidak semua sapi mencapai hari ke-8 masa kolostrumnya. Sampel yang ada menunjukkan masa kolostrum berlangsung 6-8 hari, umumnya 7 hari. Hasil tersebut menunjukkan pengambilan sampel kolostrum dapat dilakukan pada hari ke-4, 5 atau 6 setelah beranak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan sebagai pengujian untuk pendugaan kejadian mastitis subklinis terutama di laboratorium. Aplikasi metode di lapang secara langsung masih belum dapat dilakukan karena keterbatasan sumberdaya yang ada.
Pendugaan kejadian mastitis subklinis pada masa
kolosrum diharap menjadi upaya early warning atau peringatan dini kepada peternak agar dapat melakukan tindakan pencegahan yang lebih intensif. Peternak dapat mengirim sampel kolostrum mulai hari ke-4 ke laboratorium pengujian sehingga analisis dapat dilakukan dengan metode yang ada.