PEMBAHARUAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN MENURUT KH. ABDUL WAHID HASYIM SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh : NURHUDA NIM : 11107078
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2011
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan di perbaiki, maka skripsi Saudara: Nama
: Nurhuda
Program Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI) Judul Skripsi : PEMBAHARUAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN MENURUT KH. ABDUL WAHID HASYIM Telah kami setujui untuk di munaqosahkan.
Salatiga, 10 Agustus 2011 Pembimbing
NIP : 197009221994031002
iii
iv
DEKLARASI
Ϣѧ ѧ ѧ ѧ ѧ ѧ δΑ اﷲϦϤΣήѧ ѧ ѧ ϟ Ϣϴ Σήѧ ѧ ѧ ѧ ѧ ѧ ϟ Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, peneliti menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau jiplak. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kote etik ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata terdapat materi atau pikiranpikiran orang lain di luar referensi yang peneliti cantumkan, maka peneliti sanggup mempertanggung jawabkan kembali keaslian skripsi ini di hadapan sidang munaqosah skripsi. Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.
Salatiga, 10 Agustus 2011 Penulis,
NURHUDA NIM : 11107078
v
MOTTO
1.
ـﺎ ﺍﻻﺻـﻠﺢ ﺑﺎﳉﻴــﺪ ﻭﺍﻻﺧﺪ ﺍﻟﺼــﺎﱀ ﺍﻟﻘــﺪﱘ ﻋ ﻠ ﻲ ﻓ ﻈ ﺔ ﺍﶈـ “mempertahankan tradisi yang lama yang masih relavan dan mengambil hal terbaru yang lebih baik”
2. Mencegah kerusakan harus didahulukan daripada berniat kebaikan
PERSEMBAHAN Karya tulis ilmiah yang berbentuk skripisi ini penulis persembahkan kepada: 1. Ayah dan ibu tercinta, yang telah memberikan motivasi, mendoakan, dan mengorbankan jiwa, raga maupun material dalam jenjang pendidikan yang telah saya lalui. 2. Keluarga besar bani Nawawi yang selalu mendukung untuk menjelajahi pendidikan. 3. M. Gufron sekeluarga selaku orang tuaku yang kedua 4. Sahabat-sahabatiku PMII Kota Salatiga yang tak pernah bosan untuk di ajak berdiskusi. 5. Dan tak lupa kepada calon istriku tercinta yang selalu memberi motivasi dan mendampingi dalam segala hal.
vi
KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Segala puji bagi Allah semesta alam, atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelersaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita nabi Muhammad Saw, sanak kerabat dan para sahabat yang telah menunjukkan jalan yang benar dengan perantara Islam. Penulisan skripsi ini dimaksudkan guna memenuhi kewajiban sebagi syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam ilmu tarbiyah. Penulis perlu sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini, serta perhargaan setinggitingginya penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Salatiga 2. Bapak Drs. Miftahuddin, M.Ag selaku dosen pembimbing yang dengan penuh
kesabaran
telah
meluangkan
waktunya
untuk
memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Suwardi, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga. 4. Ibu Siti Asdiqoh, M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) STAIN Salatiga 5. Ayah dan ibu tercinta, yang telah memberikan motivasi, mendoakan, dan mengorbankan jiwa, raga maupun material dalam jenjang pendidikan yang telah saya lalui. 6. Keluarga besar bani Nawawi yang selalu mendukung untuk menjelajahi pendidikan.
vii
7. M. Gufron sekeluarga selaku orang tuaku yang kedua 8. Sahabat-sahabatiku PMII Kota Salatiga yang tak pernah bosan untuk di ajak berdiskusi. 9. Ana Rahmatul Lailia yang selalu memberi motivasi dan mendampingi dalam segala hal 10. Sahabat-sahabati PAI C, kenangan-kenangan bersamamu tidak mungkin saya lupakan. 11. Siapapun yang pernah memberikan sedikit ilmunya kepadaku, semoga Allah membalasnya dengan menempatkan kalian ditempat yang layak dan dibalas dengan segala kebaikannya. Dalam penulisan skripsi ini apabila banyak kekeliruan, kekurangan dan kesalahan, itu semua keterbatasan kemampuan penulis, untuk itu pula kritik dan saran yang konstruktif akan penulis terima dengan baik hati. Akhirnya penulis berharap dan berdoa semoga skripsi ini memberikan manfaat umumnya bagi pengembangan pendidikan, khususnya bagi pendidikan pesantren
Salatiga, 10 Agustus 2011 Peniliti
Nurhuda NIM: 111 070 78
viii
ABSTRAK Nurhuda, 2011. Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren Menurut KH.Abdul Wahid Hasyim. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Drs. Miftahuddin, M.Ag Kata Kunci : Pembaharuan, Pendidikan, dan Pesantren Skripsi ini merupakan upaya untuk mengetahui: Pertama, Bagaimana biografi K.H. Abdul. Wahid Hasyim? Kedua, Bagaimana pembaharuan sistem pendidikan pesantren menurut KH. Abdul Wahid Hasyim?Ketiga, Bagaimana relevansi pembaharuan sistem pendidikan pesantren menurut KH. Abdul Wahid Hasyim terhadap pendidikan pesantren di Indonesia masa sekarang? Untuk menjawab rumusan tersebut maka penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan kualitatif. Data penelitian ini keseluruhannya diperoleh dan dihimpun melelui pembacaan dan kajian kepustakaan teks dan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kemudian kesimpulannya diambil melalui teknik analisis, dengan pola pikir deduktif, hermeneutik, dan fenomenologi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan pemikir progresif dan dinamis. Sebagai agamawan, ia konsisten dalam pemikiran keislaman. Sebagai negarawan, ia mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam khazanah keilmuan pendidikan, ia tergolong pemikir pembaharuan dalam dunia pesantren. Tetapi dalam sejarah pendidikan Islam Indonesia belum banyak peneliti yang menyatakan bahwa KH Wahid Hasyim pembaharu pendidikan Islam Indonesia. Hingga kini, pemikiran beliau selama puluhan tahun lalu tetap relevan diimplementasikan dalam konteks pendidikan masa sekarang. Dalam penelitian ini pembacaan pembaharuan pendidikan KH. Abdul Wahid Hasyim diletakkan dalam konteks zamannya. KH. Abdul Wahid Hasyim melakukan pembaharuan pendidikan khususnya dilingkungan pesantren. Ada tiga hal pokok yang beliau lakukan yaitu : Pertama, pembaharuan metode pembelajaran, Kedua mendirikan institusi Madrasah, Ketiga, menerapkan sistem klasikal di pondok pesantren.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ .......i PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ...... ii PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... ......iii DEKLARASI..........................................................................................................iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..........................................................................v KATA PENGANTAR ..................................................................................... ......vi ABSTRAK ...................................................................................................... .....vii DAFTAR ISI ................................................................................................... ....viii BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................... .......1 A. Latar Belakang Masalah.............................................................1 B. Rumusan Masalah ............................................................. .......6 C. Tujuan Penelitan................................................................. .......7 D. Manfaat Hasil Penilitian..................................................... .......7 E. Kajian Pustaka............................................................................7 F. Metode Penelitian.....................................................................10 G. Penegasan Istilah......................................................................14 H. Sistematika Penulisan...............................................................18 BAB II : RIWAYAT HIDUP KH. ABDUL WAHID HASYIM........................20 A. Keluarga KH.Abdul Wahid Hasyim........................................20 1. Kelahiran KH. Abdul Wahid Hasyim.................................20 2. Silsilah Keluarga........................................................... .....22 3. Kiprah Masuk Organisasi Sosial Kemasyarakatan.............25 4. Mendirikan Partai Masyumi...............................................27
x
5. Pengabdian Kepada Negara................................................27 6. Diangkat Sebagai Pahlawan Nasional.............................. 35 B. Latar belakang Pendidikan KH.A.Wahid Hasyim.................. 35 C. Karya-karya KH.Abdul Wahid Hasyim..................................38 BAB III : MENGENAL PONDOK PESANTREN DAN PEMIKIRAN PEMBAHARUAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN MENURUT KH. WAHID HASYIM............................................. .....44 A. Sejarah Pondok Pesantren .......................................................44 B. Pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim di Bidang Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren............................57 BAB IV : ANALISIS RELAVANSI PEMBAHARUAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN MENURUT KH. ABDUL WAHID HASYIM TERHADAP PENDIDIKAN PESANTREN DI INDONESIA MASA SEKARANG.....................................................71 A. Tinjauan Tentang Pendidikan Pesantren..................................71 B. Relavansi Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim Terhadap Pendidikan Pesantren Di Indonesia Masa Sekarang.........................................................80 1) Relevansi Tujuan Pendidikan Pesantren............................80 2) Relavansi Pembaharuan Metode Pembelajaran.................84 3) Relavansi Pembaharuan.....................................................86 BAB V : PENUTUP...........................................................................................93 A. Kesimpulan..............................................................................93 B. Saran.........................................................................................94 DAFTAR RIWAYAT HIDUP DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Islam memiliki peran yang penting dalam membentuk generasi, karena dengan pendidikan dapat menghasilkan manusia yang berkualitas, kreatif, dan bertanggung jawab serta memiliki kemampuan mengantisipasi permasalahan masa depan. Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik bukan hanya karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena kaya akan konsep-konsep yang tidak kalah bermutu dibandingkan dengan pendidikan modern. Dalam khasanah pemikiran pendidikan Islam, ditemukan tokoh-tokoh besar dengan ide-idenya yang cerdas dan kreatif yang menjadi inspirasi dan memberi kontribusi yang besar bagi dinamika pendidikan Islam di Indonesia. Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut dicatat adalah posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah dilahirkan oleh mereka baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Semua itu adalah lembaga yang ikut mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan berpendidikan. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan, khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau melalui jalur dakwah mereka. Adapun tantangan yang dihadapi pendidikan Islam di masa awal masuknya Islam ke Indonesia barangkali adalah kurangnya pemahaman pemeluk Islam baru akan pengetahuan agama Islam. 1
2
Tersebarnya agama Islam ke Nusantara menimbulkan kebutuhan akan guru-guru, juru dakwah untuk menganjurkan prinsip-prinsip agama baru tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Islam itu muncullah pusatpusat pembelajaran agama Islam, dalam bentuk pengajaran individual maupun secara kelompok semisal pondok pesantren. Pendidikan Islam dalam bentuk pondok pesantren berlangsung cukup lama sampai akhirnya timbul tantangan baru yaitu berdirinya sekolah Belanda. Sekolah Belanda ini dikembangkan oleh pemerintah kolonial untuk menghasilkan tenaga kantor tingkat rendah, dengan gaji jauh lebih murah. Akhirnya muncul pendidikan model sekuler yaitu Sekolah Rakyat, sekolah Belanda, sedangkan umat Islam mendirikan Madrasah sebagai respon pembaharuan pendidikan dengan model sekuler Belanda. Modernisasi pendidikan ini terus berlanjut hingga akhirnya ada sekelompok Muslim yang mendirikan sekolah Islam, suatu bentuk pendidikan Islam yang sepenuhnya mengadopsi bentuk dan kurikulum sekolah kolonial Belanda. Munculnya model ini bukan berarti bentuk pendidikan Islam yang lama menjadi hilang. Yang lama masih tetap ada dan berdampingan dengan bentuk pendidikan Islam yang baru. Sehingga di kalangan masyarakat Muslim ada tiga bentuk lembaga pendidikan Islam yaitu pesantren, Madrasah (kurikulum lebih berat ke pendidikan agama) dan sekolah Islam, yang ketiganya bertahan sampai sekarang. Dewasa ini semakin diyakini, tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat di masa kini dan mendatang. Fenomena demikian mengharuskan
3
para pengelola pesantren untuk menjawab tantangan zaman dengan tetap berpedoman pada prinsip: ـﺎ ﺍﻻﺻـﻠﺢ ﻳ ﺪ ﺑﺎﳉــﺪ ﻭﺍﻻﺧﺪ ﺍﻟﺼــﺎﱀ ﺍﻟﻘــﺪﱘ ﻋ ﻠ ﻲ ﻓ ﻈ ﺔ ﺍﶈـ Artinya “mempertahankan tradisi yang lama yang masih relavan dan mengambil hal terbaru yang lebih baik” (Ma’shum,2008:8) Kaidah di atas benar-benar penting untuk dikaji ulang. Mengapa penting? Pertama, dunia pesantren tidak bisa hanya mempertahankan tradisi yang lama belaka, sebab tradisi yang lama tak mesti relavan untuk zaman sekarang ini. Kedua, hal yang tidak kalah penting untuk direnungkan dalam rangka “mengambil hal yang terbaru yang lebih baik” adalah mengungkap secara cerdas permasalahan kekinian dengan pendekatan-pendekatan kontemporer. Tak bisa disangkal bahwa modernitas telah “menawarkan” banyak hal untuk difikirkan dan direnungkan, terutama bagi insan-insan pesantren. Dalam konteks
ini,
pilihan
terbaik
bagi
insan-insan
pesantren
adalah
mendialogkannya dengan paradigma dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi pencerahan Islam. Dari dialog sehat ini diharapkan akan muncul sintesis-sintesis baru yang lebih segar dan menggairahkan (Abd A’la, 2006:vi) KH. Abdul Wahid Hasyim adalah seorang pembaharu gerakan Nahdlatul Ulama. Tokoh NU ini melakukan sebuah terobosan “pembaharuan sistem pendidikan” dikalangan kaum Nahdliyyin dengan memperbaharui sistem pendidikan di pesantren milik ayahnya, Tebu Ireng pimpinan KH. Hasyim Asyari. Hal ini menarik untuk ditelaah lebih jauh, sebenarnya hal apa yang mendorong beliau sehingga muncul ide besar untuk ‘menggerakkan’
4
pesantren? Beliau bermaksud untuk mempersiapkan kader-kader santri (NU) untuk menghadapi tantangan dan perubahan zaman. Mencoba mencari dan menemukan kembali khasanah pemikiran beliau khususnya terkait strategi pendidikan adalah sangat penting. Analisis ini harus disesuaikan dengan apa yang telah dilakukannya sebagai seorang tokoh nasional yang dibesarkan oleh pesantren dan bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Substansi pemikirannya sangat jauh melampai zamannya, khususnya dalam pergerakan dunia santri. Pada tahun 1935, KH. Abdul Wahid Hasyim mendirikan Madrasah Nidzamiyah, dimana 70% kurikulumnya berisi materi pelajaran umum, 30% untuk pendidikan agama. Madrasah Nidzamiyah bertempat di serambi masjid Tebuireng dengan siswa pertamanya berjumlah 29 orang, termasuk adiknya sendiri, Abdul Karim Hasyim. Dalam bidang bahasa, selain materi pelajaran Bahasa Arab, di Madrasah Nidzamiyah juga diberi pelajaran Bahasa Inggris dan Belanda. (Rifai, 2009:30-31). Menurut Mujamil Qomar pendirian Madrasah ini mendapat pengaruh Madrasah Nizhamiyyah yang dibangun oleh Nizham al-Mulk yang mana Imam al-Ghazali sempat menjadi guru besar pada lembaga tersebut (Mujazamil Qomar, 2010:93), apa yang di lakukan KH. Abdul Wahid Hasyim, meminjam istilahnya Karel Steenbrink “menolak dan mencotoh”. Tetapi penting di catat, adopsi ini dilakukan tanpa mengubah secara signifikan isi pendidikan pesantren itu sendiri. Karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan penyesuaian yang mereka anggap tidak hanya mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat
5
bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal (Azyumardi Azra, dalam Nurcholish Madjid, 1997: xv). Usaha yang dilakukan oleh KH. Abdul Wahid Hasyim adalah sebuah upaya untuk mempersiapkan ‘tempat’ khusus bagi para kader muda NU untuk mengisi kemerdekaan Indonesia. Konsepsi inilah yang menurut penulis penting untuk kemudian dimunculkan kembali dalam konteks melanjutkan cita-cita perjuangan beliau. Menemukan kembali ruh pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim terkait pendidikan menjadi sebuah keharusan agar gerakan yang dibangun NU dan badan otonomnya tidak tercerabut dari akar sejarah promotornya. Proses ‘penyiapan’ tempat bagi kader NU ini lalu kemudian penulis rumuskan sebagai pembaharuan sistem pendidikan pesantren khususnya di lingkungan pesantren, sebab pada tahun 1950-an KH. Abdul Wahid Hasyim pernah berseloroh bahwa mencari “orang pandai” di lingkungan NU ibarat mencari tukang es pada pukul 01.00 dini hari (Surahno,dalam Binhad Nurrahmat, 2010:202). Saat itu KH. Abdul Wahid Hasyim merasakan sulitnya menemukan “orang pandai” di lingkungan NU. KH. Abdul Wahid Hasyim adalah seorang tokoh NU yang brilian dan berjasa besar tidak hanya bagi kepentingan pendidikan Islam, pesantren, NU dan pergerakan Islam tetapi juga bagi bangsa dan Negara Indonesia. Membaca pola pembaharuan yang dilakukan beliau adalah penting untuk menemukan sebuah alur pemikiran yang sebenarnya telah disiapkan olehnya. Sebagai seorang kader pergerakan tentunya beliau mempunyai kerangka pikir yang jelas sebelum bertindak.
6
Berangkat dari latar belakang di atas, maka secara garis besar yang menjadi tujuan utama penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah: Pertama, mengeksplorasi gagasan-gagasan tokoh-tokoh Islam. Kedua, menganalisa ideide dan pemikiran tokoh lokal KH. Abdul Wahid Hasyim. Ketiga, mempresentasikan ide-ide dan pemikiran-pemikiran penulis dalam sebuah metodologi tertentu, yang mampu membangkitkan pendidikan pesantren untuk senantiasa siap menghadapi tantangan zaman, dan melakukan kompetisi yang sehat di tengah-tengah masyarakat. Harapannya, hasil dari penelitian ini bisa dijadikan sebuah rujukan arah oleh insan-insan pesantren. Berangkat dari permasalahan di atas, maka peneliti, bermaksud mengadakan penelitian ilmiah dengan judul Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka selanjutnya penulis mengemukakan pokok-pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, supaya dapat mempermudah dalam proses penelitian ini. Adapun rumusan masalah akan penulis paparkan sebagai berikut : 1. Bagaimana biografi KH. Abdul Wahid Hasyim? 2. Bagaimana pembaharuan sistem pendidikan pesantren menurut KH. Abdul Wahid Hasyim? 3. Bagaimana relevansi pembaharuan sistem pendidikan pesantren menurut KH. Abdul Wahid Hasyim terhadap pendidikan pesantren di Indonesia masa sekarang?
7
C. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui biografi KH. Abdul Wahid Hasyim. 2. Mengetahui pembaharuan sistem pendidikan pesantren menurut KH. Abdul Wahid Hasyim. 3. Mengatahui relevansi pembaharuan sistem pendidikan pesantren menurut KH. Abdul Wahid Hasyim terhadap pendidikan pesantren di Indonesia masa sekarang.
D. Manfaat Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat umumnya bagi dunia pendidikan khususnya bagi pesantren, serta dapat memberikan motivasi bagi praktisi pendidikan pesantren agar lebih meningkatkan institusinya, dan memperkaya khazanah pemikiran Islam tentang KH. AbdulWahid Hasyim.
E. Kajian Pustaka Saat ini buku yang secara khusus membahas tentang pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim masih sedikit apabila dibandingkan dengan pemikirpemikir lainnya. Penulis menemukan penelitian yang secara khusus membahas tentang biografi KH. Abdul Wahid Hasyim dan pemiikirannya tentang pendidikan pesantren karya Muhammad Rifa’i dengan judul “ Wahid Hasyim Biografi Singkat 1914-1953” telah diterbitkan oleh AR-RUZZ Yogyakarta
8
pada tahun 2010. Di antara isi karya tersebut ada yang mengandung tentang seorang nasionalis-tradisionalis, sosok pejuang yang brilian, muda, progresif dan pemikiran-pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim tentang pemikiran agama, politik, pergerakan, pengajaran dan pendidikan. Sedangkan buku Sedjarah Hidup KH.A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, karya Aboe Bakar Atjeh yang diterbitkan panitia buku peringatan alm KH.Abdul Wasyim Hasyim, menjadi satu-satunya buku yang terbaik yang mengupas biografi KH. Abdul Wahid Hasyim. Buku ini menjadi buku paling utama untuk dijadikan referensi, akan tetapi buku ini sudah lama dan menggunakan ejaan kuno. KH. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Pesantren, ia mencatat pergulatan KH. Abdul Wahid Hasyim dan dunia pesantren dalam mengiringi revolusi, tapi fakta ini sering diabaikan, KH. Saifuddin Zuhri ingin merubah image dunia pesantren yang sering dipandang sebagai sarang kejumudan dan keterbelakangan, ia dianggap tidak memiliki peran dalam membangun nasionalisme, dan mengisi kemerdekaan dengan nation building. Itulah bagian-bagian dari “salah pengertian” yang hendak dicairkan oleh KH. Saifuddin Zuhri. Sementara studi Zamakhsari Dhofier dalam Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, memfokuskan diri pada peranan kyai dalam memelihara dan mengembangkan faham Islam ahlu sunnah wal jama’ah di Jawa. Dhofier membandingkan Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan Tegalsari dekat Kota Madya Salatiga. Dalam penelitian ini, ia menjelaskan tradisi pesantren, seperti metode pembelajaran di pesantren, kitab-kitab yang
9
di anggap mu’tabar di pesantren, hubungan pesantren dan tarekat serta geneologi kyai dan jaringan intelektualnya. Peneliti juga berkesimpulan bahwa para kyai mengambil sikap
yang lapang dalam menyelenggarakan
pembaharuan lembaga-lembaga pesantren di tengah-tengah perubahan masyarakat, dan tanpa menggalkan aspek-aspek positif dari sistem pendidikan tradisional Islam. Sedangkan
studi
Steenbrink
dengan
judul
penelitian
Recente
Ontwikkelingen in Indonesich Islamonderricht yang kemudian diterjemahkan menjadi Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Isinya tentang sikap orang Islam Indonesia dalam menyikapi pembaharuan ada yang menerima, ada yang menolak tetapi mencontohnya, dan yang kesimpulanya diperbandingkan dengan perkembangan dalam agama Kristen. Penelitian Ali Anwar, Pembaharuan pendidikan di pesantren Lirboyo berusaha mengungkap pembaharuan yang di lakukan pesantren Lirboyo dimana pesantren Lirboyo mengadakan pembaharuan dan akhirnya dapat survive. Kesimpulan penelitian ini ternyata berbeda dengan temuan Karel A. Steenbrink bahwa ketika diperkenalkan lembaga pendidikan yang lebih teratur dan modern, lembaga pendidikan tradisional ternyata tidak begitu laku dan banyak ditinggalkan siswannya. Keseluruhan penelitian tersebut menurut hemat penulis, belum ada yang secara spesifik dan fokus membahas tentang pembaharuan sistem pendidikan pesantren yang di lakukan KH. Abdul Wahid Hasyim. Dengan demikian, posisi kajian ini di antara karya-karya yang telah mengkaji tersebut jelas
10
berbeda. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi terjadi pembaharuan, bagaimana proses terjadinya pembaharuan, dan implikasi pembaharuan sistem pendidikan itu bagi pesantren sekarang.
F. Metode Penelitian Proses dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode dan pendekatan sebagai acuan dalam penulisan karya tulis ini. Secara jelas penulis paparkan sebagai berikut: 1. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah a. Pendekatan Historis (historical approach) Pendekatan
yang
menguraikan
fakta-fakta
pemikiran
yang
dilakukan oleh KH. Abdul Wahid Hasyim. Pengembangan aspek historis dalam tulisan ini adalah sebuah analisis diskriptif yang akan membawa pada kesimpulan bahwa ada pola pemikiran yang dilakukan oleh KH. Abdul Wahid hasyim. Melalu pendekatan sejarah, peneliti dapat melakukan periodisasi atau derivasi sebuah fakta, dan melakukan proses genesis: perubahan dan perkembangan. Melalui sejarah dapat diketahui asal-usul pemikiran dari seseorang tokoh. (Suprayogo dan Tobroni, 2003:65-66). b. Pendekatan Hermeneutika Menurut Imam Suprayogo (2003:73) Hermeneutika merupakan metode bahkan aliran dalam penelitian kualitatif, khususnya dalam memahami makna teks (kitab suci, buku, undang-undang, dan lain-lain)
11
sebagai sebuah fenomena sosial budaya. Fungsi metode hermeneutika adalah agar tidak terjadi distorsi pesan atau informasi antara teks, penulis teks, dan pembaca teks. Dan tujuan spesifiknya adalah mengembangkan pengetahuan yang memberikan pemahaman dan penjelasan yang menyuluruh dan mendalam. Arti hermeneutik disini adalah analisis yang mengarah pada pembacaan teks-teks atas fakta yang terjadi dan relasi dengan konteks kesejarahannya. Pendekatan ini hanya mampu sedikit memotret dari pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim. Namun kemudian penulis akan berusaha menyajikan dengan data dan analisa yang mendetail agar mudah difahami. c. Pendekatan Fenomenologi Fenomenologi bisa diartikan sebagai pengalaman subyektif atau studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Fenomenologi kadang-kadang digunakan sebagai perspektif filosofi dan juga digunakan sebagai pendekatan penelitian kualitatif (Lexy J.Meleong, 2008:15). Metode ini digunakan untuk menghindari pembahasan yang terjebak pada aspek historis-faktual saja namun mampu menghadiran sebuah konsep pemikiran yang integral dengan konteks yang terjadi waktu itu. 2. Sumber Data Data yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini diperoleh dari research kepustakaan (library research) yaitu hasil dari penelitian berbagai buku dan karya ilmiah yang ada relevansinya dengan pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim. Dalam penelitan kualitatif menempatkan sumber
12
data sebagai subjek yang memiliki kedudukan penting. Jenis sumber data dalam penelitian kualitatif dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Narasumber Dalam penelitian kualitatif sumber data sangat penting, bukan hanya sebagai respons, melainkan juga sebagai pemilik informasi. Karena itu, ia disebut sebagai subyek yang diteliti, karena ia bukan saja sebagai sumber data, melainkan juga aktor atau pelaku yang ikut menentukan berhasil tidaknya sebuah penelitian. b. Peristiwa atau Aktivitas Data atau informasi juga diperoleh melalui pengamatan terhadap periswa
atau
aktivitas
yang
berkaitan
dengan
sasaran
atau
permasalahan penelitian. c. Dokumen atau Arsip Dokumen merupakan bahan tertulis atau benda yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Banyak peristiwa yang telah lama terjadi bisa di teliti dan dipahami atas dasar dokumen atau arsip (Imam Suprayogo, Tobroni, 2003:162-164). 3. Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting dalam penelitian, karena tujuan penelitian adalah mendapatkan data. Dalam penyusunan skripsi ini, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data:
13
a. Teknik Pengumpulan Data dengan Dokumen Dukumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dukumen bisa berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. b. Triangulasi Dalam hal ini Triangulasi diartikan sebagai teknik pengecekan kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data (Sugiono, 2008:329-330). 4. Analisa Data Data yang terkumpul selanjutnya akan penulis analisa dengan menggunakan teknik analisa data dengan cara: a. Reduksi Data Menurut Miles dan Huberman, reduksi data diartikan sebagai proses pemilahan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar, yang muncul dari catatancatanan lapangan. b. Penyajian Data Alur penting selanjutnya penyajian data, yang dimaksud penyajian data adalah menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. c. Menarik Kesimpulan Kegiatan analisa yang terakhir adalah menarik kesimpulan. Dari permulaan pengumpulan data, seorang mengalisis kualitatif mulai
14
mencari arti benda-benda mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi
yang
mungkin,
alur
sebab-akibat,
dan
proposisi (Miles and Huberman, 1992:16-19). Dari komponen analisa di atas, prosesnya saling berhubungan dan berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung.
G. Penegasan Istilah Penegasan istilah adalah untuk mendapatkan kejelasan tentang judul skripsi di atas, supaya tidak terjadi salah kesalahpahaman maka penulis perlu memberikan batasan-batasan dan penegasan beberapa istilah yang ada di dalamnya, yaitu: 1. Pembaharuan Pembaharuan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia secara etimologis artinya proses, perbuatan, cara membaharui (Poerwadarminta, 2006:103). Pembaharuan juga disebut tajdîd, secara harfiah tajdîd berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid. 2. Sistem Pendidikan Sistem merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan (Ridlwan Nasir, 2005:28). Sedangkan pendidikan menurut Nasrudin (2008-11). Pendidikan adalah upaya mencerdaskan pikiran, menghaluskan budi pekerti, memperluas cakrawala pengetahuan serta memimpin dan membiasakan anak-anak menuju arah kesehatan badan dan kesehatan ruhani bangsanya. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan
15
juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Melihat paparan di atas, maka yang di maksud dengan sistem pendidikan dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur pendidikan yang berkaitan dan hubungan satu sama lain serta saling mempengaruhi, dalam satu kesatuan (Ridlwan Nasir, 2005:28). 3. Pesantren Pondok secara etimologis bisa diartikan asrama tempat santri. Sedangkan kata Pondok secara terminologis berarti tempat tinggal santri di pesantren (Abdul Mughits, 2008:153). Untuk menyebutkan asrama tempat belajar agama Islam. Sebenarnya bukan istilah asli Indonesia, tetapi merupakan hasil penyerapan dari bahasa Arab funduk yang berarti pesanggrahan atau penginapan orang berpergian (Karel A.Steen Brink, 1986:22). Sedangkan Pesantren secara etimologis berasal dari santri yang mempunyai awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri, Tempat pendidikan Islam ini juga berfungsi sebagai lembaga sosial keaagamaan. Menurut KH. Zamakhsari Dhofier terdapat lima elemen dasar suatu lembaga pengajian dapat dikatakan sebagai pesantren yaitu,
16
kiai, santri, pondok, masjid, dan pengajaran kitab-kitab klasik (Dhofier, 1983:44). Secara umum pesantren atau pondok didefinisikan sebagai “lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, kyai sebagai sentral figurnya dan masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya.” Sebagai lembaga yang mengintegrasikan seluruh pusat pendidikan, pendidikan pesantren bersifat total, mencakup seluruh bidang kecakapan anak didik; baik spiritual intelektual, maupun moral-emosional. 4. KH. Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) yang dilahirkan pada Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Tahun 1929 saat umurnya 15 tahun beliau baru mengenal huruf latin. Dengan mengenal huruf latin,
semangat
belajarnya semakin
bertambah.
Dia juga
berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Arab. Wahid Hasyim mulai belajar Bahasa Belanda ketika berlangganan majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung. Tetapi dia hanya mengambil dua bahasa saja, yaitu Bahasa Arab dan Belanda. Pada tahun 1932, ketika umurnya baru 18 tahun, Wahid Hasyim pergi ke tanah suci Mekkah bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Sepulang dari tanah suci, KH. Wahid Hasyim membantu ayahnya mengajar di pesantren dan terjun ke tengah-tengah masyarakat. Pada tahun 1936, Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam yang kemudian diikuti dengan pendirian taman bacaan (perpustakaan) yang menyediakan lebih dari
17
seribu judul buku. Perpustakaan Tebuireng juga berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Langkah ini merupakan terobosan besar yang-saat itu-belum pernah dilakukan pesantren manapun di Indonesia. Pada tahun 1947, ketika sang ayah meningal dunia, Kiai Wahid terpilih secara aklamasi sebagai pengasuh Tebuireng. Pilihan ini berdasarkan kesepakatan musyawarah keluarga Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang. Pada bulan November 1947, Wahid Hasyim bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta. Dalam kongres itu diputuskan pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, Kiai Hasyim Asy’ari. Namun Kiai Hasyim melimpahkan semua tugasnya kepada Wahid Hasyim. Dia dalam Masyumi tergabung tokoh-tokoh Islam nasional, seperti KH. Wahab Hasbullah, KH. Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Zainul Arifin, M. Roem, dr. Sukiman, H. Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Anwar Cokroaminoto, Mohammad Natsir, dan lain-lain. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama selalu dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Sukiman. Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid mengeluarkan tiga keputusan yang sangat
18
mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini. Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid Negara (http://majelis-alumni-ipnu.:masjid-istiqlaljakarta&catid=7:wisata-religi&Itemid=14)
H. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, akan penulis bahas masalah-masalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, metode dan pendekatan penelitian, penegasan istilah, sistematika penulisan skripsi. Bab II Biografi KH Wahid Hasyim. Pembahasannya meliputi biografi Wahid Hasyim yang membahas tentang riwayat hidup Wahid Hasyim, mulai dari keluaraga, kelahiran, silsilah keluarga, pengabdian dalam masyarakat dan Negara, serta latarbelakang pendidikan dan karyanya. Bab III Mengenal Pondok Pesantren Dan Pemikiran Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim . Berisi Tentang sejarah pondok pesantren, keadaan pesantren sebelum kemerdekaan, keadaan pesantren paska kemerdekaan, pemikiran-pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim. Bab IV Analisis Relavansi Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim Terhadap Pendidikan Pesantren Di Indonesia Masa Sekarang: Tinjaun sistem pendidikan pesantren, Analisis
19
sistem pendidikan pesantren menurut pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim dengan relevansi pendidikan pesantren Indonesia masa sekarang. Bab V Penutup. Dalam bab ini meliputi: Kesimpulan, Saran-saran, Penutup
20
BAB II RIWAYAT HIDUP KH. ABDUL WAHID HASYIM
A. Keluarga KH. Abdul Wahid Hasyim 1. Kelahiran KH. Abdul Wahid Hasyim Nama KH. Abdul Wahid Hasyim barangkali identik dengan tokohtokoh muda yang mempunyai prestasi yang luar biasa, dimana pada masa peralihan penjajahan Jepang menuju kemerdekaan Indonesia mempunyai posisi yang sangat vital, ketika itu gonjang-ganjing perselisihan antara kekuatan muda dan kekuatan kaum tua yang di wakili Soekarno, sementara semangat untuk mendirikan ideologi Negara masih menjadi perselisihan antara golongan nasionalis dan agama, yang pada akhirnya di menangkan golongan nasionalis, dalam hal ini KH. Abdul wahid Hasyim termasuk kelompok yang menghendaki agar negara yang dibentuk berdasarkan Islam mengingat Islam agama mayoritas penduduk Indonesia, tetapi Islam bukan harga mati bagi Wahid Hasyim, ia terbukti menerima setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia KH. Abdul Wahid Hasyim salah satu perwakilan dari golongan Islam menerima. KH. Abdul Wahid Hasyim adalah salah satu dari sedikit tokoh NU yang menonjol dan ketokohannya tidak hanya diakui kalangan NU, tetapi juga kalangan diluar NU. Ada beberapa faktor yang menyebabkan ia menjadi seperti itu, selain karena putra KH Hasyim Asyari, ia juga lebih dikenal-sangat cerdas dan gemar sekali membaca. Berkat kecerdasan dan kegemarannya tersebut ia mempunyai pemikiran yang maju terlebih jika
20
21
dibandingkan dengan tokoh-tokoh NU pada masa itu. Ia mampu mengikuti perkembangan yang terjadi sehingga dapat “duduk sejajar” dengan tokohtokoh nasional yang mendapat kesempatan belajar di bangku sekolah modern (Yanto dan Retno, 2009:409). KH. Abdul Wahid Hasyim di lahirkan pada hari jum’at pada tanggal 1 Juni 1914 M (5 Rabi’al Awwal 1333 H) di desa Diwek Kecamatan Cukir Kab Jombang Jawa Timur. Ketika ada pengajian rutin yang di gelar setiap jum’at sesudah sholat isya. KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara: a. Hannah b. Khairiyah c. Aisyah d. Izzah e. Abdul Wahid f. A. Khaliq g. Abdul Karim h. Ubaidillah i. Masrurah j. Muhammad Yusuf Menurut Gusdur dalam Greg Barton (2010:31), Nyai Hasyim Asyari, yang tidak lain adalah nenek Gusdur sendiri, menderita sakit keras ketika sedang mengandung KH. Abdul Wahid Hasyim. Nyai Hasyim bernazar apabila anaknya yang dikandungnya ini dapat lahir dengan selamat maka
22
ia akan membawanya ke Kiai Cholil di Madura. Nyai Hasyim Asy’ari pun akhirnya berangsur-angsur sembuh dan kemudian dapat melahirkan Wahid Hasyim tanpa kesulitan. Sesuai dengan sumpahnya, ia pun membawa anaknya ke Madura agar bisa di berkati oleh guru suaminya. Oleh banyak orang, kejadian ini di anggap sebagai bertanda bahwa si anak (Wahid Hasyim) akan menjadi orang besar. KH. Abdul Wahid Hasyim yang akrab di sapa dengan Gus Wahid Oleh ayahnya Hadratus Syeh KH. Hasyim Asy’ari beliau diberi nama Muhammad Asy’ari, di ambil dari nama kakeknya. Tetapi nama ini tidak terlalu lama, Asy’ari kecil sering sakit hingga tubuhnya makin kurus, maka nama ini diganti. Karena dianggap nama tersebut tidak cocok dan berat maka namanya diganti Abdul Wahid Hasyim, pengambilan dari nama seorang datuknya. Namun ibunya kerap kali memanggil dengan nama “Mudin” (KPG Tempo, 2011:11). Sedangkan para santri dan masyarakat sekitar sering memanggil dengan sebutan Gus Wahid, sebuah panggilan yang kerap ditujukan untuk menyebut putra seorang Kyai di Jawa. 2. Silsilah Keluarga KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari. Ulama yang termasyhur dan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi keagamaan yang terbesar di Indonesia. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Hadiwijaya yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu
23
pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan Majapahit. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng (Amin, 2010:65). Ketika menginjak usia 25 tahun, KH. Abdul Wahid mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak putra, Putra-putri KH.Abdul Wahid Hasyim kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tokoh dan miniatur dari Indonesia dengan lingkungan yang berbeda-beda, putra Pertama, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu mantan presiden RI yang ke-4, sosoknya yang penuh kontroversi. Kedua, Aisyah Hamid Baidlowi menjadi politisi Partai Golkar. Ketiga, KH Salahuddin Wahid penjelajah lintas ilmu disiplin ilmu dan aktivis HAM dan kini menjadi pengasuh pondok pesantren Tebuireng. Keempat dr. umar Wahid seorang dokter professional murni. Kelima, Lily Chotijah Wahid kini menjadi anggota legeislatif dari PKB (Risalah, 1430 H:77).
24
Silsilah KH.Wahid Hasyim (KPG Tempo, 2011:35, Bakar,2011, Zuhri,2010:181) BRAWIJAYA VI (1478-1498) Jaka Tarub I
Jaka Tingkir (1578)
Jaka Tarub II
Pengeran Benawa
Kiai Ageng Ketis Pangeran Sambo Kiai Ageng Saba Ahmad Kiai Ageng Solo Abdul Jabar Kiai Ageng Pemanahan Sichah Fatimah
Lajjinah
Penembahan Senopati K. Usman
Pangeran Kajuran
Kh.Hasbullah
Kiai Ilyas Nyai Halimah (1851)
Markinah
K.Asya’ri
Kh. Abdul Wahab (1888-1971) Nafiqoh1939
Kh.Hasyim Asya’ri (1871-1947) Siti Khotijah
Kh.Bisri Samsuri (1887-1980)
Sholihah (1924-1994) Abdurrahman (1939-2009)
M.Qolyubi
Kh A.Wahid Hasyim(1914-1953) Zahro
M. Ilyas (1911-1970)
Aisyah Maftuh Basyumi Salahuddin Umar Hasyim Lily Wahid M. Hasyim
Wiwiek Zakiah
25
3. Kiprah Masuk Organisasi Sosial Kemasyarakatan a. Membentuk Ikatan Pelajar-Pelajar Islam Pada tahun 1936, KH. Abdul Wahid Hasyim mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar-Pelajar Islam) dengan dia sendiri sebagai pimpinannya. Dalam organisasi ini dia menyediakan taman bacaan dengan lebih dari 500 kitab bacaan untuk anak-anak dan pemuda, yang berbahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Madura, Belanda dan Inggris. Organisasi ini juga berlangganan majalah dan surat kabar. Perlu dicatat, organisasi ini tidak hanya berisi santri tetapi juga pelajarnya pernah belajar di HIS dan MULO (Bakar, 2011:172-173). KH. Abdul Wahid Hasyim juga melakukan gerakan ’terpelajar’ yakni melakukan perjuangan yang sesuai dengan zaman yaitu dengan melakukan mogok, agitasi, menerbitkan surat kabar, berorganisasi dan propaganda. KH. Abdul Wahid Hasyim melihat, kelompok mahasiswa, pelajar, santri dan pemuda sangat penting dalam memerankan perjuangan. Kharakter ’terpelajar’ sangat penting untuk dijadikan alat perjuangan. Apalagi dalam era global sekarang ini, perjuangan yang dilakukan tidak lagi menggunakan senjata, namun menggunakan ideologi, pengetahuan dan strategi. b. Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama merupakan organisasi sosial keagamaan yang didirikan pada bulan januari, tanggal 31 tahun 1826 oleh beberapa Kiai tradisional dan usahawan Jawa timur. Pembentukannya sering kali dijelaskan sebagai reaksi defensif terhadap berbagai aktivitas kelompok
26
reformis (Bruinessen, 2004:13) salah satu pendirinya adalah KH. Hasyim Asya’ri bapaknya KH. Abdul Wahid Hasyim, secara tidak langsung KH. Abdul Wahid Hasyim punya tiket istimewa kalau ingin masuk Nahdlatul Ulama, sebab secara langsung KH. Abdul Wahid Hasyim punya hubungan emosional dan kekerabatan. Akan tetapi KH. Abdul Wahid Hasyim tidak serta merta langsung masuk organisasi. Ia tinggalkan perasaan dan pertimbangan keturunan, sebab ia punya pandangan lain, yaitu : 1) Keberhasilan NU mengembangkan organisasi dalam singkat dan meliputi daerah secara luas. 2) Anggotanya punya mentalitas tinggi, meski tidak punya kaum pelajar yang banyak. 3) NU memperhatikan pelaksaan ajaran-ajaran Islam. 4) Adanya ulama yang terus menjaga ajaran Islam. Faktor
kiai
yang
dulunya
dianggap
sebagai
penghambat
keberhasilan NU, justru menjadi kunci keberhasilanya. Pada tahun 1938 Wahid Hasyim banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan-kegiatan NU.
Jabatan pertama Wahid Hasyim ditunjuk sebagai sekretaris
pengurus Ranting Cukir Tebuireng, lalu menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Kemudian untuk selanjutnya Wahid Hasyim dipilih sebagai anggota Pengurus Besar NU di wilayah Surabaya (Bakar, 2011:173). Hingga kemudian pada tahun 1940 dipilih menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif (pendidikan). Dari sinilah, perjuangan di NU mulai banyak peningkatan sampai akhirnya pada tahun 1946 KH.
27
Abdul Wahid Hasyim diberikan amanah sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU menggantikan Kiai Ahmad Shiddiq. Setelah NU berubah menjadi partai politik, ia pun dipilih sebagai ketua Biro Politik NU tahun 1950. 4. Mendirikan Partai Masyumi Pada bulan november 1947, KH Abdul Wahid hasyim bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan kongres umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta. Dalam kongres ini diputuskan pendirian Majelis Syura Muslimin Indonesia, sebagai satu-satunya partai politik Islam Indonesia. Ketua umumnya adalah KH Hasyim Asy’ari, namun kiai Hasyim melimpahkan semua tugasnya kepada KH Wahid Hasyim. Tetapi sejak tahun 1950-an, NU keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai partai politik. Secara pribadi, KH. Abdul Wahid Tidak setuju NU keluar dari Masyumi, akan tetapi sudah menjadi keputusan bersama, maka KH. Abdul Wahid Hasyim menghormatinya. Hubungan KH. Abdul Wahid Hasyim dengan tokoh-tokoh Masyumi masih tetap terjalin dengan baik. 5. Pengabdian Kepada Negara Kerasnya politik pada zaman kolonial Belanda dan semakin suramnya kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya menyebabkan kebangkitan Islam di Indonesia. Ini mendorong penduduk pribumi untuk mengubah perjuangan melawan Belanda dari strategi perjuangan fisik ke perlawanan yang damai dan terorganisir. Maka terbentuklah beberapa organisasi yang bertujuan meningkatkan kondisi ekonomi, pendidikan, dan tentunya kemerdekaan Indonesia. Salah satunya organisasi MIAI (Majlis Islam
28
A’ala Indonesia) organisasi ini didirikan pada tanggal 18-21 September 1937 (Lathiful Khuluq, 2009:116). Federasi ini terdiri dari Nahdlatul Ulama, Muhamadiyah, dan Sarekat Islam. Yang mana KH. Hasyim Asyari sebagai ketuanya. Akan tetapi kedudukan sebagai ketua hanya simbolik sebab beliau mendelegasikan semua tugas ketua diserahkan kepada putra beliau, KH. Abdul Wahid Hasyim. Tetapi perkembangan selanjutnya Wahid Hasyim jadi ketua seutuhnya bukan sebagai badal ayahnya. Melalui wadah MIAI inilah tokoh-tokoh Islam membangun hubungan baik dengan kelompok-kelompok nasionalis yang tergabung dalam Gabungan Aksi Politik Indonesia (GAPI). Ini terjadi pada tahun 1939, dan gerakan GAPI mencapai puncaknya pada tahun 1940, dimana MIAI dan GAPI mendirikan proyek politik yang bernama Kongres Rakyat Indonesia (Korindo), dengan dua tuntutan utama terhadap pemerintah kolonial, yaitu mempercepat
Indonesia
berparlamen
dan
menuntut
perubahan
ketatanegaraan di Indonesia, menuju Indonesia mandiri (Surahno dalam Laode Ida, 1996:15). Setelah kedudukan Belanda berakhir MIAI dibubarkan oleh Jepang dan diganti Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) pada 24 oktober 1943. Yang menyatakan siap membantu kepentingan Jepang. Hanya Nahdaltul Ulama dan Muhammadiyah yang diakui secara sah oleh penjajah dan yang diperbolehkan menjadi anggota Masyumi. Pada bulan agustus 1944, KH Hasyim Asya’ari diangkat sebagai ketua Shumubu, kantor urusan agama Islam buatan Jepang, dan NU pun mulai masuk ke dalam urusan pemerintah pertama kalinya. Akan tetapi, begitu dikukuhkan
29
KH. Hasyim Asya’ri kembali ke pesantren beliau di Jombang, sedangkan tugas sehari-hari dilaksanakan KH. Abdul Wahid Hasyim. Tahun ini juga KH. Abdul Wahid Hasyim, berhasil membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus bagi para santri dan mengizinkan mereka membentuk barisan pertahanan rakyat sendiri yaitu Hizbullah dan Sabilillah (Andree Feillard,2008:26). Dan setelah Indonesia Merdeka Masyumi ini berubah menjadi partai politik. Langkah ini dilakukan mengikuti anjuran pemerintah republik Indonesia (Greg Fealy,2007:53). Karir KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pentas politik nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih muda, beberapa jabatan ia sandang. Diantaranya ketika Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia atau dikenal dengan BPUPKI, KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota yang termuda, ketika itu baru berumur 31 tahun (Delier Noer, 1987:31). Badan ini dideklarasikan pada tanggal 1 maret 1945 yang menghasilkan terbentuknya suatu panitia untuk menyelidiki dan apa yang harus dikerjakan untuk mempersiapan kemerdekaan. Panitia ini diresmikan di Jakarta tanggal 29 April 1945, anggotanya berjumlah 62 orang, sehingga panitia ini dapat disebut panitia 62. Orang-orang Jepang mengangkat Dr. Radjiman Wedjodiningrat untuk memimpin rapat-rapat (B.J Boland,198519). Pada sidang pertama badan ini membicarakan dasar-dasar Negara Indonesia. Dalam rapat ini, KH. Abdul Wahid Hasyim menghendaki agar Negara yang dibentuk berdasarkan Islam mengingat Islam adalah agama
30
mayoritas di Nusantara. Sementara itu, sebagaian peserta yang lain menghendaki agar Negara dibentuk tidak berdasarkan agama tertentu karena selain umat Islam masih terdapat penganut agama lain. Rapat ini berakhir dengan dibentuknya Panitia Sembilan, KH. Abdul Wahid Hasyim menjadi salah satu anggotanya. Panitia kecil ini akhirnya berhasil merumuskan pembukaan UUD yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Dalam Piagam Jakarta ini tercantum satu kalimat yang kemudian menimbulkan kontroversi, yaitu sila pertama“ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Bagi panitia Sembilan, rumusan ini sebagai jalan tengah yang paling maksimal dari kedua aspirasi tersebut (Saiful Umam, 1998) Pada tanggal 10 Juli, Piagam Jakarta dipertanyakan oleh tokoh nasionalis sekuler dan Kristen,
Latuharhary,
yang secara tegas
mengutarakan kekawatirannya nantinya syariat Islam akan menimbulkan masalah bagi agama lain dan adat istiadat. Agus Salim menjawab bahwa persoalan hukum adat dan hukum Islam sudah merupakan masalah lama, dan pada umumnya sudah terselesaikan. Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat juga merasa keberatan dengan kata-kata tersebut sebab akan menimbulkan fanatisme, kelihatannya kaum Muslimin akan dipaksa mematuhi syari’at Islam. KH. Abdul Wahid Hasyim membantah dengan merujuk adanya asas sila permusyawaratan akan menghalangi segala bentuk paksaan (B.J Boland, 1985:19). Pada sidang selanjutnya, debat masih berlanjut, KH. Abdul Wahid Hasyim mengusulkan rumusan berikut: “Agama Negara adalah Islam,
31
dengan jaminan bagi pemeluk agama lain untuk dapat beribadah menurut agama masing-masing”. KH. Abdul Wahid Hasyim juga mengusulkan presiden dan wakilnya juga harus Islam, tetapi usul ini ditentang Agus Salim dan mengajukan keberatan, karena hal ini akan merusak jalan tengah yang telah tercapai antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis, dan jika presiden harus Islam, bagaimana nantinya dengan wakil presiden dengan para duta besar dan sebagainya. Dua hari setelah Jepang menyerah, yakni pada tanggal 14 agustus 1945, dan pada tanggal 17 Agustus hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesaia dikumandangkan oleh Soekarno dan Moh Hatta, Hatta menerima kunjungan seorang perwira angkatan laut kekaisaran Jepang yang menyampaikan keberatan-keberatan penduduk Indonesia bagian timur, yang sebagaian besar tidak beragama Islam, mengenai dimuatnya Piagam Jakarta pada mukaddimah undang-undang dasar. Bila tidak dirubah, mereka lebih suka berdiri diluar Republik Indonesia. Keesokan harinya pada tanggal 18 agustus, Moh. Hatta memanggil empat anggota panitia persiapan kemerdekaan yang mewakili Islam: Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Muhammad Hasan dan KH. Abdul Wahid Hasyim. Demi menjaga keutuhan bangsa pada saat genting ini, mereka setuju untuk menghapus rujukan pada agama Islam dalam teks Mukaddimah Undang-Undang Dasar, sebagai gantinya KH. Abdul Wahid Hasyim mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa, penambahan kata Esa menggarisbawahi keesaan Tuhan
32
(tauhid) yang tidak terdapat pada agama lain. Dengan demikian, Indonesia tidak menjadi Negara Islam, namun menjadi Negara monoteis. Presiden harus diangkat dari orang Indonesia asli, tanpa ketentuan jelas mengenai agamanya (Andree Feillard, 2008,34:35). Kasus di atas memperlihatkan bahwa KH. Abdul Wahid Hasyim dalam kasus tertentu merupakan sosok yang sangat kental dengan nilainilai ajaran Islam sehingga ia selalu mengusulkan agar Negara Indonesia berideologi Islam. Akan tetapi bagi KH. Abdul Wahid Hasyim Islam bukan harga mati, ia terbukti menerima setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Peran KH. Abdul Wahid Hasyim dalam hal ini cukup penting untuk menyelamatkan bangsa Indonesia. Tidak dapat dibayangkan seandainya KH. Abdul Wahid Hasyim menolak usul tersebut. Karena menurut KH. Abdul Wahid Hasyim persatuan bangsa yang baru lebih penting daripada pengakuan formal terhadap Islam. Bukti pemahaman keIslaman
KH. Abdul Wahid Hasyim yang
toleran, inklusif dan tidak radikal tercermin dalam penerapan kaidah fikih yaitu “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan harus didahulukan daripada berniat kebaikan). Dan pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim ini bisa menjawab gerakan radikal yang ada di Indonesia sekarang ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfudz MD (09/06/2011 07:11) menyakatan, ”Gagasan tentang bertemunya ke-Indonesiaan dan ke-Islamanan dengan konsep Pancasila yang sekarang ini kita anut sebagai dasar negara sekarang sudah final. Dan pemikiran KH Wahid Hasyim ini menurut saya
33
perlu direvitalisasi, dengan jalan mempertemukan secara kuat bahwa konsep Indonesia dengan Islam dalam Pancasila sebagai dasar negara sebagai konsep yang final bagi seluruh rakyat indonesia. ”Sehingga tidak perlu lagi ada pertengkaran yang mempertentangkan perlunya negara Islam, radikalisasi dan lain-lain, itu semua bisa dijawab dengan pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim, (http://www.nu.or.id/.html) Setelah Indonesia merdeka yang dilakukan Soekarno adalah membentuk kabinet. Di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), KH. Abdul Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, KH. Abdul Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman. Dalam pembentukan kabinet baru Sukiman (1 April 1952) ia tidak dipilih lagi menjadi menteri agama. Kedudukannya digantikan oleh KH Fakih Usman dari Muhammadiyah. Setelah meninggalkan jabatan menteri agama ia aktif dalam NU (Mahmud Yunus, 1995:369). Tanggal 19 April 1953 merupakan hari penuh duka-cita. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April, KH. Abdul Wahid Hasyim ditemani tiga orang, yakni sopirnya dari harian pemandangan, rekannya Argo Sucipta, dan putra sulungnya. Musibah ini berawal dari rencana pergi ke Sumedang
34
untuk menghadiri rapat NU. Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, yang dihela seorang sopir dari harian pemandangan, Abdurrahman putra pertamanya duduk di depan. KH. Abdul Wahid Hasyim duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslim. Ketika sampai di sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin, lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, cukup ramai. Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi KH. Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakang Chevrolet nahas itu banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena selip dari arah berlawanan. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan keras. Saat terjadi benturan, KH. A Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. Sementara sang sopir dan Abdurrahman tidak cidera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula (Aboe Bakar 2011:330). Lokasi kejadian kecelakaan itu memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan datang sangat terlambat. Baru pukul 16.00 datang mobil ambulan untuk mengangkut korban ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt dalam usia 39 tahun. Beberapa jam
35
kemudian, tepatnya pukul 18.00, Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khaliq. Kemudian jenazah KH. Abdul Wahid Hasyim dibawa ke Jakarta, kemudian dengan pesawat terbang jenazah tersebut di angkut ke Surabaya, untuk dimakamkan di Tebuireng. 6. Diangkat Sebagai Pahlawan Nasional Atas jasa beliau terhadap Negara republik Indonesia, KH. Abdul Wahid Hasyim mendapatkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Berdasarkan Surat keputusan Presiden Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964, mengingat jasa-jasanya sebagai pemimpin Indonesia yang semasa hidupnya terdorong oleh taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rasa cinta tanah air dan bangsa, telah memimpin suatu kegiatan yang teratur guna mencapai kemerdekaan nusa dan bangsa (Azis Masyhuri, 2008:48) demikianlah pemerintah menghargai kiprah KH Wahid Hasyim dalam mengabdi kepada negara.
B. Latar Belakang Pendidikan KH. Abdul Wahid Hasyim Karir pendidikan KH. Abdul Wahid Hasyim dimulai sejak umur lima tahun, ia belajar membaca al-Qur’an dan dalam waktu dua tahun ia sudah pandai membaca kitab suci tersebut. Ketika usianya menginjak tujuh tahun, ia mulai belajar kitab kuning, di antaranya kitab Fathul Qorib, Minhajul Qawin, dan kitab mutammimah pada ayahnya, dan pada usia ini pulalah beliau sudah khatam membaca al-Qur’an dan mulai belajar di Madrasah Salafiyah di pesantren Tebuireng (Rifa’i, 2010:23). Walaupun beliau anak seorang tokoh agama terkemuka ia tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah
36
pemerintahan kolonial Belanda. Dia lebih banyak belajar sendiri secara autodidak. Kalau di dalam ilmu pendidikan terdapat konsep pendidikan otodidak, maka hal itu telah dialami oleh KH. Abdul Wahid Hasyim. Putra Kyai besar, pendiri organisasi NU ini, hanya belajar di pesantren. Sebagai anak seorang kiai belum afdhol kalau belum berkelana ke pondok lainnya. 1. Pergi ke Pondok Pondok yang yang pertama disinggahi KH. Abdul Wahid Hasyim adalah Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo yang di asuh oleh Kiai Khazin, yang tak lain juga guru KH. Hasyim Asya’ri (Rizal, 2009:45). Ternyata di sana ia hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia kemudian pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang di asuh KH Abdul Karim. Akan tetapi di pesantren ini Wahid Hasyim hanya mondok dalam waktu yang sangat singkat, hanya beberapa hari saja. Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan KH. Abdul Wahid Hasyim hanyalah keberkahan dari sang guru. Soal ilmu, mungkin ia berpikir, bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh berkah, adalah masalah lain, harus berhubungan dengan kyai. Inilah yang sepertinya menjadi pertimbangan utama dari KH. Abdul Wahid Hasyim ketika itu. Sepulang dari Lirboyo, KH. Abdul Wahid tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh ayahnya pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, apapun keadaannya KH. Abdul Wahid Hasyim bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar, Selama berada di
37
rumah semangat belajarnya tidak pernah padam, terutama belajar secara otodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga pendidikan umum milik pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri yang di pesan oleh ayahnya. 2. Pergi Naik Haji dan Belajar Dalam rangka mendidik KH. Abdul Wahid Hasyim, KH Hasyim Asy’ari tentu tidaklah ia lakukan secara sendiri, selain dikirim ke pesantren Siwalan Panji untuk belajar tasawuf, fiqih, dan tafsir al-Qur’an. KH. Hasyim Asyar’i juga mengirim Wahid Hasyim untuk melanjutkan belajarnya ke Makah pada tahun 1932 selama tiga tahun untuk belajar dan beribadah
haji
(Lathiful
Khuluq,
2009:43).
Meminjam
istilahnya
Bruinessen (1995:43) orang Indonesia pergi ke Makkah selain menunaikan syari’at kewajiban bagi yang mampu, ternyata ada fungsi sosiologis haji, banyak orang-orang Indonesia mencari ilmu di Makah dan Madinah dan setelah pulang ke tanah air mereka mengajar kepada masyarakat di sekitarnya. Di tanah Arab, para haji Indonesia juga bertemu dengan saudara seiman dari seluruh dunia Islam, yang belajar kepada guru-guru yang sama, dan dengan demikian mereka mengetahui perkembangan dan gerakan di Negara-negara Muslim lainnya. Sepulang dari tanah suci, ia membantu ayahnya mengajar di pesantren. Ia juga giat terjun ke tengah-tengah masyarakat. Pada usianya baru menginjak 20-an tahun, KH. Abdul Wahid Hasyim sudah membantu
38
ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh. C. Karya-Karya KH.Abdul Wahid Hasyim 1. Karya dan Jasa-Jasa Wahid Hasyim selama Menjadi Menteri Agama a. Mengeluarkan peraturan tentang: susunan dan tugas kewajiban kantor pusat Kementerian Agama dan lapangan pekerjaan, susunan serta tugas kewajiban: jawatan urusan agama, jawatan pendidikan agama dan jawatan penerangan agama (Peraturan Menteri Agama no.2 tahun 1951 tanggal 12 januari 1951). b. Mengeluarkan peraturan bersama menteri PPK dan Menteri Agama tentang: pendidikan agama disekolah-serkolah negeri dan partikelir (20 Januari 1951). c. Menyusun top formasi pegawai kantor pendidiakan agama di propinsipropinsi dan kabupaten-kabupaten seluruh Indonesia (26 januari 1951). d. Mendirikan kantor-kantor pendidikan agama di propinsi-propinsi dan kabupatan-kabupaten seluruh Indonesia (30 Januari 1951). e. Mendirikan SGHA Negeri di Kotaraja (Aceh) (13 Januari 1951). f. Mendirikan SGHA Negeri di Bukittinggi (13 februari 1952). g. Mendirikan PGA Negeri di Tanjung Pinang (13 mei 1951). h. Mengusahakan keluarnya putusan menteri PPK dengan persetujuan Menteri Agama tentang: penghargaan ijazah-ijazah Madrasah (17 juli 1951). i. Mendirikan PGA Negeri di Kotaraja (14 Agustus 1951).
39
j. Mendirikan PGA Negeri di Padang (16 Agustus 1951). k. Mendirikan PGA Negeri di Banjarmasin (16 Agustus 1951). l. Mendirikan PGA Negeri di Jakarta (16 Agustus 1951). m. Mendirikan PGA Negeri di Tanjung Karang (16 Agustus 1951). n. Mendirikan PGA Negeri di Bandung (2 Agustus 1951). o. Mendirikan PGA Negeri di Pamekasan (2 Agustus 1951). p. Mendirikan SGHA Negeri di Bandung (2 Agustus 1951). q. Menetapkan rencana pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah rakyat dari kelas IV-VI (6 Mei 1951). r. Menetapkan rencana pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah Lanjutan tingkat pertama (31 Agustus 1951). s. Mengeluarkan peraturan bersama menteri PPK dan Menteri Agama tentang peraturan PTAIN di Yogyakarta (21 Oktober 1951) (Mahmud Yunus, 1995:369). 2. Karya Tulis KH. Abdul Wahid Hasyim KH.A.Wahid Hasyim adalah seorang tokoh produktif dalam menyampaikan pemikirannya lewat tulisan-tulisan (karya ilmiah) yang banyak diterbitkan oleh media, akan tetapi ide-idenya tersebut belum sempat di buat dalam buku. Di antara karya-karyanya yaitu: a. “Nabi Muhammad dan Persaudaran Manusia”. Karya ini merupakan pidatonya saat acara pembukaan perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. yang di adakan di Istana Negara, Jakarta, pada 2 Januari 1950, dan merupakan perayaan pertama sesudah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia.
40
b. “Kebangkitan Dunia Islam”. Karya ini merupakan tulisan di media Mimbar Agama edisi No. 3-4, maret-april 1951. c. “Beragamalah Dengan Sungguh Dan Ingatlah Kebesaran Tuhan”. Karya ini merupakan semacam pidato untuk perayaan Hari Raya Idul Fitri yang pada saat itu, Indonesia masih berbentuk serikat. d. “Hari Raya sebagai Ukuran Maju-Mundurnya Umat” dalam berita Nahdlatul Ulama, No. 3, Th,ke 7, Desember, 1937, hal 2-5. e. “Arti dan Isi Al-Fatihah” Berita Nahdlatul Ulama, No. 14, Th,ke VII, 15 Mei 1938, hal 1-3. f. “Islam Agama Fitrah (dasar manusia)” Suara Muslimin Indonesia, No. 7, Th,ke II, April, 1944, hal 2-4. g. “Latihan Lapar adalah Kebahagiaan Hidup Perdamaian Dunia” penyiaran Kementerian Agama, No. 4, 1309, hlm. 3-4. h. “Perkembangan Politik Masa Pendudukan Jepang” dari Nota Politik (November 1945). i. “Apakah Meninggalnya Stalin Membawa Pengaruh Pada Umat Islam”juga pada umat Islam Indonesia?” dari Gema Muslimin Tahun 1 No. 2, 1 April 1953. j. “ Di Belakang Perebutan Kekuasan Jendral Najib di Mesir”, Ceramah (1952). k. “Umat Islam Indonesia dalam Menghadapi Perimbangan Kekuatan Politik Daripada Partai-partai dan Golongan-Golongan”. Catatan (disiarkan dalam kalangan terbatas pada 1952).
41
l. “Menyosong Tahun Proklamasi Kemerdekaan
yang ke Delapan”,
Jakarta 14 Agustus 1952. m. “Suluh”, dalam Th,I, Berita Nahdlatul Ulama, No, Th,1, April, hlm,112. n. “Masyumi Lima Tahun”, Kutipan dari Suara Partai Masyumi, No, 11 tahun ke-5, Desember 1950. o. “Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama” dalam Gema Muslimin ke-1 November 1953. p. “Analisa Kelemahan Penerangan Islam”, salah satu uraian untuk konferensi, (1951). q. “Fanitisme dan Fanatisme”, dalam Gempita No.1 tahun ke-1 (15 Maret 1955). r. “Siapakah Yang Akan Menang Dalam Pemilihan Umum Yang Akan Datang” dalam Gema Muslimin, tahun ke-1 Maret 1953. s. “Akan Menangkah Umat Islam Dalam Pemilihan Umum Yang Akan Datang?” t. “Kedudukan Umat Islam Dalam Masyarakat Islam Indonesia”. u. “Umat Islam Indonesia Menunggu Ajalanya, Tetapi PemimpinPemimpinya Tidak Tahu”. Tulisan ini ditulis dengan nama samaran “makmum bingung” pada awal 22 Desember 1951. v. “Abdullah Ubaid sebagai Pendidik” dalam suluh NU, Agustus 1941, tahun ke-1 No, 5. w. “Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa” dalam Suara Ansor, Rajab 1360 Th,IV No.3, ditulis dengan nama Banu Asya’ri.
42
x. “Pendidiakn Ketuhanan” dalam Mimbar Agama Tahun 1 No,5-6, 17 Desember 1950. y. “Perguruan Tinggi Islam”, pidato menyambut berdirinya Universitas Islam Sumatra Utara di Medan 21 Juni 1952. z. “Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri”, Pidato pada pembukaan dan penyerahan PTAIN di Ypgyakarta 26 September 1951. aa. “Pentingnya Terjemahan Hadis pada Masa Pembangunan”, termuat sebagai kata sambutan dalam kitab Terjemahan Hadis Bukhari (1953) diterbitkan Fa, Widjaja: Jakarta. bb. “Tuntutan Berfikir”, kata pendahuluan agenda Kementerian Agama 1951-1952. cc. “Islam: anatara Materialisme dan Mistik”, ceramah pada malam purnama sidi kamis malam, 4 Desember 1952, di Jl. Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Diambil dengan tulisan cepat oleh Abd. Halim. dd. “Sekitar Pembentukan Kementerian Agama RIS” dalam Mimbar Agama Tahun 1 No.3-4, Maret-April 1951. ee. “Kedudukan Islam di Indonesia”, nota tentang Peneranmgan Agama (1959). ff. “Tugas Pemerintah Terhadap Agama”, pidato yang diucapakan dalam konferensi Kementerian Agama dalam pengurus-pengurus besar organisasi Islam non-politik, Jakarta 4-6 November 1951. gg. “Membangkitkan Kesadaran Beragama”, Pidato diucapkan dalam sidang resepsi konferensi Kementerian agama di Bandung 21-22 Januari 1951.
43
hh. “Perbaikan Perjalanan Haji” dalam Mimbar Agama Tahun 1 No.2, 17 Agustus 1951. ii. “Laporan Perjalanan ke Jepang”, dikemukakan kepada P.h.I. Kementerian Agama dan Pemerintah 1952. jj. “menyelapkan yang Kolot” dalam Majalah Suara Muslimin Indonesia, 1 Juni 1944. kk. “ Kebangkitan Dunia Islam” dalam Suara Muslimin Indonesia, 15 Agustus 1944, Th.Ke-2,No. 16 (Abu Bakar, 2011:378-772 dan Rifa’I, 2010, 42-46).
44
BAB III MENGENAL PONDOK PESANTREN DAN PEMIKIRAN PEMBAHARUAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN MENURUT KH. ABDUL WAHID HASYIM
A. Sejarah Pondok Pesantren Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18. Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren juga memiliki akar sejarah yang jelas. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal dengan Syaikh Magribi (Saifuddin Zuhri, 2010:134). Akan tetapi data-data historis tentang bentuk institusi, materi, metode maupun secara umum sistem pendidikan pesantren yang dibangun Syaikh Maghribi tersebut sulit ditemukan hingga sampai sekarang. Tidaklah layak untuk segera menerima kebenaran informasi tersebut tanpa virifikasi yang cermat. Namun secara esensial dapat diyakinkan bahwa wali yang berasal dari Gujarat ini memang telah mendirikan pesantren di Jawa sebelum wali lainnya. Pesantren dalam pengertian hakiki, sebagai tempat pengajaran para santri meskipun bentuknya sangat sederhana telah dirintasnya, lebih dari itu kegiatan mengajar santri menjadi bagian terpadu dari misi dakwahnya. Kalau berbicara tentang perkembangan ajaran Islam dalam masyarakat Indonesia, maka perlibatan pesantren menjadi suatu keniscayaan yang sama sekali tidak dapat diabaikan, pesantren sejak awal kemunculannya memang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Lembaga ini tumbuh dan berkembang
44
45
dari
dan
untuk
masyarakat.
Ia
hadir
untuk
mengabdikan
dirinya
mengembangkan dakwah Islam dalam pengertian luas. Pesantren telah diakui sebagai lembaga yang telah ikut serta mencerdaskankan bangsa. Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, dimana kiai, ustad, santri dan pengurus pesantren hidup bersama dalam satu lingkungan pendidikan berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaannya (Malik, 2005:3) Pondok Pesantren walaupun dikategorikan sebagai
lembaga
pendidikan tradisional
mempunyai sistem pengajaran,
kurikulum tersendiri, dan itu menjadi ciri khas pondok pesantren 1. Metode Pengajaran di Pesantren Ada beberapa metode pengajaran yang menjadi ciri utama pembelajaran di pondok pesantren salafiyah. a. Bandongan Metode bandhongan dilakukan dengan cara kiai/guru membacakan teks-teks kitab yang berbahasa Arab, menerjemahkan ke dalam bahasa lokal, dan sekaligus menjelaskan maksud yang terkandung dalam kitab tersebut. Sedangkan santri menyimak dan menulis arti kitab yang dibacakan oleh kiai. Dalam metode bandongan ini, hampir tidak pernah terjadi diskusi antara kiai dan santri (Pradjarta, 1999:149-150). Metode Bandongan dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik atau santri, untuk mendengarkan dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Seorang kyai atau ustadz dalam hal ini membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harakat
46
(gundul). Sementara itu santri dengan memegang kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhabithan harakat, pencatatan simbolsimbol kedudukan kata, arti-arti kata langsung dibawah kata yang dimaksud, dan keterangan-keterangan lain yang dianggap penting dan dapat membantu memahami teks. Posisi para santri pada pembelajaran dengan menggunakan metode ini adalah melingkari dan mengelilingi kyai atau ustadz sehingga membentuk halaqah (lingkaran). Dalam penterjemahannya kyai atau ustadz dapat menggunakan berbagai bahasa yang menjadi bahasa utama para santrinya, misalnya: bahasa Jawa, Sunda, atau bahasa Indonesia. b. Sorogan Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, yang dimaksudnya disini menyodorkan kitab di hadapan kiai. Sorogan adalah semacam metode CBSA (cara belajar siswa aktif) yang santri aktif memilih kitab, biasanya kitab kuning, yang akan dibaca, kemudian membaca dan menerjemahkannya dihadapan kiai, sementara itu kiai mendengarkan bacaan santrinya dan mengoreksi bacaan atau terjemahannya jika diperlukan (Pradjarta, 1999:149-150). Sistem
sorogan
ini termasuk belajar
secara
individual, dimana
seorang santri maju satu per satu untuk membaca dan menguraikan isi kitab di hadapan guru atau Kiai. Metode pengajaran ini termasuk metode pengajaran yang sangat bermakna karena santri akan merasakan hubungan langsung dengan kiai. Santri tidak saja dibimbing dan
47
diarahkan cara membacanya tetapi dapat di evaluasi perkembangan kemampuan membaca kitab. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab. Dalam metode sorogan, santri membaca kitab kuning dan memberi makna sementara guru mendengarkan sambil memberi catatan, komentar, atau bimbingan bila diperlukan. Akan tetapi, dalam metode ini, dialog antara guru dengan murid belum tentu atau tidak terjadi. Metode sorogan, diduga sangat kuat merupakan tradisi pesantren, mengingat sistem pengajaran di pesantren memang secara keseluruhan. Hal ini lagi-lagi menunjukkan ciri khas pondok pesantren dengan mempertahankan tradisi warisan masa lalu yang cukup jauh. c. Metode Bahtsul Masa`il Metode Bahtsul Masa`il merupakan pertemuan ilmiyah, yang membahas masalah diniyah, seperti ibadah, aqidah dan masalah agama pada umumnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metode musyawarah. Hanya bedanya, pada metode Bahtsul Masa`il pesertanya adalah para kyai atau para santri tingkat tinggi. Dalam forum ini, para santri biasanya membahas dan mendiskusikan suatu kasus di dalam masyarakat sehari-hari untuk kemudian dicari pemecahanannya secara fiqih (yurisprudensi Islam). Pada dasarnya santri tidak hanya belajar memetakan dan memecahkan suatu permasalahan hukum yang
48
perkembang dimasyarakat, namun dalam forum ini para santri juga belajar berdemokrasi dengan menghargai pluralitas pendapat yang muncul dalam forum (Dian Nafi’ dkk, 2007:69). d. Metode Musyawaroh Metode musyawaroh ini pertama kali di lakukan oleh Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Dan metode musyawarah banyak dijumpai di pondok pesantren salafiyah. Metode ini dilaksanakan dalam rangka pendalaman atau pengayaan materi-materi yang sudah dipelajari santri (kitab-kitab kuning). Yang menjadi ciri metode ini, santri dan guru biasanya terlibat debat dalam sebuah forum perdebatan untuk memecahkan masalah yang ada. Dalam musyawarah ini santri diperkenankan berdebat secara babas asal tetap memiliki kerangka acuan yakni kitab-kitab utama (Ali Yahya, 2007:16). Kegiatan musyawarah adalah merupakan aspek dari proses belajar dan
mengajar di pesantren salafiyah yang telah menjadi tradisi
khususnya bagi santri-santri yang mengikuti sistem klasikal. Kegiatan ini suatu keharusan bagi para santri, sama halnya seperti keharusan mengikuti kegiatan belajar kitab-kitab dalam proses belajar mengajar. Bagi santri yang tidak mengikuti atau mengindahkan peraturan kegiatan musyawarah, akan dikenai sangsi, karena musyawarah sudah menjadi ketetapan pesantren yang harus ditaati untuk dilaksanakan. Beberapa metode
diatas banyak
diterapkan
di pondok-pondok
pesantren, dan antara metode yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan erat dan mempunyai kelemahan serta kelebihan masing-masing,
49
sehingga
pondok-pondok
pesantren
sampai
sekarang
masih
mempertahankan metode tersebut, dan itu menjadi lambang supremasi serta ciri khas metode pengajaran di Pondok Pesantren. Metode-metode pembelajaran tersebut tentunya belum mewakili keseluruhan dari metodemetode pembelajaran yang ada di pondok pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga pendidikan pesantren. 2. Kondisi Pesantren di Indonesia a. Keadaan Pesantren sebelum kemerdekaan Perkembangan Islam di Indonesia tidak akan luput dari peran pesantren, dalam perkembangannya, sejarah pendidikan di Indonesia mencatat bahwa pondok pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan pribumi yang tertua di Indonesia. Pondok Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambilalihan dari sistem pondok pesantren yang di adakan orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Nusantara, lembaga pendidikan pondok pesantren pada masa ini, di gunakan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu. Fakta lain yang menunjukkan bahwa pondok pesantren bukan berasal dari tradisi Islam, buktinya tidak di temukan lembaga pondok pesantren di Negara-negara Islam lainya.(Depag, 2003-8) Menurut Nur Cholish Madjid (1997:3) Kalau kita mencari lembaga pendidikan yang indigenous, asli Indonesia dan berakar kuat dalam masyarakat tentu kita akan menempatkan pesantren di tangga teratas. Sebab, dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna
50
keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup Madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1984:41,dan Zuhairini 2010:149) Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik tidak saja karena keberadaannya sudah mapan yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode dan jaringan yang di terapkan oleh lembaga agama tersebut. Pesantren berwatak tidak larut atau menentang budaya di sekitarnya. Yang jelas pesantren selalu kritis sekaligus membangun relasi harmonis dengan kehidupan di sekelilingnya.Pesantren hadir meminjam istilah Abdurrahman Wahid (2007:88) sebagai subkultur,
51
budaya sandingan, yang selaras dengan budaya setempat sekaligus tegas menyuarakan prinsip syari’at. Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial Belanda yang berbasis pada dunia pesantren. Pesantren sebagai sebagai lembaga pendidikan keagamaan memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Ketika lembaga-lembaga sosial yang lain belum berjalan secara fungsional, maka pesantren menjadi pusat aktivitas sosial masyarakat, mulai orang belajar ilmu agama sampai pada menyusun perlawanan terhadap kaum penjajah. Dunia pesantren tidak lagi hanya mementingkan denyut aspirasi orangorang dalam lingkungan dindingnya, tetapi turut melangkah ke luar melangkah
keluar
menyertai
saudara-saudara
yang
senasib
sepenanggungan. Pesantren bukan hanya berfungsi semacam benteng yang diam ditempat, akan tetapi juga berfungsi semacam “benteng stelselnya” de Kock ketika menghadapi perang Diponegoro. Ia ikut mengambil
peranan
sebagai
benteng
yang
bergerak.(Saifuddin
Zuhri,2007:124-125), semua dilakukan di pesantren yang pimpin seorang kiai. Figur kiai tidak hanya menjadi pemimpin agama tetapi sekaligus juga pemimpin gerakan sosial politik masyarakat. Karena pesantren memiliki akar yang kuat untuk menjadi basis perjuangan rakyat. Di samping mempunyai jaringan sosial yang kuat dengan masyarakat, pesantren juga memiliki jaringan yang kuat sesama pesantren, karena sebagian besar pengasuh pesantren tidak saja terikat
52
kesamaan pola pikir, paham keagamaan, tetapi juga memilik hubungan intelektual
dan
kekerabatan
yang
cukup
erat.(Zamakhsari
Dhofir,1982:62). Hal ini yang menyebabkan kohesifitas dunia pesantren menjadi sangat kuat adalah adanya kesamaan ideologi. Hampir semua pesantren di Indonesia mempunyai kesamaan referensi dengan metode pengajaran dan pemahaman keagamaan yang sama pula. Kekuatan jaringan pesantren ini banyak ditentukan oleh para kiai. Sejak abad ke-17 jaringan antara kiai di Jawa dengan ulama di dua kota suci, Makkah dan Madinnah sangat kuat. Mata rantai keilmuan para kiai di Jawa dan Nusantara dapat dilacak sampai kepada para ulama di Haramain. Jaringan keilmuan yang kuat ini menempatan pesantren di Nusantara sebagai lembaga yang diperhitungkan didunia Islam. Mata rantai keilmuan ini menepis anggapan bahwa jaringan ulama di Nusantara dan timur tengah bercorak politis ketimbang keagamaan. Menurut Azra setidaknya sejak abad ke-17 hubungan di antara kedua wilayah Muslim ini umumnya bersifat keagamaan dan keilmuan, mesti juga terdapat hubungan politik antara beberpa kerajaan Muslim nusantara.(Azyumardi Azra, 1995:16-17). Azra juga menjelaskan bahwa ajaran Islam yang berkembang di Nusantara, termasuk pesantren-pesantren, memiliki kekhasan lokal dalam pembelajaran dan pemasyarakatan, sekaligus keilmuan dan keagamaan, yang diakui di dunia Muslim lainnya. Jaringan ini juga memberikan manfaat tersedianya guru di pesantren-
53
pesantren nusantara. Pesantren kemudian memiliki jumlah guru yang sebagian besar dari lulusan timur tengah. Meski pesantren menjadi basis perjuangan terhadap kaum penjajah, namun
dia
tidak
menanamkan
ideologi
fundamentalis
yang
mengesahkan tindakan kekerasan. Hal ini dibuktikan dengan kitab-kitab yang dipelajari, dan sistem nilai yang diterapkan oleh dunia pesantren. Dunia pesantren pada umumnya hanya menerapkan kajian pada ilmuilmu terapan seperti fiqih, tassawuf dan ilmu alat: terutama gramernya Bahasa Arab (nahwu-sharaf) karena tata bahasa Arab diuraikan dengan cara yang tidak begitu mudah, lamanya
belajar untuk ilmu nahwu
sharaf ini bisa berbeda yaitu dari enam bulan sampai dengan enam tahun lebih, kadang tergantung kiai dan bakat santri (Karel A.Streenbrink, 1991:23). Pesantren tidak mengajarkan pemahaman keislaman yang radikal tetapi Islam yang kultural, hal inilah yang menyebabkan pesantren bisa diterima oleh masyarakat karena dianggap menampilkan Islam yang lebih toleran dan fleksibel, mengerti perasaan dan jiwa masyarakat. Bukti pemahaman keislaman dunia pesantren yang toleran, inklusif dan tidak radikal tercermin dalam penerapan kaidah fiqih produk ulama abad pertengahan, seperti almukhafadzatu ‘ala qadiimisshalih wal akhdzu bi jadiidil ashlah (menjaga nilai yang lama yang baik dan mengambil nilai yang baru yang lebih baik). Kaidah ini mencerminkan adanya toleransi kalangan pesantren terhadap nilai-nilai dan tradisi yang ada. Di lain sisi pesantren tidak mudah terjebak dalam sikap puritan dan
54
simbolik. Pesantren juga menggunakan kaidah dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan harus di dahulukan daripada berniat kebaikan). Inilah beberapa kaidah yang di anut oleh kalangan pesantren dalam mensosialisasikan pemahaman keagamaan yang rahmatalilalamin. Dengan paham ini, pesantren terbukti dapat menjadi sumber kekuatan dalam melawan penjajah. Perlawanan terhadap kaum penjajah dilakukan dengan cara-cara kultural yakni membangun budaya tandingan (counter culture) yang efektif, menanamkan kesadaran keislaman yang nasionalistik. Perjuangan dengan cara kekerasan dilakukan sebagai alternatif yang terakhir dengan pertimbangan yang matang, sebagaiman terjadi di Surabaya pada tanggal 10 november 1945 dengan seruan Resolusi Jihad yang dikeluarakan oleh KH. Hasyim Asyari. b. Keadaan Pesantren Pasca kemerdekaan Dalam perkembangan pasca kemerdekaan pesantren berhadapan dengan arus modernisme. Akibatnya terjadi perubahan format, bentuk, orientasi dan metode pengajajaran dalam dunia pesantren. Namun demikian perubahan tersebut tidak sampai berubah visi, misi, dan orientasi pesantren. Dapat dikatakan, perubahan tersebut hanya pada sisi luarnya saja, sementara itu pada sisi dalam, yaitu ruh, semangat, pemahaman keagamaan, nila-nilai tradisi dan ideologi pesantren masih tetap dipertahankan. Zaman sudah demikian maju, dunia terus
55
berkembang, teknologi dan modernisasi terus berjalan merasuk ke segala lini, termasuk pesantren didalamnya. Pada masa ini, Mujamil Qomar (2011:13) mengatakan pesantren merasakan nuansa kebebasan. Kemerdekaan merupakan momentum bagi seluruh sistem pendidikan untuk berkembang lebih bebas, terbuka, dan demokratis. Dunia pesantren menyambut munculnya pendidikan baru yang belum dirasakan sebelumnya akibat tekakanan-tekanan politik penjajah. Mereka bersemangat mendorong anak-anak usia sekolah agar menempuh pendidikan. Akan tetapi pemeritahan yang baru merdeka, masyarakat dan pemerintah lebih mengutamakan sekolahsekolah dan pendidikan tinggi modern. Akibatnya pesantren mengalami stagnasi. Baru awal tahun 2001 pemerintah menyadari pentingnya potensi
yang
dimiliki
pesantren
untuk
menyantuni
kebutuhan
pendididikan bagi generasi muda pendesaan dan pinggiran kota (Zamakhsari Dhofier, 2009:65). Eksistensi pesantren di masyarakat tidak dianggap biasa. Pesantren reputasi
yang
cukup
baik
dalam
memberi
kontribusi
bagi
pengembangan pendidikan bangsa. Namun, kini reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren sekarang ini berada jauh dari realitas sosial. Terkadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan pendidikan lainnya dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi dan kasus yang paling terakhir tentang terorisme. Dunia
56
pesantren mengalami titik mengkhawatirkan dari kasus paling mutakhir ini adalah identifikasi pesantren sebagai basis doktrin terorisme dan sarang teroris. Menghadapi situasi yang demikian, diperlukan kearifan dan kekritisan dan mensikapi sebuah realitas. Pesantren tidak perlu menepis isu keterkaitan teroris dengan dunia pesantren, dengan cara menutup diri terhadap segala upaya penyelidikan dan tindakan hukum. Yang perlu dilakukan adalah melakukan klarifikasi secara intensif terhadap masyarakat bahwa pesantren mereka tidak memiliki keterkaitan dengan ideologi kekerasan, kemudian aktif bertindak melawan segala bentuk kekerasan. Dengan demikian masyarakat akan tahu pesantren mana yang memiliki ideologi Islam radikal dan Islam toleran, inklusif. Dalam sejarah Indonesia pesantren telah berhasil menjadi bagian penting dalam pembentukan idelogi Negara dan karakter bangsa yang dapat membangun harmoni, baik dalam intra-agama maupun antaragama. Melalui sosok KH. Abdul Wahid Hasyim dalam konstituante, kalangan pesantren menjadi kelompok yang dapat menerima pancasila sebagai jalan tengah di tengah pertentangan ideologi Negara. Alasannya prinsip-prinsip Pancasila tidak bertentangan dengan dasar agama Islam, lebih dari itu pancasila dapat mempersatukan semua eleman bangsa (Zuhairi
Misrawi,
menjadikan penyimpangan
2011:7).
pesantren dari
Lebih
sebagai
nilai-nilai
toleransi dan kemuliaan.
lanjut
Misrawi
mengatakan
kaderisasi
teroris
merupakan
kepesantrenan
yang
mengajarkan
57
B. Pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim di Bidang Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren Sebagai seorang pendidik KH. Abdul Wahid Hasyim termasuk seorang pembaharu dalam lingkungan Madrasah dan pesantren. Bagi KH. Abdul Wahid Hasyim, metode sekolah dapat diterapkan dalam pembaharuan pesantren tanpa menghilangkan kepribadian yang menjadi ciri khas Madrasah dan pesantren. Pembaharuannya dilakukan secara bijaksana dengan menanamkan pengertian serta kesadaran tentang arti penting pengorganisian (manajemen) yang baik. Pesanten sebagai dunia santri berbeda dengan perguruan tinggi atau sekolahan. Pesantren juga bukan sekedar asrama pelajar. Pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang telah mempunyai tradisi tersendiri. Pesantren inilah yang menimbulkan salah satu inspirasi bagi Ki Hajar Dewantara tatkala mencetuskan idenya membangun Perguruan Taman Siswa (Haidar, 2009:74). Salah satu ciri tradisi pesantren yang masih kuat dipertahankan di sebagian besar pesantren adalah pengajian kitab salaf. Kitab salaf yang lebih dikenal di kalangan luar pesantren dengan sebutan kitab kuning, merupakan kitab-kitab yang disusun para sarjana Islam abad pertengahan. Kitab-kitab tersebut dalam konteks penyusunan dan awal penyebarluasannya merupakan karya intelektual yang tidak ternilai harganya dan hanya mungkin disusun oleh ulama jenius dalam tradisi keilmuan dan kebudayaan yang tinggi pada jamannya. Isi yang disajikan kitab kuning hampir selalu terdiri dari dua komponen; pertama matan dan kedua syarah. Matan adalah isi inti yang akan dikupas oleh syarah. Dalam lay out-nya, matan diletakkan di luar garis segi empat yang mengelilingi
58
syarah. Lembaran-lembarannya dapat dipisah-pisahkan sehingga lebih memudahkan pembaca untuk menelaahnya. Pikiran-pikiran beliau berkarakter progresif dan berjangkauan luas ke depan. Hal ini tampak dari perspektifnya mengenai ilmu pengetahuan dan juga dari praktik mendidik putra-putrinya. Berbeda dari kebanyakan santri jebolan pesantren lainnya, KH. Abdul Wahid Hasyim yang bahkan lahir dan tumbuh dari keluarga pesantren, beliau melihat pentingnya ilmu umum dan penguasaan bahasa asing selain Bahasa Arab yang diwajibkan bagi para santri. Sejalan dengan pandangannya itu semua putra-putrinya dimasukkan ke lembaga pendidikan modern, tanpa meninggalkan pengetahuan agama, yang merupakan basis intelektual dan kultural yang ditekankannya. Berbekalkan ketajaman nalar dan semangat berjuang untuk membela umat, KH Wahid Hasyim
melakukan langkah-langkah perubahan besar di tengah-tengah
masyarakat yang masih diwarnai oleh suasana tradisional. KH. Abdul Wahid Hasyim adalah orang yang berani dan telah melakukan lompatan berpikir yang amat jauh, keluar dari sarang tradisi masyarakatnya, lalu masuk ke dalam dunia modern, bahkan terlampau fenomenal untuk ukuran pada saat itu. Menelaah pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim terkait pembaharuan sistem pendidikan pesantren adalah sangat sulit. Hal ini karena minimnya leteratur yang ada. Namun terlepas dari itu, penulis mencoba dengan maksimal untuk merumuskan pembaharuan yang di lakukan KH. Abdul Wahid Hasyim dalam beberapa sub-tema, yaitu:
59
1. Aspek Metode Sebagai langkah awal ia mengusulkan perubahan metode pengajaran di pondok pesantren kepada ayahnya. Madrasah Nizamiah, yang dibentuk pada tahun 1934, menjadi terobosan bagi KH. Abdul Wahid Hasyim untuk melakukan perubahan secara radikal, yang mana belum dilakukan oleh pondok lain. Ketika itu KH. Abdul Wahid Hasyim, baru berusia 19 tahun saat ia kembali dari menempuh sekolah di Makkah (KPG Tempo, 2011:65) begitu pulang, ia mengusulkan kepada ayahnya untuk mengubah sistem pendidikan pesantren. Seperti sudah kita ketahui bersama bahwa ada dua metode pembelajaran yang diterapkan di pesantren yaitu sorogan dan bandongan. Pada sistem sorogan ini, antara guru dan murid samasama aktif. Guru harus mengawasi, menilai, dan membimbing secara individual kemampuan seorang santri. Di sisi lain, santri juga dituntut harus “mempresentasikan” kemampuannya dalam membaca kitab kuning face to face dengan sang kyai, dalam hal lain seorang santri harus selalu siap untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kiai atau santri lain. (Ridlwan Nasir, 2005:113). Sistem sorogan merupakan bagian yang paling sulit dalam keseluruhan sistem pendidikan di pesantren karena menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari santri. Tetapi, sistem ini dinilai juga efektif untuk menyiapkan santri yang mumpuni karena mendapatkan bimbingan langsung dari para gurunya. Metode ini juga menyimpan beberapa kelemahan, diantaranya adalah ketika tidak terjadi dialog antara murid dan guru. Murid menjadi pasif.
60
Kegiatan belajar belajar mengajar terpusat pada guru. Akhirnya, daya kreativitas dan aktivitas murid menjadi lemah. Dalam hal ini, guru tidak segera memperoleh umpan balik tentang penguasaan materi yang disampaikan. Maka, untuk hal yang terakhir ini, guru menyediakan sekurang-kurangnya waktu dan kesempatan kepada murid untuk bertanya. Metode sorogan merupakan kegaiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individu). Sedangkan sistem yang kedua yaitu bandongan, seorang guru akan membacakan, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas sebuah kitab kuning di hadapan sekelompok santri (jumlahnya bisa tak terbatas, antara 5 sampai 500) yang mendengarkan dan menyimak penjelasan tersebut sambil memberi catatan pada kitab miliknya sendiri (Depag, 2003:40). Metode bandongan ini merupakan metode ceramah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan. Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika jumlah murid cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang harus disampaikan cukup banyak. Metode Bandongan disebut juga dengan metode wetonan. Metode ini, berbeda dengan metode sorogan. Metode Bandongan dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri, untuk mendengarkan dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Pada sistem bandongan atau wetonan, seorang santri tidak harus
61
menunjukkan bahwa dia mengerti pelajaran yang dihadapi. Para kyai biasanya membaca dan menerjemahkan kalimat-kalimat secara cepat sehingga terkadang sebuah kitab pendek dapat khatam dalam beberapa minggu saja. Oleh karena itu, sistem ini hanya efektif bagi santri-santri “senior” yang telah mengikuti sistem sorogan secara intensif. Penggunaan metode bandongan ini digugat oleh KH. Abdul Wahid Hasyim sebagai bagian dari ide pembaharuan yang digulirkannya untuk merombak sistem pendidikan pesantren. Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim, sistem bandongan menutup rapat pintu kreativitas dan inisiatif santri karena hanya berlangsung satu arah. Santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan menghafal mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau diskusi (Azis Masyhuri, 2008:23). Dialog antara kyai dan santri menjadi sesuatu yang “tabu” dalam metode bandongan ini. Sebagai pengganti metode bandongan ini, KH. Abdul Wahid Hasyim menawarkan sebuah metode baru yaitu metode tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian santri. KH.A Wahid Hasyim menjelaskan usul perubahan itu karena mayoritas santri yang belajar di lembaga-lembaga pesantren tidak bertujuan untuk menjadi ulama (Zamakhsari Dhofier, 1984:105, Azis Masyhuri, 2008:22). Akan tetapi tidak ada penjelasan yang lebih jauh yang diberikan oleh KH. Abdul Wahid Hasyim mengenai metode tutorial ini. Namun, kiranya bisa disimpulkan bahwa metode tutorial dilakukan dengan cara memberikan
62
bimbingan khusus kepada para santri, terutama kepada para santri yang mengalami kesulitan belajar. Sedangkan Ridlwan (2005:112) mengatakan tutor adalah guru yang mengajar di rumah, guru privat, atau guru yang mengajar sekelompok murid diperguruan tinggi atau pondok. Metode ini tidak harus dilakukan oleh guru/kyai secara langsung, tetapi juga bisa dilakukan oleh para santri senior selaku pengganti dari guru/kyai. Dengan metode ini, para santri dibiasakan untuk terlibat dalam diskusi intensif dengan para tutornya. Selain itu, nampaknya dengan menerapkan sistem ini, KH. Abdul Wahid Hasyim berharap dapat mengurangi hubungan patron-klien yang masih sangat kuat di antara kyai/guru dan santri. Perubahan metode pengajaran merupakan kemajuan yang luar biasa yang terjadi pada pesanten ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis, dimana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar, pendapat guru bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga kendapatnya dapat dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri (murid) dan proses belajar mengajar berorientasi pada murid sehingga potensi yang dimiliki akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri. Dalam proses pembelajaran murid tidak hanya dijadikan objek pendidikan akan tetapi ia dijadikan subjek pendidikan itu sendiri. Sedangkan Guru memposisikan diri sebagai motivator, dan fasilitator dalam proses pembelajaran.
63
2. Mendirikan Madrasah Nizhamiyah Meski tidak pernah mengenyam pendidikan modern, wawasan berfikir
KH. Abdul Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Ia mewarisi
khazanah intelektual sang ayah dengan cara yang paling baik. Beliau mampu mengembangkan diri jauh melebihi rekan-rekannya
yang
mendapatkan pendidikan formal. Ia membangun pergaulan yang amat luas, merintis dan memimpin organisasi sosial dan politik, terlibat dalam gerakan kemerdekaan, hingga menjadi menteri agama yang pertama di Republik ini. Hal ini dapat diduga sebagai hasil dari luasnya bacaan beliau, sebagaimana telah kita ketahui, wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Tidak semua ide perubahan KH. Abdul Wahid Hasyim untuk mengubah sistem pendidikan di pesantren ditolak oleh KH. Hasyim Asy’ari. Salah satu ide pembaharuan yang didukung oleh ayahnya adalah pendirian Madrasah Nidhomiyyah (Ali Yahya, 2007:13). Madrasah ini dirancang layaknya “sekolah modern” dengan sistem klasikal dimana 70% muatan kurikulumnya adalah pengetahuan umum sedangkan 30% sisanya adalah ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu-ilmu umum yang diajarkan di Madrasah Nidhomiyah antara lain aritmatika, sejarah, geografi, dan ilmu alam. Selain itu, seiring dengan pendirian Madrasah Nidhomiyah, KH. Abdul Wahid Hasyim juga mulai memperkenalkan kursus-kursus pidato, bahasa Indonesia, bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan ketrampilan mengetik. Meskipun terlihat sepele, pada masa itu keterampilan tersebut sangat dibutuhkan agar setelah lulus dari pesantren para santri bisa berkarya di
64
segala bidang, tidak terbatas hanya pada bidang keagamaan saja. Keberanian KH. Abdul Wahid Hasyim menawarkan ide pembaharuan dalam sistem pendidikan di pesantren membuahkan hasil yang memuaskan. Secara kuantitatif, pertumbuhan Madrasah yang pesat dengan hasil yang membanggakan, jumlah santri Pesantren Tebuireng mengalami peningkatan drastis, mulai dari 28 orang santri pada 1889, meningkat jadi 200 orang pada akhir 1910-an, dan 10 tahun berikutnya melonjak hampir mencapai 2000 santri (Zamakhsari Dhofier, 1984:106). Pada awalnya perhatian orang terhadap Madrasah ini tidak begitu besar. Hanya ada satu kelas dengan jumlah muridnya 29 anak, termasuk adiknya sendiri, A. Karim Hasyim. Ternyata manfaatnya makin lama makin dirasakan masyarakat. Ide pembaharuan yang digulirkan KH. Abdul Wahid Hasyim ini juga membawa efek domino kepada pesantren-pesantren lain yang mulai mengadopsi sistem yang digagas oleh KH. Abdul Wahid Hasyim tersebut. Sejak saat itulah, Pesantren Tebuireng semakin dikenal sebagai pusat pendidikan bagi kader-kader Nahdlatul Ulama. 3. Pembaharuan Institusi Pada sebuah lembaga pendidikan, kurikulum merupakan salah satu komponen utama yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolak-ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan. Kurikulum merupakan program pendidikan sekolah yang disediakan untuk siswa. Kurikulum pesantren dalam hal ini pesantren “salaf”, hanya mempelajari agama,
65
bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang-bidang studi: Tauhid, Tafsir, Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Tashawuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balagah, dan Tajwid), Mantiq, dan Akhlak, yang kesemuanya dapat digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu: 1) kitab dasar, 2) kitab menengah, 3) kitab besar. Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, tingkat menengah, dan tingkat lanjut. Setiap kitab bidang studi memiliki tingkat kemudahan dan kompleksitas pembahasan masing-masing, sehubungan dengan itu, maka evaluasi kemajuan belajar pada pesantren juga berbeda dengan evaluasi dengan jenis pendidikan lainnya. Saat itu, KH. Abdul Wahid Hasyim menerapkannya sistem klasikal di Pondok Pesantren Tebuireng, yaitu dengan dikenalkannya sistem Madrasah Nidzamiyah, karena itu ia dikenal sebagai perintis pendidikan dan pendidikan modern di dunia pesantren (Masyhuri, 2008:16) mau tak mau pengayaan metodologi tidak lagi sebatas yang sudah dikenal di kalangan
Pondok.
Hal
itu
disebabkan
karena terpengaruh
oleh
perkembangan hidup modern yang bagi KH. Abdul Wahid Hasyim harus menuntut orang maupun lembaga
untuk menyesuaikan
diri
dengan
perkembangan tersebut. Karena itulah cara yang bisa ditempuh agar di Pondok Pesantren tetap bisa digandrungi oleh masyarakat. Artinya dengan memadukan pola pendidikan tradisional dengan pola pendidikan modern. Selain mendirikan Madrasah KH. Abdul Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam, beliau Mendirikan
66
Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga. Jasa lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir. Lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN 4. Mencetak Santri yang Ideal Sebagai seorang pendidik agama, fokus utama pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut KH. Abdul Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas manusia Muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkreatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, Manusia Muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai seseorang putra kiai besar, yang terlahir dalam lingkungan pendidikan pondok pesantren, KH. Abdul Wahid Hasyim sangat menyadari bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Islam haruslah melalui pendidikan. Bagi KH.A. Wahid Hasim, dunia pesantren bukanlah hal asing. Dunia pesantren justru paling berkesan
67
dalam seluruh proses perjalanan hidupnya. Penjelajahannya di berbagai pesantren menjadikan dirinya begitu paham karekter dan keunggulan masing-masik pesantren yang satu dengan lain dengan spesifikasinya masing-masing (Azis Mashyuri, 2008: 14-15). Namun, KH. Abdul Wahid Hasyim juga menyadari bahwa pendidikan agama saja tidaklah cukup. Harus pula diimbangi dengan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan “obsesi” KH. Abdul Wahid Hasyim yang ingin mendudukkan kaum santri (pelajar Islam) dalam posisi yang sejajar dengan yang lainnya. Dia tidak ingin melihat santri dipandang sebagai “intelektual kelas dua” dan dianggap hanya bisa jadi modin oleh masyarakat. Dalam pandangan KH. Abdul Wahid Hasyim, tidak semua santri yang belajar di pesantren harus dan akan menjadi ulama semua. Seorang santri juga harus menguasai ilmuilmu umum sehingga mampu berkiprah di berbagai bidang dalam kehidupannya. Oleh karenanya, tidak seluruh santri di pesantren harus mempelajari bahasa Arab dan kitab-kitab kuning dengan terlalu intensif. Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim, hal tersebut dinilai memboroskan waktu saja karena pada akhirnya mereka tidak akan menjadi ulama semuanya. Pengajaran kitab-kitab kuning dalam bahasa Arab hendaknya terbatas bagi sejumlah kecil santri yang memang akan dididik untuk menjadi ulama (Ali Yahya, 2007:12-13). Seorang santri, dalam perspektif KH. Abdul Wahid Hasyim, cukup mengikuti latihan kehidupan beberapa bulan di pesantren dan mempelajari Islam yang ditulis dalam kitab-kitab berbahasa Indonesia, kemudian
68
sebagian besar waktunya digunakan untuk belajar berbagai pengetahuan dan keterampilan praktis. Konsep inilah yang pada saat ini dikenal dengan istilah life skill education (pendidikan kecakapan hidup). Dan, KH. Abdul Wahid Hasyim-lah yang memperkenalkannya terlebih dahulu kepada dunia pendidikan Indonesia pada tahun 1930-an jauh sebelum istilah tersebut ditemukan. KH. Abdul Wahid Hasyim berpendapat bahwa pengajaran kitab-kitab asli Islam hendaknya terbatas bagi sejumlah santri yang memang akan dididik untuk menjadi ulama (Bakar, 2011:820-824) Meskipun ide ini pada akhirnya tidak disetujui oleh KH. Hasyim Asy’ari karena perubahan radikal seperti itu akan menciptakan kekacauan di antara sesama pemimpin pesantren, tetapi maksud dibalik usul KH. Abdul Wahid Hasyim ini dapat dipahami oleh KH. Hasyim Asy’ari (Zamakhsari Dhofier, 1984:106). Bahwa, seorang santri yang belajar di pesantren selain demi mencari ridho Allah, juga harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan berkiprah dalam kehidupannya di tengah masyarakat. Seorang santri, di samping harus bisa menjawab masalah-masalah keagamaan, juga harus bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat seperti kemiskinan dan kebodohan. Dari sini, lalu beliau menyarankan agar para santri tidak harus melulu menjadi ’ulama. Hal ini cukup beralasan dalam kenyataannya, tidak semua santri menjadi ulama. Di samping itu telah terjadi penyempitan makna ulama di pesantren, yang manganggap ulama hanya orang-orang yang menggeluti ilmu agama saja dengan merendahkan ilmu
69
keduniaan (Rifa’i, 2009:54-55). Baginya religiusitas (ke-ulama-an) dapat merasuk dalam semua aspek kehidupan ini. Membangun semua lini dengan spirit spiritualitas menjadi tujuan utama atas pendidikan Islam. Santri harus diarahkan dalam ruang ini. 5. Menjadikan Perpustakaan sebagai Elemen Penting di Pesantren. KH. Abdul Wahid Hasyim sangat menganjurkan para santri untuk belajar diluar jam pesantren. Pengetahuan sangat penting untuk alat perjuangan. Beliau mendasarkan diri pada sejarah Nabi Muhammad SAW, perintah pertama Nabi adalah ’membaca’. Kegiatan membaca harus dibarengi dengan menulis. Itulah kunci santri menjadi intelektual yang tangguh. (Rifa’i,2009:31) Melihat ini, maka sangat penting membangun budaya membaca dan menulis dikalangan umumnya untuk pemuda Indonesia, khususnya bagi generasi Nahdlatul Ulama. Proses pembangunan ini juga harus diimbangi dengan sarana prasarana penunjang, seperti, penerbitan, percetakan, Institut, Kajian kebahasaan, sekolah atau lembaga pelatihan. KH. Abdul Wahid Hasyim melihat dua kunci utama dalam pengembangan intelektualitas, yakni membaca dan menulis, dan penulis sepakat dengan hal ini. Ketika
KH.
Abdul
Wahid
Hasyim
mendirikan
Madrasah
Nidhomiyyah setelah mendapatkan persetujuan dari KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1934, dia juga mendirikan perpustakaan. Kehadiran perpustakaan di sebuah pesantren memang belum banyak pada saat itu tetapi KH. Abdul Wahid Hasyim berani mendobrak kondisi tersebut.
70
Perpustakaan dipandangnya menjadi salah satu pra syarat penting untuk mewujudkan tujuannya yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Islam. Kegemarannya membaca dan menulis nampaknya juga menjadi latar belakang idenya untuk mendirikan perpustakaan di Pondok pesantren Tebuireng. Perpustakaan yang didirikan oleh KH. Abdul Wahid Hasyim memiliki koleksi sebanyak 1000 judul buku yang kebanyakan adalah buku-buku agama Islam. Selain itu, perpustakaan itu juga berlangganan majalan dan surat kabar, seperti Panji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Islam, Al Munawarah, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan Penyebar Semangat. Dari kesebelas jurnal/majalah tersebut, hanya Berita Nahdlatul Ulama saja, yang secara konsisten mewakili pandangan kaum tradisionalis. Selebihnya merupakan jurnal/majalah yang diterbitkan oleh kalangan Islam modernis dan nasionalis (Azis Masyhuri, 2008:23). Para santri dianjurkan membaca buku, majalah, dan surat kabar sebanyak mungkin. Surat kabar yang baru dipasang di papan di halaman depan masjid sehingga memudahkan para santri untuk beramai-ramai membacanya. Dengan demikian, para santri memperoleh pengetahuan yang memadai dalam berbagai bidang seperti sosial, ekonomi, dan politik. Kesediaan KH. Abdul Wahid Hasyim untuk berlangganan majalah dan surat kabar milik kalangan Islam modernis dan nasionalis merupakan gambaran pribadinya yang progresif dan sikapnya yang toleran dalam persoalan-persoalan ideologi, sosial, dan politik.
71
BAB IV ANALISIS RELAVANSI PEMBAHARUAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN MENURUT KH. ABDUL WAHID HASYIM TERHADAP PENDIDIKAN PESANTREN DI INDONESIA MASA SEKARANG
A. Tinjauan Tentang Sistem Pendidikan Pesantren Pesantren merupakan bagian dari sistem pendidikan tertua khas Indonesia. Ia merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pencita ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai demensi. Dari awahnya, sebagai obyek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan lain sebagainya. Sehingga kita melihat pesantren sebagai sistem pendidikan Islam di negeri ini yang kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia seutuhnya. Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotivasi kader ulama dalam misi dan fungsinya sebagai warasat al anbiya (Syatibi,2006:19). Hal tersebut terus dipertahankan agar pesantren tidak tercerabut dari akar utamanya yang telah melembaga selama ratusan tahun. Bahwa kemudian muncul tuntutan modernisasi pesantren, sebagai dampak dari modernisasi pendidikan pada umumnya, tentu hal itu merupakan suatu yang wajar sepanjang menyangkut aspek teknis operasional penyelenggaraan pendidikan. Jadi, modernisasi tidak kemudian membuat pesantren terbawa arus sekularisasi karena ternyata pendidikan sekuler yang sekarang ini menjadi tren, dengan
71
72
bingkai pendidikan modern, tidak mampu menciptakan generasi mandiri. Sebaliknya, pesantren yang dikenal dengan tradisionalnya justru dapat mencetak lulusan yang berkepribadian dan mempunyai kemandirian. Pondok pesantren yang tersebar di pelosok-pelosok kepulauan nusantara, turut pula menyumbangkan darma bakti dalam usaha mulia “character building” bangsa Indonesia. Perjalanan panjang sejarah pesantren di Indonesia di tengah kebijakan Pendidikan Nasional sejak masa penjajahan hingga era awal pemerintahan orde baru membawa pesantren pada posisi termarjinalkan. Sehingga jika dikatakan, seandainya Indonesia tidak pernah dijajah, pondok pesantren-pondok pesantren tidaklah begitu jauh terperosok ke daerah-daerah pedesaan yang terpencil seperti sekarang, melainkan akan berada di kota-kota atau pusat kekuasaan dan ekonomi, sebagaimana terlihat pada awal perkembangan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan agama yang amat kosmopolit dan tentunya pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh oleh pondok pesantren. Sehingga perguruan tinggi di Indonesia meminjam istilahnya Norcholish Madjid (1997:1) mungkin akan terwujud dari universitas Tremas, Krapyak, Al-Muayyad, Tebuireng, Lasem dan sebagainya. Sistem pendidikan Islam berkembang di Indonesia sudah berkembang sejak Walisanga datang ke Indonesia. Akan tetapi dalam perkembangan dipengaruhi oleh aliran atau faham perkembangan sistem pendidikan barat. Pengaruhnya terhadap pendidikan Islam terbukti mengakibatkan sistem pendidikan Islam terbukti mengakibatkan sistem pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan islam, yaitu untuk membentuk manusia
73
yang taqwa yang melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi laranganNya Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat
berhak
berperan
serta
dalam
perencanaan,
pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistendi dan keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan. Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: 1. Pendidikan
keagamaan
diselenggarakan
oleh
Pemerintah
dan/atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
74
3. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. 4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis. Saat ini pesantren tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak juga pesantren yang berfungsi sebagai sarana pendidikan non-formal, dimana para santrinya dibimbing dan dididik untuk memiliki skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para santrinya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan non-formal ini termuat dalam Pasal 26 yang menegaskan: 1. Pendidikan non-formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah,
dan/atau
pelengkap
pendidikan
formal
dalam
rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat. 2. Pendidikan non-formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. 3. Pendidikan non-formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
75
4. Satuan pendidikan non-formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. 5. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. 6. Hasil pendidikan non-formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan Model pengelolaan pendidikan pesantren di era reformasi menuntut otonomisasi, demokrasi dan keterbukaan, tentu saja hal seperti ini akan sis-sia tanpa adanya kemampuan akademik yang tinggi pula lengkap dengan sistem, dana, dan sarana pra-sarana yang memadai dan relavan dengan masalah serta tanggungjawab yang dihadapinya. Oleh karena itu tidak diperlukan kurikulum yang seragam yang berlaku di semua pondok pesantren di pelosok Nusantara, sebab sejak berdiri pondok pesantren menggunakan sistem atau metode menurut mereka sendiri. Masing-masing pesantren di daerah atau komunitas pendidikan dapat menyusun kurikulumnya sendiri sesuai visi, misi dan tujuan yang
hendak
dicapai
untuk
tumbuh
kembangnya
kepribadian
yang
bertanggungjawab kepada maju tidaknya bangsa Indonesia dalam tata kehidupan modern.
76
Di lain sisi, adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat menuntut dunia pesantren lebih menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut agar alumnusnya tidak ketinggalan dalam mengembangkan misi keagamaanya. Demikian halnya dengan sistem pendidikan yang terus berkembang dan dunia pesantren harus dapat menyusuaikan dengan sistem tersebut agar pesantren tidak tertinggal dan dapat menyatarakan dengan sistem yang ada. Dilema ini harus dihadapi oleh dunia pesantren baik yang terkait dengan perkembangan sistem pendidikan yang ada atau dengan kemauan sebagaian masyarakat pesantren. Dengan tidak meninggalkan ciri khas lokal, pesantren juga mesti merespon perkembangan zaman dengan cara-cara yang kreatif, inovatif, dan transformatif. Alhasil, persoalan tantangan zaman modern yang secara realitas seakan menciptakan segala produk yang menyebabkan tirai-tirai batas ruang dan waktu seperti dalam gejala global media informasi dapat dijawab secara akurat, tuntas dan tepat. Mungkin karena inilah sebagian besar pesantren di nusantara mencoba mengakomodir dua keinginan tersebut dengan mewujudkan pesantren yang berMadrasah dan kitab kuning, model seperti ini yang pertama kali di kenalkan oleh KH. Abdul Wahid Hasyim dengan mendirikan Madrasah Nidzomiyah di samping Madrasah salafiyah yang didirikan oleh ayahnya. Bagi penulis apa yang dilakukan KH. Abdul Wahid Hasyim, dengan adanya sistem pendidikan Madrasah yang kurikulum pelajaran umumnya 70% dan pelajaran agama 30%, dimungkinkan dapat menampung perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan dengan sistem pengajian kitab-kitab kuning yang dilakukan disela-sela sistem Madrasah.
77
Keberadaan pondok pesantren ternyata sampai hari ini, ditengah-tengah deru modernisasi, dunia pesantren tetap bisa bertahan (survive) dengan identitasnya sendiri. Bahkan akhir-akhir ini para pengamat dan praktisi pendidikan dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pedidikan pondok pesantren di tanah air ini. Pertumbuhan pesantren yang semula rural based institution menjadi juga lembaga pendidikan urban, bermunculan juga di kota-kota besar. Di samping banyak juga pendidikan umum yang mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan pesantren. Zamakhsari Dhofier (2009:67) memperkiran pada tahun 2020 mendatang jumlah lembaga pesantren kemungkinan akan mencapai 35.000. Jumlah lembaga pesantren ini kemungkinan masih terus bertambah. Pergulatan pesantren di era modernitas pada saat ini tetap signifikan. Pesantren yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan. Pesantren tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual. Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren ditentukan oleh sejauhmana pesantren menformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya.
78
Dan penulis yakin pesantren akan menjadi satu-satunya institusi keIslaman yang akan tetap eksis sampai akhir zaman, karena bangsa Indonesia ada karenanya dan tanpanya Indonesia seakan tak bertaring. Karena pesantren adalah penyelamat pendidikan di Indonesia. Lompatan modernitas pesantren dapat berlangsung lebih pesat mulai tahun 2009. Sekitar 3.000 santri dari berbagai pesantren sedang menyelesaikan studi sarjana Strata 1 dan Strata 2 di UI, UGM, UNAIR, ITB, ITS, dan IPB. Mereka adalah santri yang berprestasi dari berbagi pesantren yang terpilih dan memperoleh beasiswa dari kementerian agama. Beasiswa ini mereka terima dengan perjanjian bahwa setelah lulus sarjana akan kembali ke pesantren masing-masing untuk mengembangkan ilmunya di pesantren asalnya (Dhofier, 2009:158). Dengan adanya kerjasama ini, kini dunia pesantren menempatkan sebanyak mungkin “agen perubahan” dan motor penggerak di masyarakat yang tidak saja paham pengetahuan Islam melainkan juga ilmu pengetahuan dan teknologi. Agen perubahan ini adalah para santri dari pondok pesantren yang bertebaran di seluruh Indonesia. Selain bekerja sama dengan institusi pendidikan
yang
“unggul”
pesantren
juga
membenahi
diri
dengan
mengembangkan Ma’had Aliy. Dalam Ma’had Aliy para santri berlatar belakang pendidikan agama yang kuat kemudian digembleng metodologi (Binti Maunah, 2009:9). Ma’had Aliy sebagai lembaga pendidikan diniyah diharapkan mampu merespon berbagai pemikiran dan pandangan dari masyarakat luas terutama dalam hal kajian keilmuan kontemporer. Dengan demikian Ma’had Aliy berfungsi sebagai tempat penggemblengan para santri senior yang berkualitas.
79
Satu hal lagi yang perlu kita catat bahwa tidak sedikit pemimpinpemimpin bangsa ini, baik pemimpin yang duduk dalam pemerintahan maupun yang bukan, formal atau informal, besar maupun kecil, dilahirkan oleh pondok pesantren. Kalau demikian adanya, tidak berlebihan jika kita mengakui bahwasannya pendidikan pesantren mampu menciptakan generasi yang berinteregitas tinggi, bertanggung jawab atas ilmu yang diperolehnyameminjam istilah pesantrennya “berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah”, sadar akan penciptaannya sebagai kholifah di bumi. Maksudnya manusia dijadikan kholifah di bumi dan bertugas memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh yang menugaskan, yaitu Allah. Sehingga akan tetap berada dalam koridor pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia maksudnya agar manusia dan jin menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktifitasnya sebagai pengabdian kepada Allah, Sang Kholiq.
80
B. Relavansi Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim Terhadap Pendidikan Pesantren di Indonesia Masa Sekarang Dapat penulis kemukakan bahwa konsep pembaharuan sistem pendidikan pesantren yang digagas oleh KH. Abdul Wahid Hasyim ada kesesuaiannya dengan sistem pendidikan pesantren di Indonesia zaman sekarang. Pola relevansi konsep pembaharuan pendidikan KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pembaharuan pendidikan pesantren di Indonesia dapat diuraikan dalam tiga hal: (1) Relevansi tujuan pendidikan pesantren, (2) Relavansi pembaharuan metode pesantren, dan (3) Relevansi pembaharuan institusi. 1. Relevansi Tujuan Pendidikan Pesantren Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah usaha atau kegiatan selesai dilaksanakan. Sedangkan pendidikan merupakan usaha untuk membantu atau menolong pengembangan manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, serta makhluk keagamaan. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang bersifat tetap dan statis, tetapi merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang yang berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan. Bagi KH. Abdul Wahid Hasyim tujuan pendidikan tidak lain adalah meningkatkan sumber daya manusia. Sebagaimana kita ketahui bersama, peningkatkan sumber daya manusia sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas dan kesehatan jasmani, ruhani dan akal seseorang (Rifa’i, 2010:52). Dalam pendidikan Islam, sesuatu yang diharapkan terwujud setelah orang mengalami pendidikan secara keseluruhan, yaitu terwujudnya kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi “insan
81
kamil” dengan pola taqwa. Insan kamil disini maksudnya adalah menjadi manusia yang utuh jasmani dan rohani dapat hidup berkembang secara wajar dan normal karena taqwa kepada Allah. Perumusan tujuan ini menjadi penting artinya bagi proses pendidikan, karena dengan adannya tujuan yang jelas dan tepat, maka arah proses pendidikan ini akan jelas dan tepat pula. Tujuan pendidikan Islam dengan jelas mengarah kepada terbentuknya insan kamil yang berkepribadian Muslim, merupakan perwujudan manusia seutuhnya, taqwa, cerdas, baik budi pekertinya (beraklaq mulia) terampil, kuat kepribadiannya, berguna bagi agama, diri sendiri, sesama dan negara. Oleh karena itu, pendidikan Islam mestinya dapat mengarahkan semua potensi yang ada dalam diri manusia dalam segala aspek kehidupan Penelusuran proses pembaharuan tujuan bagi lembaga pendidikan tradisional, seperti pesantren, tidaklah mudah. Kebanyakan pesantren tidak mencantumkan secara tertulis tujuan pesantren ketika didirikan. Bahkan sering dijumpai bahwa tujuan itu juga tidak dirumuskan secara tertulis sampai sekarang. Mungkin disebabkan pesantren tidak cenderung mendiskusikan tentang sistem pendidikan, dimana tujuan menjadi komponen penting, tetapi lebih menekankan kepada keikhlasan niat yang mendatangkan “barokah”, pengalaman dan penghayatan penuh terhadap terhadap khususnya ajaran Islam, do’a dan kepasrahan total untuk menyebarkan agama Allah. Pada lain sisi penulis berkeyakinan kiai tidak mengerti apa itu sistem, metode, atau bahkan tidak memperdulikan itu semua. Oleh karena itu,
82
tujuan pendidikan pesantren pada dekade ini awal bisa ditelusuri melalui sejarah pendiriannya. Sebagaimana pendirian pondok pesantren Tebuireng, bahwa pendirian pesantren ini dilatarbelakangi keadaan desa Tebuireng yang waktu sebagian penduduknya bermoral rendah. Lokasi pondok pesantren yang berdekatan dengan pabrik gula. Ketika itu, gula merupakan komoditi ekspor pemerintah kolonial Belanda dan menjadi simbol apa yang disebut dengan kemajuan teknologi barat. Pada mulanya, pabrik ini menyebabkan kebobrokan budaya masyarakat desa yang bekerja di pabrik tersebut. Para pekerja yang dulunya tidak terbiasa digaji, mengalami keterkejutan budaya, sehingga dilaporkan menghabiskan uang gaji mereka untuk hal-hal seperti minuman keras dan judi. Oleh karena itu, kejahatan meningkat dengan cepat di desa itu. Kondisi seperti ini, malah menarik KH Hasyim Asy’ari untuk mendirikan pesantren di lokasi tersebut (Lathiful Khuluq, 2009:37). Berangkat dari konsisi di atas, bahwa tujuan pertama dari pendirian pertama adalah amar ma’ruf dan nahi mungkar. Tujuan pertama ini terus disempurnakan sesuai dengan tuntutan keadaan zaman. Ketika santri mulai berdatangan dan jumlahnya semakin bertambah, maka tujuan pesantren bisa berubah. Sebagaimana yang dilakukan KH. Abdul Wahid Hasyim, ia tidak ingin melihat para santri lebih rendah kedudukannya dalam masyarakat dibanding dengan kaum terpelajar barat, dari sinilah KH. Abdul Wahid Hasyim mulai bereksperimen dengan mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan
83
yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya. b. Menggambarkan cara mencapai tujuan itu. c. Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai Pada awalnya, tujuan pendidikan Islam khususnya di lingkungan pesantren lebih berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dari urusan duniawiyah (dunia). Dengan seperti itu, warna sistem pendidikan pesantren sangat didominasi oleh mata ajaran yang berkaitan dengan fiqh, tasawuf, ritual-ritual sakral dan sebagainya (Masyhuri, 2008:18). Meski tidak pernah mengenyam pedidikan modern, wawasan berfikir KH. Abdul Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Berkembangnya pendidikan Madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari upaya yang dilakukan oleh cendikiawan Muslim, termasuk Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam (pesantren) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Di era krisis multi dimensi seperti yang sedang melanda bangsa Indonesia sekarang. Banyak pihak berasumsi bahwa krisis moral yang melanda disebabkan kegagalan dunia pendidikan baik pendidikan umum dan pendidikan yang berbasis keagamaan untuk memproduk siswa atau
84
santri yang mampu menyelaraskan antara ilmu dengan amal. KH. Abdul Wahid Hasyim telah menerapkan konsep pendidikan yang dinilai mampu menciptakan peserta didik yang ideal, yaitu santri yang tidak hanya mampu
menguasai
konsep
secara
sempurna
tapi
mampu
mengimplementasikan dalam kehidupan nyata 2. Relavansi Pembaharuan Metode Pesantren Istilah metode sering kali disamakan dengan istilah pendekatan, strategi, dan teknik sehingga dalam penggunaannya juga sering saling bergantian yang pada intinya adalah suatu cara untuk mencapai tujuan pendidikan yang diterapkan atau cara yang tepat dan cepat untuk meraih tujuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik (Roqib, 2009:90). Metode juga dapat didifinisikan sebagai cara kerja yang bersistem untuk mempermudah pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang yang ditentukan. Dalam dunia pesantren setidaknya ada tiga metode pembelajaran yang digunakan di lingkungan pesantren, yaitu metode sorogan, bandongan, dan musyawarah. Pesantren sebagai lembaga pendidikan secara selektif bertujuan menjadikan para santri sebagai manusia yang mandiri yang harapkan dapat menjadi pemimpin umat. Oleh karena itu, pesantren bertugas mencetak manusia yang benar-benar ahli dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang berakhlak mulia, untuk mewujudkan itu semua diperlukan metode yang tepat. Sebab di pihak lain, sistem pendidikan pesantren seolah berjalan alamiah tanpa ada orientasi dan target-target yang direncanakan.
85
Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional, sering kita ketahui, bahwa sistem atau metode pembelajaran di pesantren menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Murid posisinya hanya sebagai pendengar, menghafal dan menulis sehingga murid atau santri tidak bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya seperti mengajukan pertanyaan atau bahkan lebih kritis lagi yaitu dengan mengadakan diskusi, metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dipergunakan dalam institusi pesantren atau merupakan metode pembelajaran asli pesantren. Ada pula metode pembelajaran baru , yaitu metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan
pesantren
dengan
mengintrodusir
metode-metode
yang
berkembang di masyarakat modern. Penerapan metode baru juga diikuti dengan penerapan sistem baru, yaitu sistem sekolah atau klasikal. Seperti yang dilakukan KH. Abdul Wahid Hasyim melontarkan ide untuk mengganti metode bandongan dengan metode tutorial sepertinya didasari pada kesadaran bahwa santri adalah manusia merdeka yang memiliki kreativitas dan inisiatif pribadi. Mematikan kreativitas santri sama halnya dengan membunuh potensi mereka, bahkan sebelum potensi itu tumbuh dan berkembang. Metode tutorial memberi ruang antara kyai dan santri untuk terlibat dalam dialog yang seakan ditabukan dalam metode bandongan. Suasana dialogis sangat penting dikembangkan dalam pembelajaran karena melatih daya kritis dan logika. Metode tutorial sama sekali tidak akan menurunkan kewibawaan dan pamor kyai di mata santri karena hubungan yang
86
dibangun dalam metode tutorial adalah kesetaraan. Ketika seseorang diperlakukan sejajar maka akan tumbuh rasa saling menghormati. Metode tutorial juga dipandang lebih efektif untuk memantau perkembangan kemampuan individual masing-masing santri. Metode tutorial juga akan mempererat hubungan antara kyai dan santri. Dengan hal tersebut KH. Abdul Wahid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis, dimana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satusatunya sumber belajar. Dengan konsep ini diharapakan menghasilkan atau memproduk siswa atau santri yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. 3. Relavansi Pembaharuan Institusi Model pembaharuan institusi maksudnya yaitu pembaharuan atau perubahan lembaga pendidikan Islam, baik melalui transformasi diri lembaga yang sudah ada maupun mendirikan lembaga pendidikan Islam yang baru. Dalam konteks ini, KH. Abdul Wahid Hasyim mentransformasi lembaga yang sudah ada yaitu pesantren Tebuireng kemudian dimodifikasi dengan mendirikan Madrasah Nidzmiyah mengambil nama institusi pendidikan yang di bangun Bani Saljuk, Nizham al-Mulk di Bagdad. Institusi ini menggunakan sistem klasikal dengan kurikulum 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama, yang mana Madrasah ini juga dilengkapi dengan perpustakaan sebagai tempat belajar santri diluar pesantren dan Madrasah. Artinya selain pesantren mengajarkan ilmu agama pesantren juga mengajarkan ilmu umum kepada santrinya. Dalam menapaki dinamika perubahan dunia pesantren yang ada memang ada banyak hal yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikannya.
87
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah institusi pesantren. Pesantren mempunyai kekayaan khazanah yang hampir seluruh berbahasa Arab atau bahasa Jawa Pegon merupakan aset yang luar biasa. Sayangnya, khazanah tersebut, belum, atau bahkan belum difungsikan secara maksimal. Selama ini banyak literatur yang dimiliki kalangan pesantren hanya dijadikan kebanggaan yang sama sekali belum membisakan nilai-nilai tersebut dalam menuntaskan persoalan umat. KH. Abdul Wahid Hasyim mengubah wajah pesantren Tebuireng menjadi lebih modern dan terbuka. Modernitas dan perhargaan terhadap nilai tradisi tradisional masih menyatu dalam diri KH. Abdul Wahid Hasyim. Di kalangan Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan orang pertama yang memelopori masuknya pendidikan umum ke dalam kurikulum pesantren. Walau ketika itu orang yang mencontoh model sekolah yang dilaksanakan pemerintah Kolonial Belanda dianggap kafir. Alasan normatif yang sering digunakan adalah hadis:
)ﺩﺍﻭﺩ
ـﻪ ﺍﷲ ﺻ ﻠ ﻲ ﺍﷲ ﺭﺳﻮﻝ ﻋﻤﺮﻗﺎﻝ ﺍ ﺑ ﻦ ﻋﻦ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻴـ: ـﻮﻡ ﺗﺸــﺒﻪ ﻣﻦ ﺍ ﺑ ﻮ ﺭﻭﺍﻩ( ﻣﻨﻬﻢ ﻓ ﻬ ﻮ ﺑﻘـ
“barang siapa meniru apa yang dilakukan suatu kaum maka dia akan menjadi bagian kaum itu”(Ahmad Hambal:50). Implikasi dari hadis ini tidak diperkenankan mamakai apa saja yang biasa dilakukan Belanda, seperti baju dan dasi. Tetapi tampaknya, pemahaman ini tidak hanya diperlakukan untuk pakaian tetapi juga sistem pendidikan. Inilah sikap antipati kaum pesantren terhadap penjajahan belanda Meski KH. Wahid Hasyim termasuk pentolan pesantren ia kandang berbusana sarung tapi bagian atasnya mengenakan jas dan dasi yang necis.
88
Dari kita bisa melihat wawasan, gagasan, dan pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim dalam konteks perjuangan pendidikan untuk memajukan dunia pesantren sangatlah fenomenal, apalagi usia masih sangat muda. Memasukan pengetahuan umum, yang merupakan tradisi metode pembelajaran barat ke dalam tradisi pendidikan pesantren. Ini merupakan sebuah keberanian yang cukup luar biasa. Apalagi, konteks saat itu masih dalam cengkeraman penjajah. Perjuangan KH. Abdul Wahid Hasyim tidak berhenti disini saja, tetapi ia juga melebarkan pembaharuannya di kementerian agama dengan banyak mendirikan perguruan tinggi yang berbasis agama Islam. Seperti Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN. Bertolak dari rumusan
diatas, maka KH. Abdul Wahid Wahid
mencoba menerapkan sistem pendidikan yang berorientasi pada persoalan dunia dan akhirat sekaligus. Meskipun dalam prakteknya cukup banyak lembaga-lembaga Islam pada waktu itu yang cenderung mementingkan dimensi keakhiratan semata, daripada keduaniawian. Ini terjadi karena kehidupan akhirat dipandang sebagai kehidupan yang sesungguhnya dan terakhir, sedangkan kehidupan duniawi bersifat sementara, bukan yang terakhir.
Namun
demikian,
pada
dasarnya
pendidikan
Islam
memperhatikan keseimbangan dua kehidupan tersebut. Kita tidak bisa mengabaikan begitu saja. Aspek keduniawian juga penting, karena sebagai manusia yang mengemban tugas kekholifahan di muka bumi ini harus pula
89
membekali dengan ilmu-ilmu keduniawian dan perkembangannya sehinggga dapat memenuhi tugas itu secara maksimal.. Harus diakui menulis tokoh sering kali bukan pekerjaan mudah. Terutama bila sang tokoh pemikir atau pemimpin panutan yang melintasi zaman. Diperlukan kecermatan dan menampilkan sang tokoh apa adanya, sesuai apa dilakukannya. Adapun KH. Abdul Wahid Hasyim adalah bintang yang bersinar dari kalangan pesantren. Walaupun ia tanpa mengenyam pindidikan modern. KH. Abdul Wahid Hasyim mampu menguasai bahasa asing selain bahasa Arab. Berawal dari kemampuan kecerdasan, ketajaman nalar membaca kemauan orang tua, pemahamannya terhadap idealisme ajaran Islam yang sedemikian tinggi, dan setelah melihat keadaan lingkungan masyarakat yang serba terbelakang, maka lahirlah semangat untuk melakukan perubahan yang luar biasa. KH. Abdul Wahid Hasyim melakukan langkah-langkah perubahan besar di tengah-tengah masyarakat yang masih diwarnai oleh suasana tradisional. Menurut hemat saya, Ia adalah seorang yang berani, nekat dan telah melakukan lompatan berpikir yang sangat jauh, keluar dari sarang tradisi yang membelenggu masyarakat pesantren, kemudian ia masuk ke dalam dunia modern, bahkan terlampau fenomenal untuk ukuran pada saat itu. Lompatan yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim tersebut adalah luar biasa untuk ukuran saat itu. Membaca pikiran KH Wahid Hasyim di atas tidaklah sederhana. Keterlibatannya di organisasi sosial-keagamaan, politik, dan pergaulannya yang sedemikian luas, juga membentuk dan mewarnai cara berpikir yang cemerlang tentang pendidikan. Ia membaca bahwa pendidikan Islam hingga
90
melahirkan ulama tetap dianggap penting, akan tetapi para ulama juga harus memahami ilmu modern. Itulah barangkali jargon yang tepat untuk menggambarkan tipe ideal pendidikan, yakni
lembaga yang mampu
melahirkan ulama yang intelek dan atau intelek yang ulama. Dari keseluruhan relavansi pembaharuan sistem pendidikan pesantren yang dilakukan KH. Abdul Wahid Hasyim di atas bila dikaitkan dengan kebutuhan pembaharuan sistem pendidikan pesantren di Indonesia pada masa sekarang adalah membentuk institusi pesantren yang lebih modern dan membentuk kepribadian santri dengan memiliki kecapakan dalam hal yang bersifat duniawi tetapi tidak melupakan akhirat, dengan kata lain terbentuknya pribadi yang seimbang dan utuh. Membaca pikiran beliau, bahwa pendidikan agama harus dijadikan sebagai dasar untuk membangun pribadi bagi semua orang. Pendidikan agama adalah mutlak untuk membangun karakter atau akhlak. Tetapi, pendidikan agama semacam itu tidak akan mencukupi untuk menghadapi tantangan masa depan yang lebih terbuka secara luas. Akan tetapi, pendidikan semacam itu harus disempurnakan dengan pengetahuan umum yang cukup. Umat Islam harus menempati posisi penting dalam segala lini kehidupan. Sebagai konsekuensi pembaharuan sistem pendididikan pesantren, lulusan pesantren mengalami distorsi ilmu keagamaan, dimana para santri kurang mengusai literatur keagamaan. Akan tetapi disisi lain, para santri mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab saat ini lulusan pesantren diharapkan tidak hanya menguasai pendidikan agama yang dikonotasikan hanya untuk kehidupan akhir zaman, tetapi dapat memperoleh keahlian atau ketrampilan
91
untuk meraih kehidupan di dunia. Penguasaan bidang keahlian atau ketrampilan yang jelas dapat mengantarkannya untuk mengusai lapangan kehidupan tertentu. Dalam era modern santri tidak cukup hanya berbekal dengan moral yang baik saja, tetapi juga perlu dilengkapi dengan keahlian atau ketrampilan yang relevan dengan kebutuhan zaman sekarang. Dalam kaitan ini ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap pribadi di pesantren harus merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan kehidupan dengan cara membekali pengetahuan secukupnya. Setiap manusia di dunia ini mempunyai kesempurnaan khusus dan perilaku yang spesifik baginya tidak ada makhluk lain yang bisa menyerupai perilaku manusia itu. Maka manusia di antara segala makhluk yang ada mempunyai perilaku khusus yaitu segala perilaku yang lahir dari pertimbangan nalar akal fikirannya. Karena itu siapa yang pertimbangannya paling jernih penalarannya paling benar, keputusan yang paling tepat, adalah manusia yang paling sempurna martabatnya. Manusia yang paling utama adalah orang yang paling mampu menunjukkan perilaku yang yang khas dan yang paling berpegang teguh kepada syarat-syarat daya fikir yang membedakan dia dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu tugas pendidikan adalah mendudukan manusia sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk yang paling mulia di antara makhluk lainnya. Hal itu ditandai dengan perilaku dan perbuatan yang khas bagi manusia dan tak mungkin dilakukan makhluk lainnya. Penulis memandang bahwa, pendidikan yang ideal bagi KH. Abdul Wahid Hasyim adalah pendidikan yang mampu melahirkan kemampuan mengusai pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Oleh karena itu, tatkala
92
pada saat ini sedang ramai dibicarakan tentang pendidikan karakter, maka pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim ini bisa dijadikan jawabannya. Dengan meninggalnya KH. Abdul Wahid Hasyim mengakibatkan dunia pesantren kehilangan seorang yang menjadi jembatan pengetahuan tradisi pesantren dengan modernitas pendidikan. Miminjam istilahnya Zamakhsari Dhofier (2009:159) kemampuannya memadu tradisi pesantren dengan visi moderintas kehidupan bangsa sulit ditandingi oleh tokoh-tokoh nasional seangkatan beliau. Kemampuannya yang ia sumbangkan kepada bangsa dan negara sangat pendek, tetapi kekuatan dan kekayaan warisan yang ia tinggalkan dalam bentuk paduan tradisi pesantren dengan modernitas keIndonesiaan terus berfungsi hingga sampai sekarang.
93
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan telah terselesainya penelitian tentang pembaharuan sistem pendidikan pesantren (Studi atas Pemikiran KH Abdul Wahid Hasyim) ini, maka penulis menyimpulkan menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan salah satu pemikir pendidikan Islam sekaligus praktisi pendidikan Islam utamanya dalam bidang pondok pesantren. Ia menjadi pengasuh pondok pesantren Tebuireng selama 13 tahun (1947-1950). Semasa hidupnya beliau juga banyak berjasa terhadap dunia pendidikan Islam Indonesia, ia mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN). Jasa lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN. Selain aktif di dunia pendidikan pesantren KH. Abdul Wahid Hasyim juga aktif di organisasi kemasyarakatan dan partai politik. Pada masa kemerdekaan ia termasuk salah satu founding father bangsa Indonesia. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara (1945), dan Menteri Agama pada tahun 1950-1952. KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan satu-satunya Menteri di Indonesia yang tidak pernah mengenyam pendidikan secara formal.
94
2. Pembaharuan pendidikan yang dilakukan KH. Abdul Wahid Hasyim meliputi: a. Pembaharuan metode pembelajaran, dari Bandongan ke tutorial b. Mendirikan instistusi Madrasah Nidzomiyah yang menggunakan sistem pendidikan modern dengan menerapkan sistem klasikal dilingkungan pesantren. c. Mencetak santri yang tidak hanya religius tetapi juga berwawasan kebangsaan. d. Mendirikan perpustakaan di lingkungan pesantren. 3. Relevansi pemikiran pembaharuan pendidikan pesantren KH. Abdul Wahid Hasyim dengan pendidikan pesantren KH. Abdul Wahid Hasyim dengan pendidikan pesantren di Indonesia masa sekarang adalah sangat relevan. Hal ini disebabkan karena KH. Abdul Wahid Hasyim meletakkan dasar penting bagi pendidikan sistem klasikal di lingkungan pesantren, mendirikan perpustakaan yang tidak hanya berisikan buku-buku agama namun juga pengetahuan umum serta pencetus awal pendirian madrasah formal di lingkungan pesantren yakni Madrasah Nidhomiyah.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa saran untuk pengelola pesantren dan yang terkait dalam penelitian ini, saran yang dimaksud adalah: 1. Bagi pengelola dunia pesantren tidak bisa hanya mempertahankan tradisi yang lama belaka, sebab, tradisi yang lama tak mesti relavan untuk zaman
95
sekarang ini. Hal yang tidak kalah penting untuk direnungkan dalam rangka “mengambil hal yang terbaru yang lebih baik” adalah mengungkap secara cerdas
permasalahan
kekinian
dengan
pendekatan-pendekatan
kontemporer. Tak bisa disangkal bahwa modernitas telah “menawarkan” banyak hal untuk difikirkan dan direnungkan, terutama bagi insan-insan pesantren. Untuk itu, tidak layak kiranya jika para pengelola pesantren mengabaikan arus modernitas sebagai penghasil nilai-nilai baru yang baik, meskipun ada sebagian yang buruk, kalau pesantren ingin maju untuk mengimbangi perubahan zaman 2. Pembaharuan disarankan tidak hanya dilakukan dalam ranah proses pembelajaran yang memungkinkan out put pesantren siap kerkompetensi dalam persaingan lokal maupun global, tetapi pembaharuan dalam menejemen lembaga pesantren perlu dilakukan agar lebih efektif dan efesien.
96
DAFTAR PUSTAKA Abd A’la. Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta. Pustaka Pesantren.2006 Aboe, Bakar. Sejarah Hidup KH.A Wahid Hasyim .Jakarta: Mizan, 2011 Amin. Persepsi Santri Tentang Kharisma Kiai ( Studi Kasus di Pondok Pesantren al-Huda Doglo, Candigatak, Cepogo, Boyolali Tahun 2010). Salatiga, Skripsi tidak di terbitkan. Salatiga, 2010 Anshoriy, Nasruddin, Pendidikan Berwawasan Kebangsaan Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme.Yogyakarta.Lkis. 2008 A.Steenbrink, Karel, Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES.1991 Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abab XVII dan XVIII. Bandung : Mizan, 1994 Barton, Greg, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: Lkis, 2010 B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Grafiti Pers,1985 Departemen Agama RI. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003 Dian Nafi’, Abd A’la, Hindun Anisah, Abdul Aziz, Abdul Muhaimin. Praksis Pembelajaran Pesantren. Yokyakarta: Lkis, 2007 Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai). Jakarta: LP3ES.1983 . Tradisi Pesantren Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa Jilid 1.Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009 Dirdjosanjoto,Pradjarta. Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar Di Jawa, Yogyakarta: Lkis, 1999 Feillard, Andree. NU Vis-à-vis Negara Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Yogyakarta: Lkis, 2008 Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: Lkis, 2007 Hambal, Ahmad. Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, t.tp. Dar al-Fikr,t.t Ida, Laode. Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996
97
Imam Suprayogo, Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung. PT Remaja Rosda Karya.2003 J.Moleong Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008 Khuluq, Khuluq. Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H Hasyim Asya’i. Yogyakarta: Lkis,2009 Ma’shum Zaein Muhammad, Landasan Amaliyah NU, Jombang: PC.LTNU Jombang.2008 Madjid, Norcholish, Bilik-bilik Pesantren Perjalanan.Jakarta, Paramadina.1997
sebuah
Potret
Mahfudz Md. Pemikiran KH Wahid Hasyim Jawab Radikalisasi Islam,Online.(http://www.nu.or.id/.html 09/06/2011 07:11) Malik, Jamaluddin (ed), Pemberdayaan Pesantren Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan. Yogyakarta: Lkis 2005 Mattew B, Miles dan Huberman, A. Michael. Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press, 1992 Maunah, Binti. Tradisi Intelektual Santri dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Teras, 2009 Misrawi, Zuhairi. Deradikalisasi Pesantren. Jakarta. Kompas, hal. 7 Tggl 18, Bulan 7. 2011 Mughits, Abdul. Kritik Nalar Fikih Pesantren. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008 Mumazziq, Rizal. Cermin Bening dari Pesantren Potret Keteladanan Para Kiai, Surabaya: Khalista,2009 Noer, Delier. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Grafiti Press, 1987 Nurrahmat, Binhad, Dari Kampung ke NU Miring, Yogyakarta:Arruz Media.2010 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2006 Putra, Haidar, Daulany, Sejarah Pertumbuhan dan pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009 Qomar, Mujamil, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta, Erlangga.2010
98
Retno, Yanto. Sejarah Tokoh Bangsa. Yogyakarta. Pustaka Tokoh Bangsa. 2009 Rifa’i, Muhammad. Biografi Singkat Wahid Hasyim.Yogyakarta:Arruz Media.2009 Roqib. Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, Yogyakarta: Lkis, 2009 Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng. Jakarta, KPG.2011 Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan D&D,Bandung. Alfabeta2008 Syatibi Dkk, Pergeseran Literatur Pondok Pesantren Salafiyah di Indonesia. Jakarta. Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI Umar, Mashudi. KH Wahid Hasyim Merengkuh Dunia.Jakarta: Risalah , hal.77.1430 H Undang-undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. 2004 Van Bruinessen, Martin.NU, Tradisi, Relasi-Relasai Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Yokyakarta.Lkis.2004 . Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan,1996 Wahid, Abdurrahaman. Menggerakan Tradisi, Yogyakarta: Lkis, 2010 , Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan. Jakarta. The Wahid Institute.2007 Yahya, Ali. Sama Tapi Beda Potret Keluarga Besar KH.A Wahid Hasyim. Jombang: Yayasan KH. A.Wahid Hasyim, 2007 Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995 Zuhri, Saifuddin. Guruku Orang-Orang Pesantren,Yogyakarta. Pustaka Sastra. 2007 . Mbah Wahab Hasbullah Kiai Nasionalisme Pendiri NU. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010 Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksara, 2010 (http://majelis-alumni,ipnu.article&id=78:masjid-istiqlal. jakarta&catid=7:wisata-religi&Itemid=14 09/07/2011 )
99
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Bahwa yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Nurhuda
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Tempat/Tanggal Lahir: Tuban, 05 Maret 1987 Agama
: Islam
Bangsa
: Indonesia
Alamat
: Desa Maindu Kec Montong Kab Tuban Jawa Timur
No Hp
: 085 641 670 715
Pendidikan
: MI Maindu lulus tahun 2001 Mts Manbail Futuh Beji Jenu Tuban lulus tahun 2004 MA Salafiyah Kajen-Pati 2007 STAIN SALATIGA 2011
Demikian daftar riwayat hidup ini, saya buat dengan sebenar-benarnya.