KONSEP MODERNISASI PONDOK PESANTREN MENURUT KH. ABDURRAHMAN WAHID (STUDI ANALISIS BUKU MENGGERAKKAN TRADISI ESAI-ESAI PESANTREN) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1) Pendidikan Agama Islam
Oleh : LUKMAN KHAQIM NIM: 131310000299 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA 2015
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan oleh orang lain. Demikian pula skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan sebagai bahan rujukan.
Jepara, September 2015 Deklarator
Lukman Khaqim NIM : 131310000299
xi
NOTA PEMBIMBING
Lamp
: 1 Berkas
Hal
: Naskah Skripsi A.n.Sdr Lukman Khaqim
Kepada Yth, Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara Assalamualaikum Wr. Wb Setelah membaca, mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka berasama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara
:
Nama
: Lukman Khaqim
NIM
: 131310000299
Fakultas
: Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Judul Skripsi
: Konsep Modernisasi Pondok Pesantren Menurut KH.Abdurrahman Wahid ( Studi Analisis Buku Menggerakkan Tradisi Esai- esai Pesantren).
Dengan
ini
saya
mohon
agar
skripsi
saudara
tersebut
dapat
dimunaqosahkan. Demikian nota pembimbing ini atas perhatian Bapak, kami sampaikan terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jepara, 28 September 2015 Pembimbing,
Drs. H. Mahalli Djufri M.Pd.
ii
MOTTO
“Segala sesuatu yang kita dapat merupakan buah dari apa yang kita lakukan.” “Tetap berusaha dan selalu memperbaiki semua kesahalan yang sudah pernah kita lakukan.” “Jalan yang diberikan Allah itu unik, tergantung seberapa kita mampu menafsirkannya.” “Tidak ada sesuatu yang tidak indah, kecuali kita senantiasa bersyukur atas karunianya.”
(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui. (QS. Luqman : 16).1
1
Kementrian Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, ( Jakarta : PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), hlm.582
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi yang sederhana ini, penulis persembahkan kepada orang-orang yang telah menuliskan tinta indah dan kesan yang manis dalam hidup penulis :
Kepada Bapak dan Ibukku tercinta yang telah mendidik penulis, memberikan semangat dan dorongan sehingga skripsi ini dapat selesai. Sungguh tak terbayangkan jika anakmu ini mampu menempuh studi hingga selesai. Keluarga tercinta baik yang ada di Rumah, yang ada di Kampus, dan yang ada di Madrasah, yang telah memberikan pengalaman serta ilmu yang tak akan pernah terlupakan. Kepada orang - orang yang telah memberikan sumbangsih pemikirannya didalam dunia pendidikan, utamannya Ki Hajar Dewantara. Di dunia pesantren KH. Abdurrahman Wahid, yang menjadi inspirasi buat penulis. Kepada yang terkasih orang yang mendampingiku kelak, mengarungi bahtera kehidupan di dunia dan di akhirat.
v
KATA PENGANTAR
ﻤﯿﻦ واﻟﺼﻼ ة واﻟﺴﻼ م ﻋﻠﻲ اﺷﺮف اﻻ ﻧﺒﯿﺊ واﻟﻤﺮﺳﻠﯿﻦ وﻋﻠﻲ اﻟﮫ وﺻﺤﺒﮭﻲ اﺟﻤﻌﯿﻦ Dengan menyebut Nama Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan kesehatan serta petunjuk bagi penulis. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Nabiyyuna Wa Habibina Muhammad SAW, rasul mulia suri tauladan bagi manusia yang diharapkan syafa’atnya kelak di hari akhir nanti. Dengan berbekal ketekunan dan kemampuan serta bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhtarom HM, selaku Rektor UNISNU Jepara 2. Bapak Drs. H. Akhirin Ali, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara dan Bapak Ibu dosen lainnya yang telah mendidik, membimbing serta memberikan pengarahan kepada penulis. 3. Bapak Drs. H. Mahalli, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah sabar, tulus, dan ikhlas dalam membimbing, mengarahkan, dan memberi petunjuk kepada penulis sehingga pada akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Perpustakaan UNISNU Jepara yang telah membantu penulis dalam menyediakan buku-buku refrensi sebagai bahan-bahan utama skripsi ini.
vi
5. Segenap keluarga tercinta, khususnya Bapak, Ibu Dan Kakakku tercinta yang
telah
senantiasa
mendorong,
memotivasi,
membimbing,
mengarahkan dan mendampingi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Penerbit LKis Yogyakarta yang telah memberikan banyak refrensi kajian tentang Gus Dur sehingga dapat membantu kelancaran pembuatan skripsi ini. 7. Temen-temen Oraganisasi kampus tercinta, MENWA, Jamuro ArRabbaniyin Jepara yang telah memberikan ruang bagi penulis untuk mengerjakan skripsi ini. 8. Serta semua pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam memberikan motivasi dan sumbangsihnya kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk semuanya, peneliti tidak dapat membalas atas segala bantuannya, hanya dapat berdo’a kepada Allah semoga amal baik mareka dibalas oleh Allah dengan balasan yang lebih baik. Akhirnya peneliti menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan mudah-mudahan bermanfaat bagi peneliti khususnya dan bagi semua pihak.
Jepara, 28 September 2015
Penulis
vii
ABSTRAK
LUKMAN KHAQIM (NIM : 131310000299). Konsep Modernisasi Pondok Pesantren ( Studi Analisis Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid Dalam Buku Menggerakkan Tradisi : Esai – Esai Pesantren ). Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara. Kata Kunci : Modernisasi, Pondok Pesantren Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Konsep Modernisasi Pondok Pesantren Menurut KH. Abdurrahman Wahid. Skripsi ini mengkaji pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disebut Gus Dur. Pemikirannya tentang pesantren banyak menginspirasi sebagian ulama atau pemimpin pondok untuk melakukan instropeksi terhadap pesantren. Kolaborasi studi Gus Dur di Timur Tengah dan di Barat menjadikan pemikirannya jauh melebihi tokoh lain yang serumpun dengannya. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode kualitatif dan menggunakan pendekatan naturalistik. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis) dan menggunakan metode perbandingan tetap atau Constant Comparative Method. Hasil penelitian ini adalah pemikiran Gus Dur terhadap modernisasi pendidikan pesantren yang mana Gus Dur menyampaikan pendapatnya yang mengharuskan adanya pembaharuan di tubuh pesantren. Pesantren harus bisa melebur diri dengan dunia modern dengan cara mengontekstualkan tujuan pesantren terhadap tuntutan zaman. Banyak cara yang harus dilakukan pesantren untuk mengupayakan pembaharuan di dalam pendidikannya, yaitu dengan mulai memasukkan sekolah umum ke dalam pesantren, merekontruksi kurikulumnya, serta membangun pemimpin yang cakap. Manajemen pesantren diperbaiki dengan mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak, dan menyediakan perpustakaan dan lembaga penelitian kepesantrenan, sehingga pesantren akan menjadi lebih baik dari tahun ke tahun dan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan yang lain serta mampu merespon tantangan zaman modern.
xii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ...........................................................................................................
i
Nota Pembimbing ......................................................................................................
ii
Pengesahan ................................................................................................................ iii Motto .........................................................................................................................
iv
Persembahan .............................................................................................................
v
Kata Pengantar ..........................................................................................................
vi
Daftar isi .................................................................................................................... viii Deklarasi ...................................................................................................................
x
Abstraksi ...................................................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................
4
C. Tujuan Penelitian................................................................................
5
D. Manfaat Penelitian..............................................................................
5
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................
6
F. Metode Penelitian...............................................................................
9
G. Sistematika penulisan ........................................................................ 15 BAB II
MODERNISASI PONDOK PESANTREN ............................................ 17 A. Modernisasi ....................................................................................... 17 1. Pengertian .................................................................................... 17
viii
2. Syarat-syarat Modernisasi ............................................................ 20 B. Pondok Pesantren .............................................................................. 23 1. Pengertian Pesantren ................................................................... 23 2. Elemen-Elemen Pondok Pesantren............................................... 25 3. Tujuan Pondok Pesantren ............................................................. 32 C. Konsep Modernisasi Pesantren........................................................... 36 BAB III MODERNISASI PONDOK PESANTREN MENURUT KH. ABDURRAHMAN WAHID .................................................................... 47 A. Biografi KH. Abdurrahman Wahid ................................................... 47 B. Karya-Karya Dan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid ................... 53 C. Modernisasi Pondok Pesantren Menurut KH. Abdurrahman Wahid ................................................................................................. 54 1. Memasukkan Sekolah Umum ke Pondok Pesantren .................... 57 2. Pengembangan Kurikulum Pesantren........................................... 62 3. Pengembangan Kepemimpinan .................................................... 68 BAB IV
ANALISA MODERNISASI PONDOK PESANTREN MENURUT KH. ABDURRAHMAN WAHID............................................................. 72 A. Analisa Memasukkan Sekolah Umum Ke Dalam Pesantren ............. 72 B. Analisa Pengembangan Kurikulum ................................................... 78 C. Analisa Pengembangan Kepemimpinan ............................................ 89
BAB V
PENUTUP................................................................................................. 100 A. Kesimpulan......................................................................................... 100 B. Saran-Saran......................................................................................... 101
ix
C. Penutup ............................................................................................... 102 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 104 Lampiran-Lampiran ................................................................................................... 107
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sejak Islam datang ke Indonesia, pendidikan Islam telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan, karena melalui pendidikan Islam itulah, transmisi dan sosialisasi ajaran agama Islam dapat dilaksanakan dan dicapai hasilnya sebagaimana kita lihat sekarang ini. 1 Upaya pergerakan pendidikan ini berlangsung dari zaman pra kemerdekaan, hingga zaman kemerdekaan dan zaman modern sekarang ini. Gerakan pendidikan tersebut telah mendapat pengaruh dari model pendidikan Belanda dan juga tantangan internal dalam negeri, juga dipengaruhi oleh pergerakan yang berkembang di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Turki India dan sebagainya. Pengaruh itu terjadi karena adanya hubungan yang kuat antara ulama yang ada di kepulauan Nusantara dengan ulama-ulama yang ada di Timur Tengah.2 Pada zaman modern sekarang ini pendidikan dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi. Namun tanpa harus menjadikan sains sebagai “Pseudo-Religion” jelas bahwa maju atau mundurnya suatu masyarakat di masa kini dan mendatang banyak ditentukan tingkat penguasaan dan kemajuan 1
Taufiq Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, ( Jakarta : Bulan Bintang,1986), cet. ke-1,hlm.57. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), cet. ke- V, hlm.17. 2
1
2
dibidang sains dan teknologi khususnya. Meski masa kini dan masa mendatang disebut sebagai zaman globalisasi dalam kedua bidang ilmu ini tetap saja terbatas. Negara-negara paling terkemuka dalam sains dan teknologi tidak begitu saja memberikan informasi atau melakukan transfer sains dan teknologi kepada negara berkembang. Dengan demikian tantangan bagi masyarakat muslim di bagian dunia manapun untuk mengembangakan sains dan teknologi sekarang dan masa datang akan semakin berat.3 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern sudah memasuki dunia Islam, terutama sesudah abad ke sembilan belas, yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan dunia modern. Kontak dengan dunia barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Sebagai halnya di barat, di dunia Islam juga timbul pemikiran-pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu dan teknologi modern itu. Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern berharap akan dapat melepaskan umat Islam dari kondisi kemunduran untuk selanjutnya dibawa ke araha yang lebih maju.4 Pondok pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia yang didirikan oleh para ulama tempo dulu sejak ratusan tahun silam,
3
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 32. 4 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1991), hlm. 11.
3
hingga kini masih eksis bahkan terus berkembang. Keberadaan pondok pesantren menjadi bagian dari sistem kehidupan umat Islam sekaligus penyangga budaya masyarakat Islam dan bangsa Indonesia, terutama pada masa penjajahan.
5
Perkembangan yang paling aktual di pondok pesantren adalah adanya perubahan sikap yang terjadi dalam masyarakat pesantren. Di samping kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat di era globalisasi, yang kini tengah melanda dunia dengan sebutan abad modern, ditandai dengan adanya kompetensi bebas tanpa mengenal belas kasihan, menjadi ciri yang paling menonjol. Hal tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia, termasuk di lingkungan pesantren. Dalam
kenyataannya,
pesantren
telah
berperan
dalam
merespon
modernisasi yang telah berkembang saat ini, yakni dengan menyediakan pedoman spiritual pada masyarakat dengan cara menyesuaikan agama dengan tantangan modernisasi. Dengan kata lain agama tidak cukup dimanifestasikan dalam rangkaian upacara-upacara keagamaan, tetapi merumuskan kembali rangkaian pekerjaan keagamaan yang patut dilakukan.6 Oleh karena itu, melihat kembali orientasi pendidikan sangat penting, terutama di abad global ini. Dengan demikian, dapat dirancang konsep pendidikan yang mengandung keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani anak didik, serta untuk memenuhi kebutuhan manusia di 5
Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, ( Bandung : Humaniora, 2006), cet. ke-1, hlm.2. Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada , 2005), hlm. 353. 6
4
dunia maupun di akhirat kelak. Orientasi pendidikan yang hanya mementingkan sisi rohani semata atau kebutuhan jasmani semata, sama sekali tidak sejalan dengan ajaran Islam. Begitu juga dengan institusi pendidikan yang hanya mementingkan keakhiratan semata tidak sejalan dengan ajaran Islam. Orientasi pendidikan Islam, khususnya dalam dunia pesantren yang demikian itu perlu terus dikaji dan dikembangkan agar mencapai bentuk idealnya sehingga mampu mengantarkan umat Islam dalam kehidupan yang seimbang. Dalam konteks ini, modernisasi pendidikan pesantren dalam perspektif ulama sangat menarik untuk dikaji. Dalam hubungan ini, penulis ingin mengkaji modernisasi pendidikan pesantren melalui pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur. Untuk mengetahui hal-hal tersebut diatas, penulis mencoba meneliti pemikiran Gus Dur tentang modernisasi pesantren dalam “Buku Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan pada latar belakang tersebut di atas, maka dalam perumusan masalah ini, peneliti
mencoba menganalisa lebih jauh tentang
bagaimana konsep pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang modernisasi pondok pesantren.
5
Selanjutnya pokok permasalahan di atas dirinci lebih lanjut dalam beberapa indikator permasalahan, yang menurut Patton (1990)7 karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maka penggunaan istilah yang tepat yaitu fokus penelitian, yang diantaranya diuraikan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Modernisasi Pondok Pesantren Menurut Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menggali dan mengungkapkan serta menjelaskan berbagai masalah yang berkaitan dengan “ Modernisasi Pondok Pesantren ”. Adapun yang menjadi tujuan pembahasan masalah dalam penelitian ini adalah Untuk Mengetahui Modernisasi Pondok Pesantren Menurut Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid.
D. Manfaat Penelitian 1. Dengan dilaksanakan penelitian ini, peneliti berharap bahwa hal ini akan memberikan kontribusi kepada bertambahnya kajian ilmiah khususnya tentang Modernisasi Pesantren di Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara. 7
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis Dan Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi (Ed), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2010), hlm. 41
6
2. Diharapkan masyarakat akan mendapatkan informasi yang lebih luas dan mendalam tentang pemikiran seorang tokoh besar di negara ini yaitu KH. Abdurrahman Wahid terhadap modernisasi pondok pesantren. 3. Penelitian ini menjadi wahana latihan untuk meningkatkan kreatifitas dan prokdutifitas dalam menuangkan idea tau gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan atau karya ilmiah. E. Tinjauan Pustaka Esensi dari penelitian ini adalah difokuskan pada konsep modernisasi pondok pesantren yang mana pembahasan tentang modernisasi pondok pesantren sekarang sedang gencar-gencarnya disuarakan. Modernisasi pondok pesantren dirasa sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, modernisasi pondok pesantren berkembang tidak serta merta ada akan tetapi melalui proses pembentukan lewat sejarah yang panjang, pengalaman sesaui dengan perkembangan zaman sekarang. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berkembang dimasyarakat mempunyai pengaruh yang besar sehingga menjadi pionir terbentuknya manusia yang mampu mengamalkan nilainilai pendidikan agama akan tetapi dengan berkembangnya kehidupan masyarakat dewasa
ini semakin kompleks mau tidak mau pesantren harus
mengimbanginya. Sebagaimana buah fikiran yang diungkapkan oleh beliau K.H Abdurrahman Wahid dalam bukunya “ Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren“
7
Tidak sedikit skripsi maupun buku yang membahas masalah modernisasi pondok pesantren, diantaranya: 1. Skripsi dengan judul “Konsep Pendidikan Pesantren Menurut DR. KH. MA Sahal Mahfud” oleh Dliaul Khaq. Dalam penelitian tersebut diuraikan bagaimana konsep pendidikan pesantren menurut DR. KH. MA. Sahal Mahfud, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Terbentuknya santri akrom (taqwa) dan sholih (mewarisi, mengatur, dan memelihara bumi). b. Materi pendidikan tidak terfokus pada pengetahuan agama saja, tetapi juga pengetahuan (ketrampilan) umum yang dibutuhkan masyarakat. c. Metode individual merupakan metode yang tepat untuk diterapkan dipondok pesantren. d. Evaluasi tidak hanya ditekankan pada hasil, tetapi lebih dititikberatkan terhadap proses. e. Mempertahankan sistem dan metode yang baik dan menambah atau merubah system, metode, dan evaluasi yang lebih baik. Dalam penelitian tersebut diatas fokus penelitian lebih kepada konsep pendidikan pondok pesantren secara umum. 2. Skripsi yang berjudul “ Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernisasi Sistem Pesantren, “ karangan Afiful Mi’ah (Skripsi, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Adab, Surabaya, 2013) mengatakan bahwa pada perkembangan terakhir dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan oleh
8
kolonial Belanda (modern) lembaga pendidikan Islam (pesantren) semakin tersurut keberadaanya. Dan enggan menerima hal-hal yang baru. Berangkat dari fenomena di atas Nurcholish Madjid mengklasifikasikan konsep modernisasi sistem pesantren menjadi tiga bagian, Pertama, KeIslaman dengan cara mengIslamkan ilmu pengetahuan. Kedua, Keindonesaian menciptakan lembaga pendidikan yang mempunyai kultur asli indonesia. Ketiga, Keilmuan menghilangkan dualisme pendidikan menjadi tunggal. 8 3. Mahpuddin Noor dalam bukunya Potret Dunia Pesantren , penulis menjelaskan tentang bagaimana keadaan pesantren dari masa dahulu sampai sekarang serta tantangan pesantren di era modern. Dalam bidang pendidikan lebih menjelaskan keterlibatan pesantren dengan pendidikan nasional terutama membahas pelaksanaan wajar dikdas untuk sekolah dasar dan dan lanjutan pertama yang berciri khas agama Islam diselenggarakan oleh Departemen Agama dengan sebutan Madrasah Ibtidaiyyah dan Madrasah Tsanawiyah atau pesantren. Berdasarkan penelusuran dari beberapa tulisan yang peneliti temukan belum ada yang membahas secara khusus tentang konsep modernisasi pondok pesantren
dengan fokus penelitian pada hasil buah pengalaman K.H
Abdurrahman Wahid di dalam buku “ Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren“ maka peneliti ingin mengkajinya dimana diharapkan hasil dari 8
Afiful Mi’ah “ Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernisasi Sistem Pesantren, “ (Skripsi, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Adab, Surabaya, 2013), https://google.com/search/skripsi, diakses pada hari selasa, 4 Juli 2015 pada 20.14 WIB
9
pengkajian ini dapat dimanfaatkan masyarakat luas mengingat pemikiran beliau yang sangat mendalam dan relevan dengan kondisi sekarang. F. Metode Penelitian Metode penelitian dapat diartikan sebagai prosedur atau tata cara yang sistematis yang dilakukan seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan masalah atau menguak kebenaran atas fenomena tertentu. Menurut Mardaly, metode penelitian adalah suatu metode ilmiah yang memerlukan sistematika dan prosedur yang harus ditempuh dengan tidak mungkin meninggalkan setiap unsur, komponen yang diperlukan dalam suatu penelitian. 9 Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu, cara ilmiah, data, tujuan dan kegunaan.10 1. Pendekatan dan jenis penelitian Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif analisis kritis. Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar belakang yang berkonteks khusus. Pengertian ini hanya mempersoalkan dua
9
Masyhuri dan Zainuddin, Metode Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif, ( Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hlm. 13-15 10 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan RND, (Bandung: Alfabeta, 2012), Cet. XVII, hlm.2.
10
aspek yaitu pendekatan penelitian yang digunakan adalah naturalistik sedang upaya dan tujuannya adalah memahami suatu fenomena dalam suatu konteks khusus.11 Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian “library reseach”, yaitu pemikiran yang didasarkan pada studi literature. Dengan membatasi obyek studi dan sifat permasalahannya library research adalah termasuk jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif deduktif
bersifat
betolak dari data yang bersifat khusus untuk menemukan
kesimpulan umum. 2. Fokus Penelitian Penetapan fokus
penelitian berarti
membatasi
kajian. Dengan
menetapkan fokus masalah berarti peneliti telah melakukan pembatasan bidang kajian, yang berarti pula membatasi bidang temuan. Menetapkan fokus penelitian berarti menetapkan kriteria dan penelitian. 12 Dalam pandangan penelitian kualitatif, gejala yang ada bersifat holistik (menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan), sehingga penelitian kualitatif tidak akan menetapkan penelitiannya hanya berdasarkan variabel penelitian, tetapi keseluruhan situasi sosial yang diteliti yang meliputi aspek tempat
11
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014),Cet. XIV, hlm.5-6. 12 Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi pengembangan Profesi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 187.
11
(place), pelaku (actor), dan aktifitas (actiyity), yang berinteraksi secara sinergis.13 Pada penelitian ini difokuskan pada bagaimana nilai modernisasi dalam pondok pesantren dan mengambil pemikiran KH. Abdurrahman Wahid yang tertuang dalam buku yaitu “Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren ”. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya. Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan, karena sifatnya yang alamiah, sesuai dengan konteks, lahir dan berada dalam konteks. Dokumen biasanya dibagi atas dokumen pribadi dan dokumen resmi.14 Dalam mencari data-data tentang nilai modernisasi pondok pesantren dalam pondok pesantren ini menggunakan data primer dan data sekunder. a. Data Primer Sumber data primer yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan obyek riset. Adapun data primer dalam penelitian ini adalah Buku 13 14
Sugiyono, Op.Cit., hlm. 207. Lexy. J. Moleong, Op.Cit., hlm. 217.
12
“Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren”, KH. Abdurrahman Wahid Yang diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta tahun 2001. b. Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu sumber data yang mendukung dan melengkapi data-data primer. Data sekunder yang digunakan adalah data yang relevan dengan fokus penelitian, seperti buku karya Zamakhsyari Dhofier “ Tradisi Pesantren”, Nurcholis Madjid “ Bilik-bilik Pesantren”, M. Sulthon dan Moh. Khusnurdilo “ Manajemen Pondok Pesantren “, Greg Barton “Biografi Gus Dur – the authorized biography of ABDURRAHMAN WAHID”,dan lain-lain, serta dari jurnal dan internet. 4. Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif (Bogdan & Biklen, 1982) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. 15 Analisis data yang digunakan adalah analisis isi (content analysis) metode analisis yang diarahkan pada materi atau teks yang terdapat dalam buku “Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren. Sebagaimana dinyatakan oleh Holtsi bahwa content analys adalah suatu tehnik yang digunakan untuk
15
Ibid.,hlm. 248.
13
menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis. 16 Metode yang digunakan dalam analisis data kualitatif adalah metode perbandingan tetap atau Constant Comparative Method karena dalam analisis data secara tetap membandingkan satu datum dengan datum yang lain, dan kemudian secara tetap membandingkan kategori dengan kategori lainnya. Metode ini juga disebut Grounded Research oleh Glaser & Strauss, secara umum meliputi:17 a. Reduksi data 1) Identifikasi satuan unit, yaitu bagian terkecil yang ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian, yaitu modernisasi pondok pesantren. 2) Membuat koding, yaitu memberikan kode pada setiap satuan supaya dapat tetap ditelusuri data atau satuannya berasal dari mana. b. Kategorisasi Adalah upaya memilah-milah setiap satuan kedalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan. c. Sintesisasi Berarti mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya. 5. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data 16
Soejono dan Abdurrahman, Bentuk penelitian suatu pemikiran dan penerapan, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1999), hlm. 18. 17 Lexy. J. Moleong, Op.Cit., hlm. 288-289.
14
Pemeriksaan keabsahan data menggunakan tehnik Triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keparluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.18 Triangulasi merupakan cara terbaik untuk menghilangkan perbedaanperbedaan kontruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan untuk me-recheck temuannya, untuk itu maka peneliti dapat melakukan dengan jalan: 19 a. Mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan. b. Mengeceknya dengan berbagai sumber data. c. Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan data dapat dilakukan. Dalam penelitin ini peneliti akan mengeceknya dengan berbagai sumber data yang membahas fokus yang sama tentang modernisasi pondok pesantren, yaitu hasil pemikiran di dalam buku “Menggerakkan Tradisi EsaiEsai Pesantren” dengan hasil pemikiran konsep modernisasi pondok pesantren yang lain seperti pemikiran Bilik-bilik Pesantren karangan 18 19
Ibid., hlm. 330. Ibid., hlm. 332.
15
Nurcholis Madjid cetakan Dian Rakyat, dan dari sumber yang lainnya sehingga mampu memperoleh keabsahan data yang akurat. G. Sistematika Penulisan Untuk mengetahui keseluruhan isi atau materi-materi skripsi ini secara global, maka penulis perlu mengemukakan sistematika skripsi ini yang terdiri dari tiga bagian yaitu : 1. Bagian muka Bagian muka ini terdiri dari: halaman judul, halaman abstrak, halaman nota pembimbig, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi. 2.
Bagian Isi/ Batang Tubuh BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Pustaka E. Metode Penelitian F. Sistematika Penulisan BAB II : LANDASAN TEORI A. Modernisasi 1) Pengertian
16
2) Syarat-Syarat Modernisasi B. Pondok Pesantren 1) Pengertian Pondok Pesantren 2) Elemen-Elemen Pondok Pesantren 3) Tujuan Pesantren C. Konsep Modernisasi Pondok pesantren BAB III : Objek Kajian A. Biografi B. Karya-Karya Dan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid C. Modernisasi Pondok Pesantren Menurut KH. Abdurrahman Wahid BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Memasukkan Sekolah Umum ke Pesantren B. Analisis Pengembangan Kurikulum C. Analisis Pengembangan Kepemimpinan BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-Saran C. Penutup 3. Bagian Akhir Dalam bagian ini terdiri dari, daftar kepustakaan, Biografi penulis dan daftar lampiran-lampiran.
BAB II MODERNISAI PONDOK PESANTREN
A. Modernisasi 1. Pengertian Secara bahasa modernisasi berasal dari kata modern yang berarti terbaru; sikap dan cara berfikir serta bertindak sesuai dengan tuntunan zaman. Kemudian mendapat akhiran “sasi”, yakni modernisasi, sehingga mempunyai pengertian suatu proses yang proses pergeseran sikap dan mentalis sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntunan masa kini. 1 Ditinjau dari segi bahasa, kata modernisasi menunjukkan bahwa tradisi dan kehidupan masa lampau merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan masa kini dan tuntutan zaman. Sehingga agar tradisi atau pola hidup seseorang itu dapat eksis dalam perjalanan masa, maka diadakan suatu perombakan atau perubahan, dan proses inilah yang dimaksud dengan modernisasi. Proses perubahan disini bukan hanya terkait dengan persoalan sikap mentalis semata, bahkan seiring dengan perputaran waktu, pemikiran dan prilaku seseorang senantiasa juga mengalami perubahan. Sedangkan secara istilah dapat ditemui dalam beberapa pendapat para pakar, meskipun diantara mereka memakai susunan kalimat yang berbeda, 1
Departemen Pendidika dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indoneisa, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989),hlm.589.
17
18
namun pada dasarnya memiliki inti pembicaraan yang sama, perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang sesuai dengan konteks pembicaraan masing-masing. Menurt Prof. Dr. Harun Nasution modernisasi dalam masyarakat barat mengandung arti pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. 2 Menurut Daniel Lerner yang dikutip oleh Sidi Gazalba modernisasi adalah istilah baru untuk suatu proses yang panjang, yaitu proses perubahan sosial dimana masyarakat yang kurang berkembang memperoleh ciri-ciri yang biasa bagi masyarakat lebih berkembang. 3 Modernisasi sebagai perubahan nilai-nilai, lembaga-lembaga yang memindahkan masyarakat tradisional kearah industrialisasi dan urbanisasi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nampaknya menjadi pemicu utama dari adanya proses modernisasi. Semakin banyak penemuanpenemuan ilmiah yang dilakukan maka semakin tinggi peradaban umat manusia. Sementara itu pakar intelektual muslim, Dr. Nurcholis Madjid menyatakan bahwa meodernisasi adalah proses perombakan pola pikir dan
2
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah dan Gerakan, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1991),hlm.11 3 Sidi Gazalba, Modernisasi Dalam Persoalan, Bagaimana Sikap Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1985),hlm.4-5.
19
tata kerja lama yang tidak aqliyah (rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru aqliyah.4 Dalam hal ini Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, menyatakan dengan pernyataan yang lebih tegas bahwa kata modern dalam identifikasinya bukan westernisasi yang sekuler, tetapi lawan dari tradisional dan konvensional, karakter utamanya adalah rasional efesien sekaligus mengintregasikan wawasan dan wahyu. 5 Modernisasi bisa juga disebut dengan reformasi yaitu mebentuk kembali, atau mengadakan perubahan kepada yang lebih baik, dapat pula diartikan dengan
perbaikan. Dalam bahasa arab sering diartikan dengan
tajdid yaitu memperbarui, sedangkan pelakunya disebut Mujaddid yaitu orang yang melakukan pembaharuan. 6 Menurut Abudin Nata, sebagaimana yang dikutip oleh Harpandi Dahri modern diartikan sebagai yang terbaru atau mutakhir. Selanjutnya kata modern erat kaitannya dengan kata modernisasai yang berarti pembaharuan atau tajdid dalam Bahasa Arab. Dalam Islam, modernisasi sering juga diartikan upaya sungguh-sungguh untuk melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman, pemikiran, dan pendapat tentang masalah keIslaman yang dilakukan oleh pemikir terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan
4
hlm.172.
5
Nurcholis Madjid, Islam Kemerdekaan dan Keindonesiaan, ( Bandung : Mizan, 1993),
Noeng Muhajir, Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Perspektif Modern, AlTa’dib, Forum Kajian Ilmiah Kependidikan Islam, No.1 (Juni,2008),hlm.38. 6 Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam (Dirasah Islamiyah), Ed.I Cet.II ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.1-2.
20
zaman. Selanjutnya aspek yang dihasilkan oleh modernisasi disebut modernitas.7 Modernisasi atau pembaharuan dalam dunia Islam mengandung arti upaya atau aktivitas untuk mengubah kehidupan umat Islam dari keadaankeadaan yang sedang berlangsung kepada keadaan yang baru yang hendak di wujudkan demi kemashlahatan hidup dan masih dalam garis-garis yang tidak melanggar ajaran dasar yang disepakati oleh para ulama Islam. Sedangkan gagasan program modernisasi pendidikan berasal dari gagasan tentang modernisasi pemikiran Institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain modernisasi pendidikan Islam secara keseluruhan adalah bahwa modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasayarat bagi kebangkitan kaum muslim di masa era modern. Karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan haruslah dimodernisasi, sederhananya diperbarui sesuai dengan kerangka modernitas. 8 2. Syarat-syarat Modernisasi Modernisasi tidak sama dengan reformasi yang menekankan pada faktor-faktor rehabilitasi. Modernisasi bersifat preventif dan konstruktif dan agar proses tersebut tidak mengarah pada angan-angan sebaliknya. Modernisasi harus dapat memproyeksikan kecenderungan yang ada dalam
7
Harpandi Dahri, Modernisasi Pesantren, (Jakarta : Balai penelitian dan Pengembangan Agama, tt),hlm.73. 8 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakaerta : Logos Wacana Ilmu, 1993),hlm.31.
21
masyarakat ke arah waktu-waktu yang mendatang. Teori modernisasi yang digagas oleh Soerjono Soekamto memiliki beberapa syarat yaitu : a. Cara berfikir yang ilmiah (scientific thinking). b. Sistem administrasi yang baik yang benar-benar mewujudkan birokrasi. c. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur dan terpusat. d. Penciptaan iklim yang favourable dari masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa. e. Tingkat organisasi yang tinggi. f. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial. 9 Apabila dibedakan menurut asal faktornya, maka faktor-faktor yang mempengaruhi modernisasi pesantren dapat dibedakan atas faktor internal dan eksternal. 1) Faktor-faktor internal, merupakan faktor-faktor perubahan yang berasal dari dalam masyarakat, misalnya : a) Perubahan aspek demografi (bertambah dan berkurangnya penduduk), b) Konflik antar-kelompok dalam masyarakat c) Terjadinya gerakan sosial dan d) Penemuan-penemuan baru, yang meliputi (a) discovery, atau penemuan ide/alat/hal baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya (b) invention, penyempurnaan penenmuan-penemuan pada discovery oleh 9
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. XXII, hlm.387.
22
individu atau serangkaian individu, dan (c) innovation, yaitu diterapkannya ide-ide baru atau alat-alat baru menggantikan atau melengkapi ide-ide atau alat-alat yang telah ada. 2) Faktor-faktor eksternal, atau faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat, dapat berupa : a) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, yang meliputi proses-proses difusi (penyebaran unsure kebudayaan), akulturasi (kontak kebudayaan), dan asimilasi (perkawinan budaya). b) Perang dengan negara atau masyarakat lain, dan c) Perubahan lingkungan alam. Sedangkan dilihat dari faktor-faktor modernisasi pesantren menurut jenisnya dapat dibedakan antara faktor-faktor yang bersifat material yang bersifat immaterial. 1) Faktor-faktor yang bersifat material, meliputi : a) Perubahan lingkungan alam, b) Perubahan kondisi fisik-biologis dan c) Alat-alat dan teknologi baru, khususnya Teknologi Informasi dan Komunikasi. 2) Faktor-faktor yang bersifat immaterial, meliputi : a) Ilmu pengetahuan, dan
23
b) Ide-ide atau pemikiran baru, ideology dan nilai-nilai lain yang hidup dalam masyarakat.10 Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahanperubahan yang bisa dilihat di pesantren modern yakni mulai akrabnya dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat. 11
B. Pondok Pesantren 1. Pengertian Pesantren Kata pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua kata yaitu “Sa” dan “Tra”. “Sa” yang berarti orang yang berperilaku baik. Dan “Tra” berarti suka Menolong. 12 Selanjutnya kata pesantren berasal dari kata dasar “santri” yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat
10
http://agsasman3yk.wordpress.com/2009/08/04/perubahan-sosial-modernisasi Dan pembangunan/ diakses pada 06 September 2015, pukul. 00.15 WIB 11 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.155. 12 Abu Hamid, Sistem Pesantren Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan ( Ujung Pandang: Fakultas Sastra UNHAS, 1978), hlm.3.
24
tinggal para santri.13 Begitu pula pesantren sebuah kompleks yang mana umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya, dalam kompleks itu berdiri beberapa bangunan rumah kediaman pengasuh. Dapat pula dikatakan pesantren adalah kata santri yaitu orang yang belajar agama Islam.14 Sementara menurut KH. Abdurrahman Wahid, pesantren diartikan sebagai suatu tempat yang dihuni oleh para santri. Pernyataan ini menunjukkan makna pentingnya ciri-ciri pesantren sebagai sebuah lingkungan pendidikan integral. Sebagai mana beliau mengumpakan layaknya sebuah akademi militer.15 Sebagaimana yang dikutip oleh Zamaksyari menurut C.C Berg bahwa kata santri berasal dari kata shastri berasal dari India yang berarti buku-buku suci, buku-buku keagamaan dan buku-buku tentang ilmu pengetahuan. 16 Bila mendengar makna pesantren itu sendiri, maka orientasi secara spontanitas tertuju kepada lembaga pendidikan Islam yang diasuh oleh para kyai atau ulama dengan mengutamakan pendidikan agama dibandingkan pendidikan umum lainnya. Abu Ahmadi memberikan pengertian pesantren sebagai suatu sekolah bersama untuk mempelajari Ilmu agama, kadang-kadang lembaga demikian
13
Wahjoetimo, Perguruan tinggi Pesantren Pendidikan Alternative Masa Depan (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),hlm.70. 14 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Pustaka Ilmu, tt), hlm. 310. 15 Said Agil Siraj et. AL. Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan Dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet. 1, hlm.13. 16 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3S , 2011), hlm.41.
25
ini mencakup ruang gerak yang luas sekali dan mata pelajaran yang dapat diberikan dan meliputi hadits, ilmu kalam, fiqih dan ilmu tasawuf. 17 Dari pengertian tersebut diatas, maka dapatlah dipahami bahwa pesantren adalah wadah yang mana di dalamnya terdapat santri yang dapat diajar dan belajar dengan berbegai ilmu agama. Demikian pula sebagai tempat untuk menyiapkan kader-kader da’i yang professional dibidang penyiaran Islam. 2. Elemen – Elemen dalam Pondok Pesantren Unsur terpenting bagi sebuah pesantren adalah adanya kyai, para santri, masjid, tempat tinggal, serta buku-buku atau kitab-kitab teks.18 Sebagaimana yang di jelaskan oleh Zamakhsyari Dhofier ada lima elemen diantaranya adalah sebagai berikut: a. Pondok Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para santri berada dalam lingkungan komplek pesantren di mana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruangan untuk belajar dan kegiatan-kegiatan
17
Abu Hamid,Op.Cit, hlm.18. Departemen Agama Republik Indonesia, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah,Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta : Dirjen Kelembagaan Islam Indonesia, 2003), hlm.3. 18
26
keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk menjaga keluar dan masuknya para santri sesuai dan tamutamu (orang tua santri, keluarga yang lain, dan tamu-tamu masyarakat luas) dengan peratuaran yang berlaku. Pondok, asrama bagi para santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negaranegara lain. Sistem pendidikan surau di daerah Minangkabau atau Dayah di Aceh pada dasarnya sama dengan sistem pondok, yang berbeda hanya namanya.19 b. Masjid Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain, kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak Masjid Qubba di dirikan dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar pada sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam. Di manapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi, dan kultural. Hal ini berlangsung selama 13 abad. 20 19 20
Zamakhsyari Dhofier, Op.Cit, hlm.81. Ibid, hlm.86
27
Berdasarkan pengamatan peneliti tidak semua pondok pesantren mempunyai fasilitas masjid, terutama pesantren-pesantren yang masuk kategori kecil. Pesantren semacam ini kadang hanya memiliki musholla, bahkan ada yang mempergunakan aula (tempat yang sedikit lebar) untuk difungsikan sebagai pengganti peran masjid. c. Pengajaran Kitab Islam Klasik Pada masa lalu, pengajaran kitab Islam klasik, terutama karangankarangan ulama yang menganut faham syafii, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utamanya ialah untuk mendidik calon-calon ulama. Untuk mendalami kitab-kitab tersebut, menurut Nurcholish Majid biasanya digunakan sistem wetonan atau bandingan dan sorogan. Kitab kuning sebagai salah satu unsur mutlak dari proses belajar mengajar di pesantren sangat penting dalam membentuk kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan (kualitas keberagamaan) pada diri santri. 21 Dalam catatan Nurcholis Madjid, setidaknya kitab-kitab klasik yang diajarkan dipesantren mencakup ilmu-ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, dan nahwu-sharaf.22 Diantara kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren, menurut
21
Dhofier
dapat
digolongkan
menjadi
8
kelompok
Yasmadi, Modenisasi Pesantren Kritik Nurchalish Madjid Atas Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta : Ciputat Press, 2002), cet.I, hlm.68. 22 Nurchalish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, ( Jakarta : Paramadina, 1997), hlm. 29.
jenis
28
pengengetahuan: 1. Nahwu (syntax) dan shorof (morfologi), 2. Fiqh, 3. Ushul fiqh, 4. Hadits, 5. Tafsir, 6. Tauhid, 7. Tasawuf dan etika, 8. Cabangcabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh dan tasawuf. Kesemuanya dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok tingkatan, yaitu: 1) Kitab dasar, 2) Kitab tingkat menengah, 3) Kitab tingkat tinggi.23 d. Santri Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren untuk mempelajari kitab-kitab Islam klasik. Oleh karena itu, santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Para santri menuntut agama kepada kiai dan mereka bertempat tinggal di pondok pesantren. Karena posisi santri seperti ini. Maka kedudukan santri dalam komunitas pesantren menempati status subordinat, sedangkan kiai menempati posisi superordinat. Santri memiliki kebiasaankebiasaan tertentu, seperti santri memberikan penghormatan yang berlebihan kepada kiai. Kebiasaan ini menjadikan santri bersikap pasif karena khawatir kehilangan barokah. Kekhawatiran ini menjadi salah satu 23
Ibid, hlm.87.
29
sikap yang khas pada santri dan cukup membedakan dengan kebiasaan yang cukup membedakan dengan kebiasaan siswa-siswi sekolah maupun siswa-siswi lembaga kursus.24 Perlu diketahui bahwa, menurut tradisi pesantren, santri terdiri dari dua : 1) Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memang bertanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren seharihari; mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah. 2) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya dipesantren, mereka bolak-balik (nglaju) dari rumahnya sendiri. Biaya untuk belajar di pesantren pada waktu dulu mahal (baik untuk pelajaran, ongkos hidup, maupun kitab-kitab yang harus dibeli), bahkan kadang harus ditanggung oleh keluarga dekat. 25 Apakah hal tersebut masih berlaku untuk saat ini? Seperti yang penulis cermati bahwa
24
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi ,(Jakarta : Erlangga, tt), hlm.20. 25 Ibid., hlm.90-92
30
pendidikan pesantren memang merupakan pendidikan yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Tetapi anggapan diatas memang ada benarnya karena sebagian besar santri yang menuntut ilmu di pesantren kebanyakan merupakan dari keluarga yang berkecukupan. Biaya pendidikan di pesantren yang santrinya tidak bisa nyambi untuk bekerja, maka hal itu menjadi beban tersendiri bagi keluarganya. Tetapi hal ini perlu kajian lebih lanjut untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Walaupun demikian biaya pendidikan di pondok pesantren jauh lebih terjangkau, hal ini terbukti bahwa sebagian besar santri yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren adalah kalangan masyarakat dengan taraf ekonomi menengah ke bawah. Walaupun akhir-akhir ini sudah mulai banyak santri yang berasal dari kalangan ekonomi atas, tetapi prosentasenya masih relatif kecil. e. Kyai Menurut konsep Islam, semua orang adalah pemimpin. Oleh karena itu, setiap orang harus mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya kepada sesama manusia semasa hidup di dunia dan kepada Tuhannya kelak. Namun demikian, yang dimaksud pemimpin dalam dunia pesantren tidak lain adalah sosok seorang kyai.
31
Dalam bahasa Jawa, kiai adalah sebutan ‘a
26
hlm.505.
W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesai, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1986),
32
menyelenggarakan, dan mengendalikan seluruh pelaksanaan kegiatan pendidikan di pesantren. 27 Memang betul bahwa lembaga-lembaga pesantren terikat kuat dengan formulasi eksplisit Islam tradisional. Tetapi para kyai yang menjadi penghubung antara Islam Tradisional dan dunia nyata ini juga meupakan bagian nyata kehidupan bangsa Indonesia. Kedudukan ganda kyai ini memang unik, dan menjadi inti dari kualitas yang menonjol. Memang benar, kedudukan ganda ini pula yang seringkali menjadi sumber tragedi yang dialami oleh para kyai ; tetapi justru pada kedudukan ganda ini pula terletak keagungan mereka.28 3. Tujuan Pesantren Pesantren merupakan salah satu bentuk pendidikan luar sekolah yang berada di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren sudah barang tentu memberikan corak tersendiri dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya. Dalam penyelenggaraan pendidikan, pesantren memiliki dasar pendidikan yang selaras dengan misi yang diembannya yaitu penyelenggara pendidikan Islam. Alasan yang digunakan tidak lepas dari ajaran Islam yaitu Al Qur’an dan As-sunnah, al Qur’an adalah sumber kebenaran dalam Islam. Kebenerannya tidak dapat diragukan lagi, terutama sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwwa kepada Firman Allah SWT : 27
Ahmad Muthohar, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus IdeologiIdeologi Pendidikan, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2007), hlm.32. 28 Ibid., hlm. 281.
33
(٢ : )اﻟﺒﻘﺮة Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang 29 bertaqwa. (Al- Baqarah : 2).
Berdasarkan ayat hadits di atas, bahwa dalam pandangan Islam, ilmu itu sangat berguna dalam kehidupan seorang muslim. Sebab dengan mempunyai ilmu maka seorang dapat melaksanakan apa yang terdapat dalam ajaran Islam jadi, Islam sangat memperhatikan pendidikan terutama pendidikan agama yang menjadi dasar dari azas pokoknya. Begitu juga dengan pesantren yang merupakan salah satu lembaga pendidikan agama Islam. Dengan demikian secara otomatis dengan menjadi dasar pendidikannya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Secara institusi, tujuan pendidikan pesantren memiliki kesamaan antara pesantren yang satu dengan pesantren yang lainnya. Tidak ada perumusan tujuan ini disebabkan adanya kecenderungan visi dan tujuan diserahkan pada proses improvisasi (spontanitas) yang dipilih sendiri oleh seorang kyai ( berasama-sama dengan dewan asatidz) secara intuitif yang disesuaikan dengan perkembangan pesantrennya. Bisa dibilang bahwasanya pesantren itu sendiri adalah pancaran kepribadian pendirinya. 30
29
Kementrian Agama RI, Al’Qur’an dan Terjemahnya,( Jakarta : PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), hlm.2. 30 Nurcholish Majid, Op.Cit, hlm.6.
34
Berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain, yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikan yang jelas, misalnya dirumuskan dalam anggaran dasar, maka pesantren, terutama pesantren-pesantren lama pada umumnya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya. Hal ini terbawah oleh sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan motivasi berdirinya, dimana kyainya mengajar dan santrinya belajar, atas dasar untuk ibadah dan tidak pernah di hubungkan dengan tujuan tertentu dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam hirarki sosial maupun ekonomi. Karena untuk mengetahui tujuan dari pada pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren, maka jalan yang harus ditempuh adalah dengan pemahaman terhadap fungsi yang dilaksanakan dan dikembangkan oleh pesantren itu sendiri baik hubungannya dengan santri maupun dengan masyarakat sekitarnya.31 Demikian juga seperti yang pernah dilakukan oleh para wali di jawa dalam merintis suatu lembaga pendidikan Islam, misalnya Syeih Maulana Malik Ibrahim yang dianggap sebagai bapak pendiri pondok pesantren, Sunan Bonang atau juga Sunan Giri. Yaitu mereka mendirikan pesantren bertujuan
31
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: Darma Bhakti, 1994), hlm.33.
35
lembaga yang dipergunakan untuk menyebarkan agama dan tempat mempelajari agama Islam.32 Tujuan dari fungsi pesantren sebagai lembaga penyebaran agama Islam adalah, agar ditempat tersebut dan sekitar dapat dipengaruhi sedemikian rupa, sehingga yang sebelumnya tidak atau belum pernah menerima agama Islam dapat berubah menerimanya bahkan menjadi pemeluk-pemeluk agama Islam yang taat. Sedangkan pesantren sebagai tempat mempelajari agama Islam adalah, karena memang aktivis yang pertama dan utama dari sebuah pesantren diperuntuhkan mempelajari dan menadalami ilmu pengetahuan agama Islam. Dan fungsi-fungsi tersebut hampir mampu mempengaruhi pada kebudayaan sekitarnya, yaitu pemeluk Islam yang teguh bahkan banyak melahirkan ulama yang memiliki wawasan keIslaman yang tangguh. Dari pada transformasi sosial dan budaya yang dilakukan pesantren pada proses berikutnya melahirkan dampak-dampak baru dan salah satunya reorientasi yang semakin kompleks dari seluruh perkembangan masyarakat. Bentuk reorientasi itu diantaranya, karena pesantren kemudian menjadi legitimasi sosial. Bagian dari reorientasi dari fungsi dan tujuan tersebut digambarkan oleh Abdurrahman Wahid, diantaranya pesantren memiliki peran mengajarkan keagamaan, yaitu nilai dasar dan unsure-unsur ritual Islam. Dan pesantren sebagai lembaga sosial budaya, artinya fungsi dan perannya 32
hlm.4.
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980),
36
ditujukan pada pembentukan masyarakat yang ideal. Serta fungsi pesantren sebagai kekuatan sosial, politik dalam hal ini pesantren sebagai sumber dan tindakan politik, akan tetapi lebih diarahkan pada penciptaan kondisi moral yang akan selalu melakukan control dalam kehidupan dalam kehidupan sosial politik.33
C. Konsep Modernisasi Pesantren Di zaman modern ini, modernisasi merupakan salah satu prasyarat bagi kebangkitan
kaum
muslim. Oleh karena itu pemikiran dan kelembagaan
pendidikan Islam, salah satunya adalah pesantren haruslah dimodernisasi atau dengan
kata lain harus disesuaikan dengan kerangka modernitas, karena
mempertahankan kelembagaan Islam tradisional hanya akan memperpanjang nestapa ketidakmampuan kaum muslim dalam menghadapi tantangan zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Modernisasi di Indonesia lebih dikenal dengan istilah pembangunan (development) adalah proses multidimensional yang komplek. Pada suatu segi pendidikan dipandang sebagai variable modernisasi. Dalam kontek ini pendidikan dianggap merupakan prasyarat dan kondisi yang mutlak bagi masyarakat untuk menjalankan program dan tujuan-tujuan modernisasi atau pembangunan. Dengan pendidikan yang berkualitas masyarakat akan menjadi maju, tanpa pendidikan masyarakat sulit untuk maju. Oleh karena itu banyak 33
M. Dawam Rahardjo, Editor Pergulatan Dunia Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 8.
37
para ahli yang berpandangan bahwa pendidikan merupakan kunci yang membuka pintu kearah modernisasi. Namun disisi lain, pendidikan sering dianggap objek modernisasi. Dalam konteks ini pendidikan di negara-negara yang telah menjalankan modernisasi pada umumnya dipandang belum maju dalam beberapa hal, dan karena itu sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program modernisasi. Karena itulah pendidikan harus diperbaharui atau dimodernisasi, agar dapat memenuhi harapan dan fungsi pendidikan yang ditanggung jawabkan kepadanya. Modernisasi yang mengandung pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengganti paham, adat istiadat, institusi lama kepada baru yang ditimbulkan oleh perkembangan dan pengetahuan teknologi modern. Karena kata modernisasi yang datang dari barat sering mengandung hal negatif, maka di negara Indonesia modernisasi sering disebut dengan pembaruan. Dalam bahasa arab modernisasi dikenal dengan kata tajdid. Modernisasi ataupun pembaruan berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas mental sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini.34 Jadi modernisasi Pondok Pesantren yang dimaksud dalam skripsi ini adalah penyesuaian Pondok Pesantren dengan kemajuan zaman modern. Pesantren dengan sifat khas telah menjelma menjadi pusat pendidikan Islam yang survive keberadaanyya. Transfer ilmu-ilmu keIslaman yang disalurkan oleh pesantren merupakan bukti nyata keseriusan pesantren menjaga 34
Abudin Nata. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakrta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm.187
38
kelestarian dan
kelangsungan Islam. Tidak hanya itu, kader-kader atau
intelektual Islam pun akan lahir disini. Peran seperti ini akan menghasilkan pribadi muslim yang tangguh, harmonis dan mampu
mengatasi persoalan-
persoalan yang timbul disekitarnya. 35 Visi pendidikan dan perkembangan dunia keilmuan yang sering kali terjadi di masyarakat tidak pernah dilihat sebagai salah satu faktor yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam melakukan pembenahan dan pengembangan pendidikan pesantren. Oleh karena itu peran yang dapat dilakukan adalah bagaimana memfasilitasi para santri untuk dapat menguasai pengetahuan yang elementer dan menjadi basis keilmuan yang lebih tinggi masa yang akan datang.36 Perkembangan dunia telah
melahirkan suatu kemajuan zaman yang
modern. Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosio-kultural seringkali membentur pada aneka kemapanan. Hal ini berakibat pada keharusan untuk mengadakan usaha kontekstualisasi bangunan-bangunan sosio-kultural dengan dinamika modernisasi, tak terkecuali dengan sistem pendidikan
pesantren.
Karena itu, sistem pendidikan pesantren harus selalu melakukan upaya rekonstruksi pemahaman tentang ajaran-ajaran Islam agar tetap relevan dan survive. Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap
35
Irwan Abdullah, Muhammad Zain & Hasse J (Eds), Agama, Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren, ( Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana UGM bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2008), cet, ke-1, hlm.1. 36 Ibid, hlm.118.
39
perubahan dan tuntutan zaman, berwawasan masa depan, selalu mengutamakan prinsip efektifitas dan efisiensi dan sebagainya. Namun demikian, "modernisasi pesantren tidak harus mengubah atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren. Demikian pula, nilai-nilai pesantren tidak perlu dikorbankan demi program
modernisasi
pesantren
kendati
harus
berubah,
menyesuaikan,
metomorphose, atau apa pun namanya, dunia pesantren harus tetap hadir dengan jati dirinya yang khas. Sebagai mana yang dikutip Marwan Saridjo menurut Azyumardi Azra melihat bahwa dalam dunia pendidikan modernisasi umumnya dilihat dari dua segi. Pada satu segi, pendidikan dipandang sebagai suatu variabel modernisasi. Tanpa pendidikan yang memadai akan sulit bagi masyarakat mana pun untuk mencapai tujuan. Pada segi lain, pendidikan dipandang sebagai objek modernisasi.37 Dalam konteks ini, pendidikan pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai hal, karena itulah pendidikan harus diperbarui, dibangun kembali sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Sistem pendidikan pesantren yang secara tradisional merupakan lembaga pendidikan Islam indigenous juga diperbarui. Pondok pesantren dengan kekhasan corak dan wataknya serta kemandiriannya yang kemudian disebut lembaga pendidikan Islam tradisional, kini berada di abad modern. Abad dimana ilmu pengetahuan dan teknologi 37
hlm.2.
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam ( Jakartan : CV Amissco, 1996 ),
40
senantiasa terus berubah dan berkembang pesat sesuai dengan perubahan waktu yang dialami manusia. Dengan ciri menonjol semakin besar nilai matrealisme, kompetisi global dan bebas tanpa mengenal belas kasih, serta menurunnya nilai agama. Bagaimana pesantren dalam menyikapi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi amat diperlukan dalam kehidupan manusia saat ini. Sehingga manusia tidak dapat terpisah dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang senantiasa berkembang dan terus berubah. 38 Perkembangan
saint-teknologi,
penyebaran
arus
informasi
dan
perjumpaan budaya dapat menggiring kecenderungan masyarakat untuk berfikir rasional, bersikap inklusif dan berperilaku adaptif. Mereka dihadapkan semacam pada pilihan-pilihan baru yang menarik dan cukup menggoda untuk mengikutinya. Masyarakat sekarang ini begitu intens menjumpai perubahan-perubahan baik, menyangkut pola pikir, pola hidup, kebutuhan sehari-hari hingga proyeksi kehidupan di masa depan. Kondisi ini tentu berpengaruh secara signifikan terhadap standart kehidupan masyarakat. Mau tidak mau, mereka sanantiasa berusaha berfikir dan bersikap progresif sebagai respon terhadap perkembangan dan
tuntutan
zaman.
Bentuk
responsif
ini
selanjutnya
yang
perlu
dipertimbangkan oleh kalangan pesantren.
38
89.
Noor Mahpuddin, Potret Dunia Pesantren, (Bandung : Humaniora, 2006), cet. ke-1, hlm.
41
Pesantren tidak bisa bersikap isolatif dalam menghadapi tantangan diera modern ini. Respon yang positf adalah dengan memberikan alternatif-alternatif yang berorientasi pada pemberdayaan santri dalam menghadapi era modern yang membawa persoalan-persoalan makin komplek sekarang ini. Sebaliknya respon yang tidak kondusif seperti bersikap isolatif pada masa penjajahan dulu justru menjadikan pesantren kelewat konservatif yang tidak memberikan keuntungan bagi kemajuan dan pembaharuan pesantren. 39 Oleh karenanya, diharapkan perkembangan pesantren pada masa yang akan datang menjadi perkembangan yang mengarah kepada peningkatan peran kualitatif. Sehingga eksisitensinya menjawab tantangan kebutuhan masyarakat sesuai dengan tuntutan zaman yang kini serba modern dengan memanfaatkan teknologi modern yang ada dalam pesantren. Bentuk konkritnya adalah dengan selain belajar ilmu agama, para santri juga dididik dan dilatih ketrampilan dengan harapan selepas menyelesaikan pendidikannya di pondok, para santri bisa mandiri dalam mengarungi kehidupannya di masyarakat. Keberadaan pondok pesantren saat ini, yang telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan, berarti kehidupan pondok pesantren tidak statis. Pesantren telah menunjukkan kemampuan dalam mengimbangi perkembangan zaman yang tengah dan dialaminya. Namun demikian, pesantren harus tetap menjaga dan mempertahankan jati dirinya sebagi lembaga tafaqquh fiddien. Oleh karena itu, pesantren hendaknya memperoleh perhatian dan dukungan serta 39
Mujammil Qomar, Op.Cit, hlm. 73.
42
kerjasama dengan berbagai pihak yang memiliki kepedulian dan keterpanggilan terhadap dunia pendidikan. Sedangkan, untuk dapat berperan secara sentral di masa mendatang, pesantren perlu membenahi diri untuk melakukan antisipasi terhadap berbagai kecenderungan dan kemungkinan yang akan terjadi di masa - masa akan datang.40 Respon pesantren terhadap laju modernisasi tidak dapat dilepaskan dari peran sentral kiai sebagai pemimpin sekaligus penggerak dan pemegang kendali atas kelangsungan pesantren. Dalam merespon modernisasi yang melanda, setidaknya terdapat tiga tipologi kiai, yaitu: Pertama, tipologi apologi, yaitu mengikuti dengan upaya penyesuaian diri dan adaptasi terhadap proses modernisasi. Sebagian mereka telah mengambil nilai-nilai Barat, baik disertai dengan adanya konflik batin maupun tidak sama sekali. Kedua, tipologi resistensi, yaitu menganggap modernisasi sama dengan westernisasi dan sekulerisasi. Akan tetapi, sebagian mereka melakukan resistensi sebatas pada tataran formal saja, sebab dalam realitas sehari-hari mereka juga menerima nilainilai Barat. Ketiga, tipologi tanggapan yang kreatif, yakni menempuh model dialogis dengan mengedepankan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi. Penganut pola ini memiliki keyakinan bahwa nilai-nilai dan ajaranajaran agama dapat digali lebih jauh dan diinterpretasikan kembali untuk bisa
40
Mahpudin, Op.Cit, hlm. 91.
43
memberikan respon yang cerdas dan kreatif dalam menghadapi gempuran modernisasi.41 Implikasi dari kemodernan itu jelas positif, yaitu berupa kemajuankemajuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi, setelah melihat dampak yang dibawa oleh kemajuan-kemajuan tersebut makin banyak orang yang bersikap kritis dengan mengemukakan implikasi negatifnya. Bentuk implikasi negatif yang sering dikontarkan adalah merosotnya nilai-nilai kehidupan rohani, tercabutnya budaya-budaya local, dan degradasi moral terutama yang melanda generasi muda kita. 42 Realitas lainnya, perkembangan pesantren dimasa depan akan ditentukan oleh kemampuannya mengantisipasi dan mengatasi kesulitan, tantangan dan dilema yang selama ini menyelimutinya. Pesantren yang mampu merespon, minimal tidak termarjinalkan oleh desakan-desakan pengaruh global. Dengan demikian, pesantren perlu mengambil beberapa tindakan-tindakan sebagai berikut: 1. Penerapan strategi adaptif-selektif, artinya pesantren perlu mengadakan pembaharuan yang bisa mengimbangi kemajuan zaman tetapi materi pembaharuannya harus terlebih dahulu diseleksi secara ketat berdasarkan parameter ajaran-ajaran Islam.43
41
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Kontruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta : LKiS , 2007), hlm. 63. 42 Norcholis Madjid, Op.Cit, hlm. 96 43 Mujamil Qomar, Op.Cit, hlm.75.
44
2. Pesantren dituntut bersikap kreatif dalam mengelola diri, dengan melakukan improvisasi dan inovasi tanpa merubah watak dan karakteristik tradisional dalam rangka merespon tuntutan pendidikan. 44 3. Memunculkan pemikiran dan langkah-langkah transformatif, yaitu langkahlangkah bukan hanya sekedar merubah bentuk dari aslinya menjadi bentuk yang baru, tetapi yang lebih penting justru terletak pada nilai-nilai positifkontruktif dari perubahan itu. Misalnya, perubahan dari sikap eksklusif menjadi inklusif, perubahan dari kepemimpinan individual menjadi kolektif, perubahan dari pembelajaran yang membelenggu santri menjadi emansipatoris dan sebagainya. Jadi langkah transformatif disini lebih diarahkan pada langkah strategis. 4. Membuat kurikulum terpadu, gradual, sistematik, egaliter, dan bersifat bottom up (tidak top down). Artinya penyusunan kurikulum tidak lagi didasarkan pada konsep plain for student tetapi plain by student. 5. Melengkapi sarana penunjang proses pembelajaran, seperti perpustakaan buku-buku klasik dan kontemporer; majalah, sarana berorganisasi, sarana olahrag, internet kalau (memungkinkan) dan lain sebagainya. 6. Memberikan kebebasan kepada para santri yang ingin mengembangkan talenta mereka masing-masing , baik yang berkenaan dengan pemikiran, ilmu pengetahuan, teknologi dan kewirausahaan. 7. Menyediakan wahana akulturasi diri di tengaha-tengah masyarakat.45 44
Irwan Abdullah, Muhammad Zain dan Jasse J,Op.Cit. cet. ke-I, hlm.13.
45
Secara garis besar, pesantren menghadapi tantangan makro dan mikro. Pada tataran
makro, pesantren ditantang untuk menggarap “triumvirat”
kelembagaan, yakni keluarga, lingkungan kerja dan pesantren sendiri. Sedangkan pada tataran mikro, pesantren dituntut menata ulang interaksi antara santri dan kiai, konsep pendidikan yang digunakan serta kurikulum. 46 Selanjutnya, dalam menghadapi tantangan yang berakibat dari perubahan global tersebut, pesantren dituntut memiliki tiga kemampuan: 1) Kemampuan untuk survive (bertahan hidup) ditengah-tengah perubahan dan persaingan yang terus bergulir 2) Kemampuan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (rohaniah dan jasmaniah); 3) Kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi dengan tuntutan zaman yang terus berubah.47 Dengan demikian, pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsifungsi tradisonalnya, yaitu; pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam; kedua, pemelihara tradisi Islam; ketiga,reproduksi ulama. 48 Sementara itu, menurut Azyumardi Azra, “ pesantren diharapkan bukan hanya mampu bertahan, melainkan juga mampu mengembangkan diri, dan 45
Amin Haedari, dkk, Amin Haedari &Abdullah Hanif, (Eds.), Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan Komplesitas Modern, ( Jakarta : IRD Press, 2004), hlm. 86-87. 46 Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Malang : Kalimasada Press, 1993), hlm.104. 47 Mujamil Qomar, Op.Cit, hlm.77. 48 Azyumardi Azra, Op.Cit, hlm.104.
46
bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan”. 49 Lebih dari itu, pesantren diharapkan mampu memberikan sumbangan dan berfungsi pada pengembangan sistem pendidikan lainnya yang dipandang positif untuk diintegrasikan.
49
Ibid, hlm. 106.
BAB III MODERNISASI PONDOK PESANTREN MENURUT KH. ABDURRAHMAN WAHID
A. Biografi KH. Abdurrahman Wahid Jombang merupakan kota agraris yang sebagaian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan kerja di ladang. Apalagi didekat Pondok Pesantren Denanyar terhampar luas sawah ditanami padi. Di samping Jombang dikenal sebagai kota petani, Jombang juga dikenal sebagi kota santri atau kota pondok pesantren. Di Kabupaten Jombang ini lahir sejumlah kiai yang memiliki pengaruh besar secara Nasional. Bahkan pendiri dan pengurus pertama Pengurus Besar Nahdaltul Ulama (PBNU) adalah K.H. Hasyim Asy’ari yang juga mendirikan dan menjadi pengasuh pertama Pondok Pesantren Tebuireng dan yang kemudian dilanjutkan oleh putranya, K.H Wahid Hasyim (Mantan Menteri Agama RI) setelah K.H Wahid Hasyim wafat digantikan oleh K.H Yusuf Hasyim sebagai pengasuhnya dan sekarang PP Tebuireng diasuh oleh Dr (HC) Ir. K.H Sholahuddin Wahid. Sedangkan kiai yang juga berpengaruh besar adalah K.H Wahab Hasbullah yang telah mendirikan Ponpes Tambakberas Jombang, K.H Bisri Syamsuri yang telah mendirikan Ponpes Denanyar, dan kiai Romli Tamim sebagai tokoh tarekat Naqsabandiyah yang juga dari Jombang, lalu juga lahir Universitas Darul ‘Ulum yang sangat maju ketika dipimpin oleh K.H 47
48
Mus’tain Romli. Mereka adalah tokoh-tokoh agama yang memilih nasionalisme yang tinggi dan mengajarkan Ahlusunnah Wal Jamaah dikalangan warga NU.1 Kemudian tidak kalah menarik adalah tokoh yang menjadi kajian dalam skripsi ini yaitu K.H Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur yang menjabat Presiden RI ke-4 mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001. Beliau lahir tanggal 4 Agustus 1940 di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama, yang bernama K.H Wahid Hasyim. Sedangkan, ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar, Denanyar, Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. 2 Bagi Solichah, Wahid Hasyim adalah seseorang yang sempurna. Kematiannya pada bulan April 1953 membuatnya mengalihkan semua ambisi dan aspirasinya kepada Gus Dur. Baginya adalah hal yang wajar bila Gus Dur harus meneruskan kerja yang telah dirintis oleh sang ayah dan memenuhinya. Bagi Gus Dur muda, Wahid Hasyim dijadikan sebagi seorang teladan. Kehidupan sang ayah menjadi jalan hidup yang harus ditempuhnya sendiri nanti. Walaupun ia dikenal sering bergurau dan bukan seorang penurut, Gus Dur selalu menghormati ibunya. Ia selalu menuruti kata-kata sang ibu, paling tidak di hadapannya.3
1
Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, (Yogyakarta : Kaukaba Dipantara, 2013), hlm.16. 2 Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.71. 3 Greg Barton, Terjemahan Biografi Gus Dur The Authorized Biography of ABDURRAHMAN WAHID, (Yogyakarta : LkiS , 2003), hlm.46.
49
Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu, beliau juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel, dan buku-buku. Di samping membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur, dan mendengarkan musik. Bahkan, Gus Dur pernah diminta menjadi komentator sepak bola disebuah televise. Kegemaran lainnya yang ikut melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya pada tahun 1986-1987 Gus Dur diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia. Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di Pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. 4 Setelah belajar ilmu agama di Mesir, ia kemudian belajar ilmu agama di Baghdad. Di sini ia merasa puas dengan belajar sejarah,filsafat, sastra Arab dan bahasa Prancis, serta belajar tentang sejarah, tradisi dan komunitas Yahudi. Ketika Abdurrahman Wahid belajar di Baghdad, ia lalu berteman dengan ilmuan liberal dan inklusif yang bernama Ramin dari komunitas Yahudi Irak di Baghdad. Mereka selalu mendiskusikan masalah-
4
Faisol, Op.Cit., hlm.72
50
masalah ilmu agama dan mengupas eksistensi agama Yahudi dalam kehidupan diaspora sebagai kaum minoritas teraniayah. Pada
tahun
1970-an,
KH
Abdurrahman
Wahid
berhasil
menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana S-1 selama empat tahun di Universitas Baghdad. Setelah menempuh pendidikannya di Timur Tengah, ia ingin melanjutkan pendidikan ke Eropa, tetapi setelah sampai di Eropa, ia kecewa karena Universitas Leiden dan seluruh Universitas Eropa tidak mengakui lembaga pendidikan di Universitas Baghdad. Pada waktu itu, Universitas Eropa menetapkan persyaratan bagi lulusan Timur Tengah untuk mengulang mulai dari Sarjana S-1 lagi. Untuk mengurangi rasa kekecewaan, ia lalu berkeliling Eropa selama dua tahun dan kemudian kembali ke tanah air pada pertengahan 1971. Sejak tinggal di tanah air, ia mulai berkarir dan bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LP3ES Jakarta serta merintis karir organisasi keagamaan di Nahdlatul Ulama.5 Di Jombang Gus Dur mengalami suatu pertemuan yang jauh lebih penting daripada pertemuan dengan karya sastra pengarang-pengaranag terkenal yang dibacanya dengan penuh kegairahan. Sebagai remaja, Gus Dur belum pernah mengalami kisah cinta. Lebih lagi, ia tinggal dalam satu dunia keagamaan yang secara nyata tidak menyetujui pemuda-pemuda yang cemerlang untuk bercinta dalam usia muda. Oleh karena itu, walaupun berusia dua puluhan, ia belum pernah berkencan, apalagi mempunyai pacar.
5
Moh. Dahlan, Op.Cit, hlm.19.
51
Boleh dikatakan, semangat pemberontakan pemuda yang ada dalam dirinya disalurkan dengan kedekatannya yang singkat dengan Islam radikal. Hingga saat itu, wanita-wanita yang sempat digandrunginya hanyalah yang menatapnya dari layar perak. Namun, ketika ia mulai mengajar di madrasah di Tambakberas pada awal tahun 1960-an, ia mulai tertarik kepada seorang siswi yang bernama Nuriyah. Gadis ini salah satu dari gadis-gadis yang paling
menarik di kelasnya. Ia juga cerdas dan
berfikir bebas serta dapat menarik perhatian sejumlah pemuda di lingkungan pesantren pada masa itu. Oleh karena itu, cukup mengherankan bahwa ia bisa tertarik pada sang guru yang agak canggung, seorang kutu buku, agak gemuk, dan lagi pula mengenakan kecamata besar dan tebal.6 Akhirnya sebelum Gus Dur berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya,dialah sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur, perempuan yang menjadi idam-idamannya saat menjadi guru di Tambak Beras. Pernikahanya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di Mesir. Dari pernikahannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikaruniai empat orang anak yaitu Alissa Qotrunnada Munawwaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus dan Inayah Wulandari.7 Beberapa penghargaan yang pernah Gus Dur raih semasa hidup bahkan sampai akhir hayat :
Bintang tanda jasa kelas 1, bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan dari Pemerintahan Mesir
6 7
Greg Barton, Op.Cit., hlm.56 Faisol, Op.Cit., hlm. 72
52
Ramon Magsaysay, Filipina (1993)
Pin Penghargaan Keluarga Berancana dari PKBI (1994)
Bintang Mahaputera Utama (1998)
Doktor Honoris Causa Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
Doktor Honoris Causa Bidang Hukum dari Universitas Thammasat Anant Anantakul, Thailand (2000)
Doktor Honoris Causa Bidang Perdamaian dari Soka University, Jepang (2002).
Global Tolerance Award dari Friends of the United Nations, New York (2003)\
World Peace Prize Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan (2003)
Presiden World Headquarters on Non-Violence Peace Movement (2003)
Global Tolerance Award dari Friends of the United Nation, New York, AS (2003)
Suardi Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen (2006)
Penghargaan dari Dewan Adat Papua (2006)
Penghargaan dari Simon Wiethemtal Center, Amerika Serikat (2008)
Penghargaan dari Mebal Valor, Amerika Serikat (2008)
Penghargaan dan Kehormatan dari Temple University, Philadelpia, Amerika Serikat, yang memakai namanya untuk penghargaan
53
terhadap studi dan pengkajian kerukunanm antarumat beragama, Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study (2008).8
B. Karya-Karya Dan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid K.H Abdurrahman Wahid kurun waktu sejak 1970-an hingga awal tahun 2000. Ternyata ditemukan ada 493 buah tulisan. Hingga akhir hayat (2009), bisa jadi telah lebih dari 600 buah tulisan Gus Dur. Karya intelektualnya
yang
ditulis
selama
lebih
dari
dua
dasawarsa
itu
diklasifikasikan ke dalam depalan bentuk tulisan, yakni tulisan dalam bentuk buku, terjemahan, kata pengantar buku, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom, dan makalah. Rincian jumlah setiap klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut : Jumlah Tulisan Gus Dur Dengan Berbagai Bentuknya Tahun 1970-An Hingga Tahun 2000 No.
Bentuk Tulisan
Jumlah
Keterangan
1
Buku
12 buku
Terdapat pengulangan tulisan
2
Buku terjemahan
1 buku
Bersama Hasyim Wahid
3
Kata Pengantar Buku
20 Buku
-
4
Epilog Buku
1 Buku
-
5
Artikel
41 Buku
-
6
Antologi Buku
263 Buku
8
Di berbagai majalah, surat
Penerbit Buku Kompas, Gus Dur Santri Par Excellent : Teladan Sang Guru Bangsa (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2010)., hlm.xvii
54
kabar, jurnal, dan media massa 7
Kolom
105 Buku
Di berbagai majalah
8
Makalah
50 Buku
Sebagian
besar
tidak
dipublikasikan Tabel 1. Jumlah Tulisan Gus Dur dengan Berbagai Bentuknya Tahun 1970-an hingga Tahun 2000 Dari tabel diatas, jelaslah bahwa Gus Dur tidak sekedar membuat pernyataan dan melakukan aksi-aksi sosial politik, kebudayaan, dan pemberdayaan masyarakat sipil belaka, tetapi juga merefleksikannya ke dalam tulisan, baik dalam bentuk artikel, kolom, makalah, maupun kata pengantar buku. Sebagian tulisan tersebut belakangan diterbitkan dalam bentuk buku. Hanya saja, karena buku-buku yang diterbitkan itu dalam bentuk bunga rampai tanpa ada rekonstruksi dari Gus Dur, kesan ketidakutuhan bangunan pemikiran tidak bisa dihindari. Akan tetapi, barangkali itulah cermin latar intelektual Gus Dur yang bukan berasal dari tradisi akademik “ sekolahan modern ” yang setiap tulisan mesti terikat dengan suatu metodologi dan refrensi formal.9
C. Modernisasi Pondok Pesantren Menurut KH. Abdurrahman Wahid dalam Buku “Menggerakkan Tradisis : Esai – Esai Pesantren”. Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah kompleks 9
Faisol, Op.Cit., hlm.74
55
dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan rumah kediaman pengasuh (di daerah berbahasa Jawa disebut kiai, di daerah berbahasa Sunda anjengan , dan di daerah berbahasa Madura nun atau bendara, disingkat ra), sebuah surau atau masjid, tempat pengajaran diberikan (bahasa Arab madrasah, yang juga terlebih sering mengandung konotasi sekolah); dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri, pengambilalihan dari bahasa Sansekerta dengan perubahan pengertian).10 Dengan pola kehidupannya yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Oleh karena itu, dalam jangka panjang pesantren berada dalam kedudukan kultural yang relative lebih kuat daripada masyarakat di sekitarnya. Kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya.11 Modernisasi merupakan bagian dari kata dinamisasi yang pada dasarnya mencakup dua buah proses, yaitu penggalakan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada, selain mencakup pula pergantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses penggantian nilai itu dinamai modernisasi. Jelaslah dari keterangan ini bahwa pengertian modernisasi sebenarnya telah terkandung dalam kata dinamisasi.
10
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren, ( Yogyakarta : Lkis, 2001), Cet.I,hlm.3. 11 Ibid, hlm.8.
56
Sedangkan kata dinamisasi itu sendiri, dalam penggunaannya di sini akan memiliki konotasi atau mafhum “perubahan ke arah kesempuranaan keadaan”, dengan menggunakan sikap hidup dan peralatan yang telah ada sebagai dasar. Dikemukakan prinsip itu di sini, karena ada keyakinan, konsep-konsep yang dirasa asing oleh pesantren, akan menghadapi hambatan luar biasa nantinya. Kita percaya, pendekatan untuk memperoleh penerimaan dari pesantren sendiri, dalam jangka panjang akan memberikan hasil yang lebih baik daripada konsep mana pun juga.12 Selanjutnya untuk mengemukakan tentang bagaimana seharusnya proses dinamisasi itu berlangsung perlu adanya langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, perbaikan keadaan di pesantren sebenarnya bergantung sebagian besar pada kelangsungan proses regenerasi yang sehat dalam pimpinannya. Yang dimaksud dengan regenerasi pimpinan yang berlangsung dengan sehat adalah pergantian pemimpin secara bertahap dan teratur, yang memungkinkan penumbuhan nilai-nilai baru dalam kehidupan pesantren secara konstan. Pemimpinan muda di pesantren , bila mana disertakan dalam proses memimpin secara berangsur-angsur, akan mampu menciptakan perpaduan antara kebutuhan praktis akan kemajuan (terutama material ) dan antara tradisi keagamaan yang mereka warisi dari generasi sebelumnya. Yang menjadi persoalan penting sekarang ini adalah bagaimana menyertakan
12
Ibid, hlm.38.
57
pemimpin-pemimpin muda pesantren dalam forum-forum semacam ini secara tetap dan massif. Kedua, prasayarat utama bagi suatu proses dinamisasi berluas lingkup penuh dan dalam adalah rekonstruksi dan bahan pengajaran ilmuilmu agama dalam sekala besar-besaran. Kitab kuno maupun buku-buku pengajaran “modern” ala Mahmud Junus dan Hasbi Ash-Shiddieqi, telah kehabisan daya pendorong untuk mengembangkan rasa kesejahteraan (sense of belonging) dalam beragama. Dari tingkatan dasar hingga perguruan tinggi, para santri disuapi dengan kaidah-kaidah yang sudah tidak mampu mereka cernakan lagi. Penguasaan atas kaidah-kidah itu lalu menjadi masinal, tidak memperlihatkan watak berkembang lagi. Inilah yang justru harus dibuat rekonstruksinya, dengan tetap tidak meninggalkan pokok-pokok ajaran keagamaan yang kita warisi selama ini. Tradisionalisme yang masak adalah jauh lebih baik daripada sikap pseodomodernisme yang dangkal.13 Demikianlah gagasan Gus Dur mengenai dinamisasi pesantren yang didalamnya tercakup pula proses modernisasi. Selanjutnya untuk melakukan perubahan dalam pendidikan pesantren sebagai respon terhadap modernisasi Gus Dur berpendapat setidaknya pesantren harus mengawali dan menekankan pada hal-hal sebagai berikut: 1. Memasukkan sekolah umum ke dalam pesantren Dunia pendidikan kita dewasa ini masih berada dalam taraf yang boleh dikata kritis. Dengan banyaknya jumlah anak didik yang putus
13
Ibid, hlm.47.
58
sekolah (drop out), kemampuan kita semua untuk menyediakan kesempatan kerja yang lebih merata juga menjadi lebih terbatas lagi. Belum pula diingat bahwa di antara mereka yang dapat melanjutkan sekolah masih cukup banyak didapati ketimpangan antara kemampuan, biayanya, dan motivasinya. Oleh karena itu, seluruh kemampuan untuk membuka lembagalembaga pendidikan berupa sekolah harus digali terus – menerus dari masyarakat, baik yang berasal dari dana pemerintah (sekolah negeri) maupun nonpemerintah (sekolah swasta). Untuk menggali kemungkinan mendirikan sekolah-sekolah baru dalam jumlah besar, sebenarnya dapat ditempuh pemecahan lain yang bersifat lebih langsung. Pemecahan tersebut adalah yang berbentuk ajakan serius pada pesantren untuk mendirikan “sekolah umum” di lingkungan masing-masing. Sekolah-sekolah yang tidak berorientasi keagamaan dikenal dengan nama “sekolah umum” di kalangan pesantren, seperti SDSMP-SMA dapat diserahkan pengelolaannya dari segi fisik dan material pada
pesantren,
semenjak
mendirikan
hingga
memelihara
dan
mengembangkannya. Pesantren memiliki kemampuan potensial untuk mengarahkan dana-dana yang diperlukan untuk tujuan tersebut dari masyarakat, jika pesantren sendiri bersedia melaksanakannya. Demikian pula instruksi untuk memindahkan titik berat kurikulum pada orientasi yang bersifat melulu keagamaan, tidak berarti akan terjadinya perubahan besar dalam kualitas siswa yang ditampung oleh
59
madrasah. Paling banyak akan terjadi perubahan kualitatif belaka, sebagai hasil perubahan orientasinya. Adalah lebih relalistis untuk mendorong pesantren agar menciptakan dan mengelola sekolah-sekolah baru yang bersifat “umum”.14 Ada dua sebab yang akan mendorong pertambahan jumlah siswa baru dengan adanya “sekolah umum” di pesantren nantinya. Pertama, mayoritas warga pesantren yang tidak belajar di madrasah, akan mendapat diserap oleh “sekolah umum” itu. Kedua, mereka yang selama ini berada di persimpangan jalan antara berada di “sekolah umum” atau mempelajari ilmu agama di pesantren akan terdorong untuk memasuki pesantren dan sekaligus memasuki “sekolah umum” di lingkungan pesantrennya itu. Hilangnya konflik kejiwaan yang selama ini mengakibatkan jumlah ratusan ribu siswa terkatung-katung tidak sekolah dan tidak pula pula masuk pesantren, dengan pemecahan sederhana konsepsinya ini, akan berarti pertambahan besar-besaran dalam populasi anak didik pesantren ini; pada gilirannya akan berarti pula pertambahan jumlah anak didik yang berpendidikan formal di negeri kita secara keseluruhan. Selama ini, pesantren dirumuskan hanya sebagai wadah pendidikan keagamaan yang bertugas “mencetak” para ulama atau ahli agama belaka. Perumusan ini mengakibatkan luasnya anggapan bahwa hanya sekolah agama atau madrasah saja yang dapat didirikan di lingkungan pesantren. Bahkan sekolah agama yang tidak bersifat madrasah , seperti PGA,
14
Ibid, hlm.50.
60
hampir-hampir tidak memperoleh tempat di pesantren di masa lampau. Tekanan yang terlampau luas (overstress) pada ilmu-ilmu keagamaan pada akhirmya menciptakan semacam penghalang mental yang sangat besar di kalangan
pesantren
untuk
menerima
“sekolah
umum”
dalam
lingkungannya sendiri. Dua alasan utama sering diajukan untuk membenarkan sikap menolak “sekolah umum” itu. Alasan pertama adalah tidak sesuainya “sekolah umum” itu dengan tujuan keagamaan yang dimiliki pesantren; sedangkan alasan kedua adalah ketidak mampuan pesantren mengelola “sekolah umum”. Kedua sebab itu ditunjang pula oleh eksklusivitas Departemen Agama sebagai klien pesantren selama ini, selain hampirhampir tidak adanya hubungan dengan Departemen P dan K dari jenjang teratas hingga ke aparat terbawah.15 Keberatan pertama dapat diatasi dengan menunjukkan kenyataan bahwa dalam sistem pendidikan agama yang paling eksklusif sekalipun, tidak semua siswanya dapat dicetak menjadi ulama atau ahli agama. Oleh karena itu, apa salahnya pesantren menerima “sekolah umum” dalam lingkungannya. Kepada siswa “sekolah umum” itu dapat diberikan pendidikan agama sebagai kegiatan ekstrakulikuler yang diatur berjenjang, sesuai dengan jenjang “sekolah umum” yang mereka lalui. Sedangkan bagi mereka yang berkeinginan untuk menjadi ulama, masih terbuka kesempatan untuk sepenuhnya mempelajari ilmu-ilmu agama, baik dalam 15
Ibid,hlm.51.
61
bentuk pendidikan formal di madrasah maupun dalam bentuk pengajian sebagai pendidikan nonformal. Dengan memberikan kesempatan kepada calon-calon
ulama
untuk
mengejar
cita-cita,
selain
memberikan
kesempatan kepada para siswa yang belajar di “sekolah umum” untuk belajar, menurut bakat masing-masing, pesantren dapat membantu mengisi kurangnya wadah pendidikan formal bagi generasi muda kita. Adapun keberatan kedua yang sebenarnya adalah hasil perwujudan rasa rendah diri di kalangan pesantren sendiri, adalah suatu sikap jiwa yang tidak berdasar sama sekali. Dengan melalui penyesusaian dan peningkatan kerja, pesantren tentu akan dapat mengemban amanat pengelola itu dengan baik. Bahkan sikap hidup berswadaya, idealism moral, dan kebiasaan untuk hidup serba sederhana, yang selama ini menjadi karakteristik kehidupan pesantren, akan menyerap ke dalam kehidupan “sekolah umum” di negeri kita, sehingga dalam jangka panjang pengenlolaan pesantren atas “sekolah umum” dalam lingkungannya justru akan meperbaiki kualitatif bagi kehidupan “sekolah umum” di tanah air kita secara keseluruhan. Dengan kata lain, pengelolaan di atas akan dapat membawaa penyegaran ke dalam kehidupan “sekolah umum” yang pada tahun-tahun
belakangan
ini
mengalami
kegoncangan
dalam
pengarahannya. Oleh karena itu, tibalah saatnya bagi kita semua untuk merencanakan dan melaksanakan pembentukan “sekolah-sekolah umum” secara meluas dalam lingkungan pesantren dengan cara sebaik-baiknya
62
dan berhati-hati. Kita semuanyalah yang akan memetik hasil dari program semacam itu dalam jangka panjang, terutama dari segi hilangnya dualism pendidikan di negeri kita secara berangsur-angsur, terutama tanpa merugikan pihak manapun yang bersangkut paut dengan dunia pendidikan itu sendiri.16 2. Pengembangan Kurikulum Pesantren Kurikulum
yang
berkembang
di
pesantren
selama
ini
memperlihatkan sebuah pola yang tetap. Pola itu dapat diringkas ke dalam pokok-pokok berikut: a) Kurikulum ditujukan untuk “mencetak” ulama di kemudian hari. b) Struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatannya dan pemberian pendidikan dalam bentuk bimbingan kepada santri secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur/fleksibel, dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, bahkan pada pesantren yang memiliki sistem pendidikan berbentuk sekolah sekalipun.17 Kurikulum telah banyak mengalami perubahan dan berkembang dalam variasi bermacam-macam, tetapi kesemua perkembangan itu tetap mengambil bentuk pelestarian watak utama pendidikannya sebagai tempat menggembleng ahli-ahli agama formasi total atas kehidupan masyarakat di
16 17
Ibid, hlm.53. Ibid, hlm.109.
63
tempat masing-masing. Beberapa jenis kurikulum utama perlu ditinjau sepintas lintas dalam hubungan ini : - Kurikulum pengajian non sekolah, dimana santri belajar pada beberapa orang kiai/guru dalam sehari semalamnya. Sistem pendidikan seperti ini, yang dinamai sistem lingkaran (pengajian halaqah) memberikan kebebasan sepenuhnya kepada santri untuk membuat kurikulumnya sendiri, dengan jalan menentukan sendiri pengajian mana yang akan diikutinya. - Kurikulum
sekolah
tradisional
(madrasah
salafiyah),
dimana
pembelajaran telah diberikan di kelas dan disusun berdasarkan kurikulum tetap yang berlaku untuk semua santri. Akan tetapi, ini tidak berarti
pendidikannya
sendiri
telah
menjadi
klasikal,
karena
kurikulumnya masih didasarkan pada penahapan dan penjejangan berdasarkan urut-urutan teks kuno secara berantai. - Pondok modern, dimana kurikulumnya telah bersifat klasikal dan masing-masing kelompok mata pelajaran agama dan nonagama telah menjadi bagian integral dari sebuah sistem yang telah dibuat dan berimbang. Akan tetapi, di sini pun mata pelajaran nonagama, walaupun telah diakui pentingnya, masih ditundukkan pada kebutuhan penyebaran ilmu-ilmu agama, sehingga kelompok adalah mata pelajaran tersebut memiliki perwatakan intelektualistis dengan tekanan pada penumbuhan ketrampilan skolastis.18 18
Ibid, hlm.114.
64
Melihat tiga buah kurikulum utama yang berkembang di pesantren pada umunya tersebut setidaknya ada lima percobaan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kurikulum pesantren secara lebih dinamis yaitu : a) Madrasah negeri. Sistem pendidikan ini telah lama dikembangkan dan telah berusia belasan tahun, tetapi belum memiliki pola menetap, karena senantiasa mengalami perubahan kurikulum dalam jarak telalu dekat. Pendidikan nonagama didalamnya mengikuti pola kurikulum sekolahsekolah nonagama, tetapi secara kualitatif hasilnya belum lagi memuaskan. Masih terlalu pagi untuk mengetahui hasil apa yang dapat diharapkan dari sistem pendidikan ini dalam hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja, karena percobaab terakhir untuk membuat kurikulumnya relavan dengan kebutuhan baru saja dijalankan. Dengan kesempatan yang disediakan oleh Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Agama, Dalam Negeri, dan Pendidikan dan Kebudayaan) untuk melanjutkan pelajaran sekolah-sekolah dan perguruan tinggi nonagama bagi lulusannya, persoalannya juga belum dapat diselesaikan secara memuaskan. Bagaimanakah halnya dengan mereka yang putus sekolah dari sistem pendidikan ini, bagaimanakah penyelasaran kurikulumnya dengan kebutuhan penciptaan tenaga setengah terlatih, dan banyak pertanyaan lain masih belum ditemukan jawabannya disekitar sistem pendidikan ini.
65
b) Program
ketrampilan di
pesantren. Program
ini,
yang dapat
dilaksanakan sebagai kegiatan kurikuler sistem pendidikan sekolah di pesantren maupun sebagai kegiatan nonkurikuler, dimaksudkan untuk menyediakan sarana memperoleh ketrampilan yang diperlukan untuk hidup atas kaki sendiri dalam kehidupan setelah keluar dari pesantren nanti. Penghargaan dalam arti kerja dan sifat melakukan perhitungan rasional dalam mengambil keputusan diharapkan akan tumbuh dari program ini. Orientasi kehidupan pada kerja nyata juga diharapkan akan dihasilkan oleh pendidikan ketrampilan di pesantren ini. Struktur pendidikannya juga sangat sederhana : penyediaan program terminal berjangka sangat pendek untuk masing-masing jenis ketrampilan yang diajarkan. Jika direncanakan secera tepat, program ini sebenarnya memiliki kemungkinan berkembang menjadi unsure luar sekolah yang penting bagi pesantren, sebagai semacam program deschooling di mana kegiatan ketrampilan tidak terlalu direncanakan secara kaku dengan menggunakan tenaga pengajar formal, melainkan cukup dilayani oleh tukang-tukang dan perajin dari masyarakat sekitar pesantren sendiri. Konsep pendidikan ketrampilan yang seperti ini akan mirip dengan gagasan sekolah-masyarakat (community schools) yang dicetuskan akhir-akhir ini. c) Program penyuluhan dan bimbingan. Berbeda dengan program ketrampilan yang ditujukan kepada seroang santri sebagai infdividu, program ini ditujukan pada pemberian peranan kepada santri sebagai
66
penyuluh dan pembimbing pengembangan beberapa jenis profesi di masyarakat. Dalam program ini, para santri secara bergiliran dididik bersama-sama dengan para petani dan perajin dari masyarakat dalam bimbingan untuk mengembangkan profesi mereka, dengan mengundang tenaga pembimbing dari luar. Program ini telah dilaksanakan oleh beberapa pesantren, tetapi secara sporadic dan belum direncanakan dengan matang, sehingga sulitlah untuk mengetahui pola pendidikan yang dibawakannya. d) Program sekolah-sekolah nonagama di pesantren, dasar dari program ini adalah penilaian lebih baik bagi pesantren untuk mendirikan sekolah-sekolah nonagama dalam lingkungannya daripada bertindak “setangah-setengah” seperti kebanyakan pesantren dengan berbagai jenis madrasah mereka. Sebagai kegiatan nonkurikuler, pengajaran pengetahuan agama dapat diberikan di luar sekolah dalam lingkungan pesantren sendiri. Sebagai program yang mengintegrasikan sekolah nonagama
ke
dalam
sistem
pendidikan
pesantren
tradisional,
diharapkan para santri yang mengikutinya akan kampu menguasai pengetahuan dasar tentang agama pada waktu mereka menyelesaikan sekolah nonagama mereka di pesantren. Bagi yang ingin memperdalam pengetahuan agama, tinggal lagi meperdalam pengajian mereka sebagai spesialisasi kegamaan dalam jangka pendek (4 atau 5 tahun selain sekolah lanjutan tingkat atas).
67
e) Program pengembangan masyarakat oleh pesantren. Program ini bermaksud menciptakan tanaga-tenaga pembangunan masyarakat (change agents) dari pesantren, yang bertugas membantu warga desa untuk mengenal dan memanfaatkan potensi yang mereka miliki untuk memperbaiki kehidupan mereka, dengan jalan merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek pengembangan desa mereka. Dalam konteks yang lebih besar sedikit, para santri dididik untuk merencanakan pembuatan UDKP pada tingkat kecamatan. Program ini baru dicoba dilaksanakan di sebuah pesantren dewasa ini, tetapi ia diharapkan akan dapat diperluas dengan cepat ke banyak pesantren lain nantinya.19 Jelaslah dari tinjauan di atas bahwa beberapa pedoman harus senantiasa diingat dalam merencanakan sebuah kurikulum bagi pesantren, yang memenuhi tuntutan dan kebutuhan penyediaan angkatan kerja di era modern ini. Pertama-tama haruslah diingat bahwa terdapat kesulitan untuk membuat pesantren menerima kurikulum yang bertentangan dengan tujuan penyebaran agama dan fungsi transformasi kultural yang dimilki pesantren. Penyediaan tenaga yang trampil dan terlatih untuk berbagai jenis profesi haruslah dilakukan dalam sebuah program yang memiliki hubungan dengan tujuan dan fungsi pesantren sebagaimana dipahami oleh warga pesantren selama ini.
19
Ibid, hlm.117.
68
3. Pengembangan Kepemimpinan Pondok pesantren dalam wacana teknis merupakan suatu tempat yang dihuni para santri, hal ini menunjukkan makna pentingnya ciri-ciri pesantren sebagai sebuah lingkungan pendidikan yang integral dan memiliki kultur yang unik. Karenanya, pesantren digolongkan ke dalam subkultur tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Kepemimpinan dalam pesantren pada umumnya bercorak alami. Baik pengembangan pesantren maupun proses pembinaan calon pimpinan yang akan menggantikan pimpinan yang ada belum memiliki bentuk yang teratur dan menetap. Disatu sisi pembinaan dan pengembangan seperti itu dapat menghasilkan persambungan kepemimpinan yang baik, namun pada umumnya hasil sedemikian tidak tercapai. Akibatnya terjadi penurunan kualitas kepemimpinan dengan pergantian pemimpin dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sehingga banyak dari kepemimpinan yang ada tidak mampu mengimbangi kemajuan dan perkembangan pesantren dikelolanya sehingga terjadi penyusutan kewibawaan kepemimpinan dalam satu masa ke masa yang berbeda.20 Sebab belum menetapnya pola kepemimpinan di pesantren disebabkan karena watak kharismatik yang dimilikinya. Dengan kata lain, kharisma adalah keunggulan kepribadian individu yang mengalahkan individu yang lain. Sifat demikian, memiliki banyak kerugian diantaranya adalah: [1] munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren
20
Ibid, hlm. 133.
69
yang bersangkutan dikarenakan semua hal tergantung pada keputusan pribadi sang pemimpin, [2] munculnya watak pasif yang dimiliki pesantren dalam pengembangan dirinya, sehingga hanya menggantungkan ajakan dari luar, dan itupun terkadang dilakukan tanpa pengertian penuh akan maksud dan tujuan ajakan dari luar, [3] pola pergantian pemimpin yang tiba-tiba dan tidak direncanakan sehingga lebih banyak ditandai sebab-sebab alami, seperti mendadak,
[4]
terjadinya
meninggalnya sang pemimpin secara pembauran
dalam
tingkat-tingkat
kepememimpinan pesantren, antara tingkat lokal, regional maupun nasional.21 Meskipun kepemimpinan kharismatik terdapat banyak kekurangan, namun bukan berarti kepemimpinan tersebut harus dihapuskan, tetapi menuntut pola kepemimpinan yang lebih direncanakan dan dipersiapkan sebelumnya. Dengan kata lain meminjam diktum yang sudah lama dikenal di pesantren sendiri yaitu “Melestarikan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.” Selanjutnya, dalam merespon perkembangan dunia pendidikan yang semakin hari terus berkembang, maka menuntut adanya pemimpin pesantren yang memiliki kepemimpinan yang relevan dengan kebutuhan sekarang dan masa depan serta harus mampu pula memahami kebutuhan akan integrasi pesantren ke dalam pendidikan nasional. Kepemimpinan
21
Ibid, hlm.135.
70
yang dinamis di pesantren haruslah mampu mengadakan gebrakan dalam dunia pendidikan baik dalam tingkatan lokal, regional, dan nasional.22 Dalam
taraf
lokal,
kepemimpinan
pesantren
harus
mampu
mengadakan proyek-proyek rintisan yang menonjolkan pada sumbangansumbangan positif pesantren bagi pendidikan nasional. Pada taraf regional, harus mampu menciptakan dukungan dan topangan bagi proyek rintisanrintisan, lebih-lebih pengayoman kepada semua pihak yang terkait dalam perkembangan pendidikan. Sedangkan pada taraf nasional, harus mampu menyuguhkan
kerangka
teoritis
dan
filosofis
bagi
pembentukan
pendidikan nasional yang relevan dengan kebutuhan dan negara di masa depan. Banyak yang dapat diperbuat oleh kepemimpinan pesantren untuk mewujudkan apa yang dikemukakan di atas. Bagaimana aspek-aspek negatif dari perkembangan pengetahuan dan teknologi harus diatasi dan dikendalikan;
bagaimana kebutuhan dan kesadaran bangsa akan
pendidikan nasional yang relevan dengan kebutuhan secara konkret, dengan tidak mengorbankan kepentingan masyarakat secara keseluruhan; bagaimana kesadaran akan perlunya dihindari penyeragaman sistem pendidikan guna menampung kebutuhan yang berbeda-beda pula. Yang diperlukan adalah pendayagunaan kepemimpinan yang sudah memiliki ketrampilan praktis yang sempit di bidang pengawasan, administrasi, dan
22
Ibid.,hlm. 141.
71
perencanaan itu guna mengintegrasikan tujuan yang lebih besar : bagaimana mengintegrasikan pesantren ke dalam pendidikan nasional.23
23
Ibid., hlm. 142-143.
BAB IV ANALISA MODERNISASI PONDOK PESANTREN MENURUT KH. ABDURRAHMAN WAHID
1.
Analisa Masuknya Sekolah Umum Ke Dalam Pesantren Pada
awal
tahun
1970-an
muncul
fenomena
perubahan
dan
perkembangan pendidikan pesantren dengan adanya integrasi sekolah umum ke dalam pendidikan pesantren, yang terkenal dengan sebutan pondok modern. Pondok modern merupakan perpaduan model klasikal pesantren yang khas dengan sistem pendidikan modern. Pendidikan pesantren klasikal merupakan pendidikan yang masih menggunakan sistem sorogan,bondongan. Sedangkan pesantren modern adalah yang telah memasukkan sistem pendidikan formal
seperti halnya pesantren Darussalam Gontor, yang
merupakan salah satu pesantren yang mengintegrasikan sekolah umum dengan pesantren. Pengintegrasian sekolah umum ke dalam pendidikan pesantren merupakan upaya sadar yang dilakukan pesantren dalam merespon laju perkembangan
agar
tetap
eksis
dalam
dunia
modern
dan
untuk
mempersiapkan lulusannya kompatible dalam mengarungi kehidupannya di era modern ini. Arus perkembangan masyarakat yang berkembang begitu cepat membuat pesantren mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan cepat.
72
73
Pendirian sekolah umum di pesantren dapat dilakukan dengan memadukan ilmu-ilmu agama dengan pengetahuan umum, hal ini sangatlah penting dan perlu dilakukan mengingat mayoritas santri yang belajar di pesantren tidak semua bertujuan menjadi kiai, dengan begitu santri memiliki kemampuan lain agar lebih dapat mengembangkan potensi dirinya, memindahkan titik berat kurikulum pada orientasi yang bersifat melulu keagamaan, tidak berarti akan terjadinya perubahan besar dalam kualitas siswa yang ditampung oleh madrasah. Paling banyak hanya akan terjadi perubahan kualitatif belaka, sebagai hasil perubahan orientasinya. Adalah lebih realistis untuk mendorong pesantren agar menciptakan dan mengelola sekolah-sekolah baru yang bersifat umum.1 Pengintegrasian sekolah umum ke dalam pesantren akan berpengaruh kepada kelangsungan pesantren itu sendiri. Zamakhsyari Dhofier melaporkan bahwa kebanyakan pesantren kecil mati pada 1950-an. Salah satu penyebabnya dikarenakan kebijakan pemerintah yang mengembangkan sekolah umum seluas-luasnya, akibatnya anak muda yang belajar di pesantren menurun sebab memilih pendidikan sekolah umum. Pesantren-pesantren besar dapat bertahan, tetapi hanya dengan memasukkan lembaga-lembaga pendidikan umum di dalamnya.2 Akan tetapi ada juga pesantren yang menolak mengintegrasikan sekolah umum ke dalam pesantren dengan dua alasan utama, yaitu: pertama, tidak 1
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, ( Yogyakarta : Lkis, 2001), hlm. 50. 2 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonseia, ( Jakarta : LP3ES, 2011), hlm. 75.
74
sesuainya sekolah umum tersebut dengan tujuan keagamaan yang dimiliki pesantren. Kedua, ketidakmampuan pesantren mengelola sekolah umum. 3 Bukan tidak beralasan mengapa ada pesantren menolak adanya integrasi sekolah umum ke dalam pesantren, ini dikarenakan ketika banyak santri mengirim surat dengan huruf latin sebagai akibat adanya proses “sekularisasi” (didirikannya SMP, SMA, dan PGA), sehingga banyak wali murid yang mulai gelisah. Mereka gelisah karena menganggap anaknya sudah meninggalkan ciri kepesantrenan.4 Jalan keluar yang bisa diterapkan pesantren terkait dua alasan keengganan pesantren mengintegrasikan pendidikan umum dalam pendidikan pesantren, yaitu dengan jalan menunjukkan kenyataan bahwa dalam sistem pendidikan agama yang paling eksklusif sekalipun, tidak semua siswanya dapat dicetak menjadi seorang ahli agama atau ulama dan melalui penyesuaian serta peningkatan cara kerja. Solusi yang tidak pernah terpikirkan oleh para pemerhati pesantren sebelumnya. Ketika pesantren dapat diintegrasikan dengan sekolah umum setidaknya ada manfaat yang dapat di ambil dari program tersebut. Mereka siswa yang notabene hanya mengikuti sekolah umum setidaknya akan mendapat pengetahuan agama dari kegiatan ekstra yang diberikan berjenjang sesuai dengan jenjang sekolah umum yang di lalui. Dan bagi siswa yang ingin menjadi ulama maka dapat memperlajari ilmu-ilmu agama secara lebih dalam dengan bentuk pendidikan formal di madrasah dan mengikuti pengajian3 4
Abdurrahman Wahid, Op.Cit., hlm. 51. Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, ( Jakarta : Dian Rakyat, tt), hlm. 30.
75
pengajian yang diberikan. Selain itu juga dengan memberikan kesempatan kepada calon-calon ulama untuk mengejar cita-cita mereka, selain memberikan kesempatan kepada para siswa yang belajar di “sekolah umum” untuk belajar, menurut bakat masing-masing, pesantren dapat membantu mengisi kurangnya wadah pendidikan formal bagi generasi muda kita. Dalam sensus kelembagaan pendidikan dasar oleh pemerintah (Bappenas), Madrasah Ibtidaiyah (MI) secara berdampingan dengan Sekolah Dasar (SD). Dapat kita perkirakan bahwa harapan akhirnya adalah menuju pemberdayaan secara optimal lembaga ini untuk membangun sumber daya manusia Indonesia. Inilah salah satu fakta ilustratif keberadaan dan posisi madrasah sebagai salah satu wujud etnis budaya Indonesia. Secara teknis madrasah menggambarkan secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madrasah memiliki konotasi spesifik. Di lembaga ini anak memperoleh pembelajaran hal ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan.5 Secara birokratik, madrasah-madrasah berada dibawah naungan Kemantrian dan Departemen Agama. Sementara sekolah-sekolah pada umumnya berada di bawah naungan departemen pendidikan Nasional.6 Madrasah dalam hal ini (MI, MTs, MA) berada dalam naungan pesantren atau pondok pesantren. Madrasah yang berada dalam naungan pesantren memberi kesempatan kepada para siswanya (santri) untuk menambah kekurangan ilmu pengetahuan agama melalui pengajian-pengajian kitab di 5
A. Malik fajar, Holistika pemikiran pendidikan. ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 230. 6 Ibid, hlm. 236.
76
luar jam madrasah dibawah bimbingan para kiai atau ustadz. Dengan tinggal di pondok pesantren, siswa madrasah dapat memperoleh bimbingan dan kesempatan menjalankan agama lebih intensif. Demikianlah, realitas madrasah menampilkan sosok beragam sebagai dampak diverisikasi pendidikan yang berlangusng di dalamnya.7 Pondok pesantren dapat dibilang merupakan sub sistem pendidikan nasional, pesantren masuk tercantum pada pasal 30 ayat (4), Undang-Undang Sistem
Pendidikan
menyatakan,”pendidikan
Nasional
Nomor
keagamaan
20
berbentuk
tahun
2003,
pendidikan
yang diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis”.8 Ini berarti pendidikan pondok pesantren saat ini sama dan sejajar dengan pendidikan formal lainnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila saat ini pesantren tengah bersentuhan dengan madrasah atau sekolah dari tingkat sekolah lanjutan pertama hingga perguruan tinggi. Pesantren jenis ini dikenal dengan sebutan pondok pesantren modern. Dengan kata lain, pondok pesantren kini telah mengalami perubahan bentuk dari keadaan semula. Agaknya masuknya sekolah umum ke pesantren bukan hanya menjadi sebuah solusi namun juga jalan yang baik bagi pesantren, hal ini karena pesantren salafiyah masuk menjadi penyelenggara Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun. Serta terbitnya SK Menteri Pendidikan Nasional No.011/2002 yang dijadikan dasar dalam penentuan kelulusan
7
Ibid, hlm. 239. Direktorat Jendral Pendidikan Islam Depag RI, Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah RI Tentang Pendidikan,( Depag RI, 2006), hlm. 22. 8
77
pendidikan dasar jenjang SD.9 Maka dengan masuknya sekolah umum ke pesantren, pesantren tidak perlu membuat sistem sendiri yang begitu rumit sebagai penyelenggara pendidikan formal untuk dapat menyesuaikan diri setara dengan SD, SMP, maupun SMA. Dengan tujuan dari integrasi sekolah umum dalam pendidikan pesantren diharapkan lulusan pesantren memiliki suatu kepribadian yang utuh dan bulat, yang menggabungkan dalam dirinya unsur-unsur keimanan yang kuat dan penguasaan atas pengetahuan secara berimbang. Sekalipun penting pengintegrasian sekolah umum ke dalam pendidikan pesantren, namun ada batasan pokok yang tidak boleh dilanggar yaitu tetap menjadikan ilmu-ilmu agama sebagai pondasi keilmuan pesantren dan menjadikan ilmu-ilmu umum sebagai penunjang bagi ilmu-ilmu agama. Dalam pandangan lain Gus Dur juga menilai, pemaduan ini juga menyebabkan pesantren mengalami krisis identitas. Disatu pihak, pesantren tetap memiliki watak populisnya, karena elastisnya program individual yang telah berlangsung selama berabad-abad, minimal dalam pengajaran ekstrakurikuler berbentuk pengajian. Di pihak lain, kecenderungan untuk menumbuhkan pendidikan berwatak elitis juga berjalan cukup kuat. Krisis identitas ini akibat kesulitan mendamaikan kedua watak yang saling bertentangan ini hingga sekarang belum teratasi.
9
M. Sulthon Masyud dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, ( Jakarta : Dian Pustaka, 2003), hlm.95.
78
2.
Analisa Pengembangan Kurikulum Pesantren Salah satu komponen pesantren yang harus diperhatikan guna menghadapi modernisasi adalah kurikulum. Kurikulum memegang peranan penting guna menentukan arah modernisasi dalam tubuh pesantren. Kurikulum yang berkembang dalam pesantren masih terbatas dalam kerangka sistem pendidikan pesantren yaitu menjadikan seorang santri menjadi ulama atau kyai, disamping itu sistem pengajaran serta pendidikannya bergantung pada bimbingan pribadi dari kyai serta model kurikulum yang masih fleksibel. Fleksibel yang dimaksud adalah ketika seorang santri dapat menentukan sendiri sistem kurikulum yang diinginkan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Kurikulum di pesantren sudah banyak mengalami perubahanperubahan, menurut Gus Dur kurikulum di pesantren mengalami perubahanperubahan dan perkembangan dalam variasi yang bermacam-macam, akan tetapi kesemua perkembangan itu tidak terlepas dari
mengambil bentuk
pelestarian watak utama pendidikan pesantren sebagai tempat menggembleng dan mencetak ahli-ahli agama.10 Esensi yang sesungguhnya kurikulum pendidikan Islam harus berpusat pada potensi, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum pendidikan dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk dikembangkan potensinya
10
Abdurrahman Wahid, Op.Cit., hlm. 113.
79
supaya menjadi menusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.11 Realitas yang ada menunjukkan saat ini lembaga pesantren telah berkembang secara bervariasi baik dilihat dari segi ini ( kurikulum) dan bentuk atau manajemen, strukutur organisasinya. Hasan Basri yang di kutip oleh M. Syulton Mashud menggambarkan lembaga non formal (pesantren) ini ke dalam lima pola : (1) pesantren hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai; (2) pesantren terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, atau asrama; (3) pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, dan madrasah; (4) pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, rumah kyai, pondok, madrasah, tempat ketrampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum. Pesantren pola pertama lebih sederhana, dimana kyai menggunakan masjid atau rumahnya untuk mengajar, santri datang dari sekitar pondok dengan metode wetonan, atau sorogan. Latar belakang berdirinya pun pola pesantren ini biasanya karena inisiatif kyainya pribadi, tetapi sering pula karena adanya pihak sponsor, yakni tokoh anggota masyarakat yang mewakafkan tanahnya untuk dimanfaatkan menjadi pesantren. Pesantren pola kedua, sedikit lebih maju karena dilengkapi dengan pondok atau asrama untuk mukim para santri yang datang dari tempat lain, dengan metode pengajaran
yang sama
dengan
pola
pertama.
Pola
ketiga,
mulai
mengkombinasikan sistem salaf dan modern, dengan memakai sistem 11
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam (Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan di Era Global),(Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 67.
80
klasikal, dimana para santri dapat dari mereka yang mukim di dalam maupun mereka yang datang dari rumah masing-masing. Pola keempat merupakan perkemabangan pola ketiga, di mana disamping menyelenggarakan sistem madrasah atau klasikal juga menyiapkan latihan ketrampilan yang menunjang kecakapan hidup (life skill), misalnya : pertanian, peternakan, kerajinan tangan, bengkel, dan sebagianya. Adapun pola kelima tampil lebih lengkap dengan evolusi dibandingkan dengan pola-pola sebelumnya, yang mendorong dilakukannya redefinisi tentang konsep pesantren pertama kali.12 Menurut Gus Dur pola kurikulum yang berkembang di pesantren memiliki tiga pola berbebda dengan pola yang di tetapkan Hasan Basri di atas, pola yang di usung oleh Gus Dur lebih simpel. Pertama, Kurikulum pengajian non sekolah, dimana santri belajar pada beberapa orang kiai/guru dalam sehari semalamnya. Sistem pendidikan seperti ini, yang dinamai sistem lingkaran (pengajian halaqah) memberikan kebebasan sepenuhnya kepada santri untuk membuat kurikulumnya sendiri, dengan jalan menentukan sendiri pengajian mana yang akan diikutinya.13 Kecakapan yang dimiliki seorang santri yang menggunakan kurikulum pengajian non sekolah tidak akan teruji kreadibilitasnya, padahal seorang santri harus memiliki kecapakan setalah belajar di pesantren dalam kurun waktu tertentu. Misalnya, untuk jenjang dasar (Ibtidaiyah/awaliyah/ula) adalah kecakapan santri memahami dan menjalankan ajaran agama Islam untuk peribadinya. Untuk jenjang menengah pertama (tsanawiyah/wustha) 12 13
M. Sulthon Masyud dan Moh. Khusnurdilo, Op.Cit., hlm.74. Abdurrahman Wahid, Op.Cit., hlm. 113
81
untuk keluarganya kelak. Untuk jenjang menengah keatas (‘aliyah/’ulya) untuk lingkup komunitasnya. Dan untuk jenjag pesantren luhur (ma’had/’aly) untuk dapat mengambangkan segi keilmuan agama tertentu.14 Kedua, Kurikulum sekolah tradisional (madrasah salafiyah), dimana pembelajaran telah diberikan di kelas dan disusun berdasarkan kurikulum tetap yang berlaku untuk semua santri. Akan tetapi, ini tidak berarti pendidikannya sendiri telah menjadi klasikal, karena kurikulumnya masih didasarkan pada penahapan dan penjejangan berdasarkan urut-urutan teks kuno secara berantai.15 Penahapan dan penjejangan berdasarkan urut-urutan teks kuno secara berantari mengakibatkan santri yang memahami secara lambat, cepat membutuhkan layanan khusus, dan yang berhak atas pengayaan bahan belajar dapat dilayani.16 Ketiga, Pondok modern, dimana kurikulumnya telah bersifat klasikal dan masing-masing kelompok mata pelajaran agama dan nonagama telah menjadi bagian integral dari sebuah sistem yang telah dibuat dan berimbang. Akan tetapi, disini pun mata pelajaran nonagama walaupun telah diakui pentingnya, masih ditundukkan pada kebutuhan penyebaran ilmu-ilmu agama, sehingga kelompok adalah mata pelajaran tersebut memiliki perwatakan intelektualistis dengan tekanan pada penumbuhan ketrampilan skolastis.17 Dalam hal pengembangan kurikulum pesantren, Gus Dur mempunyai pemikiran yang lebih terstruktur dan barawal dari akar permasalahan yang 14
M. Sulthon Mashyud dan Moh. Khusnurdilo,Op.Cit., hlm. 87. Abdurrahman Wahid, Op.Cit. hlm. 114. 16 M. Sulthon Masyud dan Moh. Khusnurdilo, Op.Cit, hlm. 89 17 Ibid., hlm.114. 15
82
mengharuskan adanya pengembangan atau inovasi kurikukum pesantren. Pembaharuan Kurikulum Pesantren dalam Prespektif Abdurrahman Wahid Berlandaskan adagium yang dipakai oleh Nahdlatul Ulama yaitu “Tetap menggunakan hal-hal yang lama yang baik, dan hanya menggunakan hal-hal baru yang lebih baik”.18 Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kalimat tersebut mempunyai arahan untuk melakukan pembaharuan dari berbagai aspek. Melihat gejala sosial yang tumbuh di masyarakat sekarang menuntut semua pihak dalam pesantren untuk memperbarui segala komponen yang berkaitan dengan pendidikan yang ada di pesantren tersebut, sehingga keberadaan pesantren dapat berperan sebagai pusat pengembangan masyarakat atau melakukan modernisasi. Maka pesantren pada saat ini harus bisa menjadi lembaga pendidikan yang mendidik manusia untuk bisa menjalani kehidupan dalam arti yang sesungguhnya. Menurutnya, untuk menganalisa hal tersebut harus difahami dahulu nilainilai dasar yang terdapat di pesantren. Sistem nilai di pesantren mendukung sikap hidup yang tersendiri dan mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan kurikulum pendidikannya. Salah satu sistem nilai yang berkembang di pesantren adalah ilmu-ilmu agama di pesantren difahami dan dipandang sebagai sarwa ibadah, dan dari pandangan itulah supremasi mutlak ilmu-ilmu agama ditegakkan, termasuk di dalamnya sistem pewarisan pengetahuan dengan transmisi oral. Apa yang dikemukakan Gus Dur tidaklah 18
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantra, 2007), hlm.129.
83
sama dengan apa yang dikemukakan oleh M. Sulthon dan Moh, Khusnuridho yang mengatakan bahwa pengembangan kurikulum pesantren dasarnya tidak dapat
dilepaskan
dari
visi
pembangunan
nasional
yang
berupaya
menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan nasional yang tertera dalam Garis-garis Besar Haluan Nageri.19 Namun dalam pemikiran selanjutnya dapat dilihat bahwa Gus Dur menginginkan
pembaharuan
kurikulum
pesantren
diharapkan
dapat
mensinergikan antara pendidikan umum dan agama, dengan menghilangkan dikotomis diantara keduanya. Dengan catatan penguasaan ilmu agama harus diberi porsi yang lebih besar dalam kurikulum pesantren tersebut. Porsi besar tersebut diberikan dalam ukuran besar secara kualitatif bukan dalam segi kuantitatif. Model pengembangan kurikulum pesantren ini dapat dilihat dari empat aspek, yaitu: tujuan pendidikan, bahan pembelajaran, proses pembelajaran, dan penilaian. Dari aspek tujuan pendidikan, memperlihatkan adanya kesamaan misi dan visi yang diusung oleh Gus Dur dan beberapa pemerhati pesantren, yaitu pembentukan insan kamil. Dalam aplikasinya, kurikulum tersebut diterapkan di pesantren modern, yang memadukan antara ilmu umum dengan ilmu agama serta bahan pembelajarannya mengembangkan spesialisasi pesantren dengan disiplin ilmu pengetahuan lain yang bersifat praktis yang melalui jalur aplikasi teknologi sehingga kurikulumnya tidak terlalu bersifat akademik.
19
M. Sulthon Masyud dan Moh Khusnurdilo, Op,Cit., hlm. 73
84
Dan juga mengembangkan kurikulum dengan pendekatan multidisipliner dalam pengembangan kurikulum yang relevan dengan dengan penyediaan angkatan kerja bagi pesantren, yang berupa jenis-jenis pengajaran, media kegiatan antara aspek kurikuler dan nonkurikuler serta dalam penyediaan sumber-sumber pengetahuan yang digunakan. Terakhir, dalam sistem penilaian dengan mengembangkan sistem penilaian yang komprehensif, baik yang menyangkut domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam kenyataannya, pemikiran Gus Dur dalam pengembangan kurikulum pesantren ini tidaklah mencakup seluruh empat aspek yang disebutkan diatas, tetapi beliau menawarkan suatu alternatif dalam pengembangan kurikulum di pesantren, yaitu yang pertama merubah madrasah menjadi madrasah negeri yang pada tahun-tahun ini sudah mulai di banyak berdiri di daerah-daerah, pendidikan nonagama mengikuti pendidikan nonagama yang ada di sekolah umum. Yang kedua adalah pemberian program bimbingan atau penyuluhan, seorang santri dididik bersama masyarakat luas, bisa bersama petani, nelayan ataupun yang lain dengan mendatangkan pemateri ahli sehingga pesantren menjadi sebuah fasilitator penyuluhuan disamping santrinya juga mengikuti penyuluhan tersebut. Yang ketiga yaitu program ketrampilan, program ini agaknya yang lebih cocok dilaksanakan dikarenakan dengan pemberian ketrampilan baik secara sekuler di madrasah ataupun ektrakulikuler dapat memberikan sedikit bekal bagi para santri sehingga jika masyarakat membutuhkan jasa dapat di atasi langsung oleh santri di sekitar masayarakat tersebut. Yang keempat adalah program
85
pengembangan masyarakat oleh pesantren, dan program sekolah umum. yang pada akhirnya bila program-program tersebut berhasil akan memberikan dampak yang sangat besar bagi santri maupun bagi masyarakat. Namun dalam upaya adalah memasukkan nilai-nilai kerampilan dalam dunia pendidikan Islam. Bisa jadi bukanlah sesuatu yang buruk, namun kegunaannya menurun bila ada kecenderungan untuk melakukan meniru dan melakukan sesuatu yang dimiliki oleh kemampuan yang ada di luar ruh pendidikan Islam. Dengan demikian, hal tersebut hanya menghasilkan manusia – manusia yang seperti robot, tanpa adanya analisis yang tajam terhadap permasalahan yang dihadapi. Kita pun melihat suatu perubahan di Pesantren Darul Falah, Bogor. Di sana, pelajaran agama sangatlah minim, tetapi pesantren tersebut melatih ketrampilan pertanian, peternakan, dan lainlain. Sebenarnya hampir bisa dikatakan hal tersebut bukanlah yang penting, melainkan merupakan arti sebuah penyadaran arti agama yang jauh lebih penting.20 Yang terpenting ialah pada mereka ditanam kesadaran dan keinginan mengubah kehidupan masyarakat melalui penciptaan etos kerja berdasarkan suatu pandangan agama di bidang pertanian misalnya. Dan itu tidaklah menjadi soal. Ia bukanlah suatu yang buruk. Asal saja memang ada kerangkanya. Di sinilah letak kelemahan program keterampilan yang diadakan departemen agama. Tidak diciptakan kerangkanya, sepanjang yang saya dengar hanya untuk menumbuhkan sifat ketrampilan di kalangan santri,
20
Faisol, Op.Cit, hlm.123
86
agar santri bisa mencari makanya sendiri. Akan tetapi yang lebih dibutuhkan ialah kerangka yang mampu menumbuhkan sikap jiwanya. Sebab kalau hanya ketrampilan yang diajarkan tanpa dibilang mengapa dan apa gunanya, hasilnya seperti yang disaksikan sekarang. Banyak pesantren yang menolak pendidikan ketrampilan dari departemen agama. Ini suatu kenyataan yang harus diakui. Program semacam ini hanyalah diterima oleh pesantren yang kecil saja sedangkan pesantren dan berpengaruh menolaknya. Kalaupun mereka menerimanya, hanyalah sebagai hiasan bibir belaka. Dan tidak ada yang menerima secara terbuka dan menjadikannya suatu program, karena memang tidak ada kerangkanya. Dan karena itu orang tidak merasakan komitmen kepada suatu tujuan.21 Kurikulum pesantren menurut Nurcholis Madjid merupakan bahwa segi kurikulum adalah segi yang paling penting daripada yang lainnya, akan tetapi harus dirubah karena tidak ada kecocokan dengan dunia luar, ini dapat terlihat dari beberapa segi. Yang pertama dari segi agama, yang masuk dalam pelajaran agama biasanya apa saja (yang untuk mudahnya) “ tertulis dan mengandung unsure bahasa Arab”. Fiqh merupakan segi yang paling utama. Kemudian menyusul aqaid. Sedangkan tasawuf, salah satu dari trio ilmu-ilmu Islam, hanya merupakan anjuran yang lemah dan menjadi hak istimewa orang-orang tertentu. Yang kedua nahwu-sharaf, adalah hal aneh bahwa pelajaran gramatika bahasa (Arab) cenderung untuk dimasukkan ke dalam ilmu agama. Nahwu-sharaf menempati kedudukan penting sekali, sehingga 21
hlm. 115.
KH. Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, ( Yogyakarta : Lkis , 1999),
87
menuntut waktu dan tenaga yang sangat banyak (ingat: menghafal sya’irsya’ir Awamil, Imriti, dan Alfiyah ). Mungkin nahwu-sharaf ini memang penting sebagai “alat ilmu” mempelajari agama yang tertulis dalam kitabkitab berbahasa Arab, tetapi di pesantren-pesantren keadaannya sudah tidak proporsional lagi dan kurang relavan.22 Yang selanjutnya adalah pengetahuan umum : barangkali sekarang ini praktis semua pesantren mengajarkan ilmu-pengetahuan umum. Tetapi tampaknya dilaksanakan secara setengah-tengah, sekedar memenuhi syarat atau agar tidak dinamakan kolot saja. Sehingga kemampuan santri pun biasanya sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan umum. Yang terakhir adalah sistem pengajaran : sistem yang biasanya dipakai dalam pesantren itu terkenal tidak efisien. Ini disebabkan caranya yang unik dan memang khas pesantren. Sistem pengajaran penjenjangan (graduation) yang tidak sistematis (sering terjadi pengulangan), pemilihan kitab yang kurang relavan, cara membaca kitab dengan terjemah harfiah (kata demi kata) dan seterusnya.23 Untuk mengembangkan kurikulum tidak bisa secara serampangan hal ini harus sesuai dengan rambu-rambu penyusunan kurikulum pendidikan islam yang dirumuskan Omar Mohammad at-Taoumy Asy-Syaibany ke dalam tujuh prinsip berikut : a. Prinsip pertautan dengan agama ; yaitu semua hal yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk tujuan, kandungan, metode dan lain-lain, yang 22 23
Nurcholis Madjid, Op.Cit., hlm. 100. Ibid., hlm. 101.
88
berlaku dalam proses pendidikan Islam, selalu berdasarkan pada ajaran dan akhlak Islam. b. Prinsip Universal ; yaitu tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan islam harus meliputi segala aspek yang bermanfaat, baik bagi peserta didik, seperti pembinaan akidah, akal, jasmani, maupun bagi masyarakat, seperti perkembangan spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi , politik dan lain-lain. c. Prinsip kesemibangan di dalam tujuan kurikulum dengan kandungannya. Kurikulum pendidikan islam yang berdasar pada filasafat dan ajaran Islam senantiasa menekankan pentingnya kehidupan dunia dan akhirat secara seimbang. d. Prinsip keterhubungan kurikulum dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan peserta didik, serta dengan lingkungan sosial menjadi tempat berinteraksi peserta didik. Dengan prinsip ini, kurikulum pendidikan islam bermaksud memelihara keaslian peserta didik yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. e. Prinsip memperhatikan perbedaan individu agar kurikulum pendidikan islam memiliki relevansi dengan kebutuhan dan masyarakatnya. f. Prinsip perkembangan dan perubahan ; yaitu kurikulum pendidikan islam selalu sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum ke arah yang memiliki nilai maslahat bagi masyarakat merupakan suatu keharusan.
89
g. Prinsip pertautan antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman, dan aktivitas pendidikan yang terkandung dalam kurikulum. Pertautan ini menjadi penting agar kurikulum pendidikan islam senantiasa mengikuti perkembangan zaman, yang selaras dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakatnya.24 Jelaslah dari tinjauan di atas bahwa beberapa pedoman harus senantiasa diingat dalam merencanakan sebuah kurikulum bagi pesantren, yang memenuhi tuntutan dan kebutuhan penyediaan angkatan kerja di era modern ini. Pertama-tama haruslah diingat bahwa terdapat kesulitan untuk membuat pesantren menerima kurikulum yang bertentangan dengan tujuan penyebaran agama dan fungsi transformasi kultural yang dimilki pesantren. Penyediaan tenaga yang trampil dan terlatih untuk berbagai jenis profesi haruslah dilakukan dalam sebuah program yang memiliki hubungan dengan tujuan dan fungsi pesantren sebagaimana dipahami oleh warga pesantren selama ini.
3.
Analisa Pengembangan Kepemimpinan Kepemimpinan
dalam
suatu
lembaga
tidak
dapat
dielakkan
keberadaannya. Begitu pula dengan pesantren memerlukan adanya seorang pemimpin dalam rangka sebagai nahkoda mengarungi perjalanannya dari masa ke masa. Dalam struktur pesantren, kiai merupakan pemegang tapuk kepemimpinan tertinggi, hal ini dapat dimaklumi karena kiai merupakan 24
98.
M. Dian Nafi’ dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren, ( Yogyakarta : Lkis, 2007), hlm.
90
pendiri sekaligus pemilik dari pesantren yang dipimpinnya. Dengan demikian, kedudukan kiai dalam pesantren menduduki kedudukan ganda: sebagai pengasuh sekaligus pemilik pesantren. Secara kultural kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan feodal yang biasa dikenal dengan istilah kanjeng di pulau Jawa. Selama ini kepemimpinan kiai dalam pesantren pada umumnya bercorak alami. Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya bentuk yang teratur dan tetap dalam suksesi kepemimpinan dalam pesantren. Dengan kata lain bahwa kepemimpinan kiai dalam pesantren selama ini berdasarkan kharisma. Sehingga ditemukan banyak kekurangan dan kelemahan dalam kepemimpinan kiai seperti ini.25 Pemimpin yang hanya mengandalkan kharisma saja pada akhirnya akan mengalami kemunduran. Sifat yang demikian ini memiliki banyak kerugian. Menurut Gus Dur ada empat kerugian yang akan terjadi : 1. Munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren yang bersangkutan dikarenakan semua hal tergantung pada keputusan pribadi sang pemimpin. 2. Munculnya watak pasif yang dimiliki pesantren dalam pengembangan dirinya, sehingga hanya menggantungkan ajakan dari luar, dan itupun terkadang dilakukan tanpa pengertian penuh akan maksud dan tujuan ajakan dari luar.
25
Abdurrahman Wahid, Mengerakkan Tradisi…, hlm. 133
91
3. Pola pergantian pemimpin yang tiba-tiba dan tidak direncanakan sehingga
lebih
banyak
ditandai
sebab-sebab
alami,
seperti
meninggalnya sang pemimpin secara mendadak. 4. Terjadinya pembaharuan dalam tingkat-tingkat kepememimpinan pesantren, antara tingkat lokal, regional maupun nasional.26 Nurcholis Madjid berpendapat berbeda tentang kepempinan pesantren yang mempunyai karisma, menurutnya kenyataan bahwa pola kepemimpinan seorang kiai adalah pola kempimpinan karismatik sudah cukup menunjukkam segi tidak demokratisnya, sebab tidak rasional. Apalagi jika disertai dengan tindakan-tindakan yang secara sadar maupun tidak bertujuan memlihara karisma itu, seperti prinsip “keep distance” atau “ keep aloof” (jaga jarak dan ketinggian) dari para santri, maka pola kepemimpinan itu benar-benar akan kehilangan kualitas demokratisnya.27 Pada
akhirnya
hal
yang
dapat
ditawarkan
sebagai
wacana
kepemimpinan yang baik yaitu kepemimpinan yang bersifat kolektif dalam pesantren, yakni dengan membentuk suatu yayasan, dimana dilakukan pembagian tugas secara proposional sesuai dengan keahliannya dan tugas masing-masing yang memilki kaitan hirarkis dan fungsional sehingga membentuk mekanisme sistemik. Gagasan inilah yang tidak disampaikan oleh Gus Dur dalam masalah kepemimpinan dalam pesantren ini. Pesantren mempunyai dictum yang sudah lama dikenal dan dijadikan sebagai acuan bagi pengembangan pesantren yaitu : “Melestarikan nilai-nilai 26 27
Ibid, hlm.135. Nurcholis Madjid, Op.Cit. hlm. 103.
92
lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.” Dengan adanya dictum tersebut diharapkan adanya pola kepemimpinan yang lebih direncanakan dan dipersiapkan sebelumnya. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa dikehendaki adanya kepemimpinan
yang dinamis di
pesantren yang mampu membuat gebrakan di tingkat lokal, regional dan nasional, serta miliki kepemimpinan yang relavan dengan kebutuhan sekarang dan masa depan, harus pula mampu memahami kebutuhan akan integrasi pesantren ke dalam pendidikan nasional. 28 Sebagaimana yang disebutkan oleh M. Sulthon dan Moh. Khusnurdilo bahwa salah satu bentuk kepemimpinan adalah kepemimpinan yang strategik, strategik dalam hal ini adalah kemampuan seorang pemimpin menetapkan isu-isu strategs. Pada tataran ini, pengasuh pesantren aktif menyimak perkembangan
global
sehingga
mampu
mengidentifikasi
kekuatan,
kelemahan, peluang, dan atau ancaman yang mungkin muncul.29 Dengan demikian, apa yang diharapkan Gus Dur dengan adanya perubahan
dalam
tubuh
pesantren
tertutama
dalam
pendidikannya
memberikan sebuah pengharapan sekaligus tantangan bagi pesantren untuk mempersiapkan di dalam mengarungi era modern ini dengan menunjukkan eksistensinya. Dalam pemikiran Abdurrahman Wahid, pesantren bukan saja harus mampu tampil sebagai agen perubahan kebudayaan (cultural broker) bagi masyarakat sekitar. Sesuatu yang sebenarnya bisa dilaksanakan dengan baik 28 29
Ibid, hlm. 141. M. Sulthon dan Moh. Khusnurdilo., Op.Cit. hlm. 30.
93
karena pesantren memiliki sistem nilai yang ditransmisikan secara turuntemurun baik kepada santri maupun masyarakat di sekitar pesantren. Namun, di sisi lain, pesantren juga harus mampu menyerap perubahan-perubahan kultural yang sedang dan akan berkembang di masyarakat, tanpa harus kehilangan tata nilai yang telah dimiliki selama ini.30 Kepemimpinan pesantren yang cenderung bercorak tradisional, dalam banyak hal menggunakan keunggulan karisma kyainya, sehingga dikatakan oleh sebagian pengamat sebagai feodalistik melalui relasi semacam patronclient, namun, melalui basis kitab kuningnya, kita pun menyaksikan betapa pesantren menampakkan kemandiriannya (high-independence) yang luar biasa dalam relasi sosial yang lebih luas dengan pihak luar, melebihi lembaga yang mengklaim dirinya independen sekalipun.31 Kepemimpinan kyai di pesantren sangat berbeda pola dan coraknya, hal ini oleh Abdurrahman Wahid dicirikan sama seperti kepemimpinan pramodern, sebagaimana hubungan antara pemimpin dan pengikut. Konsep barakah merupakan ciri pembeda yang ada dalam pola kepemimpinan di pesantren. Konsep barakah oleh Abdurrahman Wahid, dinyatakan sebagai hal yang sangat mendasari pada terbentuknya pola kepemimpinan tersebut, merupakan wujud dari pandangan di lingkungan pesantren bahwa semua hal dalam kehidupan ini harus dilandasi pada peribadatan dan pengabdian kepada
30
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amin Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm.125 31 Marzuki Wahid, Metamorfosis Pesantren: Pergulatan Tradisi Pesantren, Kebudayaan Lokal Dan Politik Kekuasaan Dalam Ideologi Pendidikan Pesantren, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2007), hlm.129
94
Allah dan Rasul-Nya. Dan ketundukan yang mutlak dari seorang santri kepada kyainya merupakan wujud peribadatan tersebut. Dalam pendidikan, kepemimpinan kyai di pesantren menjadi faktor yang sangat penting, yaitu pelestarian tradisi Islam, dimana ulama’ berperan sebagai penjaga ilmu-ilmu agama. Peran ini tidak bisa dilimpahkan kepada anggota masyarakat lain, karena berhubungan dengan doktrin “ulama’ adalah pewaris para nabi” sebagaimana tercantum dalam sebuah hadist.32 Kepemimpinan pesantren adalah suatu lembaga yang turun-temurun atau modelnya hierarkis. Karena itu sulit untuk diadakan perpindahan yang wajar secara teratur baik dan pembinaan calon penggantinya. Inilah yang harus dipecahkan. Dan cara pemecahannya adalah komunikasi yang lebih efektif antara calon pemimpin pesantren. Bilamana mereka yang tua telah mapan dan sulit berubah, maka hal semacam itu haruslah lebih dituntut dari mereka yang lebih muda. Dari mereka yang lebih muda diminta suatu pemikiran dalam konteks makro, yaitu memikirkan pesantren secara keseluruhan dan bukannya pesantrennya sendiri saja.33 Pola kepemimpinan di pesantren membentuk formulasi yang unik yang berbeda dengan kepemimpinan yang ada di luar lingkungan pesantren, pola ini mengambil bentuknya sendiri dari sistem tata nilai yang ada di dalamnya yang berakar pada penggunaan literatur-literatur kuno yang termanifestasi pada moral keagamaan yang berkembang di pesantren.
32 33
116.
Wahid,. Op. Cit., hlm. 173 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gusdur, ( Yogyakarta : LKiS, 1999), hlm.
95
Pola kepemimpinan karismatik yang menurut paradigma kepemimpinan modern sudah tidak layak untuk diterapkan pada era modern sekarang ini, oleh Abdurrahman Wahid telah dicarikan solusinya yaitu dengan jalan mengadakan pelatihan kepemimpinan di lembaga-lembaga pesantren, sehingga kelemahan yang terjadi pada pesantren selama ini, dengan sukarnya mereka mencari pengganti pemimpin (kyai pengasuh) sudah terantisipasi sejak awal. Pada akhirnya keberlangsungan pendidikan pesantren akan terus terjaga dengan adanya pimpinan baru yang telah dipersiapkan sebelumnya. Walaupun
demikian,
kepemimpinan
model
karismatik,
menurut
Abdurrahman Wahid masih tetap dibutuhkan di dalam masyarakat yang masih tradisional seperti di Indonesia ini. Kedudukan kyai atau ulama’ yang oleh Geertz diakui memiliki kedudukan sebagai perantara budaya “cultural brokers” yang dianggapnya lebih banyak memiliki watak kepemimpinan yang sifatnya transisional, dimana para kyai itu berdiri diantara “elite yang berwatak hidup kekotaan” (very urbanized elite) dan “kelompok petani tradisional di pedesaan” (very traditional peasantry). Dalam menerjemahkan aspirasi “budaya-kota” (urban culture) yang mulai merembes ke pedesaan, para kyai “diharuskan” untuk dapat mencari dasar-dasar hukumnya yang seringkali merupakan hasil pemahaman baru terhadap ajaran-ajaran agama yang ada.34 Berbeda dengan “ulama” yang biasanya menekankan otoritas, para pemikir Islam bisa dibilang adalah termasuk golongan “pemberontak”.
34
Ibid., hlm. 76.
96
Mereka, dengan kegelisahan intelektualnya, selalu mempertanyakan mengapa Islam yang normatif dan skriptural tidak lagi mengalirkan pesannya yang mendasar dalam zaman baru. Orang-orang seperti ini (sebagai anak zamannya), sesungguhnya memiliki kreativias sejarah, yang dapat melakukan transformasi dan transendensi dalam memajukan peradaban. Oleh karena pada dasarnya, mereka itu adalah orang yang hidup dalam iman dan pikirannya yang selalu berjuang melawan formalisme dan strukturalisme keberagaman. “Formalisme” ialah suatu bentuk penghayatan agama yang menempatkan iman hanya sebagai rutinitas ritual. Sementara itu, penekanan “strukturalisme” Islam yang mensucikan tradisi telah mematikan ruh pencarian ijtihad untuk menghidupkan inovasi, kreativitas, dan perubahan.35 Jika dilihat dari pandangan Muslim Abdurrahman di atas, sosok Abdurrahman Wahid merupakan gabungan antara ulama dan pemikir. Kepemimpinan
pesantren secara kukuh masih terpola dengan
kepemimpinan yang sentralistik dan hierarkis yang berpusat pada satu orang kyai. Ihwal pendirian pesantren memang mempunyai sejarah yang unik. Berdirinya pesantren biasanya atas usaha pribadi kyai. Maka dalam perkembangan selanjutnya dia menjadi figur pesantren. Pola semacam ini tak pelak mengimplikasikan sistem manajemen yang otoritarianistik. Pembaruan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan karena sangat bergantung pada sikap sang kyai. Pola seperti ini pun akan berdampak kurang prospektif bagi
35
Muslim Abdurrahman, Setangkai Pemikiran Islam, Dalam Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (Jakarta: penerbit erlangga,2003), hlm. Vii.
97
kesinambungan pesantren di masa depan banyak pesantren yang sebelumnya populer tiba-tiba “hilang” begitu saja karena sang kyai meninggal.36 Dalam rangka mencapai visi dan misi pesantren yang agung, patut kiranya para pemimpin pesantren mempertimbangkan beberapa saran berikut yaitu : a. Mengadaptasikan kurikulum untuk memenuhi tuntutan kebutuhan belajar santri;
mendayagunakan
otoritas
pesantren
yang
besar
untuk
memanfaatkan sumber pendidikan secara kreatif; dan selalu menempatkan guru dan staf dalam team work yang solid untuk menjalankan misi pesantren. b. Memahami pola manajemen pesantren secara tepat dalam rangka meraih peluang memenangkan persaingan global. c. Selalu aktif mengadaptasi model-model manajemen pendidikan yang cocok untuk mengembangkan program pesantren. d. Melaksanakan pengembangan mutu guru berdasarkan rencana yang jelas. e. Melaksanakan pengembangan program bagi, wali santri dan murid secara serempak sesuai dengan kultur pesantren salafiyah. f. Mengembangkan kualitas guru melalui kerjasama dengan instansi terkait (Depdiknas, Depag, LSM, dan sebagainya).37 Respon pesantren terhadap laju modernisasi tidak dapat dilepaskan dari peran sentral kiai sebagai pemimpin sekaligus penggerak dan pemegang kendali atas kelangsungan pesantren. Dalam merespon modernisasi yang 36 37
A. Malik fajar,Op.Cit., hlm. 222. M. Sulthon Masyud, Op.Cit , hlm. 41.
98
melanda, setidaknya terdapat tiga tipologi kiai, yaitu: Pertama, tipologi apologi, yaitu mengikuti dengan upaya penyesuaian diri dan adaptasi terhadap proses modernisasi. Sebagian mereka telah mengambil nilai-nilai Barat, baik disertai dengan adanya konflik batin maupun tidak sama sekali. Kedua, tipologi resistensi, yaitu menganggap modernisasi sama dengan westernisasi dan sekulerisasi. Akan tetapi, sebagian mereka melakukan resistensi sebatas pada tataran formal saja, sebab dalam realitas sehari-hari mereka juga menerima nilai-nilai Barat. Ketiga, tipologi tanggapan yang kreatif, yakni menempuh model dialogis dengan mengedepankan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi. Penganut pola ini memiliki keyakinan bahwa nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama dapat digali lebih jauh dan diinterpretasikan kembali untuk bisa memberikan respon yang cerdas dan kreatif dalam menghadapi gempuran modernisasi.38 Secara apologetic sering dibanggakan bahwa kepemimpinan atau pola pemimpin dalam pesantren adalah demokratis, ikhlas, sukarela, dan seterusnya. Mungkin jika dibandingkan dengan pola pemimpin di sekolahsekolah Hindia Belanda anggapan ini memang benar. Tetapi bila diukur dengan perkembangan zaman keadaannya menjadi lain, klise-klise itu perlu dipertanyakan lagi kebenarannya. Banyak criteria yang dijadikan tolak-ukur bagi seorang pimpinan pesantren : a. Personal : karena kepemimpinan kiai adalah karismatik maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi atau personal. Karena kenyataan itu 38
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Kontruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta : LKiS, 2007), hlm. 63.
99
mengandung implikasi bahwa seorang kiai tak mungkin digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukkan kebawah “rule of the game”-nya administrasi dan managemen modern. b. Religio-feodalisme : seorang kiai selain menjadi pemimpin agama sekaligus merupakan “traditional mobility” dalam adalah masyarakat feodal.
Dan
feodalisme
yang berhubungan
keagamaan
ini
bila
disalahgunakan jauh lebih berbahaya daripada feodalisme biasa. Kiai lebih mampu mengerahkan masa dari pada pemimpin feodal biasa, apalagi banyak kiai yang sekaligus juga membanggakan dirinya sebagai bangsawan. Seorang kiai memiliki “inertia” terhadap gejala-gejala perubahan sosial. Ini disebabkan oleh kecenderungan bawah sadar untuk tetap mempertahankan kedudukannya yang menguntungkan itu. c. Kecakapan teknis : karena dasar kepemimpinan dalam pesantren adalah seperti diterangkan di atas, maka dengan sendirinya faktor kecakapan teknis menjadi tidak begitu penting. Dan kekurangan ini menjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya pesantren dari perkembangn zaman.39
39
Nurcholis Madjid, Op.Cit., hlm. 103.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari berbagai pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagaimana berikut: Modernisasi pondok pesantren menurut KH. Abdurrahman Wahid merupakan proses mengembangkan nilai-nilai positif yang sudah ada selain itu mengganti nilai lama dengan nilai yang baru yang lebih baik dan sempurna. Dalam pesantren mencakup tiga hal : 1. Integrasi sekolah umum ke dalam pesantren, bahwa mengingat tidak semua mayoritas warga pesantren (santri) belajar di madrasah sehingga akan diserap ke sekolah umum, dan juga mereka yang berada di antara dua pilihan apakah sekolah umum atau belajar agama di pesantren akan terdorong masuk sekaligus dua-duanya yaitu masuk pesantren dan sekolah umum yang berada di lingkungan pesantren. 2. Mengembangkan kuriukulum dalam pesantren, bahwa pesantren tidak saja diapersepsikan sebagai lembaga yang mencetak ulama/kiai saja akan tetapi harus pula memenuhi tuntutan dan kebutuhan penyediaan lapangan pekerjaan. Hal ini dilakukan dengan menselaraskan tujuan dan fungsi pesantren dengan beberapa percobaan yaitu, madrasah negeri, program ketrampilan, program penyuluhan dan bimbingan, program sekolah
100
101
nonagama, program pengembangan masyarakat sebagai solusi memenuhi tuntutan zaman. 3. Mengembangkan kepemimpinan dalam pesantren, bahwa pesantren memiliki kepemimpinan karakteristik yang khas yaitu pemimpin yang kharismatik namun masih belum memiliki bentuk yang teratur dan menetap sehingga terjadi penurunan kualitas kepemimpinan. Sedangkan pemimpin harus mampu merespon perkambangan dunia pendidikan yang semakin berkembang, maka pengembangan kepemiminan harus dilakukan demi tercapai kepemimpinan yang relevan dengan kebutuhan sekarang dan masa depan serta yang mampu memahami kebutuhan integrasi pesantren dalan pendidikan nasional. B. Saran – Saran 1. Walaupun
sudah
banyak
pesantren
yang
melaksanakan
gagasan
modernisasi pesantren seperti membuka sekolah umum bahkan sekolah formal, masih belum membuka mata hati masyarakat secara keseluruhan bahwa dalam akar tradisi pesantren telah berkembang sebuah watak pemikiran yang terbuka baik terhadap pemikiran dan pendapat orang maupun menerima dan mau menyerap teori-teori dari luar. Namun, watak serapan tersebut seringkali dikalahkan oleh dominasi formal yang membuat pesantren terjebak dalam pusaran dogmatisme yang membuat mereka tidak mau berkembang dan tertutup. Oleh karena itu, merupakan sebuah harapan besar hasil kajian ini dapat\ditindak lanjuti dalam forum diskusi atau forum lain yang lebih mendalam untuk kemudian secara
102
dinamis dapat menemukan konsep baru kepesantrenan yang lebih inklusif dan berwatak humanis. 2. Modernisasi yang dikembangkan di Barat sangat tidak sesuai dan tidak cocok bila diterapkan di pesantren. Pesantren harus tetap memegang teguh tradisinya, namun bukan berarti pesantren tidak peduli dengan perubahan, tetapi bagaimana melakukan penyesuaian yang tidak mengorbankan esensi dari pesantren, dengan berpedoman kaidah “Melestarikan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.” 3. Penulis masih banyak menemukan kekurangan dalam penelitian ini, diantaranya adalah pemikiran Gus Dur terkait bagaimana sistem kepemimpinan yang benar serta proses pembentukan kepemimpinan yang ideal dan juga rekontruksi kurikulum pesantren dalam menghadapi era global ini. Meskipun secara sekilas telah penulis bahas dalam penelitian ini, tetapi masih dalam kerangka yang sangat dangkal. Oleh karana itu diharapkan bagi peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian lebih mendalam lagi dalam kajian tersebut. C. Penutup Dengan segala kerendahan hati penulis tidak henti-hentinya selalu memanjatkan segala puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Berkehendak lagi Maha Mengetahui Segala Sesuatu. Tidak lupa, Shalawat dan Salam selalu berkumandang dan tercurah ke pangkuan baginda nabiyyuna wa habibuna Muhammad SAW sebagai the best teacher suri tauladan yang baik (uswatun hasanah) bagi manusia, sang inspirator bagi
103
seluruh umat yang ada dimuka bumi ini. Dan tidak lupa penulis memohon beribu terimakasih kepada semua pihak yang dengan keikhlasn serta ketulusannya membantu skripsi ini dari awal proses pengerjaan hingga terselesaikan baik material maupun spiritual. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnan, karena masih banyak kekurangan di dalamnya. Hal ini tak lain adalah karena keterbatasan penulis sendiri. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah , Irwan, Muhammad Zain dan Hasse J Eds,Agama, Pendidikan Islam Dan Tanggungjawab Sosial Pesantren, Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana UGM Bekerja Sama Dengan Pustaka Pelajar, 2008. Abdullah, Taufiq, Sejarah Dan Masyarakat, Jakarta : Bulan Bintang,1986, Cet.Ke-1. Abdurrahman ,Muslim, Setangkai Pemikiran Islam, Dalam Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003. Ali , Muhammad, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Ilmu, Tt. Haedari , Amin Dan Hanif , Abdullah, Eds., Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangankomplesitas Modern, Jakarta : IRD Press, 2004. Arifin , Imron, Kepemimpinan Kiai Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, Malang : Kalimasada Press, 1993. Asmuni , Yusran, Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam Dirasah Islamiyah, Ed.I , Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996, Cet.II Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam : Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1993 __________, Surau Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi Dan Modernisasi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003, Cet. Ke- 1. Barton , Greg, Terjemahan Biografi Gus Dur The Authorized Biography Of ABDURRAHMAN WAHID, Yogyakarta : Lkis , 2003. Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis Dan Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi Ed,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010. Dahlan, Moh, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Yogyakarta : Kaukaba Dipantara, 2013 Dahri , Harpandi, Modernisasi Pesantren, Jakarta : Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama, Tt,Hlm.73. Departemen Agama Republik Indonesia, Pondok Pesantren Dan Madrasah Diniyah,Pertumbuhan Dan Perkembangannya, Jakarta : Dirjen Kelembagaan Islam Indonesia, 2003 Departemen Pendidika Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indoneisa, Jakarta : Balai Pustaka, 1989 Dhofier , Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta : LP3S , 2011. Direktorat Jendral Pendidikan Islam Depag RI, Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah RI Tentang Pendidikan, Depag RI, 2006. Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan Di Era Global,Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011. Fajar ,A. Malik, Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.
104
105
Gazalba , Sidi, Modernisasi Dalam Persoalan, Bagaimana Sikap Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1985 Hamid , Abu, Sistem Pesantren Madrasah Dan Pesantren Di Sulawesi Selatan , Ujung Pandang: Fakultas Sastra UNHAS, 1978 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999 Kementrian Agama RI, Al’Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta : PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012 Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997. ____________, Islam Kemerdekaan Dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1993 ____________, Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta : Dian Rakyat,tt. Mahpuddin , Noor, Potret Dunia Pesantren, Bandung : Humaniora, 2006. Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amin Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Masyhuri Dan Zainuddin, Metode Penelitian Pendekatan Praktis Dan Aplikatif, Bandung: PT Refika Aditama, 2009. Masyud , M. Sulthon Dan Khusnurdilo , Moh., Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta : Dian Pustaka, 2003. Mi’ah, Afiful, “ Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernisasi Sistem Pesantren, “Skripsi, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Adab, Surabaya, 2013. Moesa , Ali Maschan, Nasionalisme Kiai Kontruksi Sosial Berbasis Agama, Yogyakarta : Lkis , 2007. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014 ,Cet. XIV. Muhajir , Noeng, Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Perspektif Modern, Al-Ta’dib, Forum Kajian Ilmiah Kependidikan Islam, No.1 Juni,2008 Muthohar , Ahmad, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2007 Nafi , M. Dian’ Dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta : Lkis, 2007. Nasution , Harun, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1991. Nata , Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja ___________, Sejarah Pendidikan Islam, Jakrta: PT Grafindo Persada, 2004. Noor , Mahpuddin, Potret Dunia Pesantren, Bandung : Humaniora, 2006. Penerbit Buku Kompas, Gus Dur Santri Par Excellent : Teladan Sang Guru Bangsa Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2010. Qomar, Mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi , Jakarta : Erlangga, Tt. Rahardjo, M. Dawam, Editor Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985. Saridjo , Marwan, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakartan : CV Amissco, 1996.
106
______________, Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia , Jakarta: Dharma Bhakti, 1980. Siraj , Said Agil Et. AL.Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan Dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. Soejono Dan Abdurrahman, Bentuk Penelitian Suatu Pemikiran Dan Penerapan, Jakarta: Rieneka Cipta, 1999. Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. XXII Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan RND, Bandung: Alfabeta, 2012, Cet. XVII. Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi Pendidikan Dan Tenaga Kependidikan, Jakarta: Kencana, 2010. W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umumbahasa Indonesai, Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Wahid , Abdurrahman, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: Darma Bhakti, 1994. _____________, Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta : Lkis, 2001. _____________, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat Jakarta: PT. Kompas Media Nusantra, 2007. _____________, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta : Lkis , 1999. Wahid,Marzuki, Metamorfosis Pesantren: Pergulatan Tradisi Pesantren, Kebudayaan Lokal Dan Politik Kekuasaan Dalam Ideologi Pendidikan Pesantren, Semarang: Pustaka Rizki Putra,2007. Wahjoetimo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternative Masa Depan , Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Yasmadi, Modenisasi Pesantren Kritik Nurchalish Madjid Atas Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta : Ciputat Press, 2002. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995, Cet. Ke- V Http://Agsasman3yk.Wordpress.Com/2009/08/04/Perubahan-Sosial-Modernisasi Dan Pembangunan.