PEMANFATAN PROTEIN RAYAP KAYU BASAH Glyptotermes montanus Kemner SEBAGAI SUMBER NUTRISI INKONVENSIONAL PADA PRODUK PERMEN JELLY C. Hanny Wijaya1, Elina Yunita2, Dodi Nandika3
ABSTRACT Termites are commonly known as destructive insects, which cause a lot of damages of selulosed-based products, such as wood, paper, cartons, clothes, plants tissue, etc. On the other hand, termites can be useful to fullfil the need of nutrition of human's body. This research is carried out to use protein which is extracted from the body of dampwood termites Glyptotermes montanus Kemner (Isoptera: KakAermitidae) as the source of inconventional nutrition in jelly candies-. This research consists of the elimination of fat from the termites' body, protein extraction of dampwood termites G. montanus, proximate analysis of the protein extract, soluble protein content Biuret test, and termites protein digestibility in vitro test, also formulation of the basic composition and the production of jelly candies with the best chosen formula. The results showed that the yield of the termites' protein extract is 9.235%. Proximate analysis showed that the protein extract contains 91.45% protein (dry basis). The concentration of soluble protein is 5.79 mgJml and the protein digestibility is 86.46%. The most suited amount of the protein extract which is added into the jelly candy 7.5%. This amount was made by considering the protein amount and the digestibility of the protein extract, and also its effect on the final product's sensory properties. Jelly candies which contain termites protein up to 7.5% have a medium rate of likeness. Addition of termites protein decrease the likeness rate of jelly candies. Key words: protein, damp-wood termites Glyptotermes montanus, Kemner, Jelly candy
PENDAHULUAN Rayap (Isoptera) dikenal sebagai salah satu serangga perusak kayu yang sangat merugikan. Bahan-bahan yang dapat dirusak rayap sangat beragam. Kerusakan bukan hanya pada kayu, tetapi juga pada kertas, karton, pakaian, jaringan tanaman, dan berbagai jenis bahan selulosa lainnya ter-
'
2 3
Dosen Departemen ITP-Fateta, IPB dan Dosen tidak tetap Jurusan Teknologi Pangan UPH Alumni Departemen ITP - Fatetata, IPB Lab. Biologi Hasil Hutan, PSIH-IPB, Kampus IPB
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober2005
65
masuk dokumen-dokumen dan hasil kesenian berharga. Namun, di samping sifat merugikan tersebut, rayap merupakan serangga yang tubuhnya mengandung beberapa zat makanan penting protein, lemak, dan vitamin. Sementara itu, rayap dapat ditemukan hampir di seluruh daerah dan relatif mudah pembudidayaannya (Uhi, 2001). Rayap sering digunakan sebagai makanan dan merupakan sumber pangan bagi masyarakat rawan gizi dan tidak mempunyai pilihan pangan lain serta bagi masyarakat primitif. Pada tempat-tempat dimana daging sulit diperoleh, rayap berguna sebagai sumber protein hewani (Horn, 1978). Penggunaan rayap sebagai bahan pangan memang belum umum. Salah satu cara memanfaatkan daya guna rayap sebagai bahan pangan adalah dengan melakukan ekstraksi atau isolasi proteinnya untuk pembuatan pekatan ataupun isolat protein (Yasin, 1992). Natacia (1992) telah memanfaatkan rayap sebagai bahan pangan dengan menambahkan 10% protein rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light, dalam pembuatan kerupuk. Kerupuk yang dihasilkan temyata memiliki rasa, aroma, dan kerenyahan yang sama dengan kerupuk ikan. Perbedaannya hanya pada wama kerupuk, dimana kerupuk ikan berwama kekuning-kuningan, sedangkan kerupuk protein rayap berwama kecoklat-coklatan. Berdasarkan hasil analisis, kandungan protein, lemak, kadar air, dan kadar abu kerupuk berbahan dasar rayap lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk ikan. Di samping kerupuk, permen merupakan produk makanan ringan yang telah lama dikenal dan digemari oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Salah satu jenis permen yang cukup populer dan disukai oleh berbagai tingkat usia adalah permen jelly (Jelly candy). Permen jelly mengandung gula yang tinggi sehingga menjadi penyumbang energi yang cukup berarti bagi tubuh. Namun kandungan gizi lainnya sangat minim (Jackson, 1995). Padahal setiap orang pada dasamya mengharapkan makanan dan minuman yang dikonsumsinya bukan saja enak dan memberi kepuasan, tetapi juga memiliki nilai gizi yang berarti bagi kesehatan tubuhnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memanfaatkan protein yang diekstrak dari tubuh rayap kayu basah Glyptotermes montanus Kemner (Isoptera: Kalotermitidae) sebagai sumber nutrisi inkonvensional dalam produk permen jelly. Di samping itu juga untuk mengetahui karakteristik fisiko kimia dan tingkat kesukaan masyarakat terhadap permen rayap tersebut. BAHAN DAN METODE A. Bahan Bahan baku utama yang digunakan adalah rayap kayu basah (dampwood termites) Glyptotermes montanus Kemner (Isoptera: Kalotermitidae) yang di-
66
Jurnalllmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
datangkan oleh petani dari Desa Cikukuluh, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi. Rayap-rayap tersebut diambil dari pohon-pohon karet oleh para petani, yang kemudian dijual melalui toko-toko alat dan umpan pancing. Rayap untuk penelitian ini dibeli dari salah satu toko yang menjual umpan pancing di Pasar Anyar, Bogor. Rayap kayu basah G. montanus yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar merupakan kasta pekerja dan hanya sebagian kecil adalah kasta prajurit. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan permen adalah sukrosa, HFS, gelatin, air, flavor, serta tepung tapioka dan tepung gula sebagai pelapis. B. Metode 1. Penyimpanan rayap Rayap hidup yang telah dibeli hams dijaga agar tetap hidup dan tidak dimangsa oleh hewan-hewan lain selama penyimpanan. Cara yang dilakukan dalam penelitian ini untuk menyimpan rayap adalah dengan menyimpannya di dalam toples-toples plastik besar yang telah diberi lubang-lubang kecil di bagian atasnya agar aliran udara tetap masuk. Ke dalam toples-toples tersebut dimasukkan kayu-kayu kering secukupnya. Kayu-kayu tersebut disusun sedemikian rupa sehingga membentuk tangga, kemudian di setiap tingkat kayu disebarkan rayap-rayap secukupnya. Toples berisi kayu dan rayap disimpan di tempat gelap dan sejuk. 2. Ekstraksi protein rayap Rayap yang digunakan adalah rayap segar. Sebelum diekstrak lemaknya, tubuh rayap segar diblender kering sampai halus kemudian diekstraksi menggunakan pelarut heksan. Metode untuk mengekstrak lemak dari tubuh rayap mengikuti cara Handoko (2000), yaitu dengan mencampur keseluruhan bahan dalam pelarut dengan perbandingan 1:5 pada suhu kamar. Pengadukan dilakukan setiap satu jam untuk mempermudah kontak antara bahan dan pelarut. Pelarut heksan diganti setiap satu jam sampai warna pelarut menjadi bening. Hidrolisis protein rayap dilakukan dalam suasana basa (pH 9). Larutan pengekstrak adalah air dengan perbandingan rayap dan air 1:20. Untuk menghomogenisasikan larutan pengekstrak tersebut dengan rayap, digunakan blender basah. Waktu hidrolisis adalah 60 menit. Untuk memisahkan protein hasil hidrolisis, digunakan sentrifusi dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Protein hasil hidrolisis kemudian disaring lalu diendapkan dengan pada pH isoelektriknya. Protein rayap memiliki pH isoelektrik sekitar 4-5 (Yasin, 1992).
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
67
Untuk mendapatkan pekatan protein, dilakukan sentrifusi kembali dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Endapan protein yang dihasilkan berwarna kecoklatan. Selanjutnya dilakukan penetralan dengan NaOH untuk mendapatkan Natrium proteinat yang lebih disukai. Pengeringan protein rayap bertujuan untuk mengeluarkan air dari protein tersebut sehingga membentuk suatu produk tepung yang cenderung lebih awet. Pengeringan pekatan protein dilakukan pada suhu 40-50°C selama 24 jam. Tahap-tahap ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 1. Rayap Ira y u basah G. monUBuu Kemner
v Penimbangan dan penghancuran dengan blender kering
>r Hancuran tububrayapdircndam dalam beksan selama 6 jam
£
Heksan dibuang
Basil padalan diangin-angiiUuui
Air(I:20) i
^
I
Penghancuran dengan blender
Hidrolisis basa (sambil diaduk. selama 60 menit)
Sentrifusi 3000 rpm, 30 menit
Endapan
Pengendapan protein
Sentnfuai 3000 rpm, 30 a
Pekatan Prolan
T
Pengeringan
Pengayakan
Tepung protein rayap
Gambar 1. Tahapan Ekstraksi Protein Rayap Kayu Basah G. montanus Kemner berdasarkan Yasin (1992) dengan modifikasi
68
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
3. Analisis pekatan protein rayap Ekstrak protein rayap yang dihasilkan dianalisis proksimat, uji kandungan protein terlarut dengan uji Biuret, dan analisis daya cerna protein rayap secara in vitro. 4. Pembuatan permen jelly berprotein rayap Proporsi penambahan tepung protein rayap ke dalam permen berdasarkan RDA {Recommended Daily / Dietary Allowances) yaitu protein. Secara umum, pembuatan permen jelly dapat dilihat pada Gambar 2. Gelatin dilarutkan dalam air dan dipanaskan dalam water bath suhu 60°C
~ ~
~'
JL.
HFS dan sukrosa dipanaskan sambil diaduk sampai suhu 80°C
Ditambahkao larutan gelatin dan diaduk sampai homogcn
* Diaduk sampai campuran merau dan dipanaskan sampai 90-100°C
Campuran diangkat dan didinginkan sampai 40 -S0°C
Dimasukkan tepung protein rayap, flavor dan pewama
zzjr ;;r~ Pcngadukan sampai merata
ZZEZH_ Pencetakan dalam cetakan yang telah dilumuri minyak
Didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang
I
~
Disimpan pada suhu refri selama semaiam
I Didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, 3, No. 2, Oktober Permen dikeiuarkan danVol. cetakan dan dilapisi dengan 2005 tepung gula dan tapioka
(1:1)
Gambar 2. Tahapan Pembuatan Permen Jelly Gelatin dengan Pekatan Protein Rayap
69
Banyaknya tepung protein rayap yang ditambahkan sebanyak 5%, 7.5%, dan 10%. Jumlah yang ditambahkan tersebut juga mempertimbangkan kadar protein serta daya cerna (digestibility) yang dimiliki tepung protein rayap, serta pengaruhnya terhadap karakterisitik organoleptik produk akhir. Penetapan formulasi terbaik diperoleh melaiui uji organoleptik (uji hedonik dan uji ranking). Selanjutnya dilakukan penambahan beberapa jenis flavor untuk meningkatkan aseptabilitas konsumen. Flavor yang dianggap cocok untuk ditambahkan antara lain flavor kopi, mocha, coklat, dan butterscotch. Analisis tingkat penerimaan konsumen diperoleh melaiui uji organoleptik (uji hedonik dan uji ranking). Analisis fisik meliputi titik leleh, aktivitas air (aw), kekerasan, dan elastisitas produk permen. Analisis kimia mencakup analisis proksimat, uji kandungan protein terlarut (uji Biuret), uji pH, dan daya cema protein in wfrodari permen tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen pekatan protein rayap G. montanus (berdasarkan perbandingan berat rayap segar dengan tepung protein rayap) adalah 9.24%. Berdasarkan analisis diperoleh tepung protein yang mengandung protein cukup tinggi, yaitu sebesar 91.45% (berat kering). Setelah protein rayap dikeringkan, wama protein menjadi lebih gelap (kehitaman). Hasil rata-rata analisis proksimat pekatan protein rayap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis proksimat pekatan protein rayap Komposisi Berat basah (%) Berat kering (%) Air 13.10 11.58 Abu 2.81 4.31 Lemak 2.03 2.30 Protein 80.82 91.45 Konsentrasi protein terlarut dalam penelitian ini sebesar 5.79 mg/ml. Hasil pengukuran penurunan pH pada menit ke-10 diperoleh pH rata-rata 6.85. Dengan memasukkan nilai pH ini ke dalam persamaan regresi y = 210.464 - 18.103x; dimana y = daya cema protein (%) dan x = pH pada menit ke-10, diperoleh nilai daya cema pekatan protein sebesar 86.46%. Formulasi terbaik permen jelly adalah dengan penambahan tepung protein rayap sebanyak 7.5%. Flavor yang paling disukai adalah butterscotch. Secara keseluruhan, permen jelly cukup disukai konsumen dengan skor hedonik 4.9 (netral-agak suka).
70
Jumal llrnu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
Permen jelly mengandung protein sebesar 18.11 % (bk), air 40.98% (bk), abu 0.63%(bk), dan lemak 0.94% (bk). Kadar protein terlarut dalam permen sebesar21.24 mg/g bahan, sedangkan nilai ketercernaan (digestibility) permen jelly sebesar 81.75%. Nilai pH permen adalah 6.11. Elastisitas permen jelly sebesar 974 gram/brce, kekerasan 62.5 gramforce, dan titik leleh 41 °C.
PEMBAHASAN Rayap Glyptotenmes montanus Kemner dipilih sebagai bahan baku utama dalam percobaan ini karena rayap jenis inilah yang paling mudah didapatkan karena banyak dijual dalam jumlah yang cukup besar di pasar-pasar tradisional di Bogor. Adapun masyarakat awam memanfaatkan rayap ini sebagai pakan temak ataupun umpan memancing ikan. Selain itu, apabila dilihat dari kandungan zat gizi di dalam tubuhnya, rayap jenis ini mengandung protein yang cukup tinggi (52.68%) dengan kandungan asam amino esensial yang cukup lengkap (Uhi, 2001). Beberapa penelitian yang telah diiakukan sebeiumnya membuktikan bahwa rayap berpotensi sebagai sumber protein, baik untuk manusia ataupun hewan. Sebagai sumber protein bagi manusia, telah dibuktikan melalui penelitian terdahulu yang diiakukan Natacia (1992) dengan membuat kerupuk yang ditambahkan protein rayap, sedangkan sebagai sumber protein bagi hewan telah dibuktikan melalui penelitian oleh Uhi (2001) dengan memberikan rayap sebagai pakan yang dapat menambah berat badan ayam secara cukup signifikan. Hasil analisis proksimat terhadap pekatan protein rayap menunjukkan bahwa proses ekstraksi protein yang diiakukan cukup efektif karena dapat mengekstrak protein dari tubuh rayap segar yang awalnya terdapat sebanyak 52.68% (berat kering) (Uhi, 2001). Penelitian serupa yang telah diiakukan oleh Natacia (1992) terhadap rayap kayu kering C. cynocephalus Light, menghasilkan pekatan protein sebesar 63.53% (berat kering) dari tubuh rayap segar yang mengandung 58.81% (berat kering). Rayap yang digunakan dalam penelitian ini adalah rayap segar karena hasil rendemen yang diperoieh jauh lebih tinggi daripada rayap kering. Rayap memiliki bau yang tidak enak dan bau ini melekat pada protein yang dihasilkan. Bau ini diduga karena kandungan lemak yang tinggi pada tubuh rayap, mengingat lemak bersifat menyerap bau. Untuk itu pada penelitian ini sebelum ekstraksi protein diiakukan pengurangan kandungan lemak terlebih dahulu. Penghilangan lemak dapat menghilangkan bau yang tidak enak serta meningkatkan rendemen protein (Yasin, 1992). Pengeringan protein rayap mengakibatkan terjadinya perubahan wama protein menjadi coklat kehitaman. Perubahan wama protein setelah dikeringkan juga dilaporkan oleh Purwanegara (1982) dalam penelitiannya mengenai pem-
Jumal llmu dan Teknoiogi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
71
buatan isolat protein kedelai, dimana pada suhu pengeringan 50°C dihasilkan isolat protein berwarna coklat muda, sedangkan pada suhu pengeringan 150°C dapat menghasilkan isolat protein berwarna coklat. Yasin (1992) melaporkan bahwa pekatan protein rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light, yang dikeringkan baik pada suhu 40°C, 50°C, 60°C, dan 70°C tetap menghasilkan protein berwarna hitam. Warna tepung protein rayap ini diduga akibat adanya reaksi Maillard. Selain protein rayap, pada ekstraksi dengan metode ini diduga akan terekstrak juga komponen-komponen non-protein yang ada pada tubuh rayap. Salah satunya adalah komponen gula pereduksi, dengan keberadaan komponen ini beserta dengan protein kemungkinan besar akan memicu terjadinya reaksi Maillard dan menyebabkan wama protein menjadi coklat kehitaman. Wama ini sudah muncul sejaktahap awal ekstraksi (penghilangan lemak dengan heksan) dan setelah dikeringkan, wama tepung protein rayap menjadi semakin gelap. Salah satu tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penghilangan komponen gula ataupun pengendalian lainnya sejak awal ekstraksi supaya reaksi Maillard dapat dicegah. Namun, pada penelitian ini, tindakan pencegahan tidak dilakukan sehingga hasil ekstrak protein yang dihasilkan berwarna kehitaman. Perolehan rendemen pada penelitian ini cukup rendah sehingga diperlukan bahan baku rayap segaryang cukup banyak untuk menghasilkan pekatan protein. Jumlah pelarutyang digunakan mempengaruhi rendemen akhir. Semakin besar volume pelarut, dapat menyebabkan protein lebih mudah larut karena molekul air bebas yang tersedia cukup banyak untuk berinteraksi dengan protein (Yasin, 1992). Namun, volume pelarut yang terlalu banyak pun walaupun memberikan hasil rendemen yang semakin tinggi, dapat menghasilkan larutan ekstrak yang terlalu encer sehingga tidak efisien (Montecalvo et. al., 1984). Hasil analisis proksimat terhadap pekatan protein rayap menunjukkan bahwa proses ekstraksi protein yang dilakukan cukup efektif karena dapat mengekstrak protein dari tubuh rayap segar yang awalnya terdapat sebanyak 52.68% (berat kering) (Uhi, 2001). Penelitian serupa yang telah dilakukan oleh Natacia (1992) terhadap rayap kayu kering C. cynocephalus Light, menghasilkan pekatan protein sebesar 63.53% (berat kering) dari tubuh rayap segar yang mengandung 58.81% (berat kering). Analisis protein terlarut dengan uji Biuret dilakukan karena sebagian besar protein yang terekstrak adalah protein yang sifatnya larut air. Uji Biuret merupakan salah satu jenis uji yang cukup akurat untuk menentukan kadar protein suatu larutan. Konsentrasi protein rayap yang didapat sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi protein rayap C. cynocephalus Light, yang telah dilakukan oleh Yasin (1992) yaitu sebesar 5.70 mg/ml.
72
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
Penelitian yang telah dilakukan Uhi (2001) melaporkan bahwa kadar lemak pada tubuh rayap segar G. montanus Kemner pada awalnya sebesar 18.53%. Dengan dilakukannya perlakuan penghilangan lemak dengan pelarut heksan maka kandungan akhir lemak yang diperoleh pada tepung protein rayap tinggal 2.03% (bb) atau 2.30% (bk). Dengan rendahnya kandungan lemak maka dapat menyebabkan kandungan protein yang didapat meningkat. Selain itu, bau menyengat pada konsentrat protein juga berkurang. Salah satu hal yang menentukan nilai gizi suatu protein adalah daya cernanya, yang menentukan ketersediaan asam amino secara biologis. Pengukuran daya cema dilakukan dengan teknik multienzim yang melibatkan tiga jenis enzim, yaitu enzim tripsin, kimotripsin, dan peptidase. Pemecahan protein menjadi asam amino dalam teknik multienzim ini berperan dalam menentukan nilai cema protein. Pada teknik ini terjadi penurunan nilai pH akibat terbebasnya grup asam amino karboksil yang bersifat asam dari rantai protein karena kerja enzim proteolitik. Semakin banyak gugus karboksil yang terbebas, semakin tinggi pula penurunan nilai pH yang terjadi dan semakin tinggi pula nilai kecernaan yang diperoleh (Hzu et. al., 1977). Nilai daya cerna dari protein rayap yang didapat dari penelitian ini lebih tinggi dibandingkan daya cerna pekatan protein rayap C. cynocephalus Light, yang besarnya 75.05% (Yasin, 1992). Nilai tersebut juga lebih tinggi daripada nilai daya cerna protein kacang kecipir 73.52% (Sathe et. al., 1982) dan daya cema protein oat 82.27% (Hirotsuka et. al., 1984). Formulasi penambahan tepung protein rayap adalah sebanyak 5%, 7.5%, dan 10%. Formulasi dibuat dengan mempertimbangkan dua faktor, yaitu pencapaian optimasi hasil yang diperoleh baik dari segi kandungan nutrisi maupun penerimaan sensori. Setelah dilakukan formulasi dasar dan uji organoleptik produk terpilih yang akan dilakukan modifikasi selanjutnya adalah permen jelly dengan penambahan protein sebanyak 7.5%. Adapun perlakuan berikutnya adalah penambahan berbagai jenis flavor untuk melihat flavor mana yang dianggap panelis paling sesuai dengan penampakan permen serta dapat memberikan rasa dan aroma yang disukai. Secara keseluruhan, skor kesukaan panelis tidak terlalu tinggi. Penilaian yang diberikan panelis kebanyakan dititikberatkan pada parameter wama dan rasa permen. Pada dasamya panelis tidak terlalu menyukai wama permen ini. Walaupun rasa permen sudah enak, tetapi karena panelis kurang menyukai wama permen, skor kesukaan permen secara keseluruhan tidak terlalu tinggi. Hal ini berarti secara umum panelis sangat dipengaruhi oleh penampakan visual permen. Dari keempat jenis flavor yang digunakan pada permen jelly, temyata yang paling disukai adalah flavor butterscotch. Hasil uji hedonik ini dapat dilihat pada Gambar 3. Secara umum hasil dari uji ranking ini tidak berbeda
Jumal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, 0ktober2005
73
dengan uji hedonik, dimana permen jelly berflavor butterscotch mendapat ranking tertinggi dari panelis. Hasil uji ranking hedonik ini dapat dilihat pada Gambar 4. Analisa proksimat pada permen jelly yang mendapat penilaian organoleptik terbaik, yaitu yang berflavOr butterscotch dapat dilihat pada Tabel 2. Kadar air permen jelly yang diinginkan adalah yang tidak memungkinkan pertumbuhan mikroba patogen dan pembusuk, tetapi cukup tinggi nilainya sehingga dapat dimakan tanpa rehidrasi terlebih dahulu (Leistner dan Rodel, 1976). Permen jelly tergolong dalam pangan semi basah karena mempunyai nilai kadar air dalam kisaran 20 - 50% (Karel, 1973). Kadar abu dalam permen jelly rendah karena minimnya kandungan komponen anorganik dalam bahan-bahan penyusunnya (Hunaefi, 2002).
c o
? -c JO re
.* CO
kopi
coklat
mochab utter scotch
Jenis flavor
Gambar 3. Hasil uji hedonik parameter keseluruhan permen jelly
mocha
coMat
butterscotch
Jenis flavor
Gambar 4. Hasil uji ranking hedonik permen jelly
74
Jumal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
Tabel 2. Hasil Analisis proksimat permen jelly Berat kering (%) Berat basah (%) Komposisi 40.98 29.03 Air 0.63 Abu 0.45 0.94 0.67 Lemak 18.11 12.86 Protein Pada penelitian ini, didapatkan kadar protein terlarut permen jelly sebesar 21.24 mg/g. Nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan kadar protein terlarut tepung protein rayap itu sendiri (5.79 mg/ml). Nilai rata-rata daya cema protein (digestibility) dalam permen jelly rayap (81.75%) sedikit lebih rendah dibandingkan digestibility tepung protein rayap sendiri (86.46%). Penurunan ini terjadi karena interaksi protein rayap dengan bahan-bahan lain yang menyusun permen jelly menyebabkan kemungkinan adanya protein rayap yang berikatan dengan bahanbahan tersebut sehingga tidak semua molekul protein dapat dipecah menjadi asam amino oleh enzim protease. Efektivitas kerja enzim berbeda antara di dalam sistem mumi (tepung protein rayap) dengan di dalam sistem pangan (permen jelly). Di dalam sistem pangan, kondisi molekul-molekul lebih kompleks sehingga enzim protease lebih sulit memecah-mecah protein menjadi asam amino. KESIMPULAN Ekstrak protein rayap kayu basah mempunyai potensi sebagai protein suplementasi pada produk pangan "kaya" nutrisi. Rendemen ekstrak protein dihasilkan adalah 9, 24%c dengan kandungan protein 91.45% (berat kering). Sedangkan, konsentrasi protein terlarutnya adalah 5.79 mg/ml dan daya cema protein mencapai 86.45%. Ekstrak protein dapat dimanfaatkan dalam pembuatan permen jelly yang diperkaya dengan nutrisi protein sebagai produk terobosan. Dengan mempertimbangkan nilai kecukupan gizi, terutama terhadap ketersediaan protein, daya cema dan kelaziman jumlah penmen jelly yang dikonsumsi, serta tingkat penerimaan konsumen terhadap permen jelly yang dihasilkan diketahui bahwa penambahan ekstrak protein sebanyak 7.5 % pada permen jelly adalah jumlah penambahan yang optimal. Peningkatan jumlah ekstrak protein yang ditambahkan berkorelasi negatif terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap produk. Penurunan penerimaan panelis temadap produk terutama berkaitan dengan wama dari ekstrak protein yang diperoleh. Guna meningkatkan kesukaan konsumen, perlu diteliti lebih lanjut cara ekstraksi yang lebih baik sehingga dapat diperoleh ekstrak protein yang lebih mumi dan terbebas dari wama coklat ke-
Jumalllmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
75
hitaman. Pemanfaatan ekstrak protein ini untuk produk-produk pangan yang lain juga perlu dicoba, seyogyanya pada produk yang sesuai dengan karakteristis ekstrak. DAFTAR PUSTAKA Handoko DD. 2000. Pembuatan Konsentrat Protein Tempe dan Analisis Sifatsifat Fungsionalnya. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hirotsuka M, Taniguchi H, Narita H, Kito M. 1984. Calcium fortification of soy milk with calcium-lecithin liposome system. J. Food Sci. 49: 1131. Horn DJ, 1978. Biology of Insects. Philadelphia. WB Sounders Co. Hunaefi D. 2002. Aplikasi Gelatin Dari Kulit Ikan Cucut dan Ikan Pari Pada Pembuatan Permen Jelly. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hzu HW, Vavak DL, Satterlee LD, Miller GA. 1977. A multienzymes technique for estimating protein digestibility. J. Food Sci. 42: 1269-1273. Jackson EB. 1995. Sugar Confectionery Manufacture. Ed ke-2. London. Blackie Academic and Professional. Karel M. 1973. Recent Research and Development in The Field of Low Moisture and Intermediate Moisture Food. Di Dalam Water Activity and Food. John, A. T. dan J. H. B Christian (eds.). Academic Press, New York. Lees R, Jackson EB. 1973. Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Scotland. Thomson Litho Ltd., East Kilbride. Leistner L, Rodel W 1976. The Stability of Intermediate Moisture Foods with Respect to Microorganism. Di Dalam Intermediate Moisture Foods. Davis R., Birch GG, dan Parker KJ (eds.). London. Applied Science Publ. Ltd. Montecalvo Jr., J, Constantinides SM, Yang CST. 1984. Optimization of processing parameters for the preparation of flounder frame protein product. J. Food Sci. 49:172-176. Natacia FC. 1992. Pemanfaatan Protein Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. Sebagai Sumber Nutrisi Inkonvensional untuk Substitusi Ikan pada Kerupuk. [Skripsi]. Serpong. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Teknologi Indonesia. Purwanegara T. 1982. Mempelajari cara pembuatan protein isolat dari kedelai. Buletin Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan. No. 15 Agustus 1982 Vol. 4. Bogor. PUSBANGTEPA-FTDC IPB. Sathe SK, Despandhe SS, Salunkhe DK. 1982. Functional properties of lupin seed (Lupinus mutabilis) proteins and protein concentrates. J. Food Sci 47: 491-497. Uhi HT. 2001. Pengaruh Suplementasi Rayap Sebagai Sumber Protein dalam Ransum Ayam Pedaging. [Tesis]. Bogor. Fakultas Petemakan. Institut Pertanian Bogor.
76
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober20D5
Yasin H. 1992. Pembuatan Pekatan Protein Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. (Isoptera: Kalotermitidae). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
77