Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
PEMANFAATAN TANAMAN LIDAH BUAYA SECARA TRADISIONAL DAN STUDI KANDUNGAN BIOAKTIFNYA (Study on Traditional Utilization of Aloe Vera and Its Bioactive Contents) MH.TOGATOROP, AP.SINURAT, T.PURWADARIA, J.ROSIDA, SAULINA, dan H.HAMID Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT Aloe vera is a native plant that have been cultivated by farmers (mainly in West Kalimantan). Aloe vera product has been used traditionally for human health, i.e. to increase some stamina. Research was reported that aloe vera contain bioactive susbstances, such as anthraquinonees, an anti bacteria, which may be use as supplement in poultry feed. Therefore, a survey was conducted in Pontianak West Kalimantan to study the usage of aloe vera traditionally and analysis on bioactive substance were carried out the survey was using purpossive sampling method. Fifteen (15) farmers were interviewed with a questionare prepared before the survey. Secondary data were also obtained from related agencies (Local Food Crops Agencies). The results, showed that aloe vera is cultivaited mainly gambut soil. The aloe vera is used by many people either before or after process traditionally. The benefit of aloe vera is very significant for human health and economic aspect (increase income). The laboratory analysis showed that moister content in aloe vera is between 98.6% to 98.8% and dry matter is between 1.2% to 1.4% with spesific gravity 0.9971. The aloe vera jelly contains phenol. The phenol content decreased from 4.44% to 1.11% after dried in oven. These information is very important for further research especially as post harvest handling and analysis on other bioactive components in aloe vera. Key words: Bioactive substance, aloe vera, traditional, pourpossive sampling, and post harvest ABSTRAK Lidah buaya (aloe vera) adalah tanaman asli yang telah banyak dibudidayakan petani (terutama di Kalimantan Barat) dan hasil tanaman tersebut juga banyak digunakan manusia untuk meningkatkan daya tahan tubuh secara tradisional. Hasil penelitian juga menyatakan tanaman lidah buaya mengandung zat bioaktif, diantaranya anthraquinonees yang dapat berfungsi sebagai anti bakteri yang mungkin dapat digunakan sebagai zat suplemen, dalam ransum unggas (ayam). Untuk itu suatu studi (penelitian) tentang penggunaan (secara tradisional) tanaman lidah buaya telah dilaksanakan di daerah Kotamadya Pontianak Kalimantan Barat dan analisis zat bioaktif apa yang terkandung didalamnya. Penelitian ini menggunakan metode survai dengan tehnik pengambilan sampel secara purpossive sampling. Sebanyak 15 petani telah diwawancarai dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Disamping petani, juga dilakukan wawancara terhadap pemerhati lidah buaya ditambah data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait (Dinas Tanaman Pangan) setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya lidah buaya telah banyak dilakukan petani terutama di lahan gambut dan hasil produksinya telah banyak digunakan masyarakat baik sebelum diolah (segar) maupun setelah diolah secara tradisional. Manfaat hasil produksi lidah buaya adalah sangat signifikan untuk kesehatan tubuh (mempertinggi daya tahan tubuh) dan ekonomi (menambah penghasilan). Analisis laboratorium menunjukkan bahwa kandungan air lidah buaya antara 98,6% sampai 98,8% dan bahan kering dari gel 1,2% sampai 1,4% dengan berat jenis 0,9971. Gel dari lidah buaya, ternyata mengandung phenol. Kandungan phenol mengalami penurunan dari 4,44% menjadi 1,11% setelah dikeringkan dengan oven. Informasi ini mungkin dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian lanjutan terutama dalam penanganan pasca panen dan penelusuran kandungan zat bioaktif yang terkandung didalam lidah buaya tersebut. Kata kunci: Zat bioaktif, lidah buaya (aloe vera), tradisional, pourpossive sampling, dan pascapanen
575
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
PENDAHULUAN Penyediaan dan pemberian pakan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan untuk peningkatan produktivitas ternak unggas disamping faktor bibit dan pengelolaan yang dilakukan. Penyusunan pakan yang cukup kuantitas maupun kualitas untuk kebutuhan ternak unggas (ayam) yang dipelihara dan peningkatan efisiensi pakan sangat menentukan keberhasilan yang akan diperoleh. Peningkatan efisiensi pakan dapat diupayakan, antara lain melalui pemberian suatu bahan atau zat suplemen. Penggunaan imbuhan pakan (feed additive) sudah banyak dilakukan, terutama pada peternakan unggas yang maju (modern). Kenyataan menunjukkan, banyak peternak unggas sampai sekarang masih menggunakan antibiotik sebagai “feed additive” dalam pakan untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (WALTON, 1977). Pada hal penggunaan antibiotik ini, dapat menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut, sehingga beberapa negara maju peternakan unggasnya telah melarang penggunaan antibiotik potensial sebagai “feed additive” untuk melindungi konsumen yang memanfaatkan produksi unggas yang dihasilkan (ANONYMOUS,1999). Komisi National Research Council (NRC) telah mengkaji secara mendalam tentang penggunaan obat-obatan termasuk antibiotik di dalam pakan ternak dan ternyata mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotik dapat berpindah dari ternak kepada manusia (GILL dan BEST, 1998). Untuk itu, penyediaan dan pemberian imbuhan pakan perlu diupayakan dari sumber lain, yakni tanaman yang mengandung bioaktif. Di Indonesia banyak tanaman asli yang secara tradisional sudah digunakan untuk upaya pengobatan dan atau kesehatan. Tanaman-tanaman ini kemungkinan besar mengandung zat bioaktif yang berfungsi sebagai anti bakteri. Salah satu diantara tanaman asli yang ada di Indonesia yang telah banyak digunakan manusia untuk meningkatkan daya tahan tubuh walaupun masih tingkat tradisional ialah tanaman lidah buaya (Aloe vera). Tanaman lidah buaya ini sudah banyak digunakan untuk kepentingan manusia (ANONYMOUS, 1983 dan HEYNE, 1987). SASTROAMIJOJO (1997), menyatakan bahwa lidah buaya bagian daun yang ditumbuk dapat digunakan sebagai obat sakit kepala (pendingin) dan perasan daun yang diseduh (dihangatkan) yang ditambahkan gula dapat digunakan sebagai obat penyakit asma serta sesak nafas disamping obat luka bakar, dengan cara membuat getah atau daunnya menjadi bentuk bubur. Selanjutnya diutarakan bahwa getah daun lidah buaya dapat digunakan sebagai pencuci rambut yang mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan rambut. SUDARTO (1997) mengemukakan, lidah buaya biasanya dimanfaatkan sebagai konsumsi berupa cendol atau dijadikan obat dan bahan kosmetik seperti shampoo. Zat bioaktif yang terkandung dalam tanaman lidah buaya ini umumnya terdiri dari satu atau lebih senyawa, antara lain alkaloid, flavonoids, glycosides, saponin, dan tannin (GILL, 1999). Lidah buaya mengandung “anthraquinonees” yang dapat berfungsi sebagai anti bakteri (ANONYMOUS, 1983). Penggunaan anti bakteri (antibiotik) sudah umum digunakan sebagai zat suplemen dalam ransum unggas untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Lidah buaya ini telah banyak dibudidayakan petani khususnya sebagai mata pencaharian di daerah Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat. Hasil lidah buaya inipun sudah banyak digunakan masyarakat walaupun masih tingkat tradisional dalam bentuk campuran minuman dan atau bentuk segar. Bertitik tolak dari informasi dan kenyataan ini, studi (penelitian) eksplorasi tanaman lidah buaya ini dilakukan untuk melihat sejauhmana penggunaannya secara tradisional dan zat bioaktif apa yang terkandung didalamnya.
576
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
MATERI DAN METODE Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di daerah Kotamadya Pontianak Propinsi Kalimantan Barat. Metode yang digunakan adalah survai dengan tehnik pengambilan sampel (contoh) sebagai sumber data adalah purposive sampling. Responden yang digunakan adalah petani lidah buaya sebanyak 15 petani (sekitar 10%) sebagai sumber data. Disamping itu, pemerhati (5 orang) terhadap lidah buaya telah diwawancarai juga untuk melengkapi data yang diperlukan. Selanjutnya data sekunder dari instansi terkait seperti Dinas Tanaman Pangan setempat telah menambah kelengkapan data yang dibutuhkan. Teknik pengambilan data dilakukan melalui wawancara langsung dengan petani responden menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Semua data yang dikumpulkan diolah secara deskriptif dari data yang telah ditabulasi. Disamping itu sampel (contoh) lidah buaya dari lokasi kegiatan penelitian dianalisis di Laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor untuk mengetahui zat yang terkandung di dalam lidah buaya tersebut. Analisis terhadap total phenol dilakukan dengan menggunakan Uji Ferri Chlorida (FeCl3). Senyawa phenol memberikan warna yang khas dengan ferri chlorida, tetapi tidak mengendap pada uji gelatin. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik petani responden Umur dan pendidikan petani lidah buaya yang digunakan sebagai responden Dari data yang diperoleh, ternyata umur petani lidah buaya yang digunakan sebagai responden berkisar antara 26-61 tahun dan rinciannya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Umur dan pendidikan responden petani lidah buaya di Kotamadya Pontianak Kalimantan Barat Uraian Umur (tahun) <30 31-40 41-50 51-60 >60 Pendidikan Tidak tamat SD SD SLTP
Jumlah (Orang) C
(%)
1 5 7 1 1
6,7 33,3 46,6 6,7 6,7
12 2 1
80,0 13,3 6,7
Umur responden petani lidah buaya sebagian besar berkisar antara 41-50 tahun (46,7%) diikuti umur 31-40 tahun (33,3%). Sementara itu, responden petani lidah buaya berumur lebih rendah dari 30 tahun, antara 51-60 tahun, dan lebih tinggi 60 tahun masing-masing 6,7% (Tabel 1). Pendidikan responden petani lidah buaya sebagian besar (80,00%) tidak tamat Sekolah Dasar (SD) diikuti SD (13,3%), dan pendidikan SLTP hanya 6,7% (Tabel 1).
577
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Tingkat umur dan pendidikan ini, kemungkinan salah satu penyebab budidaya lidah buaya itu tidak berkembang. Budidaya lidah buaya sifatnya sebagai usaha turun temurun. Pekerjaan dan keikutsertaan responden petani lidah buaya dalam kegiatan sesama petani Data yang tertera dalam Tabel 2. ternyata semua responden petani lidah buaya mempunyai pekerjaan utama bertani dan hanya 6,7% dari mereka yang mempunyai pekerjaan tambahan berdagang. Selanjutnya hampir seluruhnya responden petani lidah buaya (93,3%) tidak ikut serta dalam kegiatan koperasi/KUD petani (Tabel 2.). Alasan mereka tidak ikut koperasi/KUD tidak jelas, tetapi informasi yang diperoleh ada kecenderungan takut dari pengalaman yang tidak menguntungkan mereka. Lain halnya dengan keikutsertaan dalam kelompok tani, ternyata 62,5% dari responden ikut menjadi anggota dan malah ada yang menjadi pengurus (6,3%), sedangkan yang tidak ikut menjadi anggota 31,2% (Tabel 2). Tabel 2. Pekerjaan dan keikutsertaan dalam kegiatan sesama petani dari responden petani lidah buaya di Kotamadya Pontianak Kalimantan Barat Jumlah
Uraian Pekerjaan Utama : bertani Tambahan: berdagang Keikutsertaan dalam KUD Koperasi/KUD (1) Anggota (2) Tidak ikut Kelompok tani (1) Pengurus (2) Anggota (3) Tidak ikut
Jawaban
%
15 1
100 6,7
1 14
6,7 93,3
1 10 5
6,3 62,5 31,2
Budidaya lidah buaya Pada waktu kegiatan penelitian dilaksanakan, ternyata jumlah petani lidah buaya dan luas lahan yang diusahakan di Kotamadya Pontianak sudah memberikan harapan tentang pengembangan budidaya lidah buaya (Tabel 3). Tabel 3. Jumlah petani yang mengusahakan budidaya lidah buaya di Kotamadya Pontianak Kalimantan Barat Kelas kelompok tani
Luas lahan ( ha )
Jumlah anggota (Kepala keluarga)
Harapan Baru
Lanjut
20,0
40
Pesantren Hidayatullah
Pemula
4,2
11
Karya Gambut
Pemula
11,0
21
Khatulistiwa III
Lanjut
5,0
22
Kelompok tani
Sumber: Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kotamadya Pontianak Kalimantan Barat, 2000
Petani lidah buaya ini terpusat di Kecamatan Pontianak Utara Kotamadya Pontianak Kalimantan Barat. Tetapi adanya harapan (prospek) perkembangan budidaya lidah buaya ini, Dinas Tanaman Pangan Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat telah mulai mengembangkannya ke 578
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
semua daerah Kotamadya Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Hal ini didukung jenis lahannya gambut yang sangat adaptif terhadap tanaman lidah buaya (tumbuh subur). Disamping itu lidah buaya mempunyai prospek pasar yang cukup bagus, antara lain untuk industri minuman, industri kosmetik, dan sebagai obat berbagai penyakit kulit serta penyakit dalam (DITJENTAN, 2000). Produksi tanaman lidah buaya, baik yang diusahakan sendiri petani maupun sumber dananya dari pemerintah disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Produksi tanaman lidah buaya di Kotamadya Pontianak Kalimantan Barat Tahun
Sumber dana
Luas tanaman (ha)
Luas panen (ha)
Produksi (ton)
1995/1996
Swadaya
15
15
1996/1997
APBN II
3
3
2.808,0 561,6
1997/1998
APBN
30
30
5.616,0
Jumlah
48
48
8.985,6
Sumber: Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kotamadya Pontianak Kalimantan Barat, 2000
Dari data yang tertera pada Tabel 4, jelas kelihatan adanya prospek pengembangan lidah buaya ini dengan dukungan dari instansi terkait dalam hal ini Ditjen Tanaman Pangan. Responden petani lidah buaya memulai budidaya antara tahun 1975-1999 dengan rincian sebagai berikut, yaitu (1) warisan (6,7%), (2) sebelum tahun 1990 (6,7%), (3) antara tahun 1990-1995 (26,6%), dan (4) di atas tahun 1995 (60,0%). Selanjutnya alasan responden petani lidah buaya memulai membudidayakan adalah berbeda-beda, yaitu: (1) mempunyai potensi dan manfaat di masyarakat (6,2%), (2) sebagai mata pencaharian (18,8%), (3) penghasilan tambahan (37,5%), (4) mempunyai potensi sebagai obat (6,2%), (5) mencoba membudidayakan (6,2%), dan (6) tidak ada jawaban (25,0%). Jenis bibit lidah buaya yang dibudidayakan responden adalah jenis lokal yang diperoleh dari teman yang mengusahakan lidah buaya yang ada di sekitar Kalimantan Barat dengan bentuk pertanaman monokultur. Bibit yang ditanam adalah menggunakan bahan tanaman melalui anakan dengan minimal telah ada dua helai daun (disebut rumpun). Harga bibit tersebut dengan ukuran (satuan) per rumpun adalah bervariasi antara Rp. 250,- sampai Rp. 600,-. Rincian jawaban responden petani lidah buaya terhadap harga bibit ini, yaitu: (1) Rp. 250,- per rumpun (6,7%), (2) Rp. 400,- per rumpun (13,3%), (3) Rp. 500,- per rumpun (73,3%), dan (4) Rp. 500–Rp. 600,- per rumpun (6,7%). Produksi dan pemasaran lidah buaya Dari informasi yang diperoleh, panen pertama lidah buaya ini dilakukan pada umur antara 8-10 bulan dan panen selanjutnya dengan interval 3 bulan sekali panen, sehingga panen yang dilakukan 4 kali per tahun. Produksi lidah buaya ini adalah pelepahnya dengan tebal 40-50 cm dan bobot antara 800-1200 gr per pelepah. Populasi tanaman antara 40.000-60.000 per ha dengan produksi antara 1236 ton basah. Penjualan produksi yang dilakukan secara langsung ke konsumen (93,7%) dan ke pedagang/pengusaha (6,3%). Harga jual produksi lidah buaya ini Rp. 800,- sampai Rp. 1000,- per kg dari petani. Bentuk segar di warung (untuk pelepah) harganya Rp. 1000,- sampai Rp. 1200,-per pelepah. Bentuk sirup dengan atau tanpa es harga jualnya antara Rp. 1000,- sampai Rp. 1500,- per gelas. Faktor yang mempengaruhi harga jual ini, responden petani lidah buaya mengatakan adalah karena: (1) kualitas/eksterior (36,0%), (2) bobot pelepah (32,0%), dan (3) tebal pelepah (32,0%).
579
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Responden petani lidah buaya mengatakan bahwa pemasaran lidah buaya relatif sulit (63,6%) dan tergantung pembeli (36,4%). Bentuk dan cara penggunaan lidah buaya Produksi lidah buaya yang digunakan secara langsung artinya tidak diolah (hanya diambil kulitnya) sebanyak 19,1% dan 80,9% menyatakan terlebih dahulu diolah (direndam, dikukus, dan dipotong-potong atau diris-iris dengan penambahan manisan berupa air gula dan sirup). Bentuk kemasan produksi lidah buaya ini, sudah dilakukan pada botol plastik ukuran 250 cc500 cc (11,8%) dan kantong plastik ukuran 1 kg serta 2 kg (88,2%). Tempat penjualan dilakukan responden petani lidah buaya: (1) di pasar (19,4%), (2) di toko-toko (38,7%), dan (3) di warung (41,9%). Hasil wawancara dengan responden petani lidah buaya, ternyata semua responden (100%) tidak ada yang mempunyai keinginan mengembangkan usahanya dengan alasan sangat sulit memasarkan hasil produksi lidah buaya tersebut. Manfaat dan khasiat lidah buaya Manfaat produksi lidah buaya ini dapat diinformasikan sebagai berikut: a.
Manfaat ekonomi, yaitu dapat sebagai usaha pokok (40%) dan tambahan penghasilan (60%) bagi responden petani lidah buaya. b. Manfaat untuk kesehatan tubuh, ternyata semua responden petani lidah buaya menyatakan mempunyaoi khasiat terhadap kesehatan tubuh, antara lain: (1) menurunkan panas tubuh, (2) meningkatkan kekenyalan kulit, (3) untuk kecantikan (kosmetika), antara lain dalam bentuk sabun dan pelembab kulit, (4) untuk meningkatkan keawetan rambut dalam bentuk shampoo untuk creambath, dan (5) mempertinggi daya tahan tubuh terhadap beberapa penyakit (kencing darah, sembelit, kulit, kencing manis, dan anemia). c. Pemanfaatan lidah buaya sebagai salah satu bahan pakan ternak sampai pelaksanaan penelitian belum dilakukan, walaupun pada musim paceklik kadang-kadang diberikan kepada ternak sapi.
Hasil analisis laboratorium lidah buaya Untuk mengetahui komposisinya dan zat yang terkandung didalamnya telah dianalisis di Laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor. Komposisi lidah buaya Lidah buaya yang dianalisis adalah varitas Barbadensis (bagian pelepahnya) komposisi adalah sebagai berikut: (1) kulit (40-50%), (2) gel /daging (50-60%), (3) bahan kering dari gel (1,2-1,4%), (4) air (98,6-98,8%), dan (5) berat jenis dari gel 0,9971. Kandungan phenol Hasil analisis berdasarkan persentase catechin dengan penambahan bahan pengawet, yaitu 0,1% Vitamin C dan 0,1% Na-benzoat.Tujuan penambahan bahan pengawet adalah upaya melindungi zat bioaktif yang terkandung dalam lidah buaya terhindar dari proses oksidasi yang mungkin terjadi. 580
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Dari data yang tertera dalam Tabel 5, ternyata kandungan phenol gel segar+bahan pengawet baik dari lokasi penelitian (4,44%) maupun gel lidah buaya pekarangan (4,35%) lebih besar daripada gel segar tanpa bahan pengawet (0,27%). Kandungan phenol mengalami penurunan dari 4,44% menjadi 1,11%setelah dikeringkan dalam oven (60ºC) (Tabel 5). Tabel 5. Komposisi kandungan phenol dalam lidah buaya bentuk gel segar dan disimpan selama satu bulan di dalam freezer (beku) Kandungan Phenol (%)
Uraian Ulangan 1. Gel segar + bahan pengawet
Rataan
4,29 4,69 4,22 4,45
4,44
4,30 4,69 2. Gel disimpan dalam freezer selama satu bulan+bahan pengawet
2,71 2,78 3,15 3,23
3,02
3,23 3. Gel segar tanpa bahan pengawet (disimpan dalam freezer selama 5 hari)
0,25 0,23 0,32 0,33
0.27
0,23 4. Campuran gel 100 gr basah pollard dikeringkan dalam oven (60ºC)
1,24 0,98 1,07 0,93
1,11
0,97 1,46 5. Bahan pengawet:
0,23 0,26
0,25
0,26 6. Gel (Lidah buaya di pekarangan) + bahan pengawet
4,22 4,45
4,35
4,38 7. Pollard
0,34 0,38 0,36
0,36
0,35
581
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
KESIMPULAN Dari informasi dan hasil yang diperoleh serta pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Budidaya tanaman lidah buaya relatif tidak sulit untuk diusahakan terutama pada lahan gambut sangat adaptif (tumbuhnya subur) 2. Hasil produksi lidah buaya telah banyak digunakan masyarakat baik sebelum diolah (bentuk segar) maupun telah mengalami pengolahan walaupun masih tingkat tradisional. Bentuk kemasan produksi lidah buaya telah dilakukan, yaitu botol, kantong plastik, dan gelas. 3. Manfaat hasil produksi lidah buaya adalah sangat baik untuk kesehatan tubuh disamping manfaat ekonomis (tambahan penghasilan). Di lain pihak sampai saat penelitian dilaksanakan produksi lidah buaya belum digunakan sebagai salah satu bahan pakan ternak. 4. Kandungan air dari lidah buaya sangat tinggi (98,6%-98,8%) dan bahan kering dari gel (1,2%1,4%) dengan berat jenis 0,9971. Produksi lidah buaya dalam bentuk gel, ternyata mengandung phenol. DAFTAR PUSTAKA ANONYMOUS. 1983. Aloe vera. The Miracle Plant. Anderson Worlds Book, Inc., California, pp. 16-19 ANONYMOUS. 1999. European Feed Antibiotic Update: And then were four. Feed International 20(5) :6-8 BALAI PENYULUHAN PERTANIAN (BPP). 2000. Laporan Tahunan. PEMDA Kotamadya Pontianak Kalimantan Barat, Pontianak. DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN. 2000. Potensi Investasi Sub Sektor Tanaman Pangan dan Holtikultura di Propinsi Kalimantan Barat. Pemda Propinsi Dt I Kalimantan Barat, Pontianak. GILL, S. and P. BEST. 1998. Antibiotic Resistance in USA: Scientist to look more closely. Feed International 19 (8) :16-17. GILL, S. 1999. More Science Behind “Botanicals”. Herbs and Plant Extract as Growth Enchancers. Feed International 20(4): 20-23. HEYNE, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Badan Litbang Kehutanan (Penterjemah). Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. SASTROAMIDJOJO, S. 1997. Obat Asli Indonesia. Ed. Arjatmo Tjokronegoro. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, pp. 173-174. SUDARTO, Y. 1997. Lidah Buaya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. WALTON, J. R. 1977. A mechanism of growth promotion: Non–lethal feed antibiotic induced cell wall lesions in enteric bacteria. In: Antibiotics and Antibiosis (Woodbine, M. ,Ed.), pp.259-264, Butterworths, London.
582