sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXIV, Nomor 4, 1999 : 1 - 9
ISSN 0216- 1877
PEMANFAATAN SUMBER DAYA LAUT DAN IMPLIKASINYA BAGI MASYARAKAT NELAYAN 1) oleh PraptoDarsono 2)
ABSTRACT MARINE RESOURCES UTILIZATION AND ITS IMPLICATIONS FOR FISHERMEN SOCIETIES. Indonesia, the largest archipelago in the world with 2/3 of its territory is the sea, has about 81,000-km coastal line in length. The coast and sea of Indonesia are though rich in both renewable and unrenewable natural resources. From biological point of view, Indonesia has great biodiversity. The renewable marine resources consist of mangrove forest, seagrass bed, coral reefs, seaweed and some other commodities of fisheries. Mangrove, seagrass, and coral reef are economically and ecologically important. Direct and indirect products are harvested from those ecosystems, besides they contribute nutrient to the system and also function as nursery ground as well as coastal protection. Seaweed are harvested for raw materials some industries. The need of seaweed production prompted its cultured extensively. Some commodities of fisheries contribute in subsistence need and gross national income as exported products. However, the fishermen condition is continuously caught in underdeveloped society.
PENDAHULUAN
memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 km2 yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati, penelitian, dan yuridiksi mendirikan instalasi ataupun pulau buatan (ANONIM, 1996). Perairan laut Indonesia yang berada diantara dan disekitar kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah nasional Indonesia, disebut sebagai Laut Nusantara
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, mempunyai panjang garis pantai 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km 2 . Wilayah lautnya yang merupakan perairan teritorial dan perairan nusantara, meliputi hampir 2/3 luas teritorialnya. Disamping itu berdasarkan UNCLOS 1982, Indonesia memperoleh hak kewenangan
1
) Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pengelolaan Sumber Daya Kelautan demi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat, Lembaga Bakti Sarjana Indonesia (LBSI). Jakarta 22 Nopember 1999 2 ) Balai Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi - LIPI. Jakarta
1
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
merupakan aset nasional yang berperan sebagai sumber kekay aan alam, sumber energi, sumber bahan makanan, media lintas laut antar pulau, kawasan perdagangan, dan wilayah pertahanan keamanan. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih (perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang dll.), maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan tambang lainnya). Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia, karena memiliki ekosistem pesisir yang khas seperti hutan mangrove, terumbu karang (coral reefs), dan padang lamun (sea grass beds) (KARTAWINATA & SOEMODIHARDJO, 1977). Sebagian besar sumber daya ini belum dimanfaatkan secara optimal. Dalam perkembangan sejarah dan budaya manusia, persepsi tentang laut berkembang pula. Sejak berabad-abad lamanya laut dipandang sebagai kawasan perburuan untuk menangkap ikan bagi pemenuhan kebutuhan protein hayati atau sebagai media lalu lintas pelayaran belaka. Saat ini laut telah dipandang sebagai jalan ray a lintas laut antar benua dan antar samudera, serta sebagai sumberdaya hayati dan mineral untuk menunjang kehidupan. Pada abad 21 dapat dipastikan akan berlangsung perlombaan antar bangsa untuk menguasai dan memanfaatkan lautan demi kehidupan yang lebih baik. Pemanfaatan sumber daya laut bertujuan untuk mencukupi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Pertambahan penduduk yang pesat dan dirasakan makin sempitnya daratan, memaksa kita untuk berangsur-angsur mengalihkan kegiatan ekonomi ke laut. Guna memenuhi kebutuhan hidup akan pangan, mineral maupun bahan mentah, kita mencari sumbersumber baru di laut. Peluang pengembangan
sumber daya ini belum sepenuhnya didaya gunakan, terutama karena kendala kurangnya pengetahuan, baik yang dasar maupun terapannya. Dalam kaitan ini, nelayan, sumber daya manusia yang langsung bergelut dalam eksploitasi perikanan laut perlu mendapat perhatian yang proposional. Kenyataan bahwa umumnya masyarakat nelayan berpendidikan rendah, menempatkan mereka dalam himpitan kemiskinan. Dengan peningkatan pemanfaatan sumber daya hayati laut, diharapkan kehidupan nelayan ikut terangkat pula, melalui terbukanya bidang usaha dan lapangan kerja. Bila kita tidak mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa Indonesia hanya akan selalu menjadi ladang pasar dunia, dan bukan menjadi produsen dunia. SUMBERDAYA LAUT DI INDONESIA DAN PEMANFAATANNYA Dalam uraian berikut tentang sumber daya laut dibatasi pada sumber daya dapat pulih (renewable resources) yaitu sumber daya hayati laut dengan ekosistem yang menyusunnya. Sumber daya hayati laut meliputi hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut, dan perikanan laut (DAHURI et al., 1996) A. Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan ekosistem pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut dan lain sebagainya (NONTJI, 1987). Secara ekonomis, hutan mangrove menghasilkan kayu, daundaunan sebagai bahan baku obat dan lain sebagainya (SUKARDJO, 1986). Tidak kurang dari 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi
2
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
kepentingan manusia telah diidentifikasikan, meliputi "produk langsung" seperti bahan bakar kayu, bahan bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman, tekstil, dan "produk tidak langsung" seperti tempat rekreasi, dan bahan makanan (DAHURI et al, 1996). Kegunaan tersebut secara tradisional telah dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir di Indonesia. Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara optimal adalah sebagai kawasan wisata alam (ecoturism). Kegiatan wisata alam semacam ini telah berkembang lama di Malaysia dan Australia. Hutan mangrove ini dapat menempati bantaran sungai-sungai besar hingga 100 km masuk ke pedalaman seperti dijumpai di sepanjang Sungai Mahakam dan Sungai Musi. Luas hutan mangrove di Indonesia mengalami penyusutan terus menerus, dalam satu dekade luas hutan mangrove tercatat turun dari 5.209.543 ha (1982) menjadi 2.496.185 ha pada tahun 1993 (DAHURI et al., 1996). Penyebaran hutan mangrove di pesisir Indonesia meliputi daerah pantai landai terutama dekat muara sungai. Ekosistem hutan mangrove di Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan jumlah total spesies 89, terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik. Keanekaragaman hayati hutan mangrove yang tinggi merupakan aset yang sangat berharga baik dilihat dari fungsi ekologi maupun fungsi ekonomi.
karang juga mempunyai produk yang bernilai ekonomis penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan berbagai jenis keong dan kerang (SUKARNO et al., 1984) Di beberapa tempat di Indonesia, karang batu (hard coral) dipergunakan untuk berbagai kepentingan seperti konstruksi jalan dan bangunan, bahan baku industri, dan perhiasan. Dalam industri pembuatan kapur, karang batu sering ditambang sangat intensif seperti terjadi di pantai-pantai Bali hingga mengancam kelestarian pantai (SUHARSONO, 1996). Dari segi estetika, terumbu karang yang masih utuh menampilkan pemandangan yang sangat indah, berbeda dengan ekosistem lainnya. Taman-taman laut yang terdapat di pulau atau pantai yang mempunyai terumbu karang menjadi terkenal seperti Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara. Keindahan yang dimiliki oleh terumbu karang merupakan salah satu potensi atraksi wisata bahari yang belum dimanfaatkan secara optimal. Sementara i t u potensi lestari sumberdaya ikan karang di perairan laut Indonesia diperkirakan sebesar 76.000 /ton/ tahun. belum termasuk potensi ikan hias sebesar 1,5 milyar ekor, dengan luas total terumbu karang lebih kurang 50.000 km2 (ANON1M, 1998) Ekosistem terumbu karang di Indonesia tersebar di seluruh wilayah pesisir dan lautan di seluruh Nusantara. Terumbu karang di Indonesia beragam tipenya, dimana semua tipe terumbu karang yang mencakup terumbu karang tepi (fringing reefs), terumbu karang penghalang (barrier reefs), terumbu karang cincin (atoll) dan terumbu tambalan (patch reefs) terdapat di perairan laut Indonesia. Terumbu karang tepi terdapat di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman sekitar 40 meter. Terumbu karang penghalang berada jauh dari pantai (mencapai puluhan atau ratusan kilometer) dipisahkan oleh laguna yang dalam sekitar 40 - 75 meter, di Indonesia
B. Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi, demikian pula keanekaragaman hayatinya. Terumbu karang berfungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik pantai, tempat pemijahan, tempat asuhan dan mencari pakan bagi berbagai biota. Terumbu
3
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
diantaranya tersebar di Selat Makasar dan sepanjang tepian Paparan Sunda, sedang terumbu karang cincin tersebar di Kepulauan Seribu dan Taka Bone Rate.
berfungsi sebagai perangkap sedimen dan distabilkan. Padang lamun merupakan daerah penggembalaan (grazing ground) bagi hewanhewan laut seperti "duyung" (mamalia), penyu laut, bulu babi dan beberapa jenis ikan. Padang lamun juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) bagi larva-larva berbagai jenis ikan. Tumbuhan lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk. Misalnya samo-samo (Enhalus acaroides) oleh penduduk Kepulauan Seribu dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan.
C. Padang Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Spermatophyta) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup di bawah permukaan air laut (FORTES, 1990). Lamun hidup di perairan dangkal agak berpasir, sering juga dijumpai di ekosistem terumbu karang. Lamun membentuk padang yang luas dan lebat di dasar laut yang masih terjangkau oleh cahaya matahari dengan tingkat energi cahaya yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun tumbuh tegak, berdaun tipis yang bentuknya mirip pita dan berakar jalar. Tunas-tunas tumbuh dari rhizoma, yaitu bagian rumput yang tumbuh menjalar di bawah permukaan dasar laut. Lamun berbuah dan menghasilkan biji. Pertumbuhan padang lamun memerlukan sirkulasi air yang baik. Air yang mengalir inilah yang menghantarkan zat-zat nutrien dan oksigen serta mengangkut hasil metabolisme lamun, seperti karbon dioksida (CO2) keluar daerah padang lamun. Secara umum semua tipe dasar laut dapat ditumbuhi lamun, namun padang lamun yang luas hanya dijumpai pada dasar laut lumpur pasiran dan tebal. Padang lamun sering terdapat di perairan laut antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Di wilayah perairan Indonesia terdapat sedikitnya 7 marga dan 13 jenis lamun, antara lain jenis Enhalus acaroides dari suku Hydrocharitaceae. Penyebaran ekosistem padang lamun di Indonesia (Den HARTOG, 1970) mencakup perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Di dunia, secara geografis lamun ini tampaknya memang terpusat di dua wilayah yaitu di Indo Pasifik Barat dan Karibia. Keberadaan padang lamun dapat menstabilkan dasar laut. Padang lamun
D. Rumput laut (benthic algae) Potensi rumput laut (alga) di perairan Indonesia dapat diamati dari potensi lahan budidaya rumput laut yang tersebar di 26 propinsi di Indonesia. Potensi rumput laut di Indonesia mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 462.400 ton/ tahun (DAHURI et al, 19964. Budidaya rumput laut sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat di daerah pantai seperti Bali, PP. Seribu, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Maluku. Perkembangan budidaya tersebut mengalami pasang surut akibat masalah pemasaran yang turun naik tidak menentu. Namun sekarang pemasarannya tidak masalah justru karena krisis ekonomi membawa angin segar bagi produk pertanian untuk ekspor dengan naiknya nilai dolar (ATMADJA et al, 1996). Secara tradisional rumput laut dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir terutama sebagai bahan pangan, seperti untuk lalapan, sayur, acar, manisan, kue, selain juga dimanfaatkan sebagai obat (NONTJI, 1987). Pemanfaatan untuk industri dan sebagai komoditas ekspor berkembang pesat pada beberapa dasawarsa terakhir ini. Pemanfaatan rumput laut untuk industri terutama oleh kandungan senyawa kimia didalamnya, khususnya karagenan, agar, dan algin. Karagenan merupakan bahan kimia yang dapat diperoleh dari berbagai jenis alga merah
4
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
seperti Gelidium, Gracilaria dan Hypnea, sedan" algin adalah bahan yang terkandung dalam alga coklat seperti Sargassum. Algin banyak digunakan dalam industri kosmetika sebagai bahan pembuat sabun, cream, lotion, shampo, dalam industri farmasi digunakan untuk membuat emulsifier, stabilizer, tablet, salep, kapsul, dan filter. Algin juga dipakai dalam industri tekstil, keramik, fotografi, dan sebagai bahan aditif. Agar-agar merupakan bahan baku pokok pembuatan tepung agar-agar, baik untuk industri skala besar maupun dalam industri rumah tangga. Agar-agar dipakai dalam industri makanan sebagai thickener dan stabilizer, pada industri farmasi dan bidang mikrobiologi untuk kultur bakteri. Bidang industri kecantikan memanfaatkan agaragar untuk pembuatan bahan dasar salep, cream, sabun, lotion dan lain sebagainya. Karagenan dengan kualitas yang jauh lebih bagus dari agaragar, juga banyak digunakan dalam berbagai industri seperti juga algin dan agar-agar. Dengan melihat besarnya potensi pemanfaatan alga, terutama untuk ekspor, maka saat ini usaha budidayanya mulai semarak dilakukan masyarakat pesisir. Usaha budidaya rumput laut ini berkembang di Kepulauan Seribu (Jakarta), Bali, Pulau Samaringa (Sulawesi Tengah), Pulau Telang (Riau), dan Teluk Lampung. Jenis rumput laut yang dibudidayakan yaitu Kappaphychus alvarezii, yang sebelumnya dikenal sebagai Echeuma alvarezii.
donesia dibagi dalam sembilan wilayah pengelolaan perikanan meliputi Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Samudera Hindia, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, Teluk Tomini dan Laut Maluku, Laut Arafura. Secara nasional potensi lestari sumberdaya perikanan laut yang meliputi sumberdaya perikanan pelagis besar, pelagis kecil, demersal, udang, ikan karang, dan cumi-cumi adalah sebesar 6,2 juta ton/ tahun (ANONIM, 1998). Dalam laporan tersebut (ANONIM, 1998) tersirat bahwa pada tahun 1997, total produksi perikanan laut sejumlah 3,8 juta ton diantaranya kelompok ikan 84%, krustasea 6%, moluska 3%, rumput laut 3%, dan binatang air lainnya 4%. Tingkat pengusahaan (pemanfaatan sumberdaya ikan) tersebut dibandingkan dengan potensi sumberdaya ikan yang besarnya 6,2 juta ton, adalah 62% nya. Dengan demikian peluang pengembangan sektor perikanan masih terbuka. Peluang pengembangan untuk perikanan tangkap untuk beberapa jenis komoditas ikan ekonomis penting disajikan pada Tabel 2. Selain potensi perikanan tangkap di laut, potensi perikanan lainnya yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah budidaya perikanan baik budidaya pantai maupun budidaya laut. Potensi budidaya pantai (tambak) sekitar 830.200 ha yang tersebar diseluruh wilayah perairan Indonesia dan yang baru dimanfaatkan untuk budidaya ikan bandeng, kakap, udang windu dan jenis-jenis lainnya hanya sekitar 356.308 ha (DAHURI et al., 1996). Dengan demikian peluang pengembangan usaha budidaya masih terbuka luas. Usaha budidaya mempunyai prospek yang baik dimasa yang akan datang dalam memajukan taraf hidup para nelayan disekitar pesisir laut. Beberapa komoditas perikanan saat ini sudah mulai dikembangkan untuk di budidayakan dan mempunyai prospek baik yaitu berbagai jenis ikan kerapu, kakap putih, kakap merah, bandeng, lola, batu laga, kerang mutiara, dan teripang.
E. Sumberdaya Perikanan Laut Sumberdaya perikanan laut di Indonesia disusun dalam kelompok-kelompok: Pelagis Besar, Pelagis Kecil, Demersal, Udang/ Krustasea lainnya, Ikan Karang, Ikan Hias, Rumput Laut, Moluska Teripang/ Ubur-ubur, Benih Alami, Reptilia dan Mamalia laut. Nama-nama jenis ikan yang termasuk di dalam masing-masing kelompok disusun dalam Tabel 1. Sementara itu sebagai dasar perhitungan potensi sumberdaya ikan di Indonesia, telah disepakati bahwa perairan laut In-
5
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Kelompok Sumber Daya Ikan Laut Indonesia (ANONIM, 1998)
6
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 2. Kemungkinan Pengembangan Perikanan Tangkap Berdasarkan Jenis Komoditi Andalan. (ANONIM, 1998)
7
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
F. Bahan-bahan Bioaktif Bahan-bahan bioaktif (Bioactive substances) atau berbagai macam bahan kimia yang terkandung dalam tubuh biota laut merupakan potensi yang sangat besar bagi penyediaan bahan baku industri farmasi, kosmetika, pangan dan industri bioteknologi lainnya. Sejauh ini, pemanfaatan potensi bahan-bahan bioaktif untuk keperluan industri terutama bioteknologi masih rendah (DAHURI et al., 1996). Pemanfaatan bahan-bahan bioaktif (natural product) dari biota laut praktis belum berkembang, padahal di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia, industri bioteknologi yang mengelola bahanbahan bioaktif dari laut telah menjadi salah satu industri andalan. Di Hawai, Amerika Serikat, yang hanya memiliki sedikit terumbu karang, telah berhasil mengembangkan industri pembuatan tulang dan gigi palsu yang terbuat dari hewan karang. Di Madagaskar, salah satu jenis biota terumbu karang telah diekstrak zat bioaktifnya untuk industri obat anti kanker. Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi mempunyai potensi besar untuk mengembangkan industri bioteknologi. Hal ini merupakan tantangan untuk diwujudkan untuk dinikmati hasilnya.
kelestarian daya dukungnya. Pembangunan perikanan juga ditujukan untuk terwujudnya industri perikanan yang mandiri didukung oleh usaha yang mantap dalam pengelolaan, penangkapan, budidaya laut, pengolahan dan pemasaran hasilnya sesuai dengan potensi lestari sekaligus meningkatkan taraf hidup nelayan. Pembangunan perikanan laut bertujuan untuk dapat memanfaatkan sumber daya secara optimal tanpa mengganggu kelestariannya serta diharapkan dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat nelayan melalui tenaga kerja dan dapat meningkatkan pendapatan negara melalui pajak pendapatan dan devisa dari ekspor produknya. Dengan demikian diharapkan pemanfaatan sumber daya hayati laut akan membuka kesempatan lapangan kerja dan bidang usaha baru. Pemanfaatan sumber daya laut senantiasa didasarkan pada strategi berkelanjutan (sustainable), dimana pemanfaatan dan pendayagunaannya harus memperhatikan aspek pelestarian. Upaya pelestarian dimaksudkan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya laut dengan tetap memperhatikan daya dukungnya secara optimal. Untuk itu perlu dilakukan pengusahaan yang tepat yang berorientasi pada potensi lestari sumber kekayaan laut guna mencegah eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan. Untuk maksud tersebut, informasi yang berkaitan dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dan potensi (MSY) mempunyai peran penting dalam perencanaan pembangunan perikanan. Jumlah kapal ikan yang boleh beroperai di suatu perairan harus dihubungkan dengan keberadaan nilai JTB dan potensinya (DAHURI et al., 1996). Jumlah JTB adalah sekitar 70-90% dari total potensinya sesuai dengan kemampuan reproduksi jenis yang ditangkap. Untuk beberapa jenis yang kemampuan reproduksinya rendah, seperti ikan kerapu dll., maka nilai JTB nya akan lebih rendah daripada angka tersebut.
IMPLIKASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA LAUT Wilayah laut yang luas dengan potensi sumberdaya yang menjanjikan, dan banyaknya masyarakat nelayan yang terlibat, menempatkan perikanan menjadi bidang dengan prospek yang menantang untuk dikembangkan secara lebih proposional. Pembangunan perikanan termasuk budidaya laut perlu ditingkatkan, baik sarana, prasarana, maupun sumberdaya manusianya sehingga potensi biota laut dapat dimanfaatkan secara optimal, dengan tetap memperhatikan
8
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pembangunan disektor kelautan terutama dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya hayati laut sampai saat ini masih berorientasi pada peningkatan produksi hasil dari eksploitasi potensi sumber daya perikanan laut maupun budidaya untuk mengejar target pertumbuhan sektoral. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut selama ini kurang memperhatikan peningkatan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Eksploitasi itu tidak memberikan dampak yang nyata bagi masyarakat pesisir (nelayan dan petani ikan kecil) serta kurang menyediakan lapangan kerja baru yang sangat penting dalam mengurangi problem pengangguran, apalagi bagi penerimaan negara. Masyarakat nelayan masih tergolong masyarakat miskin yang bermukim di desadesa pesisir. Masyarakat nelayan umumnya berpendidikan rendah, dan sebagian besar bahkan tidak tamat SD. Pemukiman masyarakat nelayan di desa pesisir terkonsentrasi pada pusat-pusat kegiatan penangkapan ikan yang berlokasi di daerah perairan padat, seperti utara Jawa, Selat Malaka, dan Selat Bali sehingga menyebabkan adanya tekanan penangkapan yang cukup intensif dan melebihi daya dukung sumber daya laut yang tersedia. Masalah lain yang dihadapi adal ah pengetahuan nelayan yang masih rendah, kurangnya prasarana sosial, serta belum adanya alternatif mata pencaharian nelayan pada saat paceklik. Hal demikian merupakan tantangan untuk meningkatkan harkat dan taraf hidup masyarakat nelayan sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan. Dalam upaya meningkatkan harkat dan taraf hidup masyarakat nelayan dan desa-desa pesisir, beberapa hal perlu dilakukan, antara lain a) mendorong usaha peningkatan hasil tangkap nelayan kecil melalui penyediaan wilayah penangkapan yang bebas dari persaingan dengan kapal penangkap ikan
berteknologi canggih, b) meningkatkan produksi usaha nelayan kecil dan membina industri kecil pengolahan hasil laut, c) meningkatkan keandalan system distribusi/ pemasaran, d) mengembangkan sentra produksi perikanan dalam upaya meningkatkan produktivitas dan peran serta masyarakat desa pantai. Budidaya laut yang masih terbuka peluang pengembangannya, merupakan kegiatan yang akan melestarikan sumber daya berbagai komoditas perikanan ekonomis penting dan menjamin kontinyuitas produksinya, juga membuka peluang angkatan kerja bagi masyarakat (khususnya nelayan) maupun bidang usaha. Komoditas penting perikanan bisa sebagai bahan pangan maupun bahan dasar (raw material) suatu industri. Kita tidak bisa mengandalkan sumber daya alam secara terus menerus, karena stok alam adalah terbatas. Rekayasa budidaya laut adalah tumpuan kedepan, untuk bisa diwujudkan secepat mungkin. DAFTAR PUSTAKA ANONIM 1996. Benua Maritim Indonesia. BPP Teknologi dan Dewan Hankamnas, Jakarta. ANONIM 1998. Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut, Jakarta: 42 hal. ATMADJA, W.S., A. KADI, SULISTIJO dan R. SATARI 1996. Pengenalan JenisJenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi - LIPI, Jakarta: 191 hal. DAHURI, R.; J. RAIS; S. P. GINTING dan M.J. SITEPU 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta, xxiv: 305 hal.
9
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SUHARSONO 1996. Jenis-jenis karang yang umum dijumpai di perairan Indonesia. Puslitbang Oseanologi - LIPI, Jakarta: 116 hal.
Den HARTOG, C. 1970. Seagrasses of The World. North Holland Publishing Company, London. FORTES, M.D. 1990. Seagrasses: a resources unknown in the ASEAN region. ICLARM Educ. Ser. 6: 46 pp.
SUKARDJO, S. 1986. Memahami beberapa aspek sosial ekonomi hutan mangrove di Delta Cimanuk. Oseana 11 (1): 1 7 -27.
KARTAWINATA, K. dan S. SOEMODIHARDJO 1977. Komunitas Hayati di Wiiayah Pesisir Indonesia. Oseanologi di Indonesia 8: 19 - 32.
SUKARNO, M. HUTOMO, M.K. MOOSA dan P. DARSONO 1981. Terumbu Karang di Indonesia: Sumber daya, permasalahan dan pengelolannya. Proy. Penel. Potensi Sumber Daya Alam Indonesia, Lembaga Oseanologi, LIPI, Jakarta: 112 hal.
NONTJI, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Jambatan, Jakarta.
10
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999