Pemanfaatan Produk dan Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB Hasil Survey 2010 – 2011
Consolidation Programme Health / Policy Analysis & Formulation in the Health Sector (PAF) Dr. Lieve Goeman Dr. Rahmi Sofiarini Anwar Fachry Maddi Djara Dengan kontribusi dari Dr. Paul Rueckert, Dr. Harmein Harun dan Karsten van der Oord
Pemanfaatan Produk dan Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB Hasil Survey 2010 – 2011 Consolidation Programme Health / Policy Analysis & Formulation in the Health Sector (PAF) Dr. Lieve Goeman Dr. Rahmi Sofiarini Anwar Fachry Maddi Djara Dengan kontribusi dari Dr. Paul Rueckert, Dr. Harmein Harun dan Karsten van der Oord Download di: www.ighealth.org
The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH was formed on 1 January 2011. It brings together the longstanding expertise of the Deutscher Entwicklungsdienst (DED) gGmbH (German development service), the Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH (German technical cooperation) and InWEnt – Capacity Building International, Germany. For further information, go to www.giz.de
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
Daftar Isi 1. RINGKASAN EKSEKUTIF
5
2. PENGANTAR
8
3. METODOLOGI
9
3.1. KERANGKA KONSEPTUAL
9
Produk
9
Fasilitas Kesehatan
10
Pemanfaatan Produk
10
3.2. SAMPEL
12
3.3. TIM SURVEY
14
3.4. SUMBER DATA & INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA
15
3.5. ENTRI DAN MANAJEMEN DATA
15
3.6. ANALISA DATA
15
3.7. SURVEI LANJUTAN (FUS)
16
4. HASIL
18
Ketersediaan produk di fasilitas kesehatan (%)
18
4.1. ANALISA PER PRODUK & PER JENIS FASILITAS KESEHATAN
19
Rincian analisa per produk
23
WISN
24
HRIS
25
HMIS
26
Sistem Rujukan
26
IHPB
27
Monev Terpadu
28
P/DHA
28
Desa Siaga
29
QI-Action
30
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
1
4.2. ANALISA PER KABUPATEN DAN JARAK GEOGRAFIS ANTARA PUSKESMAS/DESA DAN DKK
31
4.3. INTEGRASI PRODUK KE DALAM DOKUMEN PERENCANAAN DAN ANGGARAN
34
4.4. INPUT UNTUK PERENCANAAN, RENCANA AKSI & PERUBAHAN KEBIJAKAN
37
4.5. HASIL KUALITATIF
38
Faktor Sukses
39
Faktor Gagal
39
4.6. KETERBATASAN SURVEY
40
5. INTERPRETASI HASIL
43
Terlalu Banyak Faktor Gagal
43
Ketakutan akan Perubahan
44
Kerumitan Kegiatan Berkelanjutan
45
Dituntut Kesempurnaan
46
Sedikit atau Tidak Ada Perbedaan antara BLS dan FUS
46
6.
PEMBELAJARAN
47
7.
KESIMPULAN
49
8.
DAFTAR SINGKATAN
51
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
2
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
3
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
4
1. Ringkasan Eksekutif
Latar Belakang. Selama tahun 2006-2009, proyek SISKES (Penguatan Sistem Kesehatan Kabupaten) & HRD (Pengembangan SDM) mendukung provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam memperkuat sistem kesehatan kabupaten/kota melalui peningkatan manajemen sistem kesehatan, manajemen pelayanan kesehatan, mutu pelayanan klinis, pengembangan sumber daya manusia, dan pemberdayaan masyarakat. Lebih dari 200 produk, instrumen, pedoman, sistem informasi, petunjuk praktis dan film1 dikembangkan untuk mendukung pencapaian tujuan proyek. Pada tahun 2010 kedua proyek digabungkan menjadi 1 program yaitu Consolidation Program Health: Policy Analysis and Formulation (PAF) untuk mengkonsolidasi dan memperkuat pelaksanaan dan pemanfaatan produk secara berkelanjutan. Program ini memusatkan perhatian pada upaya kebijakan untuk menciptakan kerangka hukum dan peraturan demi institutionalisasi dan pengarusutamaan produk. Salah satu indikator untuk mengukur tujuan program secara menyeluruh yang berbunyi “Pedoman dan peraturan implementasi kebijakan kesehatan lebih diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan sistem Kesehatan yang terdesentralisir” adalah “Sejumlah fasilitas kesehatan yang representatif (sekurangkurangnya 80%) di ke-10 kabupaten/kota di di NTB mengkonfirmasi telah mengimplementasi atau memanfaatkan pedoman yang didukung oleh proyek”.
Metodologi. Sebuah survey data dasar (BLS) dilakukan pada bulan Mei 2010 dalam kerjasama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Universitas Mataram dan survey lanjutan (FUS) dilakukan pada bulan April 2011 dalam kerjasama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Pusat Studi Lingkungan Mataram (CfES). Untuk survey ini dipilih sembilan produk terpenting dari segi investasi dan kontribusi untuk pencapaian AKINO di NTB. Pemanfaatan produk-produk tersebut dikaji di 459 fasilitas kesehatan2 yang terpilih melalui metode Cluster Sampling dengan melakukan 776 wawancara terhadap responden kunci 1.
Selanjutnya istilah “produk” akan digunakan untuk merujuk kepada instrumen, produk, pedoman, petunjuk praktis, dan lain-lain. Semua
produk dapat diunduh dari situs www.ighealth.org. 2
Istilah “Fasilitas Kesehatan” yang digunakan di sini merujuk kepada berbagai fasilitas dan lembaga yang mengggunakan produk proyek
dukungan GIZ yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi, Rumah Sakit Kabupaten dan Provinsi, Puskesmas dan bahkan struktur di desa.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
5
yang memahami proyek dan produk-produk yang dihasilkan. Persepsi dan jawaban (nilai subyektif) responden diuji silang dengan bukti yang ada (nilai obyektif). “Pemanfaatan produk” dibagi ke dalam empat tingkatan yaitu: ketersediaan produk di fasilitas kesehatan; implementasi produk dan semua persyaratan yang diperlukan untuk implementasi; masuk tidaknya pemanfaatan produk dalam dokumen perencanaan dan anggaran; dan perubahan kebijakan atau rencana aksi akibat penggunaan produk. Untuk melakukan analisa kuantitatif digunakan SPSS v15. Analisa kuantitatif memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan produk dan tentang perubahan kebijakan dan rencana aksi setelah pemanfaatan produk.
Hasil. Kedua survey menunjukkan ketersediaan kesembilan produk di fasilitas kesehatan (BLS 52.9 % dan FUS 55.6%). Untuk mengetahui sejauh mana produk dimanfaatkan, digunakan sistem skoring3 dan hasilnya turun menjadi 25.8 untuk BLS dan 26.4 untuk FUS. Secara umum tidak ada perbedaan signifikan antara hasil BLS dan FUS. Produk dengan skor tertinggi adalah Desa Siaga, Sistem Informasi SDM Kesehatan (HRIS) dan Renja Terpadu (IHPB). Produk-produk ini paling banyak digunakan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Skor tertinggi terdapat di Kabupaten Lombok Tengah dan Sumbawa. Survey ini berhasil mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi pemanfaatan produk. Walaupun produk-produk tersebut menghasilkan data dan informasi yang berguna dan staf menyadari manfaat dari penggunaan produk dalam kegiatan sehari-hari, namun ada keterbatasan dalam tingkat dan mutu pemanfaatan produk dan sejauh mana hasil dari produk tersebut menjadi bagian kebijakan. Kendala utama yang dikemukakan oleh responden adalah tidak adanya kerangka hukum untuk mengharuskan pemanfaatan produk-produk tersebut, kurangnya komitmen penentu kebijakan, seringnya mutasi petugas tanpa adanya serah terima yang memadai, serta kurangnya alokasi anggaran.
Interpretasi. Proyek SISKES dan HRD mengalokasikan sumber daya yang cukup besar baik waktu, keuangan, SDM dan keahlian untuk pengembangan produk dan untuk menciptakan kondisi yang memadai bagi pemanfaatan produk secara berkelanjutan. Hal ini membawa hasil yang sangat positif dan mengesankan dalam hal cakupan dan pemanfaatan produk. Namun demikian, target Consolidation Program PAF agar 80% fasilitas Kesehatan memanfaatkan produk, tidak tercapai. Adanya berbagai faktor gagal, ketakutan akan perubahan, kerumitan dalam pemanfaatan yang berkelanjutan dan dampak dari berbagai lembaga bantuan pembangunan dengan anggaran, staf, dan keahlian yang besar dalam jangka waktu pendek menggaris bawahi alasan di balik kurang menggembirakanya hasil survey. Fase konsolidasi selama 1.5 tahun memusatkan perhatian pada dukungan kebijakan untuk mengarusutamakan produk-produk yang dihasilkan ke dalam sistem kesehatan. Namun tampaknya waktu 1.5 tahun kurang mencukupi. 3
Skor 100 artinya produk digunakan sepenuhnya sesuai standar dan ketentuan proyek, semua persyaratan dipenuhi, serta semua tingkatan
pemanfaatan dipenuhi
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
6
Pembelajaran. Semua faktor yang berpengaruh harus dipertimbangkan dan diantisipasi. Semua kondisi dan persyaratan bagi pemanfaatan produk yang baik harus dipenuhi. Tanpa ada manfaat yang dirasakan pengguna, sebuah produk tidak akan digunakan. Sebuah sistem kesehatan dengan struktur kelembagaan dan manajemen yang lemah tidak dapat mengintegrasikan produk sehingga tidak dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan produk. Komitmen dari tingkatan yang lebih tinggi diperlukan demi pemanfaatan produk. Jangka waktu dua tahun sangat pendek untuk menciptakan struktur hukum yang diperlukan untuk institutionalisasi produk. Hal itu harus dibangun sejak awal pengembangan dan perancanan produk sehingga, demikian juga dengan rasa kepemilikan. Produk yang dikembangkan dengan dukungan proyek rentan terhadap berbagai bahaya antara lain: seringkali disesuaikan dengan kepentingan donor untuk mendapatkan hasil yang cepat, dapat diukur dan jelas; dan donor bisa menciptakan duplikasi sehingga menambah beban administrasi dan beban kerja petugas. Produk barus harus kompatibel dengan format dan sistem yang sudah ada. Disamping itu, harus dipastikan bahwa produk-produk tersebut mudah dirubah untuk menyesuaikan dengan perubahan yang dilakukan pengambil keputusan. Kalau tidak, maka produk akan ditinggalkan.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
7
2. Pengantar Pada tahun 2006 sampai 2009, proyek SISKES & HRD mendukung provinsi NTB dalam memperkuat sistem kesehatan kabupaten/kota melalui peningkatan manajemen sistem kesehatan, manajemen pelayanan kesehatan, mutu pelayanan klinis, pengembangan SDM Kesehatan serta pemberdayaan masyarakat. Lebih dari 200 produk, instrumen, pedoman, petunjuk praktis dan film dikembangkan dalam untuk mendukung kegiatan-kegiatan terkait, untuk menetapkan norma dan standar, serta untuk mencapai tujuan kedua proyek. Pada tahun 2010 kedua proyek digabungkan menjadi Consolidation Program Health: Policy Analysis and Formulation (PAF) untuk melakukan konsolidasi dan lebih jauh memperkuat implementasi dan pemanfaatan produk-produk tersebut. Fase konsolidasi ini bertujuan agar “Pedoman dan peraturan implementasi kebijakan kesehatan lebih diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan sistem Kesehatan yang terdesentralisir”. Salah satu indikator untuk mengukur pencapaian tujuan tersebut adalah “Sejumlah fasilitas kesehatan yang representatif (sekurang-kurangnya 80%) di ke-10 kabupaten/kota di di NTB mengkonfirmasi telah melaksanakan atau memanfaatkan pedoman yang didukung oleh proyek”. Karena itu sebuah survey data dasar (BLS) dilakukan pada bulan Mei 2010 dan sebuah survey lanjutan (FUS) dilakukan pada bulan April 2011. Sembilan produk terpenting dipilih untuk dianalisa keberlanjutan pemanfaatannya pasca proyek. Survey ini menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: apakah fase konsolidasi PAF berkontribusi terhadap keberlanjutan walaupun hanya dengan dukungan teknis yang terbatas dan dengen lebih memusatkan perhatian institusionalisasi produk melalui pengembangan kebijakan di tingkat provinsi atau Kabupaten (pengarusutamaan)? Apa saja faktor yang mempengaruhi pemanfaatan produk? Dari semua produk, produk mana yang paling banyak digunakan?
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
8
3. Metodologi 3.1. Kerangka Konseptual Untuk menjawab indikator dan pertanyaan survey, dikembangkan sebuah kerangka konseptual yang berfungsi sebagai “peta teoritis” untuk memastikan bahwa hasil yang didapatkan tidak bias. Kerangka ini disajikan pada table 1 di bawah ini.
Produk1 Sembilan produk yang paling penting telah dipilih. Semuanya mendukung strategi Kesehatan Maternal, Neonatal, dan Anak di provinsi NTB yang dikenal dengan “AKINO” atau “Angka Kematian Ibu Nol” di desa dan mendukung peningkatan manajemen dan mutu pelayanan dalam sistem kesehatan. •
Workload Indicators Staffing Need (WISN): sebuah instrumen untuk menghitung kebutuhan tenaga berdasarkan indikator beban kerja
•
Sistem Informasi SDM Kesehatan (HRIS): sebuah database ketenagaan kesehatan berbasis MS Access untuk pengelolaan dan pengembangan SDM
•
Sistem Informasi Manajemen Kesehatan Daerah (HMIS): Sistem informasi dimana data dan informasi kesehatan mengalir lewat satu pintu
•
Sistem Rujukan: pedoman teknis untuk merujuk dan merujuk balik pasien menggunakan surat rujukan dan rujukan balik, melakukan rujukan specimen dan rujukan pengetahuan
•
Integrated Health Planning and Budgeting (IHPB): pedoman untuk mengembangkan dan melaksanakan proses perencanaan dan penganggaran terpadu bidang kesehatan dengan menggunakan data dari HMIS
•
Monev Terpadu: pedoman untuk melakukan monitoring bersama di tingkat Kabupaten dan provinsi yang hasilnya digunakan dalam siklus perencanaan berikutnya
•
District and Provincial Health Account (P/DHA): penghitungan belanja kesehatan kabupaten/kota dan provinsi baik dari sektor pemerintah
•
Village Alert System (Desa Siaga): alat bantu komprehensif untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menekan angka kematian ibu dan bayi di desa.
•
QI Action: upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan Kesehatan dengan memusatkan perhatian pada masalah yang ditemukan di sebuah unit tertentu di rumah sakit
4.
Semua produk dapat diunduh dari situs www.ighealth.org
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
9
Fasilitas Kesehatan Dalam survey ini dibedakan lima jenis fasilitas, lembaga serta dinas: Dinas Kesehatan Provinsi (DKP), Rumah Sakit Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (DKK), Rumah Sakit Kabupaten, Puskesmas di Kecamatan, dan Pustu/ Polindes di desa. Masing-masing fasilitas tersebut menerapkan produk sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh, HRIS hanya diterapkan di Rumah Sakit, DKK dan DKP.
Pemanfaatan Produk Pemanfaatan produk dibagi menjadi empat tingkatan hirarkis. Tingkata-tingkatan tersebut adalah: pertama, ketersediaan dan keberadaan produk di fasilitas Kesehatan diverifikasi (tingkatan 1) yang diikuti dengan imlementasi produk (tingkatan 2). Pemanfaatan produk masuk dalam dokumen perencanaan dan penganggaran (tingkatan 3) dan jika produk mengakibatkan perubahan kebijakan dan/atau melahirkan rencana aksi (tingkatan 4). Pencapaian di tingkatan yang lebih tinggi tidak bisa melebihi pencapaian di tingkatan yang lebih rendah. Dasar pemikirannya adalah bahwa sebuah produk tidak dapat membawa perubahan kebijakan atau menghasilkan rencana aksi kalau tidak diimplementasi sepenuhnya dan tidak memberikan hasil yang dibutuhkan bagi adanya perubahan serta sebuah produk harus ada di fasilitas Kesehatan sebelum dapat digunakan.
Tabel 1. Gambaran Kerangka Konseptual
No
Produkt
Pengguna: fasilitas Kesehatan
Keberadaan produk di fasilitas kesehatan (tingkatan 1)
Pemanfaatan dan implementasi produk (tingkatan 2)
Pelaksanaan Produk masuk dalam dokumen rencana dan anggaran(tingkatan 3)
Rencana Aksi atau Perubahan Kebijakan akibat implementasi produk(tingkatan 4)
1
WISN
Puskesmas Rumah Sakit
Pedoman dan dokumen hasil WISN tersedia
Laporan & usulan terkait kepegawaian misalnya mobilisasi tenaga didasarkan pada hasil WISN
WISN dicantumkan dalam dokumen RKA.
Dokumentasi perubahan, SK, atau Perda.
2
HRIS
Rumah Sakit DKK DKP
• Informasi SDM tersedia. • Hardware dan software tersedia.
Bank Data lengkap dan berjalan.
HRIS dicantumkan dalam dokumen RKA dan anggaran dialokasikan untuk pelaksanaan dan pemeliharaan HRIS.
Dokumentasi perubahan, SK, atau Perda.
3
HMIS
Puskesmas DKK DKP
• Bank data terbentuk. Fasilitas Kesehatan menjadi bagian jejearing SIKDA. • Sistem Satu Pintu terbentuk.
• Bank Data lengkap dan berjalan. • Laporan bulanan berjalan.
HMIS dicantumkan dalam dokumen RKA dan anggaran dialokasikan untuk pelaksanaan dan pemeliharaan HMIS.
Dokumentasi perubahan, SK, atau Perda.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
10
No
Product
User: level of health facility
Availability or presence of product in the health facility (level 1)
Use and implementation of the product (level 2)
Incorporation into Planning and budget documents (level 3)
Action or change induced by the product (level 4)
4
Sistem Rujukan
Pustu, Polindes Puskesmas Rumah Sakit DKK DKP
• Pedoman tersedia. • Surat rujukan dan rujukan balik ada di Rumah Sakit dan Puskesmas.
• Ketersediaan catatan tujukan dan rujukan balik pasien. • DKK dan DKP mendorong pemanfaatannnya.
Dokumen perencanaan menyebutkan pelaksanaan pedoman rujukan, anggaran dialokasikan untuk penggunakan pedoman tersebut serta untuk pencetakan formatformat.
Dokumentasi perubahan, SK, atau Perda.
5
IHPB
Puskesmas DKK DKP
Pedoman IHPB tersedia. RUK Puskesmas Renja Terpadu di Kabupaten/kota & provinsi tersedia.
Pertemuan-pertemuan IHBP dilakukan. RUK Puskesmas terakomodasi dalam Renja Kab/kota, Renja tercantum dalam RKA DKK dan DKP.
RKA DKK dan DKP menyebutkan IHBP sebagai instrumen yang digunakan dalam perencanaan dan anggaran dialokasikan untuk implementasinya.
Dokumentasi perubahan, SK, atau Perda.
6
Monev Terpadu
DKK DKP
• Pedoman tersedia. • Tersedia laporan tahunan DKP dan Kabupaten/kota.
Monev terpadu dilakukan per tahun. Laporan tahunan digunakan dalam perencanaan untuk tahun setelahnya. Pencapaian tahun sebelumnya dibandingkan dan di analisa. Hasil dan rekomendasi ditindaklanjuti.
Dokumen rencana dan anggaran menyebutkan Monev terpadu dan anggaran dialokasikan untuk implementasi
Dokumentasi perubahan, SK, atau Perda.
7
P/DHA
DKK DKP
• Pedoman tersedia. • Data P/DHA tahunan tersedia.
Data lengkap dan hasilnya digunakan untuk manajemen (perencanaan dan monev) serta untuk advokasi.
RKA DKK dan Provinsi menyebutkan penyusunan P/ DHA dan anggaran dialokasikan untuk implementasinya.
Dokumentasi perubahan, SK, atau Perda.
8
Desa Siaga
Desa Puskesmas DKK
Kelima jejaring Siaga ada di desa (Sistem Notifikasi, Dana Masyarakat, Sistem Transportasi, Sistem Donor Darah, Pos KB). Keberadaan fasilitator DESA SIAGA di Puskesmas dan DKK.
Pencatatan dan risalah pertemuan tentang pemanfaatan jaringan Siaga (khususnya catatan tentang kematian ibu di desa/kampung)
Dokumen perencanaan dan anggaran menyebutkan upaya mempertahankan keberlangsungan DESA SIAGA dan anggaran dialokasikan.
Dokumentasi perubahan, SK, atau Perda.
10
QI-A
Rumah Sakit
• Ada tim QI. • Penerapan kegiatan QI.
• Dokumentasi hasil QI Action. SK Tim QI. MoM.
Upaya mempertahankan tim QI disebut dalam dokumen perencanaan serta anggaran dialokasikan.
Dokumentasi perubahan, SK, atau Perda.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
11
3.2. Sampel Survey ini diupayakan untuk mewakili provinsi NTB. Unit analisanya adalah “fasilitas kesehatan” sehingga indikator proyek bisa terjawab. Semua fasilitas Kesehatan baik di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota teridentifikasi. Tabel 2. Daftar Fasilitas Kesehatan Menurut Jenis dan Jumlah No
1
Provinsi/ Kabupaten/ Kota Provinsi
Jumlah Desa
Jenis dan Jumlah Fasilitas Kesehatan RS Provinsi
DKP
1
1
RS Kab/Kota
DKK
Puskesmas
2
Kota Mataram
0
1
8
50
3
Lombok Barat
1
1
15
88
4
Lombok Utara
0
1
5
33
5
Lombok Tengah
1
1
24
139
6
Lombok Timur
1
1
29
119
7
Sumbawa Barat
0
1
6
49
8
Sumbawa
1
1
21
164
9
Dompu
1
1
9
63
10
Bima
1
1
20
168
11
Kota Bima
0
1
5
38
6
10
142
911
Total
1
1
Demi efisiensi, dipilih teknik “cluster sampling” untuk mendapatkan sampel. NTB dibagi menjadi empat wilayah: Lombok-1, Lombok-2, Sumbawa, dan Bima. Di setiap bagian ini dipilih fasilitas Kesehatan secara acak sesuai stratifikasi letaknya di perkotaan atau pedesaan. Stratifikasi sesuai letak fasilitas di pedesaan dan perkotaan yang didasarkan pada “jarak ke dinas Kesehatan Kabupaten,” telah digunakan dalam survey ini untuk memastikan keterwakilan seandainya ada perbedaan hasil antara kedua sub kelompok ini. Rumah Sakit Provinsi, Rumah Sakit Kabupaten, DKP dan DKK secara otomatis masuk sampel (100 %). Namun ada 4 kabupaten/kota yang tidak memiliki rumah sakit yaitu: Kota Mataram, Lombok Utara, Sumbawa Barat dan Kota Bima.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
12
Di tingkat kecamatan, dilakukan pengambilan sampel acak terhadap Puskesmas dan desa setelah terlebih dahulu distratifikasi berdasarkan jarak ke ibukota kabupaten. Di Kabupaten/kota dimana jumlah Puskesmas dianggap sedikit (misalnya Lombok Utara dan Sumbawa Barat hanya mempunyai 5 Puskesmas) semua Puskesmas dipilih. Tiga fasilitas di tingkat desa (Pustu/Polindes/Poskesdes) dipilih yang berada di sekitar Puskesmas berdasarkan jarak dari Puskesmas (dekat, agak jauh, jauh). Dengan demikian, terpilih 63 dari 142 Puskesmas (44 %) dan di desa terpilih 189 dari 911 fasilitas (21 %). Sampel total dari survey ini adalah 459 fasilitas Kesehatan (lihat Tabel 3). Table 3. Sample of health facilities by type and number
No
Tingkatan / Kabupaten
Jenis dan jumlah fasilitas kesehatan RS Provinsi
DKP
1
1
RS Kabupaten
Puskesmas
Polindes Posyandu Poskesdes
Desa
1
Provinsi
2
Kota Mataram
0
5
15
15
3
Lombok Barat
1
6
18
18
4
Lombok Utara
0
5
15
15
5
Lombok Tengah
1
8
24
24
6
Lombok Timur
1
10
30
30
7
Sumbawa Barat
0
5
15
15
8
Sumbawa
1
7
21
21
9
Dompu
1
5
15
15
10
Bima
1
7
21
21
11
Kota Bima
0
5
15
15
10
63
189
189
Total
1
1
Total
n=459
Tahap kedua, unit analisa dirubah menjadi”produk” dalam rangka menyediakan informasi spesifik tentang pemanfaatan dan implementasi setiap produk serta alasan-alasannya. Hasilnya memungkinkan disusunya pembelajaran dan rekomendasi untuk tindak lanjut. Tidak semua fasilitas Kesehatan menerapkan semua produk. Sebagian produk hanya digunakan di tingkat provinsi atau tingkat desa. Di 459 fasilitas Kesehatan, informasi tentang kesembilan produk diminta dari 776 responden, seperti ditunjukkan dalam Tabel 4.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
13
Tabel 4. Gambaran jumlah survey per Produk dan per jenis fasilitas kesehatan
Fasilitas Kesehatan
Products
Rumah Sakit
WISN
7
HRIS
7
HMIS SISTEM RUJUKAN
DKP
DKK
Puskesmas
Polindes
Desa
Total
63 1
10
1
10
7
70 18
63 63
74 189
259
IHPB
1
10
MONEV
1
10
11
P/DHA
1
10
11
Desa Siaga
63
74
63
QI-A
7
Total
28
189
252 7
5
50
315
189
189
776
Untuk mendapatkan hasil utama dihitung interval kepercayaan. Kisaran interval kepercayaan ini didefinisikan sebagai angka dari sample + margin galat dan ketidakpastian dilambangkan dengan tingkat kepercayaan (95%). Margin galat adalah nilai kritis dikali galat standar, yaitu Standar Deviasi yang dibagi akar pangkat dua dari ukuran sampel.
3.3. Tim Survey Kerangka Acuan (TOR) dikembangkan oleh tim GIZ team dan menjadi digunakan sebagai dasar untuk pengembangan konsep, pengambilan sampel, metodologi, dan penyusunan anggaran oleh tim peneliti lokal yang berafiliasi dengan UNRAM di NTB. Tim yang sama telah dikontrak untuk melakukan kedua survey (BLS dan FUS) dan tim ini terdiri dari seorang peneliti utama, empat peneliti untuk survey di tingkat Kabupaten/kota dan provinsi, serta sebuah tim yang terdiri dari 20 enumerator untuk survey di Puskesmas dan desa. Para peneliti dan enumerator dibagi ke dalam empat kelompok sesuai pembagian wilayah. Setiap kelompok terdiri dari satu peneliti yang posisi sebagai pengawas dan enumerator untuk Rumah Sakit Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/kota. Di setiap kelompok, salah satu enumerator dipilih sebagai coordinator lapangan yang bertanggung jawab untuk memasukkan data. Sebelum dilakukan survey, diadakan pelatihan bagi enumerator untuk menyegarkan pemahaman tentang kesembilan produk GIZ.
3.4. Sumber Data dan Instrumen Pengumpulan Data TKedua survey ini dilakukan di tingkat fasilitas Kesehatan. Data didapatkan melalui wawancara dengan
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
14
informan kunci di setiap fasilitas. Persepsi dan pandangan informan kunci menjadi sumber data primer dan subyektif. Untuk memastikan bahwa informasi yang didapatkan sebanyak mungkin, hanya informan kunci yang diwawancara. Tidak ada umpan balik dari pasien atau staf lain. Pengetahuan, pemahaman dan persepsi pasien tentang produk tidak dikaji. Andaikata informan kunci tidak ada saat wawancara, wawancara dilakukan melalui telepon atau dilakukan kunjungan ulang. Observasi tim survey terhadap fasilitas kesehatan atau terhadap dokumen pendukung menjadi sumber data sekunder dan obyektif serta dianggap sebagai bukti untuk mengkonfirmasi hasil wawancara. Dikembangkan kuesioner bagi setiap produk di setiap jenis fasilitas karena pemanfaatan produk antara satu jenis fasilitas dengan jenis lain berbeda sesuai dengan tingkatannya (implementasi, koordinasi, dan supervisi). Kuesioner terdiri dari pertanyaan terbuka untuk analisa kualitatif dan pertanyaan tertutup untuk analisa kuantitatif. Untuk pertanyaan tertutup, diberikan lebih dari satu opsi jawaban yang mencerminkan tingkat atau skala pencapaian pemanfaatan produk. Pertanyaan terbuka memusatkan perhatian pada contoh kongkrit, kegagalan dan keberhasilan dalam pemanfaatan kesembilan produk GIZ.
3.5. Entri dan Manajemen Data Dikembangkan sebuah perangkat lunak entri data menggunakan CS-Pro v4.03 yang digunakan oleh coordinator lapangan untuk entri data selama survey setelah terlebih dahulu memastikan kelengkapan pengisian kuesioner. Pembersihan dan validasi data dilakukan setelah entri data selesai. Data ini diarsipkan dengan sebuah code book.
3.6. Analisa Data Analisa data kuantitatif dilakukan dengan SPSS v15. Karena survey ini menggunakan kerangka satu segi, maka digunakan metode analisa statistik sederhana seperti analisa univariate/bivariate dan dihitung indeks tunggal dan gabungan. Hasil analisa disajikan dalam bentuk persentase (proporsi) dan skor. Dalam analisa, baik angka subyektif (berdasarkan jawaban responden) maupun angka obyektif (berdasarkan pengamatan atau bukti) dihitung. Hasil ini kemudian dipilah-pilah berdasarkan produk, kabupaten, jenis fasilitas Kesehatan dan khusus untuk BLS dipilah juga berdasarkan letaknya geografis di perkotaan dan pedesaan. Tidak ada faktor pembobotan yang digunakan dalam analisa. Hasil analisa disajikan dalam bentuk persentase demi menjawab indikator “Sejumlah fasilitas kesehatan
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
15
yang representatif (sekurang-kurangnya 80%) di ke-10 kabupaten/kota di di NTB mengkonfirmasi telah melaksanakan atau memanfaatkan pedoman yang didukung oleh proyek”. Hasil-hasil ini didasarkan pada ada tidaknya produk di fasilitas kesehatan yang informasinya diperoleh dari pertanyaan dengan jawaban “ya atau tidak”. Namun demikian, hasil ini tidak membahas sejauh mana produk dimanfaatkan dan mutu pemanfaatan produk. Untuk membahas sejauh mana tingkat dan mutu pemanfaatan produk, digunakan sistem skor system. Skor per produk didasarkan pada empat tingkatan pemanfaatan produk berdasarkan data dari pertanyaan tertutup (3 atau 4 tingkat pemanfaatan). Skor maksimum adalah 100 yang berarti bahwa sebuah produk diimplementasi sepenuhnya seperti diatur dalam pedoman dan sesuai dengan standar proyek, semua kondisi terpenuhi, semua tingkatan pemanfaatan tercapai (termasuk integrasi ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran serta membawa perbahan kebijakan). Skor 100 adalah kondisi ideal/sempurna.
Skor dari kesembilan produk digunakan untuk menghitung skor total. Untuk analisa data kualitatif, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi produk dikelompokkan menjadi “faktor sukses” kalau mendukung pemanfaatan produk dan “faktor gagal” kalau menghambat implementasi dan pemanfaatan produk. Dilakukan penghitungan terhadap data yang diperoleh selama wawancara untuk mendapatkan gambaran tentang berbagai faktor yang mempengaruhi pemanfaatan produk. Demikian juga dicatat informasi dari responden dan hasil pengamatan enumerator tentang contoh kongkrit pemanfaatan produk yang mempengaruhi kebijakan. FUS lebih memusatkan perhatian pada pengumpulan data kualitatif dibanding BLS.
3.7. Survei Lanjutan (FUS) Tim yang melakukan BLS juga melakukan FUS. Namun lokasi kerja/wawancara anggota tim dirubah sehingga berbeda daripada BLS. Dilakukan pelatihan penyegaran dan perencanaan kegiatan sebelum dilakukan survey. Sampel survey juga menggunakan fasilitas yang sama dan sejauh memungkinkan wawancara dilakukan dengan responden yang sama. Instrumen pengumpulan data dimodifikasi dari instrument BLS untuk menyesuaikan dengan periode pelaksanaan survey. Perhatian lebih banyak diarahkan kepada tentang pertanyaan kualitatif untuk mendapatkan informasi kongkrit tentang implementasi produk; tentang “mengapa” produk dimanfaatkan atau tidak dimanfaatkan, serta tentang perubahan yang terjadi akibat pemanfaatan produk. Penasehat teknis dari tim GIZ PAF mendampingi tim survey selama tiga hari pertama dan berfungsi sebagai narasumber dan untuk memastikan bahwa informasi yang didapatkan sesuai dengan yang dibutuhkan. Entri, manajemen, serta analisa data sama dengan yang dilakukan saat BLS. Hasil FUS dibandingkan dengan hasil BLS untuk mengukur perbedaan
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
16
yang mungkin terjadi seiring waktu. Uji statistik yang digunakan adalah Uji-t perbandingan rerata antar kedua survey dan uji Chi-kuadrat untuk variable nominal (data kategoris) untuk perbandingan proporsi.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
17
3. Hasil Ketersediaan produk di fasilitas kesehatan (%) Indikator PAF menetapkan target bahwa pada akhir proyek. Sekurang-kurangnya 80 % fasilitas Kesehatan di ke-10 kabupaten/kota di NTB memberikan konfirmasi telah melaksanakan dan memanfaatkan pedoman-pedoman yang didukung proyek.
BLS Temuan BLS menunjukkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95%, 55.8 ± 3.6 % dari 459 fasilitas Kesehatan mengimplementasi dan memanfaatkan produk (nilai subyektif). Bukti yang didapatkan untuk menjawab pertanyaan ini (pertanyaan dengan jawaban ya/tidak) menunjukkan bahwa produk-produk tersebut ditemukan di 52.9 ± 3.4 % dari seluruh fasilitas Kesehatan (nilai obyektif).
FUS Dengan tingkat kepercayaan 95% FUS menunjukkan bahwa 63.4 ± 3.7% atau 291 dari 459 fasilitas Kesehatan memberikan konfirmasi telah melaksanakan dan memanfaatkan produk-produk (nilai subyektif). Bukti yang didapatkan untuk menjawab pertanyaan tentang keberadaan produk (pertanyaan dengan jawaban ya/tidak) menunjukkan bahwa produk ditemukan di 255 fasilitas kesehatan atau 55.6% ± 3.4% dari semua fasilitas Kesehatan (nilai obyektif).
Perbandingan BLS-FUS Berdasarkan persepsi responden (nilai subyektif) terdapat perbedaan signifikan antara kedua survey yaitu dari 55.8 menjadi 63.4 % (p=0.003). Namun demikian, bukti yang dikumpulkan tidak mengkonfirmasi hal tersebut. Berdasarkan nilai obyektif, tidak ada perbedaan signifikan antara BLS dan FUS dalam hal pemanfaatan produk oleh fasilitas kesehatan (p=0.015).
Tingkat dan mutu pemanfaatan produk (skor) Untuk mengetahui tingkat dan mutu pemanfaatan produk, digunakan sebuah sistem skor berdasarkan empat tingkat pemanfaatan produk: ketersediaan produk di fasilitas kesehatan; implementasi produk dan terpenuhinya semua kondisi yang diperlukan untuk pemanfaatan produk secara tepat; integrasi produk ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran; dan dampak produk terhadap proses perencanaan dan kebijakan mengakibatkan perubahan atau rencana aksi. Skor memberikan informasi yang detail tentang setiap produk, jenis fasilitas, Kabupaten dan perbedaan antar kabupaten.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
18
Catatan: Skor 100 berarti bahwa semua produk dilaksanakan dengan sempurna, masuk dalam perencanaan dan penganggaran, dan menghasilkan informasi yang mengakibatkan perubahan atau rencana aksi.
BLS Secara keseluruhan skor untuk semua produk 34.6 ± 2.6 (persepsi responden - subyektif) dan 25.8 ± 2.5 (dikonfirmasi dengan bukti - obyektif), dengan tingkat kepercayaan 95%.
FUS Secara keseluruhan skor untuk semua produk adalah 34.1 ± 2.7 (subyektif) dan 26.4 ± 2.4 secara subyektif, dengan tingkat kepercayaan 95%.
Perbandingan BLS-FUS Tidak ada perbedaan signifikan antara BLS dan FUS, baik untuk skor subyektif (Uji-t =0,453 dan p=0,684) maupun untuk skor obyektif (uji-t =0,510 and p=0,613).
4.1. Analisa per Produk dan per Jenis Fasilitas Kesehatan Jenis fasilitas kesehatan memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain dalam hal fungsi, lingkup kerja, tanggung jawab dan wewenang. Hal ini berlaku pula dalam kaitan dengan pemanfaatan produk, karena itu pemanfaatan produkpun tidak dapat digeneralisir dan diperlakukan seolah-olah semua jenis fasilitas Kesehatan homogen. Di bawah ini adalah analisa per jenis fasilitas kesehatan.
BLS Hasil dalam kaitan dengan ketersediaan produk di fasilitas Kesehatan, disajikan dalam Table 5 di halaman berikut.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
19
Tabel 5. Persentase fasilitas Kesehatan yang memanfaatkan produk (BLS) Produk
DKP
DKK
Rumah Sakit
Puskesmas
Desa Polindes/ Pustu
WISN HRIS HMIS
%
Pemerintah Desa
S
57
8
13
O
57
8
13
S
100
100
100
100
O
100
100
100
100
S
100
80
65
68
O
100
80
62
65
SISTEM RUJUKAN
S
0
0
0
27
O
0
0
0
0
IHPB
S
100
100
73
77
O
100
100
44
53
S
100
0
9
O
100
0
9
S
100
80
82
O
100
80
82
MONEV P/DHA Desa Siaga QI - A
S
100
93
94
O
84
91
90
S
86
86
O
86
86
Catatan: S=Subjectif, O=Objectif
Dinas Kesehatan Provinsi Dinas Kesehatan Provinsi memanfaatkan kelima produk HRIS, HMIS, IHPB, Monev Terpadu dan PHA (100 %).
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Semua Dinas Kesehatan Kabupaten memanfaatkan HRIS dan IHPB (100 %), 8 dari 10 Dinas Kesehatan Kabupaten melaksanakan HMIS dan DHA (80 %), tetapi tidak ada yang melaksanakan Monev Terpadu (0 %).
Rumah Sakit Semua Rumah Sakit memberi konfirmasi telah memanfaatkan HRIS (100 %), 86 % melaksanakan QI, 57 % memanfaatkan WISN, dan tidak ada yang memanfaatkan Sistem Rujukan.
Puskesmas Semua Puskesmas mengklaim telah melaksanakan Desa Siaga (100 %) tetapi keberadaan Desa
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
20
Siaga hanya dapat dikonfirmasi di 84 % (nilai obyektif) dari Puskesmas. Temuan yang hampir sama didapatkan dalam kaitan dengan IHPB, dimana 73 % responden di Puskesmas mengkonfirmasi telah memanfaatkannya, sedangkan dari bukti yang ada hanya 44 % (obyektif) yang melakukannya. 65 % Puskesmas mengaku melaksanakan HMIS sedangkan secara obyektif hanya 62 %, 8 % memanfaatkan WISN, dan tidak ada satupun Puskesmas yang melaksanakan Sistem Rujukan.
Desa Di tingkat desa, hasil kajian menunjukkan bahwa tidak ada Polindes/Pustu yang melaksanakan Pedoman Sistem Rujukan dan ada bukti bahwa sampai 91% desa melaksanakan Desa Siaga. Kalau memperhatikan mutu dan tingkat pemanfaatan produk di setiap jenis fasilitas Kesehatan, skor pemanfaatan produk tertinggi terdapat di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan skor obyektif 35, diikuti Dinas Kesehatan Provinsi dengan skor obyektif 32. Rumah Sakit dan Desa memiliki skor implementasi yang paling rendah. Rinciannya dapat dilihat dalam Tabel 6. Tabel 6. Gambaran skor untuk masing-masing prodik per jenis fasilitas Kesehatan (BLS) No.
Fasilitas Kesehatan
WISN
HRIS
HMIS
Sistem Rujukan
IHPB
MONEV P/DHA
Desa Siaga
QI-A
TOTAL
SKOR SUBYEKTIF (Persepsi responden) 1
DKP
2
Rumah Sakit
3
DKK
4
Puskesmas
5
Desa
TOTAL
56 11
30
51 52
3
67
33
17
0 41 34
46 75
0
0
50
38
0
7
53
40
35
0
60
17
33
27 43
68
29
54
27
51
46
34,6
SKOR OBYEKTIF (berdasarkan bukti) 1
DKP
2
Rumah Sakit
3
DKK
4
Puskesmas
5
Desa
TOTAL
50 10
15
35 41
1
44
33
17
0 39 27
29 64
0
0
32
26
0
5
42
32
27
0
45
17
24
18 35
44
20
44
22
44
29
25.8
FUS Hasil FUS terkait ketersediaan dan keberadaan produk di fasilitas Kesehatan disajikan dalam Tabel 7.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
21
Tabel 7. Persentase Fasilitas Kesehatan yang menggunakan produk (FUS) Produk
DKP
DKK
Rumah Sakit
Puskesmas
Desa Polindes/ Pustu
WISN HRIS HMIS
% Pemerintah Desa
S
43
27
29
O
43
22
24
S
100
100
100
100
O
100
100
100
100
S
100
80
79
81
O
100
80
75
76
Sistem Rujukan
S
14
8
13
12
O
0
8
3
0
IHPB
S
100
100
68
65
O
100
70
52
55
S
100
70
64
O
100
60
91
S
100
90
91
O
100
90
91
MONEV P/DHA Desa Siaga QI - A
S
97
99
99
O
57
97
87
S
71
71
O
71
71
Dinas Kesehatan Provinsi Kelima produk yang digunakan di DKP adalah HRIS, HMIS, IHPB, Monev Terpadu dan PHA (100 %).
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Semua DKP menggunakan HRIS (100%), 90% menggunakan P/DHA, 80 % HMIS, 70% menggunakan IHPB dan 60 % menerapkan Monev Terpadu.
Rumah Sakit Semua Rumah Sakit memanfaatkan HRIS, 71% menerapkan Quality Improvement Actions dan 43% menggunakan WISN. Tidak ada yang menggunakan Sistem Rujukan.
Puskesmas Pemanfaatan produk berkisar antara 75% untuk HMIS (47 dari 63) dan 8% bagi Sistem Rujukan.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
22
Desa Tiga persen Polindes yang disurvey mengimplementasi Sistem Rujukan. 97% desa menerapkan Desa Siaga. Kalau mutu dan tingkat pemanfaatan produk diperhitungkan, tabel 8 memberikan gambaran tentang skor bagi setiap produk di setiap jenis fasilitas. Skor tertinggi secara obyektif ada pada DKK dengan 36 dan diikuti oleh Puskesmas dengan 26. Tabel 8. Gambaran skor implementasi untuk setiap produk di setiap jenis fasilitas Kesehatan (FUS) No.
Fasilitas Kesehatan
WISN
HRIS
HMIS
Sistem Rujukan
IHPB
MONEV P/DHA
Desa Siaga
QI-A
TOTAL
SKOR SUBYEKTIF (Persepsi Responden) 1
DKP
2
Rumah Sakit
3
DKK
4
Puskesmas
5
Desa
TOTAL
56 5
15
66 53
17
0
44
17
5 44 37
45 50
7
34
46
38
4
11
58
26
32
5
29
39
31
30 45
62
32
50
27
56
45
34.1
SKOR OBYEKTIF (berbasis bukti) 1
DKP
2
Rumah Sakit
3
DKK
4
Puskesmas
5
Desa
TOTAL
40 5
15
37 46
13
0
33
17
2 41 35
36 45
6
6.6
42
26
1
9
41
21
30
3
24
20
29
20 36
48
26
44
23
46
36
26.4
Perbandingan BLS-FUS Tabel 9 menunjukkan bahwa skor di DKP, DKK dan desa tidak berbeda secara signifkan antara BLS dan FUS. Secara keseluruhan skor pemanfaatan produk tidak berbeda untuk kedua survey. Namun demikian, Puskesmas memiliki skor yang lebih tinggi saat FUS. Untuk produk secara keseluruhan ada peningkatan signifikan dari 20 menjadi 26 secara obyektif (p=0.007). Namun bagi Rumah sakit, skor menurun secara signifikan yaitu dari 32 menjadi 20 (p=0.006).
Rincian analisa per produk Gambar 1 memberi gambaran tentang skor setiap produk selama BLS dan FUS.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
23
BLS IHPB, Desa Siaga dan HRIS adalah produk-produk dengan skor tertinggi dimana skor obyektifnya di atas 40, kemudian diikuti QI Action, HMIS dan P/DHA dengan skor obyektif antara 20 dan 40. Monev Terpadu dan WISN mendapatkan skor obyektif yang sangat rendah yaitu 20. Bahkan Sistem Rujukan mendapat skor 0.
FUS Desa Siaga and HRIS menempati pisisi teratas dalam daftar produk sesuai dengan skor implementasi dimana skor obyektifnya di atas 40. Menyusul di belakangnya adalah QI-A, HMIS, P/DHA, IHBP dan Monev Terpadu dengan skor obyektif antara 20 dan 40. Skor terendah adalah WISN dan Sistem Rujukan dengan skor obyektif di bawah 10.
Grafik 1: Skor per Produk untuk BLS dan FUS (n=776)
60
50
40
30
20
10
0 BLS S BLS O FUS S FUS O
WISN
HRIS
HMIS
Sistem IHPB Rujukan
MONEV
P/DHA
Desa Siaga
QI-A
WISN Untuk menilai skor implementasi WISN, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkait dengan penerapan proses dan instrumen WISN di Rumah Sakit dan Puskesmas, keberadaan laporan hasil WISN, pemanfaatan laporan untuk kepentingan pengambilan keputusan, dan perubahan atau rencana aksi yang didorong penggunaan WISN. Temuan BLS menunjukkan bahwa skor untuk implementasi WISN
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
24
secara subyektif 7 dan secara obyektif 5. Hal ini berarti bahwa mutu pelaksanaan WISN tidak terlalu baik. Berdasarkan umpan balik dari pengguna (20 dari 63 responden Puskesmas), skor yang rendah ini diakibatkan kurangnya pemahaman dalam penerapan produk. Hambatan lain adalah kurangnya sosialisasi dan pelatihan, tidak adanya dana pendukung, serta mutasi pegawai. Karena keputusan mengenai penempatan petugas Puskesmas diambil di tingkat yang lebih tinggi (Dikes Kabupaten dan Pemerintah Daerah), Puskesmas dan Rumah Sakit tidak memandang penting untuk menerapkan WISN karena hasilnya tidak akan digunakan oleh pengambil keputusan. 17 responden mengangkat hambatan ini. Disamping itu, tidak adanya kebijakan atau peraturan yang mengikat untuk implementasi WISN (tidak ada dukungan resmi atau keharusan) menghambat penggunaan WISN. Petugas masih menggunakan model penghitungan kebutuhan SDM berdasarkan rasio. Temuan FUS menunjukkan bahwa skor implementasi WISN meningkat menjadi 11 secara subyektif atau 9 secara obyektif. Saat ini WISN diimplementasi 3 dan 7 rumah sakit dan 14 dari 63 Puskesmas. Dibanding BLS, ada peningkatan signifikasn (p=0.018, lihat Tabel 9). Alasan yang sama diberikan oleh responden FUS bagi rendahnya skor implementasi WISN.
HRIS Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk mengetahui pemanfaatan HRIS terkait dengan apakah HRIS berjalan dengan baik dan datanya tersedia (software, komputer dan database), apakah database dipelihara dan dimutakhirkan (termasuk pemindaian virus) dan sejauh mana laporan dan informasi yang didapatkan dari HRIS digunakan untuk pengembangan SDM oleh pengambil keputusan. Skor pemanfaatan HRIS adalah 53 secara subyektif dan 42 secara obyektif dalam BLS. Skor di Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota lebih tinggi daripada di Rumah Sakit. Manfaat yang dirasakan dari HRIS adalah mudahnya mendapatkan akses dan mengelola data SDM Kesehatan. Dua tantangan utama pemanfaatan produk dengan optimal terkait dengan ketidaklengkapan data individu (tidak ada keharusan bagi staf untuk memasukkan data) serta kurangnya institusionalisasi HRIS. Sistem yang ada adalah sistem manual berbasis MS Excel dan masih digunakan secara parallel dengan HRIS. Sistem manual ini lebih disukai untuk pelaporan. Temuan FUS menunjukkan bahwa skor implementasi HRIS secara subyektif adalah 58 dan secara obyektif 41. Walaupun HRIS diimplementasikan di DKP, semua DKK dan semua Rumah Sakit, mutu implementasinya masih sama dengan saat dilakukan BLS (p=0.692, lihat Tabel 9). Keberadaan paralel sistem yang berbasis MS Excel juga masih terjadi saat dilakukan FUS. Masalah yang ditemui dalam software ketika menghasilkan laporan untuk manajemen dan pengambil keputusan menghambat digantikannya sistem lama oleh sistem HRIS. Walaupun petugas Rumah Sakit Provinsi merasakan manfaat dari HRIS, mereka tidak dapat meninggalkan sistem lama dengan alasan yang disebutkan di atas.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
25
HMIS HMIS dianggap sempurna pelaksanaanya kalau perangkat keras dan lunak sudah tersedia, Tim SIKDA ada, ada LAN/jaringan pertukaran data, database dimutakhirkan secara reguler, dihasilkan laporan bulanan, sistem satu pintu berjalan, dll. Skor implementasi HMIS saat BLS secara subyektif adalah 35 dan 27 secara obyektif. Skor HMIS di DKK paling tinggi dibanding fasilitas lain, yang kemudian diikuti dengan skor di Puskesmas. Skor HMIS di tingkat provinsi paling rendah. Tantangan utama yang diangkat adalah ketiadaan tim SIKDA, masalah jaringan (LAN), keterbatasn jumlah computer (18 responden), software yang tidak berfungsi, serangan virus, kurangnya insentif bagi petugas entri data dan kurangnya komitme stakeholder. Namun demikian, diakui bahwa HMIS memberi manfaat dan efisiensi dalam kegiatan harian: 41 responden menyebutkan peningkatan mutu dan kelengkapan data, peningkatan pengetahuan, mendapatkan data dan laporan secara cepat. 17 responden menyatakan bahwa HMIS mengakibatkan pelayanan lebih efektif dan efisien dan 10 responden mengatakan bahwa perencanaan menjadi lebih mudah, akurat dan tepat waktu. Temuan FUS menunjukkan bahwa skor implementasi HMIS secara subyektif adalah 32 dan secara obyektif 30. Perubahan ini kecil tetapi signifikan dibanding dengan hasil BLS (p=0.018, lihat Tabel 9). Responden dari DKK dan DKP menyebutkan alasan-alasan yang menyebabkan rendahnya skor implementasi sebagai berikut: tidak adanya persyaratan dasar bagi berjalannya SIKDA misalnya tidak adanya Tim SIKDA di DKK, tidak terpasangnya anti virus, pemadaman listrik, software yang belum rampung (6 responden) dan perbedaan antara sofware DKK dan software DKP (5 responden). Responden dari DKP juga menyebutkan adanya beban kerja tambahan kalau menggunakan HMIS. 110 responden di Puskesmas mengemukakan alasan berikut tentang kurang baiknya pelaksanaan HMIS: tidak ada petugas khusus untuk HMIS (29 responden), seringnya terjadi pemadaman listrik (18 responden), kurangnya anggaran (18 responden) dan kurangnya perangkat keras (29 responden). Umpan balik dan komentar positif juga didapatkan dari Puskesmas yaitu: HMIS mudah dan praktis (33 responden); HMIS menghasilkan informasi secara cepat dan efisien (28 responden); HMIS mempercepat pelayanan (21 responden); HMIS menningkatkan kinerja evaluasi program (12 responden). Empat Puskesmas mengatakan tidak ada masalah sama sekali dalam penggunaan HMIS.
Sistem Rujukan Produk ini diujicobakan di Lombok Barat pada tahun 2009. DKP dan DKK berkomitmen untuk implementasi format-format tersebut mulai tahun 2010. BLS tidak dapat melihat adanya bekas-bekas produk tersebut (pedoman, format, dll). Di semua fasilitas Kesehatan digunakan sistem yang lama, bukan sistem yang didukung oleh proyek. Karena itu saat BLS skor implementasi Sistem Rujukan adalah nol. Alasan bagi skor seperti ini adalah lambatnya kegiatan dukungan dimulai oleh proyek SISKES (waktu kurang) serta kurangnya sosialisasi. Pertanyaannya adalah apakah pedoman sistem rujukan yang baru berbeda atau lebih baik daripada yang sudah ada. Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
26
Peninjauan kembali pedoman tersebut oleh Consolidation Program (PAF) mengakibatkan adanya hasil yang lebih baik saat FUS. Skor implementasi Sistem Rujukan tidak lagi nol tetapi naik menjadi 5 secara subyektif dan 3 secara objektif (p=0.006, lihat Tabel 9). Skor yang rendah ini diakibatkan karena terbatasnya jumlah fasilitas Kesehatan yang menggunakan Pedoman Sistem Rujukan yang baru yaitu hanya 1 dari 7 Rumah Sakit, 5 dari 63 Puskesmas dan 6 darn 189 Polindes. Mutu dan tingkat pemanfaatannya masih rendah karena belum terlalu terkaitnya satu fasilitas dengan fasilitas lain dalam hal pelaksanaan rujukan. Rumah sakit menyatakan bahwa sistem yang baru belum merupakan keharusan serta masih kurang dukungan untuk pelaksanannya. Surat rujukan dan rujukan balik ditemukan di Rumah Sakit Provinsi tetapi tidak terpakai. Namun ada umpan balik positif yang diperoleh. Dari Puskesmas, 12 responden menyatakan bahwa tidak ada masalah yang dijumpai dengan sistem yang baru dan sistem baru mempermudah pencatatan. Format juga dianggap praktis. 14 responden mengemukakan alasan mengapa skor implementasinya rendah yaitu pasien yang tidak bersedia dirujuk, belum terbiasa meminta rujukan balik, ada beban administrasi tambahan untuk mengisi surat rujukan, dan kurangnya jumlah format yang tersedia. Di desa, 47 komentar merujuk kepada manfaat yang didapat dari pedoman yaitu pelayanan semakin baik (29 komentar), administrasi semakin rapi, dan sistem lebih komprehensif. Kendala yang dihadapi adalah transportasi (10 responden), rendahnya kesadaran masyarakat untuk meminta dan membawa surat rujukan dan untuk dirujuk (15 responden), biaya rujukan dan beban administrasi.
IHPB Implementasi IHPB diverifikasi terkait dengan ketersediaan pedoman IHPB, pemanfaatannya dalam proses perencanaan 2007-2009 (BLS) dan 2010-2011 (FUS), dan sejauh mana perencanaan Puskesmas diakomodasi dalam rencana DKK dan sejauh mana perencanaan DKK terkait dengan rencana DKP. Implementasi IHPB mendapatkan skor 60 secara subyektif dan 45 secara obyektif pada BLS. IHBP memiliki skor tertinggi di DKK yang kemudian diikuti DKP. Skor terendah berada di Puskesmas. Manfaat IHPB dalam hal perencanaan yang lebih transparan, lebih sinergis dan kurangnya tumpang tindih rencana, koordinasi yang lebih baik dan kemudahan pengembangan rencana diangkat sebanyak 87 kali. Kendala utama dalam pemanfaatan IHBP di Puskesmas adalah konflik antara pendekatan bottom-up IHPB dengan proses perencanaan dan penganggaran yang masih top-down. Hal ini dikemukakan 20 responden. Kendala lain yang disebutkan adalah kurangnya pemahaman dan fasilitasi, serta sumber daya yang terbatas untuk mendukung implementasi IHPB.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
27
Temuan FUS menunjukkan bahwa skor menurun secara signifikan dari 60 menjadi 30 secara subyektif dan dari 45 menjadi 24 secara objektif (p=0.001, lihat Tabel 9). IHPB merupakan satu-satunya produk dengan penurunan skor yang signifikan dibanding BLS. Alasan utama yang dikemukakan adalah adanya kewajiban menggunakan P2KT untuk perencanaan dan penganggaran yang berbeda dengan yang didukung proyek.
Monev Terpadu Untuk mengkaji Monev di DKP dan DKK, diajukan pertanyaan terkait dengan pelaksanaan Monev Terpadu tahun 2008, tindak lanjut rekomendasinya tahun 2009 untuk BLS dan tahun 2010 untuk FUS, serta sejauh mana hasilnya digunakan sebagai input dalam proses perencanaan. Implementasi Monev Terpadu mendapatkan skor 17 secara subyektif dan secara obyektif pada BLS. Walaupun Monev spesifk untuk masing-masing program berjalan lancar, tetapi Monev Terpadu agak mengalami hambatan karena kesulitan menyesuakan diri dengan jadwal monev program. Skor di DKK nol karena kegiatan ini tidak dilaksanakan di tingkat kabupaten. Ketiadaan anggaran paling banyak disebut sebagai alasan tidak dilaksanakannya Monev Terpadu. Terungkap bahwa keuntungan Monev Terpadu adalah meningkatkan efektifitas dan efisiensi implementasi program, mengetahui kinerja DKK secara keseluruhan, serta menyediakan solusi untuk masalah-masalah yang diangkat. Namun demikian, manfaat-manfaat tersebut tidak cukup meyakinkan DKK untuk melaksanakan Monev Terpadu. Temuan FUS menunjukkan bahwa implementasi Monev Terpadu mendapatkan skor 39 secara subyektif dan 20 secara obyektif tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dengan hasil BLS (p=0.180, lihat Tabel 9). Sejak BLS, Monev Terpadu hanya dilakukan sekali dan manfaat yang dirasa oleh 5 DKK adalah bahwa solusi dan umpan balik diberikan langsung saat dilakukan Monev Terpadu dan pendekatan yang berbasis bukti dianggap sangat berguna. DKP mengungkapkan kesulitan mengkoordinir kegiatan bersama sehingga sesuai dengan jadwal masing-masing program.
P/DHA Implementasi P/DHA dinilai dengan melihat keberadaaan P/DHA 2007-2008 (BLS) dan 2009 (FUS), kelengkapan data, dan pemanfaatan data sebagai input untuk proses IHPB dan advokasi. Skor untuk implementasi P/DHA secara subyektif adalah 33 dan 24 secara obyektif untuk BLS. P/ DHA yang diperhitungkan adalah P/DHA tahun 2007 dan 2008 tetapi bukan 2009. Skor di DKK lebih tinggi daripada di DKP. Alasan yang dikemukakan untuk skor rendah ini adalah ketidaksediaan dan ketidaklengkapan data, ketidaksesuaian antara data yang tersedia dan format yang ada karena perubahan yang seharusnya dilakukan sebelum entri data tidak dilaksanakan. Disamping itu, tidak
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
28
ada keharusan untuk menghitung P/DHA sehingga dengan tidak adanya permintaan, fasilitasi dan dukungan teknis dari proyek, penghitungan P/DHA tidak berlanjut. Kendala anggaran juga diangkat oleh DKK sebagai alasan skor implementasi yang rendah. Ini mengindikasikan ada ketergantungan pada dukungan lembaga pembangunan setidaknya dalam pelaksanaan P/DHA. Manfaat yang dirasakan dari P/DHA adalah meningkatnya pemahaman tentang sumber dana dan alokasi anggaran serta semakin tersedianya informasi yang dapat digunakan untuk advokasi dan evaluasi. Temuan FUS menunjukkan bahwa skor P/DHA adalah 31 secara subyektif dan 29 secara obyektif, atau sedikit lebih tinggi dibanding skor BLS (p=0.003, lihat Tabel 9). DKP dan 9 dari 10 DKK menerapkan P/ DHA tetapi mutu pelaksanaannya rendah karena menurut DKP ada perbedaan antara instrumen yang diperkenalkan proyek (yang dirasa terlalu rumit) dengan instrumen yang diperkenalkan oleh Universitas Indonesia (yang paling banyak digunakan). Umpan balik dari DKK menyebutkan ketidaklengkapan data (7 responden) dan kerumitan instrument (4 responden) sebagai alasan. Sebagai umpan balin positif, DKK menyatakan bahwa DHA menghasilkan data yang dapat digunakan untuk advokasi demi mendapatkan alokasi anggaran yang lebih baik sesuai prioritas (11 responden).
Desa Siaga Skor implementasi Desa Siaga merujuk kepada keberadaan (pembentukan) jejaring sistem siaga di desa dan sejauh mana fungsi-fungsi Siaga tetap berjalan. Implementasi Desa Siaga mendapat skor 61 secara subyektif dan 44 secara obyektif saat BLS. Keberhasilan pelaksanaan Desa Siaga adalah karena manfaat yang dirasakan oleh penduduk desa yaitu: meningkatnya solidaritas dan kesadaran masyarakat, akses yang lebih baik terhadap informasi serta pelayanan yang lebih cepat saat dibutuhkan. Kendala yang ditemui dalam implementasi adalah kurangnya koordinasi dan fasilitasi dari DKK serta drop-out fasilitator desa. FUS menunjukkan bahwa skor implementasi Desa Siaga secara subyektif adalah 56 dan secara obyektif 46. Peningkatan skor obyektif signifikan (p=0.028, lihat Tabel 9). Manfaat yang dirasakan dan alasan mengapa pelaksanaan Desa Siaga relatif baik diungkapkan 92 responden dan terkait dengan pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik, peningkatan kesadaran masyarakat tentang program Kesehatan, serta peningkatan status Kesehatan wanita hamil dan anak-anak. Umpan balik dari desa tentang alasan dibalik kurang berjalannya Desa Siaga adalah kurangnya dukungan anggaran dan dukungan dari fasilitas kesehatan (21 responden), kurangnya koordinasi (8 responden); kurangnya sosialisasi konsep dan kurang sadarnya anggota masyarakat (18 responden). 18 responden menyatakan bahwa Desa Siaga tidak berjalan di desanya.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
29
QI-Action Penilaian terhadap QI-Action mencakup pertanyaan ada tidaknya kegiatan QI di berbagai unit rumah sakit, keberadaan tim QI yang berjalan, bukti adanya perubahan, dan keberadaan rencana dan anggaran untuk implementasi QI-Action pada tahun 2010 untuk BLS dan pata tahun 2011 untuk FUS. Temuan BLS menunjukkan bahwa skor subyektif adalah 46 sedangkan skor obyektif adalah 29. Perbedaan ini diakibatkan ketiadaan bukti pendukung. Kendala anggaran dan rotasi petugas dianggap oleh responden sebagai alasan utama dari rendahnya skor. Temuan FUS menunjukkan bahwa QIAction dilaksanakan di di 5 dari 7 rumah sakit dan skor pelaksanaannya secara subyektif adalah 45 dan 36 secara obyektif. Tidak ada perbedaan siginifikan antara FUS dan BLS (p=0.289, lihat Tabel 9). Alasan yang sama dengan yang dikemukakan waktu BLS juga dikemukakan sebagai faktor yang bertanggung jawab atas rendahnya skor implementasi. Disamping itu, kurangnya komitmen pengambil keputusan dan tidak adanya kerangka hukum yang mengharuskan QI-Action juga disebut responden sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap rendahnya skor implementasi. Tabel 9. Perbandingan skor antara BLS-FUS per produk dan jenis fasilitas kesehatan Health Facility
WISN
HRIS
HMIS
Referral System
IHPB
MONEV
P/DHA
Desa Siaga
QI-A
Total
t-Test p-value t=1.697 p=0.103
Objective Scores (evidence based) – BLS versus FUS PHO Hospital DHO
BLS
35
15
44
33
17
18
FUS
40
15
0
33
17
21
BLS
10
50
0
29
32
FUS
45
37
2
36
20
BLS
41
39
64
0
32
35
FUS
46
41
45
7
42
36
Health Center
BLS
1
27
0
26
44
20
FUS
13
35
6
26
48
26
Village
BLS
0
44
22
FUS
1
44
23
TOTAL
t-Test v-value
BLS
5
42
27
0
49
17
24
44
29
FUS
9
41
30
3
24
20
29
46
36
t=2.556 p=0.018
t=0.404 p=0.692
t=2.556 p=0.018
t=4.812 p=0.006
t=4.483 p=0.001
t=1.431 p=0.180
t=5.477 p=0.003
t=3.070 p=0.028
t=1.162 p=0.289
t=2.950 p=0.006 t=0.95 p=0.349 t=2.885 p=0.007 t=1.238 p=0.232 25.8 26.4
t=0.510 p=0.613
Perbandingan BLS-FUS Tabel 9 menunjukkan perbedaan antara hasil BLS dan hasil FUS. Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan signifikan antara hasil BLS dan hasil FUS. Namun demikian, saat hasil dibagi menurut produk, ada perbedaan signifikan dimana empat produk memiliki skor yang lebih tinggi di FUS, yaitu WISN, Sistem Rujukan, P/DHA dan Desa Siaga tetapi peningkatan skor tidak tinggi. Hanya satu produk yang mengalami penurunan skor yaitu IHPB. Skor IHPB menurun setengahnya dalam perionde antara BLS dan FUS. Alasan yang dikemukakan adalah: keharusan menggunakan pedoman P2KT. Tidak ada perbedaan status antara BLS dan FUS untuk tiga produk, yaitu HRIS, Monev Terpadu dan QI-Action. Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
30
4.2. Analisa per Kabupaten dan jarak geografis antara Puskesmas/ desa dan DKK Pemanfaatan produk per Kabupaten/kota Provinsi NTB mempunyai 10 kabupaten/kota dan kesembilan produk mendapat dukungan yang sama dari proyek kecuali Sistem Rujukan. Sistem Rujukan hanya diujicobakan di Kabupaten Lombok Barat selama proyek SISKES (Lihat bagian 4.2.).
BLS Tabel 10 menunjukkan skor per Kabupaten dan per produk baik subyektif maupun obyektif. Skor untuk tingkat provinsi tidak masuk dalam perhitungan ini. Empat kabupaten/kota tidak mempunyai rumah sakit kabupaten sehingga tidak ada QI-A. Kabupaten Lombok Utara adalah Kabupaten yang baru terbentuk tahun 2009. P/DHA tidak dikaji di Kabupaten ini karena tidak ada data untuk tahun 2008. Tabel 10. Skor per produk dan Kabupaten/kota (BLS) No
Kabupaten
WISN
HRIS
HMIS
Sistem Rujukan
IHPB
Monev
P/ DHA
Desa Siaga
QI-Action Total
42
70
50
Skor Subyektif 1
Lombok Barat
15
56
28
0
57
0
2
Lombok Utara
0
50
43
0
69
0
3
Lombok Tengah
17
53
54
0
66
0
58
62
50
40
4
Lombok Timur
10
56
43
0
63
0
58
59
50
38
5
Sumbawa Barat
0
67
41
0
64
0
58
74
6
Sumbawa
0
59
38
0
71
0
58
74
50
39
7
Dompu
3
56
67
0
28
0
58
46
25
31
8
Bima
0
50
42
0
36
0
58
72
50
34
9
Kota Bima
50
0
0
42
0
25
77
24
10
Kota Mataram
67
9
0
52
0
17
25
21
56
37
0
55
0
48
61
28
32
25
47
50
29
Total
4
42
37 37
38
Skor Obyektif 1
Lombok Barat
13
44
28
0
53
0
2
Lombok Utara
0
37
31
0
58
0
3
Lombok Tengah
8
53
51
0
62
0
50
57
13
33
4
Lombok Timur
9
40
40
0
49
0
50
57
13
29
5
Sumbawa Barat
0
48
36
0
64
0
50
58
6
Sumbawa
0
56
38
0
62
0
25
63
50
33
7
Dompu
0
51
54
0
28
0
50
17
25
25
8
Bima
0
35
35
0
25
0
50
36
25
23
9
Kota Bima
0
15
0
0
11
0
0
31
7
10
Kota Mataram
0
56
7
0
28
0
17
19
16
Total
3
43
32
0
44
0
32
44
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
31
25
22
32
18
25
Skor obyektif dan subyektif rata-rata tidak berbeda di semua kabupaten. Perbedaan antara kedua skor rata-rata dapat diterima kecuali Lombok Utara dimana skor subyektifnya 37 atau jauh lebih tinggi daripada skor obyektif yaitu 22. Skor tertinggi terdapat di Kabupaten Lombok Tengah dan Sumbawa dengan skor total 33, kemudian diikuti Sumbawa Barat, Lombok Barat dan Lombok Timur. Kabupaten dengan skor tertinggi adalah Kota Mataram dan Kota Bima masing-masing dengan skor 16 dan 17. Semua produk mempunyai skor yang rendah di kedua kota ini kecuali HRIS di Kota Mataram dan Desa Siaga di Kota Bima. Survey ini tidak dapat menggali informasi mengapa ada perbedaan antara kedua kota dengan kabupaten lain. Dibutuhkan Diskusi Kelompok Terarah (FGD) dan wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi tersebut. Produk-produk yang memiliki skor implementasi tertinggi adalah IHBP, HRIS dan Desa Siaga. Penerapan IHBP dan Desa Siaga paling baik ditemukan di Sumbawa Barat dan penerapan HRIS terbaik terdapat di Kota Mataram (walaupun secara umum Kota Mataram memiliki rata-rata skor implementasi yang rendah). Sistem Rujukan dan Monev Terpadu memiliki skor nol di semua kabupaten. WISN hanya diterapkan di 4 kabupaten/kota secara subyektif tetapi pelaksaannya hanya terkonfirmasi di 3 kabupaten/kota dan tingkat pemanfaatannya sangat terbatas (skor maksimum adalah 13 yaitu di Lombok Barat).
FUS Tabel 11 di halaman berikut menunjukkan skor obyektif dan subyektif per kabupaten/kota dan per produk hasil FUS
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
32
Tabel 11. Skor per produk dan Kabupaten/kota (FUS). No
Kapupaten
WISN
HRIS
HMIS
Sistem Rujukan
IHPB
Monev
P/ DHA
Desa Siaga
QI-Action Total
50
Skor Subyektif 1
Lombok Barat
25
61
43
54
58
63
38
63
50
2
Lombok Utara
0
50
35
0
51
63
38
56
3
Lombok Tengah
27
72
54
0
54
47
56
76
50
49
4
Lombok Timur
22
54
45
0
42
0
56
75
50
38
5
Sumbawa Barat
0
66
40
0
56
47
56
78
6
Sumbawa
0
76
43
0
53
47
28
70
50
41
7
Dompu
0
70
61
0
40
0
28
36
35
30
8
Bima
0
48
39
0
37
47
56
37
35
33
9
Kota Bima
0
20
18
0
25
47
0
42
22
10
Kota Mataram
33
76
27
0
25
0
28
26
24
Total
11
59
40
5
44
36
39
56
27
37
50
37
37
43
Skor Obyektif 1
Lombok Barat
23
42
37
27
37
33
33
53
2
Lombok Utara
0
35
30
0
32
33
33
48
3
Lombok Tengah
21
50
46
0
34
25
50
64
50
38
4
Lombok Timur
18
37
38
0
27
0
50
64
50
32
5
Sumbawa Barat
0
46
34
0
35
25
50
66
6
Sumbawa
0
53
37
0
34
25
25
61
50
32
7
Dompu
0
49
52
0
25
0
25
29
25
23
8
Bima
0
33
34
0
24
25
50
31
25
25
9
Kota Bima
0
14
15
0
16
25
0
35
12
10
Kota Mataram
27
53
24
0
16
0
25
22
18
Total
9
41
35
3
28
19
34
47
23
28
25
27
Skor obyektif dan subyektif antar kabupate rata-rata sama. Skor subyektif rata-rata 5 sampai 10 poin lebih tinggi daripada skor obyektif. Perbedaan terbesar antara kedua skor sekali lagi terjadi di Lombok Utara dimaka skor subyektifnya 50 dan skor obyektifnya 37. Skor tertinggi terdapat di Lombok Tengah dan Lombok Barat masing-masing dengan skor obyektif 38 dan 37, diikuti Lombok Timur dan Sumbawa dengan skor 32. Kabupaten dengan skor terendah adalah Kota Mataram dan Kota Bima masing-masing dengan skor obyektif 18 dan 12. Rendahnya skor ini karena untuk beberapa produk, skor yang didapatkan nol. Alasan dibalik rendahnya skor di kedua kota dibanding kabupaten lain tidak diperoleh karena berada di luar cakupan survey.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
33
Produk-produk dengan skor tertinggi di tingkat kabupaten adalah HRIS dan Desa Siaga. IHBP tidak lagi masuk dalam daftar produk dengan skor tertinggi di Kabupaten. Pelaksanaan HRIS terbaik adalah di kabupaten Sumbawa, Kota Mataram (walaupun secara umum skor implementasinya rendah) dan Lombok Tengah. Pelaksanaan Desa Siaga terbaik adalah di Sumbawa Barat, serta Lombok Timur dan Lombok Tengah. Sistem Rujukan dan Monev Terpadu tidak lagi mendapatkan skor nol untuk semua Kabupaten/kota secara keseluruhan. Sistem Rujukan telah diterapkan di Lombok Barat. Monev Terpadu juga diterapkan di tujuh dari sepuluh Kabupaten/kota. WISN terus dimanfaatkan di empat Kabupaten/ kota dan skor maksimum untuk implementasinya adalah 27.
Stratifikasi berdasarkan letak geografis Asumsi yang digunakan adalah bahwa semakin jauh letak satu fasilitask kesehatan atau desa dari DKK, semakin rendah skor implementasinya karena DKK dalam peranannya dalam pengaturan, koordinasi, dan pengawasan mudah mempengaruhi fasilitas kesehatan atau desa yang dekat. Namun demikian, hasil BLS menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara Puskesmas dan desa yang jauh dengan yang dekat dengan DKK. Satu-satunya pengecualian adalah pemanfaatan data HMIS untuk proses IHPB dan diakomodasi tidaknya rencana Puskesmas ke dalam rencana kabupaten. Survey menunjukkan bahwa skornya menurun seiring dengan jauhnya jarak DKK dan Puskesmas (p< 0.050). Karena itu, stratifikasi ini tidak diulangi lagi saat dilakukan FUS.
4.3. Integrasi produk ke dalam dokumen perencanaan dan anggaran Dalam survey ini integrasi pemanfaatan produk ke dalam dokumen rencana dan anggaran termasuk dalam tingkat ketiga pemanfaatan produk. Integrasi pemanfaatan produk ke dalam dokumen rencana dianggap sebagai prasyarat bagi keberlanjutan pemanfaatan produk. Namun demikian, karena integrasi ke dalam dokumen perencanaan tidak otomatis berarti bahwa kegiatan tersebut akan dilakukan dan bahwa perlu ada alokasi anggaran untuk implementasi produk, survey ini hanya menganalisa dokumen anggaran. Hasilnya dirujuk sebagai konfirmasi dari responden bahwa anggaran dialokasikan atau tidak dialokasikan untuk implementasi dan pemanfaatan produk lebih lanjut disertai jumlah anggarannya. Ada kemungkinan kesalahpahaman dalam memahami temuan ini karena secara prinsip, tidak semua produk membutuhkan anggaran setiap tahun untuk menjamin keberlanjutannya. Sebagai contoh adalah WISN. Setelah petugas keseahtan dilatih (perlu anggaran untuk transpor, pedoman, tempat pelatihan, narasumber dll), penghitungan kebutuhan petugas dan pembuatan laporan tidak membutuhkan sumber daya lain selain waktu dari petugas. Namun demikian biasanya “tanpa anggaran, tidak ada kegiatan.” Secara umum kedua survey menunjukkan adanya keterbatasan alokasi anggaran untuk implementasi produk dan sulit untuk mendapatkan dokumen alokaso anggarannya. Tabel 12 menunjukkan persentase
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
34
fasilitas Kesehatan yang memiliki alokasi anggaran untuk setiap produk saat pelaksanaan BLS. Tabel 13 menunjukkan hal yang sama tetapi pada saat pelaksanaan FUS. Kebanyakan anggaran masuk dalam mata anggaran yang umum, misalnya anggaran untuk HRIS di RS Provinsi menjadi bagian dari anggaran keseluruhan untuk bagian informasi. Responden menganggap jumlah anggaran tidak cukup untuk pelaksanaan produk secara sempurna. Tabel 12. % Fasilitas Kesehatan dengan anggaran 2010 untuk mendukung implementasi prodik (BLS) Produk
Fasilitas Kesehatan DKP
Subjektif
DPP Obyektif
Subjektif
Rumah Sakit Obyektif
WISN HRIS
100
0
20
10
HMIS
0
0
80
80
Sistem Rujukan
Subjektif
Obyektif
Subjektif
Obyektif
0
0
0
0
0
0 14
8
0
0
30
27
44
32
0
IHPB
100
0
50
40
MONEV
0
0
30
20
P/DHA
0
0
10
0
Puskesmas
0
DESA SIAGA QI-A
29
0
Tabel 13. % Fasilitas Kesehatan dengan anggaran 2011 untuk mendukung implementasi prodik (FUS) Produk
Fasilitas Kesehatan DKP Subjektif
DKK Obyektif
Subjektif
Rumah Sakit Obyektif
WISN HRIS
100
100
20
20
HMIS
100
100
90
80
Referral System
Subjektif
Obyektif
Subjektif
Obyektif
0
0
2
2
0
0 52
32
0
0
60
51
62
56
14
IHPB
0
0
80
80
MONEV
100
100
40
40
P/DHA
0
0
50
50
Puskesmas
14
DESA SIAGA QI-A
29
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
35
29
Dinas Kesehatan Provinsi Hasil BLS menunjukkan bahwa tidak ada anggaran sepesifik yang dialokasikan untuk pemanfaatan produk lebih lanjut. Walaupun responden dari DKP menyatakan bahwa ada alokasi anggaran untuk HRIS, tidak ada bukti alokasi anggaran dimaksud. Namun demikian, setelah memeriksa dokumen anggaran 2011 FUS mandapatkan hasil yang lebih baik dimana ada alokasi anggaran untuk HRIS, HMIS dan Monev Terpadu. Tidak ada anggaran untuk mendukung proses IHPB atau untuk penghitungan P/ DHA.
Dinas Kesehatan Kabupaten BLS menunjukkan hasil berikut: 80% dari DKK memiliki bukti adanya alokasi anggaran untuk HMIS. 40 % memiliki anggaran untuk melaksanakan proses IHBP. Tetapi hanya 20 % (= dua Kabupaten/ kota) yang memiliki alokasi anggaran untuk Monev Terpadu. Tidak ada anggaran di tingkat Kabupaten pada tahun 2010 untuk menghitung DHA. Anggaran yang dialokasikan dianggap responden sebagai kurang memadai. FUS menunjukkan hasil yang lebih baik dalam hal jumlah Kabupaten yang memiliki alokasi anggaran untuk pemanfaatan produk: Jumah Kabupaten/kota yang mengalokasikan anggaran bertambah dua kali lipat untuk HRIS, IHPB dan Monev Terpadu. Lima dari 10 kabupaten/kota memiliki anggaran untuk penghitungan DHA. Sementara itu, persentase Kabupaten yang memiliki anggaran bagi pelaksanaan HMIS masih 80%.
Rumah Sakit BLS tidak menemukan bukti adanya alokasi anggaran untuk melanjutkan pemanfaatan produk manapun. Hal ini mengkonfirmasi jawaban responden, kecuali untuk QI-A. 29% responden yakin bahwa ada anggaran tetapi tidak ditemukan bukti alokasi anggaran tersebut. Namun demikian, FUS menemukan bukti adanya alokasi anggaran pada tahun 2011 untuk implementasi Sistem Rujukan dan QI-Action. Untuk HRIS, di RS Provinsi tidak ada mata anggaran khusus tetapi anggaran yang masuk dalam mata anggaran “Sistem Informasi” dapat digunakan untuk HRIS.
Puskesmas Hasil BLS: hampir sepertiga Puskesmas memiliki bukti obyektif bahwa Desa Siaga terbentuk dan berjalan serta untuk implementasi IHBP yaitu masing-masing 32% dan 27%. Hanya delapan persen Puskesmas yang mempunyai anggaran pada tahun 2010 untuk mendukung kegiatan HMIS. Tidak ada alokasi anggaran untuk WISN dan Sistem Rujukan. FUS berhasil mendapatkan bukti adanya alokasi anggaran spesifik untuk melanjutkan pemanfaatan produk-produk. Tiga Puskesmas (2%) tidak memiliki anggaran untuk memanfaatkan WISN, empat kali lipatnya Puskesmas dibanding BLS (32%) memiliki anggaran untuk penerapan HMIS, Jumlah Puskesmas yang memiliki anggaran untuk IHBP bertambah hampir dua kali lipat (dari 27 menjadi 51%) dan lebih dari setengah jumlah Puskesmas memiliki anggaran untuk Desa Siaga (56%). Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
36
4.4. Input untuk perencanaan, rencana aksi & perubahan kebijakan Kedua survey juga mengkaji apakah informasi yang dihasilkan oleh produk digunakan untuk perencanaan, digunakan untuk merubah kebijakan, menyusun tindakan aksi yang kongkrit atau merubah situasi yang ada. Kajian ini dianggap sebagai tingkatan keempat pemanfaatan produk.
BLS BLS hanya menemukan sedikit bukti produk menghasilkan informasi yang digunakan dalam proses perencanaan. Ada 29 contoh konkrit: •
Hasil WISN digunakan untuk perencanaan SDM di satu dari 6 Puskesmas di Lombok Barat.
•
Data HRIS digunakan untuk perencanaan SDM dan pengembangan kapasitas petugas di empat dari sepuluh DKK (40%), yaitu Kota Mataram, Lombok Timur, Sumbawa Barat dan Sumbawa.
•
Informasi dari HMIS digunakan untuk perencanaan di dua dari 10 DKK (20%), yaitu DKK Lombok Tengah dan Dompu serta di beberapa Puskesmas: satu dari enam Puskesmas di Lombok Barat, tiga dari delapan di Lombok Tengah, tiga dari sepuluh di Lombok Timur, dua dari lima di Sumbawa Barat, tiga dari tujuh di Bima dan dua dari tujuh Puskesmas di Dompu.
•
Hasil DHA digunakan untuk proses perencanaan di delapan dari 10 DKK (80%), kecuali Kota Mataram dan Lombok Utara.
Tidak ada produk yang membantu merubah kebijakan yang ada. BLS mengumpulkan 81 contoh kongkrit dari rencana aksi dan perubahan. Perubahan diformulasikan sebagai perbaikan terhadap proses yang sudah ada. •
Informasi yang dihasilkan HRIS mempermudah promosi di DKK Mataram.
•
DKK Loteng dan Dompu memanfaatkan data HMIS untuk membuat table dan grafik untuk kegiatan advokasi dan promosi. Semua responden Puskesmas, kecuali di Kota Mataram, mengkonfirmasi bahwa mereka menggunakan data HMIS sebagai input untuk promosi dan advokasi, untuk respon yang lebih baik dan lebih cepat kalau ada KLB, dan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.
•
Peran IHPB dalam meningkatkan proses perencanaan dan penganggaran dianggap besar di 3 dari 10 DKK (30%) dan di 5 DKK peranannya dianggap kecil.
•
DHA: 8 dari DKK (80%) menunjukkan bagaimana hasil DHA digunakan untuk advokasi; 4 dari 8 DKK mengkonfirmasi bahwa advokasi memiliki efek sedang terhadap alokasi anggaran, khususnya anggaran KIA.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
37
FUS Walaupun FUS lebih banyak diarahkan kepada tingkat ini, interview yang dilakukan sulit mengangkat bukti kongkrit pemanfaatan tingkat keempat. FUS menemukan menemukan 35 bukti konkrit produk yang menghasilkan informasi yang digunakan dalam proses perencanaan: •
WISN: Empat fasilitas Kesehatan (dari 70) menggunakan hasil WISN sebagai input untuk perencanaan petugas: RS Kabupaten Lombok Timur merupakan satu-satunya rumah sakit yang menggunakannya ditambah tiga Puskesmas.
•
HRIS: Sejak bulan Juni 2010 tidak ada bukti DKK menggunakannya, hanya Rumah Sakit Bima yang menunjukkan bukti bahwa data HRIS digunakan untuk perencanaan petugas.
•
HMIS: DKK Lombok Barat dan Lombok Utara menggunakan informasi dari HMIS untuk perencanaan, 28 dari 63 Puskesmas menunjukkan bukti penggunaan data HMIS untuk perencanaan.
Di antara kesembilan produk, tidak ada satupun yang membawa perubahan terhadap kebijakan yang sudah ada. FUS mengumpulkan 78 contoh kongkrit rencana aksi dan perubahan. Tetapi perubahan-perubahan tersebut diformulasikan oleh responden sebagai perbaikan proses dan menyebutnya “praktek yang baik”. Tidak ada bukti keberadaan rencana aksi.
4.5. Hasil Kualitatif Untuk setiap produk, tim survey menanyakan faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan produk dan yang penting bagi pemanfaatan berkelanjutan. Faktor-faktor yang diangkat oleh responden merupakan persyaratan-persyaratan umum yang dibutuhkan serta persyaratan-persyaratan khusus bagi fasilitas tertentu. Bagian 4.2 mengungkapkan faktor-faktor spesifik. Bagian ini memberikan gambaran secara menyeluruh tentang semua faktor yang diangkat responden, yang telah dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor sukses dan faktor gagal. Faktor gagal yang diangkat biasanya adalah kurang atau tidak adanya faktor sukses atau sebaliknya. Responden lebih banyak mengemukakan faktor gagal daripada faktor sukses. Dari 1143 faktor yang diangkat dalam BLS, 491 merupakan faktor sukses (43%) dan 652 merupakan faktor gagal (57%). FUS mengumpulkan 800 faktor dimana 374 (47 %) merukakan faktor sukses dan 426 (53 %) merupakan faktor gagal.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
38
Faktor Sukses Faktor sukses yang paling banyak diangkat bagi pemanfaatan produk adalah manfaat yang dirasakan pengguna, kontribusi dari produk terhadap pencapaian tujuan kerja yang lebih baik dan efisien. Jika produk membawa efisiensi waktu bagi petugas, mereka bersedia memanfaatkannya. Jika sebuah instrumen mudah dipahami dan berjalan dengan baik, misalnya sebuah software, mereka antusias menerapkannya. Komitmen dan motivasi pejabat di tingkat yang lebih tinggi bisa mendorong petugas di bawah untuk memanfaatkan instrumen. Walaupun manfaat setiap produk diakui secara luas dan dengan mudah disebutkan responden, jika terlalu banyak faktor gagal misalnya tidak adanya kerangka hukum, anggaran dll, manfaat yang dirasakan itu serta komitmen yang kuatpun tidak akan memastikan pemanfaatan produk.
Faktor Gagal Tantangan atau hambatan pemanfaatan produk dapat dikelompokkan ke dalam kategori-kategori berikut ini:
•
Faktor keuangan: kurang atau tidak adanya alokasi anggaran untuk implementasi misalnya untuk pertemuan, infrastruktur, kunjungan supervisi dan pelatihan. Tidak harmonisasi antara fasilitas bebeda untuk pemanfaatan produk yang sama dan kurangnya sinkronisasi dalam pencairan anggaran. Tidak ada insentif terkait dengan pemanfaatan produk.
•
Faktor Sumber Daya Manusia (SDM): kurangnya petugas yang kompeten untuk memanfaatkan produk. Terlalu seringnya rotasi petugas dan pensiunnya petugas yang paham dengan pemanfaatan produk. Tidak ada kultur untuk serah terima yang memadai atau mempertahankan memori institusi. Produk dianggap sebagai beban tambahan, sehingga petugas tidak memiliki cukup waktu untuk memanfaatkan produk. Kurangnya rasa kepemilikan, tidak ada orang yang secara khusus bertanggung jawab terhadap produk. Pelatihan: tidak semua peugas yang dilatih untuk memanfaatkan produk, materi pelatihan tidak selalu sesuai dengan rincian produk, pemecahan masalah seringkali tidak masuk dalam materi pelatihan.
•
Faktor Teknis: infrastruktur yang tidak memadai untuk mendukung pemanfaatan produk: perangkat keras tidak memadai (komputer, scan virus dan kapasitas server), software bermasalah, terlalu seringnya masalah pemadaman listrik, dan koneksi internet yang terbatas. Penerapan beberapa produk dianggap rumit dan sulit. Tidak cukupnya dukungan pedoman teknis dan produk tidak mudah disesuaikan dengan format yang sudah ada. Produk tidak kompatibel, tidak fleksibel dan tidak responsif terhadap perubahan kalau misalnya ada permintaan dari pengambil keputusan (HMIS, HRIS dan IHPB dianggap tidak berguna kalau ada perubahan format resmi dan terlalu sulit melakukan penyesuaian).
•
Faktor Hukum: ketiadaan dasar hukum atau kerangka hukum bagi implementasi produk dan bagi
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
39
kerjasama antar berbagai tingkatan berbeda dan antar bagian berbeda misalnya keharusan dan ijin memanfaatkan produk, serta berbagi data yang tepat waktu dan memadai. Hasil yang didapatkan di tingkat bawah (produk yang dihasilkan lewat pendekatan bottom-up) tidak dapat digunakan untuk pengambilan keputusan karena keputusan diambil di tingkat atas menggunakan sistem yang sudah ada. Kebijakan yang tidak jelas. •
Faktor Organisasi: Kurangnya koordinasi, kurangnya komunikasi dan sosialisasi, ketidaksediaan untuk bekerja sama antar berbagai tingkatan atau antar unit, kurang rasa kepemilikan.
•
Faktor Masyarakat: Kurangnya kesadaran akan masalah kesehatan. Penolakan atau keterlambatan mencari pertolongan kesehatan. Tradisi setempat yang sulit diabaikan. Daerah yang terpencil.
•
Faktor sikap dan budaya: kurangnya perhatian dan minat terhadap data bermutu. Ketidakjujuran dalam penyediaan data. Tidak adanya transparansi anggaran. Ketakutan akan produk baru atau perubahan. Sistem yang sudah ada dianggap lebih baik. Tidak dipandang perlu adanya inovasi atau perubahan.
4.6. Keterbatasan Survey Survey ini merupakan survey fasilitas terbatas. Hanya produk GIZ yang dikaji. Sistem yang sudah ada yaitu sistem yang tidak mendapat dukungan proyek misalnya sistem rujukan, HMIS dll tidak dikaji. Karena itu, hasil ini tidak merefleksikan kinerja sistem kesehatan dalam hal pelayanan yang diberikan, kompetensi, dan mutu. Hanya informan kunci yang diwawancarai untuk memastikan bahwa didapatkan sebanyak mungkin informasi tentang produk. Tidak diminta umpan balik dari pasien atau petugas lain. Kesadaran, pengetahuan dan persepsi mereka tentang produk tidak dikaji. Formulasi indikator proyek tidak terlalu teliti diformulasikan. Dikatakan bahwa “pada akhir proyek sekurang-kurangnya 80 % fasilitas Kesehatan di ke-10 kabupaten di NTB memberi konfirmasi bahwa mereka memanfaatkan pedoman-pedoman yang didukung proyek [sebelumnya].” Tidak disebutkan dengan pasti pedoman mana yang dimaksudkan dan berapa banyak fasilitas Kesehatan yang dimaksudkan. Karena itu, diambil keputusan untuk mengkaji sembilan produk di sejumlah fasilitas yang secara statistik bisa mewakili seluruh fasilitas di NTB. Skor obyektif kadang-kadang merendahkan tingkat pemanfaatan produk karena tidak dapat ditunjukkannya bukti saat wawancara. Alasan apapun yang diberikan untuk ketidakmampan menunjukkan bukti atau pun hanya konfirmasi lisan tidak dianggap sebagai bukti yang cukup.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
40
Interval waktu antara BLS dan FUS hanya 11 bulan sehingga terlalu pendek untuk menilai dampak dari sebuah proyek yang mendukung kebijakan. Namun demikian, survey ini tidak dapat dilaksanakan pada waktu yang lain karena masa kerja PAF di NTB hanya mulai January 2010 sampai Juni 2011.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
41
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
42
5. Interpretasi Hasil
Proyek GIZ sebelumnya yaitu SISKES dan HRD mengeluarkan cukup banyak sumber daya baik waktu, keuangan, sumber daya manusia dan keahlian untuk pengembangan produk. Penyediaan instrumen, pedoman praktis, sistem informasi dan produk merupakan bagian dari rencana strategis komprehensif untuk memperkuat sistem kesehatan kabupaten dan sistem pengembangan dan pengelolaan SDM. Selama proyek, diciptakan kondisi yang baik untuk pelaksanaan dan keberlangsungan implementasi produk: produk dirancang dan dikembangkan dalam kerjasama erat dengan mitra untuk memastikan adanya rasa kepemilikan dan pengintegrasian ke dalam sistem yang sudah ada;
produk-produk
yang dihasilkan merupakan perbaikan atau adaptasi dari mekanisme yang sudah ada; produk tidak dipandanga sebagai sesuatu yang berdiri sendiri tetapi dipandang sebagai instrumen yang bersamasama mendukung pencapaian tujuan yang lebih tinggi, yaitu stragi AKINO di NTB; dilakukan lokakarya demi mendapatkan komitmen dari pengambil keputusaan yang lebih tinggi di provinsi dan Kabupaten untuk memanfaatkan produk. Dokumen pencapaian akhir SISKES dan HRD terkait pemanfaatan produk di NTB pada umumnya sangat baik. Namun demikian, BLS dan FUS yang dilaksanakan masing-masing 5 dan 16 bulan setelah proyek berakhir tidak dapat mengkonfirmasi pemanfaatan instrumen secara berkelanjutan. Hasil BLS dan FUS dianggap mengecewakan tetapi realistik. Mengapa hasilnya rendah? Survey yang dilakukan hanya memilih beberapa produk kunci dan hanya orang kunci yang paham dengan produk dan proyek yang dijadikan responden. Alasan utama rendahnya skor implementasi adalah banyaknya faktor gagal, resistensi terhadap perubahan, dan kesulitan mencapai hasil dan keberlanjutan melalui bantuan lembaga pembangunan serta tuntutan survey yang tinggi akan kesempurnaan penerapan produk (untuk mendapatkan skor 100).
Terlalu Banyak Faktor Gagal Tidak diragkan bahwa faktor gagal utama adalah tidak adanya kerangka hukum untuk institusionalisasi produk ke dalam sistem. Kerangka hukum tersebut akan membantu mendukung pemanfaatan produk baru dan meninggalkan mekanisme yang lama. Tanpa peraturan dan perundangan, petugas tidak akan mau berubah. Fokus Consolidation Program 2010-2011 adalah mengkonsolidasi apa yang telah dimulai SISKES dan HRD melalui dukungan kebijakan di tingkat provinsi yang dikaitkan dengan tingkat pusat. Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
43
Namun demikian, jangka waktu 1.5 kegiatan di NTB terlalu singkat untuk merubah cara pandangan mitra dari implementasi kepada kebijakan dan kerangka hukum daerah (keputusaan, Perda atau Pergub) demi memperluas pemanfaatan produk. Proses kebijakan mulai dari penyusunan draft peraturan sampai persetujuan dan diseminasi bisa memerlukan waktu lebih dari 1.5 tahun. Lembaga dukungan pembangunan di tingkat provinsi maupun Kabupaten/kota di NTB pada umumnya bekerja pada level implementasi dan mitra tidak terbiasa bekerja pada level kebijakan. Kendala Sumber Daya Manusia merupakan faktor terpenting kedua yang menyebabkan rendahnya skor implementasi. Petugas kunci atau petugas terlatih terlalu sering dipindahkan tanpa ada persiapan atau serah terima yang memadai kepada pengganti. Beban kerja juga seringkali tidak terbagi merata sehingga produk baru cenderung menambah beban kerja, terutama saat sistem lama juga masih dipakai. Contoh yang jelas adalah penggantian direktur Rumah Sakit Provinsi di Mataram. Direktur sebelumnya mehamahi proyek dengan sangat baik dan memfasilitasi rumah dakit dalam implementasi strategi dan produk. Dia bahkan mengeluarkan SK Direktur dan Surat Edaran untuk mendorong implementasi dan menyetujui pembentukan kelompok kerja keselamatan pasien. Direktur baru tidak mengetahui bahwa GIZ pernah memperkenalkan produk-produk yang bisa menggantikan sistem lama. Seiring dengan berjalannya waktu, skor implementasi terus menurun dan kembali ke cara lama. Kendala keuangan merupakan faktor gagal lain. Keterbatasan atau ketiadaan alokasi anggaran untuk pemanfaatan produk. Implementasi, perencanaan atau proses pengumpulan data, pemeliharaan, pertemuan dan pelatihan tidak dapat dilaksanakan tanpa anggaran. Tetapi anggaran tidak mungkin ada kalau kegiatan-kegiatan tersebut tidak tercantum dalam perencanaan. Produk yang digunakan di fasilitas berbeda Products membutuhkan pencairan dana yang terkoordinir dan sejalan di antara masing-masing fasilitas sehingga implementasi berjalan lancar. Jika pemanfaatan instrumen merupakan keharusan hukum, maka integrasi dari produk ke dalam perencanaan dan penganggaran akan lebih mudah. Survey ini menunjukkan bahwa faktor gagal seringkali terkait satu dengan yang lain (interdependen) dan bahwa terlalu banyak faktor gagal yang terjadi sekaligus sehingga satu produk sulit diimplementasi secara penuh. Faktor-faktor ini dan akibat-akibatnya mengindikasikan lemahnya kerangka struktur dan manajerial sistem Kesehatan dan kompleksitas yang harus dihadapi saat memperkenalkan mekanisme, produk, atau instrumen baru ke dalam sistem yang sudah ada.
Ketakutan akan Perubahan Sudah diketahui dan dianggap lazim kalau orang cenderung takut perubahan dan bertahan pada apa yang mereka tahu dan terima. Namun demikian, produk-produk yang dikaji di sini dikembangkan
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
44
untuk membawa perbaikan kepada sistem Kesehatan. Kenyataannya hanya sedikit bukti yang dapat dikumpulkan yang menunjukkan tercapainya tujuan produk-produk tersebut. Beberapa produk seperti HMIS, WISN dan HRIS, dianggap sebagai produk “Bottom-up” karena menghasilkan informasi yang di tingkat Puskesmas dan Rumah Sakit yang juga dapat digunakan untuk pengambilan keputusan di tingkat DKK dan DKP. Seringkali informasi ini diabaikan dan tidak sampai ke tingkat kebijakan atau pengambil keputusan. Keputusan-keputusan dibuat menggunakan mekanisme lama dan produk yang dikembangkan gagal membawa perubahan.
Kerumitan Kegiatan Berkelanjutan Lembaga-lembaga pembangunan biasanya membutuhkan hasil yang cepat, terlihat dan nyata. Produk, pedoman, buku, pedoman teknis dan pelatihan seringkali dianggap penting untuk menunjukkan tentang apa yang dilakukan kepada donor yang mendukungnya. Menjamin berkelanjutan pelaksanaan dari produk-produk ini pasca proyek seringkali menjadi tantangan besar seperti ditunjukkan kedua survey. Di samping itu, ada bahaya bahwa produk dan instrumen baru menciptakan duplikasi, menambah beban kerja petugas dan menambah beban administrasi. Tampaknya kedua proyek GIZ sebelumnya bukan pengecualian dari temuan-temuan ini dan ada pelajaran yang dapat kita petik untuk perancangan dan intervensi di masa depan (lihat bagian 6). Namun demikan, produk-produk dikembangkan sebagai instrumen untuk mencapai standar tertentu yang berkontribusi terhadap penguatan sistem Kesehatan dan meningkatkan manajeman dan mutu pelayanan kesehatan. Mempertahankan standar tersebut diperlukan sumber daya manusia dan keuangan, perencanaan dan upaya Monitoring dan Evaluasi. Sebuah proyek dapat digunakan untuk mengembangkan instrumen dan standar berdasarkan keahlian internasional, tetapi dibutuhkan upaya untuk mempertahankannya dalam hal anggaran, integrasi ke dalam dokumen perencanaan dan anggaran serta institusionalisasi. Dukungan kebijakan adalah sebuah keharusan untuk mencapai hal ini.
Dituntut Kesempurnaan Alasan lain bagi rendahnya skor, khususnya terkait dengan perbedaan signifikan keberadaan produk yang dinyatakan dalam persentase dan tingkat dan mutu pemanfaatannya yang dinyatakan dengan skor, adalah tuntutan metodologi yang terlalu tinggi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk menghitung ketersediaan produk di fasilitas Kesehatan hanya perlu dijawab dengan “ya/tidak” dan tidak mengkaji sejauhmana produk dimanfaatkan. Namun untuk menghitung skor pelaksanaan/pemanfaatan, jawaban dibagi menjadi empat tingkatan, yang mengharapkan kesempurnaan dan penilaian yang ketat dari tim survey. Setiap pertanyaan mempunyai 3 atau 4 opsi jawaban untuk mencerminkan tingkatan implementasi atau pemanfaatan (sepenuhnya, sebagian besar, sedikit, dan tidak sama sekali). Semua persyaratan harus dipenuhi untuk mendapatkan skor maksimum dan keempat tingkatan dimaksud dihitung secara hirarkis sehingga satu tingkatan tidak mungkin memiliki skor yang lebih tinggi dari level sebelumnya. Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
45
Tim survey dilatih untuk secara ketat dan teliti memahami situasi yang dianggap sempurna yaitu yang dilambangkan dengan skor 100. Karena itu secara umum persentase lebih tinggi daripada skor. Hal ini juga menjelaskan perbedaan antara nilai obyektif dan nilai subyektif walaupun perbedaan keduanya lebih kecil daripada perbedaan antara persentase dan skor. Dengan memilih responden kunci yang memahami produk diharapkan informasi yang didapat benar dan dapat dibuktikan dengan dokumen atau dikonfirmasi hasil observasi. Seperti dikatakan sebelumnya tim survey melakukan penilaian ketat sehingga jika tidak ada bukti, maka dianggap tidak ada (lihat bagian 4.6). Perbedaan hasil antar fasilitas berbeda dapat dijelaskan dengan cara proyek bekerja dengan setiap fasilitas. Proyek terdiri dari GIZ dan mitra. Untuk NTB, DKP dan DKK adalah mitra pelaksana langsung. Karena itu, kerjasama langsung antara staf GIZ dan DKK menyebabkan hasil yang lebih baik di tingkat DKK. Implementasi, replikasi dan penyebarluasan produk ke Puskesmas, desa dan Rumah Sakit berada di bawah pemerintah daerah. Ada pengecualian terhadap Desa Siaga dimana proyek terlibat langsung dalam implementasi sehingga cukup berhasil. FUS menunjukkan adanya penurunan skor yang terutama karena perpindahan petugas dan tidak adanya kerangka hukum untuk menyebarluaskan produk.
Sedikit atau Tidak Ada Perbedaan antara BLS dan FUS Secara keseluruhan tidak ada perbedaan sifnifikan antara BLS dan FUS antara lain karena interval waktu antara keduanya hanya 11 dan penasehat teknis GIZ masih aktif di NTB untuk institusionalisasi produk melalui dukungan kebijakan dan dukungan teknis untuk implementasi instrumen khususnya Sistem Rujukan, HMIS, HRIS dan WISN. Kalau hasil dibagi per produk atau per jenis fasilitas Kesehatan, maka ada perbedaan signifikan antara BLS dan FUS walaupun kecil, kecuali untuk rumah sakit dan IHPB dengan alasan yang dikemukakan di atas.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
46
6. Pembelajaran
Berdasarkan hasil-hasil di atas dan alasan-alasan di balik keadaan tersebut, sejumlah pembelajaran dapati diambil. Pembelajaran-pembelajaran ini dapat berfungsi sebagai rekomendasi dan masukan bagi intervensi dan pengembangan produk di masa depan. •
Semua faktor yang berpengaruh harus menjadi bahan pertimbangkan dan diantisipasi. Semua kondisi dan persyaratan untuk pemanfaatan produk yang baik harus dipenuhi. Kerangka hukum, anggaran yang cukup dan SDM yang memadai harus ada agar produk dapat dilaksanakan. Tanpa adanya manfaat, maka produk tidak akan digunakan.
•
Sebuah sistem Kesehatan dengan struktur institusi dan manajeman yang lemah tidak akan memfasilitasi integrasi dan pemanfaaan produk baru dan tidak dapat memastikan keberlanjutannya.
•
Produk yang menghasilkan data dan bukti di fasilitas Kesehatan yang berada di bawah (Bottom-up) memerlukan komitmen dan dukungan dari tingkat yang lebih tinggi; kalau tidak produk tidak akan membawa perubahan.
•
Jangka waktu kurang dari dua tahun terlalu pendek untuk menciptakan struktur hukum demi institusionalisasi produk. Hal ini harus dibangun sejak produk mulai dikembangkan.
•
Kepemilikan penuh harus diciptakan atau didorong sejak awal. Produk-produk yang dikembangkan proyek memiliki banyak resiko yaitu: produk dibuat karena adanya tekanan donor untuk mendapatkan hasil yang cepat, dapat dilihat dan jelas; dapat menciptakan duplikasi dan menambah beban administratif serta beban kerja petugas.
•
Perubahan pola pikir di daerah dari implementasi menuju intervensi kebijakan memerlukan waktu.
•
Walaupun produk-produk mendukung pencapaian tujuan yang lebih tinggi misalnya AKINO di NTB, tidak ada jaminan bahwa produk akan dimanfaatkan secara berkelanjutan.
•
Satu ukuran tidak cocok untuk semua. Produk yang baru dirancang harus kompatibel dengan dan sistem dan format yang sudah ada tanpa memerlukan penyesuaian yang terlalu besar. Disamping itu, produk-produk tersebut harus dapat dengan mudah disesuaikan kalau ada persyaratan baru dari pengambil keputusan, sehingga tidak ditinggalkan.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
47
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
48
7. Kesimpulan Baik proyek SISKES maupun HRD, melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan instrumen yang berguna untuk membantu dinas kesehatan dan fasilitas kesehatan lain meningkatkan manajemen dan sistem pelayanan. Selama proyek berlangsung, cakupan implementasi dan pemanfaatan sangat mengesankan. Consolidation Program memusatkan perhatian pada upaya kebijakan untuk menciptakan kerangka hukum dan peraturan demi mendukung pemanfaatan berkelanjutan dari produk-produk tersebut. Walapun ada berbagai upaya di atas, tingkat implementasi produk tidak dapat dipertahankan dan target 80% fasilitas Kesehatan tidak dapat dicapai. Kedua survey menunjukkan keberadaan kesembilan instrumen di fasilitas kesehatan (BLS 52.9 % dan FUS 55.6%). Kalau mutu pelaksanaan dipertimbangkan dengan menggunakan sistim skor, hasilnya menurun sampai 25.8 saat BLS dan 26.4 saat FUS. Produk dengan skor tertinggi adalah Desa Siaga, HRIS dan IHBP. Pemanfaatan produk tertinggi adalah di tingkat DKK. Lombok Tengah dan Sumbawa adalah dua Kabupaten dengan skor implementasi tertinggi. Survey ini berhasil mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi satu instrumen. Walaupun produk menghasilkan data dan informasi yang bermanfaat dan petugas melihat manfaat penggunaan produk dalam kegiatan mereka, mutu pemanfaatan produk dan sejauh mana produk dan hasil-hasilnya dimasukkan dalam kebijakan masih rendah. Tantangan utama yang diangkat oleh informan kunci adalah tidak adanya kerangka hukum, perpindahan petugas yang terlalu sering tanpa serah terima yang memadai dan alokasi anggaran yang tidak memadai. Ketakutan akan perubahan serta efek lembaga dukungan pembangunan yang memiliki dana, staf dan keahlian yang besar yang bekerja dalam jangka waktu yang pendek ikut berpengaruh terhadap keberlanjutan produk yang dikembangkan.
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
49
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
50
8. Daftar Singkatan
BLS
Survey Data Dasar (Baseline Survey)
DESA SIAGA
Desa Siaga KIA
DKK
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
DKP
Dinas Kesehatan Provinsi
DS
Desa Siaga
FUS
Survei Lanjutan (Follow up Survey)
GIZ
Lembaga Kerjasama Internasional Jerman (nama baru untuk GTZ)
GTZ
Lembaga Kerjasama Teknis Jerman
HMIS
Sistem Informasi Manajemen Kesehatan
HRD
Pengembangan SDM (Human Resources Development)
HRIS
Human Resources Information System
IHPB
Rencana Kerja dan Aggaran Terpadu
KIA
Kesehatan Ibu dan Anak
Monev
Monitoring dan Evaluasi
NTB
Nusa Tenggara Barat
P/DHA
Provincial/District Health Account
P2KT
Perencanaan Penganggaran Kesehatan Terpadu:
PAF
Policy Analysis and Formulation
Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat
QI
Peningkatan Mutu (Quality Improvement)
QI-A
Aksi Peningkatan Mutu (Quality Improvement Action)
RBM
Monitoring Berbasis Hasil (Result Based Monitoring)
RKA
Rencana Kerja dan Anggaran
SDM
Sumber Daya Manusia
SISKES
Sistem Kesehatan
TOR
Kerangka Acuan
WISN
Kebutuhan Staf Berdasarkan Indikator Beban Kerja (Workload Indicators
Staffing Need)
Pemanfaatan Produk & Instrumen Secara Berkelanjutan di Provinsi NTB
51