PEMANFAATAN METAKOGNISI DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA SMA * Theresia Kriswianti Nugrahaningsih** e-mail:
[email protected]
Abstrak Istilah metakognisi diperkenalkan oleh John Flavell, didefinisikan sebagai pemikiran tentang pemikiran (thinking about thinking) atau "pengetahuan seseorang tentang proses kognitifnya”. Dengan metakognisi, seseorang akan "Tahu yang dia tahu dan tahu yang dia tidak tahu" Dengan menggunakan metakognisi seseorang melakukan semua kegiatan dengan penuh kesadaran. Setiap langkah dilakukan dengan penuh pertimbangan. Mereka memperhatikan hubungan antara data dalam masalah dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, mereka meneliti kembali ketepatannya, mereka memecahkan masalah yang kompleks pada langkah-langkah yang lebih sederhana, dan bertanya pada diri sendiri dan mencoba untuk mengklarifikasi pendapatnya. Pemecahan masalah merupakan jantung dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Pemecahan masalah matematika merupakan proses mental yang kompleks yang memerlukan visualisasi, imajinasi, manipulasi, analisis, abstraksi dan penyatuan ide. Dengan adanya RSBI dan SBI, siswa siswa SMA dituntut untuk belajar lebih giat dan mengatur strategi belajar sebaik mungkin. Tidak mustahil, dalam mengatur strategi belajar, siswa melibatkan metakognisi. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan metakognisi siswa SMA dalam pemecahan masalah matematika. Kata kunci: Metakognisi, Pemecahan Masalah Matematika 1. Pendahuluan Dalam era globalisasi, dalam dunia kerja semakin dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan yang mampu bersaing. Tidak hanya sekedar bersaing dalam bentuk pengalaman pendidikan formal, tetapi yang sangat penting adalah kemampuan untuk mendapatkan eksistensi pada dunia
kerja.
Pendidikan nasional
mengemban tugas dalam mengembangkan manusia Indonesia sehingga menjadi manusia yang utuh dan sekaligus merupakan sumberdaya pembangunan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan wahana untuk menyiapkan para siswa agar dapat bersaing pada era global. Makalah ini merupakan bagian dari disertasi Kriswianti (2011). Matematika, yang merupakan salah satu mata pelajaran juga mempunyai andil yang cukup besar dalam mempersiapkan anak didik untuk menjadi sumber daya manusia yang siap bersaing di era global.
Salah satu tujuan diberikannya mata pelajaran
*Disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika **Dosen pada Universitas Widya Dharma Klaten
1
matematika seperti yang tercantum pada kurikulum adalah siswa dapat memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerja sama. Matematika merupakan sarana komunikasi tentang pola-pola yang berguna untuk melatih berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif. Pendidikan matematika mengkaji apa yang ada di benak anak didik waktu sedang mempelajari matematika, apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakannya, kesulitan apa yang terjadi dan segala usaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut. Matematika sebagai wahana pendidikan tidak hanya dapat digunakan untuk mencapai tujuan, misalnya mencerdaskan siswa, tetapi dapat pula untuk membentuk kepribadian siswa serta mengembangkan ketrampilan tertentu (Soedjadi, 2000). Pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian.
Untuk
meningkatkan
kemampuan
memecahkan
masalah
perlu
dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya (KTSP, 2006). Metakognisi diperkenalkan oleh John Flavell (1976), didefinisikan
sebagai
berpikir tentang pemikiran (thinking about thinking) atau "pengetahuan seseorang tentang proses kognitifnya". Metakognisi ialah fungsi eksekutif yang mengelola dan mengontrol bagaimana seseorang menggunakan pikirannya dan merupakan proses kognitif yang paling tinggi dan canggih. Matlin (1994: 256), menyatakan bahwa: Metacognition is our knowledge, awareness and control of our cognitive processes, artinya metakognisi adalah pengetahuan, kesadaran, dan kontrol kita terhadap proses kognitif kita. Lebih lanjut Matlin mengatakan bahwa metakognisi sangat penting dalam membantu seseorang dalam mengatur lingkungan dan menyeleksi strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif selanjutnya. Dalam kaitannya dengan pemecahan masalah matematika, pengetahuan berbagai strategi belajar merupakan hal yang penting untuk diketahui siswa. Strategi belajar melibatkan aktivitas mental siswa, digunakan untuk memperoleh, mengingat dan memperbaiki berbagai macam pengetahuan. Penelitian Josefina Santana menunjukkan bahwa murid yang mempunyai kemampuan untuk berpikir mengenai pemikirannya lebih efektif daripada yang tidak. Sedangkan penelitian McLoughlin dan Hollingworth (2003) menunjukkan bahwa pemecahan masalah yang efektif dapat diperoleh dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan strategi metakognitifnya ketika menyelesaikan soal.
2
Berdasarkan latar belakang, diajukan permasalahan dalam tulisan ini adalah: Bagaimana melibatkan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika SMA untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika?
2. Pembahasan a. Pengertian Metakognisi Istilah metakognisi diperkenalkan oleh John Flavell, seorang psikolog dari Universitas Stanford.pada sekitar tahun1976 dan didefinisikan sebagai berpikir tentang pemikiran (thinking about thinking) atau "pengetahuan seseorang tentang proses kognitifnya (One’s knowledge concerning one’s own cognitive processes)” (Flavell, 1976, p. 232). Matlin (1994: 256), menyatakan bahwa: Metacognition is our knowledge, awareness and control of our cognitive processes, artinya metakognisi adalah pengetahuan, kesadaran, dan kontrol kita terhadap proses kognitif kita. Lebih lanjut Matlin mengatakan bahwa metakognisi sangat penting dalam membantu kita dalam mengatur lingkungan dan menyeleksi strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita selanjutnya. Sedangkan metakognisi menurut Ann Brown (Gama 204), metakognisi merujuk pada pemahaman terhadap pengetahuan, yaitu suatu pemahaman yang dapat digambarkan baik pada penggunaan yang efektif atau uraian yang jelas dari suatu pertanyaan. Memperhatikan definisi aspek metakognisi, yaitu kesadaran dari seseorang atas pengetahuannya sendiri atau pemahaman dari pengetahuannya. Hal ini dapat dikatakan bahwa pebelajar memahami aktivitas kognitif jika dia dapat menggunakannya dan mediskusikan penggunaannya. Metakognisi adalah salah satu kemampuan dimana seakan-akan individu berdiri di luar kepalanya dan mencoba merenungkan cara dia berfikir atau proses kognitif yang dilakukan. Dari beberapa pengertian metakognisi tersebut dapat dibuat batasan tentang metakognisi yaitu pengetahuan, kesadaran, dan kontrol serta pengelolaan penggunaan pikiran kita terhadap proses kognitif kita, sehingga seakan-akan kita berdiri di luar kepala kita dan mencoba merenungkan cara kita berpikir atau proses kognitif yang kita lakukan. Metakognisi adalah kesadaran seseorang terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam mengembangkan perencanaan, memonitor pelaksanaan dan mengevaluasi suatu tindakan. Jadi dengan metakognisi, seseorang akan "Tahu yang kamu tahu dan tahu yang kamu tidak tahu" ("Know that you know and know that you do not know")
3
Metakognisi memainkan peran yang penting dalam komunikasi, keyakinan, pemahaman, membaca, menulis, kemahiran berbahasa, memperhatikan, menyimpan, menyelesaikan masalah, kognisi sosial, dan berbagai tipe kontrol diri dan pembelajaran diri. Menurut NCREL dari Strategic Teaching and Reading Project Guidebook. (dalam http://members.iinet.net.au/~rstack1/world/rss/files/metacognition.htm.,1995,) metakognisi terdiri dari tiga elemen dasar, yakni: 1) Developing a plan of action - mengembangkan rencana tindakan 2) Maintaining/monitoring the plan - memonitor rencana tindakan 3) Evaluating the plan - mengevaluasi rencana tindakan Sebelum-Ketika mengembangkan rencana tindakan, tanya pada diri sendiri: 1) Pengetahuan awal apa yang bisa membantuku menyelesaikan tugas ini? 2) Ke arah mana pikiranku ini akan membawaku? 3) Apa yang pertama kali harus aku lakukan? 4) Mengapa aku membaca bagian ini? 5) Berapa lama aku harus menyelesaikan tugas ini? Selama – Ketika memonitor rencana tindakan, tanya pada diri sendiri: 1) Bagaiman aku melakukannya? 2) Apakah aku sudah berada di jalan yang benar? 3) Bagaimana seharusnya aku melanjutkannya? 4) Informasi apa yang penting untuk diingat? 5) Haruskah aku pindah ke cara yang berbeda? 6) Haruskah aku melakukan penyesuaian langkah berkaitan dengan kesulitan? Sesudah – Ketika mengevaluasi rencana tindakan, tanya pada diri sendiri: 1) Seberapa baik yang telah aku lakukan? 2) Apakah wacana berpikir khusus ini akan menghasilkan hasil yang lebih atau kurang dari yang aku harapkan? 3) Apakah aku sudah dapat melakukan dengan cara yang berbeda? 4) Mungkinkah aku menerapkan cara ini untuk masalah yang lain? 5) Apakah aku perlu kembali ke tugas awal untuk memenuhi bagian pemahaman saya yang kurang? Sedangkan metakognisi menurut Hennesey (dalam Sarah Mittlefehldt, 2003: 2), mempunyai karakteristik sebagai berikut:
4
1) Suatu kesadaran mengenai isi dari pemikiran yang dimiliki diri sendiri. 2) Suatu kesadaran mengenai isi dari konsep seseorang. 3) Suatu monitoring aktif mengenai proses kognitif seseorang. 4) Suatu usaha untuk mengatur proses kognitif seseorang dalam hubungannya dengan pelajaran lebih lanjut. 5) Suatu aplikasi satu set heuristik sebagai suatu alat efektif untuk membantu orang-orang mengorganisir metoda mereka pada pemecahan permasalahan secara umum.
b. Komponen metakognisi Menurut Flavel (1992: 4) dalam bukunya “Metacognition and Cognitive Monitoring”,
kemampuan seseorang untuk memantau berbagai macam aktivitas
kognisinya dilakukan melalui aksi dan interaksi antara empat komponen, yaitu: 1) Pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge) 2) Pengalaman metakognisi (metacognitive experiences) 3) Tujuan atau tugas-tugas (goals or tasks), 4) Aksi atau strategi (actions or strategies) Kemampuan seseorang untuk mengendalikan kognisinya tergantung pada tindakan dan interaksi antar komponen tersebut. Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan seseorang mengenai proses berpikirnya yang merupakan perspektif pribadi dari kemampuan kognitifnya dibandingkan dengan kemampuan orang lain. Pengalaman metakognitif adalah pengalaman kognitif atau afektif yang menyertai dan berhubungan dengan semua kegiatan kognitif. Dengan kata lain, pengalaman metakognitif adalah pertimbangan secara sadar dari pengalaman intelektual yang menyertai kegagalan atau kesuksesan dalam pelajaran Tujuan atau tugas mengacu pada tujuan berpikir, seperti membaca dan memahami suatu bagian untuk kuis mendatang, yang akan mencetuskan penggunaan pengetahuan metakognitif dan mendorong ke pengalaman metakognitif baru. Tindakan atau strategi menunjuk berpikir atau perilaku yang khusus yang digunakan untuk melaksanakannya, yang dapat membantu untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh, suatu pengalaman metakognitif dapat mengingatkan bahwa menggambarkan gagasan utama dari suatu bagian pada kesempatan sebelumnya dapat membantu meningkatkan pemahaman.
5
Favell dalam Gama (2004) menyatakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang dan tersimpan di dalam memori jangka panjang, berarti pengetahuan tersebut dapat diaktifkan/dipanggil kembali sebagai hasil dari suatu pencarian memori yang dilakukan secara sadar dan disengaja, atau diaktifkan tanpa disengaja/secara otomatis muncul ketika seseorang dihadapkan pada permasalahan tertentu. Pengetahuan metakognitif dapat digunakan ta npa disadari. Karena itu, pengetahuan yang muncul melalui kesadaran dan dilakukan secara berulang akan berubah menjadi suatu pengalaman, sehingga disebut pengalaman metakognitif.
c. Pemecahan masalah Dalam Pembelajaran Matematika Masalah menurut Hudoyo (1988), suatu soal atau pertanyaan disebut masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab. Dapat terjadi bagi seseorang pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur rutin baginya, namun bagi orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan pengorganisasian pengetahuan yang telah dimiliki secara tidak rutin. Jadi suatu pertanyaan merupakan suatu masalah apabila pertanyaan tersebut menantang untuk dijawab yang jawabnya tidak dapat dilakukan secara rutin. Langkah-langkah pemecahan masalah menurut G. Polya (1997) adalah sebagai berikut: 1) Memahami masalah Apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui, dan apa syarat-syarat yang diketahui. 2) Merencanakan pemecahan masalah. Menemukan hubungan data dengan yang ditanyakan/dibuktikan. Memilih teorema atau konsep yang telah dipelajari untuk dikombinasikan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. 3) Menyelesaikan masalah sesuai rencana Menyelesaikan rencana sesuai dengan yang direncanakan. Periksa masing-masing langkah. Buktikan bahwa langkah-langkah itu benar. 4) Memeriksa kembali hasil yang diperoleh Mencocokan jawaban yang diperoleh dengan permasalahan dan menuliskan kesimpulan terhadap apa yang ditanyakan.
6
d. Proses Metakognisi dalam Memecahkan Masalah Matematika Menurut Schoenfeld (1987) ada tiga cara untuk menerapkan metakognisi dalam menyelesaikan masalah matematika, yakni beliefs and intuitions, knowledge, and selfawareness (self-regulation). 1) Intuisi dan Keyakinan. Ide matematika yang disiapkan dalam menyelesaikan matematika, dan bagaimana cara melakukannya. 2) Pengetahuan seseorang mengenai proses berpikirnya sendiri. Bagaimana seseorang menguraikan pemikirannya secara tepat. Di sini diperlukan pemahaman tentang apa yang diketahui dan bagaimana menyelesaikannya. 3) Kesadaran diri (self awareness), atau pengaturan diri (self regulation). Bagaimana seseorang dapat mengontrol apa yang dilakukan, dan bagaimana ia menggunakan hasil pengamatan untuk menyelesaiakan masalahnya. Berikut indikator penggunaan metakognisi dalam menyelesaikan masalah matematika, sesuai dengan langkah yang diusulkan oleh Polya. Penyelesaian masalah menurut Polya Memahami masalah dengan mengidentifikasi & mengkasifikasi masalah
Memikirkan rencana tindakan, membangun alternatif penyelesaian
Aktivitas Metakognisi Sadar terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam mengembangkan perencanaan, saat memahami masalah Sadar terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam memonitor pelaksanaan saat memahami masalah Sadar terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam mengevaluasi tindakan, saat memahami masalah
Sadar terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam mengembangkan perencanaan, saat memikirkan rencana tindakan
Proses Metakognisi: bertanya pada diri sendiri Apa yang pertama kali harus aku lakukan? Pengetahuan awal apa yang bisa membantuku menyelesaikan tugas ini? Ke arah mana pikiranku ini akan membawaku? Mengapa aku menulis data ini? Mengapa aku menggunakan notasi ini?
Apakah notasi yang digunakan cocok? Apakah syarat cukup untuk menentukan yang tidak diketahui? Atau tidak cukup? Atau berlebihan? Atau berlawanan? Berapa lama aku harus menyelesaikan tugas ini? Apakah aku dapat menemukan hubungan antara data dan yang tidak diketahui? Apakah aku dapat memperoleh sesuatu yang bermanfaat dari data? Apakah aku dapat berpikir tentang data lain yang sesuai untuk menentukan yang tak diketahui ? Apakah aku dapat menggunakan alat bantu jika hubungan tidak bisa ditemukan?
7
Sadar terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam memonitor pelaksanaan saat memikirkan rencana tindakan Sadar terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam mengevaluasi tindakan saat memikirkan rencana tindakan
Melaksanakan rencana tindakan dengan memilih strategi penyelesaian
Mengevaluasi dan meneliti kembali bagaimana penyelesaian terbaik.
Sadar terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam mengembangkan perencanaan, saat melaksanakan rencana tindakan Sadar terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam memonitor pelaksanaan saat melaksanakan rencana tindakan Sadar terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam mengevaluasi tindakan, saat melaksanakan rencana tindakan Sadar terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam mengembangkan perencanaan, saat melakukan evaluasi Sadar terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam memonitor pelaksanaan saat melakukan evaluasi
Sadar terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam
Apakah aku dapat memperoleh rencana pemecahannya dengan cepat? Apakah aku mengetahui adanya masalah yang terkait ? Apakah aku dapat menemukan hubungannya dengan masalah-yang sudah diselesaikan sebelumnya? Apakah teorema ini dapat bermanfaat? Apakah aku dapat merubah data yang tak diketahui sehingga dekat dengan yang diketahui Apakah semua data sudah digunakan? Apakah aku sudah memperhitungkan semua hal yang penting yang terkandung dalam masalah ini? Jika tidak dapat memecahkan masalah yang diusulkan perlukah aku mencoba untuk memecahkan dahulu masalah yang berhubungan. Apakah aku sudah berada di jalan yang benar? Bagaimana seharusnya aku melanjutkannya? Informasi apa yang penting untuk diingat? Bagaiman aku melakukannya?
Apakah langkah ini sudah benar? Haruskah aku pindah ke cara yang berbeda? Haruskah aku melakukan penyesuaian langkah berkaitan dengan kesulitan? Apa saja yang perlu dicek?
Apakah hasilnya sudah benar? Apakah alasannya sudah benar? Seberapa baik yang telah aku lakukan? Apakah yang sudah aku lakukan menghasilkan hasil yang lebih atau kurang dari yang aku harapkan? Apakah aku dapat melakukan dengan cara yang berbeda? Mungkinkah aku menerapkan cara ini untuk masalah yang lain? Apakah aku perlu kembali ke tugas awal untuk memenuhi bagian pemahaman saya yang kurang?
8
mengevaluasi tindakan, saat melakukan evaluasi
Kriswianti (2011) Menurut Dantonio (2001), Pengajaran dengan metakognisi akan: 1. Membantu mengembangkan kekompakan ketrampilan berpikir dan belajar 2. Mendorong rasa percaya diri dan kemandirian siswa 3. Mendorong siswa untuk bisa mengatur sendiri kegiatan belajarnya 4. Meningkatkan keterampilan membuat keputusan dan pengaturan diri mereka sendiri 5. memungkinkan siswa untuk menilai sendiri kualitas pemikiran mereka 6. Meningkatkan rasa tanggung jawab sebagai warga Negara 7. Meningkatkan kesadaran gaya belajar yang lain. 8. Membantu memutuskan strategi mana yang akan digunakan dalam situasi belajar yang bagaimana 9. Memperkokoh ketrampilan ketrampilan pokok dan ketarmpilan ketrampilan yang bisa ‘dijual’ Penelitian ini mengungkap proses metakognisi siswa ketika memecahkan masalah matematika. Dalam memecahkan masalah matematika, langkah-langkah dirinci sesuai langkah-langkah pemecahan masalah menurut teori Polya. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif. Siswa diberi masalah matematika dan diminta mengerjakannya. Pada setiap langkah pemecahan masalah sesuai langkah-langkah pemecahan masalah menurut teori Polya, siswa diwawancara dan diminta untuk menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan dalam mengerjakan masalah tersebut. Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran proses metakognisi. Ungkapan-ungkapan yang disampaikan berupa kata-kata, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang prosedur penelitiannya menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati (Moleong 2007: 6). Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif-eksploratif. Penelitian ini menemukan bahwa profil proses metakognisi siswa dari kelompok kemampuan atas, menengah dan bawah adalah sebagai berikut: a. Siswa dari kelompok kemampuan atas Pada wawancara pertama nampak siswa kelompok atas kurang melibatkan metakognisinya dalam pemecahan masalah. siswa tidak memonitor dan mengevaluasi proses berpikirnya dengan baik, hanya melakukan langkah-langkah penyelesaian sesuai apa yang dipikirkannya sesaat. Hal ini mengakibatkan kesalahan-kesalahan dalam
penyelesaian dan tidak menyadari kalau sudah
melakukan kesalahan. Namun pada wawancara kedua dan ketiga nampak siswa
9
ini sudah melibatkan metakognisinya dengan sangat baik. Siswa dapat melakukan perencanaan, pemantauan dan evaluasi pada setiap langkah pemecahan masalah sesuai langkah-langkah Polya dengan memanfaatkan pengetahuan faktual, pengetahuan prosedural dan pengetahuan kondisional dengan sangat baik. Ketika ditanya mengenai rumus yang digunakan dan mengapa menggunakan rumus tersebut, siswa dapat menjawab dengan runtut dan benar, dengan menggunakan beberapa cara. Bahkan ketika pertama kali menjelaskan asal diperolehnya nilai tangen, disadari kalau cara menjelaskannya kurang tepat, segera menggunakan cara lain sehingga dapat menjelaskan dengan jelas. Kalau ditinjau dari tingkat metakognisi, siswa ini termasuk pada kategori reflective use. b. Siswa pada kelompok kemampuan menengah Untuk memecahkan masalah ini, siswa kelompok kemampuan menengah sudah melibatkan metakognisinya dalam melakukan langkah-langkah Polya dengan merencanakan, memantau dan mengevaluasi proses berpikirnya, namun masih kurang maksimal. Siswa ini tidak memanfaatkan pengetahuan kondisionalnya dengan baik, terbukti pada penyelesaian soal pertama ketika ditanya mengapa menuliskan rumus itu, hanya menjawab “pokoknya begitu”, sedangkan pada penyelesaian soal kedua sudah dapat menjawab dengan memberi alasannya, dengan menggambar kurva sinus, karena paling mudah menggunakan kurva sinus, namun salah menuliskan angka-angkanya. Nampak siswa kelompok kemampuan menengah dapat berpikir metakognitif, tetapi kurang maksimal, sehingga tidak dapat mengungkap pengetahuan awal dengan baik. Kalau ditinjau dari tingkat metakognisi, siswa ini termasuk pada kategori strategic use. c. Siswa Kelompok Kemampuan Bawah Nampak siswa dari kelompok kemampuan bawah, sangat kurang dalam memanfaatkan metakognisinya, sehingga pada waktu memecahkan masalah yang agak
sulit,
yang memerlukan
pengetahuan awal, siswa
tidak
dapat
menghubungkan pengetahuan awal dengan informasi yang ada untuk dapat membantu memecahkan masalah. Siswa tidak membuat perencanaan dengan baik, menyelesaikan masalah hanya dengan prosedural saja. Siswa tidak melakukan pemantauan dan evaluasi dengan baik sehingga tidak menyadari kalau apa yang ditulis pada gambar kurva tidak benar, gambar kurva tidak bermakna. Pada waktu ditanya asalnya darimana dan mengapa melakukan langkah seperti itu, jawabnya adalah “tidak tahu” atau “kata pak guru”. Nampak bahwa siswa
10
tidak melakukan pemantauan terhadap proses berpikirnya. Kalau ditinjau dari tingkat metakognisi, siswa ini termasuk pada kategori tacit use.
3. Saran Berdasarkan hasil penelitian disarankan bahwa: a. Dalam pembelajaran matematika, pada setiap pemecahan masalah, sebaiknya siswa diberi pertanyaan-pertanyaan yang merangsang siswa untuk berpikir dengan melibatkan metakognisinya. Strategi metakognisi tidak perlu diajarkan sendiri, tetapi dapat diajarkan bersamaan dengan pemecahan masalah. Dalam mengajarkan pemecahan masalah, pemahaman konsep sangat diperlukan, kemudian dilanjutkan dengan latihan-latihan pemecahan masalah. b. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah dengan mengikuti 4 langkah Polya karena dapat mengembangkan kemampuan metakognitif siswa, sehingga memupuk sifat teliti, kritis dan terampil dalam mengambil keputusan. c. Pengetahuan tentang metakognisi dalam pemecahan masalah matematika dapat digunakan untuk merancang model atau strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan atau mengoptimalkan kemampuan metakognitif siswa, sehingga tujuan pembelajaran matematika akan tercapai, yakni membuat siswa dapat memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif,
Daftar Pustaka Anderson, J. and David R. Krathwohl, (2001), A Taxonomy for Learning Teaching and Assessing, A Revision of Blooms Taxonomy of Educatinal Objectives, Addison Wesley Longman, Inc USA Arends, Richard I. (2000). Learning to Teach. Central Connecticut State University The McGraw-Hill Companies Inc. Byrnes, James P., 1996, Cognitive Development and Learning in Instructonal Contexts. University of Mariland, Allyn & Bacon Carol McGuinness, Metacognition in Primary classroom: A Pro active learning effectfor children. http://www.sustainablethinkingclassroom.qub.ac.uk Dantonio, and Beisenherz, 2001. The Effect of Metacognitive Strategies on Subsequent Participation in the Midle School Science Classroom http://www.daltonstate.edu/teachinglearning/roleo=fmetacognition.pdf, diunduh tanggal 1 April 2009
11
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (2003). Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar SD, SMP dan SMA, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Flavell. (1979). Metacognition and Cognitive Monitoring. Allyn Bacon Gama, Claudia Amado (2004), Integrating Metacognition Instruction in Interactive Learning Environments, disertasi, University of Sussex Hacker, (1998), http://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htm Hudoyo, Herman, (1988). Mengajar Belajar Matematika, Jakarta Departemen Pendidikan Hollingworth, Rowan W. and Catherine McLoughlin (2001), Developing science students' metacognitive problem solving skills online, Australian Journal of Educational Technology, 17(1), 50-63 Ibrahim, M. (2005). Pembelajaran Berbasis Masalah. Surabaya : University Press Unesa Ibrahim, M dan Nur, M. (2000). Pembelajaran Berdasar Masalah.Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Universitas Negeri Surabaya Kriswianti, Th. (2011). Profil Metakognisi Siswa Kelas Akselerasi Dan Nonakselerasi SMA Dalam Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau Dari Perbedaan Gender. Disertasi UNESA Surabaya Lester , F. Garofalo, J. & Kroll, D. (1989). The Role of Metacognition in Mathematica problem Solving: A study of two grade seven classes. Final report of thee National Science Foundation of NSF project MDR. http://www.gse.berkeley.edu/ Livingston, J. A. (1997), Metacognition: An Overview. http//www.qse.buffao.edu/fas/schuel/cep564.metacog.htm Muisman, IKIP Singaraja, Bali, http://edutechwiki.unige.ch/en/Metacognition NCREL, (1995), Metacognition - Thinking about thinking - Learning to learn http://members.iinet.net.au/metacognition.htm Matlin, M. W. (1998). Cognition. Fort Worth, harteourt Brace College Publisher Paris, Cross dan Lipson (1984) dari "http://edutechwiki.unige.ch/en/Metacognition Polya, G., (1973)"How to Solve It", 2nd ed., Princeton University Press, , ISBN 0-69108097-6. Sarah Mittlefehldt and Tina Grotzer, (2003), Using Metacognition to Facilitate the Transfer of Causal Models in Learning Density and Pressure, Harvard University
12
Schoenfeld, A.H., (1992), Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, and Sense-Making in Mathematics. New York Mac Millan. http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bcb8.pdf Slavin, Robert E. (1994). Educational Psychology: Theory and Practice Fourth Edition. Massachusets: Allyn and Bacon Publishers.