Jurnal Computech & Bisnis, Vol. 10, No 2, Desember 2016, 106-118 ISSN 2442-4943
ANALISIS KESULITAN SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
Ruhyana SDN Sabagi Kecamatan Sumedang, Kabupaten Sumedang E-Mail:
[email protected]
Abstract This article is an analysis of the test results about mathematical problem solving 6th grade elementary school students. The analysis aimed to find out the kinds of difficulties, causes difficulties, and how the handling of student difficulties in solving mathematical problems. From the analysis, teachers are expected to be able to anticipate what factors can make obstacles for students to work on the problems of mathematical problem solving. Keywords: mathematical problem solving.
Abstrak Artikel ini merupakan analisis terhadap hasil test soal pemecahan masalah matematika siswa kelas 6 sekolah dasar. Analisis yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis kesulitan, faktor penyebab kesulitan, dan bagaimana penanganan terhadap kesulitan siswa dalam pemecahan masalah matematika. Dari hasil analisis tersebut, diharapkan guru mampu mengantisipasi faktor apa saja yang dapat menjadikan hambatan bagi siswa dalam mengerjakan soal pemecahan masalah matematika. Kata Kunci: pemecahan masalah matematika.
106
Ruhyana, Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
PENDAHULUAN Pembelajaran matematika di sekolah dasar tidak hanya diarahkan pada peningkatan kemampuan siswa dalam berhitung, tetapi juga diarahkan kepada peningkatan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah (Problem Solving), baik masalah matematika maupun masalah lain yang secara kontekstual menggunakan matematika untuk memecahkannya (Lidinillah, 2008). Sejalan dengan pernyataan tersebut National Council of Teacher of Mathematics di Amerika pada tahun 1989 yang mengembangkan Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics, dimana pemecahan masalah dan penalaran menjadi tujuan utama dalam program pembelajaran matematika di sekolah dasar. Tidak dipungkiri matematika menjadi salah satu mata pelajaran dengan tingkat kesulitan belajar paling banyak yang dialami siswa. Oleh karena itu diperlukan penelurusan lebih dalam terhadap apa saja hambatan belajar yang dialami siswa sehingga siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal matematika terutama soal pemcehan masalah, serta bagaimana cara meminimalisir berbagai hambatan belajar tersebut. Dalam laporan ini, penulis akan mencoba mengidentifikasi beberapa kesulitan yang dialami siswa dalam materi bilangan dan pecahan.
107
Menurut Brousseau (1997) bahwa pada praktiknya, siswa secara alamiah mengalami situasi yang disebut hambatan belajar atau yang dikenal dengan learning obstacle. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor, yaitu hambatan ontogeni (kesiapan mental belajar), hambatan didaktis (pengajaran guru atau bahan ajar), dan epistimologis (pengetahuan siswa yang memiliki konteks aplikasi yang terbatas). Beberapa kesalahan umum yang dilakukan oleh siswa yang berkesulitan dalam belajar matematika menurut Lerner dalam Sugiharto (2003) adalah kekurangan pemahaman tentang : simbol, nilai tempat, perhitungan, penggunaan proses yang keliru dan tulisan yang tidak terbaca. Sedangkan kesalahan siswa dalam mengerjakan matematika merupakan kesalahan dasar, kesalahan dalam pemahaman soal, kesalahan dalam pengambilan keputusan dan kesalahan dalam hal perhitungan. Untuk mengetahui kesulitan siswa dalam mengerjakan soal pemecahan masalah matemtika, sebelumnya penulis melakukan tes diagnosis kepada 30 siswa di salah satu SD di kota Bandung. Dari hasil test tersebut selanjutnya akan dilakukan analisis secara mendalam terhadap kesulitan-kesulitan apa saja yang ditemui siswa dalam mengerjakan soal tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian adalah:
Ruhyana, Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
1. Untuk mengetahui jenis-jenis kesulitan yang dialami siswa dalam mengerjakan soal pemecahan masalah dengan topik bilangan dan pecahan di kelas 6. 2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebakan siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal pemecahan masalah dengan topik bilangan dan pecahan di kelas 6. 3. Untuk mengetahui bagaimana penanganan yang tepat terhadap kesulitan siswa dalam mengerjakan soal pemecahan masalah dengan topik bilangan dan pecahan di kelas. KAJIAN PUSTAKA Masalah dan Pemecahan Masalah Matematika Suatu masalah biasanya memuat situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaiknnya. Jika suatu masalah diberikan kepada seorang anak dan anak tersebut dapat mengetahui cara penyelesainnya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah. Sesuatu dianggap masalah bergantung kepada orang yang menghadapi masalah tersebut disamping secara impilisit suatu soal bisa memiliki karakteristik sebagai masalah. Dalam pembelajaran matematika, masalah dapat disajikan dalam bentuk soal tidak rutin yang berupa
108
soal cerita, penggambaran penomena atau kejadian, ilustrasi gambar atau teka-teki. Masalah tersebut kemudian disebut masalah matematika karena mengandung konsep matematika. Terdapat beberapa jenis masalah matematika, walaupun sebenarnya tumpang tindih, tapi perlu dipahami oleh guru matematika ketika akan menyajikan jenis soal matematika. Menurut Hudoyo & Sutawijaya (1997:191), masalah matematika dapat berupa (1) masalah transalasi, (2) masalah aplikasi, (3) masalah proses, dan (4) masalah teka-teki. Polya (1985) mengartikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu segera dapat dicapai. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ruseffendi (1991) mengemukakan bahwa suatu soal merupakan soal pemecahan masalah bagi seseorang bila ia memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menyelesaikannya, tetapi pada saat ia memperoleh soal itu ia belum tahu cara menyelesaikannya. Dalam kesempatan lain Ruseffendi (1991) juga mengemukakan bahwa suatu persoalan itu merupakan masalah bagi seseorang jika: pertama, persoalan itu tidak dikenalnya. Kedua, siswa harus mampu menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya; terlepas daripada apakah akhirnya ia sampai atau tidak kepada jawabannya. Ketiga, sesuatu itu merupakan pemecahan masalah
Ruhyana, Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
baginya, bila ia ada niat untuk menyelesaikannya. Lebih spesifik Sumarmo et al., (1994) mengartikan pemecahan masalah sebagai kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan Sumarmo tersebut, dalam pemecahan masalah matematika tampak adanya kegiatan pengembangan daya matematika (mathematical power) terhadap siswa. Menurut Polya (1985) dalam bukunya yang berjudul how to solve it, untuk menemukan solusi dari sebuah masalah, maka diperlukan strategi. Strategi itu disebut strategi heuristik. Heuristik adalah suatu langkah-langkah umum yang memandu pemecah masalah dalam menemukan solusi masalah. Langkah tersebut terbagi menjadi 4 tahapan yaitu memahami masalah, perencanaan penyelesaian masalah, melaksanakan perencanaan penyelesaian, dan melihat kembali. a. Memahami Masalah Pelajar seringkali gagal dalam menyelesaikan masalah karena semata-mata mereka tidak memahami masalah yang dihadapinya. Atau mungkin ketika suatu masalah diberikan
109
kepada anak dan anak itu langsung dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan benar, namun soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah. Untuk dapat memahami suatu masalah yang harus dilakukan adalah pahami bahasa atau istilah yang digunakan dalam masalah tersebut, merumuskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, apakah informasi yang diperoleh cukup, kondisi/syarat apa saja yang harus terpenuhi, nyatakan atau tuliskan masalah dalam bentuk yang lebih operasional sehingga mempermudah untuk dipecahkan. Kemampuan dalam menyelesaikan suatu masalah dapat diperoleh dengan rutin menyelesaikan masalah. Berdasarkan hasil dari banyak penelitian, anak yang rutin dalam latihan pemecahan masalah akan memiliki nilai tes pemecahan masalah yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang jarang berlatih mengerjakan soalsoal pemecahan masalah. Selain itu, ketertarikan dalam menghadapi tantangan dan kemauan untuk menyelesaikan masalah merupakan modal utama dalam pemecahan masalah. b. Perencanaan Penyelesaian Masalah Memilih rencana pemecahan masalah yang sesuai bergantung dari seberapa sering pengelaman kita menyelesaikan masalah sebelumnya. Semakin sering kita
Ruhyana, Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
mengerjakan latihan pemecahan masalah maka pola penyelesaian masalah itu akan semakin mudah didapatkan. Untuk merencanakan pemecahan masalah kita dapat mencari kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi atau mengingat-ingat kembali masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan sifat / pola dengan masalah yang akan dipecahkan. Kemudian barulah menyusun prosedur penyelesaiannya. c. Melaksanakan Perencanaan Penyelesaian Masalah Langkah ini lebih mudah dari pada merencanakan pemecahan masalah, yang harus dilakukan hanyalah menjalankan strategi yang telah dibuat dengan ketekunanan dan ketelitian untuk mendapatkan penyelesaian. d. Melihat Kembali Kegiatan pada langkah ini adalah menganalisi dan mengevaluasi apakah strategi yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada strategi lain yang lebih efektif, apakah strategi yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah sejenis, atau apakah strategi dapat dibuat generalisasinya. Ini bertujuan untuk menetapkan keyakinan dan memantapkan pengalaman untuk mencoba masalah baru yang akan datang. Kesulitan Belajar Matematika Kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal matematika
110
dapat diduga dari kesalahankesalahan dalam mengerjakannya. Menurut Davis dan McKillip dalam Suryanto, kesalahan dalam memecahkan masalah atau soal matematika ada yang disebabkan oleh kecerobohan, ada yang disebabkan oleh masalah belajar. Sedangkan menurut Wood (2007) bahwa beberapa karakteristik kesulitan siswa dalam belajar matematika adalah : (1) kesulitan membedakan angka, simbol-simbol, serta bangun ruang, (2) tidak sanggup mengingat dalil-dalil matematika, (3) menulis angka tidak terbaca atau dalam ukuran kecil, (4) tidak memahami simbol-simbol matematika, (5) lemahnya kemampuan berpikir abstrak, (6) lemahnya kemampuan metakognisi (lemahnya kemampuan mengidentifikasi serta memanfaatkan algoritma dalam memecahkan soalsoal matematika). Sedangkan menurut Radatz (1979) kesalahan yang sering dilakukan siswa adalah kesalahan dalam penggunaan bahasa matematika dengan bahasa seharihari, kemampuan dalam keruangan, kemampuan dalam penguasaan prasyarat, kesalahan dalam penguasaan teori, dan kesalahan dalam penerapan aturan yang relevan. Diagnosis Kesulitan Belajar Menurut Thorndike dan Hagen yang dikutip oleh Sugiharto (2003) diagnosis dapat diartikan sebagai berikut: (1) Upaya atau proses menemukan kelemahan atau
Ruhyana, Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
penyakit apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi yang seksama mengenai gejala gejalanya, (2) Studi yang seksama terhadap fakta sesuatu hal untuk menemukan karakteristik atau kesalahan kesalahan dan sebagainya yang esensial, (3) Keputusan yang dicapai setelah dilakukan studi yang seksama atas gejala gejala atau fakta tentang suatu hal. Tes diagnostik ini dapat dilaksanakan dengan cara lisan, tertulis, perbuatan atau kombinasi ketiganya. Tes diagnostik ini untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal matematika yang dipandang dari aspek kognitif : (1) recall factual knowledge (C1), yaitu pengetahuan mengingat fakta, terbatas pada pertanyaan-pertanyaan yang hanya membutuhkan ingatan tentang definisi-definisi, rumus tanpa melakukan perhitungan, (2) perform mathematical manipulation (C2), yaitu melakukan manipulasi matematika dalam penyelesaian soal tanpa dibatasi bagaimana cara menyelesaikannya, (3) solve Rutin problem (C3), yaitu menyelesaikan soal-soal rutin dengan diberikan batasan penyelesaiannya, (4) demonstrated comprehension of mathematical ideas and concepts (C4), yaitu menampilkan pemahaman gagasan-gagasan serta konsep-konsep matematika, dalam hal ini siswa dituntut tidak hanya memutuskan apa yang harus dikerjakan tetapi juga bagaimana
111
cara mengerjakannya, (5) solve nonroutine problems requiring insight or ingenuity (C5), yaitu menyelesaikan masalah non rutin yang memerlukan pengertian yang mendalam, siswa dituntut mengembangkan tekniknya sendiri dalam menyelesaikan soal yang mungkin tidak ditemukan dibuku catatan dan (6) aplly higher mental processes to mathematics (C6), yaitu menggunakan proses mental yang tinggi, yaitu menyangkut evaluasi, pembuktianrumus, induksi, penarikan kesimpulan (Gronlund,1971). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tes diagnosis tertulis berupa soal uraian berjumlah 4 soal. Topik yang digunakan adalah mengenai bilangan dan pecahan. Masalah yang diangkat dalam soal terdiri dari masalah rutin dengan tingkat kesukaran sedang dan soal non rutin yang memerlukan penyelesaian yang mungkin belum pernah siswa temukan di buku catatan. ANALISIS DAN IDENTIFIKASI KESALAHAN Berikut ini disajikan contoh–contoh jawaban salah yang dikerjakan oleh siswa. Setelah diidentifikasi menurut jenis kesalahannya, selanjutnya diidentifikasi menurut kesulitan yang diduga menjadi penyebab atau sumber terjadinya kesalahan yang berupa kesulitan dalam memahami atau menggunakan simbol, menggunakan proses yang tepat, menguasai konsep dan prasyarat,
Ruhyana, Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
menggunakan bahasa, menerapkan aturan yang relevan, ketelitian, perhitungan atau komputasi, mengingat, memahami maksud soal, memahami keputusan, memahami fakta, mengaitkan konsep dengan fakta. Soal nomor 1 Roni mempunyai 5 bungkus permen. Setiap bungkus berisi 12 permen. Berapa banyak permen Roni semuanya? Jawaban yang diharapkan adalah: 5 x 12 = 60 permen Jawaban yang muncul dari siswa:
Gambar 1. Contoh kesalahan jawaban siswa pada nomor 1
Gambar 2. Contoh kesalahan jawaban siswa pada nomor 1
Kemungkinan kesulitan yang muncul sehingga mengakibatkan kesalahan menjawab adalah: a. Siswa tidak memahami kalimat matematika yang terkandung dalam soal cerita tersebut (verbal). b. Siswa tidak menguasai konsep prasyarat atau mungkin lupa mengenai operasi perkalian. Kebanyakan siswa mampu untuk mengerjakan soal nomor 1. Tapi ada
112
beberapa siswa yang belum memberikan jawaban seperti yang diharapkan. Hal tersebut bisa disebabkan kemampuan verbal siswa untuk mencerna kalimat soal cerita menjadi kalimat matematika masih rendah. Namun ada juga yang dimungkinkan karena prasyarat yang dimiliki kurang terutama dalam perkalian sehingga menjadikan pemahaman konsep materi pada perkalian dua bilangan menjadi tidak paham. Untuk dapat memahami konsep perkalian dua bilangan atau lebih maka siswa harus memiliki kemampuan konsep prasyarat antara lain sebagai berikut : kemampuan memahami konsep penjumlahan, konsep perkalian, konsep perkalian dua bilangan dengan cara bersusun. Pembelajaran yang dilakukan agar nantinya siswa lebih memahami perkalian pada bilangan bulat adalah dengan lebih menekankan pada fakta dasar perkalian. Penguasan fakta dasar perkalian merupakan kunci agar siswa mampu mengerjakan operasi hitung perkalian. Metode yang bisa diterapkan untuk mengajarkan fakta dasar pada anak salah satunya dengan metode drill. Setelah siswa menguasai fakta dasar perkalian, konsep selanjutnya adalah perkalian secara bersusun. Sebaiknya guru juga lebih memperhatikan kondisi siswa, dalam hal ini kemampuan yang dimiliki siswa, sehingga guru dapat memilih suatu metode pembelajaran yang tepat yang mengakibatkan pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dan yang
Ruhyana, Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
tidak kalah penting adalah membiasakan siswa untuk mengerjakan soal-soal cerita yang sesuai dengan konteks siswa. Soal nomor 2 Ani dan Susi masing-masing memiliki pita. Pita milik Ani lebih panjang 30cm daripada pita Susi. Jika panjang pita Ani adalah 1,5 meter, berapakah panjang pita Susi Jawaban yang diharapkan adalah:
1,5 m = 150 cm Pita Ani = Pita Susi + 30 cm Sehingga: Pita Susi = Pita Ani – 30 = 150 – 30 = 120 cm Jawaban yang muncul dari siswa
Gambar 3. Contoh kesalahan jawaban siswa pada nomor 2
Gambar 4. Contoh kesalahan jawaban siswa pada nomor 2
Kemungkinan kesulitan yang muncul sehingga mengakibatkan kesalahan menjawab adalah:
113
a. Siswa tidak memahami kalimat matematika yang terkandung dalam soal cerita tersebut (verbal). b. Siswa tidak menguasai materi prasyarat mengenai konversi satuan panjang. Soal nomor dua merupakan soal operasi hitung yang sederhana. Namun dari beberapa jawaban yang didapatkan ternyata ada beberapa siswa yang tidak mengerjakan seperti yang diharapkan, hal ini dimungkinkan bahwa siswa tersebut memang sepenuhnya tidak mengerti dan memahami konsep satuan panjang dan konversi antar satuan panjang. Padahal konsep ini sudah diperkenalkan sejak siswa kelas 3 dan terus diulang di kelas selanjutnya. Hal ini mungkin disebabkan pembelajaran yang dilaksanakan kurang bermakna sehingga konsep tersebut tidak dapat diingat oleh anak. Biasanya guru mengajarkan konsep satuan panjang dengan menggunakan tangga satuan, siswa disuruh untuk menghafal urutan satuan tersebut dan setiap turun satu tangga maka dikali 10, begitupun apabila naik satu tangga maka dibagi 10. Pembelajaran seperti ini dirasa kurang efektif untuk siswa, karena kemampuan yang diasah disitu hanya kemampuan hafalan saja. Pembelajaran yang tidak mengandalkan kemampuan procedural atau mekanistik merupakan salah satu solusi dalam menerapkan konsep satuan panjang. Salah satunya adalah siswa diperkenalkan terlebih dahulu
Ruhyana, Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
dengan satuan-satuan yang tidak terstandar atau baku. Misalkan siswa disuruh membandingkan panjang lantai dengan menggunakan sedotan. Ada berapa sedotan yang dapat disusun sehingga sama dengan 3 ubin lantai? Kegiatan informal seperti ini penting untuk dilakukan untuk memupuk konsep dasar satuan dan pengukuran. Kegiatan lanjutan dalam pembelajaran konsep satuan panjang adalah siswa disuruh untuk membuat penggaris/alat ukur dengan satuan yang ditentukan oleh siswa seperti gambar berikut.
114
Jawaban yang diharapkan: Diketahui: Harga sandal = 60.000 Diskon = 10% Uang yang dibayarkan = 100.000 Berapa uang kembaliannya? Harga sandal setelah diskon = 90% x 60.000 = 54.000 Uang kembalian = 100.000 – 54.000 = Rp 56.000,00 Jawaban yang muncul dari siswa:
Gambar 6. Contoh kesalahan jawaban siswa pada nomor 3
Gambar 7. Contoh kesalahan jawaban siswa pada nomor 3 Gambar 5. Penggaris tagboard
Setelah siswa paham mengenai konsep dasar satuan dan pengukuran menggukanan cara informal, barulah siswa diperkenalkan dengan satuansatuan terstandar.
Soal nomor 3 Harga sepasang sandal adalah Rp 60.000,00. Wati membeli sandal tersebut dan mendapat potongan harga (discount) sebesar 10%. Jika Wati membayar dengan uang Rp100.000,00, berapakan uang kembalian yang diterima Wati?
Gambar 8. Contoh kesalahan jawaban siswa pada nomor 3
Kemungkinan kesulitan yang muncul sehingga mengakibatkan kesalahan menjawab adalah: a. Siswa tidak memahami kalimat matematika yang terkandung dalam soal cerita tersebut (verbal).
Ruhyana, Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
b. Siswa tidak memahami konsep pecahan. c. Siswa tidak memahami pengetahuan prasyarat seperti jenis-jenis pecahan dan bagaimana menngubah pecahan, operasi hitung perkalian, pembagian dan pengurangan. d. Siswa kurang memahami penggunaan bahasa. e. Siswa tidak memahami penerapkan aturan yang relevan. f. Kurang teliti dalam menyelesaikan soal dalam hal perhitungan atau komputasi g. Siswa tidak memahami dalam penggunaan symbol atau lambang dalam matematika h. Siswa tidak mampu menggunakan proses yang tepat dalam menyelesaikan masalah matematika i. Siswa kurang terampil dalam mengaitkan antara konsep dengan fakta. Dari beberapa contoh hasil pengerjaan siswa pada nomor 3 ini., letak kesalahan terbanyak adalah ketika menentukan harga setelah mendapat diskon atau potongan. Kebanyakan siswa beranggapan bahwa 10% dari 60.000 adalah 10.000, sehingga harga sandal setelah diskon adalah 50.000. Ini membuktikan penguasaan konsep siswa terhadap pecahan masih sangat rendah. Oleh karena itu diperlukan upaya yang serius untuk mengembangkan masalah proporsional seperti ini. Banyak penelitian dilakukan untuk
yang telah menentukan
115
bagaimana anak-anak berpikir dalam berbagai tugas proporsional. Penelitian-penelitian tersebut memberikan pencerahan bagaimana situasi pembelajaran yang dapat mengembangkan penalaran proporsional. Walle (2007) memberikan gambaran kondisi pembelajaran yang harus dikembangkan, diantaranya adalah: a. Sajikan materi yang berhubungan dengan proporsi dan rasio secara luas. b. Berikan dorongan kepada anak untuk berdiskusi dan mencoba menyelesaikan masalah proporsi. Serta sajikan contoh dari masalah proporsional dan bukan masalah proporsional agar anak dapat membedakannya. c. Bantu anak menghubungkan penalaran proporsional dengan proses-proses yang sudah ada. d. Sebisa mungkin hindari pengajaran prosedural menggunakan formula singkat seperti operasi kali silang di awal pembelajaran dan sebaiknya metode ini tidak diperkenalkan sampai siswa memiliki banyak pengalaman dengan metode intuitif dan konseptual. Dari uraian di atas jelas tergambar bahwa pembelajaran yang dapat mengembangkan penalaran proporsional bukanlah pembelajaran klasikal yang hanya menjadikan murid sebagai objek pasif, melainkan pembelajaran penuh aktivitas yang melibatkan seluruh siswa untuk ikut berperan. Gurupun harus memberikan contoh-contoh nyata
Ruhyana, Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
yang ada di kehidupan siswa dan memberikan siswa kebebasan untuk berdiskusi mengenai masalahmasalah proporsional dan bukan proporsional. Dan yang paling penting adalah menghindari pembelajaran prosedural dimana guru menyajikan algoritma penyelesaian masalah di awal dan menjelaskan secara verbal contoh bagaimana cara mengerjakannya tanpa disertai media apapun. Kegiatan ini jelas akan membunuh semangat siswa dalam berekslporasi mencari pengetahuannya sendiri. Membiasakan siswa memecahkan masalah dengan jalan pintas tanpa disertai proses berpikir hanya akan menyebabkan kemampuan logika proporsional menjadi tidak berkembang (Walle, 2007).
116
b. Banyak kelereng putih = x 126 = 189 kelereng.
3 2
Jawaban yang muncul dari siswa:
Gambar 9. Contoh kesalahan jawaban siswa pada nomor 4
Gambar 10. Contoh kesalahan jawaban siswa pada nomor 4
Soal nomor 4 Sebuah kantong berisi sejumlah kelereng berwarna merah dan berwarna putih. Dua per lima dari kelereng itu berwarna merah dan sisanya berwarna putih. a. Berapa bagiankah kelereng dalam kantong itu berwarna putih? b. Jika di dalam kantong itu terdapat 126 kelereng merah, berapa banyak kelereng putih? c. Jawaban yang diharapkan: Diketahui: 2
Kelereng merah = 5 = 126 kelereng a. Bagian kelereng putih = total kelereng – kelereng merah 5 2 3 =5-5=5
Gambar 11. Contoh kesalahan jawaban siswa pada nomor 4
Kemungkinan kesulitan yang muncul sehingga mengakibatkan kesalahan menjawab adalah: a. Siswa tidak memahami kalimat matematika yang terkandung dalam soal cerita tersebut (verbal). b. Siswa tidak memahami konsep pecahan. c. Siswa tidak memahami pengetahuan prasyarat seperti jenis-jenis pecahan dan
Ruhyana, Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
d. e.
f.
g.
h.
i.
bagaimana menngubah pecahan, operasi hitung perkalian, pembagian dan pengurangan. Siswa kurang memahami penggunaan bahasa. Siswa tidak memahami penerapkan aturan yang relevan. Kurang teliti dalam menyelesaikan soal dalam hal perhitungan atau komputasi Siswa tidak memahami dalam penggunaan symbol atau lambang dalam matematika Siswa tidak mampu menggunakan proses yang tepat dalam menyelesaikan masalah matematika Siswa kurang terampil dalam mengaitkan antara konsep dengan fakta.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesulitan belajar matematika yang dialami oleh siswa pada bahasan bilangan disebabkan kemampuan verbal siswa untuk mencerna kalimat soal cerita menjadi kalimat matematika masih rendah. Namun ada juga yang dimungkinkan karena prasyarat yang dimiliki kurang terutama dalam perkalian sehingga menjadikan pemahaman konsep materi pada perkalian dua bilangan menjadi tidak paham. Untuk dapat memahami konsep perkalian dua bilangan atau lebih maka siswa harus memiliki kemampuan konsep prasyarat antara lain sebagai berikut : kemampuan memahami konsep penjumlahan, konsep perkalian, konsep perkalian dua bilangan dengan cara bersusun.
117
Sedangkan dalam bahasan pecahan, terlhat sekali bahwa penguasaan konsep siswa terhadap pecahan masih sangat rendah. Terlihat dari masih terjadi kesalahan dalam menentukan bagian dari sebuah pecahan atau bagaimana menghitung persentase dari suatu harga. Kesulitan yang menjadi penyebab atau sumber terjadinya kesalahan siswa dalam mengerjakan soal-soal matematika adalah kesulitan dalam memahami dan menggunakan lambang, menggunakan proses yang tepat, menggunakanbahasa, menguasai fakta dan konsep prasyarat, menerapkan aturan yang relevan, mengerjakan soal tidak teliti, memahami konsep, perhitungan atau komputasi, mengingat, memahami maksud soal, mengambil keputusan,memahami gambar, dan mengaitkan konsep dan mengaitkan fakta. Aspek kognitif sebagai acuannya, kesalahan yang paling banyak dilakukan siswa adalah pada C4 yaitu menampilkan pemahaman tentang gagasangagasan serta konsep-konsep matematika. Perlu dilakukannya langkah-langkah konkret untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi kesalahankesalahan yang dilakukan siswa dalam mengerjakan soal matematika. Tindakan yang dipilih tentu yang sesuai dengan kemampuan siswa, kemampuan guru dan kondisi sekolah dimana terjadi proses belajar-mengajar berlangsung.
Ruhyana, Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
Karena bisa saja masalah yang sama tetapi situasi dan kondisinya berbeda maka dibutuhkan penanganan yang berbeda pula. Kegiatan yang dimaksud dapat berupa kegiatan yang menumbuhkan minat dan motivasi serta meningkatkan pemahaman terhadap matematika, terutama pada bagian-bagian dimana siswa mengalami kesulitan. Kemungkinan langkah-langkah untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah perlu diadakannya program pengajaran khusus sebagai pengayaan, perlu ditinjau kembali dan dikembangkan system penilaian yang bersifat edukatif yang dapat menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar matematika, perlu dipenuhinya komponen-komponen belajar mengajar pokok yang disyaratkan. Perubahan pembelajaran yang menggunakan inovasi baru untuk lebih memotivasi siswa perlu dilakukan, peningkatan kemampuan guru dalam memberikan pembelajaran perlu ditingkatkan. REFERENSI Brousseau, G. (1997). Theory of didactical situations (N. Balacheff, M. Cooper, R. Sutherland, V. Warfield Eds & Trans). Dordrecht, Netherland: Kluwer Academic. Hudoyo., & Sutawijaya. (1998). Pendidikan Matematika I. Jakarta. Dirjen Dikti Depdiknas. Lidinillah, D. A. M. (2008). Strategi Pembelajaran Pemecahan Masalah di Sekolah
118
Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar, 1(10), 67-77. Polya, G. (1985). How to solve it: A new aspect of mathematical method. Princeton university press. Radatz, H. (1979). Error analysis in mathematics education. Journal for Research in Mathematics Education, 163-172. Ruseffendi, E. T (1991a). Pengantar kepada Membantu Guru Mengem-bangkan Kompetensinyadalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito Ruseffendi, E.T (1991b). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: Tidak diterbitkan. Sugiharto. (2003). Diagnosis kesulitan siswa SMU dalam menyelesaikan soal–soal Matematika, Tesis, PPS UNY Sumarmo, U., Dedy, E., & Rahmat. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk MeningkatkanPemecahan Masalah Matematika pada Guru dan Siswa SMA. Laporan Hasil Penelitian FPMIPA IKIP Bandung. Walle, J. A. (2007). Pengembangan Pengajaran Matematika Sekolah Dasar dan Menengah edisi ke-6 jilid 2 (terjemahan Suyono). Jakarta: Erlangga. Wood, D. R. (2007). Professional learning communities: Teachers, knowledge, and knowing. Theory into Practice, 46(4), 281-29.