KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
AKTIVITAS METAKOGNISI SEBAGAI SALAH SATU ALAT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
Zahra Chairani Dosen STKIP PGRI Banjarmasin E-mail:
[email protected] Abstrak: Kurikulum 2006, menyarankan untuk menggunakan pendekatan pemecahan masalah sebagai salah satu tujuan pembelajaran matematika sekolah. Akan tetapi istilah metakognisi yang terkait dengan proses berpikir siswa tidak diperkenalkan. Sehingga proses pemecahan masalah dipahami sebagai hasil aktivitas kognisi saja. Pentingnya aktivitas metakognisi dalam pembelajaran dapat dilihat dalam beberapa hal antara lain adanya revisi dalam dimensi tujuan pembelajaran Taxonomi Bloom dengan menambahkan dimensi Metakognisi oleh Krathwole. Selanjutnya konsep kurikulum baru 2013 juga telah mendudukkan metakognisi pada jenjang SMA dan Perguruan Tinggi, meskipun dalam berbagai hasil penelitian, menunjukkan bahwa pengembangan metakognisi siswa sudah dimulai sejak dini. Di samping itu beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa siswa yang mengembangkan aktivitas metakognisinya dapat meningkatkan kemampuan dalam memecahkan masalah matematika. Metakognisi diperlukan siswa untuk menguasai suatu jangkauan keterampilan intelektual khusus, kemudian mengumpulkan kembali keterampilan-keterampilan ini ke dalam strategi belajar yang tepat untuk suatu masalah khusus atau isu-isu dalam konteks yang berbeda Meskipun penguasaan aktivitas metakognisi memerlukan proses yang cukup lama, namun demikian hal ini dapat dilatihkan dengan melakukan pembiasaan dalam berbagai keterampilan metakognisi. Makalah ini mencoba untuk membahas bahwa aktivitas metakognisi dapat dilatih melalui self regulasi sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematika. Kata Kunci : aktivitas metakognisi, self regulasi , pemecahan masalah matematika
Tujuan Pembelajaran matematika yang tertera dalam kurikulum 2006 adalah mengembangkan kemampuan berpikir logis, kritis, analitis, sistematis dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Akan tetapi dalam pengembangan untuk membentuk berbagai kemampuan tersebut belum sepenuhnya bahkan sedikit sekali menyentuh pada kemampuan metakognisi. Sehingga proses pembelajaran matematika dipahami sebagai hasil aktivitas kognisi saja. Ormrod (2008: 369), menyatakan bahwa metakognisi merupakan pengetahuan dan keyakinan mengenai prosesproses kognitif seseorang , serta usaha sadarnya untuk terlibat dalam proses
berperilaku dan berpikir sehingga meningkatkan proses belajar dan memori . Bentuk kesadaran seseorang yang terkait dengan kemampuan kognisinya tentang apa yang diketahuinya, dan yang tidak diketahuinya berdasarkan pengetahuan yang sudah dimilikinya, pengalaman, proses dan monitoring dimana ia sendiri terlibat dalam kegiatan kognisinya sendiri adalah aspek dari aktivitas metakognisi. Dengan demikian ada dua hal penting dari pengertian aktivitas metakognisi, yaitu (1) kesadaran tentang kognisi, dan (2) kontrol atau pengaturan proses kognisi ketika belajar atau menyelesaikan masalah matematika.
652
653, Chairani, Aktivitas Metakognisi,
Pentingnya aktivitas metakognisi dalam pembelajaran dapat dilihat dalam beberapa hal antara lain adanya revisi dalam dimensi tujuan pembelajaran yang semula meliputi (1) Factual knowledge,(2) Conceptual knowledge, (3) Procedural knowledge kemudian ditambah menjadi kategori ke- 4 yaitu Metacognition knowledge. Alasan utama penempatan metakognisi dalam kategori ke-4 tersebut adalah bahwa seseorang yang menggunakan meta-cognition kontrol and self regulation dalam proses berpikirnya telah termasuk penggunaan dimensi lain seperti remember, understand, apply, analyze, evaluate and create seperti kategori proses kognitif pada Taxonomi Bloom sebelumnya (Lorin D Anderrson, David R Krathwohl,Peter W Airasian, …et al, 2001. P. 43- 46) Konsep kurikulum baru 2013 pada ruang lingkup standar Kompetensi Lulusan (SKL) telah memberikan ilustrasi pengembangan metakognisi pada jenjang SMA dan Perguruan Tinggi disamping kemampuan factual , konseptual dan procedural. Berbagai hasil penelitian, sebagaimana dinyatakan oleh White Board dkk (2010) , keterampilan metakognisi muncul di sekitar usia 8- 10 tahun dan didahului oleh kemampuan kognitif lain seperti perkembangan Theori of Mind (TOM). Pentingnya aktivitas metakognisi juga di utarakan oleh Heru (2011) yang menyatakan bahwa metakognitif monitoring dan metakognitif kontrol dapat difikirkan sebagai suatu system quality kontrol yang berfungsi untuk meyakinkan bahwa hanya keluaran yang akurat dan tepat yang dihasilkan. System tersebut merupakan kesadaran seseorang terhadap kemampuan melakukan monitoring dan kontrol terhadap proses berpikirnya sehingga merupakan suatu keterampilan yang dapat dikembangkan dalam diri
seseorang melalui pengaturan diri (self regulasi). Menurut Brown ( 1987) Keterampilan Self Regulasi adalah salah satu dari ketrampilan metakognisi, yang memberi kesempatan siswa untuk berpikir tentang proses berpikirnya, dan melakukan kontrol terhadap proses berpikirnya sendiri untuk mencapai tujuan berpikirnya sendiri. Beberapa pernyataan menunjukkan bahwa keterampilan ini merupakan hal penting untuk dikembangkan, sesuai dengan pendapat Scrhraw (2000) yang menyatakan bahwa , Most researchers agree that metacognition is an important construct to study, but difficult to measure . Central to problems relating to metacognition is finding ways to recording and making available to others one’s metakognitive thought. Hasil penelitian juga dinyatakan oleh White & Fredericson (2005) yang menyatakan bahwa skill regulasi diri metakognisi diperlukan dalam kegiatan belajar. Sedangkan menurut De Soete, Roeyers dan Clercq (2003) regulasi metakognisi dapat dilatihkan . Pelatihan dengan Program metakognisi dapat berpengaruh terhadap kemampuan memecahkan masalah matematika Dari berbagai pendapat di atas, maka penulis menganggap penting untuk melakukan kajian tentang bagaimana aktivitas metakognisi dapat dilakukan sebagai salah satu alat (tool) untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematika, yang dalam makalah ini penulis batasi pada pengaturan diri (self regulasi ) yang terkait dengan (1) kesadaran tentang kognisi, dan (2) kontrol atau pengaturan proses kognisi dari dalam diri seseorang ketika mereka belajar atau menyelesaikan masalah matematika.
Chairani, Aktivitas Metakognisi, 654
TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengetahuan Metakognisi Pengetahuan metakognisi (metacognition knowledge) adalah pengetahuan tentang kognisi, secara umum merupakan kesadaran seseorang tentang apa yang diketahui dan proses kognisinya . Umumnya para peneliti berpendapat bahwa dengan pengembangan, siswa yang dapat lebih sadar terhadap proses berpikirnya akan menambah pengetahuan saat berpikir dan cenderung membuat mereka untuk belajar lebih baik (Bransford, Brown and Cocking, 1999) . Schoenfeld (1992) menyatakan bahwa ada 3 aspek metakognisi yang yang terkait dengan pembelajaran matematika, yaitu: (1). Keyakinan dan Intuisi (beliefs and intuitions)., (2) Pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya, serta (3). Kesadaran diri (Self awareness) atau Pengaturan diri (Self Regulation). Aktivitas yang dapat dilakukan berdasarkan ketiga hal tersebut dapat dijelaskan bahwa : Sewaktu seorang siswa dihadapkan pada suatu masalah matematika , yang terlebih dulu muncul adalah berpikir untuk menyelesaikan masalah tersebut. Adanya dorongan untuk menyelesaikan masalah tersebut, akan memunculkan ide-ide tentang matematika yang disiapkan (direncanakan) untuk menyelesaikan matematika dan pemikiran untuk menentukan dengan cara apa agar masalah tersebut dapat diselesaikan. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan seseorang yang terkait dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya misalnya pengetahuan faktual, pengetahuan conceptual, dan pengetahuan prosedural. Akan tetapi untuk dapat melakukan hal tersebut di atas dengan baik, maka siswa harus memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses berpikirnya sendiri tentang hal-hal yang dipahaminya, rencana atau ide yang akan
dilaksanakannya, pelaksanaan rencananya dan memeriksa apakah proses yang dilakukannya sudah sesuai dengan tujuan kognisinya . Dengan demikian dapat dikatakan ia melakukan kontrol terhadap proses kognisinya agar aktivitas proses berpikirnya tidak menyimpang dari tujuan dan hal ini adalah kemampuan yang perlu dikembangkan yang dapat dikatakan sebagai self regulasi dalam hal ini merupakan salah satu aspek dari pengetahuan metakognisi Self Regulasi Sebagai Aktivitas Metakognisi Aktivitas metakognisi seseorang adalah sesuatu yang unik. Sukar untuk mengasses aktivitas tersebut dengan menggunakan pensil dan kertas (Pintrich, Wolter and Baxter in press). Karena tujuan dari aktivitas metakognisi ini berbeda dengan perspektif yang dapat dilihat dari jawaban yang konkret. Oleh karena itu aktivitas metakognisi akan lebih baik di assessment dalam konteks aktivitas kelas dan diskusi melalui berbagai strategi. (Lorin D Anderrson, David R Krathwohl,Peter W Airasian, …et al, 2001. P. 50- 65). Hal ini dapat dirancang antara lain dengan mengajak siswa untuk belajar tentang berpikirnya, dan menghubungkannya dengan tiga aspek dari pengetahuan metakognisi ( pengetahuan factual, pengetahuan konseptual dan pengetahuan procedural) pada setiap tahap pemecahan masalah. Siswa dapat diminta untuk menentukan strategi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah, dan kemudian membandingkannya dengan strategi yang digunakan siswa lainnya. Selanjutnya dilakukan diskusi kelas dalam setiap pembelajaran, bukan hanya tentang strategi pemecahan masalah saja , akan tetapi dapat meliputi informasi bagaimana siwa mendapatkan strategi tersebut. Dalam diskusi ini guru mendengarkan apa yang
655, Chairani, Aktivitas Metakognisi,
didiskusikan siswa, memberikan kesempatan untuk melakukan percakapan dengan siswa secara individual, atau meminta mereka mereviu tentang apa yang dipikirkannya. Aktivitas self regulasi pada waktu siswa menyelesaikan masalah dapat dikembangkan sesuai dengan tahapan yang harus dilalui siswa dalam melakukan pemecahan masalah. Oleh karena wujud dari self regulasi sebagai salah satu aktivitas metakognisi adalah munculnya kesadaran tentang apa yang diketahui seseorang (pengetahuan metakognisi), apa yang dilakukan seseorang (keterampilan metakognisi) dan bagaimana mengkontrol keadaan kognisinya, maka aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan melatih atau melakukan pembiasaan tentang apa
yang diketahui, apa yang dilakukan dan bagaimana melakukan kontrol setiap aktivitas tersebut. Apa yang diketahui seseorang , akan terkait dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya, yaitu pengetahuan factual, pengetahuan konseptual dan pengetahuan procedural. Sedangkan apa yang dilakukan seseorang akan terkait dengan kesadaran seseorang dalam memilih langkah atau strategi yang digunakannya untuk memecahkan masalah, dan dalam melakssanakan strategi tersebut seeorang harus melakukan kontrol proses kognisinya agar tidak menyimpang dari tujuan . Skema berikut mempresentasikan self regulasi dengan komponen pengetahuan metakognisi yang terkait dengan tahapan pemecahan masalah.
Kesadaran diri sendiri terhadap pengetahuan yang dimiliki Self Regulasi Kesadaran terhadap strategi yang dilakukan Kesadaran dalam melakukan kontrol proses berpikirnya Menurut Taccasu Project ( 2008) strategi yang dapat dilakukan guru atau dosen dalam mengembangkan metakognisi peserta didik melalui kegiatan belajar dan pembelajaran antara lain adalah membimbing pembelajar dalam mengembangkan kebiasaan peserta didik yang baik melalui (a) pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri (b) memonitor dan meningkatkan kemampuan belajar (membaca, menulis, mendengarkan, mengelola waktu, dan memecahkan masalah, dst), c) mengembangkan kebiasaan untuk berpikir
Tahapan Pemecahan masalah matematika
positif, dan d) mengembangkan kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis HASIL DAN PEMBAHASAN Salah satu cara untuk memberikan kesempatan agar aktivitas metakognisi dapat menjadi alat dalam pemecahan masalah melalui self regulasi adalah dengan mengembangkan berbagai pertanyaan siswa kepada dirinya sendiri yang terkait dengan aspek-aspek aktivitas metakognisi yang dikaitkan dengan tahapan pemecahan masalah. Dengan melatih
Chairani, Aktivitas Metakognisi, 656
kesadaran siswa , maka siswa akan terbiasa untuk selalu melakukan aktivitas metakognisi pada setiap kali melakukan pemecahan masalah. Dalam proses penyelesaian masalah matematika, menurut pendekatan Polya, siswa tentunya harus memahami masalah, merencanakan strategi penyelesaian, membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan, serta melaksanakan keputusan tersebut dan memeriksa kembali. Dalam proses tersebut mereka seharusnya memonitoring dan mengecek kembali apa yang telah dikerjakannya. Apabila keputusan yang diambil tidak tepat, maka mereka seharusnya mencoba alternatif lain atau membuat suatu pertimbangan. Proses menyadari adanya kesalahan, memonitor hasil pekerjaan serta mencari alternatif lain merupakan beberapa aspek-aspek metakognisi yang diperlukan dalam penyelesaian masalah matematika. Dalam hal ini keberhasilan dalam pembelajaran matematika dapat diketahui melalui aktivitas metakognisi. Beberapa aspek aktivitas metakognisi dapat dikembangkan menggunakan strategi pengembangan metakognitif Berikut ini penulis memberikan suatu gambaran dari aktivitas metakognisi yang terkait dengan self regulasi yang dapat dikembangkan guru untuk melatih siswanya dalam melakukan pemecahan masalah matematika dalam bentuk contoh pertanyaan siswa kepada dirinya sendiri dalam pemecahan masalah sebagaimana terurai pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Contoh Pertanyaan untuk Mengembangkan Self Regulasi Tahapan Pertanyaan yang pemecaha dikembangkan sebagai n masalah self regulasi Memahami 1. Bagaimana cara masalah membaca soal agar saya dapat memahami masalah soal ini 2. Bagaimana saya dapat mengidentifikasi apa yang diketahui dan yang ditanyakan dari soal ini? 3. Apakah dengan membaca seperti ini saya dapat memahami soal ? 4. Apakah saya bisa menggunakan cara lain agar lebih memahami soal ini? Merencana 5. Bagaimana saya dapat kan menyusun rencana pemecahan memecahkan masalah masalah ini? 6. Bagaimana saya dapat menentukan konsepkonsep/ pengetahuan yang sudah saya ketahui agar dapat saya gunakan untuk pemecahan masalah ini? 7. Bagaimana saya tahu bahwa rencana strategi pemecahan masalah yang saya pilih ini sudah sesuai dengan tujuan soalnya? 8. Bagaimana saya dapat yakin bahwa soal ini dapat saya selesaikan dengan rencana strategi pemecahan masalah yang saya pilih ini? 9. Bagaimana saya dapat mengetahui bahwa ada strategi lain yang lebih baik selain dari strategi yang saya pilih ini. Menyelesai 10. Bagaimana saya dapat kan melakukan prosedur Masalah penyelesaian untuk menyelesaikan soal ini? 11. Bagaimana saya bisa tahu kalau prosedur ini sesuai untuk menyelesaikan masalah ini?
657, Chairani, Aktivitas Metakognisi,
Tahapan pemecaha n masalah
Memeriksa kembali
Pertanyaan yang dikembangkan sebagai self regulasi 12. Bagaimana saya dapat mengggunakan konsepkonsep dan keterampilan yang sudah saya miliki untuk menyelesaikan masalah ini? 13. Bagaimana saya dapat mengetahui bahwa rencana strategi yang saya pikirkan , sudah sudah tepat untuk digunakan dalam penyelesaian soal ini? 14. Bagaimana saya dapat mengetahui , bahwa prosedur penyelesaian saya ini sudah benar? 15. APakah saya yakin , bahwa proses memeriksa kembali ini sudah tepat? 16. Apakah saya perlu untuk memeriksa lagi dengan lebih teliti? 17. Bagaimana saya dapat memeriksa kembali hasil penyelesaian soal dengan lebih baik?
Pertanyaan-pertanyaan seperti pada contoh di atas tersebut dapat dilakukan seseorang selama proses pemecahan masalah berlangsung, dalam hal ini siswa mengobservasi sendiri kerja memorinya pada lapisan kognisi untuk mengevaluasi proses dan mengatur aktivitas kognisinya. Apabila evaluasi menunjukkan bahwa proses pemecahan masalah belum bagus, maka siswa harus menelusuri aktivitas
kognisinya secara lebih hati-hati, dan mencari pada long term memori(ingatan jangka panjang) untuk mendapatkan pengetahuan yang dapat digunakan agar membuatnya menjadi lebih baik. Contoh pertanyaan di atas dapat dikembangkan sesuai dengan masalah yang dihadapi. PENUTUP Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam proses mengembangkan keterampilan aktivitas metakognisi siswa diperlukan self regulasi . Salah satu strategi yang sederhana dalam mengembangkan aktivitas metakognisi siswa adalah melatih siswa untuk menggunakan kesadarannya dengan cara bertanya pada dirinya sendiri selama pelaksanaan memecahkan masalah. Selama proses pemecahan masalah dilakukan misalnya dilakukan menurut tahapan Polya (memahami masalah, merencanakan, menyelesaikan, dan memeriksa kembali), maka pada setiap tahapan tersebut siswa secara sadar melakukan kontrol terhadap tujuan kognisinya agar tidak menyimpang dari tujuan. Makalah ini menunjukkan bahwa self regulasi siswa merupakan salah satu komponen aktivitas metakognisi yang dapat digunakan sebagai alat (tool) untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematika .
DAFTAR PUSTAKA Anderson,O.W. & Krathwohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning Teaching, and Assessing (A Revision of Blooms Taxonomy of Educational Objectives), Addision Wesley, Longman, New York.
Blakey, E. & Spence, S. 1990. Developing Metacognition, Clearinghouse on Information Resources Syracusa, New York. Dawson, Th & Fucher, K 2008, Metacognition and Learning Adulthood,
Chairani, Aktivitas Metakognisi, 658
Contemporary Education Psychology, 11, 233-236. Desoete, A. 2001. Off-line Metacognition in Children with Mathematics Learning Disabilities, Disertation, Universiteit Gent. De Soete, A. Roeyers. A& Clercq, A.D (2003) . Can off line Metacognition Enhance Mathematical Problem Solving. Journal of Educational Psichology. 95, 188200. Flavell, J.H. 1976. Metacognition and Cognitive Monitoring, A New Area of Cognitive Developmental Inquiry, American Psychologist, 34, pp.906-911. Gama, C. 2004. Integrating Metacognition Instruction in Interactive Learning Environment, University of Sussex, http://www. Integrating Metacognition, diakses 15 September, 2006. Heru Astikasari Setyo Murti , Metacognition and dan Theory of Mind (TOM) Jurnal Psikologi Pitutur Vol I no.2 Juni 2011 Hunter,M (2004), Enhanching Teaching, MacMillan College Publication, Co, New York. Kayashima. M. & Inaba Akiko.2007. “The Model of Metakognitive Skill and How To Facilitte Development of The Skill”. Proceeding Vol 9 Conference of Artificiale Intelegence in Education at Sidney. Faculty of Arts and Education. Tamagawa University. Japan: p (34). Kelly, R.T. 2006. Teaching Problem Solving, Journal of Research in
Mathematics Education, NCTM ,Reston,VA. Polya,G. (1973). How To Solve it, Second Edition, Princeton University Press, Princeton, New Jersey.p.625 Ormrod, E,J,. 2008. Edisi ke-6. Psikologi Pendidikan.Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang jilid 1. University of Northern Colorado (Emirita) University of New Hampshire. Jakarta: Erlangga . p.284-369 Schraw, Gregory dan Brooks, David W. (2008) “Helping Students SelfRegulate in Chemistry Courses: Improving the Will and the Skill” Tersedia pada: http://www.dwb.unl.edu/dwb/defa ult.html. Diakses pada 26 Juli 2008. Taccasu Project. (2008) “Metacognition” Tersedia pada: http://www.hku.hk/cepc/taccasu/re f/metacognition.html Diakses pada 10 September 2008. White, B & Fredericson. (2005). A Theoritical frame Work and Approach for Fostering Metacognitive Development. Journal Educational Psychologist, 40. 211-233. Whitebread, D., Almeqdad, Q., Bryce, D.,Demetriou, D., Grau, V., & Sangster, C.(2010). Metacognition in Young Children: Current Methodological and Theoritical Developments. A. Efklides and P. Misailidi(eds.), Trends and Prospects in Me t a c o g n i t i o n Re s e a r c h , DOI : 10.1007/9781-4419-6546-2_
659, Chairani, Aktivitas Metakognisi,