PEMANFAATAN LIMBAH KULIT BIJI METE SEBAGAI PUPUK DAN FUNGISIDA ORGANIK
NUR SAKINAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan Fungisida Organik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Nur Sakinah NIM A252110011
RINGKASAN NUR SAKINAH. Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan Fungisida Organik. Dibimbing oleh MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE, HARIYADI dan DYAH MANOHARA. Kulit biji mete (KBM) sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal, sebagian besar masih merupakan limbah. Data produksi mete pada tahun 2010 memperlihatkan jumlah limbah KBM yang dapat diperoleh sekitar 66 036.54 ton. Jumlah limbah KBM tersebut sangat potensial bila dikomposkan menjadi pupuk dan fungisida organik. Limbah KBM merupakan bahan organik yang mengandung unsur hara makro bermanfaat bagi tanaman yaitu N 0.84%, P 0.21%, K 0.70%, Ca 0.13% dan Mg 0.24%. Kulit biji mete mengandung lignoselulose tinggi, sehingga untuk menjadi pupuk organik melalui pengomposan secara alami membutuhkan waktu yang sangat lama karena sulit terhidrolisis. Hal tersebut dapat menyebabkan penumpukan limbah dan berdampak negatif bagi lingkungan. Oleh sebab itu, diperlukan tekhnik pengomposan KBM yang tepat dengan perlakuan bioaktivator atau inokulan berupa Trichoderma spp. dan bakteri selulotik serta pencacahan kulit biji mete. Kedua perlakuan tersebut diharapkan dapat mempercepat pengomposan dan menghasilkan kompos kulit biji mete berkualitas untuk diaplikasikan pada tanaman baik sebagai pupuk maupun fungisida organik. Kulit biji mete mengandung asam anakardat dapat dimanfaatkan sebagai fungisida organik karena struktur asam anakardat mirip dengan asam salisilat yang mampu menghambat pertumbuhan hifa cendawan atau fungi. Selain itu, kompos KBM yang telah diperkaya oleh Trichoderma spp. yang bertindak sebagai fungi antagonis terhadap patogen Rigidoporus lignosus dapat meningkatkan ketahanan bibit jambu mete terhadap penyakit jamur akar putih (JAP). Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan Institut Pertanian Bogor dari bulan September 2012 - Agustus 2013. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan pupuk dan fungisida organik berkualitas dengan memanfaatkan limbah kulit biji mete dengan metode inokulasi mikroba yaitu Trichoderma spp. dan bakteri selulotik serta pencacahan kulit biji mete. Penelitian ini terdiri atas empat percobaan yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya, sehingga tujuan khusus yang ingin dicapai adalah: (1) menganalisis laju pengomposan limbah KBM akibat pencacahan KBM serta pemberian bioaktivator Trichoderma spp. dan bakteri selulotik); (2) menganalisis pengaruh kompos KBM terhadap pertumbuhan serta serapan hara bibit jambu mete dan kakao; dan (3) menganalisis efektivitas formula kompos KBM yang diperkaya Trichoderma spp. terhadap ketahanan bibit jambu mete dari serangan patogen Rigidoporus lignosus penyebab penyakit JAP. Penambahan bioaktivator berupa fungi Trichoderma spp. dan bakteri selulotik serta pencacahan pada kulit biji mete nyata dapat meningkatkan laju pengomposan limbah kulit biji mete sebagai bahan baku pupuk organik dan meningkatkan kualitas formula kompos KBM yang dihasilkan hingga sesuai dengan kriteria kompos yang ditetapkan oleh SNI 19-7030-2004 dan standar persyaratan teknis pupuk organik (C/N (24.42); N (1.71%); P (0.17%); K (0.96%); pH (7.13)). Perlakuan formula kompos KBM memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap
pertumbuhan serta serapan hara bibit jambu mete dan bibit kakao dibandingkan kontrol (top soil). Formula kompos KBM 50 g polibag-1 dapat menggantikan pemberian pukan kambing 100 g polibag-1 untuk meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete hingga siap dipindahtanamkan ke lapangan. Peningkatan dosis formula kompos KBM menjadi 100 g polibag-1 dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kakao hingga siap dipindahtanamkan ke lapangan. Hasil percobaan uji efektivitas formula kompos sebagai pupuk dan fungisida organik menunjukkan bahwa pemberian formula kompos KBM 50 g polibag-1 yang telah diperkaya dengan Trichoderma spp. sama baik nya dengan formula kompos KBM 100 g polibag-1 yang telah diperkaya Trichoderma spp. untuk meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen R. lignosus penyebab penyakit JAP sekaligus mampu meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete dibandingkan kontrol sehingga mampu meningkatkan vigor bibit jambu mete selama pembibitan sebelum dipindahtanamkan ke lapangan. Pemanfaatan limbah KBM sebagai pupuk dan fungisida organik dapat mengurangi potensi limbah tersebut sebagai pencemar lingkungan Kata kunci: bioaktivator, mete, pengomposan, R. lignosus, Trichoderma spp.
SUMMARY NUR SAKINAH. Utilization of Cashew Nut Shell as Organic Fertilizer and Fungicide. Supervised by MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE, HARIYADI and DYAH MANOHARA. Cashew nut shells have not been fully utilized untill now and most of them are still in a form of wastes. The data of cashew nut production in 2010 showed that there were 66.036.54 tons of cashew nut shell wastes. That amount of cashew nut shell wastes would be very potential if they were composted into organic fertilizers and fungisides. Cashew nut shell wastes are organic matter containing macro elements such as N (0.84%), P (0.21%), K (0.70%), Ca (0.13%) and Mg (0.24%), that are useful for plants. Cashew nut shell contains high lignoselulose that is difficult to hydrolyze so that it will take a very long time to become organic fertilizer through natural composting. This can cause comulation of wastes that have negative effect to the environment. Therefore, treatments using proper composting techniques such as utilizing bioactivator (Trichoderma spp. and selulotic bacteria) and chopping cashew nut shell, are needed to solve the problem. Both of treatments are expected to accelerate decomposition and produce good quality compost that can be applied to the plant as organic fertilizer and fungicide. The research was conducted at IPB Teaching Farm, Darmaga Bogor from September 2012 to August 2013. The aim of this research was to produce good quality of organic fertilizer and fungicide from utilizing cashew nut shell wastes with microbial inoculation method (Trichoderma spp. and selulotic bacteria) as well as chopping cashew nut shell. This research consisted of four interrelated experiments with the following specific purposes: firstly, to analyse the composting rate of cashew nut shell wastes resulted by chopping cashew nut shell and using bioactivator (Trichoderma spp. and selulotic bacteria); secondly, to analyse the effect of cashew nut shell compost on nutrient uptake and growth of cashew and cocoa seedlings; and finally, to analyse the effectiveness of cashew nut shell compost formulas which were enriched with Trichoderma spp. to cashew seedling resistance against the pathogen attack, Rigidoporus lignosus, the cause of white root fungus (JAP) disease. The addition of bioactivator (Trichoderma spp. and selulotic bacteria) and enomeration of cashew nut shell can significantly increase the composting rate of cashew nut shell waste as raw material for organic fertilizer and it can improve the quality of cashew nut shell compost formulas suitable with the compost criteria set by SNI 19-7030-2004 and technical requirement standarts of organic fertilizers (C/N: 24.42%, N: 1.71%, P: 0.17%, K: 0.96%, pH: 7.13). The treatments of cashew nut shell compost gave better effect on the growth and nutrient uptake of cashew and cacao seedlings than the control (top soil). Cashew nut shell compost formula in 50 g polybag-1 can substitute 100 g polybag-1 goat manure to increase the growth od cashew seedlings to be ready to transplant to the field. The increase of doses of cashew nut shell compost formula to 100 g polybag-1 can enhance the growth of cocoa seedlings untill they are ready to transplant in the field. Cashew nut shell compost formula can improve the balance of nutrients in the soil so that it enhances the growth and vigor of cashew and cacao seedlings.
The experiment results on the effectiveness of cashew nut shell compost formulas as organic fertilizers and pesticides showed that both the cashew nut shell compost formulas in 50 g polybag-1 and 100 g polybag-1 which were enriched with Trichoderma spp. gave significant influence to increase resistance against pathogen attack, Ridigoporus lignosus, the cause of white root fungus (JAP) disease and they were able to increase cashew seedling growth better than the control (top soil) because they can improve cashew seedling vigor during the nursery before being transplanted to the field. Application of cashew nut shell compost formulas are expected to reduce the land resource degradation as well as pollutant emissions, then to improve the recycled elements utilization of the farming system (zero waste), and finally to protect the environment and the welfare of local community life.
Keywords: bioactivator, cashew, composting, R. lignosus, Trichoderma spp.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN LIMBAH KULIT BIJI METE SEBAGAI PUPUK DAN FUNGISIDA ORGANIK
NUR SAKINAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi: Dr Ir Sudrajat, MS.
Judui Tesis : Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan Fungisida Organik : N ur Sakinah Nama : A252110011 NIM
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr I Ketua
r Ir Hariyadi, MS Anggota
y
Dr Ir
nohara, MS Anggota
Diketahui oieh
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
~"".!.'ifW.
~al
":; ....
PascasaIjana
.
Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS
Tanggal Ujian: 30 September 2013
Tanggal Lulus:
Z 8 OCT 2013
Judul Tesis : Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan Fungisida Organik Nama : Nur Sakinah NIM : A252110011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir H M H Bintoro Djoefrie, M Agr Ketua
Dr Ir Hariyadi, MS Anggota
Dr Ir Dyah Manohara, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS
Dr Ir Dahrul Syah, Msc Agr
Tanggal Ujian: 30 September 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad sallawlahu wa a’laihi wa salam. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini adalah “Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan Fungisida Organik”. Penelitian ini didasari untuk pemanfaatan limbah kulit biji mete dari pertanaman jambu mete yang berlimpah pada saat panen raya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembalikan hara yang terdapat dari limbah kulit biji mete agar dapat dimanfaatkan kembali ke tanaman. Penyusunan Tesis ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir H M H Bintoro Djoefrie, MAgr, selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Hariyadi, MS serta Ibu Dr Ir Dyah Manohara, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah menyediakan waktu, pikiran dan tenaga untuk mengarahkan dan membimbing penulis sejak proses penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan Tesis ini. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Dayanu Ihsanuddin, Dekan Fakultas Pertanian, dan Kepala Program Studi Agroteknologi atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program magister sains di sekolah pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Ir. Jati Purwani MS juga kepada rekan - rekan mahasiswa pascasarjana AGH 2011atas segala bentuk solidaritas dan social capital yang telah dibangun selama ini. Akhirnya dengan segala rasa syukur dan hormat penulis persembahkan kepada orang tua, Bapak Dr Ir H Mudjur Muif, M.Si dan Ibu Hj. Sri Mulyani, bapak dan ibu mertua L. Dairi dan Ibu Nurima serta suami dan putri tercinta Rachmat Hidayat Dairi, ST, MT dan Yuni Himayatur Rahmania yang telah memberikan doa dan motivasi untuk dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi orang banyak sehingga dapat memperkaya dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Bogor, September 2013
Nur Sakinah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 3 3 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) Kompos dan Pengomposan Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan Patogen Penyebab Penyakit JAP pada Tanaman Jambu Mete: Rigidoporus lignosus
5 5 7 9
3 METODE Tempat dan Waktu Metode Percobaan Pengomposan Kulit Biji Mete (KBM) Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan dan Serapan Hara bibit pada Bibit jambu mete serta Bibit Kakao Pengujian Formula Kompos KBM yang telah diperkaya oleh Trichoderma spp. terhadap Ketahanan Bibit jambu mete dari Serangan Rigidoporus lignosus penyebab penyakit jamur akar putih (JAP) 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengomposan Limbah Kulit Biji Mete Suhu Nisbah C/N Derajat Kemasaman (pH) Penyusutan Volume Bahan Kompos KBM Kondisi Fisik Kandungan Hara Formula Kompos KBM Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan dan Serapan Hara pada Bibit jambu mete dan Bibit Kakao Analisis Hara Tanah dan Kompos KBM Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan Bibit Meta dan Bibit Kakao
11 12 12 12 14 15
15 17 17 18 21 23 25 27 28 32 32 33
DAFTAR ISI (lanjutan) Pengaruh Formula Kompos terhadap Serapan Hara Bibit jambu mete dan Bibit Kakao Efektivitas formula kompos KBM yang telah diperkaya Trichoderma spp. terhadap ketahanan bibit jambu mete dari serangan R. lignosus penyebab penyakit jamur akar putih (JAP) 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
37
39 45 45 46
Error! Bookmark not defined.47 53
DAFTAR TABEL 1 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan cacahan KBM terhadap rata - rata suhu formula kompos KBM 2 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata – rata Suhu formula kompos KBM pada 1 MSP 3 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata - rata nisbah C/N formula kompos KBM 4 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata – rata nisbah C/N formula kompos KBM pada 8 MSP 5 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan cacahan KBM terhadap rata – rata pH formula kompos KBM 6 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan cacahan kulit biji mete terhadap rata – rata penyusutan volume formula kompos KBM 7 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata – rata penyusutan volume formula kompos KBM pada 2 MSP dan 8 MSP 8 Analisis kandungan hara C, N, P, K, nisbah C/N dan pH formula kompos KBM pada 8 MSP 9 Hasil analisis tanah yang digunakan pada pembibitan mete dan kakao 10 Analisis C, N, P, K dan pH pada formula kompos kulit biji mete yang digunakan sebagai media tanam pada pembibitan mete dan kakao 11 Pengaruh pemberian formula kompos KBM terhadap rata – rata tinggi bibit, jumlah daun, diameter batang dan panjang akar bibit jambu mete dan bibit kakao pada umur 3 BSP 12 Pengaruh pemberian formula kompos KBM terhadap rata – rata bobot segar, dan bobot kering bibit jambu mete serta bibit kakao pada umur 3 BSP 13 Pengaruh pemberian formula kompos KBM terhadap rata – rata serapan hara N, P, dan K pada bibit jambu mete serta bibit kakao pada umur 3 BSP 14 Pengaruh pemberian formula kompos KBM yang telah diperkaya Trichoderma spp. serta biofungisida terhadap rata – rata tinggi bibit, jumlah daun, Bobot kering total dan kejadian penyakit JAP bibit jambu mete pada umur 5 BSP
19
20
22
22 24
25
26 28 33 33
35
36
38
41
DAFTAR GAMBAR 1 Bagan alur tahap penelitian 2 Jambu mete 3 Irisan Melintang kulit biji mete 4 Skema proses pengomposan aerob 5 Penanaman benih mete model smile side down
6 7 8 9
Proses pengomposan limbah kulit biji mete Perubahan rata – rata suhu harian formula kompos KBM Rata - rata persentase penyusutan volume kompos KBM per minggu Rata – rata C/N, pH serta kandungan unsur hara C, N, P dan K formula kompos kulit biji mete pada akhir pengomposan (8 MSP) 10 Keragaan bibit jambu mete dan kakao pada umur 3 BSP 11 Keragaan bibit jambu mete pada 1 BSI R.lignosus 12 Gejala serangan jamur akar putih pada bibit jambu mete umur 1 BSI 13 Miselium R. lignosus yang telah menginfeksi permukaan akar bibit jambu mete umur pada perlakuan yang diinokulasikan patogen R. lignosus pada 1 BSI
4 6 6 8 15 17 18 27 31 34 40 41
42
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman jambu mete banyak dikembangkan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, karena tanaman jambu mete dapat ditanam di lahan kritis sehingga persaingan lahan dengan komoditas lain di KTI menjadi kecil. Tanaman jambu mete merupakan tanaman industri potensial dengan produk utamanya adalah biji atau kacang mete, yang merupakan komoditas ekspor. Perubahan paradigma pengembangan tanaman jambu mete dimulai pada tahun 1979, yaitu tidak hanya ditujukan untuk konservasi tanah, tetapi juga sebagai sumber pendapatan petani terutama di KTI (Saefudin 2009). Harga kacang mete terus meningkat setiap tahun, dari rata - rata Rp 11 385 kg-1 pada tahun 1995, Rp 34 178 kg-1 pada tahun 2001, Rp 44 852 kg-1 pada tahun 2006 dan menjadi 84 541 kg-1 pada tahun 2012 (Ditjenbun 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman tersebut mempunyai nilai ekonomi yang baik sehingga mendorong petani untuk membudidayakan tanaman jambu mete. Perkembangan luas areal yang cukup pesat mendorong peningkatan produksi gelondong mete di Indonesia. Data lima tahunan subsektor perkebunan jambu mete dari tahun 2008 – 2012 menunjukkan rata – rata hasil produksi gelondong mete adalah 130 295.6 ton (Ditjenbun 2013). Sekitar 49% produksi mete Indonesia diekspor baik dalam bentuk gelondong (36%), maupun dalam bentuk kacang mete (13%), sedangkan sisanya 51% dalam bentuk kacang mete diserap oleh pasar domestik (Indrawanto et al. 2003). Biji jambu mete terdiri atas 70% kulit biji dan 30% daging biji. Kulit biji (shell) mete diduga mengandung minyak sekitar 50% yang terdiri atas 90% asam anakardat dan sisanya 10% kardol (Ketaren 1996; Santos dan Magalaes 1999). Hingga saat ini kulit biji mete (KBM) belum dimanfaatkan secara maksimal. Sebagian besar masih merupakan limbah yang menjadi sumber emisi pencemar atau polutan lingkungan. Data rata - rata produksi gelondong mete 2008-2012 memperlihatkan rata - rata jumlah limbah KBM yang dapat diperoleh pertahunnya sekitar 58 372.43 ton. Jumlah limbah KBM tersebut sangat potensial bila dikomposkan menjadi pupuk dan fungisida organik. Limbah KBM memiliki kandungan unsur hara N 0.84%, P 0.21%, K 0.70%, Ca 0.13% dan Mg 0.24%. Selain itu, kulit biji mete yang mengandung asam anakardat dapat dimanfaatkan sebagai fungisida organik karena struktur asam anakardat mirip dengan asam salisilat yang mampu menghambat pertumbuhan hifa cendawan atau fungi (Cahyaningrum et al. 2006; Simpen 2008). Limbah KBM memiliki potensi yang cukup besar sebagai bahan organik untuk memperbaiki kesuburan tanah dan bertindak sebagai fungisida organik. Limbah KBM apabila tidak dimanfaatkan dapat menimbulkan masalah bagi lingkungan disekitar perkebunan. Salah satu cara memanfaatkan limbah KBM adalah dijadikan pupuk dan fungisida organik melalui pengomposan dengan menggunakan bioaktivator. Pendekatan upaya mengubah limbah KBM menjadi pupuk dan fungisida organik melalui pengomposan memberikan kontribusi dalam
2 meningkatkan nilai tambah bagi pendapatan usahatani mete serta memperbaiki sifat fisik, biologi, dan kimia di lahan pertanian. Kulit biji mete merupakan material bahan organik yang mengandung lignin (bahan yang berkayu) dan selulose (bahan yang berserat) tinggi (Landau 2002), sehingga membutuhkan waktu pengomposan sangat lama untuk menjadi pupuk organik karena sulit terhidrolisis. Bahan organik yang memiliki kandungan senyawa lignin dan selulosa tinggi secara alami merombak bahan baku organik yang dikomposkan lebih lambat dibandingkan pada bahan yang memiliki senyawa polisakarida yang lebih sederhana seperti amilum, disakarida dan monosakarida (Saraswati et al. 2006). Pengomposan KBM dengan kandungan lignoselulosa tinggi dapat dipercepat oleh perlakuan manusia yaitu dengan melakukan pencacahan bahan yang akan dikomposkan dan memberikan mikroba pengurai (aktivator atau inokulan) sebagai katalisator. Penambahan bioaktivator berupa Trichoderma spp. dan bakteri selulotik pada campuran bahan organik pupuk kandang kambing, ampas sagu, Ageratum conyzoides serta Setaria sp. merupakan bagian dari usaha untuk mempercepat terbentuknya pupuk organik (kompos) (Purwani 2011; Asyerem 2011). Penambahan bioaktivator sangat berpengaruh dalam pengomposan karena mikroba yang diinokulasikan dalam material kompos selain dapat mempercepat dekomposisi bahan organik juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara terutama kadar N sebagai hara tambahan bagi kelangsungan hidup mikroba tersebut. Hal tersebut mengakibatkan aktivitas dan biomassa mikroba meningkat, sekaligus dapat memperkaya kandungan unsur hara pada kompos tersebut (Nurisamunandar 1999; Sisworo 2000; Santoso et al. 2004; Tombe et al. 2008; Goenadi dan Santi 2006; Soetopo dan Endang 2008; Widiastuti et al. 2009; Yunindanova 2009; Asyerem 2011; Purwani 2011; Suwarno 2011). Pupuk organik yang melibatkan mikroba dalam proses pengomposannya mampu menekan penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen tular tanah sebesar 45% (Bonanomi et al. 2007). Beberapa mikroba dekomposer dapat bertahan dalam kompos sehingga dapat berperan sebagai agensia hayati pengendali penyakit tanaman terutama patogen tular tanah disekitar daerah perakaran karena metabolit mikroba seperti antibiotik yang bersifat antagonis (Nasahi 2010; Baharudin 2011). Hasil penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa pemanfaatan agensia hayati Bacillus sp. dan Trichoderma spp. berfungsi sebagai biodekomposer limbah pertanian serta bahan organik sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman jambu mete yang terserang jamur akar putih (JAP) (Tombe et al. 2005). Jamur akar putih adalah organisme pengganggu tanaman (OPT) jambu mete yang merugikan petani. Apabila tidak segera dikendalikan dapat menjadi masalah serius dalam proses pengembangan jambu mete di Indonesia (Tombe et al. 2005). Patogen penyakit jamur akar putih adalah Rigidoporus lignosus. Jamur tersebut dapat menyerang tanaman jambu mete pada segala stadium pertumbuhan, baik pada pembibitan sampai pada tanaman yang sudah menghasilkan. Bagian tanaman yang diserang yaitu akar tunggal, akar cabang, akar rambut ataupun leher akar. Pertumbuhan bibit di lapangan sangat ditentukan oleh pertumbuhan tanaman selama pembibitan. Media tanam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman jambu mete dan kakao di pembibitan. Penggunaan media tanam kompos kulit biji mete (KBM) yang banyak
3 mengandung bahan organik sangat menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman jambu mete dan kakao. Pemberian kompos KBM yang mengandung hara N, P dan K serta mikroba dapat digunakan sebagai pupuk dan fungisida organik. Pengkayaan kompos KBM tersebut dengan mikroba perlu diupayakan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman serta ketahanannya terhadap serangan OPT, sehingga dapat menciptakan kondisi optimal bagi pertumbuhan bibit di lapangan. Melihat potensi limbah KBM yang sangat besar tersebut, maka sudah saatnya limbah tersebut dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik alternatif sekaligus berfungsi juga sebagai fungisida organik.
Tujuan Penelitian 1. 2. 3.
Menganalisis laju pengomposan limbah KBM akibat pencacahan KBM serta pemberian bioaktivator (Trichoderma spp. dan bakteri selulotik) Menganalisis pengaruh kompos KBM terhadap pertumbuhan serta serapan hara bibit jambu mete dan kakao. Menganalisis efektivitas kompos KBM yang diperkaya dengan Trichoderma spp. terhadap ketahanan bibit jambu mete dari serangan patogen R. lignosus penyebab penyakit JAP.
Hipotesis 1. 2. 3.
Pemberian bioktivator dan pencacahan pada limbah KBM dapat mempercepat proses dekomposisi limbah KBM. Pemberian kompos KBM akan meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete dan kakao. Pemberian kompos KBM yang diperkaya dengan Trichoderma spp. dapat meningkatkan ketahanan bibit jambu mete dari serangan patogen R. lignosus penyebab penyakit JAP
Manfaat Penelitian Limbah KBM dapat dijadikan sebagai pupuk dan fungisida organik. Pemanfaatannya dapat mengurangi penggunaan fungisida untuk menghambat atau menekan pertumbuhan penyakit JAP yang disebabkan oleh R.lignosus serta dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik pada tanaman jambu mete, sehingga akan memperbaiki produktivitas dan meningkatkan nilai tambah produk pertanian dengan menciptakan sistem pertanian yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Pengomposan KBM menggunakan Trichoderma spp. dan bakteri selulotik serta aplikasi kompos KBM tersebut, merupakan usaha penyempurnaan dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat, sehingga diharapkan mampu menekan degradasi sumberdaya lahan, emisi pencemar dan dapat meningkatkan pemanfaatan unsur daur ulang dari sistem pertanian (zero waste) sekaligus dapat menjaga kelestarian alam dan kesejahteraan kehidupan masyarakat setempat. Pemanfaatan kembali limbah KBM menjadi produk yang
4 berguna merupakan suatu langkah yang menguntungkan. Pendekatan melalui upaya mengubah limbah padat KBM menjadi pupuk organik melalui pengomposan diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan nilai tambah, khususnya pendapatan usahatani mete. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik bagi masyarakat petani setempat, pengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup, pemerintah daerah, maupun bagi para pengguna lain yang berkaitan dengan masalah diatas.
Ruang Lingkup Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan di lapangan dan di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan, University Farm, Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor. Penelitian ini terdiri atas tiga tahap kegiatan. Pada awal penelitian dilakukan formulasi limbah kulit biji mete dengan limbah organik pertanian lainnya (ampas sagu), gulma dan pupuk kandang kambing melalui proses pengomposan, untuk memperoleh formula pupuk dan fungisida organik yang ideal. Selanjutnya kompos KBM yang dihasilkan pada percobaan pertama diaplikasikan pada bibit jambu mete dan kakao kemudian diamati pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan serapan hara bibit jambu mete dan kakao. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah pengujian formula kompos KBM yang telah diperkaya oleh Trichoderma spp. pada bibit jambu mete untuk mengetahui efektivitas formula kompos KBM sebagai fungisida organik terhadap ketahanan bibit jambu mete dari serangan patogen R. lignosus. penyebab penyakit JAP. Secara ringkas ruang lingkup penelitian digambarkan pada Gambar 1 (Bagan alur tahapan penelitian). Pengomposan limbah KBM menjadi pupuk dan fungisida organik
Efektivitas formula kompos KBM terhadap serapan hara dan pertumbuhan bibit tanaman jambu mete serta kakao
Efektivitas formula kompos KBM yang diperkaya oleh Trichoderma spp. sebagai fungisida organik untuk mengendalikan serangan penyakit JAP pada bibit jambu mete
Pupuk dan fungisida organik untuk bibit jambu mete Gambar 1 Bagan alur tahapan penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Jambu Mete (Anacardium occidentale L) Tanaman jambu mete berdasarkan klasifikasi botaninya termasuk dalam kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Dikotiledon, ordo Sapindales, famili Anacardiaceae, genus Anacardium dan spesies Anacardium occidentale L. (Muljohardjo 1990). Jambu mete merupakan tanaman tahunan dengan batang pokok yang tegak dan dapat mencapai tinggi 10 - 12 m, dengan tajuk melebar, sangat bercabang-cabang. Tajuk bisa menjadi tinggi dan menyempit atau rendah dan melebar tergantung pada kondisi lingkungannya. Perakaran jambu mete sangat ekstensif. Pada umur 9 BST (bulan setelah tanam) pertumbuhan akar tunggang dominan, selanjutnya pertumbuhan akar lateral yang menonjol. Akar tunggang dapat mencapai kedalaman 9 m. Akar lateral 4.5 m memencar sampai dibatas proyeksi tajuknya dengan akar - akar penyerap hara menancap sedalam 6 m. Perakaran jambu mete peka terhadap genangan air atau kondisi anaerob sehingga harus dibuat drainase. Tanaman muda, kurang dari dua tahun peka terhadap cekaman lingkungan, terutama kondisi kering. Tanaman dewasa tidak menyukai naungan karena jambu mete berbunga terminal sehingga bunga - bunga yang terbentuk bila tidak mendapat intensitas cahaya yang cukup akan gugur. Jambu mete mempunyai dua jenis bunga yaitu bunga jantan dan bunga sempurna (hermaprodit). Penyerbukan pada bunga hermaprodit terjadi secara silang. Data Direktorat Jenderal Perkebunan (2006) menunjukkan, hasil rata-rata nasional jambu mete hanya 430 kg ha-1, jauh di bawah Vietnam yang mencapai 800 kg ha-1 tahun-1 dan India 1 000 kg ha-1 tahun-1 (Chau 1998; Rao 1998). Rendahnya produktivitas jambu mete disebabkan pada awal pengembangan tanaman jambu mete di tahun 1970-an hanya ditujukan untuk konservasi lahan atau penghijauan karena dianggap adaptif di daerah kering KTI. Bahan tanaman yang digunakan berasal dari biji, tanpa seleksi dan budidaya yang memadai, dengan daerah pengembangan yang bervariasi. Kondisi - kondisi tersebut menyebabkan produktivitas tanaman menjadi rendah (Rusmin et al. 2006; Daras 2007). Rendahnya produktivitas jambu mete diduga berawal dari persepsi umum bahwa jambu mete tidak menuntut persyaratan tumbuh yang ketat dan mampu beradaptasi baik pada berbagai kondisi tanah tanpa berkurang produktivitasnya (Ohler 1988). Tanaman jambu mete banyak dikembangkan pada tanah - tanah marginal, ketika tanaman lain tidak mampu memberikan keuntungan. Pola pikir sederhana yang telah tersosialisasi dikalangan petani mete di Indonesia mengakibatkan petani mengharapkan tanaman jambu mete dapat memberikan hasil sebanyak mungkin dengan biaya produksi rendah, tanpa memperhatikan persyaratan tumbuh dan pemeliharaan tanaman. Buah jambu mete terdiri atas dua bagian yaitu buah semu (cashew apple) dan buah sejati (cashew nut), buah semu merupakan tangkai bunga yang membesar dan seolah - olah menjadi daging buah yang sebenarnya (Ohler 1988). Buah sejati adalah gelondong mete yang berbentuk ginjal menempel pada buah semu Gambar 2), berkulit keras mengandung minyak dan dibagian paling dalam terdapat biji mete yang berbelah dua atau Cashew kernel (Heyne 1987). Satu
6 bagian dari tanaman jambu mete yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat adalah potensi kulit bijinya. Menurut Ketaren (1996) biji jambu mete terdiri atas 70% kulit biji dan 30% daging biji. Komposisi kulit keras gelondong mete terdiri atas, air 13.17%, abu 6.74%, selulosa 17.35%, protein 4.06%, gula 20.85% dan 37.83% minyak kulit jambu mete (Ohler 1988). Kulit biji mete (nut shell) diduga mengandung minyak sekitar 32-38% yang terdiri atas 90% asam anakardat dan sisanya 10% kardol (Ketaren 1996; Santos dan Magalaes 1999).
buah semu cashew apple
buah sejati cashew nut
A. Jambu mete muda
B. Jambu mete matang siap panen
Gambar 2 Jambu mete (Gilleo et al. 2011) Minyak kulit biji jambu mete dalam istilah perdagangan, dikenal sebagai Cashew Nut Shell Liquid (CNSL). CNSL merupakan minyak yang tersusun dari senyawa fenolat kompleks dengan rantai karbon panjang bercabang dan tidak jenuh. Fenol dari CNSL mengandung fenolat yang bernilai ekonomis. CNSL tidak dapat digunakan sebagai bahan pangan tetapi digunakan untuk berbagai macam keperluan industri, antara lain sebagai bahan baku oli rem mobil dan pesawat terbang, perekat kayu pada industri kayu lapis nasional dan bahan fungisida nabati (Cahyaningrum et al. 2006). Fenol dari CNSL memiliki beberapa keunggulan karena memiliki rantai samping yang panjang dan berupa mono-, di-, dan triolefin sehingga memiliki fleksibilitas yang tinggi. Kandungan lipida fenolik (kardol) dalam CNSL merupakan senyawa amfifilik yang dapat berinteraksi kuat dengan membran biologis sehingga menyebabkan perubahan struktur dan fungsinya. Interaksi tersebut dapat memberikan efek antifungi dan aktivitas sitotoksik (Kresnamurti dan Budiarti 2008).
Gambar 3 Irisan melintang kulit biji mete (Tyman 1980)
7
Kulit biji mete terdiri atas tiga lapisan kulit (Setyono 2002) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 yaitu, epikarp yang merupakan kulit luar yang keras dan liat, mesokarp berstruktur seperti sarang lebah dan mengandung cairan CNSL, serta endokarp yang keras dan kaku. Kulit gelondongan mete memiliki kandungan lemak dan protein yang tinggi, didalamnya terdapat unsur esensial berupa karbon (C) sehingga kulit biji mete dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan pupuk organik yang berkualitas baik.
Kompos dan Pengomposan Kompos adalah hasil penguraian parsial atau tidak lengkap dari campuran bahan - bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerob atau anaerob (Crawford 2003). Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses tersebut meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan (Isroi 2004). Kompos ibarat multivitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah (Goenadi dan Santi 2006; Setyorini et al. 2006). Kompos yang diproduksi dengan bantuan mikroba lignoselulotik unggul, yang tetap bertahan di dalam kompos dan berperan sebagai pengendali hayati penyakit tanaman dikenal dengan kompos bioaktif. Mikroba yang digunakan sebagai dekomposer tersebut akan tetap hidup dan aktif di dalam kompos, sehingga ketika diberikan ke tanah mikroba dalam kompos tersebut akan mengendalikan organisme penyebab penyakit tanaman. Selanjutnya, seiring dengan penambahan kompos ke tanah akan meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman serta membantu menghadapi serangan penyakit yang disebabkan patogen (Isroi 2004; Bonanomi 2007; Purwani 2011; Asyerem 2011; Baharudin 2011). Pada dasarnya semua bahan organik padat dapat dikomposkan, misalnya: limbah organik rumah tangga, sampah organik pasar, kertas, limbah peternakan, limbah pertanian, limbah agroindustri, limbah pabrik kertas, limbah pabrik gula dan limbah pabrik kelapa sawit. Limbah organik harus dihancurkan atau dikomposkan terlebih dahulu oleh mikroba tanah menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Proses pengomposan bahan organik yang memiliki kandungan lignin yang tinggi, secara alami membutuhkan waktu yang lama kurang lebih enam bulan hingga satu tahun sampai bahan - bahan organik tersebut benar - benar tersedia bagi tanaman, (Landau 2002). Hal tersebut sangat menghambat upaya pelestarian penggunaan bahan organik untuk lahan pertanian. Bahan yang mengandung lignin menjadi penghalang akses enzim selulotik pada degradasi bahan organik yang berlignoselulosa dan dapat menghambat proses
8 dekomposisi sehingga dapat menyebabkan penumpukan limbah dan berdampak negatif bagi lingkungan. Pengomposan dengan menggunakan mikroba perombak lignin dan selulosa dapat membantu dekomposisi bahan organik menjadi lebih cepat tanpa merusak kualitas kompos yang dihasilkan (Sastraatmadja et al. 2001; Leifeld et al. 2002; Widawati 2005), sehingga bahan organik tersebut dapat meningkatkan kontribusi terhadap kandungan humus tanah. Terdapat dua jenis bahan aktivator yaitu: aktivator yang berbentuk kimiawi (aktivator buatan) seperti amonium sulfat, asam amino, sodium nitrat, urea dan amonia. Penggunaan aktivator yang mengandung nitrogen dan fosfor adalah salah satu cara untuk mendapatkan kompos berkualitas tinggi (Widawati 2005). Bentuk aktivator lainnya adalah bioaktivator berupa mikroba yang mampu memecah selulosa secara cepat seperti mikroba yang dikoleksi dari kompos matang, pupuk kandang, darah kering, tanah yang kaya humus dan sampah. Pengomposan adalah proses kerja mikroba, sehingga memahami dengan baik proses pengomposan sangat penting untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik. Pemahaman kondisi lingkungan yang tepat diperlukan agar mikroba sukses mengdekomposisi bahan organik mentah seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Mikroba - mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur - angsur mengalami penurunan. Pada saat suhu berangsur – angsur turun, terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus (Rynk et al. 1992; BC 1998; Hirrel dan Riley 2002). Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan tersebut dapat mencapai 30% – 40% dari volume atau bobot awal bahan (Rynk et al. 1992). H
Panas
Bahan baku organik (karbon, energi kimia, protein, nitrogen) Mineral ( nitrogen, dan nutisi lainnya ) Air Mikroba
CO2
Air
Bahan organik (karbon, energi kimia, protein, nitrogen) Mineral Humus Air Mikroba Tumpukan bahan kompos
Bahan mentah
Komponen akhir O2
Gambar 4 Skema proses pengomposan aerob (Rynk et al. 1992) Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap awal pengomposan, oksigen dan senyawa - senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat dan akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga
9 50–70 oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi tersebut yaitu mikroba termofilik yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat tersebut terjadi dekomposisi atau penguraian bahan organik yang sangat aktif. Proses pengomposan dapat terjadi secara aerob atau anaerob. Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerob, yaitu mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerob. Proses tersebut tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap (Hirrel dan Riley 2002). Proses anaerob akan menghasilkan senyawa senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam - asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S (BC 1998).
Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi bahan dan lingkungan yang berbeda - beda. Dekomposer akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik bila kondisinya sesuai. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri. Nisbah C/N Nisbah C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30 : 1 hingga 40:1 di awal pengomposan (BC 1998; Guntoro et al. 2003). Mikroba memecah senyawa C (karbon) sebagai sumber energi dan menggunakan N (nitrogen) untuk sinTesis protein. Pada nisbah C/N di antara 30 sampai dengan 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sinTesis protein. Apabila nisbah C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sinTesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Ukuran Partikel Ukuran Partikel menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Aktivitas mikroba ada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Luas permukaan dapat ditingkatkan dapat dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut. Aerasi Secara alami aerasi akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.
10 Porositas Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga - rongga tersebut akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplai Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu. Kelembaban (Moisture content) Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Mikroba dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerob yang menimbulkan bau tidak sedap. Suhu Semakin tinggi suhu akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi serta panas yang dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Suhu yang berkisar antara 30 – 60 oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60 oC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba - mikroba patogen tanaman dan benih - benih gulma. Derajat Kemasaman (pH) Derajat kemasaman (pH) optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa - senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase - fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral (BC 1998). Kandungan hara Unsur hara N, P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam kompos - kompos dari peternakan. Hara tersebut akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan. Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori tersebut. Logam - logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.
11 Patogen Penyebab Penyakit Jamur Akar Putih pada Tanaman Jambu Mete: R. lignosus Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) pada tanaman jambu mete yang disebabkan R. lignosus dijumpai pertama kali pada tahun 1995 dengan luas serangan 550 ha, yang tersebar di empat kabupaten se-Nusa Tenggara Barat yaitu Kabupaten Lombok Barat 71.35 ha, Lombok Timur 28 ha, Sumbawa 395 ha dan Dompu 55 ha. Areal yang sudah dikendalikan pada tahun 1996 - 1998 adalah seluas 350 ha. Luas serangan JAP berdasarkan rekapitulasi laporan perkembangan OPT oleh petugas Perlindungan Perkebunan pada tahun 2002 sudah mencapai 1 425 ha dengan tingkat serangan ringan dan tingkat serangan berat 575 ha dari luas areal 56 000 ha (Tombe et al. 2005). Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya perawatan tanaman dan penjarangan tanaman yang terlambat dilakukan oleh petani. Patogen Penyakit JAP adalah R. lignosus. Serangan JAP banyak terjadi terutama pada areal tanaman jambu mete yang sebelumnya merupakan hutan primer yang pembersihan lahannya dilakukan tidak sempurna, sehingga tunggul dan akar tanaman hutan yang terserang JAP masih tersisa dan tertinggal dalam tanah yang selanjutnya ini merupakan sumber makanan dan sumber infeksi penyakit (Sudirja 2011). Penyakit JAP dapat menyerang di pembibitan sampai tanaman dewasa. Serangan menyebabkan akar menjadi busuk dan biasanya pada permukaan akar ditumbuhi miselium jamur menyerupai akar rambut tanaman berwarna putih kemudian menjadi kuning gading. Gejala tersebut baru terlihat apabila daerah perakaran dibuka. Gejala luar yang nampak pada pohon terserang, daun berwarna hijau kusam, permukaan daun menelungkup, kuning, layu dan gugur sehingga tajuk pohon menipis akhirnya pohon menjadi gundul dan mati (Ditjenbun 2001) Penyebaran JAP melalui kontak akar tanaman sakit dengan tanaman sehat. Penyebaran jarak jauh yaitu dengan spora yang diterbangkan angin, alat pertanian, serangga dan manusia. Spora tidak dapat langsung menimbulkan infeksi pada tanaman, melainkan spora tumbuh terlebih dahulu pada tunggul kayu dan tumbuh membentuk koloni kemudian miseliumnya merambat ke akar dan cabang sehingga bertemu dengan akar tanaman muda. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap distribusi pohon - pohon jambu mete sakit menunjukkan pola sebaran mengelompok (Sudirja 2011). Faktor pendorong perkembangan penyakit JAP pada tanaman jambu mete antara lain adalah: akar tanaman sakit menjadi sumber penularan bagi tanaman sekitarnya; persiapan lahan tanaman kurang baik dan bersih yang menyisakan tebangan berupa tunggul kayu yang menjadi media penyebaran JAP; penjarangan tanaman yang terlambat dilakukan; tidak dilakukan pemangkasan bentuk dan produksi; adanya pohon-pohon sakit dalam hutan; sekitar kebun jambu mete dapat menjadi sumber penularan dan penyebaran JAP; kebun - kebun yang kotor dan lembab/tidak dilakukan sanitasi kebun; serta drainase kebun yang kurang baik membuat kebun lembab terutama pada musim penghujan. Pemberian Trichoderma spp. disekitar leher akar yang dicampur dengan kompos atau dedak dapat mengurangi serangan JAP (Sudirja 2011). Dosis Trichoderma spp. yang dicampur dedak disesuaikan dengan umur tanaman, untuk bibit dalam polibag 50 g tanaman-1, tanaman belum menghasilkan 100 - 150 g
12 tanaman-1 dan tanaman menghasilkan 200 - 250 g tanaman-1). Pencampuran Trichoderma spp. dengan kompos atau dedak dimaksudkan agar penyebaran agensia hayati lebih merata dan sebagai media yang baik bagi pertumbuhannya. Dosis fungisida hayati cair per pohon 25 ml per 5 l air sedangkan bila diaplikasikan pada bibit dipolibag dengan bobot tanah 5 kg dosis fungisida hayati cair perbibitnya adalah 200 ml dengan konsentrasi 5 ml per 1 l air diaplikasikan disekeliling leher akar tanaman yang terserang ringan dan sedang secara merata. Pemberian fungisida hayati dalam bentuk cair dapat juga dicampur dengan kompos atau dedak (Ditjenbun 2001, Sudirja 2011).
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan (KP) Cikabayan, University Farm, IPB, Darmaga, Bogor mulai bulan September 2012 – Agustus 2013. Lokasi percobaan terletak pada elevasi 250 m diatas permukaan laut. Analisis hara pada kompos, tanaman jambu mete, tanaman kakao dan tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.
Metode Percobaan Penelitian ini terdiri atas tiga tahap kegiatan. Tahap pertama, pengomposan KBM. Tahap kedua, aplikasi formula kompos KBM pada bibit jambu mete dan kakao. Tahap ketiga, aplikasi formula kompos KBM sebagai pupuk dan fungisida organik untuk meningkatkan ketahanan bibit jambu mete terhadap patogen R. lignosus.
Pengomposan Kulit Biji Mete Kegiatan yang dilaksanakan dalam pengomposan KBM adalah: (i) formulasi bahan baku kompos, (ii) pencacahan, (iii) pencampuran, (iv) pengamatan. Bahan organik berupa limbah padat kulit biji mete (KBM), gulma terpilih yang tumbuh disekitar tanaman jambu mete, ampas sagu dan pupuk kandang diformulasikan sehingga diperoleh suatu formula pupuk atau fungisida organik. KBM yang digunakan sebagai bahan utama kompos KBM berasal dari Kecamatan Lombe Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara Formula bahan organik tersebut kemudian dikomposkan selama lebih kurang 2 bulan dengan menggunakan konsorsia mikroba dekomposer (Trichoderma spp. dan bakteri selulotik) yang berasal dari Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah, Bogor.
13 Pencacahan bahan dilakukan pada limbah KBM, A. conyzoides dan Setaria sp. dengan menggunakan mesin pencacahan sehingga diperoleh cacahan kasar KBM berukuran 1.0 – 3.0 cm dan gulma (A. conyzoides dan Setaria sp.) berukuran 3 – 5.0 cm kemudian dilakukan penjemuran. Bahan organik sebagai starter berupa pukan kambing, ampas sagu, A. conyzoides dan Setaria sp. dicampur hingga merata dengan perbandingan volume (1:1:1:1). Proses pengomposan dilakukan secara aerobik menggunakan bak pengomposan yang berukuran 0.5 m x 0.5 m x 1 m (panjang x lebar x tinggi) terbuat dari kayu. Bak tersebut dilapisi dengan karung plastik sebagai dinding bak dan dibuat lubang - lubang kecil sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi udara (Gambar 6). Kondisi tersebut dimaksudkan agar suhu tumpukan bahan dalam bak pengomposan tidak melampaui suhu termofilik yaitu 65 oC. Bak - bak kompos ditutup mulsa plastik agar terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung sehingga terjaga kelembabannya. Parit dibuat disekeliling bak kompos agar air hujan tidak tergenang pada dasar tumpukan kompos (Widawati 2005; Purwani 2011; Asyerem 2011). Pemberian mikroba dekomposer dilakukan dengan cara disiram merata pada setiap lapisan permukaan bahan kompos yaitu KBM dan starter. Selanjutnya, bahan kompos tersebut diletakkan pada bak pengomposan lapis demi lapis secara selang seling dengan ketebalan lapisan masing masing adalah 25 cm dan 16 - 17 cm hingga bak pengomposan terisi penuh. Kadar air tumpukan selama pengomposan dipertahankan 60% dengan cara menambahkan air. Pembalikan kompos dilakukan setiap minggu pada setiap perlakuan sambil dilakukan pengadukan untuk perbaikan aerasi tumpukan agar diperoleh kompos yang homogen. Formula kompos KBM yang telah matang kemudian dikeringanginkan dan diayak, kemudian diinkubasi selama lebih kurang dua minggu sebelum digunakan pada percobaan selanjutnya. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) yang disusun secara faktorial. Terdapat dua faktor yang dicobakan yaitu, bioaktivator (B0 = tanpa bioaktivator; B1 = bioaktivator) dan pencacahan kulit biji mete (C0 = tanpa dicacah; C1 = dicacah). Dari kedua faktor tersebut terdapat empat kombinasi perlakuan yaitu: B0C0 (tanpa aktivator, KBM tidak dicacah; B0C1(tanpa aktivator KBM dicacah); B1C0 (Aktivator, KBM tidak dicacah; B1C1 (aktivator, KBM dicacah). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali, sehingga terdapat 12 unit percobaan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan SAS (Statistical Analysis Sistem). Apabila dalam sidik ragam pada taraf α 0.05 terdapat pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT. Data primer yang dikumpulkan pada percobaan pengomposan KBM adalah: 1) analisis kandungan C, N, P, dan K dari limbah KBM; 2) suhu kompos diamati setiap hari pada pukul 10.00 pagi; 3) nisbah C/N dan pH dilakukan setiap dua minggu; 4) penyusutan volume tumpukan kompos; 5) analisis kandungan unsur N, P, K, dan C organik pada kompos KBM kompos. Parameter yang digunakan untuk memperkirakan kematangan kompos meliputi suhu, warna bahan seresah, bau dan penurunan volume kompos dan nisbah C/N.
14
Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan dan Serapan Hara pada Bibit jambu mete serta Bibit Kakao Kegiatan pada tahap ke-2 terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama menguji pengaruh kompos KBM pada bibit jambu mete varietas Cikampek B02. Percobaan kedua menguji kompos KBM pada bibit kakao varietas Upper Amazone Hybrid (UAH). Kedua percobaan tersebut menggunakan formula kompos KBM kualitas terbaik yang dihasilkan dari percobaan pertama. Percobaan pada tahap kedua ini dilakukan di rumah kaca yang diberi atap penaung berupa paranet 55%. Percobaan tersebut menggunakan polibag yang berukuran 30 x 20 cm dan tebal 0.08 mm yang diisi tanah sebanyak 5 kg per polibag. Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAKL dengan tiga ulangan yang terdiri atas lima perlakuan yaitu: P0 = kontrol (top soil); P1 = pukan kambing 50 g polibag-1; P2 = pukan kambing 100 g polibag-1; P3 = kompos KBM 50 g polibag-1; P4 = kompos KBM 100 g polibag-1. Terdapat lima kombinasi perlakuan dengan tiga kali ulangan sehingga masing-masing percobaan diperoleh 15 satuan unit percobaan. Data dari peubah yang diamati selanjutnya dianalisis dengan sidik ragam, apabila pada taraf α 0.05 terdapat pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT. Kegiatan yang dilaksanakan pada percobaan ini yaitu: (i) persiapan media tanam; (ii) persiapan benih dan perkecambahan; (iii) penanaman; (iv) pemeliharaan; dan (v) pengamatan. Tahap persiapan media tanam antara lain menyediakan tanah yang akan digunakan untuk media tanam yaitu tanah Latosol di Kebun Percobaan Cikabayan Dramaga yang diambil secara komposit dari lapisan atas dengan kedalaman 0 – 20 cm, lalu dikering anginkan selama 2 – 4 hari. Tanah kemudian ditumbuk dan disaring dengan saringan berukuran 2 mm lalu tanah ditimbang sebanyak 5 kg kemudian dicampurkan secara merata dengan perlakuan pupuk organik sesuai dosis kemudian dimasukkan ke dalam polibag dan dibiarkan selama satu minggu. Penanaman bibit jambu mete dan kakao dilakukan setelah sebelumnya masing-masing biji dikecambahkan terlebih dahulu. Benih kakao direndam terlebih dahulu di dalam air selama 10 menit (Rosniawaty 2005). Benih mete varietas BO2 yang diperoleh dari kebun percobaan Balitro di Cikampek selanjutnya direndam air selama 24 jam. Benih mete dan kakao yang tenggelam diambil sebagai benih terpilih untuk dibibitkan (Daras 2007). Benih kakao dikecambahkan pada media pasir yang sudah diberikan fungisida berbahan aktif mancozeb 80%. Umumnya pada hari kedua setelah dikecambahkan sudah ada benih kakao yang berkecambah. Polibag yang sudah diisi media tanam sesuai perlakuan harus sudah dipersiapkan sebelumnya karena benih kakao cepat berkecambah. Pemindahan kecambah kakao dari tempat perkecambahan ke polibag tidak boleh lebih dari hari ke-12 setelah benih dikecambahkan. Benih yang berkecambah lebih dari 12 hari termasuk benih yang tidak baik atau berkualitas rendah. Tanda bahwa benih sudah berkecambah adalah sudah keluar calon akar sepanjang 1.5 – 2 mm. Pemindahan benih harus dilakukan sebelum perakaran melebihi dari 5 mm. Selanjutnya, dilakukan dua kali pengecekan dan pemindahan kecambah kakao dalam sehari, agar tidak terjadi keterterlambatan pemindahan kecambah kakao ke polibag. Bibit dipilih yang seragam, bervigor, sehat, akarnya lurus tidak
15 mengalami kerusakan. Setiap polibag yang sudah berisi media tanam sesuai dengan perlakuan ditanami satu kecambah. Lubang tanam pada polibag dibuat dengan kayu atau jari, sedalam 2/3 tinggi benih. Bagian ujung benih yang membesar (mata benih) disebelah bawah dibenamkan pelan - pelan kedalam media tanam agar tidak merusak perakaran sampai kira - kira 1 cm yang muncul diatas permukaan media tanam. Benih mete dikecambahkan pada media polibag kecil yang berukuran 14 x 10 cm lebih kurang selama dua minggu. Benih ditanam dengan posisi berdiri dengan pangkal benih atau bekas melekatnya biji pada buah semu di bagian bawah, atau telungkup dengan bagian lekukan benih menghadap ke bawah (smile side down) Gambar 5. Semaian disiram setiap hari dipagi hari. Cara menanam benih jambu mete juga berpengaruh terhadap daya berkecambah. Marjono (1981) menyatakan bahwa, cara menanam benih mete yang terbaik yaitu posisi benih berdiri dengan pangkal biji (bekas melekatnya benih pada buah semu) pada bagian bawah. Penanaman dengan cara tersebut menghasilkan benih berkecambah 66.20%. Kecambah mete kemudian dipindahtanamkan pada polibag sesuai dengan perlakuan yang sudah ditentukan. Penelitian diakhiri setelah bibit jambu mete dan kakao berumur 3 bulan. Peubah yang diamati meliputi: tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjang akar, bobot segar tanaman, bobot kering tanaman. Serapan hara N, P, K bibit tanaman jambu mete dan kakao dilakukan setelah 12 MST. Analisis tanah dilakukan sebelum dan sesudah percobaan. Analisis tanah pada akhir percobaan diambil dari perlakuan yang terbaik.
Gambar 5 Penanaman benih mete model smile side down (Gilleo et al. 2011)
Pengujian Efektivitas Formula Kompos KBM yang telah ditambahkan Trichoderma spp. terhadap Ketahanan Bibit jambu mete Akibat Serangan Patogen Rigidoporus lignosus Penyebab Penyakit JAP Rancangan percobaan yang digunakan yaitu RAKL dengan tiga ulangan yang terdiri atas lima perlakuan yaitu P0 = kontrol (tidak diinokulasi R. lignosus); P1 = kontrol (diinokulasi R. lignosus); P2 = kompos kulit biji mete (KBM) 50 g
16 polibag-1 + mikroba (Trichoderma spp.); P3 = kompos KBM 100 g polibag-1 + mikroba (Trichoderma spp.) dan P4 = Biofungisida komersial 200 ml polibag-1. Perlakuan P1 – P4 diinokulasi oleh patogen R. lignosus pada 4 BST, sedangkan kontrol 1 (P0) tidak diinokulasi oleh patogen R. lignosus. Terdapat 15 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan terdiri atas 10 bibit jambu mete. Jumlah seluruhnya 150 bibit jambu mete. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan SAS (Statistical Analysis Sistem). Apabila dalam sidik ragam pada taraf α 0.05 terdapat pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT. Setiap perlakuan diaplikasikan pada stadia bibit jambu mete. Penyemaian benih dilakukan seperti pada tahap penelitian kedua yang sudah dijabarkan sebelumnya. Pengkayaan mikroba Trichoderma spp. dengan cara diinfestasikan pada kompos KBM kemudian diinkubasi selama lebih kurang dua minggu baru dicampurkan dengan tanah secara merata sesuai perlakuan dan dimasukan kedalam polibag. Kecambah mete kemudian dipindahkan kedalam polibag yang telah diisi tanah dan kompos KBM atau dengan pukan kambing sesuai perlakuan. Inokulasi R. lignosus pada bibit jambu mete dilakukan pada 12 MST. Selanjutnya, pemberian biofungisida sebanyak 200 ml polibag-1 dengan konsentrasi 5 ml l-1 air (Sudirja 2011) Bagian tanaman diatas permukaan tanah yang terserang JAP pertumbuhannya akan terhambat. Kejadian penyakit JAP ini ditandai dengan daun secara jelas nampak hijau kusam dibanding dengan tanaman sehat dan jika diamati secara dekat daun nampak kaku. Selanjutnya secara bertahap daun akan berwarna kuning dan dimulai pada daun sebelah bawah dan berangsur - angsur gugur ke tanah, sehingga tajuk tanaman menipis akhirnya tanaman menjadi gudul dan mati Bagian bawah tanah, jika leher akar dibuka akan nampak permukaan akar diselimuti benang - benang berwarna putih kekuningan dan pipih menyerupai akar rambut yang menempel kuat dan sulit dilepas. Miselium jamur berwarna putih sehingga untuk memastikan tanaman jambu mete terserang JAP akan dapat dideteksi dengan menutup pangkal batang tanaman dengan seresah daun mete atau jerami dan dalam jangka waktu lebih kurang 2-3 minggu akan muncul miselium warna putih pada pangkal batang. Pada serangan berat akar lateral dan tunggang membusuk sehingga tanaman mati (Sudirja 2011) Tanaman yang telah diinokulasi disiram setiap hari untuk menjaga kelembaban media. Pengamatan persentase bibit jambu mete yang sakit akibat serangan penyakit jamur akar putih (JAP) dilakukan 30 hari setelah inokulasi R.lignosus. Parameter morfologi bibit jambu mete yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot kering total tanaman. Perhitungan persentase bibit yang sakit (kejadian penyakit) dilakukan pada setiap tanaman untuk masing masing perlakuan dengan rumus (Purwani 2011; Asyerem 2011): Kejadian penyakit =
tanaman yang terserang tanaman yang diamati
∗ 100%
Penilaian ketahanan bibit jambu mete terhadap penyakit JAP dipembibitan ini dikembangkan berdasarkan penyakit patogen lain karena belum terdapat acuan yang memiliki fiabilitas cukup dalam penilaian ketahanan bibit jambu mete terhadap JAP. Kriteria ketahanan penyakit akhir yang diperoleh merupakan hasil rata - rata kejadian penyakit pada setiap tanaman disetiap ulangan.
17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengomposan Limbah Kulit biji Mete Proses pengomposan adalah proses penguraian bahan organik secara biologis, khususnya oleh mikroba - mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi (Gambar 6). Selama proses tersebut unsur hara akan bebas menjadi bentuk yang larut dan dapat diserap oleh tanaman. Tanpa proses pengomposan bahan organik baik sisa hewan maupun tumbuhan tidak berguna bagi tanaman, karena unsur hara masih terikat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman (Setyorini et al. 2006). Proses pengomposan limbah KBM terdiri atas 4 formula yaitu formula 1 (B0C0) (limbah KBM yang tidak dicacah + starter (Setaria sp., A. conyzoides, pukan kambing dan ampas sagu)), formula 2 (B0C1) (limbah KBM yang dicacah + starter (Setaria sp., A. conyzoides, pukan kambing dan ampas sagu)), formula 3 (B1C0) (limbah KBM yang tidak dicacah + bioaktivator Trichoderma spp. dan bakteri selulotik + starter (Setaria sp., A. conyzoides, pukan kambing dan ampas sagu)), formula 4 (B1C1) (limbah KBM yang dicacah + bioaktivator Trichoderma spp. dan bakteri selulotik + starter (Setaria sp., A. conyzoides, pukan kambing dan ampas sagu).
A
B
C
D
E
F
Gambar 6 Proses pengomposan kulit biji mete (KBM) A = animasi bak kompos, B = urutan lapisan bahan organik dalam bak kompos, C = pengadukan tumpukan kompos seminggu sekali, D = pengukuran suhu harian, E = kompos dikering anginkan dalam rumah kaca, F = pengayakan
18 Suhu Suhu yang dihasilkan secara biologis selama proses pengomposan sangat penting untuk : (1) memaksimalkan laju dekomposisi dan (2) menghasilkan bahan yang secara mikrobiologi aman untuk digunakan, karena suhu tinggi dapat menghancurkan organisme patogen, parasit, dan benih gulma (BC 1998; Setyorini et al. 2006). Dekomposisi bahan organik oleh mikroba pada metode pengomposan aerob menghasilkan energi yang dilepaskan dalam bentuk panas. Panas yang dihasilkan menyebabkan perubahan suhu dalam timbunan kompos. Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba (Summers et al. 2003). Fluktuasi suhu yang terjadi selama proses pengomposan merupakan salah satu bukti terjadinya aktivitas mikroba di dalam tumpukan kompos. Terdapat hubung-an langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi suhu akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Suhu yang berkisar antara 30–60 oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat dan merupakan suhu optimum dalam pengomposan, sedangkan suhu maksimum dalam pengomposan 75 oC (Hirrel dan Riley 2002). Profil perubahan rata – rata suhu harian ditunjukkan dalam Gambar 7. Pengamatan suhu selama proses pengomposan bervariasi diantara perlakuan yang diuji. Proses penurunan suhu kompos tampak pada Gambar 7 terjadi secara perlahan setelah mencapai suhu maksimal. Suhu tumpukan kompos kemudian perlahan akan berubah menjadi dingin mendekati suhu udara lingkungan sama dengan suhu pada awal pengomposan sekitar 32–34 oC
Gambar 7 Perubahan rata - rata suhu harian formula kompos kulit biji mete Suhu setiap formula kompos mengalami tiga tahap proses pengomposan yaitu tahap pertama tahap inisiasi (tahap mesofilik), mikroba hadir dalam bahan kompos menyebabkan suhu meningkat. Mikroba tersebut bertugas memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan. Tahap kedua yaitu tahap termofilik, mikroba termofilik yang hidup pada suhu 45–50 ⁰C hadir dalam tumpukan bahan kompos
19 dan bertugas mengkonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat. Pada tahap tersebut terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif, mikroba – mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas (Gambar 4) (Rynk et al. 1992). Memasuki tahap ketiga pada proses pengomposan keberadaan senyawa – senyawa yang mudah dirombak mulai berkurang, sehingga hanya mikroba yang mampu memanfaatkan senyawa yang lebih resisten seperti selulosa dan lignin yang masih mampu mempertahankan aktivitasnya. Semakin lama aktivitas mikroba mendekomposisi bahan kompos semakin lambat, sehingga energi panas yang dihasilkan tidak cukup lagi untuk meningkatkan suhu dan akan mencapai suhu stabil setelah melalui suhu puncak. Tahap ketiga yaitu tahap pendinginan dan pematangan, karena kandungan energi dalam pengomposan pada tahap ini terus menerus digunakan oleh aktivitas mikroba, maka jumlah O2 dalam tumpukan bahan kompos menjadi terbatas, akibatnya aktivitas mikroba semakin berkurang dan suhu menurun. Selama tahap pendinginan, proses penguapan air dari material yang telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilisasi pH dan penyempurnaan pembentukan asam humat. Bahan akhir kompos yang terbentuk bersifat stabil dan merupakan sumber pupuk organik (Dallzel 1987; BC 1998; Nurisamunandar 1999; Sisworo 2000; Saraswati et al. 2006; Setiawan 2009). Tabel 1 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan cacahan KBM terhadap rata – rata suhu formula kompos KBM Formula Waktu pengomposan Kompos KBM 1 MSP 2 MSP 3 MSP 4 MSP ............. oC ............. Bioaktivator B0 : 43.82b 48.33a 40.61a 34.25a B1 : 47.09a 46.25a 41.98a 34.82a Uji F Pr Notasi Cacah C0 : C1 : Uji F Pr Notasi Interaksi Pr Notasi
0.0003 **
0.0618 tn
0.0751 tn
0.2219 tn
42.00b 48.92a
41.21b 53.38a
37.00b 45.58a
33.34b 35.73a
<.0001 **
<.0001 **
<.0001 **
0.0011 **
0.0097 **
0.6063 tn
0.6537 tn
0.2610 tn
angka - angka pada kolom dan faktor yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT α 5%, B0: tanpa bioaktivator, B1 = bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik), C0 = kulit biji mete tidak dicacah, C1= kulit bij mete yang dicacah, Pr = probability, MSP = minggu setelah perlakuan, KBM = kulit biji mete, tn = tidak nyata, * = nyata pada α 5%, * = nyata pada α 1%.
Interaksi antara perlakuan bioaktivator dengan cacah berpengaruh nyata terhadap suhu pada 1 MSP (Tabel 2). Perlakuan kombinasi pemberian bio-
20 aktivator (B1) dan pencacahan pada KBM (C1) menghasilkan suhu tertinggi di tumpukan bahan kompos pada 1 MSP. Hal ini berarti terdapat saling pengaruh mempengaruhi antara kedua perlakuan tersebut atau pemberian bioaktivator dan pencacahan KBM saling bekerjasama meningkatkan suhu tumpukan bahan kompos pada tahap awal pengomposan (1 MSP). Pencacahan KBM akan memperluas wilayah kontak mikroba dalam mendekomposisi kulit biji mete. Penambahan bioaktivator pada KBM yang dicacah akan meningkatkan aktivitas mikroba yang ditandai dengan peningkatan suhu yang berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya (Tabel 2). Tabel 2 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata – rata Suhu formula kompos KBM pada 1 MSP Bioaktivator Cacahan KBM C0 C1 ............. oC ............. B0 41.19d 46.44b B1 42.80c 51.38a angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji DMRT α 5%, B0: tanpa bioaktivator, B1 = bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik), C0 = kulit biji mete tidak dicacah, C1= kulit bij mete yang dicacah, MSP = minggu setelah perlakuan, KBM = kulit biji mete.
Suhu mulai meningkat diawal minggu pengomposan. Pengaruh tunggal bioaktivator terhadap suhu pengomposan berbeda nyata hanya pada 1 MSP. Pada minggu kedua perlakuan B0 dan B1 memperlihatkan suhu kompos tertinggi (Tabel 1), kemudian suhu berangsur – angsur mengalami penurunan sejak minggu ke-3. Suhu kompos tertinggi untuk perlakuan cacah juga terdapat pada minggu kedua, yaitu berkisar antara 42.96-53.38 oC. Suhu tertinggi yang dicapai pada minggu kedua tersebut disebabkan pada tahap tersebut proses dekomposisi berjalan secara intensif. Pada tahap awal dekomposisi, mikroba memperbanyak diri secara cepat dan meningkatkan suhu bahan kompos. Pada tahap tersebut senyawa - senyawa yang mudah dirombak, seperti gula sederhana (fruktosa dan glukosa), pati, protein dan senyawa sederhana lainnya masih relatif banyak. Senyawa - senyawa inilah yang pertama kali dirombak oleh mikroba sebagai sumber karbon dan energi untuk aktivitas metabolismenya. Akibat metabolisme tersebut mikroba akan melepas sejumlah energi dalam bentuk panas sehingga menyebabkan suhu bahan kompos meningkat (Nurisamunandar 1999; Setiawan 2009). Pada awal pengomposan populasi mikroba pada bahan formula kompos KBM cukup banyak dan beragam. Hal tersebut terlihat dari kompos yang tidak diberi bioaktivator (B0) sekalipun suhunya tetap meningkat pada minggu kedua. Peningkatan suhu pada perlakuan B0 diduga karena mikroba yang sudah ada dalam bahan organik (mikroba alamiah) terutama yang berasal dari kotoran kambing, memiliki cukup banyak mikroba yang aktif melakukan dekomposisi atau kemampuan untuk merombak senyawa – senyawa sederhana yang terdapat pada bahan formula kompos KBM tersebut sehingga suhu meningkat. Menurut Paul dan Beauchamp (1996) pemberian pupuk kandang sapi perah (300 kg total N/ha) pada lahan dengan kesuburan rendah dapat menghasilkan biomassa mikroba yang tinggi selama masa pertumbuhan dibandingkan kontrol (tanah tanpa perlakuan) dan tanah yang mendapat 100 kg N/Ha dalam bentuk urea.
21 Hal tersebut memperlihatkan bahwa penambahan pupuk kandang pada tumpukan bahan kompos dapat meningkatkan jumlah biomassa mikroba yang dapat membantu proses dekomposisi. Kotoran ternak merupakan media yang paling cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Pupuk kandang yang dikomposkan dapat menyediakan jasad pelapukan yang aktif, sehingga pemanfaatan pupuk kandang sebagai aktivator dalam proses pengomposan berhubungan erat dengan penambahan jumlah organisme perombak (Nurisamunandar 1999). Pemberian bioktivator (B1) berupa Trichoderma spp. yang merupakan fungi selulotik dan bakteri selulotik juga menyebabkan peningkatan suhu pada tumpukan bahan kompos limbah kulit biji mete. Peningkatan suhu dicapai lebih tinggi oleh perlakuan B1 dibandingkan tanpa pemberian bioaktivator B0 (Tabel 1). Penambahan bioaktivator berupa mikroba Trichoderma spp. dan bakteri selulotik mengakibatkan semakin banyak senyawa karbon dan bahan kompos yang dirombak oleh mikroba untuk digunakan sebagai sumber karbon dan energi. Hal tersebut akan meningkatkan suhu pada tumpukan bahan kompos lebih tinggi pada B1 dibandingkan B0. Pencacahan kulit biji mete (C1) berpengaruh nyata terhadap perubahan suhu tumpukan bahan kompos. Suhu maksimum tercapai pada minggu kedua sebesar 53.38 oC. Pencacahan KBM (C1) secara nyata meningkatkan suhu tumpukan bahan kompos pada minggu – minggu awal pengomposan dibandingkan pada tumpukan bahan kompos kulit biji mete yang tidak dicacah (C0), hal ini di sebabkan karena perlakuan pencacahan kulit biji mete mengakibatkan ukuran partikel bahan yang dikomposkan menjadi lebih kecil memungkinkan aerasi berlangsung dengan lebih baik dan memudahkan mikroba kontak dengan bahan organik yang dikomposkan. Semakin kecil ukuran partikel bahan organik, maka semakin besar luas permukaan yang dapat didekomposisikan oleh mikroorganisme, sehingga aktivitas metabolisme mikroba lebih intensif pada tumpukan bahan kompos kulit biji mete yang dicacah. Hal tersebut akan meningkatkan suhu jauh lebih tinggi pada tumpukan bahan kompos kulit biji mete yang dicacah (C1). Jika ukuran partikel besar atau tidak dicacah, maka permukaan yang dapat diserang oleh mikroba berkurang, reaksi akan berjalan lambat atau bahkan berhenti sama sekali (Setyorini et al. 2006), sehingga peningkatan suhu tumpukan bahan kompos kulit biji mete yang tidak dicacah (C0) berjalan relatif lebih lambat. Nisbah C/N Tujuan pengomposan pada limbah kulit biji mete ialah untuk menurunkan nisbah C/N yang awalnya mencapai 280.73 (Tabel 7). Hasil pengukuran perubahan nisbah C/N dapat dilihat pada Tabel 3. Penurunan nisbah C/N berbeda nyata pada setiap perlakuan tunggal mulai dari pengamatan minggu ke-2 hingga minggu ke-8 (Tabel 3). Pengukuran nisbah C/N awal dilakukan setelah pengomposan berjalan selama 2 minggu. Penurunan nisbah C/N limbah kulit biji mete dari 280.73 hingga menjadi antara 81.86–94.10 hanya dalam waktu dua minggu. Hal tersebut diduga karena masih banyaknya senyawa - senyawa yang mudah dirombak yang merupakan sumber energi bagi mikroba, selain itu juga populasi mikrobanya yang semakin meningkat hingga minggu kedua yang ditandai dengan meningkatnya suhu bahan kompos hingga minggu kedua (Tabel 1), kemudian laju penurunan nisbah C/N kompos berangsur angsur menurun seiring waktu pengomposan. Hal tersebut dikarenakan pada tahap akhir kandung-
22 an C-organik yang tersisa relatif resisten terhadap dekomposisi, sehingga energi yang ada dalam bahan organik yang digunakan oleh mikroba untuk mendekomposisi semakin berkurang seiring suhu yang semakin stabil (Setiawan 2009), hal tersebut menandakan aktivitas mikroba mendekomposisi yang semakin rendah (Gambar 5). Tabel 3 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata – rata nisbah C/N formula kompos KBM Formula Waktu pengomposan Kompos KBM 2 MSP 4 MSP 6 MSP 8 MSP Bioaktivator B0 : 94.10a 52.91a 49.45a 38.72a B1 : 89.97b 46.91b 40.03b 24.42b Uji F Pr Notasi
0.0004 **
<.0001 **
<.0001 **
<.0001 **
96.22a
51.78a
47.77a
36.33a
81.86b
48.05b
41.70b
30.70b
<.0001 **
0.0007 **
<.0001 **
<.0001 **
0.2826 tn
0.8341 tn
0.0696 tn
<.0001 **
Cacah
C0 : C1 : Uji F Pr Notasi Interaksi Pr Notasi
Keterangan: angka - angka pada kolom dan faktor yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT α 5%, B0: tanpa bioaktivator, B1 = bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik), C0 = kulit biji mete tidak dicacah, C1= kulit bij mete yang dicacah, MSP = minggu setelah perlakuan, KBM = kulit biji mete, tn = tidak nyata, * = nyata pada α 5%.** = nyata pada α 1%.
Tabel 4 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata – rata nisbah C/N formula kompos KBM 8 MSP Bioaktivator Cacahan KBM C0 C1 B0 40.46a 36.98b B1 32.21c 24.42d Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji DMRT α 5% B0: tanpa bioaktivator, B1 = bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik), C0 = kulit biji mete tidak dicacah, C1= kulit bij mete yang dicacah, MSP = minggu setelah perlakuan, KBM = kulit biji mete.
Penurunan nisbah C/N yang dicapai tersebut berjalan seiring dengan semakin lamanya waktu pengomposan hingga kompos mencapai kematangan normal. Nisbah C/N yang diamati pada percobaan menunjukkan bahwa nilai ter-kecil pada kompos 8 minggu yaitu 24.42 (B1C1) (Tabel 3). Pada minggu ke-8 perlakuan penambahan bioaktivator (B1) mampu menurunkan nilai nisbah C/N menjadi 24.42 dibandingkan tanpa bioaktivator (B0) 38.72. Demikian juga perlakuan pencacahan kulit biji mete (C1) mampu menurunkankan nilai nisbah C/N menjadi 30.70 dibandingkan dengan perlakuan kulit biji mete yang tidak dicacah (C0) sebesar 36.33. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan bioaktivator Tricho-
23 derma spp. dan bakteri selulotik serta pencacahan kulit biji mete mampu mempercepat proses dekomposisi. Hal tersebut sesuai dengan salah satu tujuan penggunaan bioaktivator dan pencacahan kulit biji mete dalam pengomposan yaitu untuk meningkatkan laju dekomposisi sehingga dapat memperpendek waktu pengomposan. Pengaruh interaksi kombinasi perlakuan bioaktivator dan cacah pada akhir pengomposan (8 MSP) terhadap nisbah C/N (Tabel 4), selain B1C1 mencapai kisaran 32.21–40.46. Kisaran nisbah C/N tersebut baru mencapai kisaran ideal bahan organik untuk dikomposkan, karena menurut Guntoro et al. (2003) rasio C/N bahan organik yang optimal untuk dikomposkan adalah 30-40. Penurunan nisbah C/N kombinasi perlakuan B0C0, B1C0, dan B0C1 lebih rendah dibandingkan kombinasi perlakuan B1C1 yang mencapai 24.42 (Tabel 4). Hal tersebut diduga karena yang tersisa adalah senyawa - senyawa yang sulit dirombak seperti selulosa dan lignin dan mikroba yang ada dalam bahan kompos mempunyai aktivitas merombak selulosa yang rendah dan jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan kombinasi perlakuan B1C1. Terjadinya penurunan nisbah C/N yang cukup tinggi di B1C1 tersebut diduga disebabkan karena adanya peranan mikroba dekomposer yang diinokulasikan pada awal pengomposan yang berinteraksi dengan KBM yang dicacah. Nilai nisbah C/N kombinasi perlakuan B1C1 sebesar 24.42 telah memenuhi standar minimal persyaratan teknis pupuk organik yaitu 10-25 (Suriadikarta dan Setyorini 2006). Hal tersebut menunjukkan bahwa formula kompos KBM telah termineralisasi dan nitrogen yang tersedia siap dimanfaatkan tanaman. Derajat kemasaman (pH) Nilai pH yang diinginkan melalui proses pengomposan berdasarkan SNI kompos 19-7030-2004 yaitu antara 6.80–7.49, kisaran tersebut pada umumnya cukup ideal untuk menunjang pertumbuhan tanaman apabila kompos tersebut diaplikasikan pada tanaman sebagai pupuk organik. Perubahan nilai pH selama proses pengomposan menunjukkan adanya aktivitas pengomposan. Perubahan pH selama proses pengomposan disajikan pada Tabel 5. Tidak terdapat pengaruh interaksi akibat perlakuan bioaktiator dan cacah terhadap perubahan nilai pH selama pengompos-an berlangsung. Nilai pH pada awal pengomposan (2–4 MSP) di kedua perlakuan (bioaktivator dan cacah) menunjukkan telah terjadi penurunan pH berkisar antara 5.27–5.51. Hal tersebut diduga karena pada awal pengomposan dihasilkan asam - asam organik sederhana dari hasil penguraian bahan organik yang cukup intensif dilakukan oleh mikroba seiring dengan peningkatan suhu diawal minggu proses pengomposan. Pada proses dekomposisi secara aerobik akan terbentuk asam – asam organik sederhana melalui proses nitrifikasi dari hasil penguraian bahan organik yang cukup intensif dilakukan oleh mikroba (Nurisamunandar 1999; Asyerem 2011; dan Ningsih et al. 2013). Nilai pH terendah pada awal pengomposan (2 MSP) terdapat diperlakuan tunggal pencacahan kulit biji mete, hal ini diduga selain karena proses nitrifikasi juga karena pencacahan kulit biji mete yang menghasilkan sekitar 32–38% CNSL yang terdiri atas 90% asam anakardat dan sisanya 10% kardol (Ketaren 1996; Santos dan Magalaes 1999) sehingga menjadikan pH tumpukan bahan kompos pada awal pengomposan paling rendah (Tabel 5). Pengaruh perlakuan tunggal masing – masing yaitu bioaktivator dan pencacahan kulit biji mete berpengaruh
24 sangat nyata meningkatkan pH pada umur 8 MSP. Peningkatan pH pada akhir pengamatan tersebut seiring sejalan dengan penurunan nisbah C/N. Peningkatan pH disebabkan oleh perubahan asam – asam organik sederhana yang diubah lebih lanjut menjadi CO2 dan terombaknya bahan protein bahan kompos sehingga amoniak dibebaskan yang menyebabkan nilai pH meningkat. Selain itu proses mineralisasi bahan kompos pada akhir pengomposan akan meningkatkan kation – kation basa khususnya K+, Ca2+, dan Mg (Yuwono 2006), sehingga pH diakhir pengomposan meningkat mendekati netral. Tabel 5 Pengaruh bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan cacahan KBM terhadap rata - rata pH formula kompos KBM Formula Waktu pengomposan Kompos KBM 2 MSP 4 MSP 6 MSP 8 MSP Bioaktivator B0 : 5.98a 5.51a 6.44a 6.48b B1 : 5.88a 5.50a 6.50a 6.93a Uji F Pr Notasi Cacah C0 : C1 : Uji F Pr Notasi Interaksi Pr Notasi
0.4550 tn
0.9606 tn
0.4740 tn
0.0013 **
6.33a 5.59b
5.75a 5.27b
6.57a 6.37b
6.52b 6.90a
0.0021 **
0.0026 **
0.0039 **
0.0029 **
0.7614 tn
0.3354 tn
0.9842 tn
0.8406 tn
Angka - angka pada kolom dan faktor yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji DMRT α 5%, B0: tanpa bioaktivator, B1 = bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik), C0 = kulit biji mete tidak dicacah, C1= kulit bij mete yang dicacah, Pr = probabilitas, MSP = minggu setelah perlakuan, KBM = kulit biji mete, tn = tidak nyata, * = nyata pada α 5%.** = nyata pada α 1%.
Nilai pH terbesar pada akhir pengomposan (8 MSP) terdapat pada perlakuan tunggal B1, begitu juga nilai nisbah C/N terendah terdapat pada perlakuan B1 yaitu masing - masing sebesar 6.93 (Tabel 5) dan 24.42 (Tabel 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan bioaktivator berupa Trichoderma spp. dan bakteri selulotik yang disertai dengan penambahan pupuk kandang kambing dapat meningkatkan aktivitas mereduksi selulosa dalam tumpukan bahan kompos limbah kulit biji mete. Tingginya reduksi selulosa oleh Trichoderma spp. menunjukkan tingginya senyawa metabolit yang dihasilkan yaitu senyawa yang terdiri atas derivat - derivat selulosa. Hal tersebut tampak dari adanya perubahan pH kompos pada B1 yang meningkat dari 5.88 di awal pengomposan (2MSP) menjadi 6.93 (8 MSP). Hal ini seiring dengan hasil penelitian Widiastuti et al. (2009) yaitu, inokulasi Trichoderma sp. pada limbah sludge cenderung meningkatkan pH kompos yaitu menghasilkan reaksi kompos yang netral berkisar 7.3 – 7. 5.
25 Trichoderma spp. dikenal sebagai fungi penghasil enzim selulase yaitu enzim yang terdiri atas endoglukanase, eksoglukanase, dan selobiase. Enzim tersebut mampu mendegradasi selulosa menjadi hemiselulosa dan selobiosa serta mendegradasi gugus gula (glukosa) menjadi air dan CO2 (Kocher et al. 2008). Soetopo dan Endang (2008) menunjukkan bahwa jamur Trichoderma sp. memiliki peran utama dalam mereduksi selulosa pada limbah sludge. Tingginya degradasi selulosa pada perlakuan kotoran ternak + Trichoderma sp. merupakan hasil dari aktivitas Trichoderma sp. yang aktif mereduksi selulosa. Penyusutan Volume Bahan Kompos KBM Penyusutan volume bahan kompos KBM untuk minggu ke-2 sampai dengan ke-8 pada perlakuan cacah dan bioaktivator menunjukkan perbedaan yang nyata. Sampai akhir pengomposan (akhir minggu ke-8), formula kompos kulit biji mete yang dicacah menunjukkan susut volume yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 6). Hal ini disebabkan karena pencacahan pada kulit biji mete menyebabkan ukuran bahan organik berubah menjadi partikel – partikel yang lebih kecil dibandingkan pada perlakuan lainnya, sehingga permukaan area kulit biji mete yang dikomposkan menjadi lebih luas. Hal tersebut akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan organik tersebut, sehingga proses dekomposisi berjalan lebih cepat dan dalam waktu yang sama menghasilkan susut volume bahan kompos yang lebih besar pada perlakuan C1. Menurut Sisworo (2000) penyusutan volume bahan terjadi sebagai akibat hilangnya massa bahan berupa NH3+, CO2, H2O dan senyawa - senyawa lainnya. Tabel 6 Pengaruh tunggal perlakuan bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan cacah kulit biji mete terhadap rata – rata penyusutan volume formula kompos KBM Formula Kompos KBM
2 MSP
Waktu pengomposan 4 MSP 6 MSP
8 MSP
.................... (%) .................... Bioaktivator B0 : B1 :
14.27b 16.47a
21.00b 25.33a
26.45b 30.78a
30.05b 34.80a
Uji F Pr Notasi
0.0264 **
0.0001 **
0.0023 **
0.0003 **
7.23b 23.50a
13.63b 32.70a
17.40b 39.83a
20.33b 44.52a
<.0001 **
<.0001 **
<.0001 **
<.0001 **
0.0098 **
0.1099 tn
0.6052 tn
0.0044 **
Cacah C0 : C1 : Uji F Pr Notasi Interaksi Pr Notasi
Angka - angka pada kolom dan faktor yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji DMRT α 5%, B0: tanpa bioaktivator, B1 = bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik), C0 = kulit biji mete tidak dicacah, C1= kulit bij mete yang dicacah, Pr = probabilitas, MSP = minggu setelah perlakuan, KBM = kulit biji mete, tn = tidak nyata, * = nyata pada α 5%.
26 Tabel 7 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata - rata penyusutan volume formula kompos KBM pada 2 MSP dan 8 MSP Bioaktivator
Cacahan KBM C0 C1 .................... (%) ....................
2 MSP B0 B1
7.53c 6.93c
21.00b 26.00a
8 MSP B0 B1
19.07d 21.60c
41.03b 48.00a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji DMRT α 5% B0: tanpa bioaktivator, B1 = bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik), C0 = kulit biji mete tidak dicacah, C1= kulit bij mete yang dicacah.
Penggunaan bioaktivator berpengaruh nyata terhadap persen susut volume formula kompos kulit biji mete disetiap minggunya dibandingkan pada formula bahan kompos yang tidak diberikan tambahan bioaktivator (Tabel 6). Hal ini diduga karena penambahan bioaktivator akan meningkatkan jumlah mikroba yang kontak dengan bahan organik yang dikomposkan pada tumpukan formula bahan kompos KBM jumlah mikroba diperbanyak lagi setelah terjadi pembelahan sel selama berkembangbiaknya dengan mengambil unsur hara yang dibutuhkan dari penguraian bahan organik sehingga aktivitas mikroba dalam mendekomposisi bahan kompos lebih tinggi pada B1 dibandingkan B0. Hal tersebut menyebabkan persentase susut volume bahan kompos lebih besar dialami oleh perlakuan B1 dibandingkan B0 disetiap minggunya (Gambar 8). Berdasarkan waktu penyusutannya, maka susut volume bahan kompos KBM terbesar pada kedua perlakuan terjadi di minggu ke-2 (Gambar 8). Penyusutan bahan organik terjad secara maksimal dalam suhu yang tinggi. Suhu kompos yang tinggi menandakan proses pengomposan berjalan dengan baik dan bahan organik mampu diuraikan dengan baik. Selanjutnya, persentase susut volume bahan perminggunya pada setiap perlakuan semakin lama semakin menurun. Hal ini sejalan dengan perubahan suhu pada tumpukan bahan kompos yang mencapai suhu maksimal pada minggu ke-4. Setiap perlakuan pada minggu ke-8 menunjukkan persentase susut volume bahan paling kecil dibandingkan minggu – minggu sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas mikroba sudah semakin berkurang yang ditandai dengan semakin me-nurunnya suhu pada tumpukan bahan kompos KBM. Pemberian bioaktivator berupa Trichoderma spp. dan bakteri selulotik serta pencacahan pada kulit biji mete (B1C1) menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang sangat terlihat pada peubah penyusutan volume bahan kompos KBM (Tabel 8). Hal ini berarti terdapat efek saling mempengaruhi antara kedua perlakuan tersebut. Adanya penambahan bioaktivator pada bahan kompos kulit biji mete yang dicacah mampu meningkatkan laju dekomposisi sehingga laju penyusutan bahan kompos pun meningkat. Peningkatan suhu berkorelasi terhadap penurunan volume bahan kompos, yaitu jika pada awal pengomposan suhu meningkat lebih cepat hingga mencapai suhu maksimum maka penyusutan volume bahan kompos meningkat secara cepat pula pada minggu awal pengomposan, sedangkan ketika
27 nilai nisbah C/N semakin menurun setiap minggunya akan diikuti oleh peningkatan volume penyusutan bahan kompos karena semakin banyak bahan C-organik yang dirombak oleh mikroba.
Gambar 8 Pengaruh tunggal rata – rata persentase laju penyusutan volume kompos KBM per minggu Kondisi Fisik Pengamatan kondisi fisik seperti struktur dan warna kompos dilakukan secara visual dengan mengamati perubahan sejak awal pengomposan hingga akhir pengomposan (minggu ke-8). Kondisi fisik bahan kompos kulit biji mete menunjukkan perubahan bentuk dan warna. Kondisi struktur bahan kompos pada semua formula bahan kompos KBM menunjukkan struktur yang remah kecuali pada formula kompos yang kulit biji metenya tidak dicacah. Perubahan warna bahan formula kompos pada perlakuan bioaktivator dan pencacahan, pada awal pengomposan berwarna coklat muda kehitaman kemudian menjadi coklat kehitaman. Perubahan warna kompos menjadi coklat kehitaman merupakan salah satu indikasi dari kematangan kompos. Perubahan warna menjadi lebih hitam disebabkan oleh terbentuknya senyawa humik pada proses pengomposan. BC (1998) menyatakan bahwa senyawa polifenol yang dihasilkan pada proses pengomposan senyawa lignoselulosa menjadi kuinon dan selanjutnya bereaksi dengan senyawa amino membentuk asam fulvik yang berwarna gelap (hitam). Perubahan warna pada semua formula kompos menjadi coklat kehitaman berhubungan dengan perubahan bentuk bahan yang lebih remah dan hancur. Kompos yang berwarna kehitaman mengandung senyawa humus seperti asam humik, asam fulvik dan hematomalanik yang lebih banyak (Setyorini 2006; Asyerem 2011).
28 Kandungan Hara Formula Kompos KBM Kandungan hara kompos menunjukkan kualitas dari kompos tersebut. Kualitas kompos berdasarkan kandungan kimia telah ditetapkan dalam SNI 197030-2004. Kualitas kimia kompos dapat diketahui dari ketersediaan unsur hara makro serta unsur hara mikro kompos. Pemberian kompos yang kaya unsur hara mempunyai nilai penting terhadap ketersediaan unsur hara bagi tanaman, namun bila kompos belum stabil dapat menurunkan pertumbuhan dan hasil panen. Analisis sifat kimia bahan kompos dilakukan terhadap hara makro yaitu: kandungan unsur hara nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K) dan nisbah C/N serta pH pada akhir masa pengomposan diminggu ke-8 (Tabel 8). Tabel 8 Analisis C, N, P, K, nisbah C/N dan pH formula kompos KBM (8 MSP) C (%)
N (%)
P (%)
K (%)
C/N
pH
1 KBM + pukan + AC + S + AS
52.32
1.29
0.12
0.72
40.46
6.30
2 KBMc + pukan + AC + S + AS
49.16
1.33
0.16
0.81
36.98
6.67
3 KBM + pukan + AC + S + AS + bioaktivatorb 4 KBMc + pukan + AC + S + AS + bioaktivatorb
46.81
1.45
0.15
0.88
32.21
6.73
41.69
1.71
0.17
0.96
24.42
7.13
Limbah kulit biji mete Standar SNI Kompos
235.81 9.8 32 ≥ 12
0.84 0.4 ~
0.12 0.1 ~ <5
0.70 0.2 * <5
280.73 10 - 20 20 - 25
6.8 7.49 6.8 – 7.9
Formula kompos KBM
Min : Max : Suriadikarta dan Setyorini (2006)
19-7030-2004
Sumber: data primer hasil analisis b c : Trichoderma spp. dan bakteri selulotik, : dilakukan pencacahan, AC: A. conyzoides, S: Setaria sp., AS: ampas sagu, pukan: pupuk kandang kambing; KBM: kulit biji mete; (~) tak berhingga, (*) lebih kecil dari minimum atau lebih besar dari maksimum.
Karbon (C) Ditinjau dari suhu pengomposan dan penyusutan volume kompos, formula kompos F4 (B1C1) mengalami proses pengomposan yang lebih maksimal dari formula kompos lainnya. Kandungan C pada formula 4 (B1C1) adalah 41.69%. Meskipun masih terlalu besar, namun angka tersebut yang paling mendekati standar maksimum jumlah C yang ditetapkan dalam SNI yaitu 32% dibandingkan dengan nilai C/N formula kompos lainnya. Tabel 8 juga menunjukkan kandungan C tertinggi dijumpai pada formula kompos F1(B0C0), yaitu formula kompos yang tidak diberi tambahan bioaktivator dan tidak dilakukan pencacahan pada kulit biji mete nya. Nilai C organik pada F1 bila dibandingkan dengan C-organik pada standar kandungan kompos (Tabel 8) sangat tinggi. Hal tersebut diduga menyebabkan lebih rendahnya jumlah mikroba yang tersedia untuk mendekomposisi limbah kulit biji mete dan luas permukaan kontak mikroba dengan bahan kompos yang lebih kecil, sehingga dekomposisi bahan – bahan organiknya tidak sempurna. Hal tersebut juga ditandai oleh suhu pengomposan maksimum yang mampu dicapai formula kompos B0C0 sangat rendah dan berada di posisi terbawah (Gambar 7). Semakin tinggi kandungan C-organik menunjukkan semakin rendah kualitas kompos yang dihasilkan. Karbon merupakan sumber makanan bagi
29 mikroba. Karbon digunakan untuk menyusun bahan selular sel – sel mikroba pada waktu mikroba tumbuh dan berkembangbiak ditumpukan bahan organik (Rao dan Subba 1994). Nitrogen (N) Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman (Ningsih et al. 2013). N menyusun banyak molekul penting termasuk protein, asam nukleat hormon dan klorofil. Pada saat proses pengomposan berlangsung, unsur hara N meningkat dari 0.84% menjadi berkisar antara 1.29–1.71%. Jumlah N terendah pada formula 1 (B0C0, 1.29%) sedangkan yang tertinggi ditemukan pada formula kompos ke-4 (B1C1, 1.71%), hal ini diduga karena pencacahan KBM dan pemberian mikroba selulotik dapat mempercepat peningkatan N-total. Hasil penelitian Rahayu dan Nurhayati (2005) juga menunjukkan peningkatan kandungan N pada kompos limbah teh padat dari 0.11% menjadi berkisar antara 0.26-0.33% dengan dilakukan pemberian mikroba selulotik pada bahan komposnya. Peningkatan kandungan N pada kompos dikarenakan adanya proses mineralisasi oleh mikroba selulotik, yaitu protein yang ada pada bahan formula limbah kulit biji mete yang kemudian didegradasi menjadi asam laktat dan asam amino. Mineralisasi adalah proses yang terjadi selama dekomposisi yang terbagi atas tiga tahap. Tahap pertama yaitu aminasi merupakan proses pengubahan nitrogen kedalam bentuk amino (Tisdale et al. 1993). Tahap kedua yaitu amonifikasi, pada tahap tersebut asam amino diubah kembali menjadi NH4+ akibat adanya proses ikatan elektron yang kuat dengan ion – ion H+. Tahap ketiga yaitu nitrifikasi yang terjadi dalam dua tingkat yaitu nitritasi dan nitratasi. Proses nitritasi ialah suatu proses pengubahan amonium menjadi bentuk nitrit yang dilakukan oleh dua golongan bakteri (Nitrosomonas dan Nitrosococcus), sedangkan proses nitratasi adalah suatu proses pengubahan nitrit menjadi nitrat yang dilakukan oleh kelompok bakteri Nitobacter. Pada pertengahan waktu pengomposan terjadi penurunan kadar N total karena N yang tersedia digunakan terlebih dahulu oleh mikroba. Pada akhir pengomposan, proses dekomposisi telah sempurna serta terjadi kematian mikroba sehingga unsur hara yang banyak digunakan oleh mikroba seperti unsur N pada sebagian jasad renik yang mati terombak kembali menjadi unsur hara (Roesmarkam dan Yuwono 2002). Dari hasil penguraian bahan organik yang mengandung nitrogen dalam bentuk protein akan dihasilkan ion NH4+ dan ion NO3- yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Ningsih et al. 2013). Fosfor (P) Unsur hara fosfor (P) merupakan unsur yang sukar larut namun berfungsi sebagai penyusun beberapa protein, koenzim, asam nukleat dan substrat metabolisme (Ningsih et al. 2013) sehingga keberadaannya sangat penting bagi kelanjutan hidup mikroorganisme. Unsur hara P pada formula kompos KBM mengalami peningkatan dari 0.12 % menjadi berkisar antara 0.15 – 0.17%. Jumlah Fosfor tertinggi ditemukan pada formula kompos ke-4 (B1C1, 0.17%) dan yang terendah pada formula 1 (B0C0, 0.12%). Peningkatan nilai kandungan hara P tersebut dikarenakan adanya proses dekomposisi asam nukleat dalam bahan kompos. Asam nukleat mengalami hidrolisis membentuk basa N, karbohidrat dan H2PO4. Asam nukleat tersusun atas fosfat, gula dan basa nitrogen yang apabila mengalami proses dekomposisi maka ikatan fosfat akan lepas, sehingga dapat
30 menyediakan fosfat organik yang akan dimineralisasi menjadi fosfat anorganik melalui reaksi H2PO4 menjadi HPO42- (Hardjowigeno 2003). Kalium (K) Unsur hara K bagi tanaman memiliki sedikit peran sebagai penyusun komponen tanaman dan pengaturan mekanisme seperti fotosintesis serta translokasi karbohidrat, selain itu unsur K sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk bahan gizi, katalisator, dan metabolisme sel (Hardjowigeno 2003; Ningsih et al. 2013). Unsur K dalam kompos mengalami peningkatan dari 0.70% menjadi berkisar antara 0.72 – 0.96%. Jumlah kalium tertinggi ditemukan pada formula kompos ke-4 (B1C1, 0.96%) dan terendah pada formula ke-1 (B0C0, 0.70%). Peningkatan unsur hara K disebabkan adanya penguraian bahan organik, yaitu K yang terikat oleh bahan organik dibebaskan menjadi ion K+ yang mudah diserap oleh tanaman untuk pertumbuhan. Kalium dalam sel akan lebih mudah terlepas ketika sel tersebut terurai dibandingkan dengan N dan P yang lebih banyak terdapat dalam bentuk senyawa organik yang harus dipecah lebih lanjut untuk menghasilkan fragmen – fragmen yang lebih kecil. Kalium dalam tubuh tanaman berwujud ion K+ dan tidak membentuk senyawa dengan unsur yang lain (Buckman dan Brady 1982). Nisbah C/N Nisbah C/N juga berbeda pada seluruh jenis formula kompos. Seperti dikemukakan oleh Gaur (1986) dan Rynk et al. (1992), bahwa pada proses pengomposan akan terjadi penguraian bahan organik oleh aktivitas mikroba, yaitu mikroba akan mengambil air, oksigen, dan nutrisi dari bahan organik yang kemudian bahan organik tersebut akan mengalami penguraian dan membebaskan CO2 dan O2 (Gambar 4). Hal ini terjadi pada proses pengomposan dengan tambahan bioaktivator dan pencacahan kulit biji mete serta yang tidak diberikan tambahan bioaktivator maupun kulit biji mete yang tidak dicacah. Mikroba dalam hal ini adalah bakteri selulotik dan Trichoderma spp. serta perlakuan pencacahan bahan organik sangat penting dalam proses pematangan kompos dan nilai nisbah C/N, karena kematangan kompos selain ditentukan oleh perubahan sifat fisik (warna, suhu, dan aroma) juga ditentukan oleh kandungan nisbah C/N. Pada penelitian ini diketahui bahwa penambahan bioaktivator dan pencacahan dalam proses pengomposan selain dapat mempercepat pematangan kompos juga dapat menurunkan nisbah C/N lebih cepat dengan nilai yang lebih rendah pada umur kompos 8 MSP (B1C1, 24.42), sedangkan nisbah C/N formula kompos KBM tanpa penambahan bioaktivator dan pencacahan sebesar 52.32 (Tabel 8). Seperti dikemukakan oleh Widawati (2005) bahwa penurunan nilai nisbah C/N terjadi karena adanya inokulasi aktivator fungi dan pencacahan bahan organik dalam proses pengomposan, karena aktivator tersebut akan menstimulasi proses mikrobiologis selama pengomposan berlangsung. Hal ini membuktikan bahwa bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) serta pencacahan kulit biji mete efektif memacu kematangan bahan kompos menjadi kompos KBM dengan menurunkan nilai nisbah C/N lebih cepat dengan nilai yang telah memenuhi standar persyaratan teknis pupuk organik. Seluruh formula kompos KBM pada akhir penelitian mengalami peningkatan unsur hara N, P, dan K serta mengalami penurunan nilai C dan nisbah C/N
31 bila dibandingkan dengan limbah kulit biji mete sebelum dikomposkan (Tabel 8). Perubahan kandungan hara tersebut menandakan bahwa selama pengomposan telah terjadi pelepasan sejumlah unsur hara, baik mikro maupun mikro melalui proses mineralisasi. Menurut Nurisamunandar (1999) dan Asyerem (2011) unsur unsur hara dapat mengalami penurunan nilai karena disebabkan adanya penanganan selama dekomposisi, yaitu pembalikan dan penyiraman yang dapat menyebabkan unsur hara menguap atau tercuci terlarut dalam air. Selain itu, kondisi iklim juga dapat mempengaruhi perubahan kandungan unsur hara kompos. Nitrogen (N)
Karbon (C) Kadar (%)
Kadar (%)
2,00 1,00 0,00
60,00 40,00 20,00 0,00
B0C0 B0C1 B1C0 B1C1
B0C0 B0C1 B1C0 B1C1
Formulasi kompos KBM
Formulasi kompos KBM
Kalium (K)
Fosfor (P) Kadar (%)
Kadar (%)
0,2 0,1 0
1,50 1,00 0,50 0,00
B0C0 B0C1 B1C0 B1C1
B0C0 B0C1 B1C0 B1C1
Formulasi kompos KBM
Formulasi kompos KBM
Derajat Kemasaman (pH) 7,50 7,00 6,50 6,00 5,50
Nisbah C/N 60,00 40,00 20,00 0,00
B0C0
B0C1
B1C0
B1C1
Formulasi kompos KBM
B0C0
B0C1
B1C0
B1C1
Formulasi kompos KBM
Gambar 9 Rata – rata C/N, pH serta kandungan unsur hara C, N, P dan K formula kompos kulit biji mete pada akhir pengomposan (8 MSP) Berdasarkan hasil pengomposan, disimpulkan bahwa pemanfaatan mikroba Trichoderma spp. dan bakteri selulotik serta pencacahan pada kulit biji mete mampu mempercepat pengomposan bahan kompos dan meningkatkan kualitas formula kompos kulit biji mete, yang ditandai dengan nilai nisbah C/N pada formula B1C1 yang telah memenuhi standar persyaratan teknis pupuk organik dibandingkan dengan formula kompos lainnya pada umur panen kompos 8 minggu. Nilai kandungan hara N,P, K dan pH kompos B1C1 diatas rentang minimum dan telah memenuhi kriteria SNI 19-7030-2004, selain itu formula
32 kompos F4 (B1C1) memiliki nilai kandungan hara N, P dan K yang lebih tinggi dari formula kompos lainnya, masing - masing yaitu 1.71%, 0.17% 0.96% dan 7.13. Semua formula kompos memiliki nisbah C/N yang belum sesuai dengan ketentuan SNI kompos yaitu 10–20, tetapi nisbah C/N formula kompos ke-4 (B1C1) sebesar 24.42 telah memenuhi standar minimal persyaratan teknis pupuk organik. Nisbah C/N selain sebagai indikator kecepatan proses pengomposan juga merupakan parameter yang paling menentukan tingkat kualitas kompos. Imbangan C dan N menunjukkan kelayakan kompos untuk diaplikasikan ke tanaman. Nisbah C/N yang tinggi menandakan belum tersedianya unsur hara dalam bentuk yang sederhana sehingga diperkirakan akan sulit untuk digunakan tanaman. Formula kompos ke-4 (B1C1) memiliki nisbah C/N yang lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya, sehingga diharapkan hara lebih mudah diserap dan digunakan untuk pertumbuhan tanaman.
Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan dan Serapan Hara pada Bibit jambu mete dan Bibit Kakao Analisis Hara Tanah dan Kompos KBM Hasil analisis tanah pada saat awal penelitian menunjukkan bahwa tanah yang digunakan memiliki tekstur lempung berpasir, bereaksi masam, dan tergolong tanah Ultisol yang miskin hara (Tabel 9). Kandungan P tersedia dalam tanah akan berbeda menurut jenisnya. Semakin muda tanah maka kandungan fosfornya semakin tinggi tetapi umumnya bernilai rendah. Ketersediaannya yang rendah dikarenakan tingginya tingkat retensi P di dalam tanah sehingga sedikit tersedia dalam larutan tanah dan unsur P mudah dijerap oleh oksida Fe, Al, dan Ca (Leiwakabessy 1988). Kandungan K tanah dengan nilai 0.09 mg menurut PPT (2008) tergolong sangat rendah, diduga kandungan K tersebut kurang cukup tersedia bagi tanaman. Kandungan unsur N dan C-organik sangat rendah dengan tingkat dekomposisi yang rendah. Nilai KTK (kapasitas tukar kation) yang rendah (PPT 2008) menjadi faktor pembatas pertumbuhan. Tanah dengan KTK yang rendah maka ketersediaan unsur haranya juga rendah karena unsur hara tersebut tidak terdapat dalam kompleks jerapan koloid maka unsur - unsur hara tersebut mudah hilang tercuci (Gusnidar et al. 2011). Hasil analisis kandungan hara pada formula kompos KBM yang digunakan pada percobaan ini dapat dilihat pada Tabel 10. Nilai rasio C/N formula kompos KBM telah memenuhi standar minimal persyaratan teknis pupuk organik yaitu 10-25 (Suriadikarta dan Setyorini 2006) dengan kondisi fisik kompos remah dan berwarna coklat kehitaman. Ditinjau dari sifat kimianya, kandungan N, P, dan K formula kompos KBM diatas rentang minimum dan memenuhi kriteria SNI kompos 19-7030-2004. pH formula kompos KBM bersifat netral sehingga hara mudah diserap tanaman. Sifat kimia kompos dari hasil analisis dapat menunjukkan kualitasnya jika pertumbuhan dan kandungan hara tanaman contoh yang diteliti memberikan hasil yang baik.
33 Tabel 9 Hasil analisis tanah yang digunakan dalam pembibitan mete dan kakao Parameter pH H2O (1:1) N-total (%) C-organik (%) Rasio C/N P-tersedia (ppm) K (mg100g-1) KTK (cmol kg-1) KB (%) Tekstur Debu (%) Pasir (%) Liat (%)
Nilai 4.30 0.1 0.96 9.6 3.09 0.09 10.86 12
Kriteria * Masam Sangat rendah Sangat rendah Rendah Sangat rendah Sangat rendah Rendah Sangat rendah
8 16 76
Lempung berpasir
Sumber : Hasil analisis Laboratorium Kimia Tanah Departemen ITSL IPB *) : (PPT 2008)
Tabel 10 Analisis C, N, P, K dan pH pada formula kompos kulit biji mete yang digunakan sebagai media tanam pada pembibitan mete dan kakao Parameter C (%) N (%) P (%) K (%) pH
Nilai 41.29 1.78 0.17 0.96 7.30
Kriteria SNI* 9.8 – 32 0.4 % 0.1 % 0.2 % 6.8 - 7.49
Sumber : Hasil analisis Laboratorium Kimia Tanah Departemen ITSL IPB *) : SNI 19-7030-2004 Spesifikasi kompos sampah organik domestik
Rasio C/N tanah percobaan senilai 9.6 tergolong rendah karena kandungan N (0.1%) dan C-organiknya (0.96%) sangat rendah (PPT 2008). Tanah yang memiliki kandungan bahan organik yang cukup akan memberikan nilai Rasio C/N berkisar antara 10 - 12 (Setyorini et al. 2006). Hal tersebut menunjukkan tanah yang digunakan dalam penelitian kurang subur. Peningkatan C-organik melalui pemberian formula kompos KBM yang memiliki kandungan C-organik 41.29% menjadi sangat berarti untuk meningkatkan kesuburan tanah. Bahan organik dalam formula kompos KBM diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti permeabilitas, porositas, struktur tanah, meningkatkan daya simpan air, meningkatkan KTK tanah dan mengkelat unsur hara sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan Bibit jambu mete dan Bibit Kakao Penilaian pertumbuhan tanaman jambu mete didasarkan atas hasil pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjang akar, bobot segar total dan bobot kering total. Uji lanjut DMRT pada taraf α 5% menunjukkan bahwa perlakuan pukan kambing dan formula kompos KBM secara nyata meningkatkan tinggi bibit, jumlah daun, diameter batang dan panjang akar dibandingkan kontrol baik pada bibit jambu mete maupun bibit kakao (Tabel 12). Berdasarkan uji lanjut DMRT terlihat bahwa perlakuan formula kompos KBM 50 g polibag-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan pukan kambing 100g polibag-1 terhadap panjang akar, tinggi bibit, diameter batang dan jumlah daun bibit jambu mete. Tabel 11 me-nunjukkan bahwa perlakuan formula kompos KBM 100 g
34 polibag-1 memberikan respon pertumbuhan bibit kakao terbaik dibandingkan perlakuan lainnya. Seperti halnya pada pertumbuhan mete, perlakuan formula kompos KBM 50 g polibag-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan pukan kambing 100 g polibag-1 terhadap panjang akar, tinggi bibit, diameter batang dan jumlah daun bibit kakao. Kedua perlakuan tersebut dapat memperbaiki keseimbangan hara dalam tanah sehingga memacu pertumbuhan dan vigor bibit jambu mete maupun bibit kakao pada 3 MSP (Gambar 10).
P4 P4
P3
P2 P2
P1
a. Bibit jambu mete
P0 P0
P4
P3
P2
P1
P0
b. Bibit kakao
Gambar 10. Keragaan bibit jambu mete dan kakao pada umur 3 BSP P0 = kontrol (top soil); P1 = pukan kambing 50 g polibag-1; P2 = pukan kambing 100 g polibag-1; P3 = kompos KBM 50 g polibag-1; P4 = kompos KBM 100 g polibag-1
Daun merupakan salah satu organ tanaman yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis. Pertumbuhan jumlah daun baik pada bibit jambu mete maupun kakao dipengaruhi oleh dosis formula kompos KBM dan pukan kambing yang diberikan. Perlakuan formula kompos KBM 50 dan 100 g polibag-1 dapat meningkatkan jumlah daun bibit jambu mete dan kakao masing – masing sebesar 34.4%; 42.6% dan 21.4%; 24.8% dibandingkan pada masing - masing kontrol. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Januwati et al. (2002) yaitu pertumbuhan daun pegagan cenderung meningkat searah dengan penambahan dosis pupuk organik yang diberikan. Bahan organik dalam formula kompos KBM dapat meningkatkan pertumbuhan diduga telah terjadi perbaikan struktur tanah, sehingga daya serap air, hara dan oksigen oleh akar tanaman meningkat. Premshekar dan Rajashree (2009) mengatakan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman disebabkan karena adanya peningkatan pembelahan dan pemanjangan sel sebagai akibat penambahan hara kedalam tanah maupun tubuh tanaman, sedangkan panjang akar sangat ditentukan oleh kondisi tanah. Tanah yang kering dengan kandungan bahan organik yang rendah (kontrol) dapat menghambat penetrasi akar ke dalam tanah sehingga pertumbuhannya terhambat, sedangkan pada perlakuan formula kompos KBM, tanah lebih porous sehingga akar cenderung akan bergerak bebas dan memiliki ukuran yang lebih panjang dibandingkan kontrol. Keadaan akar turut menentukan tingkat kemampuan tanaman untuk dapat hidup dalam suatu media tertentu. Lakitan (2011) menyatakan bahwa media tumbuh mempengaruhi sistem perakaran karena dalam media akan ditemukan adanya pengaruh dari penghalang
35 mekanis, aerasi, suhu tanah, dan kandungan hara. Kondisi tanah dengan rasio C/N < 25 memungkinkan sistem perakaran menyebar (Yunindanova 2009). Tabel 11 Pengaruh pemberian formula kompos KBM terhadap tinggi bibit, jumlah daun, diameter batang dan panjang akar bibit jambu mete dan bibit kakao pada umur 3 BSP Peubah
Perlakuan Bibit jambu metes Top soil (kontrol) Pukan kambing 50 g polibag-1 Pukan kambing 100 g polibag-1 Formula kompos KBM 50 g polibag-1 Formula kompos KBM 100 g polibag-1
Panjang akar (cm)
Tinggi bibit (cm)
Diameter batang (mm)
Jumlah daun
35.67b 41.67ab 39.33ab 49.67a 38.33ab
52.50c 58.00b 59.95a 60.96a 57.77b
8.22b 9.19a 9.28a 9.26a 9.15a
24.56c 31.39b 33.97ab 33.00ab 35.03a
0.0196 *
0.0018 **
<0.0001 **
<0.0001 **
27.74c 40.14b 41.18ab 42.69a 42.29ab
30.41d 35.90c 37.13b 38.25a 39.13a
5.53d 6.01c 6.13bc 6.28ab 6.37a
12.69c 15.04b 15.30ab 15.40ab 15.84a
<.0001 **
0.0001 **
<.0001 **
<.0001 **
Uji F
Pr Notasi Bibit Kakao Top soil (kontrol) Pukan kambing 50 g polibag-1 Pukan kambing 100 g polibag-1 Formula kompos KBM 50 g polibag-1 Formula kompos KBM 100 g polibag-1 Uji F
Pr Notasi
Formula kompos KBM (kulit biji mete yang dicacah, bioaktivator (Trichoderma sp. dan bakteri selulotik), starter (A. conyzoides, Setaria sp., ampas sagu, pukan kambing) dengan volume (1:1:1:1)). Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada uji DMRT taraf 5%, Pr = probabilitas, KBM : kulit biji mete, BSP : bulan setelah perlakuan, tn = tidak nyata, * = nyata pada α 5%.** = nyata pada α 1%.
Selain pertumbuhan vegetatif, pengaruh kompos juga terlihat dari biomassa bibit jambu mete dan kakao. Perlakuan pukan kambing dan formula kompos KBM secara nyata meningkatkan bobot segar dan bobot kering total bibit jambu mete maupun bibit kakao dibandingkan kontrol (Tabel 12). Bobot segar dan bobot kering total bibit jambu mete terbanyak dicapai pada perlakuan pukan kambing 100 g-1 polibag-1 masing masing sebesar 78.13 g dan 20.04 g, sedangkan bobot segar dan bobot kering total bibit kakao terbesar dicapai oleh perlakuan formula kompos KBM 100 g-1 polibag-1 masing masing sebesar 38.73 g dan 10.11 g. Hal tersebut diduga karena formula kompos KBM yang diaplikasikan pada pembibitan kakao telah mengalami dekomposisi lebih lanjut dibandingkan ketika diaplikasikan pada pembibitan mete, karena waktu pelaksanaan percobaan kedua pembibitan tersebut tidak bersamaan yaitu terdapat jeda lebih kurang 6 minggu dari pembibitan mete ke pembibitan kakao. Diperkirakan selama waktu jeda tersebut, formula kompos KBM yang akan diaplikasikan pada pembibitan kakao mengalami dekomposisi dan penurunan nisbah C/N lebih lanjut, sehingga ketika
36 diaplikasikan pada pembibitan kakao dapat lebih menyediakan nutrisi bagi pertumbuhan bibit kakao tersebut seiring peningkatan dosis yang diberikan. Hal tersebut dapat terlihat bahwa perlakuan formula kompos KBM 100 g polibag-1 nyata meningkatkan bobot segar maupun bobot kering bibit kakao masing masing sebesar 19.27% dan 16.74% dibandingkan perlakuan formula kompos KBM 50 g polibag-1. Hal tersebut menunjukkan unsur N dari formula kompos KBM merupakan komponen yang dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman jambu mete dan kakao dibandingkan kontrol. Tabel 12 Pengaruh pemberian formula kompos KBM terhadap bobot segar dan bobot kering bibit jambu mete serta bibit kakao pada umur 3 BSP Peubah Bobot Bobot Perlakuan segar total kering total .......... (g tanaman-1) .......... Bibit jambu mete Top soil Pukan kambing 50 g polibag-1 Pukan kambing 100 g polibag-1 Formula kompos KBM 50 g-1 polibag-1 Formula kompos KBM 100 g-1 polibag-1
49.77c 71.70a 78.13a 59.50b 55.03b
12.09c 19.50a 20.04a 18.24b 17.29b
0.0066 **
<.0001 **
18.40d 27.93c 34.85ab 32.47b 38.73a
5.09d 7.71c 9.44ab 8.66bc 10.11a
<.0001 **
<.0001 **
Uji F
Pr Notasi Bibit Kakao Top soil Pukan kambing 50 g polibag-1 Pukan kambing 100 g polibag-1 Formula kompos KBM 50 g polibag-1 Formula kompos KBM 100 g polibag-1 Uji F
Pr Notasi
Formula kompos KBM (kulit biji mete yang dicacah, bioaktivator (Trichoderma sp. dan bakteri selulotik), starter (A. conyzoides, Setaria sp., ampas sagu, pukan kambing) dengan volume (1:1:1:1)). Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada uji DMRT taraf 5%, Pr = probabilitas, KBM : kulit biji mete, BSP : bulan setelah perlakuan, tn = tidak nyata, * = nyata pada α 5%.** = nyata pada α 1%.
Peningkatan bobot segar tanaman diduga disebabkan adanya suplai hara tanaman yang berasal dari formula kompos KBM dan rendahnya nilai nisbah C/N sehingga hara lebih mudah diserap oleh tanaman dan dapat dimanfaatkan langsung untuk pertumbuhan vegetatif tanaman. Pertumbuhan vegetatif tanaman akan baik bila menyerap hara N dalam bentuk tersedia yaitu NO3- dan NH4+. Penguraian bahan organik pada formula kompos KBM yang mengandung nitrogen dalam bentuk protein akan menghasilkan ion NH4+ dan NO3- yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Ningsih et al. 2013). Bobot segar total tanaman terkait dengan fotosintesis. Bobot segar total juga dipengaruhi zat hijau daun, semakin hijau daun semakin baik proses fotosintesisnya. Warna daun terkait
37 dengan kandungan N pada daun. Tanaman yang kekurangan unsur N dapat mengganggu pertumbuhan vegetatif dan proses fotosinTesis (Yunindanova 2009). Penurunan C/N ratio disebabkan karena senyawa karbon dalam bahan kompos tersebut digunakan sebagai sumber energi oleh mikroorganisme perombak melalui proses oksidasi dan selanjutnya dibebaskan ke udara dalam bentuk CO2. Hal ini mengakibatkan kandungan karbon pada bahan organik terus mengalami penurunan. Kriteria C/N ratio dinyatakan tepat apabila kompos yang diberikan ke tanah sudah tidak menimbulkan proses immobilisasi nitrogen oleh mikroorganisme yang dapat mengakibatkan ketersediaan nitrogen bagi tanaman berkurang. Bahan organik yang memiliki nilai rasio C/N < 20 akan menyebabkan terjadinya pelepasan N dari bahan organik ke dalam tanah, bila nilai rasio C/N antara 20-30 tidak akan terjadi pelepasan N dari bahan organik dan tidak terjadi imobilisasi nitrogen tanah, dan nilai rasio C/N > 30 akan terjadi imobilisasi nitrogen tanah Tisdale et al. (1993). Menurut Suriadikarta dan Setyorini (2006), nilai rasio C/N formula kompos KBM (23.2) masih memenuhi standar minimal persyaratan teknis pupuk organik yaitu 10-25. Menurut Hamoda et al. (1998) bahwa nilai nisbah C/N formula kompos KBM berkisar 25-35 dianggap masih dalam batas kelayakan. Hal ini karena pada penelitian terhadap tanaman jambu mete, walaupun nilai C/N masih di atas 20 tetapi tidak menimbulkan defisiensi hara. Seperti yang dikemukakan oleh Prawiranata et al. (1995) bahwa jenis tanaman menyebabkan perbedaan dalam kemampuan mengabsorbsi hara. Bobot kering tanaman merupakan tolok ukur dari perkembangan tanaman (Simatupang dan Indrayati 2003). Bobot kering total memiliki peranan yang penting untuk menentukan besarnya serapan hara yang dilakukan oleh tanaman. Semakin kecil nilai bobot keringnya maka hara yang mampu diserap oleh tanaman semakin sedikit, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan morfologinya. Seperti yang terlihat pada perlakuan kontrol (top soil) baik pada bibit jambu mete maupun bibit kakao memiliki nilai bobot kering total paling kecil (12.09 g tanaman-1; dan 5.09 g tanaman-1) diantara perlakuan lainnya. Hal ini memperlihatkan pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar dan diameter batang yang paling rendah baik pada bibit jambu mete maupun kakao bila dibandingkan dengan perlakuan pupuk organik berupa formula kompos KBM dan pukan kambing. Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Serapan Hara Bibit jambu mete Perlakuan pukan kambing dan formula kompos KBM memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap serapan hara N, P, dan K di bibit jambu mete dan bibit kakao dibandingkan kontrolnya (Tabel 13). Kadar N formula kompos KBM (1.73%) dimungkinkan menjadi penyumbang N bagi tanaman dan efisien dimanfaatkan oleh tanaman jambu mete dan kakao untuk pertumbuhannya. Efisiensi pemanfaatan unsur hara oleh tanaman ditentukan oleh gabungan antara tanggap tanah dan tanaman terhadap serapan hara (Purwani 2011). Formula kompos KBM menghasilkan serapan N yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pukan kambing dibibit jambu mete, sedangkan pengaruh perlakuan formula kompos KBM terhadap serapan N dibibit kakao nyata meningkat seiring peningkatan dosis yang diberikan yaitu sebesar 23.35%. Hal ini diduga karena formula kompos KBM yang diaplikasikan kedalam tanah dipembibitan mete masih mengalami dekomposisi lebih lanjut sehingga semakin tinggi dosis kompos yang diaplikasi pada bibit jambu mete semakin banyak aktivitas bakteri
38 khususnya yang berperan dalam proses nitrifikasi yang lebih dulu memanfaatkan N sebagai sumber energi perombak sehingga tanaman akan kekurangan unsur N dalam jangka waktu tertentu. Tabel 13 Pengaruh pemberian formula kompos KBM terhadap kandungan dan serapan hara N, P, dan K bibit jambu mete serta bibit kakao pada umur 3 BSP Perlakuan Serapan hara N P K ............... (%) ............... Bibit jambu mete Top soil Pukan kambing 50 g polibag-1 Pukan kambing 100 g polibag-1 Formula kompos KBM 50 g polibag-1 Formula kompos KBM 100 g polibag-1
20.56b 49.16a 47.30a 42.81a 41.12a
4.05c 7.14a 7.22a 6.69a 6.34b
15.07b 25.51a 25.09a 21.64a 22.83a
0.0006 **
<.0001 **
0.0041 **
8.88d 13.98c 17.53b 16.74b 20.65a
1.95d 3.13c 3.87ab 3.53b 4.08a
11.59e 18.95d 26.60b 22.81c 29.90a
<.0001 **
<.0001 **
<.0001 **
Uji F
Pr Notasi Bibit Kakao Top soil Pukan kambing 50 g polibag-1 Pukan kambing 100 g polibag-1 Formula kompos KBM 50 g polibag-1 Formula kompos KBM 100 g polibag-1 Uji F
Pr Notasi
Formula kompos KBM (kulit biji mete yang dicacah, bioaktivator (Trichoderma sp. dan bakteri selulotik), starter (A. conyzoides, Setaria sp., ampas sagu, pukan kambing) dengan volume (1:1:1:1)). Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada uji DMRT taraf 5%, Pr = probabuilitas, KBM : kulit biji mete, BSP : bulan setelah perlakuan, tn = tidak nyata, * = nyata pada α 5%.** = nyata pada α 1%.
Peningkatan dosis pukan kambing (100 g polibag-1) tidak berbeda nyata dengan perlakuan pukan kambing 50 g polibag-1 dan formula kompos KBM 50 g polibag-1 terhadap serapan hara P pada bibit jambu mete. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Purwani (2011) yaitu peningkatan dosis pukan kambing 100 g pot1 terhadap serapan hara P pada tajuk tidak berbeda nyata dengan pukan dan formula kompos A (50 g pot-1). Lain halnya dengan serapan hara P dibibit kakao, serapan hara P terbesar dicapai oleh perlakuan formula kompos KBM 100 g polibag-1 dan berbeda sangat nyata baik dengan kontrol, pukan kambing maupun formula kompos 50 g polibag-1, sedangkan serapan hara P antar perlakuan formula kompos 50 g polibag-1 dengan pukan kambing 100 g polibag tidak berbeda nyata (Tabel 14). Menurut Baharudin (2011) pemberian kadar bahan organik sebesar 6.09% sangat sesuai dengan penyediaan unsur hara terhadap pertumbuhan bibit kakao. Tanaman kakao dapat tumbuh baik dengan ketersediaan bahan organik lebih dari 3,5% pada kedalaman 0-15 cm. Unsur hara P yang berasal dari bahan organik merupakan sumber P tersedia bagi kebutuhan tanaman.
39 Unsur P merupakan hara yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan akar. Fosfat dalam jumlah yang cukup dapat meningkatkan pemanjangan akar dan meningkatkan bobot akar (Leiwakabessy 1988). Hara P merupakan salah satu faktor yang paling membatasi pertumbuhan, perkembangan dan produktivitas dalam ekosistem pertanian. P diperoleh tanaman dari larutan tanah dalam bentuk ion anorganik P (Pi) baik itu dalam bentuk ortofosfat primer (H2PO4-) dan sebagian kecil dalam bentuk ion ortofosfat sekunder (H2PO42-). Serapan kedua ion tersebut bergantung pada pH di sekitar akar. Sebagian besar Pi tidak tersedia bagi tanaman karena reaktivitas Pi yang tinggi dengan kation - kation dalam tanah dan Pi cepat dikonversi kebentuk organik dengan aktivitas mikroba (Sanchez et al. 2011). Ketersediaan P sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Ketersediaan P maksimum antara pH 5.5 dan 7.5. Tanah masam (pH < 5.5) menyebabkan kelarutan Al dan Fe tinggi sehingga dapat berpresipitasi dengan P dan menghambat ketersediaan P. Pada Kondisi salin (pH > 7.5) Ca yang tinggi dapat mengikat P sehingga ketersediaannya menurun. Mobilitas ion - ion P dalam tanah sangat rendah karena retensinya dalam tanah sangat tinggi. Oleh karena itu recovery rate dari pupuk P sangat rendah antara 10 - 30 %, sisanya 70 - 90 % tertinggal dalam bentuk immobil atau hilang karena run off (Leiwkabessy 1988). Serapan hara K di bibit jambu mete antara perlakuan pukan kambing dan formula kompos tidak berbeda nyata. Peningkatan dosis formula kompos KBM dan pukan kambing tidak nyata mempengaruhi serapan K di bibit jambu mete. Sebaliknya peningkatan dosis baik pukan kambing maupun formula kompos KBM nyata meningkatkan serapan hara di bibit kakao. Serapan hara K tertinggi pada bibit kakao dicapai oleh perlakuan formula kompos KBM 100 g polibag-1 sebesar 29.90 % dan secara nyata meningkatkan serapan hara K dibandingkan kontrol. Serapan hara K dipengaruhi oleh kedalaman akar dan suhu lingkungan (Leiwakabessy 1988). Pergerakan unsur K yang tinggi (Leiwakabessy 1988) menyebabkan lebih banyak tersedia pada lapisan tanah bawah sehingga akar yang dangkal seperti pada perlakuan top soil pada bibit jambu mete dan kakao masingmasing 35.67 cm dan 27.47 cm (Tabel 11) tidak akan mampu menyerap hara K sehingga serapan hara K pada perlakuan top soil paling rendah yaitu 15.07 mg tanaman-1 (Tabel 13). Tersedianya unsur hara N, P, dan K didukung dengan perakaran tanaman yang baik dapat berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit jambu mete dan bibit kakao. Kadar bahan organik tanah (BOT) yang tersedia memiliki peran penting bagi pertumbuhan tanaman karena sebagai sumber unsur hara N, P, dan K. Mikroba yang terkandung dalam pupuk organik yaitu formula kompos KBM berfungsi meningkatkan kelarutan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, baik yang berasal dari pupuk maupun mineral tanah dan meningkatkan kemampuan akar penyerap hara dengan pembentukan akar rambut yang lebih banyak.
Efektivitas Kompos KBM yang Diperkaya dengan Trichoderma spp. Terhadap Ketahanan Bibit jambu mete dari Serangan Patogen R. lignosus. Penyebab Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) Ketahanan bibit jambu mete pada umur 1 bulan setelah inokulasi (BSI) patogen R. lignosus dapat dilihat pada Tabel 14. Pengujian ketahanan bibit jambu
40 mete terhadap patogen tular tanah R. lignosus diukur dan diamati berdasarkan persentase kejadian penyakit yang dikembangkan oleh Asyerem 2011 dan Jati 2011. Semakin besar kejadian penyakit maka semakin rentan terhadap suatu penyakit, sebaliknya semakin kecil kejadian penyakit maka semakin tahan (Asyerem 2011). Kejadian penyakit JAP pada percobaan ini terlihat dari gejala luar yang nampak pada bibit jambu mete yang diinokulasikan patogen R. lignosus, yaitu nampak pada bibit yang terserang, daun berwarna hijau kusam, permukaan daun menelungkup kemudian menguning, layu dan gugur sehingga tajuk pohon menipis (Gambar 11).
P0
P1
P2
P3
P4
Gambar 11 Keragaan bibit jambu mete pada 1 BSI R. lignosus. P0 = kontrol (tidak diinokulasi R. lignosus); P1 = kontrol (diinokulasi R. lignosus); P2 = kompos kulit biji mete (KBM) 50 g polibag-1+ mikroba (Trichoderma spp.) (diinokulasi R. lignosus); P3 = kompos KBM 100 g polibag-1 + mikroba (Trichoderma spp.) (diinokulasi R. lignosus) dan P4 = Biofungisida komersial 200 ml polibag-1 (diinokulasi R. lignosus)
Kejadian penyakit bibit jambu mete yang ditunjukkan dalam Tabel 14 berkisar antara 3.33-76.67%. Kejadian penyakit ditemukan sebesar 3.33% pada perlakuan kontrol 1 (P0) sekalipun tidak diinokulasikan patogen R. lignosus pada 4 BST. Kejadian penyakit pada perlakuan P0 tersebut diduga karena penggunaan alat pertanian yang digunakan untuk menggemburkan medium tanam pada 2 minggu setelah inokulasi patogen (MSIP) tercampur antara perlakuan yang diinokulasikan patogen dengan yang tidak. Selain itu pula diduga berkaitan dengan letak perlakuan P0 yang diapit oleh perlakuan yang diinokulasikan patogen. Diduga letaknya yang berdekatan tersebut sehingga spora JAP lebih mudah menyebar. Menurut Sudirja (2011) penyebaran JAP bisa melalui spora yang diterbangkan angin, penggunaan alat pertanian yang terkontaminasi oleh spora patogen, serangga dan manusia. Spora tidak dapat langsung menimbulkan infeksi pada tanaman, melainkan spora tumbuh terlebih dahulu pada tunggul kayu dan tumbuh membentuk koloni kemudian miseliumnya merambat ke akar dan cabang sehingga bertemu dengan akar tanaman muda. Penggunaan alat pertanian yang membawa spora tersebut diduga secara tidak langsung menyebabkan munculnya kejadian penyakit sebesar 3.3% pada perlakuan yang tidak diinokulasikan patogen R.lignosus secara langsung.
41 Tabel 14 Pengaruh pemberian formula kompos KBM yang telah diperkaya Trichoderma spp. serta biofungisida terhadap rata – rata tinggi bibit, jumlah daun, Bobot kering total dan kejadian penyakit JAP bibit jambu mete pada umur 5 BST Perlakuan
Top soil tanpa inokulasi JAP (kontrol 1) Top soil + inokulasi JAP (kontrol 2) Formula kompos KBM 50 g polibag-1 Formula kompos KBM 100 g polibag-1 Biofungisida 200 ml polibag-1 Uji F Pr Notasi
Tinggi bibit (cm) 48.09c 53.78bc 60.32ab 61.28a 55.72ab 0.0041 **
Peubah Jumlah Bobot daun kering total (g) 15.07c 18.43c 9.15d 14.38d 20.31b 30.64b 23.47a 40.86a 15.33c 20.43c <.0001 **
<.0001 **
Kejadian penyakit (%) 3.33c 76.67a 30.00b 20.00bc 60.00a 0.0012 **
Formula kompos KBM (kulit biji mete yang dicacah, bioaktivator (Trichoderma sp. dan bakteri selulotik), starter (A. conyzoides, Setaria sp., ampas sagu, pukan kambing) dengan volume (1:1:1:1)). Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada uji DMRT taraf 5%, Pr = probabilitas, KBM : kulit biji mete, BST : bulan setelah tanam, JAP = jamur akar putih, tn = tidak nyata, * = nyata pada α 5%.** = nyata pada α 1%.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formula kompos KBM secara nyata mampu meningkatkan ketahanan bibit jambu mete terhadap patogen R. lignosus. Perlakuan formula kompos KBM 100 g polibag-1 sangat nyata mampu meningkatkan ketahanan penyakit dibandingkan perlakuan biofungisida dan kontrol 2 (Top soil + inokulasi JAP). Selanjutnya, respon peubah pertumbuhan pada perlakuan formula kompos KBM 100 g polibag-1 mampu meningkatkan secara nyata tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot kering bibit jambu mete dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil pengamatan akar pada 1 BSI patogen R. lignosus (Gambar 13) memperlihatkan bagian akar tunggang pada bibit jambu mete yang diinokulasi oleh patogen R. lignosus telah terinfeksi oleh patogen tersebut. Hal ini tampak dari beberapa bagian pada akar ditutupi oleh miselium R lignosus. Trichoderma spp. mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, terutama kemampuannya untuk menyebabkan produksi perakaran yang sehat dan meningkatkan angka kedalaman akar (penetrasi akar kedalam tanah lebih dalam) (Lilik et al. 2010). Akar yang lebih dalam menyebabkan tanaman menjadi lebih resisten terhadap kekeringan. Hasil uji DMRT (Tabel 15) menunjukkan bahwa ketahanan bibit jambu mete dan respon pertumbuhan yang ditunjukkan oleh tinggi bibit, jumlah daun, dan bobot kering total yang diberi formula kompos KBM 50 g polibag-1 tidak berbeda nyata dengan formula kompos KBM 100 g polibag-1 dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol 2 yang juga telah diinokulasikan JAP dengan medium tanam yang hanya berupa top soil tanpa penambahan unsur hara dan bahan organik. Hal ini mengindikasikan bahwa formula kompos KBM 50 g polibag-1 yang telah diinfestasikan dengan Trichoderma spp. sama baik nya dengan formula kompos KBM 100 g polibag-1 untuk digunakan dalam meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen R. lignosus penyebab penyakit JAP sekaligus mampu meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete
42 sehingga mampu meningkatkan vigor bibit jambu mete selama pembibitan sebelum pindah tanam di lapangan.
P1
P0
P4
Gambar 12 Gejala serangan jamur akar putih pada bibit jambu mete umur 1 BSI P0 = kontrol (tidak diinokulasi R. lignosus); P1 = kontrol (diinokulasi R. lignosus); P4 = Biofungisida komersial 200 ml polibag-1, (diinokulasi R. lignosus), BSI = bulan setelah inokulasi
Gambar 13 Miselium R. lignosus yang telah menginfeksi permukaan akar bibit jambu mete pada perlakuan yang diinokulasikan patogen R. lignosus (1 BSI) Semakin banyak populasi Trichoderma spp. disekitar perakaran maka serangan penyakit pada tanaman jambu mete di lapangan semakin berkurang dan produksi semakin meningkat (Tombe et al. 2006). Kelebihan menginfestasikan Trichoderma spp. pada formula kompos KBM dapat menurunkan kejadian penyakit sekaligus meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete dibandingkan dengan hanya menginfestasikan biofungisida tanpa ada penambahan bahan organik. Menurut Manohara et al. (2003) bahan organik yang diberikan pada tanaman dapat mempengaruhi keadaan tanaman dan keadaan tanaman tersebut mem-pengaruhi ketahanan tanaman terhadap patogen. Penambahan bahan organik dalam medium tanam dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi dalam tanah dan membantu penyerapan hara lebih baik sehingga pertumbuhan pun meningkat lebih baik pada perlakuan formula kompos KBM yang telah diinfestasikan dengan
43 tambahan Trichoderma spp. Mikroba terutama Trichoderma spp yang terdapat dalam formula kompos KBM sebagai medium tanam dapat mengendalikan patogen, sehingga memberikan pertumbuhan bibit jambu mete yang lebih baik. Tanaman yang diberi perlakuan formula kompos KBM yang telah diperkaya oleh Trichoderma spp. diduga memiliki keadaan metabolisme yang lebih baik, seperti yang terlihat pada hasil percobaan II serapan hara bibit jambu mete pada perlakuan formula kompos KBM (41.12-42.81%) yang menunjukkan berbeda nyata dibandingkan kontrol nya (20.56%) (Tabel 13). Menurut Gardner et al. (1991) pengaruh karbondioksida dan asam giberalat dalam pupuk organik yang diberikan pada tanaman mampu menggiatkan perkembangan akar lateral. Perkembangan akar lateral yang baik akan meningkatkan jangkauan serapan hara dan air dari dalam tanah dengan lebih baik. Hara dan air yang cukup dalam tanah akan mendukung pertumbuhan tanaman dengan lebih optimal yang diperlihatkan oleh bobot kering bibit jambu mete yang diberikan formula kompos KBM 50 dan 100 g polibag-1 yang diperkaya oleh Trichoderma spp. (30.64 dan 40.86) berbeda nyata dibandingkan P1 (kontrol) 18.43, sehingga adanya inokulasi patogen R. lignosus tidak menyebabkan tanaman berada dalam keadaan stres atau tercekam. Sebalik-nya tanaman yang tidak diberi formula kompos KBM yang telah diperkaya oleh Trichoderma spp. yaitu P1 menjadi sangat tercekam setelah diinokulasi patogen R.lignosus, sehingga tanaman meresponnya secara cepat dengan meretranslokasi asimilat pada daun – daun tua bibit jambu mete ke daun – daun muda dan sink penyim-pan seperti batang, hingga akhirya daun – daun dibagian bawah bibit jambu mete (daun – daun tua) menguning, berguguran dan tajuk menipis (Gambar 12). Selain itu pula, diduga terdapat mekanisme ketahanan penyakit pada mete yang diberikan formula kompos KBM dan diperkaya Trichoderma spp., yaitu tanaman akan mengeluar-kan suatu zat phytoalexin. Senyawa tersebut merupakan antimikroba dengan berat molekul yang kecil yang terakumulasi dalam tanaman sebagai akibat infeksi atau cekaman patogen. Kecepatan akumulasi phytoalexin berasosiasi dengan ketahan-an tanaman terhadap penyakit yang disebabkan oleh fungi dan bakteri, meskipun informasi genetik untuk sintesis phytoalexin ditemukan pada tanaman peka dan tahan. Akumulasi phytoalexin setelah infeksi hanya mencerminkan akumulasinya sebagai respon terhadap cekaman akibat infeksi belaka. Phytoalexin merupakan senyawa pertahanan tanaman untuk melawan penyakit yang disebabkan oleh fungi dan bakteri karena phytoalexin terakumulasi pada situs infeksi dan menghambat pertumbuhan fungi dan bakteri in vitro (Kuc 1995). Trichoderma spp. merupakan salah satu jamur antagonis yang telah banyak diuji coba untuk mengendalikan penyakit tanaman (Lilik et al. 2010). Keunggulan jamur Trichoderma sebagai agensia pengendali hayati dibandingkan dengan jenis fungisida kimia sintetik adalah selain mampu mengendalikan jamur patogen dalam tanah, ternyata juga dapat mendorong adanya fase revitalisasi tanaman. Revitalisasi ini terjadi karena adanya mekanisme interaksi antara tanaman dan agensia aktif dalam memacu hormon pertumbuhan tanaman (Suwahyono dan Wahyudi, 2004). Mekanisme interaksi antara tanaman dan mikroba (agen hayati) dapat berperan aktif dalam memacu hormon pertumbuhan tanaman dan menstimulasi pertumbuhan tanaman dengan mensekresikan hormon IAA dan sitokinin (Baharudin 2011). Hasil penelitian Baharudin (2011) menunjukkan bahwa
44 kombinasi antara perlakuan benih dengan matriconditioning + T. Harzianum DT/38 dan T. Pseudokoningii DT/39 dan medium campuran tanah, pasir dan kompos (2:1:1) + agen hayati, selain dapat memproteksi patogen tertular benih (seedborne) dan patogen tular tanah (soilborne) juga menjadikan unsur hara menjadi cukup tersedia bagi pertumbuhan bibit, sehingga mampu meningkatkan vigor bibit kakao. Begitu pula hasil penelitian Purwani (2011) yang menyatakan bahwa perlakuan agen hayati Trichoderma sp. dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit busuk pangkal batang lada, sekaligus dapat meningkatkan tinggi bibit, jumlah daun serta dapat mengendalikan serangan P. capsici L. Mekanisme antagonis antara Trichoderma spp. terhadap patogen merupakan interaksi bersifat mikoparasitisme yang dimulai setelah hifa parasit melakukan kontak fisik dengan hifa inang. Selanjutnya, aktivitas biologis dalam tanah terjadi karena mikroorganisme antagonis berkompetisi dalam hal makanan, menghasilkan antibiotik yang bersifat racun dan melakukan parasitisme terhadap patogen (Djafaruddin 2000). Inokulasi Trichoderma spp. ke dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang menyerang di persemaian, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang dihasilkan cendawan tersebut. Selain itu Trichoderma spp. mempunyai kemampuan berkompetisi dengan patogen tanah terutama dalam mendapatkan nitrogen dan karbon (Djatmiko dan Rohadi 1997).. Mekanisme utama pengendalian patogen tanaman yang bersifat tular tanah dengan menggunakan cendawan Trichoderma spp. dapat terjadi melalui (Gultom 2008): (a) mikoparasit (memarasit miselium cendawan lain dengan menembus dinding sel dan masuk kedalam sel untuk mengambil zat makanan dari dalam sel sehingga cendawan akan mati); (b) menghasilkan antibiotik seperti alametichin, paracelsin, trichotoxin yang dapat menghancurkan sel cendawan melalui pengrusakan terhadap permeabilitas membran sel, dan enzim chitinase, laminarinase yang dapat menyebabkan lisis dinding sel; (c) mempunyai kemampuan berkompetisi memperebutkan tempat hidup dan sumber makanan. Terjadinya kompetisi bahan makanan tersebut antara Trichoderma spp. dan jamur patogen di dalam medium tanam menyebabkan pertumbuhan Trichoderma yang berkembang pesat sehingga akan mendesak pertumbuhan jamur patogen; (d) mempunyai kemampuan melakukan interfensi hifa. Hifa Trichoderma spp. akan mengakibatkan perubahan permeabilitas dinding sel. Trichoderma spp. merupakan jenis cendawan yang tersebar luas di tanah, dan mempunyai sifat mikoparasitik. Mikoparasitik adalah kemampuan untuk menjadi parasit cendawan lain. Sifat inilah yang dimanfaatkan sebagai biokontrol terhadap jenis - jenis cendawan fitopatogen. Beberapa cendawan fitopatogen penting yang dapat dikendalikan oleh Trichoderma spp. antara lain : Rhizoctonia solani, Fusarium spp, Lentinus lepidus, Phytium spp, Botrytis cinerea, Gloeosporium gloeosporoides, Rigidoporus lignosus dan Sclerotium roflsii yang menyerang tanaman jagung, kedelai, kentang, tomat, dan kacang buncis, kubis, cucumber, kapas, kacang tanah, pohon buah - buahan, semak dan tanaman hias (Tandion, 2008). Mikoparasitisme dari Trichoderma spp. merupakan suatu proses yang kompleks dan terdiri atas beberapa tahap dalam menyerang inangnya. Interaksi awal Trichoderma spp. yaitu dengan cara hifanya membelok ke arah jamur inang yang diserangnya, hal ini menunjukkan adanya fenomena respon kemotropik pada Trichoderma spp. karena adanya rangsangan dari hifa inang ataupun senyawa
45 kimia yang dikeluarkan oleh jamur inang. Ketika mikoparasit itu mencapai inangnya, hifanya kemudian membelit atau menghimpit hifa inang tersebut dengan membentuk struktur seperti kait (hook-like structure), mikoparasit tersebut juga terkadang mempenetrasi miselium inang dengan mendegradasi sebagian dinding sel inang. Mekanisme kerja Trichoderma spp. adalah menekan perkembangan JAP dengan cara pembentukan antibiotik dan mikoparasitisme, kompetisi dan kolonisasi rizomorfa. Mekanisme penghancuran Jamur Akar Putih (JAP) terjadi melalui proses lisis miselium dan rizomorfa. Lisis merupakan proses enzimatik oleh enzim selulose yang dihasilkan oleh Trichoderma spp. (Gultom 2008; Baharudin 2011). Kelebihan pupuk organik menurut Nasahi (2010) yaitu mampu menyediakan unsur hara, baik mikro maupun makro dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan tanaman. Artinya, pupuk organik mampu mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah. Formula kompos KBM yang diperkaya oleh Trichoderma spp. bertindak sebagai pupuk dan fungisida organik, sehingga mampu meningkatkan jumlah dan aktivitas metabolik jasad mikro di tanah yang memadai serta memperbaiki penampilan tanaman. Seiring dengan bagusnya pertumbuhan tanaman, maka otomatis akan meningkatkan daya tahan tanaman atas penyakit dan meningkatkan kualitas serta kuantitas hasil produksi. Menurut Nasahi (2010) mikroba yang hidup pada medium tanam dapat memperbaiki kondisi lingkungan fisik kimia tanah serta menekan pertumbuhan hama dan penyakit. Karena itu, layak menjadi pertirnbangan bagi petani memilih pupuk organik dalam hal ini adalah formula kompos KBM untuk memperbaiki kerusakan tanah, memenuhi jumlah unsur hara dalam jumlah cukup dan memadai serta memperbaiki penampilan tanaman.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Penambahan fungi Trichoderma spp. dan bakteri selulotik sebagai bioaktivator serta pencacahan kulit biji mete nyata dapat meningkatkan laju pengomposan limbah kulit biji mete sebagai bahan baku pupuk organik dan meningkatkan kualitas formula kompos kulit biji mete (KBM) yang dihasilkan hingga sesuai dengan kriteria kompos yang ditetapkan oleh SNI 19-7030-2004 dan standar persyaratan teknis pupuk organik. 2. Perlakuan formula kompos KBM memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan serapan hara bibit jambu mete maupun bibit kakao dibandingkan kontrol (top soil). 3. Formula kompos KBM 50 g polibag-1 dapat menggantikan pemberian pukan kambing 100 g polibag-1 untuk meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete hingga siap dipindahtanamkan ke lapangan.
46 4. Peningkatan dosis formula kompos KBM menjadi 100 g polibag-1 dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kakao hingga siap dipindahtanamkan ke lapangan. 5. Formula kompos KBM 50 g polibag-1 yang telah diperkaya dengan Trichoderma spp. sama baik nya dengan formula kompos KBM 100 g polibag-1 dalam mengendalikan serangan patogen R. lignosus penyebab penyakit jamur akar putih (JAP), sekaligus mampu meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete dibandingkan kontrol sehingga mampu meningkatkan vigor dan kesehatan bibit jambu mete selama pembibitan sebelum dipindahtanamkankan ke lapangan.
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat respon aplikasi formula kompos KBM hingga pada tingkat di lapangan terhadap perbaikan pertumbuhan, ketahanan penyakit dan produksi tanaman jambu mete dan kakao. 2. Perlu dilakukan pula penelitian lanjutan, yaitu aplikasi formula kompos KBM untuk tanaman berumur pendek dan dilihat respon tanaman terhadap formula kompos KBM tersebut. 3. Perlunya penelitian lanjutan menggunakan perlakuan pemberian pupuk anorganik yang dikombinasikan dengan kompos KBM. 4. Perlu dilakukan analisis kelayakan finansial dan ekonomi usaha pengomposan kulit biji mete untuk mengkaji apakah usaha tersebut bermanfaat bagi lingkungan maupun kesejahteraan pembuatnya.
47
DAFTAR PUSTAKA Asyerem FSJ. 2011. Pemanfaatan agen hayati Trichoderma spp. dan bakteri selulotik untuk pengomposan Ageratum conyzoides var hirtum (Lam), Tithonia diversifolia (Hamsley) A. gay dan ampas sagu sebagai pupuk organik pada cabai merah (Capsicum annuum L) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Baharudin. 2011. Peningkatan mutu benih dan bibit kakao hibrida (Theobroma cacao L.) dengan pendekatan fisiologi dan biologi [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [BC] British Columbia, Ministry of Agriculture and Food. 1998. BC Agricultural Composting Handbook. 2nd ed [Internet]. [Diunduh 2011 Des 13]. Canada (Ca): Agassiz. 62 hlm; Tersedia pada: http://www.agf.gov.bc.ca/resmgmt/ publist /300Series/382500-0.pdf Bonanomi G, Antignani V, Pane C, Scala F. 2007. Suppression of soilborne fungal desease with organic amandments. J Plant Pathol [Internet]. [Diunduh 2012 Feb 25]; 89(3):311–324. Tersedia pada: http: //www. ecoap.unina.it /doc/staff/giuliano_bonanomi.pdf Buckman HO, Brady NC.1982. The Nature and Properties of Soil. New York (NY): The Macmilan Company. Terjemahan Soegiman. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Bharata Karya Aksara. Cahyaningrum A, Setyowati T, Nur A. 2006. Ekstraksi cashew nut shell liquid (CNSL) dari kulit biji mete. Ekuilibrium.5(1):40–45. Chau NM. 1998. Integrated Production Practices of Cashew in Vietnam. Integrated Production Practices of Cashew in Asia. [FAO Regional Office for Asia and The Pacific 1998 Desember]. Bangkok (TH): RAP. hlm 68−73. Crawford JH. 2003. Composting of Agricultural Waste. Di dalam: Paul N, Cheremisinoff and R. P.Ouellette, editor. Biotechnology Applications and Research [Internet]. [Diunduh 2012 Feb 26]. Taipei (TW): [FFTC] Food and Fertilizer Technology Center. hlm 68 - 77. Tersedia pada: http://www.fftc. agnet.org. Dalzell HW, Biddlestone AJ, Gray KR, Thurairajan K. 1987. Soil management: compost production and use in tropical and subtropical environment. Soil Bull [Internet]. [Diunduh 2013 Juli 24]; 56:141-175. Tersedia pada:http://www. fao.org/docrep/018/.../s8930e.pdf. Daras U. 2007. Pengaruh pemupukan pada tanaman jambu mete muda di TalokoSanggar, Sumbawa. Bul Litro. 18(2): 139-145. [Ditjenbun] Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2001. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Jambu Mete. Jakarta (ID): Direktorat Perlindungan Perkebunan. hlm 24 – 25. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Statistik Perkebunan Indonesia 2008-2012: Jambu Mete. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perkebunan [Internet]. [Diunduh 2013 Oktober 01]; Tersedia pada:http://www.deptan.go.id/ infoeksekutif/bun/isi_dt5thn_bun.php
48 Djafaruddin. 2000. Dasar - dasar Perlindungan Penyakit Tanaman. Jakarta (ID) : Budi Aksara. Djatmiko HA, Rohadi SS. 1997. Efektivitas Trichoderma harzianum hasil perbanyakan dalam sekam padi dan bekatul terhadap patogenesitas Plasmodiophora brassicae pada tanah Latosol dan Andosol. Majalah Ilmiah UNSOED. 2( 23):10-22. Gaur AC. 1997. Bulky Organic Manures and Crop Residues. Di dalam: Tandon HLS, ed. Fertilizers, Organic Manures, Recycleable New Delhi (India): Indian Agricultural Research Institute. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta (ID): UIPress Gilleo J, Jassey K, Sallah JAY. 2011. Cashew Business Basics, The Gambia River Basin Cashew Value Chain Enhancement Project (CEP). Gambia: International Relief & Development. Goenadi DH, Santi LP. 2006. Aplikasi bioaktivator SuperDec dalam pengomposan limbah padat organik tebu. Bul Agron. 34(3):173-180. Gultom JM. 2008. Pengaruh pemberian beberapa jamur antagonis dengan berbagai tingkat konsentrasi untuk menekan perkembangan jamur Phytium sp. penyebab rebah kecambah pada tanaman tembakau (Nicotiana tabaccum L.) [Tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Guntoro D, Purwono, Sarwono. 2003. Pengaruh pemberian kompos bagase terhadap serapan hara dan pertumbuhan tanaman tebu (Saccharum officinarum L.). Bul. Agron. 31:112-119. Gusnidar, Yulnafatmawita, Nofianti R. 2011. Pengaruh kompos asal kulit jengkol (Phitecolobium jiringa (jack) prain ex King) terhadap ciri kimia tanah sawah dan produksi tanaman padi. J. Solum. 8(2):17-27. Hamoda MF, Abu Qudais HA, and Newham J. 1998. Evaluation of municipal solid waste composting kinetics. Resources, Conservation and Recycling [Internet]. [Diunduh pada 2013 Juni 5];23:209-223. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1016/S0921-3449(98)00021-4. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Perssindo Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta (ID): Sarana Wana Jaya. hlm 1223-1225. Hirrel SS, Riley T. 2002. Understanding The Composting Process [Internet]. [Diunduh 2011 Feb 25]. Arkansas (US): University of Arkansas. 4 hlm. Tersedia pada: http://www.uaex.edu/other_areas/publications/pdf/fsa-6036.pdf Indrawanto C, Wulandari C, Wahyudi A. 2003. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani jambu mete di Sulawesi Tenggara. J Penelit Tanam Indus. 9(4):141-148. Isroi. 2004. Bioteknologi mikroba untuk pertanian organik [Internet]. [Diunduh 2011 Feb 25]. Tersedia pada: http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/89 /pdf/ Januwati M, Sudiatso S, Andriani WS. 2002. Pengaruh dosis pupuk kandang dan tingkat populasi terhadap pertumbuhan dan produksi pegagan (Centella
49 asiatica L.) di bawah tegakan kelapa (Cocos nucifera L.) J. Bahan Alam Indosesia. 1(2): 49-57. Ketaren S. 1996. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID): UI Press. Kocher GS, Kalra KL, Banta G. 2008. Optimization cellulase production by submerged fermentation of rice straw by Trichoderma harzianum Rut C 8230.. J of microbiology [Internet]. [Diunduh 2013 Juli 20] 5(2): 383-390. Tersedia pada:http://archive.ispub.com/journal/the-Internet-journal-of-microbiology/ vol ume-5-number-2/optimization-of-cellulase-production-by-submerged-fermenta tion-of-rice-straw-by-trichoderma-harzianum-rut-c-8230.html#sthash. HgxUM Agd.dpb Kresnamurti A, Budiarti T. 2008. Perbandingan uji sitotoksik CNSL, asam anakardat dan kardol dengan metode brine shrimp lethality test. Jurnal Obat Bah Alam. 7(1):84-97. Kuc J. 1995. Phytoalexins, Stress Metabolism, and Disease Resistance in Plants. Annual Review of Phytopathology. 33: 275-297. Lakitan B. 2011. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Landau JK. 2002. Penyediaan bibit unggul dalam proses pembuatan kompos. Workshop Bidang Mikrobiologi. [2001 Okt 29]. Bogor (ID): LIPI. hlm 1-16. Leifeld J, Siebert S, Kögel-Knabner I. 2002. Biological activity and organic matter mineralization of soils amended with biowaste composts. J Plant Nutr. Soil Sci [Internet]. [Diunduh 2011 Feb 25]; 165(2):151-159. Tersedia pada:http://onlinelibrary.wiley.com Leiwakabessy FM. 1988. Kesuburan Tanah.Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lilik R, Wibowo BS, Irwan C. 2010. Pemanfaatan Agens Antagonis dalam Pengendalian Penyakit Tanaman Pangan dan Hortikultura. [Internet]. [Diunduh 2012 Juli 12]. Tersedia pada: http://www.bbopt.litbang.deptan.go.id Manohara D, Mustika I, Suprapto, Wayan L. 2003. Ekspose dan pameran PHT, Teknologi PHT untuk komoditas lada. Seminar Pengendalian Hama Terpadu, Yogyakarta. Muljohardjo M. 1990. Jambu Mente dan Teknologi Pengolahannya. Yogyakarta (ID): Liberty. Nasahi C. 2010. Peran mikroba dalam pertanian organik. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Padjajaran, Universitas Padjajaran. [Internet]. [Diunduh 2012 Feb 26]. Tersedia pada: http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/ peran_mikroba_dlm_pertanian_organik1.pdf. Ningsih RZ, Fitrihidajati H, Rahayu YS. 2013. Pengaruh penambahan daun lamtoro terhadap kualitas kompos kertas-lamtoro dan pemanfaatannya terhadap pertumbuhan tanaman bayam merah. Lentera Bio [Internet]. [Diunduh 2012 Maret 20]; 2(1):149-154. Tersedia pada:http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/ lenterabio. Nurisamunandar A. 1999. Pengomposan limbah ampas sagu (Metroxylon sago Rottb.) dengan aktivator dan waktu pengomposan yang berbeda, pengaruhnya
50 terhadap pertumbuhan selada (Lactuca sativa) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ohler JG. 1988. Cashew. Amsterdam (NL): Koninklijk Instituut voor de Tropen. 260 hlm. Paul JW, Beaucham EG. 1996. Soil kicrobial biomass C, N mineralization, and N uptake by corn in dairy cattle slurry- and urea amanded soil. Can. J Soil Sci. 76:469-472 [PPT] Pusat Penelitian Tanah. 2008. Kriteria Sifat Kimia Tanah. Bogor (ID): Pusat Penelitian Tanah. Prawiranata W, Harran S, Tjondronegoro P. 1995. Dasar - dasar Fisiologi Tumbuhan. Bogor (ID): Departemen Botani. Fakultas Matematika dan IPA. Institut Pertanian Bogor. 247 hal. Premshekhar M, Rajashree V. 2009. Performance of hybrid tomato as influenced by foliar feeding of water soluble fertilizer. American-Eurasian J. Sustain Agric [Internet]. [Diunduh 2013 Juni 5];3(1):33-36. Tersedia pada: http//www.aensiweb.org/aejsa/2009/33-36.pdf Purwani J. 2011. Pemanfaatan limbah sebagai pupuk dan fungisida organik untuk bibit lada (Piper nigum L.). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahayu MS, Nurhayati. 2005. Penggunaan EM-4 dalam penomposan limbah teh padat. J Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. 3(2):26-30. Rao N, Subba S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta (ID): UI Press. 353 hlm Rao, BEVV. 1998. Integrated production practices of cashew in India. Integrated production practices of cashew in Asia. [FAO Regional Office for Asia and The Pacific, 1998 Desember]. Bangkok (TH): RAP. hlm 15 - 25. Roesmarkam A, Yuwono NW. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta (ID): Kanisius. Rosniawaty S. 2005. Respon pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.) kultivar upper amazone hybrid akibat pemberian limbah kulit buah kakao sebagai kompos [Internet]. [Diunduh 2011 Feb 25]. Bandung (ID): Universitas Padjajaran. 17 hlm. Tersedia pada: http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/04/respon_pertumbuhan_bibit_kakao_kultivar_upper_a mazone_hybrid.pdf. Rusmin D, Sukarman, dan Melati. 2006. Pengaruh batang atas dan bawah terhadap keberhasilan penyambungan jambu mete. J Penelit Tan Indus. 12(1):32-37. Rynk R, Kamp MVD, Wilson GB, Singley ME, Richard TL, Kolega JJ, Gouin FR, Laliberty L, Kay D, Murphy DW, Hoitink HAJ, Brinton WF. 1992. On-farm Composting Handbook [Internet]. [Diunduh 2011 Feb 26]. Ithaca (US): NRAES-54. 186 hlm. Tersedia pada: http://infohouse.p2ric.org/ref /24/23702.pdf Saefudin. 2009. Kesiapan teknologi sambung pucuk dalam penyediaan bahan tanaman jambu mete. J Litbang Pertan. [Internet]. [Diunduh 2012 Feb 25];
51 28(4):100-107. Tersedia pada: http://pustaka.litbang.deptan.go.id/new/publika si/p3284 095.pdf. Sanchez L,Calderon, Alejandra C, Lopez, Alatorre F, Cobos, Antonio LM Le, Gonzalez, Herrera LE. 2011. Sensing and Signaling of PO43-. Di dalam Geisler M, Venema K editor. Transporters and pumps in plant signal. New York: Springer. 396p. p 201-224. Santos ML, Magalaes DC. 1999. Utilisation of cashew nut shell liquid from Anacardium occidentale Las strating material for organic synthesis: a novelroute to lasiodiplodin from cardols. JBraz Chem Soc.[Internet]. [Diunduh 2012 Feb 26]; 10(1):13-20. Tersedia pada: http://www.scielo.br/scielo.php ?pid=S0103-50531999000100003&script=sci_arttext. Santoso B, Winarno D, Sastrosupadi A, Djumali. 2004. Pengaruh kompos limbah dekortikasi rami dari beberapa tekhnik pengomposan terhadap pertumbuhan dan hasil serat klon pujon 10. Di dalam Karmawati E, Mahmud Z, Luntungan HT, Usman, editor. Prosiding Simposium IV Hasil Tanaman Perkebunan; 2004 Sep 28-30; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Sinar Jaya.hlm 182-187. Saraswati R, Santosa E, Yuniarti E. 2006. Organisme Perombak Bahan Organik. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DDA, Hartatik W, editor. Bogor (ID): Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Sastraatmadja DD, Widawati S, Rachmat. 2001. Kompos sebagai salah satu pilihan dalam penggunaan pupuk organik. Seminar Pelatihan Produk Teknologi Unggulan dan Ramah Lingkungan. Bandar Lampung (ID): UNILA. Setiawan E. 2009. Pengaruh empat macam pupuk organik terhadap pertumbuhan sawi (Brassica juncea L.). Embryo. 6(1): 27-34. Setiyono A. 2002. Pengaruh waktu pemanasan awal dan konsentrasi heksamin dalm pembuatan bubuk friksi sebagai komponen kanvas rem berbahan baku CNSL [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Setyorini D, Saraswati R, Anwar EK. 2006. Kompos. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DDA, Hartatik W, editor. Bogor (ID): Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Simatupang RS, Indrayanti L. 2003. Pengaruh pemberian kompos gulma sebagai sumber NPK terhadap tanaman padi di lahan sulfat masam. Bul Agron. 31(2): 42-46. Simpen IN. 2008. Isolasi cashew nut shell liquid (CNSL) dari kulit biji jambu mete (Anacardium occidentale L.) dan kajian beberapa sifat fisika kimianya. Jurnal kimia. 2(2):71-76. Sisworo. 2000. Biodekomposisi beberapa bahan lignoselulosa dan efektivitas produknya dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah (Allium ascalonium L.). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soetopo RS, Endang RCC. 2008. Efektivitas proses pengomposan limbah sludge ipal industri kertas dengan jamur. Berita Selulosa. 43(2): 93-100.
52 Sudirja IGGP. 2011. Pengendalian jamur akar putih (Rigidoporus lignosus) pada tanaman jambu mete secara terpadu [Internet]. [Diunduh 2011 Mar 24]. NTB (ID): DISBUN PSP. Tersedia pada: http://disbunpsp.blogspot.com/20 11/03 /jamur-akar-putih.html Summers MD, Blunk SL, Jenkins BM. 2003. How straw decomposes: implication for straw bale construction. DRAFT 12/8/2003 [Internet]. [Diunduh pada 2012 Juli 20]. Tersedia pada: http://www.osbbc.ca/.../how_straw_decomposes.pdf Suriadikarta DA, Setyorini D. 2006. Baku mutu pupuk organik. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DDA, Hartatik W, editor. Bogor (ID): Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Suwarno M. 2011. Respon Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap aplikasi pupuk organik dari limbah kulit buah jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang diinkubasi dengan 4 jenis dekomposer. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tandion H. 2008. Pengaruh jamur antagonis Trichoderma harzianum dan pupuk organik untuk mengendalikan patogen tular tanah Sclerotium roflsii Sacc. pada tanaman kedelai (Glycine max L.) di Rumah Kasa [Tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatra Utara. Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1993. Soil Fertility and Fertilizers. 5th ed. New York (NY): Mac. Millon. Tombe M, Wahyuno D, Zulhisnain. 2005. Pengendalian penyakit jamur akar putih (JAP) jambu mete secara terpadu. Bul Litro. 27(1):13-26. Tyman JHP. 1980. Cultivation, Processing and Utilisation of The Cashew. Amsterdam (AN): Chem Ind. hlm 59-62. Widawati S. 2005. Daya pacu aktivator fungi asal kebun biologi Wamena terhadap kematangan hara kompos, serta jumlah mikroba pelarut fosfat dan penambat nitrogen. Biodiversitas. 6(4):238-241. Widiastuti H, Iisroi, Siswanto. 2009. Keefektifan beberapa dekomposer untuk pengomposan limbah sludge pabrik kertas sebagai bahan baku pupuk organik. Berita Selulosa. 44(2): 99-110. Yunindanova MB. 2009. Tingkat kematangan kompos tandan kosong kelapa sawit dan penggunaan berbagai jenis mulsa terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) dan cabai (Capsicum annum L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yuwono T. 2006. Kecepatan dekomposisi dan kualitas kompos sampah. J Inovasi Pertanian. 4(2):116-123.
53
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 13 Desember 1984 dari pasangan Dr Ir H Mudjur Muif Msi dan Hj Sri Mulyani, sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Jenjang pendidikan SD sampai dengan SMA diselesaikan di Kota Bogor. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 2006. Penulis menikah dengan Rachmat Hidayat Dairi ST, MT pada 18 September 2006 dan telah dikaruniai seorang putri bernama Yuni Himayatur Rahmania. Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Dayanu Ihsanuddin, Baubau, Sulawesi Tenggara sejak tahun 2009. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister sains pada program studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana IPB, diperoleh pada tahun 2011 dengan mendapatkan Beasiswa pendidikan pascasarjana yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Indonesia. Selama mengikuti program S-2, penulis menjadi anggota FORSCA AGH (Forum Mahasiswa Pascasarjana Departemen Agronomi dan Hortikultura) IPB.