UJICOBA/DEMONSTRASI PLOT PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN TERNAK DAN PUPUK ORGANIK DI KABUPATEN MAROS Gusti Aidar, dkk A. PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Produksi padi Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008 sebesar 4,14 juta ton Gabah Kering Giling GKG),mengalami peningkatan sebanyak 448,22 ribu ton GKG (naik 12,33%) jika dibandingkan ATAP 2007 (BPS Provinsi
Sul-Sel, 2008).
Peningkatan produksi padi disebabkan oleh meningkatnya luas panen sebesar 65,57 ribu hektar (8,51%) dan juga produktivitas mengalami peningkatan sebesar 1,67 kuintal/perhektar (3,54%). Sedangkan produksi jagung tahun 2008 (ATAP) sebesar 1,20 juta ton pipilan kering,mengalami peningkatan sebanyak 225,74 ribu ton (naik 23,27%) dibandingkan tahun 2007. Peningkatan produksi jagung karena meningkatnya luas panen sebesar 22,66 ribu hektar (8,63 %) dan meningkatnya produktivitas sebesar 4,98 kw/ha (13,47%). Sejalan dengan peningkatan produktivitas padi dan jagung diikuti pula peningkatan volume limbah/by product yang dihasilkan seperti jerami padi, dedak padi, jerami jagung dan tongkol jagung. Limbah-limbah tersebut umumnya setelah panen dibakar atau
dibiarkan petani dilahan sawah, membusuk dan
diambil orang lain. Kurangnya sosialisasi teknologi tepat guna pemanfaatan limbah pertanian di olah menjadi pakan masih sangat kurang , sehingga
penyediaan
paka n murah dan bergizi tersedia sepanjang tahun merupakan problem yang selalu dihadapi peternak.
Selain
belum mengetahui manfaatnya juga petani-
peternak tidak tahu cara mengeolahnya, jerami masih dianggap sebagai sisa tanaman yang mengganggu pengolahan tanah dan penanaman. Dari satu hektar sawah
dengan
produksi
5 ton
dihasilkan paling sedikit 6 ton
jerami,
pemanfaatannya baru sekitar 38% dari jumlah produksi dan belum termanfaatkan 62% (Darwono, 2008) seperti limbah padi dan jagung sangat berlimpah pemanfaatannya belum optimal. Padahal dapat diolah sebagai pakan ternak atau dikembalikan ke tanah sebagai sumiber hara tanaman.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Pemanfatan limbah jerami padi sebagai pakan ternak hewan ruminansia, potensinya besar dan mampu mencukupi kebutuhan ternak sapi akan hijauan pada musim kemarau di mana hijauan sulit diperoleh. Namun jerami padi memiliki banyak kelemahan, antara lain rendahnya nilai gizi dan daya cerna serta tidak disukai hewan ruminansia karena teksturnya keras. Kandungan protein kasar dari jerami padi antara 3,7-4,3% (basis kering), atau ekivalen dengan 0,5% N2, dengan daya cerna hanya 30-35% (Tillman, A.D., dkk, 1991). Faktor penghambat dalam memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak sapi adalah rendahnya kualitas jerami padi sebagai pakan sapi, baik nilai nutrisi, daya cernanya rendah, kurang disukai sapi karena teksturnya yang keras dan kurang palatable. Rendahnya daya cerna terhadap jerami padi disebabkan dipanennya setelah tanaman padi tua, sehingga kandungan sellulose, hemi sellulose dan lignin sudah tinggi (Tjandramukti, 1984). Untuk itu perlu ditingkatkan nilai nutrisi jerami padi dengan melakukan pengolahan, baik fisik, kimia, enzim maupun fermentasi atau berbagai perlakuan lainnya. Salah satu teknologi fermentasi jerami padi adalah dengan menggunakan probiotik. Probiotik adalah natural additive berupa mikroba hidup yang mampu meningkatkan kecernaan dinding sel tanaman. Mikroba selulolitik yang terdapat pada probiotik akan menghasilkan enzim selulase yang akan membantu pemecahan ikatan lignoselulose, sehingga akan meningkatkan kecernaan (Balitnak, 1996). Fermentasi jerami padi dengan probiotik dapat meningkatkan kecernaan in vitro bahan kering dan bahan organik (Syamsu, 2001), meningkatkan kandungan protein kasar serta peningkatan degradasi bahan organik (Agus, et al., 1999). Di sisi lain sebagian besar lahan pertanian di Indonesia telah berubah menjadi lahan kritis akibat pencemaran dari limbah industri/pabrik dan pemakaian pupuk anorganik/kimia yang terlampau banyak secara terus menerus sehingga membuat unsur hara tanah semakin menurun. Lahan pertanian yang sudah masuk dalam kondisi kritis mencapai 66% dari kurang lebih 7 juta lahan pertanian yang ada di Indonesia. Jika hal ini dibiarkan, produktivitas lahan akan terus menurun dan akhirnya lahan tersebut sendiri akan mati. Langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan penggunaan pupuk organik untuk mengganti penggunaan pupuk anorganik/kimia pada tanah pertanian. Penggunaan pupuk organik bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia ,
sehingga dosis pupuk & akibat pencemaran lingkungan yang disebabkan penggunaan pupuk kimia bisa dikurangi. Peranan pupuk organik sangat penting untuk menjaga kualitas lahan pertanian, apalagi mengingat penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan bisa merusak kualitas tanah (Dirjen Industri Argo dan Kimia,
). Pupuk organik
bermanfaat untuk memperbaiki kualitas lahan yang telah menurun akibat penggunaan pupuk anorganik. Kandungan Bahan Organik (BO) dalam tanah, saat ini kurang dari 2% sehingga berakibat menurunnya daya serap tanaman terhadap asupan hara yang diberikan. Padahal normalnya jumlah kandungan BO yang sehat adalah 5%, dan salah satu penyebabnya penurunan ini adalah penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus. Di sisi lain pemanfaatan pupuk organik belum merata di tingkat petani karena petani belum mampu mencukupi pupuk tersebut masih sebatas pelengkap dalam memupuk pertanamannya. Padahal ketersediaan bahan baku pupuk organik sangat melimpah, dapat diperoleh sepanjang tahun dan hampir ditemukan di mana pun. Kabupaten Maros memiliki potensi pertanian dan peternakan sapi potong yang menjanjikan, namun kendala petani umumnya dihadapkan oleh rendahnya produktivitas lahan dan penyediaan hijauan pakan tidak mencukupi terutama di musim kemarau, pemeliharaannya pun masih bersifat tradisional. Untuk itu, dilakukan uji coba/demonstrasi teknologi pengolahan limbah pertanian sebagai pakan dan pupuk organik. Dengan demikian permasalahan tersebut dapat diatasi sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan petani, terjaganya kelestarian lingkungan dan terciptanya pertanian bebas limbah.
2.
Tujuan, Sasaran dan Luaran a. Tujuan Mensosialisasikan teknologi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak dan pupuk organik. Mengetahui kandungan kimia pupuk organik Menghimpun umpan balik dari pengguna
b. Sasaran
Petani/peternak Sapi di Kelurahan Mattirodeceng, Kecamatan Lau, Kabupaten Maros. c. Luaran Tersosialisasinya teknologi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak dan pupuk organik. Performa kandungan kimia pupuk organik Terhimpunnya umpan balik dan persepsi pengguna tentang teknologi demonstrasi. 3.
Perkiraan Manfaat dan Dampak a. Manfaat Petani mau
dan mampu menerapkan teknologi Pemanfaatan Limbah
sebagai pakan ternak dan pupuk organik. Kelestarian lingkungan terjaga. b. Dampak Meluasnya penggunaan inovasi teknologi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak dan pupuk organik yang aplikatif, mudah dan murah, untuk terwujudnya lingkungan yang sehat.
B. PROSES PERENCANAAN DAN KOORDINASI KEGIATAN
1. Persiapan a. Pembentukan Tim. b. Koordinasi dan konsultasi dengan instansi terkait pengelola FEATI Kabupaten, untuk penentuan calon lokasi dan calon petani pelaksana. c. Petani Kooperator Kriteria : Memiliki ternak sapi, bersedia menerapkan teknologi yang di demonstrasikan, mau dibimbing peneliti/penyuluh, inovatif dan ingin maju, mau menalarkan ilmunya ke anggota sesama kelompok/pengguna lain. d. Sosialisasi Kegiatan ini dilakukan dalam satu forum pertemuan dalam upaya penyampaian informasi tentang teknologi yang akan diintroduksi. Peneliti sebagai nara sumber dan dihadiri petani pelaksana, petani anggota Gapoktan, para penyuluh, petugas dari Instansi terkait dan pemda. e. PRA (merakit teknologi yang akan diterapkan petani koperator) Kegiatan ini bertujuan menggali informasi kemampuan/penguasaan teknologi, kebiasaan petani dalam mengelola usahataninya. Produksi dan pendapatan yang diperoleh serta masalah yang dihadapi dalam usahatani ternak sapi. f.
Pembuatan papan nama kegiatan.
g. Pengadaan peralatan dan bahan: timbangan, tali, ember, plastik, bambu, drum, sekop, limbah digunakan : jerami padi, dedak padi, jagung giling, bungkil kelapa, dedak halus , mineral mix (pikuten), probion, stardek, promi, dan EM-4. 2.
Pelaksanaan Kegiatan ini dilakukan sesuai tahapan kegiatan dari jadwal yang disepakati dan disusun bersama antara petani dan tim peneliti/penyuluh. Pada setiap tahapan aplikasi teknologi diundang petani untuk melihat langsung. Pengamatan berlangsung selama proses pelaksanaan dimulai sampai berakhirnya kegiatan. Pengamatan dilakukan terhadap (a) Aspek Teknis, (b) Aspek Ekonomi, dan (c) Aspek Sosial Budaya. Kegiatan penyuluhan dilakukan secara terpadu, melibatkan penyuluh, peneliti sdan instansi terkalit. Pelaksanaannya secara periodik selama kegiatan berlangsung. 2.1 Aplikasi Teknologi
Pembuatan Pakan Ternak dan Pupuk Organik serta Pengamatan Pembuatan pakan ternak yang berasal dari limbah pertanian seperti dedak padi, bungkil kelapa, dedak halus, jagung giling, dan mineral mix (pikuten). Semua bahan dicampur kemudian diformulasikan menjadi pakan sapi. Pemberian vitamin dan obat cacing, masing-masing satu kali. Pembuatan pupuk organik, bahan bakunya berasal dari limbah pertanian yang sama dengan penambahan dekomposer: Promi, Stardec, EM-4, untuk mempercepat proses fermentasi. Pakan yang sudah jadi diujicobakan pada ternak sapi, pupuk organik dianalisa untuk mengetahui kandungan unsur hara. 2.2 Temu Lapang Kegiatan ini dilakukan pada setiap tahapan aplikasi teknologi dan atau menjelang/panen/akhir kegiatan. Hal ini dilakukan untuk lebih meningkatkan pemahamanan/menambah wawasan dan informasi bagi petani/pengguna lain dan kemungkinan penerapannya oleh petani setempat, tanya jawab (diskusi) dilakukan di lokasi terhadap petani kooperator dan pengguna lain. Umpan balik dari peserta, menjadi bahan bagi BPTP untuk bahan pertimbangan dalam perencanaan pengkajian. 2.3 Pelaporan dan Seminar Hasil Kegiatan ini dilakukan menjelang akhir/akhir kegiatan. Setelah data primer terkumpul, diolah/analisa, penyusunan laporan dan seminar bertujuan untuk perbaikan akan hal-hal kurang. Sehingga menjadi laporan yang layak dan dapat dipahami oleh yang memerlukan.
C. PROSEDUR PELAKSANAAN KEGIATAN/METODE PELAKSANAAN
1.
Waktu Kegiatan akan dilaksanakan dari bulan : Januari – Desember 2010
2.
Lokasi Uji Coba/Demonstrasi Teknologi Pengolahan Limbah Pertanian dilaksanakan di Kelurahan Mattirodeceng, Kecamatan Lau, Kabupaten Maros. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), merupakan sentra penghasil limbah jerami padi dan merupakan lokasi P3TIP/FEATI di Kabupaten Maros.
3.
Teknologi Introduksi Teknologi yang disepakati petani : a. Pengolahan limbah pertanian sebagai pakan ternak Ternak sapi, jumlah 10 ekor, umur 2- 2,5 tahun, dikandangkan Pakan hijauan : rumput gajah dan jerami padi Bahan Pakan : dedak padi + bungkil kelapa + jagung giling + dedak halus + mineral mix dicampur aduk sampai rata. Siap diberikan pada ternak pagi dan sore hari, sebelum pemberian pakan hijauan. Bahan pakan tersebut dan mineral dengan formulasi kandungan protein kasar 15,43% BK dengan formulasi sebagai berikut : Tabel 1. Formulasi Pakan Penguat (Konsentrat) Bahan Dedak Padi Bungkil Kelapa Jagung Giling Mineral Mix Total
Komposisi (%) 58,9 35,3 5,2 0,6 100
Pemberian pakan berdasarkan bobot badan sapi (pakan penguat/konsentrat) 1% dari berat badan, hijauan 10% terdiri dari 80% rumput gajah, 20% leguminosa (daun gamal/lamtoro). Pemberian vitamin dan obat cacing hanya satu kali, waktu pemberian sesuai kesepakatan. Penimbangan awal dilakukan setelah ternak dikandangkan dan sebelum diberi pakan, dilakukan pagi hari.
Penimbangan berikutnya dilakukan satu bulan kemudian berturut-turut selama 3 bulan. b. Pengolahan limbah pertanian sebagai pupuk organik. Jerami padi disiapkan sekitar 2 ton, untuk 3 contoh : jerami padi + Stardec, jerami padi + Promi dan jerami padi + EM-4. Disiapkan pada tempat yang disepakati, aman dan tidak terkena hujan dan disiapkan penutup dari terpal plastik. Setelah tempat siap, masing-masing contoh disiapkan jerami, buat lapisan setebal kira-kira 25 Cm, taburi dengan bahan aktif, kemudian dipercikan air merata sesuai keperluan, tutup dengan jerami untuk lapisan berikutnya lapisan penutup ditaburi kembali bahan aktif dan dipercikkan air, demikian seterusnya dilakukan berulang hingga tumpukan terakhir. Kemudian ditutup dengan terpal plastik, biarkan dan setelah satu hari lakukan pengukuran suhu dengan cara masukkan termometer ke dalam tumpukan. Lakukan pengukuran suhu ini setiap hari hingga terjadi suhu minimum artinya proses fermentasi selesai selama 2 bulan. Fermentasi berhasil dicirikan terjadi perubahan warna coklat sampai hitam. Tumpukan jerami pun makin menurun dan bila dipencet dengan tangan terasa lembek. 4.
Prosedur Kerja Pengolahan limbah jerami padi menjadi pupuk organik menggunakan 3 jenis dekomposer yaitu Promi, Stardec dan EM-4. a. Pengolahan Jerami Padi Menggunakan Promi Prosedur pembuatannya adalah sebagai berikut : Menyiapkan bak dan air. Masukkan air ke dalam bak. Kemudian larutkan aktivator sebanyak 2 kg Promi untuk 1 ton jerami ke dalam bak air. Diaduk hingga aktivator Promi tercampur merata. Menyiapkan cetakan dari bambu dengan ukuran 2 x 1 x 1 m dan memasukkan jerami ke dalam lapis demi lapis. Menyiramkan aktivator di permukaan jerami dan diinjak-injak agar jerami padat.
Setelah cetakan penuh, tali pengikat dilepaskan dari cetakan, tutup jerami dengan plastik dan diinkubasi selama 1 bulan Setelah diinkubasi selama 1 bulan, jerami menjadi kompos ditandai dengan perubahan fisik berupa warna coklat kehitaman, lunak, dan bau tidak menyengat.
b. Pengolahan Jerami Padi Menggunakan Stardec Prosedur pembuatannya adalah sebagai berikut : Jerami padi dicacah menggunakan dengan ukuran 2 cm – 2,5 cm, selanjutnya ditimbang agar mengetahui jumlah aktivator yang diberikan. Stardec dilarutkan dalam air dan disiram secara merata di permukaan tumpukan jerami padi dengan volume 1 kg Stardec untuk 400 kg jerami. Jerami ditumpuk dan ditutup menggunakan terpal dan diinkubasi selama 1 bulan. Setiap minggu dibalik agar proses penghancurannya merata. Setelah diinkubasi selama 1 bulan jerami menjadi kompos ditandai dengan perubahan fisik berupa warna coklat kehitaman, lunak dan bau tidak menyengat. c. Pengolahan Jerami Padi Menggunakan EM-4 Prosedur pembuatannya adalah sebagai berikut : Jerami padi dicacah menggunakan dengan ukuran 2 cm – 2,5 cm, selanjutnya ditimbang agar mengetahui jumlah aktivator yang diberikan. Larutan EM-4 ditambahkan air dan gula merah dengan perbandingan 1 : 4 : 1, selanjutnya ditambahkan air sebanyak 100 liter. Disiram secara merata di permukaan tumpukan jerami padi dengan volume 1 liter EM-4 untuk 1 ton jerami. Jerami ditumpuk dan ditutup menggunakan terpal dan diinkubasi selama 1 bulan. Setiap minggu dibalik agar proses penghancurannya merata. Setelah diinkubasi selama 1 bulan jerami menjadi kompos ditandai dengan perubahan fisik berupa warna coklat kehitaman, lunak dan bau tidak menyengat.
Pupuk sudah bisa digunakan/dimanfaatkan dengan cara hasil tumpukan dibongkar, jemur/kering anginkan, saring dengan kawat kasa kemudian kemas simpan dalam karung atau plastik yang telah disiapkan. Bagian yang kasar merupakan limbah saringan. Jangan dibuang, dapat langsung dimanfaatkan sesuai kebutuhan. d. Bahan dan Alat Bahan Pakan Limbah Pertanian : - Hijauan (rumput gajah dan jerami padi) - Dedak
padi,
bungkil
kelapa,
jagung
giling,
dedak
halus. - Mineral miix, Vitamin dan Obat Cacing, Pupuk Organik - Jerami Padi - Dekomposer Promi, Stardec, EM-4 - Gula merah dan Air Alat -
Ember
-
Sekop
-
Timbangan
-
Thermometer
-
Terpal plastik
-
Tali rafIa
-
Karung plastik
-
Timbangan pakan
-
Pisau potong rumput
-
Papan alas timbangan (2 x 1 m)
-
Parang
e. Metode Pelaksanaan Uji Coba/Demonstrasi dilaksanakan di lahan petani oleh petani sendiri dengan pendekatan on farm research.
Partisipatif : dengan melibatkan 10 orang petani, pelaksanaan di lapang dilakukan sendiri oleh petani, dibimbing oleh peneliti dan penyuluh sejak perencanaan, pengamatan dan penilaian kinerja teknologi. Setiap tahapan aplikasi teknologi diundang petani-peternak untuk melihat langsung, tanggapan dan komentar dilakukan pencatatan.. Pengamatan dilakukan terhadap : pertambahan bobot badan ternak/bulan; kualitas pupuk organik respon petani terhadap teknologi yang diaplikasi Jenis data yang dikumpulkan : aspek teknis (pertambahan bobot berat badan ternak/bulan), aspek ekonomi (nilai input/output), dan aspek sosial (respon petani sesuai teknologi yang diintroduks baik melalui pencatatan selama kegiatan berlangsung dan wawancara). Analisis Data : Data diolah secara deskriptif dengan tabulasi statistik sederhana terhadap respon petani dan untuk kelayakan teknis input /output ratio : R/C ratio. Kelayakan finansial ditentukan berdasarkan imbangan antara tambahan penrimaan dengan tambahan biaya akibat penerapan teknologi introduksi atau Marginal Benefit Cost Ratio. .
D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Lokasi Kegiatan
Secara geografis Kelurahan Mattirodeceng terletak sebelah Timur Kabupaten Maros dengan jarak dari ibukota Kabupaten berkisar 9 Km. Secara administrasi Kelurahan Mattirodeceng termasuk klasifikasi Kelurahan Swakarya, memiliki luas wilayah 4,29 Km2 dan 4 lingkungan dan merupakan daerah bukan pantai, sebagian besar dataran serta ketinggian antara 0 sampai 70 meter di atas permukaan laut. Kelurahan Mattirodeceng memiliki lahan sawah 231 Ha dan 137,80 Ha bukan sawah. Luas lahan sawah tersebut terdiri dari 124 Ha merupakan sawah non-eknis, 107 Ha tadah hujan, sementara bukan sawah sebagian terdiri dari tambak 46,90 ha, perkebunan 90 ha, lainnya untuk pemukiman dan lain-lain. Keadaan iklim, bulan basah umumnya jatuh pada bulan Novmber – Mei sedangkan bulan kering jatuh pada bulan Juni – Oktober dengan temperatur udara berkisar 20 – 30˚C.
2. Karakteristik Sumber Daya Manusia Jumlah penduduk di Kelurahan Mattirodeceng 1.768 orang, terdiri dari 389 RT dengan kepadatan 412 jiwa/km2. Jumlah tersebut di antaranya 822 laki-laki dan 946 perempuan sebagian besar tergolong dalam usia produktif 15 – 50 tahun. Gambaran ini
mengindikasikan
bahwa
peluang
kesempatan
bagi
penduduknya
untuk
kesempatan belajar atupun menambah pengetahuan baik formal maupun informal masih sangat besar terutama dalam adopsi teknologi pertanian. Hal tersebut terlihat pada kemampuan sumberdaya manusia yang ada di mana 21% tidak tamat SD; 31,78% tamat SD; SLTP 19,76%; SLTA 14,49%; dan S1 2,51%.
Dari gambaran ini menunjukkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan
petani akan semakin rasional pola pikir dan kemampuannya berusahatani, artinya tergolong memiliki tingkat pendidikan yang relatif sudah maju. Ini berarti kesadaran akan arti pentingnya pendidikan sudah semakin baik dan memberikan gambaran bahwa kemampuan petani untuk mengakses informasi maupun teknologi relatif lebih baik. Indikasi ini sangat jelas terlihat adanya Karang Taruna (1 buah) dan LKMD (2 buah), merupakan lembaga yang menjadi wadah dinamika masyarakat yang tergolong muda dan ingin maju, walaupun sarana pendukung lainnya terlihat di kelurahan ini seperti sarana pendidikan khususnya untuk tingkat SD masih relatif sedikit. Mayoritas penduduk di Kelurahan Mattirodeceng adalah muslim.
3. Karakteristik Usahatani Usahatani yang dikelola petani Kelurahan Mattirodeceng utamanya tanaman pangan, seperti padi, jagung, kacang hijau dan sebagian beberapa jenis sayuran dalam skala kecil, hal yang sama juga untuk sektor perkebunan seperti kakao hanya kecil-kecilan saja di tanam di halaman pekarangan. Di sektor peternakan sebagian kecil petani mempunyai ternak besar, namun
dalam dua tahun terakhir
menunjukkan kemajuan yang pesat dalam upaya mengusahakan pemeliharaan ternak sapi untuk penggemukan yang didukung program pemberdayaan petani melalui P3TIP/FEATI kabupaten. Ternak kecil berupa ayam buras 7.000 ekor, itik sebagian kecil belum merupakan usaha hanya untuk rumah tangga. Kepemilikan lahan, rata-rata memiliki 0,25 Ha, merupakan warisan turun temurun. Rendahnya kepemilikan lahan yang diusahakan erat hubungannya dengan pola usahatani yang dilakukan. Pergeseran pola usahatani yang dilakukan dari sub sistem ke arah komersil belum terlihat, meskipun sebagian kecil sudah dapat memberi keuntungan. Status petani sebagian besar pemilik penggarap, sebagian kecil penggarap, buruh tani mulai dari pengolahan tanah sampai panen. Pengadaan sarana produksi umumnya dilakukan pedagang pupuk, terbatas hanya menyediakan pupuk dengan sistem pembayaran setelah panen dan sebagian dengan cara tunai atau bayar tunda paling lama 1 bulan. Ini dimungkinkan karena adanya dukungan dana dari usaha tambak dan lainnya. Penggunaan pupuk organik masih sebagian kecil, ini pun kalau ada bantuan. Pengelolaan jerami sebagai bahan baku pupuk organik belum termanfaatkan. Umumnya petani belum memperlakukan jerami sebagai bagian integral dari usahataninya. Bagi mereka jerami dianggap sebagai sisa tanaman yang mengganggu pengolahan tanah dan penanaman padi. Oleh karena itu jerami selalu dibakar di tempat setelah beberapa hari padi di panen dan sebagian atau menimbunnya di pinggir petakan sawah lalu dibakar. Selain itu hanya sebagian kecil memanfaatkan untuk pakan ternak, karena ketidaktahuan cara memanfaatkan dan kalau pun tahu tetapi belum memahami cara membuatnya menjadi pakan yang berkualitas untuk ternak sapi.
Pemasaran hasil masih dilaukan secara individu ke pedagang desa atau pedagang pengumpul bahkan ada yang langsung ke pedagang di kabupaten. Komoditas padi umumnya dijual dalam bentuk gabah kering panen. Kondisi tersebut di atas menunjukkan kurangnya intervensi teknologi terhadap pemanfaatan sisa tanaman. Olehnya itu, sudah saatnya perlu diperkenalkan teknologi sederhana
dari
potensi
yang
ada
di
sekitar
mereka
yang
berdampak
terselamatkannya ternak dari kekurangan pakan serta lingkungan sehat pada akhirnya memberikan tambahan pendapatan.
4. Karakteristik Petani Kooperator Karakteristik petani digambarkan oleh umur, tingkat pendidkan formal, luas pemilikan lahan/kepemilikan ternak, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalaman berusahatani. Umur Petani Petani dalam melaksanakan usahataninya/mengusahakan ternaknya sangat dipengaruhi oleh kemampuan fisik. Demikian juga dengan kinerja seseorang akan sejalan dengan pertambahan umur. Semakin bertambah umur seseorang
maka
kemampuan
bekerja
meningkat
dengan
sendirinya
produktivitasnya pun meningkat sampai batas umur tertentu. Gambaran tingkat umur petani kooperator pada Ujicoba/Demonstrasi Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan dan Pupuk Organik di Kabupaten Maros, terlihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Distribusi Petani Kooperator Menurut Umur Pada Ujicoba/Demonstrasi Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak dan Pupuk Organik di Kabupaten Maros. 2010. NO.
UMUR (TAHUN)
JUMLAH PETANI
PROSENTASE (%)
1.
< 40
3
30
2.
40 – 45
4
40
3.
46 – 51
2
20
4.
52 – 57
1
10
Sumber : Data Primer
Pada tabel 1 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar petani berada pada usia usia
40 – 57 tahun, artinya petani umumnya berada pada usia
produktif (20 – 67 tahun). Secara fisik memiliki kemampuan yang cukup baik untuk melakukan aktivitas usahatani dan usaha ternaknya, meskipun usia tidak menjamin keterampilan seseorang dalam berusaha tani tetapi paling tidak mampu mengambil keputusan yang tepat untuk berdaya guna. Misalnya dalam memanfatkan/menerapkan berbagai teknologi yang tersedia untuk meningkatkan kinerja usahanya. Namun masih perlu intervensi/bimbingan lebih lanjut karena tingkat keterampilan seseorang akan dapat dicapai dengan meningkatkan frekuensi aktivitas yang sama. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan petani merupakan indikator untuk mengetahui kapasitas
sumberdaya manusia. Peningkatan kapasitas
seseorang dapat
ditempuh dengan berbagai cara, antara lain dengan pendidikan formal, di mana makin tinggi tingkat pendidikan formal petani maka akan semakin rasional pola pikir dan daya nalarnya,
serta lebih cepat memahami fenomena yang ada.
Dengan sendirinya tertanam pengertian, sikap yang dapat mempengaruhi kemampuan petani untuk bertindak lebih tanggap terhadap sesuatu yang baru dalam hal inovasi teknologi. Selanjutnya pada tabel 3 berikut ini dapat dilihat distribusi petani kooperator menurut tingkat pendidikannya.
Tabel 3. Distribusi petani Kooperator Menurut Pendidikan Formal pada Ujicoba/Demonstrasi Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak dan Pupuk Organik di Kabupaten Maros, 2010.
NO.
TINGKAT PENDIDIKAN
JUMLAH PETANI
PROSENTASE (%)
1.
Tidak Tamat SD
1
10
2.
Tamat SD
2
20
3.
SMP
4
40
4.
SMA
2
20
5.
Perguruan Tinggi/S1
1
10
Sumber : Data Primer
Dari tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sebagaian besar petani memiliki tingkat pendidikan yang relatif baik, mayoritas berada pada tingkat pendidikan menengah walaupun 10% di antaranya berpendidikan S1. Ini berarti kapasitas petani cukup optimal untuk melakukan interaaksi dengan dunia luar. Kapasitas tersebut di antaranya dapat terlihat langsung pada kemampuannya mengakses informasi dan teknologi relatif lebih baik. Hanya saja pada sisi lainnya dalam berkomunikasi masih sangat terpengaruh pada budaya setempat yang melekat dan kuat sehingga masih terkendala dalam transfer teknologi. Pada kondisi tersebut, di atas dibutuhkan pendekatan dialogis, secara vertikal membangun komunikasi dan secara horizontal terciptanya interaksi yang terjalin dengan baik, pada akhirnya akan memudahkan upaya dalam transfer teknologi. Indikasi kualitas interaksi yang baik dicirikan dengan adanya komunikasi timbal balik dalam arti akan terjadi umpan balik secara alami. Pengalaman Berusahatani Pengalaman merupakan gambaran penting tingkat ketrampilan teknis yang dimiliki seseorang. Karena itu pengalaman merupakan ujung tombak dari suatu proses penemuan, dimana pengetahuan yang diperoleh seseorang dalam hal ini petani-peternak akan menjadi referensi sebagai acuannya dalam pengembangan usahatani-ternaknya ke depan. Pemikiran rasional yang tumbuh dengan sendirinya akan mmemberikan nilai tambah yang akan menjadi modal dasar bagi kemampuan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dalam usahatani-ternak. Hal tersebut terlihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 4. Distribusi Petani Kooperator Menurut Pengalaman Beternak pada Ujicoba/Demonstrasi Teknologi Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak dan Pupuk Organik, di Kabupaten Maros, 2010
NO.
PENGALAMAN
JUMLAH PETANI
PROSENTASE
BERUSAHATANI (Thn)
(%)
1.
<5
2
20
2.
5 – 10
3
30
3.
11 – 20
4
40
4.
> 20
1
10
Sumber : Data Primer
Pada tabel 4 terlihat bahwa sebagian besar petani-peternak memiliki pengalaman yang cukup banyak yaitu 11-20 tahun, ini mengindikasikan bahwa banyak pengetahuan sudah dimiliki peternak dalam pemeliharaan sapi. Namun pengetahuan dalam pembuatan pakan lokal dengan menggunakan konsentrat belum sama sekali dilakukan karena merupakan hal baru. Usaha ternak sapi yang dikelola petani selama ini masih sangat tradisional, sederhana dan belum tersentuh teknologi, sehingga peluang peningkatan produksi dan pendapatan masih sulit dicapai. Demikian juga dengan sumberdaya pendukung, secara keseluruhan akan turut mempengaruhi situasi dan kondisi permintaan ternak yang terkait dengan harga dan tingkat keuntungan yang diperoleh. Kepemilikan Ternak Sapi Pada umumnya petani memiliki 1-2 ekor ternak Sapi per rumah tangga tani. Kepemilikan ini juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan mengelola usaha dan kepemilikan modal. Di samping itu juga petani masih berusahatani di persawahan untuk menopang kebutuhan pangan keluarga.
Tabel 5. Distribusi Petani Menurut Kepemilikan Ternak Pada Ujicoba/Demonstrasi Teknologi Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Dan Pupuk Organik, di Kabupaten Maros, 2010.
NO. 1.
KEPEMILIKAN TERNAK (ekor) 1
JUMLAH PETANI 1
PROSENTASE (%) 10
2.
2–3
8
80
3.
>3
1
10
Sumber : Data Primer
Pada tabel 5 di atas menujukkan bahwa tingkat kepemilikan ternak masih relatif kecil, ini berpotensi untuk dikembangkan dalam suatu kelompok untuk lebih mengefisienkan dan mengefektifkan penggunaan teknologi pakan konsentrat. Hal tersebut ditempuh agar dapat diperhitungkan tingkat kelayakan usaha penggemukan sapi, nilai tambah dari invastasi untuk menghasilkan produk pupuk organik melalui pemanfaatan limbah pertanian 5. Kinerja Teknis 5.1
Pemanfaatan Limbah Sebagai Pakan Berdasarkan Tabel 6 tampak bahwa rata-rata berat badan sapi pada awal pemeliharaan sebesar 124,35 kg/ekor, di akhir pemeliharaan berat badannya meningkat menjadi 160,5 kg/ekor setelah memanfaatkan teknologi limbah sebagai pakan. Pertambahan bobot badan (PBBH) rata-rata setelah 3 (tiga) bulan pemeliharaan sebesar 0,400 g/ekor/hari, dengan PBBH tertinggi sebesar 0,733 g/ekor/hari. Grafik hasil penimbangan dapat dilihat pada Grafik 1. Dari Tabel tersebut terlihat jelas bahwa terjadi peningkatan bobot badan sapi setiap kali penimbangan, namun laju peningkatannya relatif kecil dan sangat bervariasi, peningkatan yang signifikan terlihat pada sapi no. 7 (0,7 kg). Lain halnya berat badan sapi no.3 (0,1 kg), karena ternak sapi digunakan
untuk membantu mengolah tanah pesawahan pada saat bersamaan dilakukan penggemukan sehingga yang terjadi peningkatan bobot badan sangat rendah. Tabel 6. Hasil Penimbangan Bobot Badan Sapi Koperator pada Uji Coba / Demonstrasi Teknologi Pemanfaatan Limbah Pertanian sebagai Pakan Ternak di Kel. Mattirodeceng, Kab. Maros, 2010
No Sapi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berat Awal (kg) 175 105 135 162,5 108 95.5 135 119 133 75.5
Penimbangan Penimbangan Penimbangan I II III (kg) (kg) (kg) 191,00 210,00 227.5 113,50 126,50 137,0 143,50 143,00 150,0 172,50 182,00 191,75 128,50 141,50 158,25 100,50 115,50 125,50 151,00 179,00 201,0 128,00 141,00 154,0 143,50 156,50 168,25 74,5 87,00 92,75
Sumber : Data primer
Grafik 1. Hasil Penimbangan Sapi pada Awal dan Akhir Pemeliharaan (Peternak Kooperator) Pertambahan bobot badan rata-rata sebesar 0,4 kg/ekor/hari dan maksimal 0,7 kg/ekor/hari. Menurut Bahar dan Rahmat (2003) bahwa, pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi yang digembalakan dengan pakan hijauan lokal pada musim kemarau berkisar antara 0,05 - 0,1 kg/ekor/hari, sedangkan pada musim hujan antara 0,2 - 0,4 kg/ekor/hari. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan demplot maka ternak sapi yang digemukkan sebaiknya dilakukan pada berat awal sapi sebesar 230-270 kg untuk mendapatkan pertambahan bobot badan yang maksimal. Hal ini sangat penting dan perlu diketahui unuk pembelajaran bagi peternak dan selama periode penggemukan
ternak sapi
dianjurkan tidak digunakan sebagai tenaga kerja di sawah.
Meskipun lokasi kandang dekat dengan sumber pakan hijauan. Pada tabel 6 dan grafik di atas menunjukkan bahwa dalam pemberian pakan sapi sangat ditentukan oleh sistem atau pola yang dikembangkan. Dalam hal ini bahwa setiap pola atau model yang dikembangkan perlu perencanaan yang
matang
sehingga
seluruh
komponen
yang
berpengaruh
dalam
berlangsungnya pemberian pakan dapat dikendalikan dengan baik.
Tabel 7. Hasil Pertambahan Bobot Badan Harian Sapi (Peternak Kooperator) Pada Uji Coba/Demonstrasi Teknologi Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Sapi di Kel. Mattirodeceng, Kab. Maros 2010 No. Sapi
Berat Awal (kg)
Berat Akhir (kg)
Selisih
PBBH (g/ekor/hari)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Ratarata
175 105 135 162.5 108 95.5 135 119 133 75.5 1243.5 124.35
227,5 137 150 191,75 158,25 125,5 201 154 168,25 92,75 1605 160.5
52.5 32 15 29.25 50.25 30 66 35 35.25 17.25 362.5 36.25
0,583 0,358 0,166 0,325 0,558 0,333 0,733 0,366 0,391 0,191 0,400 0,04
Sumber : Data primer
Berat Badan
Grafik 2. PBBH Sapi yang memanfaatkan Pakan Konsentrat
Pertambahan Bobot Badan Tabel 8. Hasil Penimbangan Bobot Badan Sapi (Kontrol) No Sapi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berat Awal (kg) 160 100 130 145 112 90 123 127 132 120
Penimbangan Penimbangan Penimbangan I II III (kg) (kg) (kg) 166 175 180 103 108 112 132 136 140 147 151 155 115 122 130 94 97 100 126 130 134 128 129 130 136 141 145 123 127 130
Sumber : Data primer setelah diolah
Berdasarkan Tabel 8 tampak bahwa rata-rata berat badan sapi kontrol
pada
pemeliharaan
awal berat
pemeliharaan badannya
sebesar
meningkat
123,9
kg/ekor,
menjadi
135,6
diakhir kg/ekor.
Pertambahan bobot badan (PBB) rata-rata setelah 3 (tiga) bulan
pemeliharaan sebesar 0,130 g/ekor/hari, dengan PBB tertinggi sebesar 0,22 g/ekor/hari. Grafik hasil penimbangan dapat dilihat pada Grafik 3.
Grafik 3. Hasil Penimbangan Sapi Kontol Pertambahan Bobot Badan Sapi Kontrol Uraian secara detail data PBBH sapi (kontrol) dituangkan dalam tabel 9 berikut : Tabel 9. Pertambahan Bobot Badan Sapi Kontrol Kelurahan Mattirodeceng, Kec. Lau, Kab. Maros 2010 No Sapi
Berat Awal (kg)
Berat Akhir (kg)
PBB (g/ekor/hari)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rata-rata
160 100 130 145 112 90 123 127 132 120 1239 123.9
180 112 140 155 130 100 134 130 145 130 1356 135.6
0,222 0,133 0,111 0,111 0,200 0.111 0,122 0,033 0,144 0,111 1,300 0,13
Rata-rata pertambahan bobot sapi (kontrol) sebesar 0,13 kg/ekor/hr. Secara riel dapat dihitung selisih PBBH sapi dengan penerapan teknologi introduksi (0,40 kg/ekor/hr) dengan PBBH sapi kontrol yaitu sebesar 0,27 kg/ekor/hari, atau 32,5%. Nilai tambah yang dapat diraih sangat jelas tergambar. Hal tersebut menggambarkan bahwa dengan penerapan teknologi yang memenuhi kriteria teknis, ekonomi, sosial dan budaya apabila tidak dibarengi dengan penerapan manajemen pengelolaan yang baik pula tidak akan memberikan pengaruh nyata.
Grafik 4. PBBH Sapi Kontrol 5.2
Pemanfaatan Limbah Sebagai Pupuk Organik Proses Pengomposan Jerami dengan Promi Pada awal proses pengomposan, temperatur dalam tumpukan kompos
sama
dengan
organisme/cendawan
yang
temperatur terdapat
lingkungan. dalam
Pada
tumpukan
tahap
jerami
ini
mulai
berkembang-biak, menyebabkan temperatur naik dan saat ini suhu tinggi yakni mencapai 46˚C. Pada hari ke 7 suhu maksimum 49 – 50˚C, karena tumpukan cukup tinggi sehingga mampu menyimpan panas dengan baik.Tinggi tumpukan pada saat ini mulai menurun dari 100 cm menjadi 30 – 35
cm. Saat temperatur mencapai 30˚C cendawan mesofilik berhenti
bekerja dan aktifitas penguraian digantikan oleh cendawan thermofilik.
Pada proses pembentukan kompos, cendawan thermofilik sangat berperan, merupakan mikroorganisme yang mampu bertahan hidup pada temperatur tinggi. Pada hari ke-31 suhu mulai turun, temperatur berkisar 27 – 28˚C dan pada saat ini terjadi proses pendinginan, jumlah aktivitas mikroorganisme thermofilik juga berkurang, temperatur di dalam kompos terus menurun. Namun organisme mesofilik yang sebelumnya bersembunyi di bagian tumpukan yang agak dingin mulai beraktivitas kembali merombak selulosa dan hemiselulosa yang tersisa dari proses sebelumnya. Pada hari ke-37 suhu terus menurun sampai batas minimal. Indikasi menunjukkan bahwa pengomposan selesai untuk selanjutnya kompos sudah dapat digunakan. Bila akan dikemas perlu dilakukan pengeringan dengan cara diangin-anginkan, kemudian bila ada yang belum hancur diremas dengan tangan lalu disaring dengan kawat kasa. Perubahan suhu dalam proses pengomposan pada jerami padi dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Tingkat Keragaan Perubahan Suhu Dalam Proses Pengomposan Jerami Pada Dekomposer Promi, Stardec dan EM-4 di Kab. Maros, 2010 Hari pengukuran 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Promi 46 47 49 47 46 45 43 40 36 31 27 26 26
Sumber : Data primer setelah diolah
Suhu (Celcius) Stardec 46 48 50 48 46 42 40 37 35 30 28 27 27
EM-4 46 48 49 47 45 42 39 37 34 30 28 27 26
Sejalan dengan perubahan suhu tersebut juga terjadi perubahan penyusutan volume tumpukan pada jerami yang dikomposkan, hal ini dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Tingkat Keragaan Perubahan Penyusutan Volume Tumpukan Jerami Pada Proses Pengomposan Dekomposer Promi, Stardec dan EM-4 di Kab. Maros, 2010 Hari pengukuran 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37
Tinggi Tumpukan Jerami (Cm) Promi 100 96 90 85 79 74 68 63 55 49 44 38 35
Stardec 100 94 88 81 77 72 64 60 53 46 39 34 30
EM-4 100 94 89 83 78 73 66 61 54 47 41 36 32
Sumber : Data primer setelah diolah
Grafik hubungan antara waktu inkubasi (hari) dan suhu (˚C) masingmasing dekomposer dapat dilihat pada Gambar 5.
Grafik 5. Hubungan antara waktu inkubasi (hari) dan suhu (0C) masingmasing dekomposer
Dari Grafik 5 terlihat bahwa pada dekomposer Stardec dan EM-4, hubungan antara waktu dan perubahan suhu sangat tidak menunjukkan
perbedaan yang mencolok, bahkan terindikasi hampir bersamaan ada keeratan keduanya. Tetapi pada dekomposer Promi ada perbedaan yang mencolok yaitu pada hari ke 13 – 28, menunjukkan tingkat suhu lebih tinggi dibanding Stardec dan EM-4, terus menurun pada hari ke-31 dan mulai stabil. Perubahan suhu tersebut juga seiring dengan terjadinya penyusutan tumpukan jerami, perubahan penyusutan tumpukan mencolok pada hari ke 22 – 25 menurun sekitar 7 – 8 cm pada masing-masing contoh.
Kandungan Unsur Hara Hasil
analisis
pupuk
organik
dari
ketiga
dekomposer
yang
didemonstrasikan tertera pada Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12. Hasil Analisis Pupuk Organik Menggunakan Dekomposer Promi, Stardec dan EM-4 No 1 2 3 4 5 6
Parameter N-total P2O5 K2O pH C-organik C/N, ratio
Sumber : Analisis Laboratorium
Dekomposer Promi EM-4 Stardec 0,28 0,31 1,43 0,50 0,42 0,49 1,12 1,06 1,80 6,54 6,24 7,23 8,48 10,38 13,89 30 33 10
Berdasarkan hasil analisis kandungan unsur hara pupuk organik asal limbah jerami padi pada ketiga dekomposer yang didemonstrasikan, kandungan unsur hara baik N, P2O5, dan K2O hampir sama, kecuali unsur C-organik memperlihatkan angka mencolok pada dekomposer Stardec tertinggi 13,89 walaupun C/N, ratio rendah hanya 10. Dari Tabel 12 juga terlihat bahwa dekomposer Stardec memiliki kandungan unsur hara tertinggi dibanding Promi dan EM-4. Perbedaan ini menurut Power dan Pependick (1997), bahwa peningkatan ketersediaan N dalam tanah oleh sisa tanaman bervariasi luas tergantung pada kandungan N sendiri, iklim dan praktek pengolahannya. Pada dekomposer Stardec dan EM-4 menggunakan jerami yang sudah dicacah dengan ukuran 2,5 – 5 cm, sedangkan dekomposer Promi jerami tidak dicacah.
6. Kinerja Ekonomi Analisis finansial usaha pemanfaatan limbah berupa pakan konsentrat dapat diuraikan berikut terdiri dari beberapa input antara lain : (1) biaya sarana produksi yang terdiri dari pakan hijauan, pakan konsentrat dan obat-obatan dan (2) biaya tenaga kerja. Sedangkan biaya produksi yang dikeluarkan, pendapatan yang diperoleh dan keuntungan yang bisa diraih secara rinci disajikan dalam Tabel 13. Dari tabel 13, terlihat bahwa pemanfaatan limbah pertanian yang dilakukan di Kel. Mattirodeceng, Kec. Lau, Kab. Maros, sebagai pakan pada ternak sapi skala 10 ekor, memberikan keuntungan yang lebih besar Rp. 1.569.093,33/bulan dibanding dengan pola petani Rp. 930.113,33/bulan. Dari keuntungan yang diperoleh terdapat selisih sebesar Rp.638.979,- atau sekitar 40,72%/bulan. Tabel 13. Analisis Usaha Tani – Ternak di Kelurahan Mattirodeceng tahun 2010 Teknologi Introduksi (10 ekor) No
Uraian
Volume (kg)
Harga Satuan
A.
Biaya
1.
Harga Bakalan
1243,9
65.000
2.
Pakan Hijauan: Rumput Gajah Jerami Dedak Padi Bungkil Kelapa Jagung Giling Dedak halus Pikuten Biaya Obat-obatan
12.000 6.000 1.089 648 99 5 9 1 paket
600 600 800 1.500 2.750 3.000 35.000 100.000
3
4. B 1 2. 3.
Total Biaya Penerimaan PBB Rata-rata BB
80.853.500 7.200.000 3.600.000 871.200 972.000 272.250 15.000 315.000 100.000
Volume
(Kg)
Harga Satuan
1239
65.000
12.000 6.000
600 600
1 paket
100.000
94.199.200
akhir/
Jumlah
80.535.000 7.200.000 3.600.000
100.000 91.435.000
0,400 160.5
80.000 80.000
32.000 12.840.000
0,130 135,6
80.000 80.000
10.400 10.848.000
10
12.640.000
128.400.000
10
10.848.000
108.480.000
ekor
Nilai 10 ekor Total Penerimaan
C.
Jumlah
Teknologi Petani(10 ekor)
141.272.000
119.338.400
Keuntungan (B-A) Total
47.072.800
27.903.400
Rata-rata
4.707.280
2.790.340
1,499
1,305
R/C Rasio Sumber : Data primer
Dari Tabel 13 di atas, terlihat bahwa total biaya yang dikeluarkan petani kooperator adalah Rp. 94.199.200,- lebih besar dibanding petani non kooperator yaitu sebesar Rp.91.435.000,- atau 2,93%. Sementara selisih pendapatan juga sangat signifikan yaitu Rp. 21.933.600,- atau peningkatan sebesar 15,52 %, demikian juga keuntungan yang diperoleh, terdapat selisih sebesar Rp. 1.916.940,dengan prosentase peningkatan sebesar 40,72%. Suatu teknologi baru dengan penerimaan yang tinggi biasanya memerlukan penambahan penggunan input dan pencurahan tenaga kerja yang mungkin akan mempengaruhi keuntungan. Untuk ini dapat dilakukan pengujian lebih lanjut yaitu menggunakan tolok ukur ratio marginal penerimaan kotor dan biaya. Alat ini juga digunakan untuk mengevaluasi teknologi pilihan yang mungkin dapat menggantikan teknologi yang lama yang diuraikan berikut ini. Hasil MBCR yang diperoleh sebesar 7,93, menunjukkan bahwa dengan menerapkan teknologi pemanfaatan limbah pertanian yang diintroduksi ke 10 ekor Sapi Jantan akan memberikan penambahan pendapatan sebesar Rp. 7,93 dengan penambahan biaya input sebesar Rp 1,-. Artinya setiap penambahan biaya input Rp. 1,-
akan memberikan penambahan pendapatan sebesar Rp.
7,93,- Dengan
demikian petani dapat meyakini bahwa dengan teknologi ini akan memberikan peningkatan pendapatan dan keuntungan. Selanjutnya apabila suatu usaha upaya pemanfaatan limbah pertanian akan dikembangkan dalam skala yang lebih besar sangat layak dengan referensi MBCR tersebut.
7. Kinerja Sosial 7.1.
Aspek Teknis Penggunaan pakan hasil formulasi dengan konsentrat yang dintroduksi memberikan nuansa baru dalam usaha ternak khususnya untuk pakan sapi di Kelurahan Mattirodeceng. Penggunaan pakan hasil formulasi dari limbah pertanian seperti dedak padi, bungkil kelapa, jagung giling, dedak halus dengan mineral (pikuten) yang dikombinasikan dengan pakan hijauan akan memberikan jaminan hasil meningkatnya bobot badan ternak. Hal ini, bila dibarengi dengan penerapan pemilihan bakalan, pengandangan yang tepat, dilakukan penimbangan sesuai dengan yang dianjurkan. Dengan demikian akan menghilangkan keraguan petani dalam menyikapi maraknya ternak sapi gelonggongan yang tidak bermutu, peternak pun mendapatkan referensi yang benar dan dapat diyakininya. Pembuatan formulasi pakan direspon cukup baik, hanya saja selama ini kurang diperolehnya informasi teknologi tentang pembuatan pakan, juga dimana bisa
di perolehnya bahan mineral, bungkil kelapa dan yang pasti
untuk keperluan tersebut memerlukan tambahan biaya. Untuk ini perlu pendampingan penyuluh dan peneliti sehingga dalam penerapan proses belajarnya benar dan berdampak positif. 7.2.
Aspek Ekonomi Respon
petani
terhadap
teknologi
Pemanfaatan Limbah Pertanian sebagai
dalam
ujicoba/demonstrasi
pakan Ternak umumnya baik dan
setuju terhadap 4 komponen teknologi dengan tingkat prosentase yang beragam terutama tentang manfaat yang dapat diperoleh dalam menerapkan pembuatan pakan formula dan penimbangan sapi. Hal ini karena dapat memberikan
efisiensi
biaya
produksi
sekaligus
dapat
meningkatkan
pendapatan secara signifikan, memberikan tambahan pendapatan sebesar Rp. 21. 933. 600 atau sebesar 15,52 % serta keuntungan sebesar 40,72%/bulan atau sekitar Rp. 1.569.093,33/bulan 7.3.
Aspek Sosial Dari respon peternak terhadap berbagai komponen teknologi yang diintroduksi dalam ujicoba/demonstrasi yang dilakukan dan dari hasil
wawancara diperoleh gambaran bahwa kegiatan ujicoba/demonstrasi telah membentuk opini peternak yang positif terhadap teknologi yang diintroduksi, terutama dalam pemilihan bakalan dan pengandangan ternak. Manfaat yang diperoleh sebesar 100%, karena terkendala pada masalah kurangnya pakan sehingga ternak harus dilepas mencari makanan dan selama ini kurangnya bahkan tidak ada informasi/petunjuk tentang refensi bakalan yang baik. Gambaran
ini
menjadi
indikator
bahwa
petani/peternak
di
lokasi
ujicoba/demonstrasi sudah termotivasi untuk melakukan teknis pengelolaan pemeliharaan ternak secara baik, diikuti pemberian pakan dan penimbangan. Kedua komponen teknologi yang terakhir ini memang masih terlihat ada keraguan petani, hal ini karena kurangnya informasi terutama dimana bahan yang diperlukan tersebut bisa diperoleh (mineral mix/pikuten) dan kesiapan alat timbang. Secara keseluruhan, meskipun pada awalnya penerapan dirasakan agak sulit dilakukan, tetapi pada prinsipnya teknologi yang diintroduksi tidak bertentangan dengan kebiasaan yang dilakukan selama ini. Sikap petani penuh keterbukaan hanya masih sangat tergantung dan melihat respon ketua kelompok yang ditokohkan tetapi mereka menyadari kekurangan yang dilakukan selama ini. Indikasi tersebut menjadi peluang positif bagi keberhasilan dalam proses belajar sehingga kesempatan dalam bimbingan yang diberikan walau berat,
mereka tetap berusaha berpartisipasi untuk
meluangkan waktu , mereka memang butuh waktu untuk berubah lebih terampil. Secara detail pembahasan respon petani tentang teknologi yang diintroduksi dapat dilihat pada Tabel 14. Respon petani kooperator terhadap teknologi introduksi adalah “baik” setelah melihat, melakukan, dan merasakan manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan – teknologi tersebut. Namun masih butuh waktu untuk proses belajar, terutama dalam pembentukan opini, sikap dan pada akhirnya keputusan untuk mengadopsi. Respon petani kooperator baik, khususnya pada pemberian pakan hijauan, dedak padi bahan baku pakan konsentrat dan Mineral (Pikuten). Hal tersebut didukung adanya upaya untuk melakukan budidaya pakan hijauan utamanya rumput gajah dalam mengantisipasi ketersediaan pakan dan memanfaatkan potensi lokal untuk pakan konsentrat.
Tabel 14. Respon Petani Terhadap Ujicoba/Demonstrasi Teknologi Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak di Kel. Mattirodeceng, Tahun 2010. ALASAN NO
KOMPONEN
RESPON %
A 1.
PAKAN Pakan Hijauan Petani Kooperator Petani Non Kooperator
2.
Pakan Buatan Dedak Padi Petani Kooperator
Menerima
100
Ragu-Ragu Menolak
Bungkil Kelapa Petani Kooperator Petani Non Kooperator
4.
Jagung giling Petani Kooperator Petani Non Kooperator
5.
Menerima
80
Ragu-Ragu Menolak
20
Petani Non Kooperator
100
Menerima
70
Ragu-Ragu
30
Tersedia cukup banyak di lapang
100
Tidak ada tenaga kerja
Manolak
Menerima
80
Ragu-Ragu
20
Menolak
Menerima
60
Ragu-Ragu Menolak
40
Tidak tahu bisa dimanfaatkn u/ pakan Tidak ada di lokasi, tidak tahu di mana bisa diperoleh tambahan biaya Banyak tersedia, hanya tidak tahu caranya Macam yang digunakan belum jelas Tidak menggunakan, blm mengetahui manfaatnya bagi ternak
SESUDAH Pengetahuan tentang manfaat pakan hijauan bertambah Upaya membudida yakan rumput gajah di pekarangan Baru diketahui cara memanfaatkannya sebagai pakan Ternyata ada kandu ngan gizi baik untuk ternak
Perlu tambahan biaya
Mineral (Pikuten) Petani Kooperator
Sudah menggunakan Rumput Gajah & jerami sebagai pakan
%
Tidak jelas manfaatnya
Petani Non Kooperator 3.
SEBELUM
90 10
Sangat mempenga ruhi peningkatan bobot badan sapi Peluang usaha Bimbingan diintensifkan
90 10
100
Informasi cukup jelas, pengetahuan bertambah Perlu usaha penggilingan di lokasi Bimbingan praktek Performans ternak sangat baik Nilai jual ternak meningkat
Tidak tahu di mana bisa diperoleh Butuh biaya tambahan
6.
Pemilihan Bakalan Petani Kooperator Petani Non Kooperator
7.
Pengandangan
Menerima Ragu-Ragu Menolak
70 30
Tidak mengetahui dan kurang mendapat informasi
Tidak menggunakan, blm
100 0
Pengetahuan bertambah Berat badan ternak cepat meningkat
Performans ternak
Ternak Petani Kooperator
Menerima Ragu-Ragu Menolak
90 10
Petani Non Kooperator 8.
B 1.
Penimbangan sapi Petani Kooperator
Menerima Ragu-Ragu
Petani Non Kooperator
Menolak
PUPUK ORGANIK Jerami + Promi Petani Kooperator Petani Non Kooperator
2.
Jerami + Stardek Petani Kooperator Petani Non Kooperator
3.
70 30
Menerima
80
Ragu-Ragu Menolak
20
Petani Non Kooperator
Sumber : Data Primer
Butuh biaya tambahan Tidak menggunakan, tidak ada alatnya. Dijual, baru ditimbang
Tidak tersedia di pasaran
Menerima
70
Tidak tersedia di lokasi
Ragu-Ragu Menolak
30
Sulit harus dicacah
Menerima Ragu-Ragu Menolak
100 0
Perlu tambahan tenaga Perlu waktu khusus 70 30
Kurang jelas berapa dosisnya Repot, harus dicacah Tidak tahu manfaatnya Perlu waktu khusus Tambahan Tenaga
sangat baik Ternak sehat Tidak repot Nilai jual ternak meningkat
100 0
Butuh biaya tambahan
Jerami + EM4 Petani Kooperator
mengetahui manfaatnya bagi ternak
100 0
90 10
Mengetahui manfaatnya, tahu cara yang sederhana untuk mengukurnya Nilai jual ternak meningkat
Mudah Hemat waktu dan tenaga Tidak perlu campuran lain Tidak mengeluarkan biaya besar Harus sering di praktekan Perlu kejelasan ukuran cacah Tersedia Baru tahu manfaatnya Perlu selalu dipraktekkan
Grafik 6. Respon Petani Terhadap Teknologi Introduksi Demikian juga petani non kooperator, responnya sudah cukup baik walau baru pada tahap mengenali, mendengar dan melihat tetapi sudah mampu memberi tanggapan positif terhadap teknologi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak sapi. Kondisi ini sebaiknya bisa diefektifkan dan akan lebih memungkinkan dengan menyebarkan teknologi melalui media seperti VCD, brosur ataupun selebaran lainnya poster dan leaflet. Jadi tidak hanya berhenti pada peran keterlibatannya sebagai pelaksana dalam kegiatan demonstrasi plot. Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kemampuan secara teknis dapat diraih petani apabila diikuti kemauan untuk berubah dan memiliki komitmen tinggi dalam menerapkan aturan-aturan teknis suatu teknologi. Kesepakatan khusus utama misalnya disiplin dalam pengandangan ternak selama proses pemberian pakan. Sisi lainnya dalam kaitan dengan teknologi yang
diintroduksi
yaitu
kesesuaiannya
dengan
kebutuhan
petani.
Pembelajaran penting yang diperoleh adalah dengan menerapkan beberapa komponen teknologi secara sinergi, benar dan tepat, dapat dicapai efisiensi biaya produksi sehingga tercapai peningkatan kualitas ternak dan peningkatan pendapatan. Sisi lain dari aspek peran keterlibatan anggota keluarga beragam, sangat
tergantung
pada
macam
kegiatannya.
Umumnya
mayoritas
keterlibatan laki-laki lebih dominan, kecuali pada kegiatan pemberian pakan. Gambaran aktivitas peran tersebut dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Analisis Gender pada Kegiatan Ujicoba/Demonstrasi Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak dan Pupuk Organik di Kel. Mattirodeceng, Kec. Lau Kab. Maros, Tahun 2010 NO.
AKTIFITAS
LAKI-LAKI (%)
PEREMPUAN (%)
1.
Pemilihan bakalan
100
-
2.
Pengandangan ternak
100
-
3.
Pembersihan kandang
80
20
4.
Pemberian pakan
60
40
5.
Pemberian vitamin/obat-obatan
70
30
100
-
6. Penimbangan Sumber : Data primer setelah diolah
Temu Lapang dan Umpan Balik Temu Lapang Sasaran kegiatan dari Temu Lapang adalah untuk percepatan penyebarluasan teknologi melalui ketua kelompok/kontak tani/ketua Posluhtan dan informasi kepada para petani/peternak lainnya. Selain itu juga untuk membangun mekanisme umpan balik, persepsi petani dan hambatan-hambatan di tingkat lapang dalam upaya proses adopsi terhadap keberlanjutan teknologi yang didemonstrasikan. Gambaran respon petani-peternak dari hasil kuesioner, baik pada saat sosialisasi, wawancara dan diskusi pada saat Temu Lapang dengan petani Kooperator dapat dilihat pada Tabel 14. Peternak di Kelurahan Mattirodeceng pada awalnya menyikapi adanya kegiatan ini sangat ragu-ragu apalagi akan mengadopsi. Hal ini terkesan akan merepotkan dan akan mengeluarkan dana yang besar serta khawatir akan sia-sia dan sulit dilakukan. Kondisi ini didasari karena selama ini
beternak sapi hanya sebagai usaha
sampingan, hanya mengandalkan pakan hijauan saja, sapi dilepas di sawah, makan rumput dan digiring ke kandang bila sore hari. Kemudian lama pemeliharaan sekitar satu tahun dan dijual bila diperkirakan telah layak. Karena itu, peternak akhirnya merespon yaitu menerima untuk melakukan pengandangan ternaknya (100%), hal yang sama terhadap pemilihan bakalan (100%). Lain halnya dalam pembuatan formulasi pakan , menunjukkan ragu-ragu sekitar 20 %, ini disebabkan ada faktor-faktor ketidaksiapan peternak. Artinya ada
kegiatan tambahan mencari bahan–bahan tambahan yang belum jelas di mana bisa diperoleh, paling tidak cukup menyita waktu mereka yang sebenarnya bisa dilakukan untuk kegiatan lain. Demikian juga dengan penimbangan sapi, yang jadi pertanyaaan dalam hati mereka adakah cara lain yang dapat digunakan tidak harus menggunakan timbangan (ragu-ragu 30%). Selama ini hanya perkiraan dari pengamatan saja.
Tabel 16. Matrik Ringkasan Pelaksanaan Sosialisasi dan Temu Lapang No 1.
2.
3.
4.
Uraian Sosialisasi
Temu Lapang 1
Temu Lapang 2
Temu Lapang 3
Materi yang Disampaikan 1. Pembukaan 2. Program Pengkajian /Diseminasi BPTP, 2010 3. Kebijakan Pengem bangan Ternak Sapi Kab. Maros 4. Kebijakan Program P3TIP/FEATI Kab. Maros 2010 5. Penjelasan Kegiatan Ujicoba/Demonstrasi Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak dan Pupuk Organik 1. Sambutan sekaligus membuka acara 2. Pemaparan dari Koordinator Penyuluh Kel. Mattirodeceng 3. Penyusunan Pakan dan Penggemukan Sapi 4. Teknik Penimbangan ternak dan pencampuran pakan 1. Pembukaan 2. Evaluasi dan pertam bahan bobot badan 3. Penimbangan ternak dan pengamatan hasil penggemukan 4. Evaluasi pembuatan pupuk organik, dan rencana tindak lanjut 1. Pembukaan, sekaligus pemaparan dari Koordinator Kecamatan
Pemateri Ir. Sampe Kendek DR. Ir. Mansur Azis, Msi.
Peserta (orang) 35
Kadisnak Kab. Maros Ir. Musawar Ir. Gusti Aidar. NR.
Ir. Matheus Sariubang MSi. Ir. Sampe Kendek
35
Ir. Matheus Sariubang Msi H. M. Siddik Ir. Gusti Aidar. NR Ir. Gusti Aidar. NR.
35
H. M. Siddik Ir. Abdul Syukur MP. Koordinator BPP Lau
35
Lau 2. Evaluasi Hasil Penimbangan Ternak 3. Pemaparan dari Ka BPTP/Koordinator Penyuluh Prov. Sul-Sel 4. Pemaparan dari Ka. Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kab. Maros 5. Evaluasi kegiatan Ujicoba/Demonstrasi dan tindak lanjutnya 6. Umpan Balik
H. M. Siddik DR. Ir. Mansur Azis Msi. Ir. Syahrir, Msi.
Ir. Gusti Aidar. NR. Ir. Syahrir Msi.
Umpan Balik 1. Di mana kami bisa mendapatkan bungkil kelapa, pikuten?
Jawab : Silahkan Bapak Jalan-jalan Ke KIMA di Daya, ada di sana Pabrik Minyak. Tersedia dalam jumlah banyak, berapa yang Bapak perlukan ada. 2. Bagaimana mengelola jerami cara sederhana bisa dimanfaatkan menjadi pakan ternak sapi, mana yang baik apakah harus dalam keadaan segar atau kering? Jerami kering apakah masih baik untuk dijadikan pakan, apakah tidak mengganggu pencernaan sapi?
Jawab : Jerami kering bisa dimanfaatkan menjadi pakan. Caranya jerami kita tebarkan di suatu tempat, lalu percikkan air garam merata di atasnya atau dapat pula jerami ditebar/campur dengan ikan asin yang sudah terlebih dulu ditumbuk, aduk merata lalu berikan pada ternak. Jerami kering baik dan bisa dijadikan pakan, tidak merusak pencernaan ternak. 3. Kenapa jerami tidak boleh dibakar?
Jawab : Jerami banyak mengandung unsur hara utamanya N, P, K, SI dan C yang cukup tinggi; selain itu unsur K juga cukup tinggi sekitar 1 %. Penggunaan jerami kering 2 ton/ha sama halnya menggunakan
KCL
sebesar
50
kg/ha.
Karena
itu,
bila
memanfaatkan jerami yang difermentasi berarti telah menghemat dan tidak perlu memakai/membeli KCL.
4. Di mana kami bisa memperoleh bahan Promi untuk fermentasi jerami dalam pembuatan pupuk organik dan berapa harganya, karena belum ada di pasar Maros? Apa keunggulan Promi dibanding EM4 atau Stardec?
Jawab : Ada tersedia di BPTP. Harganya Rp. 50.000,-/kg. Promi mengandung mikroba yang bermanfaat bagi tanaman, baik sebagai pelarut hara, perangsang pertumbuhan, juga dapat mengurai limbah organik pertanian. Keunggulannya, tidak perlu pembalikan, tidak perlu bahan tambahan lain selain bahan baku dan air, tidak perlu pencacahan kecuali bahan keras. Hanya sekali aplikasi sehingga bisa lebih ekonomis dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk jadi kompos. 5. Bagaimana bisa kita ketahui pupuk organik sudah jadi atau sudah bisa digunakan?
Jawab
:
Tinggi
setengahnya,
penumpukan
kompos
berkurang
berwarna
coklat
sampai
kehitaman,
menurun kompos
menjadi lunak dan mudah dihancurkan, kompos tidak berbau menyengat. 6. Kegiatan yang sama sebaiknya bisa juga dilaksanakan BPTP di Kelurahan lain.
Jawab : Nanti dipertimbangkan.
Dari hasil diskusi temu lapang dan umpan balik disimpulkan bahwa : 1)
Petani
di
Kel.
Mattirodeceng
akan
melanjutkan
menerapkan
penggunaan pakan tambahan/pakan konsentrat untuk meningkatkan bobot badan ternak, baik petani kooperator maupun non-kooperator. 2)
Hasil Demonstrasi akan dijadikan acuan bagi peternak di kelurahan Mattirodeceng bahkan akan dijadikan rekomendasi dalam mendukung program FEATI/P3TIP di Kab. Maros khususnya untuk mendukung program-program FMA dalam mendukung program peningkatan daging sapi.
3)
Demonstrasi Teknologi Pemanfaatan Limbah Pertanian sebagai Pakan dan Pupuk Organik mulai berdampak ke petani – peternak di wilayah
demonstrasi maupun di luar kelurahan. Contohnya : selama kegiatan berlangsung, permintaan sebagai nara sumber dan bimbingan praktek pembuatan pakan konsentrat dari beberapa kelompok petani di Kelurahan Maccini Baji dan Kelurahan Soreang atau pelatihan juga dilakukan. Ini mengindikasikan bahwa difusi inovasi telah terjadi. 8. Dampak Hasil Kegiatan Dampak hasil kegiatan dan umpan balik dari hasil kegiatan Uji Coba/Demonstrasi Teknologi mendukung kegiatan P3TIP/FEATI adalah : 1. Petani sudah memiliki pengetahuan dan referensi khusus pemanfaatan limbah pertanian untuk
terhadap Teknologi
dimanfaatkan sebagai pakan Ternak.
Sehubungan dengan terbatasnya limbah segar untuk terpenuhinya nilai gizi ternak sebagai bahan baku pakan di lokasi, maka disepakati menggunakan bahan baku dari dedak padi, bungkil kelapa, jagung giling dan mineral mix diolah menjadi pakan konsentrat, 2. Beberapa kelompok petani yang tergabung dalam Posluhtan SIPAKALEBI yang berada di lingkungan Kelurahan Mattirodeceng, mulai melakukan/menerapkan pembuatan pakan konsentrat untuk pakan ternak. 3. Hal yang sama juga di Kelurahan Maccini Bajidan Kelurahan Soreang, juga mulai menerapkan penggunaan pakan konsentrat. 4. Selain di Kel. Mattirodeceng, juga telah menyebar di Kel. Macini Baji dan Kel. Soreang, telah dilakukan penerapannya oleh peternak dari beberapa kelompok tani di lingkungan Kelurahan Mattirodeceng. 5. Wawasan petani dan keterampilannya bertambah (20%) dalam pengelolaan usaha
melalui
penerapan
manajemen
yang
baik,
pemilihan
bakalan,
pengandangan ternak dan penimbangan. Petani sadar kesehatan ternak sangat penting. Hal ini akan ditindaklanjuti oleh petani-peternak dengan membuat kandang yang sehat. 6. Hasil ujicoba/demplot menjadi referensi program FEATI/P3TIP dalam usaha pengembangan/mendukung program P2SDS di sektor peternakan, khususnya dalam
pengelolaan
ternak
sapi
berkulitas
dan
sekaligus
meningkatkan
pendapatan. 7. Petani-peternak memahami makna memanfaatkan limbah untuk lingkungan sehat.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan Dari hasi pelaksanaan Uji Coba/Demonstrasi Teknologi Pemanfaatan Limbah Pertanian menjadi Pakan Ternak dan Pupuk Organik mendukung kegiatan P3TIP/FEATI di Kabupaten Maros dapat ditarik kesimpulan yaitu :
Rata-rata BB akhir sapi adalah 160,5 kg dengan rata-rata PBBH sebesar 0,40 kg, rata-rata BB akhir sapi kontrol adalah 135,6 dan rata-rata PBBH 0,13 kg.
Teknologi pemanfaatan limbah melalui pembuatan pakan konsentrat dedak padi, bungkil kelapa, jagung giling, dedak halus, dan mineral mix layak dikembangkan. B/C ratio > 1 dapat meningkatkan bobot badan sapi dalam waktu relatif singkat.
Nilai MBCR sebesar 7,93 menunjukkan bahwa dengan teknologi pemanfaatan limbah sebagai pakan konsentrat yang diintroduksi dapat memberikan tambahan pendapatan sebesar 7,93 dengan penambahan biaya input 1. Artinya teknologi ini layak dikembangkan untuk skala yang lebih besar
Petani kooperator dan non-koperator mengadopsi dengan baik teknologi yang dintroduksi karena memanfaatkan bahan baku lokal untuk pakan konsentrat dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp 1.338.320,- /ekor untuk periode selama 90 hari.
Hasil analisis kandungan unsur hara pupuk organik asal jerami padi dengan aktivator Stardec (memenuhi standar Kementerian Pertanian) lebih tinggi dibandingkan dengan Promi dan EM-4.
Petani
lebih
menyukai
penggunaan
Promi
karena
lebih
praktis
penerapannya, waktu cukup singkat dan tidak membutuhkan biaya besar. 2. Saran
dalam
Promi sebaiknya tersedia di pasaran. Kegiatan demontrasi Pemanfaatan Limbah sebagai Pakan Ternak dan Pupuk Organik
perlu
dilanjutkan
dengan
kegiatan
yang
sama,
menerapkan
Pemanfaatan pakan konsentrat ke ternak untuk meningkatkan berat badan sapi dan aplikasi pupuk organik tersebut ke pertanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Arafah. 2005. Pengelolaan jerami padi sebagai pupuk organik pada tanaman padi sawah. Buletin BPTP Sulawesi Selatan - Volume I Nomor I Tahun 2005. Makassar, Sulawesi Selatan. Budi Santoso, H. 1998. Pupuk Kompos. Penerbit Kanisius. Jakarta. Ensminger, M.E..1990. Feed and Nutrition. The Ensminger Publishing Company. California. Hardjo, Indrasti, N.S. dan T Bantacut. 1998. Biokonversi Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, DITJEN Pendidikan Tinggi, PAU, Bioteknologi IPB. Bogor. Isroi. 2008. KOMPOS. Makalah. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor. Kartadisastra, H. R.,1997, Penyediaan dan Pengolahan Pakan Ternak Ruminansia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Komar, A. 1984. Teknologi Pengolahan Jerami. Yayasan Dian Grahita Indonesia. Murbandono,HS. L. 2002. Membuat Kompos. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Prihandarini, Ririen. 2004. Manajemen Sampah, Daur Ulang Sampah Menjadi Pupuk Organik. Penerbit PerPod. Jakarta. Power, J.F. and Papendick, R.I. (1997) Sumber-sumber organik hara. In Teknologi dan Penggunaan Pupuk, (Eds Engelstad O.P) (Transl. Didiek Hadjar Goenadi), pp. 752-778. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sutrisno, C.I., 2002. Peran Teknologi Pengolahan Limbah Pertanian dalam Pengembangan Ternak Ruminansia. Fakultas Peternakan UNDIP, Semarang. Rukmana, R.H., 2001. Silase dan Permen Ternak Ruminansia. cetakan 1, Kanisius, Yogyakarta.
R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik. (2006). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Tilman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan ke-3 ,UGM. Yogyakarta. Tjandramukti, 1984. Pemanfaatan Limbah Pertanian sebagai Pakan Ternak . Lokakarya Evaluasi dan Pemantapan Pola Pemanfaatan Limbah Pertanian. Cipayung. Woolford, F.G,1997. The Silage Fermentation. Marel Dekker INC., New York.